Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN

PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIKA SOEGIJAPRANATA
SEMARANG

BACON
Kelompok F1

ABSTRAK

Bacon merupakan produk olahan daging yang biasa berasal dari perut daging babi yang
sudah diberi beberapa perlakuan. Karena kandungan gizinya, bacon dapat mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti jamur, bakteri Staphylococcus
aureus, Clostridium botulinum, Listeria monocytogenes, Escherichia coli, dan
Salmonella. Bahkan dalam suatu penelitian ditemukan bahwa Leuconostoc
mesenteroides dapat menyebabkan tengik karena kandungan asam lemaknya yang
tinggi serta perubahan warna menjadi kehijauan dan berlendir yang berasal dari
fermentasi gula dan degradasi nitrogen pada bacon. Ketahanan mikroba terhadap
kondisi eksternal berbeda-beda antara satu jenis mikroba dengan jenis lainnya.
Identifikasi terhadap jenis mikroba yang merusak bahan pangan dapat dilakukan dengan
metode pewarnaan mikroskop sehingga dapat diketahui jenis mikroba perusak dan dapat
dilakukan tindakan pengontrolan dan penghilangan mikroba pada pangan dengan
menggunakan berbagai kombinasi metode sesuai dengan teknologi Hurdle.
Kata kunci: bacon, mikroorganisme, pengasapan, teknologi Hurdle

PENDAHULUAN hidup, protein memegang peranan yang


Status gizi merupakan salah satu aspek cukup penting. Menurut Dewi et al.
yang perlu diperhatikan guna (2016), protein hewani memiliki
meningkatkan kualitas hidup manusia. susunan asam amino yang paling sesuai
Status gizi yang baik dapat dicapai untuk kebutuhan manusia. Zat gizi
dengan mencukupi zat gizi sebagaimana kompleks pada daging dapat
yang telah ditetapkan dalam Peraturan menjadikan daging sebagai media
Menteri Kesehatan (PerMenKes) RI No. menguntungkan untuk pertumbuhan
75 Tahun 2013 tentang Angka mikroba karena kandungan air dan
Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi protein yang tinggi serta kondisi pH
Bangsa Indonesia (Dewi et al., 2016). yang netral (Antara & Ida, 2008). Salah
Zat gizi dalam bahan pangan dapat satu produk olahan daging babi ialah
berupa karbohidrat, protein, dan lemak. bacon. Bacon merupakan makanan
Dalam memenuhi kebutuhan makhluk olahan yang identik dengan bahan
utamanya yaitu daging babi. Meski potong sesuai keinginan. Potongan
demikian, dalam beberapa percobaan daging kemudian dipress dan dikemas
seperti yang dilakukan oleh Walters et dalam bungkus kemasannya.
al. (1992) dan Baumgart et al. (1980),
bahan utama bacon juga dapat diganti PEMBAHASAN
menggunakan daging turkey. Selain Pembuatan bacon dimulai dengan
dapat memperpanjang masa simpan perlakuan skinning dan trimming pada
produk daging, penambahan bahan hewan, yaitu menguliti dan memotong
pengawet, perlakuan pengasapan, dan kaki, lengan, pinggang, dan iga. Setelah
lainnya dapat mengubah nilai sensori pemotongan, bagian perut yang tersisa
dari produk dengan memberi warna dan diberi perlakuan pengawetan atau
aroma yang khas pada bacon. curing methods. Bahan yang umumnya
digunakan untuk mengawetkan adalah
METODE fosfat, sodium askorbat (erythrobate),
Dalam pembuatan bacon, beberapa sodium nitrit, gula, atau garam dengan
tahap utama untuk membuat bacon persentase penggunaan bahan adalah 0-
ialah skinning (bahan utama berupa 0,5% fosfat, ≤ 550 ppm erythrobate, 1%
daging akan dikuliti dan dihilangkan air, 1-2% garam, 0-2% gula, dan ≤ 120
bagian kaki, lengan, pinggang, dan ppm sodium nitrit (Kunert et al., 2012).
iganya), dilanjutkan dengan curing yang Selain untuk pengawetan, bahan-bahan
merupakan metode pengawetan dengan tersebut berfungsi untuk
menggunakan bahan kimia berupa mempertahankan warna dan menambah
fosfat, sodium askorbat (erythrobate), flavor pada daging. Penambahan fosfat
sodium nitrit, gula, dan garam. bertujuan untuk meningkatkan water
Kemudian dilakukan pencampuran holding capacity, askorbat untuk
bahan seperti air, gula, garam, dan mempercepat pembentukan warna pada
smoke flavoring pada daging secara daging dan mengurangi oksidasi lemak.
vakum. Setelah itu, daging akan Sodium nitrit hampir memiliki fungsi
diasapkan (smoking) pada rumah yang sama dengan askorbat, yaitu untuk
pengasapan, diikuti dengan pemasakan. membentuk warna dan stabilitas daging
Daging yang sudah diasapkan dan dan mengurangi oksidasi lemak yang
dimasak kemudian akan dipotong- menyebabkan daging menjadi ransid

2
(tengik). Penggunaan sodium nitrit (Kunert et al., 2012). Daging yang telah
(NaNO2) dengan dilarutkan ke dalam air tercampur dengan bahan kemudian
terlebih dahulu lalu dimasukkan ke digantung di tempat yang telah
dalam perut hewan sebelum disediakan. Setelah digantung, daging
penambahan gula dan garam. Larutan kemudian disimpan di lemari pendingin
ini juga dapat menghambat pada suhu -7℃ sampai -4℃.
pertumbuhan bakteri Clostridium Penyimpanan pada suhu ini bertujuan
botulinum (Lestari et al., 2011; Knipe, untuk mempercepat keringnya
2014). Penambahan bahan pengawet permukaan daging dan menghambat
dilakukan dengan cara disuntikkan ke pertumbuhan mikroorganisme karena
dalam perut hewan dalam bentuk pendinginan yang mendekati titik beku
larutan. Hal ini bertujuan supaya bahan akan menghambat tumbuhnya mikroba
pengawet yang disuntikkan ke perut patogen dan pembusuk.
hewan menjadi lebih merata. Cara ini Mikroorganisme patogen yang akan
biasa digunakan oleh industri pangan terhambat pertumbuhannya pada suhu
berskala besar (Young & White, 2008). yang rendah adalah Salmonella,
Pada industri skala kecil biasanya Staphylococcus, dan Clostridium
digunakan cara kering, yaitu dengan (Purnomo, 2012).
membalurkan bahan-bahan seperti Tahap selanjutnya adalah smoking atau
garam, gula, dan bahan lain ke perut pengasapan. Proses pengasapan bacon
hewan (Kunert et al., 2012). dilakukan di rumah pengasapan
Setelah perlakuan curing, langkah (smokehouse). Metode pengasapan
selanjutnya adalah pencampuran bahan digunakan untuk mengawetkan
seperti air, gula, garam, smoke flavoring makanan karena terdapat kandungan
pada daging. Pencampuran ini anti-mikroba dan senyawa antioksidan
dilakukan dengan menggunakan seperti aldehid, karboksil, dan fenol.
tumbler pada kondisi vakum. Fungsi Selain itu metode ini dapat memberikan
vakum pada proses ini ialah agar flavor dan aroma yang khas, serta
serabut otot pada perut hewan terbuka memberikan warna pada makanan.
sehingga larutan pengawet dapat Warna yang dihasilkan adalah warna
terserap dengan baik. Tumbler diatur coklat mengkilap pada permukaan
dengan kecepatan 10 rpm selama 2 jam bahan pangan (Purnomo, 2012).

3
Pengasapan merupakan proses menginaktivasi enzim pada sitoplasma
preservasi pangan yang memanfatkan dan membran sitoplasmik (Lingbeck et
kombinasi dari proses pengeringan dan al., 2014). Pembuatan asap cair yang
pemberian senyawa kimia dari hasil menggunakan kayu dari aspen, walnut
suatu pembakaran bahan bakar kayu hitam, oak putih, dan ceri akan
atau arang yang membentuk senyawa menghasilkan zat anti-mikroba untuk
asap (Prihanto, 2017). Pengasapan dapat mikroba jenis Staphylococcus aureus.
dilakukan dengan cara tradisional dan Asap cair memiliki kemampuan untuk
dengan asap cair. Penggunaan asap cair mengurangi bakteri patogen seperi
dilakukan dengan merendam produk Listeria monocytogenes, Escherichia
pada asap cair yang telah melewati coli, Staphylococcus, dan Salmonella
proses pirolisis dan destilasi. Metode pada pangan. Listeria monocytogenes
pengasapan ini dinilai lebih ramah merupakan bakteri yang dapat bertahan
lingkungan (Knipe, 2014). Faktor yang pada suhu yang rendah, konsentrasi
mempengaruhi flavor dan zat anti- garam yang tinggi, dan pada kondisi
mikroba pada asap cair adalah asam. Ini menyebabkan pertumbuhan
temperatur, kadar air, dan jenis kayu mikroba sulit untuk dikendalikan.
yang digunakan (Knipe, 2014). Penggunaan asap cair pada suatu bahan
Senyawa fenol yang terbentuk berperan pangan telah terbukti dapat menekan
untuk memberikan flavor asap pada pertumbuhan Listeria monocytogenes
pangan. Sedangkan senyawa karbonil (Lingbeck et al., 2014).
yang terbentuk memberikan aroma Tahap selanjutnya adalah pemasakan.
manis dan warna yang khas pada Alat yang digunakan untuk memasak
produk daging (Lingbeck et al., 2014). bacon dalam skala industri adalah
Peran fenol sebagai zat anti-mikroba microwave yang menggunakan sistem
dikarenakan fenol dapat mengganggu belt conveyor. Belt conveyor akan
membran sitoplasmik bakteri dan menahan irisan bacon untuk mencegah
menyebabkan kebocoran cairan tergulungnya bacon. Pemasakan tidak
intraseluler yang akan merusak sel ditujukan untuk mematangkan daging,
bakteri. Senyawa karbonil juga dapat melainkan untuk mencapai warna yang
menghambat pertumbuhan mikroba sesuai atau diinginkan pada permukaan
dengan cara menembus dinding sel dan bacon. Setelah pemasakan, bacon

4
didiamkan pada suhu 5℃ sampai lemak ketengikan. Sedangkan karbon dioksida
dapat ter-set dengan baik (Knipe, 2014). memiliki kemampuan untuk mencegah
Bacon yang sudah dimasak dan telah aktivitas bakteri dan jamur. Namun
didiamkan kemudian akan dipotong dan pada konsentrasi berlebih, gas-gas ini
dipress. Namun sebelumnya, suhu justru dapat merusak produk (Pulungan
bacon diatur dahulu antara -5,5℃ et al., 2018).
sampai -3,3℃ agar didapatkan Kandungan nutrisi yang tinggi pada
potongan bacon yang baik dan seragam. daging dapat memicu terjadinya
Bacon yang sudah siap akan dipress pertumbuhan mikroba patogen
membentuk persegi panjang (Knipe, penyebab kerusakan makanan. Seperti
2014). daging pada umumnya, daging babi
Tahap yang terakhir adalah pemotongan yang tidak diolah dengan baik atau tidak
dan pengemasan bacon. Pemotongan dimasak hingga matang sempurna dapat
bacon biasanya akan menghasilkan 22- mengandung mikroba patogen, seperti
24 potongan per 10 kg bacon. Bacon Salmonella, Staphylococcus aureus,
yang belum matang akan dikemas Toxoplasmosis gondii, Campylobacter,
dengan menerapkan metode Modified Yersinia enterocolitica, Clostridium
Atmosphere Packaging (MAP) (Knipe, botulinum, Listeria monocytogenes, dan
2014). MAP efektif untuk lain sebagainya (USDA, 2011). Proses
meningkatkan umur simpan produk pengawetan dan pengasapan pada
pangan segar karena dapat mengubah bacon dilakukan dengan tujuan untuk
komposisi gas sehingga dapat mencegah pertumbuhan mikroba
memperlambat laju kerusakan yang patogen sehingga dapat memperpanjang
disebabkan oleh mikroorganisme dan umur simpan produk (Nursyam, 2011,
mempertahankan warna daging segar. Bawole et al., 2017). Reaksi
Kemasan pangan mengandung gas pengasapan menghasilkan senyawa
oksigen, nitrogen, dan karbon dioksida. kimia yang bertindak sebagai
Oksigen memiliki kemampuan untuk bakteriostatik, bakteriosidal, dan dapat
mencegah kerusakan oleh mikroba menghambat oksidasi lemak (Jahidin,
anaerob, nitrogen berfungsi untuk 2014; Kristinsson et al., 2008; Suradi &
mencegah oksidasi, pertumbuhan jamur, Lilis, 2008). Selain itu, senyawa kimia
kerusakan pada kemasan, dan tersebut akan menempel pada daging

5
dan memberikan efek preservatif Energi yang diperoleh oleh mikroba
sehingga dapat menekan jumlah total anaerob berasal dari proses perombakan
koloni mikroba pada bahan pangan. senyawa organik tanpa O2 yang disebut
Namun, selama dan setelah proses fermentasi. Mikroba anaerob sendiri
pengolahannya, kontaminasi mikroba dapat dibedakan menjadi mikroba
patogen pada bahan pangan masih dapat anaerob obligat yang hanya dapat hidup
terjadi (Wulandari, 2014). Berdasarkan jika tidak ada O2 dan mikroba anaerob
penelitian yang dilakukan oleh Kadariya fakultatif yang dapat hidup dengan
et al. (2014); Syne et al. (2013); dan maupun tanpa adanya O2 (Komala et al.,
Lee et al. (2018), mikroorganisme 2012; Ngatirah, 2017).
utama yang paling sering ditemui pada Staphylococcus aureus adalah bakteri
bacon, antara lain Staphylococcus gram positif berbentuk kokus, tidak
aureus, Clostridium botulinum, dan berspora, bersifat katalase positif, dan
Listeria monocytogenes. oksidase negatif (Hau, 2019). Bakteri S.
Ketiga mikroorganisme tersebut aureus tergolong bakteri yang bersifat
merupakan mikroorganisme yang aerob-anaerob fakultatif, yaitu bakteri
biasanya terkandung pada bahan pangan yang dapat hidup dengan menggunakan
yang mentah (raw foods) atau makanan O2 dalam respirasi aerobik dan juga
yang tidak matang sempurna dapat bertahan hidup tanpa adanya O2
(undercooked foods) karena pada melalui proses fermentasi atau respirasi
umumnya daging segar atau mentah anaerobik (Karimela et al., 2017; Hau,
memiliki pH yang ideal bagi 2019). Sehingga bakteri S. aureus akan
pertumbuhan mikroba (5,4 – 5,9) tetap tumbuh dan jumlahnya akan
(Suradi & Lilis, 2008). Menurut semakin meningkat baik pada kemasan
Ngatirah (2017), mikroorganisme pada vakum maupun non-vakum seiring
bahan pangan dapat dikelompokkan dengan berjalannya waktu
menjadi dua berdasarkan kebutuhan penyimpanan. Bakteri S. aureus dapat
oksigen, yaitu mikroba aerob dan tumbuh dengan optimum pada suhu
mikroba anaerob. Mikroba aerob 35℃ – 37℃, namun pertumbuhannya
memerlukan O2 untuk pertumbuhannya, akan lebih cepat pada suhu 27℃ –
sedangkan mikroba anaerob tidak 35℃. Berbagai perubahan pada
memerlukan O2 untuk pertumbuhannya. mikroba akan tampak pada suhu

6
tersebut dan kemudian akan digunakan oleh food handler, seperti
menyebabkan meningkatnya jumlah talenan, pisau, dan lain-lain (Nurlaela,
bakteri S. aureus dalam bahan pangan 2011). Menurut Hau (2019),
(Hau, 2019). pencegahan lainnya dapat dilakukan
Terkontaminasinya bacon oleh bakteri dengan menyimpan bacon dalam
S. aureus dapat disebabkan oleh refrigerator (5℃ – 7,5℃). Suhu
rendahnya sanitasi pada saat proses tersebut merupakan suhu yang tepat
pengolahan, seperti pada proses digunakan dalam penghambatan reaksi
pemotongan (slaughtering), metabolisme bakteri S. aureus karena
evisceration/pengeluaran jeroan, air bebas yang terdapat dalam sel
distribusi, proses pengasapan, maupun cenderung membentuk kristal, sehingga
saat pengemasan yang tidak higienis sel akan mengalami dehidrasi.
(Hau, 2019). Hal ini disetujui oleh Portocarrero et al. (2002) dalam Jahidin
Karimela et al. (2017), bahwa (2014) setuju dengan pernyataan
kontaminasi bakteri S. aureus juga tersebut, kadar air dalam bahan pangan
sangat dipengaruhi oleh hygiene memegang peran penting dalam
penangan bahan pangan (food handler). menghambat tumbuhnya dan
Hal ini dikarenakan food handler dapat berkembangnya S. aureus. Nilai
menjadi sumber dan fasilitator dari aktivitas air (Aw) yang rendah dapat
cross-contamination (Nurlaela, 2011). mengendalikan pertumbuhan dan
Penelitian yang dilakukan oleh Lues et produksi toksin dari bakteri S. aureus
al. (2006) menunjukkan bahwa para yang dapat memicu timbulnya food
food handler dapat menyebabkan intoxication (keracunan makanan).
timbulnya bakteri Staphylococcus Tidak hanya menghambat pertumbuhan
aureus, Salmonella, dan Escherichia mikroba, pendinginan juga dapat
coli. Bakteri S. aureus merupakan meningkatkan viskositas sel, hilangnya
mikroflora yang biasa ditemukan pada gas-gas sitoplasma sel seperti O2 dan
permukaan tubuh manusia, seperti CO2 yang dapat menganggu pernafasan
permukaan kulit, hidung, rambut, mulut, sel, dan mendenaturasi protein di dalam
dan tenggorokan (Nurjanah, 2006). sel (Hau, 2019).
Disamping itu, cross-contamination Bakteri S. aureus dapat menyebabkan
juga dapat berasal dari peralatan yang terjadinya food intoxication (keracunan

7
makanan) karena S. aureus mampu pertumbuhan bakteri ini, namun bakteri
memproduksi enterotoksin yang dikenal ini tetap dapat tumbuh dan berkembang
sebagai Staphylococcal enterotoxins selama proses pendinginan pada rantai
(Ses). Enterotoksin merupakan racun pengolahan pangan serta membentuk
yang dapat menimbulkan gastroenteritis biofilm baik pada permukaan peralatan
atau radang pada lapisan saluran usus maupun pada lingkungan pengolahan.
(Amanati, 2014). Enterotoksin memiliki L. monocytogenes merupakan mikroba
sifat tahan terhadap suhu tinggi patogen bawaan makanan yang dapat
sehingga tidak dapat dihancurkan menyebabkan listeriosis. Menurut Dewi
melalui proses pemanasan. Dewi et al. et al. (2016), terkontaminasinya bahan
(2016) menambahkan bahwa selain pangan oleh bakteri ini diakibatkan
enterotoksin, bakteri S. aureus juga terjadinya cross-contamination selama
menghasilkan Toxic Shock Syndrome proses pengolahan bahan pangan. SNI
Toxin (TSST-1). Dosis intoksikasi S. 7388: 2009 tentang Batas Maksimum
aureus adalah 106-107 CFU/gram Cemaran Mikroba dalam pangan
pangan. Sedangkan batas maksimum menetapkan bahwa batas maksimum
cemaran mikroba S. aureus dalam cemaran L. monocytogenes pada produk
bahan pangan asal hewan ialah sekitar 1 olahan daging yaitu sebesar negatif/25
x 102 CFU/gram (Badan Standar gram (Badan Standar Nasional, 2009).
Nasional, 2000). Oleh karena itu, keberadaan L.
Sama halnya dengan Staphylococcus monocytogenes pada bahan pangan
aureus, Listeria monocytogenes dalam jumlah yang sangat kecil dapat
diklasifikasikan sebagai bakteri gram membahayakan kesehatan manusia yang
positif, tidak menghasilkan spora, dan mengonsumsinya.
bersifat aerob-anaerob fakultatif Clostridium botulinum merupakan salah
(Bintsis, 2017). Suhu optimum satu contoh bakteri anaerob obligat
pertumbuhan bakteri ini bekisar 30℃ – yang dapat hidup tanpa O2 dan akan
37℃. Suhu diatas 5℃ bersifat letal bagi mati jika terdapat O2. C. botulinum
bakteri L. monocytogenes. Menurut adalah bakteri gram positif,
Andriani et al. (2016), suhu rendah menghasilkan spora, dan mempunyai
(<0℃) atau proses pembekuan dinding sel yang sebagian besar
(freezing) dapat menghambat tersusun oleh peptidoglikan (murein)

8
yang bersifat kaku dan berperan untuk botulinum. Penelitian yang dilakukan
menjaga integritas sel serta menentukan oleh Lee et al. (2018) menunjukkan
bentuk sel. C. botulinum tergolong bahwa semakin tinggi konsentrasi nitrit
bakteri yang bersifat mesofilik dengan maka kemampuan menghambat
kisaran suhu optimum pertumbuhan pertumbuhan dan perkembangan L.
yaitu 20℃ – 45℃. Kontaminasi dapat monocytogenes dan C. Botulinum juga
terjadi selama proses pengolahan akan meningkat. Hal ini juga didukung
makanan, tetapi yang paling sering pernyataan Syne et al. (2013) bahwa
adalah pada saat proses pemotongan nitrit dapat menghambat pertumbuhan
(slaughtering) (Suardana, 2001). mikroba patogen melalui pembentukan
Bakteri C. botulinum menghasilkan asam nitrat dan NO. Tetapi, nitrit yang
neurotoksin yang dapat menyerang ditambahkan selama pengolahan harus
sistem susunan saraf pada manusia sesuai dengan standar yang telah
dengan gejala berupa gastrointestinal ditetapkan oleh PerMenKes RI No.
dan neuroparalitik, yaitu kelumpuhan 1168/MenKes/Per/X/1999 tentang
pada bagian tubuh tertentu akibat Bahan Tambahan Makanan, yaitu
susunan saraf yang terganggu (Yuswita, sebesar 125 mg/kg. Konsumsi nitrit
2014). Meski memiliki daya toksisitas yang berlebihan dapat menimbulkan
yang sangat kuat, toksin ini sering efek secara langsung maupun tidak
digunakan pada bidang neurologis dan langsung, seperti keracunan dan
dermatologis (Hertiana, 2017). memicu pertumbuhan sel kanker (Nur
Keamanan bahan pangan dari bakteri L. & Dyah, 2012). Suardana (2001)
monocytogenes dan C. botulinum dapat menambahkan bahwa penghambatan
dilakukan dengan memperhatikan pertumbuhan bakteri C. botulinum juga
proses pengolahannya dengan baik. dapat dilakukan dengan memperhatikan
Proses pengawetan (curing) dan suhu penyimpanan, yaitu berkisar 6℃ –
pengasapan (smoking) pada bacon 10℃.
cukup efektif untuk menurunkan jumlah Dalam proses pengolahan pangan,
bakteri tersebut. Penambahan nitrit pada berbagai cara dilakukan untuk
proses pengawetan (curing) dapat menghindari terjadinya kerusakan pada
menghambat dan mengendalikan produk. Namun keragaman jenis
pertumbuhan L. monocytogenes dan C. mikroba yang berpotensi merusak

9
produk makanan sangatlah beragam, memungkinkan untuk dapat mengamati
sehingga perlu dilakukan identifikasi spora dari mikroba (Rukmana, 2013).
terhadap jenis mikroba yang merusak Metode identifikasi terhadap mikroba
makanan untuk menghindari dan pada makanan selain menggunakan
mengatasi kerusakan yang disebabkan pewarnaan mikroskop, dapat juga
oleh mikroba tersebut. Salah satu cara dilakukan dengan pengujian lain yang
untuk mengidentifikasi jenis dan dapat mengindikasikan keberadaan
keberadaan mikroorganisme pada mikroba, seperti uji Indol, uji Sitrat, uji
produk pangan ialah dengan Voges-Proskauer, uji gas, dan lain-lain
menggunakan pewarnaan mikroskop. (Rahayu & Hidayat, 2017).
Tujuan dari metode ini ialah untuk Sifat daging yang mudah rusak
mengamati sel mikroba yang terdapat mendorong diciptakannya berbagai
pada makanan, pewarnaan pada metode preservasi produk pangan.
mikroba yang diamati akan Berbagai cara pengawetan tradisional
memudahkan pengamatan di bawah yang biasa dilakukan, misalnya
mikroskop. Zat-zat pewarna yang biasa penggaraman (salting), pemanasan
digunakan umumnya memiliki sifat (heating), pengasapan (smoking), dan
alkalin karena beberapa bakteri lain-lain. Namun seiring
memiliki sifat basofilik (suka akan berkembangnya teknologi, penggunaan
kondisi basa) pada sitoplasma. Faktor satu jenis metode pengawetan dinilai
yang mempengaruhi pewarnaan bakteri, tidak terlau efektif lagi untuk
antara lain peluntur warna, fiksasi, mempertahankan mutu dan kualitas
substrat, penggunaan zat warna tertutup, bahan pangan yang akan diawetkan
dan intensifikasi pewarnaan. Prinsip dalam kurun waktu yang relatif lama.
utama pewarnaan mikroskop ialah Oleh karena itu, diperlukan penggunaan
terdapatnya ikatan ion antara komponen teknologi pengawetan kombinasi yang
seluler dari bakteri dengan senyawa dikenal dengan hurdle technology.
aktif pada pewarnaan yang disebut Hurdle technology merupakan teknik
kromogen. pengawetan pangan yang efektif
Selain dapat menentukan jenis mikroba (effective preservation of food) dengan
pada makanan, teknik pewarnaan juga mengkombinasi beberapa metode
pengawetan yang mempunyai efek

10
sinergis sehingga dapat memperbaiki Meski demikian, pengaplikasian
stabilitas produk serta meningkatkan teknologi hurdle harus diimbangi
mutu dan kualitas pangan (Ratnasari et dengan penerapan HACCP (Hazard
al. 2014; Pundhir & Nida, 2015). Analysis and Critical Control Points)
Sorensen (2000) menambahkan bahwa dan predictive microbiology karena
penerapan hurdle technology ini juga penggunaan bahan dengan intensitas,
dapat sekaligus memperbaiki flavor dari konsentrasi, dan cara yang tidak sesuai
produk pangan (multitarget akan menghasilkan dampak yang tidak
preservation). Faktor penting dalam diinginkan (Leistner, 1995). Konsep
teknologi hurdle adalah asiditas (pH), hurdle diterapkan saat mendesain dan
aktivitas air yang rendah (Aw), potensial mengembangkan produk, HACCP
redoks yang rendah (Eh), perlakuan sebagai pengendali proses yang
suhu (tinggi selama pengolahan dan menjamin keamanan pangan, dan
rendah selama penyimpanan), bahan predictive microbiology diterapkan
pengawet, dan mikroorganisme untuk memperbaiki proses atau
kompetitif (Pundhir & Nida, 2015). mengevaluasi keamanan pangan.
Bahan yang biasa digunakan untuk
pengawetan produk daging, antara lain KESIMPULAN
fosfat, sodium askorbat atau  Bacon adalah produk olahan daging
erythrobate, sodium nitrit, gula, dan babi yang melalui beberapa proses
garam (Kunert et al., 2012). Dalam pengolahan utama, yaitu pengawetan
proses pengolahan bacon, proses (curing) dan pengasapan (smoking)
pengawetan yang dilakukan oleh Kunert guna mencegah pertumbuhan
et al. (2012) meliputi proses curing, mikroba patogen dan
smoking, dan heating. Dalam hal ini, memperpanjang umur simpan
dapat dikatakan bahwa proses produk.
pengawetan bacon telah menerapkan  Fosfat, askorbat, sodium nitrit, gula,
hurdle technology. Sehingga produk atau garam ialah bahan yang dapat
yang dihasilkan memiliki mutu dan digunakan sebagai bahan pengawet
kualitas baik juga optimal dalam segi pembuatan bacon.
daya tahannya.  Reaksi pengasapan menghasilkan
senyawa kimia seperti aldehid,

11
karboksil, dan fenol yang berperan metode lainnya seperti: uji Indol, uji
sebagai bakteriostatik dan Sitrat, uji Voges-Proskauer, dan lain-
bakteriosidal. lain.
 Mikroorganisme dalam bahan  Teknologi hurdle merupakan tenik
pangan dapat dikelompokkan pengawetan dengan kombinasi
menjadi dua berdasarkan kebutuhan beberapa metode yang mempunyai
oksigen, yaitu mikroba aerob dan efek sinergis.
mikroba anaerob, yang dapat dibagi  Pembuatan bacon juga menggunakan
lagi menjadi mikroba anaerob obligat prinsip hurdle, karena proses
dan mikroba anaerob fakultatif. pengawetannya terdiri dari proses
 Mikroorganisme yang paling populer curing, smoking, dan heating.
ditemui pada bacon, antara lain
Staphylococcus aureus, Clostridium
SARAN
botulinum, dan Listeria
Terkontaminasinya bahan pangan tidak
monocytogenes.
hanya disebabkan oleh mikroorganisme
 Bakteri S. aureus dan L.
saja, cemaran juga dapat dikarenakan
monocytogenes tergolong bakteri
rendahnya sanitasi selama proses
yang bersifat aerob-anaerob
produksi. Misalnya proses pengolahan,
fakultatif, yaitu bakteri yang dapat
bahan baku, penangan makanan (food
hidup dengan menggunakan O2
handler), maupun ruang produksi yang
dalam respirasi aerobik dan juga
tidak higienis. Karena segala sesuatu
dapat bertahan hidup tanpa adanya
yang kontak dengan daging secara
O2 melalui proses fermentasi atau
langsung maupun tidak langsung dapat
respirasi anaerobik.
menjadi sumber kontaminan. Maka dari
 Bakteri Clostridium botulinum
itu, diperlukan penanganan yang baik
merupakan bakteri yang bersifat
mulai dari peternakan hingga sampai ke
anaerob obligat, yaitu bakteri yang
tangan konsumen yang biasa dikenal
dapat hidup tanpa O2 dan akan mati
dengan safe from farm to table
jika terdapat O2.
concepts. Salah satu tahap utama yang
 Identifikasi mikroorganisme perusak perlu diperhatikan dalam mata rantai
dapat dilakukan dengan metode penyediaan daging ialah tahap di
pewarnaan mikroskop dan beberapa Rumah Pemotongan Hewan (RPH).

12
RPH merupakan tahap krusial dalam Listeria monocytogenes Pada
menentukan kualitas dan keamanan Susu Kambing di Kabupaten
daging yang dihasilkan. Penerapan Purworejo Jawa Tengah, Jurnal
product safety pada RPH juga ditujukan Sain Veteriner, 34(1): 16-23.
untuk menjamin perlindungan Antara, N.S. dan Ida B.D.U.D. (2008).
konsumen dan menjaga kesehatan Tingkat Cemaran Bakteri
manusia dan lingkungan. Disamping itu, Coliform, Salmonella sp., Dan
pencegahan pertumbuhan mikroba pada Staphylococcus aureus Pada
bacon dapat dilakukan secara aseptis Daging Babi, AGROTEKNO,
dari proses pengolahan hingga proses 14(2): 51-55.
pengemasan dan memperhatikan Badan Standar Nasional. (2000). SNI
kebersihan ruang produksi, peralatan, 01-6366-2000. Batas Maksimum
serta higiene penangan makanan (food Cemaran Mikroba dan Batas
handler). Maksimum Residu Dalam Bahan
Makanan Asal Hewan. Jakarta:
Semarang, 15 April 2020 Dewan Standarisasi Indonesia.
Kelompok F1 Badan Standar Nasional. (2009). SNI
7388:2009. Batas Maksimum
Marcella Valentina (18.I1.0015) Cemaran Mikroba dalam Pangan.
Sheila Ratna M. (18.I1.0141) Jakarta: Dewan Standarisasi
Nisa Sari Anindita (18.I1.0159) Indonesia.
Kezia Ivana (18.I1.0173) Baumgart, P. J., Verstrate, J. A., dan
Spencer, J. V. (1980). Manufacture
DAFTAR PUSTAKA and Evaluation Of A Fabricated
Amanati, L. (2014). Uji Bakteri Turkey Bacon, Poultry Science,
Staphylococcus aureus Dan 59(8), 1783–1787.
Bacillus cereus Pada Produk Mi Bawole, C.S.F., Feny M., dan Henny D.
Instan Yang Beredar Di Pasaran, (2017). Penerapan Pengasapan
Berita Litbang Industri, 3(2): 73- Cair Pada Pengolahan Abon Roa
80. (Hemirhamphus sp.) Dan Pampis
Andriani, M.D., Trioso P., Retno D., Cakalang (Katsuwonus pelamis
dan Syafril D. (2016). Identifikasi L.) Dan Mutu Mikrobiologis

13
Produk Yang Dikemas Modified in Public Health, BioMed
Atmospheric Packaging (MAP), Research International, 1-9.
Jurnal Media Teknologi Hasil Karimela, E.J., Frans G.I., Henry A.D.
Perikanan, 5(1): 102-106. (2017). Karakteristik
Bintsis, T. (2017). Foodborne Staphylococcus aureus Yang Di
Pathogens, AIMS Microbiology, Isolasi Dari Ikan Asap Pinekuhe
3(3): 529-563. Hasil Olahan Tradisional
Dewi, E.S., El Latifa S., Fawwarahly, Kabupaten Sangihe, JPHPI,
dan R. Kautsar. (2016). Kualitas 20(1): 188-198.
Mikrobiologis Daging Unggas di Knipe, C.L. (2014). Bacon Production.
RPA dan yang Beredar di Columbus. Elsevier Ltd.
Pasaran, Jurnal Ilmu Produksi Komala, P.S., Denny H., dan Detia D.
dan Teknologi Hasil Peternakan, (2012). Identifikasi Mikroba
4(3): 379-385. Anaerob Dominan Pada
Hau, E.E.R. (2019). Pengaruh Kemasan Pengolahan Limbah Cair Pabrik
Serta Kondisi Dan Lama Karet Dengan Sistem Multi Soil
Penyimpanan Terhadap Layering (MSL), Jurnal Teknik
Pertumbuhan Staphylococcus Lingkungan UNAND, 9(1): 74-88.
aureus Pada Daging Sei Babi, Kristinsson, H.G., Crynen S., dan Yagiz
Jurnal Kajian Veteriner, 120-131. Y. (2008). Effect of Filtered
Hertiana, E. (2017). Toksin Botulinum, Wood Smoke Treatment
JITEKGI, 13(1): 1-3. Compared to Various Gas
Jahidin, J.P. (2014). Aspek Treatments on Aerobic Bacteria in
Mikrobiologi Dendeng Asap Yellowfin Tuna Steaks, LWT-
Dengan Daging yang Berbeda Food Science and Technology,
pada Pengasapan Tempurung 41:963-976.
Kelapa, Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Kunert, G.F., Wobschall, S.C., Bungum
Peternakan, 17(1): 39-43. J.A., dan Huston L.G. (2012).
Kadariya, J., Tara C.S. dan Dipendra T. United States Patent Method of
(2014). Staphylococcus aureus Making Bacon Pieces.
and Staphylococcal Food-Borne Lee, S., Heeyoung L., Sejeong K.,
Disease: An Ongoing Challenge Jeeyeon L., Jimyeong H., Yukyun

14
C., Hyemin O., Kyoung-Hee C., Practices In Street Food Vending,
dam Yohan Y. (2018). Int. J. Environ Health Res., 16(5):
Microbiological Safety Of 319-328.
Processed Meat Products Ngatirah. (2017). Mikrobiologi Umum.
Formulated With Low Nitrite Yogyakarta: Instiper Yogyakarta.
Concentration — A Review, Nur, H. dan Dyah S. (2012). Analisis
Asian-Australasian Journal of Kandungan Nitrit Dalam Sosis
Animal Sciences (AJAS), 31(8): Pada Distributor Sosis Di Kota
1073-1077. Yogyakarta Tahun 2011,
Leistner, L. (1995). Principles And KESMAS, 6(1): 1-12.
Applications Of Hurdle Nurjanah, S. (2006). Kajian Sumber
Technology: New Methods Of Cemaran Mikrobiologis Pangan
Food Preservation. London: Pada Beberapa Rumah Makan Di
Balckie Academic dan Lingkar Kampus IPB Darmaga,
Profesional. Bogor, Jurnal Ilmu Pertanian
Lestari, P., Sabikis, dan Utami, P. I. Indonesia, 11(3): 18-24.
(2011). Analisis Natrium Nitrit Nurlaela, E. (2011). Keamanan Pangan
Secara Spektrofotometri Visibel Dan Perilaku Penjamah Makanan
Dalam Daging Burger Yang Di Instalasi Gizi Rumah Sakit,
Beredar Di Swalayan Purwokerto Media Gizi Masyarakat
Pudji, PHARMACY, 8(3): 88-98. Indonesia, 1(1): 1-7.
Lingbeck, J. M., Cordero, P., Bryan, C. Nursyam. (2011). Pengolahan Sosis
A. O., Johnson, M. G., Ricke, S. Fermentasi Ikan Tuna (Thunnus
C., dan Crandall, P. G. (2014). sp.) Menggunakan Kultur Starter
Functionality Of Liquid Smoke Lactobacillus plantarum
As An All-Natural Antimicrobial Terhadap Nilai pH, Total Asam,
In Food Preservation, MESC, N-Total, Dan Naminom Jurnal
97(2): 197–206. Ilmiah Perikanan dan Kelautan,
Lues, J.F., Rasephei M.R., Venter P., 3(2): 221-228.
dan Theron M.M. (2006). Prihanto, A.A. (2017). Reaksi Fisiko
Assessing Food Safety And Kimia Produk Perikanan
Associated Food Handling Tradisional. Malang: UB.Press

15
Pulungan, H.M, Dewi, I.A, Rahmah, Sorensen, L.B. (2000). Discription of
L.N, Perdani, C.G, Wardina, K., Hurdles. Denmark: Food Control
dan Pujiana, D. (2018). Teknologi Laboratory, Danish Veterinary
Pengemasan dan Penyimpanan. Service.
Malang: UB. Press. Suardana, I.W. (2001). Botulismus pada
Pundhir, A. dan Nida M. (2015). Hurdle Manusia, Jurnal Vateriner, 2(1):
Technology-An Approach 28-36.
towards Food Preservation, Suradi, K. dan Lilis S. (2008). Pengaruh
International Journal of Current Temperatur dengan Lama
Microbiology and Applied Pengasapan Terhadap Keasaman
Sciences, 4(7): 802-809. dan Total Bakteri Daging Ayam
Purnomo. H. (2012). Teknologi Broiler, Jurnal llmu Ternak, 8(1):
Pengolahan dan Pengawetan 83-86.
Daging. Malang: UB Press. Syne, S.M., Adash R., dan Abiodun
Rahayu, S.A. dan Muh. Hidayat G. A.A. (2013). Microbiological
(2017). Uji Cemaran Air Minum Hazard Analysis Of Ready-To-Eat
Masyarakat Sekitar Margahayu Meats Processed At A Food Plant
Raya Bandung Dengan In Trinidad, West Indies,
Identifikasi Bakteri Escherichia Infection Ecoogy and
coli, IJPST, 4(2): 50-56. Epidermiology, 3:1-12.
Ratnasari, Z., Ace B., dan Agus S. USDA Food Safety and Inspection
(2014). Penggunaan Garam, Service (FSIS). (2011). Bacon
Sukrosa, Dan Asam Sitrat and Food Safety.
Konsentras I Rendah Untuk Walters, B. S., Lourigans, M. M.,
Mempertahankan Mutu Fillet Ikan Racek, S. R., Schwartz, J. A., dan
Gabus (Channa striata) Yang Maurer, A. J. (1992). The
Disimpan Pada Suhu 4℃, Fabrication of Turkey Bacon,
Fishtech, 3(1): 8-14. Poultry Science, 71(2), 383–387.
Rukmana. (2013). Teknik Pewarnaan Wulandari, B. (2014). Hubungan Antara
Mikroorganisme. Universitas Praktik Higiene Dengan
Tadulako: Fakultas Matematika Keberadaan Bakteri Pada Ikan
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Asap Di Sentra Pengasapan Ikan

16
Bandarharjo Kota Semarang
Tahun 2013, Unnes Journal of
Public Health, 3(2): 1-10.
Young, B dan White, L. (2008). Bacon
Techlonogy Journal. The
National. Provisioner
Yuswita, E. (2014). Optimasi Proses
Termal untuk Membunuh
Clostridium botulinum, Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan, 3(3):
5-6.

17
LAMPIRAN

Jurnal

18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Anda mungkin juga menyukai