Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Rute pemberian obat transdermal lebih disukai karena mudah dalam penggunaannya. Namun,
terdapat keterbatasan terkait dengan sulitnya obat penetrasi ke dalam kulit. Hal ini
disebabkan oleh adanya stratum korneum yang menjadi barier utama masuknya obat ke
dalam kulit. Penetrasi obat ke dalam kulit dapat melalui rute trans-epidermal (trans-selular
dan paraselular) dan rute trans-appendegeal. Untuk meningkatkan kemampuan penetrasi obat
transdermal maka dapat menggunakan enhancer kimia maupun enhancer fisik. Enhancer
kimia dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia atau berdasarkan mekanisme aksinya.
Senyawa kimia yang memiliki gugus fungsi sama dapat memiliki mekanisme kerja yang
berbeda tergantung dari sifat fisik-kimianya. Enhancer kimia dikategorikan berdasarkan
struktur kimianya, antara lain: air, alkohol, amida, ester, eter alkohol, pirolidon, hidrokarbon,
sulfoksida, surfaktan, terpen, fosfolipid, vesikel.
Vesikel adalah partikel koloid dalam bentuk bilayer dari molekul amfifilik/surfaktan
yang berperan sebagai pembawa obat sehingga dapat membantu meningkatkan penetrasi
obat. Komposisi vesikel mempengaruhi karakteristik fisik- kimianya, seperti ukuran, muatan,
fase termodinamika, lamellaritas, serta elastisitas bilayer. Karakteristik fisik-kimia ini akan
mempengaruhi efektivitas vesikel dalam meningkatkan penetrasi obat transdermal. Beberapa
mekanisme interaksi vesikel dan stratum korneum tergantung dari elastisitas dari vesikel.
Interaksi antar komponen vesikel, serta interaksi antar vesikel dan kulit dipercaya
bertanggungjawab terhadap peningkatan permeasi kulit dari sistem vesikel. Berbagai jenis
vesikel antara lain Liposom, Niosom, Transfersom, Etosom dan Aquasom.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Liposom
2.1.1. Definisi, Jenis dan Kriteria
Liposom digunakan sebagai sistem penghantaran pada beberapa produk kosmetik,
farmasi, pangan dan beberapa produk pertanian. Liposom merupakan suatu sistem
penghantaran obat berupa vesikel artifisial yang kecil yang berbentuk sperik dengan ukuran >
30 nm – mikrometer dibuat dari kolesterol dan fosfolipid natural yang tidak toksik. Dalam
strukturnya liposom memiliki bagian yang hidrofobik dan hidrofilik sehingga mencegah
dekomposisi kombinasi obat yang berada di dalam nya serta melepaskannya pada target yang
dituju (Akbarzadeh A, 2013).

Gambar 1. Struktur Liposom

Berdasarkan ukuran dan jumlah bilayernya, liposom dikategorikan menjadi 2 kategori


yaitu multilamellar vesicles (MLV), vesikel memiliki fosfolipid bilayer tunggal dengan
struktur onion dan unilamellar vesicles (ULV) vesikel memiliki fosfolipid bilayer tunggal
yang menutupi fase air dan dibagi menjadi 2 yaitu large unilamellar vesicles (LUV) dan small
unilamellar vesicles (SUV) (Akbarzadeh A, 2013).
Beberapa tipe liposom antara lain
a. Konvensional liposom
Merupakan liposom generasi pertama yang dibuat dari natural atau sintetis fosfolipid
dengan atau tanpa kolesterol. Penambahan kolesterol bertujuan untuk meningkatkan
fluiditas liposom, memperbaiki kekakuan lapisan bilayer dan stabilitas liposom sehingga

2
dapat meningkatkan pelepasan molekul hidrofilik dari lipid vesikel. Liposom yang stabil
memiliki kandungan kolesterol dengan konsentrasi optimal 50%.
b. Charged liposom
Asam oleat dan N-[1(2,3-dioleoyloxy) propyl]-N,N,N-trimethylam-monium chloride
(DOTAP) biasanya digunakan untuk menyiapkan anionik dan kationik liposom. Charge
liposom sangat stabil dalam penyimpanan karena partikel bermuatan saling tolak
menolak dan mengurangi kemampuan agregasinya. Liposom kationik cocok untuk
penghantaran negatif makromolekul seperti DNA dan RNA karena muatan negativenya
dan ukuran nya yang besar membatasi difusi pasif ke dalam sel. Liposom kationik
digunakan untuk penghantaran obat ke dalam sawar otak. Liposom anionik kurang stabil
pada aliran darah dibanding dengan liposom kationik dan netral. Anionik liposom
biasanya digunakan untuk penghantaran obat transdermal karena kemampuan nya dalam
meningkatkan penetrasi ke stratum korneum.
c. Stealth stabilized liposom
Generasi kedua dari liposom yang bagian permukaan nya berasal dari polimer,
glikoprotein, polisakarida atau reseptor ligan untuk mencapai distribusi yang sempit dan
akumulasi pada sisi tertentu. Liposom ini menunjukkan waktu sirkulasi yag lebih lama
sehingga lebih baik dalam akumulasinya dibandingkan dengan liposom konvensional.
Komposisinya mengandung asam hialuronat, polivynyl alkohol (PVA), PEG yang paling
bagus untuk model liposome steric protection.
d. Actively targeted liposomes
Merupakan liposom generasi ketiga yang selektif berinteraksi dengan sel penyakit
misalnya penyakit kanker. Penargetan liposom dapat ditingkatkan dengan
menggabungkan bagian pengenalan molekul, yang dapat menyebabkan transportasi obat
dengan kemanjuran yang lebih baik dan efek samping yang rendah. Misalnya, strategi
penargetan liposom menggunakan peptida sederhana, protein (termasuk antibodi) atau
fragmen protein karbohidrat, asam nukleat, atau vitamin.
e. Stimuli-responsive liposomes
Liposom dengan pelepasan obat secara cepat akibat rangsangan fisikokimia atau
biokimia, seperti pH, suhu, potensi redoks, konsentrasi enzim, ultrasound, medan listrik
atau magnet.Liposom ini mengandung konstituen tertentu yang mengontrol stabilitas dan
permeabilitas lipid bilayer. Ada dua jenis induksi dasar, jarak jauh dan lokal. Induksi
jarak jauh menanggapi rangsangan luar termasuk, panas, medan magnet, cahaya, medan

3
listrik, dan ultrasound. Pelepasan pemicu lokal merespons rangsangan di dalam jaringan
target, seperti pH, potensi redoks dan enzim.

f. Bubble liposomes
Gelembung liposom (liposom gas-encapsulated) diharapkan mampu menghantarkan
gen dan obat. Liposom telah digunakan untuk mengenkapsulasi gas bioaktif dan/atau
obat-obatan untuk pelepasan obat yang dikendalikan ultrasound dengan penghantaran
obat yang ditingkatkan. Liposom gelembung oksida nitrat (NO) menawarkan pilihan
terapeutik intravena NO yang berbeda untuk mengatasi gelembung mikro yang umum, di
mana liposom melindungi NO dari kerusakan hemoglobin secara in vitro seperti yang
biasanya terjadi oleh NO bebas. Oxygen bubble liposome (OBL) memungkinkan fiksasi
oksigen tinggi dengan kondisi pO2 paru yang tinggi. Hal ini memisahkan OBL dari
transporter oksigen berbasis fluorokarbon dan hemoglobin yang baik dan
mempertahankan pemanfaatannya sebagai tahap pengangkutan oksigen.

2.1.2. Tujuan Pembuatan Sistem


Beberapa tujuan dari sistem penghantaran obat etosom yaitu
a. Meningkatkan efikasi dan indek terapetik obat
b. Meningkatkan penetrasi obat
c. Dapat digunakan untuk model sustained release
d. Meningkatkan stabilitas melalui enkapsulasi
e. Tidak toksik, fleksibel, biokompatibel, terbiodegradasi sempurna, non imunogenik untuk
pemberian secara sistemik dan non sistemik
f. Menurunkan toksisitas bahan yang terenkapsulasi (amphoterisin B, taxol)
g. Menurunkan paparan obat toksik pada jaringan yang sensitif
h. Fleksibel untuk dipasangkan dengan ligan yang spesifik untuk mencapai target obat
(Akbarzadeh A, 2013)

2.1.3. Teknologi Pembuatan


a. Thin-Film Hydration (TFH) Method (Bangham Method)
Langkah pembuatan liposom dengan metode ini adalah (Lombardo, 2022)
1. Komponen lipid (obat lipofilik/makromolekul) dilarutkan dalam pelarut organik
2. Penguapan pelarut sehingga terbentuk lapisan film tipis

4
3. Lapisan lipid direhidrasi dalam buffer salin sehingga menyebablan bilayer lipid
mengembang
4. Dengan adanya pengadukan/agitasi membuat polidispersi vesikel multilamelar
5. Pengecilan ukuran liposom dengan ekstrusi, sonifikasi dan homogenisasi
6. Purifikasi
7. Karakterisasi

Gambar 2. Metode Thin-Film Hydration (TFH) Method (Bangham Method)


(Lombardo, 2022)

b. Detergent Removal (Depletion) Method


Langkah pembuatan liposom dengan metode ini adalah (Lombardo, 2022)
1. Solubilisasi dan rekonstruksi membran dengan menambahkan atau menghilangkan
surfaktan
2. Karakteristik struktur molekular geometris dan agregat lipik dan surfaktan
3. Hidrasi lipid dengan larutan surfaktan sehingga membentuk campuran surfaktan dan
lemak
4. Pelarutan yang sempurnya dengan buffer air dapat meningkatkan polispersi partikel
5. Transisi ke struktur vesikel
6. Proses selesai dengan penambahan metode penghilangan residu surfaktan dari
liposom

5
Gambar 3. Metode Detergent Removal (Depletion) (Lombardo, 2022)

c. Injeksi etanol
Fase lemak diinjeksikan secara cepat pada buffer dan MLV akan terbentuk. Kekurangan
nya adalah ukuran partikel heterogen antara 30-110 nm, liposom sangat encer,
penghilangan etanol sulit dilakukan karena membentuk azeotrope dengan air.

Gambar 4. Metode Injeksi Etanol (Lombardo, 2022)

6
d. Injeksi Eter
Fase lemak dilarutkan ke dalam campuran dietil eter metanol dan diinjeksikan ke fase air
dan dienkapsuladi pada suhu 55-65 C atau pada tekanan rendah. Kekurangan nya ukuran
partikelnya heterogen 70-200 nm dan membutuhkan suhu tinggi
e. Reverse-Phase Evaporation Method
Berdasarkan pembuatan misal terbalik yang dibentuk dari sonifikasi campuran
campuran fase air buffer yang berisi molekul larut dalam air untuk dienkapsulasi dalam
liposom dan fase organik dimana molekul amphifiik larut. Sediaan yang terbentuk adalah
gel dan kental. Kelebihan dari metode ini adalah efisiensi pembentukan enkapsulasi
liposom relatif tinggi yaitu sekitar 80%. (Akbarzadeh A, 2013)

Gambar 5. Reverse-Phase Evaporation Method (Lombardo, 2022)

2.2. Etosom
2.2.1. Definisi, Jenis dan Kriteria
Beberapa keterbatasan liposom tradisional antara lain keterbatasan kemampuan
penetrasinya ke dalam stratum cormeum sehingga tidak mencapai target terapi sehingga
dikembangkan sistem pembawa obat etosom yang mirip dengan liposom dengan struktur
membran fosfolipid bilayer dan biocompatibilitas yang baik. Perbedaan dengan liposom
tradisional adalah etosom mengandung alkohol dalam konsentrasi yang tinggi yaitu 20-50%
dimana alkohol ini berfungsi mempengaruhi densitas dari lapisan lipid pada stratum corneum.
Selain itu etosom memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan stabilitas yang lebih baik
dibanding dengan tradisional liposom. (Fu Xe et al, 2019)

7
Gambar 6.Struktur Ethosome

Berdasarkan komposisi penyusunnya, ethosome memiliki beberapa tipe yaitu


a. Traditional ethosomes
Ethosome yang mengandung kadar alkohol yang tinggi sampai dengan 45%, fosfolipid
dan air. Dibandingkan dengan tradisional liposome, traditional ethosomes lebih baik
dalam penghantaran sediaan transdermal karena efisiensi penjerapan yang lebih baik,
ukuran partikel yang lebih lecil serta lebih stabil.
b. Binary ethosomes
Merupakan pengembangan dari traditional ethosomes dengan penambahan beberapa
macam alkohol. Sebagian besar menggunakan campuran propylene glycol/etanol atau
campuran isopropanol/etanol.
c. Transethosomes
Disebut juga elastic liposome merupakan generasi terbaru dari pengembangan ethosomes
dimana memiliki komposisi yang sama dengan tradisional ethosomes namun dengan
penambahan aktivator tepi atau peningkat penetrasi ke dalam struktur vesikular.
Transethosomes menunjukkan efektifitas yang lebih baik dibandingkan dengan
traditional/classic ethosomes. (Abubakr, 2023)

Gambar 7. Tipe Ethosome (Abubakr, 2023)

8
Berikut adalah komposisi penyusun ethosome:
a. Phospholipids
Phospholipids yang banyak digunakan pada pembuatan ethosomes adalah phospholipon
90G, Phospholipon 90 H, dan α-phosphatidylcholine dengan rentang konsentrasi 0,5-5
%. Peningkatan konsentrasi phospholipids dapat meningkatkan ukuran vesikel dan
efisiensi penjerapan. (Abubakr, 2023)
b. Etanol
Dalam sistem ethosomes etanol berperan dalam peningkat permeasi. Kadar etanol dalam
ethosomes berkisar pada 10-50%. Etanol berperan dalam penurunan ukuran vesikular,
meningkatkan efisiensi penjerapan, meningkatkan zeta potensial dan stabilitas vesikel
serta meningkatkan kelarutan agen lipofilik dan ampifilik sehingga meningkatkan
pemasukan obat (drug loading). Namun peningkatan konsentrasi etanol diatas kadar
optimum dapat meningkatkan resiko kebocoran bilayer karena kelarutan phospholipid
dalam etanol. (Abubakr, 2023)
c. Propilene glycol
Merupakan peningkat penetrasi yang digunakan dalam konsentrasi 5-20%. Penambahan
propilene glycol pada sietem ethosomes dapat menurunkan ukuran partikel dibandingkan
yang tidak menggunakan propylene glycol. (Abubakr, 2023)
d. Kolesterol
Kolesterol pada sistem ethosomes berfungsi meningkatkan stabilitas dan efisiensi
penjerapan obat dengan mencegah terjadinya kebocoran dan menurunkan permeabilitas
vesikular serta fusi verikular yang digunakan pada konsentrasi < 3% atau 70% dari total
konsentrasi phospholipid pada formula (Abdulbaqi I, 2016)
e. Dicetyl phosphate
Digunakan untuk mencegah terjadinya agregasi vesikel dan meningkatkan stabilitas dari
ethosomes dengan membuat zeta potensial negatif. Dicetyl phosphate digunakan dalam
konsentrasi 8% dan 20% dari total konsentrasi phospholipid (Abdulbaqi I, 2016).
f. Komponen lain
Tween 80 sebagai edge activator, asam oleat digunakan untuk modulasi ukuran
vesikular, elastisitas, zeta potensial dan permeabilitas kulit dengan melembabkan lapisan
stratum korneum. Bile salt digunakan untuk meningkatkan permeasi. Sodium cholate dan
sodium taurocholate meningkatkan stabilitas dari sistem versikular sehingga
meningkatkan negatif zeta potensial (Abubakr, 2023)

9
2.2.2. Tujuan Pembuatan Sistem
a. Meningkatkan kepatuhan pasien (ethosomes semi solid)
b. Menghasilkan efek obat lebih lama dan memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi
sistemik

2.2.3. Teknologi Pembuatan


a. Metode klasik dingin
Fase organik dan fase air disiapkan terpisah pada suhu 30 C. Larutkan phospholipid
dalam etanol atau campuran pelarut (etanol/PG) untuk membuat fase organik. Air,
larutan buffer atau larutan normal saline digunakan sebagai pase air dan perlahan
ditambahkan ke fase organik tetes demi tetes. Campuran diaduk dengan magnetic stirer
dengan kecepatan 700-2000 rpm selama 5-30 menit. (Abubakr, 2023)

Gambar 8. Metode Dingin (Abdulbaqi I, 2016)


b. Metode panas
Phospholipid dimasukkan dalam air dan dipanaskan pada suhu 40 C untuk membentuk
suspensi koloid. Panaskan etanol pada suhu 40C dan ditambahkan tetes demi tetes
suspensi phospholipid sambil diaduk dengan magnetic stirer. Berdasarkan karekteristik
hidrofobik dan hidrofiliknya obat akan terlarut pada fase air/fase organik. (Abubakr,
2023)

10
Gambar 9. Metode Panas (Abdulbaqi I, 2016)

c. Metode hidrasi film tipis


Pada botol bulat phospholipid dilarutkan dengan pelarut organik yang sesuai biasanya
kloroform atau campuran kloroform/metanol kemudian dihilangkan pelarutnya dengan
menggunakan rotavor vakum selama semalam. Lapisan film dihidrasi menggunakan
larutan hidroalkohol atau bufer salin phospat. (Abubakr, 2023)

d. Metode Injeksi etanol dan Sonifikasi


Pada metode ini fase organik mengandung fosfolipid dalam etanol diinjeksikan ke dalam
fase air menggunakan syringe/suntikan pada kecepatan alir 200 μL/min dan kemudian
dihomogenisasi dengan ultrasonik selama 5 menit.(Fu X et al, 2019)

11
Gambar 10. Metode Injeksi etanol da sonifikasi .(Fu X et al, 2019)

e. Metode Reverse-Phase Evaporation


Metode ini didesign untuk menghasilkan ULV dalam skala besar. Fase organik disiapkan
dengan melarutkan fosfolipid dalam diethyl eter kemudian dicampur dengan fase air
pada rasio 3:1 v/v di ultrasonic bath pada suhu 0°C selama 5 menit untuk membentuk
emulsi air dalam minyak. Pelarut organik dihilangkan dibawah tekanan sehingga
membentuk gel yang berubah menjadi dispersi koloid pada agitasi mekanis yang kuat
(Abdulbaqi I, 2016)

Gambar 11. Metode Reverse-Phase Evaporation (Gharib, 2015)

f. Metode Transmembrane pH-gradient


Perbedaan dengan metode lain nya adalah pada metode lain nya senyawa
ditambahkan ke dalam fase organik atau fase air dan secara pasif atau spontan terbentuk
dalam sistem etosom. Pada metode gradien pH transmembran ini senyawa obat dimuat
secara aktif berdasarkan perbedaan gradien pH antara interior asam dari fase internal
dengan basa eksterior pada fase luar sistem etosom. Metode ini hanya cocok untuk
senyawa obat yang larut air dan memiliki gugus amin terprotonasi. (Abdulbaqi I, 2016).

12
Suspensi etosom kosong disiapkan dengan metode lain tsb diatas namun fase air atau
proses hidrasi menggunakan buffer asam (buffer sitrat pH 3). Tahap selanjutnya adalah
memasukkan obat ke dalam suspensi ethosome diikuti dengan pengadukan terus menerus
untuk membuat fase eksternal lebih basa dan membuat gradien pH antara fase internal
asam (pH 3) dan fase eksernal basa. Biasanya ditambahkan sodium hydroxide 0,5M
untuk mebuat pH fase luar menjadi 7,4. Tahap ketiga etosom diinkubasi pada suhu
30°C–60°C untuk memberikan kesempatan pada obat yang tidak terionisasi secara aktif
memasuki dan masuk ke dalam lapisan bilayer vesikel ethosom. (Abdulbaqi I, 2016)

Gambar 12. Metode Metode Transmembrane pH-gradient (Abdulbaqi I, 2016)

2.3. Transfersom
2.3.1. Definisi, Jenis dan Kriteria
Berasal dari bahasa Latin “Transferre” yang artinya “untuk membawa seluruh” dan
bahasa Yunani “Soma” yang berarti “tubuh” sehingga transfersom memiliki arti secara
singkat merupakan kendaraan/vesikel yang membawa muatannya ke seluruh tubuh. Profil
Transfersom, diperkenalkan pertama kali oleh Gregor Cevc (1991) terdiri atas komponen
utama obat hidrofilik yang berada pada bagian inti dalam campuran air-etanol, dan obat
hidrofobik yang berada pada bagian fospolipid bilayer serta edge activator.

13
Gambar 13. Struktur Transfersom

Transfersom diklasifikasikan menjadi


a. Multilamellar Vesicle (MLV)
- Dapat menyerap molekul ukuran kecil maupun besar
- MLV memiliki ukuran 0,1-0,5 μm dengan critical point preparation adalah waktu,
proses hidrasi, ketebalan lapis tipis lipid, kons, lipid comp dan buffer vol.
- Minus : absorp cap pd senyawa polar bersifat rendah
b. Small Unilamellar Vesicle (SUV)
- Berbentuk bulat dengan uk 20-50 nm
- Dihasilkan dari proses sonikasi dispersi fosfolipid
- Keberhasilan SUV sangat bergantung pada komposisi lipid, waktu sonikasi dan
jumlah kolesterol pada campuran lipid.
c. Large Unilamellar Vesicle (LUV)
Dibentuk dari emulsi fosfolipid dalam dapar dengan pelarut organik, diikuti dengan
penguapan pelarut organik dibawah tekanan vakum.

2.3.2. Tujuan Pembuatan Sistem


Transfersom mengatasi masalah penetrasi dengan menyempitkan ukurannya melalui
intacelular pada stratum korneum. Keberadaan “Edge Activator” dapat mengacaukan lapisan
ganda lipid dan membuat transfersom jauh lebih fleksibel dan dapat dideformasi,
dibandingkan dengan liposom konvensional. Sehingga mengakibatkan penyesuaian
perubahan bentuk struktur (transportasi elastis) yang memungkinkan transfersom untuk
menembus barrier stratum korneum secara spontan, menuju lapisan kulit yang lebih dalam,

14
dibandingkan dengan liposom yang terlalu besar untuk melewati pori dengan ukuran kurang
dari 50 nm. Hal ini dapat mengoptimalkan kemampuan hantaran penetrasi zat aktif masuk ke
dalam sirkulasi sistemik lalu jaringan target dan meningkatkan bioavailabilitasnya.
Skema mekanisme penetrasi transfersom di kulit. Setelah pemberian topikal,
transferosom mengalami gradien osmotik transdermal karena perbedaan kadar air antara
stratum korneum dan epidermis yang hidup. Gradien ini memicu penguapan cairan
transferosom dan mendukung deformasi dan penetrasi melintasi stratum korneum menuju
area kulit yang lebih dalam dan lebih berair untuk rehidrasi.

Gambar 14 Prinsip Dasar Penetrasi Transfersom

2.3.3. Teknologi Pembuatan


a. Teknik Hidrasi Film Tipis/Metode Rotary Evaporation-Sonication
Fosfolipid dan edge activator dilarutkan dalam labu alas bulat menggunakan campuran
pelarut organik yang mudah menguap. Obat lipofilik dapat dimasukkan dalam langkah
ini. Untuk membentuk film tipis, pelarut organik diuapkan di atas suhu transisi lipid di
bawah tekanan tereduksi menggunakan rotary vacuum evaporator. Simpan di bawah
vakum untuk menghilangkan jejak akhir pelarut. Lapisan tipis yang terdeposisi kemudian
dihidrasi menggunakan larutan buffer dengan pH yang sesuai (contoh: pH 7,4) dengan
cara dirotasi dengan waktu tertentu pada suhu yang sesuai. Penggabungan obat hidrofilik
dapat dilakukan pada tahap ini. Vesikel yang dihasilkan membengkak pada suhu kamar
dan disonikasi dalam bak atau sonikator probe untuk mendapatkan vesikel kecil. Vesikel

15
yang disonikasi dihomogenkan dengan ekstrusi melalui sandwich membran polikarbonat
200 nm hingga 100 nm
b. Metode Vortexing-Sonication
Fosfolipid, aktivator tepi dan obat dicampur dalam buffer fosfat. Campuran tersebut
kemudian divorteks sampai diperoleh suspensi transfersomal seperti susu. Kemudian
disonikasi, menggunakan bath sonicator, untuk waktu tertentu pada suhu kamar dan
kemudian diekstrusi melalui membran polikarbonat (contoh: 450 dan 220 nm)
c. Metode Handshaking yang Dimodifikasi
Prinsip dasar serupa rotary evaporation-sonication, pelarut organik, obat lipofilik,
fosfolipid dan aktivator tepi ditambahkan dalam labu alas bulat, pelarut organik
dihilangkan dengan penguapan sambil handshake. Labu alas bulat sebagian dicelupkan
ke dalam penangas air dengan suhu 40–60◦C. Lalu terbentuk film lipid tipis dalam
dinding labu. Labu disimpan semalaman untuk penguapan lengkap pelarut. Film yang
terbentuk kemudian dihidrasi dengan larutan penyangga yang sesuai dengan pengocokan
lembut pada suhu di atas suhu transisi fasanya. Penggabungan obat hidrofilik dapat
dilakukan pada tahap ini
d. Homogenisasi Suspensi
Transfersom disiapkan dengan mencampurkan larutan fosfolipid etanolik dengan
aktivator tepi dalam jumlah yang sesuai. Suspensi disiapkan kemudian dicampur dengan
buffer untuk menghasilkan konsentrasi lipid total. Formulasi yang dihasilkan kemudian
disonikasi, dibekukan dan dicairkan masing-masing dua sampai tiga kali
e. Proses Sentrifugasi
Fosfolipid, aktivator tepi dan obat lipofilik dilarutkan dalam pelarut organik. Pelarut
kemudian dihilangkan menggunakan rotary evaporator di bawah tekanan yang dikurangi
pada suhu masing- masing. Jejak pelarut yang tersisa dihilangkan di bawah vakum. Film
lipid yang diendapkan dihidrasi dengan larutan buffer yang sesuai dengan sentrifugasi
pada suhu kamar. Penggabungan obat hidrofilik dapat dilakukan pada tahap ini. Vesikel
yang dihasilkan membengkak pada suhu kamar. Vesikel lipid multilamelar yang
diperoleh selanjutnya disonikasi pada suhu kamar
f. Penguapan Fase Balik
Fosfolipid dan aktivator tepi ditambahkan ke dalam labu alas bulat dan dilarutkan dalam
campuran pelarut organik. Obat lipofilik dapat dimasukkan dalam langkah ini. Kemudian
pelarut diuapkan menggunakan rotary evaporator untuk mendapatkan film lipid. Film
lipid dilarutkan kembali dalam fase organik yang sebagian besar terdiri dari isopropil eter

16
dan/atau dietil eter. Selanjutnya, fase berair ditambahkan ke fase organik, yang mengarah
ke sistem dua fase. Penggabungan obat hidrofilik dapat dilakukan pada tahap ini. Sistem
ini kemudian disonikasi menggunakan bath sonicator sampai terbentuk emulsi homogen
w/o. Pelarut organik diuapkan secara perlahan menggunakan rotary evaporator hingga
terbentuk gel kental yang kemudian menjadi suspensi vesikuler
g. Homogenisasi Tekanan Tinggi
Fosfolipid, aktivator tepi dan obat didispersikan secara merata dalam PBS atau air suling
yang mengandung alkohol dan diikuti dengan pengocokan ultrasonik dan diaduk secara
bersamaan. Campuran tersebut kemudian mengalami getaran ultrasonik intermiten.
Campuran yang dihasilkan kemudian dihomogenisasi menggunakan homogenizer
bertekanan tinggi. Terakhir, transfersom disimpan dalam kondisi yang sesuai
h. Injeksi Etanol
Fase organik dihasilkan dengan melarutkan fosfolipid, edge activator dan obat lipofilik
dalam etanol dengan pengadukan magnet selama beberapa waktu, hingga diperoleh
larutan bening. Fase berair diproduksi dengan melarutkan zat yang larut dalam air dalam
buffer fosfat. Penggabungan obat hidrofilik dapat dilakukan pada tahap ini. Kedua
larutan dipanaskan hingga 45–50◦C. Setelah itu, larutan fosfolipid etanolik disuntikkan
bertetes-tetes ke dalam larutan berair dengan pengadukan terus-menerus selama waktu
tertentu. Penghapusan etanol dilakukan dengan mentransfer dispersi yang dihasilkan ke
dalam evaporator vakum dan kemudian disonikasi untuk pengurangan ukuran partikel

2.4. Phytosome
2.4.1. Definisi, Jenis dan Kriteria
Phytosome, disebut juga phyto-phospholipid complexes, merupakan kompleks yang
terbentuk antara senyawa aktif bahan alam dengan senyawa polar phospholipid pada rasio
molar (stoikiometri) dan kondisi tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Phytosome
pertama kali dikembangkan oleh Indena company (Milan, Italy). Rasio molar (stoikiometri)
umumnya adalah 1:1, yakni rasio molar antara senyawa aktif bahan alam dan phospholipid
yang diguanakan adalah sama. Namun begitu, perbandingan tersebut tidak berlaku untuk
semua senyawa aktif bahan alam. Diperlukan studi tersendiri untuk menentukan rasio molar
terbaik dengan melihat yield tertinggi dari beberapa percobaan rasio molar yang dilakukan.
Adanya sistem pembawa phytosome ini diharapkan dapat memperbaiki permeabilitas
membrane dan nilai koefisien partisi juga semakin baik. Hal ini menyebabkan phytosome
memiliki absorbs yang semakin baik dan dapat meningkatkan bioavailabilitas dibandingkan

17
dengan senyawa aktif yang tidak dilakukan kompleksasi dengan phospholipid (Lu et al.,
2019).
Interaksi yang terbetuk antara senyawa aktif bahan alam dengan gugus polar
phospholipid menyebabkan senyawa aktif bahan alam akan masuk/terperangkap di bagian
“kepala” phospholipid (gugus polar) dan 2 rantai panjang asam lemak dari phospholipid tidak
ikut dalam interaksi tersebut (Lu et al., 2019). Gambar di bawah ini menjelaskan tentang
perbedaan struktur antara phytosome dengan liposome. Perbedaan yang nyata terlihat bahwa
pada liposome, senyawa aktif terdistribusi pada rongga-rongga lapisan membrane, sedangkan
pada phytosom senyawa aktif bahan alam terperangkap pada membrane itu sendiri (terutama
pada “kepala” phospholipid) (Lu et al., 2019). Hal ini menandakan bahwa untuk phytosome
cocok untuk senyawa yang bersifat hidrofilik, sedangkan liposome cocok untuk senyawa
hidrofobik dan hidrofilik.

Gambar 15. Struktur Phythosome

Adapun beberapa contoh phospholipid yang dapat digunakan sebagai bahan komplek
pada phytosome yaitu phosphatidylcholine (PC), phosphatidylserine (PS),
phosphatidylethanolamine (PE), phosphatidic acid (PA), phosphatidylinositol (PI), dan
phosphatidylglycerol (PG) (Alharbi et al., 2021; Li et al., 2015). Dari bermacam-macam
phospholipid yang dapat digunakan untuk komponen penyusun phytosome, PC, PE, dan PS
merupakan phospholipid yang banyak diaplikasikan. Dan diantara ketiga phospholipid
tersebut, PC-lah yang paling banyak digunakan. Hal ini dikarenakan PC memiliki sifat
amfifatik yang cukup dapat melarutkan senyawa pada media air maupun minyak. Selain itu,
PC juga merupakan komponen esensial penyusun membrane sel sehingga memiliki sifat yang
biokompatibel dan toksisitasnya rendah. Keuntungan lain yang didapatkan dari PC yaitu PC

18
juga memiliki aktivitas hepatoprotektor dan telah dilaporkan memiliki efek klinis pada
pengobatan penyakit hati seperti hepatitis, sirosis hati dan perlemakan liver (Lu et al., 2019).
Berikut ini merupakan struktur dari PC:

Gambar 16. Struktur Phospatidilcolin

Komponen penyusun phytosome selain phospholipid yaitu senyawa aktif yang berasal
dari bahan alam (ekstrak) atau dapat disebut dengan phyto-active constituents. Kebanyakan
dari phyto-active constituents tersebut termasuk ke dalam senyawa polifenol. Beberapa
contoh senyawa polifenol yang dapat dilakukan kompleksasi pada sistem pembawa
phytosome yaitu quercetin, apigenin, sylmarin, boswellic acid, 18 beta glycyrrhetinic acid,
oximatrine (Gambar 17). Senyawa polifenol ini memiliki sifat polar sehingga mengalami
kesulitan dalam permeabilitasnya melewati membrane sel.

Gambar 17. Contoh senyawa Polifenol

19
2.4.2. Tujuan Pembuatan Sistem
1. Meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas pada kulit serta menginduksi penghantaran
phyto-active compound ke dalam jaringan
2. Memperbaiki fungsi kulit dengan cara meningkatkan hidrasi kulit, menyeimbangkan
fungsi enzim pada kulit serta memperbaiki struktur kolagen
3. Menghasilkan sediaan yang memiliki stabilitas lebih baik (dibandingkan dengan sistem
pembawa lain)
4. Memberikan penetrasi yang lebih baik pada stratum corneum (dibandingkan liposome)
→ terdapat akumulasi pada area kulit yang lebih dalam seperti epidermis dan dermis

2.4.3. Teknologi Pembuatan


Secara umum, metode pembuatan phytosome yaitu dengan mencampurkan
phospholipid dengan phytoactive constituent dan pelarutnya. Setelah terbentuk kompleks
antara phospholipid dan phytoactive constituent, maka pelarut dapat dihilangkan. Untuk
menghilangkan pelarut dari campuran kompleks tersebut, dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik solvent evaporation, freeze-drying, anti-solvent precipitation yaitu
a. Solvent evaporation
Komponen lipid dilarutkan dengan pelarut organic kemudian pelarut diuapkan
menggunakan rotary evaporator
b. Anti-solvent precipitation/salting out
Campuran kompleks ditambahkan dengan n-hexane dan dilakukan pengadukan hingga
terbentuk endapan. Endapan phytosome ini dikumpulkan dan disimpan dalam desikator
hingga semalam.
c. Cosolvency
Disiapkan 2 wadah terpisah yang berisikan pelarut untuk melarutkan phytoactive
constituent dan phospholipid. Ekstrak yang terlarut kemudian ditambahkan tetes demi
tetes ke wadah campuran pelarut dan phospholipid dengan pengadukan menggunakan
magnetic stirrer

20
Gambar 18. Teknologi Pembuatan Phythosome

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kompleks phyto-phospholipid yaitu


a. Pelarut yang digunakan
b. Rasio stoikiometri antara phyto active constituent dengan phospholipid
c. Suhu
d. Waktu

2.5. Evaluasi Sediaan


Karakterisasi kompleks phyto-phospholipid:
a. Solubilitas dan koefisien partisi
Secara umum, komples phyto-phospholipid memiliki lipofilisitas dan hidrofilisitas yang
lebih baik dibandingkan dengan konstituen aktifnya (tanpa pembentukan kompleks).
b. Ukuran partikel, Morfologi dan Potensial zeta
Selama penyimpanan, perubahan ukuran vesikel merupakan variabel penting dalam hal
stabilitas fisik formulasi. Vesikel < 40 nm rentan terhadap proses fusi karena keadaan
kelengkungan yang tinggi dari membran bilayernya, sedangkan transfersom yang jauh
lebih besar dan elektronetral dikumpulkan melalui interaksi van der Waals karena area
kontak membran yang relatif lebih besar Ukuran vesikel turut mempengaruhi
kemampuan enkapsulasi senyawa obat dalam transfersom. Potensi zeta diukur dengan
teknik mobilitas elektroforesis menggunakan Malvern Zetasizer. Visualisasi vesikel

21
dapat dilakukan dengan menggunakan Mikroskop Fase Kontras atau Mikroskop
Transmisi Elektron. Secara umum, rata-rata kompleks phospholipid memiliki ukuran
partikel antara 50 nm hingga 100 µm
c. Scanning electron microscopy (SEM) and transmission electron microscopy (TEM)
SEM penting untuk melihat morfologi permukaan dari kompleks yang dihasilkan. TEM
sering digunakan pada kristalisasi dan disperse nano-material serta pengukuran ukuran
partikel pada skala nano. SEM membuktikan bahwa komponen aktif dapat
divisualisasikan pada keadaan kristalin yang tinggi, namun bentuk kristalnya akan
menghilang setelah kompleksasi. Ketika dilarutkan pada air terdistilasi dengan
pengocokan, terlihat pada TEM bahwa kompleks phyto-phospholipid dapat
menghasilkan struktur yang seperti vesikel.
d. Tingkat Deformabilitas
Parameter ini penting, karena mempengaruhi perembesan formulasi transfersomal.
Umumnya digunakan air murni sebagai standar. Sediaan dilewatkan melalui filter mikro
dengan uk pori yang diketahui 50 - 400 nm. Ukuran partikel, serta distribusi ukuran,
dicatat setelah setiap lintasan menggunakan pengukuran DLS.
Tingkat deformabilitas : D=J (rv/rp)
D = derajat deformabilitas,
J = jumlah suspensi yang terekstrusi selama 5 menit,
rv = ukuran vesikel
rp = ukuran pori penghalang.
e. Jumlah vesikel per kubik mm
Parameter ini digunakan untuk transfersom dimana penting untuk optimalisasi komposisi
transfersom dan variabel proses lainnya. Formulasi transfersomal yang tidak disonikasi
diencerkan lima kali menggunakan NaCl 0,9%. Transfersom dengan uk vesikel >100 nm
dapat diamati dengan mikroskop optik. Jumlah transfersom dalam kotak kecil dihitung
dan dihitung menggunakan rumus berikut:
Jumlah total transfersom per mm kubik :
(Jumlah total transfersom dihitung×faktor pengenceran×4000)
Jumlah total kotak dihitung
f. Efisiensi Penjerapan (%EE)
Adalah jumlah obat yang terperangkap dalam formulasi. EE ditentukan dengan
memisahkan obat yang tidak terperangkap dari vesikel menggunakan berbagai teknik,
seperti sentrifugasi kolom mini.

22
% Efisiensi jebakan = Jumlah obat yang terperangkap ×100
Jumlah total obat yang ditambahkan

Keterangan: Jumlah obat yg terperangkap adalah selisih dari jumlah obat yg


ditambahkan dikurang jumlah obat bebas
g. Pelepasan Obat In Vitro
Profil pelepasan obat in vitro dapat memberikan informasi mendasar tentang desain
formulasi dan detail tentang mekanisme pelepasan dan kinetika, memungkinkan
pendekatan ilmiah untuk mengoptimalkan formulasi transfersomal. Pelepasan obat in
vitro dari transfersom biasanya dievaluasi dibandingkan dengan obat bebas atau produk
pembanding, sel difusi Franz digunakan dalam studi pelepasan obat in vitro. Sampel
yang diperoleh dapat dianalisis dengan menggunakan metode yang sesuai seperti UV,
HPLC dan kromatografi lapis tipis kinerja tinggi (HPTLC)
h. Studi Permeasi Kulit In Vitro
Studi ini dilakukan untuk menentukan efisiensi transpor sistem penghantaran transdermal
dan mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan fluks transdermal obat, sbg
optimalisasi formulasi pre in vivo yang lebih mahal. Idealnya digunakan kulit manusia,
namun keterbatasan ketersediaan, etika dan batasan agama mjd kendala. Kulit hewan
memiliki kelemahan krn penyerapan perkutan melalui berbagai kulit binatang berbeda
secara signifikan dgn kulit manusia, sebagai pilihan lain, digunakan membran sintetik
(contoh: Strat M®) dan menunjukkan korelasi yang sangat dekat dengan kulit manusia.
Adapun kelebihannya lebih konsisten dalam permeabilitas, serta daya tanggap,
dibandingkan dengan kulit manusia dan hewan
i. Stabilitas
Stabilitas vesikel transfersome dapat ditentukan dengan menilai struktur dan ukuran
vesikel terhadap waktu. DLS dan TEM masing-masing dapat digunakan untuk
menentukan ukuran rata-rata dan perubahan struktural. Formulasi transfersomal yang
dioptimalkan dapat disimpan dalam botol amber yang tertutup rapat pada kondisi suhu
yang berbeda.Menurut pedoman ICH, di bawah pengujian stabilitas zat dan produk obat
baru, kasus umum untuk kondisi penyimpanan dijelaskan sbb untuk jangka panjang,
25±2◦C/60% kelembapan relatif (RH) ±5% RH atau 30±2◦C/65% RH±5% selama 12
bulan dan, untuk pengujian dipercepat, 40±2◦C/75% RH±5% selama enam bulan. Produk
obat yang ditujukan untuk pendinginan harus disimpan dalam jangka panjang pada
kondisi 5±3◦C selama 12 bulan dan studi akselerasi selama 25 bulan±2◦C/60% RH±5%

23
RH selama enam bulan. Perubahan signifikan untuk produk obat didefinisikan sebagai
kegagalan untuk memenuhi spesifikasinya.

Adanya struktur yang terbentuk dapat diverifikasi dengan:


a. Spektrofotometri UV
b. Differential scanning calorimetry (DSC)
c. Fourier transform infrared spectroscopy (FTIR)
d. X-ray diffraction
e. Nuclear magnetic resonance (NMR)

2.6. Aplikasi dan Pemanfaatan Sistem


2.6.1 Liposom
a. Judul Penelitian
Herbal liposome for the topical delivery of ketoconazole for the effective treatment of
seborrheic dermatitis
b. Tujuan Penelitian
Mengembangkan gel liposomal yang mengandung ketoconazole dan ekstrak Mimba
untuk pengobatan dermatitis seboroik.
c. Metode
Menggunakan metode thin film hydration
• Ekstraksi Daun Mimba: 150 mg daun Mimba disiapkan dan direduksi ukurannya
menjadi setengahnya. Ditambahkan 400 mL ethanol dan ditutup dengan parrafin
film. Didiamkan pada suhu ruang selama 48 jam dan disaring untuk mendapatkan
ekstrak ethanol. Ethanol kemudian dievaporasi dengan rotary evaporator pada 150
rpm dan suhu 55C
• Pembuatan Liposom:
o Menggunakan soya lecithin dan kolesterol sebagai lemak. Asam stearat
dan sorbitol digunakan sebagai permeation enhancer.
o Timbang soya lecithin sesuai dengan tabel dan dilarutkan dengan
kloroform serta diaduk dengan magnetic stirrer.
o Aqueous drug solution yang berisi asam stearat dan sorbitol dicampur dan
ditambah dengan kolesterol

24
o Campuran akan berbentuk milky suspension dan disonikasi 1 siklus
selama 10 menit
o Suspensi dipindahkan di labu alas bulat untuk kemudian dilakukan rota-
evaporator (45C; 120 rpm) membentuk film formation. Selama proses ini,
pelarut organik akan terevaporasi sehingga akan terbentuk lapisan tipis
yang jernih.
o Lapisan tipis film disimpan dalam desikator semalaman kemudian
dihidrasi dengan 5 mL buffer phosphat pH 6,8 dan diaduk dengan kuat
untuk membentuk vesikel kecil liposom.
o Campuran kemudian disonikasi selama 2 siklus @ 10 menit untuk
memperkecil ukuran partikel

• Penggabungan liposom dengan gel karbopol


o Carbopol 934 K 1% b/v direndam dalam sedikit air selama satu jam.
o Massa karbopol yang membengkak diaduk sampai karbopol larut
sempurna dalam air suling.
o Suspensi liposom (6 ml) yang mengandung ketokonazol dan ekstrak
Mimba (100 mg) ditambahkan ke larutan karbopol dengan pengadukan
terus menerus pada 700 rpm pada suhu 30 C sampai gel liposom terbentuk.
o Disesuaikan pHnya hingga 7,4 dengan tri-etanol amina.
o Gliserin ditambahkan ke gel liposom yang terbentuk yang berfungsi
sebagai humektan yang meningkatkan hidrasi kulit, sehingga
meningkatkan penetrasi obat melalui kulit.
o Gel liposom dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar (25±1-C)
• Evaluasi yang dilakukan:
o FTIR

25
o Differential scanning calorimetry (DSC) analysis
o Thermo gravimetric analysis (TGA)
o Scanning electronic microscopy (SEM)
o Atomic force microscopy (AFM)
o Ukuran partikel dan zeta potensial
o Entrapment efficiency
o Extrudability
o Spreadability
o Viscocity
o In vitro drug release
o Stabilitas
• Uji efektivitas:
o Antimikroba
o Anti jamur
d. Hasil
• Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi liposom dengan ekstrak Mimba
F12 ditemukan optimum berdasarkan efisiensi penjerapan pada 88,9± 0,7%,
dengan rata-rata distribusi ukuran partikel yang diinginkan sebesar 141,6 nm dan
potensial zeta -45 mV.

• Uji stabilitas formula F12 lebih stabil pada suhu lemari pendingin dari beberapa
parameter uji

26
• Aktivitas antijamur formulasi liposomal F12 dilakukan terhadap Aspergillus niger
dan Candida tropicalis dengan mengukur zona hambat masing-masing 8,9 dan
10,2 mm.

• Ekstrak Mimba diuji terhadap aktivitas anti-mikroba Staphylococcus aureus dan


E.coli menggunakan ampisilin sebagai standar. Hasilnya memiliki aktivitas
antibakteri yang baik terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus aureus).
Formulasi menunjukkan aktivitas moderat terhadap bakteri gram negatif (E.coli)

27
2.6.2 Etosom
a. Judul Penelitian
Development and Evaluation of Ethosomes Loaded with Zingiber zerumbet Linn
Rhizome Extract for Antifungal Skin Infection in Deep Layer Skin. Pharmaceutics
b. Latar Belakang Penelitian
Zingiberis zerumbet rhizoma memiliki aktivitas farmakologi sebagai antifungi namun
ekstraknya memiliki kelarutan yang sangat rendah sehingga untuk penggunaan topikal
diperlukan formulasi khusus yang dapat meningkatkan penetrasinya sehingga efek
farmakologisnya dapat tercapai. Pemilihan sediaan yaitu etosome yang memiliki
kandungan alkohol yang tinggi diharapkan dapat mempengaruhi kerapatan dari stratum
korneum sehingga ekstrak dapat masuk ke dalam kulit.
c. Bahan
Etanol, hexane, phospatidylcholin, PEG 4000, Zerumbone (purity >98%), pereaksi kimia
grade analisis
d. Metode
- Metode Ekstraksi Zingiber Zerumbet
Rhizoma segar dicuci dan diiris dikeringkan pada 50 ◦C selama 48 jam. Maserasi
dengan heksan selama 24 jam, ekstrak disaring, dievaporasi dengan vacum rotary
evaporator dan disimpan pada suhu 2 ◦C–8 ◦C untuk persiapan formulasi etosom
- Pembuatan Etosom
Menggunakan metode dingin, soy lecitin, PEG 4000 dan ekstrak Zingiber zerumbet
dilarutkan dalam etanol dan ditambahkan purified water. Campuran diaduk dengan
magnetic stirer pada suhu 30 ◦C untuk membentuk etosom. Etosom yang terbentuk
di sonifikasi selama 15 menit.
- Formulasi Etosom

e. Evaluasi Etosom
- Ukuran vesikel, ukuran distribusi dan zeta potensial
Menggunakan alat zetasizer dengan cara sampel dilarutkan dalam 0,5% w/v dengan
pelarut air deionisasi dan diagitasi selama 3 menit sebelum diukur. Hitung SD
- Morfologi

28
Menggunakan alat TEM (transmission electron microscopy), setetes sampel
ditempatkan pada jaring tembaga berlapis karbon dan secara negatif diwarnai dengan
1% larutan asam fosfotungstic setelah 15 menit. Lampiran dikeringkan dan dilihat
dalam alat TEM
- Evaluasi efisiensi penjerapan etosom
- Uji aktivitas Antifungi
Dilakukan pengukuran terhadap konsentrasi penghambatan minimum dengan metode
dilusi
- Uji Penetrasi Secara In Vitro
1. Menggunakan alat sel vertikal frans difusi
2. Kulit dari anak babi digunakan sebagai membran barier.
3. Dihilangkan lapisan lemak subkutan dengan pisau dan gunting dan dicuci dengan
buffer garam fosfat untuk menghilangkan kontaminan.
4. Kulit dipotong dengan alat difusi sel franz, dibungkus dengan alumunium foil dan
disimpan pada suhu -10 C
5. Kulit diletakkan di chamber difusi sel yang berisi bufer fosfat dan etanol dengan
sisi stratum kormeum pada bagian donor
6. Pengujian berlangsung selama 24 jam pada suhu 32 C dengan agitasi magnetic
stirer
7. Sampel dituangkan pada sisi donor dan ditutup dengan lapisan parafin. Hasil
difusi disampling pada waktu 15, 30 menit, 1,2,3,4,6,12 dan 24 jam dan dianalisis
dengan HPLC
- Uji Retensi secara in vitro
1. Menggunakan kulit dari anak babi dicuci selama 15 detik dan dikeringkan dengan
tisu
2. Lapisan stratum korneum dihilangkan dengan metode selotip yaitu ditempel
selotip ukuran 24 mm dan dicabut diulang selama 30 kali
3. Semua selotip dikumpulkan dalam gelas berisi 5 mL etanol dan disonifikasi
selama 15 menit, diambl 1 ml dan disentrifuge 10,000 rom selama 30 menit pada
suhu 25 C dan zerumbon diuji kuantifikasi dengan HPLC
Setelah stratum korneum hilangkan kulit diiris menjadi fragmen kecil dan
ditempatkan di vial yang berisi 3 ml etanol selama 24 jam
4. 1 ml etanol diambil dan disentrifuge 10.000 rpm 25 C selama 15 menit.
Konsentrasi zerumbon ditentukan dengan HPLC

29
f. Hasil
- Ukuran vesikel berada pada rentang 140,8-184 nm kecuali untuk formula 9 yaitu
280,9 nm
- Zeta potensial berada pada rentang -31,57 –27,73 mV (bernilai negatif sehingga
menstabilkan vesikelnya
- Polidispersiti index (PDI) berada diantara 0.245-0,453 nm
- Kemudian dipilih formula 8 untuk dievaluasi selanjutnya

- Hasil pengujian Entrapment efficiency


Hasil pengujian efisiensi penjerapan berada pada nilai 24.42% - 31.58% hal ini
menunjukkan bahwa etosom belum mampu menjerap zerumbon hal ini disebabkan
karena kelarutan zerumbon di dalam etanol menyebabkan tidak larut pada saat
persiapan etosom atau dapat dimungkinkan karena zerumbon bocor selama proses
sentrifugasi pada penentuan efisiensi penjerapan.

- Hasil pengujian aktivitas antifungi


Nilai MIC etosom zerumbon 312.5 µg/mL, hasil ini tidak lebih bagus dibanding
dengan ekstrak nya saja hal ini dimungkinkan karena ekstrak tidak masuk secara
sempurna ke dalam sistem etosom

30
- Hasil pengujian penetrasi secara in vitro
Semakin meningkat waktu kadar zerumbon semakin naik dan dimulai pada waktu 12
jam kadar zerumbon dalam etosom lebih meningkat dibanding dengan ekstrak tanpa
etosom

- Hasil Uji retensi


Hasil pengujian retensi menunjukkan bahwa dengan etosom obat yang berada pada
lapisan stratum korneum lebih sedikit hal ini menunjukkan etosom mampu
meningkatkan penetrasi dibandingkan dengan tanpa etosom. Begitu pula obat yang
terpenetrasi juga lebih besar pada etosom dibandingkan dengan tanpa etosom

2.6.3. Transfersom
a. Judul Penelitian
Formulation of transfersomal green tea (Camellia sinensis L. Kuntze) leaves extract
cream and in vitro penetration study using franz diffussion cell
b. Latar Belakang Penelitian
Teh hijau merupakan bahan alami yang mengandung senyawa polifenol berupa turunan
katekin yang dikenal dengan epigallocatechin gallate (EGCG). Memiliki aktivitas
antioksidan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Namun, EGCG memiliki berat
molekul yang cukup besar dan hidrofilisitas yang tinggi mengakibatkan sulitnya

31
penetrasi kulit. Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan penetrasi EGCG melalui
kulit dengan menggunakan pembentukan lipid nanovesikel yang disebut transfersom
yang diformulasikan dalam bentuk sediaan krim.
c. Bahan
- Ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis L.)
- Standar EGCG
- Lipoid P 30 dengan kemurnian 97%
- Fosfolipid mengandung 30% fosfatidilkolin
- Pelarut dan bahan kimia lainnya adalah kelas analitik.
d. Metode
- Transfersom dibuat dengan metode hidrasi lapisan tipis dalam tiga formulasi dengan
konsentrasi fosfolipid dan surfaktan yang berbeda.
- Jumlah ekstrak daun teh hijau yang digunakan untuk semua formulasi adalah sama
(setara dengan 3% EGCG).
- Semua formulasi transfersom dikarakterisasi sifat fisiknya, dan formulasi yang paling
menjanjikan dipilih untuk diformulasikan menjadi bentuk sediaan krim.
- Krim yang mengandung ekstrak yang tidak diolah disiapkan sebagai kontrol.
- Studi in vitro penetrasi EGCG dari kedua krim dievaluasi menggunakan sel difusi
Franz dengan kulit perut dari tikus Sprague- Dawley sebagai membran antar
kompartemen.
- Uji EGCG dalam ekstrak daun teh hijau
• Analisis EGCG dilakukan dalam sistem RP-HPLC menggunakan kolom C-18
(250 x 4,6 mm) dengan laju alir 1,0 mL/menit. Fase gerak adalah campuran
larutan asam asetat (1%, v/v) dan asetonitril (87:13, v/v) dengan pH akhir 3,5.
• Fase gerak disaring melalui filter membran 0,45 mm, dan dihilangkan gasnya
sebelum digunakan. Volume injeksi adalah 20 μL dengan total runtime 20 menit.
Suhu kolom diatur pada 20 ± 3,0Hai C.
• Larutan stok EGCG dibuat dengan melarutkan standar 10,0 mg dalam 100 mL
fase gerak. Larutan stok selanjutnya diencerkan untuk mendapatkan enam
konsentrasi larutan standar.
• Larutan tersebut kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC, dan dibuat kurva
kalibrasi dengan memplot luas puncak ke konsentrasi standar, menghasilkan
kurva linier,y = a + bx, dengan r sebagai penentu linearitas.

32
• Larutan sampel ekstrak daun teh hijau dibuat dengan konsentrasi 40 μg/mL
dengan tiga ulangan. Daerah yang diperoleh kemudian diplot ke dalam persamaan
regresi linier untuk mendapatkan konsentrasi terukur yang akan digunakan dalam
menghitung kadar EGCG dalam sampel.
• Kadar dihitung dengan cara membagi konsentrasi hasil pengujian dengan
konsentrasi teoritis dikali 100. Kadar yang diperoleh kemudian digunakan untuk
menghitung dosis ekstrak daun teh hijau dalam krim.
- Uji aktivitas antioksidan ekstrak daun teh hijau
• Larutan referensi positif asam askorbat dan larutan ekstrak daun teh hijau
disiapkan dalam konsentrasi yang berbeda. Difenil pikrilhidrazil (DPPH) 100
μg/mL (1,0 mL) dan metanol (2,0 mL) ditambahkan ke dalam 1,0 mL setiap
larutan sampel.
• Larutan metanol (3,0 mL) dan DPPH 100 μg/mL (1,0 mL) dibuat sebagai
blanko.
• Campuran dikocok dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Aktivitas
antioksidan ditentukan dengan mengukur absorbansi masing-masing sampel
dengan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang optimum 514 nm.
• Hasil yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase daya hambat
ekstrak daun teh hijau terhadap DPPH.
• Formulasi

- Transfersome dibuat dengan metode hidrasi lapis tipis. Lipoid P 30 dan Span 80
dilarutkan dalam diklorometana. Fosfolipid dan surfaktan terlarut dituangkan ke
dalam labu alas bulat. Campuran diklorometana kemudian diuapkan dengan rotary
vacuum evaporator pada suhu 37 ± 1°C. Penguapan dilakukan hingga terbentuk
lapisan tipis pada dinding bagian dalam labu alas bulat. Gas nitrogen dialirkan ke
lapisan tipis dan film kemudian disimpan dalam lemari es selama 24 jam. Lapisan
tipis dihidrasi dengan larutan penyangga fosfat (pH 5,5) yang mengandung ekstrak
daun teh hijau. Proses hidrasi dilakukan pada suhu 37 C dengan kecepatan putaran
150 rpm dengan manik-manik kaca untuk menghilangkan dan mengikis lapisan tipis

33
pada dinding labu bundar. Ukuran partikel dikurangi dengan ultrasonikasi pada 20
kHz selama 10-15 menit setelah suspensi transfersome terbentuk.
e. Evaluasi
- Distribusi ukuran partikel, indeks polidispersitas, dan potensial zeta
Distribusi ukuran partikel dan potensi zeta dari semua formulasi transfersome diukur
dengan penganalisa ukuran partikel hamburan cahaya dinamis (DLS) dengan sistem
komputerisasi (Malvern, Zetasizer). Pengukuran potensi zeta juga dilakukan. Setiap
pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali.
- Efisiensi Penjerapan
Suspensi transfersome (0,5 mL) diambil dan diencerkan dengan buffer fosfat pH 5,5
(1,0 mL), kemudian disentrifugasi pada 14.000 rpm selama 3 x 30 menit. Supernatan
dikumpulkan dan diencerkan dengan etanol. Solusinya disuntikkan ke injektor HPLC.
Efisiensi penjerapan dihitung dengan cara menghitung selisih konsentrasi EGCG yang
terukur dengan total EGCG dalam suspensi dibagi dengan total EGCG dalam
suspensi, lalu dikalikan 100.
- Morfologi Transfersom
• Dianalisis dengan menggunakan mikroskop elektron transmisi (TEM).
• Sampel ditumpahkan pada kisi tembaga berlapis karbon, tetesan dikeringkan pada
suhu kamar dan diwarnai menggunakan larutan asam fosfotungstat.
• Tetesan kering diamati di bawah mikroskop pada tegangan percepatan 200 kV
dan suhu 20 C dengan perbesaran 100.000
- Evaluasi fisikokimia bentuk sediaan gel
Evaluasi fisikokimia krim meliputi uji organoleptik (warna dan bau), homogenitas,
pH, viskositas dan sifat reologi.
- Tes penetrasi secara in vitro
- Kulit perut betina 2-3 bulanSprague-Dawleytikus dengan berat 200-250 g digunakan
sebagai membran dalam pengujian. Dalam penelitian ini, semua metode
penyembelihan hewan kurban telah disetujui oleh Ethical Clearance Committee
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia No.
313/ UN.2F1/ETIK/2017.In vitro uji penetrasi dilakukan dengan menggunakan sel
difusi Franz dengan luas difusi 2,01 cm2 dan volume kompartemen 15 mL.
Kompartemen reseptor diisi dengan buffer fosfat pH 5,5 dan diaduk dengan magnetic
stirrer dengan kecepatan 250 rpm. Kulit diletakkan pada reseptor kompartemen donor

34
dengan posisi stratum korneum menghadap ke atas. Sampel yang diuji dalam
penelitian ini adalah suspensi transfersome (TS) dan larutan ekstrak daun teh hijau
dalam air (ES) yang mengandung ekstrak teh hijau sebesar 1% EGCG, serta ekstrak
yang mengandung TC dan NTC sebesar 3% EGCG. Setiap sampel (1,0 g) dioleskan
ke permukaan kulit. Alikuot (2,0 mL) diambil dari kompartemen reseptor
menggunakan jarum suntik pada beberapa interval waktu (10, 30, 60, 120, 240, 360,
480, 600, 720, 840, 960, 1080, 1200, 1320, dan 1440 menit ) dan kompartemen
reseptor diisi ulang dengan jumlah buffer fosfat pH 5,5 yang sama.

f. Hasil
- Uji EGCG dalam ekstrak daun teh hijau
Persamaan regresi linier kurva kalibrasi adalah y = 29235x - 338074 dengan nilai
koefisien korelasi (r) sebesar 0,9940. Hasil menunjukkan bahwa kurva kalibrasi linier
karena koefisien korelasi mendekati satu. Kadar EGCG sampel ekstrak daun teh hijau
adalah 53,77% ± 0,07 b/b.
- Uji aktivitas antioksidan ekstrak daun teh hijau
Nilai IC 50 ekstrak daun teh hijau adalah 1,32 μg/mL, sedangkan IC 50 nilai asam
askorbat adalah 2,54 μg/mL. Semakin kecil IC 50 maka makin tinggi aktivitas
antioksidan suatu senyawa.
- Karakterisasi transfersom
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Gambar dibawah ini , F1 (A) berbentuk
bulat, sedangkan F2 (B) dan F3 (C) berbentuk tidak beraturan.

35
- Efisiensi Penjerapan
Efisiensi penjebakan yang diperoleh untuk F1, F2, dan F3 masing-masing adalah
49,36 ± 4,03, 39,26 ± 0,67, dan 32,15 ± 1,49%.
- Evaluasi fisikokimia bentuk sediaan krim
Berdasarkan pengamatan penampakan secara fisik, TC dan NTC memiliki kesamaan
warna yaitu putih kecoklatan (Pantone 4685 PC).Kedua krim tersebut menghasilkan
aroma ekstrak daun teh hijau, sedangkan NTC memiliki aroma yang lebih kuat. Nilai
pH TC dan NTC masing-masing adalah 5,59 ± 0,02 dan 5,65 ± 0,05. Kedua sediaan
berada pada kisaran pH kulit (4,5-6,5). Pada pengukuran viskositas dengan kecepatan
putaran 20 rpm diperoleh viskositas TC dan NTC sebesar 12000 dan 11200 cps.
- Uji Penetrasi secara In Vitro
Sebagai kontrol TC dan NTC, anin vitroterlebih dahulu dilakukan uji penetrasi
suspensi transfersome (TS) dan larutan ekstrak daun teh hijau (ES). Berdasarkan
Gambar 2, terlihat bahwa setelah pengambilan sampel 24 jam, jumlah kumulatif
EGCG yang menembus membran kulit mencit dari TS dan ES adalah 5357,32 ±
1027,36 μg/cm2 dan 2965,85 ± 1040,54 μg/cm32, masing-masing (P = 0,0472, P
<0,05). Selain itu, parameter penting lainnya dari studi penetrasi in vitro ini adalah
nilai fluks. Nilai fluks diperoleh dari slope atau kemiringan yang diambil dari keadaan
tunak mengikuti hukum Fick I. Berdasarkan Gambar 3, rata-rata nilai fluks TS dan ES
adalah 245,49±45,29 μg/cm22/ jam dan 141,52±50,51 μg/cm22/ jam, masing-masing
(P = 0,0567, P > 0,05). Tes lebih lanjut dilakukan pada TC dan NTC. Berdasarkan
Gambar 4 terlihat bahwa jumlah kumulatif EGCG yang menembus selama 24 jam
antara sediaan TC dan NTC. Dalam persiapan TC, EGCG kumulatif mencapai
1003,61 ± 157,93 μg/cm22, sedangkan sediaan NTC hanya sebesar 400,09 ± 47,53
μg/cm2(P = 0,0032, P <0,05). Berdasarkan gambar 5 rata-rata nilai fluks TC dan NTC
adalah 40,08± 5,45 μg/cm22/ jam dan 16,83±1,79 μg/cm22/ jam, masing-masing (P
0,0022, P <0,05).

36
37
- Dapat disimpulkan bahwa dengan memformulasi ekstrak daun teh hijau ke dalam
krim transfersomal, dapat meningkatkan jumlah kumulatif dan penetrasi fluks in vitro
EGCG dari ekstrak menembus kulit apabila dibandingkan dengan krim non-
transfersomal.
- Pada penelitian ini, formulasi transfersome ekstrak daun teh hijau ( Camellia sinensis
L.) dibuat dalam bentuk sediaan krim untuk meningkatkan penetrasi obat, EGCG.
Pengujian penetrasi in vitro menggunakan Sel Difusi Franz, dan krim ekstrak daun teh
hijau non-transfersomal disiapkan sebagai kontrol. Kuantifikasi penetrasi EGCG
dianalisis menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik.

38
Penelitian ini menunjukkan bahwa krim transfersomal dapat meningkatkan jumlah
kumulatif penetrasi fluks in vitro EGCG apabila dibandingkan dengan krim non-
transfersomal.

2.6.4. Fitosom
a. Judul Penelitian
Nanosized soy phytosome-based thermogel as topical anti-obesity formulation: an
approach for acceptable level of evidence of an effective novel herbal weight loss
product
b. Tujuan Penelitian
Pembuatan sediaan Nano lipo-vesicles phytosomal thermogel of Soybean (Glycine max
(L.)) yang ditujukan untuk anti obesitas (penurunan berat badan, ukuran jaringan adiposa
dan profil lipid)
c. Metode
- Dilakukan formulasi pembuatan phytosome dengan 3 metode, di antaranya solvent
evaporation, co-solvency, dan salting out. Dipilih formula terbaik menggunakan
Design Expert dengan melihat parameter entrapment efficiency yang tertinggi, ukuran
partikel terkecil dan release obat selama 2 jam terbanyak. Verifikasi struktur
dilakukan dengan FTIR dan penentuan ukuran partikel dan potensial zeta serta TEM.
Setelahnya dibuat kedalam formulasi thermogel dan diuji efektivitasnya secara in
vivo.
- Ekstraksi soybean
Biji soybean diubah menjadi bentuk tepung. Timbang 100 gram tepung soy dan
dilarutkan dengan 1 L methanol pada suhu ruang dengan pengadukan selama 24 jam
menggunakan magnetic stirrer. Ekstrak kemudian disaring dan dievaporasi
menggunakan rotary evaporator untuk menguapkan methanol. Dilakukan analisis
menggunakan HPLC dengan menggunakan standard soy saponin.
- Design Expert
Berikut ini merupakan tabel desain matriks yang digunakan untuk menentukan
komposisi phytosome yang optimal

39
- Metode solvent evaporation
Ekstrak kering soy dan PC (komposisi sesuai tabel desain matriks) dilarutkan pada 10
mL ethanol dan di reflux selama 2 jam dibawah kondisi vakum menggunakan rotary
evaporator pada suhu 30C, 120 rpm. Setelah selesai, residu yang dihasilkan kemudian
dihidrasi menggunakan distilled water untuk menghasilkan suspense phytosom
- Metode cosolvency
Disiapkan 2 wadah terpisah yang berisikan 10 mL methanol untuk melarutkan ekstrak
kering soy dan PC (sesuai dengan tabel desain matriks). Ekstrak soy yang terlarut
kemudian ditambahkan tetes demi tetes ke wadah PC+methanol dengan pengadukan
menggunakan magnetic stirrer
- Metode salting out: Ethanol (10 mL) digunakan untuk melarutkan ekstrak dan PC
(komposisi sesuai dengan tabel desain matriks) dengan pengadukan menggunakan
magnetic stirrer. Kemudian ditambahkan n-heksan tetes demi tetes hingga presipitasi
vesikel phytosome yang dihasilkan telah selesai.
- Pembuatan thermogel phytosome:
• HPMC 3% ditambahkan pada buffer fosfat (0.1 M, pH 4) pada suhu 4C.
• Methyl paraben (0.02%), propylparaben (0.02%), PEG400 (4%), DMS, ethanol
(2%) ditambahkan pada larutan polymer. Juga Pluronic F127 (18%).
• Formula optimal soy phytosome kemudian ditambahkan tetes demi tetes dengan
pengadukan menggunakan magnetic stirrer pada suhu 4C untuk menghasilkan
soy phytosomel thermpgel.

d. Evaluasi Etosom
Karakterisasi Phytosome:
- Entrapment efficiency

40
- Ukuran partikel dan indeks polydispersitas
- Release in vitro
- Potensial zeta
- FTIR
- Morfology (TEM)
Uji efektivitas (in vivo):
- 20 tikus jantan albino dibagi menjadi 4 kelompok (n=5)
Grup 1: plain thermogel
Grup 2: crude soy extract thermogel
Grup 3: 2.5% soy phytosomal thermogel
Grup 4: kontrol (untreated)
- Treatment secara local dengan mencukur bulu di bagian perut. Dioleskan thermogel
satu kali per hari selama 1bulan
- Tikus kemudian ditimbang Kembali selama 1 bulan untuk mengukur perubahan berat
badan
- Darah diambil dari pembuluh darah retro-orbital plexus untuk menganalisis profil
lipid
- Tikus dikorbankan di akhir penelitian untuk menganalisis jaringan adiposa dari bagian
yang ditreatment

e. Hasil
Dari beberapa formula yang telah dianalisis menggunakan Desain Expert, didapatkan
formula optimal yaitu komposisi PC : ekstrak soy sebesar 1 : 3 dengan metode
pembuatan cosolvency. Dari komposisi tersebut kemudian dibuat sediaan thermogel dan
didapatkan hasil sediaan yang jernih, tembus cahaya, dan homogen dengan pH 5,5. Suhu
dari thermogel yang telah dibuat yaitu 31.5C dimana cocok untuk penghantaran pada
kulit.

41
42
DAFTAR PUSTAKA

Akbarzadeh A, Rezaei-Sadabady R, Davaran S, Joo SW, Zarghami N, Hanifehpour Y,


Samiei M, Kouhi M, Nejati-Koshki K. Liposome: classification, preparation, and
applications. Nanoscale Res Lett. 2013 Feb 22;8(1):102. doi: 10.1186/1556-276X-8-
102. PMID: 23432972; PMCID: PMC3599573.
Abdulbaqi I, Darwis Y, Abdul Karim Khan N, Abou Assi R, Khan A. Ethosomal
nanocarriers: the impact of constituents and formulation techniques on ethosomal
properties, in vivo studies, and clinical trials. Int J Nanomedicine. 2016;11:2279-2304
https://doi.org/10.2147/IJN.S105016
Abubakr, A., Ibrahem, A. E., & salah, M. (2023). Ethosomes: a potential nanocarrier for
transdermal drug delivery. ERU Research Journal, 2(1), 161-176. doi:
10.21608/erurj.2023.190245.1010
Alharbi, W. S., Almughem, F. A., Almehmady, A. M., Jarallah, S. J., Alsharif, W. K.,
Alzahrani, N. M., & Alshehri, A. A. (2021). Phytosomes as an emerging
nanotechnology platform for the topical delivery of bioactive phytochemicals. In
Pharmaceutics (Vol. 13, Issue 9). MDPI.
https://doi.org/10.3390/pharmaceutics13091475
Delly Ramadon et al, “Formulation of Transfersomal Green Tea (Camellia sinensis L.
Kuntze) Leaves Extract Cream and in vitro Penetration Study Using Franz Diffussion
Cell”, J Young Pharm, 2018; 10(2) Suppl: s63-s68
Fernandez et al,2020, “Transferosomes as nanocarriers for drugs across the skin: Quality by
design from lab to industrial scale” International Journal of Pharmaceutics
Fu X, Shi Y, Wang H, Zhao X, Sun Q, Huang Y, Qi T, Lin G. Ethosomal Gel for Improving
Transdermal Delivery of Thymosin β-4. Int J Nanomedicine. 2019;14:9275-9284
https://doi.org/10.2147/IJN.S228863
Gharib R, Greige-Gerges H, Fourmentin S, Charcosset C, Auezova L. Liposomes
incorporating cyclodextrin-drug inclusion complexes: Current state of knowledge.
Carbohydr Polym. 2015 Sep 20;129:175-86. doi: 10.1016/j.carbpol.2015.04.048. Epub
2015 Apr 30. PMID: 26050903.
Hamdi Nsairat, Dima Khater, Usama Sayed, Fadwa Odeh, Abeer Al Bawab, Walhan Alshaer,
Liposomes: structure, composition, types, and clinical applications,Heliyon, Volume 8,
Issue 5, 2022, e09394, ISSN 2405-8440, https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e09394.

43
Huanbutta K, Rattanachitthawat N, Luangpraditkun K, Sriamornsak P, Puri V, Singh I,
Sangnim T. Development and Evaluation of Ethosomes Loaded with Zingiber zerumbet
Linn Rhizome Extract for Antifungal Skin Infection in Deep Layer Skin.
Pharmaceutics. 2022 Dec 9;14(12):2765. doi: 10.3390/pharmaceutics14122765. PMID:
36559259; PMCID: PMC9781750.
Li, J., Wang, X., Zhang, T., Wang, C., Huang, Z., Luo, X., & Deng, Y. (2015). A review on
phospholipids and their main applications in drug delivery systems. Asian Journal of
Pharmaceutical Sciences, 10(2), 81–98. https://doi.org/10.1016/J.AJPS.2014.09.004
Lombardo, D.; Kiselev, M.A. Methods of Liposomes Preparation: Formation and Control
Factors of Versatile Nanocarriers for Biomedical and Nanomedicine Application.
Pharmaceutics 2022, 14, 543. https://doi.org/10.3390/pharmaceutics14030543
Lu, M., Qiu, Q., Luo, X., Liu, X., Sun, J., Wang, C., Lin, X., Deng, Y., & Song, Y. (2019).
Phyto-phospholipid complexes (phytosomes): A novel strategy to improve the
bioavailability of active constituents. In Asian Journal of Pharmaceutical Sciences (Vol.
14, Issue 3, pp. 265–274). Shenyang Pharmaceutical University.
https://doi.org/10.1016/j.ajps.2018.05.011
Prajapati et al. Transfersomes: A Vesicular Carrier System for Transderma Drug Delivery.
Asian Journal of Biochemical and Pharmaceutical Research Issue 2 (Vol 1) 2011
Shakthi Apsara et al, 2020, Transfersomes: A Promising Nanoencapsulation Technique for
Transdermal Drug Delivery,
Viviane Annisa, Review Artikel: Metode untuk Meningkatkan Absorpsi Obat Transdermal, J.
Islamic Pharm.[ISSN: 2527-6123], 2020

44

Anda mungkin juga menyukai