Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KEBIJAKAN TARIF IMPOR BERAS DI INDONESIA

Salah satu masalah kurangnya kemampuan petani Indonesia dalam menghasilkan beras
dan bahan makanan lainnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk ialah kurangnya lahan
bagi pertanian rakyat produsen bahan makanan, rendahnya produktivitas tenaga kerja,
sempitnya luas usaha tani, keterbatasan modal dan tekhnologi, tingginya persentase penduduk
yang hidup dari pertanian.
Kebijakan pertanian khususnya penanganan produksi beras oleh pemerintah di
Indonesia, turut menentukan identitas Indonesia. Pemerintah bertujuan untuk mencapai
swasembada produksi makanan pokok pilihan. Makanan pokok tersebut antara lain, beras,
jagung kedelai, gula, dan daging sapi. Pemerintah ingin menjamin harga pangan terjangkau
oleh konsumen dan terdistribusi secara merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan berupa penerapan harga pembelian minimum untuk beras, pengalokasian
anggaran substansial untuk input, dan kompensasi untuk penyediaan jasa bidang pertanian
umumnya, dan secara khusus untuk irigasi, penelitian dan pengembangan, pemasaran dan
promosi. Berbagai subsidi input untuk pupuk, benih dan kredit dipakai untuk mendukung
para produsen pertanian. Pada gilirannya, RASKIN, suatu program dengan target "beras
untuk kaum miskin" didasarkan pada distribusi beras dengan harga murah untuk menunjang
konsumen miskin, termasuk penduduk daerah pedesaan yang memberi pemerintah
fleksibilitas untuk memperbolehkan kenaikan yang konsisten untuk para produsen beras,
yang lalu dibebankan pada pengeluaran anggaran untuk pembiayaannya. BULOG (Badan
Logistik Nasional Indonesia), suatu badan publik, wajib membeli beras dengan harga
minimum yang dijamin oleh pemerintah, untuk menstabilkan harga beras domestik melalui
operasi pasar, untuk mengelola cadangan beras pemerintah, dan untuk mendistribusikan beras
kepada konsumen melalui RASKIN (OECD 2012).
Untuk meningkatkan efektifitas kebijakan harga pembelian minimum untuk beras,
maka perlu disertai kebijakan pembatasan impor. Kebijakan impor beras bertujuan untuk
mencegah beras murah masuk ke Indonesia. Hal yang sangat fatal akan terjadi apabila impor
beras tidak dibatasi, terutama ketiga harga beras dunia anjlok. Dengan menggunakan cara ini,
banjir beras impor beras dapat ditangani sehingga harga beras domestik tidak turun dan
petani memperoleh keuntungan yang memadai.
Selanjutnya, tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan
menentukan besaran bea masuk setiap satuan barang yang diimpor. Pada beras dikenakan bea
masuk sebesar Rp. 550,- per kilogram. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus
dibayar, cukup mengalikan besarnya tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang.
Secara konsepsional, alasan utama suatu barang dikenakan tarif spesifik adalah untuk
memudahkan penghitungan pungutan pabeannya, dengan pertimbangan harga barang yang
dikenakan tarif spesifik ini tidak akan berubah signifikan dalam waktu yang relatif lama.
(Pusdiklat BC, oleh Mohamad Jafar (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai)).

2.1 Tujuan dan Sasaran Kebijakan Impor Beras


Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 06/M-
DAG/PER/2/2012 tentang ketentuan impor dan ekspor beras menyebutkan bahwa untuk
menjaga ketersediaan beras nasional, mempertahankan kondisi perberasan nasional yang
kondusif saat ini, dan menciptakan stabilitas ekonomi nasional, maka perlu diambil kebijakan
terkait pengadaan beras khususnya yang berasal dari luar negeri.

Kebijakan Pemerintah tersebut mengundang pro dan kontra. Di satu pihak


dikemukakan bahwa impor beras harus dilakukan sebagai upaya pengamanan pangan dan di
pihak lain impor beras tersebut ditakutkan akan menghancurkan keberadaan para petani beras
nasional. Tindakan mengimpor, dan juga mengekspor, dalam kamus ekonomi makro
sebenarnya adalah hal yang biasa. Jika kebutuhan konsumsi belum dapat dipenuhi dari hasil
produksi dalam negeri, artinya terjadi excess demand, maka cara pemenuhannya adalah
dengan melakukan impor. Dan sebaliknya jika produksi melebihi konsumsi, yakni terjadi
excess suplly maka suatu Negara bisa melakukan ekspor.

Adanya kebijakan pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokan petani


di wilayah yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada
kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga dasar gabah
tetap rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia selain telah
banyka berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal dan tujuan produksi pangan. Latar
belakang dilakukannya impor beras oleh pemerintah adalah karena beberapa faktor. Di
antaranya karena harga beras dari luar negeri relatif lebih murah dan lebih bermutu daripada
beras dari dalam negeri. Namun hal ini sangatlah tidak baik, karena dapat mematikan pasaran
produk dalam negeri.
Keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras menuai kritikan dan penolakan
dari berbagai kalangan di daerah, mulai dari petani, LSM, mahasiswa dan tanpa terkecuali
juga dari aparatur Negara. Mereka yang menolak, khawatir impor beras akan semakin
menenggelamkan kehidupan petani yang terpuruk. Di sisi lain, hal itu menunjukkan tidak
adanya program pembangunan yang konkret terhadap sektor pangan (Tempo,2013).

Adanya kebijakan impor beras tersebut, maka untuk melindungi produsen dalam
negeri (petani), memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tarif impor beras. Tarif
impor beras yang ditetapkan berdaskan Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.011/2007
yaitu sebesar Rp 450 per kg.

Untuk melindungi petani dari kejatuhan harga gabah, Pemerintah mengambil


kebijakan dengan menyediakan pasar alternatif (alternative market) bagi gabah petani.
Kebijakan pasar alternatif tersebut konsisten dengan kebijakan pengadaan gabah/beras,
dimana pemerintah menugaskan Perum Bulog selaku pelaksana dari kebijakan tersebut.
Dewasa ini, kebijakan pengadaan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan beras di
dalam Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Program Raskin) dan Cadangan Beras
Pemerintah (CBP).

Dalam pengadaan beras/gabah dalam negeri, Perum Bulog diharuskan menyerap


beras dari petani dengan tingkat harga tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, yang
disebut dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Secara singkat, Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) dapat didefinisikan sebagai harga pembelian gabah/beras, baik di tingkat
petani maupun di tingkat penggilingan, oleh Pemerintah berdasarkan peraturan yang terkait
dengan kebijakan perberasan nasional. Kebijakan HPP tersebut diharapkan dapat melindungi
petani untuk tetap mendapatkan tingkat harga yang menguntungkan. Lebih lanjut, keberadaan
HPP diharapkan dapat menjadi insentif bagi petani untuk tetap memproduksi bahan pangan
(khususnya beras) di dalam mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Sementara
itu, secara tidak langsung penerapan kebijakan HPP dapat mendorong dan memfasilitasi
petani di dalam penggunaan benih padi unggul bersertifikat, pupuk anorganik dan organik
secara berimbang, serta teknologi pascapanen padi yang lebih tepat. Kebijakan HPP
diarahkan sepenuhnya bagi petani produsen gabah/beras, sehingga diharapkan penerima
manfaat utama dari pelaksanaan kebijakan HPP adalah petani padi.
2.2 Institusi Pelaksana Kebijakan
Berdasarkan peraturan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP), yaitu Inpres No. 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan,
lembaga yang terkait dengan kebijakan perberasan nasional secara umum dan pelaksanaan
kebijakan HPP di dalam pengadaan beras dan Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin)
secara khusus adalah: (1) Kementerian/Lembaga di tingkat pusat seperti Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Keuangan; (2)
Gubernur, Bupati, dan Walikota di tingkat daerah; dan (3) BUMN, khususnya Perum Bulog.
Di dalam pelaksanaannya, Perum Bulog bertugas sebagai: (1) Pelaksana pembelian
gabah/beras secara nasional; (2) Pelaksana penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi
kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta penyediaan dan penyaluran beras untuk
menjaga stabilitas harga beras, menanggulangi keadaan darurat, bencana, dan rawan pangan;
dan (3) Pelaksana pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Namun demikian,
pembeliangabah/beras oleh Pemerintah di daerah, selain dilakukan oleh Perum Bulog, dapat
pula dilakukan oleh Badan Pemerintah atau Badan Usaha di bidang pangan. Demikian pula
untuk pengadaan dan pengelolaan cadangan beras oleh Pemerintah di daerah dapat dilakukan
oleh Badan Pemerintah atau Badan Usaha di bidang pangan.
Dalam pengadaan beras dari dalam negeri, Bulog bekerjasama dengan Mitra Kerja.
Salah satu Mitra Kerja tersebut adalah Usaha Penggilingan Padi. Persyaratan sebuah usaha
penggilingan padi untuk menjadi mitra Bulog adalah: (1) Mempunyai lantai jemur sendiri; (2)
Mempunyai izin usaha lengkap; (3) Mempunyai tempat penggilingan dan gudang; (4)
Memberikan jaminan pengadaan dan karung; dan (5) Menyimpan uang di Bulog sebagai
jaminan kontrak kerja pengadaan gabah beras. Besarnya jaminan uang di Bulog adalah 98,5%
dari nilai setoran gabah pertama ke Bulog (1,5% diberikan ke Mitra). Setelah itu, pada
transaksi berikutnya, kedua ketiga dan seterusnya, 100% nilai setoran gabah diberikan kepada
Mitra, dan tidak dipotong lagi. Setelah kontrak putus atau berakhir, uang jaminan
dikembalikan. Sesuai dengan Pedoman Umum Pengadaan Gabah/Beras Dalam Negeri Tahun
2009 di Lingkungan Perusahaan Umum (Perum) Bulog dinyatakan bahwa pengadaan gabah
dan beras pada wilayah kerja, yang dalam hal ini adalah Sub Divisi Regional (Divre) Perum
Bulog Maros (Sulawesi Selatan), dilakukan melalui tiga saluran yaitu: (1) Mitra kerja
pengadaan gabah dan beras dala negeri yang terdiri dari koperasi, non koperasi dan lembaga
petani yang berbadan hukum; (2) Unit pengelolaan gabah beras (UPGB); dan (3) Satuan
Tugas pengadaan gabah dalam negeri (Satgas ADA DN). Para mitra kerja ini dalam
memenuhi kuota penyetoran gabah ke gudang Dolog yang telah disepakati dengan pihak
Dolog diharuskan memenuhi kualitas gabah sesuai dengan Inpres Perberasan No. 7/2009
yaitu : kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kadar kotoran maksimum 3%.. Demikian
pula dengan penyetoran beras yang harus sesuai dengan ketentuan Inpres Perberasan.
Unit Pengelolaan Gabah Beras (UPGB) adalah unit usaha yang mendukung
kegiatan pelayanan publik dan pengembangan usaha Perum Bulog. UPGB melakukan
pembelian gabah langsung ke petani atau ke pedagang dengan menggunakan patokan harga
pasar yang berlaku pada saat transaksi. Jadi pembelian gabah oleh UPGB tidak terikat Inpres
Perberasan. Dalam melaksanakan kegiatannya, UPGB dibekali dengan fasilitas pengeringan
dan mesin penggilingan gabah-beras sehingga dapat meningkatkan kualitas gabah yang dibeli
dari petani. Setelah gabah memenuhi kualitas sesuai dengan ketentuan dalam Inpres
Perberasan, UPGB melakukan penjualan gabah (GKG) ke Dolog dan menerima harga juga
sesuai ketentuan Inpres.
Satuan Tugas Pengadaan Beras Dalam Negeri (Satgas ADA DN) dapat dibentuk oleh
Kepala Divisi Regional (Kadivre) atau Kepala Sub Divisi Regional (Kasubdivre) dalam
rangka pengamanan harga di tingkat petani dan pencapaian prognosa pengadaan dalam negeri
dengan mempertimbangkan kondisi obyektif di masing-masing wilayah kerja. Jadi Satgas
ADA DN (Satgas Sub Divre) ini tidak selalu ada pada tiap musim panen, tergantung pada
kebutuhan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Satgas Sub Divre melakukan pembelian gabah
langsung ke petani. Harga beli gabah petani oleh Satgas Sub Divre sesuai dengan kualitas
gabah dan berpedoman pada Tabel Rafaksi yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian.
Satgas Sub Divre ini kemudian melakukan penyesuaian kualitas gabah agar sesuai kualitas
penjualan ke gudang Dolog. Usaha yang dilakukan Satgas biasanya adalah melakukan
penyewaan lantai jemur untuk melakukan penjemuran, atau dapat menyewa blower,
atausehingga harus bekerjasama dengan pihak pengusaha penggilingan gabah-beras. Selain
gabah, Satgas Sub Divre juga dapat membeli beras dari pedagang. Setelah memenuhi kualitas
gabah Dolog, Satgas dapat melakukan penjualan ke gudang Dolog seperti pedagang rekanan.
Kontrak mitra dengan Bulog dalam penyetoran gabah dapat terdiri dari 2 jenis yaitu kontrak
terikat dan kontrak lepas. Kontrak terikat adalah mitra menyetor gabah sesuai persyaratan ke
Bulog dan kemudian seterusnya bertanggungjawab menggiling gabahnya menjadi beras
dengan rendemen 63,5%. Dalam prakteknya, rendemen bisa mencapai 67- 69%. Jika
rendemen melebihi angka tersebut maka kelebihannya menjadi keuntungan mitra atau
sebagai ongkos giling. Sementara pada kontrak lepas, mitra hanya menyetor gabah tanpa
dibebani tanggungjawab menggiling gabah menjadi beras. Selain itu, ada juga kontrak giling
dengan mitra, dimana mitra hanya dibebani tanggungjawab menggiling gabah dari gudang
Bulog tetapi tidak menyetorkan gabah ke Bulog (disebut sebagai Unit Pengolahan Gabah
Beras/UPGB Bulog).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa mitra kerja Bulog dapat membeli gabah
tanpa ketentuan apapun (bebas) dengan harga berapapun dan kualitas apapun. Sementara
penyaluran ke Bulog harus memenuhi ketentuan pemerintah secara ketat mengenai harga dan
kualitas gabah dan beras. Perlu dicermati bahwa mesin-mesin pengering dan penggilingan
mempunyai kemampuan untuk mengubah gabah dengan berbagai kualitas untuk mencapai
persyaratan kualitas beras untuk penyetoran ke gudang Bulog. Penentuan kualitas gabah yang
ditransaksikan oleh petani dan pedagang pada umumnya diukur secara visual tanpa
menggunakan alat. Dengan adanya perbedaan kualitas berdasarkan persepsi petani dan
pedagang, terkesan ada komunikasi yang tidak simetris dalam bertransaksi yang cenderung
merugikan petani.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.05/Permentan/PP.200/2/2011 tentang
pedoman HPP untuk gabah dan beras di luar kualitas yang disyaratkan, Bulog dapat membeli
gabah dan beras yang kualitasnya berbeda dari peraturan sebelumnya (kualitas HPP). Gabah
dapat dibeli hingga kategori diluar kualitas 3 yang berkadar air 26-30% dengan harga
tertentu. Dengan kata lain, Bulog dapat membeli gabah dengan kualitas gabah kering panen
di sawah karena gabah ini mempuyai kadar air tersebut. Demikian pula dengan beras, Bulog
dapat membeli beras berkualitas rendah yang harganya lebih rendah daripada beras
berkualitas medium (HPP). Selain itu, Bulog juga dapat membeli beras berkualitas premium
atau di atas kualitas beras medium. Di Kabupaten Maros misalnya, penyerapan gabah dan
beras di luar kualitas ini sudah dilakukan walaupun jumlahnya masih sangat sedikit.
Inpres No. 8/2011 tanggal 15 April tentang Kebijakan Pengamanan Cadangan
Beras yang Dikelola oleh Pemerintah dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim
menginstruksikan antara lain: (1) Pembelian gabah/beras oleh Perum Bulog harus
memperhatikan HPP; dan (2) Dalam hal harga pasar gabah/beras lebih tinggi daripada HPP,
pembelian gabah/beras dapat dilakukan oleh Perum Bulog pada harga yang lebih tinggi
daripada HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS.

2.3 Tarif Impor Beras di Indonesia


Salah satu kebijakan dalam perberasan di Indonesia adalah pengenaan bea masuk
terhadap impor beras yang masuk ke Indonesia. Kebijakan tarif impor beras ini merupakan
salah satu elemen kebijakan perberasan Nasional berdasarkan Inpres No. 13 tahun 2015. Satu
paket kebijakan perberasan Nasional berdasarkan Inpres tersebut terdiri dari 5 elemen, yaitu:
1. Elemen peningkatan produksi
2. Elemen diversifikasi
3. Elemen kebijakan harga
4. Elemen kebijakan impor
5. Elemen distribusi beras untuk keluarga miskin
Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, pengenaan bea masuk impor beras
akan mengurangi jumlah beras yang beredar di Indonesia. Menurut Cahyono (2001),
penetapan tarif impor akan membuat beras impor dan stok beras turun, harga gabah dan beras
meningkat. Sehingga terjadi surplus pada produsen (petani) yang dapat membuat gairah
petani menanam padi pada masa tanam selanjutnya tetap terjaga. Penetapan tarif impor yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia merupakan instrumen kebijakan yang cukup penting
untuk membatasiapasokan impor beras dari luar negeri dengan tujuan untuk melindungi
petani dari kejatuhan harga (Sitepu, 2002).
Menurut Nopirin (1990), kebijakan tarif maupun non-tarif mempunyai dampak pada
perubahan surplus konsumen dan surplus produsen. Pemberlakuan tarif impor secara umum
akan menyebabkan:
1. Penurunan volume impor beras karena harganya kurang kompetitif
2. Kenaikan harga beras di Indonesia karena berkurangnya jumlah beras yang beredar di
Indonesia
3. Penurunan konsumsi beras karena harganya lebih mahal
4. Peningkatan produksi beras di Indonesia karena petani terpacu untuk menanam padi
5. Adanya penerimaan pemerintah dari pengenaan tarif impor tersebut
Gambar di bawah ini menunjukkan dampak kebijakan tarif impor terhadap surplus konsumen
dan surplus produsen.

Titik keseimbangan pada pasar domestik adalah P0 dan Q0. Pada kondisi sebelum
tarif ditetapkan, surplus konsumen sebesar P1HA dan surplus produsen adalah P1CB, dimana
P1 merupakan harga beras dunia. Sedangkan setelah diberlakukannya tarif impor sebesar t,
maka surplus konsumen berkurang menjadi P2FA sedangkan surplus produsen meningkat
menjadi P2DB. Pemerintah melakukan impor sebesar Q3-Q2 untuk mencukupi kebutuhan
dalam negeri sebesar Q4. Besarnya tarif impor adalah P1-P2, sehingga memberikan
penerimaan pemerintah sebesar DEFG. Namun perekonomian secara keseluruhan mengalami
kehilangan sosial (dead weight loss) sebesar CDE dan FGH.
Penurunan tarif impor pada beras mnjadi 0% akan menyebabkan membanjirnya beras
impor di Indonesia sehingga harga beras domestik pun akan turun. Hal ini akan
mempengaruhi keputusan petani apakah tetap menanam beras pada musim selajutnya atau
tidak. Menurut Bambang Sayaka (2007). Penurunan tarif impor dari 30 menjadi 0% akan
mengakibatkan peurunan harga beras domestik sehingga akan mengurangi produksi beras
domestik (-2,1%) dan kenaikan jumlah beras domestik (+1,8%). Akibat lainnya, petani akan
mengubah komoditas pertaniannya menjadi kedelai sehingga produksi kedelai meningkat 6%.
Jika harga beras murah maka konsumsi gandum akan menurun 2,8%.
Jika tarif impor dinaikkan menjadi 50% maka impor beras tidak akan ada lagi. Hal ini
akan mengakibatkan harga beras menjadi mahal sehingga petani lebih tertarik menanam
beras dibandingkan kedelai. Akibatnya produksi kedelai akan turun -2,9% dan konsumsi
gandum akan meningkat 1,6%.
Pengenaan tarif impor beras dilakukan melalui penerbitan peraturan Menteri
Keuangan. Berdasarkan sejarahnya tari impor beras bias bervariasi tergantung kondisi saat
itu, bisa 0 rupiah/kg, 430 rupiah/kg, 450 rupiah/kg maupun 550 rupiah/kg.
Pada saat krisis moneter 1997, tarif impor beras di Indonesia ditetapkan 0 rupiah.
Produksi beras nasional pada saat itu sangat kurang. Bahkan negara Vietnam membantu
Indonesia dalam bentuk hibah beras maupun pinjaman beras. Sejak tahun 1999. Setelah
kondisi Indonesia mulai stabil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI no:
568/KMK.01/1999 tarif impor beras dinaikkan menjadi 430 rupiah/kg.
Per tanggal 7 Januari 2007 tarif impor beras dinaikkan menjadi 450 rupiah/kg
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no. 180/PMK.011/2007. Dan sempat diturunkan
lagi menjadi 0 rupiah/kg berdasarkan Peraturan menteri Keuangan no. 241 tahun 2010.
Karena diprotes oleh masyarakat, per tanggal 1 April 2011 tarif impor beras dinaikkan lagi
menjadi 450 rupiah/kg berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no. 65/PMK.011/2011
dengan pos tarif 1006.30.90.00.Semenjak itu, tidak ada perubahan tarif impor beras di
Indonesia. Di bawah ini adalah ranguman kebijakan tarif impor beras di Indonesia.
2.4 Tarif Impor di Negara besar dan Negara kecil
Kariyasa (2002) menjelaskan tarif akan berbeda dampaknya apabila dikenakan di
“negara besar” atau di “negara kecil”. Manfaat dan biaya atau dampak tarif di masing-masing
negara dikaji pada gambar 1. Tanpa tarif maka harga dunia sebesar Pw. Apabila negara
pengimpor (Domestik) merupakan negara yang dapat mempengaruhi harga dunia, maka
setelah ada tarif sebesar t maka akan mengakibatkan kenaikan harga domestik dari Pw ke Pt
serta menurunkan harga ekspor (Asing) dari Pw ke Pt. Produksi dalam negeri meningkat dari
S1dan S2, Sedangkan konsumsi dalam negeri turun dari D1 ke D2.

Biaya dan manfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda dapat


dinyatakan sebagai penjumlahan bidang a,b,c,d,e.

Dampak tarif untuk “negarakecil” dimana negara tidak dapat mempengaruhi harga
ekspor berakibat meningkatkan harga barang yang diimpor sebesar tarif, dari Pw kePw+t,
produksi meningkat dari S1dan S2 , sedangkan konsumsi turun dari D1 ke D2. Bedanya
dengan negara besar, kasus penerapan tarif di negara kecil kehilangan Bidang ,yaitu bidang
yang mencerminkan keuntungan nilai tukar perdagangan, dan ini jelas menunjukkan bahwa
tarif menurunkan kesejahteraan. Tarif merusak rangsangan bagi produsen maupun konsumen
dalam mengambil keputusan karena impor menjadi lebih mahal dari pada yang sebenarnya
terjadi jika tiada hambatan perdagangan.

2.5 Perbandingan Tarif Impor Beras di Luar Negeri


Salah satu kegiatan perdagangan internasional adalah kegiatan impor yang secara
umum merupakan kegiatan untuk memasukkan/membeli barang dari luar negeri ke dalam
negeri dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat. Adapun ketentuan impor tiap negara untuk
tiap jenis komoditi berbeda-beda. Kebijakan pemerintah untuk menekan impor misalnya
dengan tarif dan non-tarif misalnya dengan menerapkan kuota impor sehingga produsen
dalam negeri bisa meningkatkan daya saingnya.
Kebijakan tarif adalah kebijakan melindungi barang–barang produksi dalam negeri dari
ancaman membanjirnya barang–barang sejenis yang diimpor dari luar negeri, dengan cara
menarik/mengenakan pungutan bea masuk kepada setiap barang impor yang masuk untuk
dipakai/dikomsumsi habis di dalam negeri.
Kebijakan non-tarif adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang
dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan internasional
(Dr. Hamdy Hady). Salah satu kebijakan non tarif yang sering digunakan sebagai kebijakan
impor adalah kuota impor (pembatasan impor). Kuota impor adalah pembatasan fisik secara
kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan barang.
Korea Selatan menerapkan kuota impor beras ke negaranya selama dua dekade terakhir
dan akan berakhir pada akhir tahun 2014 di bawah kesepakatan yang dijamin Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) kemungkinan akan membuka pasar impor beras yang selama ini
dibatasi ketat. Namun, tarif bea masuk beras impor itu diusulkan sebesar 513 persen menurut
Menteri PertanianKorea Selatan, Lee Dong-Phil, di depan pertemuan komite pertanian
parlemen, Kamis (18/9/2014). Usulan ini masih harus menjalani verifikasi dan konfirmasi
oleh WTO, yang prosesnya bisa makan waktu berbulan-bulan.
Perjanjian Korea Selatan dengan WTO tentang kewajiban impor beras pada tahun ini
akan mencapai kuota mendekati 410.000 ton, setara sekitar 10 persen konsumsi beras dalam
negeri. Setiap kali ada perubahan kebijakan terkait pertanian, organisasi petani di dalam
negeri langsung berkumpul, menyampaikan protes berisi kemarahan.
Masa depan kebijakan Korsel danJepang yang tetap fokus pada produktivitas dan
menjamin dukungan politik yang pro petani lokal. Menghindari intervensi pemerintah dan
mempercayai mekanisme pasar, serta meningkatkan kualitas beras sesuai tuntutan konsumen.
Sedangkan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina berupaya keras pada
upaya swa sembada beras, pemerintahnya ikut berperan dalam menstabilkan harga beras,
serta mendorong produktifitas melalui pemberian subsidi dan pengenalan akan teknologi
pertanian baru. Kebijakan pangan di Myanmar, Kamboja dan Laos ternyata masih berkutat
pada kegiatan pembangunan infrastruktur pertanian seperti fasilitas irigasi dan upaya
perluasan lahan persawahan.
Lain halnya dengan Indonesia, dengan alasan klasik seperti serangan wereng, musim
kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk membuka keran impor. Seakan serangan wereng
tidak bisa diatasi dan banjir tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning dan cara cerdik
pun tidak ditemukan untuk solusi. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor.
Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia menjadi negara
yang membangun ketahanan pangan berbasis impor.
Sampai saat ini, kegiatan impor juga masih dilakukan oleh Indonesia, khususnya impor
beras. Impor sama dengan membeli hanya saja uangnya masuk pendapatan negara lain. Impor
beras Indonesia seperti yang dikatakan oleh media neraca.co.id (27/03/2013), masih
mengimpor dari negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Baru-baru ini seperti yang
diberitakan oleh kompas.com menyebutkan bahwa Indonesia masih mengimpor beras,
padahal produksi padi Indonesia mengalami surplus. Dalam hal ini, di kalangan pemerintah,
terutama di kementrian pertanian saling lempar tanggung jawab.
Konsep Tarif di Indonesiadalam Undang-undang No 17 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-undang No 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, istilah tarif didefinisikan sebagai
klasifikasi barang dan pembebanan bea masuk atau bea keluar. Terdapat dua muatan utama
dalam pengertian tarif, yang pertama adalah klasifikasi barang. Muatan kedua adalah
besarnya pembebanan bea masuk atau bea keluar yang dinyatakan dalam persentase (%)
tertentu atau dalam rupiah tertentu.
Cara pengenaan tarif bea masuk ditentukan menggunakan salah satu pendekatan yaitu
Tarif spesifik. Pada model spesifik, bea masuk dikenakan dengan menentukan besaran bea
masuk setiap satuan barang yang diimpor. Misalnya beras dikenakan bea masuk sebesar Rp.
550,- per kilogram. Maka untuk mengetahui berapa bea masuk yang harus dibayar, cukup
mengalikan besarnya tarif per satuan barang dengan jumlah satuan barang. Secara
konsepsional, alasan utama suatu barang dikenakan tarif spesifik adalah untuk memudahkan
penghitungan pungutan pabeannya, dengan pertimbangan harga barang yang dikenakan tarif
spesifik ini tidak akan berubah signifikan dalam waktu yang relatif lama.
Dasar hukum pengenaan tarif spesifik atas barang impor berupa beras adalah Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65/PMK.011/2011 Tentang Perubahan
Keenam Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006 Tentang Penetapan
Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.

Bea masuk menggunakan tarif spesifik dikenakan atas beberapa jenis barang impor
dengan tujuan untuk membatasi pemasukannya ke dalam daerah pabean. Salah satu jenis
barang impor yang dikenakan tarif spesifik adalah beras. Secara umum beras dikategorikan
menjadi dua, yaitu beras biasa (medium) dan beras kualitas tinggi (premium). Saat ini beras
dikenakan dengan satu jenis tarif bea masuk yang sama yaitu sebesar Rp. 450,- per kilogram.
Dampak dari pengenaan tarif atas beras premium yang relatif rendah menyebabkan
banyaknya beras premium yang masuk dengan harga yang murah sehingga beras lokal
terancam. Pengenaan tarif yang sama untuk seluruh jenis beras menimbulkan dampak
tertekannya produk beras dalam negeri kualitas medium karena beras impor premium dijual
seharga harga beras medium produk dalam negeri. Dengan demikian tujuan pengenaan bea
masuk untuk melindungi produk pertanian khususnya beras tidak tercapai.

2.5 Dampak Kebijakan Tarif Impor Beras Di Indonesia


Pada tahun 2010 produksi beras dalam negeri sebesar 37.854.537 ton sementara
konsumsi beras dalam negeri sebesar 38.550.000 ton. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
masyarakat atau kebutuhan nasional akan beras, maka pemerintah melakukan impor beras
sebesar 695.463 ton. Beberapa dampak yang terjadi apabila pemerintah menerapkan
kebijakan impor beras. Bagi Indonesia, dengan semakin membanjirnya beras impor akan
mengakibatkan petani semakin tidak memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun mutu
sehingga berakibat pada melemahnya daya beli masyarakat terutama dari pihak petani.
Dengan melemahnya daya beli pada akhirnya kesejahteraan petani pun semakin tidak
membaik.
Dampak yang terasa bagi kaum petani adalah dengan adanya kebijakan impor beras,
maka secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada petani Indonesia.
Dampak secara langsung yaitu pasokan padi yang telah di panen petani akan semakin
berkurang karena dengan adanya impor beras maka pemerintah cenderung memproyeksikan
beras impor. Dengan semakin berkurangnya pasokan beras dari dalam negeri menyebabkan
harga jual gabah semakin turun. Kemungkinan yang paling buruk yang akan terjadi adalah
petani akan kehilangan mata pencahariannya.
Dampak bagi pemerintah adalah Kebijakan ini dikhawatirkan akan mengurangi
kredibilitas Negara Indonesia sebagai Negara agraris, dan yang akan sangat mengancam yaitu
dengan adanya impor beras secara terus-menerus akan membuat Indonesia semakin jauh dari
keinginan untuk mewujudkan ketahanan pangan (Media Kompas, 2013). Selain itu, dampak
yang diterima pemerintah adalah pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk
melaksanakan impor.
Kebijakan tarif impor beras selain berdampak pada produsen juga berdampak pada
konsumen. Terjadinya Peningkatan konsumsi beras dan kesejahteraan konsumen disebabkan
karena, dengan turunnya tarif impor beras menyebabkan harga beras dalam negeri akan lebih
murah, sehingga konsumen dalam negeri akan menerima harga yang lebih rendah dari harga
sebelumnya.
Salah satu sumber penerimaan pemerintah antara lain berasal dari tarif impor. Pada
kajian dengan penerapan tarif impor beras sebesar Rp 450 per kg pada tahun 2010.
Pemerintah mengimpor beras sebesar 695.463 ton, maka tentunya menambah penerimaan
pemerintah sebesar Rp. 312.958.350.000, pada tahun 2010, Sementara itu, apabila
pemerintah menurunkan tarif impor beras dari Rp. 450 per kg menjadi Rp. 200 per kg
(skenario 1), maka penerimaan pemerintah dari tariff impor beras turun dari Rp.
312.958.350.000,- menjadi Rp. 166.601.200.000,- atau sebesar 46,76 persen. Penurunan
penerimaan pemerintah ini disebabkan karena turunnya tarif impor beras dari Rp.450 per kg
menjadi Rp. 200 per kilo gram, meskipun volume impor beras meningkat dari 695.463 ton
menjadi 833.006 ton. Sebaliknya apabila pemerintah menaikkan tarif impor beras dari Rp.
450 per kg menjadi Rp. 700 per kg (skenario 2), maka penerimaan pemerintah naik dari
Rp.312.958.350.000,- menjadi Rp. 327.696.208.000,-. Kenaikan penerimaan pemerintah ini
disebabkan karena tinggi tarif impor beras yang ditetapkan, walaupun impor dan konsumsi
beras dalam negeri menurun sebesar 104.659 ton yang disebabkan karena naiknya harga
beras dalam negeri.
Uraian di atas menunjukkan bahwa apabila tujuan pemerintah mengenakan tarif impor
beras untuk menambah penerimaan negara, maka pemerintah selayaknya lebih berhati -hati ,
dan memperhitungkan dengan baik khususnya dampak tarif terhadap permintaan dan
penawaran beras di dalam negeri. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa apabila pemerintah
menaikkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah dari tarif impor beras akan
meningkat, disebabkan naiknya tarif impor namun karena permintaan dalam negeri berkurang
sebagai akibat kenaikan harga di dalam negeri yang memaksa konsumen untuk mengurangi
konsumsinya dan produksi beras dalam negeri meningkat, sehingga kenaikan penerimaan
pemerintah atas kenaikan tarif tersebut relatif sangat kecil. Sebaliknya apabila pemerintah
menurunkan tarif impor beras, maka penerimaan pemerintah menurun, disebabkan besarnya
penurunan tarif impor tidak sebanding dengan peningkatan permintaan beras dan penurunan
volume produksi dalam negeri. Dengan demikian peningkatan tarif impor tidak menjamin
penerimaan pemerintah meningkat, dan sebaliknya penurunan tarif juga tidak menjamin
turunnya penerimaan pemerintah dari tariff impor beras.
Dampak kebijakan pemerintah dapat diukur dari kesejahteraan masyarakat atau
perekonomian secara keseluruhan (Total Net Walfare Effect). Ukuran ini sudah
memperhitungkan perubahan-perubahan yang terjadi pada surplus produsen, surplus
konsumen dan penerimaan pemerintah.

2.7 Kelemahan Dan Kekuatan Kebijakan Tarif Impor Beras Di Indonesia


Temuan Hadi dan Wiryono (2005) yang mengkaji dampak kebijakan proteksi terhadap
ekonomi beras di Indonesia menemukan bahwa sistem perdagangan yang makin liberal
memberikan surplus ekonomi nasional yang makin besar, hal tersebut berarti ekonomi
nasional makin efisien. Namun dari segi distribusi, produsen menerima surplus yang jauh
lebih kecil daripada konsumen, yang berarti aspek pemerataan manfaat dari kebijakan
pemerintah tidak terwujud. Mengingat bahwa petani padi pada umumnya miskin, maka
keberpihakan pemerintah kepada petani sangat diperlukan untuk mengentaskan mereka dari
kemiskinan. Dengan alasan ini dan alasan lain seperti penyediaan lapangan kerja dan
pembangunan perdesaan, maka kebijakan yang bersifat protektif masih tetap diperlukan, baik
dengan pengenaan tarif impor beras, maupun pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor
beras.
Sementara temuan Rachman et al (2008) yang mengkaji tentang dampak liberalisasi
perdagangan terhadap kinerja ketahanan pangan nasional yang mengatakan bahwa
peningkatan tarif impor beras yang disertai dengan nilai tukar yang terdepresiasi relatif
tinggi, akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen meningkat,
selanjutnya jumlah penawaran meningkat dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen
bertambah. Liberalisasi perdagangan (tariff impor dihapuskan) disertai dengan penurunan
harga beras dunia akan menyebabkan harga beras di tingkat pedagang besar dan produsen
menurun. Akibatnya jumlah penawaran menurun dan dampaknya terhadap kesejahteraan
produsen berkurang. Besarnya perubahan penerimaan pemerintah tidak hanya ditentukan oleh
perubahan tarif, tetapi juga oleh faktor lain, seperti elastisitas transmisi harga dan elastisitas
permintaan dan penawaran.

Anda mungkin juga menyukai