Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN

A. Judul
Penggorengan (Pembuatan Abon)
B. Tujuan
1. Mengetahui proses pengawetan yang dapat dilakukan pada ikan tongkol
(Eeuthynnus affinis) dan ayam (Gallus gallus domesticus).
2. Mengetahui proses pembuatan abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan
ayam (Gallus gallus domesticus).
3. Membandingkan kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari parameter aroma, tekstur, warna, dan
jamur.
4. Mengetahui kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari uji organoleptik berdasarkan SNI 01-
3707-1995.
5. Mengetahui hasil pengukuran kadar air serta perubahan kadar air pada
abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam (Gallus gallus
domesticus) pada hari pengamatan ke-0, pertama, dan ketiga.
6. Mengetahui kualitas abon ikan tongkol (Eeuthynnus affinis) dan ayam
(Gallus gallus domesticus) dari segi kadar air pada hari pengamatan ke-0,
pertama, dan ketiga berdasarkan standar mutu SNI 01-3707-1995.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengolahan abon, baik abon daging maupun abon ikan, dilakukan dengan
menggoreng daging dan bumbu menggunakan banyak minyak (deep frying).
Deep frying adalah proses penggorengan dimana bahan yang digoreng terendam
semua dalam minyak. Pada proses penggorengan sistem deep frying, suhu yang
digunakan adalah 170- 200°C dengan lama penggorengan 5 menit, perbandingan
bahan yang digoreng dengan minyak adalah 1 : 2 (Perkins and Errickson, 1996).
Prinsip pembuatan abon adalah perebusan daging, penyeratan,
pencampuran bumbu, gula merah, garam dan penggorengan minyak sampai
kering. Upaya pengembangan industri abon tidak begitu sulit karena bahan baku
untuk pembuatan abon mudah didapat di setiap daerah. Pemilihan bahan baku
dapat didasarkan atas ketersediaan jenis bahan baku yang terdapat di daerah
tersebut dan kemudahan memperolehnya (Sulthoniyah dkk., 2013).
Minyak yang digunakan dalam pembuatan abon harus berkualitas baik,
belum tengik, dan memiliki titik asap yang tinggi. Titik asap adalah suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akroelin yang dapat menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Minyak baru memiliki titik asap yang tinggi, sedangkan
minyak yang telah pernah digunakan (minyak bekas) titik asapnya akan turun.
Minyak goreng yang telah tengik atau minyak goreng yang belum dimurnikan
(minyak kelentik) tidak baik untuk menggoreng abon (Fachrudin, 1997).
Pada pembuatan abon digunakan beberapa bahan sebagai bumbu, yaitu:
1. Bawang Merah (Allium ascalonicum L.)
Menurut Markham (1998), bawang merah merupakan nama tanaman
dari family Alliaceae, yang menjadi bahan utama bumbu dasar makanan
Indonesia. Bawang merah mengandung zat flavon, yaitu bentuk yang
mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi yang paling rendah dan
dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa
tersebut.
2. Bawang Putih (Allium sativum L.)
Menurut Wills (1956), bawang putih adalah salah satu rempah yang
biasa digunakan sebagai pemberi rasa dan aroma. Bawang putih pada
umumnya digunakan sebagai penambah flavor sehingga produk akhir
memiliki flavor yang menarik dan daya penerimaan tinggi. Selain itu bawang
putih diberikan pada daging dalam pembuatan abon sebagai bahan pengawet
produk yaitu untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin masih ada di
daging hewan.
3. Jahe
Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 0,25 – 3,3% yang terdiri dari
zingiberene, curcumene, philandren. Rimpang jahe mengandung oleoresin 4,3
– 6,0% yang terdiri dari gingerol serta shogaol yang menimbulkan rasa pedas
(Bartley dan Jacobs, 2000). Komponen yang terkandung di dalam rimpang
jahe sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak, pemberi
aroma dan rasa makanan dan minuman serta digunakan dalam industri
farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Hernani dan
Hayani, 2001).
4. Gula merah dan Garam
Gula merah adalah bahan yang ditambahkan dalam pembuatan abon
pada kisaran 50 - 60 g tiap 1 kg daging (Purnomo, 1996). Penggunaan gula
dalam pembuatan abon bertujuan menambah citarasa dan memperbaiki
tekstur produk. Pada proses pembuatan abon bila mengalami reaksi Maillard
sehingga menimbulkan warna kecoklatan yang dapat menambah daya tarik
produk abon. Ukuran penggunaan gula dan garam harus memperhatikan
selera konsumen (Fachrudin, 1997).
Garam dapur (NaCl) merupakan bahan tambahan yang hampir selalu
digunakan dalam membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam
dapat berfungsi sebagai penegas rasa yang lainnya. Garam dapat berfungsi
pula sebagai pengawet karena berbagai mikrobia pembusuk khususnya
bersifat proteolitik, sangat peka terhadap kadar garam meskipun rendah
(kurang dari 6%) (Fachrudin, 1997).
Garam yang digunakan adalah garam dapur yang sering disebut juga
“common salt”. Secara teoritis garam yang berasal dari penguapan air laut
mempunyai kadar natrium klorida di atas 97% akan tetapi dalam prakteknya
kadar natrium klorida di bawah 97% (Sutanti 1989). Sifat
antimikroorganisme garam akan menghambat secara selektif. Air ditarik dari
dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering, yang disebut proses osmosis.
Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk spora adalah
yang paling terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah sekalipun
(sampai 6%) (Supardi 1999).
5. Jeruk Nipis
Air hasil perasan jeruk nipis banyak dimanfaatkan untuk berbagai
macam kegunaan misalnya sebagai obat sakit tenggorokan, campuran
minuman dan makanan, serta banyak dipergunakan sebagai bumbu dapur
(BPOM, 2003). Penggunaan asam dalam pengolahan bahan makanan
mempunyai peranan penting yang bersifat antimikroba, karena asam yang
terdapat pada buah jeruk terutama jeruk nipis dapat menurunkan pH suatu
makanan sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Hal
ini dikarenakan penambahan asam akan mempengaruhi pH disamping juga
adanya sifat menghambat pertumbuhan mikroba yang khas dari hasil urainya.
Toksisitas asam yang ditimbulkan sangat bervariasi bergantung kepada
kondisi keasamannya (Supardi 1999).
6. Santan Kelapa
Santan kelapa merupakan emulsi lemak dalam air yang terkandung
dalam kelapa yang berwarna putih yang diperoleh dari daging buah kelapa.
Kepekatan santan kelapa yang diperoleh tergantung pada tua atau muda
kelapa yang akan digunakan dan jumlah dalam pembuatan air yang
ditambahkan (Fachrudin, 1997).
Penambahan santan kelapa akan menambah cita rasa dan nilai gizi
suatu produk yang akan dihasilkan oleh abon. Santan akan menambah rasa
gurih karena kandungan lemaknya yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian
abon yang dimasak dengan menggunakan santan kelapa akan lebih gurih
rasanya dibandingkan abon yang dimasak tidak menggunakan santan kelapa
(Fachruddin, 1997).
Teknik penggorengan pan frying dan deep frying dapat menimbulkan
reaksi maillard. Reaksi maillard adalah reaksi pencoklatan non enzimatis yang
terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari
asam amino atau protein (Aminin dkk., 2003). Reaksi Maillard dalam makanan
dapat berfungsi untuk menghasilkan sifat sensorik pangan seperti flavor dan
aroma. Pada beberapa produk pangan dapat memberikan pengaruh yang tidak
dikehendaki, seperti dapat menurunkan kadar kelaruran protein (Prangdimurti
dkk., 2007).
Penggorengan merupakan salah satu kegiatan atau operasi untuk
mengubah mutu suatu bahan pangan dengan menggunakan minyak sebagai media
panas. Penggorengan juga berfungsi mengawetkan makanan karena adanya
destruksi mikroorganisme dan aktivitas enzim oleh panas. Selain itu dengan
adanya penggorengan, juga menyebabkan menurunnya kandungan air bebas pada
permukaan bahan pangan, terutama jika digoreng dalam bentuk suwiran atau
irisan tipis (Winarno, 2002).
Menurut Nurcholis (2014), terdapat tiga macam jenis penggorengan,
yaitu:
1. Shallow Frying
Jenis penggorengan ini cocok untuk produk dengan rasio luas
permukaan terhadap volume yang tinggi seperti telur, burger, dan patties.
Panas ditransfer pada produk melalui konduksi dari permukaan penggorengan
yang panas melalui lapisan tipis minyak. Minyak yang digunakan tidak merata,
sehingga pada jenis penggorengan ini terjadi variasi suhu dan karakteristik
produk seperti warna coklat yang tidak merata.
2. Deep Fat Frying
Jenis penggorengan deep fat frying cocok untuk produk dengan
bentuk tidak beraturan dan dengan rasio luas permukaan terhadap volume yang
tinggi cenderung menyerap minyak. Transfer panas yang terjadi merupakan
kombinasi antara konverksi dalam minyak dengan konduksi pada bagian dalam
produk.
3. Vacuum Frying
Penggorengan jenis ini merupakan jenis penggorengan subatmosferik,
yaitu dengan menggunakan tekanan dibawah 1 atmosfer. Keuntungan
penggunaan vacuum frying adalah minyak goreng tidak mudah mengalami
kerusakan, crust terbentuk secara lambat, serta dapat digunakan penggorengan
bahan pangan dengan kadar air tinggi.
Hasil proses penggorengan adalah produk makanan kering yang
diakibatkan adanya proses hidrasi. Proses hidrasi terjadi akibat perpindahan panas
dari minyak goreng ke bahan. Produk yang diolah dengan penggorengan
mengandung resapan minyak yang tinggi, karena adanya kontak langsung bahan
baku makanan dengan minyak goreng (Winarno, 2002). Penggorengan merupakan
pengolahan makanan yang relatif lebih cepat, karena adanya perubahan bentuk
dan kualitas bahan makanan membutuhkan pengolahan dengan suhu tinggi dan
dalam waktu singkat, sehingga kandungan gizi di dalamnya tidak berkurang
(Astawan dan Astawan, 1988).
Abon merupakan hasil pengolahan berupa pengeringan bahan baku, yang
sebelumnya telah ditambahkan dengan beberapa bumbu untuk memperpanjang
daya simpan serta meningkatkan citarasa (Leksono dan Syahrul, 2001).
MenurutBadan Standarisasi Nasional (1995), definisi abon adalah suatu jenis
makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayat-disayat,
dibumbui, digoreng dan dipres. Menurut Desrosier (1988), umumnya memiliki
komposisi gizi yang cukup baik karena umumnya terbuat dari daging.
Menurut Astawan dan Astawan (2006), proses pembuatan abon belum
dibakukan, karena banyak cara dan bumbu yang ditambahkan sehingga terdapat
variasi macam dan jumlah bumbu yang di gunakan, hal ini menyebabkan kualitas
abon beraneka ragam terutama dalam hal rasa dan warna. Prinsip pembuatan abon
adalah perebusan daging, penyeratan, pencampuran bumbu, gula merah, garam
dan penggorengan minyak sampai kering. Upaya pengembangan industri abon
tidak begitu sulit karena bahan baku untuk pembuatan abon mudah didapat di
setiap daerah.
Menurut Badan Standar Nasional (1995), syarat mutu abon berdasarkan
SNI 01-3707-1995 ada pada tabel 1.
Tabel 1. Standar Mutu Abon (SNI 01-3707-1995)
No
Kriteria Uji Satuan Spesifikasi
.
1. 1. Keadaan
1.1 Bentuk Normal
1.2 Bau Normal
1.3 Rasa Normal
1.4 Warna Normal
2. Air % b/b Maks. 7
3. Abu % b/b Maks. 7
4. Abu tidak larut dalam asam % b/b Maks. 0,1
5. Lemak % b/b Maks. 30
6. Protein % b/b Min. 15
7. Serat kasar % b/b Maks. 1,0
8. Gula sebagai sakarosa % b/b Maks. 30
9. Pengawet % b/b Sesuai SNI 01-0222-1995
10. Cemaran logam
10.1 Timbal (Pb) mg/kg Max. 2,0
10.2 Tembaga (Cu) mg/kg Max. 20,0
10.3 Seng (Zn) mg/kg Max. 40,0
10.4 Timah (Sn) mg/kg Max. 40,0
10.5 Raksa (Hg) mg/kg Max. 0,05
11. Arsen (As) mg/kg Max. 1,0
12. Cemaran mikrobia
8.1 Angka lempeng total Koloni/g Max. 5,0 x 104
8.2 MPN koliform Koloni/g Max. 10
8.2 Salmonella Koloni/25g Negatif
8.3 Sthapilococcus aureus Koloni/g 0
(Sumber : SNI 01-3707-1995)
Menurut Surya dan Mustakim (1992), di dalam pembuatan abon, daging
dicampur rempah-trempah sebagai bumbunya, ditambah garam dan gula sebagai
peningkat rasa dan sebagai pengawet. Rempah-rempah yang digunakan antara lain
bawang merah, bawang putih, lengkuas, ketumbar, dan asam. Ciri-ciri abon yang
baikadalah warna cerah kehitaman, rasanya gurih, dan seratnya lembut.
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil,
sering digunakan sebagai abon karena murah, mudah diperoleh, serta memiliki
serat proteinnya lebih pendek dibanding daging ayam maupun daging sapi.
Badannya memanjang, tidak bersisik kecuali pada garis rusuk. Sirip punggung
pertama berjari-jari keras 15, sedang yang kedua berjari-jari lemah 13, diikuti 8-
10 jari-jari sirip tambahan (fin ilet). Ukuran asli ikan tongkol cukup besar, bisa
mencapai 1 meter dengan berat 13,6 kg. Rata-rata, ikan ini berukuran sepanjang
50-60 cm (Auzi, 2008). Ikan Tongkol memiliki kulit yang licin berwarna abu-abu,
dagingnya tebal, dan warna dagingnya merah tua (Bahar, 2004).
Ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan spesies yang sangat menarik
untuk dikaji baik dari segi komposisi nutrisi maupun dari segi ekonominya. Ikan
tongkol mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi terutama protein yaitu antara
22,6-26,2 g/100 g daging, lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging, dan beberapa
mineral (kalsium, fosfor, besi, sodium), vitamin A (retinol), dan vitamin B
(thiamin, riboflavin dan niasin) (Hafiludin, 2011).
Komponen kimia utama daging ikan adalah air, protein dan lemak yaitu
berkisar 98 % dari total berat daging (Sikorski, 1994) namun sebagian besar
penyusunnya adalah air yaitu dalam 100 g daging ikan tongkol mengandung 76%
kadar air (Bawinto dkk., 2015). Komponen ini berpengaruh besar terhadap nilai
nutrisi, sifat fungsi, kualitas sensori dan stabilitas penyimpanan daging.
Kandungan kompenen kimia lainnya seperti karbohidrat, vitamin dan mineral
berkisar 2 % yang berperan pada proses biokimia di dalam jaringan ikan mati.
(Sikorski, 1994).
Ikan tongkol mempunyai bentuk tubuh seperti cerutu dengan kulit licin
dan tergolong tuna kecil. Sirip dada melengkung dan sirip dubur terdapat sirip
tambahan kecil-kecil (Auzi, 2008). Tongkol termasuk ikan buas, predator dan
karnivor. Pada umumnya mempunyai panjang 50 - 60 cm dan hidup bergerombol.
Warna tubuh bagian atas biru kehitaman dan bagian bawah putih keperakan
(Bahar, 2004). Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan tongkol adalah sebagai
berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygi
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Famili : Scombridae
Genus : Euthynnus
Spesies : Euthynnus affinis
Daging ayam banyak diminati masyarakat disebabkan oleh sumber
proteinnya tinggi, murah, serta mudah diperoleh. Selain itu teksturnya yang elastis
sehingga mudah diolah, artinya jika ditekan dengan jari daging dengan cepat akan
kembali seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair.
Warna daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging
ayam broliler tidak amis tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk (Kasih
dkk., 2012). Menurut Rahayu (2002), klasifikasi ayam adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Divisi : Carinathar
Kelas : Aves
Ordo : Galliformes
Suku : Phasianidae
Marga : Gallus
Jenis : Gallus gallus domesticus
Menurut Depkes (1996), dalam 100 gram daging ayam mengandung gizi
yang tinggi, protein pada ayam yaitu 18,2 g / 100 g, sedangkan lemaknya berkisar
25,0 g. Kandungan zat gizi yang ada pada daging ayam ada pada Tabel 1.
Tabel 2. Komposisi Gizi 500 gram Daging Ayam
Komponen Jumlah
Kalori 30,2 gram
Protein 18,2 gram
Lemak 25,0 gram
Karbohidrat 0.0 gram
Kalsium 14 mg
Fosfor 200 mg
Besi 1,5 mg
Vitamin A 810 SI
Vitamin B1 0,08 mg
Vitamin C 0,00 mg
Air 64%

Penilaian organoleptik yang disebut juga penilaian indera atau penilaian


sensorik merupakan suatu cara penilaian yang sudah sangat lama dikenal dan
masih sangat umum digunakan. Metode penilaian ini banyak digunakan karena
dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung, penerapan penilaian organoleptik
pada prakteknya disebut uji organoleptik (Soekarto, 2002). Indera yang berperan
dalam uji organoleptik adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba
dan pendengaran (Rahayu, 1998).
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
pengindraan. Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-sifat benda karena adanya
rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari benda tersebut. Pengindraan
dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat rangsangan
(stimulus). Reaksi atau kesan yang ditimbulkan karena adanya rangsangan dapat
berupa sikap untuk mendekati atau menjauhi, menyukai atau tidak menyukai akan
benda penyebab rangsangan. Kesadaran, kesan dan sikap terhadap rangsangan
adalah reaksi psikologis atau reaksi subyektif. Pengukuran terhadap nilai / tingkat
kesan, kesadaran dan sikap disebut pengukuran subyektif atau penilaian subyektif
(Auzi, 2008).
Aroma yang disebarkan oleh makanan merupakan daya tarik yang sangat
kuat dan mampu merangsang indera penciuman sehingga membangkitkan selera.
Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah
menguap itu dapat sebagai akibat atau reaksi karena pekerjaan enzim atau dapat
juga terbentuk tanpa bantuan reaksi enzim (Suhardjo, 1989).
Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan
karena merupakan rangsangan pertama pada indera mata. Warna makanan yang
menarik dan tampak alamiah dapat meningkatkan cita rasa, serta daya penerimaan
produk meningkat jika warna suatu produk memunculkan karakteristik khas pada
produk tersebut (Mulyaningrum, 2007) seperti warna kuning kecoklatan pada
abon (Suhardjo, 1989).
Makanan yang rentan terhadap tumbuhnya jamur biasanya merupakan
makanan basah yang memiliki kadar air tinggi, namun tidak berarti bahwa
makanan kering tidak mungkin terkontaminasi jamur. Makanan kering seperti
biskuit kering, abon, hingga ikan asin juga dapat ditumbuhi jamur apabila
disimpan di tempat lembab yaitu pada makanan dengan kadar air lebih dari 7%
(Rahmat, 2011). Jamur juga bisa tumbuh karena pengemasan produk makanan
kering yang kurang baik, sehingga uap air masih dapat masuk dan membuat
makanan kering tidak renyah (Winarno, 1984).
Kerusakan karena jamur sering dijumpai tumbuh pada makanan setengah
kering, tumbuhnya seperti bulu atau rambut yang disebut mycella dan mempunyai
warna yang khas, misalnya bewarna hijau atau hitam (Winarno, 1984).
Kebanyakan jamur untuk tumbuhnya memerlukan oksigen, itulah sebabnya hanya
tumbuh di permukaan makanan (Setyamidjaja, 1984).
Tumbuhnya jamur pada bahan pangan sering menimbulkan kerugian,
karena beberapa jamur yang mencemari dan tumbuh pada bahan pangan
menghasilkan zat- zat racun yang dikenal sebagai mycotoxin. Mycotoxin yang di
produksi oleh jamur dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit atau
kematian bila termakan oleh manusia atau hewan. Penyakit akut yang disebabkan
mycotoxin berbeda sifatnya dan beberapa diantaranya bersifat karsinogenik yang
menyebabkan kanker pada hati, ginjal dan perut bila dimakan dalam jumlah kecil
untuk jangka waktu yang cukup lama (Buckle, 1987).
Pengeringan (drying) berarti pemisahan sejumlah kecil air atau zat cair
lain dari suatu bahan, sehingga mengurangi kandungan zat cair. Dasar proses
pengeringan adalah terjadi penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan
uap air antara udara dan bahan yang dikeringka (Cabe, 2002). Tujuan pengeringan
adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan
mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan
terhambat atau terhenti. Bahan yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan
yang lebih lama karena kandungan air bebas didalamnya dapat dikurangi
(Apriyantono dkk., 1989).
Menurut Sudaryanto dkk. (2005), metode pengeringan merupakan proses
pemindahan air dari dalam bahan melalui penguapan dengan menggunakan energi
panas. Energi panas ditransfer dari udara sekeliling ke permukaan bahan, sehingga
terjadi peningkatan suhu dan terbentuknya uap air yang terkandung dalam bahan
secara berkelanjutan dialirkan keluar dari mesin pengering. Menurut Mahadi
(2007), aliran udara panas merupakan fluida kerja bagi sistem pengeringan.
Komponen aliran udara yang mempengaruhi proses pengeringan adalah
kecepatan, temperatur, tekanan, dan kelembaban relatif.
Pengeringan dilakukan dengan mesin peniris minyak yang disebut rotary
spinner. Alat peniris minyak tipe sentrifugal ini bekerja berdasarkan prinsip
putaran sentrifugal. Setelah alat dipastikan dalam keadaan siap pakai, kripik hasil
penggorengan di masukkan ke dalam keranjang peniris. Tujuan pengeringan
dengan rotary spinner adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau terhenti (Apriyantono dkk., 1989).
Pada alat spinner terdapat motor listrik, dasar utama yang menyebabkan
motor berputar ialah reaksi antar kutub magnet. Reaksi medan magnet listrik pada
stator dan medan magnet penghantar yang dialiri arus listrik (Hartanto, 1997).
Keranjang peniris, yang merupakan bagian dari mesin peniris minyak dan
merupakan tempat peletakan bahan yang akan ditiriskan, berbentuk tabung
silinder dan terdapat lubang-lubang pada permukaannya. Prinsip kerja dari tabung
peniris adalah untuk meniriskan minyak dengan menggunakan gaya sentrifugal
yang akan mampu mengeluarkan minyak dari bahan karena adanya gaya yang
keluar dari pusat lingkaran (Maksindo, 2013).
Tahap akhir pembuatan abon adalah pengemasan abon. Pengemasan
produk makanan kering seperti abon bertujuan untuk mempertahankan kualitas,
menghindari kerusakan selama penyimpanan, memudahkan transportasi, dan
memudahkan penanganan selanjutnya. Pengemasan makanan yang baik dapat
mencegah penguapan air, masuknya gas oksigen, serta mencegah masuknya debu
serta kontaminasi mikrobia (Fachrudin, 1997). Kemasan merupakan wadah atau
media yang digunakan untuk membungkus bahan atau komoditi sebelum
disimpan agar memudahkan pengaturan, pengangkutan, penempatan pada tempat
penyimpanan, serta memberikan perlindungan pada bahan atau komoditi (Imdad
dan Nawangsih, 1999)
Menurut Winardi (2012), mesin cup sealer merupakan mesin yang
digunakan untuk pengemasan minuman pada cup plastik dengan seal heater
bersuhu 750C. Prinsip kerja mesin cup sealer adalah penutupan gelas plastik
dengan dipres oleh pemanas yang selanjutnya disebut sealer, yang dilengkapi
dengan heater untuk memanaskan plat penekan gelas dan memanaskan pisau
pemotong plastik lembaran, solenoid yang berfungsi menurunkan penekan dan
memotong tepat pada cup, serta temperature control untuk menjaga suhu agar
tetap pada pengaturan awal.
Menurut Miskiyah dan Broto (2011), penggunaan kemasan flexypack dan
cup plastik PP merupakan kemasan terbaik pada produk dadih (produk olahan
susu di Sumatera Barat). Kemasan flexypack adalah suatu bentuk kemasanyang
bersifat fleksibel, terbentuk dari lapisan aluminium foil, film plastik, selopan, film
plastik berlapis logam aluminium (metalized film) dan kertas. Pada umumnya
jenis kemasan ini digunakan untuk mengemas berbagai produk baik padat maupun
cair. Kemasan fleksibel juga dapat menggantikan kemasan rigid maupun kemasan
kaleng, selain lebih ekonomis juga mudah dalam penanganannya.
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat
penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur,
dan citarasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak,
sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1997).
Pengukuran kadar air suatu bahan pangan dilakukan dengan
menggunakan metode Moisture Balancing, yang dapat digunakan untuk semua
bahan pangan kecuali produk yang mengandung komponen senyawa volatile atau
bahan yang mudah menguap pada pemanasan 1000C (Marpaung dkk., 2011).
Pengukuran kadar air menggunakan moisture balancing merupakan pengukuran
kadar air secara tak langsung, prinsip kerjanya adalah melalui pemanasan dan
penimbangan yang melibatkan proses penguapan kandungan air pada produk di
dalam moisture balancing (Setyowati dan Nisa, 2014).
III. METODE
A. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah baskom plastik,
baskom stainless steel, pisau, alas potong, cobek dan ulekan, kain bersih,
tissue, kompor dan gas, wajan, panci, solet, sendok, garpu, alat pengukus
(dandang), cup plastik, mesin cup sealer, logbook, dan moisture balancing.
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah 500 gram
ikan tongkol mentah (dibersihkan sisiknya), 500 gram daging ayam mentah,
cabai merah, daun jeruk, jahe, bawang merah, bawang putih, gula jawa, jeruk
nipis, serai, garam, dan minyak goreng.
B. Cara Kerja
1. Persiapan Bahan
Alat dan bahan disiapkan terlebih dahulu, ikan tongkol sebanyak
500 gram dibersihkan dari sisiknya kemudian dilumuri dengan jeruk nipis
secukupnya hingga merata lalu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah itu
daging ikan tongkol dilumuri dengan garam hingga merata lalu alat
pengukus disiapkan dan ikan dikukus kurang lebih selama 25-30 menit
hingga dagingnya lunak, yaitu sambil ditusuk dengan garpu sesekali untuk
melihat tekstur daging ikan. Setelah tekstur daging matang, ikan ditiriskan
dalam baskom stainless steel.
Daging ayam mentah sebanyak 500 gram dilumuri air jeruk nipis
kemudian dicuci bersih lalu direbus selama 25-30 menit hingga daging
ayam lunak jika ditusuk dengan garpu. Setelah tekstur daging ayam
matang, kemudian dimasukkan dalam baskom plastik lalu ditunggu hingga
dingin dan memungkinkan untuk dilakukan penyuwiran. Daging ikan
tongkol maupun daging ayam yang sudah matang kemudian dipisahkan
dari duri dan tulangnya lalu daging ikan dihaluskan dengan tangan atau
ulekan sedangkan daging ayam disuwir dengan tangan. Daging ikan dan
ayam yang sudah lunak disiapkan dalam baskom untuk dilakukan tahapan
selanjutnya yaitu pengolahan abon.
2. Pengolahan Abon
Bumbu-bumbu yang telah disiapkan ditumbuk hingga halus
kecuali santan, minyak goreng, dan serai; khusus untuk serai diikat di
bagian ujung atasnya. Selanjutnya minyak goreng dipanaskan diatas
wajan dengan api kecil, lalu bumbu yang telah dihaluskan dimasukkan
dan ditumis hingga harum. Penumisan dilakukan dengan api kecil.
Setelah muncul aroma harum dari bumbu yang ditumis, daging
ikan tongkol yang sudah lunak dimasukkan dalam wajan. Santan
ditambahkan dalam wajan dan ditunggu hingga sedikit mendidih,
kemudian minyak goreng ditambahkan hingga daging ikan tongkol
terendam penuh oleh minyak. Penggorengan dilakukan dengan api kecil
dan daging selalu diaduk dengan solet hingga daging ikan tongkol
menjadi kering dan berubah warna menjadi coklat.
Setelah abon menjadi kering, abon ditiriskan dengan saringan
dan dimasukkan dalam kain bersih diatas baskom plastik dan didalam
kain telah dilapisi oleh tissue. Kain tersebut kemudian diikat dengan
kencang pada bagian atasnya, kemudian abon dalam kain tersebut
dimasukkan dalam mesin spinner lalu meisn dinyalakan dan ditunggu 30-
60 detik hingga sudah tidak ada lagi minyak yang menetes dari kain
pembungkus abon tersebut. Langkah pengolahan abon ini juga dilakukan
dengan cara yang sama pada pembuatan abon ayam.
3. Pengamatan
Abon yang telah dikeringkan dengan spinner dimasukkan dalam
baskom stainless steel lalu dibagi rata dalam 3 cup plastik. Salah satu
cup plastik ditutup dengan kertas tissue dan diikat dengan karet gelang,
sedangkan dua cup lainnya di seal dengan mesin sealer lalu diberi label
nama kelompok dan keterangan hari pengamatan. Parameter yang
diamati adalah warna, aroma, tekstur, dan jamur, serta pengukuran kadar
airnya yang dilakukan pada hari ke 0,pertama, dan ketiga.
Cup plastik yang tidak di seal digunakan untuk pengamatan hari
ke-0. Pengukuran kadar air dilakukan dengan alat moisture balancing,
yaitu piringan plat dimasukkan terlebih dahulu, lalu penutup alat ditutup
dan alat dikalibrasi hingga menunjukkan angka yang stabil. Setelah itu
penutup alat dibuka dan abon dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam
piringan plat tersebut hingga mencapai berat ±1 gram, lalu penutup alat
ditutup kembali dan ditekan tombol start untuk memulai pengukuran
kadar air selama ±5 menit. Pengukuran warna, tekstur, aroma, dan jamur
dilakukan secara organoleptik dan visual dengan penilaian sebagai
berikut:
Warna Tekstur Aroma Jamur
+ Kuning Muda Tidak Renyah Tidak bau Tidak
ikan/ayam ada
++ Kuning Sedikit Renyah Sedikit bau
ikan/ayam
+++ Coklat Muda Agak Renyah Agak bau
ikan/ayam
++++ Coklat Renyah Bau
ikan/ayam
++++ Coklat Tua Sangat Renyah Sangat Bau Ada
+ ikan/ayam
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ikan adalah salah satu sumber bahan pangan hewani yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain karena mudah didapat mengingat
bahwa Indonesia merupakan negara maritim juga dikarenakan daging ikan
memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti protein, lemak, mineral dan
vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia (Rahayu, 2002). Namun demikian,
ikan juga tergolong jenis bahan pangan hewani yang mudah mengalami proses
pembusukan (perishable food), salah satunya yakni jenis ikan tongkol (Euthynnus
affinis). Upaya yang perlu dilakukan untuk menghambat proses pembusukan
tersebut yaitu dengan cara pengawetan dan pengolahan. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperpanjang masa simpan ikan tongkol serta meningkatkan
citarasanya adalah dengan pembuatan abon ikan tongkol.
Daging ayam mengandung gizi yang tinggi, protein pada ayam yaitu 18,2
g / 100 g, sedangkan lemaknya berkisar 25,0 g (Depkes, 1996). Masyarakat
Indonesia lebih banyak mengenal daging ayam yang biasa dikonsumsi karena
kelebihan yang dimiliki seperti kandungan atau nilai gizi yang tinggi sehingga
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh, mudah di peroleh, dan
dagingnya yang lebih tebal (Kasih dkk., 2012). Namun selain kelebihan, menurut
DepKes (1996), kandungan gizi daging ayam yang cukup tinggi menjadi tempat
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme pembusuk yang akan
menurunkan kualitas daging sehingga berdampak pada daging menjadi mudah
rusak. Selain itu jumlah kadar air dalam 100 g daging ayam adalah 55,9%;
sedangkan bahan pangan dengan kadar air tinggi merupakan perishable food.
sehingga dibutuhkan upaya penurunan kadar air bebas dalam daging ayam yang
tidak menurunkan citarasa daging ayam itu sendiri, salah satu upayanya adalah
pembuatan abon ayam.
Pembuatan abon pada praktikum ini menggunakan beberapa metode,
yaitu perebusan atau pengukusan dan penggorengan. Menurut Supriyanto dkk.
(2006), pengukusan merupakan proses pemanasan menggunakan banyak air tetapi
air tidak bersentuhan langsung dengan produk, sehingga suhu air harus berada
diantara 660C hingga 820C. Menurut Nurcholis (2014), prinsip kerja
penggorengan adalah bahan pangan yang dimasukkan maka suhu permukaan akan
meningkat cepat yaitu suhu permukaan bahan pangan sama dengan suhu minyak
panas namun suhu bagian dalam lebih rendah dari 1000C , sehingga air menguap
dan bagian permukaan akan mengering. Tujuan penggorengan adalah
menginaktivasi enzim mikroba, menurunkan kadar air pada permukaan produk
makanan, serta mendapatkan citarasa produk.
Berdasarkan tipe-tipe penggorengan menurut Nurcholis (2014),
penggorengan abon termasuk jenis deep fat frying karena panas ditransfer pada
produk melalui kombinasi antara konveksi dalam minyak dengan konduksi pada
bagian dalam produk. Selain itu penggorengan abon menggunakan bahan dasar
daging dengan bentuk tidak beraturan dan luas permukaan yang besar sehingga
cenderung menyerap minyak. Produk akhir dari deep fat frying ini adalah abon
dengan warna dan penampakan seragam.
Pada praktikum pengolahan pangan ini digunakan ikan tongkol dan
daging ayam sebagai bahan dasar pembuatan abon. Ikan tongkol cocok digunakan
sebagai bahan dasar pembuatan abon karena komponen kimia utama penyusunnya
adalah air, lemak, dan protein sehingga ikan tongkol mengandung nilai nutrisi
penting bagi kesehatan serta pertumbuhan anak-anak hingga orang dewasa. Selain
itu menurut Fatmawati dkk. (2014), pembuatan abon ikan tongkol merupakan
salah satu penganekaragaman produk perikanan dan untuk memperpanjang daya
simpan dengan menurunkan kandungan air bebas dalam daging ikan. Ikan tongkol
cocok dijadikan abon karena memiliki serat protein yang lebih pendek
dibandingkan serat-serat protein daging sapi atau ayam, selain itu ikan tongkol
mudah diperoleh dan bernilai ekonomis sehingga dapat ditingkatkan pengolahan
pangannya agar diperoleh keuntungan yang lebih baik.
Daging ayam juga merupakan bahan dasar yang cocok diolah menjadi
abon, karena menurut Wahyuni dkk. (2011), kadar air 100 gram daging ayam
sebanyak 55,9% sehingga diperlukan pengolahan daging ayam supaya memiliki
daya simpan lama. Salah satu jenis pengolahan yang efektif adalah penggorengan,
karena menurut Hasniyanti (2011) pengolahan pangan dengan penggorengan lebih
cepat dibandingkan perebusan maupun pengukusan karena minyak merupakan
konduktor panas yang baik. Selain itu dengan adanya abon ayam, masyarakat
akan lebih mudah memperoleh daging ayam sebagai lauk pauk secara praktis dan
ekonomis tanpa perlu mengolah-ulang produk tersebut.
Pada pembuatan abon ikan maupun ayam, digunakan beberapa bumbu
serta bahan lain yang bertujuan untuk meningkatkan citarasa dan memperpanjang
masa simpan yaitu pengawetan secara alami. Pada pembuatan abon ikan, daging
ikan segar terlebih dulu dilumuri oleh jeruk nipis dan dibiarkan selama 15 menit
yang bertujuan untuk menghilangkan bau amis dari daging ikan sehingga akan
diperoleh produk abon ikan tongkol yang bebas dari bau amis sehingga aroma
yang dimunculkan adalah aroma khas ikan tongkol. Ikan yang telah dilumuri air
jeruk nipis tersebut kemudian dicuci bersih yang bertujuan untuk menghilangkan
rasa asam dari air jeruk nipis sehingga tidak mempengaruhi citarasa abon.
Penambahan jeruk nipis bertujuan untuk menambah rasa, namun air
jeruk nipis yang sangat asam dapat menurunkan pH daging ikan yang menurut
Supardi (1999) sifat asam dapat menghambat mikroba yang khas dari hasil
uraiannya. Hal ini dikarenakan menurut Sarwono (1986), jeruk nipis mengandung
asam askorbat yang akan bereaksi dengan Trimethylamine (TMA) yang
merupakan sumber bau amis pada daging ikan, dan membentuk Trimethyl
Amonium. Proses pelumuran daging ikan dengan jeruk nipis ditunjukkan pada
gambar 1.

Gambar 1. Preparasi Daging Ikan Tongkol dengan Pelumuran Air Jeruk


Nipis (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Setelah diberi jeruk nipis hingga merata, daging ikan kemudian dilumuri
dengan garam dapur hingga merata ke seluruh permukaan daging ikan karena
selain jeruk nipis, garam juga digunakan sebagai salah satu metode pengawetan
pangan yang pertama dan masih digunakan secara luas untuk mengawetkan
berbagai macam makanan terutama ikan laut. Menurut Supardi (1999), sifat
antimikroorganisme garam akan menghambat secara selektif, yaitu air ditarik dari
sel mikroba sehingga sel menjadi kering yang disebut proses osmosis. Hal ini
dibuktikan dalam penelitian Sutanti (1989), bahwa mikroorganisme pembusuk
atau proteolitik dan juga pembentuk spora dapat dimatikan dengan kadar rendah
sekalipun (hingga 6%).
Menurut Fachruddin (1997), garam dapur (NaCl) merupakan bahan
tambahan yang hampir selalu digunakan dalam membuat masakan. Rasa asin yang
ditimbulkan oleh garam dapat berfungsi sebagai penegas rasa yang lainnya.
Garam dapat berfungsi pula sebagai pengawet karena berbagai mikrobia
pembusuk khususnya bersifat proteolitik, sangat peka terhadap kadar garam
meskipun rendah (kurang dari 6%). Menurut Sutanti (1989), garam yang
digunakan adalah garam dapur yang sering disebut juga “common salt”. Secara
teoritis garam yang berasal dari penguapan air laut mempunyai kadar natrium
klorida di atas 97% akan tetapi dalam prakteknya kadar natrium klorida di bawah
97%.
Daging ayam mentah tidak dilumuri oleh jeruk nipis melainkan langsung
direbus. Perebusan dilakukan pada daging ayam yang bertujuan untuk membuat
tekstur daging ayam menjadi lebih empuk dan lebih mudah untuk dilakukan
pengecilan ukuran menjadi serat yang lebih halus. Menurut Labuza (1971), daging
ayam harus direbus sekitar 20-25 menit agar benar-benar lunak pada suhu 100 0C.
Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu rupa kualitas tekstur bahan, yaitu
daging akan menjadi terlalu lunak sehingga kadar air sulit dihilangkan dan
karakteristik abon menjadi tidak renyah. Proses perebusan tersebut ada pada
gambar 2.
Gambar 2. Proses Perebusan Ayam Potong sebagai Bahan Dasar Abon
Ayam (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Berbeda dengan daging ayam, daging ikan yang telah dilumuri garam
kemudian dikukus selama 20-25 menit. Hal ini dikarenakan menurut Sulthoniyah
dkk. (2013), penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada daging ikan akan
menurunkan kadar albumin, protein, dan lemaknya; selain itu abon ikan akan
mengalami kerusakan karena perlakuan suhu tinggi (>650C) pada pengukusan
daging ikan berkaitan dengan tekstur terlalu lembek dan kadar air yang semakin
meningkat dari uap air yang diserap daging ikan. Proses pengukusan ikan tongkol
ada pada gambar 3 .

Gambar 3. Proses Pengukusan Ikan Tongkol (Dokumentasi Pribadi, 2017)


Menurut Williams (1979), perebusan merupakan proses pemasakan
dalam air mendidih sebagai media penghantar panas pada suhu 1000C, sedangkan
pengukusan merupakan proses pemasakan dengan medium uap air panas yang
dihasilkan oleh air mendidih. Hal tersebut menjadi dasar perbedaan perlakuan
pada daging ayam dan daging ikan, abon daging ikan akan rusak pada suhu
kisaran 650C sedangkan perebusan pasti menggunakan suhu 1000C, selain itu
tekstur daging ikan lebih lunak daripada daging ayam sehingga pematangan akan
berlangsung lebih cepat dan tidak diperlukan perebusan dengan suhu tinggi.
Selain itu menurut Aisyah dkk. (2014), proses pengukusan yang terlalu lama atau
dengan api yang terlalu besar dapat menyebabkan kualitas produk makanan kering
menjadi tidak renyah.
Setelah pengukusan dan perebusan selesai, daging ikan dipisahkan dari
durinya dan dilumatkan dengan penumbuk sedangkan daging ayam dipisahkan
dari tulangnya kemudian disuwir hingga menjadi suwiran daging ayam yang tipis
dan lembut. Pengecilan ukuran ini bertujuan untuk memperoleh tekstur abon yang
renyah, karena menurut Sardjono (1981), tekstur berupa serat yang halus
merupakan ciri khas abon sehingga dengan pengecilan ukuran luas permukaannya
akan semakin besar dan pemanasan akan semakin merata sehingga diperoleh
tekstur abon berupa serat halus yang renyah. Proses tersebut dapat ditunjukkan
pada gambar 4.

Gambar 4. Proses Pelepasan Daging Ikan dari Durinya (Dokumentasi


Pribadi, 2017)
Setelah pengecilan ukuran selesai dilakukan, selanjutnya bumbu-bumbu
yang telah disediakan ditumis dengan api kecil hingga harum. Bumbu-bumbu
yang dihasluskan tersebut diantaranya adalah bawang putih, bawang merah, daun
jeruk, jahe, dan gula jawa. Penggunaan rempah-rempah pada pembuatan abon
menurut Kusumayanti dkk. (2011), penambahan beberapa bumbu seperti umbi
lapis (bawang merah dan bawang putih) dan daun jeruk dapat menambah citarasa
sedap pada produk abon sedangkan jahe biasa digunakan untuk menghilangkan
bau amis dari daging sebagai bahan dasar pembuatan abon.
Salah satu upaya menghilangkan bau amis dari daging segar baik ikan
maupun ayam adalah dengan penambahan rempah-rempah, misalnya jahe
(Zingiber officinale) yang menurut Rahingtyas (2008) digunakan sebagai penguat
rasa dan aroma pada proses pembuatan bahan makanan karena mengandung
flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri. Rasa dominan pedas pada jahe disebabkan
oleh senyawa keton bernama zingeron. Zat aktif tersebut bermanfaat
menghilangkan bau amis terutama pada daging ikan laut. Selain itu dapat
digunakan bawang putih (Allium sativum) yang menurut Putro dkk. (2008),
memiliki aroma yang khas, dapat digunakan sebagai penyedap rasa, serta dapat
menghambat pertumbuhan bakteri maupun jamur akibat kandungan senyawa
allicin didalamnya sebagai senyawa antimikrobia.
Selain bawang putih juga digunakan bawang merah dalam pembuatan
abon ikan dan abon ayam ini. Menurut Manalu (2009), bawang merah (Allium
cepa) merupakan umbi lapis dari family Alliaceae yang mengandung senyawa
volatile sehingga memunculkan baud an citarasa khas, oleh karenanya bawang
merah sering digunakan sebagai bumbu terutama untuk makanan berbahan dasar
daging agar bau amis dari daging dapat diselimuti oleh aroma bawang merah.
Selain itu menurut Kurniawati (2010), bawang merah juga mengandung senyawa
aktif allisin yang bersifat bakterisida.
Bumbu lain yang digunakan adalah cabai merah yang juga berperan
dalam peningkatan cita rasa dari produk abon yang akan dihasilkan. Menurut
Manalu (2009), cabai merah (Capsicum annuum) merupakan buah anggota genus
Capsicum yang termasuk dalam suku Solanaceae yang sering digunakan sebagai
bumbu. Hal ini dikarenakan buah cabai merah yang pedas dapat dijadikan sebagai
penguat rasa makanan yang menimbulkan rasa pedas akibat adanya senyawa
kapsaisin serta memberi kehangatan jika digunakan sebagai rempah-rempah.
Selain itu menurut Sartika (1999), cabai juga menjadi penambah intensitas warna
dalam suatu masakan. Kandungan kapsaisin dalam cabai berfungsi sebagai
antioksidan dalam suatu bahan pangan, serta sebagai senyawa antimikrobia yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Selain beberapa rempah tersebut, juga digunakan gula merah yang
merupakan gula dari nira kelapa. Menurut Nengah (1990), gula merah kelapa
berwarna coklat kemerahan karena adanya reaksi pencoklatan atau browning
selama pengolahannya, baik melalui rekais Maillard maupun karamelisasi.
Menurut Rahmadianti (2012), tekstur gula merah berupa bongkahan berbentuk
setengah lingkaran maupun silinder berwarna coklat kemerahan. Gula merah
sering digunakan sebagai pemanis dalam masakan terutama masakan tradisional,
serta sebagai penguat citarasa dan intensitas warna produk makanan.
Pada pembuatan abon ini juga terdapat bumbu yang tidak dihaluskan,
yaitu batang serai dan daun jeruk. Menurut Armando (2009), serai yang
digunakan dalam makanan adalah Serai Dapur (Cymbopogon citratus) yang
cocok digunakan sebagai bumbu masak. Serai dapur sering dimanfaatkan
batangnya karena aromanya yang khas dapat dijadikan penguat citarasa makanan
dan jika dicampur dengan beberapa rempah-rempah lain akan memunculkan
karakteristik aroma harum dari makanan tersebut. Menurut Munawaroh dan
Handayani (2010), daun jeruk merupakan daun dari tanaman jeruk yang sering
digunakan sebagai bumbu karena dapat memunculkan aroma yang segar, sehingga
dapat membuat aroma produk makanan lebih harum. Bumbu yang telah
dihaluskan, santan, dan beberapa bumbu lain yang tidak perlu dihaluskan ada pada
gambar 5.

Gambar 5. Preparasi Bumbu Pada Pembuatan Abon Ikan dan Abon


Ayam (Dokumentasi Pribadi, 2017)
Bumbu-bumbu tersebut dilembutkan kemudian dilakukan penumisan
dengan api kecil, penghalusan bumbu sendiri bertujuan agar bumbu mudah
dicampurkan ke dalam daging selama proses penggorengan. Setelah penumisan
memunculkan aroma wangi kemudian ditambah dengan santan kelapa. Menurut
Cahyono dan Yuwono (2015), santan mempunyai rasa lemak dan digunakan
sebagai perasa yang menyedapkan masakan menjadi gurih.
Santan kelapa mengandung tiga nutrisi utama, yaitu lemak sebesar
88.30%, protein sebesar 6.10% dan karbohidrat sebesar 5.60%. Penambahan
santan kelapa akan menambah cita rasa gurih dan nilai gizi suatu produk abon
karena kandungan lemaknya yang tinggi. Abon yang dimasak dengan
menggunakan santan kelapa akan lebih gurih rasanya dibandingkan abon yang
dimasak tidak menggunakan santan kelapa.
Setelah semua bumbu tercampur rata, kemudian api dikecilkan supaya
bumbu yang dimasukkan tidak hangus, diikuti dengan penambahan daging ikan
tongkol atau ayam yang telah dihaluskan atau disuwir. Penambahan daging ke
dalam penggorengan langsung diikuti dengan penambahan minyak goreng hingga
daging terendam penuh oleh minyak, karena minyak goreng berfungsi sebagai
penghantar panas daging ikan tongkol dan daging ayam sehingga dengan
terendam penuh dalam minyak diharapkan panas merata di seluruh permukaan
daging. Penggorengan dilakukan dengan pengadukan secara terus menerus agar
tidak ada daging yang terlalu lama dekat dengan api dan hangus. Proses
penggorengan tersebut ada pada gambar 6.

Gambar 6. Proses Penggorengan Abon Ikan Tongkol (Dokumentasi


Pribadi, 2017)
Pada proses penggorengan abon ini, minyak goreng yang digunakan
harus berkualitas baik, yaitu belum tengik serta tidak ada endapan di dasar
kemasan minyak goreng. Hal ini dikarenakan menurut Fachruddin (1997), minyak
goreng menjadi faktor yang mempengaruhi umur simpan abon, sehingga salah
satu syaratnya adalah minyak yang digunakan harus memiliki titik asap tinggi.
Titik asap merupakan suhu pemanasan minyak sampai terbentuk senyawa yang
disebut akroelin, yang menimbulkan rasa garal pada tenggorokan.
Abon dikatakan sudah matang ketika telah terjadi perubahan warna
menjadi coklat, yaitu reaksi pencoklatan non-enzimatis yang disebut reaksi
Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi karena kandungan gugus gula dan protein
pada daging sehingga diperoleh produk akhir proses pengolahan abon berupa
seratan daging yang halus, kering, renyah, dan berwarna coklat muda, serta
memiliki rasa yang gurih. Menurut Labuza (1971), reaksi pencoklatan terjadi
dalam proses pengolahan beberapa produk makanan yang menghasilkan warna
coklat yang dikehendaki dalam beberapa pengolahan produk makanan sepertei
dalam pembuatan abon. Menurut de Man (1997), laju reaksi pencoklatan non
enzimatis akan berjalan lambat pada aktivitas air (aw) yang rendah dan akan
meningkat bersamaan dengan meningkatnya aw sampai titik maksimum kemudian
reaksi akan kembali melambat. Pengendalian reaksi pencoklatan ini dapat
dilakukan dengan pengendalian kandungan air dalam sistem penambahan bahan-
bahan lain dalam makanan.
Menurut Astawan dan Astawan (1988), adanya penambahan gula dapat
berperan sebagai humektan yang dapat menurunkan kadar air dan memberi rasa
pada produk olahan, karena menurut Winarno dan Rahayu (1994) humektan
mengontrol perubahan kelembaban antara produk dengan udara. Selain itu
menurut Winarno (2002), adanya peningkatan suhu dalam pembuatan abon
menyebabkan gula sukrosa pecah menjadi fruktosa dan glukosa yang akan
bereaksi dengan asam amino membentuk warna coklat pada abon.
Abon yang sudah matang kemudian ditiriskan dan dibungkus dalam kain
bersih, lalu dilakukan pengeringan dengan spinner. Menurut Maksindo (2013),
prinsip kerja mesin spinner sebagai mesin pengering minyak adalah mengurangi
kadar minyak dari produk setelah digoreng yang bekerja berdasarkan prinsip
putaran sentrifugal. Prinsip kerja dari tabung peniris adalah untuk meniriskan
minyak dengan menggunakan gaya sentrifugal yang akan mampu mengeluarkan
minyak dari bahan karena adanya gaya yang keluar dari pusat lingkaran.
Pengeringan dilakukan dengan mesin peniris minyak yang disebut rotary
spinner. Alat peniris minyak tipe sentrifugal ini bekerja berdasarkan prinsip
putaran sentrifugal. Setelah alat dipastikan dalam keadaan siap pakai, kripik hasil
penggorengan di masukkan ke dalam keranjang peniris. Tujuan pengeringan
dengan rotary spinner adalah mengurangi kadar air bahan sampai batas dimana
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau terhenti (Apriyantono dkk., 1989).
Terdapat tiga buah keranjang peniris yang berbentuk setengah lingkaran,
dimana bentuk dan dimensinya didesain agar bahan yang akan ditiriskan tidak
rusak dan penirisan dapat dilakukan secara optimal. Keranjang peniris dikaitkan
dengan poros 10 putaran, lalu keranjang peniris diputar dengan tenaga motor
listrik lalu minyak sisa penggorengan yang melekat pada produk pangan akan
terlempar keluar dan ditahan oleh wadah penahan minyak. Sisa minyak yang
tertahan di wadah penahan akan sendirinya ke bawah lalu akan keluar melalui
saluran pembuangan minyak. Proses pengeringan abon ikan dengan spinner ada
pada gambar 7, proses ini juga berlaku pada pengeringan abon ayam.

Gambar 7. Proses Pengeringan Abon Ikan (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Abon yang telah kering dan sudah bebas dari sisa minyak goreng
kemudian dimasukkan dalam tiga cup plastik secara merata selanjutnya dua cup
diantaranya di seal menggunakan mesin cup sealer, sehingga menghasilkan
produk abon seperti pada gambar 8. Menurut Winardi (2012), mesin cup sealer
merupakan mesin yang digunakan untuk pengemasan minuman pada cup plastik
dengan seal heater bersuhu 750C. Prinsip kerja mesin cup sealer adalah penutupan
gelas plastik dengan dipres oleh pemanas yang selanjutnya disebut sealer, yang
dilengkapi dengan heater untuk memanaskan plat penekan gelas dan memanaskan
pisau pemotong plastik lembaran, solenoid yang berfungsi menurunkan penekan
dan memotong tepat pada cup, serta temperature control untuk menjaga suhu agar
tetap pada pengaturan awal.

Gambar 8. Abon Ikan Tongkol dan Ayam yang Telah diseal untuk Pengamatan
Hari Pertama dan Ketiga (Dokumentasi Pribadi, 2017)

Penggunaan pengemasan dengan cup plastik dan mesin cup sealer ini
belum efektif untuk menjaga kualitas abon. Hal ini didasarkan pada teori menurut
Miskiyah dan Broto (2011), bahwa penggunaan kemasan cup plastik PP
merupakan kemasan terbaik pada produk olahan susu yang bersifat cair. Teori
tersebut menandakan bahwa seal pada plastic cup hanya bisa mencegah masuknya
debu kan kontaminan yang dapat merusak produk minuman namun tidak bisa
menjaga kestabilan kadar air pada bahan makanan kering.
Abon yang telah dimasukkan dalam kemasan kemudian diberi label yaitu
pengamatan hari ke-0, pertama, dan ketiga karena pengamatan organoleptik dan
pengukuran kada air abon dilakukan sebanyak 3 kali. Pengamatan yang dilakukan
berupa pengujian organoleptik dan pengukuran kadar air. Parameter uji
organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, dan jamur dari abon.
Menurut Sandjaja (2009), pengujian organoleptik biasanya dilakukan pada
bidang pangan. Uji organoleptik adalah pengujian kualitatif dengan menggunakan
indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap
produk. Metode ini disepakati sebagai metode pengujian yang praktis dalam
menentukan kecepatan dan ketepatan. Persiapan untuk melaksanakan uji
organoleptik adalah :
1. Prosedur dan metode pengujian telah ditentukan.
2. Kriteria pengujian telah ditetapkan.
3. Instruksi telah dimengerti untuk menjamin pengujian dilakukan sesuai dengan
spesifikasi bahan.
4. Sampel yang akan uji telah diketahui.
5. Persyaratan dan kaidah psikologis dalam pengujian telah dipahami.
Hasil pengujian organoleptik dan pengukuran kadar air pada abon ikan
tongkol dan abon ayam ada pada tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Organoleptik Abon Ikan dan Ayam
Hari Parameter Ikan Ayam
Ke-
0 Warna +++ +++++
Tekstur ++++ +++++
Bau ++++ ++++
Jamur + +
1 Warna +++ +++++
Tekstur +++ +++++
Bau +++++ +++++
Jamur + +
3 Warna +++ +++++
Tekstur + +++++
Bau +++++ +++++
Jamur + +
Keterangan :
Warna : + kuning muda Tekstur : + tidak renyah
++ kuning ++ sedikit renyah
+++ coklat muda +++ agak renyah
++++ coklat ++++ renyah
+++++ coklat tua +++++ sangat renyah
Bau : + Tidak bau ikan/ayam Jamur : + tidakada jamur
++ Sedikit bau ikan/ayam +++++ ada jamur
+++ Agak bau ikan/ayam
++++ Bau ikan/ayam
+++++ Sangat bau ikan/ayam
Hasil pengamatan dari tabel 4 tersebut didokumentasikan seperti pada
gambar 9 dan 10.
a b c
Gambar 9. Hasil pengamatan abon ayam pada Hari ke-0 (a), 1 (b), dan 3 (c)
(Dokumentasi Pribadi, 2017)

a b c
Gambar 10. Hasil pengamatan abon ikan tongkol pada Hari ke-0 (a), 1 (b), dan 3
(c) (Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017).

Berdasarkan tabel 4, hasil pengujian organoleptik pada hari ke-0


menunjukkan abon ikan berwarna coklat muda, berbau khas ikan, bertekstur
renyah, dan tidak berjamur; sedangkan abon ayam berwarna coklat tua, berbau
ayam, bertekstur sangat renyah, dan tidak berjamur. Pengamatan pada hari
pertama menunjukkan data bahwa abon ikan berwarna coklat muda, agak renyah,
dan aroma ikan semakin meningkat dari hari sebelumnya, serta tidak ditemukan
jamur; sedangkan abon ayam berwarna coklat tua, sangat renyah, aroma abon
sangat bau ayam, dan tidak ditemukan jamur. Hasil pengujian organoleptik pada
hari ketiga menunjukkan bahwa abon ikan berwarna coklat muda, tidak renyah,
namun aroma abon sangat bau ikan, serta tidak ditemukan jamur; sedangkan abon
ayam berwarna coklat tua, memiliki tekstur sangat renyah, aroma abon sangat bau
ayam serta tidak ditemukan jamur.
Tekstur abon dipengaruhi oleh luas permukaan daging yaitu semakin lebar
luas permukaan maka panas semakin merata dan konveksi panas pada seluruh
permukaan daging akan maksimal sehingga daging cepat matang. Pengecilan
ukuran yang dilakukan pada daging ikan lebih baik dibandingkan daging ayam
karena tekstur daging ikan setelah dikukus lebih lembut serta pengecilan ukuran
dilakukan dengan pengulekan, sehingga ukurannya lebih kecil dan teksturnya
lebih lembut. Penyuwiran ayam secara manual menyebabkan besarnya suwiran
daging ayam tidak merata, ada suwiran daging yang tebal da nada yang tipis yang
menyebabkan pemanasan menjadi tidak merata sehingga tekstur renyah pada abon
ayam juga tidak akan merata. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995),
berdasarkan SNI 01-3707-1995 mengenai tekstur abon, syarat mutu tekstur abon
adalah normal.
Menurut Mulyaningrum (2007), pada umumnya tekstur setiap makanan
memiliki ciri khas yang berbeda, seperti menurut Adawyah (2007) ikan laut yang
diolah menjadi abon memiliki tingkat kerenyahan tinggi dengan serat daging
lembut karena serat daging ikan lunak sehingga mudah dihancurkan dan
dilakukan penggorengan. Berbeda dengan daging ikan, menurut Purnomo (1992),
daging unggas mentah umumnya lebih kenyal dan serat proteinnya lebih panjang
sehingga daging ayam yang diolah untuk pembuatan abon akan memiliki tekstur
renyah namun membutuhkan waktu penggorengan lebih lama. Berdasarkan hasil
yang diperoleh pada tabel 4, diketahui bahwa tekstur abon telah sesuai dengan
standar mutu tekstur abon berdasarkan SNI 01-3707-1995 yaitu bertekstur normal,
berbeda dengan tekstur abon ikan yang mula-mula sesuai dengan standar mutu
tekstur abon namun kemudian mengalami penurunan kualitas. Maka dapat
dikatakan bahwa produk abon ayam telah memenuhi syarat mutu abon dari segi
tekstur, yaitu normal sesuai karakteristik abon yang renyah namun abon ikan
belum memenuhi standar mutu abon karena mengalami penurunan kualitas dari
segi tekstur.
Pada tekstur abon ikan terjadi penurunan kualitas tekstur, karena pada hari
ke-0 teksturnya renyah, kemudian pada hari pertama menjadi agak renyah, dan
pada hari ketiga abon ikan tidak lagi renyah. Menurut Lastiyanto (2006), faktor –
faktor yang mempengaruhi mutu akhir produk yang digoreng adalah kualitas
bahan yang digoreng, kualitas minyak goreng, jenis alat penggorengan dan sistem
kemasan produk akhir. Selama penyimpanan, produk yang digoreng dapat pula
mengalami kerusakan yaitu terjadinya ketengikan dan perubahan tekstur pada
produk. Berdasarkan teori tersebut diperoleh beberapa kemungkinan kualitas
tekstur yang kurang baik pada abon ikan, salah satunya adalah sistem kemasan
produk akhir yang kurang rapat ketika pengepresan seal karena panas yang
digunakan pada mesin cup sealer kurang panas (karena baru saja dinyalakan
kemudian langsung digunakan untuk pengepresan) atau dapat dikarenakan posisi
cup tidak tepat sehingga seal yang dilekatkan tidak dapat sepenuhnya menutupi
mulut cup dari udara luar.
Luas permukaan daging ikan lebih besar akibat pelunakan dengan ulekan
dan bukan penyuwiran sehingga daging ikan lebih lembut. Namun ketika sudah
menjadi abon, tekstur abon ayam justru lebih keras. Hal ini dapat dikarenakan
ketika pada awal penggorengan abon ayam api yang digunakan terlalu besar
sehingga permukaan suwiran daging ayam akan secara cepat mengering, dengan
begitu teksturnya menjadi lebih keras setelah matang dan proses pengeringan.
Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah penuangan minyak yang dilakukan
setelah daging digoreng, sehingga minyak yang merendam daging belum panas
dan menyebabkan daging ikan menjadi sangat basah karena direndam oleh
minyak goreng yang belum dipanaskan. Selain itu juga dapat dikarenakan
pengeringan abon ikan belum berlangsung secara tuntas sehingga masih ada
kandungan minyak didalamnya yang membuat tekstur akhir abon ikan tidak lebih
renyah daripada abon ayam.
Warna abon ikan pada hari ke-0, pertama, dan ketiga tidak mengalami
perubahan warna yaitu coklat muda; sedangkan warna abon ayam pada hari ke- 0,
pertama, dan ketiga juga tidak mengalami perubahan warna yaitu coklat tua.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995) berdasarkan SNI 01-3707-1995
mengenai warna abon, spesifikasi mutu warna abon yang baik adalah normal.
Menurut Winarno (1997), warna abon pada umumnya warna khas (normal) abon
adalah warna coklat terang hingga sedikit kegelapan yang disebabkan pada
pengolahan abon terjadi reaksi kecoklatan (non enzimatis browning) atau reaksi
kecoklatan bukan karena enzim.
Berdasarkan SNI 01-3707-1995 dan teori menurut Winarno (1997)
tersebut, dapat diketahui bahwa produk abon yang dihasilkan pada praktikum ini
telah sesuai dengan standar mutu warna abon yang ada. Kesesuaian tersebut dapat
meningkatkan daya penerimaan produk terhadap konsumen, berkaitan dengan
peningkatan kepercayaan konsumen terhadap produk abon. Terdapat perbedaan
warna dari abon ikan dan abon ayam, yaitu warna abon ikan cenderung lebih
terang dibandingkan abon ayam. Hal ini dikarenakan pada saat pembuatan abon
ayam, api yang digunakan terlalu besar sehingga pada mulanya warna coklat yang
dihasilkan belum dapat dikatakan abon ayam tersebut sudah matang, sehingga
penggorengan berlangsung lama dan akibatnya produk abon ayam menjadi
berwarna coklat kehitaman akibat suhu yang digunakan terlalu tinggi dan waktu
penggorengan terlalu lama. Hal tersebut sesuai dengan teori menurut Ketaren
(1986), bahwa tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu
penggorengan dan juga komposisi kimia pada permukaan luar bahan pangan
sedangkan jenis minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil.
Timbulnya warna coklat pada produk abon ikan dan abon ayam ini
disebabkan oleh reaksi browning atau reaksi Maillard. Pemanasan minyak selama
proses penggorengan dapat menghasilkan persenyawaan yang dapat menguap.
Menurut Ketaren (1986), komposisi persenyawaan yang dapat menguap terdiri
dari alkohol, ester, lakton, aldehida keton dan senyawa aromatik. Jumlah
persenyawaan yang dominan jumlahnya yakni aldehid termasuk di-enal yang
mempengaruhi bau khas hasil gorengan. Selain itu, sebagian besar minyak
tumbuhan memiliki kandungan pigmen karatenoid sehingga menghasilkan warna
yang menarik (kuning keemasan).
Berdasarkan tabel 4, diketahui bahwa dari pengujian organoleptik
mengenai warna abon diketahui bahwa aroma abon ikan pada hari ke-0 agak bau
ikan, pada hari pertama bau ikan, dan ketiga menjadi sangat bau ikan;sedangkan
aroma abon ayam pada hari ke-0 sedikit bau ayam, kemudian pada hari pertama
dan ketiga sangat bau ayam. Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995),
berdasarkan SNI 01-3707-1995 mengenai standar mutu aroma (bau) abon adalah
normal. Aroma abon ayam dan abon ikan yang dihasilkan telah sesuai dengan
karakteristik aroma bahan dasarnya masing-masing, yaitu abon ayam berbau khas
daging ayam dan abon ikan berbau khas daging ikan.
Intensitas ketajaman aroma abon berbeda dari hari hari ke- 0, pertama,
dan ketiga yaitu terjadi peningkatan ketajaman aroma daging itu sendiri seiring
dengan lamanya waktu penyimpanan abon. Hal ini menunjukkan bahwa pada hari
ke-0, yaitu setelah pemasakan abon, bau daging ikan maupun ayam tidak terlalu
menyengat karena aroma yang lebih ditonjolkan pasca penggorengan adalah
aroma dari rempah-rempah yang digunakan sehingga aroma rempah tersebut
menutupi bau khas daging mengingat bahwa rempah-rempah dapat
menghilangkan bau amis daging. Intensitas bau daging ayam maupun daging ikan
meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan abon, hal ini dikarenakan aroma
rempah-rempah tersebut bersifat volatile atau mudah menguap. Ketika aroma
rempah-rempah tersebut menguap, aroma daging asli akan muncul dan semakin
menonjol dikarenakan kondisi pengemasan yang tertutup dengan seal.
Peningkatan bau khas daging pada abon juga menunjukkan bahwa proses
pengawetan makanan dengan penggorengan tidak mengurangi aroma khas daging
tersebut.
Jamur merupakan mikroorganisme eukariot, saat ini diakui sebagai salah
satu diantara beberapa makhluk hidup yang memiliki daerah penyebaran paling
luas serta berlimpah di alam, terutama pada jenis kapang yang merupakan
kontaminan umum pada berbagai bahan pangan yang disimpan di tempat lembab.
Jamur dapat menghasilkan beberapa mikotoksin, salah satunya adalah aflatoksin
Aflatoksin adalah jenis toksin yang bersifat karsinogenik dan hepatotoksik.
Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit
dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah
(Mizana dkk., 2016).
Kerusakan karena jamur sering dijumpai tumbuh pada makanan setengah
kering, tumbuhnya seperti bulu atau rambut yang disebut mycella dan mempunyai
warna yang khas, misalnya bewarna hijau atau hitam (Winarno, 1984). Jamur
pada umumnya tumbuh pada makanan dengan pengemasan yang kurang baik,
atau pada makanan dengan kadar air tinggi yaitu lebih dari 7% (Rahmat, 2011).
Pada produk abon yang dihasilkan dari praktikum ini tidak ditemukan jamur baik
pada hari pengamatan ke-0, 1, dan 3 yang ditunjukkan dengan tidak adanya bulu
(mycella) berwarna hijau maupun hitam pada abon. Hal ini menunjukkan bahwa
pengemasan abon sudah baik dan penyimpanan yang dilakukan telah sesuai
prosedur penyimpanan abon.
Tidak ditemukannya jamur pada produk abon ikan maupun abon ayam
ini juga dikarenakan dikarenakan daging ikan tongkol dan daging ayam telah
diolah dengan cara digoreng sehingga terjadi penurunan kadar air yang cukup
drastis. Hal ini menyebabkan mikroorganisme tidak tumbuh karena kadar air
bebas yang ada tidak cukup bagi mikroorganisme untuk mengadakan
pertumbuhan. Selain itu, adanya penambahan berbagai macam bumbu seperti
cabai, bawang putih, dan serai yang mengandung zat antibakteri mendukung
terjadinya penghambatan pertumbuhan mikroorganisme pada abon ayam dan ikan
patin.
Selain pengujian organoleptik, juga dilakukan pengukuran kadar air
dengan menggunakan alat moisture balancing analysis. Kadar air dalam bahan
makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba
yang dinyatakan dengan aw yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw
minimum agar dapat tumbuh dengan baik, misalnya a w bakteri 0,90; aw khamir
0,80-0,90; dan aw kapang 0,60-0,70 (Winarno, 1997). Kadar air adalah perbedaan
antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Semakin lama
penyimpanan akan memungkinkan semakin banyak air yang masuk, hal ini juga
berpengaruh pada faktor pengemasan (Winarno, 1991).
Metode Moisture Balancing digunakan untuk semua bahan pangan
kecuali produk yang mengandung komponen senyawa volatile atau bahan yang
mudah menguap pada pemanasan 1000C (Marpaung dkk., 2011). Pengukuran
kadar air menggunakan moisture balancing merupakan pengukuran kadar air
secara tak langsung, prinsip kerjanya adalah melalui pemanasan dan penimbangan
yang melibatkan proses penguapan kandungan air pada produk di dalam moisture
balancing (Setyowati dan Nisa, 2014).
Cara pengukuran kadar air dengan Moisture Balancing yaitu alat
dihidupkan dan angka dibuat nol. Sampel ditimbang dan diletakkan dalam cawan
dan ditata agar tersebar rata. Alat ditutup dan ditunggu hingga selesai pengukuran.
serbuk dalam pinggan berlapis. Suhu 105°C hingga alat dengan sendirinya
berbunyi dan muncul angka % MC pada display, maka akan didapat persen susut
pengeringan (Agoes, 2012). Dalam 100 g daging ikan tongkol mengandung kadar
air sebesar 76% (Bawinto dkk., 2015), sedangkan dalam 100 g daging ayam
mengandung kadar air sebesar 55,9% (Wahyuni dkk., 2011).
Hasil pengukuran kadar air abon ikan dan abon ayam ada pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengukuran Kadar Air Abon Ikan dan Ayam
Hari Ke- Abon Ikan Abon Ayam
0 19,31% 3,83%
1 19,45% 5,46%
3 19,72% 5,47%

Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui bahwa kadar air abon meningkat


seiring bertambahnya masa penyimpanan, yaitu abon ikan dari hari ke-0, pertama,
dan ketiga secara berturut-turut adalah 19,31%, 19,45%, dan 19,72%. Menurut
Standar Nasional Indonesia (1995), berdasarkan SNI 01-3707-1995 syarat mutu
abon adalah mengandung kadar air maksimum 7%. Kadar air abon ikan tidak
memenuhi syarat mutu abon karena persentase kadar air pada abon ikan terlampau
tinggi dari batas maksimal yang ditentukan oleh SNI. Hal ini dapat dikarenakan
proses penggorengan daging ikan tongkol yang belum kering sempurna sehingga
masih ada kandungan air bebas yang belum teruapkan melalui proses
penggorengan.
Peningkatan kadar air abon ikan juga diduga karena proses sealing yang
dilakukan ketika abon ikan masih panas, sehingga terjadi penyerapan uap air oleh
abon karena sifat higroskopis dari abon ayam sendiri. Menurut Syarief dan Halid
(1993), tinggi rendahnya kadar air suatu bahan sangat ditentukan oleh air terikat
dan air bebas yang terdapat dalam bahan. Air terikat ini membutuhkan suhu yang
lebih tinggi untuk menguapkannya serta waktu yang lebih lama terutama bila
seluruh bahan terendam minyak goreng dengan api kecil, bila dibandingkan
dengan air bebas yang membutuhkan suhu yang relatif rendah untuk
menguapkannya. Teori tersebut menunjukkan bahwa tingginya kadar air pada
abon ikan dapat dikarenakan proses penggorengan yang kurang lama sehingga
kadar air dalam daging ikan belum teruapkan.
Kadar air yang tinggi pada abon ikan tersebut berpengaruh pada tekstur
abon ikan seperti pada tabel 4, yang dapat diketahui bahwa tekstur abon ikan
mula-mula renyah, agak renyah, dan menjadi tidak renyah pada hari ketiga.
Tekstur renyah di hari pertama tidak sesuai dengan jumlah kadar air yang ada
pada abon ikan yang tinggi yaitu 19,31%. Hal tersebut dapat dikarenakan
subjektivitas beberapa panelis yang melakukan uji organoleptik, karena abon ikan
baru saja matang sehingga tekstur renyah masih sangat terasa terutama abon ikan
baru melalui proses pengeringan. Hasil pengujian organoleptik tekstur abon ikan
semakin menurun yang sesuai dengan kenaikan kadar air abon ikan seiring waktu
penyimpanan abon ikan dalam sealed cup, sehingga dapat dikatakan bahwa abon
ikan mengalami penurunan kualitas.
Terjadinya penurunan kadar air pada abon ayam hingga hari ketiga masa
penyimpanan diduga karena proses pengukuran kadar air yang tidak tepat dimana
pengambilan sampel untuk pengukuran kadar air yang bersifat acak, dimana
sampel yang terambil untuk pengukuran kadar air adalah yang berbentuk
gumpalan yang mengandung kadar air lebih banyak daripada yang berbentuk serat
halus dan peletakkan sampel di cawan logam moisture balancing yang tidak
merata. Sementara itu, terjadinya peningkatan kadar air abon juga dikarenakan
proses sealing yang dilakukan ketika abon ikan masih panas, sehingga terjadi
penyerapan uap air oleh abon karena sifat higroskopis dari abon ikan sendiri.
Abon ayam juga mengalami peningkatan kadar air seiring dengan lamanya
waktu penyimpanan abon ayam, yaitu pada hari ke-0, pertama, dan ketiga secara
berturut-turut adalah 3,83%, 5,46%, dan5,47%. Kadar air pada abon ayam ini
menunjukkan kesesuaian dengan standar mutu abon berkaitan dengan kadar air
berdasarkan SNI 01-3707-1995 menurut Badan Standar Nasional (1995).
Peningkatan kadar air pada abon ayam dapat dikarenakan proses sealing cup
plastik yang kurang rekat sehingga masih ada udara dari luar yang bisa masuk
yang mennyebabkan terjadinya pengembunan sehingga kadar airnya meningkat.
Selain itu juga dikarenakan pengemasan abon ayam dilakukan sesaat
sesudah abon ayam matang, sehingga abon yang masih panas dikemas dengan
seal yang menyebabkan uap panas tidak bisa keluar dan lama-lama akan diserap
oleh abon ayam. Meningginya kadar air juga bisa dikarenakan proses pengukuran
dengan moisture balancing yang kurang akurat berkaitan dengan jumlah sampel
yang beratnya tidak sama yaitu ± 1 gram dan bentuk sampel abon yang tidak
seragam (ada yang berupa gumpalan dan suwiran tipis) yang dimasukkan ke
dalam alat. Hal itu dapat menyebabkan kerancuan hasil karena berat yang berbeda
tidak dapat menjadi variabel tetap dalam pengukuran kadar air, serta abon dalam
bentuk yang lebih tebal menyebabkan kadar air lebih tinggi dibanding abon tipis.
Umur simpan merupakan suatu parameter ketahanan produk selama
penyimpanan, yang dapat ditentukan dengan metode pendugaan umur simpan
secara konvensional. Peningkatan kadar air suatu produk mangan dapat
menyebabkan perubahan terhadap karakteristik produk terutama kerenyahan,
akibat terjadinya penyerapan uap air dari lingkungan selama penyimpanan.
Pengemasan yang baik akan dapat mempertahankan kerenyahan dan mutu produk
tersebut. Peningkatan kadar air dapat mempersingkat daya simpan suatu produk,
memperlebar potensi kontaminasi jamur pada produk pangan, serta menurunkan
kualitas produk pangan berkaitan dengan kerenyahan (Navarrete dkk., 2004).
Berdasarkan teori tersebut dapat diketahui bahwa kualitas abon ayam lebih
baik daripada abon ikan berkaitan dengan kadar airnya. Hal ini disebabkan abon
ikan mengandung kadar air yang tinggi, bahkan melewati standar maksimum
kadar air abon berdasarkan SNI 01-3707-1995. Tingginya kadar air pada abon
ikan menyebabkan penurunan kerenyahan berdasarkan hasil uji organoleptik pada
tabel 4, hasil tersebut sesuai dengan teori menurut Navarrete dkk. (2004). Selain
itu umur simpan abon ikan akan lebih pendek dibanding abon ayam, namun pada
praktikum ini belum terlihat adanya perbedaan umur simpan abon ikan dan abon
ayam karena hanya dilakukan pengamatan selama 3 hari.
Meskipun terjadi peningkatan kadar air, abon ikan maupun ayam tidak
ditumbuhi oleh jamur padahal menurut Rahmat (2011), jamur pada umumnya
tumbuh pada makanan dengan kadar air tinggi yaitu lebih dari 7%. Hal ini
dikarenakan pengamatan yang dilakukan hanya dalam waktu tiga hari setelah
pembuatan abon, sehingga kurun waktu pengamatan dinilai terlalu singkat untuk
rusaknya suatu produk makanan kering seperti abon untuk ditumbuhi
mikroorganisme jamur. Selain itu hasil pengamatan tidak-adanya jamur dengan
kadar air yang tinggi tersebut menunjukkan bahwa tingginya kadar air bukan
menjadi faktor utama tumbuhnya jamur terutama kapang, namun juga berkaitan
dengan kebersihan serta komponen-komponen senyawa rempah-rempah seperti
allicin dari bawang putih serta kapsaisin pada cabai merah yang berperan sebagai
senyawa antimikrobia. Abon yang dihasilkan juga bebas dari bakteri yang
menyebabkan kondisi kotor dan tumbuhnya jamur, karena pada pembuatan abon
digunakan garam sehingga hal ini membuktikan penelitian Sutanti (1989), bahwa
mikroorganisme pembusuk atau fungi dan juga pembentuk spora dapat dimatikan
dengan kadar garam rendah sekalipun (hingga 6%).
Kadar air abon ikan jauh lebih tinggi dibandingkan kadar air abon
ayam. Hal tersebut dikarenakan pada keadaan daging mentahnya, kadar air yang
ada pada 100 g ikan tongkol adalah 76% (Bawinto dkk., 2015), sedangkan dalam
100 g daging ayam mengandung kadar air sebesar 55,9% (Wahyuni dkk., 2011).
Kadar air yang tinggi pada daging ikan tongkol membuat ikan tongkol sulit
dikeringkan dan dipanaskan dibanding kadar air pada daging ayam. Selain itu
pada proses pembuatan abon ayam, api yang digunakan tidak konstan dan kurang
pemantauan sehingga api yang terlalu besar tersebut membuat abon ayam
memiliki tekstur renyah sebagaimana pada tabel 4 namun akibatnya warna abon
ayam menjadi coklat tua kehitaman akibat penggorengan terlalu lama dan api
terlalu besar.
Menurut Kartika dkk. (1988), kadar air tidak berpengaruh pada warna dan
aroma dari produk makanan kering. Teori tersebut sesuai dengan uji organoleptik
yang dilakukan berdasarkan data pada tabel 4, yaitu tidak ada perubahan warna
abon ayam maupun abon ikan baik pada hari ke-0, pertama, dan ketiga
pengamatan. Aroma abon semakin pekat seiring bertambahnya hari penyimpanan,
namun peningkatan intensitas aroma tersebut tidak dipengaruhi secara langsung
oleh meningkatnya kadar air abon melainkan karena hilangnya aroma volatile
rempah-rempah serta menguatnya aroma khas daging ikan tongkol dan daging
ayam yang digunakan.
V. KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa


salah satu cara mengawetkan ikan tongkol (Euthynnus sp.) dan ayam (Gallus
gallus domestica) adalah dengan penggorengan deep frying. Daging ikan tongkol
dilumuri jeruk nipis terlebih dahulu kemudian dilumuri dengan garam dapur,
dikukus, dan dihancurkan; sedangkan daging ayam direbus hingga matang lalu
disuwir tipis. Bumbu-bumbu meliputi jahe, cabai merah, gula merah, bawang
merah, dan bawang putih dihaluskan lalu ditumis bersama batang serai dan daun
jeruk hingga harum, kemudian santan dan minyak goreng dimasukkan. Daging
kemudian digoreng dalam minyak goreng hingga berwarna kecoklatan kemudian
diangkat dan ditiriskan dengan spinner, setelah aroma khas abon tercium dan
minyak sudah mulai berkurang masing-masing abon kemudian dikemas dalam 3
cup plastik dan di-seal. Kualitas abon yang dibuat dari daging ayam lebih baik
daripada kualitas abon yang dibuat dari daging ikan tongkol dari segi tekstur,
warna, aroma, dan jamur, namun hasil uji organoleptik pada abon ayam dan abon
ikan tongkol telah sesuai dengan standar mutu SNI 01-3707-1995 yaitu memiliki
warna, aroma, tekstur yang normal sesuai karakteristik abon.
Kadar air abon ayam pada hari ke-0, pertama, dan ketiga secara berturut-
turut adalah 19,31%, 19,45%, dan 19,72%, sedangkan kadar air abon ayam pada
hari ke-0, pertama, dan ketiga secara berturut-turut adalah 3,83%, 5,46%,
dan5,47%. Kadar air baik pada abon ayam maupun abon ikan tongkol mengalami
peningkatan seiring waktu penyimpanan abon. Berdasarkan standar mutu SNI 01-
3707-1995, kualitas abon ikan berdasarkan kadar airnya ternilai buruk karena
lebih dari 7% sedangkan kualitas abon ayam terbilang baik karena dibawah 7%.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta.


Agoes, G. 2012. Sediaan Farmasi Padat. ITB, Bandung.
Aisyah, Y., Rasdiansyah, dan Muhaimin. 2014. Pengaruh pemanasan terhadap
aktivitas antioksidan dan tekstur makanan. Jurnal Teknologi dan Industri
Pertanian Indonesia 6(2):28-32.
Aminin, A. L. N., Ambarsari, L., dan Mochtar, H. M. 2003. Produk reaksi
Maillard (MRP) sebagai antibakteri dan pengendali kadar dektran dalam
nira tebu. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi 3(4):3-5.
Apriyantono A, Hustiyani, E., dan Indrawaty. 1989. Comparison of flavor
characteristic of domestic chicken and broiler as affected by diffrent
processing methods. Food Science 32(5):119-128.
Armando, L. 2009. Microwave terhadap karakteristik fisik dan kimia minyak
kelapa sawit (Elaeis guineensis). Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(3):
151-160.
Astawan, B. dan Astawan, D. 1988. Perubahan Kimia Dan Lama Simpan Abon
Ikan Nila (Oreochromis sp.) Dalam Penyimpanan Dinamis Udara.
Universitas Lampung, Lampung.
Astawan, B. dan Astawan, D. 2006. Pengolahan ikan secara tradisional prospek
dan peluang pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3):12-18.
Auzi, P. 2008. Potensi tepung cacing sutera (Tubifex sp.) dan tepung tapioka
untuk substitusi pakan komersial ikan patin (Pangasius hypophtalmus).
Skripsi-S1. Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2003. Bahan Tambahan Pangan.
Direktorat SPKP, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3707-1995 (SNI Abon).
http://sisni.go.id. 23 Febuari 2017.
Bahar. 2004. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Penerbit Alfabeta,
Bandung.
Bartley, P. dan Jacobs, W. I. 2000. Principles of food dehydration. J.Food Protec.
45(5):475-478.
Bawinto, A. S., Mongi, E., dan Kaseger, B. E. 2015. Analisa kadar air, pH,
organoleptik, dan kapang pada produk ikan tuna (Thunnus sp.) asap di
Kelurahan Girian Bawah, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Media Teknologi
Hasil Perikanan 3(2):55-65.
Buckle, K.A.1987. Food science. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cabe, H. 2002. Mikrobiologi Pangan Jilid 1. UI-Press, Jakarta.
Cahyono Y.B. dan Yuwono, E.C. 2015. Kondisi desain kemasan produk makanan
kering pada industri kecil skala rumah tangga (Micro Industry) di
Kabupaten Kediri. Jurnal Desain Komunikasi Visual- Nirmana 11(2):93-
105.
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan Edisi Kedua. ITB, Bandung.
Departemen Kesehatan (DepKes). 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi
Orang Dewasa. Depkes, Jakarta.
Desrosier, J. W. 1988. Food Science Fifth edition. Aspen Publishers Inc.,
Maryland.
Fachruddin, P. 2007. Prinsip-Prinsip Penetapan dan Pendugaan Masa
Kadaluarsa Produk Pangan. Pustaka Karya, Bogor.
Fatmawati, F., Motharoh, S., dan Sara, Y. 2014. Teknik Olahan Pangan
Tradisional Abon Ikan. Universitas Brawijaya, Malang.
Fellows, Y. S. 2000. An Introduction to The Biology of Marine Life Fifth Edition.
Wm. C. Brown Publisher, London.
Hafiludin. 2011. Karakteristik proksimat dan kandungan senyawa kimia daging
putih dan daging merah ikan tongkol (Euthynnus affinis). Jurnal
Kelautan 4(1):1-10.
Hartanto, S. 1997. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty,
Yogyakarta.
Hasniyanti. 2011. Teknologi Hasil Perikanan. UNSRAT, Manado.
Hernani, K. dan Hayani, S. 2001. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Bogor.
Imdad, H. P. dan Nawangsih A. A. 1999. Menyimpan Bahan Pangan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kasih, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 2012. Pedoman Uji Indrawi Bahan
Pangan. IPB Press, Bogor.
Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI- Press,
Jakarta.
Kurniawati. 2010. Pengolahan Ikan secara tradisional prospek dan peluang
pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian 21(3):55-59.
Kusumayanti, H., Astuti, W., dan Broto, W. 2011. Inovasi Pembuatan Abon Ikan
Sebagai Salah Satu Teknologi Pengawetan Ikan. Gema Teknologi
16(3):119-121.
Labuza, T.P. 1971. Shelf Live Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc,
Westport.
Lastiyanto, P. R. 2006. Pertumbuhan dan intensitas off-odor itik Cihateup yang
diberi berbagai jenis lemak dalam pakan. Jurnal Budidaya Unggas II
Puslitbangnak 2(5):12-17.
Leksono, K. dan Syahrul. 2001. Aktifitas Air dan Peranannya Dalam
Pengemasan Pangan. UI-Press, Jakarta.
Mahadi. 2007. Fortifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Pada Snack Ekstrusi. Institut
Pertanian Bogor,
Maksindo, B. 2013. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Manalu. 2009. Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri. Aneka, Solo.
Markham, P. 1998. Laboratory Methods For Sensory Analysis of Food.
Department Agriculture, Canada.
Marpaung, C. A, Limonu, M., dan Ahmad, Y. S. 2011. Uji sifat fisik dan evaluasi
kecernaan biskuit berbasis rumput lapang dan limbah tanaman jagung.
Skripsi-S1. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Miskiyah, U. dan Broto, Y. 2011. Teknologi Penyimpanan Pangan. PAU
Rekayasa Proses Pangan, Bogor.
Mizana, D. K., Suharti, N., dan Amir, A. 2016. Identifikasi Pertumbuhan Jamur
Aspergillus sp. pada Roti Tawar yang Dijual di Kota Padang Berdasarkan
Suhu dan Lama Penyimpanan. Jurnal Kesehatan Andalas 5(2):355-350.
Mulyaningrum. 2007. Kerusakan Bahan Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Munawaroh dan Handayani. 2010. Pembentukan flavor daging ungags oleh proses
pemanasan dan oksidasi lipida. Wastazoa 24(3):109-118.
Navarrete N, Moraga G, Talens P, Chiratlt A. 2004. Water sorption the effect
plasticization in wafers. Journal Food Science and Technology 39 (7):
555-562 .
Nengah, P. 1990. Comparison of Ginger (Zingiber officinale roscoe) Oleoresin
Obtained with Ethanol and Isopropanol with that Obtained with
Pressurized CO2. Zeferino Vaz University, Campinas.
Nurcholis, F. 2014. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.
Perkins, E. dan Errickson, M. 1996. Deep Frying : Chemistry; Nutrition and
Practical Applications. AOCS Press, Illnois.
Prangdimurti, E., F. R., Zakaria, dan Palupi, N. S. 2007. Evaluasi Nilai Gizi
Biologis Pangan. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan. Fakultas
Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Purnomo, H.,1992. Dasar-dasar Pengolahan dan Pengawetan Daging. PT
Grasindo, Jakarta
Putro, D., Rusmayanti, R. S., dan Zulkaen, U. 2008. Aplikasi ekstrak bawang
putih untuk memperpanjang daya simpan ikan kembung segar
(Rastelliger kamagurta). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi kelautan
dan Perikanan 3(2):23-28.
Rahayu, K. 2002. Proses-Proses Mikrobiologi Pangan. Pusat antar Universitas
Pangan dan Gizi Perguruan Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta.
Rahingtyas. 2008. Pemanfaatan Jahe (Zingiber officinale) sebagai Tablet Isap
untuk Ibu Hamil dengan Gejala Mual dan Muntah. Skripsi S-1. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rahmadianti, E. 2012. Pengaruh Penambahan Keluwih (Artocarpus camasi)
Terhadap Kualitas Abon Udang Vanname (Litopenaeus vanname).
htpp://Student-research.umm.ac.id/index.php/dept_of_biology/ article/
view/ 2533. 20 Febuari 2017.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta, Jakarta.
Sandjaja. 2009. Kamus Gizi : Pelengkap Kesehatan Keluarga. PT. Kompas Media
Nusantara, Jakarta.
Sardjono. 1981. Pembuaran Dendeng dan Abon : Makalah Pendidikan dan
Pelatihan Tenaga Penyuluh Lapangan Spesialis Industri Kecil
Pengolahan Pangan. Direktorat Jenderal Industri Kecil Sektor
Pengolahan Pangan, Jakarta.
Sartika, T. D. 1999. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan dengan Menggunakan
Ekstraktor Vakum terhadap Crude Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus
striatus). Universitas Brawijaya, Jawa Timur.
Sarwono, B. 1986. Jeruk Nipis dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setyamidjaja, K. 1984. Budaya Visual Indonesia. Erlangga, Jakarta.
Setyowati, H. dan Nisa, W. 2014. Metode Penelitian Survay (18th ed.). Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
Sikorski, R. J. 1994. Structuralism in Literature: an Introduction. Yale University
Press, London.
Soekarto, C. 2002. Peranan desain kemasan dalam keamanan pangan. Jurnal
Desain Komunikasi Visual 2(2):92-103.
Sudaryanto, Hadipernata, M. R., Rachmat, dan Widaningrum. 2005. Pengaruh
suhu pengeringan pada teknologi Far Infrared (FIR) terhadap mutu
jamur merang kering (Volvariella volvociae). Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian 2 (1): 62-69.
Sudaryanto, Sumardono, A., Ahayuningtyas, T., Chatimah, N. H., dan Indriaty.
2005. Perjalanan Panjang Usaha Nyonya Meneer. PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Suhardjo. 1989. Metode Penelitian Indrawi. Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sulthoniyah, D. K., Suryaningrum, D. T., Wikanta, dan Kristiana, H. 2013. Uji
aktivitas antioksidan dari rumput laut Halymenia harveyana dan
Eucheuma cottonii. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan 1 (1): 51-63.
Sunardi, S. T. 2004. Semiotika Negativa. Buku Baik, Yogyakarta.
Supardi. 1999. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.
Supriyanto, E. V., Achyadi, N.S., dan Hidayanti, A. 2006. Pengaruh konsentrasi
bahan pengisi dan konsentrasi sukrosa terhadap karakteristik abon
ayam (Gallus gallus domesticus). http://www.unpas.ac.id. 23 Febuari
2017.
Surya, I. dan Mustakim. 1992. Mempelajari Pengaruh Perbandingan Daging
Ayam Petelur Afkir dengan Buah jambu Mete Terhadap Sifat Fisiko
Kimia dan Organoleptik Abon. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan 1 (1): 51-63.
Sutanti. 1989. Inovasi pembuatan abon ikan sebagai salah satu teknologi
pengawetan ikan. Gema Teknologi 16(3):1-3.
Syarief dan Halid. 1993. T eknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta.
Wahyuni, Roedjito, A., dan Arman, L. 2011. Kajian Penelitian Gizi. Mediyatama
Sarana Perkasa, Jakarta.
Williams, P. 1979. Principles of Nutrition Assesment Second Ed. Oxford
University, New York.
Wills, S. 1956. Instrumental Measurement of Stickness of Doughs and Other
Foods. Journal of Texture Stud. (30) : 123-136
Winardi, S. 2012. Automatic Cup Sealer Menggunakan Programmable Logic
Control.http://ejournal.narotama.ac.id/files/06_jurnal%20cup
%20sealer.pdf. 22 Februari 2017.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Winarno, F. G. 2002. Pangan (Gizi, Teknologi dan Konsumen). Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno, F.G. 1984. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Winarno, F.G. 1991. Pangan, Gizi, Teknologi, dan Konsumen. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G. dan Rahayu, S. L. 1994. Pangan, Gizi, dan Keamanan Pangan. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai