Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk dunia yang masih relatif cepat terutama di negara-

negara berkembang seperti Indonesia, membuat semakin meningkatnya kebutuhan hidup.

Peningkatan kebutuhan tersebut, antara lain mengenai kebutuhan pangan hewani seperti hasil

– hasil laut. Udang merupakan salah satu hasil perikanan yang dihasilkan di Indonesia dan

merupakan sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat. Udang mempunyai manfaat

dan kandungan protein yang cukup tinggi sehingga banyak orang mengkonsumsi Udang

(Bank Indonesia, 2003).

Dipandang dari aspek kesehatan, kebutuhan minimal udang yang harus dikonsumsi

kurang lebih 20 kg/kapita/tahun. Laju peningkatan jumlah kebutuhan udang dipacu juga oleh

peningkatan tingkat kehidupan dan pengetahuan penduduk dan (Gufron dan Kordi, 2004).

Kebutuhan akan udang ini memaksa manusia untuk mengalihkan perhatiannya ke sumber

daya perikanan laut (Suryadin, 2004).

Sebagian besar dari hasil produksi perikanan terutama perikanan laut yaitu ± 60%

dikonsumsi dalam bentuk olahan. Udang merupakan salah satu produk yang paling cepat

busuk apabila tanpa penanganan yang baik, itulah sebabnya sebagian besar produk perikanan

dipasarkan dalam bentuk olahan (Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan di Propinsi DKI

Jakarta, 2003), yaitu (1) supaya tahan lama, (2) memudahkan dalam penyimpanan dan

pengangkutan, dan (3) dapat dipasarkan ke daerah-daerah yang jauh dari tempat produsen.

Kegiatan pengolahan udang menjadi bakso udang merupakan salah satu teknologi

penanganan hasil perikanan, karena dapat meningkatkan nilai tambah pada komoditas udang

tersebut. Produk tersebut merupakan salah satu bahan makanan yang bernilai gizi tinggi

terutama sebagai sumber protein yang sangat dibutuhkan dalam menu sehari-hari. Selain itu
udang juga mengandung zat-zat organik lainnya yang dapat mempertahankan vitalitas tubuh,

vitamin, dan mineral. Produk perikanan juga merupakan salah satu faktor yang memegang

peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi pertumbuhan tubuh

manusia. Industri pengolahan udang dewasa ini telah berkembang, baik secara kualitas

maupun kuantitas. Perkembangan industri pengolahan udang ini dimulai dengan

diadakannya penganekaragaman atau diversifikasi produk olahan menjadi produk yang dapat

disajikan dan dikemas sesuai dengan kebutuhan konsumen (Fajar, 2004).

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dipecahkan diantaranya. (1) mengingat bahwa

dalam pengolahan perikanan diversifikasi produk merupakan tuntutan yang mutlak agar

disukai oleh masyarakat sebagai konsumen. (2) bakso udang merupakan alternative bagi

masyarakat yang tidak menyukai bakso daging. (3) pengolahan udang ini selain

menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi juga dapat menghambat proses pembusukan

pada udang.

1.3 Tujuan Program

Tujuan kegiatan Analisis yang kami lakukan bertujuan agar kita dapat mengetahui

proses pembuatan bakso udang, cara pemasarannya, dan dapat mengambil pelajaran

bagaimana menjalankan suatu usaha, serta cara manajemen usaha dengan baik.

1.4 Luaran yang Diharapkan

Mengingat bahwa sektor komoditas perikanan mudah mengalami degradasi kualitas

seperti udang maka perlu dibuat teknik pengolahan yang efektif dan efisien misalnya, bakso

udang karena dengan dihadirkan produk seperti ini maka nilai ekonomis udang akan

bertambah dan memiliki daya tahan lama yang cukup tinggi dibandingkan dengan udang

tanpa pengolahan. Selain itu juga bidang perikanan perlu memdiversifikasikan produknya
dengan lebih variatif guna memenuhi selera konsumen yang semakin lama menuntut produk

yang lebih baik dengan harga yang tetap ekonomis.

1.5 Kegunaan Program

Manfaat dari kegiatan ini yaitu memberikan harga jual yang lebih ekonomis,

memberikan rasa yang sesuai selera konsumen, dapat menciptakan peluang usaha, serta dapat

menjadikan kita bagaimana cara memenej suatu usaha dengan baik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Istilah Bakso berasal dari kata Bak-So, dalam Bahasa Hokkien berarti 'daging giling',

hal ini menunjukkan bahwa bakso memiliki akar dari seni kuliner Tionghoa Indonesia. Akan

tetapi kini kebanyakan penjual bakso adalah orang Jawa dari Wonogiri dan Malang. Tempat

yang terkenal sebagai pusat Bakso adalah Solo dan Malang yang disebut Bakso Malang.

Karena kebanyakan penduduk Indonesia adalah muslim, bakso umumnya terbuat dari daging

halal seperti daging sapi, ikan, ayam, atau udang (Supriyasih. 2000).

Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang paling lazim dalam masakan

Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan tepung tapioka, akan

tetapi ada juga baso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau udang. Dalam penyajiannya,

bakso umumnya disajikan panas-panas dengan kuah kaldu sapi bening, dicampur mi, bihun,

taoge, tahu, terkadang telur, ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer dan

dapat ditemukan di seluruh Indonesia; dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran.

(Supriyasih. 2000).
Bakso

Bakso adalah produk daging yang banyak dikonsumsi dan sangat populer di
kalangan masyarakat. Menurut Standar Nasional Indonesia (1995) dalam Astiti (2008), bakso
daging adalah produk makanan yang berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari
campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati (serealia) dengan atau
tanpa penambahan bahan makanan lain, serta bahan makanan yang diijinkan. Kualitas bakso
sangat ditentukan oleh kualitas bahan mentahnya terutama jenis dan mutu daging, macam
tepung yang digunakan serta perbandingannya di dalam adonan (Astiti, 2008).
Bakso adalah salah satu makanan olahan yang berasal dari daging. ada beberapa
bumbu yanga biasa dimasukkan kedalam adonan bakso agar rasa bakso lebih enak
diantaranya adalah bawang putih. Selain untuk menambah kelezatan bakso biasanya pembuat
bakso juga menambahkan zat kimia untuk mengawetkan dan memperindah bakso. Menurut
Tarwiyal (2001) bakso yang bermutu bagus dapat dibuat tanpa penambahan bahan kimia
apapun. Tapi pada kenyataanya banyak pembuat bakso yang menambahkan zat kimia pada
baksonya. Menurut Wibowo (2006) Beberapa pedagang baso sering menggunakanbahan
tambahan pada produknya, seperti bahan pemutih, bahan pengawet, boraks,fosfat (STPP),
dan tawas.
Pengolahan bakso meliputi aspek penyediaan bahan baku yaitu daging, tepung pati
dan cara pengolahannya. Bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam pembuatan bakso
adalah garam, es atau air es dan bumbu-bumbu. Tujuan penggilingan daging adalah
mencacah dan meningkatkan keseragaman ukuran serabut otot dan jaringan ikat schingga
distribusinya dapat merata. Selain itu emulsi yang terbentuk akan lebih stabil (Purnomo,
1990).
Tekstur bakso ditentukan oleh kandungan air, kadar lemak, dan jenis karbohidrat.
Tekstur yang didapat dari semua bakso ini yaitu agak halus. Hal ini dapat disebabkan
pencampuran kacang yang tidak ditumbuk dengan halus pada bakso kacang, kentang yang
tidak halus pada bakso kentang dan penambahan ebi serta jamur pada bakso jambi.
Kandungan air yang tinggi akan menghasilkan bakso dengan tekstur yang lembek, begitu
juga dengan kadar lemak yang tinggi akan menghasilkan bakso dengan tekstur yang
berlubang-lubang (Octavianie, 2002). Bahan-bahan bakso terdiri dari bahan utama dan bahan
tambahan. Bahan utama bakso adala daging, sedangkan bahan tambahan baks adalah bahan
pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada, serta bahan penyedap (Sunarlim,
1992).
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang banyak dikonsumsi dan
sangat popular di kalangan masyarakat. Pengolahan daging menjadi bakso bertujuan untuk
memperpanjang daya simpan, meningkatkan nilai estetika, dan meningkatkan nilai
ekonomis. Bakso merupakan produk olahan daging/ ikan/ tahu/ bahan lain yang telah
dihaliskan, dicampur dengan bumbu dan tepung kemudian dibentuk bulat – bulat dengan
diameter 2-4 cm atau sesuai dengan selera (Wibowo, 1999).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, pada uji intensitas sensorik terhadap warna
menunjukkan warna yang bagus. Karena warna yang dihasilkan berupa warna kecoklatan. Hal ini
terjadi dikarenakan penggunaan jenis daging yang baik dan jenis tepung yang digunakan, sesuai
pendapat Rahmat (2011) yang menyatakan bahwa tingkat kecerahan warna pada daging, ditentukan
oleh bagian jenis daging dan tebal-tipisnya lapisan oksimioglobin pada permukaan daging.

Pada uji intensitas sensorik terhadap uji keempukan menunjukkan keempukan bakso yang
bagus. Hal ini dikarenakan tingkat keempukan pada daging bakso dipengaruhi oleh waktu
pemasakan, hal ini sesuai pendapat Syamsir (2011) yang menyatakan bahwa pemasakan dapat
meningkatkan atau menurunkan keempukan daging, tergantung pada suhu dan waktu pemasakan.
Sedangkan menurut (Soekarto, 1990), kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk pecah
akibat gaya tekan. Kekenyalan/keempukan terbentuk sewaktu pemasakan, dimana protein akan
mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang. Kondisi tersebut mengakibatkan
gugus reaktif pada rantai polipeptida terbuka dan selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada
gugus reaktif yang sama atau berdekatan (Winarno, 1988). Rais (2011) juga menyatakan
bahwa kemampuan mengikat pada tepung yang baik akan menghasikan kekenyalan pada adonan
setelah pemasakan.

Pada uji intensitas sensorik terhadap uji tekstur bakso menunjukkan tekstur yang baik. Hal
ini dikarenakan penambahan tepung tapioka yang mengandung karbohidrat dan protein, tepung
tapioka digunakan sebagai bahan pengental dan pengikat adonan, sehingga akan terbentuk tekstur
bakso yang baik. Untuk membuat bakso yang lezat dan bermutu tinggi jumlah tepung yang
dicampurkan sebaiknya tidak lebih dari 15 % berat dagingnya. Hal ini sesuai pendapat Fiqhi (2009)
yang menyatakan bahwa tekstur suatu makanan dapat dipengaruhi oleh kadar air, kandungan
lemak, jenis dan jumlah karbohidrat serta protein.

Tekstur halus yang ada pada bakso juga dipengaruhi karena penambahan air dan es yang
sesuai takaran. Hal ini sesuai pendapat Farhan (2008) yang menyatakan bahwa tekstur dan
keempukan pada daging bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya. Penambahan air pada adonan
bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es supaya suhu adonan selama penggilingan tetap
rendah. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya secara merata
keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dan membantu pembentukan emulsi
lemak.

Pada uji intensitas sensorik terhadap uji rasa menunjukkan rasa yang kurang baik. Hal ini
dipengaruhi karena kurangnya pemberian garam pada adonan bakso. Tingkat keasinan pada bakso
dipengaruhi oleh banyaknya garam yang diberikan pada adonan. Hal ini sesuai pendapat Rohman
(2010) yang menyatakan bahwa garam berfungsi sebagai pemberi cita rasa, sebagai pengawet dan
memberikan kesan kenyal dalam pengolahan daging bakso. Pemakaian garam dalam pembuatan
bakso berkisar antara 3 – 5 persen dari berat daging.

(Cross dan Overby, 1988) menyatakan bahwa bumbu merupakan salah satu faktor yang
mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa
serta daya simpan produk olahan daging. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk meningkatkan
nilai cita rasa dan aroma pada bakso.

Pada proses pembuatan bakso yang paling penting adalah proses pencampuran bahan.
Untuk pencampuran bahan ini ditambahkan es. Penggunaan es sebanyak 10 – 15% dari berat daging
atau bahkan 30% dari berat daging (Palupi, 1986). Es yang ditambahkan berfungsi untuk menjaga
suhu food processor agar tidak naik. Suhu alat ini perlu dijaga agar proses emulsi dapat berjalan
dengan baik dan lancar.

Faktor yang sangat penting pada pembuatan emulsi daging adalah suhu. Suhu menentukan
efektivitas ekstraksi yang bersifat larut dalam larutan garam serta menentukan stabilitas emulsi yang
dihasilkan. Penambahan es batu pada proses pegiilingan daging dapat membantu dalam
menstabilkan suhu. Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es,
sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air juga
penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak
(juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam
adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso
(Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan
panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan
garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi proterin otot,
membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika
panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan
terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al.,
2001).
V. ANALISIS PENGELUARAN DAN PEMASUKAN

A. Analisis Pengeluaran

No. Nama Bahan Harga Jumlah yang Jumlah


Persatuan dibeli

1. Daging Sapi Rp 20.000,- ¼ kg Rp 20.000,-

2. Tepung Tapioka Rp 5.000,- 1 bungkus Rp 5.000,-

3. Garam Rp 1000 1 bungkus Rp 1000

4. Penggilingan daging Rp 5000,- - Rp 5.000,-

5. Minyak Tanah Rp 5.500,- 1 liter Rp 5.500,-

6. Bensin Rp 6.500,- 1 liter Rp 6.500,-

Jumlah Rp 43.000,-

B. Analisi Pemasukan

No. Nama Produk Harga Jumlah Hasil Jumlah


Persatuan Produk

1. Bakso Rp 1000,- 25 biji Rp 25.000,-

Jumlah Rp 25.000,-
VI. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bakso adalah salah satu makanan olahan yang berasal dari daging. ada beberapa bumbu yanga biasa
dimasukkan kedalam adonan bakso agar rasa bakso lebih enak diantaranya adalah bawang putih.
Selain untuk menambah kelezatan bakso biasanya pembuat bakso juga menambahkan zat kimia
untuk mengawetkan dan memperindah bakso.
2. Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari 4 tahap yaitu penggilingan daging, pembuatan
adonan, pencetakan dan pemasakan.

B. Saran

Sebaiknya dalam melaksanakan praktikum alat praktik diadakan agar praktikan dapat
memahami lebih jelas tentang proses pembuatan bakso.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science.
4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.

Anonim. 2010. Konsumsi Daging Masyarakat. Jurusan Teknologi Pangandan Gizi IPB. Bogor.

Astiti. 2008. Pembuatan Daging Bakso. (Online). (http:// Fatimah_Astiti. blogspot.com. Diakses pada hari
Kamis 19 September 2013).

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan: H. Purnomo dan
Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Cross, H. R. and A. J. Overby. 1988. Meat Science and Technology In Old Animal Science. Elsevier
Publishing Company Inc., New York.
Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Elveira, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Farhan. 2008. Bakso Daging. Jurusan Teknologi Pangandan Gizi IPB. Bogor.

Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science.
W. H. Freeman, San Fansisco.

Fiqhi, F. 2009. Sosis. (Online). (http://fastasqi.wordpress.com/sosis/. Diakses pada hari Kamis 19 September
2013.)

Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan
ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Komariah, I. I. Arief, & Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang Ditambah Jahe
(Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama Penyimpanan yang Berbeda. Media
Peternakan. 27(2): 46-54

Octavianie, Y. 2002. Kandungan Gizi dan Palatabilitas bakso Campuran Daging dan Jantung Sapi. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purnomo, H. 1990. Kajian mutu bakso daging, bakso urat dan bakso aci di Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rais, H. 2011. Makanan Olahan Daging. (Online). ( http:// harfinad24090112. wordpress.com/. Diakses pada
hari Kamis 19 September 2013).

Rohman, M. 2010. Bakso. (Online). (http://seputarpanganindustri. blogspot.com/ 2010/05/ bakso-oleh-


muhammad- rohman-sekitar.html. Diakses pada tanggal 5 April 2013.
Soekarto, S. T. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB Press, Bogor.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sunarlin, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapid an pengaruh penambahan natrium klorida asam
laktat dan natrium tipolofosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syamsir, E. 2011. Mutu Daging. (Online). (http://elvirasyamsir.staff.ipb.ac.id/ karakteristik-mutu-daging/.


Diakses pada hari kamis 19 September 2013).

Tarwiyal, Kemal. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil. (Online). (http://www.ristek.go.id. Diakses
Pada Hari Minggu 15 September 2013).

Wikipedia, 2013. Daging Sapi. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Daging_ sapi Diakses Pada Hari
Minggu 15 September 2013).

Wikipedia, 2013. Daging. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Daging Diakses Pada Hari Minggu 15


September 2013.

Wibowo, Singgih. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging . PenebarSwadaya. Jakarta.

1 komentar:

Ebid Putra Motaha on 18 Mei 2015 18.50 mengatakan...

thanks.. :)

Posting Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

My Facebook
Sitti Isyqzamiyah Assambo

Create Your Badge

Followers
Translate
Diberdayakan oleh Terjemahan

My World Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei

Anda mungkin juga menyukai