Anda di halaman 1dari 10

EKONOMI POLITIK EKSPOR DAN IMPOR BERAS

Pekerja mengemas beras medium untuk operasi pasar di Gudang Bulog Subdivisi Regional Meulaboh,
Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Rabu (10/1). Bedasarkan kesepekatan Tim Kementerian Perdagangan dan
Tim Satgas Pangan Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Jaya, harga jual beras
medium di kabupaten setempat seharga Rp 8.300 per kilogram atau Rp 124.500 per sak 15 kilogram,
harga tersebut lebih murah dari ketentuan Harga Enceran Tertinggi (HET) yang dikeluarkan dalam
(Permendag) No 57/M-DAG/PER/8/2017.

Secara teknis, impor merupakan kegiatan ekonomi biasa. Dia tak berbeda dengan aktivitas
ekspor. Dalam hubungan perdagangan dunia, impor dan ekspor adalah aktivitas lumrah. Ekspor
dilakukan untuk mendapatkan devisa. Sebaliknya, impor menjadi bagian dari upaya untuk
memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor, demikian juga ekspor, merupakan
aktivitas yang netral. Tidak ada muatan negatif dan sejenisnya.

Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor seringkali menjadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama
pada impor komoditas yang kental muatan politik seperti beras. Seperti umumnya di negara-
negara Asia, di Indonesia beras merupakan komoditas pendorong utama inflasi. Inflasi yang
tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, bakal tergerus. Inflasi yang tinggi
membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, naiknya
suku bunga akan menghancurkan sektor riil.

Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari
Sabang sampai Serui tergantung pada beras. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari
pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan
protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai
54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.

Dari sisi produsen, usaha tani padi melibatkan 14,147 juta rumah tangga, tertinggi di antara
komoditas penting lainnya. Makanya, di Indonesia—dan sebagian besar negara di Asia—
berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditas upah (wage goods), tapi juga
komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena
menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi, dan nasional.

Dalam konteks seperti ini mudah dipahami apabila keputusan impor 0,5 juta ton beras dari
Vietnam dan Thailand memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita, tidak ingin mengambil risiko harga beras terus naik lantaran
pasokan terbatas. Operasi pasar beras terbukti belum efektif menekan harga. Padahal, operasi
pasar diperluas dari 1.100 titik pada 2017 menjadi 1.800 pada Januari 2018.

Bagi yang kontra, impor beras merupakan pengkhianatan pada petani. Selama ini petani
didorong berproduksi tinggi dengan disuntik subsidi pupuk dan benih, bantuan alat dan mesin
pertanian. Saat produksi tinggi, seperti diyakini Kementerian Pertanian bahwa produksi padi
2017 mencapai 81,3 juta ton gabah kering giling atau setara 46,3 juta ton beras, kok impor beras.
Dengan konsumsi 114,12 kg/kapita/tahun, total konsumsi beras 260 juta penduduk setara 29,7
juta ton beras. Ada surplus 16,6 juta ton beras.

Impor juga menyinggung Presiden Jokowi. Dengan mengusung Nawa Cita, Presiden
berulangkali berikrar bahwa impor pangan, termasuk beras, harus dihentikan. Keputusan impor
beras bukan saja bagai menjilat ludah sendiri, tapi juga bisa dimaknai menelikung petani. Di
tahun politik, terutama menjelang Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2019, langkah ini bakal
menggerus popularitas dan elektabilitas Presiden.

Lebih dari itu, bahkan ada yang mencurigai impor beras merupakan cara mudah untuk mengais
tabungan dana segar buat modal bertarung di tahun politik. Kecurigaan ini tidak bisa dilepaskan
dari tingginya disparitas harga beras di pasar dunia dengan di pasar domestik. Menurut data
FAO, sepanjang 2017 harga beras Vietnam sekitar US$0,31/kg (setara Rp 4.100/kg dengan kurs
Rp 13.225 per dolar AS), dan beras Thailand US$0,34/kg (Rp 4.496/kg). Sementara beras dalam
negeri senilai US$0,79/kg (Rp 10.447/kg).

Risiko semacam ini tidak akan terjadi apabila keputusan impor dibuat jauh-jauh hari.
Memutuskan impor saat ini, selain amat terlambat, juga berisiko besar apabila tidak dilakukan
mitigasi secara hati-hati. Seperti direncanakan, beras impor bakal datang akhir Januari. Di sisi
lain, Kementerian Pertanian memastikan pada Februari 2018 bakal panen raya. Kalau beras
impor disalurkan ke pasar amat potensial menekan harga lebih dalam. Sebaliknya, jika beras
tidak didistribusikan ke pasar, pertanyaannya: buat apa impor?

Dugaan saya, lewat impor ini pemerintah hendak mengirimkan sinyal ke pasar bahwa negara
masih punya kendali terhadap pasar beras. Sinyal ini penting agar tidak ada pihak-pihak,
terutama pelaku yang dominan, mengail untung di air keruh.
Kontroversi impor beras terjadi karena data pasokan dan permintaan berbeda di tiap instansi
pemerintah. Kementerian Pertanian menyatakan panen September 2017 dan Maret 2018 normal,
bahkan surplus bila dibanding kebutuhan dalam negeri 2,6 juta ton. Dengan demikian tidak ada
alasan impor.

Namun kenyataannya stok Bulog yang seharusnya mencapai 1,5 juta ton tinggal 875.000 ton dan
harga di pasaran naik sejak Desember sehingga Kementerian Perdagangan memutuskan untuk
mengimpor beras guna mengendalikan inflasi.

Kesimpangsiuran ini menjadi perbincangan publik dan menimbulkan penafsiran impor hanyalah
akal-akalan untuk mengeruk keuntungan di tahun politik. Apalagi bila impor 500.000 ton beras
dari Vietnam atau Thailand diperkirakan dapat menghasilkan keuntungan hingga Rp 1,5 triliun.

Pemerintah Harus Terbuka

Rencana impor beras yang diumumkan pemerintah menuai kritikan pedas. Pemerintah perlu
memberikan penjelasan gamblang dengan data akurat untuk menepis anggapan bahwa impor
hanyalah akal-akalan untuk mengeruk keuntungan di tahun politik. Data terkait produksi dan
kebutuhan dalam negeri harus akurat antarinstansi. Pemerintah juga tidak perlu ragu mengakui
bila ada miskoordinasi antarkementerian.

Awalnya pemerintah akan mengimpor 500.000 ton beras khusus dari Vietnam dan Thailand.
Ditunjuklah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), bukan Bulog, berdasarkan Permendag
No 1/2018 tertanggal 3 Januari 2018. Impor dilakukan karena pemerintah tak ingin kekurangan
stok yang saat ini tinggal 875.000 ton, serta mengantisipasi lonjakan harga beras.

Terkait kebijakan impor beras, menurut Ombudsman RI, terdapat gejala maladministrasi dalam
pengelolaan data stok dan rencana impor. Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih,
Senin (15/1), mengatakan, telah terjadi penyampaian informasi stok yang tidak akurat kepada
publik, pengabaian prinsip kehati-hatian, dan penggunaan kewenangan untuk tujuan lain. Selain
itu, terjadi penyalahgunaan kewenangan, prosedur tak patut atau pembiaran, serta konflik
kepentingan.

Menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Muhammad Syarkawi Rauf, faktor
penyebab kenaikan harga beras di pasaran dan ketidakstabilan pasokan beras saat ini antara lain
karena rendahnya kredibilitas data produksi beras yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Kementerian Pertanian, sistem distribusi beras yang rawan aksi spekulasi, serta peran
Bulog belum optimal.

Pada hari yang sama, pemerintah mengubah kebijakan. Menurut Menko Bidang Perekonomian
Darmin Nasution, pemerintah tetap mengimpor 500.000 ton beras namun pengimpornya adalah
Bulog, bukan PT PPI. Jenis berasnya pun bukan lagi beras khusus melainkan beras umum.

Menurut Yeka Hendra, penunjukan PT PPI sebagai pengimpor beras melanggar Perpres No
48/2016 dan Inpres No. 5/2015 yang mengatur bahwa institusi yang diberikan tugas impor dalam
upaya menjaga stabilitas harga beras adalah Perum Bulog. Karena itu, pemerintah mengubahnya
menjadi Bulog sebagai pengimpor.

Ditambahkan, seharusnya rencana impor ini ditetapkan pada September 2017 sehingga beras bisa
mulai masuk pada pertengahan Oktober 2017. Jika ini dilakukan, maka tidak akan terjadi
kenaikan harga beras seperti sekarang ini. Dengan kebijakan impor yang baru diputuskan
pertengahan Januari, beras diperkirakan masuk di akhir Februari 2018 atau Maret 2018. Pada
saat itu, stok beras sudah mengalami peningkatan sehingga tanpa ada impor pun harga beras
akan menurun.

Yeka membenarkan bahwa stok pangan akhir tahun 2017 di Bulog jauh di bawah kondisi
idealnya. Padahal stok beras di Bulog yang aman untuk cadangan pangan nasional sebesar 1,5
juta ton antara lain untuk penyaluran Beras Sejahtera (Rastra) dan untuk operasi pasar serta
untuk memberikan keamanan bagi psikologi pasar dalam mencegah efek spekulan.

Menurut Yeka, kenaikan harga beras medium sebetulnya mulai terjadi memasuki bulan
November 2017 dan hingga Januari 2018 harga terus meningkat.

Sejak harga beras mengalami peningkatan November 2017, Satgas Pangan sibuk mengawasi
rantai pasokan. Penggilingan-penggilingan beras baik yang besar maupun yang kecil dicek, dan
jika ada stok gabah, mereka akan meminta segera dilepas ke pasar. Demikian juga dengan para
pedagang, mereka takut dengan adanya Satgas Pangan, terlebih pascakejadian yang dialami oleh
PT IBU.

Bulog Percepat Impor

Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menegaskan, beras impor yang didatangkan
pemerintah akhir bulan ini dari Thailand dan Vietnam hanya akan digunakan sebagai cadangan
beras pemerintah. Sesuai penugasan pemerintah, Bulog akan mendatangkan 500.000 ton beras
dengan harga beras internasional sebesar Rp 7.300/kg, sehingga dana yang dikucurkan sebesar
Rp 3,6 triliun. Beras tersebut tidak akan langsung dilempar ke pasar sampai benar-benar
dibutuhkan.

“Untuk pendanaan, dengan international rice price ditambah berbagai biaya tambahan, sebut
saja Rp 7.300/kg, maka Bulog memerlukan dana Rp 3,6 triliun. Posisi keuangan kami ada
kelonggaran untuk komoditas itu. Ada Rp 9,8 triliun. Jadi, masih cukup pendanaan tanpa
menggunakan dana sponsor eksternal,” ujar Djarot di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (16/1).

Dikatakan, beras impor sebanyak 500.000 ton hanya akan digunakan sebagai cadangan beras
pemerintah. Artinya, beras tersebut tidak akan dilempar ke pasar sampai benar-benar dibutuhkan
masyarakat.

Sementara, untuk keperluan operasi pasar yang masih terus dilakukan secara masif, Bulog tetap
menggunakan stok beras yang tersimpan di gudang. Saat ini, stok beras Bulog sekitar 800.000
ton dan masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga beberapa pekan ke depan.
Oleh karena itu, ujar Djarot, beras impor akan dikeluarkan kalau sudah ada instruksi dari
pemerintah melalui rapat koordinasi terbatas, termasuk jumlah dan harganya.

“Pada 2015, kami juga melakukan impor untuk CBP cadangan beras pemerintah tidak boleh
langsung dikeluarkan,” tuturnya.

Djarot juga menjelaskan, impor beras tersebut tidak dilakukan secara sekaligus, namun dalam
beberapa tahap hingga akhir Februari mendatang..

Dikatakan pula, saat ini Bulog telah membuka pendaftaran secara daring kepada para pengusaha
yang berminat mengimpor beras ke Indonesia. Pendaftaran lelang impor beras itu bisa dilihat
melalui situs resmi milik Bulog.

Setelah pemenang lelang terpilih, nantinya barang akan segera dikirim dan diproyeksikan akan
sampai ke Indonesia dalam waktu 27 hari. Artinya, pada Februari nanti barang tersebut baru bisa
masuk ke Indonesia.

Bulog juga akan mengatur lokasi-lokasi kedatangan. Hal itu dilakukan agar tidak berpengaruh
terhadap harga beras di daerah yang menjadi produsen komoditas pangan utama itu.

“Misalnya, diutamakan untuk wilayah-wilayah yang bukan sentra produksi beras, yakni Jakarta,
Batam, dan Medan,” jelasnya.
Impor Beras Bukan Hal Tabu

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan, kebijakan impor beras tersebut tidak
akan merugikan petani dalam negeri. Sebab, jenis beras impor tidak ditanam di Indonesia.

“Jangan kita mempertentangkan, seolah-olah impor itu akan memiskinkan petani. Kita ingin
menjaga harga. Kenaikan harga beras yang tinggi itu akan meningkatkan laju inflasi,” katanya.

Dikatakan, berdasarkan data yang diterima, kekosongan stok beras dan tingginya harga membuat
masyarakat terpaksa mengurangi porsi konsumsi mereka.

Dijelaskan, waktu kedatangan pun dipilih sesegera mungkin agar tidak mengganggu musim
panen raya padi Indonesia, yang diperkirakan akan jatuh pada Februari hingga Maret mendatang.

Mendag bahkan menegaskan, impor beras bukan merupakan hal tabu. Impor beras dinilai
sebagai solusi sementara mengisi kekosongan stok beras dalam negeri.

“Pada dasarnya, perdagangan adalah ada impor, ada ekspor. Kita pun pernah ekspor, jadi
sudahlah. Ini adalah solusi yang sementara sampai dengan kondisi harga stabil dan stok cukup,”
jelasnya.

Sebelumnya, Enggar mengaku bahwa pemerintah telah melakukan banyak upaya untuk menekan
tingginya harga beras di pasaran. Namun, hal tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang
diharapkan.

Bahkan, dia mengungkapkan pemerintah akan mendatangi dan mengecek semua gudang beras
untuk menghindari adanya penimbunan beras yang berakibat kelangkaan pasokan di pasaran,
sehingga membuat harga beras terus melambung tinggi.

Kenapa Tidak dari Pulau Lain?

Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo meminta pemerintah membatalkan rencana impor 500.000
ton beras. Sebab, tindakan tersebut bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 48
Tahun 2016 tentang Penugasan terhadap Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan
Nasional.

Dia meminta pemerintah tidak terburu-buru melakukan langkah impor sebelum melihat data
yang pasti. Karena, selama ini pemerintah memberikan banyak anggaran di bidang pertanian
yang digunakan untuk menanam.

Dalam mengimpor beras, kata dia, sangat tidak sesuai dengan Perpres Nomor 48 Tahun 2016. Ia
menegaskan impor bukan solusi yang baik bagi para petani.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai,
kebijakan impor yang dilakukan pemerintah menjelang panen raya akan sangat merugikan
petani. Dia bahkan mempertanyakan alasan pemerintah yang mengimpor beras jenis khusus,
padahal menurutnya mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras medium.

“Normalnya, beras tiba di pelabuhan mungkin akhir Januari, itu juga dengan proses yang kilat.
Artinya, beras itu menambah pasokan yang ada di pasar beras baru pada pertengahan Februari.
Dua minggu kemudian, akhir Februari, sudah panen raya. Yang menjadi persoalan, di dalam
pasar beras itu adalah beras medium. Di beras medium ini pemerintah perlu hadir untuk
menstabilkan harga,” ujarnya.

Dikatakan, ketika petani panen, jangan sampai ada beras premium yang harganya medium.
Sementara, beras para petani pada umumnya kebanyakan beras medium.

“Siapa yang mau membeli beras petani? Sudah kualitasnya lebih rendah, harganya sama dengan
beras kelas premium,” kata Enny.

Dikatakan, jika akurasi data pemerintah akurat, maka sebenarnya tidak akan terjadi
keterlambatan untuk menentukan apakah harus melakukan impor atau tidak. Pasalnya, impor
bukan sesuatu hal yang dilarang, karena memang diperbolehkan undang-undang ketika stok atau
kebutuhan di dalam negeri kurang.

Ekonom senior Rizal Ramli, melalui akun Twitter-nya @RamliRizal juga mengkritik kebijakan
impor beras oleh pemerintah. Dalam salah satu cuitannya, dia mengunggah video Gubernur
Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo yang memastikan produksi beras Sulsel melimpah,
bahkan mencapai over stok 2,6 juta ton dan siap dikirim ke seluruh Indonesia.

Menurut Rizal, impor seharusnya tidak terjadi jika antipasi dilakukan lebih baik, terutama lewat
tugas Bulog, yang salah satunya menjaga stabilitas pasokan dan harga beras.

“Biasanya, ada stok cadangan Bulog sekitar 2 juta ton hingga 2,5 juta ton. Kalau harga naik,
keterlaluan. Bulog bisa melakukan operasi pasar. Jual di pasar-pasar, sehingga harga turun lagi.
Dengan modal stok 2 juta ton, bisa bikin stabil harga pasar 30 juta ton di seluruh Indonesia.
Namun, syaratnya Bulog harus aktif. Celakanya, Bulog tidak aktif,” katanya.

Rizal menyebutkan, pada 2017, Bulog seharusnya membeli gabah dari petani sekitar 2 juta ton
hingga 2,5 juta ton ekuivalen beras, namun mereka justru hanya membeli setengah dari jumlah
itu. Hal ini pun diyakini membuat kondisi stok di lapangan rentan akan adanya risiko kekurangan
pasokan.

“Sepertinya, dari awal memang sudah ada rancangan untuk mengimpor. Kalau memang beli dari
petani 2,5 juta ton, tidak ada kebutuhan akan impor. Perlu dipertanyakan, kenapa Bulog tidak
membeli sesuai target. Kalau sengaja, ini kasihan sekali pemerintah dikerjain,” katanya.
Kredibilitas Data Meragukan

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Berly Martawedaya meminta pemerintah melalui


Kementerian Pertanian untuk melakukan perbaikan data terkait dengan produksi beras domestik.
Hal itu menjadi penting, karena dapat dijadikan rujukan pemerintah dalam mengeluarkan
kebijakan tentang stok beras di Indonesia, termasuk kebijakan impor.

“Kementerian Pertanian harus memperbaiki data produksi beras domestik, karena selama ini
datanya tidak akurat,” kata Berly. Dia menilai, data yang disajikan oleh Kemtan bukan data riil
produksi, namun berdasarkan data produksi rata-rata.

“Hal ini justru mempersulit analisis pemerintah antara jumlah kebutuhan dengan pasokan beras
yang ada. Apalagi, saat ini indikasinya suplai beras menurun, sehingga harga meningkat,”
katanya.

Oleh karena itu, jika asumsi yang digunakan cukup jauh dari kondisi yang sebenarnya di
lapangan, maka estimasi yang dihasilkan tentu akan menjadi bias. Perbaikan data, kata dia,
sangat mendesak untuk dilakukan, karena kalau data produksi tidak riil maka akan berpengaruh
terhadap kebijakan pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras.

“Tahun ini, Kemtan harus memperbaiki data riil produksi untuk menganalisis kebijakan
ketersedian beras yang tepat pada 2019,” kata Berly.

Hal penting lain yang harus dilakukan oleh Kemtan adalah melakukan pemetaan bibit padi dan
pupuk yang cocok dan sesuai dengan jenis tanah di masing-masing daerah. Sehingga, hasil
produksi beras akan menjadi maksimal agar produksinya bisa meningkat.

Selain minimnya koordinasi, permainan data produksi beras juga dilakukan untuk melegitimasi
impor, menurut pandangan Wakil Ketua Umum Perkumpulan Petani dan Nelayan Nusantara
(Peta Nusa) Uun W Untoro

Ironisnya, petani bakal menderita, karena harga anjlok akibat impor tersebut. Apalagi, pada
Februari-Maret nanti akan ada panen raya.

Uun menegaskan, impor hanya membuat harga gabah anjlok saat panen raya dalam satu atau dua
bulan mendatang. Untuk itu, strategi dan pengawasan terkait impor tersebut perlu diatur dengan
baik, yang didukung dengan data yang valid.

“Jika tidak, petani yang selalu dirugikan. Mari membuat strategi yang lebih adil untuk semua
pihak,” ujar Uun.

Untuk itu, kata dia, kebijakan impor perlu didukung dengan kepastian data yang bisa diatasi
melalui akses dan koordinasi yang lebih bagus di tingkat lapangan.
“Selama ini, masing-masing instansi memiliki data sendiri dan tidak ada koordinasi secara baik.
Pendekatan teknologi bisa dilakukan, tetapi perlu ketegasan dan komiitmen bersama,” tegasnya.

Direktur Intensif Agro Maritim (IAM) Indonesia Gideon Ketaren mengatakan meskipun ada
argumentasi untuk menurunkan harga beras, impor selalu melibatkan mafia guna mendapatkan
keuntungan,

Gideon menambahkan para petani di tingkat desa sebenarnya sangat mudah untuk diajak
berkoordinasi dengan arahan dan target yang jelas. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan untuk
memperkuat basis data tersebut karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu.

“Ini benar-benar upaya sistematis dari pihak-pihak yang mendorong impor beras untuk
mematikan petani Nusantara. Padahal, yang dikejar itu adalah keuntungan sesaat dari fee impor
tersebut,” tegasnya.

Dia berharap, Presiden Joko Widodo bisa lebih tegas dan mempercepat koordinasi agar ada
solusi yang tepat bagi semua pihak. Jika diperlukan, IAM Indonesia bisa mengerahkan para
relawan dan jaringanya agar ada dukungan bagi langkah Jokowi.

“Mafia impor yang menebar fee tersebut sudah lama beredar dan mulai kesulitan karena dalam
dua tahun terakhir ini tidak ada impor beras,” tegasnya.

Daerah Menolak

Sementara itu, sejumlah daerah di Jawa menolak untuk menerima beras impor dari pemerintah.
Pasalnya, dalam satu atau dua bulan mendatang akan terjadi panen raya, sehingga stok beras
berlimpah.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo mempersilakan pemerintah melaksanakan kebijakan impor


500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand untuk memperkuat cadangan beras nasional.
Namun, ujarnya, stok beras di Jatim aman karena masih surplus.

Dikatakan, Jatim masih surplus 200.000 ton pada akhir 2017. Sementara, produksi Januari 2018
sebanyak 295.000 ton dengan konsumsi 297.000 ton, maka hanya minus 2.000 ton.

“Artinya, sekarang kita masih terdapat stok 198.000 ton dari surplus 2017,” ujar Soekarwo.

Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov Jatim, Benny Sampir Wanto menambahkan, stok
beras untuk 2018, belum termasuk jumlah panen pada Februari mendatang, yakni sebanyak
990.000 ton dan Maret akan panen tidak kurang dari 1,7 juta ton.

“Jadi, masyarakat Jatim tidak perlu panik terkait rencana pemerintah mengimpor beras.
Kenaikan harga beras saat ini sedang dicari akar masalahnya oleh tim Bulog dan Satgas Pangan
Polda Jatim,” katanya.
Kepala Badan Pengembangan Teknologi Pertanian ( BPTP) Jatim Chendy Tafakresnanto
meminta pemprov untuk berani menolak masuknya beras impor. Sebab, sejumlah daerah di Jatim
akan melakukan panen raya sebagai hasil program upaya khusus (upsus) pemprov bersama dinas
terkait.

“Kita telah mengembangkan jaringan irigasi serta penggunaan benih bibit padi yang kuat
terhadap hama dan memiliki rasa yang sama dengan beras yang biasa dikonsumsi penduduk.
Silakan diserap Bulog untuk menjadi stok beras nasional,” kata Chendy.

Dikatakan, varietas padi Ciherang dan Membramo yang ditanam petani Jatim pada umumnya
mampu mencapai tingkat produktivitas 7,8 ton per hektare per tahun. Sementara, padi varietas
Inpari 14 yang juga dikembangkan petani Jatim mampu mencapai panenan sekitar 5 ton hingga 6
ton per hektare.

“Kalau sampai beras impor masuk Jatim, maka akan berpengaruh pada harga hasil panen petani
dan mengendurkan semangat petani Jatim untuk tetap mempertahankan predikat sebagai
lumbung beras nasional,” katanya.

Ketua Komisi B DPRD Jatim, Firdaus Febrianto juga menolak rencana pemerintah menimpor
beras 500.000 ton. Alasannya, panen raya sudah di depan mata, sehingga kebijakan impor beras
tidak perlu dilakukan.

Dia menegaskan, impor beras akan merugikan petani. Beberapa waktu lalu, Komisi yang
dipimpinnya melakukan inspeksi mendadak di Jember dan Banyuwangi, yang selama ini menjadi
lumbung pangan di Jatim. Di dua daerah itu, mulai akhir Januari, telah memasuki musim panen
raya.

Penolakan terhadap kebijakan impor beras juga disampaikan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar
Pranowo. Dia menyatakan, daerahnya tidak perlu menerima beras impor, karena stok beras
hingga kini masih cukup aman. Ganjar mengatakan, beberapa daerah penghasil beras di Jawa
Tengah dalam waktu dekat akan panen.

“Akhir Januari ini ada panen. Lalu, Februari nanti panen raya,” kata Ganjar. Terkait dengan
persoalan harga beras, katanya, terus dipantau oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Harga beras di pasaran akan distabilkan dengan operasi pasar yang dilakukan Bulog.

Dikatakan, harga beras di pasaran Jateng saat ini sudah menyentuh angka Rp 11.000 hingga Rp
12.000 per kilogram.

Anda mungkin juga menyukai