Komoditas Pertanian
Tim Peneliti :
Miftah Farid
Bagus Wicaksena
Yati Nuryati
Dwi W. Prabowo
Asih Yulianti
Avif Haryana
2014
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Analisis Kebijakan Harga Pada
Komoditas Pertanian
2014
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
RINGKASAN EKSEKUTIF
Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Pada negara berkembang seperti
Indonesia, pertanian masih merupakan tulang punggung bagi 38 juta penduduk.
Liberalisasi perdagangan yang berdampak pada serbuan impor produk pertanian akan
berpengaruh pada produksi produk pertanian dalam negeri. Sekedar perbandingan, tren
pertumbuhan produksi beberapa komoditi seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging
sapi sejak tahun 1975 hingga 2012 masing-masing hanya sebesar 2,54%, 4,94%, 0,59%,
1,42%, dan 2,33%. Sedangkan pertumbuhan impornya pada periode yang sama masing-
masing mencapai 1,99%, 13,65%, 7,66%, 8,28%, dan 4,58% (BPS 2013, diolah).
i
lain Beras, Gula, Kedelai, Bawang Merah, Cabe Merah, dan Daging Sapi dengan
beberapa peraturan terkait kebijakan harga.
Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengaturan impor cabe merah,
bawang merah dan daging sapi dengan instrumen harga referensi secara empiris terbukti
belum efektif untuk mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan konsumen. Hal
tersebut dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi dari harga referensi.
Namun kebijakan tersebut efektif dalam mendukung harga produsen. Hal ini dibuktikan
dengan harga produsen selalu lebih tinggi dari harga paritas referensi ditingkat produsen.
Pada sisi lain, kebijakan harga referensi sangat menguntungkan importir yang dibuktikan
dengan harga paritas impor (HI) selalu lebih rendah dari harga domestik. Dengan
demikian, kebijakan harga referensi belum efektif mewujudkan tujuan mengendalikan
harga eceran, namun berhasil mewujudkan tujuan mendukung harga petani.
Sementara untuk kebijakan harga produsen yang diterapkan pada beras dan gula
sudah mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani. Namun, kenaikan
harga produsen tersebut belum diikuti oleh kenaikan produktivitas. Sepanjang tahun
2004 – 2013, HPP Gula naik rata-rata sebesar 10,06% per tahun sementara rendemen
nasional (salah satu ukuran produktivitas pabrik gula) turun sebesar 0,22% per tahun.
Untuk padi/beras, HPP Gabah Kering Panen, Kering Giling, dan Beras masing – masing
naik sebesar 11,71%, 10,68%, dan 9,29% sementara produktivitas padi sebesar 1,50%
per tahun pada periode yang sama.
ii
importir untuk melaporkan volume dan harga pembelian kedelai impor tetapi tidak
mengatur secara ekplisit kewajiban bagi importir membeli kedelai petani pada harga
sesuai HBP dan tidak ada keterkaitan antara penerbitan izin impor (Nomor Pengenal
Importir Khusus) dengan kewajiban pembelian kedelai petani.
Dari alasan operasional sementara ini, konsep ini hanya dapat diterapkan untuk
HPP gula karena kolektivitas petani tebu sudah cukup solid. Penyesuaian (peningkatan)
HPP gula tidak saja berdasarkan prognosa profitabilitas usahatani/pabrik gula tetapi juga
dikaitkan dengan produktivitas tebu dan rendemen gula pada musim tanam sebelumnya,
dan atau dengan keikutsertaan petani dalam program peningkatan produktivitas seperti
penggantian varietas tertentu. Khusus untuk kedelai, pengamanan harga di tingkat petani
perlu diperkuat dengan instrumen yang dapat mendukung penegakkan kebijakan HBP
iii
melalui beberapa opsi kebijakan, antara lain: (i) Ketentuan penerbitan izin impor perlu
dikaitkan dengan kewajiban bagi importir untuk membeli kedelai petani pada tingkat HBP;
(ii) penugasan kepada Bulog untuk melakukan pembelian kedelai petani pada HBP
dengan mengadopsi mekanisme pembelian gabah petani pada komoditi beras; (iii)
peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani; dan (iv)
peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani dan diikuti
dengan pemberian izin impor bagi pengrajin tahu/tempe melalui koperasi untuk menjamin
kepastian pasokan dan harga melalui rantai distribusi yang lebih efisien.
iv
KATA PENGANTAR
Analisis ini berupaya untuk menyajikan analisis bagaimana kebijakan yang sudah
berlaku dapat dijalankan secara efektif. Hasil akhir analisis ini ditujukan untuk memberi
masukan dalam perumusan kebijakan terkait dengan ketersediaan dan harga komoditas
pertanian. Secara umum, hasil analisis ini semoga dapat menjadi bahan rujukan bagi
pelaku usaha, pemerintah dan akademisi yang tertarik dengan topik analisis.
v
DAFTAR ISI
vi
BAB V. OPSI KEBIJAKAN HARGA
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Cabai Merah ......... 23
Gambar 4.2 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Bawang Merah ...... 24
Gambar 4.3 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Daging Sapi .......... 25
Gambar 4.4 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan Estimasi
Harga Referensi di Petani Cabai Merah ................................................... 26
Gambar 4.5 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan Estimasi
Harga Referensi di Petani Bawang Merah ............................................... 26
Gambar 4.6 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Cabai Merah ......................... 27
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Bawang Merah ..................... 28
Gambar 4.8 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Daging Sapi ..................................... 28
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
tahun 1975 hingga 2012 masing-masing hanya sebesar 2,54%, 4,94%, 0,59%,
1,42%, dan 2,33%. Sedangkan pertumbuhan impornya pada periode yang sama
masing-masing mencapai 1,99%, 13,65%, 7,66%, 8,28%, dan 4,58% (BPS 2013,
diolah). Pertumbuhan impor yang lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan
produksi telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang masih bergantung
pada impor produk pertanian dimana Import Dependency Ratio (IDR) untuk
produk pertanian seperti beras, kedelai, gula, dan daging sapi pada tahun 2012
masing-masing sebesar 5,80%, 50,30%, 65,6%, dan 10,30%.
2
karena rendahnya daya saing dan Alavi (2011) juga menerangkan bahwa
perlindungan harga produsen yang tidak tepat justru akan berdampak pada
inefisiensi tataniaga secara keseluruhan.
Faktanya, harga produsen untuk komoditas seperti beras dan gula selalu
mengalami kenaikan dimana selama tahun 2000 – 2012, tren kenaikan harga di
tingkat produsen untuk gabah adalah 12,22% sementara tren kenaikan harga
dasar yang ditetapkan pemerintah sebesar 9,40%. Untuk gula, tren harga dasar
yang ditetapkan pemerintah selama periode yang sama adalah sebesar 9,58%
sedangkan tren harga di tingkat produsen untuk gula sebesar 12,51%.
Sementara untuk komoditas dengan harga referensi seperti daging sapi, cabe,
dan bawang, harga di tingkat ecerannya masih jauh di atas harga referensi yang
ditetapkan sepanjang tahun 2013, yaitu harga rata-rata eceran daging sapi
adalah Rp 93.472/kg, cabe sebesar Rp 35.620/kg dan bawang sebesar Rp
34.540/kg (BPS 2013, diolah).
1.2. Tujuan
1.3. Keluaran
3
1.4. Ruang Lingkup
Peraturan Komoditas
Laporan analisis ini terdiri dari lima bab yangterdiri dari Pendahuluan.
Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Hasil dan Pembahasan, dan
Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan. Isi setiap Bab secara singkat
disampaikan sebagai berikut:
4
meliputi pangan dan pengelompokkannya, kebijakan harga
dasar, harga atap, dan harga referensi.
BAB V : Opsi Kebijakan. Pada bab ini akan dibahas beberapa opsi
kebijakan harga referensi dan harga produsen dengan
membandingkan manfaat dan kelemahannya sebelum
disimpulkan kebijakan terbaik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Teori dan pengertian tentang pangan pokok menjadi penting karena sektor
pangan sangat berkaitan dengan komoditas pertanian. Dalam perspektif
kebijakan, instrumen kebijakan komoditas pertanian akan berdampak pada
kebijakan pangan itu sendiri dan berlaku untuk sebaliknya.
1
Diperoleh dari berbagai sumber: CBOT, NYMEX LIFFE, BBJ, diakses pada tanggal 24 Januari
2014
6
cukup diperlukan dalam mencapai ketahanan pangan. Selain itu juga terdistribusi
dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk
menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem, 2002). Selain itu,
pengertian pangan juga menekankan pada kandungan dari bahan pangan yang
memberikan manfaat kepada tubuh dalam pertumbuhan, memperbaiki
kerusakan, dan menjaga kelancaran fungsi vital serta sebagai sumber energi.
a. Pangan Pokok
7
b. Pengelompokan Pangan
8
merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi pemenuhan kebutuhan
dan harga pangan pokok beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai, daging
sapi, daging ayam, dan telur ayam; (2) mengoordinasikan pelaksanaan stabilisasi
kebutuhan dan harga pangan pokok beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai,
daging sapi, daging ayam, dan telur ayam; (3) melakukan pemantauan dan
evaluasi stabilitas kebutuhan dan harga pangan pokok beras, gula, minyak
goreng, terigu, kedelai, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam; dan (4).
melakukan tugas terkait yang diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian. Perubahan juga terjadi pada Diktum kedelapan yaitu segala
biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian
Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012.
Harga dapat dikatakan stabil jika koefisien variasi (kk) harga berada pada
rentang yang wajar atau koefisien rasio variasi harga di dalam negeri lebih kecil
dibandingkan di luar negeri. Oleh karena itu, indikator yang digunakan untuk
mengukur kinerja stabilisasi harga adalah:
1) Rata-rata koefisien variasi harga (persen) untuk komoditi: (1) beras; (2) gula;
(3) minyak goreng; (4) terigu; (5) kedelai; (6) jagung; (7) susu; (8) daging
sapi; (9) daging ayam; (10) telur ayam; dan
2) Rata-rata rasio koefisien variasi harga komoditi tertentu tersebut di dalam
negeri dibandingkan dengan di luar negeri untuk komoditi: 1) beras; 2) gula;
3) minyak goreng; 4) terigu; 5) kedelai; 6) jagung; 7) susu.
9
c. Kebijakan Harga Komoditas Pertanian
10
a) Harga minimum yang ditetapkan secara sah dalam bentuk peraturan oleh
pemerintah (legal floors) dimana harga komoditas yang dijual produsen
ditentukan batas minimal-nya. Dalam hal ini, pemerintah melalui regulasi
menetapkan harga minimum suatu komoditas.
Kebijakan harga dasar dapat mendistorsi pasar yang memaksa harga yang
terbentuk di atas titik equilibrium. Sebagai akibatnya, harga yang dibentuk tidak
berdasarkan mekanisme pasar sehingga timbul inefisiensi. Secara umum,
kebijakan harga dasar akan menimbulkan kehilangan (deadweight loss) bagi
seluruh pelaku pasar serta menimbulkan surplus penawaran.
11
cost masing-masing produsen. Semakin kecil marginal cost suatu produsen,
maka tingkat efisiensi yang dimiliki produsen tersebut semakin baik sehingga
dapat menjual produk lebih cepat dibandingkan dengan produsen yang
memiliki marginal cost yang relatif lebih tinggi. Dengan adanya legal floors,
hal tersebut dapat diminimalisir karena seluruh produsen memiliki harga
minimum yang sama. Hanya saja inefisiensi alokasi penjualan akan
tetapterjadi di antara produsen yang menerima kebijakan floor price dengan
yang tidak.
d) Legal floors akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat menjual produk yang dibeli
berdasarkan harga minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk
mendapatkan margin yang tinggi.
c) Dana yang dibutuhkan relatif besar dan dibebankan pada pajak. Dalam hal
ini, pembayar pajak seolah-olah melakukan pembayaran ganda (double tax)
12
yaitu pajak untuk pembelian kelebihan produksi dan harga komoditas yang
relatif lebih tinggi dari harga pasar.
b) Kualitas barang akan menurun karena pada umumnya produsen merasa rugi
dengan tingkat harga yang dibatasi di bawah harga pasar
c) Harga atap akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat membeli produk berdasarkan
13
harga minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk mendapatkan margin
yang tinggi.
14
a. Kebijakan Harga Beras
15
pengadaan oleh Perum Bulog, pemerintah mengeluarkan kebijakan fleksibitas
harga pembelian bagi Bulog melalui Inpres No. 8/2011 pada bulan April 2011
yang kemudian diperbaharui dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh
Pemerintah.
GKP Tk.
Petani 1.230 1.330 1.730 2.000 2.200 2.400 2.640 3.300
(Rp/Kg)
Perubahan
8 30 16 10 9 10 25
HPP (%)
GKG
Penggilingan 1.700 1.765 2.250 2.575 2.800 3.000 3.300 4.150
(Rp/Kg)
Perubahan
4 27 14 9 7 10 26
HPP (%)
Beras
2.790 3.550 3.550 4.000 4.200 4.600 5.060 6.600
(Rp/Kg)
Perubahan
27 - 13 5 10 10 30
HPP (%)
Sumber: Kementan dan Kemendag (2013, diolah)
16
sejak tahun 1987 melalui Kep Menkeu No. 342/KMK.011/1987 perihal penetapan
harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor yang bertujuan untuk
menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan
pabrik. Kemudian pada periode liberalisasi antara tahun 1997 – 2000,
pemerintah mengeluarkan Kep. Menhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, tanggal 7 Mei
1999 perihal Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani yang
bertujuan untuk menghindari kerugian petani serta peningkatan produksi tebu.
Kebijakan harga gula kemudian direvisi mengikuti perkembangan dan sejak
tahun 2002, melalui Kep. Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 perihal
tataniaga impor gula, kebijakan harga gula didukung dengan pengaturan
importasi untuk menjaga pendapatan petani dan produsen (pabrik gula). Dan
pada tahun 2004 hingga saat ini, pemerintah mengeluarkan Kep Menperindag
No 527/MPP/Kep/2004 tentang impor, kualitas gula impor, dan harga referensi
sebagai pengganti peraturan sebelumnya. Tujuannya masih sama yaitu
stabilisasi harga terutama di tingkat produsen (Susila, 2005).
17
DAG/PER/6/2013. Sementara harga jual ke pengrajin (HJP) ditetapkan setiap
bulan sejak Bulan Juni 2013 melalui Permendag No 26/M-DAG/6/2013 sebesar
Rp 7.450/kg, dan pada Bulan Juli ditetapkan sebesar Rp 7.700/kg melalui
Permendag No 37/M-DAG/PER/7/2013 dan pada Bulan Agustus sebesar Rp
8.490/kg melalui Permendag No 49/M-DAG/PER/9/2013. Kemudian, PSHK
pernah terhenti setelah dikeluarkannya Permendag No 51/M-DAG/PER/9/2013
tentang pencabutan Permendag No 23/M-DAG/PER/5/2013 tentang Program
Stabilisasi Harga Kedelai. Namun demikian, kebijakan HBP tetap dilanjutkan
dengan penetapan berdasarkan musim panen dimana pada Bulan Oktober
ditetapkan HBP sebesar Rp 7.400/kg untuk periode Oktober – Desember 2013
melalui Permendag No 52/M-DAG/PER/9/2013. Sementara HBP untuk periode
Januari – Maret 2014 ditetapkan sebesar Rp 7.500/kg melalui Permendag No
84/M-DAG/PER/12/2013.
18
harga asset yang digunakan dalam proses produksi, harga pasar, dan harapan
produsen itu sendiri.
19
BAB III
METODOLOGI
Jika kedua hal di atas terjadi, maka pasar mengalami distorsi. Dalam
kondisi demikian biasanya pemerintah menyikapi dengan suatu kebijakan untuk
menciptakan terciptanya kondisi pasar yang bersaing sempurna (efisien).
Sebagai contoh, dalam menyikapi ketidakseimbangan harga di pasar kedelai
pemerintah memberlakukan kebijakan harga di tingkat produsen yang pada
prinsipnya untuk menciptakan kondisi pasokan yang mampu membentuk harga
optimal di tingkat konsumen. Contoh lainnya adalah kebijakan harga referensi
untuk cabe, bawang dan daging sapi dimana kebijakan ini diberlakukan untuk
membentuk pasar yang seimbang.
20
produsen, analisis harga dilakukan dengan membandingkan perkembangan
harga di tingkat produsen dan besaran harga pemerintah. Analisis ini dilakukan
pada komoditas gula, beras dan kedelai. Sementara untuk melihat efektivitas
kebijakan yang bertujuan melindungi harga di tingkat konsumen, analisis harga
dilakukan dengan membandingkan perkembangan harga di tingkat konsumen
dan besaran harga referensi yang ditetapkan pemerintah. Analisis ini dilakukan
pada komoditas daging sapi, cabai merah dan bawang merah.
Analisis ini akan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPS,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan yang meliputi harga di tingkat
konsumen (tahun 2013, bulanan), harga di tingkat produsen (tahun 2013,
bulanan), serta volume dan nilai impor (tahun 2004 – 2013, bulanan) dan
International Trade Center (ITC) untuk harga di pasar internasional (tahun 2011 –
2013), serta volume dan nilai impor Indonesia dari negara eksportir utama (tahun
2011 – 2013, kuartal). Selain itu, serta studi literatur yang terkait dengan
kebijakan harga pangan baik di Indonesia maupun di negara lain. Kajian ini juga
akan menggunakan metode diskusi kelompok (diskusi terbatas) untuk sintesa
rumusan kebijakan.
21
BAB IV
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA REFERENSI DAN PRODUSEN
22
Juli, Agustus, dan November masing – masing sebesar 15.400 ton, 216.526 ton,
dan 12.000 ton. Secara kuantitatif dapat dilihat bahwa impor dilakukan pada saat
harga cabai di tingkat eceran berada di atas harga referensi walaupun penetapan
harga refensi hortikultura baru dilakukan pada periode Oktober – Desember 2013
(Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Cabai Merah
23
25,000,000 60,000
20,000,000 50,000
40,000
15,000,000
30,000
10,000,000
20,000
5,000,000 10,000
- -
Volume Impor (ton) -LHS Harga Eceran (Rp/kg) -RHS Harga Referensi (Rp/kg) -RHS
Melaui surat yang sama, harga referensi untuk bawang merah ditetapkan
sebesar Rp 25.700/kg pada Bulan Oktober 2013. Secara rata-rata, harga
bawang merah di tingkat eceran sepanjang tahun 2013 sebesar Rp 36.757/kg,
lebih tinggi dari harga referensi yang ditetapkan pemerintah.
Sementara untuk daging sapi, harga di tingkat eceran relatif stabil dengan
rata-rata sebesar Rp 92.619/kg. Harga tersebut jauh di atas harga referensi yang
ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan sebesar Rp 76.000/kg. Dengan demikian, berdasarkan peraturan
tersebut, pemerintah dapat terus mengimpor daging sapi selama harga di tingkat
eceran berada di atas harga referensi.
Sepanjang tahun 2013, volume impor daging sapi naik sekitar 13% dari
hanya sebesar 596.586 ton pada bulan Januari menjadi sekitar 6.826.824 ton
pada bulan November. Penetapan harga referensi dilakukan pada bulan
September 2013 dan hal tersebut sejalan dengan peningkatan volume impor
pada periode tersebut dimana pada bulan September, volume impor hanya
sebesar 2.230.859 ton dan pada bulan November naik menjadi 6.826.824 ton.
namun demikian, harga daging sapi di tingkat eceran tidak turun atau tetap di
atas harga referensi yang ditetapkan.
24
8,000,000 120,000
7,000,000 100,000
6,000,000
5,000,000 80,000
4,000,000 60,000
3,000,000 40,000
2,000,000
1,000,000 20,000
- -
Volume Impor (ton) -LHS Harga Eceran (Rp/kg) -RHS Harga Referensi (Rp/kg) -RHS
25
41.000
36.000
31.000
26.000
Rp/kg
21.000
16.000
11.000
6.000
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13
66.000
56.000
46.000
Rp/kg
36.000
26.000
16.000
6.000
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13
26
c. Kebijakan harga referensi cenderung sangat menguntungkan importir yang
dibuktikan dengan harga paritas impor selalu lebih rendah dari harga
domestik. Selama periode Juli – September 2013, harga paritas impor cabai
merah di tingkat eceran berkisar antara Rp 14.000/kg sampai Rp 19.000/kg
sementara harga eceran yang terjadi adalah antara Rp 29.000/kg hingga Rp
37.000/kg. Sementara dari estimasi harga importir, harga cabai merah
diperkirakan berada pada kisaran Rp 20.000/kg hingga Rp 26.000/kg.
28,000
26,000
24,000
22,000
20,000
Rp/kg
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
Jul-13 Aug-13 Sep-13
Harga Paritas Impor di Tingkat Importir Estimasi Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual
Hal serupa juga terjadi pada komoditas bawang merah dan daging sapi
dimana selama periode Juli – September 2013, harga paritas impor bawang
merah dan daging sapi di tingkat eceran masing-masing berkisar antara Rp
3.000/kg sampai Rp 7.000/kg dan Rp 33.000/kg sampai Rp 43.000/kg.
Sementara harga eceran yang terjadi untuk bawang merah dan daging sapi
masing-masing adalah antara Rp 31.000/kg hingga Rp 55.000/kg dan Rp
90.000/kg hingga Rp 94.000/kg. Padahal, estimasi harga importir untuk bawang
merah berada pada kisaran Rp 21.000 hingga Rp 39.000/kg sedangkan untuk
daging sapi berkisar antara Rp 63.000/kg hingga Rp 65.000/kg.
27
Sumber: BPS, Kementan (diolah)
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi
Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Bawang Merah
28
Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/8/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang merupakan
dasar kebijakan penetapan harga referensi, tidak memuat klausul untuk
memastikan terjadinya penundaan impor pada saat harga di pasaran di bawah
harga referensi. Hal ini dapat dilihat dari:
29
4.2. Efektivitas Kebijakan Harga Produsen Beras, Gula, dan Kedelai
Kebijakan harga produsen diterapkan pada komoditas penting di
Indonesia, diantaranya adalah beras dan gula. Untuk beras, kebijakan
pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden bertujuan untuk meningkatkan
produksi beras nasional dengan dimana salah satunya dengan melindungi harga
di tingkat produsen melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah. Pada tahun
2013, HPP Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 3.300/kg, Gabah Kering
Giling (GKG) sebesar RP 4.150/kg, dan beras sebesar Rp 6.600/kg melalui
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah.
30
Sementara untuk gula, pemerintah telah menaikkan Harga Patokan
Petani (HPP) Gula sebesar 10,06% dimana pada tahun 2004, besaran HPP
adalah Rp 3.410/kg dan menjadi Rp 8.100/kg pada tahun 2013. Kenaikan HPP
tersebut juga diikuti oleh kenaikan harga lelang sebesar 11,09% dimana pada
tahun 2004, rata-rata harga lelang sebesar Rp 3.776/kg dan pada tahun 2013
berada pada level Rp 10.106/kg. Harga lelang yang lebih tinggi menunjukkan
harga gula di tingkat produsen relatif baik.
Serupa dengan beras, kenaikan HPP gula belum diikuti dengan perbaikan
produktivitas yang dilihat dari kecilnya kenaikan rendemen nasional. Selama
periode yang sama, kenaikan rendemen justru turun sebesar 0,23% pada
periode 2004 – 2013. Jika dielaborasi, rendemen tebu yang digiling di pabrik
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki nilai yang relatif rendah
dibandingkan dengan rendemen nasional, walaupun memiliki tren meningkat
sebesar 0,22%.
Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tren (%)
HPP GKP (Rp/Kg) 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 2,400 2,640 2,640 3,300 3,300 11.71
HPP GKG (Rp/Kg) 1,700 1,765 2,250 2,575 2,800 3,000 3,300 3,300 4,150 4,150 10.68
HPP Beras (Rp/Kg) 2,790 3,550 3,550 4,000 4,200 4,600 5,060 5,060 6,600 6,600 9.29
Produktivitas Padi (Ton/Ha) 4.54 4.57 4.61 4.71 4.89 4.90 5.12 4.90 5.10 5.15 1.50
HPP Gula (Rp/kg) 3,410 3,800 4,800 4,900 5,000 5,350 6,350 7,000 8,100 8,100 10.06
Rendemen BUMN (%) 7.15 6.78 7.12 6.60 6.98 7.01 6.09 7.15 7.73 6.88 0.22
Rendemen Swasta (%) n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a 8.83 7.68
Rendemen Nasional (%) 7.67 7.20 7.63 7.35 8.10 7.60 6.47 7.35 8.13 7.18 (0.23)
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2014), Kementan (2014), diolah
31
Tabel 4.2 Harga Kedelai Rata-Rata di Tingkat Petani
32
1) Hanya mewajibkan importir untuk melaporkan volume dan harga
pembelian kedelai impor tetapi tidak mengatur secara ekplisit
kewajiban bagi importir membeli kedelai petani pada harga sesuai
HBP.
2) Tidak ada keterkaitan antara penerbitan izin impor (Nomor Pengenal
Importir Khusus) dengan kewajiban pembelian kedelai petani.
33
BAB V
OPSI KEBIJAKAN HARGA
34
Tabel 5.1 Perbandingan Rekomendasi Opsi Kebijakan Untuk Meningkatkan
Efektifitas Kebijakan Harga Referensi
35
pengaturan penerbitan dan realisasi SPI, tetapi juga sebagai salah satu
instrumen untuk memastikan kepatuhan importir terhadpap peraturan terkait.
36
Opsi kebijakan yang dipilih memiliki manfaat dan kelemahan sebagai
suatu konsekuensi kebijakan. Beberapa manfaat dan kelemahan disajikan dalam
Tabel 5.2 berikut.
37
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
Hasil analisis yang telah dilakukan menghasilkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kebijakan harga yang ada saat ini perlu memiliki acuan untuk melindungi
kepentingan produsen dan konsumen. Komoditas yang memiliki kontribusi
terhadap keberlangsungan bisnis petani dapat menggunakan kebijakan harga
produsen untuk menjamin kepastian harga di tingkat produsen. Beberapa
komoditas yang diusulkan tetap menggunakan kebijakan harga produsen
antara lain beras, gula, dan kedelai. Sementara komoditas yang secara relatif
masih bergantung pada impor dan belum diatur tataniaganya, dimaksimalkan
untuk melindungi kepentingan konsumen, seperti cabe merah, bawang merah,
dan daging sapi.
2. Pengaturan impor cabe merah, bawang merah dan daging sapi dengan
instrumen harga referensi secara empiris terbukti belum efektif untuk
mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan konsumen. Hal tersebut
dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi dari harga referensi;
efektif untuk mendukung harga produsen, yang berarti menguntungkan petani.
Hal ini dibuktikan dengan harga produsen selalu lebih tinggi dari harga paritas
referensi ditingkat produsen; dan sangat menguntungkan importir yang
dibuktikan dengan harga paritas impor (HI) selalu lebih rendah dari harga
domestik.
4. Harga eceran beras dan gula di dalam negeri jauh lebih tinggi dari harga
paritas masing-masing. Artinya kebijakan harga produsen yang berlaku saat
ini (HPP Gabah/Beras dan Gula) sudah mendukung peningkatan produksi dan
38
pendapatan petani. Namun, kenaikan harga produsen tersebut belum diikuti
oleh kenaikan produktivitas.
6.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis ini, menghasilkan beberapa usulan
rekomendasi, sebagai berikut:
1. Merevisi Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No. 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, terutama
untuk memastikan importasi ditunda pada masa harga eceran di bawah
harga referensi dan importasi didorong pada masa harga eceran di atas
harga referensi.
39
c. Opsi 3: Kebijakan menaikkan bea masuk dan atau mengenakan biaya
administrasi pengurusan impor (tapping the rent strategy).
3. Opsi terbaik untuk megendalikan harga eceran ialah mendorong persaingan
sehat antar importir
5. Konsep kebijakan harga produsen seperti HPP Beras dan Gula perlu diubah
dari instrumen utama menjadi instrumen pendukung peningkatan
pendapatan petani dan peningkatan produktivitas.
40
DAFTAR PUSTAKA
Alavi (2011). Trusting Trade and the Private Sector for Food Security in
Southeast Asia. The World bank
FAO (2013). G-33 Proposal: Early Agreement on Elements of the draft Doha
Accord to Address Food Security.
Varela (2008). How International Price Shocks Impact Indonesian Food Prices.
Technical Note: Trade Development. The World Bank.
41
Lampiran 1. Memo Kebijakan
Isu Kebijakan
2. Harga referensi merupakan indikator harga yang wajar di tingkat konsumen yang
dapat menunjukkan keseimbangan antara demand-supply. Namun selama kebijakan
harga referensi berlaku sampai dengan Januari 2014, rata-rata harga di tingkat
eceran berfluktuasi dan belum pernah berada di bawah harga referensi (Lampiran 1).
3. Pengaturan impor cabe merah, bawang merah dan daging sapi dengan instrumen
harga referensi secara empiris terbukti :
2
Harga paritas referensi di tingkat petani = harga referensi di tingkat eceran/margin harga
eceran dan harga produsen
42
4. Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan
dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan
Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura yang merupakan dasar kebijakan penetapan harga referensi, tidak
memuat klausul untuk memastikan terjadinya penundaan impor pada saat harga di
pasaran di bawah harga referensi. Hal ini dapat dilihat dari:
Kedua Permendag di atas juga tidak memuat secara eksplisit ketentuan untuk
mendorong importasi pada saat harga eceran di atas harga referensi. Hal ini lah yang
menjadi penyebab utama kenapa kebijakan stabilisasi dengan instrumen harga
referensi tidak efektif.
Rekomendasi Kebijakan
43
d. Penerbitan SPI dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan
perkembangan harga eceran (Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013: Pasal 12;
Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013: Pasal 13a).
e. Menambah klausul untuk mendorong importasi pada saat harga eceran di atas
harga referensi, antara lain dengan memberikan insentif bagi importir yang patuh.
f. Menambah klausul sanksi atas pelanggaran ketentuan penundaan realisasi SPI
pada saat harga eceran di bawah harga referensi.
7. Perlu kebijakan yang dapat mendampingi kebijakan harga referensi menjadi efektif,
yaitu:
8. Opsi terbaik untuk megendalikan harga eceran ialah mendorong persaingan sehat
antar importir. Namun opsi ini lebih berat pada penegakan aturan perundangan-
undangan yang berada di luar kewenangan Kemendag, melainkan KPPU. Mendorong
Bulog melakukan impor merupakan opsi untuk mengendalikan harga eceran.
Meningkatkan bea masuk bukanlah untuk mengendalikan harga eceran melainkan
untuk mengurangi laba importir dari rente impor dan meningkatkan pendapatan
negara. Sudah barang tentu opsi tersebut dapat dikombinasikan. Kombinasi terbaik
ialah Mendorong persaingan dan importasi oleh Bulog.
44
Tabel Perbandingan Rekomendasi Opsi Kebijakan Untuk Meningkatkan Efektifitas
Kebijakan Harga Referensi
2. Importasi oleh Menekan harga Tidak dapat dilakukan Opsi ideal bila
Bulog eceran, laba usaha segera, perlu dikombinasikan
bagi Bulog persiapan kapasitas dengan Opsi 1
(Negara) Bulog (Perlu
mendorong Bulog
menjadi lembaga
perdagangan yang
handal)
45