Kondisi iklim dan topografi di Indonesia sangat mendukung untuk
pengembangan usaha peternakan baik ternak besar maupun kecil, sapi kerbau, kambing dan domba, karena dengan didukung oleh sumber daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system. Peternak sapi potong kebanyakan dalam melakukan usahanya ternaknya sudah berpengalaman yang cukup lama rata- rata sekitar 15,5 tahun, (Rusdiana, dkk., 2009). Menata ulang usaha pertanian dan peternakan di Indonesia sangatlah penting, karena banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyak perubahan iklim, bencana alam yang sering terjadi, terkait dengan variabilitas curah hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau yang panjang mengakibatkan bnayak kerugian bagi petani. Beberapa hal yang terkait dengan sumber daya alam untuk pengembangan peternakan adalah: potensi iklim, suhu, sumber pakan dan sumber air serta plasmanutfah sapi lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan. Negara Indonesia memiliki kelebihan yang signifikan karena memiliki wilayah dataran sekitar +191 ha dan letak wilayah tropis dengan sinar matahari dan curah hujan yang cukup. Negara Indonesia memiiki peluang yang cukup besar untuk menjadi lumbung pangan karena, hampir semua penduduk Indonesia bertani, (Watemin dan Sulistyani, 2015). Tanaman seprti padi, jagung, ubi rambat dan tanaman.
Laju peningkatan jumlah penduduk, yang diikuti dengan perbaikan taraf
hidup dan perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang mengarah pada protein hewani asal ternak. Daging, telur, dan susu merupakan komoditas pangan berprotein tinggi, yang umumnya memiliki harga yang lebih mahal dibanding bahan pangan lainnya (Soedjana 1997). Daging sapi sebagian besar dihasil- kan oleh usaha peternakan rakyat. Kebutuhan daging sapi meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula impor terus bertambah dengan laju yang makin tinggi, baik impor daging maupun sapi bakalan. Indonesia merupakan negara net importir produk peternakan, termasuk daging sapi. Kondisi demikian menuntut para pemangku kepentingan (stake- holders) menetapkan suatu strategi pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk mengurangi ketergan- tungan pada impor, dan secara bertahap mampu berswasembada dalam menye- diakan kebutuhan daging nasional.
Prospek pengembangan usaha ternak sapi potong lokal di Idonesia dapat
memenuhi kebutuhan kosumen daging, yang perlu dilakukan adalah manajemen pemeliharaan, pengendalian penyakit, cara perkawinan melalui IB atau ternak pejantan Impor, perbanyak bibit, perbanyakan anak, pembesaran pejantan dan betina produktif secara nasional. Selain untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, dan juga dapat meningkatkan devisa negara, sebagai ternak ekspor-impor ke negara-negara luar. Kualitas dan produktivitas sumberdaya peternak, sebagai langkah awal yang dapat mewujudkan peningkatan populasi ternak sapi potong lokal di Indonesia terutama dipeternak kecil di setiap pedesaan. Permasalahan yang dihadapi selama ini, adalah peningkatan kebutuhan daging nasional yang tidak dapat diimbangi oleh produksi dalam negeri sehingga untuk memenuhi permintaan daging sapi bagi masyarakat Indonesia pemerintah telah melakukan impor sapi bakalan dari Australia sekitar 400 ribu ekor ditambah dengan daging beku dan jerohan. Dengan ini hal yang akan dibahas potensi produksi dan permintaan sapi potong di Indonesia pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Tujuan
Mengetahui potensi produksi dan permintaan sapi potong di Indonesia
pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. PEMBAHASAN
I. POTENSI PRODUKSI DAN PERMINTAAN SAPI POTONG PADA
MASA LALU
Pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional ditentukan oleh beberapa
faktor yang terkait dengan data dukung yang tersedia dan peluang dalam menarik kebijakan ke depan. Populasi penduduk sebagai faktor utama dalam pemenuhan kebutuhan daging cenderung meningkat dengan laju 1,2%/tahun (BPS 2009a), sementara laju peningkatan populasi sapi potong mencapai 5,3% (BPS 2009b). Laju pemotongan ternak sapi mencapai 4,9% dan laju produksi daging 3,1% (Ditjennak 2009). Laju peningkatan produksi daging tersebut tidak mampu memenuhi permintaan karena berbagai faktor, yaitu: 1) penyediaan daging pada awalnya masih tidak sesuai dengan permintaan yang masih terjadi excess demand, 2) meningkatnya pendapatan rumah tangga yang cenderung meng- ubah pola konsumsi yang mengarah pa- da protein hewani asal ternak, termasuk daging sapi, dan 3) perubahan selera masyarakat yang cenderung mengarah pada konsumsi daging sapi (steak dan produk olahan lainnya).
Peningkatan konsumsi daging sapi belum dapat diimbangi oleh
peningkatan produksi dalam negeri, baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga terjadi jurang yang semakin besar antara permintaan dan penawaran (Subagyo 2009). Kondisi ini tercermin pada impor sapi bakalan mau- pun daging yang cenderung meningkat. Impor sapi bakalan mencapai 570.100 ekor pada tahun 2008 dan meningkat 40,84%/tahun. Demikian pula impor daging sapi mencapai 45.708,5 ton dengan peningkatan 37,58%/tahun (Tabel 1). Target swasembada daging sapi adalah 9095% dari kebutuhan, semen- tara sisanya (510%) dapat dipenuhi melalui impor (Badan Litbang Pertanian 2009). Endik (2010) menyatakan, swasembada daging sapi berarti harus menggali seluruh potensi dan kemampuan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan tanpa perlu melakukan impor. Pengembangan sapi dilakukan dengan melibatkan peternak sebagai pelaku utama. Namun, luas area padang rumput sebagai sumber pakan ternak menurun dengan laju 6,2%. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan sapi potong melalui penggembalaan, khususnya untuk usaha pembibitan.
II. POTENSI PRODUKSI DAN PERMINTAAN SAPI POTONG PADA
MASA KINI
Daging sapi potong merupakan komoditas pangan strategis nasional, oleh
karena itu pengembangan peternakan sapi potong sebagai sumber penghasil daging perlu diperkuat untuk mendukung kedaulatan pangan nasional. Walaupun kontribusinya terhadap pemenuhan daging baru mencapai 9,95% dari total produksi daging nasional (SPKH, 2021), ketersedian daging sapi harus terjaga secara terus - menerus dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa permintaan daging secara nasional masih melampaui kemampuan produksi dalam negeri, sehingga terdapat kesenjangan penyediaan daging sapi yang dapat berdampak terhadap melambungnya harga komoditas tersebut .Data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2020) menunjukkan bahwa pada tahun 2020, produksi daging sapi potong nasional sebesar 442.533 ton, sedangkan kebutuhan daging sapi nasional sebesar 686.271 ton atau terdapat defisit sebesar 243.738 ton. Harga daging sapi di Indonesia menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan harga daging sapi internasional. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2020) melaporkan bahwa harga daging sapi dalam negeri cukup mahal yaitu sebesar 120.159 rupiah/kg. Sedangkan harga daging sapi internasional sebesar US$ 5,88/kg atau setara dengan 85.231 rupiah/kg. Namun pada saat perayaan hari -hari besar agama, harga daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan yang dapat mencapai 170.000 rupiah/kg.Pemerintah Indonesia telah 3 kali mencanangkan program percepatan swasembada daging sapi yaitu pada tahun 2005, 2010 dan 2014, namun hingga saat ini kedaulatan pangan di bidang daging sapi belum tercapai. Peningkatan populasi sapi potong nasional baru mampu menyediakan 65% kebutuhan daging sapi dalam negeri dan sekitar 35% harus diimpor dari negara lain terutama dari Australia. Sementara konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih rendah (2,41 kg/perkapita/tahun) dibandingkan dengan negara lain (OECD/FAO 2021).Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peternakan sapi potong di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri. Peternakan sapi potong masih didominasi oleh peternakan rakyat yang melibatkan sekitar 6,5 juta peternak. Salah satu kendala terbesar dalam pengembangan peternakan sapi potong rakyat adalah sulitnya pemenuhan pakan dan nutrisi sapi yang berdampak terhadap rendahnya performan reproduksi dan pertumbuhan sapi muda. Sapi potong di pulau Jawa harus diintegrasikan dengan tanaman pangan karena terbatasnya lahan untuk penggembalaan ternak maupun untuk penanaman hijauan pakan.Penyediaan dan pemberian pakan yang berkualitas sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha sapi potong. Walaupun bibit sapi unggul dan memiliki sifat genetis yang baikyang dipelihara, namun kebutuhan nutrisinya tidak tercukupi, maka sapi bibit unggul tersebut tidak akan memberikan nilai tambah yang signifikan. Pemberian pakan yang tepat dan berkualitas dapat meningkatkan potensi keunggulan genetis pada sapi yang dipelihara sehingga dapat meningkatkan hasil produksi agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan. III. POTENSI PRODUKSI DAN PERMINTAAN SAPI POTONG PADA MASA YANG AKAN DATANG
Memasuki SDG (sustainable development goal)tahun 2045 diharapkan
Indonesia telah menjadi lumbung pangan dunia (daging sapi) dengan populasi sapi dan kerbau mencapai 41,74 juta, produksi domestik menembus angka satu juta yaitu 1.151.698 ton dengan kontribusi usaha peternakan rakyat hanya 5% dan sisanya 95% dari usaha skala menengah dan besar. Pada tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia diproyeksi 309 juta jiwa (Mulyani, 2019) sedangkan konsumsi daging sapi meningkat menjadi 2,79 kg/kapita/tahun (10,3%) pada tahun 2025, dan 3,04 kg/kapita/tahun (20,4%) pada tahun 2045 (Arifin, 2019). Artinya, pada tahun 2045 Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar 939,36 ribu ton/tahun atau hampir 78,28 ribu ton/bulan atau 2,57 ribu ton/hari. Artinya dengan angka proyeksi kebutuhan tahun 2045 sebesar 1.151.698 ton dipenuhi dari ternak sapi 939,36 ribu ton dan kerbau 212,34 ribu ton.Target peningkatan kelompok usaha ternak sapi skala menengah dan besar jika dimaknai dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontribusi usaha peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa diambil yaitu a) ada upaya mendorong perkembangan populasi ternak dalam rumah tangga meskipun tidak disebutkan secara rinci besaran skala menengah dan besar tersebut, b) peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi skala rumah tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha, dan c) tranformasi dari usaha peternakan rakyat (skala kecil) menuju usaha peternakan menengah dan besar sebagai andalan dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional dan untuk tujuan ekspor Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural pelaku usaha peternakan.Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat.