Anda di halaman 1dari 7

KEBIJAKAN IMPOR DAGING SAPI DI INDONESIA

Perjalanan Impor Daging Sapi Indonesia


Perkembangan bisnis produk sapi, mulai daging hingga susu terlihat
menggiurkan bagi para investor. Karenanya, konsumsi daging dan susu masih menjadi
sektor yang diincar oleh para investor. Pertumbuhan suplai daging untuk supermarket
pada tujuh tahun terakhir mencapai 90%. Untuk restoran, kebutuhan daging tumbuh
15-17%. Sedangkan konsumsi per kapita di Indonesia tercatat mencapai angka 20-
24%. Konsumsi daging sapi di Indonesia per tahun mencapai 4 juta ekor dari impor
dan lokal. Sebanyak 4 juta ekor sapi itu setara dengan 600.000 ton daging sapi.
Daging sapi merupakan produk yang diperdagangkan di pasar internasional. Di
Indonesia permintaan terhadap daging sapi terus meningkat sehingga produksi dan
konsumsi terus membesar. Akibatnya harga daging sapi di pasar domestik terus
meningkat naik. Sebagai negara importir kondisi harga daging sapi di pasar
internasional yang cenderung turun tidak mampu menekan kenaikan harga di pasar
domestic (Firman, 2001). Bagi konsumen yang berpendapatan tinggi, kenaikan harga
tersebut bukan merupakan masalah, namun kenaikan harga daging sapi dapat
berdampak pada kenaikan harga daging dan telur ayam. Padahal diketaui selama ini
daging dan telur ayam merupakan bahan pangan bergizi dengan harga relatif murah.
Jika harganya juga ikut naik maka dapat mengancam ketahanan pangan. Karena itu
dipandang perlu melakukan pengendalian harga daging
Indonesia merupakan negara pengimpor terbesar sapi hidup Australia. Sepanjang
2008, sebanyak 651.196 ekor atau 75% dari total ekspor sapi hidup Australia ke pasar
dunia. Impor Indonesia sepanjang 2008 naik 26% dari impornya tahun 2007. Pasalnya,
untuk mengimpor daging dari negara lain, izinnya masih belum keluar (Depdag, 2006).
Saat ini ada beberapa hal yang perlu dilakukan Indonesia untuk meningkatkan
ketersediaan daging di Indonesia, yakni peninjauan kembali sumber import dan
struktur, meningkatkan produktivitas peternakan, meningkatkan program
pembelajaran dan Pendidikan, meningkatkan pengembangan dokter hewan,
mengembangkan transportasi yang relevan, serta memberikan kesepakatan kerja yang
jelas dan terbuka. Harga paritas impor eceran daging sapi cenderung turun. Sedangkan
harga eceran domestik cenderung naik. Divergensi ini terjadi sejak Juli hingga Noveber
2008 (Badan Litbag Depdag, 2008).
Pembatasan kuantitatif untuk impor daging sapi diberlakukan sebagai bagian dari
serangkaian langkah untuk mencapai swasembada daging sapi untuk tahun 2014.
Kuota untuk ternak hidup ini ditetapkan setiap tahun dan secara terpisah untuk daging
sapi dalam otak dan didasarkan pada estimasi bandingan pasokan domestic dengan
kebutuhan. Kuota tersebut dialokasikan oleh Kementrian Perdagangan kepada importir
dala dua tahapan enam bulan: 1 Januari-30 Juni dan 1 Juli-31 Desember, berdasarkan
volume historis. Kuota untuk ternak hidup secara sistematis telah dikurangi dari
401.000 di tahun 2011 menjadi 283.000 pada tahun 2012, dan 267.000 pada tahun
2013. Untuk daging sapi kotak, kuota juga telah berkurang dari 100.00 ton pada 2011
menjadi 34.000 tahun 2012 dan 32.000 pada tahun 2013. Di hitung dalam berat, total
kuota berkurang dengan lebih dari 172.000 ton pada tahun 2011 menjadi sesuai
terncana 80.000 dalam tahun 2013 (Deptan, 2013). Pengurangan kuota impor sapi
meningkatkan harga daging sapi di tingkat peternak dan kenaikan harga daging dari
peternak naik antara 55,5-66,6%.
Data BPS hasil rekapitulasi jumlah ternak pemutakhiran (Blok Sensus) untuk
Sensus Pertanian (ST) 2013 menyebutkan populasi sapi potong hanya 13,3 juta ekor.
Dibandingkan dengan sensus sapi 2011, jumlah ini berkurang 19,52 %. Penurunan
populasi dibandingkan dengan data hasil sensus khusus ternak oleh BPS di tahun 2011
ini ditengarai sebagai akibat dari pemotongan sapi secara basar-besaran karena harga
daging sapi yang bertahan relative tinggi. Sementara itu Kementrian Pertanian
memproyeksikan kebutuhan daging sapi tahun 2013 sebesar 549,7 ribu ton. Dari
jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestic,
sedangkan sisanya sekitar 80.000 ton (14,6%) harus diimpor.

Ketersediaan Pasokan Daging Sapi Di Indonesia


Kebutuhan akan daging sapi setiap tahunnya mengalami peningkatan, karena
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan juga meningkatnya konsumsi rumah tangga
akan danging sapi, membuat kebutuhan daging sapi tidak terpenuhi oleh peternak local.
Dengan kebutuhan yang semakin meningkat, pemerintah berusaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dengan cara mengimpor daging sapi dari Australia.
Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian mengatakan, pasokan daging sapi
nasional tahun 2014 sebenarnya mencukupi sepanjang persoalan transportasi dari
sentra produksi ke sentra pasar dibenahi. Kebutuhan daging sapi tahun 2014
diperkirakan 575.000 ton, sedangkan potensi sapi local sebanyak 542.000 ton atau 93%
dari kebutuhan.
Permintaan terhadap daging meningkat sedangkan pasokan dalam negeri kurang,
ditambah lagi kuota impor daging sapi dibatasi hanya 80.000 ton atau berkurang 5.000
ton dari tahun lalu. Pemerintah berkomitmen melakukan swasembada daging sapi
untuk meningkatkan populasi sapi local dan menurunkan kuota impor daging sapi.
Kuota adalah bentuk hambatan perdagangan yang menentukan jumlah maksimum
suatu jenis barang yang dapat diimpor dalam suatu periode tertentu. Diharapkan kuota
akan melindungi barang-barang dalam negeri dari persaingan barang luar negeri. Harga
daging sapi terus bergejolak setelah pemerintah memberlakukan penutunan kuota
impor. Tahun 2013 diperkirakan total kebutuhan daging nasional sebanyak 521.000
ton, 441.000 ton dipenuhi dari dalam negeri, sedangkan 80.000 ton lainnya diimpor.
Kuota impor daging sapi sebesasr 80.000 ton tersebut terdiri atas 32.000 ton daging
beku dan 276.000 ekor sapi setara dengan 48.000 ton daging.
Pengurangan kuota impor sapi meningkat harga daging sapi ditingkat peternak.
Kenaikan harga daging dari peternaknaik antara 55,5-66,67%. Proses pemberian
rekomendasi kuota oleh Kemantan inilah, ada celah yag memungkinkan terjadinya
intervensi da domanfaatkan oleh rente. Peningkatan jumlah impor yang semula 20
perusahaan menjadi 67 perusahaan serta penurunan kuota impor membuat kecurangan
terjadi. Dengan adanya impor, omportir daging sapi meraup keuntungan yang sangat
besar,Rp 10.000,- s.d. Rp 45.000,- per kg. Jika impor 80.000 ton, berarti importir
meraup keuntungan Rp 800 miliar s.d. Rp 3,8 triliun.

Dilema Kebijakan Kuota Impor Daging Sapi


Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
hewan, kewenangan pemberian perizinan impor daging sapi sepenuhnya ada di tangan
Kementan. Muali dari seleksi administrasi, syarat teknis, hingga pemberian
rekomendasi sekaligus izin impornya. Setelah ada perubahan, mekanisme pengurusan
izin impor menjadi seperti saat ini. Pengusaha yang mau mengimpor harus memenuhi
syarat administrative dan teknis perusahaan serta mendapatkan penetapan sebagai
importir terdaftar (IT) di Kemendag. Pada tahap ini muncul peluang terjadinya
manipulasi oleh para pelaksana teknis di lapangan.
Hubungan bilateral Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang unik, di
satu sis menjanjikan berbagai peluang kerjasama namun di sisi lain juga penuh dengan
berbagai tantangan. Bahkan hubungan kedua negara seringkali digambarkan seerti
roller coaster yakni naik secara perlahan namun turun dengan sangat tajam menjadi
bagian dari sejarah hubungan kedua negara. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai
perbedaan di antara kedua negara dan bangsa yang terkait dengan kebudayaan, tingkat
kemajuan pembangunan, orientasi politik yang mengakibatkan pula perbedaan
prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri, perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan
berbagai masalah yang selalu mewarnai hubungan kedua negara.
Indonesia belaum mandiri dalam penyediaan kebutuhan daging sapi nasional
karena baru mampu memproduksi sekitar 79% dari kebutuhan daging sapi nasional
dimana 30% kebututhan lainnya dipenuhi melalui impor (Ditjennak, 2008) dalam
bentuk sapi bakalan untuk penggemukan, daging beku dan jeroan yang didominasi oleh
hati dan jantung beku. Besarnya impor ini dipengaruhi oleh terjadinya peningkatan
kesejahteraan dan pertambahan penduduk. Daging sapi yang paling banyak dikonsumsi
oleh masyarakat Indonesia adalah dalam bentuk daging bakso yang menyebar dari
Kawasan perkotaan sampai ke pedesaan.
Dengan konsumsi daging sapi 2,2 kg per kapita, maka kebutuhan konsumsi
daging sapi di Pulau Jawa dan Sumatera diperkirakan sebanyak 410 juta kg per tahun
atau setara dengan 2,98 juta ekor sapi potong local. Bila disandingkan dengan data
populasi sapi potong di Jawa dan Sumatera yang diperkirakan berjumlah 8,6 juta ekor,
mestinya kebutuhan konsumsi daging sapi di kedua lokasi tersebut dapat dipenuhi
sendiri. Namun kenyataanya, karena pemeliharaan ternak di jawa sebagian besar
bersifat tabungan keluarga dengan umlah pemilikan sapi rata-rata 1-2 ekor per KK,
maka ketersediaanya untuk memnuhi kebutuhan konsumsi khususnya di Jawa tidak
dapat dipastikan dan oleh karenanya harus didatangkan dari Kawasan sentra sapi
potong, seperti Bali dan Busa Tenggara. Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang dihuni
5,5 persen penduduk Indonesia memiliki 14,18 persen dari populasi sapi potong
nasional.
Hingga pada tahun 2018 ini, produksi dalam negeri ternya belum mampu
memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. Kementerian Perdagangan (Kemendag)
tidak membatasi kuota impor daging sapi untuk kebutuhan konsumsi di Indonesia.
Keran impor pun dibuka untuk mendatangkan daging sapi dari Australia, Spanyol dan
Meksiko. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan: Oke
Nurwan mengatakan bahwa tidak adanya batasan lantaran saat ini produksi dalam
negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi yang ada. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian,
proyeksi kebutuhan nasional mencapai 662 ribu ton dengan asumsi konsumsi 2,5 kg
per kapita per tahun. Sementara proyeksi produksi dalam negeri sebesar 429 ribu ton.
Dengan begitu, masih ada defisit sekitar 233 ribu ton yang akan dipenuhi dari sapi eks
impor sebanyak 600 ribu ekor atau setara daging sekitar 119 ribu ton, sisanya dipenuhi
dari daging impor. Meski masih bergantung impor. Saat ini Kementan sedang berupaya
meningkatkan populasi sapi maupun kerbau di Indonesia, selain melalui Upaya Khusus
Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) juga dilakukan melalui penambahan
sapi indukan impor dan pengembangan sapi ras baru Belgian Blue.
Menteri Pertanian, Amran Sulaiman beberapa waktu lalu menyampaikan pada
tahun pertama pelaksanaan program, capaian kinerja program UPSUS SIWAB tahun
2017 sangat fantastis. Hal ini terlihat dari pelayanan Inseminasi Buatan/IB dari Januari
2017 hingga 13 April 2018 telah terealisasi sebanyak 5.143.398 ekor. Kebuntingan
mencapai 2.334.794 ekor dengan kelahiran sebanyak 1.136.454 ekor atau setara Rp 7,9
triliun dengan asumsi harga satu pedet lepas sapi sebesar Rp 7 juta per ekor. Nilai yang
sangat besar mengingat investasi program UPSUS SIWAB pada 2017 sebesar Rp 1,1
triliun.
Namun hal ini ternyata mengakibatkan pengusaha sapi potong sulit bersaing
dengan harga daging impor. Kebijakan pemerintah mengimpor daging kerbau beku
diprediksi dapat menurunkan permintaan daging sapi segar karena perbedaan harga
yang cukup besar. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian berupaya mengejar
swasembada daging di tahun 2026 dengan program Inseminasi Buatan (IB) lewat
Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) dengan terget tiga juta ekor
pada tahun 2017. Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia
(Gapuspindo) mengaku kesulitan bersaing dengan komoditas daging impor seiring
dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah. Selain itu, kebijakan yang mewajibkan
setiap impor sapi bakalan, juga harus disertai impor 20% sapi indukan dinilai telah
membuat iklim usaha penggemukan sapi potong (feedlot) menjadi lesu.
Pemerintah telah mematok harga daging kerbau beku dengan harga Rp80.000 per
kilogram. Dengan kebijakan itu, masyarakat menjadi lebih tertarik memilih daging
kerbau beku yang harga jualnya lebih murah dibandingkan dengan daging sapi segar
harganya sudah mencapai Rp 120 ribu per kilogram. Regulasi ini dinilai menyebabkan
para pengusaha ternak sapi potong ragu untuk berbisnis.
Padahal, peternakan sapi potong bisa memberikan efek domino pada tenaga kerja
dan pertambahan pendapatan masyarakat. Dengan mengimpor sebanyak 600 ekor sapi
bakalan maka dibutuhkan waktu kurang lebih empat bulan untuk proses
penggemukkan dengan biaya pakan Rp 35 ribu per hari sehingga impor sapi bakalan
memicu perputaran uang sekitar Rp 3,5 triliun di perdesaan. Selain itu, serapan tenaga
kerja, bisnis Rumah Potong Hewan (RPH), transportasi, dan pertanian juga akan
bertambah.
Saat ini, total kebutuhan daging nasional bisa mencapai sebanyak 663 ribu ton
per tahun, sedangkan produksi nasional baru mencapai 51% dari total kebutuhan.
Sehingga untuk memenuhi sebagian kebutuhan itu harus ditempuh pemerintah dengan
cara impor. Tercatat, saat ini pemerintah telah membuka kuota impor sebanyak 750
ribu ekor sapi.
Upaya pengusaha mengikuti arahan kebijakan impor sapi bakalan dan sapi
indukan juga diakui memiliki sejumlah kendala, salah satunya terkait biaya produksi
atau biaya operasional yang bisa lebih besar. Misalnya, untuk pengembang sapi
indukan akan memakan ruang dua setengah kali lebih banyak dibandingkan sapi
bakalan. Sehingga kapasitas kandang sebesar 10 ribu hanya bisa menampung hingga
4 ribu ekor sapi indukan. Kewajiban impor sapi indukan bakal juga dinilai bisa
mengubah minat pengusaha peternakan karena butuh 3 tahun agar bisnisnya bisa
menghasilkan keuntungan.
Selain itu, pengusaha pun mengaku kesulitan mencari akses permodalan dari
perbankan, lantaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) umumnya mematok bunga di atas
7%, sementara peternak biasanya hanya mampu mengakses pinjaman berbunga 3%.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan
Oke Nurwan menjelaskan permintaan masyarakat yang tinggi serta upaya mencegah
kebutuhan lonjakan harga daging, menjadi salah satu alasan Kemendag membuka
keran impor. Tak hanya daging sapi, impor daging kerbau beku pun akan
dimaksimalkan kuotanya menjadi 100 ribu ton.
Kebijakan intervensi perdagangan oleh pemerintah tentunya berdampak positif
dalam jangka pendek, khususnya bagi perusahaan peternakan untuk berkesempatan
meningkatkan efisiensi usahanya agar bisa bersaing di pasar bebas. Pada kenyataanya,
hampir semua negara, termasuk AS, pernah melakukan kebijakan yang melanggar
konsep ekonomi pasar tersebut. Jadi pada dasarnya kebijakan ekonomi suatu negara,
khususnya yang terkait dengan perdagangan internasional sangat terkait dengan
kepentingan dalam negeri (self-domestic interest) terutam kepentingan bisnis dalam
negeri dan rakyat.
Kebijakan public tidak mudah, tergantung dari kehendak politik pemerintah
(political will) yang diwujudkan pada politik ekonomi yang dianut. Tolok ukur satu-
satunya adalah bagaimana suatu kebijakan public, kebijakan perdagangan bisa
mensejahterakan masyarakat secara umum.
Pengurangan ataupun pembebasan kuota impor daging sapi oleh pemerintah
tidak berpengaruh secara langsung terhadap hubungan politik kedua negara, namun
iklim politik dalam negeri yang bergejolak akibat kelangkaan daging di pasar ataupun
harga yang melambung tinggi ketika banyak permintaan, demikian pula dengan
pemerintah Australia yang pasti mendapat tekanan dari peneternak di negaranya.
SUMBER REFERENSI

Buku dan Jurnal:

Achmad Firman. 2001. Peran Subsektor Peternakan Dalam Stuktur Perekonomian


Indonesia (Analisis Input-Output). Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

OECD. 2012. OECD Review of Agricultural Poticies: Indonesia 2012, OECD


Publishing. Doi: 10.1787/9789264179011-en.

Reni Efrida Pulungan. 2014. Dampak Kebijakan Indonesia Membatasi Kuota Impor
Daging Sapi Dari Australia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Riau.

Internet:

https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/pertanian/18/04/22/p7l2l6383-kemendag-
kuota-impor-daging-sapi-tidak-dibatasi . diakses pada 20 November 2018,
12.30 WITA

https://www.liputan6.com/bisnis/read/3397455/jaga-pasokan-saat-ramadan-ri-impor-
daging-sapi-dari-4-negara . diakses pada 19 November 2018, 18.35 WITA

https://katadata.co.id/berita/2018/06/05/pengusaha-sapi-potong-sebut-sulit-bersaing-
dengan-daging-impor . Diakses pada 20 November 2018, 12.45 WITA

Anda mungkin juga menyukai