PENDAHULUAN
Daging ialah bagian lunak pada hewan yang terbungkus kulit dan melekat
pada tulang yang menjadi bahan makanan. Daging tersusun sebagian besar dari
jaringan otot, ditambah dengan lemak yang melekat padanya, urat, serta tulang
rawan.
Sebagai komoditas dagang, daging biasanya disematkan untuk yang berasal
dari hewan besar (mamalia dan reptil) saja. Daging semacam ini disebut pula
"daging merah", dan diperdagangkan dalam bentuk potongan-potongan. Meskipun
memiliki otot (dan daging), ikan (termasuk pula amfibi), hasil laut, dan unggas
bukanlah termasuk komoditas daging, karena diperdagangkan secara utuh. Daging
dari hewan-hewan terakhir ini disebut pula "daging putih".
Daging sapi (Bahasa Inggris: beef) adalah daging yang diperoleh dari sapi
yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap
daerah, penggunaan daging ini berbeda-beda tergantung dari cara pengolahannya.
Sebagai contoh has luar, daging iga dan T-Bone sangat umum digunakan di Eropa
dan di Amerika Serikat sebagai bahan pembuatan steak sehingga bagian sapi ini
sangat banyak diperdagangkan. Akan tetapi seperti di Indonesia dan di berbagai
negara Asia lainnya daging ini banyak digunakan untuk makanan berbumbu dan
bersantan seperti sup konro dan rendang.
Selain itu ada beberapa bagian daging sapi lain seperti lidah, hati, hidung,
jeroan dan buntut hanya digunakan di berbagai negara tertentu sebagai bahan dasar
makanan.
Pembatasan kuota daging sapi impor oleh Pemerintah Pusat berujung pada
kenaikan harga daging sapi di seluruh pasar nusantara. Tidak terkecuali pasar di
wilayah Jakarta Pusat, harga daging terpantau mengalami kenaikan hingga seharga
Rp 130.000 per kilogram.
Kenaikan harga daging sapi lokal tersebut seperti yang terlihat di Pasar Senen
maupun Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (9/8). Sejumlah
pedagang yang terliha masih bertahan berjualan mengaku jika kenaikan harga daging
sudah berada pada tingkat agen atau distributor, yakni berkisar mulai dari Rp
120.000 hingga Rp 125.000 per kilogram.
Harga tersebut pun disebutkan merata pada seluruh Rumah Pemotongan
Hewan (RPH) yang merupakan pemasok utama daging sapi ke wilayah DKI Jakarta,
seperti Cakung, Jakarta Timur serta Tangerang, Banten dan Cibinong, Bogor.
BAB II
PEMBAHASAN
karkas. Angka itu naik dibandingkan target pada 2014 yang sebesar 370.000 ton
daging atau setara 460.000 ton karkas.
Tahun ini angka persis produksi sapi dan kerbau lokal tahun ini sebesar
409.058 ton setara daging yang terdiri atas sapi potong 367.410 ribu ton setara
daging, sapi perah jantan dan betina majir 14,16 ribu ton setara daging dan kerbau
28,49 ribu ton setara daging ujar Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian (Kemtan) Syukur Iwantoro di Jakarta, Rabu (21/1)
Syukur menjelaskan untuk mencapai sasaran tersebut, pihaknya menerapkan
sejumlah strategi antara lain penguatan kelembagaan peternak dengan pola
pemeliharaan sapi koloni berskala ekonomi di sentra-sentra produksi, pembangunan
dan revitalisasi rumah potong hewan (RPH) modern di sentra produksi, mencegah
pemotongan sapi betina produktif dengan bekerjasama aparat keamanan, perbaikan
mutu pakan, percepatan peningkatan populasi melalui program gerakan serentak
birahi yang diikuti dengan inseminasi buatan dan embrio transfer, akselerasi
pengembangan sapi integrasi sapi-sawit, serta pemanfaatan lahan-lahan eks tambang.
Selain itu, dia mengaku, pihaknya akan menggandeng swasta untuk
berinvestasi di bidang usaha ternak sapi dan industri daging dengan berbagai
insentif. Namun, dia mengaku, pemerintah tetap akan membuka keran impor yang
disesuaikan dengan kebutuhan daging pada 2015. Pada triwulan I, katanya,
pemerintah membuka impor 100 ribu ekor sapi bakalan yang angkanya ditetapkan
oleh Kementerian Perdagangan.
Sesuai ketentuan, bahwa Surat Persetujuan impor (SPI) yang menerbitkan
adalah Kementerian Perdagangan (Kemdag). Dalam hal ini, Kementerian Pertanian
hanya menerbitkan rekomendasi teknis dan tidak mengatur alokasi atau jumlah kouta
impor lagi. Hal ini sudah berlaku sejak 2013, jelas Syukur.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan
Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan target produksi daging sapi
dan kerbau mencapai 410 ribu ton menunjukkan keyakinan pemerintah atas
ketersediaan populasi sapi lokal. Perhitungannya adalah jika satu ekor sapi
menghasilkan 150 kilogram (kg), maka setidaknya harus ada 2,5-3 juta ekor sapi
yang dipotong tahun ini. Sementara itu, sensus BPS pada 2013 menunjukkan jumlah
populasi sapi dan kerbau di Indonesia hanya sekitar 12,5 juta ekor.
Namun, dia mengatakan, pemerintah harus mengkaji kembali kebijakan
kuota impor sapi bakalan tersebut apabila ternyata terjadi lonjakan harga, kelangkaan
pasokan daging di pasaran dan banyak sapi betina produktif yang dipotong.
Tahun lalu, impor sapi bakalan mencapai 700 ribu ekor, berarti dipangkas
hampir setengah tahun ini. Dan impor daging sekitar 120 ribu ton. Intinya, semua
angka-angka itu nanti akan diuji oleh pasar. Karena sekarang masih ada stok, lihat
saja nanti empat bulan lagi. Kalau misalnya ada lonjakan harga dan kelangkaan
pasokan, serta menimbulkan banyak sapi betina produktif yang dipotong, artinya
pemerintah harus melihat kembali kebijakannya, kata Teguh.
yakni Indramayu, Majalengka, Palembang, Lombok Raya, dan Nusa Tenggara Timur
(NTT).
"Kami sudah siapkan 3.000 ekor sapi berbasis koperasi masyarakat, dan telah
menyiapkan 500-600 ekor sapi atau sekitar 250-300 ton daging kemasan (produk
Raja Daging) per bulan untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta dan Bali. Dan
setelah itu menyusul di seluruh Indonesia," ucapnya.
Ismed mengatakan, pihaknya akan mengembangkan induk sapi (jenis
kelamin betina yang masih produktif) sebanyak 15 ribu ekor per tahun. Sehingga ke
depan bisa berkembang menjadi sekitar 45 ribu ekor.
Alasannya, lanjut dia, sapi betina produktif saat ini masih menjadi sasaran
pemotongan. "Ini yang membuat Indonesia mengalami krisis daging. Jika ini
dibiarkan terus menerus maka Indonesia akan semakin ketergantungan impor karena
tak mampu memenuhi pasokan daging lokal," pungkasnya.
Pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia nyatanya berpengaruh besar pada
permintaan daging sapi nasional. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Asosiasi Produsen Daging
dan Feedlot Indonesia (Apfindo), kebutuhan daging sapi tahun depan mencapai
640.000 ton. Jumlah ini meningkat 8,5 persen dibandingkan proyeksi tahun ini yang
sebanyak 590.000 ton.
Direktur Eksekutif Apfindo Joni Liano mengatakan, dengan kenaikan
kebutuhan daging sapi tersebut, populasi sapi yang siap dipotong seharusnya juga
meningkat. Bila tahun ini populasi sapi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi daging mencapai 3,1 juta ekor, tahun depan bisa melonjak menjadi 3,4 juta
ekor.
Sayangnya, peningkatan kebutuhan daging sapi tersebut tidak diimbangi
dengan populasi ketersediaan sapi siap potong di dalam negeri. Walhasil, pengadaan
sapi dari impor masih belum dapat di rem. "Yang dapat dipasok sapi dari lokal hanya
2,3 juta ekor," kata Joni, Senin (27/10/2014).
Dengan perhitungan tersebut, Joni bilang, tambahan pasokan sapi yang harus
didatangkan dari impor idealnya mencapai 1,1 juta ekor. Melihat kondisi ini, Apfindo
menyarankan agar perhitungan indikatif impor sapi tahun depan bisa meningkat.
Selama ini, impor yang dilakukan lebih banyak berupa daging beku dan sapi
hidup. Persentasenya sebanyak 40 persen berupa daging beku dan 60 persen sisanya
sapi hidup. Impor daging beku ditujukan untuk kebutuhan hotel, restoran dan
katering, sapi hidup untuk memenuhi kebutuhan daging segar dalam negeri.
kehilangan potensi industri peternakan senilai Rp 293 miliar dengan langkah impor
tersebut. Padahal, ini seharusnya dapat diserap industri peternakan sapi nasional
Dengan naiknya kuota daging impor akan menekan harga sapi potong di tingkat
peternak lokal karena margin harga daging impor dan daging lokal sangat besar
sehingga mau tidak mau peternak lokal menjual harga sapi di bawah harga
ekonomisnya. Harga daging sapi segar impor lebih murah sekitar Rp 40.000 per kg
sampai Rp 46.000 per kg, sedangkan harga sapi dari peternak lokal sekitar Rp 55.000
per kg sampai Rp 60.000 per kg. Sehingga dengan perbedaan harga yang cukup
tinggi tersebut, peternak sapi lokal pun mengalami kerugian yang cukup besar.
Peternak sapi di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mengeluhkan
masih terpuruknya harga sapi lokal di pasaran. Selain harga yang terus merosot,
peternak juga kesulitan melakukan transaksi jual beli dalam skala besar. Dampaknya
permintaan daging sapi lokal menurun. Masalah pelik yang menghimpit peternak
sapi masyarakat tersebut sebenarnya sudah terjadi beberapa waktu lalu, hal ini
diakibatkan melimpahnya sapi impor yang tanpa kendali.
Pemerintah pada akhirnya memberlakukan kebijakan pengetatan atas
impor daging sapi dan sapi bakalan berupa importir yang tidak dapat menunjukkan
Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) di negara pengimpor, komoditas yang akan
diangkut tidak dapat dikapalkan. Pemerintah telah mengirimkan surat edaran yang
ditujukan kepada para importir daging dan sapi bakalan di Australia mengenai
kebijakan pengetatan impor. Pemerintah juga telah mengirimkan surat edaran yang
ditujukan kepada para importir daging dan sapi bakalan di Australia.
Penghentian impor sapi hidup maupun daging sapi dari Australia
merupakan langkah terbaik dari pemerintah untuk kembali menggairahkan
masyarakat memelihara sapi di Indonesia. Saat ini masyarakat atau khususnya
peternak enggan memelihara sapi karena harga jatuh pada titik paling rendah bahkan
merugi. Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Pemerintah Istimewa
Yogyakarta, Edi Suhariyanta, menyatakan penyebab utama peternak enggan
memelihara sapi adalah jatuhnya harga sapi akibat impor sapi yang dilakukan
pemerintah. Ketika peternak kembali bergairah memelihara sapi karena harga
menguntungkan bagi peternak, maka ketersediaan daging untuk konsumsi
masyarakat akan terpenuhi, dan target swasembada daging akan dapat tercapai.
Penghentian impor tersebut bila dibandingkan sebelumnya harga sapi hidup per
kilogram hanya dijual berkisar Rp16.000 hingga Rp17.000. Namun sekarang harga
sapi hidup naik menjadi Rp22.000 hingga Rp23.000 per kilogram.
Melakukan kebijakan untuk membatasi kuota impor daging sapi dan sapi
bakalan, akan memberikan berbagai macam dampak positif, antara lain :
a.
Mencegah peluang masuknya kembali PMK di Peternakan Indonesia. Sejak awal
tahun 1990-an hingga saat ini Indonesia masih dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE.
Dengan demikian PMK merupakan penyakit eksotik yang perlu diwaspadai.
Kebijakan impor daging dengan tanpa memperhatikan kondisi PMK dari negara asal
tentu sama saja dengan memasukkan (mengimpor) penyakit ke Indonesia. Hal ini
sangat beralasan karena tidak ada jaminan bahwa daging yang di impor adalah
daging yang benar-benar bebas dari virus PMK. Selain itu, jika mengacu kepada
kondisi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) dan sistem kesehatan
masyarakat veteriner (siskesmavet) Indonesia yang masih sangat lemah, potensi
ancaman penyebaran PMK di Indonesia sangat besar. Apalagi proses eradikasi
(pemberantasan) jika suatu negara tertular PMK membutuhkan dana dan waktu yang
relatif lama.
b.
c.
salah satu program dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait dengan
upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya
domestik. Program ini diharapkan berlangsung secar berkelanjutan. Swasembada
yang dimaksud memiliki arti kemampuan penyediaan daging sapi dalam negeri
sebesar 90 95% dari total kebutuhan daging nasional. Berkelanjutan artinya,
swasembada daging yang ingin dicapai adalah swasembada yang berkelanjutan tidak
hanya pada tahun 2014, sehingga perhitungan yang diperoleh tetap mempertahankan
tingkat swasembada yang telah dicapai.
Swasembada daging secara langsung akan berdampak positif pada
pemerintah dan para peternak. Salah satunya swasembada daging akan mampu turut
serta dalam menghemat devisa. Bagi para peternak dan masyarakat program
swasembada daging diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja yang pada
gilirannya akan memberi dampak peningkatan kesejahteraan peternak dan
merangsang kegiatan ekonomi di pedesaan. Bagi masyarakat luas, program
swasembada daging akan ikut serta dalam penyediaan gizi dan protein hewani
mengingat tanpa swasembada daging konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia
merupakan yang terendah di ASEAN. Jika dibandingkan dengan Malaysia yang
konsumsinya mencapai 46,87 kg per kapita per tahun, Indonesia hanya mencapai 4,5
kg per kapita per tahun. Lebih lanjut, dijelaskan oleh Hall, 2004 bahwa salah satu
dampak dari rendahnya konsumsi protein terlihat dari kualitas kesehatan
masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Human Development Index
(HDI) yang salah satu indikatornya adalah kesehatan. Ranking HDI Indonesia pada
tahun 2010 menduduki peringkat 108 dari 169 negara. Jika dibandingkan dengan
Malaysia, Indonesia jauh tertinggal karena Malaysia menempati posisi ke-57.
Secara kongkret pengertian swasembada daging adalah suatu program yang
melibatkan segenap masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging yang diperoleh
dari dalam negeri. Pemerintah telah mencanangkan program ini setidaknya sudah
sejak tahun 2005, lantas belum tercapai. Dari kegagalan tersebut pemerintah pun
mencanangkan Swasembada Daging 2010, belum selesai tahun 2010, nampaknya
pemerintah harus mencanangkan kembali program Swasembada Daging 2014.
Swasembada Daging 2014 akan berbasis sumber daya lokal sehingga mendorong
Indonesia untuk mandiri dalam penyediaan daging dari ternak domestik. Akan tetapi
hal ini sulit terwujud mengingat sapi sapi domestik memiliki kualitas sapi pedaging
yang lebih rendah daripada sapi import. Perlu dipahami bahwa jenis sapi pedaging
yang baik memiliki ciri tubuh yang besar, kualitas daging yang maksimal, memiliki
pertumbuhan yang cepat, cepat mencapai dewasa, dan mepunyai efisiensi pakan
yang tinggi. Santoso, 2010, menjelaskan bahwa di Indonesia, jenis sapi yang
digunakan sebagai sapi pedaging antara lain sapi Bali, sapi Ongol, sapi Brahman,
sapi Madura, dan sapi Limousin. Dari semua jenis sapi tersebut, hanya sapi Brahman
yang termasuk tipe pedaging kualitas unggul. Sedangkan sapi Madura, sapi Bali, sapi
Ongol, dan Limousin termasuk tipe pekerja. Walaupun hanya sedikit dari sapi lokal
yang merupakan pedaging dengan kualitas unggul, akan tetapi jika dapat
dikembangkan dengan baik menjadi sapi potong, sapi lokal Indonesia mempunyai
banyak keistimewaan antara lain adalah: (i) reproduktivitas tinggi karena mampu
menghasilkan anak setiap tahun dalam kondisi pakan terbatas, (ii) masa produktif
yang panjang karena dapat beranak lebih dari sepuluh kali sepanjang hidupnya bila
dipelihara dengan baik, (iii) kualitas karkas dan daging sangat bagus, sehingga
harganya lebih mahal dari ex-import setiap kilogram bobot hidup, serta (iv) dapat
dipelihara secara intensif maupun ekstensif. Namun sapi Bali dan sapi lokal murni
lainnya mempunyai beberapa kekurangan yaitu kurang responsif bila memperoleh
pakan prima, dan bobot potongnya relatif kecil dibanding sapi tipe besar dari jenis
Bos Taurus atau sapi silangan hasil IB.
Herren, 2000, menambahkan bahwa selain dari jenis sapi, dalam industri
peternakan sapi perlu memperhatikan empat faktor penentu keberhasilannya. Empat
faktor tersebut diantaranya pembibitan, pemeliharaan ternak, pemeliharaan
ketersediaan, dan program penggemukan yang baik. Hal inilah yang perlu
diperhatikan dalam mewujudkan swasembada daging mengingat sektor peternakan
di Indonesia sebagian besar merupakan sektor peternakan rakyat yang tidak memiliki
basic ilmu ilmiah dalam beternak, sehingga pemeliharaan ternak hanya dilakukan
secara tradisional. Hal ini tentunya kurang efektif dalam penggemukan sapi, maka
dari itu hal ini sebagai tantangan bagi para sarjana peternakan dalam
mensosialisasikan ilmunya pada peternak rakyat secara luas dlm rangka bakti untuk
negeri.
Kendala Dalam Mewujudkan Swasembada Daging
Rencana pencapaian swasembada daging dari tahun 2005 mengalami
kemunduran waktu sampai sekarang, hal ini menunjukkan bahwa dalam proses
pelaksanaan mewujudkan swasembada daging ditemukan banyak kendala. Kendalakendala tersebut antara lain :
1. Pola pembibitan yang kurang intensif
2. Pengetahuan peternak untuk melakukan pembibitan masih rendah
3. Pemberian pakan yang kurang sesuai
4. Masih tingginya kasus pemotongan sapi betina produktif
5. Impor daging dan sapi potong sangat besar
6. Sulitnya peternak rakyat mendapat modal usaha
7. Bibit dan biaya pakan yang terlalu mahal
8. Tingginya angka kematian ternak
9. Terlalu rendahnya harga jual sapi
10. Banyaknya mavia import yang menyelundupkan daging
11. Distribusi ternak sulit karena Indonesia belum memiliki transportasi laut khusus
untuk mendistribusikan ternak.
12. Kebijakan program yang dirumuskan tidak disertai dengan rencana operasional
yang rinci.
13. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat top down dan berskala kecil
dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai
14. Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak memperhatikan
BAB III
KESIMPULAN
Jadi kesimpulannya adalah jika kita ingin harga daging sapi tetap stabil
adalah dengan memperbanyak populasi sapi ataupun produksi daging sapi tersebut,
karena terjadinya kenaikan harga daging sapi disebabkan karna langkanya daging
tersebut ataupun jumlah konsumsi yang lebih tinggi dari jumlah produksi daging
tersebut.
Itu berarti kita harus membenahi pembibitan, pakan, reproduksi,kesehatan
dan manajemen budidaya sapi tersebut. Ini harus dilakukan agar produksi daging kita
dapat meningkat. Dan untuk melakukan hal tersebut tentu saja membutuhkan waktu,
untuk itu tidak ada salahnya jika kita mengimpor daging dari negara lain agar harga
daging sapi saat ini dapat kembali stabil, sambil menunggu pembenahan pada sektor
peternakan kita.