Anda di halaman 1dari 11

Tanggal : 02 Juni 2021 Dosen : Dr. Astari Apriantini, S.Gz., M.Sc.

Kuliah Ke-13

PRO DAN KONTRA PRODUK SOSIS AYAM

Nadya Asima Gravita

D14190058

K1

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2021
ABSTRAK

Sosis merupakan produk pangan yang diolah dari campuran daging halus dan tepung
atau pati dengan penambahan bumbu, daging yang digunakan berasal dari ayam. Jumlah
konsumsi produk sosis oleh masyarakat Indonesia meningkat rata-rata 4,46% setiap tahun.
Makalah ini bertujuan untuk menelaah pro dan kontra terhadap produk sosis ayam serta
memenuhi tugas mata kuliah Inovasi Teknologi Daging. Hasil analisis menunjukan bahwa,
sosis yang diolah secara baik dan benar sesuai dengan standard kesehatan menjadi pilihan
masayarakat, disamping itu kemudahan dalam mengkonsusmsi dan mudah diperoleh menjadi
pertimbangan masyarakat terutama anak-anak untuk mengkonsumsi sosis ayam. Disamping
hal positif dari produk sosis ayam, aspek negative juga menjadi pertimbangan sebagian
masyarakat untuk tidak mengkonsumsi sosis ayam. Aspek negative tersebut adalah produk
sosis tidak memenuhi standard kesehatan serta apabila dikonsumsi secara terus menerus
dapat berdampak negative pada kesehatan.

Kata kunci: Sosis ayam, pro, kontra

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sosis merupakan produk pangan yang diolah dari campuran daging halus dan tepung
atau pati dengan penambahan bumbu, bahan tambahan makanan yang kemudian dimasukkan
ke dalam selongsong sosis. Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan sosis terdiri dari
bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama untuk membuat sosis adalah daging,
sedangkan bahan tambahannya yaitu bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu,
penyedap, dan bahan makanan lain yang diizinkan (Herlina et al., 2015). Sosis merupakan
salah satu produk daging giling atau daging cincang yang dicampurkan bumbu-bumbu dan
dimasukkan ke dalam selongsong atau casing menjadi bentuk silindris (Zurriyati, 2011).
Pengolahan sosis bertujuan untuk mengawetkan daging segar yang tidak segera akan
dikonsumsi. Sosis berasal dari bahasa latin “salsus” yang artinya digarami atau secara harfiah
yakni daging yang dibuat melalui penggaraman.

Sosis dapat pula didefinisikan sebagai daging lumat yang dicampur dengan bumbu
atau rempah-rempah lalu dimasukkan ke dalam pembungkus atau selongsong berbentuk bulat
panjang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dimasak atau tanpa dimasak, diasap
atau tanpa diasap (Hadiwiyoto, 1983). Menurut SNI 01-3820-1995, sosis adalah produk
makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (kandungan daging tidak kurang dari
75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung protein minimal
sebesar 13%, lemak maksimal 25%, dan kabohidrat maksimal 8%.

Daging yang digunakan untuk membuat sosis berasal dari berbagai hewan ternak
seperti sapi, ayam, dan kambing. Salah satu daging yang paling umum digunakan untuk
membuat sosis adalah daging ayam. Daging ayam merupakan daging yang mengandung gizi
yang tinggi, mudah diperoleh, rasanya lezat, memiliki tekstur yang empuk, aromanya tidak
terlalu menyengat dan harganya cukup terjangkau oleh seluruh kalangan masyarakat sehingga
sering diolah menjadi produk makanan. Sosis ayam diolah dengan menggunakan daging
ayam sebagai bahan utamanya dan bahan-bahan tambahan lain. Bahan utama yang digunakan
adalah daging, minyak, es dan garam. Bahan tambahan yang digunakan terdiri atas bahan
pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu, dan bahan makanan lain yang diizinkan (Ridwanto,
2003). Bahan pendukung yang digunakan untuk pembuatan sosis antara lain minyak, garam
dapur (NaCl), bahan pengisi (tepung tapioca), bahan pengikat (susu skim), es batu, bumbu-
bumbu (bawang putih, merica, pala dan gula pasir), dan selongsong (casing) (Sumardani, et
al. 2020).

Herlina et al. (2015) menyatakan bahwa survei independent yang dilakukan oleh
perusahaan swasta menunjukkan jumlah konsumsi produk sosis oleh masyarakat Indonesia
meningkat rata-rata 4,46% setiap tahun. Sosis ayam telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia dan dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Faktanya, di
Indonesia sosis menjadi produk makanan yang cukup digemari oleh berbagai lapisan
masyarakat.

1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Inovasi
Teknologi Daging serta untuk menelaah pro dan kontra terhadap produk sosis ayam.
II. PEMBAHASAN

2.2 Pro Terhadap Sosis Ayam

Daging ayam merupakan salah satu komoditi hasil ternak yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bentuk-bentuk produk dari olahan daging ayam telah
banyak beredar di pasaran. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang baik, serat
daging pendek dan lunak sehingga mudah dicerna, kalori yang dihasilkan lebih rendah
dibandingkan dengan nilai kalori daging sapi atau babi sehingga dapat digunakan untuk
menjaga berat badan dan aman dikonsumsi oleh lansia (Koswara, 2009).

Sosis ayam menjadi salah satu produk olahan yang cukup digemari oleh masyarakat
Indonesia. Hal ini dikarenakan daging ayam memiliki kualitas organoleptic yang baik, dan
merupakan sumber protein hewani yang relative murah harganya dibandingkan dengan
komoditas lainnya. Sosis ayam dijual dengan harganya yang relatif lebih murah
dibandingkan sosis daging lainnya. Memiliki kandungan kolesterol yang relatif lebih rendah,
dan mudah didapat karena sudah didistribusikan di seluruh wilayah di Indonesia. Disamping
itu prospek pasarnya sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk yang dapat
diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya muslim (Priambodo,
2018).

Pola konsumsi masyarakat yang terus bergeser seiring dengan bertambahnya populasi
dan aktivitas yang tinggi menyebabkan perubahan pola dari mengonsumsi daging segar
menuju produk-produk olahan daging yang siap masak (ready to cook) dan siap makan
(ready to eat). Hal ini mendorong untuk dikembangkannya teknologi dan variasi dalam
mengolah daging, dimana salah satu olahan daging yang paling digemari adalah sosis
(Martiana, 2015). Produk pangan sangat melimpah dan beragam jenisnya di Indonesia. Salah
satu produk makanan yang saat ini terus-menerus mengalami modifikasi dan muncul dengan
inovasi baru adalah sosis. Kemunculan produk sosis ditengah masyarakat memberikan
respon positif. Produk-produk pangan baru seperti sosis ini memberikan pilihan bagi
masyarakat untuk lebih memilih mengonsumsi makanan instan yang siap saji.

Pengolahan makanan yang menghabiskan banyak waktu dan relative rumit sedikit
demi sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Nurlaila et al. (2016) menyatakan bahwa
konsumen saat ini cenderung memilih produk pangan praktis maupun siap saji untuk
dikonsumsi dibandingkan produk yang perlu diolah terlebih dahulu. Oleh karena itu, sosis
menjadi salah satu produk makanan pilihan siap saji yang digemari konsumen saat ini dan
laris di pasaran. Selain kemudahan dalam mengonsumsinya, produk sosis ayam juga menjadi
pilihan bagi masyarakat karena kemudahan dalam penyimpanannya serta memiliki daya
simpan yang cukup lama. Produk sosis ayam memerlukan penyimpanan suhu dingin untuk
mempertahankan kualitasnya, khususnya untuk meminimalisir pertumbuhan mikroba. Penner
(1990) menyatakan bahwa sosis dapat bertahan hingga 14-21 hari apabila disimpan pada suhu
dingin 35-40 F atau 0-4 °C. Selanjut menurut Haryati (2003), produk olahan daging seperti
sosis dapat disimpan pada suhu -2 sampai 5 °C. Penyimpanan dingin ini dapat
mempertahankan karakteristik sosis ayam.

Sosis ayam merupakan makanan jajanan yang digemari anak usia sekolah pada
umumnya dibandingkan makanan utama, karena dapat dikonsumsi langsung. Juga dapat
dikonsumsi dengan bahan-bahan makanan, maupun disantap dengan hidangan lainnya. Fakta
menunjukan bahwa, sosis ayam merupakan salah satu jenis sosis yang disukai anak-anak.
Daging ayam sebagai bahan utama pembuatan sosis merupakan sumber potein hewani yang
kandungan proteinnya mencapai 18,2 gram per 100 gram dagingnya (Rusmana et al., 2008).
Sosis ayam sebagai produk olahan hasil ternak memiliki zat gizi yang hampir sama atau
bahkan melebihi sosis sapi, karena dalam pembuatannya ditambahkan bumbu-bumbu
(Palandeng et al., 2016). Sosis pada umumnya dibuat dengan menggunakan daging sapi,
kambing, dan ayam sebagai bahan baku utama. Namun dari ketiga jenis daging tersebut, sosis
ayam yang memiliki kandungan protein tinggi dengan harga yang paling terjangkau,
kandungan protein sebesar 20-23% (Lawrie, 2003). Protein daging ayam dikategorikan
sebagai protein kualitas tinggi karena mudah dicerna dan diserap oleh tubuh, dan
mengandung asam amino esensial yang lengkap dalam jumlah yang cukup besar (Muchtadi,
1992).

Gambar 1. Sosis ayam.


Sumber: http://www.kompasiana.com, 07 Juni 2021.

Synder dan Orr (1984) menjelaskan bahwa kadar daging putih selalu lebih tinggi
dibandingkan daging merah untuk semua jenis ayam pada berbagai umur dan setiap jenis
kelamin. Oleh karena itu dalam pengolahan daging ayam menjadi sosis tidak melalui proses
curing. Proses pembuatan sosis ayam diawali dengan melakukan penggilingan daging ayam
yang telah dicacah menggunakan alat pencacah daging (meat grinder). Selama penggilingan
dilakukan penambahan garam, baik garam dapur maupun garam polifosfat. Hal ini dilakukan
agar protein larut garam dapat terekstrak (Gunawan, 1995). Tahap selanjutnya adalah
melakukan penggilingan dan pencampuran bumbu dalam suatu alat yang disebut chopper.
Pada tahap ini ditambahkan serutan es untuk menjaga suhu penggilingan tetap di bawah 20
°C dan untuk mencegah pecahnya emulsi (Tauber, 1977). Adonan yang telah terbentuk
kemudian dimasukkan ke dalam selongsong atau casing dengan menggunakan alat filler.
Pemakaian filler bertujuan untuk mempertahankan kestabilan emulsi dan mengurangi
munculnya kantung-kantung udara yang akan memengaruhi mutu sosis (Henrickson, 1978).
Tahap pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti perebusan, pengukusan,
dan pengasapan, serta kombinasi dari metode-metode tersebut (Effie, 1980). Tahap
pemasakan bertujuan untuk menghasilkan jenis sosis yang sudah masak, juga untuk
mengurangi kandungan mikroba dan membersihkan permukaan sosis (Girard, 1992).

2.3 Kontra Terhadap Sosis Ayam

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik seharusnya
mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. Jika
standar ini dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa sosis termasuk makanan sumber protein.
Namun, karena kadar lemak dan kolesterol yang cukup tinggi, sosis sebaiknya tidak menjadi
menu yang rutin diberikan untuk anak-anak guna mencegah masalah obesitas dan penyakit-
penyakit lainnya. Pengolahan sosis pada umumnya menggunakan STPP (Sodium
Tripoliphospat), Mixphos, karagenan, dan sodium bikarbonat sebagai bahan tambahan
makanan yang bertujuan untuk memperbaiki tekstur, mengenyalkan adonan, kestabilan
emulsi dan lain-lain (Herlina et al., 20115). Menurut Darma (2013), salah satu makanan yang
harus dihindari penderita hipertensi adalah produk olahan sosis. Hal ini dikarenakan sosis
mengandung kadar sodium yang cukup tinggi.
Penggunaan bahan tambahan makanan (food additive) saat ini sudah marak dilakukan
pada pengolahan makanan dan minuman. Salah satu bahan tambahan pada makanan adalah
pengawet. Penambahan bahan pengawet pada makanan bertujuan agar bahan pangan yang
dihasilkan mampu mempertahankan kualitasnya dan memiliki daya simpan lebih lama
sehingga memperluas jangkauan distribusinya serta berfungsi untuk memperlambat
kerusakan pada makanan, baik yang disebabkan oleh mikroba pembusuk, bakteri, ragi
maupun jamur dengan menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan dan
fermentasi yang terjadi pada suatu bahan makanan (Cahyadi, 2008). Salah satu jenis
pengawet yang sering digunakan adalah nitrit. Penggunaan nitrit dalam pengolahan daging
ialah untuk menghambat pertumbuhan bakteri Clostridium botulinium dengan memperlambat
pertumbuhan dan perkembangan spora atau dengan cara membentuk senyawa penghambat
apabila nitrit pada daging diberi suhu tinggi (Soeparno, 2005).

Sosis yang beredar di pasaran kebanyakan terbuat dari daging sapi. Hal ini
dikarenakan daging sapi memiliki warna yang merah (merah cerah/red meat) sebagai akibat
kandungan myoglobin yang tinggi (Soeparno, 1994). Namun demikian sosis juga dapat
diolah dari daging ayam yang merupakan daging berwarna putih (white meat). Warna dalam
suatu produk pangan memiliki fungsi yang cukup penting sebagai daya tarik pertama
konsumen untuk menerima atau menolak bahan pangan tersebut. Warna merupakan atribut
dari penampakan produk yang dapat menentukan tingkat kesukaan penerimaan konsumen
terhadap produk secara keseluruhan (Meilgaard et al., 1999). Sosis yang dibuat dari daging
ayam memiliki warna yang cenderung lebih putih (pucat) sehingga kurang disukai oleh
konsumen. Makanan yang menarik bagi konsumen salah satunya karena memiliki warna
yang terang.

Oleh karena itu agar didapat penampilan yang tidak kalah menarik dibandingkan sosis
daging sapi, maka diperlukan penambahan bahan tambahan yang mampu memberi warna
kemerahan pada produk. Bahan tambahan yang digunakan adalah berupa bahan tambahan
pewarna. Sosis yang banyak beredar di pasaran umumnya berwarna kemerahan, namun
penggunaan pewarna pada sosis belum tentu aman dikonsumsi (Arifandy dan Adi, 2016).
Untuk mempertahankan warna merah pada produk olahan daging yakni sosis ayam
digunakan senyawa nitrit atau nitrat. Penggunaan senyawa ini akan memberi warna merah
yang relative stabil sebagai akibat dari terwujudnya senyawa nitrosomioglobin, sebagai
akibat reaksi antara mioglobin dan senyawa nitrit/ nitrat (Soeparno, 1992). Kendala
penggunaan senyawa nitrit/nitrat adalah terdapat ambang batas dan standar toleransi yang
disarankan. Apabila digunakan melebihi ambang batas yang ditentukan, akan memberi resiko
kesehatan yang kurang menguntungkan bagi yang mengonsumsinya. Namun faktanya, di
pasaran sering ditemukan produk-produk sosis ayam yang mengandung kadar nitrit yang
tidak sesuai standar yang diizinkan.

Nitrit umum digunakan pada berbagai jenis daging olahan seperti sosis, corned beef,
nugget serta berbagai olahannya, tidak terkecuali sosis yang diolah menggunakan daging
ayam. Menurut penelitian Nur (2011), mengenai Analisis Kandungan Nitrit Dalam Sosis
Pada Distributor Sosis Di Kota Yogyakarta, pada 5 sampel merk sosis yang diteliti terdapat
merk sosis yang memiliki kadar nitrit yang melebihi batas yang ditentukan yaitu sebesar
211,294 mg/kg. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Faqi (2015), sebanyak 7 sosis yang
terdiri dari 4 sosis bermerk dan 3 sosis tidak bermerk. Hasil pemeriksaan kuantitatif
menunjukkan bahwa hampir setengah dari 7 sampel sosis yang diteliti tidak menunjukkan
kadar nitrit yang sesuai standar Permenkes RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999.

Permenkes RI No. 1168/Menkes/Per/X/1999 tentang bahan tambahan makanan,


menetapkan penggunaan maksimum bahan pengawet nitrit dalam produk daging olahan yaitu
sebesar 125 mg/kg. Kadar nitrit yang melebihi batas penggunaan yang diizinkan ini
disebabkan karena keinginan produsen untuk membuat sosis lebih tahan lama (Faqi, 2015).
Penggunaan natrium nitrit dalam jumlah yang melebihi batas dapat menimbulkan efek yang
mengancam kesehatan karena dapat membentuk turunan nitrosamine yang bersifat toksis.
Nitrosamin merupakan salah senyawa yang diduga dapat menimbulkan rasa mual, muntah-
muntah, pening kepala, tekanan darah rendah, lemah otot serta kadar nadi tidak menentu,
nitrit dalam jumlah besar dapat menyebabkan gangguan gastroinstestinal, diare campur dasar,
diikuti konvulsi, koma, kanker bahkan menyebabkan kematian (Winarno, 2008).

Sosis ayam merupakan produk olahan daging yang mudah rusak (perishable) karena
kandungan nutrisinya dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk hidup. Pertumbuhan
mikroba pada bahan pangan yang tidak diharapkan dapat ditemui dalam bentuk kerusakan
pangan dan penyakit yang timbul akibat konsumsi produk pangan yang terkontaminasi
mikroba pathogen (foodborne disease). Akibat adanya ancaman foodborne disease tersebut
maka seharusnya sosis ayam yang beredar di pasaran sudah memenuhi standar yang berlaku.
Metode penyimpanan daging seperti sosis yang baik dilakukan pada suhu -2 hingga 5 °C.
Namun penyimpanan sosis di pasar tradisional diletakkan tanpa menggunakan es dan tidak
memanfaatkan termos es sebagai alat penyimpanan. Hal ini tentunya tidak sesuai dan dapat
mengancam kesehatan konsumen (Haryati, 2003). Jika metode penyimpanan dan preservasi
sosis ayam tidak dilakukan secara optimal maka akan memengaruhi kualitas fisik,
mikrobiologi serta tingkat penerimaan masyarakat. Penyimpanan dan preservasi merupakan
poin penting yang perlu diperhatikan, terebih lagi rantai pasar produk sosis dimulai dari
produsen sampai ke tangan konsumen cukup panjang dan beragam.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis tentang pro dan kontra terhadap sosis ayam, maka dapat
disimpulkan bahwa;

1. Sosis ayam merupakan produk hasil olahan dari daging ayam yang banyak disukai oleh
masyarakat karena memiliki rasa yang enak, kemudahan dalam penyajian, memiliki nilai
gizi yang tinggi apabila diolah sesuai dengan standard mutu yang telah ditetapkan serta
dapat sajikan sebagai makanan jajanan secara langsung maupung dapat dikonsumsi
dengan makanan lainnya.
2. Sosis ayam menjadi suatu produk yang dapat membahayakan kesehatan apabila diolah
tidak sesuai dengan standard yang ditetapkan, dikonsumsi secara menerus karena
kemudahannya. Pertimbangan demikian menyebabkan masyarakat mempertimbangkan
untuk mengkonsumsi sosis ayam maupun makanan olahan lainnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA


Arifandy, Adi. 2016. Pengaruh substitusi tempe dan penambahan isolated soy protein
terhadap mutu organoleptik dan kandungan protein sosis ayam. Media Gizi Indonesia.
11(1): 80-87.

Badan Standardisasi Nasional. 1995. SNI No. : 01-3820-1995: Sosis Daging


Cahyadi. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.

Darma S A. Terapi Diet Pada Penderita Hipertensi. Surabaya (ID): Rumah Sakit Universitas
Airlangga.
Effie. 1980. Pembuatan Sosis Ikan Cucut (Centrocymus coleolepsis) [skripsi]. Bogor (ID):
Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Faqi. 2015. Pemeriksaan kadar nitrit dalam sosis yang dijual di swalayan (studi di Kota
Jombang) [tesis]. Jombang (ID): Program Studi Diploma III Analis Kesehatan,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika.
Girard J P. 1992. Technology of Meat and Meat Product. New York (US): Ellis Horwood.
Gunawan L H. 1995. Penentuan Umur Siman Sosis Sapi dan Sosis Ayam Dalam Kemasan
Vakum Dengan Model Arrhenius [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Hadiwiyoto. 1983. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Yogyakarta (ID):
Liberty.
Haryati N. 2003. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan sosis daging sapi terhadap total
bakteri dan penilaian organoleptic [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Diponegoro.
Henrickson R L. 1978. Meat Poltri anf Sea Food Technology. New Jersey (US): Prentice
Hall Inc.
Herlina, Darmawan I, Rusdianto A S. 2015. Penggunaan tepung glukomanan umbi gembili
(Dioscorea esculenta L.) Sebagai bahan tambahan makanan pada pengolahan sosis
daging ayam. Jurnal Agroteknologi. 9(2): 134-144.
Koswara, S. 2009. Pengolahan Unggas. Ebookpangan 2009.
http://tekpan.unimus.ac.id/wpcontent/uploads/2013/07/PENGOLAHAN-
UNGGAS.pdf diunduh tanggal 28 Mei 2015.
Lawrie R A. 2003. Ilmu Daging. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Martiana P A. 2015. Eksperimen pembuatan sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
dengan penambahan wortel [skripsi]. Semarang (ID): Fakultas Teknik, Universitas
Negeri Semarang.
Meilgaard M, Civele G V, Carr B T. 1999. Sensory Evaluation Technique. New York (US):
CRC Press.
Muchtadi T R, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi-IPB.
Nur. 2011.
Nurlaila N, Sukainah A, Amiruddin A. 2016. Pengembangan produk sosis fungsional
berbahan dasar ikan tenggiri (Scomberomorus sp.) Dan tepung daun kelor (Moringa
oleifera L). Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian. 2(2): 105-113.
Palandeng F C, Mandey L C, Lumoindong F. 2016. Karakteristik fisiko-kimia dan sensori
sosis ayam petelur afkir yang difortifikasi dengan pasta dari wortel (Daucus carota
L). J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 4(2): 19-28.
Penner K P. 1990. Refrigerator/Freezer Approximate Storage Times. Manhattan (USA):
Kansas State University.
Priambodo W. 2018. Analisis penawaran daging ayam pedaging di Indonesia [skripsi].
Malang (ID): Fakultas Pertanian-Peternakan, Universitas Muhammadiyah Malang.
Ridwanto I. 2003. Kandungan Gizi dan Pala Stabilitas Sosis Daging Sapi dengan Substitusi
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging sebagai Bahan Pengisi [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Rusmana D, Piliang W G, Setiono, A, Budijanto S. 2008. Pengaruh pemberian ransum
mengandung minyak ikan lemuru dan vitamin E terhadap kadar lemak dan kolesterol
daging ayam broiler. Jurnal Ilmu Ternak. 8(1): 19 - 24. Diakses dari
repository.unpad.ac.id/.../1/ pengaruh_pemberian_ransum_terhadap_kadar_ lemak.pdf
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University
Press.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-4. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Sumardani N L G, Putri B R T, Wibawa A A P. 2020. “Urutan” Daging Babi Fermentasi
Produksi Program Pengembangan Kewirausahaan Fakultas Peternakan Universitas
Udayana. Buletin Udaya Mengabdi. 19(1): 1-5.
Synder E S, Orr H L. 1984. Poultry Meat Processing, Quality Factors Yield. Ontaria (CA):
Ontaria Departement Agriculture.
Tauber F. 1977. Sausage. Di Dalam Element of Food Technology. Desroisier, N.W.(ed.). The
AVI Publishing Co, Wesport, Connecticut.
Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Zurriyati Y. 2011. Palatabilitas bakso dan sosis sapi asal daging segar, daging beku dan
produk komersial. Jurnal Peternakan. 8(2): 49-57.

Anda mungkin juga menyukai