PENDAHULUAN
A. Judul
Penggorengan (Pembuatan Abon)
B. Tujuan
1. Mengetahui proses pengawetan yang dapat dilakukan pada ikan tongkol
(Eeuthynnus affinis) dan ayam (Gallus gallus domesticus).
2. Mengetahui proses pembuatan abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan
ayam (Gallus gallus domesticus).
3. Membandingkan kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari parameter aroma, tekstur, warna, dan
jamur.
4. Mengetahui kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari uji organoleptik berdasarkan SNI 01-
3707-1995.
5. Mengetahui hasil pengukuran kadar air serta perubahan kadar air pada
abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam (Gallus gallus
domesticus) pada hari pengamatan ke-0, pertama, dan ketiga.
6. Mengetahui kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari segi kadar air pada hari pengamatan ke-0,
pertama, dan ketiga berdasarkan standar mutu SNI 01-3707-1995.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan abon, baik abon daging maupun abon ikan, dilakukan dengan
menggoreng daging dan bumbu menggunakan banyak minyak (deep frying).
Deep frying adalah proses penggorengan dimana bahan yang digoreng terendam
semua dalam minyak. Pada proses penggorengan sistem deep frying, suhu yang
digunakan adalah 170- 200°C dengan lama penggorengan 5 menit, perbandingan
bahan yang digoreng dengan minyak adalah 1 : 2 (Perkins and Errickson, 1996).
Prinsip pembuatan abon adalah perebusan daging, penyeratan,
pencampuran bumbu, gula merah, garam dan penggorengan minyak sampai
kering. Upaya pengembangan industri abon tidak begitu sulit karena bahan baku
untuk pembuatan abon mudah didapat di setiap daerah. Pemilihan bahan baku
dapat didasarkan atas ketersediaan jenis bahan baku yang terdapat di daerah
tersebut dan kemudahan memperolehnya (Sulthoniyah dkk., 2013).
Minyak yang digunakan dalam pembuatan abon harus berkualitas baik,
belum tengik, dan memiliki titik asap yang tinggi. Titik asap adalah suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akroelin yang dapat menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Minyak baru memiliki titik asap yang tinggi, sedangkan
minyak yang telah pernah digunakan (minyak bekas) titik asapnya akan turun.
Minyak goreng yang telah tengik atau minyak goreng yang belum dimurnikan
(minyak kelentik) tidak baik untuk menggoreng abon (Fachrudin, 1997).
Pada pembuatan abon digunakan beberapa bahan sebagai bumbu, yaitu:
1. Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Menurut Markham (1998), bawang merah merupakan nama tanaman
dari family Alliaceae, yang menjadi bahan utama bumbu dasar makanan
Indonesia. Bawang merah mengandung zat flavon, yaitu bentuk yang
mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi yang paling rendah dan
dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa
tersebut.
2. Bawang Putih (Allium sativum L.)
Menurut Wills (1956), bawang putih adalah salah satu rempah yang
biasa digunakan sebagai pemberi rasa dan aroma. Bawang putih pada
umumnya digunakan sebagai penambah flavor sehingga produk akhir
memiliki flavor yang menarik dan daya penerimaan tinggi. Selain itu bawang
putih diberikan pada daging dalam pembuatan abon sebagai bahan pengawet
produk yaitu untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin masih ada di
daging hewan.
3. Jahe
Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 0,25 – 3,3% yang terdiri dari
zingiberene, curcumene, philandren. Rimpang jahe mengandung oleoresin 4,3
– 6,0% yang terdiri dari gingerol serta shogaol yang menimbulkan rasa pedas
(Bartley dan Jacobs, 2000). Komponen yang terkandung di dalam rimpang
jahe sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak, pemberi
aroma dan rasa makanan dan minuman serta digunakan dalam industri
farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Hernani dan
Hayani, 2001).
4. Gula merah dan Garam
Gula merah adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon
pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging (Purnomo, 1996). Penggunaan gula
dalam pembuatan abon bertujuan menambah citarasa dan memperbaiki
tekstur produk. Pada proses pembuatan abon bila mengalami reaksi Maillard
sehingga menimbulkan warna kecoklatan yang dapat menambah daya tarik
produk abon. Ukuran penggunaan gula dan garam harus memperhatikan
selera konsumen (Fachrudin, 1997).
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir selalu
digunakan dalam membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam
dapat berfungsi sebagai penegas rasa yang lainnya. Garam dapat berfungsi
pula sebagai pengawet karena berbagai mikrobia pembusuk khususnya
bersifat proteolitik, sangat peka terhadap kadar garam meskipun rendah
(kurang dari 6%) (Fachrudin, 1997).
Garam yang digunakan adalah garam dapur yang sering disebut juga
“common salt”. Secara teoritis garam yang berasal dari penguapan air laut
mempunyai kadar natrium klorida di atas 97% akan tetapi dalam prakteknya
kadar natrium klorida di bawah 97% (Sutanti 1989). Sifat
antimikroorganisme garam akan menghambat secara selektif. Air ditarik dari
dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering, yang disebut proses osmosis.
Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora adalah
yang paling terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun
(sampai 6%) (Supardi 1999).
5. Jeruk Nipis
Air hasil perasan jeruk nipis banyak dimanfaatkan untuk berbagai
macam kegunaan misalnya sebagai obat sakit tenggorokan, campuran
minuman dan makanan, serta banyak dipergunakan sebagai bumbu dapur
(BPOM, 2003). Penggunaan asam dalam pengolahan bahan makanan
mempunyai peranan penting yang bersifat antimikroba, karena asam yang
terdapat pada buah jeruk terutama jeruk nipis dapat menurunkan pH suatu
makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Hal
ini dikarenakan penambahan asam akan mempengaruhi pH disamping juga
adanya sifat menghambat pertumbuhan mikroba yang khas dari hasil urainya.
Toksisitas asam yang ditimbulkan sangat bervariasi bergantung kepada
kondisi keasamannya (Supardi 1999).
6. Santan Kelapa
Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung
dalam kelapa yang berwarna putih yang diperoleh dari daging buah kelapa.
Kepekatan santan kelapa yang diperoleh tergantung pada tua atau muda
kelapa yang akan digunakan dan jumlah dalam pembuatan air yang
ditambahkan (Fachrudin, 1997).
Penambahan santan kelapa akan menambah cita rasa dan nilai gizi
suatu produk yang akan dihasilkan oleh abon. Santan akan menambah rasa
gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian
abon yang dimasak dengan menggunakan santan kelapa akan lebih gurih
rasanya dibandingkan abon yang dimasak tidak menggunakan santan kelapa
(Fachruddin, 1997).
Teknik penggorengan pan frying dan deep frying dapat menimbulkan
reaksi maillard. Reaksi maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatis yang
terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari
asam amino atau protein (Aminin dkk., 2003). Reaksi Maillard dalam makanan
dapat berfungsi untuk menghasilkan sifat sensorik pangan seperti flavor dan
aroma. Pada beberapa produk pangan dapat memberikan pengaruh yang tidak
dikehendaki, seperti dapat menurunkan kadar kelaruran protein (Prangdimurti
dkk., 2007).
Penggorengan merupakan salah satu kegiatan atau operasi untuk
mengubah mutu suatu bahan pangan dengan menggunakan minyak sebagai media
panas. Penggorengan juga berfungsi mengawetkan makanan karena adanya
destruksi mikroorganisme dan aktivitas enzim oleh panas. Selain itu dengan
adanya penggorengan, juga menyebabkan menurunnya kandungan air bebas pada
permukaan bahan pangan, terutama jika digoreng dalam bentuk suwiran atau
irisan tipis (Winarno, 2002).
Menurut Nurcholis (2014), terdapat tiga macam jenis penggorengan,
yaitu:
1. Shallow Frying
Jenis penggorengan ini cocok untuk produk dengan rasio luas
permukaan terhadap volume yang tinggi seperti telur, burger, dan patties.
Panas ditransfer pada produk melalui konduksi dari permukaan penggorengan
yang panas melalui lapisan tipis minyak. Minyak yang digunakan tidak merata,
sehingga pada jenis penggorengan ini terjadi variasi suhu dan karakteristik
produk seperti warna coklat yang tidak merata.
2. Deep Fat Frying
Jenis penggorengan deep fat frying cocok untuk produk dengan
bentuk tidak beraturan dan dengan rasio luas permukaan terhadap volume yang
tinggi cenderung menyerap minyak. Transfer panas yang terjadi merupakan
kombinasi antara konverksi dalam minyak dengan konduksi pada bagian dalam
produk.
3. Vacuum Frying
Penggorengan jenis ini merupakan jenis penggorengan subatmosferik,
yaitu dengan menggunakan tekanan dibawah 1 atmosfer. Keuntungan
penggunaan vacuum frying adalah minyak goreng tidak mudah mengalami
kerusakan, crust terbentuk secara lambat, serta dapat digunakan penggorengan
bahan pangan dengan kadar air tinggi.
Hasil proses penggorengan adalah produk makanan kering yang
diakibatkan adanya proses hidrasi. Proses hidrasi terjadi akibat perpindahan panas
dari minyak goreng ke bahan. Produk yang diolah dengan penggorengan
mengandung resapan minyak yang tinggi, karena adanya kontak langsung bahan
baku makanan dengan minyak goreng (Winarno, 2002). Penggorengan merupakan
pengolahan makanan yang relatif lebih cepat, karena adanya perubahan bentuk
dan kualitas bahan makanan membutuhkan pengolahan dengan suhu tinggi dan
dalam waktu singkat, sehingga kandungan gizi di dalamnya tidak berkurang
(Astawan dan Astawan, 1988).
Abon merupakan hasil pengolahan berupa pengeringan bahan baku, yang
sebelumnya telah ditambahkan dengan beberapa bumbu untuk memperpanjang
daya simpan serta meningkatkan citarasa (Leksono dan Syahrul, 2001).
MenurutBadan Standarisasi Nasional (1995), definisi abon adalah suatu jenis
makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayat-disayat,
dibumbui, digoreng dan dipres. Menurut Desrosier (1988), umumnya memiliki
komposisi gizi yang cukup baik karena umumnya terbuat dari daging.
Menurut Astawan dan Astawan (2006), proses pembuatan abon belum
dibakukan, karena banyak cara dan bumbu yang ditambahkan sehingga terdapat
variasi macam dan jumlah bumbu yang di gunakan, hal ini menyebabkan kualitas
abon beraneka ragam terutama dalam hal rasa dan warna. Prinsip pembuatan abon
adalah perebusan daging, penyeratan, pencampuran bumbu, gula merah, garam
dan penggorengan minyak sampai kering. Upaya pengembangan industri abon
tidak begitu sulit karena bahan baku untuk pembuatan abon mudah didapat di
setiap daerah.
Menurut Badan Standar Nasional (1995), syarat mutu abon berdasarkan
SNI 01-3707-1995 ada pada tabel 1.
Tabel 1. Standar Mutu Abon (SNI 01-3707-1995)
No
Kriteria Uji Satuan Spesifikasi
.
1. 1. Keadaan
1.1 Bentuk Normal
1.2 Bau Normal
1.3 Rasa Normal
1.4 Warna Normal
2. Air % b/b Maks. 7
3. Abu % b/b Maks. 7
4. Abu tidak larut dalam asam % b/b Maks. 0,1
5. Lemak % b/b Maks. 30
6. Protein % b/b Min. 15
7. Serat kasar % b/b Maks. 1,0
8. Gula sebagai sakarosa % b/b Maks. 30
9. Pengawet % b/b Sesuai SNI 01-0222-1995
10. Cemaran logam
10.1 Timbal (Pb) mg/kg Max. 2,0
10.2 Tembaga (Cu) mg/kg Max. 20,0
10.3 Seng (Zn) mg/kg Max. 40,0
10.4 Timah (Sn) mg/kg Max. 40,0
10.5 Raksa (Hg) mg/kg Max. 0,05
11. Arsen (As) mg/kg Max. 1,0
12. Cemaran mikrobia
8.1 Angka lempeng total Koloni/g Max. 5,0 x 104
8.2 MPN koliform Koloni/g Max. 10
8.2 Salmonella Koloni/25g Negatif
8.3 Sthapilococcus aureus Koloni/g 0
(Sumber : SNI 01-3707-1995)
Menurut Surya dan Mustakim (1992), di dalam pembuatan abon, daging
dicampur rempah-trempah sebagai bumbunya, ditambah garam dan gula sebagai
peningkat rasa dan sebagai pengawet. Rempah-rempah yang digunakan antara lain
bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, dan asam. Ciri-ciri abon yang
baikadalah warna cerah kehitaman, rasanya gurih, dan seratnya lembut.
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil,
sering digunakan sebagai abon karena murah, mudah diperoleh, serta memiliki
serat proteinnya lebih pendek dibanding daging ayam maupun daging sapi.
Badannya memanjang, tidak bersisik kecuali pada garis rusuk. Sirip punggung
pertama berjari-jari keras 15, sedang yang kedua berjari-jari lemah 13, diikuti 8-
10 jari-jari sirip tambahan (fin ilet). Ukuran asli ikan tongkol cukup besar, bisa
mencapai 1 meter dengan berat 13,6 kg. Rata-rata, ikan ini berukuran sepanjang
50-60 cm (Auzi, 2008). Ikan Tongkol memiliki kulit yang licin berwarna abu-abu,
dagingnya tebal, dan warna dagingnya merah tua (Bahar, 2004).
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan spesies yang sangat menarik
untuk dikaji baik dari segi komposisi nutrisi maupun dari segi ekonominya. Ikan
tongkol mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi terutama protein yaitu antara
22,6-26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging, dan beberapa
mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin A (retinol), dan vitamin B
(thiamin, riboflavin dan niasin) (Hafiludin, 2011).
Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein dan lemak yaitu
berkisar 98 % dari total berat daging (Sikorski, 1994) namun sebagian besar
penyusunnya adalah air yaitu dalam 100 g daging ikan tongkol mengandung 76%
kadar air (Bawinto dkk., 2015). Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai
nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensori dan stabilitas penyimpanan daging.
Kandungan kompenen kimia lainnya seperti karbohidrat, vitamin dan mineral
berkisar 2 % yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan ikan mati.
(Sikorski, 1994).
Ikan tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin
dan tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip
tambahan kecil-kecil (Auzi, 2008). Tongkol termasuk ikan buas, predator dan
karnivor. Pada umumnya mempunyai panjang 50 - 60 cm dan hidup bergerombol.
Warna tubuh bagian atas biru kehitaman dan bagian bawah putih keperakan
(Bahar, 2004). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tongkol adalah sebagai
berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygi
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Famili : Scombridae
Genus : Euthynnus
Spesies : Euthynnus affinis
Daging ayam banyak diminati masyarakat disebabkan oleh sumber
proteinnya tinggi, murah, serta mudah diperoleh. Selain itu teksturnya yang elastis
sehingga mudah diolah, artinya jika ditekan dengan jari daging dengan cepat akan
kembali seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair.
Warna daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging
ayam broliler tidak amis tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk (Kasih
dkk., 2012). Menurut Rahayu (2002), klasifikasi ayam adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Divisi : Carinathar
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Suku : Phasianidae
Marga : Gallus
Jenis : Gallus gallus domesticus
Menurut Depkes (1996), dalam 100 gram daging ayam mengandung gizi
yang tinggi, protein pada ayam yaitu 18,2 g / 100 g, sedangkan lemaknya berkisar
25,0 g. Kandungan zat gizi yang ada pada daging ayam ada pada Tabel 1.
Tabel 2. Komposisi Gizi 500 gram Daging Ayam
Komponen Jumlah
Kalori 30,2 gram
Protein 18,2 gram
Lemak 25,0 gram
Karbohidrat 0.0 gram
Kalsium 14 mg
Fosfor 200 mg
Besi 1,5 mg
Vitamin A 810 SI
Vitamin B1 0,08 mg
Vitamin C 0,00 mg
Air 64%
Ikan adalah salah satu sumber bahan pangan hewani yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain karena mudah didapat mengingat
bahwa Indonesia merupakan negara maritim juga dikarenakan daging ikan
memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti protein, lemak, mineral dan
vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia (Rahayu, 2002). Namun demikian,
ikan juga tergolong jenis bahan pangan hewani yang mudah mengalami proses
pembusukan (perishable food), salah satunya yakni jenis ikan tongkol (Euthynnus
affinis). Upaya yang perlu dilakukan untuk menghambat proses pembusukan
tersebut yaitu dengan cara pengawetan dan pengolahan. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperpanjang masa simpan ikan tongkol serta meningkatkan
citarasanya adalah dengan pembuatan abon ikan tongkol.
Daging ayam mengandung gizi yang tinggi, protein pada ayam yaitu 18,2
g / 100 g, sedangkan lemaknya berkisar 25,0 g (Depkes, 1996). Masyarakat
Indonesia lebih banyak mengenal daging ayam yang biasa dikonsumsi karena
kelebihan yang dimiliki seperti kandungan atau nilai gizi yang tinggi sehingga
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh, mudah di peroleh, dan
dagingnya yang lebih tebal (Kasih dkk., 2012). Namun selain kelebihan, menurut
DepKes (1996), kandungan gizi daging ayam yang cukup tinggi menjadi tempat
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme pembusuk yang akan
menurunkan kualitas daging sehingga berdampak pada daging menjadi mudah
rusak. Selain itu jumlah kadar air dalam 100 g daging ayam adalah 55,9%;
sedangkan bahan pangan dengan kadar air tinggi merupakan perishable food.
sehingga dibutuhkan upaya penurunan kadar air bebas dalam daging ayam yang
tidak menurunkan citarasa daging ayam itu sendiri, salah satu upayanya adalah
pembuatan abon ayam.
Pembuatan abon pada praktikum ini menggunakan beberapa metode,
yaitu perebusan atau pengukusan dan penggorengan. Menurut Supriyanto dkk.
(2006), pengukusan merupakan proses pemanasan menggunakan banyak air tetapi
air tidak bersentuhan langsung dengan produk, sehingga suhu air harus berada
diantara 660C hingga 820C. Menurut Nurcholis (2014), prinsip kerja
penggorengan adalah bahan pangan yang dimasukkan maka suhu permukaan akan
meningkat cepat yaitu suhu permukaan bahan pangan sama dengan suhu minyak
panas namun suhu bagian dalam lebih rendah dari 1000C , sehingga air menguap
dan bagian permukaan akan mengering. Tujuan penggorengan adalah
menginaktivasi enzim mikroba, menurunkan kadar air pada permukaan produk
makanan, serta mendapatkan citarasa produk.
Berdasarkan tipe-tipe penggorengan menurut Nurcholis (2014),
penggorengan abon termasuk jenis deep fat frying karena panas ditransfer pada
produk melalui kombinasi antara konveksi dalam minyak dengan konduksi pada
bagian dalam produk. Selain itu penggorengan abon menggunakan bahan dasar
daging dengan bentuk tidak beraturan dan luas permukaan yang besar sehingga
cenderung menyerap minyak. Produk akhir dari deep fat frying ini adalah abon
dengan warna dan penampakan seragam.
Pada praktikum pengolahan pangan ini digunakan ikan tongkol dan
daging ayam sebagai bahan dasar pembuatan abon. Ikan tongkol cocok digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan abon karena komponen kimia utama penyusunnya
adalah air, lemak, dan protein sehingga ikan tongkol mengandung nilai nutrisi
penting bagi kesehatan serta pertumbuhan anak-anak hingga orang dewasa. Selain
itu menurut Fatmawati dkk. (2014), pembuatan abon ikan tongkol merupakan
salah satu penganekaragaman produk perikanan dan untuk memperpanjang daya
simpan dengan menurunkan kandungan air bebas dalam daging ikan. Ikan tongkol
cocok dijadikan abon karena memiliki serat protein yang lebih pendek
dibandingkan serat-serat protein daging sapi atau ayam, selain itu ikan tongkol
mudah diperoleh dan bernilai ekonomis sehingga dapat ditingkatkan pengolahan
pangannya agar diperoleh keuntungan yang lebih baik.
Daging ayam juga merupakan bahan dasar yang cocok diolah menjadi
abon, karena menurut Wahyuni dkk. (2011), kadar air 100 gram daging ayam
sebanyak 55,9% sehingga diperlukan pengolahan daging ayam supaya memiliki
daya simpan lama. Salah satu jenis pengolahan yang efektif adalah penggorengan,
karena menurut Hasniyanti (2011) pengolahan pangan dengan penggorengan lebih
cepat dibandingkan perebusan maupun pengukusan karena minyak merupakan
konduktor panas yang baik. Selain itu dengan adanya abon ayam, masyarakat
akan lebih mudah memperoleh daging ayam sebagai lauk pauk secara praktis dan
ekonomis tanpa perlu mengolah-ulang produk tersebut.
Pada pembuatan abon ikan maupun ayam, digunakan beberapa bumbu
serta bahan lain yang bertujuan untuk meningkatkan citarasa dan memperpanjang
masa simpan yaitu pengawetan secara alami. Pada pembuatan abon ikan, daging
ikan segar terlebih dulu dilumuri oleh jeruk nipis dan dibiarkan selama 15 menit
yang bertujuan untuk menghilangkan bau amis dari daging ikan sehingga akan
diperoleh produk abon ikan tongkol yang bebas dari bau amis sehingga aroma
yang dimunculkan adalah aroma khas ikan tongkol. Ikan yang telah dilumuri air
jeruk nipis tersebut kemudian dicuci bersih yang bertujuan untuk menghilangkan
rasa asam dari air jeruk nipis sehingga tidak mempengaruhi citarasa abon.
Penambahan jeruk nipis bertujuan untuk menambah rasa, namun air
jeruk nipis yang sangat asam dapat menurunkan pH daging ikan yang menurut
Supardi (1999) sifat asam dapat menghambat mikroba yang khas dari hasil
uraiannya. Hal ini dikarenakan menurut Sarwono (1986), jeruk nipis mengandung
asam askorbat yang akan bereaksi dengan Trimethylamine (TMA) yang
merupakan sumber bau amis pada daging ikan, dan membentuk Trimethyl
Amonium. Proses pelumuran daging ikan dengan jeruk nipis ditunjukkan pada
gambar 1.
Abon yang telah kering dan sudah bebas dari sisa minyak goreng
kemudian dimasukkan dalam tiga cup plastik secara merata selanjutnya dua cup
diantaranya di seal menggunakan mesin cup sealer, sehingga menghasilkan
produk abon seperti pada gambar 8. Menurut Winardi (2012), mesin cup sealer
merupakan mesin yang digunakan untuk pengemasan minuman pada cup plastik
dengan seal heater bersuhu 750C. Prinsip kerja mesin cup sealer adalah penutupan
gelas plastik dengan dipres oleh pemanas yang selanjutnya disebut sealer, yang
dilengkapi dengan heater untuk memanaskan plat penekan gelas dan memanaskan
pisau pemotong plastik lembaran, solenoid yang berfungsi menurunkan penekan
dan memotong tepat pada cup, serta temperature control untuk menjaga suhu agar
tetap pada pengaturan awal.
Gambar 8. Abon Ikan Tongkol dan Ayam yang Telah diseal untuk Pengamatan
Hari Pertama dan Ketiga (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Penggunaan pengemasan dengan cup plastik dan mesin cup sealer ini
belum efektif untuk menjaga kualitas abon. Hal ini didasarkan pada teori menurut
Miskiyah dan Broto (2011), bahwa penggunaan kemasan cup plastik PP
merupakan kemasan terbaik pada produk olahan susu yang bersifat cair. Teori
tersebut menandakan bahwa seal pada plastic cup hanya bisa mencegah masuknya
debu kan kontaminan yang dapat merusak produk minuman namun tidak bisa
menjaga kestabilan kadar air pada bahan makanan kering.
Abon yang telah dimasukkan dalam kemasan kemudian diberi label yaitu
pengamatan hari ke-0, pertama, dan ketiga karena pengamatan organoleptik dan
pengukuran kada air abon dilakukan sebanyak 3 kali. Pengamatan yang dilakukan
berupa pengujian organoleptik dan pengukuran kadar air. Parameter uji
organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, dan jamur dari abon.
Menurut Sandjaja (2009), pengujian organoleptik biasanya dilakukan pada
bidang pangan. Uji organoleptik adalah pengujian kualitatif dengan menggunakan
indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap
produk. Metode ini disepakati sebagai metode pengujian yang praktis dalam
menentukan kecepatan dan ketepatan. Persiapan untuk melaksanakan uji
organoleptik adalah :
1. Prosedur dan metode pengujian telah ditentukan.
2. Kriteria pengujian telah ditetapkan.
3. Instruksi telah dimengerti untuk menjamin pengujian dilakukan sesuai dengan
spesifikasi bahan.
4. Sampel yang akan uji telah diketahui.
5. Persyaratan dan kaidah psikologis dalam pengujian telah dipahami.
Hasil pengujian organoleptik dan pengukuran kadar air pada abon ikan
tongkol dan abon ayam ada pada tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Organoleptik Abon Ikan dan Ayam
Hari Parameter Ikan Ayam
Ke-
0 Warna +++ +++++
Tekstur ++++ +++++
Bau ++++ ++++
Jamur + +
1 Warna +++ +++++
Tekstur +++ +++++
Bau +++++ +++++
Jamur + +
3 Warna +++ +++++
Tekstur + +++++
Bau +++++ +++++
Jamur + +
Keterangan :
Warna : + kuning muda Tekstur : + tidak renyah
++ kuning ++ sedikit renyah
+++ coklat muda +++ agak renyah
++++ coklat ++++ renyah
+++++ coklat tua +++++ sangat renyah
Bau : + Tidak bau ikan/ayam Jamur : + tidakada jamur
++ Sedikit bau ikan/ayam +++++ ada jamur
+++ Agak bau ikan/ayam
++++ Bau ikan/ayam
+++++ Sangat bau ikan/ayam
Hasil pengamatan dari tabel 4 tersebut didokumentasikan seperti pada
gambar 9 dan 10.
a b c
Gambar 9. Hasil pengamatan abon ayam pada Hari ke-0 (a), 1 (b), dan 3 (c)
(Dokumentasi Pribadi, 2017)
a b c
Gambar 10. Hasil pengamatan abon ikan tongkol pada Hari ke-0 (a), 1 (b), dan 3
(c) (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017).