Anda di halaman 1dari 96

TESIS

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR USAHA TANI TELUR PUYUH


DI KABUPATEN KULONPROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

OLEH:
SUGENG RAHARJO (S641508012)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2019

1
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR USAHA TANI TELUR PUYUH DI
KABUPATEN KULONPROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

Oleh
SUGENG RAHARJO, S.Pi
NIM.S641508012

Komisi Nama Tanda Tanggal


Pembimbing Tangan

Pembimbing I Prof.Dr.Ir. Endang Siti Rahayu, MS ………...


NIP. 19570104 198003 2 001

Pembimbing II Sutrisno Hadi Purnomo, S.Pt, M.Si, PhD ………...


NIP. 19680505 200604 1 001

Telah Dinyatakan Memenuhi Syarat


Pada Tanggal ....Januari 2019

Ketua Program Studi agribisnis


Program Pascasarjana UNS

Dr.Ir. Kusnandar, M.Si.


NIP.19670703 199203 1 004

BAB I
PENDAHULUAN

2
A. Latar Belakang Masalah
Peternakan merupakan salah satu dari lima subsektor pertanian.
Peternakan adalah kegiatan memelihara hewan ternak untuk dibudidayakan dan
mendapatkan keuntungan dari kegiatan tersebut (Rasyaf, M. 2010). Subsektor
peternakan terbagi menjadi ternak besar, yaitu sapi (perah/potong), kerbau, dan
kuda, dan ternak kecil yang terdiri dari kambing, domba, dan babi serta ternak
unggas (ayam, itik, dan burung puyuh).
Subsektor peternakan memiliki nilai strategis khususnya dalam
pemenuhan protein hewani bagi masyarakat di Kabupaten Kulonprogo. Subsektor
peternakan memberikan kontribusi pada perekonomian Kabupaten Kulonprogo.
Subsektor ini pada tahun 2017 menjadi penyumbang dan memberikan kontribusi
414.18 Juta Rupiah pada PDRB sektor peternakan.
Pada tahun 2017 bahwa subsektor peternakan mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Subsektor ini meningkat sebesar 11.383 juta dari tahun 2013
-2017, Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDRB sektor pertanian
Kabupaten Kulonprogo mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kegiatan usaha
yang menarik dikaji di subsektor peternakan adalah usaha agribisnis peternakan
burung puyuh. Hal ini dilandasi beberapa alasan, yaitu: (1) periode siklus
produksinya yang relatif pendek membuat perputaran modal relatif cepat,
menjadikannya cocok untuk usaha peternakan rakyat; (2) usaha peternakan
burung puyuh mempunyai kaitan yang luas baik kaitan ke belakang (backward
linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage); (3) kemampuannya dalam
menyerap tenaga kerja secara ekstensif.
Dengan waktu pemeliharaan yang relatif singkat dalam usia 35 – 40 hari
sudah mulai berproduksi, maka banyak peternak baru serta peternak musiman
yang bermunculan di berbagai wilayah Indonesia.
Perkembangan perunggasan selalu bergejolak setiap saat, hal ini bisa
dilihat dari harga produk perunggasan yang selalu naik turun bahkan tidak hanya
mingguan tetapi sampai harga harian. Naik turunnya harga dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain daya beli masyarakat terhadap produk perunggasan dan
biaya untuk memproduksi produk perunggasan itu sendiri. Oleh karena itu usaha

3
perunggasan dikategorikan sebagai usaha beresiko tinggi (high risk). Pelaku usaha
perunggasan terutama pada ayam broiler sebagian besar adalah perusahaan
swasta, untuk itu dalam perkembangannya tidak diperlukan lagi campur tangan
pemerintah akan tetapi pemerintah berkewajiban membantu menjaga
keseimbangan supply demand agar tidak terjadi gejolak supply maupun demand.
Beberapa permasalahan utama dalam industri perunggasan antara lain: (1)
masalah penyediaan bahan baku pakan unggas di mana sebagian bahan baku
pakan ternak penting harus diimpor, (2) adanya indikasi ketimpangan struktur
pasar baik pada pasar input maupun pasar output, (3) industri perunggasan
komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal seperti krisis moneter dan
wabah penyakit ternak sperti flu burung.
Realita yang dapat ditemui adalah daya beli masyarakat terhadap produk
perunggasan dalam pemenuhan gizi (protein hewani) masih rendah bahkan kalah
dengan gaya hidup masyarakat yang sangat konsumtif. Sebenarnya dalam hal
peningkatan daya beli masyarakat terhadap produk perunggasan tidak hanya
dengan menekan harga produk tersebut akan tetapi juga perlunya peningkatan
kampanye untuk konsumsi produk perunggasan. Hal ini dipandang perlu untuk
dilakukan oleh produsen perunggasan dalam meningkatkan daya serap daging dan
telur burung puyuh, yang merupakan sumber gizi yang terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat.
Tabel 1. Data populasi ternak unggas Kabupaten Kulonprogo 2012 - 2016
Ternak unggas 2012 2013 2014 2015 2016
Ayam Buras 3.352.278 3.605.678 4.176.843 4.253.792 4.406.981
Ayam Buras 781.867 796.593 771.638 775.484 776.967
Ayam Ras Petelur 762.575 819.618 882.797 949.152 1.021.442
Ayam Pedaging 1.252.900 1.359.345 1.728.226 1.831.606 1.860.037
Itik 124.493 138.569 132.506 137.849 141.381
Burung puyuh 430.443 491.553 661.676 559.701 607.164
Sumber : Dinas Pertanian dan pangan Kabupaten Kulonprogo tahun 2017
Dari sisi populasi ternak, kondisi populasi ternak unggas Tahun 2016
populasi ternak unggas mencapai 4.406.981 ekor, naik 3,60% bila dibanding
populasi Tahun 2015 sebanyak 4.253.792 ekor. Populasi burung puyuh tahun
2016 mencapi 607.164 meningkat 7,81 % bila dibandingkan tahun 2015 yang
populasinya hanya 559.701 ekor.
Tabel 2. Populasi Burung Puyuh untuk tingkat kecamatan tahun 2016 (ekor)

4
No Kecamatan/Desa Burung Puyuh
I Kecamatan Samigaluh -
II Kecamatan Kalibawang 14.000
III Kecamatan Nanggulan 70.450
IV Kecamatan Girimulyo 10.000
V Kecamatan Sentolo 70.945
VI Kecamatan Pengasih 41.130
VII Kecamatan kokap 138.800
VIII Kecamatan Lendah 197.500
IX Kecamatan Temon 4.000
X Kecamatan Wates 9.500
XI Kecamatan Panjatan 12.500
XII Kecamatan Galur 37.830
Sumber data : Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kulonprogo, 2017
Populasi burung puyuh tahun 2017 menurun populasinya 0,08 % bila
dibandingkan tahun 2016 yang jumlah populasi burung puyuh hanya 607.164
ekor. Dan populasi tahun 2018 sebesar 515.860 menurun jumlah populasinya
dibanding tahun 2017 sebesar 90.795ekor atau menurun 14,96 % dibandingkan
tahun 2017. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa populasi burung puyuh di
Kabupaten Kulonprogo cukup besar, dan selalu mengalami peningkatan jumlah
populasi setiap tahunnya dari tahun 2012 – 2016 dan mengalami penurunan pada
tahun 2017 dan hal tersebut dapat menjadikan Kabupaten Kulonprogo sebagai
sentra peternakan burung puyuh jika pengelolaan peternakan dilakukan dengan
manajemen yang baik. Peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo sangat
menarik untuk dikaji karena dari tahun 2012 – 2016 mengalami tren kenaikan
populasi tetapi mengapa pada tahun 2017 dan 2018 mengalami tren penurunan
jumlah populasinya.
Pola usaha dalam peternakan burung puyuh ada dua pola pengelolaan
peternakan yang dilakukan oleh para peternak yaitu peternakan burung puyuh
secara mandiri dan peternakan burung puyuh yang dikelola secara kemitraan
dengan perusahaan. Pola kemitraan usaha peternakan burung puyuh yang
dilaksanakan dengan pola inti plasma, yaitu kemitraan antara peternak mitra
dengan perusahaan mitra, di mana kelompok mitra bertindak sebagai plasma,
sedangkan perusahaan mitra sebagai inti. Pada pola inti plasma kemitraan burung

5
puyuh yang berjalan selama ini, perusahaan mitra menyediakan sarana produksi
peternakan (sapronak) berupa: DOC, pakan. obat-obatan/vitamin, bimbingan
teknis dan memasarkan hasil, sedangkan plasma menyediakan kandang dan
tenaga kerja. Faktor pendorong peternak ikut pola kemitraan adalah: 1).
Tersedianya sarana produksi peternakan; 2). Tersedia tenaga ahli ; 3). Pemasaran
terjamin. Namun ada beberapa hal yang juga menjadi kendala bagi peternak pola
kemitraan yaitu: 1). Rendahnya posisi tawar pihak plasma terhadap pihak inti; 2).
Terkadang masih kurang transparan dalam penentuan harga input maupun output
(ditentukan secara sepihak oleh inti). Ketidakberdayaan plasma dalam mengontrol
kualitas sapronak yang dibelinya menyebabkan kerugian bagi plasma.
Pola peternakan burung puyuh yang dilakukan secara mandiri adalah
peternakan yang dilakukan secara perorangan mulai dari persiapan kandang,
pemesanan bibit burung puyuh Day Old Chick (DOC), pembesaran Day Old
Chick (DOC) sampai masa peneluran burung puyuh (layer) dilakukan oleh
peternak secara mandiri, beberapa faktor yang menyebabkan usaha peternakan
burung puyuh tetap dikelola secara mandiri oleh sebagian besar peternak di
Kabupaten Kulonprogo yaitu: 1). Pemeliharaannya cukup mudah; 2). Waktu
pemeliharaan relatif singkat (± 4 minggu) karena sistim pemasarannya telur dalam
bentuk butiran atau Kiloan; dan 3). Tingkat pengembalian modal relatif cepat.
Namun selain itu ada beberapa hal yang menjadi kendala yaitu: 1). Sarana
produksi kurang; 2). Manajemen pemeliharaan/keterampilan peternak yang belum
memadai; 3). Modal relatif terbatas; 4). Resiko pemasaran/penjualan cukup besar.
5). Usahanya tergantung situasi dan cenderung spekulatif, di mana besar
kemungkinan untuk memperoleh keuntungan yang tinggi, tetapi besar pula
kemungkinan untuk menderita kerugian.
Faktor – faktor yang mempengaruhi pada produktifitas peternakan burung
puyuh adalah dengan meningkatkan produksi telur puyuh sehingga dapat
meningkatkan efisiensi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam produksi
telur puyuh. Dalam pelaksanaan usaha ternak, setiap peternak selalu
mengharapkan keberhasilan dalam usahanya, salah satu parameter yang dapat
dipergunakan untuk mengukur keberhasilan suatu usaha adalah tingkat
keuntungan yang diperoleh dengan cara pemanfaatan faktor-faktor produksi

6
secara efisien. Efisiensi diperlukan agar peternak mendapatkan kombinasi dari
penggunaan faktor-faktor produksi tertentu yang mampu menghasilkan output
yang maksimal.
Efisiensi menunjukkan hubungan biaya dan output. Efisiensi alokatif
tercapai jika perusahaan tersebut mampu memaksimalkan keuntungan yaitu
menyamakan nilai produk marginal setiap faktor produksi dengan harganya.
Efisiensi alokatif ini terjadi bila perusahaan memproduksi output yang paling
disukai oleh konsumen (McEachern dalam Saraswati, 2009). Analisis efisiensi
alokatif yang dihubungkan dengan penggunaan faktor-faktor produksi usaha
peternakan burung puyuh, sedangkan faktor-faktor produksi yang akan dianalisis
pada usaha tani telur burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo antara lain pakan,
vitamin, tenaga kerja, pengalaman tenaga kerja, temperatur dalam kandang, peran
penyuluh peternakan dan penggunaan obat. Fungsi produksi ini telah banyak
diaplikasikan pada bidang pertanian, perikanan, peternakan hingga ekonomi
finansial. Karakteristik dari model ini adalah bahwa aplikasi metode ini
dimungkinkan untuk mengestimasi ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa
mengabaikan kesalahan baku dari modelnya (Sukiyono, 2004).

B. Perumusan Masalah
Produktivitas usaha tani telur burung puyuh dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik dari faktor produksi maupun kondisi alam. Faktor produksi terdiri dari
pakan, vitamin, tenaga kerja, pengalaman peternak, temperatur kandang, penyuluh
dan penggunaan obat. Di sisi lain, faktor kondisi alam yang cocok untuk usaha
ternak ini adalah temperatur udara yang berada pada kisaran 20-25° C atau suhu
yang cenderung rendah (Bird et al, 2003).
Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu Kabupaten di daerah
Istimewa Jogjakarta yang memiliki kecocokan iklim untuk beternak burung puyuh
jika dilihat dari temperatur udaranya. Namun, tingkat produksi telur burung puyuh
pada tahun 2017 di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta masih berada pada
urutan ke -3 secara nasional, berturut turut sebagai berikut Provinsi Jawa tengah
sebesar 10.658 ton, Provinsi Jawa timur sebesar 3.959 ton dan Provinsi daerah
Istimewa Jogjakarta sebesar 3.825 ton. Populasi dari empat Kabupaten yang ada

7
di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta Kabupaten kulonprogo memiliki populasi
burung puyuh yang terbesar.
Potensi sumber daya alam Potensi sumber daya alam yang sangat besar di
Kabupaten Kulon Progo didominasi pada sektor pertanian, peternakan,
pertambangan, dan pariwisata terutama wisata alam dan wisata edukasi tetapi
pemanfaatan sumber daya alam di Kabupaten Kulonprogo yang belum optimal
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan di lingkungan sekitar yang sebenarnya bisa
menjadikan sebagai nilai tambah (value add) sebagai usaha bidang peternakan
yang akan dapat meningkatkan penghasilan.
Kondisi alam Kabupaten Kulonprogo yang mendukung untuk usaha ternak
burung puyuh seharusnya mampu lebih unggul dalam produktivitasnya di
dibandingkan dengan daerah lain seperti Boyolali yang jumlah populasi 1.631.290
ekor pada tahun 2016 sedangkan di Kabupaten Kulonprogo hanya mencapai
607.104 ekor.
Kondisi alam Kabupaten Kulonprogo yang mendukung untuk usaha ternak
burung puyuh seharusnya mampu lebih unggul dalam produktivitas dan populasi
dari tahun ke tahun terus meningkat serta tidak mengalami penurunan populasi.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan suatu cara atau terobosan baru
dalam usaha ternak burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo. Salah satu cara
tersebut adalah dengan meningkatkan tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor
produksi pada usaha ternak tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menganalisis faktor – faktor
usaha tani telur puyuh di Kabupaten Kulonprogo. Melalui kajian permasalahan di
atas maka penelitian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah faktor – faktor produksi pakan, vitamin, tenaga kerja, pengalaman
peternak, temperatur kandang, penyuluh peternakan dan penggunaan obat,
mempengaruhi produksi telur burung puyuh di Kabupaten kulonprogo?
2. Bagaimanakah elastisitas produksi pada usaha peternakan burung puyuh
di Kabupaten Kulonprogo?
3. Bagaimanakah efisiensi alokatif yang dihubungkan dengan penggunaan
faktor-faktor produksi?

8
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain:
1. Menganalisis faktor faktor yang mempengaruhi produksi dalam usaha
peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo.
2. Menghitung dan menganalisis elastisitas produksi dalam usaha peternakan
burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo.
3. Menganalisis efisiensi alokatif yang dihubungkan dengan penggunaan
faktor-faktor produksi?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat ataupun tambahan
pengetahuan antara lain:
1. Bagi peternak burung puyuh, dapat memberikan informasi bagi peternak
dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi yang digunakan.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi pemerintah Kabupaten Kulonprogo dalam menentukan
kebijakan ekonomi, terutama dalam pembangunan subsektor peternakan.
3. Bagi dunia praktisi, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
referensi dalam pengambilan keputusan pada bidang peternakan burung
puyuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

9
Meilani (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Strategi
Pengembangan Usaha Telur Puyuh (Kasus Peternakan Puyuh Bintang Tiga/PPBT,
Kecamatan Cibungbulang, Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor
eksternal yang menjadi peluang dan ancaman yang dihadapi Peternakan Puyuh
Bintang Tiga serta faktor internal perusahaan yang menjadi kekuatan dan
kelemahan Peternakan Puyuh Bintang Tiga, (2) merumuskan alternatif strategi
dan menetapkan prioritas strategi pengembangan usaha dari hasil analisis internal
dan eksternal perusahaan tersebut. Metode pengolahan dan analisis data terdiri
atas analisis deskriptif dan analisis tiga tahap formulasi strategi. Adapun alat bantu
analisis yang digunakan dalam merumuskan strategi perusahaan adalah matriks
faktor eksternal dan internal, matrik SWOT dan matriks QSP.
Hasil penelitiannya yaitu berwawasan sesuai bidang dan berjiwa
wirausaha, kelemahan utama yang dimiliki meliputi kapasitas produksi yang
belum mampu memenuhi permintaan pasar, peluang utama PPBT yakni
permintaan yang semakin meningkat dan ancaman utama yang dihadapi yakni
merebaknya penyakit puyuh. Berdasarkan hasil analisis matriks IFE dan EFE,
PPBT berada pada kuadran V (2,573 : 2,936). Dengan demikian jenis strategi
yang tepat untuk dilaksanakan adalah strategi pertahankan dan pelihara berupa
penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan analisis SWOT, alternatif
strategi yang dapat diterapkan PPBT adalah mempertahankan harga jual produk
yang bersaing dan mempertahankan kualitas produk serta pelayanan yang baik
kepada konsumen, menjalin kerjasama dengan perbankan untuk dapat
meningkatkan kapasitas produksi perusahaan melalui penambahan kandang dan
induk puyuh petelur dalam rangka memanfaatkan permintaan potensial,
meningkatkan kontrol kepada peternak mitra dengan membuat kontrak tertulis
mengenai standar produk untuk meningkatkan kualitas telur yang dihasilkan
mitra, meningkatkan upaya pemasaran produk melalui kegiatan promosi dan
memberikan identitas produk dengan pemberian merek pada kemasan dus dan
peti, melakukan upaya pencegahan penyakit dan mengelola limbah serta kotoran
puyuh serta meningkatkan keamanan di lingkungan peternakan dan menjaga
hubungan baik dengan pelanggan/konsumen, pemasok, mitra, dan warga
lingkungan sekitar. Berdasarkan analisis matiks QSP (Quantitative Strategic

10
Planning), strategi terbaik yang dapat dilaksanakan oleh PPBT adalah
mempertahankan harga jual produk yang bersaing dan mempertahankan kualitas
produk serta pelayanan yang baik kepada konsumen.
Kasadi, et al (2014) meneliti tentang Tingkat Sensitivitas Pada Usaha
Ternak Puyuh (Studi Kasus pada Satu Usahaternak Puyuh di Desa Rangdu,
Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang), Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui tingkat kelayakan investasi dan tingkat sensitivitas usaha ternak
puyuh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Analisis
kelayakan investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan analisis kriteria investasi yang terdiri dari: Net Present Value
(NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C),
Internal Rate of Return (IRR) dan Profitability Ratio (PR). Analisis sensitivitas
dihitung berdasarkan kenaikan harga pakan atau penurunan harga telur.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai NPV sebesar Rp
269.009.250,55 per 10 tahun, Net B/C sebesar 1,50, Gross B/C sebesar 1,05, IRR
sebesar 18,34% dan PR sebesar 1,42. Adapun hasil dari perhitungan sensitivitas
diperoleh bahwa usaha ternak puyuh ini masih layak akibat kenaikan harga pakan
sampai dengan 9% atau penurunan harga telur sampai dengan 9%. Hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa usaha ternak puyuh yang diteliti dikatakan
layak dari hasil perhitungan kriteria investasi dan sensitivitas.
Yunus (2009) meneliti dengan judul Analisis Efisiensi Usaha Peternakan
Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan dan Mandiri di Kota Palu Provinsi Sulawesi
Tengah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan
pendapatan rata-rata peternakan ayam ras pola kemitraan dan mandiri di Kota
Palu. Tujuan selanjutnya adalah untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor
produksi yaitu bibit ayam (DOC) pakan, vaksin, obat-obatan dan vitamin, tenaga
kerja, listrik, bahan bakar, serta luas kandang terhadap hasil produksi usaha
peternakan ayam ras pedaging pola kemitraan dan mandiri di Kota Palu serta
unutk menganalisis tingkat efisiensi teknik, efisiensi harga, dan efisiensi ekonomis
peternakan ayam ras pedaging pola kemitraan dan mandiri di Kota Palu. Metode
pengambilan sampel yang digunakan adalah sensus yang kemudian diolah dengan
metode Analisis R/C ratio, Regresi linier berganda, dan Fungsi produksi frontier

11
stokastik. Hasil dari penelitian ini adalah pendapatan usaha ternak mandiri rata-
rata lebih besar dari rata-rata pendapatan usaha ternak pola kemitraan, hal ini
terbukti dengan hasil uji beda t test. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap
produksi adalah bibit, pakan, tenaga kerja, dan bahan bakar. Namun yang
berpengaruh nyata dan tidak sesuai tanda adalah vaksin, obat dan vitamin. Listrik
dan luas kandang walaupun tidak berpengaruh nyata namun menunjukkan tanda
yang sesuai. Rata-rata tingkat efisiensi teknis yang dicapai peternak ayam ras
pedaging pola kemitraan dan pola mandiri sudah mencapai level yang cukup
tinggi namun belum efisien dan masih memungkinkan untuk menambah variabel
inputnya untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Pencapaian efisiensi harga dan efisiensi ekonomis pada peternak pola
kemitraan dan mandiri berada di atas satu. secara keseluruhan kedua usaha ternak
tersebut belum mencapai tingkat efisiensi frontier, namun bagi peternak pola
kemitraan efisiensi harga tidak menjadi suatu hal penting yang harus dicapai
karena pada usaha ternak pola kemitraan harga input dan harga output sudah
ditentukan oleh pihak inti dan peternak hanya menerima saja. Lain halnya dengan
peternak mandiri yang dengan bebas dapat memilih dan menentukan kombinasi
harga faktor-faktor produksi yang mereka gunakan.
Ratnasari (2016) meneliti dengan judul Efisiensi Produksi Pada Usaha
Sapi Perah di Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali. Tujuan Penelitian
adalaah (1) Menganalisis faktor – faktor produksi yang berpengaruh terhadap
produksi susu sapi perah rakyat di Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.
(2) Menganalisis elastisitas produksi pada usaha sapi perah rakyat di Kecamatan
Mojosongo Kabupaten Boyolali. (3) Menganalisis efisiensi penggunaan faktor
faktor produksi pada usaha sapi perah rakyat di Kecamatan Mojosongo Kabupaten
Boyolali. Metode penelitian ini menggunakan metode surve, metode penentuan
lokasi dan responden penelitian dilakukan secara purposive sampling. Metode
pengambilan data penelitian menggunakan metode kuantitatif dan data dari
penelitian ini dikumpulkan melalui observasi, wawancara, pencatatan dan studi
pustaka. Analisis data yang digunakan yaitu uji F, uji t, uji elastisitas produksi dan
uji efisiensi alokatif. Uji F menunjukkan nilai Fhitung = 221,914 yang berarti nilai
Fhitung > Ftabel (2,20) artinya variabel independen yaitu hijauan, konsentrat,

12
ampas tahu, luas lahan hijauan, tenaga kerja, jumlah ternak dan persentase induk
laktasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu
produksi susu. Uji t menunjukkan bahwa variabel hijauan, konsentrat, luas lahan
hijauan, jumlah ternak dan persentase induk laktasi berpengaruh terhadap
produksi susu. Nilai elastisitas produksi yaitu 2,212 yang artinya nilai elastisitas
berada pada kondisi Increasing Return to Scale yaitu penggunaan input akan
menghasilkan output dengan proporsi yang lebih besar. Uji efisiensi alokatif
menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha ternak sapi perah
belum mencapai optimal karena nilai ki tidak sama dengan 1 serta perlu dikurangi
untuk mencapai efisiensi secara alokatif. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini yaitu variabel pakan konsentrat, luas lahan hijauan, jumlah ternak
dan persentase induk laktasi berpengaruh terhadap produksi susu. Secara teknis
dan alokatif peternak belum efisien dalam penggunaan faktor-faktor produksi.
Pramono (2017) meneliti dengan judul Analisis Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Produksi Pembenihan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) di
Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini bertujuan (1) Mengetahui besarnya biaya dan
pendapatan usahatani pembenihan ikan lele dumbo di kabupaten Wonogiri. (2)
Mengetahui faktorfaktor yang sangat mempengaruhi produksi benih ikan lele
dumbo di kabupaten Wonogiri. (3) Mengetahui tingkat efisiensi faktor produksi
pakan, pakan alami dan tenaga kerja. Metode dasar penelitian ini menggunakan
metode deskripsi analisis. Metode deskripsi merupakan suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu pemikiran,
ataupun peristiwa pada masa sekarang.
Dalam penelitian ini, populasi yang diambil oleh peneliti adalah semua
petani pembenih ikan lele dumbo di Kabupaten Wonogiri yang berjumlah 45
orang dikarenakan terbatasnya jumlah petani pembenih yang ada di kabupaten
Wonogiri. Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari responden dimana memberikan
gambaran tentang karakteristik responden. Data sekunder dalam penelitian ini
berasal dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri dan Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Wonogiri. Data tersebut data mengenai

13
keadaan umum daerah penelitian, keadaan perekonomian, keadaan penduduk dan
data yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut : Teknik wawancara yaitu proses memperoleh data dengan
meminta keterangan dari responden melalui pertanyaan terbuka melalui quisioner
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan
data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan
tahu apa yang bisa diharapkan dari responden. Pada penelitian ini kuisioner
diberikan kepada seluruh petani pembenih ikan lele dumbo, sedangkan untuk
memperoleh data sekunder dilakukan wawancara terhadap petugas kecamatan
yang ada petani pembenih lele dumbo serta instansi terkait. Penelitian ini
menggunakan observasi langsung terstruktur yang dimanfaatkan untuk
memperoleh data sekunder, dengan mempersiapkan terlebih dahulu kepastian apa
saja yang ingin diamati, perilaku dibuat dalam kategori-kategori, tersedia unit
analisis, derajat infers serta generalisasi. Pada penelitian ini, peneliti terjung
langsung ke petani pembenih ikan lele dumbo agar dapat memperoleh data yang
akurat.
Hasil Penelitiannya adalah Biaya terbesar dalam usaha pembenihan ikan
lele dumbo adalah biaya pakan baik pakan alami maupun pakan dari pabrikan,
rata-rata biaya pakan yang dikeluarkan oleh pembenih ikan lele dumbo adalah
sebesar Rp. 698.888,- untuk biaya pakan pabrikan, sedangkan pakan alami
(berupa cacing sutera) sebesar Rp. 398.666,- Menurut Afrianto dan Evi, (2005)
besarnya biaya pakan yang digunakan untuk budidaya intensif dapat mencapai
60% dari total biaya produksi, oleh karena itu pemberian pakan dalam jumlah,
frekuensi dan komposisi harus tepat dan efisien agar pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan terjaga (Tahapari, 2012).
Pendapatan pembenih ikan lele dumbo di kabupaten Wonogiri pada saat
penelitian ratarata sebesar Rp. 2.369.533,- per siklus. b. R/C ratio diperoleh
sebesar 2,67 hal ini berarti pembenihan ikan lele dumbo layak untuk diusahakan
dikarenakan nilai R/C ratio lebih besar dari 1. Hampir semua variabel independen
bersifat elastis, kecuali untuk variabel luas lahan yang bersifat tidak elastis. Hal
ini ditunjukkan nilai masing-masing variabel pakan = 2.07, variabel pakan alami

14
2,77 dan variabel tenaga kerja sebesar 4,999 menunjukkan bahwa variabel
tersebut belum efisien sehingga perlu ditambah agar produksi bisa optimal. e.
Hasil analisis regresi menunjukkan variabel luas lahan (X1) dan pengalaman
pembenih (X6) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produksi benih ikan
lele sedangkan variabel lainnya jumlah indukan (X2), pakan (X3), pakan alami
(X4), tenaga kerja (X5), tehnologi pembenihan (D1) dan penyuluhan (D2)
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi benih ikan lele dumbo dengan
nilai probabilitas kurang dari 0,05 pada α 5%.

B. Landasan Teori
Dalam landasan teori ini dijabarkan teori-teori yang membantu
penulisdalam analisis hasil-hasil penelitian serta merupakan penjabaran teori dan
argumentasi yang disusun oleh penulis sebagai tuntunan dalam memecahkan
masalah penelitian.
1. Burung puyuh
Burung Puyuh mulai dikenal dan diternakkan di Indonesia pada tahun
1979. Burung puyuh merupakan bangsa burung (liar) yang tidak dapat terbang,
ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh yang
biasa diberdayakan sebagai ternak unggas berasal dari kelas Aves (bangsa
burung), Ordo Galiformes, Sub Ordo Phasianoidae, Famili Phasianidae, Sub
Famili Phasianinae, Genus Coturnix, dan Species Coturnix-coturnix Japonica.
Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009), terdapat beberapa jenis
puyuh yang dikenal serta dipelihara untuk diambil telur dan dagingnya. Namun,
tidak semua puyuh tersebut dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan.
Beberapa jenis diantaranya mempunyai warna bulu yang indah sehingga banyak
dipelihara sebagai burung hias, tetapi produksi telurnya rendah. Bagi yang
berminat untuk menikmati keindahan warna bulu dan suaranya, puyuh seperti ini
sangat tepat. Sementara bagi peternak yang menghendaki produksi telur tentu
memilih puyuh yang lazim diternakkan seperti Coturnix coturnix japonica. Puyuh
ini termasuk famili Phasianidae dan ordo Galliformes. Dibandingkan dengan
jenis puyuh lainnya, C. japonica mampu menghasilkan telur sebanyak 130-300

15
butir per ekor selama setahun. Puyuh betinanya mulai bertelur pada umur 35 hari.
Tak heran bila puyuh ini lebih diprioritaskan untuk diternakkan.
Kelebihan lain terletak pada suaranya yang cukup keras dan agak
berirama. Oleh sebab itulah puyuh ini banyak dipelihara sebagai song birds
(burung ocehan/klangenan, Jawa). C. japonica biasa ditemukan di hutan
belantara. Hidupnya sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang
lainnya. Sifat sifat tertentu dari Coturnix seperti kemampuannya menghasilkan 3-
4 generasi per tahun menarik perhatian peternak. Ciri-ciri jantan dewasa terlihat
dari bulu bagian leher dan dadanya yang berwarna cokelat muda. Puyuh pejantan
muda mulai bersuara/berkicau pada umur 5-6 minggu.
Selama musim kawin normal, jantan Coturnix akan berkicau setiap malam.
Sementara pada puyuh betina, warna tubuhnya mirip puyuh jantan, kecuali bulu
pada kerongkongan dan dada bagian atas yang warna cokelatnya lebih terang serta
terdapat totol-totol cokelat tua. Bentuk badannya kebanyakan lebih besar
dibandingkan dengan jantan. Telur Coturnix berwarna cokelat tua, biru, putih
dengan bintik-bintik hitam, coklat, dan biru (Listiyowati dan Roospitasari, 2009).

2. Karakteristik Dan Manfaat Burung Puyuh


Karakter puyuh dewasa jantan dapat dilihat dari bagian leher atas yang
berwarna coklat muda (cinnamon) dan warna dada bagian bawah yang sama dan
warna yang merata. Sedangkan puyuh betina memiliki bulu leher atau
kerongkongan dan dada bagian atas yang panjang dan berwarna lebih muda.
Terdapat totol-totol cokelat tua pada dada bagian atas. Bentuk badan betina pada
umumnya lebih besar dari jantan. Puyuh muda mulai bersuara pada umur 5-6
minggu. Puyuh memiliki banyak manfaat untuk dipelihara sebagai hewan ternak
karena memiliki banyak keunggulan dan nilai jual yang tinggi. Puyuh dapat
dijadikan sebagai ternak penghasil telur konsumsi, penghasil telur tetas, hingga
bibit dan afkirannya masih dapat dijual (Anonimus, 1983).
1. Telur
Telur puyuh memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih baik dari
telur biasa, karena memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dengan
kandungan lemak yang lebih rendah. Telur puyuh juga dapat dijadikan sebagai

16
konsumsi diet kolesterol, karena komposisi telur puyuh dapat mencegah
terjadinya penimbunan lemak di jantung. Sementara itu, kebutuhan tubuh akan
protein dapat terpenuhi.
Kualitas telur puyuh terdiri dari kualitas kulit telur, kualitas kekentalan, dan
kualitas gizi yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kualitas
lainnya ditentukan dari penampakkan kulit telur sperti tingkat kebersihan terhadap
bercak darah, dan kualitas kuning telur. Kualitas telur dapat dinyatakan dengan
melihat telur secara ekterior dan interior. Secara interior, dengan mengukur bagian
dalam telur, seperti kuning telur, putih telur dan ada tidaknya cacat pada kuning
telur. Sedangkan secara eksterior yaitu dengan melihat bentuk telur, mengukur
bobot, dan tebal kerabang telur. Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis telur
diantaranya adalah kandungan zat makanan, penyakit, temperatur, genetik dan
umur unggas.
2. Daging
Daging puyuh mengandung 21,10 persen protein, sedangkan lemaknya
rendah yakni hanya 7,7 persen. Tabel 8 menunjukkan kandungan zat-zat makanan
dalam daging puyuh. Daging puyuh umumnya diambil dari puyuh yang sudah
afkir yaitu puyuh betina yang kemampuannya menghasilkan telur sudah menurun
atau burung jantan yang tidak terpilih sebagai pejantan. Sebagian besar puyuh
jantan sengaja diafkir karena bila diternakan hanya akan menghabiskan pakan
yang tentunya akan memperbesar biaya pemeliharaan.
3. Kotoran
Kotoran puyuh dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk tanaman sayuran
maupun tanaman hias dan juga untuk campuran dalam bahan makanan
(konsentrat) bagi ternak. Kotoran ini dijemur sampai kering kemudian digiling
atau ditumbuk sampai halus agar dapat digunakan sebagai campuran pakan ternak.
Sedangkan untuk pupuk, kotoran terlebih dahulu dicampur tanah dengan
perbandingan 1:1 dan disimpan dalam suasana aerob selama 1-2 bulan.
4. Aspek Usahatani Peternakan Burung Puyuh
Puyuh termasuk ternak unggas yang bisa dijual seluruh tubuh dan produk
yang dihasilkannya. Telurnya bisa dijual sebagai telur konsumsi dan dagingnya
dapat dijual sebagai daging konsumsi. Begitu juga dengan kotoran dan bulunya.

17
Puyuh memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan menjadi komoditas
bisnis karena tingkat permintaan yang cukup besar dan produktivitasnya yang
tergolong tinggi. Puyuh dapat menghasilkan telur 250-350 butir selama setahun.
Sedangkan puyuh betina sudah mampu bertelur kurang lebih pada umur 41 hari.
Peternakan puyuh merupakan usaha peternakan yang tidak membutuhkan
tempat yang luas seperti pada umumnya pendirian peternakan unggas lain. Pada
lahan seluas 800 m2 dapat ditempati sekitar 5000 ekor puyuh yang di dalamnya
terdapat 25 sangkar dan tiap sangkar terdapat sekitar 200 ekor. Kandang seluas
800 m2 tersebut disertai dengan bagian lahan untuk kegiatan perawatan budidaya
seperti pembersihan tempat minum, pengambilan telur dan pemberian pakan. Oleh
karena itu, Peternakan puyuh memiliki daya tarik yang cukup besar sebagai
lapangan usaha bagi masyarakat atau para usahawan yang bermodal awalan kecil.
Modal awalan yang tidak selalu harus selalu besar dan hasil telur yang tinggi
mengindikasikan keuntungan yang menggiurkan dan menambah daya tarik
potensi pengembangan usaha peternakan puyuh (Topan, 2007).
Meskipun porspek usaha terhadap usaha budidaya puyuh cukup baik, akan
tetapi usaha ini tetap mengandung resiko tertentu khususnya mengenai
penanganan manajemen pemeliharaan yang tepat, mengingat puyuh merupakan
ternak yang peka terhadap perubahan lingkungan, dan penanganan aspek
operasional perawatan.
Resiko pada aspek opersional perawatan yang umumnya terjadi yaitu
resiko berfluktuasinya tingkat kematian akibat perubahan penanganan perawatan
sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat produktivitas puyuh dalam
menghasilkan telur. Selain itu, penurunan produktivitas juga dapat disebabkan
oleh perubahan lingkungan yang tidak menentu, kondisi ekstrim cuaca dan
kebisingan lingkungan. Akan tetapi, dengan mengetahui beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat kegagalan budidaya, maka usaha budidaya puyuh ini tetap
prosfektif untuk dikembangkan. Untuk meminimalkan resiko yang mungkin
terjadi, perlu dilakukan perencanaan usaha yang matang mengenai dinamika
bisnis telur puyuh, perlu mengetahui siklus permintaan telur puyuh tertinggi dan
permintaan terendah pasar serta aspek operasional budidaya.

18
Perencanaan usaha didukung juga oleh adanya motif usaha yang kuat,
pengetahuan tata cara beternak puyuh yang benar, dan pengetahuan aspek
pemasaran untuk produk yang dihasilkan oleh puyuh. Selain itu perlu didukung
mengetahui pengetahuan pengelolaan limbah kotoran sehingga bisa menghasilkan
pendapatan tambahan, selain pendapatan telur.

4. Teori Produksi
Produksi merupakan hasil akhir dari aktivitas ekonomi dengan
memanfaatkan beberapa masukan atau input. Dengan pengertian ini dapat
dipahami bahwa kegiatan produksi adalah mengkombinasikan berbagai input atau
masukan yang juga disebut sebagai faktor – faktor produksi menjadi keluaran
(output) sehingga nilai barang menjadi bertambah.
1. Fungsi Produksi
Fungsi Produksi adalah hubungan diantara faktor-faktor produksi dan
tingkat produksi yang diciptakannya. Tujuan dari kegiatan produksi adalah
memaksimalkan jumlah output dengan sejumlah input tertentu. Lebih lanjut
fungsi produksi juga dijelaskan oleh Nicholson (2002), fungsi produksi adalah
suatu fungsi yang menunjukkan hubungan matematik antara input yang digunakan
untuk menghasilkan suatu tingkat output tertentu. Fungsi produksi dapa
dinyatakan dalam persamaan berikut ini :
q = f ( K, L, M,.... )…………………………………………………( 2.1 )
Dimana q adalah output barang – barang tertentu selama satu periode, K
adalah input modal yang digunakan selama periode tersebut, L adalah input tenaga
kerja dalam satuan jam, M adalah input bahan mentah yang digunakan. Dari
persamaan ( 1 ) dapat dijelaskan bahwa jumlah output tergantung dari kombinasi
penggunaan modal, tenaga kerja, dan bahan mentah. Semakin tepat kombinasi
input, semakin besar kemungkinan output dapat diproduksi secara maksimal.
Keberadaan fungsi produksi juga diperjelas oleh Salvatore (1995) yang
menjelaskan bahwa fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum komoditi
yang dapat diproduksi per unit waktu setiap kombinasi input alternatif, bila
menggunakan teknik produksi terbaik yang tersedia.

19
Dalam teori ekonomi diambil pula satu asumsi dasar mengenai sifat dari
fungsi produksi. Yaitu fungsi produksi dari semua produksi dimana semua
produsen dianggap tunduk pada suatu hukum yang disebut : The Law Of
Diminishing Returns. Hukum ini mengatakan bahwa bila satu macam input
ditambah penggunaannya sedang input-input lain tetap maka tambahan output
yang dihasilkan dari setiap tambahan satu unit input yang ditambahkan tadi mula
mula menaik, tetapi kemudian seterusnya menurun bila input tersebut terus
ditambah. Secara grafik penambahan faktor-faktor produksi yang digunakan dapat
dijelaskan pada Gambar 1.

Kurva Hubungan TPP3MPP3 dan APP

Y
(hasil produksi) 3
2

TPP

1
(Faktor produksi)

Y
(hasil produksi)

4 6

MPP (Faktor produksi)

Sumber : Ari Sudarman, 1999

Gambar 1. Tingkat penggunaan faktor – faktor produksi


Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada tingkat permulaan
penggunaan faktor produksi, TPP akan bertambah secara perlahan-lahan dengan
ditambahnya penggunaan faktor produksi. Pertambahan ini lama kelamaan
menjadi semakin cepat dan mencapai maksimum di titik 1, nilai kemiringan dari
kurva total produksi adalah marginal produk. Jadi, dengan demikian pada titik
tersebut berarti marginal produk mencapai nilai maksimum. Sesudah kurva total

20
produksi mencapai nilai kemiringan maksimum di titik 1, kurva total produksi
masih terus menaik. Tetapi kenaikan produksinya dengan tingkat yang semakin
menurun, dan ini terlihat pada nilai kemiringan garis singgung terhadap kurva
total produksi yang semakin kecil dan bergerak ke kanan sepanjang kurva total
produksi dari titik 1 nampak bahwa garis lurus yang ditarik dari titik 0 ke kurva
tersebut mempunyai nilai kemiringan yang semakin besar (Sudarman,1999).
Nilai kemiringan dari garis ini mencapai maksimum di titik 2, yaitu
pada waktu garis tersebut tepat menyinggung kurvatotal produksi. Karena nilai
kemiringan garis lurus yang ditarik dari titik 0 kesuatu titik pada kurva total
produksi menunjukkan produksi rata-rata di titik tersebut, ini berarti di titik 2 (di
titik 5 pada gambar bagian bawah) produksi rata- rata mencapai maksimum.
Mulai titik 2, bila jumlah faktor produksi variabel yang digunakan ditambah,
maka produksi naik dengan tingkat kenaikan yang semakin menurun, dan ini
terjadi terus sampai di titik 3. Pada titik 3 ini, total produksi mencapai maksimum,
dan lewat titik ini total produksi terus semakin berkurang sehingga akhirnya
mencapai titik 0 kembali. Di sekitar titik 3, tambahan faktor produksi (dalam
jumlah yang sangat kecil) tidak mengubah jumlah produksi yang dihasilkan.
Dalam daerah ini nilai kemiringan kurva total sama dengan 0. Jadi, marginal
produk pada daerah ini sama dengan 0. Hal ini nampak dalam gambar dimana
antara titik 3 dan titik 6 terjadi pada tingkat penggunaan faktor produksi yang
sama. Lewat dari titik 3, kurva total produksi menurun, dan berarti marginal
produk menjadi negatif. Dalam gambar juga terlihat bahwa marginal produk pada
tingkat permulaan menaik, mencapai tingkat maksimum pada titik 4 (titik di mana
mulai berlaku hukum the law of diminishing return), akhirnya menurun.
Marginal produk menjadi negatif setelah melewati titik 6, yaitu pada
waktu total produksi mencapai titik maksimum. Rata-rata produksi pada titik
permulaan juga nampak menaik dan akhirnya mencapai tingkat maksimum di titik
5, yaitu pada titik di mana antara marginal produk dan rata-rata produksi sama
besar. Satu hubungan lagi yang perlu diperhatikan ialah marginal produk lebih
besar dibanding dengan rata-rata produksi bilamana rata-rata produksi menaik,dan
lebih kecil bilamana rata-rata produksi menurun.

21
Dengan menggunakan gambar di atas dapat membagi suatu rangkaian
proses produksi menjadi tiga tahap, yaitu tahap I, II, dan III. Tahap I meliputi
daerah penggunaan faktor produksi di sebelah kiri titik 5, di mana rata-rata
produksi mencapai titik maksimum. Tahap II meliputi daerah penggunaan faktor
produksi di antara titik 5 dan 6, di mana marginal produk di antara titik 5 dan 6,
dimana marginal produk dari faktor produksi variabel adalah 0. Akhirnya, tahap
III meliputi daerah penggunaan faktor produksi di sebelah kanan titik 6, di mana
marginal produk dari faktor produksi adalah negatif.
Sesuai dengan pentahapan tersebut di atas, maka jelas seorang produsen
tidak akan berproduksi pada tahap III, karena dalam tahap ini ia akan memperoleh
hasil produksi yang lebih sedikit dari penggunaan faktor produksi yang lebih
banyak. Ini berarti produsen tersebut bertindak tidak efisien dalam pemanfaatan
faktor produksi. Pada tahap I, rata-rata produksi dari faktor produksi meningkat
dengan semakin ditambahnya faktor produksi tersebut. Jadi, efisiensi produksi
yang maksimal akan terjadi pada tahap produksi yang ke II (Sudarman, 1999).
2. Fungsi Produksi Cobb – Douglas
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang
melibatkan dua atau lebih variabel, di mana variabel yang satu disebut dengan
variabel dependen, yang dijelaskan (Y), dan yang lain disebut variable
independen, yang menjelaskan, (X). (Soekartawi, 2003). Fungsi produksi Cobb
Douglass secara matematis bentuknya adalah
sebagai berikut :
Q=AKαLβ........................................................................................... ( 2.2)
Jika diubah ke dalam bentuk linear:
LnQ=Ln A + α Ln K + β Ln L ………..…………………………………….(2.3)
Dimana Q adalah Output L dan K adalah tenaga kerja dan barang modal.α
(alpha) dan β (beta) adalah parameter–parameter positif yang ditentukan oleh
data. Semakin besar nilai A, barang teknologi semakin maju, parameter α
mengukur persentase kenaikan Q akibat adanya kenaikan satu persen K,
sementara L dipertahankan konstan. Demikian pada β mengukur parameter
kenaikan Q akibat adanya kenaikan satu persen L, sementara K dipertahankan
konstan. Jadi α dan β masing – masing adalah elastisitas dari K dan L. jika α + β

22
=1, terdapat tambahan hasil yang konstan atas skala produksi, jika α + β >1 maka
terdapat tambahan hasil yang meningkat atas skala produksi dan jika α + β < 1
terdapat tambahan hasil yang menurun atas skala produksi.
Model modifikasi fungsi produksi Cobb Douglas harus diubah ke dalam
bentuk linier untuk memudahkan pendugaan terhadap model regresi tersebut
dengan cara melogaritmakan menjadi :
LnY = Ln a + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + … + bn Ln Xn + V ..……( 2.4 )
Di mana Y adalah variabel yang dijelaskan, X adalah variabel yang menjelaskan
a, b adalah besaran yang akan diduga, V adalah kesalahan (disturbance term).
3. Analisis fungsi produksi Cobb Douglass
Fungsi produksi Cobb Douglass b = elastisitas produksi (Ep) selanjutnya
hipotesisnya adalah :
Ho : Apabila Ep >1 dan Ep <0, maka peternak burung puyuh secara teknis
tidak rasional dalam penggunaan faktor produksi.
Ha : Apabila elastisitas produksi pada daerah 0 < Ep <1, maka peternak
burung puyuh secara teknis rasional dalam penggunaan faktor
produksi.
Elastisitas produksi (Ep) adalah penjumlahan dari b1+ b2 +...+b7.

4. Return to Scale
Return to Scale (RTS) atau keadaan skala usaha perlu diketahui untuk
mengetahui kombinasi penggunaan faktor produksi. Terdapat tiga kemungkinan
dalam nilai return to scale, yaitu: (Soekartawi, 2003)
1. Decreasing returns to scale, bila (b1 + b2 + ...... + bn) < 1. Dalam keadaan
demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi
melebihi penambahan produksi.
2. Constant returns to scale, bila (b1 + b2 + ...... + bn) = 1. Dalam keadaan
demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi
akan proporsional dengan penambahan produksi.
3. Increasing returns to scale, bila (b1 + b2 + ...... + bn) > 1. Dalam keadaan
demikian, dapat diartikan bahwa proporsi penambahan faktor produksi
akan menghasilkan produksi yang lebih besar.
5. Efisiensi

23
Efisiensi merupakan hasil perbandingan antara output fisik dan input
fisik. Semakin tinggi rasio output terhadap input maka semakin tinggi semakin
tinggi tingkat efisiensi yang dicapai. Efisiensi juga dijelaskan oleh Yotopoulos dan
Nugent dalam Marhasan (2005) sebagai pencapaian output maksimum
daripenggunaan sumber daya tertentu. Jika output yang dihasilkan lebih
besardaripada sumber daya yang digunakan maka semakin tinggi pula tingkat
efisiensi yang dicapai.
Selain itu Ramly dalam Marhasan (2005) juga menyatakan bahwa tingkat
efisiensi yang tinggi tercapai pada saat kondisi optimal terpenuhi, yaitu apabila
tidak ada lagi kemungkinan menghasilkan jumlah produk yang sama dengan
menggunakan input yang lebih sedikit dan tidak ada kemungkinan menghasilkan
produk yang lebih banyak dengan menggunakan input yang sama.
Efisiensi juga diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil
kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar – besarnya. Situasi yang
demikian akan terjadi kalau peternak mampu membuat suatu upaya kalau nilai
produk marginal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input tersebut ; atau
dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 1993)
NPMx = Px ; atau ........................................................................... ............(2.5)
NPMx= 1; atau .............................................................................................(2.6)
Px
adalah
NPM x
< 1 maka penggunaan input x tidak efisien dan perlu mengurangi jumlah
Px
penggunaan input

NPM x
> 1 maka penggunaan input x belum efisien dan perlu menambah jumlah
Px
penggunaan input

6. Analisis efisiensi alokatif

Efisiensi alokatif penggunaan masing-masing faktor produksi dapat dilihat nilai


NPM (Nilai hasil produk marginal) masing-masing faktor produksi terhadap HFP
(harga masing-masing faktor produksi) atau sering disebut nilai k. NPM = HFP

24
atau k = 1. Banyak kenyataannya bahwa NPM tidak selalu sama dengan HFP dan
yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
1. Ki > 1 ; artinya bahwa penggunaan input x belum efisien. Input harus
ditambah untuk mencapai tingkat efisien.
2. Ki < 1 ; artinya penggunaan input x tidak efisien. input harus
dikurangi untuk mencapai atau menjadi efisien.
Nilai produksi marjinal (NPM) faktor produksi X, dapat ditulis sebagai berikut :
NPM = b*Y*Py / X
dimana :
b = elastisitas produksi
Y = produksi
Py = harga produksi
X = jumlah faktor produksi X
Kondisi efisien harga menghendaki NPMx sama dengan harga faktor produksi
HFPx, atau dapat dituliskan sebagai:
NPMx /HFPx
dimana :
HFPx = harga faktor produksi x

C. Kerangka Berfikir
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa faktor – faktor usahatani telur
puyuh di Kabupaten Kulonprogo dan menggunakan variabel independen yaitu
faktor – faktor produksi telur puyuh adalah produksi pakan, vitamin dan Obat,
tenaga kerja, pengalaman kerja, temperatur lingkungan kandang dan pemberian
penyuluhan dan variabel dependennya yaitu produksi telur puyuh (output).
1.Pakan (X1)
Hubungan variabel – variabel yang diduga berpengaruh terhadap usahatani
2. Kebutuhan
peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo dapat digambarkan secara
Vitamin( X2) 1. Analisis regresi
sistematis dalam kerangka pemikiran teoritis sebagaimana terlihat pada gambar
3. Tenaga
berikut : kerja (X3) 2. Uji asumsi Klasik
4. Pengalaman Tenaga - Uji Normalits
Kerja (X4)
- Uji Heterokedastisitas
5. Suhu Lingkungan
Kandang (D5) - Uji Multikolinieritas

6. Penyuluhan (D6) - Uji Autokorelasi

7.Penggunaan Obat (D7) 3. Analisis Elastisitas Produksi


25
4. Efisiensi Alokatif
Alternatif kebijakan

Gambar 2. Kerangka pemikiran

D. Definisi Operasioanal dan Pengukuran Variabel


Definisi operasional diharapkan dapat menjelaskan kaidah – kaidah yang
terkandung dalam penelitian terutama judul penelitian sehingga dapat
menggambarkan pemahaman yang sama diantara pembaca hasil penelitian,
sedangkan variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk
apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2010 : 38). Dan penjabaran varibel penelitian dan definisi operasional yang
digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Jumlah Produksi Telur (Y)
Jumlah produksi telur puyuh adalah jumlah produksi telur yang dihasilkan
dalam masa produksi yaitu jumlah keseluruhan telur puyuh yang
dihasilkan peternak selama satu bulan dan diukur dengan satuan jumlah
telur dalam butir.
2. Pakan

26
Adalah jumlah pakan yang diberikan selama proses produksi setiap hari
dan dihitung dalam akumulasi bulanan (dalam Kg)
3. Vitamin (X2)
Jumlah kebutuhan vitamin diukur dlam satuan gram, pemberian vitamin
untuk puyuh bertujuan mengurangi stres, meningkatkan stamina dan daya
tubuh puyuh, serta menjaga produktivitas optimal. Jenis suplemennya
terdiri dari vitamin, mineral, asam amino, dan imunostimulan.
Beberapa produk yang dapat diberikan antara lain Fortevit, Vitanak, Puyuh
MediEgg, dan Imustim.
4. Tenaga Kerja (X3)
Tenaga kerja merupakan jumlah tenaga yang dibutuhkan selama proses
produksi telur dan satuan jumlah jam kerja.
5. Pengalaman Peternak (X4)
Adalah pengalaman yang dimiliki peternak dari sebuah pekerjaan yang
telah dilakukan selama waktu tertentu dan pengalaman peternak
dinyatakan dalam satuan (tahun).
6. Temperatur Kandang (D5)
Adalah kondisi suhu ruangan di dalam kandang pada saat pengambilan
sampel yang membuat burung puyuh nyaman dan bisa meningkatkan
produksi telur, bentuknya dummy angka satu untuk suhu ruangan dibawah
31 0 C dan angka nol untuk suhu tinggi dan dalam kandang diatas 31 0 C .
7. Penyuluhan (D6)
Penyuluhan merupakan informasi yang didapatkan peternak burung
puyuh dari penyuluh peternakan , bentuknya dummy angka 1 (satu) untuk
pernah mengikuti penyuluhan dan angka 0 (nol) untuk tidak pernah
mengikuti penyuluhan.
8. Penggunaan Obat (D7).
Jika peternak pernah menggunakan obat – obatan (vaksin, antiseptik dan
insektisida) selama proses pemeliharaan burung puyuh dinyatakan dengan
1 dan jika tidak pernah dinyatakan dengan 0 .

27
E. Asumsi
1. Peternak dalam beternak burung puyuh melakukan kegiatan secara rasional dan
bertujuan untuk mendapatkan produksi telur yang maximal.
2. Peternak yang dijadikan responden adalah peternak umur burung puyuh
antara10 – 50 minggu.
3. Variabel yang tidak diamati dalam penelitian bersifat tetap.
4. Harga jual telur dan pakan adalah harga yang berlaku pada saat penelitian ini
dilaksanakan.
5. Temperatur adalah kondisi suhu dalam kandang pada saat pengambilan
penelitian.

F. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


1. Penelitian ini terbatas pada data jumlah peternakan burung puyuh di Kabupaten
Kulon Progo selama satu bulan (Juni 2017).
2. Penelitian ini terbatas pada peternakan burung puyuh di Kabupaten
Kulonprogo yang berusia antara 10 – 50 minggu.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi produksi telur pada peternakan burung
puyuh terbatas pada variabel yang diteliti saat penelitian.
4. Harga satuan penerimaan dan pengeluaran diperhitungkan sesuai dengan harga
setempat pada saat penelitian.
5. Temperatur kandang adalah suhu pada dalam kandang setempat pada saat
penelitian.

G. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah pada latar belakang penelitian, tujuan,
manfaat serta teori yang mendasarinya maka dapat disimpulkan hipotesis
alternatif dalam dalam penelitian ini adalah :
Diduga faktor produksi pakan, vitamin, tenaga kerja, pengalaman beternak,
temperatur kandang, pemberian penyuluhan, dan penggunaan obat berpengaruh
terhadap peningkatan produksi telur p

III. METODE PENELITIAN

28
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah metode
penelitian survei yaitu pengumpulan data dari sejumlah individu dalam jangka
waktu yang bersamaan melalui alat pengukur berupa daftar pernyataan berupa
kuesioner (Singarimbun dan Effendi, 1995).
Metode penentuan lokasi penelitian dilakukan secara Purposive Sampling
atau di sengaja dengan pertimbangan Kabupaten Kulonprogo memiliki banyak
usaha ternak burung puyuh baik usaha dalam skala kecil maupun besar, selain itu
didukung dengan akses sarana infrastruktur yang memadai, sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang mencukupi serta dapat dikembangkan. Hal ini sangat
potensial untuk mendukung pengembangan usaha ternak burung puyuh di wilayah
tersebut. Menurut Notohadiprawiro (2006), waktu dan kemampuan jangkauan
peneliti juga menjadi pertimbangan dalam melakukan suatu penelitian.

B. Data dan Sumber Data


Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.
Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti dari
responden di Kabupaten Kulonprogo dan dilakukan selama satu bulan yang terdiri
dari
a. Penggunaan pakan, penggunaan vitamin, tenaga kerja, pengalaman tenaga
kerja, temperatur lingkungan kandang, peran penyuluh peternakan, dan
penggunaan obat. Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini
adalah wawancara dan observasi kepada responden peternak Burung
puyuh di Kabupaten Kulonprogo.
b. Data faktor sosial ekonomi peternak burung puyuh di Kabupaten
Kulonprogo yang terdiri dari pendidikan, umur responden, tingkat
pendidikan, pengalaman kerja dan penggunaan teknologi peternakan.
Data sekunder adalah data-data pendukung yang diperoleh dari buku-
buku, maupun sumber lain yang diterbitkan oleh instansi terkait. Data
sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai

29
instansi yang terkait seperti Dinas Peternakan Kabupaten Kulonprogo,
Balai Penyuluhan Pertanian, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulonprogo
dan peternak Kebupaten Kulonprogo. Data sekunder yaitu meliputi,
kondisi geografis, luas lahan, tipe lahan, jenis dan populasi ternak.

C. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel peternak secara
sengaja (Purposive sampling). Kriteria responden yang digunakan sebagai sampel
adalah peternak burung puyuh dengan populasi minimal 2000 ekor dan jumlah
responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 40 responden dan
kriteria responden telah berpengalaman beternak burung puyuh lebih dari 1 tahun.
Metode pengambilan data penelitian menggunakan metode kuantitatif. Metode
kuantitatif merupakan metode penelitian yang lebih menekankan pada aspek
pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial. (Sumanto, 1995).

1. Wawancara (interview)
Teknik wawancara adalah suatu proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Teknik ini
digunakan untuk mendapatkan data primer yang merupakan data utama dalam
penelitian yaitu dengan melakukan wawancara langsung kepada responden
dengan menggunakan daftar pertanyaan berstruktur (kuesioner) agar pertanyaan
dapat lebih terarah. Wawancara dilakukan terhadap pemilik peternakan burung
puyuh di Kabupaten Kulonprogo.
2. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara melakukan
pencatatan secara cermat dan sistematis terhadap pola perilaku orang, obyek, atau
kejadian-kejadian tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan orang, obyek, atau
kejadian tersebut. Teknik ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung
terhadap objek penelitian peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo
sehingga didapatkan gambaran jelas mengenai daerah yang akan diteliti.

3. Pencatatan

30
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yaitu dengan
mengumpulkan data dengan mencatat hal-hal yang diperlukan dalam
penelitian yang diperoleh melalui instansi yang terkait.
4. Studi pustaka
Pengumpulan data dari buku-buku, prosiding, jurnal ilmiah, atau internet
dan sebagainya yang ada kaitannya dengan permasalah faktor – faktor produksi
usahatani peternakan burung puyuh.

D. Metode Analisis Data


1. Analisis Faktor Produksi
Faktor-faktor yang dianalisis pengaruhnya terhadap usahatani burung
puyuh dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model regresi linier
berganda. Penggunaan model ini ditujukan untuk menjelaskan hubungan dua
peubah atau lebih serta menelusuri pengaruh nyata peubah satu terhadap peubah
lainnya. Faktor–faktor yang diduga berpengaruh terhadap usahatani burung
puyuh di Kabupaten Kulonprogo adalah pakan, kebutuhan vitamin, , tenaga kerja,
temperatur ruang kandang, peranan penyuluh peternakan, penggunaan obat.
Secara umum persamaan matematik dari fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Y = A1X1b1 X2b2 X3b X4b4 X3b X5b5 D5b5D6b6D7b7eμ..………………( 3.1 )
Keterangan :
Ln Y : Produksi telur (butir telur)
A : Intersep
X1 : Jumlah Pakan (kg/bulan/peternak)
X2 : Vitamin(gram/bulan/peternak)
X3 : Tenaga Kerja (HOK/Orang)
X4 : Pengalaman beternak dinyatakan dalam (tahun)
D5 : Temperatur kandang (Variabel Dummy 1 jika suhu
tinggi diatas 31 0 Celcius dan 0 jika suhu rendah dibawah
31 0 Celcius)

31
D6 : Pernah mengikuti penyuluhan peternakan (Variabel Dummy 1jika
pernah mengikuti penyuluhan dan 0 jika tidak
pernah mengikuti penyuluhan)
D7 : Penggunaan obat – obatan (Variabel Dummy 1 jika menggunakan
obat dan 0 jika tidak menggunakan)
μ : variabel gangguan (disturbance term)
b1 …b7 : koefisien regresi
Mengingat fungsi produksi tersebut non linier maka perlu dilakukan dobel
log yaitu ln= logaritma natural dengan basis e = 2,718.
Hubungan antara faktor produksi yang berupa pakan, vitamin, luas, Obat, tenaga
kerja, perubahan temperatur dengan hasil Produksi telur puyuh dapat diketahui
dengan melakukan regresi linier berganda. Model modifikasi fungsi produksi
Cobb Douglas harus diubah ke dalam bentuk linier untuk memudahkan
pendugaan terhadap model regresi tersebut dengan cara melogaritmakan menjadi :
LnYt = LnA + b1LnX1 + b2LnX2 +… b7LnX7 + μ
Adanya perbedaan dalam satuan dan besaran variabel bebas maka
persamaan regresi harus dibuat dengan model logaritma natural. Alasan pemilihan
model logaritma natural (Ghozali, 2005) adalah sebagai berikut :
1. Menghindari adanya heterokesdatisitas
2. Mengetahui koefisien yang menunjukkan elastisitas
3. Mendekatkan skala data
Sebelum dilakukan estimasi model regresi berganda, data yang digunakan
harus dipastikan terbebas dari penyimpangan asumsi klasik untuk
multikolinearitas, heteroskesdasitas, dan autokorelasi seperti yang ditentukan
dalam Gujarati (2006). Uji klasik ini dapat dikatakan sebagai kriteria
ekonometrika untuk melihat apakah hasil estimasi memenuhi dasar linear klasik
atau tidak. Dengan terpenuhinya asumsi asumsi klasik ini maka estimator OLS
dari koefisien regresi adalah penaksir tak bias linear terbaik (Best Linear
Unbiazed Estimator) (Gujarati, 2006). Setelah data dipastikan bebas dari
penyimpangan asumsi klasik, maka dilanjutkan dengan uji hipotesis dan
kemudian dilakukan uji efisiensi sehingga tujuan penelitian yang kedua dapat

32
terjawab, yakni untuk menghitung tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktor
produksi pada usaha peternakan burung puyuh.
2. Elastisitas produksi Cobb Douglass
Fungsi produksi Cobb Douglass, b = elastisitas produksi (Ep) selanjutnya
hipotesisnya adalah:
Ho : Apabila Ep >1 dan Ep <0, maka peternak burung puyuh secara teknis
tidak rasional dalam penggunaan faktor produksi.
Ha : Apabila elastisitas produksi pada daerah 0 < Ep <1, maka peternak
burung puyuh secara teknis rasional dalam penggunaan faktor
produksi.
Elastisitas produksi (Ep) adalah penjumlahan koefisien dari b1+ b2 +...+b7
(Soekartawi, 2003)
3. Analisis efisiensi alokatif
Efisiensi alokatif penggunaan masing-masing faktor produksi dapat dilihat
nilai NPM (Nilai hasil produk marginal) masing-masing faktor produksi terhadap
HFP (harga masing-masing faktor produksi) atau sering disebut nilai k. NPM =
HFP atau k = 1. Banyak kenyataannya bahwa NPM tidak selalu sama dengan
HFP dan yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
1. Ki > 1 ; artinya bahwa penggunaan input x belum efisien. Input harus
ditambah untuk mencapai tingkat efisien.
2. Ki < 1 ; artinya penggunaan input x tidak efisien. input harus dikurangi
untuk mencapai atau menjadi efisien.
Nilai produksi marjinal (NPM) faktor produksi X, dapat ditulis sebagai berikut :
NPM = b*Y*Py / X
dimana :
b = elastisitas produksi
Y = produksi
Py = harga produksi
X = jumlah faktor produksi X
Kondisi efisien harga menghendaki NPM sama dengan harga faktor produksi X,
atau dapat dituliskan sebagai:
NPM/HFP

33
dimana :
HFP = harga faktor produksi X (Soekartawi, 1993).

1. Uji Asumsi Klasik


a. Uji Normalitas
Menguji apakah dalam model regresi, variabel dependen, variabel
independen atau keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak.
Model baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal (santoso,
2000). Pengujian dengan mengamati histogram atas nilai residual dan
grafik normal probability plot. Dasar pengambilan keputusan :
1. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah
agris diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas,
2. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Pengujian kedua dapat dilakukan dengan menguji normalitas digunakan
uji Kolmogorov Smirnov, jika signifikansi di atas 0,05 maka berarti tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data
normal baku, artinya, data yang diuji normal, dan tidak berbeda dengan normal
baku.
Persamaan yang diperoleh dari sebuah estimasi dapat dioperasikan secara
statistik jika memenuhi asumsi klasik, yaitu memenuhi asumsi bebas
multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pengujian asumsi klasik
ini dilakukan dengan bantuan software SPSS 21 for Windows.
b. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas berarti ada hubungan linear (korelasi) yang sempurna
atau pasti, diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model
regresi (Gujarati, 2003). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi
di antara variabel independen.
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi adalah
sebagai berikut (Ghozali, 2005) :

34
1. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika
antar variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi
(umumnya di atas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi adanya
multikolinearitas.
2. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan
lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukkan setiap variabel independen manakah yang
dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian
sederhana setiap variabel independen menjadi
Variabel dependen dan diregresikan terhadap variabel independen lainnya.
Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang terpilih yang tidak
dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah
sama dengan nilai nilai VIF yang tinggi (karena VIF = 1/tolerance). Nilai cutoff
yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinearitas adalah nilai
tolerance < 0,10 atau sama dengan nilai VIF > 10.
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,
maka disebut homoskesdastisitas dan jika berbeda disebut heteroskesdastisitas.
Model regresi yang baik adalah yang homoskesdastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).
Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas menurut
Imam Ghozali (2005), yaitu dengan melihat grafik scatterplot antara nilai prediksi
variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada
tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola
tertentu pada grafik scatterplot dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi,
dan sumbu X adalah residual (Y prediksi ─ Y sesungguhnya) yang telah di-
studentized.
Dasar analisis :
a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola
tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian

35
menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskodastisitas.
b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan
di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi antara anggota–anggota serangkaian
observasi yang diurutkan berdasarkan waktu dan ruang (Gujarati, 2006).
Ujiautokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi
antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada
periode t-1(sebelumnya).
Autokorelasi muncul karena residual (kesalahan pengganggu) tidak bebas
dari satu observasi ke observasi lainnya. Model regresi yang baik adalah yang
bebas dari autokorelasi (Ghozali, 2005). Cara yang digunakan untuk mendeteksi
ada atau tidaknya autokorelasi menurut Ghozali (2005) adalah Uji Durbin-Watson
(DW test). Uji Durbin-Watson hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu
(first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam
model regresi atau tidak ada variabel lag di antara variabel independen. Hipotesis
yang akan diuji adalah :
H0 : tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha : ada autokorelasi (r ≠ 0)
Tabel 3. Pengambilan keputusan ada atau tidaknya autokorelasi
Hipotesis nol Keputusan Jika

Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl


Tidak ada autokorelasi positif No decision dl ≤ d ≤ du
Tidak ada autokorelasi negatif Tolak 4 – dl ≤ d ≤ 4
Tidak ada autokorelasi negatif No decision 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl
Tidak ada autokorelasi, positif Tidak ditolak du ≤ d ≤ 4 – du
atau negative

1. Pengujian Model Regresi

36
a. Pengujian Secara Serentak (Uji F)
Uji F menguji signifikansi model. Uji F digunakan untuk menguji apakah
faktor-faktor produksi yang berupa pakan, vitamin, tenaga kerja,
pengalaman tenaga kerja, temperatur lingkungan kandang, peran penyuluh
peternakan dan penggunaan obat secara bersama-sama berpengaruh
terhadap produksi telur burung puyuh
Hipotesisnya adalah sebagai berikut:
H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = b6 = b7 = 0
Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ b5 ≠ b6 ≠ b7 = 0 atau Ha : b1...b7 ≠ 0
Tingkat signifikasi α 5% maka:
1. Jika Fhitung > Ftabel : H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti
bahwa faktor-faktor produksi yang berupa pakan, vitamin,
tenaga kerja, pengalaman tenaga kerja, peran penyuluh,
perubahan temperatur kandang, penggunan obat, secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi telur.
2. Jika Fhitung ≤ Ftabel : H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti
bahwa faktor-faktor produksi yang berupa pakan, vitamin,
tenaga kerja, pengalaman tenaga kerja, peran penyuluh,
perubahan temperatur kandang, penggunan obat, secara
bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi telur.
(Soekartawi, 2003).
b. Koefisien Determinasi (R2)
Dalam suatu penelitian atau observasi, perlu dilihat seberapa jauh model
yang terbentuk dapat menerangkan kondisi yang sebenarnya. Dalam analisis
regresi dikenal suatu ukuran yang dapat dipergunakan untuk keperluan tersebut,
yang dikenal dengan koefisien determinasi. Nilai koefisien determinasi
merupakan suatu ukuran yang menunjukkan besar sumbangan dari variabel
independen terhadap variabel dependen, atau dengan kata lain koefisien
determinasi menunjukkan variasi turunnya Y yang diterangkan oleh pengaruh
linier X. Bila nilai koefisien determinasi yang diberi simbol R 2 mendekati angka
1, maka variabel independen makin mendekati hubungan dengan variabel

37
dependen sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan model tersebut dapat
dibenarkan (Gujarati, 2006).
Adapun kegunaan koefisien determinasi adalah :
1. Sebagai ukuran ketepatan / kecocokan garis regresi yang dibuat
dari hasil estimasi terhadap sekelompok data hasil observasi.
Semakin besar nilai R2, maka semakin bagus garis regresi yang
terbentuk; dan semakin kecil nilai R2 , maka semakin tidak tepat
garis regresi tersebut mewakili data hasil observasi.
2. Untuk mengukur proporsi (Presentase) dari jumlah variasi Y yang
diterangkan oleh model regresi atau untuk mengukur besar
sumbangan dari variabel X terhadap variabel Y.
c. Uji Individual (Uji t)
Uji statistik t pada dasarnya untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satu variable bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel
dependen dengan hipotesis sebagai berikut (Ghozali, 2005) :
Hipotesis :
Ho : bi ≤ 0 Diduga variabel bebas tidak mempunyai pengaruh positif
terhadap variabel terikat.
H1 : bi ≥ 0 Diduga variabel bebas mempunyai pengaruh positif terhadap
variabel terikat.
Dalam menerima dan menolak hipotesis yang diajukan dengan melihat
hasil output SPSS 21, apabila nilai signifikan < 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa H0 ditolak dan H1 diterima (Ghozali, 2005).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Geografi

38
1. Letak dan Batas Wilayah
Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu kabupaten dari lima
kabupaten/kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di bagian
barat. Batas Kabupaten Kulon Progo di sebelah timur yaitu Kabupaten Bantul dan
Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo,
Propinsi Jawa Tengah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang,
Propinsi Jawa Tengah dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian
antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah
meliputi :
Bagian utara merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan
ketinggian antara 500 1000 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan
Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah
diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan
rawan bencana tanah longsor.
Bagian tengah merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100
500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo,
Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah dengan lereng antara 2 15%, tergolong
berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan.
Bagian selatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 100 meter
di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur,
dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng 0 2%,
merupakan wilayah pantai sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan
merupakan kawasan rawan bencana banjir.
Luas wilayah Kabupaten Kulon Progo adalah 58.627,54 hektar, secara
administratif terbagi menjadi 12 kecamatan yang meliputi 88 desa dan 930 dusun.
Penggunaan tanah di Kabupaten Kulon Progo, meliputi sawah 10.732,04 Ha
(18,30%); tegalan 7.145,42 Ha (12,19%); kebun campur 31.131,81 Ha (53,20%);
perkampungan seluas 3.337,73 Ha (5,69%); hutan 1.025 Ha (1,75%); perkebunan
rakyat 486 Ha (0,80%); tanah tandus 1.225 Ha (2,09%); waduk 197 Ha (0,34%);
tambak 50 Ha (0,09%); dan tanah lain-lain seluas 3.315 Ha (5,65%).

39
Kabupaten Kulon Progo dilewati oleh 2 (dua) prasarana perhubungan yang
merupakan perlintasan nasional di Pulau Jawa, yaitu jalan Nasional sepanjang
28,57 km dan jalur Kereta Api sepanjang kurang lebih 25 km. Hampir sebagian
besar wilayah di Kabupaten Kulon Progo dapat dijangkau dengan menggunakan
transportasi darat.

B. Karakteristik Responden
1. Usia peternak burung puyuh
Karakteristik peternak burung puyuh dilihat dari usia responden dikelompokkan
menjadi tiga golongan. Secara lebih rinci pembagian umur dan persentase
responden berdasarkan masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 7
Tabel 4. Jumlah responden di Kabupaten Kulonprogo berdasarkan umur.
Kelompok umur (Thn)* Jumlah responden (Orang) Persentase
(%)
0-14 0 00,00
15-64 32 80
>65 8 20
Total 40 100,00
Sumber : Data primer terolah, 2018.
)* Pengelompokan umur menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2010).
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa jumlah responden terbanyak
terdapat pada kelompok umur 15-64 tahun sebanyak 32 respoden dengan
persentase sebesar 80%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ternak burung puyuh
dapat dilakukan oleh kalangan muda dan dewasa bahkan usia lanjut. Persentase
terbesar yaitu pada kelompok umur 15-64 tahun menunjukkan bahwa sebagian
besar usia responden masih berada dalam kelompok usia produktif sehingga hal
ini sesuai dengan pernyataan Partanto (2001) yang menyatakan bahwa usia
produktif berkisar antara 15-64 tahun. Persentase usia responden yang sebagian
besar masih berada di dalam kelompok usia produktif diharapkan peternak burung
puyuh dapat mengembangkan usaha peternakannya sehingga produktifitas ternak
dapat meningkat.
2. Tingkat pendidikan

40
Karakteristik peternak berdasarkan tingkat pendidikan digolongkan
menjadi 4 kelompok. Tingkat pendidikan peternak burung puyuh dapat dilihat
pada Tabel 5.
Table 5. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan Terakhir Jumlah Prosentase (%)
SD 3 75
SMP 5 12.5
SMA 22 55
Perguruan Tinggi 10 25
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan data Tabel 5 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan yang
memiliki persentase tertinggi yaitu SMA dan sederajad dengan persentase 55%
dan jumlah responden 22 orang. Tingkat pendidikan peternak yang rendah
dikarenakan terkendalanya biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Faktor lain yang meyebabkan rendahnya pendidikan peternak adalah
kurangnya keinginan peternak untuk melanjutkan pendidikan karena peternak
menganggap pendidikan tinggi tidak penting. Tingkat pendidikan mempengaruhi
pola pemeliharaan dan pendapatan peternak serta hal ini sesuai dengan pendapat
Hartini et al. (2013) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap pendapatan peternak.
3. Pengalaman peternak
Table 6. Distribusi Responden berdasarkan pengalaman beternak
Pengalaman beternak Jumlah Prosentase (%)
1 - 3 tahun 10 25
3 – 5tahun 16 40
> 5 tahun 14 35
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa persentase peternak yang
memiliki pengalaman paling tinggi yaitu pada pengalaman beternak antara 3 -5
tahun dengan jumlah responden 16 orang dan persentase 40%. Pengalaman
peternak dalam beternak burung puyuh biasanya diwariskan oleh orang tuanya
sehingga sudah sejak muda peternak membantu orang tua dalam beternak burung
puyuh Jumlah ini menunjukkan bahwa sebagian besar peternak sudah sangat

41
berpengalaman dalam beternak burung puyuh. Semakin lama waktu dalam
beternak burung puyuh maka menunjukkan lama pengalaman yang dimiliki.
Puspito (2004) menyatakan bahwa pengalaman beternak menjadi tolak ukur
kemampuan peternak dalam melaksanakan usaha peternakannya.
4. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga dari peternak merupakan anggota keluarga yang
merupakan tanggung jawab peternak yang meliputi peternak, istri dan anak.
Anggota keluarga lain juga tidak menutup kemungkinan ikut tinggal bersama
peternak seperti orang tua, mertua, menantu dan cucu sehingga menjadi tanggung
jawab peternak. Sebagian besar keluarga yang tinggal bersama peternak
membantu dalam pemeliharaan ternak sehingga meminimalisir biaya tenaga kerja.
Anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab peternak dapat dilihat pada Tabel
7 di bawah ini :
Tabel 7. Jumlah anggota keluarga responden di Kabupaten Kulonprogo
Jumlah anggota keluarga (Orang) Jumlah responden (Orang) Persentase
(%)
2 4 10
3 8 20
4 17 42.50
5 5 12.50
6 4 10
>6 2 5
Total 40 100
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggung jawab peternak terbanyak yaitu 4 orang dengan jumlah
responden 17 orang dan persentase 42,50%. Persentase tertinggi tersebut
menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga peternak merupakan jumlah
anggota keluarga yang ideal. Jumlah anggota keluarga ini sesuai dengan
pernyataan BKKBN (1992) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga
yang ideal adalah 4 orang yang meliputi 1 orang suami, 1 orang istri dan 2 orang
anak.
5. Jumlah kepemilikan Burung Puyuh
Jumlah peternak yang dimiliki oleh peternak beragam. Jumlah
kepemilikan burung puyuh masing masing peternak dapat dilihat pada Tabel 6.

42
Komposisi ternak yang dimiliki oleh peternak responden menggambarkan jumlah
dan persentase dari populasi dari periode pertumbuhan brung puyuh di Kabupaten
Kulonprogo. Komposi Peternakan burung puyuh dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Sebaran responden berdasarkan jumlah kepemilikan burung puyuh
Jumlah Burung Puyuh Jumlah Prosentase (%)
500-1000 0 0
2000-5000 28 70
5000 - 10.000 9 22.5
> 10.000 3 7.50
Jumlah 40 100
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa peternak yang memiliki
jumlah ternak burung puyuh dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 70%
dengan jumlah responden sebanyak 28 responden. Jumlah burung puyuh yang
dipelihara peternak merupakan faktor yang penting karena berkaitan erat dengan
efisiensi produksi.
Rata-rata jumlah kepemilikan burung puyuh berada pada kisaran 2000
ekor – 5000 ekor dikarenakan peternakan merupakan mata pencaharian
sampingan bagi responden. Jumlah kepemilikan ternak burung puyuh yang rendah
ini juga dikarenakan sebagian besar peternakan di Kabupaten Kulonprogo
merupakan peternakan rakyat berbasis keluarga.

43
C. Manajemen Pemeliharaan Burung Puyuh
Manajemen pemeliharaan burung puyuh (Cortunix cortunix japonica) di
Kabupaten Kulonprogo dilakukan secara intensif. Selama masa pemeliharaan,
puyuh pembesaran maupun layer tetap berada didalam kandang sampai panen
maupun afkir. Selama proses pemeliharaan, pemberian pakan dan minum
dilakukan pada waktu pagi dan sore hari pada peternakan puyuh yang
menggunakan minum secara otomatis (niple) pemberian minum menggunakan
tower air/ bak penanmpungan air dan air minum disalurkan menggunakan peralon
serta burung puyuh minum derngan mematuk niple yang dipasang pada setiap
kandang. Sedangkan untuk pengumpulan telur dilakukan satu kali pada waktu
pagi hari. Untuk mengurangi feed intake serta pakan yang berceceran, di dalam
tempat pakan diberikan kawat ram. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wuryadi
(2011) bahwa tujuan pemberian kawat ram untuk mencegah pakan tumpah karena
dikais-kais oleh paruh puyuh. Kawat ram yang digunakan biasanya berukuran 0,5
inchi untuk memudahkan paruh puyuh masuk dan mengambil makanannya
sehingga akan mengefisienkan pakan yang diberikan mengingat kontribusi biaya
pakan dalam usaha ternak puyuh sangat besar yaitu mencapai 85%.
1. Pakan yang Diberikan
Jenis pakan yang diberikan merupakan salah-satu faktor penentu
keberhasilan usaha ternak karena akan berpengaruh terhadap produktifitas dari
puyuh tersebut. Puyuh pembesaran mulai dari DOQ sampai pullet hanya diberikan
pakan starter untuk ayam broiler sedangkan untuk puyuh layer sampai afkir
diberikan pakan yang dibeli dari pabrik PT. Sinta Prima Feedmill atau PT Charoen
Phokpand, Pemeliharaan puyuh pembesaran dilakukan selama lima minggu
terhitung dari DOQ masuk, hal tersebut dikarenakan pada umur lima minggu
puyuh sudah siap untuk bertelur. Menurut responden, puyuh pullet atau puyuh
yang berumur lima minggu memiliki pangsa pasar yang besar karena banyak
peternak puyuh yang mencari untuk diternakan kembali. Apabila dibandingkan
dengan membeli dan memelihara DOQ, membeli puyuh pullet sangat
mengefisienkan waktu karena hanya membutuhkan waktu satu minggu
pemeliharaan sampai menghasilkan telur, selain itu juga tingkat kematian yang

44
tinggi saat memelihara DOQ menjadikan alasan dipilihnya puyuh pullet untuk
diternakan kembali.
2. Pemeliharaan
Pemeliharaan puyuh layer di peternakan ini dilakukan selama 18 bulan
terhitung dari pullet sampai puyuh tersebut afkir dengan produksi telur yang
sangat fluktuatif. Tingkat kematian atau mortalitas puyuh layer ini selama
pemeliharaan sebesar 10 % hingga afkir, hal tersebut dikarenakan pada
manajemen pemeliharaan tidak dilakuakan vaksinasi ataupun pengobatan terhadap
puyuh yang sakit melainkan apabila terdapat puyuh yang sakit maka akan
langsung dipotong untuk dijual kepada rumah makan yang menyediakan olahan
daging puyuh. Penyakit yang sering menyerang puyuh di peternakan ini adalah
penyakit CRD (Chronic Respiratory Disease) dengan ciri – ciri puyuh akan
ngorok dan susah bernafas dan ND (Newcastle disease) dengan ciri – ciri susah
bernafas, hidung mengeluarkan lendir dan kadang kadang leher terpuntir dan feses
encer kehijauan (Andenkola et al, 2010).
3. Manajemen kesehatan Burung Puyuh
Kegiatan pemeliharaan puyuh petelur di Kabupaten Kulonprogo
dilanjutkan dengan program pengendalian dan pencegahan penyakit. Program
kesehatan yang dilakukan meliputi pemberian vitamin yang dilakukan setiap
minggu selama tiga hari berturut-turut, pemberian obat untuk penyakit ada yang
dilakukan oleh peternak dan ada peternak yang sama sekali tidak menggunakan
obat, pada peternak yang menggunakan obat yang dilakukan pada waktu
pemberian berselangan dengan pemberian obat pencernaan dan vaksinasi
Newcastle Desease (ND) yang dilakukan setiap dua bulan sekali.
Puyuh merupakan ternak unggas yang sensitif terhadap penyakit dan
sangat peka terhadap kebisingan, perubahan cuaca dan perubahan penanganan
aspek operasional budidaya. Burung puyuh memiliki kelebihan yaitu memiliki
daya tahan yang tinggi tahan terhadap penyakit (Listiyowati dan Roospitasari,
2009). Adapun penyakit yang biasa menyerang puyuh adalah penyakit yang juga
menyerang unggas lainnya, seperti itik, ayam ras, dan ayam kampung. Tidak
semua penyakit yang menyerang puyuh menyebabkan kematian, akan tetapi
sebagian besar masih bisa disembuhkan dengan penanganan yang insentif. Setiap

45
penyakit yang menyerang puyuh akan menurunkan nafsu makan dan berdampak
pada penurunan laju pertumbuhan serta tingkat produktivitas. Oleh karena itu,
upaya pencegahan penyakit amat penting dilakukan para peternak untuk
menghindari kerugian. Kewaspadaan terhadap penangan merebaknya penyakit
puyuh harus ditingkatkan ketika terdapat kemungkinan puyuh yang sudah sehat
bertindak sebagai pembawa kuman penyakit yang akan menyerang puyuh-puyuh
yang lain yang tidak terkena penyakit. Adapun penyakit yang dapat menyerang
puyuh di Kabupaten Kulonprogo yaitu radang usus, Newcastle Disease (ND) atau
tetelo, CRD (Cronic Respiratory Disease) atau ngorok, Koksidionis (Berak darah),
Aspergillosis, Quail Bronchitis, Cacingan, dan Cacar ayam (Fowl pox).
Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa pencegahan dan pengobatan
penyakit harus dilakukan dengan cara yang baik dan tepat.
4. Pemasaran
Secara umum produksi telur puyuh yang dihasilkan peternak burung
puyuh di Kabupaten Kulonprogo memiliki bentuk telur seragam, bobot yang
berisi, dan tebal kerabang telur yang cukup keras sehingga tingkat keretakan kecil,
serta memiliki tingkat bercak darah pada kulit telur yang rendah. Telur yang
dihasilkan memiliki tingkat kesegaran tinggi karena langsung dipasarkan setelah
diproduksi dan berdaya tahan lama sampai dengan satu bulan dengan catatan
berada dalam kondisi aman dari benturan atau kotoran.
Kualitas telur peternak di Kabupaten Kulonprogo dengan tingkat
kesegaran telur yang tinggi ditunjang juga oleh letak peternakan yang dekat
dengan daerah pemasaran, sehingga memudahakan konsumen mengakses produk
dengan kualitas dan waktu sesuai kebutuhan.
Pemasaran output seperti telur, pullet maupun puyuh afkir dilakukan
dengan mengirim langsung ke pengepul maupun konsumen atau telur diambil
langsung oleh pengepul di kandang para peternak burung puyuh. Harga yang jual
telur perkilogram sebesar Rp.21.000,00 dan harga pakan dalam kemasan satu sak
seberat 50 Kg seharga Rp. 302.500. Untuk saat ini, daerah pemasarn masih
berada di daerah sekitar Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Sleman, Kabupaten
Wonosari, Kota Jogjakarta dan Kabupaten Purworejo.

46
D. Analisis Hasil Penelitian
Uji asumsi klasik digunakan untuk memastikan bahwa dalam penelitian
tidak terdapat penyimpangan asumsi klasik seperti multikolinieritas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi. Jika masih terdapat penyimpangan asumsi
klasik selanjutnya akan dilakukan perbaikan dengan melakukan transformasi
menghilangkan outlier atau kasus data yang memiliki karakteristik unik yang
terlihat sangat berbeda dari observasi-observasi lainnya (Ghozali, 2005).
1. Uji Normaliatas data
Uji Kolmogorov-Smirnov (Chakravart et all, 1967) digunakan untuk
memutuskan jika sampel berasal dari populasi dengan distribusi
spesifik/tertentu. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan untuk
menguji ‘goodness of fit‘ antar distribusi sampel dan distribusi lainnya, Uji
ini membandingkan serangkaian data pada sampel terhadap distribusi
normal serangkaian nilai dengan mean dan standar deviasi yang sama.
Singkatnya uji ini dilakukan untuk mengetahui kenormalan distribusi
beberapa data. Uji Kolmogorov-Smirnov merupakan uji yang lebih kuat
daripada uji chi-square ketika asumsi-asumsinya terpenuhi. Uji
Kolmogorov-Smirnov juga tidak memerlukan asumsi bahwa populasi
terdistribusi secara normal.
Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut:
H0 : data mengikuti distribusi yang ditetapkan
Ha : data tidak mengikuti distribusi yang ditetapkan
Tabel 9. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 40
Normal Mean ,0000000
Parametersa,b Std. Deviation
,08630657
Most Absolute ,074
Extreme Positive ,074
Differences Negative -,068
Kolmogorov-Smirnov Z ,471
Asymp. Sig. (2-tailed) ,980
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

47
Dari hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Test signifikansi didapatkan nilai
sebesar 0,980 dan di atas 0,05 maka berarti tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya bahwa
data yang diuji terdistribusi secara normal.

2. Uji Multikolinieritas
Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebasnya (Ghozali, 2005).
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya korelasi antara variabel-variabel bebas di
dalam model regresi dapat diketahui dengan melihat nilai tolerance dan variance
inflaction factor (VIF). Model regresi yang terbebas dari gejala multikolinieritas
adalah memiliki nilai tolerance lebih dari 0,1 dan nilai VIF kurang dari 10.
Tabel 10. Hasil Pengujian Multikolinieritas
Model Tolerance VIF
1 (Constant)
Pakan (X1) ,148 6,739
Vitamin (X2) ,390 2,565
Tenaga kerja (X3) ,119 8,419
Pengalaman kerja (X4) ,318 3,149
Temperatur kandang (D1) ,767 1,304
Penyuluh Peternakan (D2) ,325 3,073
Penggunaan Obat (D3) ,448 2,231
a. Dependent Variable: jumlah produksi
Sumber : Data Primer diolah, 2018
Berdasarkan Tabel hasil uji multikolinieritas tersebut dapat dilihat
bahwa variabel bebas mempunyai nilai tolerance lebih dari 0,1 dan VIF kurang
dari 10. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model tidak terdapat gejala
multikolinieritas.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah di dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu
pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y

48
yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi - Y sesungguhnya)
yang telah di- studentized. Dasar dari analisis grafik tersebut adalah jika terdapat
pola tertentu dan teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka
diindikasikan terdapat masalah heteroskedastisitas, sedangkan jika tidak ditemui
pola yang jelas, yaitu titik-titiknya menyebar, maka diindikasikan tidak terdapat
masalah heteroskedastisitas (Ghozali, 2005).

Gambar 3. Sebaran scatterplot data responden


Sumber Data Primer diolah, 2018

49
Dari gambar 3, diketahui bahwa titik-titik telah menyebar, tidak
membentuk pola tertentu yang mengumpul. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
model regresi diindikasikan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model
regeresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan
ada problem autokorelasi.
Untuk mengatasi terjadinya autokorelasi didasarkan pada metode Durbin
Watson (dW). Apabila hasil perhitungan Durbin Watson (dW) lebih besar daripada
nilai tabel dL dan dU, maka artinya tidak terjadi autokorelasi. Nilai dL dan dU
dapat dilihat pada tabel statistik dari Durbin-Watson pada tingkat titik penting
0,05. (Gujarati, 1997).
Hasil uji autokorelasi dengan menggunakan analisis Durbin-Watson dapat
dilihat pada Tabel 11 berikut:
Tabel 11. Hasil Uji Autokorelasi.
Nilai dL Nilai dU Nilai dW Nilai 4-dU Nilai 4-dL
1.17541 1.85378 2.641 2,14622 2.82459
Sumber : Lampiran 13 (data diolah)
Dari Tabel 4.10 dapat diketahui bahwa nilai dW (2,641) lebih besar dari
nilai dL (1.17541), dan nilai dU (1,85378), namun nilai dW (2,641) lebih besar
dari nilai 4-dU (2,14622) dan lebih kecil dari nilai 4-dL (2.82459). Sehingga dari
hasil di atas, nilai dW berada diantara nilai 4-dU dan 4-dL sehingga tidak ada
autokorelasi dalam penelitian ini.

E. Pengujian Hipotesis
50
1. Uji Determinasi (R2)
Tabel 12. Hasil perhitungan koefisien determinasi
Model R R Square Adjusted R Std. Error
1 0,991 a 0,982 0,978 0,09528
Sumber : Data primer terolah, 2018
Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali,
2005). Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahu nilai R Square sebesar 0,982. Nilai ini
mengartikan bahwa sebesar 98,2 % keragaman dari hasil produksi mampu
dijelaskan oleh faktor-faktor produksi yang terdapat dalam model, dan sisanya
yaitu 1,8 % dijelaskan oleh faktor-faktor diluar model.
2. Uji F
Uji F digunakan untuk menguji apakah variabel independen secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen (Soekartawi, 2003). Hasil
uji F dari efisiensi produksi pada usaha tani telur puyuh dapat dilihat pada Tabel
13. Terdapat 2 kesimpulan dari hasil uji F yaitu :
1. Jika Fhitung > Ftabel : H0 ditolak dan Ha diterima yang berarti bahwa pakan,
vitamin, tenaga kerja, pengalaman peternak, peran penyuluh peternakan,
perubahan temperatur kandang, penggunaan obat – obatan, secara
bersama-sama berpengaruh terhadap jumlah produksi telur.
2. Jika Fhitung ≤ Ftabel : H0 diterima dan Ha ditolak yang berarti bahwa pakan,

vitamin, tenaga kerja, pengalaman peternak, peran penyuluh peternakan,


perubahan temperatur kandang, penggunaan obat – obatan secara bersama-
sama tidak berpengaruh terhadap jumlah produksi telur.
Tabel 13. Hasil penghitungan uji F
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 254,20 0,000
16,154 7 2,308
Residual 5 b

Total 0,291 32 0,009


16,445 39
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui nilai df1 yaitu 7 dan df2 yaitu 32
sehingga dapat diketahui F tabel sebesar 0,30. Nilai signifikansi 0,000 < 0,05
sehingga dapat dikatakan bahwa koefisien regresi signifikan pada tingkat 5%.
Data F hitung dan F tabel menunjukkan bahwa 254,205 > 0.30 atau Fhit > Ftab yang

51
artinya H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa bahwa pakan, vitamin,
tenaga kerja, pengalaman tenaga kerja, peran penyuluh peternakan, pengaruh
perubahan temperatur, penggunaan obat – obatan, secara bersama-sama
berpengaruh terhadap jumlah produksi telur.
3.Uji t
Uji t adalah uji yang dilakukan untuk menetapkan nyata tidaknya pengaruh
masing-masing variabel dependen yang dimasukkan ke dalam model terhadap
variabel dependen (Gujarati, 2006). Hasil uji t dari efisiensi produksi telur puyuh
dapat dilihat pada Tabel 14. Terdapat 2 kesimpulan dari hasil uji t yaitu :
a. P-value < α maka menolak H0 yang berarti parameter yang di uji
(faktor-faktor produksi telur) berpengaruh nyata terhadap parameter
tidak bebas (produksi telur).
b. P-value > α maka menerima H0 yang berarti parameter yang di uji
(faktor-faktor produksi telur) tidak berpengaruh nyata terhadap
parameter tidak bebas (produksi telur).
Tabel 14. Hasil penghitungan uji t
Variabel t-hitung t-tabel Sig. Ket
Pakan (X1) 3,860 2,30 ,001 signifikan
Vitamin (X2) -0,998 2,30 0,326 TidakSignifikan
11,451 2,30 0,000 Signifikan
tenaga kerja (x3)
pengalaman Peternak 1,555 2,30 0,130 Tidak signifikan
(X4)
Suhu (D1) 1,666 2,30 0,106 Tidak Signifikan
Penyuluh (D2) -0,614 2,30 0,543 Tidak Signifikan
Penggunaan Obat (D3) -1,273 2,30 0,212 Tidak signifikan
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa pakan yang diberikan
berpengaruh nyata terhadap produksi telur hal tersebut dikarenakan pakan untuk
puyuh produksi ( layer) yang digunakan Responden dengan kadar protein di atas
22 % sehingga berpengaruh nyata terhadap produksi telur puyuh dengan hasil p-
value yaitu 0,001. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nilai p-value < α, hal
tersebut sesuai dengan penelitian Putra (2008) jumlah pakan berpengaruh
signifikan terhadap produksi telur). Vitamin tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi telur dengan nilai p-value yaitu 0,326, Tenaga kerja berpengaruh

52
siginifikan terhadap produksi telur yang dihasilkan dengan hasil p-value yaitu
0,000. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nilai p-value < α. Sesuai dengan
penelitian (Kurnia, 2017), dikarenakan tenaga kerja yang digunakan oleh
peternak efektif karena jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh peternak ideal
untuk ukuran peternakan skala besar. Tenaga kerja yang digunakan rata-rata
sebanyak 2 orang sedangkan kepemilikan burung puyuh antara 5000 - 17.000
ekor. Pengalaman tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap produksi telur puyuh
dengan hasil p-value yaitu 0,130. Hasil tersebut dapat dikatakan bahwa nilai p-
value > α.
Suhu udara di kandang tidak berpengaruh terhadap produksi telur
puyuh hal tersebut dapat dibuktikan dengan nilai p-value > α yaitu 0,106.
Penyuluh peternakan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur, dari hasil
penelitian tersebut dapat diperoleh bahwa nilai p-value > α. Peran penyuluh
peternakan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi telur dengan nilai p-value
yaitu 0,543, hal tersebut dapat dikatakan bahwa nilai p-value > α. Penggunaan
obat – obatan seperti vaksin tidak berpengaruh nyata pada peningkatan produksi
telur, dari hasil penelitian diperoleh nilai p value sebesar 0,212 sehingga p-value
> α,

F. Elastisitas Produksi
Elastisitas Produksi adalah derajat kepekaan produksi dan dicerminkan
oleh adanya prosentase tambahan produk karena tambahan input satu persen.
Elastisitas produk merupakan salah satu cara untuk mengukur bagaimana respon
fungsi produksi berubah terhadap penggunaan input. Nilai elastisitas yang besar,
misalnya lebih besar dari 1 (satu) mengimplementasikan bahwa output merespon
dengan kuat peningkatan penggunaan input produksi. Dan nilai elastisitas
produksi antara 0 dan 1 mengindikasikan bahwa output akan meningkat sejalan
dengan sejalan penambahan penggunaan input akan tetapi semakin kecil nilai
elastisitas produksi dan semakin kecil pula respon output terhadap peningkatan
input.
Nilai elastisitas produksi negatif mengindikasikan bahwa jika penggunaan
input meningkat maka outputnya justru akan mengalami penurunan (Debertin,

53
1986). Dari hasil analisis regresi penggunaan faktor –faktor produksi pada
peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulon Progo ditunjukkan model regresi
linear berganda dengan fungsi logaritma natural sebagai berikut :
Ln Y = 5,714 + 0,221 Ln X1 – 0,022 Ln X2 + 0,936 Ln X3 + 0,085 Ln
X4 + 0,057 Ln D1 - 0,033 Ln D2 – 0,109 Ln D3
Dimana :
Y = Jumlah roduksi telur (butir)
X1 = jumlah pakan (kilogram)
X2 = Kebutuhan vitamin (gram)
X3 = Tenaga kerja (orang)
X4 = Pengalaman peternak (tahun)
D5 = Temperatur lingkungan kandang ( Variabel Dummy suhu
dibawah 31 0 C angka 1 diatas 31 0 C angka 0)
D6 = Penyuluh peternakan (Variabel Dummy pernah mendapat
penyuluhan angka 1, dan tidak pernah mendapat
penyuluhan 0)
D7 = Penggunaan Obat – obatan (Variabel Dummy, jika
menggunakan obat angka 1, dan tidak menggunakan obat
obatan angka 0)
µ = error
β0 = intersep
β1 .... βk = regression coefficient
X1 ... Xk = variable yang diobservasi
U = variable yang tidak diobservasi
i = responden i (i= 1,2 ...n)
Analisis Fungsi produksi Cobb-Douglass digunakan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan faktor produksi, melalui proses transformasi ke dalam logaritma
natural dalam persamaan regresi linear berganda.
Dalam perhitungan fungsi produksi pada penelitian ini ditentukan oleh
produksi telur sebagai variabel terikat sedangkan faktor faktor produksi sebagai
variabel bebas. Efisiensi penggunaan faktor produksi didekati dengan nilai
elastisitas yang ditunjukkan oleh eksponen (pangkat) dari faktor produksi pada

54
fungsi Cobb-Douglass. Nilai koefisien regresi dari masing masing faktor produksi
pada Tabel 15.
Tabel 15 . Nilai koefisien dari masing – masing faktor produksi telur pada peternakan
burung puyuh di Kabupaten Kulon Progo.

Faktor Produksi Nilai Koefisien Regresi


Pakan 0,221
Vitamin -0,022
Tenaga kerja 0,936
Pengalaman Peternak 0,085
Suhu kandang 0,057
Penyuluh Peternakan -0,033
Penggunaan Obat -0,109

Jumlah dari semua koefisien regresi faktor – faktor produksi telur

puyuh di Kabupaten Kulonprogo bernilai 1,135   X i hal ini menunjukkan


bahwa nilai elastisitas yang lebih dari 1 berada pada kondisi Increasing Return to
Scale yang artinya penggunaan input akan menghasilkan output dengan proporsi
yang lebih besar (Soekartawi, 2003). Sehingga faktor – faktor produksi pada
peternakan burung puyuh bersifat elastis.
Nilai koefisien regresi (  ) masing – masing faktor produksi adalah
sebagai berikut : Pakan (0,221), Vitamin (-0,022), Tenaga kerja (0,936),
Pengalaman tenaga kerja (0,085), suhu ruangan kandang 0,057), penyuluh
peternakan (-0,033) dan penggunaan obat (-0,109). Hasil penelitian tersebut
bersifat increasing return to scale atau hasil produksi telur puyuh mengalami
peningkatan.

H. Analisis Efisiensi Alokatif


Menurut Soekartawi (2003) terdapat tiga efisiensi yang harus diukur
antara lain efisiensi teknis, alokatif dan efisiensi ekonomis, namun dalam
penelitian ini hanya akan dilihat tingkat efisiensi alokatif ( harga). Efisiensi
alokatif penggunaan masing-masing faktor produksi dapat dilihat nilai NPM
(Nilai hasil produk marginal) masing-masing faktor produksi terhadap HFP (harga
masing-masing faktor produksi) atau sering disebut nilai k.

55
NPM / HFP atau Ki = 1. Banyak kenyataannya bahwa Ki tidak selalu sama
dengan 1 dan yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
a. Ki > 1 ; artinya bahwa penggunaan input x belum efisien. Input
harus ditambah untuk mencapai tingkat efisien.
b. Ki < 1 ; artinya penggunaan input x tidak efisien. Input harus
dikurangi untuk mencapai atau menjadi efisien (Soekartawi, 2003).
Produksi telur rata-rata yaitu sebesar 300/butir/tahun/peternak. Harga telur
yaitu Rp 21.000/kg. Input rata-rata merupakan banyaknya faktor produksi yang
digunakan oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak perahnya sedangkan
koefisien merupakan nilai koefisien regresi yang didapat dari uji Cobb douglass.
Hasil analisis efisiensi alokatif dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil analisis efisiensi alokatif
Faktor Produksi HFP NPM NPM/HFP Keterangan
Pakan 26487656,2 7470908,44 0,282 Belum
(kg/Bln/peternak) Efisien
Vitamin -743710 -1,7342 Belum
(gram/bln/peternak) 428850 Efisien
Tenaga Kerja 1728187,5 31641494,5 18,309 Belum
(Gaji/Bulan) Efisien
Sumber : Data primer terolah, 2018.
Hasil perhitungan efisiensi harga (alokatif) pada tabel 16 semua faktor
produksi (Pakan, Vitamin serta tenaga kerja) menunjukkan belum efisien, Pada
faktor produksi tenaga kerja nilai efisiensi lebih besar dari 1 berarti penggunaan
faktor produksi untuk tenaga kerja masih kurang dan perlu ditambah agar faktor
produksi menjadi optimal. Dan untuk faktor produksi pakan dan penggunaan
vitamin nilai efisiensi kurang dari 1, Nilai efisiensi alokatif dari pemberian pakan
adalah 0,282 dan nilai efisiensi penggunaan vitamin adalah -1,73 yang artinya
penggunaan pemberian vitamin dan pakan tidak efisien sehingga jumlah
penggunaan pemberian vitamin dan obat perlu dikurangi agar tercapai efisiensi.
Dari hasil penelitian tersebut dapat ditunjukkan bahwa tingkat efisiensi ekonomis
(efisiensi alokatif pada produksi telur burung puyuh belum tercapai maksimum,
hal ini dapat dibuktikan dari ratio nilai produk marginal masing – masing faktor

56
produksi (NPM) dengan nilai masing – masing harga inputnya (HFP) tidak ada
yang sama dengan satu.

I. Pembahasan Faktor – Faktor Produksi


Penggunaan faktor – faktor produksi pada usahatani peternakan burung
puyuh sangat mempengaruhi terhadap produksi telur burung puyuh di Kabupaten
Kulonprogo. Adapun faktor – faktor produksi tersebut sangat penting perannya
dalam peningkatan produksi usahatani telur puyuh di Kabupaten Kulonprogo.
Menurut Soekartawi, (2003) menunjukkan bahwa faktor produksi lahan, modal,
pakan, tenaga kerja dan aspek menajemen adalah faktor produksi yang terpenting
diantara faktor – faktor lainnya..
1. Pakan
Produksi telur puyuh sangat ditentukan oleh konsumsi pakan (North dan
Bell, 1992). Oleh karena itu penggunaan pakan pada peternakan burung puyuh
harus diperhatikan dalam kuantitas dan kualitasnya. Hasil analisa regresi
menunjukkan bahwa penggunaan pakan (X1) sangat berpengaruh dengan
produksi telur burung puyuh, dengan nilai signifikan sebesar 0,001 dan dengan
nilai koefisien regresi sebesar 0,221, hal ini berarti setiap penambahan 1%
variabel independen pakan akan meningkatkan produksi telur sebesar 0,221 %.
Pakan juga sangat menentukan biaya yang dikeluarkan oleh para peternak,
sehingga menajemen pakan yang tepat akan dapat meningkatkan produktivitas
telur dan akan berbanding lurus dengan keuntungan para peternak burung puyuh.
Efisiensi juga menunjukkan nilai memiliki nilai elastisitas (ki) sebesar 0,282,
sehingga nilai efisiensi untuk penggunaan pakan < 1 yang artinya penggunaan
pemberian pakan tidak efisien sehingga jumlah penggunaan pemberian pakan
perlu dikurangi agar tercapai efisiensi..
2. Vitamin
Penggunaan vitamin memiliki nilai koefisien sebesar -0,022 dan nilai
elastisitas (ki) sebesar -1,732. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa secara
teknis menunjukkan Ep < 0, terlihat bahwa penggunaan vitamin dan obat berada
pada daerah irrasional (daerah III). Hasil ini menunjukkan bahwa dengan semakin

57
banyak input vitamin maka semakin banyak menambah biaya produksi telur
sehingga menyebabkan peternak mengalami kerugian..
3. Tenaga kerja
Penggunaan tenaga kerja pada usahatani peternakan burung puyuh sangat
berpengaruh terhadap produksi telur burung puyuh (Kurnia, 2017), hasil regresi
(X3) menunjukkan nilai signifikan 0,000 dan koefisien regresi sebesar 0,936.
Hal ini berarti bahwa penambahan 1 % tenaga kerja akan meningkatkan 0,936 %
produksi telur puyuh dan tenaga kerja memiliki nilai elastisitas (ki) sebesar 18,30.
Nilai tersebut memiliki arti bahwa ketika jumlah penggunaan tenaga kerja
dinaikkan sebesar satu persen maka akan meningkatkan produksi telur sebesar
18,30. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa secara teknis peternak burung
puyuh rasional dalam penggunaan tenaga kerja. Koefisien tenaga kerja
menunjukkan menunjukkan Ep >1, terlihat bahwa penggunaan tenaga kerja
berada pada daerah irrasional (daerah I). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin
banyak tenaga kerja yang digunakan maka akan menambah produktivitas
peternakan burung puyuh karena populasi peternak cukup besar yaitu antara 5000
– 17.000 ekor.
4. Pengalaman beternak
Pengalaman beternak (X4) atau anak kandang memiliki nilai koefisien
regresi sebesar 0,085 dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengalaman
tenaga beternak tidak berpengaruh positif terhadap usahatani peternakan burung
puyuh. Seiiring perkembangan teknologi dan media informasi membawa dampak
baik pada peternak di Kabupaten Kulonprogo dapat menambah wawasan secara
langsung dari informasi dari media sosial yang ada dan mudah diakses, dan juga
adanya komunikasi dan tukar informasi antara para peternak di Kabupaten
Kulonprogo. Dan hal tersebut sesuai dengan Munir (2009) yang menggambarkan
perkembangan tersebut sebagai sebuah revolusi dalam tiga gelombang yaitu,
gelombang pertama dengan munculnya teknologi dalam pertanian, gelombang
kedua munculnya teknologi industri dan gelombang ketiga munculnya teknologi
informasi yang mendorong tumbuhnya komunikasi.
Perekrutan tenaga kerja dilakukan berdasarkan ketekunan, keterampilan
dan perilaku yang baik sehingga tidak terlalu menekankan pendidikan yang tinggi.

58
Pengalaman berternak dan Keterampilan peternak menjadi suatu hal yang sangat
penting dikarenakan dalam proses pembudidayaan puyuh diperlukan pengetahuan
dan ketelitian agar proses budidaya dapat berjalan dengan lancar.
5. Temperatur Kandang
Parameter temperatur dalam kandang (D5) yang nyaman memiliki nilai
koefisien regresi sebesar 0,057 dan nilai signifikan 0,106 Nilai tersebut memiliki
arti bahwa temperatur lingkungan kandang tidak berpengaruh positif terhadap
produksi telur puyuh.
6. Penyuluh Peternakan
Penyuluh peternakan memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,033 dan
nilai signifikan sebesar 0,543, dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
penyuluh tidak berpengaruh positif terhadap usahatani peternakan burung puyuh.
Seiring perkembangan teknologi dan media informasi membawa dampak baik
pada peternak di Kabupaten Kulonprogo dapat menambah wawasan secara
langsung dari informasi dari media sosial yang ada dan mudah diakses, dan juga
adanya komunikasi dan tukar informasi antara para peternak di Kabupaten
Kulonprogo. Perbedaan petani dan nelayan mengelola sumberdaya alam,
menuntut perbedaan pendekatan penyuluhan bagi kedua kelompok masyarakat
tersebut (Amanah, 2007).
Implikasi pendekatan partisipatif pada kegiatan penyuluhan didasarkan
pada kondisi spesifik wilayah, dan tolok ukur keberhasilan penyuluhan perikanan
antara lain adalah peningkatan kapasitas individu/kelompok/masyarakat pengelola
kegiatan perikanan dalam pendayagunaan sumberdaya perikanan, kemampuan
berusaha, pendapatan rumah tangga meningkat, struktur sosial dan modal sosial
menguat dan pengelolaan dipergunakan secara tepat dan bertanggungjawab
(Amanah, 2007)
7. Penggunaan Obat
Penggunan obat – obatan seperti vaksin dan desinfektan memiliki nilai
koefisien regresi sebesar -0,109 dan nilai signifikan sebesar 0,212, dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat tidak berpengaruh positif
terhadap usahatani peternakan burung puyuh dan. Pada sebagain besar peternak
menerapkan aturan selain karyawan yang bekerja di peternakan tidak boleh masuk

59
ke dalam area kandang burung puyuh secara langsung menerapkan biosecurity
dan antisipasi wabah dan bibit penyakit sehingga pada sebagian besar peternak di
Kabupaten Kulonprogo tidak melakukan vaksinasi rutin dan penyemprotan
kandang secara rutin.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian faktor – faktor usahatani telur puyuh di Kabupaten
Kulonprogo dan setelah dianalisis sebagai berikut :
1. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa setiap penambahan 1% variabel
independen pakan akan meningkatkan produksi telur sebesar 0,221 %.

60
2. Hasil penelitian menunjukkan variabel Pakan (X1) dan variabel tenaga kerja
(X3) berpengaruh secara signifikan terhadap produksi telur sedangkan variabel
lainnya, Vitamin (X2), Pengalaman Kerja (X4), Suhu lingkungan (D1), peran
penyuluh (D2) dan penggunaan obat (D3) tidak berpengaruh signifikan pada
 5%.
3. Nilai elastisitas masing masing faktor produksi adalah sebagai berikut : Pakan
(0,221), Vitamin (-0,022), Tenaga Kerja (0,936), Pengalaman peternak (0,085),
temperatur kandang (0,057), Penyuluh (-0,033) dan penggunaan obat (-0,109).
4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai elastisitas yang lebih dari 1 berada
pada kondisi Increasing Return to Scale yang artinya penggunaan input akan
menghasilkan output dengan proporsi yang lebih besar, sehingga faktor –
faktor produksi pada peternakan burung puyuh bersifat elastis.
5. Nilai efisiensi harga (efisiensi alokatif) tenaga kerja sebesar 18,30 Nilai tersebut
memiliki arti bahwa penggunaan input pakan belum efisien dan input harus
ditambah untuk mencapai tingkat efisien.
6. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditunjukkan bahwa tingkat efisiensi
ekonomis (efisiensi alokatif pada produksi telur burung puyuh belum tercapai
maksimum, hal ini dapat dibuktikan dari ratio nilai produk marginal masing –
masing faktor produksi (NPMXi) dengan nilai masing – masing harga inputnya
(Pxi) tidak ada yang sama dengan satu.

B. Saran
Dari hasil penelitian dan kesimpulan dapat disarankan khususnya kepada
peternak burung puyuh untuk lebih meningkatkan produksitelur dengan
meningkatlkan input teknologi yang berpengaruh signifikan pada peningkatan
produksi. Selain hal tersebut juga peternak lebih memperhatikan faktor faktor
teknis guna meningkatkan produktivitas sehingga produksi telur meningkat.
Faktor – faktor teknis antara lain : pemilihan bibit yang berkualitas, manajemen
pakan yang tepat, pencegahan bibit penyakit dengan bisecurity kandang yang

61
maximal dan pemasaran yang lebih baik dengan tidak menjual langsung ke
tengkulak.
Bagi instansi khususnya Pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk
memberikan tambahan modal sehingga peternak bisa menambah populasi
peternakan burung puyuh yang dimiliki.

62
DAFTAR PUSTAKA

Adenkola, A.Y., Kaankuka, F.G., Ikyume, T.T., Ichaver, I.F. and Yaakugh, I.D.I.
2010. Asorbic Acid Effect on Erythrocyte Osmotic Fragility,
Hematological Parameters and Performance of Weaned Rabbits at The
End of rainy Season in Makurdi, Nigeria. Journal of Animal and Plant
Sciences, Vol. 1(9): 1077 - 1085.

Amanah, Siti. 2007. Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia.


Jurnal Penyuluhan 3 (1) : 67

Anonimous, 1983. Pemeliharaan Burung Puyuh. Departemen Pertanian Balai


Informasi Pertanian Gedung Johor. Medan .

Bird N A, Hunton P, Morrison W D and Weber L J. 2003 Poultry: Heat Stress in Caged
Layers (Ontario: Factsheet).

(BKKBN) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. Undang-


undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1992 Tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Sejahtera. Jakarta: BKKBN.

Chakravart, N. Laha, and B.Roy, (1967). Handbook of Methods of Applied


Statistics, John Wiley and Sons, New York.

Data Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kulonprogo tahun 2018

Debertin, D.L. 1986. “Agricultural Production Economics”. Macmillan


Publishing Company. New York

Ghozali, I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS. Semarang: Badan


Penerbit UNDIP.

Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Alih Bahasa Sumarno Zain.


Erlangga : Jakarta

Gujarati, D. 2006. Dasar – Dasar Ekonometrika. Jakarta: Erlangga.

Hartini. S. Putro dan Sutardji. 2013. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap


Tingkat Pendapatan Masyarakat Peternak Sapi Perah Di Desa Sukorame
Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali. Jurnal Edu Geography. Vol 1 (2) :
33-38. Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang. Semarang.

63
Kasadi, Suryadi, D., dan Herlina. 2014. Tingkat Sensitivitas Usaha Ternak Puyuh
(Studi Kasus pada satu Usaha ternak Puyuh di Desa Rangdu,
Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang).Jurnal UNPAD. Bandung

Kurnia, 2017. Profitabilitas Usaha Ayam Petelur di UD. Puncak Jaya Jombang
Dalam Upaya Efisiensi Kapasitas Kandang. Ejournal. UPN Jatim.

Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2009. Tata Laksana Budidaya Puyuh Secara


Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Marhasan. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Ussaha Tani Murbei dan Kokon di
Kabupaten Enrekang. Diakses Tanggal 12 November 2014.

Meilani.2009. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Telur Puyuh (Kasus:


Peternakan Puyuh Bintang Tiga/PPBT, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakulatas Ekonomi
dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor

Munir. 2009. Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nicholson. 2002, Mikroekonomi Intermediate. Penerbit Erlangga. Jakarta.

North, M. D., and D. D. Bell. 1992. Commercial Chicken Production Manual.


Second Edition. The Avi Publishing Co. Inc. Wesport, Conecticut.

Notohadiprawiro. 2006. Metode Penelitian dan Penulisan Ilmiah. Yogyakarta:


Repro. Ilmu Tanah Uniersitas Gadjah Mada.

Partanto, D. A. (2001). Kamus Popular. Surabaya: Arkola.

Pramono M.D. (2017) Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi


Pembenihan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) di Kabupaten
Wonogiri. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Putra, 2008. Analisis Efisiensi Produksi Telur Pada Peternakan Ayam Petelur Di
Desa Canggu Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.. Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian UMM. Malang

Rasyaf. 2002. Beternak Ayam Pedaging. Depok : PT Penebar Swadaya.

Rasyaf, M. 2010. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Yogyakarta ; Penebar


Swadaya.

Ratnasari D.A. (2016) Efisiensi Produksi Pada Usaha Sapi Perah di


Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali.Skripsi. Fakultas
Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

64
Salvatore, D. 1995. Ekonomi Internasional. Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama.

Salvatore, D. 1995. Teori Mikroekonomi. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Santoso, S. 2000. Buku latihan SPSS. Statistik Parametrik. PT Elex Media


Komputindo. Jakarta.

Saraswati. 2009. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada


Uasahatani Jagung Di Kabupaten Magelang (Studi Kasus di Desa
Ngluwar Kecamatan Ngluwar Kabupaten Magelang), Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro, Skripsi (tidak dipublikasikan).

Singarimbun, M dan Effendi, 1995.Metode Penelitian Surve. Jakarta :PT Pustaka


LP3ES

Soekartawi, 1993. Analisis Usahatani, Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.

Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis


CobbDouglas. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 250 hal.

Sudarman, A. 1999, Teori Ekonomi Mikro, Jilid I, BPFE, UGM, Yogyakarta.

Sugiyono. 2010. Statistik untuk Penelitian. Jakarta. Alfabeta.

Sukiyono, K. 2004. Aplikasi fungsi produksi Frontier pada Usahatani Cabai d


kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong, Journal
Agroekonomi.

Sumanto. M.A. 1995. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta :


Andi Offset.

Tahapsari, 2012. Keragaman beberapa pertumbuhan Spesies Ikan Patin


(Pangasius sp) yang dipelihara secara indoor. Dalam proses Publikasi
Pusat Riset Perikanan Budidaya.

Topan. 2007. Sukses Beternak Puyuh. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah


Tropis (Diterjemahkan oleh S.G.N.D. Darmadja). Edisi ke-1. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta

Yunus, R.2009. Analisis Efisiensi Produksi Usaha Peternakan Ayam Ras


Pedaging Pola Kemitraan dan Pola Mandiri di Kota Palu Provinsi
Sulawesi Tengah.Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Semarang

65
Lampiran 1. Kuisoner Penelitian
ANALISIS FAKTOR – FAKTOR USAHA TANI TELUR PUYUH DI
KABUPATEN KULONPROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA

No. Urut : ……………. Tanggal Wawancara :


………….
Dusun/Desa : …………… Pewawancara : ……………

I. Karakteristik responden
1. Nama
Responden : ...................................................................................................
..
2. Jenis Kelamin : L / P
3. Umur Responden :.………Tahun
4. Status Marital : Kawin/ Belum Kawin/ Janda/ Duda
5. Pengalaman Beternak : ………Tahun
6. Penduduk asli /
pendatang: : ...............................................................................................
7. Jumlah Anggota
Keluarga : ....................................................................................... Orang
8. Pekerjaan
Utama : ......................................................................................................
9. Pekerjaan
Sampingan : ...................................................................................................
...
10. Pendidikan Terakhir : SD / SLTP / SMA / PT
11. Luas Lahan yang dimiliki :.………M2
12. Status Kepemilikan Lahan : Milik Sendiri / Menyewa
13. Model Pemberian Minum : Otomatis /
Manual / ...............................................................

66
14. Status Responden : Pemilik /
Pekerja / .................................................................

II. Kondisi Usaha


15. Jenis Puyuh yang dibudidayakan dan usia burung
puyuh......................................................................................
16. Apa saja input yang anda butuhkan untuk memproduksi telur pada
peternakan Puyuh
No Input Faktor Fisik Faktor Total
(Jumlah) Ekonomi (Jumlah X
(Harga) Harga)
1 Pembelian BIbit ………Ekor Rp Rp
(DOQ)
2 Pembelian Pakan ……..Kg Rp Rp
3 Pembelian Obat- …….Gram Rp Rp
obatan
4 Pembelian Vitamin ……Gram Rp Rp
5 Penggunaan niple …… Buah Rp Rp

III. Proses Produksi


17. Berapa bulan siklus produksi burung puyuh selama satu periode
produksi? ...........................
18. Dalam mempersiapkan puyus siap produksi membutuhkan waktu berapa
lama? ..........................Hari
19. Berapa jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam setiap kali proses
produksi?
20. Berapa lama pengalaman peternak ?
No Keterangan Tenaga Kerja Keluarga Tenaga Kerja Non Keluarga
Orang Hari Upah Orang Hari Upah
1 Masa
perawatan
DOQ umur 1-
7 Hari
Jumlah Tenaga

67
Kerja
2 Masa
Perawatan
DOQ umur 8 –
15 Hari
Jumlah Tenaga
Kerja
3 Masa
Perawatan
DOQ 16 – 25
Hari
Jumlah Tenaga
Kerja
4 Masa
Pemeliharaan
puyuh setelah
di kandang
Batre Usia 25
– 45
Jumlah Tenaga
Kerja
5 Masa Produksi
Umur puyuh
mulai 45 Hari
Jumlah Tenaga
Kerja

20. Berapa jumlah produksi telur puyuh yang dihasilkan dalam setiap kali proses
produksi?
No Keterangan Jumlah Harga/Kg Jumlah (Rp)
1 Produksi Telur/Hari ……..Butir …. Rp ….Rp

IV.Lain-Lain
21. Apakah ada hambatan yang anda hadapi dalam menjalankan usaha ini?

68
(a). Ya (b). Tidak
Bila Ya, Sebutkan hambatan-hambatan tersebut!
....................................................................................................................................
..................
....................................................................................................................................
..................
22. Hal-hal yang dibutuhkan oleh peternak burung puyuh untuk mengembangkan
produksi telur Puyuh?
....................................................................................................................................
..................
23. Berapa Harga puyuh Setelah diafkir per ekor?
………………………………………………………………………………………
……………
24. Adakah organisasi perkumpulan bagi para peternak puyuh (khususnya
peternak puyuh)?
(a). Ya (b). Tidak
Bila Ya, Apakah anda ikut organisasi tersebut? Apa keuntungannya?
....................................................................................................................................
....................................................................................................................................
25. Berapa suhu dalam kandang saat ini?..................................................................
Perkiraan rata – rata suhu dalam Kandang ?........................................................
”Terima kasih Atas Bantuan dan Kerjasama Anda”

Lampiran 2. Tabel sampel kolmogrov – smirnov Test


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

69
Unstandardiz
ed Residual
N 40
Mean ,0000000
a,b
Normal Parameters Std. ,08630657
Deviation
Absolute ,074
Most Extreme
Positive ,074
Differences
Negative -,068
Kolmogorov-Smirnov Z ,471
Asymp. Sig. (2-tailed) ,980
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Lampiran 3. Sebaran Scatterplot data

70
Lampiran 4. Histogram sebaran normal data

71
Lampiran 5. Tabel Anova

72
ANOVAa
Model Sum of df Mean F Sig.
Squares Square
Regression 16,154 7 2,308 254,205 ,000b
1 Residual ,291 32 ,009
Total 16,445 39
a. Dependent Variable: Produksi telur
b. Predictors: (Constant), obat, penyuluh, suhu, pakan, vitamin, pengalaman,
tenaga kerja

73
Lampiran 6. Tabel Durbin - Watson

Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of Durbin-Watson
Square the Estimate

1 ,991a ,982 ,978 ,09528 2,641

a. Predictors: (Constant), obat, penyuluh, suhu, pakan, vitamin, pengalaman, tenaga kerja
b. Dependent Variable: Produksi telur

74
75
Lampiran 7. Hasil nilai regresi

Coefficientsa

Model Unstandardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics

B Std. Error Tolerance VIF

(Constant) 5,714 ,232 24,665 ,000

pakan ,221 ,057 3,860 ,001 ,148 6,739

vitamin -,022 ,022 -,998 ,326 ,390 2,565

tenaga kerja ,936 ,082 11,451 ,000 ,119 8,419


1
pengalaman ,085 ,054 1,555 ,130 ,318 3,149

suhu ,057 ,034 1,666 ,106 ,767 1,304

penyuluh -,033 ,053 -,614 ,543 ,325 3,073

obat -,109 ,085 -1,273 ,212 ,448 2,231

a. Dependent Variable: Produksi telur

76
Lampiran 8. Data variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent)

No Nama Produksi Produksi JML Vitamin Tenaga Pengalaman Suhu Penyuluh Penggunaan
Pakan Gram Kerja Kandang
Resp (Kg) Y(Butir) (X1) (X1) (X3) Kerja (X4) (D1) (D2) Obat (D3)
1 Sukris 3462,776 294336 200 2000 485 3 0 0 0
2 Darno 1851,012 157336 102 500 245 7 0 1 0
3 Anang 2574,471 218830 142,5 750 360 4 1 0 0
4 Haryono 6250,8 531318 349 2500 725 3 1 0 1
5 Bowo 1750,4 148784 92 1250 240 4 0 0 0
6 Hartadi 2882,353 245000 160,5 250 396 5 0 1 0
7 Ponto 662,7294 56332 33 500 120 5 0 1 0
8 Pak sutris 2536,129 215571 139 100 350 10 1 1 0
9 P Gito 823 69955 43 100 127 5 1 1 0
10 Dwiyanto 650,8353 55321 34,5 750 122 3 0 0 0
11 P Ardy 1185,882 100800 67 100 164 6 1 1 0
12 Pak Fauzan 1097,812 93314 60 100 160 3 1 0 0
13 Pak Eko 730,8588 62123 36 100 124 3 0 0 0
14 Ihsanudin 5463,529 464400 309 3000 750 11 1 1 1
15 Suwardi 3172,941 269700 179 2000 480 9 1 1 1
16 Sumadiyo 802,9412 68250 42 500 127 3 1 0 0
17 Tarwoco 947,6471 80550 57 100 159 2 1 1 0
18 suradi 1175,294 99900 65 750 164 6 1 1 0

77
19 Samsudin 782,0941 66478 42,5 250 126 4 1 0 0
20 sumardi 759,0353 64518 41,5 100 129 5 1 1 0
21 Pak Warjo 1932,353 164250 109,5 100 246 9 1 1 0
22 Parjio 1621,812 137854 21 100 240 8 1 1 0
23 Pak Nardi 753,4118 64040 37,5 250 155 7 0 1 0
24 Pak eko 685,6706 58282 37 100 122 2 1 0 0
25 Pak samsul 1321,412 112320 72 100 170 8 1 1 0
26 Arifin 1696,235 144180 95 100 242 9 0 1 0
Pak
27 Nurhamid 897,8824 76320 50 100 130 6 0 1 0
28 Kardi 831,1765 70650 47 250 127 4 0 0 0
29 P eko 2506,659 213066 137,5 100 350 10 1 1 0
30 Pak Nardi 786,1765 66825 43 500 126 3 0 0 0
joko
31 Irwanto 663,8824 56430 37,5 500 121 2 1 0 0
32 Sukamti 598,7176 50891 33,5 250 118 3 0 0 0
33 Kemin 1319,059 112120 74 100 169 7 1 1 0
34 Nurmanto 598,9059 50907 33,5 500 119 3 0 0 0
35 Sri Widodo 1303,024 110757 74 100 169 7 0 1 0
36 Tri Juniarto 664,0588 56445 36,5 250 123 4 0 0 0
37 poniman 664,3059 56466 37 500 124 4 0 0 0
38 Marko 786,2471 66831 39,2 100 157 5 0 1 0
39 Sugeng 1302,271 110693 73,3 100 168 7 0 1 0
40 Suroto 3894,706 331050 220 1440 488 12 0 1 0

78
Lampiran 9. Nilai logaritma natural variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent)

Produksi Telur Pakan Vitamin Tenaga Kerja Pengalaman Kerja Suhu Penyuluh Obat
Responden Y X1 X2 X3 X4 D1 D2 D3
Sukris 12,59247725 5,298317 7,600902 6,184148891 1,098612289 0 0 0
Darno 11,96613892 4,624973 6,214608 5,501258211 1,945910149 0 1 0
Anang 12,29605045 4,959342 6,620073 5,886104031 1,386294361 1 0 0
Haryono 13,18311599 5,855072 7,824046 6,586171655 1,098612289 1 0 1
Bowo 11,91025087 4,521789 7,130899 5,480638923 1,386294361 0 0 0
Hartadi 12,40901349 5,078294 5,521461 5,981414211 1,609437912 0 1 0
Ponto 10,93901804 3,496508 6,214608 4,787491743 1,609437912 0 1 0
Pak sutris 12,2810456 4,934474 4,60517 5,857933154 2,302585093 1 1 0
P Gito 11,15560746 3,7612 4,60517 4,844187086 1,609437912 1 1 0
Dwiyanto 10,92090786 3,540959 6,620073 4,804021045 1,098612289 0 0 0
P Ardy 11,52089363 4,204693 4,60517 5,099866428 1,791759469 1 1 0
Pak Fauzan 11,44372543 4,094345 4,60517 5,075173815 1,098612289 1 0 0
Pak Eko 11,03687157 3,583519 4,60517 4,820281566 1,098612289 0 0 0
Ihsanudin 13,04850153 5,733341 8,006368 6,620073207 2,397895273 1 1 1
Suwardi 12,50506551 5,187386 7,600902 6,173786104 2,197224577 1 1 1
Sumadiyo 11,13093271 3,73767 6,214608 4,844187086 1,098612289 1 0 0
Tarwoco 11,29663339 4,043051 4,60517 5,068904202 0,693147181 1 1 0
suradi 11,51192496 4,174387 6,620073 5,099866428 1,791759469 1 1 0
Samsudin 11,10462634 3,749504 5,521461 4,836281907 1,386294361 1 0 0
sumardi 11,07469953 3,725693 4,60517 4,859812404 1,609437912 1 1 0
Pak Warjo 12,00914494 4,695925 4,60517 5,505331536 2,197224577 1 1 0

79
Parjio 11,83395043 3,044522 4,60517 5,480638923 2,079441542 1 1 0
Pak Nardi 11,06726317 3,624341 5,521461 5,043425117 1,945910149 0 1 0
Pak eko 10,97304858 3,610918 4,60517 4,804021045 0,693147181 1 0 0
Pak samsul 11,62910722 4,276666 4,60517 5,135798437 2,079441542 1 1 0
Arifin 11,8788178 4,553877 4,60517 5,488937726 2,197224577 0 1 0
Pak
Nurhamid 11,24269031 3,912023 4,60517 4,86753445 1,791759469 0 1 0
Kardi 11,16549339 3,850148 5,521461 4,844187086 1,386294361 0 0 0
P eko 12,26935726 4,923624 4,60517 5,857933154 2,302585093 1 1 0
Pak Nardi 11,10983254 3,7612 6,214608 4,836281907 1,098612289 0 0 0
joko
Irwanto 10,94075621 3,624341 6,214608 4,795790546 0,693147181 1 0 0
Sukamti 10,83744137 3,511545 5,521461 4,770684624 1,098612289 0 0 0
Kemin 11,62732501 4,304065 4,60517 5,129898715 1,945910149 1 1 0
Nurmanto 10,83775572 3,511545 6,214608 4,779123493 1,098612289 0 0 0
Sri Widodo 11,61509389 4,304065 4,60517 5,129898715 1,945910149 0 1 0
Tri Juniarto 10,94102199 3,597312 5,521461 4,812184355 1,386294361 0 0 0
poniman 10,94139397 3,610918 6,214608 4,820281566 1,386294361 0 0 0
Marko 11,10992232 3,668677 4,60517 5,056245805 1,609437912 0 1 0
Sugeng 11,61451588 4,294561 4,60517 5,123963979 1,945910149 0 1 0
Suroto 12,7100247 5,393628 7,272398 6,190315406 2,48490665 0 1 0

80
Lampiran 10. Data faktor – faktor produksi peternakan burung puyuh di Kabupaten Kulonprogo

Resp. Nama Produksi Harga Peneriman Biaya Laba Biaya Faktor - faktor produksi (Rp)
X1 X2 x3
Vitamin Biaya
per
(kg) kg (Rp) Total (Rp) (Rp) Pakan Tenaga
Kerja
1 Sukris 3463 21000 72723000 64697500 8025500 60500000 560000 3637500
2 Darno 1851 21000 38871000 32926500 5944500 30855000 234000 1837500
3 Anang 2574 21000 54054000 46498250 7555750 43106250 692000 2700000
4 Haryono 6401,4 21000 134429400 113254000 21175400 105572500 2244000 5437500
5 Bowo 1730 21000 36330000 29745000 6585000 27830000 115000 1800000
6 Hartadi 2849 21000 59829000 51920250 7908750 48551250 399000 2970000
7 Ponto 670,6 21000 14082600 11022500 3060100 9982500 140000 900000
8 Pak sutris 2597,2 21000 54541200 45295500 9245700 42047500 623000 2625000
9 P Gito 823 21000 17283000 14029000 3254000 13007500 69000 952500
10 Dwiyanto 643,2 21000 13507200 11420250 2086950 10436250 69000 915000
11 P Ardy 1172 21000 24612000 21685500 2926500 20267500 188000 1230000
12 Pak Fauzan 1124,2 21000 23608200 19785000 3823200 18150000 435000 1200000
13 Pak Eko 722,4 21000 15170400 11914000 3256400 10890000 94000 930000
14 Ihsanudin 5595,2 21000 117499200 101677500 15821700 93472500 2580000 5625000
15 Suwardi 3249,3 21000 68235300 59467500 8767800 54147500 1720000 3600000
16 Sumadiyo 802,9412 21000 16861765 13751500 3110264,7 12705000 94000 952500
17 Tarwoco 947,6471 21000 19900588 18645000 1255588,2 17242500 210000 1192500
18 suradi 1189,3 21000 24975300 21056500 3918800 19662500 164000 1230000

81
19 Samsudin 782,1 21000 16424100 13895250 2528850 12856250 94000 945000
20 sumardi 759 21000 15939000 13662250 2276750 12553750 141000 967500
21 Pak Warjo 1978,9 21000 41556900 35548750 6008150 33123750 580000 1845000
22 Parjio 1602,9 21000 33660900 8630500 25030400 6352500 478000 1800000
23 Pak Nardi 753,5 21000 15823500 12623250 3200250 11343750 117000 1162500
24 Pak eko 677,7 21000 14231700 12201500 2030200 11192500 94000 915000
25 Pak samsul 1291 21000 27111000 23243000 3868000 21780000 188000 1275000
26 Arifin 1696 21000 35616000 30740500 4875500 28737500 188000 1815000

27 Pak Nurhamid 908 21000 19068000 16241000 2827000 15125000 141000 975000
28 Kardi 821,5 21000 17251500 15287000 1964500 14217500 117000 952500
29 P eko 2567 21000 53907000 44986750 8920250 41593750 768000 2625000
30 Pak Nardi 786,2 21000 16510200 14092500 2417700 13007500 140000 945000
31 joko Irwanto 656,2 21000 13780200 12297250 1482950 11343750 46000 907500
32 Sukamti 598,8 21000 12574800 11041750 1533050 10133750 23000 885000
33 Kemin 1350,5 21000 28360500 24232500 4128000 22385000 580000 1267500
34 Nurmanto 591,9 21000 12429900 11072250 1357650 10133750 46000 892500
35 Sri Widodo 1303 21000 27363000 23840500 3522500 22385000 188000 1267500
36 Tri Juniarto 656,4 21000 13784400 12033750 1750650 11041250 70000 922500
37 poniman 649 21000 13629000 12168500 1460500 11192500 46000 930000
38 Marko 786,3 21000 16512300 13176500 3335800 11858000 141000 1177500
39 Sugeng 1302,3 21000 27348300 23621250 3727050 22173250 188000 1260000
40 Suroto 3891,418 23000 89502605 72360000 17142605 66550000 2150000 3660000
total biaya 1059506250 17154000 69127500
biaya rata - rata 26487656,25 428850 1728187,5

82
koef regresi (bi) 0,221 -0,022 0,936
Harga Faktor produksi (pxi) 6050 188 7500
Harga Produk (py) 21000 21000 21000
Rata rata Jumlah produksi
(y) 1609,762647 1609,763 1609,762647
Py.Y 33805015,59 33805016 33805015,59
NPMX1 7470908,445 -743710 31641494,59
Efisiensi Produksi 0,282052454 -1,7342 18,30906345

83
84
85
86
87
88
89
90
LAMPIRAN

91
92
93
94
95
96

Anda mungkin juga menyukai