PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya Worlds
Food Summit oleh FAO (Food and Agriculture Organization) pada tahun 1974, tetapi masih kurang bisa
diwujudkan. Kemudian pada tahun 1996 di Roma dalam Declaration on World Food Security, FAO baru
memberikan tekanan lebih besar mengenai ketahanan pangan bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya
menghilangkan kelaparan di seluruh dunia. Sasaran jangka menengah yang ingin dicapai adalah “menurunkan
jumlah orang yang kekurangan gizi menjadi setengahnya paling lambat 2015” (Sukandar, dkk, 2001).
Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang mempunyai kekayaan sumber daya alam potensial, sudah
sewajarnya mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan
mengatur bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Selanjutnya
masyarakat juga berperan dalam penyelenggaraan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi,
sebagaimana tercantum dalam GBHN 1999-2004 yaitu “Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis
pada keragaman sumber daya pangan, kelembagaan dan budaya lokal, dalam rangka menjamin ketersediaan pangan
dan nutirisi, baik jumlah maupun yang dibutuhkan pada tingkat harga terjangkau, dengan memperhatikan
peningkatan pendapatan petani/nelayan serta produksi” yang diatur dengan undang-undang No. 25 Tahun 2000
tentang Propenas Tahun 2000-2004 yaitu penetapan program peningkatan ketahanan pangan (Departemen Pertanian
Republik lndonesia, 2002).
Menurut Sukandar. (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat wilayah ke tingkat
rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan pangan. Oleh karena itu,
pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua, yaitu: indikator ketahanan pangan
tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar
pengembangan indikator ketahanan pangan dapat menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya.
Menurut Suryana (2001) dalam Hardinsyah (2001) a berdasarkan amanat UU No. 7 (1997) tentang pangan
menyatakan bahwa pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh
rumah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh
setiap individu. Akan tetapi, Hardinsyah, dkk (2001) b menyatakan bahwa sampai pada saat ini masih terdapat sisi-
sisi gelap pembangunan dalam rumah tangga, antara lain: sekitar 40% rumah tangga tidak cukup pangan, menurut
Badan Pusat Statistik (1999) sekitar 18% miskin, berdasarkan SUSENAS (1998) sebanyak 30% anak sekolah
menderita anemi karena kurang gizi dan masalah lainnya
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem
pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator
ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat
produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi
(Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat
kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting
dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan
baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik
Indonesia, 2002).
Mengacu pada Rencana Aksi Pangan dan Gizi (RAPGN) tahun 2001-2005, sasaran perbaikan gizi makro
jangka panjang telah memberikan masa depan yang ingin dicapai. Salah satu sasaran guna pencapaian
tujuan/misi tersebut adalah anak usia sekolah yang bebas dari gangguan pertumbuhan tinggi badan,
serta diharapkan peningkatannya pada anak laki-laki menjadi 75% dan perempuan 80% (Departemen
Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999). Hal ini diungkapkan pula oleh Kepala Dinas Kota
Banjarmasin (Diah Ratnani Praswasti) bahwa masyarakat/warga Banjarmasin dijamin sehat pada tahun
2014 (Departemen Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, 1999).
Kemudian tingkat konsumsi energi rata-rata per orang per hari pada masyarakat menurut Dinas
Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan (2006), ternyata masih berada di bawah target dari konsumsi
yang dianjurkan yakni sebesar 2.150 Kkal. Sedangkan tingkat konsumsi masyarakat Kalimantan
Selatan hanya berkisar 1962,25 kalori (84,35%) saja. Sedangkan konsumsi protein masyarakat
Kalimantan Selatan sudah mencapai konsumsi protein yang dianjurkan dari rata-rata per orang per hari
yaitu 57,90 gr/org/hr (112,71%). Analisis Penilaian Konsumsi Gizi (PKG) secara umum memantau bahwa
di tingkat nasional, rata-rata konsumsi kalori dan protein sudah mendekati kecukupan yang dianjurkan.
Akan tetapi jika dilihat distribusinya masih terlihat 30–50% rumah tangga mengkonsumsi kurang dari 70
% dari kecukupan.
Anak usia sekolah adalah masa anak dalam puncak perkembangan dimana waktu pertumbuhan agak
lambat, tapi pasti dan perkembangannya berangsur-angsur mengikuti pertumbuhan tersebut sampai
pada suatu masa pertumbuhan yang pesat dan mulai memasuki masa sebelum remaja atau praremaja
(Damayanti, 1996). Berdasarkan Direktorat Pembangunan Desa Propinsi Kalimantan Selatan (1996), di
Kalimantan Selatan terdapat 568 Desa tertinggal dimana 730 buah Sekolah Dasar atau Madrasah
Ibtidaiyah merupakan sasaran pelaksanaan program Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-
AS) tahun 1996-1997 serta menjadi sasaran Program Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah dan
Monitoring Garam Beryodium setiap tahun. Di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah
Bumbu yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, pada tahun 2007
telah melaksanakan Program Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), yang hasilnya menggambarkan bahwa
konsumsi rumah tangga di desa Batulicin Kecamatan Batulicin relatif rendah, yaitu hanya berkisar sekitar
1.974,03 kalori. Selain program tersebut, di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin merupakan salah satu
sasaran Pelaksanaan program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) setiap tahunnya. Akan tetapi dari hasil
pemantauan tersebut, ternyata masih terdapat 22% Anak Sekolah yang memiliki status gizi kurang. Hal
ini juga ditambahkan dengan hasil Program KADARZI dimana keluarga tersebut memiliki anak sekolah,
diketahui bahwa 67% ibu rumah tangga relatif memiliki pengetahuan yang rendah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dipandang perlu dilakukannya penelitian mengenai “Hubungan
Ketahanan Pangan Rumah tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di Desa Batulicin
Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2010”, sehingga dapat ditemukan permasalahan
dan diharapkan menemukan pemecahan masalahnya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah “Bagaimana
Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12 Tahun di
Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.”
Tujuan Umum
Mengetahui Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah Usia 7-12
Tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Tujuan Khusus
Mengidentifikasi status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Mengidentifikasi kecukupan konsumsi gizi energi dan protein dalam rumah tangga anak sekolah usia 7-
12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Menganalisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan kecukupan konsumsi zat gizi
energi/protein dalam rumah tangga (indikator dampak secara langsung) dengan status gizi anak sekolah
usia 7-12 Tahun (indikator dampak secara tidak langsung) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Manfaat Penelitian
Agar dapat meningkatkan intervensinya ke dalam masyarakat seperti; Penyuluhan tentang makanan
bergizi, Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak Sekolah, Pemberian Program Makanan Tambahan Anak
Sekolah (PMT-AS), dan kegiatan lainnya guna membantu dalam mencapai status gizi anak sekolah
secara optimal.
Bagi Masyarakat :
Memberikan informasi tentang indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada baik tidaknya pula status gizi anak
sekolah, khususnya anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten
Tanah Bumbu Tahun 2010.
Bagi Peneliti :
Menambah wawasan serta pengalaman yang dapat menunjang pekerjaan serta pengabdian kepada
bangsa dan negara dalam bidang kesehatan gizi.
Keaslian Penelitian
Penelitian ini mengambil tiga referensi penelitian yang dapat menunjang proses penelitian ketahanan
pangan rumah tangga, yaitu penelitian dari Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) di Sulawesi Utara,
Ginandjar Kartasasmita (2005) di Bandung serta Nailatul Muayyadah (2010) di Jawa Tengah.
Menurut Tri Bastuti Purwantini, dkk (1999) dengan judul “Analisis Ketahanan Pangan Regional dan
Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1999)”, penelitiannya bertujuan
untuk melihat karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan sehingga dapat dijadikan sebagai
pedoman pengambil kebijakkan dalam melaksanakan program-programnya dalam peningkatan
ketahanan pangan di tingkat wilayah maupun tingkat rumah tangga. Kemudian analisis ketahanan
pangan rumah dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan sedangkan di tingkat wilayah
dilakukan dengan metode perbandingan tingkat ketersediaan pangan di wilayah dengan norma
kecukupan energi (NKE) yang dibutuhkan. Analisis studi kasus ini menghasilkan bahwa secara regional
status ketahanan pangan wilayah (Provinsi) berada dalam golongan tahan pangan, akan tetapi masih
terdapat rumah tangga rawan pangan yang cukup tinggi apabila dilihat secara proporsi rumah tangga
dengan persentase rumah tangga pedesaan relatif lebih rawan pangan dibandingkan perkotaan. Hal ini
tentunya memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu dari segi tujuan dan metode ketahanan rumah
tangga serta memiliki perbedaan dalam hal rancangan, tempat, variabel (bebas dan terikat) dan tahun
penelitian.
Kemudian Ginandjar Kartasasmita (2005) dengan judul “Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa
(Studi Kasus di Bandung)” yang bertujuan menganalisis bagaimana pengaruh ketahanan pangan secara
regional. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode pengembangan ketahanan pangan
berbasis kearifan lokal. Kemudian analisa tersebut mengungkapkan bahwa adanya pengaruh ketahanan
pangan dan ketahanan bangsa secara regional. Hal ini memang sangat memiliki perbedaan dengan
penelitian, baik dari variabel (independent dan dependent), tempat, tahun, metode serta rancangannya,
akan tetapi memiliki persamaan dalam hal latar belakang yang mendasari dan juga teori yang melandasi
pemikiran konsep ketahanan pangan secara luas.
Sedangkan Nailatul Muayyadah (2010) dengan judul “Analisa Hubungan Indikator Ketahanan Pangan
Tingkat Rumah Tangga dengan Keadaan Gizi Balita Menggunakan Metode GSCA (Studi Kasus di
Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah)” telah melakukan penelitian dengan
tujuan mengetahui hubungan indikator ketahanan pangan tingkat rumah tangga; ketersediaan pangan,
aksestabilitas, dan konsumsi pangan dengan keadaan gizi balita. Penelitian ini menggunakan metode
GSCA yaitu Generalized Structured Component Analysis (GSCA) dimana variabel laten didefinisikan
sebagai komponen dari indikator. Kemudian analisa tersebut menghasilkan adanya hubungan antara
ketersediaan pangan dengan aksestabilitas pangan dan konsumsi pangan, tetapi tidak ada hubungan
antara ketersediaan pangan dengan keadaan gizi balita, kemudian ada hubungan antara aksestabilitas
pangan dengan konsumsi pangan dan keadaan gizi balita, serta ada hubungan antara konsumsi pangan
dengan keadaan gizi balita. Referensi penelitian ini tentunya juga memiliki persamaan dengan
penelitian yaitu dari segi tujuan, metode ketahanan rumah tangga (walaupun indikatornya berbeda) dan
variabel independent serta tentunya memiliki perbedaan penelitian dalam hal rancangan, tempat,
variabel dependent dan tahun penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN TEORI
Istilah ketahanan pangan (food security) mula terdengar pada tahun l970-an ketika terjadi krisis
penyediaan serealia di pasar Intemasional. Sejak saat itu kajian tentang ketahanan pangan mulai
diperbincangkan dalam berbagai Forum (Foster, 1992) dalam Hardinsyah,dkk (1998) dan pemikiran
terhadap kebijakan pangan diarahkan pada ketahanan pangan dalam arti penyediaan serelia di tingkat
nasional dan internasional. Setelah krisis pangan mulai reda, pada tahun 1980-an terjadi pergeseran
konsep ketahanan pangan dari unit nasional pada penyediaan pangan di tingkat wilayah, tetapi juga pada
penyediaan dan konsumsi pangan (jumlah dan mutu) di tingkat daerah dan rumah tangga bahkan
individu untuk memenuhi kebutuhan gizi (Braun, Bours, Kumar dan Pandya-Lorch, 1992) dalam
Hardinsyah, dkk (2001)a. World Declaration and Plan of Action for Nutrition yang dirumuskan pada
Internationol Conference on Nutrition (FAO/WHO, 1992) mendefisinikan ketahanan pangan sebagai
akses setiap rumah tangga/individu untuk memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup
sehat.
Kemudian dalam sidang World Food Summit 1996 definisi ini diperluas dengan persyaratan penerimaan
pangan sesuai nilai atau budaya setempat (acceptable within given culture). Makna yang terkandung
dalam pengertian ketahanan pangan tersebut mencakup beberapa dimensi antara lain dimensi fisik
pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi kebutuhan gizi individu (dimensi gizi),
dimensi waktu (setiap waktu). Dimensi keamanan pangan (kesehatan) serta dimensi nilai-nilai budaya
(Hardinsyah dan Mardianto, 2001)b. Di Indonesia pemerintah juga telah memberikan perhatian besar
terhadap masalah pangan antara lain melalui upaya swasembada beras. Selain itu prioritas
pembangunan nasional yang diamanatkan dalam 1999-2004 (Suryana, 2001) dalam Hardinsyah, dkk
(2001)a adalah perwujudan ketahanan pangan yang berbunyi :
“Mengembangkan ketahanan pangan yang berbaris pada keragaman sumber daya bahan pangan,
kelembagaan dan budaya lokal dalam menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu
yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau serta memperhatikan peningkatan pendapatan
petani nelayan serta produksi yang diatur dengan undang-undang”.
Pembangunan ketahanan pangan dihasilkan suatu sistem dari unsur-unsur yang merupakan subsistem
yang saling berinteraksi, yaitu subsistem ketersediaan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi.
Pembangunan sub sistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan
penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi luar negri, cadangan impor maupun ekspor.
Kemudian pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesbilitas pangan antar wilayah dan antar
waktu serta stabilitas harga pangan strategis. Sedangkan pembangunan subsistem konsumsi mencakup
jumlah, mutu gizi, nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Ketiga pembangunan ini
memerlukan harmonisasi guna terwujudnya pembangunan suatu ketahanan pangan (Departemen
Pertanian Republik Indonesia, 2002).
Dalam rangka memenuhi komitmen nasional tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004, telah menetapkan Program Peningkatan Ketahanan
Pangan. Program ini bertujuan untuk:
meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber pada pangan
ternak, ikan, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, beserta produk-produk olahannya;
mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi, serta konsumsi yang lebih
beragam;
Menurut Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa pergeseran konsep ketahanan pangan dari tingkat
wilayah ke tingkat rumah tangga mempunyai implikasi terhadap pemahaman indikator ketahanan
pangan. Oleh karena itu pengembangan indikator ketahanan pangan dipisahkan terbagi menjadi dua,
yaitu: indikator ketahanan pangan tingkat wilayah (makro) dan indikator ketahanan pangan tingkat rumah
tangga (mikro). Hal ini bertujuan agar pengembangan indikator ketahanan pangan dapat
menggambarkan kondisi yang sebenar-benarnya.
Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi
pangan dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro lebih dipengaruhi
oleh kemampuan rumah tangga dalam memproduksi pangan, daya beli dan pemberian. Kemudian sub
sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.
Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor sosial budaya. Faktor
ekonomi dalam keragaman tersebut meliputi; tingkat pendapatan, harga pangan dan non pangan dan
mekanisme pasar, sedangkan faktor sosial budaya meliputi; tingkat pengetahuan, kebiasaan makan
termasuk ada tidaknya pantangan atau tabu serta jumlah anggota keluarga (Departemen Pertanian
Republik Indonesia, 2002).
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan dari aspek masukan yaitu
produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global,
ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa
seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak
pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran
pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan,
tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs
menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.
Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat
diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi
masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan
gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial
yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan pangan yang melebihi kebutuhannya,
tidak menjamin masyarakat terbebas dari kelaparan dan gizi kurang (Nuhfill Hanani; 2007).
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan memuat ketahanan pangan rumah
tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Hal ini berarti pengertian
tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan yang bisa lebih dipahami yaitu:
Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan ketersediaan pangan dalam arti
luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk kebutuhan dalam pemenuhan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan
kesehatan manusia.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, artinya bebas cemaran biologis, kimia dan benda lain
yang dapat menggmggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah
Agama.
Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, artinya pangan yang harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air.
Terpenuhinya pengan dengan kondisi terjangkau, artinya pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan
harga yang terjangkau.
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari
berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu indikator proses dan
indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan
akses pangan, sedangkan indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tak langsung. Indikator
ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumber daya alam,
praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional, dan kerusuhan sosial.
Indikator akses pangan meliputi antara lain sumber pendapatan, akses terhadap kredit modal. Indikator
akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Strategi
tersebut dikenal sebagai koping ability indikator. Indikator dampak secara langsung adalah konsumsi dan
frekuensi pangan. Indikator dampak tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi (Ali
Khomsan dkk, 2002).
Keragaman pangan memiliki dua dimensi pokok, yaitu keanekaragaman dalam pola menu konsumsi
pangan dimana terdapat keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi
yang bermutu dan seimbang serta keaneka-ragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis
gizi yang dibutuhkan. Berdasarkan pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga
oleh Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan
pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak
tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan
pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan
apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%.
Seperti yang telah diketahui, sub sistem konsumsi pangan terletak pada hilir dari sistem ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga. Keragaman subsistem tersebut dipengaruhi oleh:
Pendapatan
Menurut Winardi (1992) pendapatan adalah hasil berupa uang atau materi lainnya yang dapat dicapai
dari pada penggunaan faktor-faktor produksi. Tinggi-rendahnya pendapatan akan berdampak pada
konsumsi pangan sebagai sub sistem ketahanan pangan baik tingkat wilayah maupun tingkat rumah
Tangga (Departemen Pertanian Republik lndonesia, 2002).
Pada umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung membaik juga. Tingkat
pendapatan menentukan pola makanan apa saja yang dibeli dengan uang tersebut. Orang miskin
biasanya akan membelanjakan pendapatannya untuk makanan, sedangkan orang yang kaya sudah tentu
akan lebih dari itu. Bagian untuk makanan padi akan ditambah dengan menu untuk makanan yang
terbuat dari susu jika pendapatan keluarga beranjak ke tingkat menengah. Semakin tinggi pendapatan,
semakin bertambah besar pula presentase pertambahan belanja termasuk unhrk buah-buahan, sayur-
sayuran, dan jenis makanan lainnya (Suhardjo, 1989).
Kemudian Suhardjo (1989) menyatakan pula bahwa kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan selain tergantung pada besar pendapatan keluarga serta tingkat pengelolaan sumber daya
lahan dan pekarangan juga tergantung pada harga bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan
pendapatan terbatas, besar kemungkinan tidak dapat memenuhi kebutuhan makanannya sejumlah yang
diperlukan tubuh.
Hal ini dikarenakan semakin tinggi harga pangan maupun non pangan, maka semakin terbatas pula
kemampuan keluarga dalam mengeluarkan uang untuk membeli keperluan pangan dan non pangan
untuk kebutuhannya. Setidaknya keaneka-ragaman bahan makanan kurang bisa terjamin, karena
dengan uang yang terbatas itu tidak akan banyak pilihan.
Mekanisme pasar
Just et al (1982) mengatakan intervensi pemerintah ke pasar melalui suatu kebijakan yang bertujuan
membantu salah satu pelaku (produsen atau konsumen) tidak selamanya membuat pasar menjadi
seimbang (menguntungkan kedua pihak). Ketidakseimbangan pasar ini muncul sebagai akibat
perubahan perilaku setiap pelaku dalam merespon perubahan yang terjadi di pasar. Perubahan perilaku
para pelaku pasar terlihat dari berubahnya keputusan-keputusan mereka dan teridentifikasi dalam aspek-
aspek seperti terjadi excess demand dan shortage supply atau sebaliknya, harga pasar yang meningkat
atau menurun, serta peningkatan atau penurunan fungsi kedua pelaku beserta lembaga yang
membawahinya.
Gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan sikap dan perilaku seorang terhadap
makanan. Selain itu pengetahuan manusia mempunyai peran untuk dapat membuat manusia hidup
sehat, sejahtera dan berkualitas. Gizi mempunyai hubungan langsung dengan tingkat konsumsi tetapi
secara tidak langsung mencerminkan tingkat pengetahuan. Kekurangan pengetahuan tentang gizi
merupakan suatu penyebab lain gangguan gizi atau informasi gizi. Oleh karena itu, salah satu cara yang
baik untuk menanggulangi masalah gizi adalah dengan memberikan pendidikan gizi yang pada
prinsipnya mempunyai tujuan akhir mengubah pengetahuan serta siap dan tindakan ke arah perbaikan
gizi dan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1994).
Khumaidi (1989) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik atau dapat
menunjang terpenuhinya kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpe-nuhinya
kecukupan gizi), seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep-konsep gizi.
Menurut Williams (1993) dalam Khumaidi (1989) masalah yang menyebabkan malnutrisi adalah tidak
cukupnya pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang baik. Kebiasaan
makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena kebiasaan makan mempengaruhi
pemilihan dan penggunaan pangan dan selanjutnya mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan
rumah tangga.
Rumah tangga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah, satu atap atau satu dapur, tidak terbatas
hanya pada keluarga inti saja melainkan terdiri dari beberapa generasi, selain orangtua dan anak-
anaknya, terdapat juga kakek-nenek, paman, bibi, saudara sepupu, menantu dan cucu yang
kebutuhannya ditanggung oleh kepala keluarga (Suhardjo, 1989). Jumlah anggota rumah tangga
berpengaruh secara langsung terutama pada anak sekolah yang tumbuh dalam rumah tangga miskin
karena rentan terhadap kekurangan gizi. Kebiasaan orang tua yang kurang menyadari bahwa anak
memerlukan pangan yang lebih besar sering menjadi masalah. Di Indonesia survei memperlihatkan
ketersediaan protein bagi setiap anak dalam rumah tangga dengan 2 orang anak akan 20 % lebih tinggi
bila dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai 4 atau 5 orang anak (Yustika, 2001).
Kemudian definisi anak sekolah dalam kehidupan sehari-hari adalah sekolah dan seluruh warga yang
merupakan wadah dan tempat berlangsungnya proses pendidikan secara formal dan potensial. Secara
formal memiliki peranan penting dan strategis bagi pembinaan generasi muda (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1992). Dan usia sekolah menurut Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Gizi
Pusat (1999) dikelompokkan menjadi:
LANDASAN TEORI
Berdasarkan hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Departemen Pertanian, 1996) dalam
Hardinsyah, dkk (1998) ketahanan pangan rumah tangga didefinisikan dalam beberapa alternatif
rumusan, yaitu: (1) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggotanya rumah tangga dalam
jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar hidup sehat, (2) kemampuan
rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dan produksi sendiri atau membeli dari
waktu ke waktu agar dapat hidup, (3) kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.
Hal ini juga tercantum dalam pasal I ayat 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Menurut Sutrisno (1996) ukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi
maupun ketersediaan pangan yang sesuai dengan norrna gizi. Sedangkan indikator sosial ekonomi dan
demografi tidak dapat digunakan.
Kemudian Status gizi menurut Jahari (2002) dalam Poedyasmoro, dkk (2002) adalah keseimbangan
antara asupan (intake) dan kebutuhan (requirement) zat gizi. Status gizi baik (seimbang) bila jumlah
asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan, status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam
bentuk gizi kurang yaitu jumlah asupan zat kurang dari yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi lebih bila
asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Selain itu” status gizi juga berarti sebagai ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variabel tertentu seperti; Gondok Endemik yang merupakan keadaan tidak seimbangnya antara
pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh
Berusia 7 – l2 tahun
Pertumbuhan relatif lambat dan anak balita, pertumbuhan berat 1,8 sampai 3,1 kg/tahun.
Aktivitas fisik tinggi sehingga membutuhkan energi untuk bergerak, olah raga
Pada masa ini anak mulai bisa memasuki dunia baru kemudian mulai berhubungan dengan orang-orang
di luar keluarganya, suasana dan lingkungan baru dan dalam hal baru lainnya. Pada usia 7-12 tahun
pertumbuhan anak masih berjalan sangat cepat, tetapi pada usia 8-10 tahun laju pertumbuhan mulai
menurun. Tetapi dengan adanya aktifitas yang mulai beragam seperti; olah raga, membantu orang tua,
maka kebutuhan gizinya lebih besar. Sebagai akibatnya karakteristik anak sebagai berikut; pertumbuhan
tubuh masih relatif cepat, kebutuhan. Zat-zat makanan relatif lebih banyak anak mulai
memilih/menentukan makanannya sendiri serta kadang-kadang timbul kesukaan yang berlebihan
terhadap makanan tertentu ”Food Raddism” (Mustafa, 1990).
Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensial, yaitu berkaitan antar mata rantai sistem
pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, indikator
ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi,
ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi
(Suhardjo, 1996) dalam Hardinsyah (1998). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan
pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi
merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia
(Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002).
Pengembangan operasional konsep ketahanan pangan rumah tangga oleh Sutrisno (1996) dan
Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat dilihat dari
tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak tahan pangan bila tingkat
kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan pangan bila tingkat
kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan apabila tingkat
kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%.
2.4 HIPOTESIS
BAB III
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional untuk
mengetahui hubungan variabel bebas dan terikat bercirikan sampel dari populasi yang diukur sesaat atau
pengukuran dilakukan secara bersamaan (satu kali saja). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif
dalam mengumpulkan data kecukupan konsumsi gizi rumah tangga serta status gizi.
Penelitian ini dilakukan di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Waktu
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada Bulan September Tahun 2010.
Subjek Penelitian
Populasi
Populasi yang memiliki karakteristik penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang memiliki anak
sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu. Jumlah
populasi penelitian tersebut sebanyak 591 rumah tangga, yang terbagi menjadi 6 kelas (strata). Dimana
kelas 1 (satu) berjumlah 90 rumah tangga, kelas 2 (dua) berjumlah 147 rumah tangga, kelas 3 (tiga)
berjumlah 125 rumah tangga, kelas 4 (empat) berjumlah 89 rumah tangga, kelas 5 (lima) berjumlah 84
rumah tangga serta kelas 6 (enam) berjumlah 56 rumah tangga.
Sampel
Jumlah Sampel
Sampel dalam penelitian ini merupakan bagian dari populasi penelitian tersebut, dengan kriteria inklusi :
Sedangkan kriteria ekslusinya adalah rumah tangga yang memiliki 1 (satu) anak sekolah usia 7-12 tahun
dan tidak tinggal satu atap dengan orang tuanya.
Besarnya sampel penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus menurut Azrul Azwar, dkk, (1987) :
n = n1 =
10² 1 + 96,04
591
Jadi, jumlah sampel penelitian ini diperoleh sebanyak 82,793 yang dibulatkan menjadi 83 rumah tangga.
Keterangan :
q = 100% – p = 50 %
Untuk memperoleh pembagian sampel dalam masing-masing kelas maka populasi diproporsionalkan
dalam persentase menurut besarnya unit yang ada di dalam masing-masing kelas populasi tersebut.
Proporsional ini dilakukan dengan menggunakan rumus:
Setelah diperoleh masing-masing proporsi unit sampel berdasarkan populasi, kemudian dapat ditentukan
jumlah masing-masing sampel dalam kelasnya, dengan menggunakan rumus:
Pembagian populasi, proporsi sampel dan jumlah sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
3.1. Distribusi Populasi dan Sampel Rumah Tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten
Tanah Bumbu. Tahun 2010.
Kelas
Populasi
Proporsi (P)
Sampel
(rumah tangga)
Kelas 1
90
15
13
Kelas 2
147
25
21
Kelas 3
125
21
17
Kelas 4
89
15
13
Kelas 5
84
14
11
Kelas 6
56
10
Jumlah
591
100
83
Kemudian sampel diambil secara acak menurut masing-masing unit sampel yang telah ditentukan dalalm
kelasnya dengan menggunakan undian berdasarkan nomor urut anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa
Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010 yang telah di data, selanjutnya
dilakukan kunjungan ke rumah tangga anak sekolah tersebut untuk pengambilan data lanjutan.
Variabel penelitian dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua) variabel, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebasnya adalah ketahanan pangan rumah tangga yaitu tingkat kecukupan konsumsi zat
gizi dan variabel terikatnya adalah status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan
Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
NO
VARIABEL
DEFINISI OPERASIONAL
HASIL UKUR
SKALA UKUR
1.
dikonsumsi oleh setiap orang setiap harinya dibandingkan dengan angka kecukupan
Sutrisno (1996) dan Sukandar (1998) dalam Sukandar, dkk (2001) menyatakan bahwa ketahanan
pangan dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi zat gizi. Suatu rumah tangga dinyatakan tidak
tahan pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein di bawah 75%, kemudian akan tahan
pangan bila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein antara 75-l00%, serta sangat tahan pangan
apabila tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein keduanya di atas 100%.
Ordinal
2.
Keadaan gizi anak usia 7-12 tahun sebagai akibat penggunaan zat-zat essential yang dapat diukur
(dinilai) secara langsung melalui parameter berat badan dan tinggi badan anak
Kemudian dihitung berdasarkan rumus IMT dan dimasukkan ke dalam Baku Antropometri Indeks Massa
Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000).
Kemudian Baku Antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT-AS) Edisi Revisi menurut Jahari (2000),
dikategorikan:
Normal
Kurang
Gemuk
Kegemukan
Ordinal
Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; form recall 2x24jam, tape recorder serta form isian.
Dimana dalam wawancara, form recall 2x24jam merupakan panduan wawancara yang berisikan
pertanyaan tentang konsumsi makanan anggota keluarga selama 2 (dua) hari yang juga direkam melalui
tape recorder untuk mencek kembali informasi yang diperoleh. Selain itu, terdapat pula form isian guna
memperoleh data tentang identitas rumah tangga serta mencatat hasil pengukuran parameter dari status
gizi anak.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder yang meliputi :
1 Data Primer
Data primer dikumpulkan peneliti melalui kunjungan kerumah sampel terpilih dan bila sampel menyetujui,
enumerator melakukan kegiatan yang meliputi:
Status ketahanan pangan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung (tingkat kecukupan
konsumsi zat gizi rumah tangga) diperoleh dengan cara me-recall konsumsi anggota rumah tangga
menggunakan form recall 2×24 jam.
Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun diidentifikasi dengan melakukan pengukuran BB dan TB
masing-masing anak yang menjadi sampel di dalam rumah tangga.
Data Sekunder
Data Sekunder dikumpulkan peneliti dengan mengunjungi instansi di desa maupun instansi pemerintah
terkait guna memperoleh data, yang meliputi :
Profil Desa
Dalam pengukuran ketahanan pangan rumah tangga, nilai konsumsi energi dan protein diperoleh melalui
recall 2×24 jam dengan pendekatan penyediaan pangan yang disajikan dalam rumah tangga. Sedangkan
angka kecukupan energi dan protein dalam ketahanan rumah tangga adalah total dari angka kecukupan
energi dan protein masing-masing individu dalam rumah tangga (Supariasa, 2002).
≤ 75
75-100
≥100
≤ 75
75-100
Tahan Pangan
Tahan Pangan
≥100
Tahan Pangan
Ketahanan pangan rumah tangga yang diukur dengan indikator dampak secara langsung (tingkat
kecukupan konsumsi zat gizi rumah tangga) serta status gizi anak dianalisis secara deskriptif. Kemudian
ketahanan pangan dihubungkan dengan status gizi anak dengan menggunakan uji analisa statistik
Korelasi “Spearman Rank”, syarat α=0,05 dengan ketentuan:
– Ho = Tidak ada hubungan ketahanan pangan dengan status gizi anak sekolah.
Dalam penelitian ini data deskriftif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi (tabulasi). Sedangkan hasil
uji analisis hubungan disajikan dalam bentuk tabulasi silang (crosstab).
Tahap Persiapan
Mengurus ijin ke instansi terkait dengan dengan penelitian guna memperoleh data sekunder
Tahap Pelaksanaan
Tahap Evaluasi
Menganalisa data
Adapun keterbatasan dan kelemahan yang ada dalam proses penelitian ini, yaitu:
Kurangnya food models sebagai panduan ukuran makanan yang akan memudahkan peneliti dalam
mengkonversikan makanan yang dikonsumsi setiap anggota rumah tangga dalam satuan ukuran rumah
tangga (URT).
Kurangnya kemampuan (daya ingat) responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi beberapa
hari yang lalu, sehingga menimbulkan kesulitan peneliti dalam me-recall apa yang telah dikonsumsinya
responden.
Walaupun terdapat beberapa keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini seperti yang telah
tercantum di atas, tetapi peneliti telah melakukan metode alternatif lain guna mengatasi (mengurangi)
kesalahan dalam penelitian ini antara lain; mengganti food models yang tidak ada atau rusak dengan
menggunakan mainan edukasi seri “Makanan” serta mengkategorikan ukuran makanan (seperti besar,
sedang, kecil dan lain-lain) yang bertujuan mengarahkan responden dalam menetapkan URT yang
sesuai dengan jumlah makanan yang telah mereka konsumsi sehingga peneliti dapat mengetahui
kecukupan energi dan protein seluruh anggota rumah tangga.
BAB IV
Hasil Penelitian
Berdasarkan tata letak geografis, wilayah Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu
terletak di pesisir pantai antara 2º52-3º47’LS dan 115º15-116º04’ BT. Suhu udara berkisar antara 22,4ºC-
32,0ºC, dimana suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober (32,0ºC) dan suhu udara
minimum terjadi pada bulan Agustus (22,4ºC).
Desa Batulicin yang mempunyai luas wilayah 4,170 ha yang terdiri dari pemukiman, bangunan,
ladang/tegalan, hutan, tempat rekreasi, perikanan darat/air tawar, rawa, tanah kritis dan padang ilalang.
Menurut BPS Tahun 2007-2008, Batas Administrasi Desa Batulicin ini berbatasan dengan:
Potensi dari Desa Batulicin adalah perikanan, perdagangan, industri, pariwisata, perternakan, dan
perkantoran. Hal ini didukung dengan kemudahan dari sebagian besar dari wilayah yang dapat ditempuh
dengan melalui jalan darat dan jalan laut sehingga dapat menggunakan sarana transportasi roda empat
dan roda dua maupun sarana transportasi laut.
Jumlah penduduk desa menurut Badan Kependudukan, Keluarga Berencana dan Catatan Sipil pada
tahun 2010 berjumlah 5.889 jiwa, dimana jumlah penduduk laki-laki berjumlah 2.905 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan 2.984 jiwa serta diketahui pula jumlah kepala keluarga (KK) berjumlah 1.675
orang.
Mata pencaharian penduduk wilayah ini sebagian besar adalah nelayan sebanyak 47%, sedangkan
sebagian lainnya adalah sektor jasa/perdagangan 26%, pegusaha besar/kecil 14% dan peternak 13%.
Indikator dampak secara langsung dari ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat konsumsi rumah
tangga baik energi dan protein. Hal ini dapat dilihat dari gambaran TKE/TKP yang diperoleh dalam
penelitian seperti pada distribusi frekuensi di bawah ini:
≤ 75
75-100
≥100
≤ 75
75-100
27
31
≥100
11
Dari tabel di atas dapat dijabarkan bahwa konsumsi energi dan protein ≤ 75% sebanyak 5 rumah tangga,
kemudian konsumsi energi dan protein sebanyak 75 – 100% sebanyak 25 rumah tangga dan konsumsi
energi dan protein ≥100% hanya sebanyak 4 rumah tangga.
Masih adanya konsumsi energi dan protein ≤ 75% di desa batulicin dikarenakan pendapatan mereka
masih di bawah rata-rata, hal ini kemudian berdampak pada kemampuan daya beli masyarakat desa
akan bahan makanan menurun sehingga kecukupan konsumsi energi dan protein tidak bisa terpenuhi
sesuai umur masing- masing anggota rumah tangga.
Hal ini seiring dengan gambaran status ketahanan pangan yang disimpulkan dengan tabulasi di bawah
ini:
Frekuensi
Persentase (%)
7,2
Tahan Pangan
66
79,5
Sangat Tahan Pangan
11
13,3
Jumlah
83
100
Dari hasil prosentase gambaran tersebut, diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan
sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), rumah tangga dengan status tahan pangan sebanyak 66 rumah
tangga (79,5% ) dan rumah tangga dengan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah tangga
(13,3%).
Walaupun masih terdapat banyak rumah tangga dengan status tahan pangan, akan tetapi rumah tangga
dengan status tidak tahan pangan tetap menjadi prioritas perhatian bagi berbagai kalangan. Adapun hal
yang mempengaruhi rumah tangga menjadi status tidak tahan pangan adalah mata pencaharian
penduduk desa yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Faktor ini tentunya
sangat berdampak pada ketahanan pangan rumah tangga, karena selain pendapatan rendah, mereka
juga tidak dapat menghasilkan sumber makanan utama yang dapat dikonsumsi oleh anggota rumah
tangga guna mencukupi konsumsi energinya yang merupakan zat gizi utama dalam mengukur ketahanan
pangan rumah tangga.
Karakteristik status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten
Tanah Bumbu berdasarkan IMT Anak Sekolah (Baku Antropometri) adalah sebagai berikut:
Frekuensi
Persentase (%)
Normal
70
84,3
Kurang
9,6
Gemuk
3,6
Kegemukkan
2,4
Jumlah
83
100
Dari hasil penelitian telah didapatkan bahwa anak sekolah yang memiliki status gizi kurang sebanyak 8
orang (9,6%), anak sekolah yang memiliki status gizi normal sebanyak 70 orang (84,3%), anak sekolah
yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 3 orang (3,6%) dan anak sekolah yang memiliki status gizi
kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%).
Masih terdapatnya anak dengan status gizi kurang merupakan salah satu dampak dari ketidakmampuan
rumah tangga dalam menyediakan pangan dalam rumah tangganya sendiri. Hal ini mengakibatkan
kecukupan gizi anak berdasarkan usiannya tidak seimbang, sehingga terjadinya malnutrisi.
4.1.4 Hubungan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Sekolah
Hubungan ketahanan rumah tangga melalui indikator dampak secara langsung yaitu tingkat kecukupan
konsumsi energi dan protein dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 Tahun 2010 yang merupakan
indikator dampak secara tidak langsung dapat dilihat pada tabulasi silang di bawah ini:
Tahun 2010
Ketahanan Pangan
Total
Normal
Kurang
Gemuk
Kegemukkan
Frek
Frek
Frek
Frek
%
Frek
100
100
Tahan Pangan
61
92,4
3,0
3,0
1
1,5
66
100
81,8
9,1
9,1
11
100
Total
70
84,3
9,6
3
3,6
2,4
83
100
Berdasarkan Tabel 4.4. yang menggambarkan keterkaitan antara status ketahanan pangan rumah
tangga dengan status gizi anak sekolah, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ketahanan pangan
rumah tangga maka akan berbanding lurus dengan peningkatan status gizi pada anak sekolah. Hal ini
dikarenakan apabila ketahanan pangan rumah tangga berada dalam kondisi bagus kemudian disertai
pengetahuan ibu akan pentingnya gizi anak dalam masa pertumbuhan serta kesadaran anggota rumah
tangganya maka status gizi anak sekolah tanpa adanya penyakit infeksi (dalam keadaan sehat) akan
berdampak pula peningkatannya (gizi baik).
4.2 Pembahasan
Setelah dilakukan pengujian analisis hubungan ketahanan pangan rumah tangga dengan status gizi
anak sekolah (usia 7-12 tahun) di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun
2010 dengan Uji Analisis Non Parametrik “Korelasi Spearman Rank” telah menghasilkan significant (p)
sebesar 0,007 dengan tingkat kepercaayaan 95% (α=0,05), maka p ≤ α atau 0,007 ≤ 0,05 artinya Ho
ditolak dan Ha diterima.
Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah tangga dengan status gizi anak sekolah
usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Tri Bastuti Purwantini (1999) yang menyatakan tingkat konsumsi energi
dan protein merupakan dua indikator indikator mutu gizi yang umum digunakan untuk mengukur status
gizi. Sesuai rekomendasi energi dan protein masing-masing individu agar seseorang dapat hidup sehat
dan dapat aktif menjalankan aktivitas sehari-hari secara produktif sebesar 2.200 Kkal/kapita/hari untuk
energi dan 50 gram/kapita/hari untuk protein. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan pula
bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga
yang dari sisi gizi cukup (>80% dari syarat kecukupan). Sedangkan pada kelompok yang kurang pangan
dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang
direkomendasikan.
Kemudian Waryana (2010) dalam bukunya yang berjudul “Gizi Reproduksi” mengungkapkan bahwa
kekurangan gizi pada anak usia sekolah disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung.
Penyebab langsungnya adalah makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak.
Sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah ketahanan pangan di rumah tangga, pola pengasuhan
serta pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan.
Sebagai penyebab langsung kekurangan gizi, makanan diserap untuk menghasilkan energi guna tumbuh
kembang tingkat kecerdasan serta fungsi otak anak yang merupakan jaringan tubuh yang sangat
sempurna struktur dan fungsinya. Apabila energi yang diperoleh dalam makanan tidak cukup, maka kerja
dan fungsi tubuh akan kurang dari kapasitasnya yang berdampak pada gangguan pertumbuhan fisik,
serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan anak dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap
penyakit. Sedangkan penyebab langsung kekurangan gizi lainnya yaitu infeksi penyakit juga dapat
memperburuk gizi anak dengan menurunnya nafsu makan, kehilangan cairan bila disertai diare atau
muntah, naiknya metabolisme basal anak yang pada akhirnya terjadinya gizi kurang atau gizi buruk.
Kedua penyebab langsung ini saling berkaitan, anak yang mendapat makanan yang cukup dan baik
tetapi sering diare atau demam dapat menderita kekurangan gizi, begitu pula apabila anak yang tidak
mengkonsumsi makanan yang cukup dan baik maka daya tahan tubuh akan melemah sehingga mudah
terserang penyakit.
Kemudian penyebab tidak langsung kekurangan gizi meliputi ketahanan pangan rumah tangga, pola
pengasuhan, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Makin tinggi kemampuan anggota
keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah cukup maupun
baik mutunya, maka makin baik pula kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan
dukungan terhadap anak sehingga akan diiringi makin banyaknya pelayanan kesehatan dan kesehatan
lingkungan yang dimamfaatkan keluarga guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dengan status rumah tangga yang tahan pangan, berarti kebutuhan pangan seluruh anggota rumah
tangga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya bisa terjamin, hal ini kemudian meningkatkan pula
pola pengasuhan anak dan keluarga pun makin banyak memamfaatkan pelayanan kesehatanan yang
ada dengan sebaik-baiknya sehingga dapat tercapai status gizi anak secara optimal baik fisik, mental
maupun sosial.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini, antara lain:
Status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu
Tahun 2010 adalah gizi kurang sebanyak 8 orang (9,6%), normal sebanyak 70 orang (84,3%), gemuk
sebanyak 3 orang (3,6%) dan kegemukan sebanyak 2 orang (2,4%).
Ketahanan rumah tangga di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010
diperoleh rumah tangga dengan status tidak tahan pangan sebanyak 6 rumah tangga (7,2%), status
tahan pangan sebanyak 66 rumah tangga (79,5% ) dan status sangat tahan pangan sebanyak 11 rumah
tangga (13,3%).
Uji analisis dengan “Korelasi Sperman Rank” mengungkapkan bahwa ada hubungan ketahanan rumah
tangga dengan status gizi anak sekolah usia 7-12 tahun di Desa Batulicin Kecamatan Batulicin
Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2010.
5.2. Saran
Adapun beberapa saran peneliti guna memberikan kontribusi positif sesuai ruang lingkup penelitian ini,
yaitu :
Bagi Pemerintah:
Meningkatkan kebijakan di bidang gizi agar dapat lebih menunjang perbaikan gizi masyarakat sehingga
status gizi masyarakat dapat tercapai secara optimal.
Meningkatkan kerjasama aktif secara berkesinambungan dalam melaksanakan intervensi gizi melalui
Program Perbaikan Gizi Masyarakat terutama yang berkaitan dengan anak sekolah dan kesehatan
rumah tangga seperti Penyuluhan (di sekolah maupun di desa), Pemantauan Tumbuh-Kembang Anak
Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Pembinaan Dokter Kecil, Program Makanan Tambahan Anak
(PMT-AS), Penilaian Konsumsi Gizi (PKG), Kunjungan Rumah dan kegiatan lainnya.
Bagi Instansi Terkait (Dinas Pertanian, Kecamatan, Kelurahan, Lokalitbang, Dinas Kesehatan dan lain-
lain) :
Meningkatkan kerjasama lintas sektor guna bersama-sama mendorong masyarakat menjadi “Masyarakat
Sehat” seperti dalam kegiatan Penyuluhan, PKK, Pembinaan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), dan
kegiatan lain-lain.
Bagi Masyarakat :
Meningkatkan wawasan dan pengetahuan gizi (seperti mengikuti penyuluhan, aktif memamfaatkan
fasilitas kesehatan, dan kegiatan lainnya) yang berkaitan dengan faktor-faktor ketahanan pangan rumah
tangga serta status gizi anak sekolah sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
☻☻☻