Anda di halaman 1dari 22

MAKALA EKONOMI PANGAN

“PRODUKSI, DISTRIBUSI, KETERSEDIAAN, POLA KONSUMSI DAN HARGA


SUSU SAPI”

Dosen pengampu :Ir. Enik Sulistyowati, M.Kes

Disusun Oleh
Kelompok 9
1. Puji Ilahi Latif (P1337431116065)
2. Tika Ardhy Ningrum (P1337431116069)
3. Christika Annisa K (P1337431117025)
4. Nurmaulisa Priharsiwi (P1337431117034)
5. Sundari Apriliyanti

D III Gizi Semester V


POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2019

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor
pertanian yang memiliki nilai strategis di dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya pendapatan sehingga
konsumsi pangan meningkat. Peningkatan pembangunan sektor pertanian sejalan dengan
Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang telah dicanangkan oleh
pemerintah. Lebih spesifik adalah peningkatan peran besarnya subsektor peternakan yang
diharapkan menjadi sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia.
Salah satu komponen dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan
berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan. Kondisi geografis,
ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang
cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan. Selain itu, dari sisi permintaan, produksi
susu dalamnegeri masih belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan konsumsi dalam
negeri.
Saat ini produksi dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 26% dari
permintaan nasional, sisanya 74% berasal dari impor. Sapi merupakan hewan ternak paling
penting di dunia. Selain mampu menyediakan sekitar 55% kebutuhan daging dunia, sapi juga
mampu memenuhi sekitar 85% kebutuhan kulit dunia. Selain itu sapi juga mampu menjadi
hewan satu-satunya yang mampu memenuhi sekitar 95% kebutuhan susu dunia.
Kebutuhan susu hingga saat ini terus mengalami peningkatan. Hal ini terpenuhi dari
produksi susu nasional dan dari impor. Indonesia memiliki prospek pengembangan industri
sapi perah yang relatif besar dengan melihat permintaan potensial susu oleh 250 juta
penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan susu nasional, pemerintah harus dapat meningkatkan
jumlah populasi ternak sapi perah. Namun hingga saat ini populasi sapi perah yang ada belum
mampu menyediakan susu untuk kebutuhan nasional. Oleh karena itu Indonesia masih perlu
melakukan impor susu.
Tingginya impor susu dari luar negeri mengakibatkan timbulnya kerugian langsung
pada peternakan sapi perah di Indonesia. Selain itu banyak dari impor susu menyebabkan
terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal
dari menganggurnya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk
pengembangan agribisnis persususan, serta hilangnya potensi revenue yang seharusnya
diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik.
Mengingat potensi sumberdaya alam Indonesia yang besar bagi pengembangan
agribisnis persusuan, adalah ironis jika sebagian besar dari kebutuhan susu Indonesia masih
harus diimpor. Dengan demikian, sudah sewajarnyalah bila pemerintah dan stakeholder
lainnya perlu berupaya keras meningkatkan pangsa pasar (market share) para pelaku pasar
domestik dalam agribisnis persusuan Indonesia. Susu sapi saat ini marak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia, susu sapi dapat dibuat berbagai macam produk , contoh dari produk
susu sapi yang sudah banyak digunakan di Indonesia yaitu keju, eskrim, yoghurt, mentega,
dan kue-kuean.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana proses Produksi, Distribusi, Ketersediaan, Pola konsumsi dan harga susu
sapi di Indonesia?

C. Tujuan
a. Mampu mengetahui proses Produksi, Distribusi, Ketersediaan, Pola konsumsi dan
harga susu sapi di Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Susu
Susu segar merupakan cairan dari kelenjar susu (mammary gland) yang diperoleh
dengan cara pemerahan sapi selama masa laktasi tanpa adanya penambahan atau
pengurangan komponen apapun pada cairan tersebut (Hadiwiyoto, 1994). Menurut
Winarno (1993), susu adalah cairan berwarna putih yang disekresi oleh kelenjar mammae
(ambing) pada binatang mamalia betina, untuk bahan makanan dan sumber gizi bagi
anaknya. Susu yang dikonsumsi manusia sebagian besar berasal dari sapi. Susu tersebut
diproduksi dari unsur darah pada kelenjar susu sapi.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi susu antara lain:
a. Jenis Ternak dan Keturunannya.
Terdapat perbedaan komposisi air susu manusia dan berbagai jenis ternak.
Meskipun sama-sama sapi perah, tetapi jika dari keturunan yang berbeda, hasil dan
komposisi susunya juga berbeda.
b. Tingkat Laktasi
Komposisi air susu berubah pada tiap tingkat laktasi. Perubahan yang terbesar
terjadi pada saat permulaan dan terakhir periode laktasi.
c. Umur Ternak
Pada umumnya sapi berumur 5-6 tahun sudah mempunyai produksi susu yang
tinggi tetapi hasil maksimum akan dicapai pada umur 8-10 tahun. Umur ternak erat
kaitannya dengan periode laktasi. Pada periode permulaan produksi susu tinggi
tetapi pada masa-masa akhir laktasi produksi susu menurun.
d. Infeksi atau Peradangan
Pada Kelenjar MammaeInfeksi atau peradangan pada kelenjar
mammaedikenal dengan nama mastitis. Mastitisadalah suatu peradangan pada
tenunan ambing yang dapat disebabkan oleh mikroorganisme, zat kimia, luka termis
ataupun luka karena mekanis.
e. Nutrisi atau Pakan
Jenis pakan akan dapat mempengaruhi komposisi susu. Pakan yang terlalu
banyak konsentrat akan menyebabkan kadar lemak susu rendah. Jenis pakan dari
rumput-rumputan akan menaikkan kandungan asam oleat sedangkan pakan berupa
jagung atau gandum akan menaikkan asam butiratnya.
f. Lingkungan
Pengaruh lingkungan terhadap komposisi susu bisa dikomplikasikan oleh
faktor-faktor seperti nutrisi dan tahap laktasi. Hanya bila faktor-faktor seperti ini
dihilangkan menjadi memungkinkan untuk mengamati pengaruh musim dan suhu.
Biasanya pada musim hujan kandungan lemak susu akan meningkat sedangkan pada
musim kemarau kandungan lemak susu lebih rendah. Produksi susu yang dihasilkan
pada kedua musim tersebut juga berbeda.
g. Prosedur Pemerahan Susu
Faktor yang mempengaruhi produksi susu antara lain adalah jumlah
pemerahan setiap hari, lamanya pemerahan, dan waktu pemerahan. Jumlah
pemerahan 3-4 kali setiap hari dapat meningkatkan produksi susu daripada jika
hanya diperah dua kali sehari.
C. Manfaat Susu
Susu adalah sumber protein hewani yang memiliki banyak manfaat. Para ahli
gizi menyarankan untuk meminum setiap hari untuk menjaga stamina tubuh. Secara
umum, manfaat susu adalah sebagai berikut:
1. Potasium yang terkandung dalam air susu dapat menggerakkan dinding pembuluh
darah pada saat tekanan darah tinggi dan menjaga agar tetap stabil. Hasil penelitian di
Cardiff inggris, bahwa kebiasaan meminum susu setiap hari dapat menurunkan resiko
terkena penyakit berbahaya dan mematikan, seperti stroke dan jantung sebesar 15 –20
%.
2. Racun dalam tubuh seperti logam, timah, dan cadmium yang diserap oleh tubuh dari
bahan makanan dapat dinetralisir dengan meminum susu.
3. Kandungan lemak dalam air susu dapat memperkuat daya tahan tubuh, fungsi saraf,
dan mencegah pertumbuhan tumor pada sel sel tubuh.
4. Tirosinyang terdapat didalam air susu dapat meningkatkan hormon kegembiraan dan
unsurserum dalam darah tumbuh dalam skala besar.
5. Yodium, seng, dan letisin dapat meningkatkan keefesiensian kerja otak besar.
6. Zat besi, tembaga, dan vitamin A dapat mempertahankan agar kulit tetap segar.
7. Kalsium susu bermanfat untuk kekuatan tulang, penyusutan tulang, patah, dan
keropos pada tulang.
8. Magnesium dalam air susu dapat membuat jantung dan sistem saraf tahan terhadap
kelelahan.
9. Kandungan seng dapat mempercepat penyembuhan luka.
10. Vitamin B2 dapat meningkatkan ketajaman penglihatan (Daud Achroni 2013).
D. Komponen Susu
Secara kimiawi susu tersusun atas dua komponen utama, yaitu air yang berjumlah
sekitar 87% dan bahan padat yang berjumlah sekitar 13%. Pada bahan padat susu terdapat
berbagai senyawa kimia, baik yang tergolong senyawa zat gizi makro (makronutrien)
seperti lemak, protein dan karbohidrat, maupun senyawa zat gizi mikro (mikro nutrien)
seperti vitamin dan mineral serta beberapa senyawa lainnya (Mohamad, 2002).
Tabel 1.Kandungan Gizi Susu Sapi per 100 gram
Kandungan Gizi Komposisi
Energy (kkal) 61
Protein (g) 3.2
Lemak (g) 3.5
Karbohidrat (g) 4.3
Kalsium (mg) 143
Fosfor (mg) 60
Besi (mg) 1.7
Vitamin A (ug) 39
Vitamin B1 (mg) 0.03
Air 88.3
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan 2005
E. Sifat Fisik dan Kimiawi Susu
a. Kerapatan
Kerapatan susu bervariasi antara 1,0260 dan 1,0320 pada suhu 20oC, angka ini
biasanya disebut sebagai “26” dan “32”. Keragaman ini disebabkan karena
perbedaan kandungan lemak dan zat-zat padat bukan lemak (Amalia, 2012).
b. Nilai pH
Nilai pH susu segar berada di antara pH 6,6 -6,7 dan bila terjadi cukup banyak
pengasaman oleh aktivitas bakteri, angka-angka ini akan menurun secara nyata.
Bila pH susu naik di atas 6,6 -6,8 biasanya hal itu dianggap sebagai tanda adanya
mastis pada sapi, karena penyakit ini menyebabkan perubahan keseimbangan
mineral dalam susu (Amalia, 2012).
c. Warna
Warna susu yang normal adalah putih sedikit kekuningan. Warna susu dapat
bervariasi dari putih kekuningan hingga putih sedikit kebiruan. Warna putih sedikit
kebiruan dapat tampak pada susu yang memiliki kadar lemak rendah atau pada
susu skim (Mohamad, 2002).Warna putih dari susu diakibatkan oleh dispersi yang
merefleksikan sinar dari globula-globula lemak serta partikel-partikel koloid
senyawa kasein dan kalsium posfat. Warna kekuningan disebabkan karena adanya
pigmen karoten yang terlarut di dalam lemak susu (Saleh, 2004).
d. Rasa dan Bau
Susu segar memiliki rasa sedikit manis dan bau (aroma) khas. Rasa manis
disebabkan adanya gula laktosa didalam susu, meskipun sering dirasakan ada
sedikit rasa asin yang disebabkan oleh klorida. Bau khas susu disebabkan oleh
beberapa senyawa yang mempunyai aroma spesifik dan sebagian bersifat volatil.
Oleh sebab itu, beberapa jam setelah pemerahan atau setelah penyimpanan, aroma
khas susu banyak berkurang (Mohamad, 2002).
F. Hasil Olahan Susu
a) Susu Pasteurisasi
Susu yang dipanaskan untuk mencegah kerusakan karena mikroorganisme dan
enzim. Ada 2 cara pasreurisasi, yaitu pasteurisasi lama/Low Temperature Long
Time (susu dipanaskan pada suhu 65-70% selama 30 menit, tahan disimpan 3-6
hari pada suhu pendigin) dan pasteurisasi sekejap/High Temperarure Short Time
(susu dipanaskan pada suhu 8-95○C selama 15-16 detik).
b) Susu Homogenisasi
Susu homogen adalah susu yang telah diproses untuk memecah butiran lemak,
sehingga setelah 48 jam penyimpanan pada suhu 10-15○C tidak terjadi pemisahan
krim pada susu
c) Susu Steril
Susu steril adalah susu yang dihomogenasi sampai lebih dari titik didih (110○C)
dalam waktu singkat.
d) Susu Kental Manis
Susu yang diperoleh dari peternakan distandarisasi dengan ditambahkan krim
maupun susu skim, sehingga perbandingan tetap dari lemak : benda padat bukan
lemak menjadi 9 : 22.
e) Susu Evaporasi
Susu evaporasi atau susu kental tawar mengandung solid 2,25 kali dari susu segar.
Cara pembuatannya hampir sama dengan susu kental manis, hanya saja tidak
ditambahkan gula.
f) Yoghurt
Yoghurt adalah produk susu yang dibuat dengan cara fermentasi. Susu yang akan
difermentasi dipanaskan sampai 90○C selama 15-30 menit,kemudian didinginkan
sampai 43○C. Setelah itu ditambahkan bakteri Lactobacillus
bulgaricus dan Streptococcus thermophillus, diinkubasi kira-kira 3 jam sampai
tercapai pH 4,0-4,5. Produk didinginkan sampai 5○C dan siap dikemas.
g) Kefir
Kefir merupakan produk olahan susu yang hampir mirip dengan yoghurt, tetapi
proses fermentasinya menggunakan bakteriStreptococcus lactis, Lactobacillus
bulgaricus, dan ditambah khamir (ragi) untuk memfermentasi laktosa.
h) Keju
Keju dibuat dari dadih susu yang dipisahkan, diperoleh dengan penggumpalan
bagian casein/endapan protein dari susu dan susu skim. Penggumpalan terjadi
dengan adanya rennet atau dengan meningkatkan keasaman susu melalui
fermentasi asam laktat.
i) Mentega
Mentega terbuat dari lemak susu yang didalamnya ditambahkan garam untuk
mendapat rasa yang lebih baik dan untuk menjaga mutu. Kandungan gizi mentega
tergantung pada kandungan lemak dan vitamin-vitamin yang larut lemak. Mentega
tidak mengandung laktosa dan mineral, serta berprotein rendah.
j) Tahu susu/Dali
k) Tahu susu merupakan produk yang dibuat dengan mencampurkan susu dengan air
perasan ekstrak pepaya (papain) 0,2/liter susu, dipanaskan/dikukus 30-40 menit
dengan api sedang sampai menggumpal.
l) Susu Bubuk
Kandungan total padatan padatan susu bubuk 97% dengan spray drier. Susu bubuk
ada 2 macam, whole milk (protein 24,6%) dan skim milk (35,6%).
m) Dodol Susu
Dodol susu dibuat dengan cara merebus air susu hingga mendidih, kemudian
ditambahkan gula dan dididihkan lagi selama 2,5 jam sambil diaduk. Setelah
mengental ditambahkan tepung terigu sedikit demi sedikit sambil diaduk,
didiamkan,kemudian dipotong-potong.
n) Kerupuk Susu
Kerupuk susu dibuat dengan cara merebus susu kemudian ditambahkan bumbu
dan tepung kanji hingga menjadi adonan yang tidak lengket. Adonan tersebut
dimasukkan ke dalam air mendidih, didinginkan, diiris, dijemur kemudian
digoreng.

BAB III
PEMBAHASAN
A. PRODUKSI
SUSU SAPI
a) Perkembangan produksi susu sapi

Selama lima tahun terakhir populasi sapi perah naik dengan rata-rata
sebesar 4,46%. Pada tahun 2011, peningkatan populasi sapi perah meningkat
cukup tajam, yaitu 22,27% atau 108,76 ribu ekor lebih banyak dari tahun
sebelumnya. Pada periode berikutnya pertumbuhan populasi sapi perah masih
meningkat, kecuali tahun 2013 terjadi penurunan populasi sapi perah.
Pertumbuhan populasi sapi perah di Jawa periode 2014 – 2018
mengalami penurunan sebesar 0,86% per tahun, sedangkan di luar Pulau Jawa
mengalami peningkatan 0,85% per tahun. Jika ditelusuri keadaan populasi sapi
perah sejak tahun 1980 hingga 2018, populasi di luar Pulau Jawa rata-rata
tumbuh lebih tinggi dari pulau Jawa yaitu sebesar 13,90%. Hal ini dapat dilihat
dari data tahun 1983, dimana populasi di luar pulau Jawa tercatat meningkat
sebesar 26,65 ribu ekor dari tahun sebelumnya atau mencatat pertumbuhan
tertinggi yaitu 649,63%. Kondisi peternakan sapi perah di Indonesia masih
didominasi usaha peternakan di Pulau Jawa Hal tersebut ditunjukkan dengan
besarnya populasi sapi perah di Pulau Jawa yang mencapai lebih dari 98% dari
total populasi sapi perah Indonesia sebanyak 534,22 ribu ekor pada tahun 2017
dan 543,55 ribu ekor pada tahun 2018. Sementara itu, tahun 2017 dan 2018
populasi sapi perah di luar pulau Jawa hanya 6,22 ribu ekor dan 6,59 ribu ekor
atau masing-masing 0,99% dan 1,03% dari populasi sapi perah di Indonesia.

Gambar 3.1. Perkembangan Populasi Sapi Perah di Jawa dan Luar Jawa,
2009 – 2018
Produksi susu di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa (Lampiran 2). Perkembangan
periode 2014 – 2018, produksi susu meningkat dengan rata-rata hasil 3,34% per tahun atau
naik menjadi 909,64 ribu ton. Perkembangan produksi susu di Luar Pulau Jawa kurun waktu
1980 – 2018 menunjukkan peningkatan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 7,23%. Pada
periode 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan sebesar 2,94% per tahun.
Gambar 3.2. Perkembangan Produksi Susu Sapi di Jawa dan Luar Jawa,
2009 – 2018
Berdasarkan rata-rata tahun 2014 sampai 2018 menunjukkan bahwa sebaran populasi sapi
perah terbesar di Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Timur sekitar 264,68 ribu ekor atau
50,02% dari total populasi sapi perah
Indonesia. Provinsi lain yang memiliki populasi sapi perah cukup besar adalah Jawa Tengah
dan Jawa Barat masing-masing 133,57 ribu ekor atau 25,24% dan 118,86 ribu ekor atau
22,46% dari total populasi sapi perah Indonesia. Beberapa provinsi seperti Kalimantan
Tengah, Maluku Utara dan Papua Barat sepanjang 5 tahun terakhir tidak ada populasi sapi
perah.

Gambar 3.3. Sentra Populasi Sapi Perah Indonesia, 2014 – 2018


Provinsi penghasil susu terbesar juga berasal dari Jawa Timur, pada
tahun 2014 sampai 2018 rata-rata produksi sapi perah di Jawa Timur sebesar
480,23 ribu ton atau sebesar 54,84% dari produksi nasional. Urutan kedua
adalah provinsi Jawa Barat dengan rata-rata produksi mencapai 277,19 ribu
ton atau 31,65%, kemudian Jawa Tengah pada urutan ketiga dengan rata-rata
produksi sebesar 100,12 ribu ton atau 11,43%. Sementara provinsi lainnya
hanya berkontribusi sebesar kurang dari 1%.
Gambar 3.4. Sentra Produksi Susu Sapi Perah Indonesia, 2014 – 2018

B. DISTRIBUSI

a. Perkembangan Ekspor Dan Impor Susu Sapi di Indonesia


Berdasarkan data Ekspor Impor BPS yang diolah Pusdatin Kementan,
yang dimaksud komoditas susu yang diekspor atau diimpor adalah susu dan
kepala susu, yoghurt, mentega, keju dan dadih susu.

Gambar 3.8. Perkembangan Volume Ekspor Impor Susu


Indonesia, 1996 – 2016
Selama hampir dua dekade (1996 – 2016), realisasi impor susu Indonesia masih jauh di atas
realisasi ekspornya (Gambar 3.8 dan Lampiran 8), sehingga menyebabkan defisit neraca
perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari angka rasio ekspor terhadap impor setelah 2010
cenderung menurun antara 9,83% hingga 17,42%. Nilai rasio ekspor impor susu Indonesia
tahun 2016 sebesar 9,83%, hal ini menandakan bahwa kebutuhan susu nasional lebih dari
90% dipenuhi oleh produksi impor. Impor sebagian besar dalam bentuk susu bubuk (skim
powder) dan condensed/evaporated milk. Pertumbuhan volume ekspor susu yang terjadi
pada periode 2012 – 2016 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,29% per tahun namun
nilainya menurun 0,30% per tahun. Sementara itu volume impor susu juga mengalami
peningkatan pada periode 2012 – 2016sebesar 2,83% per tahun dan mengalami penurunan
nilai impor sebesar 2,17%. Keragaan volume ekspor susu Indonesia, dalam hal ini adalah
susu dan kepala susu (Kode HS 402219000), secara rata-rata dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2016 terbesar adalah ke negara Singapura dengan kontribusi ekspor sebesar 22,15%
atau 7,69 ribu ton. Kedua adalah ke Malaysia denganvolume sebesar 5,95 ribu ton atau
kontribusi 17,13%. Susu Indonesia juga di ekspor ke Hongkong, Nigeria dan Algeria.

Gambar 3.9. Negara Tujuan Ekspor Susu Indonesia, 2012 – 2016

Sementara itu, untuk negara asal impor susu ke Indonesia, terbesar berasal dari Selandia baru
yaitu sebesar 64,35 ribu ton atau kontribusi sebesar 29,22%. Kemudian diikuti oleh Amerika
Serikat sebesar 45,12 ribu ton atau kontribusi 20,49%; Australia 17,72%; Perancis 6,73% dan
Belgia 6,13%

Gambar 3.10. Negara Asal Impor Susu Indonesia, 2012 – 2016

b. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Mangga Indonesia


Sama halnya dengan volume ekspor dan impor, nilai ekspor mangga
Indonesia terlihat lebih tinggi dibandingkan nilai impor mangga (Gambar 3.15). Hal
ini membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu eksportir mangga di dunia.
Secara umum pertumbuhan nilai ekspor mangga Indonesia selama periode 2003-
2013 mencapai 26,76% atau ratarata meningkat 95.210 USD pertahun. Nilai
perdagangan ekspor mangga tertinggi selama periode 2003-2013 terjadi pada tahun
2012 dengan nilai ekspor mencapai 2,191 juta USD. Adapun untuk nilai impor
mangga tertinggi terjadi juga pada tahun 2012 dengan nilai 1,130 juta USD.

Gambar 3.15. Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Mangga Indonesia, Tahun
2003 – 2013
c. Neraca Susu Sapi 2018 - 2022
Berdasarkan hasil proyeksi produksi dan konsumsi susu sapi, diperkirakan 4 tahun
kedepan Indonesia akan terus mengalami defisit susu sapi (Tabel 5.4). Pada tahun
2018, defisit ketersediaan susu sapi mencapai 104,08 ribu ton. Pada tahun
berikutnya, 2019 defisit meningkat menjadi 120,92 ribu ton. Tahun 2020 hingga
2022 defisit mencapai 115 hingga 139 ribu ton. Konsumsi susu sapi yang terus
meningkat di tanah air ternyata belum bisa diimbangi dengan kemampuan peternak
sapi nasional untuk menyediakan produksi susu sapi yang berkualitas
.
Neraca Susu Sapi Indonesia, 2018 – 2022
Pertumbuhan produksi susu sapi dalam negeri pada kisaran 2 persen per tahun, sedangkan
pertumbuhan kebutuhan susu sapi lebih dari 5 persen per tahun. Kebutuhan bahan baku susu
segar dalam negeri (SSDN) mencapai 3,8 juta ton per tahun. Angka ini belum mencukupi
pasokan bahan baku SSDN yang hanya mencapai 21% atau 798 ribu ton per tahun pada tahun
2015. Sisanya sebanyak 79% masih harus diimpor dalam bentuk skim milk powder,
anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai negara. Misalnya, Australia,
Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Tempo, 2016). Banyak hal yang
menyebabkan produksi susu nasional semakin menurun antara lain sulitnya pakan hijauan,
mahalnya harga bahan baku pakan konsentrat, penurunan genetik sapi perah dan manajemen
peternakan yang belum optimal.
Untuk meningkatkan produksi susu nasional maka bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama,
produktivitas peternak lokal dan koperasi susu harus bisa menghasilkan 20 liter per hari
untuk seekor sapi. Sedangkan, untuk
perusahaan besar diharapkan bisa memproduksi susu dengan jumlah produktivitas sebanyak
minimal 30 liter per hari untuk satu ekor sapi. Kedua, yakni investasi kepada peternakan serta
pusat pengolahan susu. Dengan keberadaan investasi tersebut maka akan meningkatkan
jumlah produksi susu secara nasional (Panggah Susanto, Kemenperin, 2017).

d. Negara Asal Impor dan Tujuan Ekspor Mangga Indonesia


Pada tahun 2013, Indonesia tercatat melakukan ekspor mangga dengan
volume mencapai 1.089 ton dimana sekitar 42,43% volume ekspor tersebut
ditujukan ke Negara Uni Emirat Arab (Gambar 3.17). Negara tujuan ekspor mangga
Indonesia selanjutnya adalah Singapura dengan total ekspor ke Singapura mencapai
28,35% dari total ekspor mangga Indonesia. Negara tujuan ekspor mangga Indonesia
selanjutnya adalah Arab Saudi dengan volume mangga yang diekspor ke negara
tersebut mencapai 7,55% dari total ekspor mangga Indonesia di tahun 2013..
Untuk negara asal impor mangga di tahun 2013, Thailand tercatat sebagai
satu-satunya negara asal impor mangga Indonesia. Total volume impor mangga dari
Thailand di tahun 2013 mencapai 119 ton dengan nilai impor mencapai 348.322
USD.

Gambar 3.17. Negara-negara Tujuan Ekspor Mangga Indonesia, Tahun 2013

C. KETERSEDIAAN
Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan (NBM), ketersediaan susu
untuk konsumsi pada periode tahun 2012 – 2017 terdiri dari dua jenis, yaitu
susu sapi dan susu impor. Ketersediaan susu sapi dan susu impor sebesar 13,74
kg/kapita/tahun dengan rata-rata pertumbuhan untuk susu sapi turun 2,02%
per tahun atau 2,85 kg/kapita/tahun. Sementara itu untuk susu impor pun
turun 3,25% per tahun atau sebesar 10,89 kg/kapita/tahun. Ketersediaan susu
dalam negeri sebanyak 79,08% dipasok dari susu impor, sementara itu susu
sapi hanya memberikan berkontribusi sebesar 20,92%.
Perkembangan Ketersediaan Susu Indonesia, 1990 – 2017
Ketersediaan susu di Indonesia tahun 1990–2017 mengalami peningkatan sebesar 8,82% per
tahun. Namun, ketersediaan susu sapi pada tahun 2017 justru mengalami penurunan 27,10%
dan susu impor pun mengalami penurunan yang cukup tajam hingga 33,47%.

D. POLA KONSUMSI
1. Perkembangan Konsumsi Susu Sapi Di Indonesia
Konsumsi susu di Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan dengan
negara lainnya yaitu hanya berkisar 11,8 liter/kapita/tahun termasuk produk
olahan yang mengandung susu. Negara tetangga seperti Malaysia konsumsi
susunya mencapai 36,2 liter/kapita/tahun, Myanmar mencapai 26,7
liter/kapita/tahun, Thailand mencapai 22,2 liter/kapita/tahun dan Filipina
mencapai 17,8 liter/kapita/tahun. Rata-rata pertumbuhan konsumsi susu murni di
Indonesia menurut data dari Susenas dari tahun 1993 – 2017 mengalami
peningkatan yaitu sebesar 0,19 liter/kapita/tahun. Konsumsi
susu murni pada tahun 2017 mengalami peningkatan 6,63%..
Perkembangan rata-rata konsumsi susu murni tahun 1993 – 2017
meningkat 0,19 liter/kapita/tahun dimana penurunan tertinggi sebesar 50,24%
terjadi pada tahun 2009. Kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi susu cair
olahan, perlu ditingkatkan agar terus memaksimalkan serapan produksi susu
sapi lokal. Salah satunya dengan mendorong industri untuk meningkatkan
produksi produk susu olahan segar dibanding olahan bubuk. Saat ini produksi
susu olahan segar cair, baik itu dalam bentuk UHT (Ultra High Temperature)
maupun susu pasteurisasi masih sedikit diproduksi. Kalangan industri
pengolahan susu dalam negeri masih lebih suka memproduksi susu bubuk yang
bahan bakunya lebih banyak dipasok dari impor. Bahan baku susu bubuk
olahan lebih banyak dari susu impor karena memang impor susu dalam negeri
berupa susu bubuk, bukan susu cair.

Perkembangan Konsumsi Susu Murni di Indonesia, 1993 – 2017


Total permintaan susu sapi di Indonesia dicerminkan oleh besaran konsumsi susu sapi
nasional. Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM), komponen
pemakaian dalam negeri atau konsumsi untuk susu sapi terdiri dari pakan, tercecer dan bahan
makanan. Komponen bahan makanan ini jika dibagi dengan jumlah penduduk merupakan
ketersediaan per kapita dalam satu tahun. Asumsi proyeksi pemakaian dalam negeri atau
konsumsi susu sapi adalah:
1. Proyeksi pemakaian dalam negeri atau konsumsi susu sapi untuk pakan, tercecer, bahan
makanan dan ketersediaan susu sapi berdasarkan data NBM dengan menggunakan Trend
Analysis Quadratic.
2. Proyeksi jumlah penduduk berdasarkan data BPS dengan tingkat pertumbuhan 1,15% per
tahun.
Berdasarkan hasil proyeksi tahun 2018 - 2022, total ketersediaan per
kapita susu sapi mengalami peningkatan sebesar 4,39% per tahun. Pada tahun
2018, konsumsi domestik susu sapi Indonesia sebesar 1,01 juta ton, tahun
berikutnya naik menjadi 1,05 juta ton. Tahun 2020 diprediksi kembali
meningkat 3,59% menjadi sebesar 1,09 juta ton, tahun 2021 menjadi 1,13 juta
ton dan tahun 2022 meningkat menjadi 1,16 juta ton.
Keterangan: *) Angka Sementara
**) Angka Prediksi Pusdatin
Proyeksi Konsumsi Susu Sapi di Indonesia, 2018 – 2022

E. HARGA SUSU SAPI NASIONAL


Harga susu sapi di tingkat konsumen diperoleh dari data harga susuperah/murni dari Badan
Pusat Statistik yang dikumpulkan setiap bulan melalui Survei Harga Konsumen Perdesaan di
33 provinsi di Indonesia. Harga susu sapi tahun 2008 – 2017 terus meningkat dengan rata-rata
sebesar 8,78% per tahun kecuali tahun 2017 mengalami penurunan 3,68%. Pada periode 5
tahun terakhir (2012 – 2017), harga susu sapi mengalami peningkatan sebesar 7,15% per
tahun, dengan peningkatan tertinggi di tahun 2014 sebesar 17,32% dari tahun sebelumnya
atau dari Rp 6.962/liter menjadi Rp 8.168/liter. Hal ini merupakan indikasi yang cukup baik
bagi kelangsungan persusuan Indonesia. Jika dilihat dari kacamata produsen, harga di tingkat
produsen atau peternak masih lebih rendah dibanding harga tingkat konsumen.

Perkembangan Harga Susu Perah/Murni Tingkat Konsumen


Indonesia, 2008 – 2017
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perkembangan Buah Mangga
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum pohon mangga di
Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan luasan dengan rata-rata
pertumbuhan 11,63% per tahun. Jika pada tahun 1980 luas panen mangga Indonesia
mencapai 76.753 ha, maka pada tahun 2013, luas panen mangga Indonesia meningkat
menjadi 247.239 ha atau 222,12% dibandingkan tahun 1980. Pada tahun 2013 luas
panen mangga di Indonesia tercatat sebagai luas panen mangga tertinggi dalam
periode tahun 1980-2013.
Secara umum ekspor mangga Indonesia cenderung meningkat pada setiap
tahunnya dengan peningkatan 16,10%,adapun untuk volume impor mangga
meningkat dengan peningkatan 10,18% setiap tahunnya. Sama halnya dengan volume
ekspor dan impor, nilai ekspor mangga Indonesia terlihat lebih tinggi dibandingkan
nilai impor mangga (Gambar 3.15). Hal ini membuktikan bahwa Indonesia adalah
salah satu eksportir mangga di dunia. Secara umum pertumbuhan nilai ekspor mangga
Indonesia selama periode 2003-2013 mencapai 26,76% atau ratarata meningkat
95.210 USD pertahun.
Perkembangan Produksi dan Produktivitas Mangga di Indonesia sejalan
dengan pola perkembangan luas panen mangga di Indonesia, produksi mangga
Indonesia juga mengalami kecenderungan peningkatan produksi pada periode 1980–
2013.
Peningkatan konsumsi mangga tertinggi terjadi di tahun 2011 dimana pada
tahun tersebut konsumsi mangga di Indonesia mencapai 0,63 kg/kapita/tahun atau
meningkat 200% dibandingkan konsumsi mangga di tahun sebelumnya. Tahun 2011
sendiri merupakan tahun dimana tingkat konsumsi mangga adalah yang tertinggi
dalam 5 tahun terakhir. Secara umum konsumsi mangga di Indonesia berkisar di 0,26
kg/kapita/tahun.
Pada tahun 2008, harga produsen mangga di Indonesia secara rata-rata
mencapai Rp.6.111/kg. Harga ini hampir tidak berubah 6 tahun kemudian dimana
mangga pada tahun 2013 dtingkat produsen dapat dibeli dengan harga Rp.6.422/kg
atau hanya meningkat 5,09% dibandingkan harga di tahun 2008. Peningkatan harga
mangga pada periode tahun 2008-2013 justru terjadi pada tingkat konsumen. Harga
konsumen mangga sejak tahun 2008 hingga tahun 2013 mengalami peningkatan
sebesar 59,79% dimana harga mangga di tahun 2008 hanya Rp.7.736/kg dan
meningkat menjadi Rp.12.361/kg.

Perkembangan Buah Nenas di Indonesia


Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan produksi nenas di
Indonesia sejak tahun 1980-2015 juga berfluktuasi dan cenderung meningkat. Jika
tahun 1980 produksi nenas Indonesia sebesar 180,64 ribu ton, maka pada tahun
2015 telah mencapai 1,73 juta ton atau meningkat 13,46% per tahun. Peningkatan
produksi nenas di Jawa pada kurun waktu tersebut lebih tinggi daripada di Luar
Jawa, namun sejak tahun 2007 produksi nenas di Jawa cenderung menurun. Dalam
lima tahun terakhir, produksi nenas di Jawa hanya naik 2,42% per tahun, sedangkan
di Luar Jawa masih naik dengan rata-rata 6,75% per tahun.
Perkembangan volume ekspor nenas tahun 2000-2015 cukup berfluktuasi
(Gambar 3.11) , namun terjadi peningkatan volume ekspor nenas dari Indonesia ke
luar negeri. Rata-rata pertumbuhan selama periode tersebut sebesar 18% per tahun.
Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2008 dan 2011, masing-masing
sebesar 144,90% dan 220,67%.
Dalam lima tahun terakhir produktivitas nenas Indonesia cenderung menurun
yang disebabkan oleh turunnya tingkat produktivitas nenas di Jawa. Meskipun
produktivitas nenas di Jawa secara umum lebih besar dibandingkan di Luar Jawa,
tetapi sejak tahun 2012 tingkat produktivitas nenas di Luar Jawa mampu
mengungguli produktivitas nenas di Jawa. Budidaya nenas umumnya belum
menerapkan teknologi secara optimal dengan input produksi yang minimal.
Total konsumsi nenas per kapita dalam periode tahun 2002-2014 masih
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 1,93% per tahun yang disebabkan
lonjakan konsumsi nenas pada tahun 2011 sebesar 133,33%. Tahun 2002 konsumsi
nenas sebesar 0,47 kg/kapita, dan meningkat mencapai 0,57 kg/kapita pada tahun
2005. Setelah tahun 2006 terjadi penurunan konsumsi nenas hingga tahun 2010,
tetapi pada tahun 2011 terjadi lonjakan konsumsi menjadi 0,37 kg/kapita (Gambar
3.8).
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, harga nenas di tingkat produsen
cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 3.10). Rata-rata laju
pertumbuhan harga nenas di tingkat produsen sebesar 16,16% per tahun. Tahun
1997 harga nenas di tingkat produsen hanya sebesar Rp. 361,-/buah, dan
meningkat menjadi Rp. 4.821,-/buah pada tahun 2015, yang merupakan harga
tertinggi dalam periode tahun 1997-2015 (Lampiran 9).

DAFTAR PUSTAKA

1. (Data et al., 2018)Data, P. et al. (2018) ‘Outlook Susu 2018 komonditas Pertanian
Subsektor Pertenakan’, outlook susu.
2. Jenderal, S. (2016) ‘Outlook Susu Komonditas Pertanian Subsektor Peternakan’.
3. http://repository.unimus.ac.id/1458/2/5.%20BAB%20II.pdf
4. http://eprints.umm.ac.id/35859/3/jiptummpp-gdl-yudhaherya-41637-3-babii.pdf

Anda mungkin juga menyukai