Anda di halaman 1dari 7

Lokakarya Nasional Kambing Potong

157
PENAMPILAN PETERNAKAN KAMBING DAN POTENSI BAHAN
PAKAN LOKAL SEBAGAI KOMPONEN PENDUKUNGNYA DI
WILAYAH PROPINSI JAWA TENGAH
S. PRAWIRODIGDO, T. HERAWATI DAN B. UTOMO
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

PENDAHULUAN
Kambing adalah ternak penting sebagai
penopang ketahanan kehidupan petani miskin.
Informasi dari pustaka klasik (HEMMER et al.;
1991) menyatakan, bahwa selama periode 1981-
1990 negara-negara tropis yang semula
mengabaikan pentingnya peranan ternak kambing
bangkit dari kondisi dorman tersebut. Pada periode
itu semangat dan tindakan pengembangan maupun
aktivitas ilmiah telah diintensifkan pada sasaran
meningkatkan produksi dan memperluas landasan
pengetahuan terapan tentang pakan, pemuliabiakan,
dan pengendalian penyakit) untuk usaha ternak
kambing (HEMMER et al., 1991) Dari sisi ilmiah,
pada dekade tersebut para peneliti di Indonesia
(BASUKI et al., 1982; OBST et al., 1982; THOMAS,
1982; AMSAR et al., 1989; ISROLI et al., 1989;
MARYANTO dan NOERDJITO, 1989; MATHIUS,
1989; SETIADI, 1989; SUSILO et al., 1989;
TRIWULANINGSIH, 1989) juga peduli terhadap
upaya peningkatan produksi ternak kambing.
Walaupun demikian karena terjadi krisis kompleks
di Indonesia, maka semangat kebangkitan dalam
meningkatan budidaya ternak kambing tersebut
melemah.
Menurut KNIPSCHEER et al. (1994), konsumsi/
kapita daging merah (red meat, termasuk diantara-
nya daging sapi, kambing dan domba) di Indonesia
sangat rendah yaitu 2 kg/tahun, karena ketersediaan
daging ini tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pada
tahun yang sama, SOEDJANA (1994) berpendapat
bahwa meskipun masih mengimpor daging merah,
sebenarnya Indonesia mempunyai potensi untuk
menjadi negara pengekspor daging ternak
ruminansia kecil ke negara-negara Asia dan Timur-
Tengah. Pada tahun 2004 DINAS PERTANIAN
KABUPATEN TEMANGGUNG (komunikasi langsung)
menyatakan informasi serupa bahwa Pemerintah
Daerah Temanggung pernah mendapat permintaan
menyediakan 2500 ekor/bulan ternak kambing atau
domba untuk diekspor ke negara-negara Timur
Tengah. Tetapi Pemda Temanggung belum dapat
menanggapi permintaan tersebut karena stock
ternak dimaksud di Temanggung tidak dapat
mencukupi permintaan secara rutin. KNIPSCHEER et
al. (1994) menambahkan bahwa introduksi ternak
kambing/domba dalam skala kecil terhadap sistem
usaha tani pada suatu keluarga petani miskin,
umumnya mampu meningkatkan 30% lebih dari
pendapatan mereka. NOLAN et al. (1994)
mendukung pernyataan DEVENDRA (1980) bahwa
kambing/domba adalah ternak yang biasanya
dikaitkan dengan kehidupan petani miskin di
negara-negara sedang berkembang. Meskipun
budidaya ternak kambing dapat meningkatkan
pendapatan petani namun umumnya usaha ternak
ini masih dilakukan secara tradisional dengan
menggunakan pakan seadanya (KNIPSCHEER et al.,
1994). Tentu saja untuk berhasil guna, sistem
pemeliharaan kambing tradisional ini harus
ditingkatkan menjadi sistem budidaya intensif yang
berorientasi agribisnis. Masalah ini sampai
sekarang belum mendapat solusi yang memuaskan.
DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH
(2003) melaporkan bahwa populasi kambing di
propinsi ini pada tahun 2002 adalah 2.971.257
ekor. Makalah ini difokuskan untuk mengulas
penampilan peternakan kambing dan potensi pakan
lokal di pedesaan di wilayah Propinsi Jawa Tengah.
Tujuan penyajian makalah ini adalah untuk
menginformasikan perspektif peternakan kambing
di Jawa Tengah sebagai bahan dasar pertimbangan
dalam perencanaan penelitian dan pengembangan
ternak tersebut di pedesaan.
ILUSTRASI PERKEMBANGAN
PETERNAKAN KAMBING DI PEDESAAN
Ilustrasi perkembangan peternakan kambing
yang disampaikan dalam makalah ini adalah
penjabaran dari data statistik peternakan Propinsi
Jawa Tengah (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA
TENGAH, 2003) dan ringkasan keadaan riil yang
terlihat di pedesaan secara langsung. Hal-hal yang
terutama berkaitan dengan kondisi rill peternakan
kambing tertutama adalah perbibitan, pakan,
perkandangan, dan pengelolaannya.
Berdasarkan sifat atau pola usaha ternak, maka
pengertian petani ternak kambing di Jawa Tengah
pada makalah ini didefinisikan sebagai peternak
Lokakarya Nasional Kambing Potong

158
dan pemelihara ternak. Dalam hal ini, yang
dimaksud peternak kambing adalah petani yang
melakukan budidaya ternak kambing yang sudah
menerapkan pertimbangan ekonomis. Di lain pihak,
pemelihara ternak kambing adalah petani yang
melakukan budidaya ternak kambing, tetapi belum
begitu intensif dalam mempertimbangkan
keuntungan-kerugian secara finansial.
Perkembangan Populasi Ternak Kambing
Data dari 29 kabupaten di wilayah Propinsi
JawaTengah menunjukkan bahwa populasi ternak
kambing dimasing-masing kabupaten bervariasi
(Tabel1). Populasi ternak kambing pada tahun 2002
terbanyak terdapat di Wonogiri yaitu 14,7% dari
total populasi Jawa Tengah (DINAS PETERNAKAN
PROPINSI JAWA TENGAH, 2003), sedangkan yang
terendah di daerah Kabupaten Kudus (0,6%). Di
samping Wonogiri, daerah kabupaten-kabupaten
lainnya yang menjadi sepuluh besar kantong
(sentra) ternak kambing adalah Brebes (6,1%),
Purworejo (5,7 %), Banyumas (5,3%), Purbalingga
(5,0%), Grobogan (4,9%), Kebumen (4,9%),
Pemalang (4,1%), Boyolali (4,1%) dan
Banjarnegara (4,0%).
Berdasarkan populasi ternak kambing pada
tahun 1998-2002, populasi ternak kambing di 17
kabupaten mengalami pertumbuhan (Tabel 1),
tetapi nilai pertumbuhannya selama kurun waktu
lima tahun tersebut sangat rendah. Persentase
perkembangan populasi yang paling tinggi terjadi
di Daerah Kabupaten Temanggung (bertambah
31612 ekor), kemudian diikuti oleh Wonogiri
(79064 ekor), Wonosobo (16176 ekor), Rembang
(10807), Kebumen (18148 ekor), dan Purbalingga
(14218 ekor) (Tabel 1). Tetapi di 12 kabupaten
lainnya justru mengalami penurunan. Rendahnya
perkembangan populasi ternak kambing ini diduga
karena adanya empat faktor penyebab sebagai
berikut :
Perhatian dan bahkan pengetahuan petani
terhadap perbibitan ternak kambing rendah. Pada
sistem pengelolaan usaha di mana petani masih
bersifat sebagai pemelihara ternak, umumnya
petani kurang atau bahkan tidak memperhatikan
masalah perbibitan ternaknya secara intensif. Pada
sistem demikian umumnya petani kurang
memperhatikan perkawinan dan kelahiran anak
kambing mereka, sehingga wajar kalau petani
mengeluh bahwa kambing tidak mau bunting dan
mortalitas anak kambing yang baru di lahirkan
tinggi.
Terjadi kematian pada anak dan induk yang
cukup tinggi karena gangguan penyakit sebagai
akibat pemberian pakan dan higien sanitasi/sistem
perkandangan yang tidak sesuai. Meskipun sudah
banyak inovasi teknologi budidaya ternak kambing
yang dilakukan oleh Departemen Pertanian maupun
Perguruan Tinggi, namun umumnya petani kurang
memperhatikan proporsi bahan pakan yang
diberikan pada ternak kambing setiap hari. Di
samping itu masih banyak petani yang menerapkan
sistem perkandangan lemprak yaitu bukan
panggung (WILOETO et al., 2000), dan pembersihan
kandang umumnya hanya dilakukan setiap 35 hari
atau bahkan tiga bulan sekali. Dalam sistem
pengelolaan kandang ini umumnya petani lebih
mengutamakan produksi pupuk kandang dari pada
perkembangan ternaknya sendiri atau hasil ternak
lainnya. Sistem pemeliharaan demikian tentu saja
akan mengakibatkan ternak kambing menjadi
rentan terhadap gangguan penyakit dan
konsekuensinya tidak dapat menghasilkan
penampilan reproduksi maupun produksi yang
memuaskan.
Berkurangnya minat petani terhadap usaha
ternak kambing. Hasil wawancara dengan petani
menunjukkan bahwa umumnya minat petani untuk
beternak kambing berkurang karena keengganan
dalam mengatasi kendala pada budidaya ternak ini.
Kendala utama yang sering dikeluhkan adalah
kesulitan mengatasi penyakit kudis (Scabies),
penyakit mata (Orf), kesulitan mendapatkan pakan
kesukaan kambing yang sangat berbeda dengan
kesukaan domba, dan kematian kambing muda
karena sakit kembung.
Meningkatnya konsumsi daging kambing. Pada
Tabel 1 tercantum bahwa selama lima tahun secara
keseluruhan terjadi kenaikan produksi daging
kambing 1328 ton. Data produksi ini merupakan
hasil kalkulasi dari jumlah ternak kambing yang
dipotong di Jawa Tengah selama lima tahun (DINAS
PETERNAKAN PROPINSI JAWA TENGAH, 2003).
Meskipun data ini tidak memberikan refleksi
sebenarnya tentang perkembangan populasi ternak
kambing di Jawa Tengah, namun paling tidak
menunjukkan perspektif tentang minat konsumen di
Jawa Tengah terhadap daging kambing. Secara
meluas telah diterima bahwa untuk hewan korban
pada Hari Raya Idul Adha, ternak kambing
mempunyai nilai jual lebih tinggi dari pada ternak
domba. Sejalan dengan itu dapat dimengerti bahwa
bersama-sama dengan ketiga faktor lainnya, faktor
meningkatnya konsumsi daging kambing secara
simultan menekan laju pertumbuhan populasi
ternak kambing di Jawa Tengah.
Lokakarya Nasional Kambing Potong

159
Tabel 1. Perkembangan populasi dan produksi daging kambing di Jawa Tengah
Populasi (ekor) Produksi daging (kg)
Kabupaten
1998 2002
Perkembangan
(%)
1998 2002
Perkembangan
(%)
Banjarnegara 159336 120016 -24,7 151491 559560 269,4
Banyumas 158146 156481 -1,1 351731 784182 122,9
Batang 52485 49475 -5,7 86128 57765 -32,9
Blora 90181 89090 -1,2 287373 140395 -51,1
Boyolali 121918 120702 -1,0 90788 90041 -0,8
Brebes 164449 179794 9,3 702271 447346 -36,3
Cilacap 91225 90442 -0,9 242202 898367 270,9
Demak 42762 38018 -11,1 48584 137716 183,5
Grobogan 139635 146651 5 286329 293786 2,6
Jepara 42502 44870 5,6 92574 279204 201,6
Karanganyar 38078 21331 -44,0 78660 65585 -16,6
Kebumen 128488 146636 14,1 873355 348644 -60,1
Kendal 64457 56720 -12,0 204919 589326 187,6
Klaten 61844 65685 6,2 310904 854067 174,7
Kudus 42280 18834 -55,5 125016 114617 -8,3
Magelang 58057 58552 0,9 44589 4577 -89,7
Pati 99025 107578 8,6 804863 438877 -45,5
Pekalongan 43934 44761 1,9 103264 136863 32,5
Pemalang 133322 121691 -8,7 161668 65296 -59,6
Purbalingga 132963 147181 10,7 110500 108311 -2,0
Purworejo 165915 168495 1,6 279189 1037452 271,6
Rembang 70801 81608 15,3 59165 137139 131,8
Semarang 111537 114615 2,8 tad tad Tad
Sragen 64090 67359 5,1 140004 79074 -43,5
Sukoharjo 31923 32312 1,2 87254 399707 358,1
Tegal 50757 45194 -11,0 1104989 421592 -61,8
Temanggung 54089 85701 68,4 23688 104840 342,6
Wonogiri 359186 438250 22,0 1484240 950823 35,9
Wonosobo 97039 113215 16,7 102456 239504 133,0
Total 2870424 2971257 3,5 8456643 9784656 15,7
tad = tidak ada data
Sumber: DINAS PETERNAKAN PROPINBSI JATENG (2003)

Lokakarya Nasional Kambing Potong

160
Jenis Ternak Kambing Yang Berkembang
Di wilayah Propinsi Jawa Tengah terdapat
empat jenis ternak kambing yang dibudidayakan
oleh masyarakat. Jenis kambing ini menjadi ternak
andalan Pemda Jawa Tengah. Namun untuk
memastikan apakah ke-empat jenis kambing ini
dapat dideterminasi sebagai empat macam bangsa
kambing yang mempunyai karakter (standard of
perfection) berbeda perlu penelitian lebih lanjut.
Adapun karakter phenotypic ringkas dari ke-empat
jenis kambing tersebut adalah sebagai berikut:
Kambing Peranakan Etawah
Kambing Peranakan Etawah yang sudah
terkenal dengan sebutan kambing PE adalah
kambing tipe penghasil susu. Ternak ini bertubuh
ramping. Yang jantan berpenampilan lebih kokoh
dan dalam keadaan tegak dapat mencapai
ketinggian 1,5 m. Kambing ini terutama terdapat
di Kaligesing, Daerah Kabupaten Purworejo.
Kambing Kacang
Ternak kambing ini merupakan tipe ternak
pedaging. Tubuhnya kecil dengan bobot dewasa
20 kg. Umumnya warna kulitnya merah kecoklatan
dan hitam, beranak tunggal atau kembar. Daerah
basis jenis Kambing Kacang ini adalah Kabupaten
Grobogan dan Blora.
Kambing Jawarandu
Kambing Jawarandu meskipun berpotensi
sebagai tipe kambing dwi guna (perah dan
pedaging), pemanfaatannya lebih dominan sebagai
kambing tipe potong. Ternak ini merupakan hasil
persilangan antara kambing Kacang dan kambing
Etawah. Kambing Jawarandu ini banyak
dibudidayakan di daerah pesisir pantai utara.
Contohnya di Brebes, Tegal, dan Pekalongan.
Kambing Kejobong
Kambing Kejobong adalah tipe kambing
pedaging. Ternak ini mirip kambing Kacang, tetapi
lebih besar. Oleh karena itu untuk memastikan
bedanya dengan kambing Kacang perlu dilakukan
diterminasi lebih mendalam. Lokasi utama
kambing Kejobong ini adalah Daerah Kabupaten
Purbalingga.
Perkembangan Pola Usaha
Pola usaha ternak kambing di Jawa Tengah
sebenarnya pernah mulai bergeser dari usaha
pemeliharaan menjadi usaha peternakan yang
berwawasan agribisnis, tetapi karena Indonesia
mengalami krisis moneter, perubahan tersebut tidak
berkelanjutan. Sebagai contoh di Daerah Kotamadya
Semarang pernah terdapat perusahaan peternakan
kambing intensif cukup besar, tetapi karena
pemerintah kurang berdaya dalam mengendalikan
kebrutalan masyarakat yang timbul sebagai dampak
krisis moneter, maka perusahaan ini bubar.
Sementara ini di pedesaanmemang masih dapat
dijumpai petani yang melakukan pengggemukan
kambing secara tradisional untuk dipasarkan pada
hari-hari besar. Tetapi, pada usaha yang demikian
jumlah ternak kambing yang digemukkan tidak
begitu banyak, dan pertimbangan keuntungan
finansial juga belum dikalkulasi secara benar. Pada
umumnya peternakan kambing tipe pedaging masih
menggunakan sistem kandang lemprak, dan
pemberian pakan hanya berdasarkan asal ternak
kenyang. Fakta di pedesaan menunjukkan bahwa
umumnya petani memberikan leguminosa secara
berlebihan, bahkan kadang total berupa daun
leguminosa (100% leucaena leucochephala).
Meskipun ternak ruminansia kecil di Indonesia
toleran terhadap racun yang terkandung dalam
pakan leguminosa, pemberian pakan yang
kandungan nutriennya tidak seimbang tentu saja
pemanfaatannya tidak efisien. Oleh karena itu perlu
pendekatan intensif kepada petani di pedesaan agar
mau merubah kultur budidaya ternaknya sehingga
keuntungan yang diperoleh maksimal.
Selain itu, pada pola usaha yang masih bersifat
pemeliharaan umumnya petani hanya memiliki 35
ekor kambing. Jumlah pemilikan ini menurut
DJAJANEGARA (komunikasi langsung) tidak
ekonomis. Lebih lanjut disarankan bahwa untuk
lebih berhasilguna seharusnya petani minimal
mengusahakan 8 ekor kambing betina dengan
seekor pejantan. Oleh karena di Indonesia tidak
terdapat kompetisi pasar dengan daging kambing/
domba impor, maka seharusnya pola usaha ternak
kambing secara tradisional di pedesaan dapat
dikembangkan menjadi pola usaha berwawasan
agribisnis dengan tetap berpedoman pada filosopi
kelestarian lingkungan. Sampai saat ini
perkembangan usaha kambing PE belum begitu
nyata. Pemasaran susu kambing PE memang sudah
mulai dipromosikan di Jawa Tengah, tetapi hasilnya
belum memuaskan. Umumnya dalam pemasaran
produksi kambing PE petani masih berpola pikir
Lokakarya Nasional Kambing Potong

161
untuk dapat memasarkan kambing sebagai bibit
ternak unggul. Petani bahkan telah menentukan
tingkat harga bibit sesuai dengan klas kualitas
kambing menurut kriteria yang dibuat oleh
kelompok tani. Hal ini logis karena harga jual
ternak sebagai bibit sangat tinggi, tetapi
masalahnya permintaan bibit ternak kambing tidak
rutin terus-menerus. Oleh karena itu diperlukan
solusi nyata untuk pemasaran susu kambing,
sehingga pola usaha produksi susu kambing ini
berkembang pesat.
POTENSI BAHAN PAKAN LOKAL
Pakan merupakan salah satu faktor penting
dalam usaha ternak kambing. Meskipun dapat
memanfaatkan pakan kasar seperti ternak domba,
namun pemberian pakan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan ternak kambing dapat mengakibatkan
pemanfaatan zat gizi pakan tidak efisien.
Pemberian pakan yang tidak mencukupi kebutuhan
nutrien ternak mengakibatkan depresi pada
pertumbuhan dan penampilan reproduksi.
Sebaliknya, pemberian pakan berlebihan tidak
hanya akan menimbulkan pemanfaatan pakan yang
tidak efisien, tetapi juga akan mempercepat
pengurasan sumberdaya alam yang tersedia.
Selanjutnya pemberian pakan yang berlebihan ini
juga akan menimbulkan pemborosan tenaga kerja.
Sebagai contoh para petani di Desa Ngrawoh,
Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora mengeluh
bahwa pada musim kemarau untuk mendapatkan
pakan yang cukup bagi ternak kambing yang
diusahakan, mereka harus menempuh perjalanan
beberapa kilometer dari rumah tinggalnya. Kondisi
demikian ternyata mempengaruhi semangat petani
dalam budidaya ternak kambing. Oleh karena itu
untuk usaha peternakan kambing yang berwawasan
agribisnis, maka perhatian perlu diarahkan pada
kualitas pakan dan pengelolaan pemberiannya.
Sehubungan dengan itu, petani perlu inovasi
pengaturan proporsi bahan pakan sebagai
komponen dalam suatu formula pakan (diet) agar
dapat menyediakan pakan yang memenuhi
kebutuhan nutrien ternak. Selain itu, petani juga
memerlukan penjelasan tentang tata cara pemberian
pakan yang benar.
Sebenarnya di Jawa Tengah terdapat berbagai
jenis bahan pakan lokal yang mestinya dapat
dimanfaatkan untuk bahan pakan kambing, tetapi
evaluasi profil dan karakter bahan pakan tersebut
sebagai komponen diet kambing baru sebagian
yang dilakukan. Orskov (komunikasi langsung)
menyatakan bahwa selama kunjungannya di
Indonesia melihat berbagai bahan pakan lokal
berlimpah yang dapat berfungsi untuk pakan ternak
belum digunakan secara maksimal. Akhir-akhir ini
WAHYONO et al. (2002) dalam percobaannya telah
berhasil memproduksi complete feed (pakan bebas
rumput segar) untuk pakan ternak kambing/domba
dengan mencampur berbagai limbah pertanian yang
kurang dimanfaatkan.
DINAS PERTANIAN TEMANGGUNG (komunikasi
langsung) menyatakan bahwa di daerah
Temanggung setiap tahun tersedia limbah pertanian
1,2 juta ton. Walaupun demikian jenis atau
klasifikasi limbah pertanian tersebut tidak dirinci.
Menurut estimasi SYAMSU et al. (2003) produksi
bahan kering (BK) limbah pertanian di Jawa
Tengah adalah sebagai berikut: 6.370.043 ton BK
jerami padi, 500.428 ton BK jerami jagung,
234.215 ton BK jerami kedelai, 307.214,1 ton
jerami kacang tanah, 208.705,7 ton pucuk ubi kayu,
dan 22.871,2 ton jerami ubi jalar. Selanjutnya
diinformasikan bahwa produksi limbah pertanian di
Jawa Tengah mengandung 34.532.342 ton nutrien
tercerna total (total digestible nutriens, TDN)
dengan protein kasar 4.284.119 ton (SYAMSU et al.,
2003).
Selain bahan pakan yang diulas oleh SYAMSU et
al., (2003) di Jawa Tengah masih terdapat berbagai
jenis bahan pakan lokal berupa limbah pertanian
lainnya dan limbah industri pangan (Tabel 2).
Pencatatan potensi produksi bahan-bahan pada
Tabel 2 ini belum pernah dilakukan Oleh karena itu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa
Tengah merencanakan melakukan pendataan
potensi bahan pakan lokal tersebut untuk
kepentingan pertimbangan daya dukung pakan
ternak di Jawa Tengah.
PENELITIAN YANG DIPERLUKAN
Guna mendukung program dalam inovasi
teknologi budidaya ternak kambing di pedesaan,
maka BPTP Jawa Tengah mengharapkan hasil-hasil
penelitian dasar dari Balai maupun Pusat Penelitian
Ternak di Bogor dan Perguruan Tinggi. Adapun
penelitian-penelitian yang diperlukan antara lain:
Evaluasi sifat genetik untuk klasifikasi kualitas
Kambing PE, dan untuk mempromosikan bahwa
Kambing Kejobong merupakan plasma nutfah
kambing khas Purbalingga Evaluasi kebutuhan
nutrien kambing baik untuk tipe pedaging maupun
tipe penghasil susu. Untuk tipe penghasil susu
sebagian sudah dilaksanakan oleh MATHIUS et al.
(2003).
Evaluasi profil dan karakter nutrien bahan
pakan lokal yang tersedia di Jawa Tengah sehingga
kami dapat menyusun formula pakan spesifik
lokasi yang berhasil guna.
Lokakarya Nasional Kambing Potong

162
Tabel 2. Berbagai bahan pakan potensial untuk ternak kambing di Jawa Tengah
Klasifikasi limbah Nama limbah Lokasi potensial
Limbah perkebunan Kulit kopi Wonosobo, Temanggung
Kulit buah kakao Semarang, Temanggung
Daging buah jambu mente Wonogiri
Limbah industri pangan Ampas tahu Hampir di semua daerah
Dedak padi Banjarnegara, Demak, Grobogan,
Karanganyar, Sragen, Sukoharjo, dll.
Onggok singkong Banjarnegara, Batang, Pati, Purbalingga,
Semarang, Temanggung, dan Wonogiri
Kulit singkong Banjarnegara, Batang Magelang, Pati,
Purwoker-to, Semarang, Temanggung,
dan Wonogiri
Kulit telur Semarang
Ampas kecap Cilacap, Grobogan, Magelang, Pati,
Juwono, Semarang, Surakarta dan
Wonosobo
Bungkil minyak kelapa Purbalingga
Limbah tanaman pangan Daun dan batang sayuran Banjarnegara, Karanganyar, dan
Semarang,
Ubi talas (Cocoyam) Temanggung

DAFTAR PUSTAKA
AMSAR, SOEDJADI dan RISMANIAH, I. 1989. Konformasi
tubuh kambing lokal di daerah Banyumas. Pros.
Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia
Kecil. Hlm. 146-151. A. DJAJANEGARA, M.
RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K.
SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
BASUKI, P. HARDJOSUBROTO, W., KUSTONO dan
NGADIONO, N. 1982. Performnas produksi dan
reproduksi kambing Peranakan Etawah (PE) dan
Bligon. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Hlm.
104-108. P. RONOHARDJO, I. P. KOMPIANG, M.
RANGKUTI, P.SITORUS, M.E. SIREGAR, SOETIONO, E.
DJAMALUDIN dan S. WAHYUNI (Eds.). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
DEVENDRA, C. 1980. Potential od sheep and goats in less-
developed countries. Journal of Animal Science,
51: 461-479 DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAWA
TENGAH. 2003. Statistik Peternakan Propinsi Jawa
Tengah. Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah,
Semarang.
HEMMER, H.R., HORST, P. and MUKHERJEE, T.K. 1991.
Goat husbandry and breeding in the tropics (J.M.
Panandam, S. Sivaraj, T.K. Mukherjee, and Horst,
P. Editors). Deutsche Stifung fr Internationale
Entwicklung, Zentraistelle fr Emhrung und
Landwirtschaft.
ISROLI, SUDARMOYO, B dan YASE MAS, K.G. 1989.
Hubungan antara bobot badan dan pertumbuhan
nisbi alat pencernaan kambing kacang jantan. Pros.
Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia
Kecil. Hlm. 238-242. A. DJAJANEGARA, M.
RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan W.K.
SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
KNIPSCHEER, H.C., SHWU-ENG, H.W. and MULYADI, A.
1994. Opportunities for commercialization of small
ruminant production in Indonesia. In Strategic
Development for Small Ruminant Production in
Asia and The Pacific. Proc. of a symposium held in
conjunction with 7th Asian-Australasian
Association of Animal Production Societies
Congress, pp. 157-170. SUBANDRIYO and R.M.
GATENBY (Eds.). Small Ruminant-Collaborative
Research Support Program, University of
California Davis, USA.
MARYANTO, I. dan NOERDJITO, M. 1989. Memelihara
ternak dalam jumlah kecil sebagai mata
pencaharian tambahan atau pilihan terakhir: Studi
kasus Kecamatan Purwodadi, Pasuruan dan
Kecamatan Ampelgading, Malang. Pros.
Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia
Kecil. Hlm. 14-18. A. DJAJANEGARA, M.
RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO, dan W.K.
SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor.
Lokakarya Nasional Kambing Potong

163
MATHIUS, I-W. 1989. Jenis dan nilai gizi hijauan
makanan domba dan kambing di pedesaaan Jawa
Barat. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2:
Ruminansia Kecil. Hlm. 71-77. A. DJAJANEGARA,
M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR, SUHARDONO dan
W.K. SEJATI (Eds.). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
MATHIUS, I-W., GAGA, I.B, dan SUTAMA, I-K. 2003.
Kebutuhan kambing PE jantan muda akan energi
dan protein kasar: Konsumsi, kecernaan,
ketersediaan dan pemanfaatan nutrien. JITV, 7 (2):
99-109.
NOLAN, M.F., C. VALDIVIA, S.W. HANDAYANI and R.
FLOYD. 1994. Agriculture, population and the
environment: A look at commercialization of small
ruminant production in southeast asia. In Strategic
Development for Small Ruminant Production in
Asia and The Pacific. Proc. of a symposium held in
conjunction with 7
th
Asian-Australasian Association
of Animal Production Societies Congress, pp. 137-
155. SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.). Small
Ruminant-Collaborative Research Support
Program, University of California Davis, USA.
OBST, J.M., CHANIAGO, T dan BOYES, T. 1982. Survai
mengenai domba dan kambing yang dipotong di
Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Pros. Seminar
Penelitian Peternakan. Hlm. 123-144. P.
RONOHARDJO, I.P. KOMPIANG, M. RANGKUTI,
P.SITORUS, M.E. SIREGAR, SOETIONO, E.
DJAMALUDIN dan S. WAHYUNI (Eds.). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
SETIADI, B. 1989. Beberapa faktor yang mempengaruhi
bobot badan anak kambing periode pra-sapih pada
kondisi pedesaan. Pros. Pertemuan Ilmiah
Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 140-
145. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B.
SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Bogor.
SOEDJANA, T.D. 1994. Market opportunities for small
ruminant sector of Asia. In Strategic Development
for Small Ruminant Production in Asia and The
Pacific. Proc. of a symposium held in conjunction
with 7
th
Asian-Australasian Association of Animal
Production Societies Congress, pp. 101-124.
SUBANDRIYO and R.M. GATENBY (Eds.). Small
Ruminant-Collaborative Research Support
Program, University of California Davis, USA.
SUSILO, F.X., PRABOWO, H., CHOTIAH, S. dan ASTUTI, S.
1989. Penyidikan penyakit dan cara pemeliharaan
kambing Peranakan Etawah di Kabupaten
Lampung Selatan. Pros. Pertemuan Ilmiah
Ruminansia. Jilid 2: Ruminansia Kecil. Hlm. 129-
134. A. DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B.
SIREGAR, SUHARDONO dan W.K. SEJATI (Eds.).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor
SYAMSU, J.A., L.A. SOFYAN, K. MUDIKDJO dan E.G.
SAID,. 2003. Daya dukung limbah pertanian
sebagai sumber pakan ternak ruminansia di
Indonesia. Wartazoa, 13: 30-37.
THOMAS, N. 1982. Small ruminat production in the small-
farm perspective. Pros. Seminar Penelitian
Peternakan. Hlm. 156-163. P. RONOHARDJO, I.P.
KOMPIANG, M. RANGKUTI, P. SITORUS, M.E.
SIREGAR, SOETIONO, E. DJAMALUDIN dan S.
WAHYUNI. (Eds.). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
TRIWULANINGSIH. 1989. Pertumbuhan kambing
Peranakan Etawah (PE) sampai dengan umur satu
tahun. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Jilid 2:
Ruminansia Kecil. Hlm. 152-157. A.
DJAJANEGARA, M. RANGKUTI, S.B. SIREGAR,
SUHARDONO, dan W.K. SEJATI (Eds.). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
WAHYONO, D.E., R. HARDIANTO, C. ANAM, SUYAMTO, G.
KARTONO dan S.R. SOEMARSONO. 2002. Kajian
teknologi pakan lengkap (Complete feed) sebagai
peluang agribisnis bernilai komersial di pedesaan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur.
Karangploso, Malang.
WILOETO, D., I-K. SUTAMA, SUMADI, S. PRAWIRODIGDO,
U. NUSCHATI, ERNAWATI, B. BUDIHARTO, A.
PRASETYO, J. SUSILO, N. PRAWOTO dan F.L.
MARYONO. 2000. Laporan hasil pengkajian: Kajian
teknologi sistem usaha tani produksi ternak
ruminansia kecil sebagai komoditas unggulan Jawa
Tengah. Departemen Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Ungaran.

Anda mungkin juga menyukai