Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan salah satu kelainan metabolis yang ditunjukan


dengan gejala klinis berupa kenaikan tekanan darah baik sistole maupun diastole.
Menurut JNC VII hipertensi digolongkan menjadi tiga kategori berdasarkan
tekanan darahnya. Kategori pertama disebut prehipertensi dengan tekanan darah
sistole / diastole berkisar 120-130 / 80-90 mmHg dari tekanan normal <120 / <80
mmHg. Sedangkan memasuki hipertensi grade I dengan tekanan sistole / diastole
adalah 14-159 / 90-99 mm/Hg. Grade II merupakan hipertensi yang ditunjukan
dengan tekanan darah sistole / diastole >= 160 / >= 100 mmHg (U.S. Department
of Health and Human Service, 2003).
Menurut data yang diperoleh Setiati, 2005, di Indonesia terdapat 37,32%
penderita hipertensi berumur 40 tahun atau lebih yang tidak mendapatkan
penanganan secara farmakologis. Hal ini dapat memperparah kondisi fisiologis
dari penderita hipertensi tersebut. Biasanya hipertensi yang kronis akan diikuti
dengan berbagai macam komplikasi seperti gagal ginjal, kelainan jantung, stroke,
kelainan saraf, dan komplikasi yang lainnya.
Salah satu terapi yang digunakan untuk mengontrol tekanan darah dan
memperbaiki kondisi klinis penderita hipertensi adalah valsartan. Valsartan adalah
obat antihipertensi yang bekerja pada reseptor angiotensin II (AT1R). Valsartan
bersifat antagonis, akan menginhibisi reseptor tersebut secara kompetitif sehingga
angiotensin II yang berupa oktamer asam amino tidak dapat menempel pada
reseptor dan mengaktifkan reseptor tersebut. Akibatnya beberapa rentetan
aktivitas akibat aktifnya reseptor AT1R seperti vasokonstriksi arteri, sekresi
aldosterone, peningkatan detak jantung, dan aktivitas lain tidak terjadi sehingga
terjadi penurunan tekanan darah.
Valsartan secara antagonis akan berikatan dengan reseptor angiotensin II
(AT1R) yang termasuk golongan G protein coupled receptor. Reseptor ini terdiri
dari tujuh subunit protein alfa heliks yang terintegrasi di dalam membran sel. Pada
G protein coupled reseptor, terdapat beberapa reseptor penting seperti reseptor

histamin, bradikinin, alfa, beta, dan reseptor lain. Reseptor angiotensin II yang
juga merupakan salah satunya, terdapat di bagian atas mendekati permukaan
membran.
Penggunaan Valsartan untuk hipertensi biasanya menggunakan dosis 80
mg 160 mg dalam sehari tergantung tingkat keparahan hipertensi yang diderita.
Beberapa produk menggunakan valsartan dengan diuretik lemah seperti thiazdie
untuk

meningkatkan

kemampuannya

(Medilexicon International, 2004).

dalam menurunkan

tekanan

darah

BAB II

ISI DAN KAJIAN PUSTAKA

A. G PROTEIN COUPLED RECEPTOR


G Protein Coupled Receptor atau sering disingkat dengan GPCR
merupakan golongan protein besar yang terdiri dari tujuh subunit alfa heliks yang
terintegrasi dalam membran phospholipid layer ganda (sebuah subunit biasa
disebut TM). GCPR terletak pada permukaan sel dan bertanggung jawab atas
transduksi dari signal-signal endogen pada respon intraseluler. Ligan-ligan alami
pada reseptor ini berupa peptida, hormon protein, amina biogenik, nukleotida
maupun nukleosida, dan eicosanoid, serta beberapa ligan lain. Dengan berikatan
dengan ligan-ligan tersebut baik pada daerah transmembran maupun ekstraseluler,
reseptor akan mengalami kejadian-kejadian tertentu seperti perubahan konformasi
yang dapat mengakibatkan adanya perubahan penghantaran signal menuju protein
G (trimeric guanin nucleotide regulatory binding regulatory protein), yang
nantinya akan mengaktivasi maupun mendeaktivasi penghantaran signal sekunder
dari protein G tersebut seperti cAMP dan ion kalsium (Klabunde, 2002).
G Protein Coupled Receptor ini memiliki berbagai peranan penting dalam
mengatur fungsi fisiologis tubuh. Hal ini dikarenakan pada molekul GPCR,
terdapat banyak reseptor dimana ketika terjadi interaksi dengan ligan-ligan yang
spesifik akan terjadi mekanisme-mekanisme penting. Beberapa reseptor yang
terdapat dalam GPCR dan fungsinya antara lain :

Reseptor alfa dan beta sebagai pengatur detak jantung dan

kontraksi otot polos


Reseptor angiotensin II sebagai mekanisme peningkatan tekanan

darah dan homeostasis cairan


Reseptor histamin sebagai bagian dari mekanisme alergi
Serta banyak reseptor lain

1. Struktur G Protein Coupled Receptor

G Protein Coupled Receptor memiliki topologi khas, yaitu ekor N yang


terletak di luar membran, tujuh subunit protein berbentuk alfa heliks yang
tertanam dalam membran, dan adanya ekor C yang terletak pada intraseluler.
Kedua ekor ini memiliki peranan penting dalam pengaturan regulasi aktivasi dan
deaktivasi dari GCPR tersebut. Rantai C terminal biasanya mengandung serin
maupun threonine yang ketika terphosphorilasi, akan mengakibatkan protein G
tidak bisa terikat pada bagian tertentu. Hal ini dikarenakan adanya protein yang
menempel pada bagian ekstraseluler dinamakan beta-arrestins. Peristiwa ini akan
menyebabkan terdeaktivasinya GCPR yang kemudian melakukan endositosis
berbagai substansi masuk ke dalam sel. Selain terphosphorilasi, rantai C terminal
ini juga dapat mengalami palmitoylation yaitu adanya ikatan kovalen dengan
gugus asil sehingga mengalami peningkatan afinitas terhadap substansi kolesterol
maupun sphignolipid (Klabunde, 2002).

Gambar. 1 Struktur G Protein Coupled Receptor


(Klabunde, 2002)

Pada dasarnya, antar subunit protein pada GPCR, dihubungkan oleh tiga
loop pada bagian ekstraseluler (EL) dan tiga loop pada bagian intraseluler (IL).
Bagian yang terikat ligan-ligan seperti yang sudah disebutkan terletak pada bagian
atas dekat ekstraselular sedangkan pada bagian bawah dekat intraseluler

merupakan tempat pengikatan protein G yang ketika teraktivasi akan melakukan


transduksi signal dengan melakukan sekresi seperti cAMP untuk melakukan
aktivitas seluler lebih lanjut (Sakmar, 2009).
Berdasarkan Strukturnya, G Protein Coupled Receptor diklasifikasikan
menjadi tiga sub tipe, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Pada dasarnya, GPCR
memiliki susunan yang sama dengan reseptor rodhopsin pada retina mata,
sehingga dalam melakukan penelitian, banyak digunakan reseptor rodhopsin
tersebut. Berikut adalah penggolongan sub tipe dari GCPR :

Tipe A merupakan tipe GPCR yang paling mirip dengan rodhopsin


tersebut. Tipe A ini merupakan tipe GPCR paling banyak terdapat
dalam mamalia. Tipe A ini dimungkinkan merupakan reseptor dari
berbagai macam ligan seperti monoamines, purines, opioids,
chemokines, beberapa hormon peptida kecil, dan hormon glikoprotein
seperti thyroid stimulating hormone (TSH), luteinizing hormone (LH),
serta follicle-stimulating hormone (FSH). Secara topologi, tipe A ini
memiliki rantai amino terminal yang paling pendek dari dua tipe yang
lain (King, 2013).
Pada tipe A terdapat ikatan sulfida pada sistein di bagian atas pada TM
III dan sistein pada bagian tangan EL II. Pada reseptor ACTH dan
MSH tidak terdapat ikatan sulfida tersebut akan tetapi terdapat residu

hidrofilik yang tersebar pada TM IV dan TM V (Foreman, 1996).


Tipe B merupakan tipe kedua yang memiliki bentuk seperti reseptor
sekretin. Tipe ini memiliki tempat pengikatan bagi ligan-ligan peptida
seperti horon tiroid dan kalsitonin. Secara topologi, tipe B ini memiliki
rantai terminal yang lebih panjang dari tipe A, serta ditemukan enam
residu sistein (Klabunde, 2002). Sistein ini akan membentuk ikatan
sulfida yang membentuk bagian globular yang melibatkan ikatan
dengan ligan. Terdapat dua buah sistein yang terletak pada bagian atas
TM III dan pada tengah EL 2, membentuk ikatan sulfida sama seperti
tipe A. Berbeda dengan tipe A, pada tipe B terdapat asam amino prolin

pada TM V dan TM VI yang berbeda posisi.


Tipe yang terakhir adalah tipe C yang memiliki bentuk seperti reseptor
metabotropic/glutamat. GPCR tipe C merupakan reseptor bagi

beberapa ligan seperti glutamat, ion Ca ekstraseluler, serta reseptor


beberapa rasa dan bau. Secara topologi, tipe C memiliki rantai terminal
terpanjang (500-600 residu) yang terlipat membentuk suatu tempat
ikatan tersendiri, terpisah dari tujuh alfa heliks yang tertanam dalam
membran (King, 2013).
2. Mekanisme Aktivasi GPCR
G Protein Coupled Receptors (GCPR) mengaktivasi rangkaian peristiwa
yang mengubah konsentrasi satu atau lebih suatu molekul signaling intraseluler
atau second messenger yang akan menimbulkan respon seluler. Beberapa second
messenger yang terlibat dalam transduksi ini yaitu : siklik AMP (cAMP), protein
kinase A (PKA), diasil gliserol (DAG), protein kinase C (PKC), Inositol trifosfat
(IP3), dan kalsium (Ca++). Tranduksi signal pada GCPR ada dua jalur, yaitu : jalur
adenilat siklase dan jalur fosfolipase, penggunaan jalur ini tergantung pada jenis
protein G yang terlibat.
Terdapat tiga macam protein G, yaitu :

Gs (stimulatory G protein) yang mengaktifkan enzim adenilat siklase


Gi (inhibitory G protein) yang menghambat enzim adenilat siklase
Gq yang mengaktifkan sistem fosfolipase atau inositol fosfat
enzim adenilat siklase merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan
cAMP, sedangkan enzim fosfolipase merupakan enzim yang menghidrolisis
senyawa fosfolipid (fosfatidilinositol) menjadiasil gliserol (DAG) dan inositol
trifosfat (IP3).

Aktivasi GPCR Melalui Aktivasi Jalur Adenilat Siklase

Gambar.2 Skema Aktivasi GPCR Melalui Jalur cAMP


(Diwan, 2008)

1. Pada bentuk inaktif, protein G berada sebagai suatu trimer dengan GDP yang
terikat pada subunit , dan pada kondisi ini semua subunit berada dalam satu
kompleks.
2. Jika suatu ligan berikatan dengan GPCR maka akan terjadi proses signaling
yang diawali dengan perubahan dari GDP menjadi GTP. Subunit yang
terikat dengan GTP kemudian terdisosiasi dari subunit menjadi subunit
yang aktif yang akan mengaktifkan adenilat siklase (AC) sehingga dapat
memproduksi cAMP.
3. cAMP akan mengaktivasi PKA, selanjutnya PKA akan mengatur transkripsi
gen sehingga dapat terjadi sintesis protein tertentu.
(Diwan, 2008).
Agar tidak terjadi produksi cAMP yang berlebihan, maka aktivasi dari
adenilat siklase harus dihentikan. Terdapat dua cara untuk menghentikan proses
aktivasi ini, yaitu :
1. Hidrolisis GTP menjadi GDP+Pi (GTPase) oleh G. Adanya GDP
menyebabkan G adanya pengikatan ulang ke kompleks inhibitor
sehingga adenilate siklase tak aktif
2. Hidrolisis dari cAMP menjadi AMP yang dikatalisis oleh fosfodiester
3. Penghilangan gugus fosfat yang dikatalisis protein fosfatase melalui
reaksi hidrolisis gugus fosfat yang terikat pada protein melalui PKA
4. Fosforilasi reseptor khususnya pada residu threonin atau serin
sehingga

terjadinya

penempelan

protein

beta

arrestin

yang

meningkatkan proses edositosis serta menghalangi pengkoplingan dari


protein G.
(Diwan, 2008).

Gambar.3 Siklus Aktivasi Deaktivasi GPCR


(Diwan, 2008)

Aktivasi GPCR Melalui Sistem Fosfolipase

Gambar.4 Aktivasi GPCR Jalur Fosfolipase


(Diwan, 2008)

1. Pada bentuk inaktif, protein G berada sebagai suatu trimer dengan GDP
yang terikat pada subunit , dan pada kondisi ini semua subunit berada
dalam satu kompleks.
2. Jika suatu ligan berikatan dengan GPCR maka akan terjadi proses
signaling yang diawali dengan perubahan dari GDP menjadi GTP. Subunit
yang terikat dengan GTP kemudian terdisosiasi dari subunit menjadi
subunit yang aktif yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase C.
3. Enzim fosfolipase C akan menguraikan fosfatidil inositol bis-fosfat (PIP 2)
menjadi inositol trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG) yang merupakan
second messenger.
4. IP3 akan berikatan dengan reseptor spesifik pada retikulum endoplasma
(RE) yang terkait dengan kanal Ca++ sehingga akan memicu pelepasan Ca+
+

dari RE ke sitosol sehingga dapat meningkatkan kadar Ca++ intraseluler.


(Ikawati, 2008).

3. Aktivitas Agonis pada GPCR

Seperti halnya reseptor lain, pada GPCR terdapat substansi yang bersifat
agonis terhadap reseptor tersebut. Bila terdapat substansi agonis yang menempel
pada sisi aktif GPCR, maka akan terjadi peningkatan transduksi signal oleh
protein G. Masing-masing senyawa akan memiliki tempat penempelan yang khas.
Senyawa yang berbeda, maka beda pula tempat penempelannya. Akan tetapi
terdapat batasan untuk mengetahui interaksi reseptor ligan, berbasis pada
eksperimen dimana kita akan melihat beberapa fungsi yang hilang akibat mutasi
atau substitusi yang dipasangkan atau dikoplingkan (Foreman, 1996).

Agonis Monoamin
Beberapa monoamin seperti retinal menempel pada lisin yang

terdapat ditengan segmen transmembran ke VII sehingga mengakibatkan


interaksi yang kaku dengan residu glutamat pada bagian atas TM III
GCPR (rhodopsin). Pada sistem adrenergic terjadi interaksi yang spesifik
antara gugus amin pada ligan dan asam aspartat pada TM III. Interaksi ini
pertama kali dibuktikan dengan melakukan perubahan pada sisi aktif dari
reseptor dari aspartat menjadi serin dan perubahan gugus amin ke keton
atau ester pada ligan. Pada beta adreno reseptor sisi aktif terdapat pada
rongga yang terbentuk dari rongga TM III, V, dan VI. Terdapat tiga
interaksi penting yaitu amin pada ligan dengan aspartat pda TM III, cincin
cathecol dengan serin pada TM V serta adanya interaksi aromatik dengan
fenilalanin pada TM VI (Foreman, 1996).

Agonis Peptida
Hormon glikoprotein menerima energi ikatan yang besar dari

interaksi dengan ekor N terminal. Selain itu neuropeptida dan peptida


hormon memiliki interaksi pada N terminal. Reseptor AT-1 memiliki sisi
aktif pada bagian loop eksternal hingga pada bagian transmembran
(Foreman 1996).
4. Aktivitas Antagonis pada GPCR
Lain halnya dengan agonis yang memacu transduksi sinyal dari GPCR,
ikatan antagonis ini justru akan menghambat penghantaran sinyal tersebut. Pada
mulanya kemampuan substansi antagonis dapat berikatan pada sisi yang sama

secara kompetitif dengan agonis, akan tetapi penemuan terbaru menunjukan


senyawa antagonis ini memiliki sisi aktif tersendiri sehingga terdapat perbedaan
dalam penempelannnya (Foreman, 1996).

Antagonis Monoamin
Beberapa antagonis monoamin memiliki reseptor yang sisi aktifnya

sama dengan reseptor agonisnya. Substansi antagois dapat berintraksi


dengan aspartan pada TM III dan juga sama seperti agonis yang normalnya
dapat menempati rongga antara TM III, V dan VI. Tetapi beberapa
antagonis memiliki interaksi yang berbeda dengan agonis seperti TM VII
pada bagian atas (Foreman, 1996).

Nonpeptid Antagonis
Beberapa antagonis nonpeptid didapatkan dengan cara substitusi

maupun reduksi pada ikatan peptida sama seperti mono amin, antagonis
dapat menempati sisi yang sama maupun berbeda dengan agonisnya
(sterik maupun alosterik kompetitif). Beberapa substansi nonpeptida
memiliki interaksi yang terletak pada rongga antara TM III, V, VI dan VII.
Terkadang mekanisme substansi antagonis dibantu dengan ion logam
seperti zink untuk menstabilkan keadaan tidak aktif dari reseptor
(Foreman, 1996).
B. ANGIOTENSIN II RESEPTOR
Renin angiotensin sistem merupakan sistem fisiologis yang mengatur
keseimbangan tekanan darah dan cairan dengan hidorlisis angiotensinogen
membentuk angiotensin I. Peptida ini kemudian akan mengalami hidrolisis lebih
lanjut menjadi angiotensin II Berbentuk oktapeptida (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-HisPro-Phe) oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II ini
kemudian akan berikatan dengan reseptor angiotensin dan mengaktivasi berbagai
macam mekanisme untuk meningkatkan tekanan darah seperti vasokonstriksi,
peningkatan detak jantung, sekresi aldosteron, dan lain sebagainya (Shimuta,
2007).
Angiotensin reseptor terdiri dari dua subtipe utama yaitu tipe I dan tipe II.
Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan kemampuan internalisasi dan desensitasi

dari agonis yang ada, dimana tipe II tidak terinternalisasi dan terdesensitasi oleh
beberapa agonis, walaupun AT2R tetap bisa berikatan dengan AGNII. Ikatan
AGNII baik dengan AT1R maupun AT2R akan mengaktivasi peningkatan sintesis
protein akibat adanya aktivasi dari protein tertentu. Pada dasarnya, banyak obatobat antagonis angiotensin reseptor

untuk mengontrol hipertensi akan

berinteraksi secara kompetitif dengan angiotensin II pada reseptor tipe I, sehingga


fokus penelitian banyak dilakukan dengan reseptor tipe I tersebut (AT1R)
(Shimuta, 2007).
1.

Angiotensin II
Angiotensin II merupakan senyawa oktapeptida yang merupakan senyawa

spesifik pada ATR baik tipe satu maupun tipe dua. Angiotensin II ini akan
memberikan efek secara fisiologis bergantung pada aromatisitas phenilalanin pada
residu C terminal. Selain itu aromatisitas pada tirosin dan histidin serta gugus
guanidin pada arginin dan muatan pada C karboksil terminal juga berperan
penting dalam aktivasi reseptor. Residu N terminal memegang peranan dalam
durasi ikatan antara angiotensin II dengan residunya (Gasparo, 2000).
Beberapa teori menyatakan bahwa ikatan terpenting dari angiotensin II
dengan reseptornya terletak pada aromatisitas fenilalanin di posisi C terminal.
Selain itu afinitas yang tinggi juga terlihat dari adanya ikatan hidrogen antara
angiotensin II (arginin, tirosin, dan histidin) dengan gugus karboksilat pada
reseptor. Penggantian asam amino tersebut pada molekul angiotensin II hasil
sintesis, menunjukkan penurunan afinitas yang drastis dari reseptor (ATR)
(Shimuta, 2007).
2.

Angiotensin Reseptor Tipe I


Angiotensin reseptor tipe I atau sering disebut AT1R merupakan salah satu

reseptor yang berada pada keluarga GPCR (G Protein Coupled Receptor).


Reseptor ini memainkan banyak peranan dalam berbagai macam fungsi fisiologis
bersama dengan keberadaan angiotensin II. Beberapa kondisi organ yang
terpengaruh dengan adanya interaksi AT1R dengan angiotensin II adalah jantung

(peningkatan detak jantung), ginjal (sekresi aldosteron), neuron (aktivasi sarah


simpatik), edokrin (sekresi adrenalin), hepatic, dan berbagai macam organ lain
(Gasparo, 2000).
Pada manusia, AT1R terdiri dari 359 asam amino yang terbentuk dari gen
dengan lima buah ekson berukuran 59-2014 bp. Gen AT1R pada manusia terletak
di kromosom nomor 3 pada pita q22. AT1R merupakan target utama dari sebagian
besar angiotensin II dalam tubuh. AT1R ini banyak terdapat pada sel nefron
vaskular, glomerulus, serta bagian dalam medula ginjal, selain itu pada otot polos
dan arteri paru-paru juga melimpah AT1R.

Gambar. 5 Posisi AT1R dalam GPCR


(Gasparo, 2003)

Topografi dari AT1R mirip dengan sruktur dari rhodopsin, dengan adanya
N terminal pada ekstraseluler dan diakhiri dengan C terminal pada intraseluler,
kedua domain ini dihubungkan dengan tujuh subunit protein transmembran yang
ketujuhnya saling dihubungkan oleh tiga loop ekstraseluler dan tiga loop
intraseluler (seperti GPCR pada umumnya). Reseptor angiotensin terutama
terletak pada loop ekstraseluler (EC) I dan II. Pada Gambar di atas, terlihat bahwa
AT1R terletak pada daerah transmembran bagian atas, pada TM II, III, IV, V dan
VI, dan sebagian V. Di samping itu, loop eksternal I dan II juga merupakan tempat

penempelan dari angiotensin II. Terdapat dua ciri khas dari reseptor angiotensin
ini, yang pertama adalah terdapat banyak gugusan asam amino dengan rantai
samping yang lipofilik, sedangkan daerah yang memiliki asam amino elektrofilik
memiliki pola dengan gugus amida dan karboksilat.
3. Aktivasi AT1R (Agonis)

Gambar. 6 Posisi Agonis AT1R pada GPCR


(Shimuta, 2007)

Asam amino yang menyusun AT1R bersifat esensial bagi angiotensin II


khususnya empat buah residu sistein yang membentuk ikatan sulfida pada bagian
eksternal dan beberapa residu lain yang terletak pada permukaan reseptor. Selain
itu residu-residu polar yang terletak pada daerah transmembran TM III bagian atas
seperti lisin 102 dan lisin 199 (dekat TM V), berpartisipasi dalam peristiwa
aktivasi (ikatan agonis). Angiotensin II akan berinteraksi dengan N terminal dan
EL I serta III. Selain itu angiotensin II juga berikatan pada daerah transmembran
khususnya pada bagian C terminal dengan lisin 199 (oleh aspartat maupun
phenilalanin). Adanya triptofan 253 juga memiliki peran penting dalam
menstabilkan ikatan (jembatan garam) antara C terminal dengan lisin 199. Posisi
TM VI dan III juga dapat menjadi tempat menempelnya angiotensin II. Residu
phenilalanin dan tyrosin akan membentuk interaksi hidrogen dengan histidin 256.
Secara umum, asam amino penting yang berperan dalam aktivasi AT1R adalah
lisin 199, triptofan 253, histidin 256, dan phenilalanin 259. Asam amino ini

terbukti meningkatkan aktivitas dari AT1R dalam berinteraksi dengan angiotensin


II (Gasparo, 2000).
4.

Antagonis AT1R
Angiotensin memegang peranan penting dalam regulasi tekanan darah,

sehingga terkadang pada penderita hipertensi, salah satu mekanisme terapinya


adalah menekan interaksi antara angiotensin II dengan AT1R. Dalam hal ini
banyak para ilmuan yang meneliti sisi AT1R yang dapat berperan sebagai
penginaktivasi sehingga dapat dilakukan sintesis senyawa dengan bentuk struktur
yang memungkinkan untuk menempati bagian tersebut (antagonis).

Gambar.7 Posisi Antagonis AT1R Pada GPCR


(Shimuta, 2007)

Beberapa penelitian menunjukkan terdapat bagian krusial dari AT1R yang


merupakan sisi deaktivasi, seperti lisin 199 pada TM V, Valin 108 pada TM III,
alanin 163 pada TM IV, prolin 192 dan threonin 198 pada TM V, serin 252 pada
TM VI dan leusin 300 dan phenilalanin pada TM VII. Dengan adanya senyawa
yang dapat menempati sisi-sisi tersebut, maka proses signaling dari AT1R dapat
ditekan. Akan tetapi setiap posisi tidak menghasilkan penekanan yang sama.
Kombinasi bagian yang ditempati akan menghasilkan kemampuan penekanan
respon yang berbeda-beda pula (Gasparo, 2000).

C. VALSARTAN

Interaksi antara angiotensin II dengan reseptornya (AT1R) akan


mengakibatkan rentetan peristiwa fisiologis yang dapat meningkatkan tekanan
darah. Hal ini dikarenakan teraktivasinya reseptor AT1R yang kemudian diikuti
dengan terjadinya transduksi signal pada protein G sehingga terbentuk mediatormediator yang akan berdampak pada mekanisme dalam peningkatan tekanan
darah tadi. Akan tetapi pada penderita hipertensi, hal ini harus dihindari untuk
menurunkan tekanan darah. Keadaan hipertensi yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan timbulnya penyakit-penyakit lain seperti gagal ginjal dan jantung.
Valsartan merupakan obat generasi kedua penghambat AT1R setelah losartan
memiliki kemampuan untuk mengontrol hipertensi. Hal ini dikarenakan valsartan
dapat berikatan dengan sisi antagonis pada AT1R sehingga menyebabkan tidak
terjadinya pengikatan angiotensin II pada AT1R dan menyebabkan reseptor ini
tidak teraktivasi sehingga proses pengeluaran signal-signal selular yang dilakukan
oleh protein G tidak terjadi.

1. Struktur Kimia Valsartan

Gambar. 8 Struktur Kimia Valsartan


(Potamitis, 2009)

Desain Losartan didasarkan pada bentuk yang meniru segmen C terminal


dari molekul angiotensin II. Desain Valsartan didasarkan pada penelitian
sebelumnya tentang Losartan yang menunjukan adanya kesamaan segmen secara
pharmacophore dengan segmen C-terminal, isoleusin dari angiotensin II. Selain
itu adanya hipotesis bahwa cincin imidazol dari losartan meniru ikatan amida
antara Isoleusin (5) dan Histidin (6). Temuan ini menyebabkan penggantian dari
gugus heterosiklik dengan asam amino teralkilasi. Penelitian tentang Valsartan
menunjukan bahwa rantai butil dan gugus fenil-tetrazole memiliki kesesuaian
dengan rantai samping Prolin (7) dan Tyrosin (4) pada molekul angiotensin II
(Potamitis, 2009).
2. Mekanisme Pelekatan Valsartan pada AT1R dan Dampaknya
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Valsartan memiliki
struktur yang menyerupai segmen C terminal dari molekul angiotensin II dimana
segmen tersebut memiliki posisi krusial yang berikatan pada asam amino-asam
amino penting dalam sisi aktif reseptor. Dengan kemampuan tersebut, Valsartan
dapat dengan leluasa melakukan kompetisi secara langsung terhadap molekul
angiotensin II untuk berikatan dengan AT1R.
Telah dilakukan berbagai macam penelitian mengenai mekanisme
penempelan molekul Valsartan pada reseptor AT1R. Dengan menggunakan
metode komputasi, didapatkan bahwa Valsartan akan menempel (menempati)

posisi reseptor pada daerah antagonis (gambar ...). Valsartan akan menempati
rongga yang dibentuk oleh tujuh protein transmembran pada bagian atas
mendekati daerah eksternal (dengan tanpa berikatan pada loop eksternalnya)
(Potamitis, 2009).

Gambar. 9 Posisi Perlekatan Valsartan pada AT1R


(Potamitis, 2009)

Secara atomik, terdapat tiga buah ikatan hidrogen yang terbentuk dari
interaksi AT1R dengan molekul Valsartan. Ikatan hidrogen ini terbentuk dari
ikatan antara lisin 199 (hidrogen amin) dengan atom O dari gugus karboksilat dari
ligan. Selain itu ikatan antara hidrogen amin dari histidin 256 dan gugus tetrazole
pada ligan juga menyumbangkan interaksi hidrogen. Terakhir adalah atom H
fenolik dari tirosin 113 dengan gugus karbonil dari ligan juga memberikan ikatan
hidrogen. Menurut hasil penelitian in silico, ikatan ini merupakan hal krusial dari
proses interaksi molekul Valsartan dengan AT1R terutama pada lisin 199. Mutasi
yang dilakukan pada asam amino tersebut mengakibatkan turunnya nilai pada
proses scoring (Potamitis, 2009).

Gambar.10 Interaksi Atomic Valsartan pada AT1R


(Potamitis, 2009)

Selain lisin 199, Valsartan juga melakukan interaksi penting dengan asam
amino seperti serin 105 dan serin 109. Pada serin 109, terjadi interaksi dengan
atom H gugus tetrazole pada ligan, dengan panjang ikatan 3,0 A. Begitu pula
dengan lisin 199, selain berinteraksi dengan gugus karboksilat dari ligan, asam
amino ini juga diduga berinteraksi dengan atom H gugus tetrazole dengan panjang
ikatan 3,4 A. Serin 105 memiliki potensi untuk berikatan dengan gugus karboksil
2,9 A. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa interaksi Valsartan dengan
histidin 256 dan glisin 257 tidaklah secara langsung akan tetapi, interaksi dengan
lisin 199 adalah mutlak untuk mendapatkan hasil scoring terbaik (Miura, 2008).

Gambar. 11 Interaksi Atomic Valsartan pada AT1R (Sudut Pandang Lain)


(Miura, 2008)

Ketika sisi antagonis dari AT1R ditempati oleh Losartan, molekul


angiotensin II tidak dapat memasuk tempatnya secara benar. Hal ini menyebabkan
molekul GPCR tidak teraktivasi dan juga protein G akan tetap terintegrasi pada
daerah intraseluler pada molekul GPCR. Protein G yang tidak teraktivasi
kemudian tidak bisa menghantarkan signal-signal tertentu karena senyawasenyawa messenger seperti cAMP, PKC, maupun senyawa yang lain tidak
dihasilkan. Dampaknya secara fisiologis, proses-proses seperti vasokonstriksi
arteri, aktivasi saraf simpatis, sekresi aldosteron, peningkatan detak jantung, dan
kontraksi otot polos dapat ditekan sehingga tekanan darah akan turun. Hal ini
tentunya dapat mengontrol tekanan darah pada penderita hipertensi.

BAB III

RANGKUMAN
Hipertensi adalah suatu sindrom metabolit yang ditunjukan dengan
kenaikan tekanan darah yang tidak terkontrol. Gejala klinis dari hipertensi adalah
tekanan darah sistole yang lebih dari 140 mmHg dan diastole yang lebih dari 90
mmHg. Hipertensi yang bersifat kronis akan memicu berbagai macam komplikasi
seperti stroke, gagal ginjal, kelainan jantung, dan lain sebagainya. Salah satu obat
yang digunakan untuk mengontrol hipertensi adalah Valsartan.
Valsartan merupakan obat golongan angiotensin II reseptor tipe I (AT1R)
inhibitor. Angiotensin II reseptor tipe I (AT1R) merupakan reseptor yang termasuk
dalam bagian dari G Protein Coupled Receptor (GPCR). Reseptor ini tersusun
dari banyak asam amino yang membentuk konformasi tertier. G protein Coupled
Receptor memiliki bentuk khas dengan rantai N terminal terletak pada bagian
ekstraseluler kemudian tersambung dengan tujuh subunit protein transmembran
alfa heliks yang disambungkan dengan tiga loop ekstraseluler dan tiga loop
intraseluler serta diakhiri dengan rantai C terminal. Aktivasi reseptor ini
dikarenakan berbagai macam hal salah satunya rangsangan dari senyawa agonis
yang nantinya akan diikuti dengan pengeluaran senyawa-senyawa messenger
diperantarai protein G seperti cAMP, maupun senyawa-senyawa lain yang akan
menyebabkan terjadinya aktivitas fisiologis pada tubuh.
Posisi AT1R terletak pada bagian atas dari ketujuh subunit protein
transmembran tersebut termasuk sebagian rantai N terminal dan loop
ekstraseluler. Senyawa agonis dari AT1R adalah angiotensin II yang memiliki
residu asam amino penting pada rantai C terminalnya. Residu inilah yang
merupakan residu penting untuk terjadinya ikatan.
Desain senyawa valsartan memiliki kemampuan untuk melakukan
interaksi yang terjadi dengan bagian C terminal. Selain itu valsartan mampu
menempati sisi antagonis dari AT1R dengan posisi ligan yang berinteraksi pada
asam amino-asam amino penting seperti lisin 199. Dengan kemampuanya inilah
valsartan dapat menghalangi aktivasi GPCR akibat interaksi dengan angiotensin II
sehingga transduksi signal oleh protein G dapat dicegah. Dampak dari rentetan

proses ini mekanisme peningkatan tekanan darah dapat ditekan dan tekanan darah
dapat turun sehingga pada penderita hipertensi, tekanan darah menjadi normal.

DAFTAR PUSTAKA
Foreman, John, C., Johansen, Torben., 1996, Textbook of Receptor Pharmacology,
CRC Press, New York
Gasparo, 2000, International Union of Pharmacology. XXIII. The Angiotensin II
Receptors, Pharmacological reviewa, Vol 52, No. 3, U.S., pp : 415-472
King, 2013, Mechanism of Signal Transduction,
http://themedicalbiochemistrypage.org/signal-transduction.php , diakses tanggal
13 Februari 2013.
Medilexicon

International,

2004,

Diovan

(Valsartan),

http://www.medilexicon.com, diakses tanggal 13 Februari 2013.


Miura, S.I., 2008, Differential Bonding Interactions of Inverse Agonists of
Angiotensin II Type 1 Receptor in Stabilizing the Inactive State, Molecular
Endocinology, Vol 22, No.1, Departmen of Cardiovascular, Japan, pp : 139-146.
Potamitis, C., 2009, Antihypertensive Drug Valsartan in Solution and at the AT1
Receptor: Conformational Analysis, Dynamic NMR Spectroscopy, in Silico
Docking, and Molecular Dynamics Simulations, Journal of Chemical Information
and Modelin, vol 49, No.3, Washington D.C., U.S., pp : 726-739.
Sakmar,2009, Cell Signaling, 2nd Edition, Academic Press, Oxford, United
Kingdom, pp : 150-156.
Setiati., S, 2005, Prevalence of Hypertension Without Anti-Hypertension
Medication and Its Association with Social Demoghraphi Characteristic Among
40 Year and Above Adult Population in Indonesia, Acta Medica Indonesia, Vol 37,
No. 1, Fakultas Kedokteran Divisi geriatri, Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia.

U.S. Department of Health and Human Service, 2003, Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 7),
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf, diakses tanggal 13
Februari 2013.

Anda mungkin juga menyukai