Anda di halaman 1dari 56

Analisis Kebijakan Harga Pada

Komoditas Pertanian

Tim Peneliti :
Miftah Farid
Bagus Wicaksena
Yati Nuryati
Dwi W. Prabowo
Asih Yulianti
Avif Haryana

2014
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Analisis Kebijakan Harga Pada
Komoditas Pertanian

2014
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
RINGKASAN EKSEKUTIF

Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga dan
meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Pada negara berkembang seperti
Indonesia, pertanian masih merupakan tulang punggung bagi 38 juta penduduk.
Liberalisasi perdagangan yang berdampak pada serbuan impor produk pertanian akan
berpengaruh pada produksi produk pertanian dalam negeri. Sekedar perbandingan, tren
pertumbuhan produksi beberapa komoditi seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging
sapi sejak tahun 1975 hingga 2012 masing-masing hanya sebesar 2,54%, 4,94%, 0,59%,
1,42%, dan 2,33%. Sedangkan pertumbuhan impornya pada periode yang sama masing-
masing mencapai 1,99%, 13,65%, 7,66%, 8,28%, dan 4,58% (BPS 2013, diolah).

Besarnya persentase impor di satu sisi akan menguntungkan konsumen dengan


harga yang relatif terjangkau, namun disisi lain dapat menurunkan harga produsen.
Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan sudah menetapkan beberapa
kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan produsen dan konsumen. Dalam
kebijakan yang “pro-produsen”, Kementerian Perdagangan bersama dengan Bulog terus
memantau pengadaan Cadangan Beras Pemerintah melalui pengadaan beras oleh Bulog
dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Pada komoditas gula, Kementerian
Perdagangan menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula untuk menghindari
kejatuhan harga di tingkat produsen. Sedangkan untuk komoditas kedelai, Kementerian
Perdagangan juga menetapkan Harga Beli Petani (HBP) Kedelai untuk menjamin
kepastian harga di tingkat produsen. Sedangkan untuk kebijakan yang “pro-konsumen”,
Kementerian Perdagangan memiliki kebijakan harga referensi yang memungkinkan
produsen menjual dengan harga yang layak sehingga tidak membebani konsumen,
seperti pada komoditas cabe, bawang, dan daging sapi.

Berdasarkan hal tersebut, analisis ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas


kebijakan harga serta rekomendasi kebijakan harga yang terbaik untuk beberapa
komoditas pertanian. Hasil analsis berupa gambaran deskriptif efektifitas kebijakan harga
yang ditetapkan pemerintah serta rekomendasi rumusan kebijakan yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan kebijakan harga. Komoditi yang menjadi obyek penelitian antara

i
lain Beras, Gula, Kedelai, Bawang Merah, Cabe Merah, dan Daging Sapi dengan
beberapa peraturan terkait kebijakan harga.

Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengaturan impor cabe merah,
bawang merah dan daging sapi dengan instrumen harga referensi secara empiris terbukti
belum efektif untuk mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan konsumen. Hal
tersebut dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi dari harga referensi.
Namun kebijakan tersebut efektif dalam mendukung harga produsen. Hal ini dibuktikan
dengan harga produsen selalu lebih tinggi dari harga paritas referensi ditingkat produsen.
Pada sisi lain, kebijakan harga referensi sangat menguntungkan importir yang dibuktikan
dengan harga paritas impor (HI) selalu lebih rendah dari harga domestik. Dengan
demikian, kebijakan harga referensi belum efektif mewujudkan tujuan mengendalikan
harga eceran, namun berhasil mewujudkan tujuan mendukung harga petani.

Sementara untuk kebijakan harga produsen yang diterapkan pada beras dan gula
sudah mendukung peningkatan produksi dan pendapatan petani. Namun, kenaikan
harga produsen tersebut belum diikuti oleh kenaikan produktivitas. Sepanjang tahun
2004 – 2013, HPP Gula naik rata-rata sebesar 10,06% per tahun sementara rendemen
nasional (salah satu ukuran produktivitas pabrik gula) turun sebesar 0,22% per tahun.
Untuk padi/beras, HPP Gabah Kering Panen, Kering Giling, dan Beras masing – masing
naik sebesar 11,71%, 10,68%, dan 9,29% sementara produktivitas padi sebesar 1,50%
per tahun pada periode yang sama.

Namun untuk kedelai, pelaksanaan kebijakan pengamanan harga kedelai di


tingkat petani tidak efektif, karena dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013
tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran
Kedelai, tata cara pengamanan harga oleh Bulog diatur oleh Menteri Perdagangan.
Namun dalam Permendag No. 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga
Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe, tidak
secara eksplisit mewajibkan Bulog sebagai lembaga pemerintah untuk melakukan
pembelian kedelai dari petani dengan harga dan waktu tertentu serta wilayah yang
ditetapkan. Selain itu, penetapan HBP tidak didukung dengan mekanisme pengaturan
yang menjamin harga di tingkat petani sesuai dengan HBP, antara lain hanya mewajibkan

ii
importir untuk melaporkan volume dan harga pembelian kedelai impor tetapi tidak
mengatur secara ekplisit kewajiban bagi importir membeli kedelai petani pada harga
sesuai HBP dan tidak ada keterkaitan antara penerbitan izin impor (Nomor Pengenal
Importir Khusus) dengan kewajiban pembelian kedelai petani.

Efektifitas kebijakan harga referensi dapat dicapai dengan merevisi Permendag


No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas
Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura,
terutama untuk memastikan importasi ditunda pada masa harga eceran di bawah harga
referensi dan importasi didorong pada masa harga eceran di atas harga referensi. Selain
itu, perlu opsi kebijakan yang dapat mendampingi kebijakan harga referensi menjadi
efektif, yaitu: kebijakan yang dapat mendorong persaingan sehat dalam importasi,
kebijakan yang memberikan kesempatan bagi Bulog untuk mengimpor (contesting the
markets strategy), atau kebijakan menaikkan bea masuk dan atau mengenakan biaya
administrasi pengurusan impor (tapping the rent strategy).

Untuk harga produsen, konsep kebijakan dukungan harga produsen pada


gabah/beras, gula dan kedelai perlu diubah dari instrumen utama menjadi instrumen
komplementer peningkatan pendapatan petani serta pendorong peningkatan produktivitas
dan efisiensi usatatani dan industri pengolahan (gula). Hal yang dapat dilakukan adalah
HPP/HBP ditetapkan terintegrasi dengan kebijakan subsidi/bantuan benih,
subsidi/bantuan pupuk dan subsidi kredit usahatani. Selain itu, HPP/HBP ditetakan
sebagai pendorong adopsi inovasi.

Dari alasan operasional sementara ini, konsep ini hanya dapat diterapkan untuk
HPP gula karena kolektivitas petani tebu sudah cukup solid. Penyesuaian (peningkatan)
HPP gula tidak saja berdasarkan prognosa profitabilitas usahatani/pabrik gula tetapi juga
dikaitkan dengan produktivitas tebu dan rendemen gula pada musim tanam sebelumnya,
dan atau dengan keikutsertaan petani dalam program peningkatan produktivitas seperti
penggantian varietas tertentu. Khusus untuk kedelai, pengamanan harga di tingkat petani
perlu diperkuat dengan instrumen yang dapat mendukung penegakkan kebijakan HBP

iii
melalui beberapa opsi kebijakan, antara lain: (i) Ketentuan penerbitan izin impor perlu
dikaitkan dengan kewajiban bagi importir untuk membeli kedelai petani pada tingkat HBP;
(ii) penugasan kepada Bulog untuk melakukan pembelian kedelai petani pada HBP
dengan mengadopsi mekanisme pembelian gabah petani pada komoditi beras; (iii)
peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani; dan (iv)
peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani dan diikuti
dengan pemberian izin impor bagi pengrajin tahu/tempe melalui koperasi untuk menjamin
kepastian pasokan dan harga melalui rantai distribusi yang lebih efisien.

iv
KATA PENGANTAR

Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan tentang


perlunya ketahanan pangan, yang terdiri dari ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas,
kemanan dan kualitas pangan. Dalam hal keterjangkauan dan ketersediaan pasokan
dalam negeri belum terpenuhi, maka pemerintah dapat melakukan intervensi. Intervensi
terkait dengan hal itu sudah banyak dilakukan salah satunya melalui suatu kebijakan
harga yang dilatarbelakangi oleh kondisi produksi dalam negeri belum cukup untuk
memenuhi dan merespon dinamika permintaan pangan di dalam negeri.

Beberapa kebijakan harga telah berlaku untuk beberapa komoditi pertanian


misalnya adalah cabe, bawang merah, daging sapi, gula dan beras. Kebijakan tersebut
selain untuk menjaga ketersediaan pangan juga menjaga keterjangkauan pangan, dua hal
yang sebenarnya suatu hal yang tidak mudah dilakukan secara bersamaan.

Analisis ini berupaya untuk menyajikan analisis bagaimana kebijakan yang sudah
berlaku dapat dijalankan secara efektif. Hasil akhir analisis ini ditujukan untuk memberi
masukan dalam perumusan kebijakan terkait dengan ketersediaan dan harga komoditas
pertanian. Secara umum, hasil analisis ini semoga dapat menjadi bahan rujukan bagi
pelaku usaha, pemerintah dan akademisi yang tertarik dengan topik analisis.

Jakarta, April 2014


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

v
DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................... 3
1.3 Keluaran ............................................................................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup ..................................................................................................... 4
1.5 Sistematika Penulisan .......................................................................................... 4

BAB II. TUJUAN PUSTAKA

2.1. Komoditas Pertanian ............................................................................................ 6


2.2. Kebutuhan Pangan Pokok ...................................................................................
2.2.1 Teori dan Pengertian Pangan pokok ................................................................... 6
2.2.2 Kebijakan Harga Komoditi Pertanian ................................................................... 14
2.3. Penelitian Terdahulu ............................................................................................ 18

BAB III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................................. 20


3.2. Metode Analisis .................................................................................................... 21
3.3. Jenis dan Sumber Data ....................................................................................... 20

BAB IV. EVALUASI KEBIJAKAN HARGA REFERENSI DAN PRODUSEN

4.1. Kebijakan Harga Referensi


4.1.1. Perkembangan Harga Eceran, Volume Impor dan Harga Referensi ................. 22
4.1.2. Efektivitas Kebijakan Harga Referensi Cabai Merah, Bawang Merah dan
Daging Sapi .......................................................................................................... 25
4.2. Efektivitas Kebijakan Harga Produsen Beras, Gula dan Kedelai ....................... 30

vi
BAB V. OPSI KEBIJAKAN HARGA

5.1. Kebijakan Harga Referensi .................................................................................. 34


5.2. Kebijakan Harga Produsen .................................................................................. 36

BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan ........................................................................................................... 38


6.2. Rekomendasi ....................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 41
LAMPIRAN ....................................................................................................................... 42

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perkembangan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah


untuk Gabah dan Beras ............................................................................ 16

Tabel 4.1 Perkembangan Harga Pembelian Pemerintan (HPP) Gabah


dan Beras, Produktivitas Padi, Harga Patokan Petani (HPP) Gula
dan Rendemen Tahun 2004 – 2013 ......................................................... 31

Tabel 4.2 Harga Kedelai Rata-Rata di Tingkat Petani ............................................. 32

Tabel 5.1 Perbandingan Rekomendasi Opsi Kebijakan Untuk Meningkatkan


Efektifitas Kebijakan Harga Referensi ...................................................... 35

Tabel 5.2 Opsi Kebijakan Untuk Mendukung Penegakkan Pembelian Kedelai


Petani Pada Tingkat HBP ......................................................................... 37

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Dampak Ekonomi Kebijakan Harga Dasar ............................................... 11

Gambar 2.2 Dampak Ekonomi Kebijakan Harga Atap ................................................. 13

Gambar 2.3 Surplus Konsumen Dari Kebijakan Harga Atap ....................................... 14

Gambar 4.1 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Cabai Merah ......... 23

Gambar 4.2 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Bawang Merah ...... 24

Gambar 4.3 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Daging Sapi .......... 25

Gambar 4.4 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan Estimasi
Harga Referensi di Petani Cabai Merah ................................................... 26

Gambar 4.5 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan Estimasi
Harga Referensi di Petani Bawang Merah ............................................... 26

Gambar 4.6 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Cabai Merah ......................... 27

Gambar 4.7 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Bawang Merah ..................... 28

Gambar 4.8 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi Harga
Importir Berdasarkan Harga Aktual Daging Sapi ..................................... 28

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sektor pertanian tetap mempunyai peran yang sangat penting dalam


menjaga dan meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. Walaupun secara
keseluruhan kontribusi dari sektor pertanian terhadap pertumbuhan PDB relatif
kecil, kontribusi PDB pertanian terhadap PDB nasional mengalami peningkatan
menjadi 11,42% pada tahun 2012 dari 10,96% pada tahun 2011 (BPS, 2013).
Selain itu, sektor pertanian masih menyerap 38.880.000 atau sekitar 32,9%
terhadap total angkatan kerja pada tahun 2012 (Kementan, 2013).

Pembangunan sektor pertanian seharusnya memperhatikan 3 (tiga)


unsur penting yaitu ecological security, livelihood security dan food security yang
mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan (Erwidodo, 1999). Namun,
penerapan unsur-unsur tersebut telah berubah pada era perdagangan bebas
yang saat ini telah disepakati dalam beberapa perjanjian kerjasama perdagangan
internasional seperti World Trade Organization (WTO). Sebagai contoh,
Erwidodo dan PU Hadi (1999) menjelaskan bahwa efek dari pengurangan tariff
impor sebagai salah satu ketentuan dalam liberalisasi perdagangan terhadap
sektor pertanian secara umum akan berdampak positif karena meningkatkan
kesejahteraan sosial secara agregat (improvement in social welfare). Namun
pada sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa insentif bagi produsen seperti harga
produsen akan menurun dan berdampak pada pengurangan produksi. Varela
(2008) juga menjelaskan liberalisasi perdagangan dapat memberikan
kesempatan bagi produsen dalam negeri untuk memperoleh insentif yang lebih
baik jika harga di pasar internasional relatif lebih tinggi. Namun jika hal
sebaliknya yang terjadi, produsen akan memperoleh disinsentif harga karena
serbuan produk impor.

Pada negara berkembang seperti Indonesia, pertanian masih merupakan


tulang punggung bagi 38 juta penduduk. Liberalisasi perdagangan yang
berdampak pada serbuan impor produk pertanian akan berpengaruh pada
produksi dalam negeri. Sekedar perbandingan, tren pertumbuhan produksi
beberapa komoditi seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi sejak

1
tahun 1975 hingga 2012 masing-masing hanya sebesar 2,54%, 4,94%, 0,59%,
1,42%, dan 2,33%. Sedangkan pertumbuhan impornya pada periode yang sama
masing-masing mencapai 1,99%, 13,65%, 7,66%, 8,28%, dan 4,58% (BPS 2013,
diolah). Pertumbuhan impor yang lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan
produksi telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang masih bergantung
pada impor produk pertanian dimana Import Dependency Ratio (IDR) untuk
produk pertanian seperti beras, kedelai, gula, dan daging sapi pada tahun 2012
masing-masing sebesar 5,80%, 50,30%, 65,6%, dan 10,30%.

Besarnya persentase impor di satu sisi akan menguntungkan konsumen


dengan harga yang relatif terjangkau, namun disisi lain dapat menurunkan harga
produsen. Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Perdagangan sudah
menetapkan beberapa kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan produsen
dan konsumen. Dalam kebijakan yang “pro-produsen”, Kementerian
Perdagangan bersama dengan Bulog terus memantau pengadaan Cadangan
Beras Pemerintah melalui pengadaan beras oleh Bulog dengan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP). Pada komoditas gula, Kementerian Perdagangan
menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula untuk menghindari kejatuhan
harga di tingkat produsen. Sedangkan untuk komoditas kedelai, Kementerian
Perdagangan juga menetapkan Harga Beli Petani (HBP) Kedelai untuk menjamin
kepastian harga di tingkat produsen. Sedangkan untuk kebijakan yang “pro-
konsumen”, Kementerian Perdagangan juga memiliki kebijakan harga referensi
yang memungkinkan produsen menjual dengan harga yang layak sehingga tidak
membebani konsumen, seperti pada komoditas cabe, bawang, dan daging sapi.

Namun demikian, hanya komoditas beras dimana kebijakan harga disertai


dengan pengelolaan stok oleh pemerintah. Untuk komoditas lainnya seperti gula,
kedelai, bawang, cabai, dan daging sapi pemerintah hanya mengandalkan
kebijakan harga dan cenderung tidak efektif. Dalam hal ini, kebijakan harga dasar
(price floor) masih merupakan kebijakan yang popular namun harus disertai
dengan kemampuan pengelolaan stok oleh pemerintah seperti yang dilakukan di
beberapa negara berkembang seperti Thailand, India, Nicaragua, Ekuador, dan
Zambia untuk produk seralia seperti beras, sorgum, dan gandum (FAO, 2013).
Perlu juga dipahami bahwa intervensi pemerintah dengan skema harga dasar
dapat berujung pada inefisiensi tataniaga. Pugel (2011) menjelaskan bahwa
inefisiensi pada harga di tingkat produsen dapat merugikan produsen itu sendiri

2
karena rendahnya daya saing dan Alavi (2011) juga menerangkan bahwa
perlindungan harga produsen yang tidak tepat justru akan berdampak pada
inefisiensi tataniaga secara keseluruhan.

Faktanya, harga produsen untuk komoditas seperti beras dan gula selalu
mengalami kenaikan dimana selama tahun 2000 – 2012, tren kenaikan harga di
tingkat produsen untuk gabah adalah 12,22% sementara tren kenaikan harga
dasar yang ditetapkan pemerintah sebesar 9,40%. Untuk gula, tren harga dasar
yang ditetapkan pemerintah selama periode yang sama adalah sebesar 9,58%
sedangkan tren harga di tingkat produsen untuk gula sebesar 12,51%.
Sementara untuk komoditas dengan harga referensi seperti daging sapi, cabe,
dan bawang, harga di tingkat ecerannya masih jauh di atas harga referensi yang
ditetapkan sepanjang tahun 2013, yaitu harga rata-rata eceran daging sapi
adalah Rp 93.472/kg, cabe sebesar Rp 35.620/kg dan bawang sebesar Rp
34.540/kg (BPS 2013, diolah).

Berdasarkan gambaran di atas, maka perlu dilakukan analisis kebijakan


harga pada produk pertanian dengan beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:

a. Bagaimanakah efektifitas kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah


terhadap harga di produsen dan konsumen?

b. Rumusan kebijakan apa yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan


kebijakan harga?

1.2. Tujuan

a. Melakukan evaluasi terhadap efektifitas kebijakan harga yang ditetapkan


pemerintah terhadap harga di produsen dan konsumen.

b. Merekomendasikan rumusan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung


pelaksanaan kebijakan harga.

1.3. Keluaran

a. Gambaran evaluasi terhadap efektifitas kebijakan harga yang ditetapkan


pemerintah terhadap harga di produsen dan konsumen

b. Rekomendasi rumusan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung


pelaksanaan kebijakan harga.

3
1.4. Ruang Lingkup

a. Komoditas yang dianalisis: Beras, Gula, Kedelai, Bawang Merah, Cabe


Merah, dan Daging Sapi dengan beberapa peraturan terkait kebijakan harga,
antara lain:

Peraturan Komoditas

Inpres No. 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Beras


Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah

Peraturan Menperindag No 527/MPP/Kep/9/2004 Gula


tentang Ketentuan Impor Gula

Permendag No. 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Kedelai


Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan
Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe

Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Daging Sapi


Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan

Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang Cabe Merah


Perubahan Atas Permendag No. 16/M- dan Bawang
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Merah
Hortikultura

b. Aspek efektivitas pelaksanaan kebijakan harga antara lain harga di tingkat


konsumen dan produsen serta klausul dalam peraturan terkait kebijakan
harga.

1.5. Sistematika Penulisan

Laporan analisis ini terdiri dari lima bab yangterdiri dari Pendahuluan.
Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Hasil dan Pembahasan, dan
Kesimpulan dan Rekomendasi kebijakan. Isi setiap Bab secara singkat
disampaikan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang,


tujuan, keluaran, dan ruang lingkup analisis yang dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur


yang akan digunakan sebagai referensi dalam analisis ini

4
meliputi pangan dan pengelompokkannya, kebijakan harga
dasar, harga atap, dan harga referensi.

BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang


digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,
metode analisis data, serta sumber data dan teknik
pengumpulan data.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini memuat hasil


analisis deskriptif harga eceran dengan harga parotas, baik
di tingkat konsumen maupun produsen.

BAB V : Opsi Kebijakan. Pada bab ini akan dibahas beberapa opsi
kebijakan harga referensi dan harga produsen dengan
membandingkan manfaat dan kelemahannya sebelum
disimpulkan kebijakan terbaik.

BAB VI : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan


dan saran untuk usulan kebijakan harga pada produk
pertanian.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komoditas Pertanian

Komoditas merupakan benda nyata yang dapat diperdagangkan, dapat


diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk jangka waktu tertentu, dan dapat
dipertukarkan dengan produk lainnya dengan jenis yang sama, yang biasanya
dapat dibeli atau dijual oleh investor melalui pasar komoditas seperti pasar fisik
atau bursa berjangka. Secara umum, karakteristik dari komoditas adalah
penentuan harga yang ditentukan murni berdasarkan mekanisme permintaan
dan penawaran 1. Dengan demikian, komoditas pertanian merupakan produk
pertanian yang dapat diperdagangkan secara fisik untuk jangka waktu tertentu
yang pada umumnya dilakukan pada pasar komoditas seperti pasar fisik atau
bursa berjangka.

Food and Agricultural Organization (FAO) memiliki klasifikasi untuk


komoditas pertanian tertentu yang dianggap sebagai komoditas pertanian
(pangan) utama di beberapa negara. Dalam beberapa publikasinya, FAO
memantau perkembangan beberapa komoditas penting dunia seperti serealia
(gandum, beras, sorgum), gula, peternakan (unggas, sapi, babi, domba), dairy
(susu dan produk turunannya) ikan, dan produk biodiesel (FAO, 2012).

2.2. Kebutuhan Pangan Pokok

Teori dan pengertian tentang pangan pokok menjadi penting karena sektor
pangan sangat berkaitan dengan komoditas pertanian. Dalam perspektif
kebijakan, instrumen kebijakan komoditas pertanian akan berdampak pada
kebijakan pangan itu sendiri dan berlaku untuk sebaliknya.

2.2.1. Teori dan Pengertian Pangan Pokok

Kebutuhan yang paling mendasar bagi sumber daya manusia suatu


bangsa adalah pangan. Ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang

1
Diperoleh dari berbagai sumber: CBOT, NYMEX LIFFE, BBJ, diakses pada tanggal 24 Januari
2014

6
cukup diperlukan dalam mencapai ketahanan pangan. Selain itu juga terdistribusi
dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk
menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem, 2002). Selain itu,
pengertian pangan juga menekankan pada kandungan dari bahan pangan yang
memberikan manfaat kepada tubuh dalam pertumbuhan, memperbaiki
kerusakan, dan menjaga kelancaran fungsi vital serta sebagai sumber energi.

Dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan


didefinisikan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyimpanan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Dalam Undang-
Undang tersebut juga disebutkan bahwa peran negara dalam penyediaan
pangan merupakan hak bagi masyarakat.

a. Pangan Pokok

Pangan pokok merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Banyak


ragam pangan pokok yang dapat dikonsumsi manusia. Hampir setiap daerah
memiliki pangan pokok sendiri-sendiri. Penentuan jenis pangan yang dikonsumsi
sangat tergantung pada beberapa faktor, di antaranya jenis tanaman penghasil
bahan pangan pokok yang biasa ditanam di daerah tersebut serta tradisi yang
diwariskan oleh budaya setempat. Perilaku konsumsi pangan masyarakat
dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut
dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi (ciri tanaman pangan, ternak dan ikan
yang tersedia dan dapat dibudidayakan setempat), lingkungan budaya dan
sistem ekonomi (Hidayah, 2011).

Dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pangan


pokok telah didefinisikan secara eksplisit dengan peruntukan sebagai makanan
utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal.
Sementara berdasarkan FAO (2010), pangan pokok didefinisikan sebagai
pangan yang dikonsumsi secara rutin pada kuantitas tertentu yang menjadi
bagian dominan dalam pola makan dan merupakan sumber asupan energi dan
gizi utama yang dibutuhkan.

7
b. Pengelompokan Pangan

Rencana strategis Badan Ketahanan Pangan 2010-2014 (2010)


mengelompokkan komoditas pangan penting kedalam dua kelompok yaitu
pangan nabati dan pangan hewani. Pangan nabati terdiri dari sepuluh komoditi
yang terdiri dari beras, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,
sayuran, buah-buahan, minyak goreng dan gula putih. Sedangkan pangan
hewani terdiri dari lima komoditi yang meliputi daging sapi dan kerbau, daging
ayam, telur, susu, dan ikan.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2012) membagi bahan pangan ke dalam


sembilan kelompok yang meliputi (1) padi-padian (beras, jagung, terigu), (2)
umbi-umbian (singkong, ubi jalar, kentang, sagu, umbi lainnya),(3) pangan
hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan), (4) minyak dan
lemak (minyak kelapa, minyak sawit, minyak lainnya), (5) buah/biji berminyak
(kelapa, kemiri), (6) kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
kacang lain), (7) gula (gula pasir, gula merah, (8) sayuran dan buah (sayur,
buah), (9) lain-lain (minuman, bumbu-bumbuan).

Bahan pangan pokok menurut Surat Keputusan Menteri Perdagangan


dan Perindustrian No. 115/MPP/KEP/2/1998 tentang Jenis Barang Kebutuhan
Masyarakat adalah beras, gula pasir, minyak goreng, mentega, daging sapi,
daging ayam, telur ayam, susu, jagung, minyak tanah, dan garam beryodium.
Sedangkan menurut Surat Keputusan Menko Perekonomian No. Kep-
28/M.EKON/05/2010 Tahun 2010 tentang Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan
Pokok, bapok meliputi beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai, daging sapi,
daging ayam, dan telur ayam. Rencana Strategis Kementerian Perdagangan
2010-2014 juga mengelompokkan komoditi pangan sebagai indikator kinerja
stabilisasi harga yang mencakup beras, gula pasir, jagung, tepung terigu, minyak
goreng, susu kental manis, susu bubuk, daging ayam, daging sapi, telur ayam.

Surat Keputusan Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian No. KEP-


28/M.EKON/05/2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian No. Kep-11/M.Ekon/02/2010 tentang Tim Koordinasi
Stabilisasi Pangan Pokok pada intinya adalah merubah beberapa ketentuan
dalam Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. KEP-
11/M.EKON/02/2010 tentang Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok,
diantaranya pada Diktum Pertama dan juga tugas Tim Koordinasi: (1)

8
merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi pemenuhan kebutuhan
dan harga pangan pokok beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai, daging
sapi, daging ayam, dan telur ayam; (2) mengoordinasikan pelaksanaan stabilisasi
kebutuhan dan harga pangan pokok beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai,
daging sapi, daging ayam, dan telur ayam; (3) melakukan pemantauan dan
evaluasi stabilitas kebutuhan dan harga pangan pokok beras, gula, minyak
goreng, terigu, kedelai, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam; dan (4).
melakukan tugas terkait yang diberikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian. Perubahan juga terjadi pada Diktum kedelapan yaitu segala
biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Tim Koordinasi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian
Tahun Anggaran 2010, 2011, dan 2012.

Kementerian Perdagangan dalam Rencana Strategis tahuan 2010-2014


menetapkan sasaran stabilisasi dan penurunan disparitas harga bahan pokok
yang ingin dicapai adalah:

1) Stabilitas harga bahan pokok yang terkendali, sehingga harga tetap


terjangkau sesuai kondisi daya beli masyarakat, dan
2) Penurunan disparitas harga bahan pokok antar provinsi, sehingga
kelangkaan dan penimbunan bahan pokok dapat diminimalisasi.

Harga dapat dikatakan stabil jika koefisien variasi (kk) harga berada pada
rentang yang wajar atau koefisien rasio variasi harga di dalam negeri lebih kecil
dibandingkan di luar negeri. Oleh karena itu, indikator yang digunakan untuk
mengukur kinerja stabilisasi harga adalah:

1) Rata-rata koefisien variasi harga (persen) untuk komoditi: (1) beras; (2) gula;
(3) minyak goreng; (4) terigu; (5) kedelai; (6) jagung; (7) susu; (8) daging
sapi; (9) daging ayam; (10) telur ayam; dan
2) Rata-rata rasio koefisien variasi harga komoditi tertentu tersebut di dalam
negeri dibandingkan dengan di luar negeri untuk komoditi: 1) beras; 2) gula;
3) minyak goreng; 4) terigu; 5) kedelai; 6) jagung; 7) susu.

9
c. Kebijakan Harga Komoditas Pertanian

Harga merupakan salah satu indikator kinerja pasar, termasuk pada


komoditas pertanian. Kementerian Perdagangan sebagai instansi pemerintah
memiliki peran yang penting dalam menciptakan iklim perdagangan komoditas
pertanian yang efisien dan memperhatikan kepentingan produsen dan
konsumen. Dalam Renstra tahun 2010 – 2014 disebutkan bahwa stabilisasi
harga merupakan salah satu sasaran kerja Kementerian dan harga merupakan
indikator penentuan kebijakan. Oleh karena itu, teori tentang kebijakan harga
merupakan hal yang penting untuk diuraikan.

Pada sektor pertanian, kebijakan harga merupakan instrumen penting


untuk memberi dukungan bagi produsen maupun konsumen. Oleh karena itu,
dalam beberapa literatur dikenal istilah price support sebagai instrumen dalam
penerapan kebijakan harga komoditas pertanian. Namun pada dasarnya,
kebijakan harga komoditas pertanian (agricultural price policy) memiliki tujuan
untuk melindungi produsen dan konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi
produsen diterapkan dalam bentuk harga dasar (price floor) sedangkan kebijakan
harga untuk melindungi konsumen diterapkan dalam bentuk harga atap (price
ceiling).

McTaggart D, Findlay C, dan Parkin M (2009) menjelaskan bahwa


kebijakan harga merupakan salah satu langkah yang diambil ketika harga yang
terbentuk di pasar tidak berada dalam kondisi normal akibat kegagalan pasar
(market failure). Dalam hal ini, kebijakan harga merupakan intervensi regulator
(pemerintah) sehingga harga yang terbentuk tidak dalam titik equilibrium. Pada
beberapa negara berkembang seperti di India, kebijakan harga pertanian
biasanya diikuti dengan pembenahan kelembagaan sebagai instansi teknis
penerapan kebijakan harga (Acharya, 2009).

1) Kebijakan Harga Dasar

McTaggart et al (2009) menjelaskan bahwa harga dasar (price floor)


merupakan harga yang ditetapkan di atas titik equilibrium. Tujuan penetapan
kebijakan harga dasar adalah untuk melindungi produsen dari penurunan harga
jual yang berdampak pada kerugian. Secara konsep, terdapat dua jenis
kebijakan harga dasar, yaitu:

10
a) Harga minimum yang ditetapkan secara sah dalam bentuk peraturan oleh
pemerintah (legal floors) dimana harga komoditas yang dijual produsen
ditentukan batas minimal-nya. Dalam hal ini, pemerintah melalui regulasi
menetapkan harga minimum suatu komoditas.

b) Dukungan program oleh pemerintah dimana pemerintah melakukan


intervensi dengan melakukan sejumlah pembelian komoditas pertanian
hingga tercapai harga yang diinginkan. Hal ini umumnya dikenal dengan
istilah price support program

Kebijakan harga dasar dapat mendistorsi pasar yang memaksa harga yang
terbentuk di atas titik equilibrium. Sebagai akibatnya, harga yang dibentuk tidak
berdasarkan mekanisme pasar sehingga timbul inefisiensi. Secara umum,
kebijakan harga dasar akan menimbulkan kehilangan (deadweight loss) bagi
seluruh pelaku pasar serta menimbulkan surplus penawaran.

Gambar 2.1 Dampak Ekonomi Kebijakan Harga Dasar

Kebijakan harga dasar juga menimbulkan dampak lain dimana besarnya


tergantung pada jenis kebijakan harga dasar. Jika kebijakan harga dasar yang
diambil adalah jenis yang pertama (legal floors), maka beberapa dampak yang
timbul antara lain sebagai berikut:

a) Inefisensi alokasi penjualan diantara produsen. Dalam pasar yang tidak


terdistorsi, alokasi penjualan antar produsen akan dipengaruhi oleh marginal

11
cost masing-masing produsen. Semakin kecil marginal cost suatu produsen,
maka tingkat efisiensi yang dimiliki produsen tersebut semakin baik sehingga
dapat menjual produk lebih cepat dibandingkan dengan produsen yang
memiliki marginal cost yang relatif lebih tinggi. Dengan adanya legal floors,
hal tersebut dapat diminimalisir karena seluruh produsen memiliki harga
minimum yang sama. Hanya saja inefisiensi alokasi penjualan akan
tetapterjadi di antara produsen yang menerima kebijakan floor price dengan
yang tidak.

b) Kebijakan harga dasar legal floors menimbulkan sumberdaya yang terbuang


(wasted resources). Kasus upah minimum merupakan contoh yang mudah
dipahami bahwa pencari kerja akan mengoptimalkan sumberdayanya untuk
mendapatkan pekerjaan sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan
semetara tidak semua perusahaan mampu menyerap seluruh tenaga kerja
pada tingkat upah minimum.

c) Legal floors pada dasarnya merupakan bagian dari peningkatan kualitas


secara tidak efisien karena regulator (pemerintah) menentukan harga
minimum namun tidak menjamin kualitas produk yang dijual.

d) Legal floors akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat menjual produk yang dibeli
berdasarkan harga minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk
mendapatkan margin yang tinggi.

Sedangkan jika kebijakan yang diambil adalah price support program,


maka beberapa dampak tambahan yang ditimbulkan antara lain sebagai berikut:

a) Pemerintah harus membeli kelebihan produksi sehingga jika tidak disertai


dengan efisiensi kelembagaan seperti pergudangan, maka dapat
mengakibatkan pemborosan (wasted resources)

b) Price support program umumnya menyebabkan kebijakan pemerintah


menjadi meluas seperti intervensi tambahan pada sisi produksi. Hal ini akan
semakin mendistorsi pasar.

c) Dana yang dibutuhkan relatif besar dan dibebankan pada pajak. Dalam hal
ini, pembayar pajak seolah-olah melakukan pembayaran ganda (double tax)

12
yaitu pajak untuk pembelian kelebihan produksi dan harga komoditas yang
relatif lebih tinggi dari harga pasar.

2) Kebijakan Harga Atap (Price Ceiling)

McTaggart et al (2009) menjelaskan bahwa harga atap (price ceiling)


merupakan harga yang ditetapkan di bawah titik equilibrium. Tujuan penetapan
kebijakan harga atap adalah untuk melindungi konsumen dari kenaikan harga
yang berdampak pada penurunan daya beli. Secara umum, kebijakan harga atap
akan memberikan disinsentif bagi produsen sehingga berpotensi menimbulkan
kelangkaan produk di pasar, dengan asumsi tidak ada impor.

Gambar 2.2 Dampak Ekonomi Kebijakan Harga Atap

Sedangkan beberapa dampak tambahan dari kebijakan harga atap adalah


sebagai berikut:

a) Harga atap akan menyebabkan terbuangnya sumberdaya (wasted resources)


terutama dari pihak konsumen yang akan mengeluarkan sumberdaya lebih
untuk memperoleh barang yang terbatas.

b) Kualitas barang akan menurun karena pada umumnya produsen merasa rugi
dengan tingkat harga yang dibatasi di bawah harga pasar

c) Harga atap akan membuka peluang terciptanya pasar illegal (black market)
dimana pemain pasar (misal broker) dapat membeli produk berdasarkan

13
harga minimum dan menjualnya ke pasar umum untuk mendapatkan margin
yang tinggi.

d) Harga atap akan menimbulkan inefisiensi alokasi bagi konsumen karena


harga yang terbentuk tidak berdasarkan penilaian konsumen (harga pasar)

Walaupun harga atap dapat merugikan konsumen, namun secara agregat


konsumen akan tetap diuntungkan dari harga yang relatif rendah. Gambar 2.3
menunjukkan bahwa secara agregat surplus konsumen akan lebih besar
dibandingkan dengan surplus produsen.

Gambar 2.3 Surplus Konsumen Dari Kebijakan Harga Atap

2.2.2. Kebijakan Harga Komoditas Pertanian di Indonesia

Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan salah satu kebijakan


pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Pada
umumnya, kebijakan harga komoditas pertanian ditujukan untuk melindungi
produsen, namun dalam implementasinya, kebijakan harga juga ditujuan untuk
melindungi konsumen yang didukung dengan program stabilisai harga. Hingga
saat ini, setidaknya terdapat beberapa kebijakan harga untuk beberapa
komoditas pertanian yaitu beras, gula, kedelai, daging sapi, cabe, dan bawang.

14
a. Kebijakan Harga Beras

Kebijakan perberasan sudah diterapkan sejak tahun 1967, termasuk


kebijakan harga yang ditujukan untuk stabilisasi harga beras di tingkat produsen
dan konsumen. Dinamika politik Indonesia sangat mempengaruhi kebijakan
perberasan yang dapat dikelompokan menjadi tiga fase (Sawit et al, 2007).

Fase pertama adalah periode 1967-1996. Pada fase ini, pemerintah


mengendalikan pasar beras di dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar
dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Kebijakan
stabilisasi harga didukung melalui intervensi pengelolaan persediaan beras
nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), yaitu lembaga pemerintah
yang bertanggung jawab mengelola logistik.

Fase kedua adalah periode 1997-2000. Pada fase ini, pemerintah


meliberalisasi sektor perberasan, memprivatiasi BULOG, dan menghapus
hambatan perdagangan. Praktis kebijakan harga beras tidak berlaku karena
sudah mengikuti mekanisme pasar. dampaknya, swasembada pangan Indonesia
menurun, ketergantungan terhadap beras impor meningkat, dan harga di tingkat
konsumen dan produsen beras menjadi tidak stabil. Pada periode ini terjadi
lonjakan volume impor beras yang sangat tajam yaitu dari 911 ribu ton pada
periode 1996-1997 menjadi 3,8 juta ton pada 1998-1999. Pemerintah tidak
mampu menahan serbuan impor ini akibat kebijakan liberalisasi perdagangan
ditambah nilai tukar sudah relatif stabil (setelah tahun 1998) sehingga harga
beras juga menurun drastis (Sawit et al, 2007).

Fase ketiga adalah sejak tahun 2001 dimana pembenahan kebijakan


perberasan mulai dilakukan. Pada fase ini, peran BULOG mulai dioptimalkan dan
kebijakan harga beras dengan tujuan stabilisasi harga di tingkat produsen dan
konsumen mulai diaktifkan kembali dengan beberapa modifikasi dari fase
pertama. langkah ini diambil karena timbulnya dampak negatif liberalisasi pasar
terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu
yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah (HPP)
dengan batas harga atas dan didukung dengan kebijakan tariff dan kuota impor
beras. Kebijakan perberasan diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) yang
direvisi setiap tahun dimana dalam Inpres tersebut ditetapkan kebijakan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Untuk mengatasi kesulitan

15
pengadaan oleh Perum Bulog, pemerintah mengeluarkan kebijakan fleksibitas
harga pembelian bagi Bulog melalui Inpres No. 8/2011 pada bulan April 2011
yang kemudian diperbaharui dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh
Pemerintah.

Tabel 2.1 Perkembangan Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah untuk


Gabah dan Beras

Harga Pembelian Pemerintah (HPP)

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2012


Uraian
Inpres Inpres Inpres Inpres Inpres Inpres Inpres Inpres
No. No. No. No. No. No. No. No.
9/2002 2/2005 13/2005 3/2007 1/2008 8/2008 7/2009 3/2012
Jan Apr Jan
Mar - Jan 2006 Apr - Jan - Maret
Periode 2003 -
Des - Mar
2007 -
Des Des
2010 –
2012 –
Berlaku Feb Mar Feb
2005 2007 2008 2009 2013
2005 2008 2012

GKP Tk.
Petani 1.230 1.330 1.730 2.000 2.200 2.400 2.640 3.300
(Rp/Kg)
Perubahan
8 30 16 10 9 10 25
HPP (%)
GKG
Penggilingan 1.700 1.765 2.250 2.575 2.800 3.000 3.300 4.150
(Rp/Kg)
Perubahan
4 27 14 9 7 10 26
HPP (%)

Beras
2.790 3.550 3.550 4.000 4.200 4.600 5.060 6.600
(Rp/Kg)

Perubahan
27 - 13 5 10 10 30
HPP (%)
Sumber: Kementan dan Kemendag (2013, diolah)

b. Kebijakan Harga Gula

Kebijakan pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan


intensitas kebijakan yang berkaitan dengan industri beras. Di samping
intensitasnya tinggi, kebijakan pemerintah tersebut juga mempunyai dimensi
yang cukup luas, mulai dari kebijakan lahan, input, produksi, distribusi,
kelembagaan, hingga kebijakan harga.

Khusus untuk kebijakan harga, pemerintah telah menetapkan kebijakan


harga yang bertujuan untuk stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen

16
sejak tahun 1987 melalui Kep Menkeu No. 342/KMK.011/1987 perihal penetapan
harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor yang bertujuan untuk
menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan
pabrik. Kemudian pada periode liberalisasi antara tahun 1997 – 2000,
pemerintah mengeluarkan Kep. Menhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, tanggal 7 Mei
1999 perihal Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani yang
bertujuan untuk menghindari kerugian petani serta peningkatan produksi tebu.
Kebijakan harga gula kemudian direvisi mengikuti perkembangan dan sejak
tahun 2002, melalui Kep. Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 perihal
tataniaga impor gula, kebijakan harga gula didukung dengan pengaturan
importasi untuk menjaga pendapatan petani dan produsen (pabrik gula). Dan
pada tahun 2004 hingga saat ini, pemerintah mengeluarkan Kep Menperindag
No 527/MPP/Kep/2004 tentang impor, kualitas gula impor, dan harga referensi
sebagai pengganti peraturan sebelumnya. Tujuannya masih sama yaitu
stabilisasi harga terutama di tingkat produsen (Susila, 2005).

c. Kebijakan Harga Kedelai

Sebelum tahun 2013, kebijakan stabilisasi harga kedelai dilakukan


dengan pengaturan bea impor kedelai yang menyesuaikan pergerakan harga
internasional. Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan program stabilisasi
harga kedelai (PSHK) yang bertujuan untuk stabilisasi harga di tingkat petani dan
pengrajin tahu dan tempe secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat sejak
tahun 2012 harga kedelai di dalam negeri berfluktuasi dan sulit dikendalikan
sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat.

Kebijakan PSHK dikeluarkan melalui Permendag No 23/M-


DAG/PER/5/2013 tentang Program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan
implementasi dari Perpres Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan kepada
perum BULOG untuk pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Melalui
kebijakan tersebut, pemerintah berupaya mengatur tataniaga kedelai melalui
pembelian kedelai petani dengan harga tertentu sehingga petani mendapatkan
keuntungan yang layak, kemudian menjual kepada pengrajin tahu dan tempe
dengan harga tertentu sehingga terjangkau masyarakat.

Dalam PSHK, harga pembelian petani (HBP) ditetapkan sebesar Rp


7.000/kg untuk periode Juli – September 2013 melalui Permendag No 25/M-

17
DAG/PER/6/2013. Sementara harga jual ke pengrajin (HJP) ditetapkan setiap
bulan sejak Bulan Juni 2013 melalui Permendag No 26/M-DAG/6/2013 sebesar
Rp 7.450/kg, dan pada Bulan Juli ditetapkan sebesar Rp 7.700/kg melalui
Permendag No 37/M-DAG/PER/7/2013 dan pada Bulan Agustus sebesar Rp
8.490/kg melalui Permendag No 49/M-DAG/PER/9/2013. Kemudian, PSHK
pernah terhenti setelah dikeluarkannya Permendag No 51/M-DAG/PER/9/2013
tentang pencabutan Permendag No 23/M-DAG/PER/5/2013 tentang Program
Stabilisasi Harga Kedelai. Namun demikian, kebijakan HBP tetap dilanjutkan
dengan penetapan berdasarkan musim panen dimana pada Bulan Oktober
ditetapkan HBP sebesar Rp 7.400/kg untuk periode Oktober – Desember 2013
melalui Permendag No 52/M-DAG/PER/9/2013. Sementara HBP untuk periode
Januari – Maret 2014 ditetapkan sebesar Rp 7.500/kg melalui Permendag No
84/M-DAG/PER/12/2013.

d. Kebijakan Harga Referensi

Kebijakan harga referensi ditetapkan pada beberapa komoditas antara


lain daging sapi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan dan cabe dan bawang merah melalui Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas
Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura. Dalam implementasinya, harga referensi ditetapkan dalam periode
tertentu sebagai landasan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan impor.
Artinya, jika harga di tingkat eceran berada di atas harga referensi, maka
importasi akan dilakukan sampai harga eceran berada pada tingkat harga
referensi yang ditetapkan. Saat ini harga referensi cabe merah adalah Rp
26.300/kg dan bawang merah Rp 25.700/kg berdasarkan Surat Keputusan Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP/10/2013 tentang Penetapan
Harga Referensi Produk Hortikultura.

2.3. Penelitian Terdahulu

Mattos (2013) menyebutkan bahwa harga referensi digunakan produsen


dalam membuat keputusan penjualan. Beberapa hal yang dapat membantu
produsen dalam menentukan hargareferensi-nya antara lain: harga pembelian,

18
harga asset yang digunakan dalam proses produksi, harga pasar, dan harapan
produsen itu sendiri.

Selain itu, harga referensi juga merupakan perbedaan (spread) antara


harga di pasar bursa (futures market) dan harga yang diharapkan oleh produsen.
Produsen juga dapat mempertimbangkan tren harga di pasar bursa untuk
menentukan harga referensi-nya. Harga referensi lebih baik bersifat dinamis
mengikuti perkembangan situasi dan tidak bersifat statis. Harga referensi juga
dapat berupa harga rata-rata pada periode tertentu (Helson, 1964 dalam Mattos,
2013).

19
BAB III
METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam pasar persaingan sempurna, kondisi pasokan dan permintaan


berada pada keseimbangan dan menciptakan kondisi yang optimal baik itu bagi
produsen maupun konsumen. Namun demikian, dalam kenyataanya kondisi
pasar seperti itu tidak akan terjadi selama asumsi-asumsi pasar persaingan
sempurna terjadi, misalnya struktur pasar dan kebijakan insentif dan fasilitasi.

Jika kedua hal di atas terjadi, maka pasar mengalami distorsi. Dalam
kondisi demikian biasanya pemerintah menyikapi dengan suatu kebijakan untuk
menciptakan terciptanya kondisi pasar yang bersaing sempurna (efisien).
Sebagai contoh, dalam menyikapi ketidakseimbangan harga di pasar kedelai
pemerintah memberlakukan kebijakan harga di tingkat produsen yang pada
prinsipnya untuk menciptakan kondisi pasokan yang mampu membentuk harga
optimal di tingkat konsumen. Contoh lainnya adalah kebijakan harga referensi
untuk cabe, bawang dan daging sapi dimana kebijakan ini diberlakukan untuk
membentuk pasar yang seimbang.

Dalam menyusun kebijakan harga di tingkat produsen dan di tingkat


konsumen yang dapat diimplementasikan secara efektif, perlu mengandung
unsur-unsur seperti: (i) aturan substansif yang kuat (latar belakang, implementatif
dan dapat dipantau); (ii) secara jelas dapat ditafsirkan siapa yang mengatur, apa
yang diatur, siapa yang melaksanakan dan siapa yang memantau; dan (iii)
secara jelas mengandung unsur law enforcement. Tanpa ketiga hal tersebut,
kebijakan tersebut tidak akan efektif. Oleh karena itu, analisis ini akan melihat
tiga unsur tersebut.

3.2. Metode Analisis

Untuk menjawab tujuan pertama tentang efektifitas kebijakan harga yang


ditetapkan pemerintah terhadap harga di produsen dan konsumen, maka
digunakan analisis deskriptif dengan mengamati perkembangan harga. Untuk
melihat efektivitas kebijakan yang bertujuan melindungi harga di tingkat

20
produsen, analisis harga dilakukan dengan membandingkan perkembangan
harga di tingkat produsen dan besaran harga pemerintah. Analisis ini dilakukan
pada komoditas gula, beras dan kedelai. Sementara untuk melihat efektivitas
kebijakan yang bertujuan melindungi harga di tingkat konsumen, analisis harga
dilakukan dengan membandingkan perkembangan harga di tingkat konsumen
dan besaran harga referensi yang ditetapkan pemerintah. Analisis ini dilakukan
pada komoditas daging sapi, cabai merah dan bawang merah.

Selain itu, analisis harga internasional juga dilakukan untuk melihat


potensi keuntungan importir, mengingat sebagian besar kebutuhan dalam negeri
komoditas tersebut masih dipenuhi dari impor.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Analisis ini akan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari BPS,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan yang meliputi harga di tingkat
konsumen (tahun 2013, bulanan), harga di tingkat produsen (tahun 2013,
bulanan), serta volume dan nilai impor (tahun 2004 – 2013, bulanan) dan
International Trade Center (ITC) untuk harga di pasar internasional (tahun 2011 –
2013), serta volume dan nilai impor Indonesia dari negara eksportir utama (tahun
2011 – 2013, kuartal). Selain itu, serta studi literatur yang terkait dengan
kebijakan harga pangan baik di Indonesia maupun di negara lain. Kajian ini juga
akan menggunakan metode diskusi kelompok (diskusi terbatas) untuk sintesa
rumusan kebijakan.

21
BAB IV
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA REFERENSI DAN PRODUSEN

4.1. Kebijakan Harga Referensi


Pada tahun 2013, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan
Ekspor Hewan dan Produk Hewan yang bertujuan untuk mengatur ketentuan
impor yang mengutamakan kebutuhan konsumen namun tidak mengabaikan
kepentingan produsen. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 14 yang mengatur
periode importasi berdasarkan harga referensi yang ditetapkan sebesar Rp.
76.000/Kg dimana importasi dapat dilakukan selama harga daging sapi di tingkat
eceran berada di atas harga referensi. Selain itu, pemerintah juga menetapkan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang
Perubahan Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura yang juga memiliki tujuan peningkatan perlindungan
konsumen yang meliputi komoditas cabai dengan HS 0709.60.10.00 dan bawang
merah dengan kode HS 0703.10.29.00. Peraturan tersebut juga menjadi dasar
penetapan harga referensi walaupun tidak secara langsung dinyatakan dalam
ketentuan, melainkan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri.

4.1.1. Perkembangan Harga Eceran, Volume Impor, dan Harga Referensi


Harga eceran dan volume impor merupakan instrumen yang penting
dalam menentukan efektifitas pelaksanaan kebijakan harga referensi.
Berdasarkan ketentuan, impor dapat dilakukan jika harga di tingkat eceran
berada di atas harga referensi. Dengan demikian, dengan membandingkan
volume impor pada periode harga di tingkat eceran berada di atas harga
referensi dapat memberikan gambaran efektivitas implementasi Permendag.

Selama periode Januari – November 2013, harga cabai merah di tingkat


eceran rata-rata sebesar Rp 33.000/kg dengan harga referensi yang ditetapkan
sebesar Rp 26.300/kg berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri Nomor 118/PDN/KEP10/2013 tentang Penetapan
Harga Referensi Produk Hortikultura yang ditetapkan dan diberlakukan pada 3
Oktober 2013. Selama periode tersebut, impor cabai merah terjadi pada bulan

22
Juli, Agustus, dan November masing – masing sebesar 15.400 ton, 216.526 ton,
dan 12.000 ton. Secara kuantitatif dapat dilihat bahwa impor dilakukan pada saat
harga cabai di tingkat eceran berada di atas harga referensi walaupun penetapan
harga refensi hortikultura baru dilakukan pada periode Oktober – Desember 2013
(Gambar 4.1).

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.1 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Cabai Merah

Hal berbeda terjadi pada komoditas bawang merah, dimana harga di


tingkat eceran berfluktuasi dari Rp 20.881/kg pada bulan Januari, kemudian
melonjak menjadi Rp 45.572/kg pada bulan Maret dan kembali turun menjadi Rp
32.341/kg pada bulan Juni. Kemudian pada periode Juli – November 2013, harga
bawang merah kembali bergejolak dengan kisaran Rp 31.126/kg dan Rp
55.881/kg. Hal serupa juga terjadi pada volume impornya yang berfluktuasi dari
hanya sebesar 2.755.450 ton pada bulan Januari menjadi 21.269.999 ton pada
bulan Mei 2013. Impor kembali menurun pada periode Juli – November 2013
dengan rata-rata 3.477.313 ton. Padahal, pada periode tersebut, harga bawang
merah di tingkat eceran berada pada level tinggi (Gambar 4.2).

23
25,000,000 60,000

20,000,000 50,000
40,000
15,000,000
30,000
10,000,000
20,000
5,000,000 10,000
- -

Volume Impor (ton) -LHS Harga Eceran (Rp/kg) -RHS Harga Referensi (Rp/kg) -RHS

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.2 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi


Bawang Merah

Melaui surat yang sama, harga referensi untuk bawang merah ditetapkan
sebesar Rp 25.700/kg pada Bulan Oktober 2013. Secara rata-rata, harga
bawang merah di tingkat eceran sepanjang tahun 2013 sebesar Rp 36.757/kg,
lebih tinggi dari harga referensi yang ditetapkan pemerintah.

Sementara untuk daging sapi, harga di tingkat eceran relatif stabil dengan
rata-rata sebesar Rp 92.619/kg. Harga tersebut jauh di atas harga referensi yang
ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan sebesar Rp 76.000/kg. Dengan demikian, berdasarkan peraturan
tersebut, pemerintah dapat terus mengimpor daging sapi selama harga di tingkat
eceran berada di atas harga referensi.

Sepanjang tahun 2013, volume impor daging sapi naik sekitar 13% dari
hanya sebesar 596.586 ton pada bulan Januari menjadi sekitar 6.826.824 ton
pada bulan November. Penetapan harga referensi dilakukan pada bulan
September 2013 dan hal tersebut sejalan dengan peningkatan volume impor
pada periode tersebut dimana pada bulan September, volume impor hanya
sebesar 2.230.859 ton dan pada bulan November naik menjadi 6.826.824 ton.
namun demikian, harga daging sapi di tingkat eceran tidak turun atau tetap di
atas harga referensi yang ditetapkan.

24
8,000,000 120,000
7,000,000 100,000
6,000,000
5,000,000 80,000
4,000,000 60,000
3,000,000 40,000
2,000,000
1,000,000 20,000
- -

Volume Impor (ton) -LHS Harga Eceran (Rp/kg) -RHS Harga Referensi (Rp/kg) -RHS

Sumber: BPS (diolah)


Gambar 4.3 Volume Impor, Harga Eceran, dan Harga Referensi Daging Sapi

4.1.2. Efektivitas Kebijakan Harga Referensi Cabai Merah, Bawang Merah,


dan Daging Sapi
Berdasarkan analisa data secara deskriptif, pengaturan impor bawang
merah, cabai merah, dan daging sapi dengan instrumen harga referensi secara
empiris terbukti belum efektif. Beberapa indikator antara lain:
a. Pengaturan impor dengan harga referensi belum efektif dalam
mengendalikan harga di itngkat konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari
perkembangan harga rata-rata di tingkat eceran untuk bawang merah, cabai
merah, dan daging sapi masing-masing sebesar Rp 36.757/kg, Rp 33.327/kg
dan Rp 92.619/kg berada di atas harga referensi yang ditetapkan, yaitu
masing-masing Rp 25.700/kg, Rp 26.300/kg, dan Rp 76.000/kg.
b. Harga referensi mendukung harga produsen yang berarti menguntungkan
petani dan peternak. Hal ini ditunjukkan dengan harga produsen selalu lebih
tinggi di atas harga referensi produsen. Harga referensi produsen diperoleh
dari penghitungan harga referensi di tingkat eceran dengan marjin harga
eceran dan harga produsen aktual. Selama periode April – September 2013,
harga referensi di tingkat produsen untuk cabai merah berkisar antara Rp
6.000/kg sampai Rp 11.000/kg sedangkan harga jual produsen berada pada
kisaran Rp 8.000/kg sampai Rp 12.000/kg.

25
41.000

36.000

31.000

26.000
Rp/kg

21.000

16.000

11.000

6.000
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13

Harga Jual Petani Harga Referensi di Petani Harga Eceran

Sumber: BPS, Kementan (diolah)


Gambar 4.4 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan
Estimasi Harga Referensi di Petani Cabai Merah

Sementara untuk bawang merah, harga referensi di tingkat produsen


berkisar antara Rp 10.000/kg sampai Rp 16.000/kg dan harga jual produsen
berkisar antara Rp 16.000/kg hingga Rp 26.000/kg.

66.000

56.000

46.000
Rp/kg

36.000

26.000

16.000

6.000
Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13

Harga Jual Petani Harga Referensi di Petani Harga Eceran

Sumber: BPS, Kementan (diolah)


Gambar 4.5 Perkembangan Harga Eceran, Harga di Tingkat Petani dan
Estimasi Harga Referensi di Petani Bawang Merah

26
c. Kebijakan harga referensi cenderung sangat menguntungkan importir yang
dibuktikan dengan harga paritas impor selalu lebih rendah dari harga
domestik. Selama periode Juli – September 2013, harga paritas impor cabai
merah di tingkat eceran berkisar antara Rp 14.000/kg sampai Rp 19.000/kg
sementara harga eceran yang terjadi adalah antara Rp 29.000/kg hingga Rp
37.000/kg. Sementara dari estimasi harga importir, harga cabai merah
diperkirakan berada pada kisaran Rp 20.000/kg hingga Rp 26.000/kg.

28,000

26,000

24,000

22,000

20,000
Rp/kg

18,000

16,000

14,000

12,000

10,000
Jul-13 Aug-13 Sep-13

Harga Paritas Impor di Tingkat Importir Estimasi Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual

Sumber: BPS, Kementan (diolah)


Gambar 4.6 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi
Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Cabai Merah

Hal serupa juga terjadi pada komoditas bawang merah dan daging sapi
dimana selama periode Juli – September 2013, harga paritas impor bawang
merah dan daging sapi di tingkat eceran masing-masing berkisar antara Rp
3.000/kg sampai Rp 7.000/kg dan Rp 33.000/kg sampai Rp 43.000/kg.
Sementara harga eceran yang terjadi untuk bawang merah dan daging sapi
masing-masing adalah antara Rp 31.000/kg hingga Rp 55.000/kg dan Rp
90.000/kg hingga Rp 94.000/kg. Padahal, estimasi harga importir untuk bawang
merah berada pada kisaran Rp 21.000 hingga Rp 39.000/kg sedangkan untuk
daging sapi berkisar antara Rp 63.000/kg hingga Rp 65.000/kg.

27
Sumber: BPS, Kementan (diolah)
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi
Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual Petani Bawang Merah

Sumber: BPS, Kementan (diolah)

Gambar 4.8 Perkembangan Harga Paritas Impor Tk Importir dan Estimasi


Harga Importir Berdasarkan Harga Aktual Daging Sapi

28
Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/8/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang merupakan
dasar kebijakan penetapan harga referensi, tidak memuat klausul untuk
memastikan terjadinya penundaan impor pada saat harga di pasaran di bawah
harga referensi. Hal ini dapat dilihat dari:

a. Ketentuan yang menyatakan bahwa permohonan Surat Persetujuan


Impor(SPI) hanya dapat diajukan pada bulan-bulan tertentu (Pasal 12 dalam
Permandag 46; Pasal 13a dalam Permendag 47) dan SPI yang diterbitkan
berlaku sepanjang 3 - 6 bulan selanjutnya. Ketentuan ini menyebabkan
setelah SPI terbit, importir dimungkinkan untuk tetap mengimpor walaupun
harga eceran sudah di bawah harga referensi.
b. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran terhadap penundaan importasi
saat harga eceran di pasaran di bawah harga referensi. Sanksi hanya
dikenakan terhadap pelanggaran karena realisasi impor tidak mencapai
realisasi minimum dan tidak melaporkan realisasi impor pada batas waktu
yang sudah ditetapkan.

Kedua Permendag di atas juga tidak memuat secara eksplisit ketentuan


untuk mendorong importasi pada saat harga eceran di atas harga referensi. Hal
inilah yang menjadi penyebab kenapa kebijakan stabilisasi dengan instrumen
harga referensi tidak efektif. Selanjutnya, kebijakan stabilisasi harga yang
bergantung pada impor tidak dapat menjadi andalan mengingat motif ekonomi
importir yang berorientasi pada keuntungan.
Dalam implementasi kebijakan stabilisasi berbasis impor, kegagalan
dalam menekan harga eceran disebabkan oleh keengganan para importir untuk
saling bersaing meningkatkan volume impor hingga laba normal tercapai. Para
importir cenderung memiliki kepentingan bersama untuk mengendalikan impor
agar harga eceran tetap tinggi sehingga mereka memperoleh laba yang tinggi.
Prasyarat keberhasilan bahwa para importir bersaing sehat satu sama lain
nampaknya tidak terwujud dalam realitas. Masalah ini tidak termasuk dalam
tugas pokok dan kewenangan Kemendag, melainkan KPPU.

29
4.2. Efektivitas Kebijakan Harga Produsen Beras, Gula, dan Kedelai
Kebijakan harga produsen diterapkan pada komoditas penting di
Indonesia, diantaranya adalah beras dan gula. Untuk beras, kebijakan
pemerintah dalam bentuk Instruksi Presiden bertujuan untuk meningkatkan
produksi beras nasional dengan dimana salah satunya dengan melindungi harga
di tingkat produsen melalui penetapan Harga Pembelian Pemerintah. Pada tahun
2013, HPP Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp 3.300/kg, Gabah Kering
Giling (GKG) sebesar RP 4.150/kg, dan beras sebesar Rp 6.600/kg melalui
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah.

Sementara untuk komoditas gula, Surat Keputusan Menteri Perindustrian


dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula
merupakan satu-satunya kebijakan pergulaan yang menjamin kepastian harga di
tingkat produsen. Pada tahun 2013, Harga Patokan Petani (HPP) Gula
ditetapkan sebesar Rp 8.100/kg.

Sementara untuk kedelai, kebijakan harga produsen dalam bentuk Harga


Beli Petani (HBP) baru ditetapkan pada tahun 2013 melalui Program Stabilisasi
Harga Kedelai (PSHK). Dalam peraturan tersebut, pemerintah melalui Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog Untuk
Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai yang selanjutnya diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang
Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat
Pengrajin Tahu/Tempe.

Sepanjang tahun 2004 – 2013, pemerintah telah menaikkan harga


produsen dalam bentuk Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering
Panen (GKP) sebesar 11,71%, Gabah Kering Giling (GKG) 10,68%, dan beras
9,29% dimana pada tahun 2004, tingkat HPP untuk GKP, GKG, dan beras
masing – masing sebesar Rp 1.230/kg, Rp 1.700/kg, dan Rp 2.790/kg. Pada
tahun 2013, besaran HPP menjadi masing – masing sebesar Rp 3.300/kg, Rp
4.150/kg, dan Rp 6.600/kg. Namun demikian, kenaikan HPP beras tidak diikuti
dengan membaiknya produktivitas. Pada periode 2004 – 2013, produktivitas padi
hanya naik sekitar 1,50% dengan kisaran 4,54 ton/ha padi pada tahun 2004
menjadi 5,15 ton/ha padi pada tahun 2013.

30
Sementara untuk gula, pemerintah telah menaikkan Harga Patokan
Petani (HPP) Gula sebesar 10,06% dimana pada tahun 2004, besaran HPP
adalah Rp 3.410/kg dan menjadi Rp 8.100/kg pada tahun 2013. Kenaikan HPP
tersebut juga diikuti oleh kenaikan harga lelang sebesar 11,09% dimana pada
tahun 2004, rata-rata harga lelang sebesar Rp 3.776/kg dan pada tahun 2013
berada pada level Rp 10.106/kg. Harga lelang yang lebih tinggi menunjukkan
harga gula di tingkat produsen relatif baik.

Serupa dengan beras, kenaikan HPP gula belum diikuti dengan perbaikan
produktivitas yang dilihat dari kecilnya kenaikan rendemen nasional. Selama
periode yang sama, kenaikan rendemen justru turun sebesar 0,23% pada
periode 2004 – 2013. Jika dielaborasi, rendemen tebu yang digiling di pabrik
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki nilai yang relatif rendah
dibandingkan dengan rendemen nasional, walaupun memiliki tren meningkat
sebesar 0,22%.

Tabel 4.1 Perkembangan Harga Pembelian Pemerintan (HPP) Gabah dan


Beras, Produktivitas Padi, Harga Patokan Petani (HPP) Gula dan Rendemen
Tahun 2004 – 2013

Uraian 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tren (%)
HPP GKP (Rp/Kg) 1,230 1,330 1,730 2,000 2,200 2,400 2,640 2,640 3,300 3,300 11.71
HPP GKG (Rp/Kg) 1,700 1,765 2,250 2,575 2,800 3,000 3,300 3,300 4,150 4,150 10.68
HPP Beras (Rp/Kg) 2,790 3,550 3,550 4,000 4,200 4,600 5,060 5,060 6,600 6,600 9.29
Produktivitas Padi (Ton/Ha) 4.54 4.57 4.61 4.71 4.89 4.90 5.12 4.90 5.10 5.15 1.50
HPP Gula (Rp/kg) 3,410 3,800 4,800 4,900 5,000 5,350 6,350 7,000 8,100 8,100 10.06
Rendemen BUMN (%) 7.15 6.78 7.12 6.60 6.98 7.01 6.09 7.15 7.73 6.88 0.22
Rendemen Swasta (%) n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a n/a 8.83 7.68
Rendemen Nasional (%) 7.67 7.20 7.63 7.35 8.10 7.60 6.47 7.35 8.13 7.18 (0.23)
Sumber: Dewan Gula Indonesia (2014), Kementan (2014), diolah

Kebijakan harga produsen untuk kedelai juga belum berjalan efektif


karena tingkat harga produsen di beberapa daerah produsen masih di bawah
Harga Beli Petani (HBP) yang disarankan pemerintah. Sebagai contoh, pada
bulan Agustus 2013, pemerintah menetapkan HBP sebesar Rp 7.000/kg melalui
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/6/2013 tentang
Penetapan Harga Pembelian Kedelai Petani Dalam Rangka Program Stabilisasi
Harga Kedelai yang berlaku untuk bulan Juli hingga September 2013.

31
Tabel 4.2 Harga Kedelai Rata-Rata di Tingkat Petani

Wilayah Masa Panen Harga (Rp/Kg)

Jabar (Sukabumi) Juli 5.000

Banten (Pandeglang) Juli – Agustus - September 5.000

Aceh (Pidie) Juli dan Agustus 5.000

NTB (Bima) 7.000

NTB (Lombok Tengah) 7.000

Sulsel (Maros) Agustus 7.000

Sulsel (Soppeng) Juli dan September 7.000

Yogya (Kulonprogo) 7.500

Jateng (Grobogan) Juli 7.200

Jatim (Nganjuk) September 7.000


Sumber: Kementan (2013)

Dalam pelaksanaan stabilisasi harga kedele di tingkat petani, pemerintah


menugaskan BULOG untuk melakukan pembelian kedele petani melalui
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang
Penugasan Kepada Perusahaan Umum Bulog Untuk pengamanan Harga dan
Penyaluran Kedelai. Namun demikian, beberapa hal yang menyebabkan tidak
efektifnya kebijakan HBP kedele antara lain:

a. Dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan


Kepada Perum Bulog Untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai,
tata cara pengamanan harga oleh Bulog diatur oleh Menteri Perdagangan.
Namun dalam Permendag No. 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan
Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin
Tahu/Tempe, tidak secara eksplisit mewajibkan Bulog sebagai lembaga
pemerintah untuk melakukan pembelian kedelai dari petani dengan harga
dan waktu tertentu serta wilayah yang ditetapkan.
b. Kebijakan penetapan HBP tidak didukung dengan mekanisme pengaturan
yang menjamin harga di tingkat petani sesuai dengan HBP, antara lain:

32
1) Hanya mewajibkan importir untuk melaporkan volume dan harga
pembelian kedelai impor tetapi tidak mengatur secara ekplisit
kewajiban bagi importir membeli kedelai petani pada harga sesuai
HBP.
2) Tidak ada keterkaitan antara penerbitan izin impor (Nomor Pengenal
Importir Khusus) dengan kewajiban pembelian kedelai petani.

33
BAB V
OPSI KEBIJAKAN HARGA

5.1. Kebijakan Harga Referensi


Kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk
Hewan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/8/2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura perlu didukung
dengan kebijakan yang lebih menekankan sifat enforcement. Selain itu, revisi
atas kebijakan harga referensi perlu dilakukan terutama untuk memastikan
importasi ditunda pada masa harga eceran di bawah harga referensi dan
importasi didorong pada masa harga eceran di atas harga referensi. Beberapa
hal yang dapat dilakukan antara lain:
a. Penerbitan SPI dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan
perkembangan harga eceran (Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013: Pasal
12; Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013: Pasal 13a).
b. Menambah klausul untuk mendorong importasi pada saat harga eceran di
atas harga referensi, antara lain dengan memberikan insentif bagi importir
yang patuh.
c. Menambah klausul sanksi atas pelanggaran ketentuan penundaan realisasi
SPI pada saat harga eceran di bawah harga referensi.

Kemudian, kebiajakan harga referensi tersebut perlu didukung dengan


opsi kebijakan lain agar lebih efektif yaitu:
a. Kebijakan yang dapat mendorong persaingan sehat dalam importasi
b. Memberikan kesempatan bagi Bulog untuk melakukan importasi yang
bertujuan untuk contesting the market.
c. Kebijakan kenaikan bea masuk dan/atau pengenaan biaya administrasi
pengurusan impor. Hal ini bertujuan untuk mengurangi aktivitas rent seeking
pada importasi (tapping the rent strategy)

Opsi kebijakan yang dipilih memiliki manfaat dan kelemahan sebagai


suatu konsekuensi kebijakan. Beberapa manfaat dan kelemahan disajikan dalam
Tabel 5.1 berikut.

34
Tabel 5.1 Perbandingan Rekomendasi Opsi Kebijakan Untuk Meningkatkan
Efektifitas Kebijakan Harga Referensi

Opsi kebijakan Manfaat Kelemahan Catatan


1. Mendorong Menekan harga Di luar kewenangan Opsi tunggal,
persaingan eceran Kemendag terbaik dalam
(Kewenangan jangka pendek
KPPU)

2. Importasi oleh Menekan harga Tidak dapat Opsi ideal bila


Bulog eceran, laba dilakukan segera, dikombinasikan
usaha bagi Bulog perlu persiapan dengan Opsi1
(Negara) kapasitas Bulog
(Perlu mendorong
Bulog menjadi
lembaga
perdagangan yang
handal)

3. Peningkatan • Mengambil Meningkatkan Dipilih bila Opsi1


bea masuk dan sebagian rente harga di tingkat dan Opsi2 tidak
atau dari importir. konsumen efektif
pengenaan • Menyaring
biaya keluar importir
administrasi spekulan.
importasi. • Meningkatkan
penerimaan
negara.

Opsi terbaik untuk megendalikan harga eceran ialah mendorong


persaingan sehat antar importir. Namun opsi ini lebih berat pada penegakan
aturan perundangan-undangan yang berada di luar kewenangan Kemendag,
melainkan KPPU. Mendorong Bulog melakukan impor merupakan opsi untuk
mengendalikan harga eceran. Meningkatkan bea masuk bukanlah untuk
menekan harga eceran melainkan untuk mengurangi laba importir dari rente
impor dan meningkatkan pendapatan negara. Dengan berbagai pilihan opsi
kebijakan tersebut, maka kombinasi opsi kebijakan merupakan hal terbaik
dimana mendorong persaingan dan importasi oleh Bulog merupakan kombinasi
opsi terbaik.
Selain itu, monitoring pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
47/M-DAG/PER/8/2013 terutama dalam hal memverifikasi kebenaran laporan
yang disampaikan oleh importir perlu ditingkatkan. Monitoring tidak saja
bermanfaat sebagai sumber data dan informasi yang diperlukan dalam

35
pengaturan penerbitan dan realisasi SPI, tetapi juga sebagai salah satu
instrumen untuk memastikan kepatuhan importir terhadpap peraturan terkait.

5.2. Kebijakan Harga Produsen


Kebijakan harga produsen saat ini dinilai sudah cukup baik dalam hal
melindungi harga produk di tingkat petani walaupun tidak efektif dalam
memberikan insentif peningkatan produktivitas hasil. Dengan demikian, konsep
kebijakan dukungan harga gabah/beras, gula dan kedelai perlu diubah dari
instrumen utama menjadi instrumen komplementer peningkatan pendapatan
petani serta insentif peningkatan produktivitas dan efisiensi usatatani dan industri
pengolahan. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:

a. HPP/HBP ditetapkan terintegrasi dengan kebijakan subsidi/bantuan benih,


subsidi/bantuan pupuk dan subsidi kredit usahatani.
b. HPP/HBP ditetakan sebagai insentif dalam adopsi inovasi. Dari alasan
operasional sementara, konsep ini hanya dapat diterapkan untuk HPP gula
karena kolektivitas petani tebu sudah cukup baik. Nantinya, penyesuaian
untuk peningkatan HPP gula tidak saja berdasarkan prognosa profitabilitas
usahatani/pabrik gula tetapi juga dikaitkan dengan produktivitas tebu dan
rendemen gula pada musim tanam sebelumnya, dan/atau dengan
keikutsertaan petani dalam program peningkatan produktivitas seperti
penggantian varietas tertentu.

Untuk kedelai, pengamanan harga di tingkat petani perlu diperkuat


dengan instrumen yang dapat mendukung penegakkan kebijakan HBP melalui
beberapa opsi kebijakan, antara lain:
a. Ketentuan penerbitan izin impor perlu dikaitkan dengan kewajiban bagi
importir untuk membeli kedelai petani pada tingkat HBP.
b. Penugasan kepada Bulog untuk melakukan pembelian kedelai petani pada
HBP dengan mengadopsi mekanisme pembelian gabah petani pada
komoditi beras.
c. Peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani.
d. Peningkatan Bea Masuk kedelai untuk melindungi harga di tingkat petani
dan diikuti dengan pemberian izin impor bagi pengrajin tahu/tempe melalui
koperasi untuk menjamin kepastian pasokan dan harga melalui rantai
distribusi yang lebih efisien.

36
Opsi kebijakan yang dipilih memiliki manfaat dan kelemahan sebagai
suatu konsekuensi kebijakan. Beberapa manfaat dan kelemahan disajikan dalam
Tabel 5.2 berikut.

Tabel 5.2 Opsi Kebijakan Untuk Mendukung Penegakkan Pembelian Kedelai


Petani Pada Tingkat HBP

Opsi kebijakan Manfaat Kelemahan Catatan


1. Ketentuan Menjamin kepastian Tantangan dalam Pemerintah
penerbitan izin harga kedelai di memastikan importir membantu importir
impor perlu tingkat petani pada dapat memenuhi dengan
dikaitkan dengan HBP tanpa beban kewajiban membeli menyediakan
kewajiban bagi anggaran bagi kedelai petani informasi
importir untuk pemerintah ketersediaan dan
membeli kedelai harga kedelai petani
petani pada tingkat
HBP
2. Penugasan kepada Menjamin kepastian Memerlukan
Bulog untuk harga kedelai di dukungan anggaran
melakukan tingkat petani pada bagi pemerintah
pembelian kedelai HBP
petani pada HBP
dengan
mengadopsi
mekanisme
pembelian gabah
petani pada
komoditi beras
3. Peningkatan Bea (i) Meningkatkan (i) Efektivitas dalam Untuk penegakan
Masuk kedelai harga di tingkat meningkatkan harga HBP, dibutuhkan
untuk melindungi petani; (ii) petani rendah karena Bea Masuk yang
harga di tingkat Meningkatkan adanya intermediasi relatif tinggi. Hal ini
petani penerimaan negara antara petani dengan dapat berdampak
pengrajin dan pada harga di
konsumen; (ii) Dapat tingkat konsumen
meningkatkan harga yang pada akhirnya
pengrajin mempengaruhi
tingkat inflasi
4. Peningkatan Bea (i) Dapat Efektivitas dalam Untuk penegakan
Masuk kedelai untuk meningkatkan harga meningkatkan harga HBP, dibutuhkan
melindungi harga di di tingkat petani; (ii) petani rendah karena Bea Masuk yang
tingkat petani dan Menjamin pasokan adanya intermediasi relatif lebih tinggi
diikuti dengan harga kedelai pada antara petani dengan dan dapat
pemberian izin impor pengrajin dengan pengrajin dan berdampak pada
bagi pengrajin harga yang rendah konsumen harga di tingkat
tahu/tempe melalui konsumen yang
koperasi untuk pada akhirnya
menjamin kepastian mempengaruhi
pasokan dan harga tingkat inflasi
melalui rantai
distribusi yang lebih
efisien

37
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan
Hasil analisis yang telah dilakukan menghasilkan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kebijakan harga yang ada saat ini perlu memiliki acuan untuk melindungi
kepentingan produsen dan konsumen. Komoditas yang memiliki kontribusi
terhadap keberlangsungan bisnis petani dapat menggunakan kebijakan harga
produsen untuk menjamin kepastian harga di tingkat produsen. Beberapa
komoditas yang diusulkan tetap menggunakan kebijakan harga produsen
antara lain beras, gula, dan kedelai. Sementara komoditas yang secara relatif
masih bergantung pada impor dan belum diatur tataniaganya, dimaksimalkan
untuk melindungi kepentingan konsumen, seperti cabe merah, bawang merah,
dan daging sapi.

2. Pengaturan impor cabe merah, bawang merah dan daging sapi dengan
instrumen harga referensi secara empiris terbukti belum efektif untuk
mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan konsumen. Hal tersebut
dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi dari harga referensi;
efektif untuk mendukung harga produsen, yang berarti menguntungkan petani.
Hal ini dibuktikan dengan harga produsen selalu lebih tinggi dari harga paritas
referensi ditingkat produsen; dan sangat menguntungkan importir yang
dibuktikan dengan harga paritas impor (HI) selalu lebih rendah dari harga
domestik.

3. Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor


Hewan dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013
tentang Perubahan Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang
Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang merupakan dasar kebijakan
penetapan harga referensi, tidak memuat klausul untuk memastikan terjadinya
penundaan impor pada saat harga di pasaran di bawah harga referensi.

4. Harga eceran beras dan gula di dalam negeri jauh lebih tinggi dari harga
paritas masing-masing. Artinya kebijakan harga produsen yang berlaku saat
ini (HPP Gabah/Beras dan Gula) sudah mendukung peningkatan produksi dan

38
pendapatan petani. Namun, kenaikan harga produsen tersebut belum diikuti
oleh kenaikan produktivitas.

5. Untuk kedelai, pelaksanaan kebijakan pengamanan harga kedelai di tingkat


petani tidak efektif, karena:

a. Dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan


Kepada Perum Bulog Untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai,
tata cara pengamanan harga oleh Bulog diatur oleh Menteri
Perdagangan. Namun dalam Permendag No. 52/M-DAG/PER/9/2013
tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran
Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe, tidak secara eksplisit
mewajibkan Bulog sebagai lembaga pemerintah untuk melakukan
pembelian kedelai dari petani dengan harga dan waktu tertentu serta
wilayah yang ditetapkan.

b. Kebijakan penetapan HBP tidak didukung dengan mekanisme pengaturan


yang menjamin harga di tingkat petani sesuai dengan HBP.

6.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis ini, menghasilkan beberapa usulan
rekomendasi, sebagai berikut:
1. Merevisi Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-
DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Permendag No. 16/M-
DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, terutama
untuk memastikan importasi ditunda pada masa harga eceran di bawah
harga referensi dan importasi didorong pada masa harga eceran di atas
harga referensi.

2. Perlu kebijakan yang dapat mendampingi kebijakan harga referensi menjadi


efektif, yaitu:
a. Opsi 1: Kebijakan yang dapat mendorong persaingan sehat dalam
importasi.
b. Opsi 2: Memberikan kesempatan bagi Bulog untuk mengimpor (contesting
the markets strategy).

39
c. Opsi 3: Kebijakan menaikkan bea masuk dan atau mengenakan biaya
administrasi pengurusan impor (tapping the rent strategy).
3. Opsi terbaik untuk megendalikan harga eceran ialah mendorong persaingan
sehat antar importir

4. Perlu meningkatkan monitoring pelaksanaan Permendag No. 46/M-


DAG/PER/8/2013 dan Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013terutama
dalam hal memverifikasi kebenaran laporan yang disampaikan oleh importir.

5. Konsep kebijakan harga produsen seperti HPP Beras dan Gula perlu diubah
dari instrumen utama menjadi instrumen pendukung peningkatan
pendapatan petani dan peningkatan produktivitas.

6. Khusus untuk kedelai, pengamanan harga di tingkat petani perlu diperkuat


dengan instrumen yang dapat mendukung penegakkan kebijakan HBP.

40
DAFTAR PUSTAKA

Alavi (2011). Trusting Trade and the Private Sector for Food Security in
Southeast Asia. The World bank

Erwidodo (1999). Effect of Trade Liberalization on Agriculture in Indonesia:


Institutional and Structural Aspects. The CGPRT centre, Working Paper
No. 41.

Erwidodo,dan PU Hadi (1999). Effect of Trade Liberalization on Agriculture in


Indonesia: Price Aspects. The CGPRT centre, Working Paper no. 48.

FAO (2013). G-33 Proposal: Early Agreement on Elements of the draft Doha
Accord to Address Food Security.

Kementerian Perdagangan (2013). Analisis Pengelompokkan Komoditi Sebagai


Bahan Pangan pokok. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Mattos (2013). Formation and Adoption of Reference Prices in Grain Marketing:


An Experimental Study. Selected Paper prepared for presentation at the
Agricultural & Applied Economics Association’s 2013 AAEA & CAES Joint
Annual Meeting, Washington, DC, August 4-6.

Varela (2008). How International Price Shocks Impact Indonesian Food Prices.
Technical Note: Trade Development. The World Bank.

41
Lampiran 1. Memo Kebijakan

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA REFERENSI PRODUK HORTIKULTURA DAN


DAGING SAPI

Isu Kebijakan

1. Dalam rangka meningkatkan perlindungan konsumen di tingkat konsumen dan


kepastian berusaha, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan harga,
salah satunya adalah kebijakan harga referensi untuk cabe merah, bawang merah
dan daging sapi. Kebijakan harga referensi bertujuan untuk mengendalikan harga
eceran di tingkat konsumen namun tetap menjaga kepastian harga di produsen.
Prinsip dari kebijakan harga referensi adalah menjaga pasokan domestik dengan
menentukan volume dan waktu pelaksanaan impor.

2. Harga referensi merupakan indikator harga yang wajar di tingkat konsumen yang
dapat menunjukkan keseimbangan antara demand-supply. Namun selama kebijakan
harga referensi berlaku sampai dengan Januari 2014, rata-rata harga di tingkat
eceran berfluktuasi dan belum pernah berada di bawah harga referensi (Lampiran 1).

Efektivitas Kebijakan Harga Referensi

3. Pengaturan impor cabe merah, bawang merah dan daging sapi dengan instrumen
harga referensi secara empiris terbukti :

6. Belum efektif untuk mengendalikan harga eceran, yang berarti merugikan


konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari harga eceran yang selalu lebih tinggi
dari harga referensi (Lampiran 2).
7. Efektif untuk mendukung harga produsen, yang berarti menguntungkan petani.
Hal ini dibuktikan dengan harga produsen selalu lebih tinggi dari harga paritas
referensi di tingkat produsen 2 (Lampiran 3).
8. Sangat menguntungkan importir yang dibuktikan dengan harga paritas impor (HI)
selalu lebih rendah dari harga domestik (Lampiran 4).

Dengan demikian, kebijakan harga referensi belum efektif mewujudkan tujuan


mengendalikan harga eceran, namun berhasil mewujudkan tujuan mendukung harga
petani.

2
Harga paritas referensi di tingkat petani = harga referensi di tingkat eceran/margin harga
eceran dan harga produsen

42
4. Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan
dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan
Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura yang merupakan dasar kebijakan penetapan harga referensi, tidak
memuat klausul untuk memastikan terjadinya penundaan impor pada saat harga di
pasaran di bawah harga referensi. Hal ini dapat dilihat dari:

c. Ketentuan yang menyatakan bahwa permohonan Surat Peretujuan Impor (SPI)


hanya dapat diajukan pada bulan-bulan tertentu (Pasal 12 dalam Permandag 46;
Pasal 13a dalam Permendag 47) dan SPI yang diterbitkan berlaku sepanjang 3 - 6
bulan selanjutnya. Ketentuan ini menyebabkan setelah SPI terbit, importir
dimungkinkan untuk tetap mengimpor walaupun harga eceran sudah di bawah
harga referensi.
d. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran terhadap penundaan importasi saat
harga eceran di pasaran di bawah harga referensi. Sanksi hanya dikenakan
terhadap pelanggaran karena realisasi impor tidak mencapai realisasi minimum
dan tidak melaporkan realisasi impor pada batas waktu yang sudah ditetapkan.

Kedua Permendag di atas juga tidak memuat secara eksplisit ketentuan untuk
mendorong importasi pada saat harga eceran di atas harga referensi. Hal ini lah yang
menjadi penyebab utama kenapa kebijakan stabilisasi dengan instrumen harga
referensi tidak efektif.

5. Importir terlihat kurang berkepentingan dalam stabilisasi harga. Kegagalan dalam


menekan harga eceran disebabkan oleh keengganan para importir untuk saling
meningkatkan volume impor hingga laba maksimal tercapai. Para importir memiliki
kepentingan bersama untuk mengendalikan impor sehingga harga eceran tetap tinggi
sehingga mereka memperoleh laba yang tinggi pula (Lampiran 2 menunjukkan ketika
harga tinggi justru tingkat impor relatif rendah). Prasyarat keberhasilan bahwa para
importir bersaing sehat satu sama lain nampaknya tidak terwujud dalam realitas.
Masalah ini tidak termasuk dalam tugas pokok dan kewenangan Kemendag,
melainkan KPPU.

Rekomendasi Kebijakan

6. Merevisi Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan


Ekspor Hewan dan Produk Hewan serta Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013
tentang Perubahan Atas Permendag No. 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan
Impor Produk Hortikultura, terutama untuk memastikan importasi ditunda pada
masa harga eceran di bawah harga referensi dan importasi didorong pada masa
harga eceran di atas harga referensi.

43
d. Penerbitan SPI dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan mempertimbangkan
perkembangan harga eceran (Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013: Pasal 12;
Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013: Pasal 13a).
e. Menambah klausul untuk mendorong importasi pada saat harga eceran di atas
harga referensi, antara lain dengan memberikan insentif bagi importir yang patuh.
f. Menambah klausul sanksi atas pelanggaran ketentuan penundaan realisasi SPI
pada saat harga eceran di bawah harga referensi.

7. Perlu kebijakan yang dapat mendampingi kebijakan harga referensi menjadi efektif,
yaitu:

a. Opsi 1: Kebijakan yang dapat mendorong persaingan sehat dalam importasi.


b. Opsi 2: Memberikan kesempatan bagi Bulog untuk mengimpor (contesting the
markets strategy).
c. Opsi 3: Kebijakan menaikan bea masuk dan atau mengenakan biaya administrasi
pengurusan impor (tapping the rent strategy).

Manfaat dan kelemahan masing-masing opsi ditampilkan pada Lampiran 1.

8. Opsi terbaik untuk megendalikan harga eceran ialah mendorong persaingan sehat
antar importir. Namun opsi ini lebih berat pada penegakan aturan perundangan-
undangan yang berada di luar kewenangan Kemendag, melainkan KPPU. Mendorong
Bulog melakukan impor merupakan opsi untuk mengendalikan harga eceran.
Meningkatkan bea masuk bukanlah untuk mengendalikan harga eceran melainkan
untuk mengurangi laba importir dari rente impor dan meningkatkan pendapatan
negara. Sudah barang tentu opsi tersebut dapat dikombinasikan. Kombinasi terbaik
ialah Mendorong persaingan dan importasi oleh Bulog.

9. Perlu meningkatkan monitoring pelaksanaan Permendag No. 46/M-DAG/PER/8/2013


dan Permendag No. 47/M-DAG/PER/8/2013 terutama dalam hal memverifikasi
kebenaran laporan yang disampaikan oleh importir.

44
Tabel Perbandingan Rekomendasi Opsi Kebijakan Untuk Meningkatkan Efektifitas
Kebijakan Harga Referensi

Opsi kebijakan Manfaat Kelemahan Catatan

1. Mendorong Menekan harga Di luar kewenangan Opsi tunggal,


persaingan eceran Kemendag terbaik dalam
(Kewenangan KPPU) jangka pendek

2. Importasi oleh Menekan harga Tidak dapat dilakukan Opsi ideal bila
Bulog eceran, laba usaha segera, perlu dikombinasikan
bagi Bulog persiapan kapasitas dengan Opsi 1
(Negara) Bulog (Perlu
mendorong Bulog
menjadi lembaga
perdagangan yang
handal)

3. Peningkatan bea • Mengambil Meningkatkan harga Dipilih bila Opsi 1


masuk dan atau sebagian rente di tingkat konsumen dan Opsi 2 tidak
pengenaan biaya dari importir. efektif
administrasi • Menyaring
importasi. keluar importir
spekulan.
• Meningkatkan
penerimaan
negara.

45

Anda mungkin juga menyukai