Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENGGEMUKAN SAPI POTONG

Problem dan Prospek Pengembangan Usaha Pembibitan serta Penggemukan


Sapi Potong di Indonesia

Oleh :
Pardoling Sinaga
200110140113

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2017
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laju peningkatan populasi penduduk dan perbaikan taraf hidup masyarakat
Indonesia akan mendorong peningkatan kebutuhan pangan, dan konsumsi menu
makanan rumah tangga bertahap mengalami perubahan kearah peningkatan
konsumsi protein hewani (termasuk produk peternakan). Komoditas daging, telur
dan susu merupakan komoditas pangan yang berprotein tinggi memiliki harga yang
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya. Laju
peningkatan konsumsi daging sapi yang mencapai 4,43%, dibandingkan dengan
laju peningkatan produksi sapi potong sebesar 2,33%, maka dalam jangka panjang
diperkirakan terjadi kekurangan produksi akibat adanya pengurasan ternak sapi
yang berlebihan, sehingga masih disuplai dari impor sebesar 8.912.111 ton. Upaya
dalam pengendalian populasi dan perngembangan usaha telah ditempuh oleh
pemerintah melalui beberapa kebijakan dalam rangka mempertahankan penyediaan
daging sapi lokal secara kontinyu.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyatakan, bahwa dalam
kurun waktu tiga tahun sejak 1 Juni 2011 hingga 1 Mei 2013 telah terjadi penurunan
jumlah populasi sapi dan kerbau sebesar 15,3 persen di dalam negeri. Akibatnya,
pasokan daging sapi dan kerbau di dalam negeri berkurang, sehingga pemerintah
mesti melakukan importasi. Dari hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, populasi sapi dan kerbau hingga 1 Mei 2013
sebanyak 14,17 juta ekor menurun sebanyak 2,56 juta ekor dibandingkan hasil
pendataan sapi potong, sapi perah, dan kerbau tahun 2011 yang sebanyak 16,73 juta
ekor.
Lewat pendekatan usaha pengembangbiakan (breeding) ternak, peningkatan
jumlah ternak sapi pasti terjadi. Pemerintah juga harus menjamin keberlangsungan
kawasan usaha peternakan dari tindak penggusuran. Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan juga mengamanatkan hal
ini. Jika perlu, pemerintah menyediakan lahan tak terpakai di kawasan marjinal bagi
pelaku usaha pengembangbiakan dengan harga sewa yang menarik untuk jangka
panjang. Pajak dan berbagai perizinan harus dipermudah walaupun pemerintah
tetap harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan izin usaha.
1.2 Identifikasi Masalah
Pembibitan sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha
penggemukan sapi potong di Indonesia. Selain itu, sapi asal impor dari Australia
juga merupakan sumber sapi bakalan yang makin penting bagi usaha penggemukan,
walaupun perannya masih relatif kecil (Hadi et al., 1999a). Hal ini menunjukkan
bahwa sumber utama daging sapi bagi konsumsi nasional masih tergantung pada
usaha pembibitan di dalam negeri yang berupa peternakan rakyat. Sampai saat ini
belum ada perusahaan swasta atau perusahaan negara yang bergerak di bidang
pembibitan sapipotong karena usaha tersebut dinilai kurang menguntungkan (Hadi
dan Ilham, 2000). Biro Pusat Statistik (1997) me- nunjukkan bahwa konsumsi
daging sapi per kapita rata-rata meningkat dari 0,31 kg pada tahun 1990 menjadi
0,62 kg pada tahun 1996. Selanjutnya Hadi et al. (1999) memproyeksikan bahwa
total permintaan daging sapi untuk konsumsi langsung dan industri pengolahan
makanan secara nasional akan meningkat dari 197.890 ton pada tahun 2000 menjadi
249.730 ton pada tahun 2003. Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang terus
meningkat dilakukan impor ternak hidup dan daging. Hadi et al. (1999) mem-
proyeksikan bahwa impor ternak bakalan dan daging sapi masing-masing akan
mencapai 446.225 ekor dan 23.520 ton pada tahun 2003. Jika impor tersendat,
misalnya karena depresiasi rupiah ter- hadap dolar AS yang cukup tajam,
dikhawatirkan populasi sapi lokal akan makin cepat terkuras. Banyaknya kasus
pemotongan sapi betina produktif akhir- akhir ini merupakan indikasi adanya
pengurasan ternak sapi lokal (Hadi et al., 2002). Meningkatnya impor tersebut
merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pem-
bibitan sapi potong di Indonesia.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk: 1)
mengidentifikasi karakteristik umum usaha pembibitan sapi potong rakyat,
menganalisis kelayakan finansial usaha pembibitan versus usaha penggemukan
sapi potong rakyat, 3) mengidentifikasi bangsa-bangsa sapi yang mempunyai
prospek ekonomi yang baik untuk di- kembangkan, 4) mengidentifikasi masalah
dan prospek usaha pembibitan sapi potong, dan 5) memberikan saran ke- bijakan
pengembangan usaha pembibit- an sapi potong di Indonesia.
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas matakuliah penggemukan sapi potong yaitu mengenai problem dan prospek
pengembanga usaha penggemukan sapi potong
II
PEMBAHASAN
2.1 Karakteristik Umum Usaha Pembibitan Sapi Potong Rakyat
2.1.1 Tujuan Pemeliharaan Sapi Potong
Tujuan pemeliharaan sapi potong oleh peternakan rakyat adalah untuk
pembibitan (reproduksi) dan peng- gemukan (Prasetyo, 1994). Usaha pem- bibitan
umumnya dilakukan di daerah dataran rendah dengan ketersediaan pakan relatif
kurang, sedangkan usaha penggemukan banyak terdapat di daerah dataran tinggi
dengan ketersediaan pakan relatif cukup. Di Jawa Tengah, misalnya, daerah
Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang merupakan daerah dataran rendah dengan
ketersediaan pakan relatif kurang sehingga usaha pembibitan lebih sesuai
dibandingkan dengan usaha peng- gemukan. Sebaliknya, daerah Wonosobo dan
Salatiga merupakan daerah dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup
sehingga lebih sesuai untuk usaha penggemukan. Hal serupa juga terjadi di Jawa
Timur. Daerah Tuban, Lamongan, dan Probolinggo merupakan dataran rendah
dengan ketersediaan pakan relatif kurang, sedangkan daerah Magetan dan Malang
merupakan dataran tinggi dengan ketersediaan pakan relatif cukup (Hadi et al.,
2002).
Pemeliharaan dengan pola seperti di atas berkaitan dengan kebutuhan pakan
ternak. Usaha pembibitan relatif tidak memerlukan banyak pakan karena tujuan
utamanya adalah untuk menghasilkan pedet, sedangkan penggemukan memer-
lukan lebih banyak pakan karena tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan
daging. Namun demikian untuk usaha pembibitan, selama masa kebuntingan
terutama pada minggu ketiga terakhir dan selama masa laktasi, ternak memerlukan
pakan dengan kuantitas dan kualitas yang memadai agar pertumbuhan janin dan
pedet selama prasapih tetap normal (Roy, 1959). Dengan pakan yang cukup, pedet
akan mempunyai bobot badan normal dan tumbuh sehat. Menurut Lebdosukoyo
et al. (1979), sapi induk yang sedang menyusui, terutama yang digunakan sebagai
hewan kerja untuk mengolah tanah, memerlukan energi dan fosfor dalam jumlah
cukup agar produktivitasnya tidak terganggu. Namun, pemberian pakan yang
berlebihan dapat menyebabkan kegemukan, dan sebaliknya pemberian pakan yang
kurang dapat menghambat aktivitas reproduksi (Toelihere, 1981).
2.1.2 Skala Usaha
Jumlah pemilikan induk sapi untuk pembibitan umumnya sangat kecil. Di
daerah pertanian intensif seperti Kabupaten Grobogan dan Wonosobo, rata- rata
pemilikan sapi induk berkisar 1 3 ekor/petani (Hadi dan Ilham, 2000). Hal serupa
juga terjadi di kabupaten- kabupaten lain, seperti Lampung Tengah, Lamongan,
Magetan, Lombok Barat, dan Maros (Hadi et al., 2002). Di daerah dengan pola
pemeliharaan sapi secara ekstensif atau dilepas, pemilikan sapi potong bisa
mencapai ratusan ekor, seperti di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (Hadi dan
Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002), Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur (Hadi
dan Purwantini, 1991b) dan Barru di Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002).
Kecilnya skala usaha pemeliharaan sapi di daerah pertanian intensif di-
sebabkan peternakan merupakan usaha yang dikelola oleh rumah tangga petani,
dengan modal, tenaga kerja, dan ma- najemen yang terbatas. Kecilnya pemilikan
ternak juga karena umumnya usaha pembibitan atau penggemukan merupakan
usaha sampingan, selain usaha tani utama seperti padi, palawija, sayuran atau
tanaman perkebunan. Di daerah pertanian ekstensif, cukup besarnya skala usaha
disebabkan padang rumput untuk peng- gembalaan cukup tersedia, sehingga
kebutuhan tenaga kerja dan biaya pakan dapat dikatakan hampir mendekati nol
(Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi et al., 2002).
2.1.3 Reproduksi
Teknik reproduksi sapi potong ter- diri atas Inseminasi Buatan (IB) dan per-
kawinan alami. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB makin populer karena
terbatasnya sapi pejantan dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat
(Hadi dan Ilham, 2000; Hadi et al., 2002). Umumnya bangsa sapi yang digunakan
adalah Peranakan Ongole (PO), baik induk maupun semennya. Di samping itu,
akhir-akhir ini juga terjadi peningkatan permintaan terhadap sapi bakalan
peranakan bangsa sapi ber- produktivitas tinggi, seperti Simmental dan Charolise,
yang perkawinannya hanya dapat dilakukan melalui IB. Na- mun, untuk
perkawinan pertama, sebagian peternak masih menerapkan IB dengan sapi
sebangsanya, yaitu sapi PO. Hal ini karena sapi induk PO yang masih dara akan
mengalami kesulitan dalam me- lahirkan anak pertama jika menggunakan semen
Simmental atau Charolise karena ukuran anaknya lebih besar. Akibatnya, induk
atau anaknya bisa mati atau terjadi perusakan peranakan (prolapsus uteri) yang
mengganggu proses kelahiran berikutnya. Setelah kelahiran pertama, IB dengan
semen Simmental atau Charolise dapat dilakukan. Di daerah-daerah pertanian
ekstensif, perkawinan alami lebih dominan daripada IB karena pejantan cukup
tersedia dan terbatasnya pelayanan IB. Jenis sapi yang dikembangkan adalah Sapi
Bali di Nusa Tenggara Barat (Hadi dan Purwantini, 1991a; Hadi et al., 2002) dan
Sulawesi Selatan (Hadi et al., 2002) serta Sumba Ongole (SO) di Nusa Tenggara
Timur (Hadi dan Purwantini, 1991b). Angka rasio pelayanan kawin per
kebuntingan ("service per conception ratio" = S/C) pada IB masih cukup tinggi,
yang menunjukkan kurang berhasilnya IB. Sebagai contoh, rata-rata S/C di daerah
Wonosobo adalah 0,60, di Kecamatan Kalikajar (Wonosobo) 0,20, dan di daerah
Grobogan 2,60 (Hadi dan Ilham, 2000).
2.2 Pemilihan Bangsa Sapi
Pemilihan bangsa sapi berkaitan dengan permintaan bakalan untuk usaha
penggemukan (Hadi dan Ilham, 2000). Di sebagian besar wilayah Indonesia,
populasi sapi PO masih sangat dominan karena pada awalnya daerah tersebut
merupakan basis lokasi pengembangan bangsa sapi tersebut. Namun di beberapa
daerah seperti Wonosobo, Grobogan, Salatiga, dan Magetan, pengusahaan bangsa
sapi lain seperti Brahman, Peranakan Friesh Holland (PFH), Pe- ranakan Charolise,
Peranakan Hereford, dan Peranakan Simmental mulai ber- kembang walaupun
populasinya masih jauh lebih sedikit (Hadi et al., 2002). Meskipun harga sapi
bakalan Peranakan Simmental dan Peranakan Charolise jauh lebih mahal dibanding
PO, minat peternak dalam usaha penggemukan dua bangsa sapi tersebut makin
besar karena pertambahan bobot badan harian ("Average Daily Gain" = ADG),
tingkat konversi pakan ("feed conversion rate"), dan komposisi karkas lebih tinggi
dengan komponen tulang lebih rendah (Hadi dan Ilham, 2000).
2.2.1 Pemeliharaan Ternak
Di daerah pertanian intensif, sebagian peternak memelihara sapi dalam
kandang permanen, namun ada juga yang menggunakan kandang sederhana.
Kapasitas kandang bervariasi sesuai dengan jumlah sapi yang dipelihara.
Pengandangan dilakukan agar sapi tidak mengganggu pertanaman karena lokasi
usaha berada di daerah pertanian intensif yang pada umumnya tidak mempunyai
tempat penggembalaan (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian ekstensif,
ternak sapi umumnya cukup digembalakan karena lapangan penggembalaan umum
tersedia luas (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b; Hadi et al., 2002).
Peternak pembibitan di daerah pertanian intensif umumnya meng- gunakan
sistem kereman sehingga sapi induk cepat menjadi gemuk. Namun, induk yang
terlalu gemuk bisa terganggu proses reproduksinya atau menyebabkan kemajiran.
Setelah melahirkan anak kedua, sapi induk tidak bunting lagi walaupun sudah
dilakukan IB beberapa kali (Hadi dan Ilham, 2000). Peternak biasanya menjual sapi
yang majir sebagai sapi potong. Untuk menghindari pemotongan sapi induk yang
majir, petugas IB ber- upaya melakukan penyuntikan tepat waktu sesuai dengan
saat berahi sapi. Penggunaan preparat hormon tidak dilakukan karena biayanya
terlalu mahal. Oleh karena itu, perlu dilakukan pe- nyuluhan tentang cara
pemeliharaan induk sapi secara tepat.
Pola pengandangan ternak pada usaha pembibitan umumnya bersifat
perseorangan karena pemilikan sapi induk relatif kecil. Beberapa peternak yang
melakukan usaha penggemukan meng- gunakan kandang kolektif. Cara ini dinilai
dapat memberi beberapa keuntungan, antara lain: 1) mendorong saling tukar
informasi antarpetani, 2) mempermudah pengawasan terhadap kesehatan dan
perkembangan bobot badan ternak, 3) meningkatkan total skala usaha pe-
meliharaan (Hadi dan Ilham, 2000), dan 4) mencegah terjadinya pencurian ternak
(Hadi et al., 2002). Pada umumnya, kandang perseorangan berlokasi di dekat rumah
tempat tinggal, sedangkan kandang kolektif berada di ladang yang me- mungkinkan
pengangkutan pupuk kan- dang lebih mudah dan efisien.
Di daerah pertanian intensif, jenis pakan terdiri atas hijauan dan konsentrat,
namun sebagian besar berupa pakan hijauan, terutama pada usaha pembibitan.
Pakan hijauan yang merupakan sumber serat kasar, berasal dari rumput segar
(rumput raja) yang ditanam pada pematang sawah atau lahan lainnya, serta sisa-sisa
tanaman, seperti jerami padi, jerami jagung atau jerami kacang-kacangan, (Hadi
dan Ilham, 2000). Di daerah Wonosobo misalnya, sesuai dengan kondisi alamnya
yang dingin dan basah, hijauan pakan ternak cukup tersedia. Pakan konsentrat,
terutama untuk peng- gemukan, terbuat dari bahan padat energi, seperti bekatul,
jagung, ubi kayu, ampas ubi kayu, dan ampas tahu. Di daerah Wonosobo, peternak
sudah terbiasa menggunakan campuran dedak padi dan ubi kayu yang dicincang
dan sebagian peternak membeli konsentrat yang siap pakai. Di daerah pertanian
ekstensif, rumput alam merupakan satu-satunya sumber pakan ternak (Hadi dan
Pur- wantini, 1991a; 1991b).
Untuk mencegah timbulnya ganggu- an penyakit, di daerah pertanian
intensif dilakukan pengobatan dengan dibantu Dinas Peternakan setempat. Di
daerah tertentu, seperti Kecamatan Kalikajar (Wonosobo), sekali setahun ternak
dikumpulkan di lapangan dalam acara selamatan atau kontes ternak. Pada saat itu,
sapi yang dipamerkan diberi pe- ngobatan gratis oleh Dinas Peternakan setempat.
Oleh karena itu, di daerah Wonosobo secara umum tidak ada penyakit serius pada
ternak sapi, kecuali gangguan reproduksi dan kurangnya nafsu makan pada sapi
induk (Hadi dan Ilham, 2000). Di daerah pertanian eksten- sif, karena ternak sapi
dilepas maka peternak hampir tidak pernah melakukan pengawasan terhadap
kesehatan ternak- nya (Hadi dan Purwantini, 1991a; 1991b).
2.3 Kelayakan Finansial Usaha Pembibitan Versus Penggemukan
Peternak yang rasional secara ekonomi akan menanamkan modalnya pada
usaha yang bisa memberikan keuntungan paling tinggi baginya. Ada tiga pilihan
bagi peternak dalam usaha peternakan sapi, yaitu pembibitan, penggemukan, atau
kombinasi pembibitan dan penggemukan. Hadi dan Ilham (2000) telah
menganalisis usaha pembibitan di daerah pertanian intensif berdasarkan bangsa
induk sapi, yaitu PO dan PFH yang dikawinkan secara IB dengan semen
Simmental, serta usaha penggemukan sapi bakalan PO dan Peranakan Simmental.
Hasil yang rasional secara ekonomi akan memilih usaha penggemukan
dibanding pembibitan. Namun, kebutuhan akan modal yang jauh lebih besar untuk
membeli sapi bakalan pada setiap periode pemeliharaan merupakan kendala yang
perlu mendapat perhatian. Hadi dan Ilham (2000) menunjukkan bahwa modal
utama untuk usaha pem- bibitan adalah untuk membeli pakan yang tidak harus
dikeluarkan dalam jumlah besar pada awal pemeliharaan, sedangkan untuk usaha
penggemukan modal utama adalah untuk membeli sapi bakalan yang harus
dikeluarkan dalam usaha pembibitan sapi potong dapat dilakukan oleh peternakan
rakyat, pemerintah dan perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Permintaan yang tinggi akan sapi bibit dan sapi bakalan hingga saat ini
belum dapat dipenuhi oleh usaha pembibitan sapi potong di dalam negeri. Hal ini
tercermin pada impor sapi bakalan dan daging sapi beku yang cenderung makin
besar serta harga sapi bibit dan sapi bakalan di dalam negeri yang makin tinggi
(Hadi et al., 1999). Lambatnya perkembangan usaha pembibitan disebabkan oleh
beberapa masalah sebagai berikut.
a. Usaha pembibitan rakyat
Usaha pembibitan rakyat dapat dilakukan secara intensif di sekitar daerah
pertanian dengan sistem dikandangkan seperti di Lampung, Jawa, Nusa Tenggara,
dan Sulawesi. Selain itu, usaha pem- bibitan rakyat dapat juga dilakukan secara
ekstensif yang mengandalkan basis bagi hasil, diharapkan upaya ini mampu
membantu masyarakat lokal serta me- ningkatkan produksi bibit dan daging sapi.
Di daerah-daerah sentra produksi pertanian, usaha pembibitan sapi lokal
cenderung menurun. Hadi dan Ilham (2000) dan Hadi et al. (2002) menyebutkan
ada tiga faktor yang menjadi penyebab- nya. Pertama, sebagian petani memelihara
sapi sebagai ternak kerja untuk menarik bajak, garu, atau gerobak. Namun peng-
gunaan tenaga ternak ini cenderung menurun sejalan dengan makin tingginya
intensitas tanam, adanya keharusan menerapkan pola tanam serentak pada
komoditas pangan yang membutuhkan ketepatan waktu olah tanah, dan me-
ningkatnya penggunaan traktor terutama di daerah beririgasi teknis. Kedua, di
sebagian besar daerah telah ada sistem perkawinan dengan teknologi IB, namun
kegiatan ini belum sepenuhnya berhasil. Di Grobogan misalnya, tingkat ke-
berhasilan IB hanya sekitar 68%. Ketiga, jumlah tenaga kerja keluarga peternak
sangat terbatas (1 2 orang dewasa) dan kemampuan peternak membayar tenaga
kerja upahan sangat rendah. Di samping itu, usaha memelihara ternak merupakan
usaha sambilan di samping usaha tani utama tanaman pangan. Hal ini me-
nyebabkan kemampuan peternak mencari pakan (terutama rumput) sangat terbatas,
sehingga jumlah ternak yang dipelihara menjadi terbatas.
Untuk pembibitan ekstensif, yang pakannya mengandalkan padang peng-
gembalaan umum, ada dua masalah utama yang dihadapi (Hadi dan Ilham, 2000;
Hadi et al., 2002). Pertama, luas areal padang penggembalaan umum cenderung
me- nurun karena konversi ke penggunaan hutan tanaman industri dan lahan
pertanian lain sehingga daya tampung ternak menurun atau terjadi "overgrazing"
yang menyebabkan kualitas padang penggembalaan menurun. Belum adanya
kepastian hukum mengenai keberadaan padang penggembalaan dalam tata guna
lahan menyebabkan mudahnya terjadi konversi. Berbagai upaya telah dilakukan
namun hingga kini belum berhasil. Kedua, adanya kasus-kasus penyakit "brucella"
yang menyebabkan sistem reproduksi sapi induk terganggu. Dengan sistem
pemeliharaan ekstensif, pengendalian penyakit ini sulit dilakukan.
b. Usaha pembibitan pemerintah
Pembibitan sapi potong oleh pemerintah selama ini dilakukan oleh Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pembibitan Ternak dan Hijauan Makanan Ternak.
Dari delapan UPT yang ada, tujuh UPT menangani pembibitan sapi potong, namun
kemampuannya untuk mem- produksi dan mendistribusikan bibit masih terbatas
(Hadi dan Ilham, 2000). Untuk meningkatkan kinerja UPT diperlukan beberapa
perubahan, terutama yang berkaitan dengan aturan cara men- distribusikan ternak
hasil produksi UPT. Melalui kerja sama dengan masyarakat di sekitar UPT, baik
dalam usaha pembibitan maupun penggemukan dengan system
Beberapa penyakit sapi, termasuk "brucella", sering dijumpai pada usaha
pembibitan pemerintah. Penyakit ini dapat menurunkan reproduktivitas sapi induk
di pusat pembibitan. Pemberantasan pe- nyakit tersebut sulit dilakukan karena
adanya kontak ternak di pusat pembibitan dengan ternak rakyat yang digembalakan
di sekitar areal pembibitan.
Selain UPT Pembibitan, juga terdapat UPT Balai Inseminasi Buatan (BIB)
yang bertugas memproduksi dan mendis- tribusikan semen beku. Perubahan
permintaan akan jenis ternak seperti Peranakan Simmental, Charolise, dan Hereford
hendaknya dapat diantisipasi oleh BIB melalui pengadaan pejantan bangsa sapi
yang diminati peternak. Di Wonosobo misalnya, semen Charolise pernah
diintroduksikan ke daerah tersebut, namun setelah minat peternak muncul,
persediaan semen bangsa sapi tersebut tidak ada lagi (Hadi dan Ilham, 2000).
Untuk menghasilkan turunan yang baik, maka penggunaan induk juga
diperlukan. Di Wonosobo, misalnya, penggunaan induk PFH menghasilkan
keturunan yang lebih baik dan disukai peternak (Hadi dan Ilham, 2000). Kelebihan
induk PFH adalah mampu menghasilkan susu yang cukup selama periode prasapih.
Namun karena PFH merupakan sapi penghasil susu, maka perkawinan induk PFH
dengan pejantan sapi potong (Simmental atau sederajad) sebaiknya dilakukan
mendekati fase "culling", tetapi produksi susu induk masih cukup untuk memenuhi
kebutuhan pedet selama periode prasapih. Anak yang lahir baik jantan maupun
betina digunakan sebagai bakalan sapi potong, Di daerah-daerah yang tidak
terdapat induk PFH dapat digunakan induk bangsa sapi lain yang mampu
memproduksi susu untuk men- cukupi kebutuhan pedet selama periode prasapih.
Kemampuan menghasilkan keturunan yang baik merupakan per- paduan antara
bangsa sapi dan pakan yang diberikan (kuantitas dan kualitas).
c. Usaha pembibitan swasta
Selama ini, pihak swasta lebih tertarik untuk menanamkan modalnya pada
usaha penggemukan daripada pembibitan, terbukti dari cepat berkembangnya usaha
"feedlot" sejak tahun 1991. Hal ini disebabkan antara lain usaha peng- gemukan
memiliki risiko yang lebih kecil, perputaran modal lebih cepat, dan waktu
pengembalian modal ("payback period") lebih singkat dibanding usaha pembibitan
(Hadi dan Ilham, 2000). Insentif berupa subsidi bunga bank untuk kredit investasi
pembibitan sapi kini tidak lagi tersedia karena adanya penyalahgunaan kredit.
Peraturan tentang penguasaan lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU)
yang hanya berlaku 25 30 tahun dalam satu kali pengurusan merupakan masalah
bagi usaha pembibitan sapi potong, karena usaha ini membutuhkan waktu lama
untuk dapat menghasilkan keuntungan yang memadai (Hadi dan Ilham, 2000). Di
samping itu, proses pengurusan peng- gunaan lahan dan ijin usaha biasanya
membutuhkan waktu yang cukup lama. Tidak adanya kepastian dalam penguasa-
an lahan ini akan menghambat investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha
pembibitan sapi potong.
d. Peluang dan Strategi Pengembangan
Kelayakan usaha dari hasil analisis biaya dan pendapatan diketahui bahwa
usaha pembibitan dengan menggunakan induk PO dan semen Simmental sangat
tidak menguntungkan walaupun tanpa bunga modal. Sebaliknya, dengan
menggunakan semen Simmental dan induk PFH masih menguntungkan walaupun
dikenakan bunga modal 18%/tahun. Namun, usaha penggemukan memberikan
keuntungan finansial jauh lebih besar dalam waktu lebih pendek, sehingga usaha
ini lebih menarik bagi investor dibanding usaha pembibitan. Di daerah-daerah yang
sulit memperoleh induk PFH dapat digunakan induk bangsa sapi lain yang produksi
susunya dapat memenuhi kebutuhan anaknya selama periode prasapih. Salah satu
upaya untuk itu adalah meningkatkan kualitas pakan induk pada saat bunting tua
dan selama menyusui anaknya.
Namun di daerah Wonosobo, cukup banyak peternak yang melakukan usaha
pembibitan, terutama yang menggunakan induk PFH dan semen Simmental. Hal ini
disebabkan kebutuhan modal awal pada usaha pembibitan lebih sedikit dibanding
usaha penggemukan. Selama jangka waktu 8 tahun usaha pembibitan, pembelian
induk hanya dilakukan sekali, sedangkan pada usaha penggemukan pembelian sapi
bakalan dilakukan setiap awal periode penggemukan (4 6 bulan). Namun
demikian, usaha pembibitan dengan menggunakan induk PFH (yang sudah
mendekati fase "culling") dan semen Simmental atau sederajad perlu di-
kembangkan sehingga anaknya kelak mempunyai pertambahan bobot badan per
hari di atas 1 kg (Hadi dan Ilham, 2000).
III
KESIMPULAN
Kebijakan pemerintah mengenai jumlah pejantan dengan betina
mempengaruhi prospek usaha dalam kombinasi penggemukan dan pembibitan dari
sisi teknis usaha
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O., M. Gunawan, N. Ilham, Saktyanu K. Darmoredjo, K. Kariyasa, I.
Sadikin, A. Djulin, K.M. Noekman, dan A.M. Hurun. 1996. Prospek dan Kendala
Agribisnis Peternakan dalam Era Perdagangan Bebas. Laporan Penelitian, Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 314 hlm.

Biro Pusat Statistik. 1997. Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS 1996). Biro
Pusat Statistik. Jakarta. 232 hlm.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Identifikasi dan Kajian Agribisnis


Peternakan di 13 Propinsi di Indonesia: Vol. III Buku I, III, dan IV. Nexus
Indoconsultama. Jakarta. 467 hlm.

Hadi, P.U., A. Thahar, N. Ilham, and B. Winarso. 2002. A Progress report


summary: analytic framework to facilitate development of Indonesias beef
industry. Paper Presented at the Routine Seminar. Center for Agro Socio
Economic Research and Develop- ment. Bogor, 8 Maret 2002. 24 p.

Hadi, P.U. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak
sapi potong di Indonesia dalam rangka swa- sembada daging 2005. Makalah
dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan
Revitalisasi UPT T.A. 2000. Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan, Jakarta, 11 12 Juli 2000. 22 hlm.

Hadi, P.U. dan T.B. Purwantini. 1991a. Kajian Pola Produksi Pertanian Lahan
Kering di Kabupaten Bima - Nusa Tenggara Barat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 121 hlm.

Anda mungkin juga menyukai