Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pembangunan peternakan merupakan rangkaian kegiatan yang

berkesinambungan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat petani

khususnya masyarakat petani peternak agar mampu melaksanakan usaha produktif

dibidang peternakan secara mandiri. Usaha tersebut dilaksanakan bersama oleh

petani peternak, pelaku usaha dan pemerintah sebagai fasilitator yang mengarah

kepada berkembangnya usaha peternakan yang efisien dan memberi manfaat bagi

petani peternak.

Perkembangan peternakan sapi potong di Indonesia yang lebih mengarah

kepada segi komersial semakin tampak, bahkan sistem penggemukan semakin

modern telah terpacu oleh tuntutan pedaging yang bersifat kuatitatif dan kualitatif.

Keadaan itu merupakan dampak positif dari meningkatanya pendidikan dan

pendapatan masyarakat serta semakin bertambah banyaknya konsumen selektif.

Faktor penunjang lainnya yaitu semakin digalakkkannya subsektor kepariwisataan

yang memang pada kenyataannya telah menuntun ketersediaan daging berkualitas

tinggi. Tidak mengherankan apabila sampai saat ini sapi yang di gemukkan di

Indonesia lebih banyak berasal dari impor karena sumber bakalan sapi Indonesia

yang semakin berkurang (Santoso, 2006).

Pembangunan peternakan sapi potong ini tidak terlepas dari

pengembangan kawasan pedesaan. lahan, potensi tenaga kerja, dan basis ekonomi

lokal pedesaan menjadi faktor utama pengembangan peternakan. Namun,

1
peternakan tidak saja bertumpu di desa tetapi juga diperlukan integrasi dengan

kawasan dan dukungan sarana serta prasarana yang lebih luas. Struktur

perekonomian wilayah merupakan faktor dasar yang membedakan suatu wilayah

dengan wilayah lainnya, perbedaan tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi

dan potensi suatu wilayah dari segi fisik lingkungan, sosial ekonomi dan

kelembagaan. Untuk memajukan peternakan pada rakyat yang perlu diperhatikan

tidak hanya sebatas pemelihaan, namun diperlukan interaksi antara peternak

lainnya misalnya dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang).

Hal inilah yang melatar belakangi dilaksanakannya praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi

Selatan.

I.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dilaksanakannya praktek lapang perencanaan pembangunan

peternakan di Desa Pajukukang Kabupaten Bantaeng adalah agar dapat

mengetahui potensi pengembangan sapi potong, karena potensi tersebutlah yang

menjadi tolak ukur dalam membuat perencanaan yang digunakan untuk

pengembangan peternakan sapi potong kedepannya.

Tujuan dilaksanakannya praktek lapang perencanaan pembangunan

peternakan di Desa Pajukukang Kabupaten Bantaeng adalah untuk mengetahui

potensi pengembangan sapi potong, karena potensi tersebutlah yang menjadi tolak

ukur dalam membuat perencanaan yang digunakan untuk pengembangan

peternakan sapi potong kedepannya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum Peternakan Sapi Potong

Sapi potong merupakan komoditas subsektor peternakan yang sangat potensial.

Hal ini bisa dilihat dari tingginya permintaan akan daging sapi. Namun, sejauh ini

Indonesia belum mampu menyuplai semua kebutuhan daging tersebut.

Akibatnya, pemerintah terpaksa membuka kran inpor sapi hidup maupun daging

sapi dari negara lain, misalnya Australia dan Selandia Baru. Usaha peternakan

sapi potong pada saat ini masih tetap menguntungkan. Pasalnya, permintaan pasar

akan daging sapi masih terus memperlihatkan adanya peningkatan. Selain dipasar

domestik, permintaan daging di pasar luar negeri juga cukup tinggi (Rianto dan

Purbowati, 2009).

Ternak sapi potong di Indonesia memiliki arti yang sangat strategis, terutama

dikaitkan dengan fungsinya sebagai penghasil daging, tenaga kerja, penghasil

pupuk kandang, tabungan, atau sumber rekreasi. Arti yang lebih utamanya adalah

sebagai komoditas sumber pangan hewani yang bertujuan untuk mensejahterakan

manusia, memenuhi kebutuhan selera konsumen dalam rangka meningkatkan

kualitas hidup, dan mencerdaskan masyarakat (Santosa dan Yogaswara, 2006).

Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional

dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika

dilakukan secara besar dan modern, dengan skala usaha kecil pun akan

mendapatkan keuntungan yang baik jika dilakukan dengan prinsip budidaya

dengan prinsip K-3 (Kuantitas, Kualitas dan Kesehatan) membantu budidaya

3
penggemukan sapi potong baik untuk skala usaha besar maupun kecil (Santosa,

2008).

Penggemukan sapi potong adalah pemeliharaan sapi dewasa dalam

keadaan kurus untuk ditingkatkan berat badannya melalui pembesaran daging

dalam waktu relatif singkat (3-5 bulan). Beberapa hal yang berkaitan dengan

usaha penggemukan sapi potong adalah (Soeprapto dan Zainal, 2006) :

1. Jenis-jenis Sapi Potong.

Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha

penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

a. Sapi Bali.

Cirinya berwarna merah dengan warna putih pada kaki dari lutut ke bawah dan

pada pantat, punggungnya bergaris warna hitam (garis belut). Keunggulan sapi ini

dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru.

b. Sapi Ongole.

Cirinya berwarna putih dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh,

bergelambir dan berpunuk, dan daya adaptasinya baik. Jenis ini telah disilangkan

dengan sapi Madura, keturunannya disebut Peranakan Ongole (PO) cirinya sama

dengan sapi Ongole tetapi kemampuan produksinya lebih rendah.

c. Sapi Brahman.

Cirinya berwarna coklat hingga coklat tua, dengan warna putih pada bagian

kepala. Daya pertumbuhannya cepat, sehingga menjadi primadona sapi potong di

Indonesia.

4
d. Sapi Madura.

Mempunyai ciri berpunuk, berwarna kuning hingga merah bata, terkadang

terdapat warna putih pada moncong, ekor dan kaki bawah. Jenis sapi ini

mempunyai daya pertambahan berat badan rendah.

e. Sapi Limousin.

Mempunyai ciri berwarna hitam bervariasi dengan warna merah bata dan putih,

terdapat warna putih pada moncong kepalanya, tubuh berukuran besar dan

mempunyai tingkat produksi yang baik

2. Pemilihan Bakalan.

Bakalan merupakan faktor yang penting, karena sangat menentukan hasil

akhir usaha penggemukan. Pemilihan bakalan memerlukan ketelitian, kejelian dan

pengalaman. Ciri-ciri bakalan yang baik adalah :

Berumur di atas 2,5 tahun.

Jenis kelamin jantan.

Bentuk tubuh panjang, bulat dan lebar, panjang minimal 170 cm tinggi

pundak minimal 135 cm, lingkar dada 133 cm.

Tubuh kurus, tulang menonjol, tetapi tetap sehat (kurus karena kurang

pakan, bukan karena sakit).

Pandangan mata bersinar cerah dan bulu halus.

Kotoran normal

II.2 Potensi Pengembangan Sapi Potong

5
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat beriringan dengan

meningkatnya kebutuhan protein hewani. Upaya yang dilakukan oleh bidang sub

sektor peternakan adalah meningkatkan sumber daya yang menghasilkan protein

hewani semaksimal mungkin. Salah satu jenis ternak yang potensial dan

mempunyai prospek untuk dapat mengimbangi kesejateraan protein asal ternak

adalah ternak sapi. Permintaan ternak sapi yang meningkat setiap tahunnya

sebagai hewan kurban pada hari raya Idul Adha, membuat ternak sapi memiliki

kedudukan yang sangat penting dalam lingkungan masyarakat (Putra, 2017).

Mengingat bahwa usaha peternakan sapi potong merupakan kegiatan

usaha yang berpeluang untuk mendatangkan investor, maka perlu segera

dilakukan pembenahan dan penyatuan pemahaman masyarakat dan pihak-pihak

yang berkecimpung dalam dunia peternakan terhadap arti, fungsi dan manfaat dari

adanya kegiatan usaha beternak. Perbaikan tersebut secara keseluruhan, baik

terhadap motivasi beternak, manajemen usaha, pola kemitraan dan lain

sebagainya agar hal ini dapat mendukung keberhasilan usaha beternak khususnya

peternakan sapi potong. Tingkat preferensi konsumen terhadap ternak sapi potong

pedaging, relatif tinggi sehingga peluang pasar sangat prospektif (Rusdin, 2009).

Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok

ternak ruminasia terhadap kebutuhan daging nasional sehingga usaha ternak ini

berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Ternak sapi

potong telah dipelihara sejak lama oleh masyarakat sebagai tabungan dan tenaga

kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen secara tradisioal. Usaha sapi

potong memiliki hubungan timbalbalik dengan usaha pertanian, karena usaha sapi

6
potong membutuhkan dan memanfaatkan sisa hasil pertanian antara lai berupa

pemanfaatan pupuk serta tenaga kerja (Kurniawan, 2012).

Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya

mencapai swasembada daging antara lain (Kariyasa, 2005) adalah:

a. Subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada

sektor pertanian

b. Rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus

bertambah

c. Tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan sentra

konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan

perekonomian regional dan

d. Mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan

maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan meningkatkan

ketersediaan dan aksesibilitas pangan.

II. 3 Masalah dalam Pengembangan Sapi Potong

Pengembangan sapi potong di suatu wilayah, secara umum harus

memperhatikan tiga faktor, yaitu pertimbangan teknis, sosial dan ekonomi.

Pertimbangan teknis mengarah pada kesesuaian pada sistem produksi yang

berkesinambungan, ditunjang oleh kemampuan manusia dan kondisi

agroekologis. Pertimbangan sosial mempunyai arti bahwa eksistensi ternak

disuatu daerah dapat diterima oleh sistem sosial masyarakat dalam arti tidak

menimbulkan konflik sosial. Sedangkan pertimbangan ekonomi mengandung arti

7
bahwa ternak yang dipelihara harus menghasilkan nilai tambah bagi

perekonomian daerah serta bagi pemeliharanya sendiri (Ridwan, 2006).

Permasalahan usaha sapi potong dikaitkan dengan permasalahan menurut

perspektif peternak sebagai pelaku utama usaha peternakan di Indonesia. Peternak

dengan segala tanggung jawab yang dimiliki menjadi tulang punggung

pengembangan usaha peternakan sapi potong di Indonesia. Beberapa fenomena

yang dapat diamati pada perilaku peternak sapi potong yang menyebabkan usaha

sapi potong sangat sulit ditingkatkan skala usahanya di level peternak adalah

(Baba, dkk., 2013)

Berbagai permasalahan pengembangan usaha sapi potong didalam negeri

diantaranya adalah pemotongan sapi betina produktif. Terjadinya pemotongan

sapi betina produktif selama ini penyebab utamanya adalah motif ekonomi bagi

pemiliknya yang rata-rata pendapatannya masih rendah dengan tingkat

kepemilikan sapi potong hanya rata-rata 2-3 ekor. Para peternak cenderung akan

menjual ternak mereka ketika menghadapipermasalahan finansial dengan

pertimbangan bahwa sapi potong merupakan assetyang paling mudah dijual tanpa

mempertimbangkan produktivitas ternak tersebut (Direktorat Jenderal Peternakan,

2013).

Di daerah-daerah sentra produksi pertanian, usaha pembibitan sapi potong

cenderung menurun. Ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama,

sebagian petani memlihara sapi sebagai ternak kerja untuk menarik bajak, garu

atau gerobak. Namun penggunaan tenaga ternak ini cenderung menurun sejalan

dengan makin tingginya intensitas tanam. Kedua, di sebagian besar daerah telah

8
ada sistem perkawinan dan teknologi IB. namun kegiatan ini belum sepenuhnya

berhasil. Ketiga, jumlah tenaga kerja keluarga peternak sangat terbatas (1-2 orang

dewasa) dan kemampuan peternak membayar tenaga kerja upahan sangat rendah.

Di samping itu usaha pemeliharaan ternak merupakan usaha sambilan di samping

usaha tani utama tanaman pangan. Hal ini menyebabkan kemampuan peternak

mencari pakan (terutama rumput sangat terbatas). Sehingga jumlah ternak yang

dipelihara juga terbatas, (Hadi dan Ilham, 2002).

Pengembangan ternak sapi membutuhkan lahan atau wilayah yang luas,

terutama untuk membangun usaha ternak yang ekonomis dengan skala usaha yang

besar. Ladang penggembalaan dimasa lalu kini sudah sebagian besar beralih

fungsi, sehingga lahan rerumputan untuk ternak semakin terbatas. Sementara

itu, para peternak masih belum dapat mengakses dengan baik pakan buatan baik

dari sudut finansial maupun secara fisik karena belum banyak tersedia secara

lokal. Untuk membangun industri peternakan secara terpadu mulai dari industri

pembibitan sampai pada industri pengolahan memerlukan lahan yang luas,

didukung oleh infrastruktur ekonomi yang mamadai. Lahan-lahan luas yang masih

dapat dijumpai diluar Jawa, belum dapat digunakan secara efektif karena

keterbatasan infrastruktur jalan, transportasi, listrik, air bersih,dan infrastruktur

ekonomi lainnya (Iskandar dan Nuhung, 2015).

II. 4 Peranan Masyarakat dalam Pengembangan Peternakan Sapi Potong

Sumber daya manusia (SDM) adalah kemampuan manusia baik potensial

maupun efektifitas yang dimiliki manusia yang terdiri atas kecerdasan spiritual,

kecerdasan berpikir, kecerdasan emosional dan keterampialan fisik Sumber daya

9
manusia yang berkualitas sangatlah dibutuhkan dalam rangka pengembangan

usaha ternak potong karena dia harus mampu merumuskan tujuan dan sasaran

yang akan dicari, menyusun langkah langkah untuk mencapai tujuan dalam

membuat keputusan. Yang dimaksud dengan sumber daya manusia berkualitas

adalah tangguh, mandiri kreatif dan dinamis (Gorda, 2004).

Dalam usaha peternakan sapi potong terdapat komponen-komponen

penting yang merupakan penunjang keberhasilan usaha. Salah satu komponen

penunjang tersebut adalah tenaga kerja. Pada usaha peternakan sapi potong

umumnya tenaga kerja yang digunakan hanya berasal dari keluarga. Ketersediaan

tenaga kerja dalam keluarga merupakan potensi yang cukup besar dalam kegiatan

usaha peternakan sapi potong. Karena dengan adanya tenaga kerja keluarga dapat

menghemat sejumlah biaya yang seharusnya dikeluarkan sebagai upah (Nora,

2009).

Dalam mengembangkan ternak sapi potong tentunya tidak terlepas dari

peranan kelompok tani ternak dalam mengupayakan ternaknya agar mendapat

nilai tambah serta efisien dalam pengelolaannya. Upaya yang perlu dikembangkan

dalam membina dan memantapkan kelompok peternak adalah memperkuat

kelembagaan ekonomi petani peternak di pedesaan. Untuk itu diperlukan

pendekatan yang efektif agar petani/peternak dapat memanfaatkan program

pembangunan yang ada, secara berkelanjutan, melalui penumbuhan rasa memiliki,

partisipasi dan pengembangan kreatifitas, disertai dukungan masyarakat lainnya

sehingga dapat berkembang dan dikembangkan oleh masyarakat tani disekitarnya

(Muslim, 2004).

10
Dalam paradigma pengelolaan peternakan berwawasan agribisnis

kerakyatan yang berdaya saing tersebut, kelompok peternak sebagai pelaku

usaha peternakan dapat berperan sebagai pionir dalam upaya peningkatan

produktifitas dan populasi ternak sapi, diversifikasi produk, pengembangan

kelembagaan dan peningkatan kinerja sistem usaha agribisnis berbasis

peternakan. Tentu saja dibutuhkan upaya sungguh-sungguh dan terencana di

dalam mengembangkan budidaya peternakan ini melalui suatu manajemen

budidaya ternak terpadu yang saling besinergi mulai hulu hingga hilir, baik pada

tahap pemilihan bibit, sistem beternak, teknologi pakan, pengaturan produksi

maupun metode pemasarannya. Lebih dari itu kelompok peternak harus mau

belajar dan memperbaiki metode budidaya ternak secara benar dan lebih baik lagi

(Muhsis, 2007).

Daging sapi sebagian besar dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat di

Desa, dari tahun daging sapi meningkat dari tahun ketahun, demikian impor terus

bertambah dengan laju yang semakin tinggi, kondisi demikian menuntut para

pemangku kepentingan menetapkan suatu strategi pengembangan peternakan sapi

potong nasional untuk mengurangi, dan secara bertahap mampu berswasembada

dalam penyediaan kebutuhan daging nasional. Masyarakat harus mengelola ternak

sapi dengan baik. Jangan peternak sapi hanya dilakukan dari kalangan orang kaya

saja, tapi masyarakat miskin pun harus menjadi ujung tombak beternak sapi

(Zubaidah, 2014).

11
II. 5 Recana Strategi dalam Pengembangan Sapi Potong

Pembangunan peternakan terutama pengembangan sapi potong perlu

dilakukan melalui pendekatan usaha yang berkelanjutan, modern, dan profesional

dengan memanfaatkan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi usaha.

Selain itu, pengembangan usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri

pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui

pola yang terintegrasi. Untuk memenuhi kecukupan pangan, terutama protein

hewani, pengembangan peternakan yang terintegrasi merupakan salah satu pilar

pembangunan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan pelestarian sumber daya

peternakan yang seimbang merupakan cetak biru (blue print) pengembangan

peternakan di masa mendatang (Mayulu, dkk., 2010).

Isu strategis pengembangan kawasan sapi potong secara nasional dapat

dikelompokkan ke dalam empat isu penting, yaitu (Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan, 2015) :

1) Impor sapi bakalan dan daging sapi masih cukup tinggi,

2) Luas dan produktivitas lahan sumber pakan cenderung menurun dan belum

terdapat kawasan yang jelas untuk pengembangan ternak sapi,

3) Produksi ternak sapi potong nasional sebagian besar masih berasal dari usaha

peternakan rakyat, dengan ciri-ciri: skala pemeliharaan kecil (2-5 ekor, per

rumah tangga tani-ternak), diusahakan secara individual, penyediaan pakan

secara cut and carry, sebagai usaha sambilan, dan belum menggunakan

prinsip-prinsip bisnis,

12
4) Pemerintah dan stakeholders lainnya belum optimal mendukung usaha

peternakan rakyat untuk meningkatkan produksi dan produktivitas sapi

potong.

Terdapat tiga tahapan dalam manajemen strategis usaha sapi potong yaitu:

(1) perumusan strategi meliputi pengembangan potensi, pengenalan peluang dan

ancaman eksternal, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan

tujuan, menghasilkan strategi alternatif, dan memilih strategi tertentu untuk

dilaksanakan; (2) implementasi strategi, memobilisasi unsur dalam organisasi

untuk melaksanakan apa yang telah dirumuskan; dan (3) evaluasi strategi, terdapat

tiga aktivitas dalam evaluasi strategi : (a) meninjau faktor internal dan eksternal

yang menjadi dasar strategi, (b) mengukur prestasi, dan (c) mengambil tindakan

korektif (Rasyid, 2016).

Untuk meningkatkan potensi sapi potong ke arah yang lebih baik, maju

dan menguntungkan, pemerintah berusaha memperkenalkan program usaha

peternakan yang dikenal sebagai Panca Usaha Ternak Potong (PUTP), yaitu

(Siregar, 2013) :

a. Pemilihan bibit yang berkualitas baik, terutama bibit unggul.

b. Perbaikan pakan baik kualitas maupun kuantitas.

c. Melaksanakan pola pemeliharaan yang baik.

d. Perbaikan pola kesehatan.

e. Pola pemasaran hasil dengan memperlihatkan peluang pasar yang

menguntungkan.

13
Selain itu, Pengembangan peternakan sapi potong dapat dilakukan melalui

integrasi ternak dan tanaman. Usaha ternak sapi dengan polai ntegrasi dapat

memberikan dampak sosial budaya dan ekonomi yang positif. Sistem integrasi ini

sangat menguntungkan karena ternak dapat memanfaatkan rumput dan hijauan

pakan yang tumbuh liar atau limbah pertanian sebagai pakan selain itu ternak

menghasilkan kotoran ternak sebagai pupuk organik untuk meningkatkan

kesuburan tanah. Sistem integrasi juga dapat menambah pendapatan petani dari

pembuatan kompos (Rusnan, dkk., 2015).

14
BAB III
METODE PRAKTEK

III.1 Waktu dan Tempat

Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan mengenai

Pengembangan Peternakan Sapi Potong dilakukan pada hari Jumat sampai

Minggu, tanggal 27 sampai 29 Oktober 2017 di Desa Pajukukang, Kecamatan

Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

III.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam praktek lapang perencanaan

pembangunan peternakan mengenai pengembangan peternakan sapi potong di

Desa Pajukukang, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng adalah sebagai

berikut :

1. Data kualitatif

Data kualitatif merupakan data yang berbentuk data, kalimat, tanggapan,

struktur dan lain-lain yang diperoleh dari hasil observasi maupun hasil

wawancara.

2. Data Kuantitatif

Data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka yang dapat

menggambarkan dan menjelaskan variabel-variabel penelitian

Sumber data yang digunakan dalam praktek lapang perencanaan

pembangunan peternakan mengenai pengembangan peternakan sapi potong di

Desa pajukukang, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng adalah sebagai

berikut :

15
1. Data primer

Data primer merupakan data yang di peroleh secara langsung dari

responden. Pada pelaksanaan kegiatan praktek lapang data primer ini didapatkan

dari hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Pajukukang Kecamatan

Pajukukang Kabupaten Bantaeng.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung,

tetapi melalui perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data ini berupa

bukti, catatan, atau laporan arsip yang dipublikasikan maupun yang tidak

dipublikasikan. Data sekunder pada praktek lapang perencanaan pembangunan

peternakan diperoleh dari aparat desa.

III.3 Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data ini dapat dilakukan dengan cara:

1. Metode survey atau wawancara

Metode survei merupakan metode pengumpulan data yang menggunakan

pertanyaan lisan dan tertulis. Metode ini memerlukan adanya kontak atau

hubungan antara peneliti dengan subjek (responden) penelitian untuk memperoleh

data yang diperlukan. Data yang diperoleh sebagian besar merupakan data

deskriptif, akan tatapi pengumpulan data dapat dirancang untuk menjelesakan

sebab akibat atau mengungkapkan ide-ide. Teknik yang digunakan adalah

wawancara yakni dengan memberikan pertanyaan secara langsung kepada

responden dan kuesioner dalam hal ini adalah masyarakat di Desa Pajukukang

Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng.

16
2. Observasi Lapangan

Obrservasi lapangan merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang

tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket) namun juga

dapat digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi (situasi,

kondisi). Teknik ini digunakan bila penelitian ditujukan untuk mempelajari

perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan dilakukan pada responden

yang tidak terlalu besar. Pada tehnik ini dilakukan pengamatan terhadap

bagaimana keadaan lembaga sosial kemasyarakatan di Desa Pajukukang

Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng.

3. Studi kepustakaan atau literatur

Studi kepustakaan adalah tehnik pengambilan data dengan melalui telaah

dari berbagai laporan penelitian dan buku literatur yang relevan.Sumber pustaka

utama yang digunakan adalah jurnal atau literatur pembanding yang melengkapi

kekurangan data hasil praktek.

III.4 Metode Kegiatan yang Dilakukan

Pada praktek lapang perencanaan pembangunan peternakan yang

dilaksanakan di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten bantaeng

kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara yang dilakukan pada kegiatan praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang

Kabupaten Bantaeng dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang ada di

17
kuisioner pada masyarakat setempat mengenai identitas umum responden dan

kepemilikan ternak.

2. Focus Group Discussion (FGD)

Focus grup discusionmerupakan kegiatan yang dilakukan melalui diskusi

yang terdiri dari pemateri dan peserta dengan tujuan untuk menciptakan timbal

balik antara pemateri dan peserta mengenai suatu masalah sehingga tujuan dapat

tercapai. Kegiatan focus grup discusiondihadiri oleh sekretaris desa yaitu A. Nur

Syam dan dosen pembimbing mata kuliah Perencanaan Pembangunan Peternakan

yaitu Ibu St. Nurani Sirajuddin. Materi yang dibawakan oleh sekretaris desa yakni

mengenai kondisi masyrakat di desa Pajukukang ang biasa dilakukan di desa

Pajukukang yaitu dengan cara melakukan observasi langsung ke masyarakat

biasanya dengan melakukan vaksin yang di hadiri oleh dokter hewan. Komoditi

ternak yang biasa di ternakkan di desa Pajukukang yaitu ternak sapi, kambing

dan kuda. Potensi ternak yang ada di desa Pajukukang yaitu ternak kambing

dengan memanfaatkan pakan jenis lamtoro yang di tanam pada lahan masyarakat.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Profil dan Gambaran Umum Kondisi Wilayah

IV.1.1 Kondisi Umum Geografis

a. Letak Desa
Desa Pajukukang adalah salah satu desa yang bergerak 12 km sebelah

timur Ibukota Kabupaten Bantaeng, serta 1 km dari Desa Nipa-Nipa Kecamatan

Pajukukang. Desa ini merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah pesisir

pantai yang memiliki luas wilayah 5,85 km2, dengan batas wilayah:

Bagian Timur berbatasan dengan Desa Borongloe;

Bagian Utara berbatasan dengan Desa Nipa-Nipa dan Desa Tombolo;

Bagian Barat berbatasan dengan Desa Nipa-Nipa;

Bagian Selatan berbatasan dengan Laut Flores.

b. Topografi Desa

Keadaan topografi Desa Pajukukang merupakan dataran rendah dengan

ketinggian rata-rata mencapai 1-5 meter di atas permukaan laut (Mdpl).

c. Iklim dan Curah Hujan

Iklim dan curah hujan memiliki iklim tropis dengan rata-rata mencapai 250

C serta memiliki 2 tipe musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim

hujan di wilayah ini biasanya terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Juli

sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Agustus sampai dengan

Oktober. Jumlah curah hujan rata-rata setiap 23 mm.

19
d. Hidrologi dan Tata Air

Dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan air bersih,

masyarakat Memanfaatkan sumur gali dan air PDAM, sedangkan untuk

kebutuhan air pertanian masyarakat memanfaatkan 8 unit sumur bor yang ada di

desa. Walaupun terdapat 3 sungai yaitu Sungai Turungasu, Sungai Erasakke dan

Sungai Kampalayya namun ke 3 sungai ini hanya berfungsi pada musim hujan,

sedangkan pada musim kemarau ke 3 sungai ini juga ikut kering karena tidak

terdapat mata air di desa. Sementara 4 unit sumur bor yang diharapkan mengairi

lahan pertanian pada musim kemarau tidak berfungsi maksimal karena sering

rusak dan biaya operasional bahan bakarnya yang cukup tinggi.

IV.1.2 Potensi Sumber Daya Alam

a. Sektor Pertanian

Tanaman pertanian yang dibudidayakan di Desa Pjukukang hanya jenis

tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang tanah, cabe dan tomat. Hal ini terkait

kondisi lahan yang kurang memungkinkan karena mayoritas lahan tadah hujan,

tanaman pangan juga tergantung musim hujan.

b. Tanaman Pangan

Jenis tanaman pangan utama yang dibudidayakan petani Desa Pajukukang

umumnya meliputi padi, jagung dan kacang tanah. Selain itu juga terdapat

tanaman cabe dan tomat yang tertera pada tabel 1 berikut ini.

20
Tabel. 1 Tanaman Pangan
Jenis Tanaman Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
Padi 1.000 500 Ton/Ha
Jagung 1.052 300 Ton/Ha
Kacang Tanah 100 200 Ton/Ha
Cabe 20 250 Ton/Ha
Tomat 30 100 Ton/Ha
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tanaman padi memiliki

luas 1000 ha dengan produksi 500 ton/ha, jagung memiliki luas 100 ha dengan

produksi 300 ton/ha, kacang tanah 100 ha dengan produksi 200 ton/ha, cabe

memiliki luas 20 ha dengan produksi 250 ton/ha, dan tomat memiliki luas 1000 ha

dengan produksi 500 ton/ha.

IV.1.3 Jenis dan Populasi Ternak

Berdasarkan jenis dan populasi ternak di Desa Pajukukkang, Kecamatan


Pajukukkang, Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut

Tabel.2 Jenis dan Populasi Ternak


No. Jenis Ternak Jumlah Populasi (ekor)
1. Sapi Potong 8.777
2. Sapi Perah -
3. Kerbau 122
4. Kuda 2068
5. Kambing 5772
6. Ayam Buras 280.153
7. Ayam Pedaging 15.000
8. Ayam Petelur 5.000
9. Itik 4493
10. Itik Manila 13962
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa ternak Sapi Potong


berjumlah 8.777 ekor, kerbau berjumlah 122 ekor, kuda berjumah 2068 ekor,
kambing berjumlah 5.772 ekor, ayam buras berjumah 280.153 ekor, ayam
pedaging berjumah 15.000 ekor, ayam petelurberjumah 5.000 ekor, itik berjumah

21
4.493 ekor, itik manila berjumah 13.692 ekor dan tidak adanya ternak sapi perah
di daerah ini.

IV.1.4 Ketersediaan Hijauan dan Pakan Ternak

Berdasarkan data sekunder ketersediaan hijauan dan pakan ternak di Desa

Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng, dapat diketahui

bahwa desa pajukukang, kecamatan pajukukang, kabupaten bantaeng, dapat

diketahui ketersediaan hijauan dan pakan ternak sebagai berikut:

Tabel.3 Ketersediaan Hijauan dan Pakan Ternak


No Jenis Tanaman Luas Areal/Ha Produksi (ton)
1 Padi 1000 500 ton/Ha
2 Jagung 1052 300 ton/Ha
3 Kacang Tanah 100 200 ton/Ha
4 Cabe 20 250 ton/Ha
5 Tomat 30 100 ton/Ha
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan ketersediaan hijauan dan pakan ternak, dapat diketahui bahwa

Padi memiliki luas areal 1000 Ha dengan produksi 500 ton/Ha, Jagung memiliki

luas areal 1052 Ha dengan produksi 300 ton/Ha, Kacang tanah memiliki luas areal

100 Ha dengan produksi 200 ton/Ha, Cabe memiliki luas 20 Ha dengan produksi

250 ton/Ha, Tomat memiliki luas areal 30 Ha dengan produksi 100 ton/Ha. Dari

kelima jenis tanaman tersebut, yang memiliki luas areal dan produksi tertinggi

yaitu Padi yang memiliki luas areal 1000 Ha dengan produksi 500 ton/Ha. Padi

sebagai bahan pokok dengan kebutuhan yang sangat tinggi bagi masyarakat

menyebabkan lahan yang digunakan cukup luas sehingga dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat setempat.

22
IV.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi

Berdasarkan data primer di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang

Kabupaten Bantaeng diperoleh hasil bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat

setempat ada pada tabel 4 berikut:

Tabel. 4 Kondisi Sosial Ekonomi


Klasifikasi Kesejahteraan
Desa Dusun Sangat Total
Kaya Sedang Miskin
Miskin
Pa'jukukang 3 48 77 15 143
Bakarayya 5 18 64 14 101
Kampalayya 1 19 89 19 128
Bire 13 92 124 66 295
Pa'jukukang Bonto
Masuggu 0 27 60 25 112
Bonto
Manakku 0 18 66 23 107
Sunggu Manai 0 7 58 35 100
Bungayya 0 9 48 19 76
Jumlah 22 238 586 216 1062
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan kondisi sosial ekonomi desa pajukukang kecamatan

pajukukang kabupaten bantaeng dapat diketahui bahwa tingkat kemiskinan cukup

tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat pengangguran yang cukup tinggi,

rendahnya tingkat pendidikan dan menggantungkan hidup pada hasil ternak dan

pertanian dengan kondisi cuaca yang kurang baik sehingga hasil ternak dan

pertanian kurang optimal.

23
IV.1.6 Ketersediaan Lahan Pemeliharaan

Berdasarkan ketersediaan hijauan dan pakan ternak di Desa Pajukukkang,

Kecamatan Pajukukkang, Kabupaten Bantaeng dapat dilihat pada tabel 5 sebagai

berikut :

Tabel. 5 Ketersediaan Lahan Pemeliharaan

Jenis Tanaman Luas Area (ha)


Padi 1.000
Jagung 1.052
Kacang Tanah 100
Cabe 20
Tomat 30
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan ketersediaan lahan pemeliharaan di desa pajukukang

kecamatan pajukukang kabupaten bantaeng dapat diketahui bahwa padi memiliki

luas areal 1000 Ha, Jagung memiliki luas areal 1052 Ha, Kacang tanah memiliki

luas areal 100 Ha, Cabe memiliki luas areal 20 Ha, dan Tomat memiliki luas areal

30 Ha. Hal ini menunjukan bahwa tanaman dan luas areal yang tertinggi adalah

padi dengan luas areal 1000 Ha. padi sebagai bahan pokok bagi manusia dan

sebagai pakan ternak menyebabkan produksi dan lahan yang dihasilkan cukup

tinggi.

IV.1.7 Jumlah Peduduk Berdasarkan Umur

Berdasarkan data di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang

Kabupaten Bantaeng diperoleh hasil bahwa jumlah penduduk di Desa

Pajukukang secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut

tersaji pada tabel 6 berikut ini.

24
Tabel. 6 Jumlah Penduduk Desa Pajukukang berdasarkan umur
Umur L P Jumlah
<20 Tahun 979 939 1918
21-40 Tahun 720 775 1495
41-60 Tahun 303 290 593
61-70 Tahun 82 68 150
>70 Tahun 51 39 90
Total 4246
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan umur di desa pajukukang

kecamatan pajukukang kabupaten bantaeng dapat diketahui bahwa umur <20

tahun memiliki jumlah laki-laki 979 orang dan perempuan 939 orang dengan

jumlah 1918, umur 21-40 tahun memiliki jumlah laki-laki 720 orang dan

perempuan 775 orang dengan jumlah 1495, umur 41-60 tahun memiliki jumlah

laki laki 303 orang dan jumlah perempuan 290 orang dengan jumlah 593. Dapat

disimpulkan bahwa umur penduduk <20 tahun di desa pajukukang memiliki

jumlah tertinggi yaitu 1918. Sedangkan umur penduduk >70 tahun di desa

pajukukang dengan jumlah terendah yaitu 90. Hal ini disebabkan karena

tingginya angka kelahiran di desa pajukukang sehingga penduduk dengan umur

<20 tahun semakin meningkat

IV.1.8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan data sekunder di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang

Kabupaten Bantaeng diperoleh hasil bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat

setempat ada pada tabel 7 berikut:

25
Tabel. 7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
No Dusun Total
L P
1 Pa'jukukang 292 299 591
2 Bakarayya 217 210 427
3 Kampalayya 319 311 630
4 Bire 696 738 1434
5 Bonto Masuggu 184 189 373
6 Bonto Manakku 226 222 448
7 Sunggu Manai 238 249 487
8 Bungayya 205 226 431
Jumlah 2377 2444 4821
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk

berdasarkan jenis kelamin yaitu penduduk di Dusun Pa'jukukang yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 299 jiwa sedangkan penduduk berjenis kelamin

laki-laki sebanyak 292 jiwa. Penduduk di Dusun Bakarayya yang berjenis kelamin

perempuan sebanyak 210 jiwa sedangkan penduduk berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 217 jiwa.

IV.1.9 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Berdasarkan data sekunder di Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang

Kabupaten Bantaeng diperoleh hasil bahwa jumlah penduduk berdaarkan tingkat

pendidikan pada Desa Pajukukang adalah tertera pada tabel 8 berikut :

26
Tabel. 8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Jenis Kelamin
No Tingkat Pendidikan
L P Jumlah
1 Belum Sekolah 256 215 471
2 TK 15 7 22
3 Tidak tamat SD 574 585 1159
4 Sementara SD/Sederajat 380 386 700
5 Tamat SD/Sederajat 480 502 981
6 Tidak Tamat SMP/Sederajat 2 1 3
7 Sementara SMP/Sederajat 110 114 224
8 Tamat SMP/Sederajat 98 99 197
9 Tidak tamat SMA/Sederajat 0 3 3
Sementara SMA/Sederajat 81 66 147
11 Tamat SMA/Sederajat 155 119 274
12 Sementara Kuliah 24 29 53
13 Sarjana Diloma I 3 3 6
14 Sarjana Diploma II 9 29 38
15 Sarjana Diploma III 12 18 30
Sarjana Diploma IV 3 1 4
17 Sarjana S1 56 32 88
18 Sarjana S2 4 13 17
19 Tidak Sekolah 15 16 31
Total 4448
Sumber: Data Sekunder Desa Pajukukang Kecamatan Pajukukang Kabupaten Bantaeng
Tahun 2017.
Berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di desa

pajukukang kecamatan pajukukang kabupaten bantaeng dapat diketahui bahwa

penduduk dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD memiliki jumlah yang tinggi

yaitu 1.159, sedangkan dengan jumlah terendah yaitu Tidak Tamat SMP/Sederajat

dan Tidak tamat SMA/Sederajat masing-masing 3. Hal ini disebabkan karena

kurangnya biaya dalam melanjutkan sekolah, sarana dan prasarana pendidikan

pada jaman dahulu serta ketidaksadaran masyarakat akan pentingnya memiliki

pendidikan.

27
IV.2 Keadaan Khusus Responden

IV.2.1 Identifikasi Responden Berdasarkan Umur

Adapun hasil yang diperoleh dari praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukkang, Kecamatan Pajukukkang,

Kabupaten Bantaeng diketahui bahwa keadaan responden berdasarkan umur dapat

dilihat pada tabel 9 berikut :

Tabel 9. Identifikasi Responden Berdasarkan Umur


No Nama Umur
1. Neri >50 Tahun
2. Tuni >50 Tahun
3. Irma 25 Tahun
Sumber : Data Primer Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan, 2017

Berdasarkan tabel 9 di atas dapat di ketahui bahwa responden yang

bernama Neri berumur >50 tahun, Tuni berumur >50 tahun, dan responden yang

bernama Irma berumur 25 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketiga

responden masih masuk termasuk dalam usia produktif yang berkisar antara umur

16 sampai 50 tahun, sehingga dengan kisaran umur tersebut masyarakat

mempunyai kemampuan fisik dan pemikiran yang matang. Hal ini sesuai dengan

pernyatan Ridwan (2011) bahwa manusia dikatakan usia produktif, ketika berusia

pada rentang 15-64 tahun. Sebelum 15 tahun atau setelah 64 tahun tidak lagi

masuk ke dalam usia produktif.

IV.2.2 Identifikasi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian

Adapun hasil yang diperoleh dari praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukkang, Kecamatan Pajukukkang,

28
Kabupaten Bantaeng diketahui bahwa keadaan responden berdasarkan mata

pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 10. Identifikasi Responden Berdasarkan Mata Pencaharian


No Nama Mata Pencaharian
1 Neri Petani
2 Tuni Peternak
3 Irma Petani
Sumber : Data Primer Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan, 2017

Berdasarkan tabel 11 diatas dapat diketahui bahwa jumlah

responden berdasarkan bermata pencaharian petani ada dua orang dan jumlah

responden bermata pencaharian sebagai peternak hanya satu orang., Hal tersebut

terjadi akibat sebagai peternak dikatakan membutuhkan banyak modal sehingga di

daerah tersebut kurang peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Hal ini sesuai

dengan pendapat Wiyatna (2002) yang menyatakan bahwa permasalahan

pengembangan peternakan adalah akses ke pemodal yang sulit serta sumber daya

yang rendah.

IV.2.3 Identifikasi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Adapun hasil yang diperoleh dari praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukkang, Kecamatan Pajukukkang,

Kabupaten Bantaeng diketahui bahwa keadaan responden berdasarkan jenis

kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 11. Identifikasi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin


No Nama Jenis Kelamin
1 Neri Perempuan
2 Tuni Perempuan
3 Irma Perempuan
Sumber : Data Primer Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan, 2017

29
IV.2.4 Identifikasi Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan

Adapun hasil yang diperoleh dari praktek lapang Perencanaan

Pembangunan Peternakan di Desa Pajukukkang, Kecamatan Pajukukkang,

Kabupaten Bantaeng diketahui bahwa keadaan responden berdasarkan jenis

kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 12. Identifikasi Responden Berdasarkan Tingkat pendidikan


No Nama Tingkat Pendidikan
1 Neri SD
2 Tuni SD
3 Irma SMP
Sumber : Data Primer Praktek Lapang Perencanaan Pembangunan Peternakan, 2017

Berdasarkan tabel 12 dapat dilihat bahwa ada dua responden yang

berpendidikan akhir hanya SD dan satu responden yang berpendidikan akhir

SMP. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di di Desa Pajukukang

masih tberada di tingkatan bawah. Nora (2009) menyatakan bahwa usaha

peternakan sapi potong terdapat komponen-komponen penting yang merupakan

penunjang keberhasilan usaha. Salah satu komponen penunjang tersebut adalah

tenaga kerja yang berpendidikan.

IV.3 Kajian Focus Group Discussion (FGD)

FGD adalah salah satu teknik pengumpulan data kualitatif yang banyak

digunakan, khususnya oleh pembuat keputusan atau peneliti, karena relatif cepat

selesai dan lebih murah. Teknik FGD mempermudah pengambil keputusan atau

dalam memahami sikap, keyakinan, ekspresi dan istilah yang biasa digunakan

oleh peserta mengenai topik yang dibicarakan, sehingga sangat berguna untuk

mengerti alasan-alasan yang tidak terungkap dibalik respons peserta. Dengan

30
FGD akan cepat diperoleh temuantemuan baru dan sekaligus penjelasannya, yang

mungkin tidak terdeteksi jika menggunakan teknik lain. Namun demikian, karena

jumlah peserta FGD tidak banyak maka hasil FGD tidak dapat digeneralisasikan

atau digunakan sebagai kesimpulan umum untuk populasi atau kelompok yang

lebih luas dari peserta FGD, walaupun mempunyai ciri-ciri atau karakteristik

peserta FGD (Paramita dan Kristiana, 2013).

IV.3.1 Kajian Focus Group Discussion (FGD)

Berdasarkan focus grup discusion yang dilakukan di desa Pajukukang

kecamatan Pajukukang kabupaten Bantaeng dapat diketahui bahwa

pengembangan peternakan di Desa Pajukukang belum optimal disebabkan karena

kurangnya air, padahal sumber air di desa pajukukang untuk 4 dusun di dekat

daerah pesisir mudah didapatkan dan dimanfaatkan dengan baik, namun

masyarakat yang tinggal jauh dari daerah persisir sulit mendapatkan air padahal

bantuan pemerintah berupa pembuatan sumur sudah disalurkan namun kurang

dimanfaatkan, hal ini disebabkan karena kurangnya pemanfaatan masyarakat

karena pola pikir masyarakat yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo

(2010) yang mengatakan bahwa dengan adanya perubahan-perubahan pola pikir

dapat menjadi pendorong atau motivasi dalam terjadinya perubahan pada pola

tindak.

Peran penyuluh dalam pengembangan peternakan masih kurang maksimal

dan kedepan akan lebih dimaksimalkan lagi. Selain itu, untuk memperoleh

bantuan dari pemerintah masyarakat diharuskan untuk membentuk kelompok akan

tetapi masyarakat kita keinginannya untuk sendiri-sendiri. Sehingga untuk

31
memperoleh bantuan dari pemerintah tidak tercapai. Padahal pemerintah

mempunyai maksud yang baik akan pentingnya kelompok petani-peternak. Hal

ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa Syahruddin (2010) yang

menyatakan bahwa peternakan yang dikelola oleh masyarakat sebaiknya

terhimpun dalam ketompok tani sekitarnya agar penyatuan potensi dapat

dilakukan untuk kepentingan bersama. Keuntungan lain adalah dapat sating

mengisi untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antar peternak.

Peternakan yang dianggap baik bisa dijadikan percontohan dan tempat magang

bagi yang lain

Terdapat beberapa warga yang menyatakan bahwa pembagian kambing

sebagai bentuk bantuan pemerintak kepada warga di Desa PaJukukan Kecamatan

PaJukukang Kabupaten Bantaeng berlangsung tidak merata. Namun berdasarkan

hasil diskusi diketahui warga yang diberikan bantuan tidak mencoba

mengembangbiakkan ternak yang diberikan oleh pemerintah bahkan warga yang

di berikan bantuan tersebut langsung menjual kambingnya tepat setelah kambing

tersebut diberikan. Hal ini disebabkan karena kurangnya kontroling dari

pemerintah sebagaimana yang dinyatakan oleh Handaka dkk. (2016) yang

menyatakan bahwa peternak dalam membudidayakan kambing merasa seakan

Pemerintah tidak hadir ketika mereka menghadapi berbagai persoalan terkait

budidaya kambing ini. Pemerintah sudah cukup bangga dengan pembagian

kambing yang menjadi ikon pemerintah, namun masih kurang memberikan

perhatian pada peternak. Peternak merasa Pemerintah membiarkan mereka

menghadapi sendiri berbagai persoalan yang dihadapi.

32
IV.3.2 Kuisioner

Kuesioner merupakan alat pengumpulan data primer dengan metode survei

untuk memperoleh opini responden. Kuesioner dapat digunakan untuk

memperoleh informasi pribadi misalnya sikap, opini, harapan dan keinginan

responden. Idealnya semua responden mau mengisi atau lebih tepatnya memiliki

motivasi untuk menyelesaiakan pertanyaan ataupun pernyataan yang ada pada

kuesioner penelitian. Apabila tingkat respon (repon rate) diharapkan 100% 45

artinya semua kuesioner yang dibagikan kepada responden akan diterima kembali

oleh peneliti dalam kondisi yang baik dan kemudian akan dianalisis lebih lanjut

(Pujihastuti, 2010).

IV.3.2.1 Hambatan

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa

masyarakat di Desa Pajukukang kebanyakan tidak mengetahui tentang

musyawarah antar warga, karena kurangnya partisipasi dan pengetahuan

masyarakat tentang hal tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Azhar (2015)

bahwa dalam proses musrenbang partisipasi masyarakat masih terlihat kurang

baik, pelaksanaan musrenbang masyarakat menjadi penentu bagi keberhasilannya.

Akan tetapi yang terjadi masyarakat minim untuk berperan langsung dalam proses

pelaksanaannya. Hal tersebut dikarenakan problem kemiskinan yang terjadi di

masyarakat.

33
IV.3.2.2 Perencanaan Pengembangan Wilayah

Berdasarkan hasil wawancara oleh beberapa responden diperoleh bahwa

pengembangan sapi potong di Desa PaJukukang Kecamatan PaJukukang

Kabupaten Bantaeng masih sangat kurang kebanyakan warga lebih memilih untuk

mengembangkan kambing karena kambing lebih sedikit menggunakan lahan

dibandingkan dengan sapi potong serta pengembalaan kambing lebih mudah

dibandingkan sapi potong sehingga lahan untuk mengembangkan sapi potong

teralih fungsikan untuk pengembangan peternankan kambing dan pertanian seperti

padi dan tanaman-tanaman lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suhaema

(2014) yang menyatakan bahwa lahan-lahan tempat tersedianya hijauan

makanan ternak umumnya bertumpang tindih dengan penggunaan lahan

untuk sektor lain.

IV.3.2.3 Peranan Lembaga dan Pemerintah

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa

peranan pemrintah di Desa Pajukukang dalam membantu masayarakat untuk

pengembangan sapi potong masih terbatas, karena masyarakat tidak mengetahui

tentang sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh pemerintah, meskipun ada

namun hanya sebagian masyarakat yang mengetahuinya. Hal ini disebabkan

karena kurangnya keinginan masyarakat untuk berkomunikasi dengan pemeirntah

setempat padahal pemerintah mempunyai peranan yang penting. Hal ini sesuai

dengan pendapat Bamualim dkk., (2008) yang menyatakan bahwa Pemerintah

menetapkan aturan main, memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan

produk, baik jumlah maupun mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman,

34
bergizi, dan sehat. Swasta dan masyarakat berperan dalam mewujudkan

kecukupan produk peternakan melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan,

pemasaran, dan distribusi produk sapi potong.

Lembaga-lembaga peternakanpun masih kurang di Desa Pajukukang

karena pola pikir masyarakat yang belum berubah, dimana masyarakat tdiak

berkeinginan untuk berlembaga melainkan berusaha sendiri sehingga keuntungan

yang diperoleh juga banyak. Padahal lembaga merupakan suatu wadah yang dapat

membantu dalam pengembangan suatu usaha. Hal ini sesuai dengan pendapat

yang menyatakan bahwa Syahruddin (2010) yang menyatakan bahwa peternakan

yang dikelola oleh masyarakat sebaiknya terhimpun dalam ketompok tani

sekitarnya agar penyatuan potensi dapat dilakukan untuk kepentingan bersama .

Keuntungan lain adalah dapat saling mengisi untuk menghindari persaingan yang

tidak sehat antar peternak. Peternakan yang dianggap baik bisa dijadikan

percontohan dan tempat magang bagi yang lain

35
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktek lapang yang dilakukan di Desa PaJukukang

Kecamatan PaJukukang Kabupaten Bantaeng dapat didimpulkan bahwa

pengembangan peternakan sapi potong masih sangat kurang, permasalahan yang

ada yaitu kurangnya pakan yang tersedia, pola piker masyarakat yang tidak

menanam pakan ternak, ternak dilepaskan begitu saja dan hanya di kandangkan

pada malam hari saja dan seringnya kekurangan air di daerah tersebut

V.2 Saran

Saran yaitu mengadakan penyuluhan kepada peternak mengenai cara

beternak yang baik serta mambungun sumber air di desa tersebut.

36
DAFTAR PUSTAKA

Baba, S. A. Muktiani., A. Ako dan B. Ibrahim. 2013. Hambatan adopsi teknologi


integrasi jagung dan ternak sapi di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan Berkelanjutan V. Bandung.
Dinas Peternakan dan Kesehatan. 2015. Roadmap Pengembangan Kawasan
Peternakan Sapi Potong Di Kota Bima. Bima.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2003. Upaya Peningkatan Pendapatan Petani


Melalui Integrasi Usaha Peternakan Pada Usaha Tani Lahan Sempit.
Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Gorda. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Widya Kriya Gematama.
Denpasar.

Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha
pembibitan sapi potong di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Iskandar dan Nuhung. 2015. Kinerja, kendala, dan strategi pencapaian


swasembada daging sapi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 33 (1): 63-80.

Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak dalam Persfektif Reorientasi


Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3 (1) :68-80.
Kurniawan, E. 2012. Analisis potensi pengembangan sapi potong di Kecamatan
Bungkal Kabupaten Ponorogo. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.

Mayulu, H., Sunarso, C. I. Sutrisno dan Sumarsono. 2010. Kebijakan


pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang
Pertanian, 29(1) : 34-41.

Muhsis, A. 2007. Peran Kelompok Peternak Dan Prospek Usaha Penggemukan


Sapi Potong. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Magelang, Jawa Tengah.

Muslim, C. 2004. Peranan kelompok peternak sapi potong dengan pendekatan


sistem integrasi padi ternak (SIPT) di Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur,
Dan Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Badan Litbang, Departemen Pertanian.

Nora, D. 2009. Potensi dan strategi pengembangan sapi potong di Kabupaten


Bungo Jambi. Tesis. Program Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang.

37
Pujihastuti, I. 2010. Prinsip penulisan kuesioner penelitian. Cefars : Jurnal
Agribisnis dan Pengembangan Wilayah Vol. 2 (1) : 43-56.

Putra, Y. E. 2017. struktur dan dinamika populasi ternak sapi potong di


Kecamatan Payakumbuh Timur Kota Payakumbuh. Skripsi. Fakultas
Peternakan,Universitas Andalas, Payakumbuh.

Rasyid, Khairul. 2016. Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong (Studi
Kasus : Desa Paya Bakung, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli
Serdang), Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rianto, Edy dan Endang Purbowati. 2009. Panduan Sapi Potong. Penebar
Swadaya. Jakarta

Ridwan, S. S. 2006. Potensi dan strategi pengembangan usaha ternak sapi potong
di Kabupaten Sumedang. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Rusdin. 2009. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap respons masyarakat


beternak sapi potong di Kabupaten Parigi Moutong. J. Agroland 16 (4) :
301 308.

Rusnan, H., Ch. L. Kaunang dan Y. L. R. Tulung. 2015. Analisis potensi dan
strategi pengembangan sapi potong dengan pola integrasi kelapasapi di
Kabupaten Halmahera Selatan provinsi Maluku Utara. Jurnal Zootek, Vol
35 (2) : 187-200.

Santosa, Undang. 2008. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Depok:

Penebar Swadaya

Santosa, Undang dan Yogaswara. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Niaga
Swadaya.Jakarta.

Siregar, M. 2013. Prospek pengembangan ternak sapi potong di Kecamatan Stabat


Kabupaten Langkat. Lapora Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas
HKBP Nommensen, Medan.

Soeprapto, Herry dan Zainal abiding. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi
Potong. Jakarta: Agromedia pustaka.

Zubaida, Sitti. 2014. Optimalisasi Peranan Masyarakat dalam Pengembangan


Usaha Ternak Sapi Potong Menuju Pembengunan Swasembada Daging
Sapi 2014 di Propinsi Aceh. Fakultas Pertanian Umuslim. Aceh.

38
Wiyatna. 2002. Pengembangan Peternakan Sapi Potong. ANSCI 308.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37369/4/Chapter%20II.p
df. Diakses pada tanggal 1 November 2017.

39
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi

(Foto dengan ibu Irma) (Foto dengan Ibu Neri)

(Foto dengan ibu Tuni)

40
(Foto Bersama Kelompok dan Pemilik Rumah)

41

Anda mungkin juga menyukai