Anda di halaman 1dari 16

KARYA ILMIAH

POLA PEMULIABIAKAN UNTUK MENINGKATKAN MUTU


GENETIK DAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI INDONESIA

OLEH :
RADEN MAS ABADI
11/320254/PT/06206

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari


kelompok ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga
usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang
menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian
masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah
tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola
usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk
menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara
terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan.
Pemeliharaan sapi potong dengan pola seperti ini diharapkan pula
dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kini
belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus
meningkat. Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan
peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya
untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan. Tulisan ini
bertujuan untuk mengulas usaha ternak sapi potong pola
pemuliabiakan dengan meningkatkan mutu genetik. Untuk mencapai
efisiensi usaha yang tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara
terintegrasi dari hulu hingga hilir.

1.1 Latar Belakang


Sampai saat ini, usaha beternak sapi potong untuk mensuplai
kebutuhan daging sapi di Indonesia masih didominasi oleh peternak
rakyat berskala kecil dengan jumlah kepemilikan antara dua sampai
empat ekor per peternak. Karena menggunakan cara – cara
manajemen yang sangat sederhana, peningkatan produktivitas ternak
sapi berjalan kurang cepat. Bahkan sejak krisis moneter melanda
Indonesia tahun 1997, populasi ternak sapi lokal cenderung menurun
baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penurunan ini terjadi pada
semua jenis/bangsa sapi lokal dan di semua propinsi di seluruh
Indonesia.
Untuk mengembalikan jumlah populasi ternak sapi potong pada
kondisi semula (sebelum krisis) atau bahkan meningkatkannya, upaya
peningkatan produktivitas sapi potong yang dibarengi dengan
peningkatan mutu genetik berbasis ilmu pengetahuan & teknologi
perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan peternak dari hasil
usaha peternakannya. Iptek yang diharapkan mampu mendukung
upaya peningkatan usaha sapi potong adalah program pemuliaan
ternak sapi (secara konvensional dan pendekatan teknologi
molekuler) yang mencakup pelestarian & pembibitan sapi lokal agar
keberadaan sapi tersebut dapat dipertahankan; dan program
persilangan antar bangsa sapi untuk mendapatkan produktivitas
ternak yang lebih baik dibandingkan dengan produktivitas ternak sapi
murni.
Mengingat potensi alam dan adanya tradisi beternak sebagai
salah satu usaha kegiatan masyarakat di Indonesia khususnya di
wilayah pedesaan, masih mungkin dikembangkan dan dioptimalkan,
pola pemuliabiakan ternak sapi potong ini dalam rangka peningkatan
produktivitas dan mutu genetik ternak diusulkan untuk dapat
direalisasikan dengan hasil akhir yang diharapkan meliputi:
1. Terbentuknya sistem pelestarian dan peningkatan kualitas sapi
lokal di Indonesia
2. Terbentuknya kawasan uji penampilan ternak sapi dikelola
secara profesional berbasis sumber daya lokal.
3. Peningkatan pendapatan peternak dari hasil usahanya seiring
dengan peningkatan populasi ternak di Indonesia.
4. Mampu memanfaatkan limbah kebun dan pabrik sebagai
sumber pakan melalui pemeliharaan sapi secara terintegrasi
pada kawasan perkebunan atau areal tanaman pangan.
1.2. Batasan Masalah
Masalah utama yang dihadapi oleh para peternak ternak
potong di Indonesia adalah pembibitan yang meliputi
ketidakmampuan peternak untuk mempertahankan ternak yang
terbaik yang dimiliki, kesulitan kesinambungan pengadaan bibit dan
kesulitan melakukan seleksi untuk meningkatkan atau minimal
mempertahankan kualitas yang telah dimiliki ternak. Didalam
pembuatan karya tulis ini penulis akan membahas mengenai peran
pemerintah dalam pengadaan bibit, usaha mempertahankan kualitas
ternak terbaik, usaha memperbaiki kualitas bibit, pola integrasi sapi –
tanaman, sistem agribisnis dan kemitraan sapi potong. Penulis akan
membahas mengenai beberapa masalah, yaitu :
1. Peranan pemerintah dalam pengadaan bibit di seluruh wilayah
Indonesia untuk mendukung pemuliabiakan ternak dengan
peningkatan produktivitas.
2. Usaha yang dilakukan dalam mempertahankan kualitas ternak
terbaik yang dapat dijadikan indukan unggul.
3. Populasi dan produktivitas sapi potong di Indonesia.
4. Pengembangan pola sistem integrasi tanaman – ternak (sapi).
5. Peluang pengembangan sapi potong di Indonesia.

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang yang menjadi alasan penulis
membuat karya ilmiah ini, penulis membuat karya ilmiah ini dengan
tujuan untuk :
a. Memberi tahukan kepada pembaca tentang upaya
meningkatkan mutu genetik dan produktivitas sapi potong di
indonesia.
b. Dapat mengajak pembaca untuk mengurangi kebiasaan
memperjualkan indukan dengan kualitas terbaik yang dapat
meningkatkan produktivitas ternak di suatu wilayah ataupun
negara.
c. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Ilmu Pemuliaan Ternak.

1.4 Metode Penelitian


Dalam membuat karya ilmiah ini, penulis mengunakan metode
studi pustaka. Penulis mempelajari beberapa jurnal referensi yang
sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas dalam karya ilmiah
ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan pemerintah dalam pengadaan bibit


Pengalaman dari waktu yang lalu, dalam usaha perbaikan genetik
maupun peningkatan populasi sapi potong di Indonesia selalu terjadi
kaitan antara peternak dengan Dinas Peternakan . Perbaikan genetik
sapi potong telah dimulai sejak tahun 1890, yaitu saat pertama kali
dimasukkannya jenis-jenis sapi zebu dari India. Pada saat saat awal
pemasukan sapi zebu ini ditangani oleh swasta. Tetapi karena
kemajuan yang dicapai sangat lambat, maka pemerintah mengambil
alih pemasukan sapi zebu tersebut mulai tahun 1906 - 1920 sekaligus
dengan menangani penyebarannya dengan target Ongolisasi (grading
up sapi Jawa ke arah Ongole) dan hasilnya adalah yang kita kenal
sekarang sebagai Peranakan Ongole (PO).
Ada beberapa hal menarik yang dijalankan pemerintah sehingga
Ongolisasi sapi Jawa dapat berjalan dengan berhasil. 1) Pemerintah
mengirimkan ahli-ahli pemuliaan ke daerah sumber bibit (India) untuk
memilih secara langsung bibit yang akan diimpor. 2) Mendirikan
stasiun-stasiun ternak (taman ternak) untuk memberikan tempat bagi
ternak impor beradaptasi dengan lingkungan setempat sebelum
dilepaskan sebagian kepada peternak, sedangkan sebagian lainnya
dikembangbiakkan di stasiun tersebut. 3) Menyebarkan pejantan-
pejantan unggul kepada peternak secara langsung melalui
pemerintahan, desa sebagai pejantan milik desa dengan imbalan
insentif setiap kali kawin dan keharusan kastrasi bagi
pejantanpejantan lokal. 4) Pengontrolan penyakit hewan dengan
penyebaran Mantri-mantri Hewan, Ajun Dokter Hewan dan Dokter
Hewan yang sekaligus juga berfungsi sebagai penyuluh. 5)
Pengawasan pasar hewan yang ketat. Bersamaan dengan Ongolisasi,
pemerintah juga menyebarkan sapi ke daerah-daerah yang belum
atau sedikit memiliki ternak sapi dengan mendirikan juga stasiun-
stasiun ternak lokal sebagai lokasi adaptasi ternak yang kemudian
juga merupakan sumber bibit yang terbaik bagi daerah-daerah baru
tersebut . Dengan cara ini tercatat bahwa Bali, Timor, Lombok dan
Sulawesi Selatan muncul sebagai sumber bibit sapi Bali murni dan
Pulau Sumba sebagai sumber bibit sapi Ongole murni, sedangkan
Pulau Madura tetap terpelihara sebagai sumber bibit sapi Madura
murni.
Dampak pelaksanaan IB dengan intensitas yang makin tinggi
dari hari ke hari memberikan warna baru bagi pengembangan
peternakan sapi potong, khususnya bagi penghasilan peternak,
karena harga jual pedet hasil persilangan (khususnya dengan sapi-
sapi Eropa) bernilai dua kali lipat harga sapi lokal. Yang menjadi
pertanyaan adalah, apakah harga jual yang tinggi itu akan tetap dapat
dipertahankan bilamana pedet komersial tersebut telah merata di
Jawa dengan orientasi pasar yang seperti sekarang, yakni
menitikberatkan pada bobot badan. Evaluasi mengenai keberhasilan
dalam usaha meningkatkan kualitas ternak yang telah dilakukan pada
masa lampau harus terus dilakukan agar usaha yang telah susah
payah dilakukan tersebut tidak menjadi sia-sia pada masa sekarang .

B. Usaha yang dilakukan dalam mempertahankan kualitas ternak


terbaik
Kesulitan peternak untuk mempertahankan sapi terbaik yang
dimiliki terbentur pada kebutuhan uang tunai yang mendesak,
sedangkan pedet jantan mempunyai harga jual yang lebih menarik
daripada yang betina, sehingga umumnya peternak tidak
mempertahankan pedet jantannya. Dengan adanya kawin suntik yang
menjamin semen yang digunakan pasti berasal dari pejantan unggul,
maka perhatian peternak dapat dipusatkan pada induk dan pedet-
pedetnya. Karena nilai ekonomis pedet berada pada bobot badannya
dan induk pada reproduktivitas dan kemampuan kerjanya, maka
ukuran yang diprioritaskan untuk diukur adalah bobot badan.
Bilamana tidak terdapat timbangan maka dapat dipilih lingkar dada
dan tinggi pundak sebagai sarana untuk memperhitungkan bobot
badan ternak.
Untuk mempertahankan kualitas sapi-sapi bibit pada lokasi
sumber bibit tersebut, maka pengawasan pasar yang ketat
diberlakukan, artinya sapi-sapi yang terbaik tidak pernah lolos ke luar
dari lokasi sumber bibit. Mulai tahun 1970-an pemerintah mulai
mengadakan lagi perbaikan genetik sapi-sapi lokal dengan
menggunakan pejantan-pejantan lokal unggul clan juga dengan
memasukkan darah-darah baru baik darah sapi Eropa, India maupun
bangsa baru hasil persilangan antara keduanya. Demikian pula
penyebaran ternak ke daerah-daerah yang membutuhkan juga
ditingkatkan intensitasnya untuk mempercepat peningkatan populasi .
Hasilnya mulai nampak sekarang dengan munculnya daerah-daerah
kantong ternak baru seperti beberapa lokasi transmigrasi lama di
Sumatera clan daerah-daerah lainnya. Dengan bantuan kawin suntik
maka terbukalah kemudahan untuk menyilangkan sapi-sapi lokal
dengan bangsa sapi yang secara alamiah sulit dilakukan sehingga
munculah lokasi-lokasi tertentu yang bebas untuk melakukan
persilangan dan lokasi-lokasi khusus untuk bangsa murni.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
kualitas induk yang dilakukan sendiri oleh peternak dengan
pengawasan penyuluh adalah:
1 . Minimal 10 peternak bergabung untuk membentuk kelompok
bilamana pada wilayah tersebut belum terdapat kelompok peternak.
2. Semua induk yang dimiliki dinilai dan indukinduk yang bebas dari
cacat-cacat genetik dan tidak pernah melahirkan anak cacat serta
mempunyai ukuran terbaik di atas rata-rata kelompok sebanyak 25%
dari padanya dijadikan induk-induk terpilih yang diprioritaskan untuk
dipertahankan oleh kelompok.
3. Bilamana pemilik induk terpilih karena sesuatu sebab harus menjual
induk tersebut, maka kelompok akan membelinya dan kemudian
menyerahkan kembali kepada pemiliknya dengan menerapkan sistem
bagi hasil yang sesuai dengan lingkungan. Mekanisme yang sama
berlaku pula bagi pedet - pedet terbaik untuk calon induk .
4. Untuk menjamin tersedianya uang tunai milik kelompok maka dapat
dirembukkan jumlah minimal angsuran bulanan dan potongan dalam
jumlah tertentu pada setiap penjualan. Pembagian keuntungan
dilakukan setahun sekali. Apabila produk sapi potong ini ditargetkan
untuk menembus pasar yang mementingkan kualitas, maka
keterlibatan instansi - instansi, perusahaan - perusahaan terkait serta
para peternak harus ditata lebih profesional agar produk yang
dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditentukan konsumen/pasar.

C. Populasi dan produktivitas sapi potong di Indonesia.


Kuantitas dan kualitas produktivitas sapi potong ditentukan oleh
faktor genetik dan faktor lingkungan serta interaksi antara keduanya.
Faktor genetik sapi menentukan kemampuan yang dimiliki oleh sapi
tersebut sedangkan faktor lingkungan memberi kesempatan kepada
sapi untuk menampilkan kemampuannya. Seekor sapi tidak akan
menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh
lingkungan yang baik pada tempat sapi tersebut dipelihara, sebaliknya
lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan, apabila sapi tidak
memiliki mutu genetik yang baik pula.
Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen yang terdapat di
dalam kromosom dan dalam suatu bangsa sapi potong memiliki
jumlah kromosom dan pasangan gen yang sama tetapi memiliki gen
yang berbeda. Hal ini menyebabkan kemampuan sapi dalam produksi
dan reproduksi juga berbeda sehingga mengakibatkan adanya
keragaman pada produktivitasnya. Keragaman ini pada pemuliaan
ternak diperlukan untuk melakukan seleksi.
Produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan melalui perbaikan
mutu genetik dan lingkungan, di dalam aplikasinya dilakukan melalui
program pemuliaan. Pemuliaan sapi potong yaitu suatu usaha untuk
meningkatkan rata-rata produksi sapi melalui perbaikan mutu genetik
dalam populasi dengan cara seleksi dan pengaturan perkawinan.
Walaupun produksi sapi potong dapat ditingkatkan melalui perbaikan
lingkungan, tetapi dampaknya bersifat sementara. Hal ini berbeda
dengan perbaikan mutu genetik yang bersifat permanen dan
diwariskan. Seleksi pada sapi potong dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu seleksi alam dan buatan. Seleksi buatan atau artifisial
adalah tindakan untuk memilih sapi potong yang dianggap baik
sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan dan menyingkirkan sapi
potong yang dianggap tidak baik sehingga tidak menghasilkan
keturunan. Seleksi alam adalah seleksi yang terjadi di alam akibat
faktor-faktor yang menekan kehidupan sapi potong tersebut, sehingga
hanya sapi-sapi yang tahan terhadap alam dapat melanjutkan
kehidupannya.
Seleksi pada sapi potong ditujukan pada sifat-sifat yang
mempunyai nilai ekonomis dan disebut sebagai sifat-sifat kuantitatif.
Sifat kuantitatif banyak dipengaruhi pasangan gen dan lingkungan
sehingga fenotipnya beragam, berbeda dengan sifat kualitatif yang
dipengaruhi sedikit pasang gen dan tidak dipengaruhi lingkungan.
Keberhasilan seleksi dalam pemuliaan ternak ditentukan oleh
kemampuan memanfaatkan keragaman genetik, tetapi dalam praktek
yang diamati atau diukur adalah keragaman fenotipnya. Berbagai
metode untuk mengurangi pengaruh lingkungan sudah diterapkan
dalam pelaksanaan seleksi pada pemuliaan sapi potong. Seleksi
pertumbuhan pada sapi potong dilakukan dengan memperhitungkan
faktor koreksi berat sapih umur 205 hari dan berat umur satu tahun.
Dalam pelaksanaan seleksi, penggunaan faktor koreksi merupakan
cara yang paling sederhana sebagai upaya menghilangkan pengaruh
lingkungan. Selanjutnya dengan berkembangnya biometrika, genetika
dan alat-alat kompilasi yang lebih baik, maka berkembang pula model
genetik dan teknik analisis yang lebih baik untuk memisahkan
pengaruh genetik dan lingkungan serta estimasi terhadap pengaruh
tersebut. Komponen ragam dan peragam genetik serta non genetik
dapat dianalisis dengan analisis ragam untuk mengestimasikan
beberapa parameter genetik.
Parameter genetik diperlukan dalam perencanaan seleksi agar
diperoleh hasil seleksi yang optimal. Peningkatan produktivitas sapi
potong dengan cara seleksi untuk perbaikan mutu genetik merupakan
suatu kegiatan jangka panjang dan memerlukan biaya besar, tetapi
hasilnya bersifat kumulatif dan dapat diwariskan. Oleh karena itu,
peningkatan produktivitas sapi potong dengan program pemuliaan
memerlukan campur tangan pemerintah. Peningkatan produktivitas
akibat seleksi dikenal dengan kemajuan genetik atau respon seleksi
dan besarnya tergantung pada keragaman genetik, jumlah sapi
potong yang tersedia untuk dipilih, dan metode seleksi yang
digunakan serta sistem perkawinannya.

D. Pengembangan pola sistem integrasi tanaman – ternak (sapi).


Pengembangan sistem integrasi tanaman ternak (sapi) bertujuan
untuk: 1) mendukung upaya peningkatan kandungan bahan organik
lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang memadai, 2)
mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3) mendukung
upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4)
meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. Melalui
kegiatan ini, produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik
sehingga akan meningkatkan pendapatan petani-peternak. Integrasi
ternak dengan tanaman kelapa sawit memberikan efek saling
menguntungkan (complementary), yakni hijauan pada perkebunan
kelapa sawit dapat dikonsumsi ternak untuk selanjutnya diubah
menjadi daging, sementara pihak perkebunan dapat menghemat
biaya penyiangan gulma sebesar 25−50% dan produksi buah sawit
meningkat 16,70%. Integrasi sapi dan kelapa sawit sudah
berkembang di beberapa daerah di Indonesia.
Model integrasi tanaman-ternak dapat mengatasi masalah
ketersediaan pakan. Ternak dapat memanfaatkan limbah tanaman
seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang - kacangan, dan
limbah pertanian lainnya, terutama pada musim kemarau. Limbah
pertanian dapat menyediakan pakan 33,30% dari total rumput yang
dibutuhkan. Pemanfaatan limbah pertanian, selain mampu
meningkatkan “ketahanan pakan” terutama pada musim kemarau,
juga dapat menghemat tenaga kerja untuk menyediakan pakan
(rumput), sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan
jumlah ternak yang dipelihara.

E. Peluang pengembangan sapi potong di Indonesia


Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan
salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable)
dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika
ekonomi. Terdapat beberapa pertimbangan perlunya
mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi
potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga
kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan
teknologi yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong memiliki nilai
elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat
membuka lapangan pekerjaan.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang
banyak dibutuhkan konsumen, dan sampai saat ini Indonesia belum
mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih harus
diimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk
pengembangan usaha budi daya ternak, terutama sapi potong.
Indonesia memiliki tiga pola pengembangan sapi potong. Pola
pertama adalah pengembangan sapi potong yang tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan usaha pertanian, terutama sawah dan
ladang. Pola kedua adalah pengembangan sapi tidak terkait dengan
pengembangan usaha pertanian. Pola ketiga adalah pengembangan
usaha penggemukan (fattening) sebagai usaha padat modal dan
berskala besar, meskipun kegiatan masih terbatas pada pembesaran
sapi bakalan menjadi sapi siap potong. Upaya pengembangan sapi
potong telah lama dilakukan oleh pemerintah. Dalam upaya
pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan,
yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong
secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi
ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit,
penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha,
bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan
pemasaran. Penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-peternak
dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi
usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik
yang baik. Zooteknik tersebut termasuk sapta usaha beternak sapi
potong, yang meliputi penggunaan bibit unggul, perkandangan yang
sehat, penyediaan dan pemberian pakan yang cukup nutrien,
pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi,
pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik.
Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, terdapat
beberapa saran sebagai berikut: 1) perlunya perlindungan dari
pemerintah daerah terhadap wilayah-wilayah kantong ternak,
terutama dukungan kebijakan tentang tata ruang ternak serta
pengawasan terhadap alih fungsi lahan pertanian yang berfungsi
sebagai penyangga budi daya ternak, 2) pengembangan teknologi
pakan terutama pada wilayah padat ternak, antara lain dengan
memanfaatkan limbah industri dan perkebunan, dan 3) untuk menjaga
sumber plasma nutfah sapi potong, perlu adanya kebijakan impor bibit
atau sapi bakalan agar tidak terjadi pengurasan terhadap ternak lokal
dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging dalam negeri.
Upaya pengembangan sapi potong perlu memperhatikan
beberapa hal, antara lain: 1) daging sapi harus dapat dikonsumsi oleh
masyarakat dengan harga yang terjangkau, 2) peternakan sapi potong
di dalam negeri (peternakan rakyat) secara finansial harus
menguntungkan sehingga dapat memperbaiki kehidupan peternak
sekaligus merangsang peningkatan produksi yang
berkesinambungan, dan 3) usaha ternak sapi potong harus
memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi
agribisnis dengan pola kemitraan diharapkan dapat memberikan
sumbangan yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat peternak
khususnya, dan perekonomian nasional umumnya. Hal ini ditunjukkan
oleh manfaat ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan ini yang bernilai
positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong
dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Peternak sapi potong umumnya adalah peternak tradisional
sederhana yang hanya memelihara dua sampai empat unit ternak per
peternak . Ketidakmampuan mempertahankan ternak berkualitas baik
oleh peternak selalu menimbulkan masalah serius dalam
mempertahankan mutu genetik sapi. Peningkatan kualitas sapi potong
dilakukan dengan memasukkan sumber genetik baru baik darah zebu
maupun Eropa dan pejantan unggul sapi lokal sedangkan peningkatan
populasi dilakukan dengan penyebaran ternak ke lokasi-lokasi baru
dan disertai dengan pengontrolan terhadap penyakit. Usaha
peningkatan kualitas bibit khususnya induk seharusnya dapat
diterapkan oleh peternak melalui kelompok-kelompok peternak di
bawah pengawasan dan bimbingan penyuluh . Untuk ikut berperan
dalam pasar yang mementingkan kualitas, maka keterlibatan
perusahaan terkait sudah dibutuhkan sejak kegiatan awal dimulai
Perbaikan reproduksi dilakukan dengan IB dan penyapihan dini
pedet untuk mempersingkat jarak beranak. Untuk memperbaiki mutu
genetik, sapi bakalan betina diupayakan tidak keluar dari daerah
pengembangan untuk selanjutnya dijadikan induk melalui grading up.
Peningkatan minat dan motivasi peternak sapi potong untuk
mengembangkan usahanya dapat diupayakan melalui pemberian
insentif dalam berproduksi.

Anda mungkin juga menyukai