Anda di halaman 1dari 53

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

BAB V

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

A. PENDAHULUAN
Pembangunan pangan dan perbaikan gizi masyarakat yang
bertumpu pada swasembada pangan yang dinamis disertai dengan
keseimbangan mutu dan pola konsumsi pangan yang memenuhi
pedoman umum gizi seimbang merupakan upaya mendasar untuk
mempertahankan kelangsungan peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia.

Pembangunan pangan diarahkan untuk mengembangkan sistem


pangan nasional yang andal, mencakup rangkaian kegiatan yang saling
terkait mulai kegiatan produksi, pengolahan, distribusi, dan pema -
saran pangan sampai t i n g k a t rumah tangga untuk mencapai
ketersediaan pangan yang cukup bagi masyarakat. Dalam dua tahun
pertama Repelita VI pembangunan pangan telah meningkatkan
V/3
ketersediaan pangan yang cukup dalam jumlah, mutu gizi maupun
keragamannya dengan harga yang terkendali dan terjangkau oleh daya
bell masyarakat sekaligus meningkatkan pendapatan nyata petani
sehingga tetap terdorong untuk meningkatkan produksi.

Perkembangan produksi pertanian telah meningkatkan penye-


diaan beberapa komoditas penting pangan per kapita per tahun seperti
beras, jagung, daging, telur, susu dan ikan. Kenaikan terbesar terjadi
pada jagung dan susu, yaitu masing-masing sebesar 15,6 persen dan
46,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan produksi tersebut
berhasil meningkatkan persediaan energi dan protein rata-rata per
kapita per hari, masing-masing menjadi 3.055 kilokalori dan 69,2
gram, dari 2.856 kilokalori dan 66,0 gram. Bersamaan dengan
peningkatan produksi beberapa komoditas tersebut meningkat pula
diversifikasi pangan yang tersedia untuk dikonsumsi, yaitu seperti
ditunjukkan pada pola pangan harapan (PPH) tahun kedua Repelita VI
yang sudah mencapai 72,0.

Upaya perbaikan gizi dipusatkan pada penanggulangan masalah


gizi-kurang di kalangan masyarakat miskin terutama di desa-desa
IDT. Dalam Repe1ita VI dirintis program pemberian makanan
tambahan anak sekolah (PMT-AS) yang pada tahun kedua Repelita VI
dilaksanakan di 460 SD di 20 propinsi. Demikian pula telah disusun
dan diterbitkan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) sebagai dasar
penyuluhan gizi masyarakat perkotaan dan perdesaan. Dengan PUGS
diupayakan menangani konsumsi pangan rakyat secara seimbang
sesuai persyaratan gizi. PUGS tidak saja penting untuk mencegah
kekurangan gizi tetapi juga mencegah kecenderungan masalah gizi-
lebih di kalangan masyarakat tertentu. Upaya penanggulangan
kekurangan iodium (GAKI) ditingkatkan dengan program iodisasi
garam.

V/4
Pembangunan pangan dan perbaikan gizi sampai dengan tahun
kedua Repelita VI telah menghasilkan banyak kemajuan sehingga
makin memperkukuh landasan peningkatan kualitas manusia Indo -
nesia.

B. PANGAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan pangan pada Repelita VI adalah makin


mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya
kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Swasembada pangan
tersebut tidak hanya terbatas pada swasembada beras yang sedapat
mungkin dipenuhi dengan produksi dalam negeri, tetapi juga
mencakup penyediaan bahan pangan lainnya yang merupakan sumber
karbohidrat, protein, lemak, dan zat gizi mikro.

Sasaran tersebut terkait erat dengan sasaran diversifikasi pangan


serta peningkatan kualitas konsumsi pangan dalam rangka
mewujudkan pola pangan yang bermutu gizi seimbang. Pada akhir
Repelita VI penyediaan pangan dalam bentuk energi sesuai dengan
PPH diharapkan mencapai skor mutu pangan sekitar 72 dengan
kecukupan ketersediaan energi mencapai rata-rata 2.500 kilokalori per
orang per hari.

Sasaran berikutnya dalam pembangunan pangan adalah


terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi
kesehatan dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Sasaran
selanjutnya dari pembangunan pangan adalah makin mantapnya
kelembagaan pangan.

V/5
Untuk mencapai-sasaran tersebut, kebijaksanaan yang
ditempuh dalam R e p e l i t a V I adalah Mengupayakan
peningkatan ketahanan pangan, yang meliputi peningkatan
produksi, daya beli masyarakat, distribusi dan peningkatan
kemampuan penyediaan pangan serta terkoordinasinya
kebijaksanaan harga; mendorong diversifikasi konsumsi pangan
dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pola pangan yang beranekaragam untuk meningkatkan gizinya;
meningkatkan keamanan pangan untuk melindungi masyarakat
dari pangan yang berbahaya untuk kesehatan dan bertentangan
dengan keyakinan; dan mengembangkan kelembagaan pangan
yang efektif dan efisien dengan meningkatkan keterpaduan,
koordinasi dan kerja sama lembaga-lembaga yang terkait dalam
pembangunan pangan, antara Pemerintah dan masyarakat, dan
antarkelompok masyarakat.

Untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut dalam mencapai


sasaran Repelita VI, ditetapkan beberapa program pokok dan
program penunjang. Program pokok meliputi program
pemantapan swasembada pangan dan program diversifikasi
pangan. Sedangkan program penunjang meliputi program
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pangan; program penelitian
dan pengembangan pangan; program pengembangan kelembagaan
pangan; dan program perbaikan gizi.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Kedua


Repelita VI

Pembangunan pangan pada tahun kedua Repelita VI


merupakan kelanjutan dan peningkatan program-program yang
sudah mulai dilaksanakan pada tahun sebelumnya.

V/6
Pada tahun kedua Repelita VI, ketersediaan pangan secara umum
meningkat baik beras maupun bahan pangan lainnya. Keadaan ini
diikuti dengan meningkatnya diversifikasi pangan yang tersedia untuk
dikonsumsi masyarakat yang ditandai oleh kenaikan skor mutu
pangan. Pada saat yang sama, sumbangan beras relatif turun dalam
pola ketersediaan pangan sedangkan bahan pangan lain seperti daging,
ikan, sayuran dan biji-bijian meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas konsumsi pangan masyarakat semakin baik dan meningkat.

Pembangunan pangan pada tahun 1995/96 secara lebih terinci


dapat diikuti melalui pelaksanaan program-program sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pemantapan Swasembada Pangan

Tujuan program ini adalah untuk memelihara kemantapan


swasembada pangan melalui peningkatan ketahanan pangan dan
efisiensi sistem distribusi pangan disertai usaha intensifikasi dan
ekstensifikasi pertanian pangan, serta peningkatan nilai tambah.
Tujuan tersebut antara lain dicapai melalui penerapan kebijakan harga
dasar gabah, penerapan harga batas tertinggi beras, dan pemantapan
sarana penyangga pangan yang efisien.

a) Harga Dasar

Penetapan harga dasar bertujuan agar pendapatan nyata petani


senantiasa meningkat sehingga petani tetap terdorong untuk
meningkatkan produksi. Oleh sebab itu harga dasar selalu disesuaikan
dengan perkembangan biaya produksi termasuk harga barang dan jasa
yang dibutuhkan petani.

V/7
Dalam Tabel V-1 dapat-dilihat bahwa pada tahun 1995 harga
dasar gabah kering panen (GKP), gabah kering simpan (GKS) dan
gabah kering giling (GKG), berturut-turut adalah sebesar Rp330,-;
Rp385; dan Rp450,- per kilogram yang berarti meningkat sebesar
15,8 persen, 13,2 persen dan 12,5 persen dibanding harga dasar
gabah pada tahun 1994. Kenaikan harga dasar tersebut yang berada di
atas laju inflasi menghasilkan peningkatan nyata pendapatan petani
yang berarti meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Kebijakan harga dasar gabah tersebut, didukung oleh faktor-


faktor lain seperti iklim yang menguntungkan, perbaikan irigasi,
peningkatan teknologi pemupukan, penyempurnaan mutu intensifikasi,
telah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi yang
menghasilkan kenaikan 6,7 persen pada tahun 1995.

Untuk menjaga efektivitas harga dasar dilakukan upaya


pembelian gabah dan beras di dalam negeri terutama saat musim
panen jika harga gabah cenderung menurun. Pada saat yang kurang
menguntungkan, apabila harga gabah lebih rendah dibanding harga
dasar, petani dapat menjual gabah ke Koperasi Unit Desa (KUD) yang
akan membeli sesuai dengan harga dasar. Namun demikian apabila
harga gabah di pasar berada di atas harga dasar, petani bebas menjual
gabahnya di pasar.

Pembelian gabah dan beras oleh Pemerintah di dalam negeri


selain dimaksudkan untuk mengamankan harga dasar pada waktu
musim panen ditujukan pula untuk menunjang cadangan penyangga
Pemerintah apabila musim paceklik tiba. Tabel V-2 menunjukkan
bahwa pada tahun 1995/96 pembelian gabah setara beras yang
berjumlah 1.052,7 ribu ton meningkat 9,6 persen dari tahun
sebelumnya. Jumlah pembelian gabah yang berasal dari Sulawesi
Selatan, Nusa Tenggara Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan

V/8
meningkat pesat, yaitu masing masing sebesar 57,3 persen, 49,1
persen, 121,0 persen, dan 185,4 persen dari pembelian pada tahun
1994/95. Pada tahun 1995/96 pengadaan gabah dan beras masih
bersumber dari daerah produsen utama yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, masing-masing sebesar
7,1 persen, 11,9 persen., 30,4 persen dan 25,6 persen dari total
pembelian nasional. Andil Sulawesi Selatan terhadap pengadaan beras
nasional pada tahun 1995/96 tersebut meningkat pesat dari andilnya
tahun 1994/95 yaitu 17,8 persen. Perkembangan yang mengesankan
juga ditunjukkan oleh Sumatera Selatan, yang andilnya meningkat dari
3,4 persen pada tahun 1994/95 menjadi 8,8 persen pada tahun
1995/96. Dengan demikian peran Sumatera Selatan pada tahun
1995/96 telah lebih besar dibanding peran Jawa Barat.

Walaupun pengadaan gabah dan beras dari Pulau Jawa pada


tahun 1995/96 masih dominan secara keseluruhan, namun menurun
9,0 persen menjadi 535,6 ribu ton setara beras dibandingkan dengan
pengadaan pada tahun 1994/95 yang mencapai 588,9 ribu ton.
Sumbangan Pulau Jawa dalam pembelian gabah dan beras pada tahun
1995/96 adalah 50,9 persen dari total pembelian dalam negeri,
sedangkan tahun 1994/95 mencapai 61,3 persen. Perkembangan ini
berdampak positif, yaitu berkurangnya ketergantungan pada daerah
produsen utama di Pulau Jawa dan meningkatnya efisiensi distribusi
beras dengan berkembangnya daerah luar Jawa sebagai produsen
utama beras.

Tabel V-3 menunjukkan bahwa perkembangan harga rata-rata


gabah di perdesaan Indonesia pada tahun 1995/96 secara umum
berada di atas harga dasar termasuk pada saat musim panen bulan Mei
dan Juni, yaitu masing-masing 4,4 persen dan 1,4 persen di atas harga
dasar GKG di tingkat KUD. Dengan demikian harga jual gabah petani
telah berada pada tingkat yang wajar.

V/9
Perbedaan antara harga rata-rata gabah di musim panen dan
musim paceklik di daerah perdesaan pada tahun 1995/96 mencapai
13,0 persen, jauh lebih rendah dibanding perbedaan harga pada tahun
1994/95 yang mencapai 27,8 persen (Tabel V-4). Penurunan
perbedaan harga di perdesaan ini berarti bahwa harga lebih stabil,
sehingga tidak membebani masyarakat yang berpendapatan tetap dan
rendah. Pada tahun 1995/96 perbedaan antara harga rata-rata beras di
musim panen dan musim paceklik di beberapa kota penting tercatat
sebesar 15,8 persen, yang berarti lebih tinggi dari perbedaan harga
pada tahun 1994/95 sebesar 13,2 persen (Tabel V-5).

b) Harga Batas Tertinggi

Harga batas tertinggi beras ditetapkan untuk menjaga agar harga


beras di pasaran tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat. Secara
berkala harga batas tertinggi beras ini ditinjau kembali dan
disesuaikan dengan perkembangan harga dasar gabah dan harga
kebutuhan pokok lain. Tingkat harga tertinggi ini ditentukan dengan
memperhatikan kepentingan konsumen dan memperhitungkan tingkat
marjin pemasaran yang diperlukan untuk menjamin efisiensi kinerja
pasar.

Pada tahun 1995/96 harga beras tertinggi untuk kualitas


menengah terjadi di Jakarta. Untuk periode musim panen pada bulan
Mei, Juni, dan Juli, harga beras di Jakarta berkisar antara Rp875,-
sampai Rp888,-, sedangkan dalam periode yang sama, harga beras
termurah terjadi di Palembang dengan harga Rp675,-. Pada periode
musim paceklik, yaitu bulan Desember, Januari, Pebruari, harga
beras tertinggi terjadi di Jakarta yang berkisar antara Rpl.038,-
sampai dengan Rp1.063,-, sementara harga beras termurah dalam
periode yang sama terjadi di Ujung Pandang dengan kisaran harga
antara Rp756,- sampai dengan Rp775,- (Tabel V-6).

V/10
Tabel V-7 menunjukkan perkembangan harga rata-rata beras dan
perbandingan antara harga beras tertinggi dan terendah di beberapa
kota penting. Perbedaan harga beras antara kota-kota penting pada
tahun 1995/96 turun menjadi 31,0 persen, dari sekitar 33,0 persen
pada tahun sebelumnya. Penurunan tersebut secara relatif
menunjukkan perbaikan ditinjau dari tingkat stabilitas harga.

Penentuan harga batas tertinggi beras dibedakan menurut tiga


kategori daerah produksi, yaitu daerah surplus, daerah swasembada
dan daerah defisit. Daerah surplus meliputi seluruh Jawa, Sulawesi
Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Daerah swasembada meliputi
seluruh Sumatera (kecuali Riau dan Bengkulu), Kalimantan Selatan,
Bali dan Sulawesi Tengah. Sedangkan daerah lainnya tergolong
daerah defisit. Pembedaan atas harga batas tertinggi tersebut dimak-
sudkan untuk mendorong para pedagang dalam melakukan per-
dagangan beras antarpulau dan antardaerah.

Pada tahun 1995/96 , harga batas tertinggi beras di daerah


surplus, daerah swasembada dan daerah defisit masing-masing sebesar
Rp894,-, Rp906,-, dan Rp938,-, atau berturut-turut meningkat sebesar
16,1 persen, 16,2 persen, dan 18,7 persen apabila dibandingkan
dengan harga pada tahun 1994/95 (Tabel V-8).

Penyaluran beras oleh Bulog pada tahun 1995/96 berjumlah


2.353 ribu ton, atau turun 17,9 persen apabila dibandingkan dengan
jumlah penyaluran pada tahun 1994/95. Jumlah tersebut menurun
disebabkan penyaluran untuk pasaran umum atau operasi pasar
menurun sebesar 43,3 persen menjadi hanya 591 ribu ton.
Perkembangan ini berlangsung berkat menguatnya stok yang dikuasai
masyarakat sebagai hasil dari kenaikan produksi tahun 1995/96.
Perkembangan penyaluran beras selama tiga tahun terakhir dapat
dilihat pada Tabel V-9.

V/11
c) Sarana Penyangga

Dalam dua tahun Repelita VI pengadaan stok beras yang cukup


sebagai sarana penyangga tetap dilakukan. Stok penyangga diperlukan
untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dan
menunjang pelaksanaan kebijaksanaan harga. Apabila pengadaan
gabah dan beras di dalam negeri belum mencukupi, maka kekurangan
sarana penyangga dipenuhi melalui impor, baik yang bersumber dari
bantuan pangan, pengembalian pinjaman, maupun pembelian
komersial.

Dalam rangka mempertahankan dan mengamankan tingkat harga


yang diterima petani produsen, maka dilakukan pengadaan beras
dalam negeri dengan membeli gabah dan beras dari petani melalui
KUD dan Non KUD. Realisasi pengadaan beras dalam negeri pada
tahun 1995/96 mengalami kenaikan sebesar 9,6 persen menjadi
sebesar 1.052,7 ribu ton dibandingkan dengan pengadaan pada tahun
1994/95 sebesar 960,1 ribu ton. Meningkatnya realisasi pengadaan
beras tersebut, selain karena meningkatnya produksi beras tahun
1995/96, juga didukung oleh penyempurnaan kebijaksanaan opera-
sional pengadaan beras seperti peningkatan pelayanan dengan
membuka gudang-gudang Depo Logistik (Dolog) menjadi 7 hari
kerja, percepatan penyelesaian administrasi di Dolog/Sub Dolog,
percepatan penyelesaian pembayaran di bank dan pemberian insentif
ongkos angkut.

Meskipun peningkatan produksi diikuti dengan peningkatan


pengadaan dalam negeri, namun kebutuhan konsumsi beras tetap
meningkat sehingga pada tahun 1995/96 telah diambil langkah untuk
mempertahankan stok cadangan beras yang terpakai pada tahun
1994/95, dengan melakukan impor beras sebanyak 2,9 juta ton.

V/12
Dengan perkembangan produksi serta pengadaan dalam negeri dan
impor tahun 1995/96, maka memasuki tahun 1996/97 posisi stok
beras Pemerintah telah mencapai 2,4 juta ton.

Dalam upaya mendukung kebijaksanaan stabilisasi harga, baik di


tingkat produsen maupun konsumen melalui mekanisme stok
penyangga, telah dibangun sejumlah sarana pergudangan termasuk
sewa gudang swasta, baik di daerah pusat konsumsi, produksi maupun
transito di pelabuhan. Sampai dengan tahun 1995/96 jumlah gudang
gabah/beras di seluruh Indonesia bertambah menjadi 1.702 unit
dengan kapasitas 4,4 juta ton. Jumlah dan kapasitas gudang tersebut
meningkat 10,0 persen dan 26,0 persen apabila dibandingkan dengan
jumlah dan kapasitas gudang pada tahun 1994/95. Gambaran yang
lebih terinci mengenai gudang gabah/beras dan kapasitasnya dapat
dilihat pada Tabel V-10.

d) Pengadaan dan Penyaluran Gandum

Seiring dengan meningkatnya permintaan gandum baik untuk


konsumsi rumah tangga maupun industri, maka pengadaan gandum
melalui impor menunjukkan peningkatan. Pada tahun 1995/96 impor
gandum meningkat 1,4 persen menjadi 3.472 ribu ton apabila
dibandingkan dengan impor gandum pada tahun 1994/95 yang
mencapai 3.423 ribu ton. Sementara itu penyaluran gandum pada
tahun 1995/96 meningkat 5,7 persen menjadi 3.472 ribu ton apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 3.285 ribu
ton. Perkembangan pengadaan dan penyaluran gandum secara lebih
terinci dapat dilihat pada Tabel V-11.

Meningkatnya impor gandum antara lain disebabkan oleh


berubahnya pola konsumsi masyarakat yang makin mengutamakan
segi kepraktisan dalam penyediaan pangan sehingga meningkatkan

V/13
penggunaan tepung terigu sebagai bahan pangan, termasuk pula untuk
memenuhi kebutuhan industri pengolahan pangan yang terus
berkembang.

e) Pengadaan dan Penyaluran Gala Pasir

Permintaan masyarakat pada komoditas gula terus mengalami


peningkatan dari tahun ke tahun. Pemenuhan kebutuhannya dilakukan
dengan mengutamakan penyediaan gula pasir dari dalam negeri.
Untuk itu, produksi gula ditingkatkan melalui upaya peningkatan
produktivitas dan perluasan areal penanaman tebu khususnya di lahan
kering dan di luar Pulau Jawa. Bila terjadi peningkatan permintaan
yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri maka dilakukan
pengadaan gula melalui impor.

Pada tahun 1995/96 realisasi pengadaan gula pasir dalam negeri


menurun sebesar 16,4 persen menjadi 1.956 ribu ton apabila
dibandingkan dengan pengadaan pada tahun 1994/95. Hal ini terjadi
karena turunnya produksi gula pasir sebagai akibat rendahnya
rendemen tebu yang disebabkan sebagian besar masa tebang tahun
1995/96 berlangsung pada musim hujan. Untuk memenuhi kebutuhan
gula pasir pada tahun 1995/96 telah dilakukan impor sebesar 997 ribu
ton.

Pada tahun 1995/96 penyaluran gula pasir berjumlah 2.993 ribu


ton atau meningkat 1,5 persen jika dibandingkan dengan penyaluran
tahun sebelumnya. Selain disebabkan oleh kenaikan konsumsi yang
mencerminkan peningkatan pendapatan masyarakat, kenaikan
kebutuhan gula terjadi karena berkembangnya industri pengguna gula
pasir.

V/14
2) Program Diversifikasi Pangan

Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan


meningkatkan penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi
penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain dengan meningkatkan usaha diversifikasi
secara horizontal melalui pemanfaatan sumber daya yang beraneka
ragam, dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan berbagai hasil
olahan pertanian.

Perkembangan diversifikasi pangan ditunjukkan oleh penyediaan


pangan per kapita per hari seperti tampak dalam Tabel V-12.
Penyediaan beras per kapita per tahun pada tahun 1995 meningkat 1,4
persen dari tahun sebelumnya menjadi 152,1 kilogram. Demikian pula
penyediaan per kapita per tahun untuk daging, telur, dan ikan
meningkat masing-masing 3,1 persen, 4,4 persen, dan 4,6 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara pada tahun yang
sama penyediaan jagung dan susu mencatat kenaikan yang tinggi,
yaitu masing-masing sebesar 15,6 persen dan 46,9 persen.

Tabel V-13 menunjukkan bahwa pada tahun 1995 jumlah energi


dan protein yang tersedia untuk dikonsumsi telah mencapai 3.055
kilokalori per kapita per hari dan 69,2 gram per kapita per hari.
Ketersediaan energi dan protein tersebut telah melebihi angka
kecukupan yang dianjurkan sebesar 2.500 kilokalori energi dan 55
gram protein per kapita per hari. Apabila dilihat dari komposisi
pembentukan ketersediaan energi dan protein, maka sumbangan padi-
padian sampai dengan tahun 1995 masih merupakan yang terbesar,
yaitu masing-masing sebesar 63,7 persen dan 57,3 persen. Namun
demikian sumbangannya terhadap total pembentukan ketersediaan
energi pada tahun 1995 menurun dari tahun sebelumnya yang
mencapai 65,2 persen. Sedangkan sumbangannya terhadap total

V/15
pembentukan ketersediaan protein hampir tidak berubah. Adapun
sumbangan bahan pangan lainnya terutama susu dan ikan mengalami
peningkatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa komposisi ketersediaan
pangan semakin seimbang.

Penilaian keadaan konsumsi pangan baik dalam jumlah, mutu


maupun keragaman dan keseimbangan antar kelompok pangan diukur
melalui pola pangan harapan (PPH). Skor PPH pada tahun 1995
'mencapai 72,0, meningkat sekitar 1,6 persen apabila dibandingkan
dengan skor PPH pada tahun 1994 yang mencapai 70,9. Sumbangan
padi-padian terhadap skor PPH tahun 1995 masih merupakan yang
terbesar (44,2 persen) walaupun menurun dibandingkan tahun
sebelumnya. Sebaliknya minyak dan lemak, pangan hewani, gula,
serta sayuran dan buah-buahan meningkat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Perkembangan penyediaan pangan diukur dengan skor
PPH d4pat dilihat pada Tabel V-14. Tampak bahwa proporsi
penyediaan pangan pada tahun 1995 semakin baik dan mengarah pada
penyediaan pangan dengan mutu gizi yang lebih seimbang.

Dalam rangka meningkatkan pemahaman akan manfaat aneka


ragam pangan untuk memenuhi pola konsumsi dengan mutu gizi yang
makin meningkat telah diadakan gerakan radar pangan dan gizi
(GSPG). Pada tahun 1995/96, GSPG dilaksanakan melalui
penyuluhan dan penyebarluasan informasi diversifikasi pangan dan
gizi baik secara kunjungan dan tatap muka kepada anggota kelompok
wanita tani maupun melalui media cetak dan elektronik.

Sampai dengan tahun 1995/96 telah dilaksanakan upaya


peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga melalui
pemberian bantuan paket pekarangan berupa bibit atau benih sayuran,
buah-buahan, unggas, dan ikan. Mengingat pentingnya peranan wanita
dalam pembangunan pangan, telah disediakan sarana produksi dan alat

V/16
pengolahan untuk kelompok wanita tani sebanyak 102 ribu kepala
keluarga yang tersebar di 2.667 desa. Di samping bantuan paket
pemanfaatan pekarangan tersebut, dilaksanakan pula bantuan bagi
pengembangan kebun sekolah sebanyak 1.172 paket dengan tujuan
agar murid-murid sekolah dasar dapat mengetahui secara lebih dini
manfaat langsung dari komoditas pertanian di kebun sekolah yang
diusahakan untuk peningkatan gizi.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pangan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan


keterampilan petani dan nelayan, produsen pangan olahan, pedagang
kecil dan menengah di bidang pangan. Selain itu, program ini ditujukan
juga untuk mengembangkan kemampuan petugas pemerintah antara lain
di bidang analisa harga, produksi, distribusi dan perdagangan serta
pengolahan pangan.

Pada tahun 1995/96, kegiatan pelatihan di bidang pangan dan gizi


juga dilakukan bagi 100 orang penyuluh pertanian lapangan (PPL),
100 orang penyuluh pertanian spesialis (PPS), dan pelatihan bagi 100
orang anggota kelompok wanita tani.

Sejak tahun 1994 telah mulai dirintis pengembangan makanan


tradisional melalui Gerakan Memasyarakatkan Aku Cinta Makanan
Indonesia (GEMA ACMI). Pada tahun 1995/96 GEMA ACMI
dilanjutkan melalui kegiatan pelatihan bagi 200 anggota PKK di 27
propinsi dan pelatihan bagi 100 pendidik sekolah dasar dan menengah
di 10 propinsi dalam rangka mengembangkan makanan tradisional.

V/17
2) Program Penelitian dan Pengembangan Pangan

Program penelitian dan pengembangan pangan terutama


bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan, penguasaan, dan
penerapan teknologi, serta mengembangkan informasi di bidang
pangan. Dalam tahun kedua Repelita VI kegiatan yang dilaksanakan
meliputi pengkajian serta penerapan teknologi proses pengolahan dan
pengembangan produk olahan kedele; pengkajian makanan khas
Indonesia;, standardisasi mutu produk pangan olahan; pengembangan
produk makanan khas Indonesia; serta pengkajian pengembangan
makanan ringan.

Dalam rangka koordinasi penerapan kebijaksanaan ketahanan dan


keamanan pangan, telah disusun studi analisa pemantapan swasemba-
da pangan dan penerapan model percontohan lumbung desa di daerah
rawan pangan dan desa tertinggal. Sebagai hasil dari beberapa kajian
dan studi tersebut antara lain telah tersusun pedoman mengenai cara-
cara pengembangan dan pengolahan tempe secara terpadu, petunjuk
teknis mengenai sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG), dan
pedoman umum sistem kewaspadaan distribusi pangan (SKDP).

3) Program Pengembangan Kelembagaan Pangan

Tujuan program pengembangan kelembagaan pangan adalah


mengembangkan sistem koordinasi dalam penyediaan pangan dan
meningkatkan efisiensi pelayanan kelembagaan pangan untuk
mendorong investasi di bidang produksi dan industri pengolahan
pangan. Program ini dilaksanakan melalui pengembangan peraturan
perundangan yang mendukung peningkatan produksi dan sistem
distribusi pangan.

V/18
Pada tahun 1995/96 telah disusun Rancangan Undang-Undang
(RUU) Pangan sebagai tindak lanjut atas penyusunan Naskah
Akademis RUU Pangan yang telah diselesaikan pada tahun 1994/95.
Tujuan RUU Pangan tersebut antara lain adalah memberikan
perlindungan kepada konsumen dan produsen serta memberikan
kepastian hukum pada usaha di bidang pangan, dan memberikan
perlindungan bagi konsumen terhadap konsumsi pangan yang sehat,
aman dan halal; meningkatkan perdagangan pangan baik dalam negeri
maupun luar negeri dengan mendorong sistem perdagangan yang jujur
sekaligus untuk meningkatkan citra pangan secara nasional; dan
memberikan wadah bagi peraturan perundangan yang diperlukan
dalam pengembangan pangan.

Dalam rangka meningkatkan sistem ketahanan pangan nasional,


dilanjutkan upaya pemantapan kelembagaan pangan melalui pengem-
bangan dan pembinaan lumbung desa yang dikelola masyarakat serta
pembangunan dan pengelolaan hutan cadangan pangan. Pada tahun
1995/96 telah dikembangkan 5 unit percontohan lumbung pangan di 5
propinsi, yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat,
Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi percontohan
lumbung desa didasarkan pada desa yang merupakan wilayah
pertanian tanaman pangan, tingkat pendapatan masyarakat desa yang
masih rendah, dan desa yang mempunyai kecenderungan timbulnya
kerawanan pangan. Koordinasi dalam pengembangan hutan cadangan
pangan juga dilanjutkan. Dalam rangka itu pada tahun 1995/96 telah
dikembangkan masing-masing seluas 100 hektare hutan cadangan
pangan di Propinsi Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
TimV/22or Timur, dan Irian Jaya.

V/19
TABEL V — 1
HARGA DASAR GABAH DI TINGKAT KUD 1)
1993, 1994 — 1995
(Rp/kg)
Repelita VI
No. Jenis Harga Dasar 1993 1994 1995

1. Gabah Kering Panen 260,0 285,0 330,0

2. Gabah Kering Simpan 305,0 340,0 385,0

3. Gabah Kering Giling 360,0 400,0 450,0

1) Tahun perhitungan yang semula tahun fiskal menjadi


tahun kalender, karena menyesuaikan dengan masa
berlakunya harga dasar yaitu mulai tanggal 1 Januari
sampai dengan 31 Desember

V/20
TABEL V - 2
HASIL PEMBELIAN GABAH DAN BERAS DALAM NEGERI
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1993/94, 1994/95 - 1995/96
(ton setara beras)

Repelita VI
No. Daerah Tk I/Propinsi 1993/94 1994/95 1995/96 2)

1. DKI Jakarta 0 121 0


2. Jawa Barat 143.744 103.740 74.757
3. Jawa Tengah 265.817 167.456 125.438
4. DI Yogyakarta 33.631 15.542 15.297
5. Jawa Timur 664.612 302.011 320.093
6. DI Aceh 92.992 49.312 2L686.
7. Sumatera Barat 17.297 3.572 13
8. Sumatera Utara 46.751 17.774 300
9. R i a u 754 52 0
10. Jambi 9.377 892 440
11. Sumatera Selatan 18.732 32.345 92.315
12. Bengkulu 4.766 0 0
13. Lampung 43.260 12.980 28.688
14. Kalimantan Tengah 1.072 484 54
15. Kalimantan Selatan 3.651 9.188. 126
16. Kalimantan Barat 112 95 123
17. Kalimantan Timur 1.197 991 30
18. Sulawesi Utara 2.721 875 272
19. Sulawesi Tengah 15.947 6.834 11.450
20. Sulawesi Tenggara 14.091 7.041 8.060
21. Sulawesi Selatan 250.694 171.201 269.228
22. B a l i 33.382 15.376 21.789
23. N T B 51.742 31.573 47.077
24. NTT 5.355 4.554 6.961
25. Irian Jaya 2.573 5.199 7.073
26. Timor Timur 1.128 747 1.114
27. Maluku 495 152 281

Jumlah 1.725.893 960.107 1.052.665

1) Angka tahunan
2) Angka sementara

V/21
TABEL V – 3
PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA GABAH
DI PERDESAAN INDONESIA 1)
1993/94, 1994/95 – 1995/96
(Rp/kg)

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen lalu


Dikonversikan menjadi Gabah Kering Giling dengan menggunakan
Koefisien berupa persentase harga dasar Gabah Kering Giling ter-
Hadap realisasi harga rata-rata dari Gabah Kering Panen selama
Musim panen (April, Mei Juni) dalam tahun yang bersangkutan
2) Angka sementara
3) Tidak ada transaksi

V/22
TABEL V—4
PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA—RATA GABAH DI MUSIM PANEN
DAN MUSIM PACEKLIK DI DAERAH PERDESAAN 1)
1993/94, 1994/95 — 1995/96
(Rp/kg)
Repelita VI
No. Uraian 1993/94 1994/95 2) 1995/96 3)

1. Harga rata—rata gabah di musim panen


(Mei, Juni, Juli) 364,00 428,95 473,23
2. Harga rata—rata gabah di musim paceklik
(Desember, Januari, Februari) 381,00 593,89 543,93

3. Perbedaan harga rata—rata di musim panen


terhadap harga rata—rata di musim paceklik 4,5% 27,8% 13,0%

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen lalu dikonversi-


kan menjadi Gabah Kering tiling dengan menggunakan koefisien berupa
persentase harga dasar Gabah Kering tiling terhadap realisasi harga
rata-rata dari Gabah Kering Panen selama musim panen (April, Mei,
Juni) dalam tahun yang bersangkutan
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
V/23
TABEL V—5
PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA—RATA BERAS DI MUSIM PANEN
DAN MUSIM PACEKLIK DI BEBERAPA KOTA PENTING
1993/94,1994/95 — 1995/96
(Rp/kg)

Repelita VI
No. U r a i a n 1993/94 1994/95 1995/961)

1. Harga rata—rata beras di musim panen 580,70 648,33 740,00


(Mei, Juni, Juli)

2. Harga rata—rata beras di musim paceklik


(Desember, Januari, Februari) 613,16 733,63 857,00

3. Perbedaan harga. rata—rata di musim paceklik


terhadap harga rata—rata di musim panen 5,59% 13,16% 15,81%

1) Angka Sementara

V/24
TABEL V – 6
HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BERAS BULANAN DI BEBERAPA KOTA
PENTING
1993/94, 1994/95 – 1995/96
(Rp/Kg)

1) Angka sementara

V/25
TABEL V – 7
PERBANDINGAN ANTARA HARGA BERAS TERTINGGI DAN TERENDAH
DENGAN HARGA RATA-RATA DIBEBERAPA KOTA PENTING
1993/94, 1994/95 – 1995/96
(Rp/Kg)

1) Angka sementara

V/26
TABEL V—8
HARGA BATAS TERTINGGI BERAS
1993/94, 1994/95 — 1995/96
(Rp/kg)

Repelita VI
No. Daerah 1993/94 1994/95 1995/96 1)

1. Surplus 682,0 770,0 894,0

2. Swasembada 692,0 780,0 906,0

3. Defisit 702,0 790,0 938,0

1) Angka sementara

V/27
TABEL V — 9
JUMLAH PENYALURAN BERAS
1993/94, 1994/95 — 1995/96
(ribu ton)

Repelita VI
No. Sasaran Penyaluran 1993/94 1994/95 1995/96 2)

1. Golongan Anggaran 1.665 1.683 1.685

2. PN / PNP 92 86 77

3. Pasaran Umum 416 1.043 591

4. Ekspor/Pinjaman 596 53 0

Jumlah 2.769 2.865 2.353

1) Angka tahunan
2) Angka sementara

V/28
TABEL V — 10
JUMLAH GUDANG GABAH BERAS DI JAKARTA DAN DI DAERAH—DAERAH
1993/94, 1994/95 — 1995/96

Repelita VI
No. Daerah Satuan 1993/94 1994/95 1995/96 2)

1. DKI Jakarta
— Gudang unit 104,0 104,0 157,0
— Kapasitas ribu ton 371,0 371,0 878,3

2. Daerah—daerah Lain
— Gudang unit 1.443,0 1.443,0 1.545,0
— Kapasitas ribu ton 3.145,0 3.145,0 3.553,0

3. Jumlah
— Gudang unit 1.547,0 1.547,0 1.702,0
— Kapasitas ribu ton 3.516,0 3.516,0 4.431,3

1) Angka kumulatif
2) Angka sementara (termasuk gudang Bulog sewa/swasta)

V/29
TABEL V — 11
IMPOR DAN PENYALURAN GANDUM 1)
1993/94, 1994/95 — 1995/96
(ribu ton)

Repelita VI
No. Ura ian 1993/94 1994/95 1995/96 2)

1. Stok awal 258 362 500

2. Impor 2.782 3.423 3.472

Jumlah tersedia 3.040 3.785 3.972

3. Penyaluran 2.678 3.285 3.472

4. Stok akhir 362 500 500

1) Angka tahunan
2) Angka sementara

V/30
TABEL V—12
PENYEDIAAN BEBERAPA
KOMODITAS PANGAN PENTING
1993, 1994 — 1995
(kg/kapita/tahun)
Repelita VI
No. Jenis Komoditas 1993 19941) 1995 2)

1. B e r a s 150,19 150,01 152,13

2. J a g u n g 28,85 30,62 35,40.

3. Ubi Kayu 57,21 55,60 52,76

4. D a g i n g 7,40 7,83 8,07

5. T e l u r 2,69 3,16 3,30

6. S u s u 4,23 4,75 6,98

7. I k a n 13,85 18,54 19,39

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

V/31
TABEL V 13
JUMLAH ENERGI DAN PROTEIN YANG TERSEDIA
UNTUK DIKONSUMSI BERDASARKAN KELOMPOK JENIS BAHAN MAKANAN
1993, 1994 - 1995

Repelita VI
No. Jenis Bahan Makanan 1993 19941) 1995 2)
Energi Protein Energi Protein Energi Protein

1. Padi-padian 1.838 37,08 1.863 37,75 1.947 39,69


2. Makanan berpati 207. 1,83, 206 1,91. 201 1,92
3. Gula 129 0,04 156 0,04 175 0,04
4. Buah biji berminyak 302 15,92 229 14,61 236 14,91
5. Buah-buahan 41 0,45 44 0,52 50 0,57
6. Sayur-sayuran 29 1,41 20 1,27 24 1,19
7. Daging 35 2,40 41 2,54 42 2,61
8. Telur 11 0,85 13 1,00 14 1,04
9. Susu 7 0,37 8 0,42 12 0,61
10. Ikan 31 5,58 33 5,91 37 6,56
11. Minyak dan lemak 269 0,07 243 0,05 317 0,08

Jumlah 2.899 66,00 2.856 66,02 3.055 69,22


1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
Keterangan : Energi dalam kkal/kapita/hari
Protein dalam gram/kapita/hari
V/32
TABEL V — 14
PERKEMBANGAN PENYEDIAAN PANGAN
DIUKUR DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH)
1993, 1994 — 1995

Repelita VI
No. Jenis Komoditas 1993 1994 1) 1995 2)

1. Padi—padian 31,70 32,62 31,87

2. Umbi—umbian 3,67 3,61 3,29

3. Buah biji berminyak 2,35 1,26 1,18

4. Kacang—kacangan 11,45 10,99 10,74

5. Pangan hewani 6,00 6,65 6,87

6. Minyak dan lemak 9,18 . 8,51 10,38

7. G u l a 2,22 2,73 2,86

8. Sayuran & buah—buahan 4,42 4,48 4,84

Jumlah 70,99 70,85 72,03

1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara

V/33
4) Program Perbaikan Gizi

Program perbaikan gizi mengupayakan peningkatan peran serta


masyarakat dalam perbaikan gizi yang meliputi peningkatan mutu dari
produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri
maupun olahan masyarakat, dan upaya perlindungan masyarakat dari
bahan makanan yang membahayakan kesehatan.

Secara lebih terinci, pelaksanaan program perbaikan gizi ini akan


diuraikan pada Sub Bab Perbaikan Gizi.

C. PERBAIKAN GIZI

1. Sasaran, Kebijaksanaan, Program Repelita VI

Sasaran perbaikan gizi pada Repelita VI adalah tercapainya


konsumsi rata-rata karbohidrat dan protein per orang per hari sebesar
2.150 kilokalori dan 46,2 gram protein. Untuk itu, di masyarakat
tersedia pangan yang cukup dengan mutu gizi rata-rata per orang per
hari 2.500 kilokalori dan 55 gram protein. Guna memenuhi pedoman
umum gizi seimbang, dari 55 gram protein tersebut, 15 gram berasal
dari protein hewani yang terdiri atas 9 gram protein ikan dan 6 gram
protein yang berasal dari ternak. Sasaran lain adalah menurunnya
prevalensi empat masalah gizi-kurang, yaitu gangguan akibat kurang
iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA),
dan kurang energi protein (KEP) antara 25 persen sampai 75 persen
dari keadaan pada akhir PJP I terutama pada wanita pranikah, wanita
hamil, wanita menyusui, bayi, balita, dan anak sekolah khususnya
SD/MI.

V/34
Kebijaksanaan upaya perbaikan gizi dalam Repelita VI adalah
meningkatkan penyuluhan gizi pada masyarakat; meningkatkan
kegiatan upaya penanggulangan masalah gizi-kurang seperti gangguan
akibat kekurangan iodium (GAKI), anemia gizi besi (AGB) terutama
pada ibu hamil, wanita pekerja, dan balita, menanggulangi kurang
vitamin A (KVA), dan kurang energi protein (KEP); meningkatkan
kualitas dan kuantitas pengelolaan upaya perbaikan gizi dengan
peningkataan di bidang penelitian unggulan, tenaga gizi yang
profesional, penerapan teknologi pascapanen, dan peningkatan
kemitraan antara dunia usaha, masyarakat, lembaga kemasyarakatan
dan pemerintah.

Program perbaikan gizi merupakan program pokok untuk


melaksanakan kegiatan upaya perbaikan gizi yang didukung oleh
program pendidikan dan pelatihan gizi; program pengawasan makanan
dan minuman; program penelitian dan pengembangan gizi; dan
program diversifikasi pangan.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Kedua


Repelita VI

Kegiatan program perbaikan gizi pada tahun 1995/96 diarahkan


kepada upaya-upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam
perbaikan gizi serta peningkatan cakupan maupun sasaran dalam
upaya penanggulangan gizi-kurang, terutama di desa-desa miskin dan
tertinggal. Di samping itu diberikan perhatian lebih besar pada upaya
meningkatkan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik
oleh sektor industri maupun olahan masyarakat sendiri untuk
mencukupi kebutuhan gizi masyarakat serta melindungi masyarakat
dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan.

V/35
a. Program Pokok

Program perbaikan gizi yang merupakan kegiatan pokok dari


upaya perbaikan gizi bertujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat.
Pencapaian tujuannya dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan (1)
penyuluhan gizi masyarakat; (2) usaha perbaikan gizi keluarga
(UPGK); (3) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (4) upaya
fortifikasi bahan pangan, dan (5) penerapan dan pengembangan sistem
kewaspadaan pangan (SKPG).

1) Penyuluhan Gizi Masyarakat

Kegiatan ini bertujuan untuk memasyarakatkan pengetahuan gizi


kepada seluruh lapisan masyarakat sehingga masyarakat sadar dan
terbiasa dengan kebiasaan hidup sehat, dan mengonsumsi makanan
yang bermutu gizi seimbang baik bagi keluarga maupun perorangan
yang tinggal di perkotaan maupun di perdesaan. Upaya yang
dilakukan meliputi penyuluhan mengenai penganekaragaman konsumsi
pangan, pengolahan dan pengawetan bahan pangan, peningkatan
pelestarian beranekaragam makanan tradisional, dan pemasyarakatan
pedoman umum gizi seimbang yang berisikan tigabelas pesan
dasarnya. Penyuluhan gizi masyarakat dilaksanakan melalui berbagai
metoda peyuluhan baik langsung maupun tidak langsung melalui
media cetak, elektronik, kesenian tradisional, dan sebagainya.

Guna memantapkan mutu dan jangkauan penyuluhan dan


pendidikan gizi kepada masyarakat, pada tahun 1994/95 telah disusun
pedoman umum gizi seimbang (PUGS). PUGS berisi 13 pesan pokok
penyuluhan gizi yang perlu diketahui dan diikuti oleh setiap anggota
masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan
keadaan gizinya. Pada tahun 1995/96 dilakukan pemasyarakatan
PUGS yang dimulai dengan kegiatan-kegiatan pelatihan kepada para

V/36
petugas penyuluh mengenai isi, tugas dan cara-cara penggunaan serta
penyebarluasan UPGK kepada masyarakat. Pada tahun 1995/96 untuk
melatih calon pelatih PUGS telah dilaksanakan pelatihan terhadap 848
petugas gizi dan penyuluh kesehatan masyarakat tingkat kabupaten.
Penyampaian pesan-pesan gizi khususnya penyebarluasan informasi
mengenai PUGS, bila dibandingkan dengan tahun 1994/95 dimana
melalui media elektronika dilakukan 46 kali tayangan, maka pada
tahun 1995/96 telah dilakukan 52 kali tayangan baik oleh pemerintah
maupun swasta. Penyampaian pesan-pesan gizi secara menyeluruh
melalui siaran RRI pada tahun 1995/96 meningkat menjadi 52 kali
dibandingkan dengan tahun 1994/95 sebanyak 46 kali siaran.
Kemudian melalui media cetak telah diperbanyak buku PUGS
sebanyak 24.000 buah untuk disebarkan kepada seluruh pelaksana
program.

Dalam rangka peningkatan penyebarluasan pengetahuan kepada


masyarakat akan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) secara
penuh kepada bayi selama 4 bulan, pada tahun 1995/96 telah
dilaksanakan pelatihan pemasaran sosial ASI kepada 161 pelatih
penyuluh gizi, serta pengadaan leaflet petunjuk makanan bayi
sebanyak 10.000 lembar.

2) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

UPGK adalah gerakan sadar gizi terutama di daerah perdesaan


yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian. masyarakat
perdesaan agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kecukupan gizi
keluarga melalui pemanfaatan penganekaragaman pangan sesuai
dengan kemampuan daya beli dan lingkungan setempat. Dengan
demikian melalui UPGK diharapkan keluarga-keluarga perdesaan
dapat berpartisipasi aktif dalam menanggulangi masalah-masalah gizi
yang dihadapinya. Sasaran UPGK adalah anggota-anggota keluarga

V/37
perdesaan terutama wanita pranikah, ibu hamil, ibu menyusui, bayi,
dan anak balita. Kegiatannya meliputi penyuluhan gizi masyarakat
perdesaan, pelayanan gizi posyandu, dan peningkatan pemanfaatan
lahan pekarangan.

Pada tahun 1995/96 kegiatan penyuluhan di perdesaan digiatkan


melalui tokoh-tokoh masyarakat di perdesaan terutama melalui
kelompok pengajian, organisasi wanita keagamaan , dan lembaga
kemasyarakatan untuk memantapkan wawasan mengenai pengetahuan
dan pemahaman pentingnya kesadaran gizi bagi kesehatan dan
kesejahteraan keluarga. Jumlah kontak tani nelayan andalan (KTNA)
yang telah terlatih mengenai penyuluhan gizi telah meningkat dari 100
orang KTNA pada tahun 1994/95 menjadi 200 orang KTNA pada
tahun 1995/96. Untuk meningkatkan partisipasi KTNA dalam
membina kelompoknya masing-masing telah disusun alat peraga
penyuluhan dan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang kinerja
KTNA dalam penyebarluasan mengenai upaya perbaikan gizi pada
keluarga tani dan nelayan.

Pelayanan gizi di posyandu yang dilaksanakan sebulan sekali,


bertujuan untuk memberikan pelayanan gizi pada ibu hamil, ibu
menyusui, bayi dan anak balita. Pelayanan gizi dilakukan oleh kader
PKK khususnya kader gizi dibantu oleh tenaga petugas gizi atau
petugas teknis kesehatan puskesmas dan bidan di desa. Posyandu yang
merupakan lembaga kemasyarakatan jumlahnya meningkat dari
250.026 buah pada tahun 1994/95 menjadi 263.769 buah pada tahun
1995/96 tersebar di seluruh propinsi (Tabel V-15).

Pada tahun 1995/96 pelayanan posyandu untuk anak balita


ditingkatkan dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS) yang
disempurnakan. Penyempurnaan KMS yang lama meliputi gambar
tingkat keterampilan balita dari tahun ke tahun, informasi mengenai

V/38
jadwal pemberian imunisasi tahun pertama anak balita, jadwal
pemberian ASI dan makanan tambahan kepada bayi, dan waktu
pemberian kapsul vitamin A pada balita. Dengan penyempurnaan itu
pelayanan terhadap anak balita diharapkan menjadi lebih bermutu.

Pada tahun 1995/96 penanggulangan gangguan akibat kekurangan


iodium (GAKI) terutama bagi ibu hamil dan anak sekolah di daerah
rawan GAKI mencakup 12,5 juta penduduk ada kenaikan dibandingkan
dengan tahun 1994/95 sebanyak 12,4 juta penduduk. Pencegahan
GAKI selain dengan pemberian kapsul iodium yang diberikan setahun
sekali, juga dilakukan melalui peningkatan pengadaan garam
beriodium yang memenuhi standar dengan nilai kadar KIO3 diatas 30
ppm. Berdasarkan data Susenas dari BPS 1994/95 jumlah garam
beriodium yang memenuhi standar sebanyak 49,8 persen. Dengan
berlakunya Keppres No.69 tahun 1994 produksi garam beriodium yang
memenuhi standar diupayakan meningkat. Untuk meningkatkan
penggunaan garam beriodium di masyarakat luas, pada tahun 1995/96
dilakukan uji coba penyuluhan tentang garam beriodium melalui
kerjasama dengan persatuan guru Republik Indonesia (PGRI) terhadap
anak didik di sekolah. Hasilnya cukup baik serta berpengaruh terhadap
lingkungan keluarga. Sebagai tindak lanjut penelitian yang dilakukan
pada tahun 1994/95 mengenai perekonomian dan perdagangan garam
beriodium di Indonesia, pada tahun 1995/96 dilakukan perencanaan
pengembangan produksi garam beriodium dan pemasarannya serta
pembinaan usaha petani garam yang tersebar di sentra-sentra produksi
garam.

Dalam rangka penanggulangan masalah anemia gizi besi (AGB),


diberikan tablet besi terutama kepada para ibu hamil di desa-desa
tertinggal melalui posyandu. Pada tahun 1995/96 jumlah cakupan
pemberian tablet besi bagi ibu hamil resiko tinggi meningkat menjadi
2,9 juta dibandingkan dengan tahun 1994/95 sekitar 2,5 juta ibu

V/39
hamil (Tabel V-16). Peningkatan kemandirian masjarakat terhadap
masalah AGB pada ibu hamil dan cara penanggulangannya
diupayakan melalui penyuluhan tentang manfaat tablet besi dan
sumber pangan yang kaya akan zat besi. Penyebaran informasi
tersebut dilakukan melalui media cetak dan elektronika. Tablet besi
disediakan pada pos obat desa (POD) dan warung-warung di
perdesaan untuk memudahkan masyarakat mendapatkannya secara
mandiri. Pada tahun 1995/96 telah dilakukan uji coba pengembangan
kegiatan pemberian sirop besi kepada balita secara terbatas di
beberapa daerah untuk melihat dampak pemberian sirop besi terhadap
kadar Hb dalam darah, dan cara pendistribusian sirop besi. Hasilnya
membuktikan adanya penurunan anemia gizi besi pada anak balita
dengan meningkatnya kadar Hb dalam darah. Penelitian selanjutnya
akan dilakukan pada tahun 1996/97 mengenai dosis dan waktu
pemberian yang tepat.

Sejak tahun 1992, Indonesia telah berhasil menanggulangi


masalah kekurangan vitamin A (KVA) yang menyebabkan kebutaan,
sehingga KVA bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.
Pelestarian atas keberhasilan penanggulangan masalah KVA
diupayakan untuk dipertahankan antara lain dengan tetap memberikan
kapsul vitamin A dosis tinggi kepada anak balita pada setiap tahun di
bulan Pebruari dan Agustus. Pada tahun 1995/96 penyediaan kapsul
vitamin A untuk anak balita meningkat menjadi 12,5 juta anak
dibandingkan dengan penyediaan pada tahun 1994/95 sebesar 11,8
juta anak. Hal ini disebabkan karena kemampuan cakupan menjadi
lebih tinggi terutama di daerah tertinggal, dan pengaruh penyuluhan
yang semakin meluas baik mengenai manfaat kapsul vitamin A bagi
anak balita termasuk ibu nifas. Disamping itu dilaksanakan
penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi vitamin A dari bahan
makanan alami berupa sayuran dan buah-buahan.

V/40
Upaya penurunan kekurangan energi dan protein (KEP) terutama
pada anak balita, kegiatan pelayanan dan penyuluhan gizi di posyandu
ditingkatkan melalui partisipasi aktif masyarakat perdesaan.
Penyuluhan gizi ditunjang oleh makin luas dan meningkatnya
pelayanan kesehatan dasar terutama imunisasi, pengadaan air bersih,
dan pemanfaatan pekarangan sebagai bahan makanan tambahan anak
balita di posyandu disamping ASI. Pada tahun 1995/96 ditingkatkan
kegiatan penyuluhan terpadu antara petugas gizi, petugas kesehatan,
penyuluh pertanian lapangan, dan tokoh masyarakat perdesaan.

Upaya lainnya dalam perbaikan gizi keluarga adalah kegiatan


pemanfaatan pekarangan di perdesaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah
untuk mendorong keluarga petani terutama yang miskin dan rawan gizi
untuk lebih produktif memanfaatkan lahan pekarangannya guna
memperbaiki gizi keluarga dan meningkatkan pendapatan keluarga.
Pendekatan pengembangannya dilakukan melalui partisipasi
masyarakat secara berkelompok. Pembinaan dilakukan melalui
penyuluhan lapangan secara langsung atau KTNA dengan pemberian
sarana produksi sebagai bagian dari paket penyuluhan.

Untuk tahun 1995/96 sasaran penyuluhan terutama adalah


keluarga tani dan anak sekolah SD/MI di desa-desa tertinggal.
Bantuan sarana produksi yang diberikan pada tahun 1995/96
meningkat jumlahnya dari 25.000 paket pada tahun 1994/95 menjadi
102.000 paket. Masing-masing keluarga mendapat satu paket yang
berisikan benih sayuran, bibit buah-buahan, unggas, ikan dan sarana
produksi. Paket tersebut dibagikan ke keluarga melalui kelompok
wanita tani (KWT). Cakupannya telah meningkat dari 1.100 KWT
tahun 1994/95 menjadi 4.639 KWT tahun 1995/96.

Disamping itu ditingkatkan pula pemanfaatan lahan pekarangan


daerah transmigrasi untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang bergizi.

V/41
Agar pemanfaatan lahan pekarangan semakin berhasil guna, pada
tahun 1995/96 dikembangkan model penyuluhan penganekaragaman
pangan dan gizi untuk berbagai sasaran seperti KWT, Taruna Tani,
dan anak sekolah SD/MI sehingga menjadi bagian dari program
penyuluhan pertanian yang dilaksanakan melalui balai penyuluhan
pertanian di tingkat kecamatan.

3) Usaha Perbaikan Gizi Institusi (UPGI)

UPGI adalah upaya pembinaan dan peningkatan keadaan gizi


sekelompok masyarakat di suatu lembaga atau institusi seperti
sekolah, pusat latihan olahraga, rumah sakit, pabrik, perusahaan,
lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, pondok pesantren, dan
panti asuhan, serta panti perawatan. Dalam Repelita VI UPGI
bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, prestasi
belajar anak didik sejak dini, daya saing dan prestasi olahragawan,
dan mempercepat masa penyembuhan penyakit, serta meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan kelompok di lembaga terkait.

Sasaran UPGI pada tahun 1995/96 adalah lembaga-lembaga


pendidikan terutama sekolah-sekolah, pusat-pusat pelatihan olah raga,
asrama haji, panti sosial, dan pabrik. Kegiatannya meliputi pembinaan
teknis, pelatihan, penyuluhan, dan intervensi langsung.

Pada tahun 1995/96, untuk SD dilanjutkan uji coba program


pemberian makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) di 460 sekolah
di 20 propinsi yang dirintis sejak tahun 1991/92. Pemberian makanan
tambahan bagi anak SD/MI di desa tertinggal diberikan selama 90 -
160 hari dalam kurun waktu belajar efektif. Untuk menyampaikan
efektivitas pemberian makanan jajanan pada anak sekolah SD/MI,
diberikan pula obat cacing dua kali setahun dan tablet besi selama 90
hari bagi yang menderita AGB. Disamping itu juga dilakukan

V/42
penyuluhan secara aktif kepada anak didik mengenai kebersihan diri
dan lingkungan. Pada tahun 1995/1996 diadakan biaya sebesar
Rp650,- - Rp750,- berupa paket per anak, yang digunakan untuk
pengadaan makanan jajanan, obat cacing, tablet anemia darah dan
kegiatan penunjang seperti penyuluhan, pelatihan, dan supervisi. Pada
tahun 1995/96 telah dilakukan, survei terhadap 600 ribu anak sekolah
dasar di 27 propinsi. Hasil survei menunjukkan adanya gangguan
pertumbuhan berkisar antara 13,6 persen (DKI Jakarta) dan 43,7
persen (Kalimantan Tengah). Selain itu anak didik hanya mengon -
sumsi 70 persen dari kebutuhan energinya setiap hari, kemudian
diperberat dengan keadaan kurang darah karena anemia sekitar 30-40
persen dan tingginya prevalensi kecacingan sebesar 50-80 persen.

Pada tahun 1995/96 pengembangan kebun sekolah meningkat


menjadi 516 paket SD di 89 kabupaten di 27 propinsi dibandingkan
dengan tahun 1994/95 baru sebanyak 307 paket SD di 66 kabupaten di
19 propinsi.

Untuk pusat-pusat pelatihan olahraga pada tahun 1995/96 telah


disusun buku pedoman pelayanan gizi olahraga yang memuat arahan
bagi pengelola gizi di pusat pelatihan olahraga baik mengenai aspek
manajemen maupun standar diitnya.

Pada tahun 1995/96, bagi asrama haji telah dilaksanakan


pelatihan sebanyak 75 pengelola gizi asrama haji yang diadakan di 2
propinsi yaitu Sumatera Utara dan Kalimantan Timur.

Bagi panti sosial, pada tahun 1995/96 telah dilaksanakan


pelatihan 110 pengelola gizi panti sosial yang berasal dari 3 propinsi
yaitu Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, dan Irian Jaya. Sedangkan
untuk perusahaan telah dilaksanakan pelatihan bagi 413 pengelola gizi
di I1 propinsi.

V/43
4) Upaya Fortifikasi Bahan Pangan

Fortifikasi bahan pangan adalah upaya meningkatkan mutu gizi


bahan makanan dengan memperkaya kandungan zat gizi melalui
penambahan zat gizi tertentu untuk menanggulangi masalah gizi
masyarakat. Dalam Repelita VI telah ditetapkan beberapa zat gizi
sebagai fortifikan yang penting, yaitu zat besi, vitamin A, dan iodium.

Pada tahun 1995/96 masih dilanjutkan upaya penelitian di bidang


fortifikasi vitamin A pada beras di NTT. Khusus mengenai garam
beriodium, dilanjutkan intensifikasi penyuluhan pentingnya garam
beriodium, pengketatan pengawasan produksi dan distribusi garam
beriodium dan penindakan pada produsen yang melanggar.

5). Penerapan dan Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan


dan Gizi

Sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) adalah suatu


kegiatan pemantauan keadaan pangan dan keadaan gizi masyarakat,
yang bertujuan untuk; (a) memberikan isyarat dini tentang kemung-
kinan timbulnya kekurangan pangan yang terjadi di suatu wilayah atau
daerah tertentu; (b) menyediakan informasi tentang perkembangan
penyediaan beranekaragam konsumsi pangan serta keadaan gizi
masyarakat yang berguna bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
program penganekaragaman pangan dan gizi daerah; dan (c) mening-
katkan kemampuan daerah dalam memecahkan masalah pangan dan
gizi berdasarkan keadaaan setempat.

Sejak tahun 1994/95 S K P G dibagi atas tiga sub sistem yaitu


sistem kewaspadaan produksi dan penyediaan pangan (SKPP) yang
dilaksanakan oleh Departemen Pertanian, sistem kewaspadaan
distribusi dan harga pangan (SKDP) dilaksanakan oleh BULOG, dan

/ V/44
sistem kewaspadaan konsumsi dan status gizi. masyarakat (SKKG)
yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Ketiga sub sistem ini
dikoordinasikan oleh Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan
digunakan sebagai dasar bagi perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
program pangan dan perbaikan gizi.

Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam tahun 1995/96 meliputi


pemantauan produksi dan ketersediaan beranekaragam pangan (SKPP)
lebih diperluas dari pemantauan tahun 1994/95 sehingga menjangkau
15 propinsi di 20 kabupaten yang dianggap rawan pangan dan rawan
gizi. Pada tahun 1994/95 pemantauan tersebut baru menjangkau 12
kabupaten di 6 propinsi. Pemantauan konsumsi dan status gizi
(SKKG) terutama dilaksanakan atas empat kegiatan utama yaitu
pemantauan konsumsi gizi, pemantauan status gizi balita di posyandu
(PSG), pengumpulan data indeks massa tubuh (IMT), dan jaringan
informasi pangan dan gizi (JIPG).

Pemantauan konsumsi gizi masyarakat tingkat kecamatan pada


prinsipnya mengikuti pemantauan status gizi di posyandu. Kegiatan
pemantauan ini pada tahun 1995/96 merupakan kegiatan yang pertama
kali dilaksanakan. Hasil sementara menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi energi rata-rata nasional adalah sebesar 1.832 kilokalori
atau mencapai 85 persen dari angka kecukupan gizi (AKG),
sedangkan tingkat konsumsi protein mencapai 51 gram atau 110
persen dari AKG. Bila dilihat dari konsumsi energi dan protein
menurut kelompok bahan makanan ternyata sumbangan terbesar untuk
energi maupun protein masih sebagian besar masih berasal dari padi-
padian. Untuk menunjang pelaksanaan pemantauan, pada tahun
1095/96 telah disusun buku pedoman survai konsumsi gizi sebanyak
10.000 buah dan disebarluaskan kepada para petugas diseluruh
propinsi.

V/45
Pemantauan status gizi tingkat posyandu merupakan salah satu
cara pemantauan yang dapat menghasilkan informasi secara teratur
setiap tahun mengenai keadaan gizi anak. Kegiatan ini telah
dilaksanakan dengan uji coba pertama kali pada tahun 1992/93 di 6
propinsi dengan hasil yang baik dan telah dikembangkan di 27
propinsi. Pada tahun 1995/96 hasil pemantauan menggambarkan
bahwa prevalensi KEP total di Indonesia secara keseluruhan terjadi
penurunan rata-rata dari 41 persen pada tahun 1994/95 menjadi 39
persen berkisar antara 20 persen (Sultra) dan 46 persen (Aceh dan
Kalbar).

Pada tahun 1995/96 dilakukan pula penelitian yang bertujuan


untuk mengetahui keadaan gizi orang dewasa. Rintisan kegiatan di
DKI Jakarta menunjukkan 19,2 persen penduduk DKI bergizi lebih
(IMT lebih dari 25 persen). Keadaan ini erat kaitannya dengan pola
makan diperkotaan yang cenderung berlebih dalam kandungan
energinya.

Kegiatan jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG) bertujuan


menerbitkan informasi tentang hasil penelitian dan kegiatan program
dan proyek pangan dan gizi di beberapa daerah. Kegiatan JIPG
merupakan kerjasama bersama antara Departemen Kesehatan,
Departemen Pertanian, Kantor Menteri Negara Urusan Pangan,
BULOG, Lembaga Penelitian, BPS, LIPI dan Universitas berisikan
informasi pangan dan gizi di tingkat nasional dan propinsi. Pada tahun
1995/96 kegiatan JIPG telah menerbitkan masing-masing sekitar
3.000 eksemplar buku Info Pangan dan Gizi volume 1 - 4, lembar
berita JIPG volume 1 - 4, dan buku pedoman JIPG tahun 1995/96.
Buku-buku ini disebarluaskan ke 27 propinsi pada berbagai tingkat
pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

V/46
B. Program Penunjang

1) Program Pendidikan dan Pelatihan Gizi

Pendidikan dan pelatihan gizi bertujuan memenuhi kebutuhan


tenaga gizi yang bermutu melalui penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan tenaga profesional gizi pada jenjang D-1 dan D-3 Akademi
Gizi; serta pendidikan sarjana dan pascasarjana pada universitas di
dalam dan Iuar negeri.

Pada tahun 1995/96 jumlah lembaga pendidikan D-3 bertambah


sebanyak 8 Akademi Gizi yang berasal dari peningkatan-pendidikan D-
1 di Sekolah Pendidikan Ahli Gizi (SPAG). Dengan demikian tahun
1995/1996 tercatat jumlah keseluruhan Akademi Gizi sebanyak 26
akademi terdiri dari 19 akademi negeri dan 7 akademi swasta, dengan
anak didik sebanyak 3.351 orang. Pada tahun 1995/96 juga telah
dilaksanakan kursus penyegaran ilmu gizi bagi tenaga profesional gizi
seluruh Indonesia.

2) Program Pengawasan Makanan dan Minuman

Program pengawasan makanan dan minuman bertujuan untuk


melindungi masyarakat terhadap produksi dan peredaran makanan-
minuman yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi keamanan
akibat pencemaran bahan berbahaya dan mikroba yang mengganggu
kesehatan, mutu dan nilai gizi yang tidak memenuhi syarat,
kadaluwarsa dan kehalalannya. Kegiatan pengawasan ditetapkan
melalui 3 pendekatan yaitu pengawasan melalui perundang-undangan,
pengawasan mutu, dan pendidikan masyarakat.

Kegiatan pengawasan makanan dan minuman, pada tahun


1995/96, antara lain meliputi penyiapan cara pengelolaan pengawasan

V/47
dan pengujian laboratorium produk buah-buahan impor terutama ter -
hadap cemaran pestisida dan insektisida, serta pembahasan akademik
rancangan Undang-Undang Pangan untuk kemudian diajukan ke DPR.
Disamping itu telah disusun peta industri makanan dan minuman skala
besar, menengah dan rumahtangga, dan penyusunan standar upaya
pengendalian mutu makanan dan minuman dalam bentuk monografi
bahan tambahan makanan (BTM) sebanyak 100 jenis.

Kegiatan pengawasan makanan dan minuman yang dilakukan


pada tahun 1995/96 mencakup 2.444 sarana produksi makanan dan
minuman yang telah terdaftar. Dari pengawasan tersebut ternyata
terdapat penyimpangan yang menyangkut sanitasi fisik, pergudangan
dan higiene perorangan sebanyak 12 sampai 18 persen. Sedangkan
dari pengawasan bagi 2.245 sarana industri rumah tangga terdapat
penyimpangan yang menyangkut sanitasi fisik, pengolahan,
kebersihan, dan pergudangan sebanyak 29 persen sampai 44 persen.
Dui pengawasan terhadap 6.210 sarana distribusi 'makanan dan
minuman ternyata 54 persen dari produk yang dijual tidak memenuhi
persyaratan.

Untuk memenuhi standar ekspor dan ketentuan badan dunia


WHO dan FAO dalam rangka melindungi konsumen, seluruh produk
pangan harus memenuhi standar Codex Allimentarius dan proses
produksi harus menerapkan azaz Hazard Analysis Critical Control
Points (HACCP). Dengan cara ini diharapkan para produsen dapat
menerapkan cara produksi makanan-minuman yang baik (CPMB)
terutama dari segi higiene dan sanitasi. Dalam mengantisipasi
pemenuhan standar-standar tersebut pada tahun 1995/96 disusun
materi pelatihan terkait untuk meningkatkan kemampuan petugas
pengawasan dan dunia usaha. Bagi dunia usaha yang belum
menerapkan akan diadakan pelatihan yang merupakan upaya bersama
antara pemerintah dan dunia usaha.

V/48
3) Program Penelitian dan Pengembangan Gizi

Dalam Repelita VI kegiatan penelitian dan pengembangan gizi


diarahkan untuk meningkatkan mutu dan jenis penelitian menjadi
penelitian unggulan di bidang gizi. Penelitian gizi bertujuan untuk
melihat adanya (a) perubahan pola pangan dan dampaknya pada
perubahan pola penyakit dan keadaan gizi masyarakat, (b) dampak
lingkungan, toksin alami, dan timbulnya zat anti gizi dalam pangan
terhadap kesehatan, dan (c) keamanan pemakaian bahan tambahan
makanan (BTM) dan kemasan produk industri pangan, jasaboga, dan
makanan jajanan.

Pada tahun 1995/96 telah dilaksanakan 8 penelitian sebagai


bagian dari Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang telah mendapat
rekomendasi dari Dewan Riset Nasional (DRN).

4) Program Diversifikasi Pangan

Sejalan dengan dimasyarakatkannya Pedoman Umum Gizi


Seimbang (PUGS) maka program diversifikasi pangan pada tahun
1995/96 antara lain dilaksanakan dalam bentuk kegiatan pameran
tingkat nasional di daerah maupun tentang jenis makanan tradisional
daerah. Di samping itu diadakan peninjauan ulang terhadap
pelaksanaan program diversifikasi pangan dan gizi dari sektor
pertanian agar kaitannya dengan kegiatan posyandu dan perbaikan
ekonomi petani miskin makin nyata. Selain pemanfaatan lahan
pekarangan juga mulai diintensifkan pemanfaatan kebun sekolah yang
dapat merupakan sarana pendidikan bagi anak sekolah untuk mengenal
dan menyukai makanan yang beraneka ragam.

V/49
TABEL V - 1 5
KEGIATAN USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA
1993/94,1994/95 — 1995/96

V/50
T A B E L V - 16
PELAKSANAAN PENCEGAHAN GONDOK ENDEMIK ANEMIA GIZI, DAN
KEKURANGAN VITAMIN A
1993/94, 1994/95 — 1995/96

Repelita VI
No. Uraian Satuan 1993/94 1994/95 1995/96

1. Pencegahan Gondok Endemic


— Kapsul penduduk 11.015.305 12.449.412 12.500.000 .

2. Pencegahan Anemia Gizi


— Distribusi Tablet Besi Ibu hamil 2.200.000 2.490.000 2.913.902
Melalui UPGK

3. Pencegahan Kekurangan Vitamin A:


— Distribusi Kapsul Vitamin A anak balita 13.730.000 11.796.293 12.500.000

V/51

Anda mungkin juga menyukai