PENDAHULUAN
Usaha peternakan itik petelur pada beberapa tahun terakhir berkembang baik di
Indonesia. Beberapa kabupaten diseluruh wilayah Indonesia mulai mengembangkan
program swasembada telur, hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hewani
masyarakat yang salah satunya berasal dari telur. Telur menjadi pilihan karena
merupakan sumber protein hewani yang gampang terjangkau oleh masyarakat kalangan
bawah sekalipun.
Jenis itik yang dikembangkan masyarakat di tanah air juga semakin beragam ada
yang itik air dan ada itik darat. Dengan adanya itik darat otomatis kendala klasik yang
selama ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah ketinggian yang sulit
memelihara itik karena keterbatasan air dapat terjawab, sehingga semakin banyak
masyarakat yang beternak itik baik sebagai usaha sambilan maupun usaha inti, sehingga
populasi itik semakin berkembang.
Pengembangan suatu
petelur sedapat
mungkin
dikembangkan agar lebih produktif, jika semua sumber daya lahan, tenaga kerja serta
sumber daya lainnya dapat dimanfaatkan secara efisien maka tingkat kesejahteraan
masyarakat juga akan semakin meningkat. Kondisi yang demikian tersebut memerlukan
suatu analisa yang jelas apakah menguntungkan atau tidak baik ditingkat unit usaha
(Private) maupun secara global. Salah satu diantara banyak macam ragam analisa yang
sekarang populer adalah Policy Analisis Matrix (PAM).
Tujuan dan Kegunaan
Kegiatan ini bertujuan untuk :
Mengetahui apaka usaha peternakan itik petelur memiliki petualang usaha yang
berkelanjutan
Kegunaannya adalah :
Memberikan informasi baru pada para peternak itik petelur agar dapat
mengembangkan usahanya
Metode Penelitian
Policy Analisis Matrix (PAM) kemudian dijadikan sebagai acuan dalam
menganalisa usaha tani peternakan itik petelur dengan membandingkan hasil penelitian
tahun 2009 di dua lokasi yang berbeda yaitu kecamatan Pagerbarang kabupaten Tegal
Jawa Tengah dan data hasil penelitian di kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat.
PEMBAHASAN
A. Dampak Daya Saing Usaha
Usaha peternakan itik petelur secara lokal semi intensif yang dilakukan oleh
masyarakat Sulawesi Barat di kabupaten Polewali Mandar berdasarkan hasil penelitian
tahun 2009 memperlihatkan data sebagai berikut :
Tabel 1. Analisis input, output dan keuntungan usaha peternakan itik petelur di
kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat tahun 2009
No
1
2
3
Uraian
Input Tredeble
Faktor Domestik
Output
Total biaya
Tenaga Kerja
Modal
3
Total
37,906,230.00
2,332,536.09
243,880.00
Keterangan
Out put
Keuntungan
B/C Ratio
Sumber : Data sekunder, tahun 2009
47,768,250.00
5,929,603.91
1,18
Dari tabel 1. diperoleh suatu nilai rata-rata yang diperoleh dari beberapa asumsi
berdsarkan fakta aktual dilapangan dengan usaha peternakan itik petelur. Usaha
peternakan itik petelur dengan skala rata-rata peternak memelihara 231 ekor mampu
memperoleh keuntungan sebesar Rp. 5.929.603 setelah diperbandingkan antara total
input dan output yang dipeoleh, secara garis besarnya usaha ini menguntungkan, hal ini
sesuai dengan pendapat Anonymous (2008) bahwa itik petelur merupakan usaha sub
sektor peternakan yang menjanjikan apabila dikelola dengan manajemen yang baik B/C
Ratio usaha peternakan itik petelur menunjukkan nilai 1,18 < 1 berati usaha tersebut
layak untuk dilanjutkan.
B. Dampak investasi Publik
Sebagai salah satu pembanding usaha peternakan itik yang dilakukan di
kecamatan Pagerbarang kabupaten Tegal Jawa Tengah berdasarkan hasil penelitian
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro tahun 2009. Adapun data yang diperoleh
adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Analisis Input, Output dan Keuntungan Usaha Peternakan Itik Petelur, Pola
Semi Intensif di Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal Jawa Tengah
tahun 2009
No
Uraian
Input Tredeble
Faktor Domestik
3
4
Total biaya
Total
23,103,972.25
Tenaga Kerja
2,837,966.25
Modal
1,075,881.96
Out put
46,777,500.00
Keterangan
Keuntungan
19,764,179.54
B/C Ratio
1,73
Dari hasil penelitian usaha peternakan itik petelur diatas, dimana hasil penelitian di
Polewali Mandar dianggap sebagai data aktual/privat dan data dari kabupaten Tegal
dianggap sebagai data sosial maka diperoleh sebuah data perbandingan dalam bentuk
Matrix pada table 3.
Tabel 3 diperoleh hasil yang berbeda antara privat dan sosial yang dinyatakan
dalam divergency. Pada output divergensi positif dimana privat memperlihatkan output
yang lebih tinggi dibandingkan dengan out put sosial, sebesar Rp. 990,750.00,- akan
tetapi perbedaan ini pada dasarnya tidak terlalu jauh hal ini kemungkinan disebabkan
karena harga out itik petelur baik di Jawa maupun di Sulawesi relatif sama bahkan
terkkadang jauh lebih tinggi harga aktual lebih tinggi dari harga sosial. Fakta ini sejalan
dengan pendapat yang disampaikan oleh Anonimous (2009), bahwa harga telur itik jika
dibandingkan dengan harga telur lainnya cenderung lebih stabil, tidak ada perbedaan
fluktuatif harga dalam waktu singkat.
5
Tabel 3. Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Peternakan Itik Ptelur Tahun
2009.
Input
Output
Input Tradable
Domestik
TK & Listrik
Modal
Keuntungan
Privat
47,768,250.00
40,443,646.09
2,332,536.09
234,880.00
4,757,187.82
Sosial
46,777,500.00
27,013,320.46
2,837,966.25
1,075,881.96
19,759,679.54
Divergency
990,750.00
13,430,325.63
(505,430.16)
(841,001.96)
(15,002,497,72)
usaha yang lebih besar dengan modal usaha yang lebih besar dan lebih efesien. Hal ini
banyak dipengaruhi oleh faktor pengalaman peternak dalam melihat peluang usaha
sebagaimana yang diungkapkan oleh Anonymous (2009), bahwa sentra pengambangan
itik petelur di Indonesia terpusat di pulau Jawa dan berkembang ke Kalimantan dan
Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa lamanya suatu usaha peternakan dikembangkan
dalam suatu wilayah akan menuntun peternak lebih profesional.
Kegagalan dalam manajemen sumberdaya yang memiliki ditingat privat
berimbas pada kurangnya keuntungan yang diperoleh. Divergensi keuntungan yang
negative adalah merupakan bukti hal tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Pearson
(2005), bahwa Penawaran, produksi Nasional dibatasi oleh keterbatasan sumber daya
(lahan, tanaga kerja, dan modal), harga input dan kemampuan manajemen. Parameterparameter ini merupakan komponen dari fungsi produksi sehingga membatasi
kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian.
D. Kebijakan Policy Analisis Matrix
Dari hasil yang diperoleh dari matrix pada tabel 3. Diatas memberi gambaran akan
pentingnya kebijakan pemerintah dalam pengembangan itik petelur. Adanya
keterbatasan keahlian dalam melakukan fungsi manajemen usaha tani, kurangnya modal
usaha dan adanya perbedaan mendasar sisetiap wilayah pengembangan dalam hal
pencapaian keuntungan usaha, menjadi suatu hal yang perlu dikaji lebih mendalam hal
pencapaian keuntungan usaha, menjadi suatu hal yang perlu dikaji lebih mendalam oleh
pemerintah.
Dalam hal keahlian melakukan fungsi manajemen usaha, maka sepatutnya
pemerintah menggalakkan program penyuluhan dan pendampingan usaha tani itik
7
petelur secara berkesenambungan. Stabilitas harga bahan baku pakan juga perlu tetap
dijaga, dan kebijakan dalam hal pengembangan pakan alternatif yang tidak
konvensional.
KESIMPULAN
Dari aplikasi Policy Analysis Matrix (PAM) pada usaha peternakan itik
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
10