Instabilitas Beras
Pengenalan isu :
INDONESIA saat ini tengah menunjukkan tanda-tanda kecanduan impor pangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari hingga Agustus 2023, angka
impor beras melonjak menjadi 1,59 juta ton, dari yang hanya 237.146 ton pada periode yang
sama tahun lalu.
Impor jagung pada periode tersebut juga naik 25,25%. Bahkan pada Agustus terjadi kenaikan
impor jagung sebesar 611,3% menjadi 202,2 ribu ton. Baik beras maupun jagung, sama-sama
merupakan komoditas pangan yang juga diproduksi di dalam negeri. Tentu saja menjadi
pertanyaan, mengapa kita harus mengimpor sebegitu besarnya, sedangkan di tahun atau
periode sebelumnya jauh lebih kecil.
Masalah :
Berbagai alasan dilontarkan. Namun, yang paling kerap disodorkan ialah dampak fenomena
El Nino terhadap produksi pangan tahun ini. Bertameng El Nino, Perum Bulog yang pada
Agustus menyatakan tidak akan menambah impor beras, sebulan kemudian menelan ludah
sendiri.
Pada September, lembaga ketahanan pangan kepanjangan pemerintah itu menyebut akan
menambah impor 1 juta ton beras dengan alasan antisipasi El Nino.
Alasan impor diperkuat oleh situasi harga beras yang cenderung terus naik sejak akhir tahun
lalu. Kenaikan harga itu disebut karena produksi di Tanah Air tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, apalagi ditambah alasan dampak kekeringan akibat
fenomena El Nino.
Argumentasi :
Kini, ketika 1,59 juta ton beras impor telah masuk, apakah harga beras turun? Tidak.
Artinya, ada persoalan lain yang membuat harga beras membandel tetap mahal, lebih dari
sekadar persoalan keterbatasan produksi lokal.
Tidak salah bila kemudian kecurigaan publik mengarah pada adanya upaya para pemburu
rente untuk melestarikan impor. Terlebih saat ini ada kebutuhan untuk menghimpun modal
memenangi pemilu.
Menarik apa yang dipaparkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios)
Bhima Yudhistira. Bhima mengungkap adanya lonjakan impor beras oleh pemerintah tiap
kali menjelang pemilu.
Di 2018 atau setahun sebelum Pemilu 2019, impor beras naik drastis 622% ketimbang
2017. Lonjakan serupa juga terlihat menjelang Pemilu 2014 dan Pemilu 2009. Harga beras
yang terus merangkak naik sejak tahun lalu tanpa ada hasil kentara menurunkan harga juga
menimbulkan kekhawatiran lain. Jangan-jangan kendali harga pangan sudah terlepas dari
tangan pemerintah.
Penegasan ulang :
Tahun lalu, Perum Bulog mulai mengeluhkan telah kalah bersaing dengan pihak swasta
dalam menyerap beras petani. Tentu saja itu membuat cadangan beras Bulog sulit
terpenuhi dan makin bergantung pada impor.
Oligarki bergerak menguasai stok beras dan mencaplok lahan petani-petani kecil. Kuasa
oligarki pangan sudah tampak di daerah produsen pangan seperti Sumatra Utara. Dinas
perdagangan setempat terheran-heran harga beras mahal kendati wilayah mereka
mengalami surplus.
Rasanya kita tidak akan terperangah bila ternyata pemburu rente impor dan pelaku oligarki
pangan ialah pemain-pemain yang sama. Kita perlu mengingatkan kembali tanggung jawab
pemerintah kepada rakyat. Salah satunya menyediakan pangan berkualitas yang
terjangkau, baik dari sisi harga maupun jumlah.
Upaya mewujudkan ketahanan pangan dengan swasembada bukan sekadar berupa program
makelar berburu cuan macam food estate, proyek lumbung pangan. Perlu perencanaan
yang matang disertai aturan main yang sehat dari hulu ke hilir agar petani-petani kecil
tidak tergilas dan rakyat tetap kenyang.
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/3183-instabilitas-beras