Pengembangan Sapi Peranakan Ongole (PO) di Wilayah Kabupaten Gunungkidul
Disusun oleh : Yuli Sumantri 15/383826/PT/07099
LABORATORIUM TERNAK POTONG, KERJA DAN KESAYANGAN
DEPARTEMEN PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2018 Latar Belakang
Sumber daya alam Indonesia yang melimpah, sehingga memiliki
potensi untuk mengembangkan sub-sektor peternakan. Pembangunan sub- sektor peternakan merupakan bagian pembangunan secara umum dalam menunjang pembangunan daerah dan nasional. Pembangunan peternakan memiliki prospek yang baik dimasa depan, karena permintaan akan bahan- bahan yang berasal dari ternak akan terus meningkat seiring dengan mengingkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Menurut Ditjen Peternakan (2017), tingkat konsumsi daging per kapita per tahun Indonesia cenderung meningkat. Tercatat selama 4 tahun (2013 sampai 2016) konsumsi daging Indonesia meningkat dari 0,261 menjadi 0,417 kg per kapita per tahun. Sapi potong menjadi komoditas ternak di Indonesia yang patut untuk dikembangkan. Ternak sapi potong di Indonesia merupakan salah satu sumber pangan yang sangat dibutuhkan dimana menghasilkan produk utama berupa daging dan merupakan sumber protein hewani yang bergizi tinggi. Konsumsi daging sapi selalu meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk di Indonesia. Menurut Ditjen Peternakan (2017), tingkat konsumsi daging per kapita per tahun Indonesia cenderung meningkat. Tercatat selama 4 tahun (2013 sampai 2016) konsumsi daging Indonesia meningkat dari 0,261 menjadi 0,417 kg per kapita per tahun. Populasi sapi di Indonesia juga mengalami peningkatan dari angka 12,6 juta ekor pada tahun 2013 menjadi 16,5 pada tahun 2017. Jumlah ini meningkat sekitar 3,9 juta ekor, tetapi tetap belum mampu memenuhi keutuhan daging sapi. Jumlah tersebut hanya mampu menyuplai 531,8 ribu ton dari kebutuhan 604,97 ribu ton. Kabupaten Gunung Kidul merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang memiliki luas wilayah 1.485,36 km 2 (148.536 ha) atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini dikenal pula sebagai gudang ternak DIY, karena hampir 50% jumlah ternak berada di Kabupaten Gunungkidul (Burhanudidin, 2016). Pengembangan ternak sapi di Gunung Kidul dilihat dari sumber daya lahan masih mempunyai peluang yang besar yaitu sebanyak 29.195,84 ST/ha setara dengan 28.502 ekor sapi (Iriyanti, 2001). Budidaya sapi potong khususnya pada aspek perbibitan saat ini masih berbasis pada peternakan rakyat yang mempunyai keterbatasan yaitu, skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis. Disisi lain, kebijakan pengembangan usaha pembibitan sapi potong dari Kementerian Pertanian diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan, bimbingan, dan pengawasan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong yang baik (Good Breeding Practice). Kebijaksanaan tersebut diperbaiki pada tahun 2009, bahwa peningkatan populasi sapi potong dengan cara mengoptimalkan pemanfaatan sapi lokal. Hal ini sesuai dengan Peraturan Direktorat Jendral Peternakan (2009). Dalam peraturan tersebut berisi 3 aspek, yaitu aspek komoditas, yaitu lebih memprioritaskan sapi lokal, aspek lokasi yaitu, merupakan lokasi yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber bibit, sesuai agroekosistem, bukan endemis penyakit, tersedia sarana, kelembagaan dan sumberdaya manusia, mudah dijangkau dan mudah mengendalikan mutasi ternak, serta aspek kelompok yaitu kelompok yang organisasinya jelas, aktif, mendapat rekomendasi dari Dinas Provinsi dan Kabupaten Salah satu komiditi sapi lokal yang memenuhi ketiga aspek tersebut adalah sapi Peranakan Ongole (PO) yang banyak dibudidayakan oleh peternak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sapi ini tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Sapi PO Yogyakarta merupakan aset ternak lokal khas Daerah Istimewa Yogyakrta yang telah dibudidayakan oleh masyarakat secara turun menurun sejak jaman kolonial Belanda. Sejak saat itu, sapi tersebut dapat berkembang dan mampu memberikan tambahan pendapatan bagi rumah tangga petani, tenaga kerjanya sebagai penarik gerobak dan bajak, serta limbahnya merupakan sumber pupuk organik guna mendukung budidaya pertanian. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta terus berupaya melestarikan dan sekaligus mengembangkannya.
Profil Wilayah
Wilayah Kabupaten Gunungkidul terletak antara 7 o 46’- 8o 09’ Lintang
Selatan dan 110o 21’ - 110o 50’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah di sebelah utara. Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah di sebelah timur. Samudra Indonesia di sebelah selatan dan Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta di sebelah barat. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul tercatat 1.485,36 Km 2 yang meliputi 18 kecamatan dan 144 desa/kelurahan. Kecamatan Semanu merupakan kecamatan terluas dengan luas sekitar 108,39 Km 2 atau sekitar 7,30 persen luas Kabupaten Gunungkidul. Wilayah Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah beriklim tropis, dengan topografi wilayah yang didominasi dengan daerah kawasan perbukitan karst. Wilayah selatan didominasi oleh kawasan perbukitan karst yang banyak terdapat goa-goa alam dan juga sungai bawah tanah yang mengalir. Dengan kondisi tersebut menyebabkan kondisi lahan di kawasan selatan kurang subur yang berakibat budidaya pertanian di kawasan ini kurang optimal. Kondisi klimatologi Kabupaten Gunungkidul secara umum menunjukkan kondisi sebagai berikut: Curah hujan rata-rata pada Tahun 2010 sebesar 1.954,43 mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 103 hari/ tahun. Bulan basah 7 bulan, sedangkan bulan kering berkisar 5 bulan. Wilayah Kabupaten Gunungkidul sebelah utara merupakan wilayah yang memiliki curah hujan paling tinggi dibanding wilayah tengah dan selatan. Wilayah Gunungkidul wilayah selatan mempunyai awal hujan paling akhir. Suhu udara rata-rata harian 27,7° C, suhu minimum 23,2°C dan suhu maksimum 32,4°C. Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % - 85 %, tidak terlalu dipengaruhi oleh tinggi tempat, tetapi lebih dipengaruhi oleh musim. Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul tahun 2016 berdasarkan hasil Estimasi Sensus Penduduk 2010-2035, berjumlah 722.479 jiwa yang tersebar di 18 kecamatan dan 144 desa, dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu Kecamatan Wonosari dengan 84.257 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki-laki, yang tercermin dari angka rasio jenis kelamin 93,36. Dilihat dari status pekerjaan utama, sebagian besar penduduk Kabupaten Gunungkidul bekerja sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar sekitar 26,3 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sedangkan yang berusaha dengan dibantu buruh tetap masih sedikit yaitu hanya sekitar 11,4 persen. Lembaga pemerintahan yang dapat mendukung berkembangnya sektor peternakan di Kabupaten Gunungkidul antara lain Dinas Pertanian, Balai Pengembangan Bibit, Pakan Ternak dan Diagnostik Kehewanan, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan, dan Pusat Kesehatan Hewan di setiap kecamatan Potensi Pengembangan Sapi potong peranakan Ongole merupakan plasma nutfah dan aset nasional umumnya dan secara khusus merupakan ternak lokal untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Masyarakat DIY sudah mengenal sejak dahulu kala sebagai ternak kerja dan ternak potong handal. Tenaganya yang kuat, tahan panas membuat sapi ini banyak digunakan sebagai hewan penarik bajak di sawah maupun penarik gerobak sapi di masa lalu. Budaya memelihara sapi, terutama jenis PO, sangat umum dijumpai dipeesaan. Populasinya dan produktivitasnya perlu dikembangkan, ditingkatkan, dan dilestarikan keberadaannya. Sapi potong secara umum mempunyai fungsi sosial ekonomi yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan khususnya masyarakat DIY. Sapi PO juga mempunyai punuk besar yang sangat bermanfaat sebagai tempat tumpuan penarikan bajak maupun gerobak sapi, sehingga membuat ternak ini ideal sebagai hewan tarik. Sebagian besar sapi potong yang dipelihara masyarakat DIY adalah sapi PO pada masa lalu, namun demikian dengan adanya program IB yang tidak terarah sejak 3 dekade terakhir ini kebanyakan peternak memilih menyilangkan sapi betina PO dengan semen Simmental dan Limousin. Hal ini dengan tujuan untuk mendapatkan sapi yang lebih besar dan meningkatkan pendapatan masyarakat peternak. Jika sapi PO secara terus-menerus disilangkan dengan pejantan Simmental dan Limousin dengan arah dan tujuan yang tidak jelas maka populasi sapi PO terus mengalami penurunan. Sapi PO merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi potong di Indonesia pada masa lalu. Bangsa sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930 melalui sistim persilangan dengan grading-up sapi Jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO). Keberadaan sapi PO di DIY tidak ada catatan yang pasti, namun setidaknya mulai tahun tersebut, seiring juga dengan keberadaan puluhan pabrik gula kecil-kecil di DIY dan sekitarnya yang membutuhkan hewan penarik lori atau kereta tebu. Sapi PO juga mempunyai beberapa keunggulan yaitu daya adaptasi iklim tropis yang tinggi, ternak kerja, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak, disamping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi (Astuti, 2004). Pada awal tahun 1996 mulai diperkenalkan semen beku Bos taurus, utamanya adalah Simmental dan Limousin di DIY. Sejak saat itu terjadi penurunan dan perubahan komposisi sapi potong, tadinya didominasi sapi PO, mayoritas menjadi sapi potong silangan Simmental-PO maupun Limousin-PO. Pada tahun 2008, komposisi sapi potong yang dipelihara masyarakat di DIY adalah PO 25,75%, SimPO 52,38% dan LimPO 21,87% atau 25,75% sapi lokal dan 74,25% sapi silangan (Sumadi, 2008). Pada saat ini persentase sapi PO diperkirakan hanya 12 – 15% dari populasi sapi potong di DIY. Dengan rendahnya harga sapi dan tingginya harga pakan beberapa tahun yang lalu membawa akibat peternak mulai merasakan bahwa budidaya sapi PO masih lebih banyak keuntungannya, peternak mulai banyak yang mengadakan persilangan balik. Sekarang di masyarakat banyak permintaan silang balik (backcrossing) dengan semen beku PO pada betina G3 dan G4 dengan maksud menghindari inbreeding yang mengakibatkan daya adaptasi terhadap kondisi tropis menurun, S/C 3 sampai 5 kali, jarak beranak panjang 20 sampai 24 bulan, banyak sapi kerdil, cacat genetik pada saat lahir dan rentan terhadap penyakit. Kenyataan ini didukung oleh Kementerian Pertanian RI dengan program pengembangan sapi dan plasma nutfah lokal, serta penyediaan pejantan lokal termasuk PO di BIB nasional maupun BIBD. Termasuk BIBD Pakem Yogyakarta juga menyediakan semen beku pejantan PO yang permintaannya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Gunungkidul merupakan kabupaten dengan luas wilayah 1.485,36 Km2, sebagai kabupaten terluas di DIY. Daerah ini sendiri dikenal sering mengalami kekeringan saat memasuki musim kemarau. Pengembangan ternak sapi PO di wilayah Gunungkidul dianggap tepat karena kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang kering dengan kualitas hijauan yang kurang baik, sedangkan saat ini mayoritas sapi yang banyak dikembangkan merupakan sapi persilangan sapi Bos taurus. Hal ini menjadi dasar Kabupaten Gunungkidul untuk mengembangkan kembali sapi PO yang populasinya semakin rendah dengan potensi daya adaptasi lingkungan yang lebih baik dibanding sapi lainnya. Upaya ini juga mendukung usaha Pengembangan Kawasan Sapi PO di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2016-2020 yang dicanangkan oleh Dinas Pertanian DIY bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan UGM dalam menjaga sapi PO sebagai aset sapi lokal di Indonesia. Analisis SWOT Strength Kekuatan yang menjadi dasar pengembangan sapi PO di Gunungkidul yaitu terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 48/Kpts/SR.120/1/2015 tertanggal 16 Januari 2015 tentang Wilayah Sumber Bibit sapi peranakan Ongole (PO) di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gununungkidul. Kabupaten Gunungkidul pun diketahui tidak ada kasus penyakit yang disebabkan oleh cacing, karena tidak ada kubangan air dan inang dari cacing tersebut. Daya dukung lahan pun masih memungkinkan untuk dilakukan perluasan. Weakness Kelemahan yang mampu menghambat pengembangan sapi PO di Gunungkidul yaitu peternak di Gunungkidul sebagian besar didominasi peternak individu padahal perkandangan model kelompok atau koloni diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan reproduksi dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Pembangunan kandang kelompok ini dapat memudahkan transfer teknologi karena komunikasi tidak perlu dilakukan dengan menemui petani satu persatu di rumahnya, melainkan cukup dilakukan di lokasi kandang kelompok. Selain itu, kekeringan sering melanda Gunungkidul sehingga kondisi lahan yang kurang subur merupakan kendala utama kurang tersedianya pakan hijauan. Keringnya lahan pertanian di suatu wilayah menyebabkan tidak semua jenis tanaman hijauan dapat tumbuh subur. Opportunity Peluang dalam pengembangan sapi PO di Gunungkidul yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan yang sering terjadi kekeringan lebih baik sehingga kekeringan melanda maka konversi pakan kualitas rendah pun lebih baik dibandingkan sapi-sapi persilangan. Lebih jauh lagi pakan saat musim kering pun harganya meningkat sehingga sapi PO dianggap masih lebih menguntungkan dibanding sapi-sapi persilangan sapi Bos taurus. Threat Ancaman yang dapat menghambat pengembangan sapi PO di wilayah Gunungkidul yaitu semen yang digunakan dalam perkawinan IB kebanyakan adalah semen dari pejantan sapi Bos taurus sejak mulai dikenalkan pada tahun 1996. Strategi Pengembangan Upaya pengembangan sapi PO di wilayah Gunungkidul dapat dimulai dengan banyak membentuk kandang komunal. Kandang ternak sapi potong sistem kelompok atau komunal lebih banyak dijumpai di Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kulon Progo, sedangkan di Kabupaten Gunungkidul, hampir tidak dijumpai kandang ternak sistem kelompok. Hal ini cukup beralasan, karena untuk wilayah Kabupaten Gunungkidul petani memiliki areal tanah yang relatif luas, jadi kandang ternak sapi potong sengaja dibangun dekat dengan rumah, tidak disatukan dalam suatu areal. Kandang ternak sapi potong sistem kelompok atau komunal biasa dibangun di atas tanah milik desa atau berupa tanah kas desa. Adanya pengembangan kandang ternak sapi potong sistem komunal atau kelompok khususnya di DIY cukup beralasan, selain mempertimbangkan keterbatasan pemilikan lahan, ternak dipelihara di dalam kandang yang dibangun di luar pemukiman untuk mengantisipasi kesehatan lingkungan. Pembangunan areal kandang kelompok ternak sapi potong biasanya menggunakan lahan kas desa dengan cara sewa sesuai perjanjian dan kesepakatan antara pengurus dan peternak dengan pemerintah desa setempat. Luas areal lahan perkandangan ternak yang dipergunakan cukup beragam, sesuai dengan kebutuhan dan jumlah anggota kelompok yang menggunakan, masing-masing anggota kelompok membangun kandang dengan ukuran sekitar 7 x 9 meter, juga ada yang berukuran 5 x 7 meter sesuai kondisi lahan dan jumlah ternak yang dipelihara. Setelah terbentuknya sistem komunal maka perlu adanya pembinaan kelompok peternak. Kelompok elit (sebagai kelompok inti) yang melakukan adalah pemerintah, supaya tahapan-tahapan kegiatan (program breeding) ada jaminan keberlanjutannya Kelompok mitra (sebagai kelompok plasma) nantinya untuk memperluas dan mempercepat pengembangan sapi PO berdasarkan aplikasi teknologi yang dikawal di kelompok inti. Pola pengelolaan dilakukan bersama-sama antara Ditjen PKH, BBTU, Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan perbankan sehingga memperlancar untuk akad kredit dilakukan di lapangan (di pasar) dan mengoptimalkan pengelolaan sapi PO. Kelompok elit dikelola oleh pemerintah atau semua dikerjakan dengan mitra dengan pendampingan dari lembaga penelitian/Perguruan Tinggi. Perlu adanya kejelasan pemetaan kewenangan antara lembaga dan stake holder terkait terkait teknis dan administrasi. Secara teknis pembagian kewenangannya sejauh mana. Untuk pengembangan sumber bibit beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu adanya manajemen breeding, kesepakatan kegiatan dan tahapan breeding. Kelompok peternak sapi PO diarahkan ke sekolah atau sentra peternakan rakyat (SPR) bila populasi sudah mencapai lebih dari 1.000 ekor betina produktif, sejalan serta mendukung program Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Terkait lokasi, perlu disepakati mekanismenya. Sebagai contoh di Kebumen tidak ada stasiun khusus namun ada administrasi yang tertib dengan pendampingan dari lembaga penelitian, perguruan tinggi serta dinas terkait. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2017. Kabupaten Gunungkidul dalam Angka. CV
Taman Bunga. Yogyakarta. Hanafi, H. 2016. Peran kandang sistem komunal ternak sapi potong terintegrasi limbah pertanian dalam mendukung kedaulatan pangan di Yogyakarta. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Agros Vol. 18 No.2, Juli 2016: 126-133. Putro, P. P., C. M. Airin, Sumadi, T. Susmiati, A. Kusumawati, A. Purnomo. 2015. Pengembangan Kawasan Sapi PO di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2016-2020. Dinas Pertanian DIY. Yogyakarta.