Anda di halaman 1dari 23

Perkembangan ternak perah di negara-negara sedang berkembang tidak

sama, hal ini antara lain disebabkan oleh kondisi dari masing-masing negara
berbeda.
Ternak perah di India sesuai yang dikemukakan Jul (1977), populasi sapi
di India 180 juta dan kerbau 60 juta, jumlah produksi susu di India masih rendah
2,7 juta liter yang beredar. Pada masa silam ternak tersebut biasanya sebagai
tenaga kerja, susunya langsung dijual kepada konsumen. Tetapi 30 tahun
belakangan ini pengumpulan susu dari petani dilakukan oleh koperasi AMUL
(Animal Milk Union Ltd.), namun demikian petani masih merasa rugi karena
harga susu yang masih terlalu rendah. Selain mengumpulkan susu, koperasi juga
menyediakan pakan, penyebaran biji hijauan serta program AI (Artificial
Insemination) untuk sapi dan kerbau. Mengenai pengumpulan susu di pertokoan
mendapat petunjuk dari National Dairy Development Board (NDDB). Untuk
mencukupi kebutuhan susu di India, Word Food Program (WFP) memberi
bantuan 126.000 metrik ton dried skim milk dan 42.000 ton butter oil dengan total
nilai sekitar US$ 106 juta. Selain bantuan dari WFP juga bantuan berasal dari
UNICEF, SIDA (Swedish International Development Authority) dan DANIDA
(Danish International Development Agency) berupa pengelolaan sapi perah,
pakan, sarana transportasi serta penyediaan tenaga-tenaga teknik. Juga dibangun
pusat-pusat percontohan peternakan sapi perah sebagai percontohan bagi peternak.
Belakang ini didirikan peternakan di Bombay, Delhi, Madras dan Calcuta dengan
kapasitas produksi susu 100.000 lt/hari, sarana transportasi 30 tangki serta 10
penggilingan pakan. Pemerintah India dalam mengembangkan persusuan di
negaranya terutama menekankan pada program pakan ternak. Perkoperasian
persusuan di India berkembang pesat. Berdasarkan penelitian di distrik Kaira,
dengan adanya koperasi persusuan para petani mempunyai double income dari
ternak perah.
Di India produksi sapi perah masih rendah dibandingkan negara lain.
Rendahnya produksi ini dapat diperbaiki dengan pemberian pakan yang lebih
baik, terutama pada periode laktasi. Sapi diberi hijauan segar dan konsentrat
sehingga hasil susunya berbeda nyata. Dengan pemberian pakan yang baik pada
periode laktasi produksi susu meningkat 200 475 liter setiap tahun. Agar
produksi susu dapat kontinu, penambahan bahan pakan sangat diperhatikan
dengan memanfaatkan bahan yang tersedia. Di India juga diadakan kursus
keterampilan khusus mengenai pemerahan. Selain itu Indian Dairy Corporation
(IDC) dan National Dairy Development Board (NDDB) juga mendidik sejumlah
tenaga ahli teknologi susu dan pemasaran. Karena susu umumnya untuk makanan
anak-anak, maka untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah dibantu dengan
susu segar (karena susu olahan biaya produksinya mahal).
Sapi perah yang ada di India selain sapi lokal (Sahiwal, Red Sindhi dan
lain-lain) juga sapi crossbreeding (kawin silang) yang telah dimulai akhir tahun
1800 oleh ekspedisi bangsa Eropa di perkebunan teh di Assam, yaitu antara sapi
Eropa dengan sapi-sapi di India antara lain Red Sindhi dan Sahiwal. Selanjutnya
pada pusat stasiun di Hosur dan Madras (Katpatal, 1977) melanjutkan
crossbreeding (kawin silang) pada tahun 1920 1930 di peternakan Allahabat dan
Pusat Penelitian di Madras, yaitu mengawinkan sapi lokal dengan sapi Eropa
(Holstein Friesian, Jersey dan Brown Swiss). Dilaporkan bahwa jumlah crossbred
jantan dan betina telah tercapai 0,65 juta dalam 17 kelompok (1973 1974).
Apabila AI dengan semen dari luar dilaksanakan tiap tahun, jumlah crossbred
akan meningkat. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi sapi-
sapi crossbreeding (kawin silang) lebih baik daripada sapi lokal sehingga semakin
banyak sapi-sapi crossbreed berarti turut meningkatkan jumlah produksi susu.
Untuk lebih meningkatkan pengembangan peternak kecil (small holders),
baik koperasi maupun National Bank for Agricultural and Rural Development
(NABARD) memberikan bantuan kredit jangka panjang dan menengah. Dana
yang diberikan pada sektor peternakan sapi perah adalah berupa bantuan
bangunan dan peralatan kandang dan 2 5 ekor sapi perah per petani. Apabila
sektor produksi susu telah tercapai kemudian dilanjutkan dengan pemberian kredit
untuk pemrosesan susu. Selain itu untuk ternak perah juga disediakan kredit untuk
program breeding dan pengelolaan selama bunting, serta kawin silang hingga
menghasilkan pedet (anak sapi) sampai dewasa. Mengenai kredit untuk kandang
sapi perah dibangun oleh koperasi untuk petani kecil.
Di Pakistan sektor peternakan mempunyai andil yang besar (30%)
terhadap sektor pertanian. Nilai produksi peternakan US$ 350 juta, termasuk kulit,
wol dan produk-produk lainnya. Ini berjumlah 11% dari total ekspor. Pakistan
termasuk negara yang berkelebihan ternak. Potensi ternak di Pakistan sebagai
ternak kerja dan punya mutu genetik yang tinggi. Kerbau Nili-Ravi di Punjab dan
Kunti di Sind biasanya dipelihara untuk produksi susu. Sahiwal dan Red Sindhi
adalah tergolong bangsa sapi perah paling baik di daerah tropis dan subtropis di
Pakistan. Bangsa sapi lainnya seperti Bhanari, Dhauni, Dojal, Rojhan dan Rohani
digunakan sebagai ternak kerja. Tharparkan sebagai ternak dual purpose untuk
perah dan kerja. Ternak di sini tahan panas dan tahan penyakit. Sapi-sapi non
discript disilangkan dengan bangsa sapi dari luar seperti Friesian, Jersey, Swedish
merah dan putih dengan tujuan untuk meningkatkan produksi susu. Sedangkan
Sahiwal dan Red Sindhi terus dikembangkan dengan jalan seleksi AI di Punjab
dimulai tahun 1954, dan tahun 1972 AI lebih ditingkatkan operasinya. Tahun 1976
proyek AI mendapat bantuan dari UNDP/FAO/GTZ. Sejak tahun 1972 didirikan
unit semen beku kerbau di Qadirabad yang merupakan satu-satunya yang terkenal
di dunia. Untuk menampung susu yang dihasilkan dibentuk koperasi susu
sebanyak 132 koperasi di Shahiwal dan Sargodha, dan setiap harinya dapat
menampung susu sebanyak 11.000 liter. Untuk menanggulangi penyakit ternak
diadakan program vaksinasi dengan prasarana 392 rumah sakit hewan. Program
vaksinasi ini untuk mencegah berjangkitnya penyakit seperti Rinderpest (Hussain,
1982).

A. Perkembangan Sapi Perah Di Indonesia


Dapat dipastikan bahwa sapi perah asli Indonesia tidak ada. Adanya sapi
perah di Indonesia diawali sejak zaman penjajahan Belanda, bermula untuk
kepentingan orang-orang Eropa, Arab dan India, terutama pegawai pemerintahan
Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda di negerinya mempunyai sapi asli
yang terkenal yaitu Friesian Holstein (FH).

Permulaan abad ke-17, orang Belanda membawa sapi perah ke Indonesia


yang diusahakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Orang-orang India dan
Pakistan telah lama pula berdagang susu yang diperolehnya dari sapi Zebu yang
didatangkan dari negerinya.

Cara-cara lama orang-orang India menjual susu sampai akhir Perang


Dunia Kedua masih dijumpai di Medan, di mana sapi-sapi perahan itu dituntun ke
tempat-tempat langganannya dari satu ke lainnya dan diperah di muka pembeli.

Pemuliaan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak Kontrolir Van Andel
yang bertugas di Kawedanan Tengger, Pasuruan (1891 1892). Atas anjuran
Dokter Hewan Bosma didatangkan sapi pejantan FH (Friesian Holstein) dari
negeri Belanda. Di samping itu juga diimpor sapi-sapi pejantan Shorthorn,
Ayrshire dan Jersey dari Australia. Sapi-sapi pejantan impor tersebut
dikawinkan/disilangkan dengan sapi-sapi lokal (Jawa, Madura) dan ini merupakan
landasan dari sapi Grati. Sedangkan Kontrolir Schipper yang didampingi Dokter
Hewan Penning mengadakan grading-up sapi-sapi lokal dengan menggunakan
sapi-sapi jantan FH sebanyak 7 ekor yang didatangkan dari negeri Belanda, dan
bersamaan waktu itu dilakukan pengebirian sapi-sapi jantan Jawa di daerah
Salatiga, Boyolali dan sekitarnya.

Perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia tidak terlepas dari


sejarah perkembangannya dan kebijakan pemerintah sejak zaman Hindia
Belanda . Usaha peternakan sapi perah pada awalnya dimulai untuk memenuhi
kebutuhan orangorang Belanda dan diusahakan oleh nonpribumi, dan barn pada
tahun 1925 diperkirakan berdiri perusahaan sapi perah pribumi yang pertama
(Prawirokusumo, 1979) .

Sementara itu, peternakan rakyat sapi perah tumbuh sejak zaman


pendudukan Jepang dan Revolusi Fisik Kemerdekaan Indonesia (1942-1950),
karena pada saat itu perusahaan sapi perah terbengkalai dan ditinggalkan
pemiliknya . Sapi perah yang ada sebagian dipotong dan sebagian lagi sempat
tersebar di kalangan rakyat . Di antaranya ada yang berkembang biak dan menjadi
titik tolak tumbuhnya peternakan rakyat sapi perah (Dasuki, 1983 ; Soehadji,
2009) .
Perkembangan peternakan sapi perah selanjutnya mengikuti kebijakan
pemerintah . Pada kurun waktu antara 1950- 1961-pada periode usaha rehabilitasi-
melalui Rencana Kemakmuran Istimewa (RKI), b1dang peternakan mulai
mendapat perhatian, meskipun belum sebagai prioritas utama . Perkembangan sapi
perah mulai mendapat perhatian pada Periode Pembangunan Nasional Semesta
Berencana (1961- 1998). Pada periode ini usaha peternakan sapi perah
memerlukan investasi yang agak besar dan pengetahuan teknis yang lebih khusus,
maka pengembangan dilakukan secara rutin yang sifatnya lebih komersial
(Dasuki, 1983).

Selanjutnya pada Pembangunan Lima Tahun dalam Bidang Peternakan


Sapi Perah (sejak 1969) menempati prioritas keempat yang ditujukan dengan
peningkatan produksi susu guna mencapai sasaran untuk memenuhi kebutuhan
minimum protein hewani menurut standar gizi yang ditetapkan dalam Workshop
on Food pada NAS-LIPI tahun 1968, yaitu 5 gram protein hewani sehari dalam
makanan, dan dari 5 gram tersebut sekitar 17% berasal dari susu (Dasuki, 1983).

Dengan berkembangnya peternakan sapi perah dan upaya peningkatan


produksi susu untuk mencapai target kebutuhan minimum protein hewani, maka
dibangun beberapa kelembagaan di masyarakat yang didukung oleh kelembagaan
pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai
perkembangan peternakan sapi perah yang meliputi perkembangan ternak sapi
perah dan produktivitasnya, serta kelembagaan yang mendukung perkembangan
sapi perah .

Periode Penjajahan Belanda

Perkembangan temak sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19, atas jasa
kontrolir van Andel yang bertugas di Kawedanaan Tengger, Pasuruan (1891-
1893). Dokter hewan Bosma menganjurkan untuk mengimpor 105 ekor sapi
pejantan Fries Holland dari negeri Belanda. Sebelumnya telah diimpor sapi-sapi
Milking Shorthorn, Ayrshire, dan Jersey dari Australia . Selanjutnya terjadi
perkawinan antara sapi-sapi impor dengan sapi-sapi lokal di Pasuruan .
Perkawinan antara sapi-sapi impor dengan sapi lokal Pasuruan inilah yang
menjadi dasar terbentuknya sapi Grati (Sudono, 1984 ; Soehadji, 2009).

Sejarah perkembangan sapi Grati dimulai dengan penitipan sapi kering


kepada petani, dari pengusaha sapi perah di kota sekitarnya. Setelah melahirkan,
induk dan anak betinanya dikirimkan kembali ke perusahaan asal . Sebagai
imbalan petani memperoleh anak sapi jantan . Setelah sapi hadiah tersebut
dewasa, berlangsung persilangan dengan sapi lokal (sapi Jawa atau sapi Ongole) .
Dengan demikian, daerah Grati dalam kelanjutannya menjadi pusat pembibitan
sapi perah rakyat yang potensial, meskipun mereka tidak mengusahakan
pemerahan susu. Ketika itu Ordonansi Susu sangat ketat dijalankan sehingga tidak
mungkin dipenuhi oleh rakyat yang bermodal kecil (Dasuki, 1983).

Meskipun demikian, sapi Grati mempunyai nilai social ekonomi . Sapi


jantannya mempunyai tipe dairy beef-karena bertubuh besar-sehingga dapat dijual
sebagai sapi potong yang harganya lebih mahal dari sapi lokal serta dapat
dipergunakan sebagai tenaga kerja. Sementara itu, sapi betinanya dibeli oleh
perusahaan susu, sebagai pengganti sapi Fries Holland impor (Dasuki, 1983). Sapi
betina ini selanjutnya dikawinkan dengan sapi Fries Holland impor. Hal ini
menunjukkan bahwa sapi Grati adalah sapi peranakan FH yang berderajat tinggi
(Fischer, 1958; Widodo, 1979; Sudono, 1983).

Di Jawa Tengah pemeliharaan sapi perah diawali di daerah Salatiga, yang


oleh kontrolir Schippers dengan didampingi dokter hewan Penning di Salatiga,
dilaksanakan pengebirian sapi jantan Jawa, kemudian mendatangkan, 7 ekor sapi
FH jantan yang kemudian disilangkan dengan sapi lokal (sapi Jawa). Hal ini
menunjukkan bahwa telah dilakukan grading up ke arah rumpun sapi perah FH di
Daerah Salatiga, Boyolali dan sekitarnya (Sudono, 1983). Di samping itu, di
perkebunan Jongrangan (Surakarta) terdapat pembibitan sapi FH yang
diselenggarakan oleh Beervoets yang mempunyai reputasi baik di Indonesia pada
waktu itu (Sudono, 1983 ; Dasuki, 1983).
Sementara itu, di Lembang, Bandung, Jawa Barat tahun 1900 telah
terdapat perusahaan sapi perah yang memelihara sapi FH murni dan telah
berkembang dengan baik yang diusahakan oleh Ursone bersaudara (Sudono, 1983
; Dasuki, 1983) . Di Cisarua, dan sekitar Cimahi terdapat pula perusahaan sapi
perah FH murni General de Wet yang diusahakan oleh Hirschland dan van Zij 1.
Perusahaan ini telah mengimpor berpuluh-puluh sapi jantan dan sapi betina yang
bunting dengan silsilah yang baik,yang ternyata produksi susunya menunjukkan
kesepadanan dengan di negeri asalnya (Dasuki, 1983).

Jumlah sapi perah di Indonesia ketika itu menurut Merkens (1922) tercatat
sebanyak 26.095 ekor, tetapi tidak dijabarkan secara terperinci bangsa sapinya.
Ditinjau dari jumlah kepemilikan sapi yang dipelihara skala usaha sapi perah
masih sangat beragam. Jumlah terkecil antara 10-20 ekor, namun ada pula yang
memelihara 40-100 ekor, bahkan ada yang sampai 300 ekor. Menurut Ordonansi
susu yang berlaku, setiap peternak diwajibkan memiliki kamar susu serta segala
perangkatnya, dan dilaksanakan secara ketat . Ketetapan ini terlalu sulit dipenuhi
oleh pengusaha pribumi, yang selain lemah modal, juga tidak didukung oleh
pengalaman (Dasuki, 1983) .

Merkens (1926) membagi Jawa Barat menjadi empat wilayah yang


mempunyai populasi sapi cukup banyak, yaitu :

a) "Bantam" (daerah karesidenan Banten), dengan populasi sekitar 800


ekor.

b) "Batavia" (daerah Jakarta, Jatinegara, Bogor dan Karawang) dengan


populasi sekitar 27.000 ekor.

c) "Preanger-Regentschappen" (daerah Karesidenan Priangan dan


Kabupaten Cianjur serta Sukabumi) dengan populasi sekitar 20.000
ekor.

d) "Cirebon" (daerah karesidenan Cirebon) dengan populasi sekitar 2 .000


ekor.
Dari data populasi di atas jelas meliputi semua tipe sapi, tanpa ada
perincian populasi sapi perah . Dari keempat daerah tersebut populasi terbanyak
sapi perah ada di dua wilayah, yaitu : "Batavia" dan "Preanger", dengan
konsentrasi di wilayah "Preanger-Regentschappen ".

Untuk wilayah "Batavia" konsentrasi sapi perah terdapat di Jakarta,


Jatinegara, dan Bogor, yang menurut Merkens (1926) adalah hasil perkembangan
dari impor 50 tahun sebelumnya. Berbagai macam rumpun sapi telah diimpor dari
Australia, yaitu Jersey, Ayreshire, Hereford dan Shorthorn . Di antara berbagai
sapi perah yang pemah dicoba, sapi FH yang menjadi preferensi . Perkembangan
di Jakarta dapat dikatakan unik, mengingat sebagian pengusahanya adalah orang
pribumi dengan cara yang sederhana . Oleh karena itu, dengan cara pemeliharaan
yang sederhana, mutu susu kurang terjamin . Berdasarkan hal tersebut,
Pemerintah Kota Jakarta pada akhir tahun 1921 mengeiuarkan peraturan
Penjualan Susu Jakarta yang berisi antara lain adalah :

1) Dilarang menjual susu dalam Kota Jakarta tanpa izin Pemerintah Kota.

2) Untuk memperoleh izin penjualan susu, pemilik perusahaan harus


mempunyai kandang sapi dan kamar susu serta perlengkapan lainnya
yang memenuhi persyaratan.

3) Sapi-sapi harus sehat dan tidak mengandung penyakit tuberkulosis .

4) Perawatan bangunan, sapi-sapi, dan penjualan susu harus sesuai dengan


tata cara kebersihan dan kesehatan .

Akibatnya, biaya eksploitasi menjadi sangat tinggi sehingga timbul reaksi


keras dari produsen pribumi . Namun, berkat penyuluhan yang dilakukan oleh
dokter hewan setempat (R. Nastap), keresahan dapat diatasi .

Konsentrasi populasi sapi perah yang terbanyak di Jawa Barat


terkonsentrasi di Wilayah Preanger, terutama di Bandung dan sekitamya, yang
semuanya adalah rumpun sapi FH murni . DI daerah-daerah in] terdapat
perusahaan-perusahaan sapi perah yang memelihara sampai 300 ekor, tetapi
sebagian besar sekitar 30-100 ekor. Sapi perah perusahaan-perusahaan tersebut
pada umumnya dikandangkan dan memiliki kebun rumput dengan sistem potong
angkut (Dasuki, 1983). Selain sekitar Bandung, juga di Garut dan Sukabumi
terdapat beberapa perusahaan besar sapi perah . Berbeda dengan di Daerah
Jakarta, di Wilayah Preanger ini perusahaan sapi perah pada umumnya tidak
dimiliki oleh orang pribumi .

Introduksi rumpun sapi perah lain pernah dicoba beberapa kali dengan
mengimpor rumpun Jersey, Ayreshire dari Australia, namun tidak dapat
berkembang . Keluhannya terutama adalah temperamen sapi Jersey berbeda
dengan sapi FH yang terkenal sangat jinak . Oleh karena itu, selanjutnya hanya
sapi FH yang dikembangkan (Dasuki, 1983).

Sementara itu, kebutuhan akan sapi pejantan FH berkembang di berbagai


tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama sekitar Pasuruan . Oleh karena
itu, dalam upaya pengadaan bibit sapi FH murni serta peningkatan mutu
genetiknya pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan kontrak kerja
dengan Hirschland dan van Zijl, yaitu pemilik perusahaan sapi perah FH murni
General de Wet di Cisarua, sekitar Cimahi, Bandung . Perusahaan tersebut dipilih
karena selain mengembangkan sapi FH murni impor, juga melakukan seleksi,
serta membeli sapi perah yang terbaik yang ditemukan di Jawa . Antara lain
banyak yang diperoleh 'dari perusahaan Bervoets, di perkebunan Jonggrangan,
Surakarta . Selain itu juga dilakukan di perusahaan-perusahaan di daerah
pegunungan di Jawa Barat . Di antara sapi pejantan yang terkenal adalah berasal
dari pejantan Piet dan Eduard (Merkens, 1922, dalam Dasuki, 1983) . Dengan
demikian, berarti bahwa pejantan yang baik adalah berasal dari keturunan kedua
pejantan tersebut . Dengan tambahan sejumlah sapi impor berikutnya secara
keseluruhan, perusahaan General de Wet mempunyai sapi sekitar 350 ekor yang
mutunya tidak kalah dengan sapi FH di negeri asalnya, negeri Belanda (Sudono,
1983 ; Dasuki, 1983).
Inti dari isi kontrak dengan Generaal de Wet adalah semua sapi jantan yang
dilahirkan di perusahaan tersebut setelah mencapai umur 1,5 tahun dan dinilai
memenuhi mutu sebagai pejantan, harus diserahkan, dan dibeli oleh pemerintah .
Imbalan lainnya adalah bahwa untuk pelaksanaan proyek tersebut, kepadanya
diberikan pinjaman sebidang tanah di Cisarua .

Sasaran program sapi Generaal de Wet adalah meningkatkan


pengembangan persilangan dengan sapi local setempat di daerah Banyumas Utara,
Kedu Utara, Tengger dan Malang. Tujuan persilangan tersebut adalah untuk
meningkatkan mutu genetik sapi lokal dengan jalan grading up ke arah FH, dan
hasilnya memberikan dampak positif dalam meningkatkan produktivitas sapi
peranakan di daerah sasaran, terutama di daerah Pasuruan . Namun, untuk daerah
lain harganya dipandang terlalu tinggi dan praktis tidak terjangkau oleh daya bell
di tingkat pedesaan . Pada tahun 1922 sasaran tersebut ditinggalkan dan beralih
untuk membantu perusahaan susu yang kekurangan sapi pejantan. Permintaan
begitu besar sehingga praktis semua sapi pejantan Generaal de Wet terjual
termasuk yang relative kurang bermutu . Sehubungan dengan hal tersebut
pemerintah mengadakan seleksi yang sangat ketat terhadap sapi Generaal de Wet
untuk menjaga mutu . Dampaknya adalah terjadinya peningkatan produksi susu
(Dasuki, 1983; Sudono, 1983).

Pada tahun 1909, tercatat penempatan sapi pejantan 12 ekor di Semarang,


18 ekor di Kedu, dan 28 ekor di Pasuruan (Merkens, 1922 dalam Dasuki, 1983).
Menurut Sudono (1983) di Pasuruan, Jawa Timur sejak tahun 1915 sampai dengan
tahun 1923 telah memanfaatkan 40 ekor sapi pejantan dari Generaal de Wet, dan
sesudah itu permintaan pejantan lebih meningkat lagi . Pada awalnya, penempatan
sapi pejantan dipercayakan kepada desa, namun kemudian lebih banyak
dipercayakan kepada perorangan sehingga pemeliharaannya lebih baik. Pada
tahun 1939, dilakukan pengimporan sapi muda FH dari negeri Belanda langsung
ke Grati (Pasuruan) sebanyak 22 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Grati
adalah sapi peranakan FH berderajat tinggi (Sudono, 1983).
Sementara itu, di Sumatra Utara sapi perah yang dipelihara adalah sapi
Hissar. Sapi ini hanya terdapat di daerah Sumatra Utara terutama di Kota Medan,
Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Karo, dan Simalungun (Siregar, 1990). Sapi
Hissar mulai dimasukkan ke Daerah Kabupaten Deli Serdang pada tahun 1885,
namun baru menunjukkan perkembangan pada tahun 1920 (Nasution, 1958).
Pemasukan sapi Hissar di Sumatra Utara pada mulanya dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan susu segar orang-orang Eropa yang bekerja di perkebunan -
perkebunan . Sapi Hissar dipelihara terutama oleh orang-orang India yang telah
lama menetap di daerah Sumatra Utara (Siregar, 1990) .

Periode Pendudukan Jepang Dan Revolusi Fisik Kemerdekaan


Pada periode pendudukan Jepang perusahaan sapi perah Belanda diambil
alih oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Kelanjutan pengelolaan berlangsung
dalam keadaan darurat bahan baku konsentrat . Akibatnya, produksi makin
merosot dan sebaliknya harga pakan konsentrat meningkat . Keadaan yang sama
dialami oleh perusahaan yang diambil alih oleh balatentara Jepang . Pemasaran
juga ikut mengalami perubahan, yaitu makin sedikit yang tersedia untuk konsumsi
umum karena sebagian besar digunakan bagi tentara Jepang (Umboh, 1954).

Keadaan darurat bahan baku konsentrat, dan salah kelola di zaman


pendududukan Jepang, yang dilanjutkan di zaman revolusi fisik kemerdekaan,
mengakibatkan kebanyakan perusahaan susu terlantar. Sementara itu, stok sapi
mulai berceceran . Sebagian berangsur dipotong dan sebagian lagi sempat tersebar
di kalangan rakyat . Di antaranya ada yang berkembang biak dan menjadi titik
tolak bagi penyebaran usaha sapi perah rakyat (Dasuki, 1983) . Pada akhir
revolusi, dengan Segala keterbatasannya, perkembangan sapi perah cukup lambat
untuk sempat tersentuh oleh usaha rehabilitasi dan prioritas dalam pembangunan
(Atmadilaga, 1973).

Periode Usaha Rehabilitasi (1950-1961)


Setelah diproklamasikan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945, negara kita masih menghadapi agresi Belanda dan sekutunya serta
blokadenya yang cukup ketat sehingga untuk keperluan rakyat sehari-hari harus
disediakan dari dalam negeri. Pemerintah membuat rancangan yang sederhana
untuk kebutuhan rakyat minimal . Rancangan ini dikenal dengan Rencana
Kemakinuran Istimewa atau rencana Kasimo yang Prgfrl Usaha Peternakan Sapi
Perah di Indonesia dikeluarkan pada 20 Nopember 1947 dan berlaku untuk kurun
waktu tiga tahun . Rencana Kasimo ini memprioritaskan penyediaan bahan
makanan yang diperlukan bagi kesehatan seluruh rakyat serta keperluan lainnya .

Peningkatan produksi pertanian rakyat menempati prioritas utama dengan


jalan menambah produksi dan meningkatkan hasil panen setiap hektare . Bidang
peternakan juga mendapat perhatian, walaupun bukan prioritas utama. Di bidang
peternakan terjadi kemunduran terutama dari segi turunnya populasi hampir
semua ternak sejak tahun 1941 sampai dengan 1945 . Oleh karena itu, Jawatan
Kehewanan membuat rencana merehabilitasi keadaan ternak dengan target
kembali ke populasi ternak pada tahun 1941 dalam jangka waktu lima tahun .
Pelaksanaan yang diterapkan adalah meningkatkan angka kelahiran, mengurangi
pemotongan gelap serta angka kematian . Sementara itu mengenai persusuan tidak
dinyatakan secara eksplisit, kecuali berupa himbauan agar Jawatan Kehewanan
berusaha supaya rakyat mau minum susu segar demi meningkatkan kesehatannya
(Dasuki, 1983).

Untuk mendukung hal tersebut, sekitar tahun lima puluhan Jawatan


Kehewanan di Grati membangun Pusat Penampungan Susu (Milk Centre), karena
sejak kemerdekaan rakyat dianjurkan untuk memerah sapinya untuk menghasilkan
susu . Dengan demikian, Grati tidak hanya menjadi pusat penghasil sapi perah
rakyat, tetapi juga sebagai pusat penghasil susu rakyat. Boyolali akhimya juga
berkembang menjadi daerah penghasil sapi perah rakyat dan di sini pun didirikan
Pusat Penampungan Susu yang di sponsori oleh Jawatan Kehewanan . Milk
Centre selain menampung susu sapi rakyat juga memasarkan susu tersebut ke
kota-kota besar .
Pada tahun 1956, pemerintah mencoba mengimpor sapi Red Danish dari
Denmark, tetapi sapi perah yang berwarna cokelat tersebut tidak sesuai dengan
keadaan lingkungan di Indonesia . Dengan kegagalan tersebut, maka pada tahun
1962 pemerintah mendatangkan sapi Fries Hollands sebanyak lebih kurang 1 .000
ekor, diimpor dari Denmark oleh PN Perhewani, untuk memenuhi kebutuhan susu
pada pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta. Kebanyakan sapi perah yang
berasal dari Denmark in] disebarkan ke perusahaan-perusahaan susu di Jawa dan
BPT Baturraden, Purwokerto . Kemudian pada tahun 1964 Jawatan Kehewanan
Pusat mengimpor 1 .354 ekor bibit sapi Fries Hollands clan negri Belanda yan
disertai dengan kartu silsilah lengkap. Pengimporan bibit sapi perah tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu sapi-sapi perah di Indonesia yang
akhirnya akan meningkatkan produksi susu (Sudono, 1983) .

Periode Pembangunan Nasional


Pada periode ini dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia serta untuk
mencapai masyarakat yang makmur, maka pemerintah menggagas Rencana
Pembangunan Semesta, dengan dasar pemikiran untuk mengejar kemakmuran
yang relative tinggi, yang dimulai dengan menyediakan kebutuhan pokok bagi
rakyat. Periode pembangunan ini berjangka waktu delapan tahun (1961-1969)
dengan prioritas utama produksi bahan makanan rakyat yang cukup, yang sesuai
dengan daya beli rakyat serta dapat dimanfaatkan tepat waktunya . Tujuan yang
akan dicapai adalah swasembada beras dan pemenuhan produksi protein nabati 40
gram dan protein hewani 8 gram untuk setiap orang per hari. Untuk memenuhi
kebutuhan protein ditempuh melalui peningkatan produksi kedelai, ikan darat, dan
peternakan ayam . Mengenai usaha peternakan lainnya seperti peternakan sapi
perah yang memerlukan investasi agak besar dan pengetahuan teknis yang lebih
khusus, maka usaha-usaha ini akan dikembangkan secara rutin, yang sifatnya
lebih komersial (Dasuki, 1983).

Khusus untuk pengembangan sapi perah, berdasarkan produksi susu pada


tahun 1958 (24.6 juta liter), tahun 1959 (30 juta liter), tahun 1960 diperkirakan
33,681 juta liter. Bertitik tolak dari data tersebut, maka Rencana Pembangunan
Semesta, menargetkan produksi susu pada tahun 1961 sebanyak 36,565 juta liter
dan tahun 1962 sejumlah 39,449 juta liter. Dengan kata lain laju pertambahan
yang diharapkan adalah sekitar 7.89% per tahun. Namun, perlu dicatat bahwa
rencana tersebut banyak mengandung kelemahan. Akhirnya, rencana
pembangunan Nasional Semesta tidak sempat dilaksanakan, karena kerawanan
kondisi politik saat itu (Dasuki, 1983) .

Pembangunan Lima Tahun dalam Bidang


Peternakan Sapi Perah Pada awal pembangunan lima tahun (Pelita I),
pengembangan sapi perah ditujukan untuk meningkatkan produksi susu, dan
termasuk dalam prioritas keempat . Menurut Atmadilaga (1973), pengembangan
sapi perah yang ditempatkan pada prioritas keempat tidak berarti kurang
mendapat perhatian, melainkan dimasukkan dalam rencana jangka panjang atas
dasar berbagai pertimbangan . Selama masa Pelita I usaha difokuskan pada
kegiatan rehabilitasi, konsolidasi, dan peningkatan produksi pada populasi ternak .

Dalam Pelita II, selain melanjutkan kegiatan Pelita I, juga disertai empat
fungsi pokok, yaitu :

1) Meningkatkan kemampuan berproduksi pada petani peternak,

2) Meningkatkan populasi ternak,

3) Meningkatkan produksi basil ternak untuk mengimbangi perkembangan


permintaan dalam negeri dan memanfaat-kan potensi ekspor, dan

4) Meningkatkan kesempatan kerja dalam peternakan .

Dalam implementasinya diterapkan enam macam instrumen, yaitu : (i)


peningkatan kegiatan penyuluhan untuk para petani, pengusaha skala kecil dan
menengah; (ii) mengamankan ternak yang sudah ada melalui usaha-usaha
pencegahan dan pemberantasan penyakit ; (iii) mengusahakan penyediaan dan
penyebaran bibit ternak ; (iv) mengusahakan agar produksi dan distribusi bahan
ransum dan obat-obatan dapat berkembang lebih pesat ; (v) mengusahakan
perbaikan fasilitas pengolahan dan pemasaran ternak serta hasil-hasilnya ; (vi)
peningkatan usaha penyediaan kredit dengan persyaratan yang layak serta
pengembangan koperasi peternakan.

Pengembangan peternakan sapi perah selama Pelita 11, balk di pedesaan


maupun sekitar kota, diusahakan melalui penyediaan dan pengadaan bibit unggul,
intensifikasi inseminasi buatan serta usaha penyediaan pakan ternak bermutu .
Dalam upaya perbaikan penyaluran susu, dibina organisasi dan peningkatan
fasilitas pemasaran serta pengolahan, perbaikan mutu, dan mail kebersihannya .

Dalam pelaksanaan inseminasi buatan (IB), negara pertama yang


memberikan bantuan IB dengan mani beku adalah Selandia Baru . Pada tahun
1972, negara ini memberikan donasi mani beku sebanyak 10.000 dosis, terdiri dari
berbagai macam bangsa sapi. Di samping itu, setiap bulan dalam jangka waktu
satu tahun diberikan pula 1 .000 dosis sebagai tambahan (Partodihardjo, 1979). DI
samping itu, mani beku juga diimpor dari Inggris, Australia, dan Amerika Serikat.
Tahun 1972 dan 1973 mani beku untuk sapi FH yang diimpor dari Selandia Baru,
Inggris dan Australia adalah 16 .441 dosis (Partodihardjo, 1979). Sampai dengan
akhir Pelita I, jumlah mani beku yang telah diimpor adalah sejumlah 17.898 dosis
serta diterapkan di tujuh provinsi (Partodihardjo, 1979 ; Dasuki, 1983).

Untuk operasi selanjutnya, kebutuhan akan mani beku tidak dapat


disediakan dari impor saja, maka untuk pemenuhan mani beku ini pemerintah
mendirikan Balai Inseminasi Buatan di Lembang, Bandung pada tahun 1976 .
Selain mani beku, untuk peningkatan produksi susu diperlukan bibit sapi perah
yang bermutu, dalam penyediaan dan pengadaan bibit pemerintah mengambil
jalan pintas dengan mengimpor bibit sapi perah dari Australia dan Selandia Baru,
dan impor tersebut baru dilaksanakan akhir Pelita II . Di samping itu, untuk
melancarkan pemasaran susu telah dirintis pula kerja sama oleh beberapa koperasi
dengan industri pengolah susu . Meskipun hasilnya belum memuaskan, tetapi
telah dapat mendorong peternak dalam usaha peningkatan volume dan mutu susu
(Dasuki, 1983).
Usaha-usaha yang telah dilaksanakan dalam Pelita II sebagian besar
dilanjutkan dalam Pelita III, bahkan ditingkatkan . Usaha-usaha tersebut meliputi
usaha peningkatan produksi melalui intensifikasi dan diversifikasi, usaha
memelihara kelesatarian dan meningkatkan daya guna sumber alam serta
pembinaan usaha peternakan dan pemasarannya. Upaya yang menonjol dalam
Pelita III adalah dikembangkannya penyediaan fasilitas kredit melalui sistem
Panca Usaha yang dibarengi dengan meningkatkan fungsi koperasi sapi perah
sebagai pengumpul dan pengolah produksi susu dalam negeri . Agar produksi susu
hasil peternakan rakyat Iebih terjamin, diusahakan integrasi yang lebih erat
dengan industri pengolah susu (Dasuki, 1983).

Dampak penggunaan mani beku melalui inseminasi buatan memberikan


basil yang positif, meskipun peningkatannya tidak tinggi. Peningkatan produksi
yang rendah tersebut disebabkan karena pada program IB tersebut belum diikuti
dengan pencatatan produksi susu, seleksi dan culling .

Era Tinggal Landas


DI akhir Pelita V atau PJP I, kondisi persusuan nasional diharapkan sudah
mantap dan siap menuju era lepas landas yang dimulai pada Pelita VI atau awal
PJP II dengan tatanan yang mengarah pada kegiatan usaha yang efisien dengan
pendekatan agribisnis dan meninggalkan model usaha yang bersifat tradisional .

PJP II merupakan era tinggal landas (ETL) Pembangunan atau dimulainya


Kebangkitan Nasional Kedua . ETL merupakan proses kemajuan menuju
masyarakat yang maju, adil, makmur, dan lestari yang ditandai oleh tingkat
kesejahteraan yang semakin tinggi, efisien dan mendorong kreativitas serta
partisipasi masyarakat .

Pembangunan makin mengandalkan sumber daya dalam negeri yang


merupakan sikap kemandirian, memanfaatkan kelembagaan yang ada dan mampu
menggerakan potensi masyarakat. Oleh karena itu, agar dapat menjawab
tantangan, tuntutan, dan tuntunan dalam kurun PJB II perlu dilakukan Reorientasi
Pembangunan Peternakan . Di samping kaidah yang baku, diciptakan pula
perangkat-perangkat, yakni ; (i) perangkat kendali sebagai rambu ; (ii) perangkat
pendukung piranti ; dan (iii) perangkat pendukung operasional sebagai jurus agar
konsepsi pembangunan peternakan dapat lebih mengakar dan mampu
mengantisipasi tantangan serta lingkungan strategis, balk global, nasional,
maupun sektoral yang selalu berubah .

Oleh karena itu, wawasan pembangunan peternakan pada era ini harus
dipandang sebagai sebagai industri biologis yang dikendalikan manusia dengan
empat aspeknya, yaitu : (Soehadji, 2009), yaitu :

1) Peternak sebagai subjek pembangunan yang harus ditingkatkan


pendapatan dan kesejahteraannya .

2) Ternak sebagai objek pembangunan yang harus ditingkat-kan produksi


dan produktivitasnya .

3) Lahan sebagai basis ekologi pendukung pakan dan budidaya yang harus
diamankan .

4) Teknologi sebagai alat untuk mencapai sasaran pembangunan


peternakan.

Dalam mengimplementasikan wawasan pembangunan tersebut, maka


pendekatan pembangunannya sudah harus dilakukan melalui konsep agribisnis
dengan konsep lndustri Peternakan sapi perah Rakyat (Innayat), bukan sebagai
usaha peternakan yang masih berbasis pada usaha peternakan sapi perah
tradisional. Pendekatan agribisnis tersebut dilakukan sejak pengadaan dan
penyaluran sarana produksi, budidaya, pengolahan sampai pemasaran melalui
pendekatan penanganan seluruh subsistem agribisnis secara utuh .
B. Perkembangan Kambing Perah di Indonesia
Ternak perah yang sedang dikembangkan di Indonesia selain sapi perah
adalah kambing perah dengan pertimbangan kambing perah mudah dikembangkan
karena mudah perawatannya, tidak memerlukan lahan luas, sifatnya unik,
disenangi wanita dan anak-anak di pedesaan/di gunung karena lucu dan menarik,
dipelihara selain sebagai hewan kesayangan dan tabungan, juga menghasilkan
susu. Kambing perah suka pakan hijauan berupa tunas semak-semak, ranting-
ranting dan gulma (tumbuhan liar), dan sangat efisien dalam mengubah makanan
berkualitas rendah menjadi produk yang bernilai tinggi berupa susu dan daging.
Susu kambing mempunyai manfaat lebih besar daripada susu sapi karena susu
kambing dapat diminum oleh orang yang alergi minum susu sapi.
Kambing perah, seperti halnya sapi perah asli berasal dari Indonesia juga
tidak ada. Kambing perah yang ada di Indonesia diduga berasal dari luar dibawa
oleh bangsa Arab dan India. Bangsa kambing perah yang dibawa ke Indonesia
oleh orang-orang Arab dan India pada waktu pemerintah penjajahan Belanda
adalah kambing Etawah dari India. Kapan kambing Etawah tersebut masuk ke
Indonesia tidak jelas. Kambing Etawah tersebut di Indonesia dikawinkan dengan
kambing lokal (kambing kacang) menghasilkan keturunan yang dikenal
masyarakat dengan kambing peranakan Etawah atau disingkat kambing PE.
Kambing PE ini termasuk kambing dwiguna (penghasil susu dan daging).

Perkembangan Jamnapari di Indonesia

Dalam beberapa catatan sejarah, orang pertama yang memperkenalkan


kambing Jamnapari adalah orang Inggris yang pernah menjajah India.
Jamnapari di bawa kedaratan eropa dan sebagian dikawinkan dengan kambing
lokal Inggris. Untuk anak hasil persilangan antara kambing Jamnapari dengan
kambing lokal Inggris dinamai dengan sebutan kambing Anglo-nubian. Dari
daratan Eropa inilah Jamnapari kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia,
bersamaan dengan menyebarnya kapal dagang bangsa-bangsa Eropa yang
berlayar dan berniaga keseluruh penjuru dunia.

Di Amerika Jamnapari di akui sebagai nenek moyangnya kambing


American-Nubian, yang terkenal banyak susunya. Pada jaman Kompeni dulu ,
kapal dagangnya VOC kalau berlayar ke daratan Indonesia selalu datang dalam
keadaan kosong ruang kargo nya, ruang kargo yang kosong ini akan di isi
muatan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, untuk kemudian di bawa ke
daratan Eropa. Pada suatu pelayaran kapal dagang VOC dari negara Belanda
menuju Pulau Jawa di Indonesia, ada sepasang penumpang bangsa Belanda
yang bernama Tuan Hollanda dan Nyonya Netherlandia. Meraka adalah pejabat
perkebunan dari Belanda yang akan di tugaskan di Pulau Jawa, sebagai
pengawas perkebunan yang biasanya di sebut Tuan Amtenar atau Juragan
Kontrol.

Mengetahui kekosongan ruang kargo di kapal tersebut maka pasangan


tersebut membawa beberapa pasang Kambing Jamunapari peliharaan
kesayangannya, yang tidak ingin mereka tinggalkan di Belanda, sehingga
mereka bawa untuk di pelihara di tempat tugasnya yang baru yaitu di Pulau
Jawa, tepatnya di perkebunan yang berada di Jawa-Tengah. Tuan dan Nyonya
tersebut selalu menyebut Kambing Peliharaannya sebagai Kambing Asal
Etawah, dan selalu memperkenalkan kambingnya kepada masyarakat di Jawa
Tengah sebagai Kambing Etawah, dan masyarakat Jawa Tengah menyebutnya
dengan nama Kambing Etawa tanpa bunyi dari huruf H. Seiring berjalannya
waktu dan untuk menjaga populasi kambing jamnapari, maka kambing
jamnapari di kawinkan dengan kambing-kambing lokal.

Dan berkembang biak sampai sekarang yang lebih kita kenal dengan
sebutan Peranakan Etawa ( PE ) Susu kambing peranakan etawa inilah yang
sekarang ini sedang ramai untuk dicari orang. Kandungan dan manfaat susu
kambing etawa sangatlah banyak. inilah yang menjadikan orang beramai-ramai
memburu susu kambing etawa. Demikian kiranya sejarah atau asal usul
kambing peranakan etawa. Semoga dapat menambah wawasan dan lebih yakin
lagi untuk dapat menkonsumsi susu kambing etawa ini .

C. Perkembangan Kerbau Perah di Indonesia

Menurut sejarah perkembangan domestikasi, moyang dari kerbau


(Bubalus bubalus) adalah kerbau liar di Asia. Ditemukan dua tipe utama kerbau,
yaitu kerbau lumpur dan kerbau sungai atas dasar perbedaan fenotipe, karyotipe
dan mitokondria DNA (Tanaka et al, 1996 dalam FAO, 2007). Kerbau sungai
penghasil utama susu hidup subkontinen India, Timur Tengah dansekitamya, dan
Eropa Timur; sedangkan kerbau lumpur yang berperan penting sebagai tenaga
kerja pada budidaya padi berdiam diChina dan negara-negara di Asia tenggara.
Kedua tipe kerbau ini merupakan hasil hibridisasi di bagian timur laut
India. Kerbau tersebut mungkin didomestikasi terpisah, dengan kemungkinan
pusat domestikasi kerbau sungai terjadi di Lembah Indus dan atau Lembah Efrat
dan Lembah Tigris pada 5000 tahun yang lalu; sedangkan kerbau lumpur
didomestikasi di China sekitar 4000 tahun yang lalu bersamaan dengan
munculnya budidaya padi.
Asal kerbau di Indonesia diduga telah lama dibawa ke Jawa, yaitu pada
saat perpindahan nenek moyang kita dari India Belakang ke Jawa pada tahun
1.000 SM (Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut pengembangan dan
penyebaran kerbau dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan
memperhatikan kerbau dan daya adaptasinya. Sebagian besar kerbau di Indonesia
adalah tipe kerbau lumpur, namun telah muncul berbagai spesifikasi mengikuti
agroekosistem yang membentuknya (SIREGAR et al, 1997)
Di Indonesia lebih banyak terdapat kerbau Lumpur dan hanya sedikit
terdapat kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara
oleh masyarakat keturuan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Populasi
ternak kerbau di dunia diperkirakan sebanyak 130150 juta ekor, sekitar 95%
berada di belahan Asia selatan, khususnya di India, Pakistan, China bagian selatan
dan Thailand (SONI, 1986).

Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia.


Hanya sedikit sekali kerbau lumpur yang dimanfaatkan air susunya, karena
produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 11,5 l/hari, dibandingkan dengan
tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 67 l/hari. Namun
demikian, di beberapa daerah, susu kerbau lumpur telah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat.
Di Pulau Sumatera banyak ditemukan ternak kerbau mulai dari dataran
rendah sampai dengan dataran tinggi. Disamping itu ditemukan juga di daerah
rawa, namun masih termasuk dalam bangsa kerbau lumpur. Potensi pakan yang
cukup banyak tersedia menjadikan ternak kerbau sebagai komoditas unggulan di
sebagian besar daerah di Pulau Sumatera.
Usaha ternak kerbau merupakan usaha peternakan rakyat yang dipelihara
sebagai usaha sampingan, menggunakan tenaga kerja keluarga dengan skala usaha
yang kecil karena kekurangan modal. Disamping itu sebagian peternaknya adalah
penggaduh dengan sistem bagi hasil dari anak yang lahir setiap tahunnya.
Pemeliharaan ternak umumnya bergantung pada ketersediaan rumput alam.
Siang hari peternak menggiring ternak ke tempat penggembalaan dan
malam hari dibawa ke dekat pemukiman dan biasanya tanpa kandang, ternak
hanya diikat di belakang rumah petani, dan belum biasa memberikan pakan
tambahan.
Selain produksi dagingnya, kerbau juga sebagai penghasil susu yang
diolah dan dijual petani dalam bentuk dadih di Sumatera Barat serta gula puan,
sagon puan dan minyak samin di Sumatera Selatan. Secara umum produktivitas
susu masih rendah yaitu sekitar 12 liter/ekor/hari. Dibandingkan dengan ternak
sapi, ternak kerbau agak kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan.
Konsekuensinya, produktivitas ternak relatif rendah, bahkan populasi ternak
kerbau di Sumatera hanya sedikit meningkat, walaupun masih jauh lebih tinggi
dari rataan nasional.
Di Indonesia kerbau telah berkembang sejak dahulu. Dimana telah tersebar
di seluruh Indonesia termasuk Sulawesi. Kerbau yang berasal di Indonesia
didominasi oleh kerbau lumpur dengan jumlah populasi sekitar 2 juta ekor dan
kerbau perah terdapat 5 ribu ekor.
Di Indonesia, kerbau sebagai ternak perah sudah cukup lama dikenal oleh
masyarakat Aceh, Tapanuli Utara, Palembang, Sulawesi dan Timor. Bila
dibandingkan dengan susu sapi, susu kerbau hasil pemerahan, tidak banyak
mengandung air tetapi lebih banyak mengandung bahan padat, lemak, laktosa dan
protein. Kandungan lemak pada susu kerbau adalah 50%, jadi lebih banyak
dibandingka susu sapi. Begitu juga halnya dengan kandungan protein. Di
Indonesia, umumnya susu kerbau tidak dikonsumsi langsung dalam keadaan
segar, tetapi diolah untuk berbagai keperluan. Di Aceh, susu kerbau dibuat
mentega dan minyak samin, sedangkan d Sumatera baratdibuat dadih.
Konsumen susu kerbau memang masih terbatas, namun peluang
pengembangbiakan produk olahan dari susu kerbau cukup besar karena kerbau
memiliki kadar lemak tinggi. Bibit kerbau penghasil susu cukup tersedia dan
dapat diimpor dalam bentuk semen atau embrio, sedang teknologinya telah
dikuasai.

Anda mungkin juga menyukai