D alam melakukan penilaian terhadap konsumsi energi dan protein secara agregat,
digunakan standar/Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi (WNPG). WNPG VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008 menganjurkan AKG di
tingkat konsumsi pangan sebesar 2.000 kilokalori/kapita/hari dan 52 gram/kapita/ hari. AKG
tersebut mengalami penyesuaian dalam WNPG X tahun 2012, dan telah ditetapkan dalam
Permenkes Nomor 75 tahun 2013 sebesar 2.150 kilokalori/kapita/hari dan 57
gram/kapita/hari. Untuk keperluan perencanaan dan evaluasi, AKG tersebut perlu
diterjemahkan dalam satuan yang dikenal oleh para penyelenggara pangan menjadi volume
bahan pangan atau kelompok pangan. PPH merupakan manifestasi konsep Gizi Seimbang
yang didasarkan pada konsep Triguna Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok
pangan merupakan syarat terwujudnya keseimbangan gizi. PPH merupakan susunan pangan
yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat konsumsi maupun ketersediaan, serta
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-1
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan evaluasi ketersediaan dan konsumsi
pangan penduduk.
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-2
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
kebutuhan beras sebagai sumber energi dan protein dapat berangsur-angsur dikurangi
(Hadiwigeno,1988).
Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor
utama yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi pola
konsumsi pangan adalah produksi pangan yang erat kaitannnya dengan ketersediaan
pangan, daya jangkau ekonomi (daya beli) dan faktor sosial budaya yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan faktor interrnal berupa keadaan fisiologi tubuh, umur serta tingkat
aktifitas masyarakat. Kedua faktor tersebut secara simultan akan mempengaruhi terhadap
preperensi seseorang atau masyarakat dalam menentukan pilihan bahan pangan yang akan
dikonsumsi. Berdasarkan Rekomendasi Widya Karya Pangan dan Gizi ke X Tahun 2012,
ditetapkan Angka Kecukupan Energi pada konsumsi kalori minimal 2.150 kkal/kapita/hari
dan protein minimal 57 gr/kapita/hari.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber daya hayati dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia. Termasuk di dalam pengertian pangan adalah bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Pengertian pangan di atas
merupakan definisi pangan yang dikeluarkan oleh badan dunia untuk urusan pangan, yaitu
Food and Agricultural Organization (FAO). Berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan,
pengertian pangan dikelompokkan berdasarkan pemrosesannya, yaitu: 1) Bahan makanan
yang diolah, yaitu bahan makanan yang dibutuhkan proses pengolahan lebih lanjut, sebelum
akhirnya siap untuk dikonsumsi. Pemrosesan di sini berupa proses pengubahan bahan dasar
menjadi bahan jadi atau bahan setengah jadi untuk tujuan tertentu dengan menggunakan
teknik tertentu pula. Contoh bahan makanan olahan adalah nasi, pembuatan sagu,
pengolahan gandum, pengolahan singkong, pengolahan jagung, dan lain sebagainya. Bahan
makanan yang tidak diolah, yaitu bahan makanan yang langsung untuk dikonsumsi atau
tidak membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut. Jenis makanan ini sering dijumpai untuk
kelompok buah-buahan dan beberapa jenis sayuran. Bahan baku pangan secara umum
dapat dikatakan untuk diolah lebih lanjut ataupun dapat langsung dikonsumsi (tanpa diolah).
Dalam proses pengolahan ini juga dibutuhkan bahan tambahan, berupa bumbu masak,
bahan-bahan penyedap, dan bahan-bahan lainnya yang berfungsi untuk pelengkap penyajian
makanan. Pengertian pangan yang dimaksudkan dalam penelitian ini atau sesuai dengan
kontek ketahanan pangan nasional difokuskan pada jenis pangan yang mendominasi
kandungan karbohidrat. Jenis makanan atau pangan yang dimaksudkan terdiri atas beras,
jagung, ketela, singkong, jenis ubi-ubian, dan jenis ketela.
Diversifikasi atau penganekaragaman adalah suatu cara untuk mengadakan lebih dari satu
jenis barang/komoditi yang dikonsumsi. Di bidang pangan, diversifikasi memiliki dua makna,
yaitu diversifikasi tanaman pangan dan diversifikasi konsumsi pangan. Kedua bentuk
diversifikasi tersebut masih berkaitan dengan upaya untuk mencapai ketahanan pangan.
Apabila diversifikasi tanaman pangan berkaitan dengan teknis pengaturan pola bercocok
tanam, maka diversifikasi konsumsi pangan akan mengatur atau mengelola pola konsumsi
masyarakat dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan. Menurut Riyadi (2003),
diversifikasi pangan merupakan suatu proses pemilihan pangan yang tidak hanya tergantung
pada satu jenis pangan, akan tetapi memiliki beragam pilihan (alternatif) terhadap berbagai
bahan pangan.
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-3
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
Pertimbangan rumah tangga untuk memilih bahan makanan pokok keluarga di dasarkan
pada aspek produksi, aspek pengolahan, dan aspek konsumsi pangan. Penganekaragaman
pangan ditujukan tidak hanya untuk mengurangi ketergantungan akan jenis pangan tertentu,
akan tetapi dimaksudkan pula untuk mencapai keberagaman komposisi gizi sehingga mampu
menjamin peningkatan kualitas gizi masyarakat. Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal
baru dalam peristilahan kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia karena konsep
tersebut telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar. Kasryno, et al
(1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan
perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan
distribusi. Pakpahan dan Suhartini (1989) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi
pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi
pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Kedua penulis
tersebut menterjemahkan konsep diversifikasi dalam arti luas, tidak hanya aspek konsumsi
pangan tetapi juga aspek produksi pangan. Pakpahan dan Suhartini (1989) menetapkan
konsep diversifikasi hanya terbatas pangan pokok, sehingga diversifikasi konsumsi pangan
diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan
konsumsi bahan pangan non-beras.
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-4
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
diperlukan suatu parameter. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai
tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Dengan PPH diketahui
tidak hanya pemenuhan kecukupan gizi tetapi sekaligus juga mempertimbangkan
keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat,
kuantitas dan kemampuan daya beli. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan
penduduk berdasarkan skor pangan, dimana semakin tinggi skor pangan maka semakin
beragam dan semakin baik komposisinya. Selama ini informasi tentang situasi pangan atau
pola konsumsi pangan baru mencakup pangan pokok saja, sehingga belum bisa memberikan
gambaran lengkap tentang kualitas konsumsi pangan penduduk.
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-5
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
Komposisi di atas adalah hasil penyempurnaan PPH dan Skor PPH yang dilakukan oleh Badan
Urusan Ketahanan.
Pangan Departemen Pertanian pada tahun 2001, disesuaikan dengan Angka Kecukupan
Energi berdasarkan WNPG X tahun 2012 yaitu 2.400 kal. Dengan komposisi bahan makanan
seperti diatas, pada tahun 2020 diharapkan dapat mencapai skor PPH sebesar 100. Sahardjo
(1992) menyatakan bahwa dengan adanya PPH maka perencanaan produksi dan penyediaan
pangan dapat didasarkan pada patokan pengambangan komoditas seperti yang telah
dirumuskan PPH untuk mencapai sasaran kecukupan pangan dan gizi penduduk. Dengan PPH
perencanaan di sektor pertanian diharapkan akan dapat mengetahui berapa besarnya
pangan yang dibutuhkan oleh penduduk. Pola Pangan Harapan (PPH) juga dapat
memberikan patokan bagi perencanaan di bidang pangan yang harus ditingkatkan produksi
dan keragamannya.
PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian
dikembangkan oleh departemen pertanian Republik Indonesia melalui tahap workshop yang
diselenggarakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan FAO. Tujuan utama
penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang
dianjurkan, yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi
dan sesuai cita rasa.
Awalnya PPH untuk kawasan Asia Pasifik dikembangkan berdasarkan data pola pangan (pola
ketersediaan pangan) dari neraca bahan pangan karena bahan inilah yang mudah tersedia
dan tersedia secara berkala setiap tahun. Sementara data konsumsi pangan dari berbagai
negara di kawasan Asia Pasifik tidak tersedia secara terbuka. Melalui pendekatan PPH,
keadaan perencanaan penyediaan dan konsumsi pangan penduduk diharapkan tidak hanya
dapat memenuhi kecukupan gizi (Nutritional Adequacy), tetapi sekaligus
mempertimbangkan keseimbangan gizi (Nutritional Balance) yang didukung oleh cita rasa
(Palatability), daya cerna (Digestability), daya terima masyarakat (Acceptability), kuantitas
dan kemampuan daya beli (Affortability).
Pola pangan harapan (PPH) atau desirable dietary pattern (DDP) adalah susunan beragam
pangan yang didasarkan pada sumbangan energy tiap kelompok pangan (baik secara absolut
maupun relatif) dari suatu pola ketersedian dan konsumsi pangan. FAO – RAPA (1989)
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-6
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
mendefinisikan PPH sebagai komposisi dari kelompok – kelompok pangan utama yang ketika
disiapkan untuk dikonsumsi sebagai makanan untuk memenuhi kebutuhan kalori akan
memberikan semua zat gizi dalam jumlah yang mencukupi. Pola Pangan Harapan (PPH)
merupakan penilaian kualitas konsumsi pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan
komposisi energi dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). PPH
merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan
untuk memenuhi kebutuhan energidan zat gizi pada komposisi yang seimbang (Hardinsyah,
2001).
Kriteria (Suyatno,2009) Kriteria Skor PPH sebagai berikut: Skor PPH < 78 : Segitiga Perunggu
Skor PPH 78- 88 : Segitiga Perak Skor PPH > 88 : Segitiga Emas. Semakin tinggi skor PPH,
konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi seimbang. Jika skor konsumsi pangan
mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan.
Data yang digunakan dalam penghitungan skor PPH adalah data jumlah konsumsi
energi per kelompok pangan. Proporsi konsumsi energi untuk masing-masing
kelompok hasil kesepakatan Deptan tahun 2001 yaitu : (1) Padi-padian 50%, (2)
Umbi-umbian 6%, (3) Pangan hewani 12%, (4) Minyak dan lemak 10%, (5) Buah dan
biji berminyak 3%, (6) Kacang-kacangan 5%, (7) Gula 5%, (8) Sayur dan buah 6%,
serta (9) Lain-lain (bumbu) 3%. Selanjutnya, berdasarkan hasil perkalian antara
proporsi energi dari masingmasing kelompok pangan dengan masing-masing
pembobotnya diperoleh skor PPH. Dalam konsep PPH akan diperoleh skor ideal
sebesar 100, yang artinya kualitas konsumsi pangan penduduk disebut ideal apabila
mempunyai skor PPH sebesar 100.
Dalam penghitungan skor PPH, setiap kelompok pangan diberi bobot yang didasarkan pada
fungsi pangan dalam triguna makanan (sumber karbohidrat/zat tenaga, sumber protein/zat
pembangun, serta vitamin dan mineral/zat pengatur). Ketiga fungsi zat gizi tersebut memiliki
proporsi yang seimbang, masing – masing sebesar 33.3% (berasal dari 100% dibagi 3).
Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut:
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-7
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
Gambar 1.
Pembobotan dalam Kelompok Pangan PPH Susunan Pola Pangan Harapan Nasional
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-8
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
PENYUSUNAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KOTA CILEGON TAHUN 2019 2-9
MANAJEMEN PELAKSANAAN KERJA BAB II
a. Jika data konsumsi pangan merupakan jenis makanan olahan yang terbuat dari
beberapa jenis bahan pangan, maka uraikan terlebih dahulu menjadi beberapa
jenis pangan tunggal penyusunnya dengan jumlah sesuai satuan berat
masing-masing pangan Misalnya 1 porsi sambal goreng hati bahan
utamanya adalah 8 buah kentang dan 300 gram hati sapi.
b. Jika satuan berat dalam ukuran rumah tangga (URT), maka lakukan konversi
berat setiap jenis pangan dari URT menjadi gram. Misalnya 8 buah kentang
sepadan dengan 400 gram, dengan mengacu pada daftar konversi URT yang
disepakati berlaku di wilayah masing-masing.
c. Jika yang diketahui adalah berat masak, maka perlu dihitung berat mentahnya
dengan cara mengalikan berat masak dengan faktor konversi mentah.
Misalnya 200 gram goreng hati sepadan dengan 200 x 1,5 = 300 gram hati
sapi.
d. Jika pangan diolah menggunakan minyak, maka berat minyak yang diserap
pangan perlu dihitung dengan cara mengalikan berat mentah pangan dengan
faktor persen penyerapan minyak. Misalnya 300 gram hati sapi menyerap
sebanyak 300 x 4,8% = 15 gram minyak goreng.
C. Menghitung sub total kandungan energi menurut kelompok pangan
Pada tahap ini dilakukan penghitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang
dikonsumsi dengan bantuan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Kolom
energi dalam DKBM menunjukkan kandungan energi (kkal) per 100 gram bagian
yang dapat dimakan (BDD).
Contoh :
E. Menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan terhadap total energi
aktual (%)
Pada tahap ini adalah untuk menilai pola/komposisi energi setiap kelompok pangan
dengan cara menghitung kontribusi energi dari setiap kelompok pangan di bagi
dengan total energi aktual seluruh kelompok pangan dan dikalikan dengan 100%.
CONTOH
Contoh :
Kontribusi energi dari kelompok padi-padian terhadap AKE
adalah