Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KEPABEANAN

EFEKTIVITAS IMPOR BERAS DI INDONESIA

Disusun oleh : 1. Widya Ardriansyah R 2. Septiawan Supriyanto 3. Frananda Adhi baskoro B.241.13.0017 B.241.13.0034 B.241.13.0053

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEMARANG SEMARANG 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan perdagangan internasional adalah suatu aturan yang dibentuk oleh badan badan tertentu dalam melakukan perdagangan dunia yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan Internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. Di Indonesia perdagangan Internasional juga terjalin dengan negara - negara luar termasuk yang satu kawasan dengan Indonesia. Tujuan dari perdagangan internasional adalah untuk memperoleh barang yang tidak diproduksi di dalam negeri dan untuk memperoleh keuntungan pula dari perdagangan itu sendiri. Negara Indonesia sebagai negara dengan peringkat nomor tujuh pengguna handphone, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam hal telekomunikasi dilakukanlah impor gadget. Dengan adanya impor gadget ini neraca perdagangan Indonesia mengalami deficit. Untuk itu pemerintah harus menekan produsen-produsen untuk mengurangi impor, yaitu dengan memberikan syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi. Melihat fenomena di atas, tulisan ini mencoba memaparkan tentang aturan-aturan dan prosedur yang digunakan dalam mengatasi impor handphone. 1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian impor itu apa? 2. Mengapa perlu dilakukan impor handphone? 3. Bagaimanakah kebijakan impor handphone di Indonesia?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui pengertian dari impor. 2. Mengetahui tujuan Indonesia melakukan impor handphone. 3. Mengetahui kebijakan impor handphone di Indonesia.

BAB II LANDASAN TEORI

Handphone merupakan alat komunikasi yang paling popular bagi masyarakat Indonesia, dengan munculnya produk-produk handphone yang

memiliki

fasilitas

yang

semakin sebagai

canggih suatu

masyarakat trend

Indonesia tidak

menggunakan

handphone

dengan

mengesampingkan fungsi utama handphone yaitu sebagai alat komunikasi yang kini menjadikannya sebagai lifestyle. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan handphone maka dilakukanlah impor. Namun yang terjadi pada dewasa ini kegiatan impor handphone (elektronik) mengakibatkan defisitnya neraca perdagangan Indonesia. Beras merupakan komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori diperoleh dari beras. Akibatnya, wajar jika beras merupakan komponen yang terpenting dari indeks harga bahan pangan dan biaya hidup. Disisi lain, beras juga merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar di bidang pertanian, merupakan massive industry yang melibatkan banyak orang (Hatta Sunanta, 2006). Produksi padi Indonesia mengambil pangsa sekitar 9% dari total produksi dunia. Indonesia negara penghasil beras ke tiga terbesar di dunia, setelah negara China (30%) dan India (21%). Namun, kedua negara terakhir adalah net eksportir beras, berbeda dengan Indonesia yang mejadi negara net importir beras sejak akhir 1980-an. Kemudian pada tahun 1984 pemerintah Indonesia (Orde Baru) menyatakan diri bahwa Indonesia mencapai tingkatan swasembada beras, yang telah dirintis melalui berbagai program (swasembada, Inmas, Bimas, Insus, Supra Insus). Menurut data Food Agriculture Organization of the UN (FAO), menunjukkan perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 mencapai 8 miliar. Pada tahun 2015, sebanyak 580 juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Perhitungan ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di dunia akan semakin tergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang sangat besar, dan diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 ton pada tahun 2030 (Bayu Krisnamurthi, 2006).

BAB III PEMBAHASAN

3.1 PENGERTIAN IMPOR Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing kenegara kita yang dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri. Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat.

3.2 PRODUKSI DAN KONSUMSI BERAS Indonesia terus berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk tujuan emerjensi dan stabilisasi harga. Produksi beras/padi dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya risiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan. Pulau Jawa menjadi penghasil 56% komoditas padi, untuk seluruh penduduk Indonesia. Ketergantungan pada pulau Jawa dan dominasi

wilayah padat penduduk dalam produksi pangan dapat menimbulkan masalah tersendiri (Bayu Krisnamurthi, 2006).

Data BPS menunjukkan, tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan tidak berubah banyak dari tahun ke tahun. Data tahun 1996-2001 memperlihatkan rata-rata masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras 131,5 kg/tahun dengan perubahan rata-rata hanya sebesar 0.14%/tahun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa beras tetap menjadi kebutuhan pokok yang bersifat hampir inelastis sempurna. Namun, bila dilihat secara pengeluaran rumah tangga, dengan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif selalu meningkat kecuali pada saat krisis moneter 1997-1998, data Susenas menunjukkan hal yang berbeda. Karena jumlah penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya maka konsumsi beras masyarakat secara agregat tentunya akan mengalami peningkatan pula, sementara produksi dari tahun ke tahun relatif tidak berubah dan lahan semakin terbatas akan mengganggu ketahanan pangan.

3.3 KEBIJAKAN IMPOR BERAS Indonesia merupakan Negara yang sebagian besar masyarakatnya bertopang pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Akan tetapi, petani Indonesia bukanlah merupakan mereka yang tingkat

kesejahteraannya tinggi. Mereka merupakan orang-orang yang masih miskin dan terpinggirkan. Mereka sering dirugikan oleh masalah kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah. Belum lagi masalah sosial ekonomi lain yang mereka hadapi sebagai petani. Permasalahan beras dan petani menjadi sebuah ironi bagi negeri ini. Sebuah ironi karena negara ini merupakan negara peghasil beras, akan tetapi melakukan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit. Pada umumnya sebagian masyarakat menganggap bahwa impor beras dipicu

oleh produksi atau suplai beras dalam negeri yang tidak mencukupi. Akan tetapi, pada kenyataannya impor beras dilakukan ketika data statistik menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus beras. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Angka Ramalan II (ARAM II) memperkirakan produksi padi pada tahun 2011 mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 2,4 persen dibandingkan tahun 2010. Jika dikonversi ke beras, artinya pada tahun ini produksi beras nasional sebesar 38,2 juta ton. Apabila dibandingkan dengan konsumsi beras Indonesia sebanyak 34 juta ton per tahun, Indonesia sedang mengalami surplus beras sebanyak kurang lebih 4 juta ton beras. Jadi, mengapa pemerintah masih melakukan impor beras pada tahun ini ? Kebijakan impor beras dari tahun ke tahun Tahun 1998 Pada tahun 1998, terdapat kebijakan tarif impor nol persen. Kebijakan ini dilakukan karena kondisi krisis ekonomi yang

menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan keadaan iklim yang tidak mendukung produksi gabah. Tahun 2000 Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan poteksi terhadap pertanian padi nasional. Kebijakan tarif nol persen pun dihapuskan. Hal ini dikarenakan impor beras dari Negara asing makin membanjiri pasar domestik Indonesia semenjak diberlakukannya Perjanjian Pertanian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreemet of Agriculture, World Trade Organization) pada tahun 1995. Akhirnya kebijakan proteksi berupa tariff ad-valorem sebesar 30 persen ditetapkan. Selain kebijakan tarif, terdapat juga kebijakan proteksi non-tarif. Pada saat itu, kedua kebijakan proteksi, yaitu tariff dan non tarif berjalan sangat efektif. Petani lokal sangat terlindungi serta harga beras cenderung stabil. Akan tetapi, kebijakan proteksi seperti ini sudah tidak relevan lagi jika diterapkan sekarang. Saat ini kebijakan tersebut memang sudah tidak populer dan sudah sangat jarang dipakai oleh Negara-negara di dunia.

Hal ini dikarenakan globalisasi yang semakin memaksa Negara-negara untuk terbuka terhadap Negara lain. Kalaupun Negara Indonesia menerapkan tarif terhadap impor beras, tarif itu sangatlah rendah sehingga harga beras impor menjadi lebih murah dari beras lokal. Dengan kualitas beras impor yang berada di atas kualitas beras lokal, beras lokal pun menjadi kalah saing dengan beras impor. Tahun 2011 Berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai US$ 452,2 juta. Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan beberapa negara lainnya. Mengapa Impor Pertama, bulog mengklaim bahwa mereka mengimpor dengan tujuan mengamankan stok beras dalam negeri. Bulog berargumen bahwa data produksi oleh BPS tidak bisa dijadikan pijakan sepenuhnya. Perhitungan produksi beras yang merupakan kerjasama antara BPS dan Kementrian Pertanian ini masih diragukan keakuratannya, terutama metode perhitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian yang megandalkan metode pandangan mata. Selanjutnya, data konsumsi beras juga diperkirakan kurang akurat. Data ini kemungkinan besar merupakan data yang underestimate atau overestimate. Angka konsumsi beras sebesar 139 kg/kapita/tahun sebenarnya bukan angka resmi dari BPS. Jika merujuk pada data BPS yang didasarkan pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), konsumsi beras pada tahun ini mencapai 102 kg/kapita/tahun. Angka ini

underestimate, karena SUSENAS memang tidak dirancang untuk menghitung nilai konsumsi beras nasional. Sebenarnya kebijakan impor beras ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk meningkatkan produksi dan kualitas beras. Para petani dituntut untuk berproduksi bukan hanya mengandalkan kuantitas tetapi juga kualitas. Tentunya hal ini sedikit sulit terjadi tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Hal ini dikarenakan petani lokal relatif tertinggal dari petani luar negeri terutama dalam bidang teknologi. Pemerintah harus memberi kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan. Mengapa Tidak Impor Kebijakan yang dipilih pemerintah untuk membuka kran Impor juga mendatangkan kontra. Pada satu sisi, keputusan importasi beras tersebut berlangsung ketika terjadi kenaikan harga beras saat ini. Selain itu, produksi padi dalam negeri dinyatakan cukup, dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat. Bahkan berdasarkan Angka Ramalan (ARAM) II yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi nasional tahun ini diperkirakan mencapai 68,06 juta ton gabah kering giling, meningkat 1,59 juta ton (2,40%) dibandingkan tahun 2010 lalu. Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 313,15 ribu hektar (2,36%), dan produktivitas sebesar 0,02 kuintal per hektar (0,04%). Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke daerah lain yang mengalami defisit. Selanjutnya, impor beras yang terjadi di tengah produksi berlebih menurut data BPS sekarang ini memiliki dampak negatif yang panjang, seperti berkurangnya devisa negara, disinsentif terhadap petani, serta hilangnya sumber daya yang telah terpakai dan beras yang tidak dikonsumsi dan terserap oleh bulog.

BAB IV PENUTUP

Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Kebijakan membuka kran impor yang dilakukan oleh pemerintah ketika data menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus beras memang mendatangkan pro dan kontra. Untuk mengamankan stok beras, seharusnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik, bulog harus memaksimalkan penyerapan beras dari para petani lokal. Hal ini selain dapat mengamankan stok beras juga dapat menghasilkan pendapatan bagi petani sehingga kesejahteraan petani dapat naik. Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani agar mereka tidak dirugikan.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional http://saharpova0487.blogspot.com/2010/10/hambatan-tarif-dan-nontarif.html http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/11/15/kebijakan-imporberas-di- indonesia/

Anda mungkin juga menyukai