Anda di halaman 1dari 107

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN

TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU


TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN

Oleh
RATIH DWI SETYAWARDHANI
F34103126

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN
TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU
TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RATIH DWI SETYAWARDHANI
F34103126

2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN


TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU
TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RATIH DWI SETYAWARDHANI
F34103126

Lahir di Jakarta, 13 Agustus 1985


Tanggal Lulus : Mei 2008
Bogor, Mei 2008
Menyetujui:

Dr. Ir. Krisnani Setyowati Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi


Pembimbing I Pembimbing II
Ratih Dwi Setyawardhani F34103126. Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume
Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama
Penyimpanan. Di bawah bimbingan Krisnani Setyowati dan Mulyorini
Rahayuningsih. 2008.

RINGKASAN

Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang diproduksi oleh
industri skala rumah tangga secara tradisional. Pada umumnya pembuatan tape
ketan menggunakan kemasan tradisional (besek) dan kemasan plastik yang
berbahan dasar sama antara wadah dengan tutupnya, yaitu PP. Jenis kemasan yang
digunakan berhubungan dengan mudah tidaknya gas masuk ke dalam kemasan.
Jumlah gas yang terkandung dalam kemasan dapat mempengaruhi proses
fermentasi. Semakin banyak gas maka semakin cepat proses fermentasi.
Tape ketan biasa dibuat dalam jumlah banyak, sehingga tidak langsung
habis sekali konsumsi dan perlu disimpan. Namun, tape ketan yang disimpan
masih mengalami fermentasi dan jika terjadi secara terus-menerus akan
menyebabkan perubahan tape ketan menjadi alkohol dan asam. Hal ini tentu saja
mempengaruhi mutunya. Oleh sebab itu tape ketan biasa disimpan dalam lemari
pendingin. Suhu dingin menyebabkan laju fermentasi berlangsung lambat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kemasan dan volume
ketan yang berbeda terhadap fermentasi tape ketan hitam (Oryza sativa glutinosa)
serta mengkaji pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan mutu yang terjadi
pada penyimpanan dingin.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama yaitu penelitian
pendahuluan yang bertujuan melihat pengaruh jenis kemasan dan volume ketan
yang berbeda terhadap fermentasi pada proses pembuatan tape ketan. Kemasan
yang digunakan terdiri dari tiga kemasan, yaitu kemasan I, kemasan II dan
kemasan III. Volume yang diujikan pada tape ketan adalah 90%, 75% dan 60%.
Tape ketan tersebut difermentasi pada suhu ruang selama 2-3 hari dan dilakukan
analisis proksimat, analisis kimia dan uji organoleptik setiap 6 jam sekali. Analisis
proksimat meliputi : kadar air, abu, protein, serat dan lemak yang dilakukan pada
ketan mentah, ketan kukus dan tape ketan untuk mengetahui perubahan
kandungan gizi yang terdapat di dalamnya. Analisis kimia meliputi : kadar gula,
total asam dan pH. Sedangkan uji organoleptik meliputi : tekstur, rasa dan aroma.
Tahap kedua adalah penyimpanan tape ketan pada lemari pendingin
(chiller). Tape ketan dibuat pada kemasan dan volume ketan yang terbaik
berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yaitu kemasan I dengan volume 90%.
Tape ketan kemudian difermentasi selama 2-3 hari dan setelah jadi disimpan
dalam lemari pendingin (chiller) pada kemasan I, kemasan III dan kemasan IV.
Analisis proksimat dan uji kadar alkohol dilakukan sebelum dan setelah
penyimpanan dalam lemari pendingin (chiller). Sedangkan pengamatan terhadap
kadar gula, total asam, pH dan organoleptik dilakukan setiap hari selama dua
minggu untuk mengetahui penurunan mutunya.
Karakteristik dari bahan pengemas tape ketan yaitu: kemasan I merupakan
kemasan yang terbuat dari anyaman bambu atau yang dikenal dengan nama
“besek”. Kemasan ini diberi alas daun pisang yang diketahui dapat membantu
dalam proses peragian (fermentasi) dan memberikan aroma tertentu. Kemasan II
merupakan kemasan plastik berbentuk lingkaran yang memiliki bahan dasar
berbeda antara wadah dan tutupnya. Wadahnya berbahan dasar PP dan tutup
berbahan dasar PE sehingga memiliki kemampuan yang berbeda untuk menahan
gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Sedangkan kemasan III
merupakan kemasan plastik yang memiliki bahan dasar sama antara wadah dan
tutup yaitu berbahan dasar PP. Kemasan IV memiliki bahan dasar yang sama
seperti kemasan II, tetapi perbedaan hanya pada bentuknya. Perbedaan bahan
dasar pada wadah dan tutup kemasan mempengaruhi banyak sedikitnya gas dan
uap air yang terdapat dalam kemasan sehingga dapat mempengaruhi kualitas tape
ketan dan mempengaruhi nilai laju transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR) yang
dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai laju transmisi yang terkecil adalah
kemasan IV (4,25; 17,26; 99,86 cm3/hari). Sehingga kemasan IV diduga
merupakan kemasan yang dapat mempertahankan kualitas mutu tape ketan.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, tape ketan yang terbaik dibuat pada
kemasan I dan volume 90%. Hal ini dilihat dari uji organoleptik, terutama rasa
yang menunjukkan kenaikan tingkat kemanisan dan dari kadar gula maksimum
yang dihasilkan yaitu 35,3 obrix.
Dari hasil analisis proksimat didapatkan bahwa kemasan IV dapat
mempertahankan penurunan komposisi kimia tape ketan. Hal ini dilihat dari kadar
air yang mengalami peningkatan namun tidak terlalu besar. Kadar alkohol tape
ketan yang disimpan pada kemasan III dan IV tidak mengalami perubahan selama
penyimpanan, sedangkan tape ketan yang disimpan pada kemasan I menurun.
Selama penyimpanan, tape ketan mengalami peningkatan kadar gula. Hal
ini dikarenakan fermentasi masih terjadi dan mengubah karbohidrat menjadi gula.
Kemasan yang menunjukkan slope peningkatan kadar gula terbesar adalah
kemasan IV (1,4085). Kemasan IV memiliki ketebalan yang relatif tinggi
sehingga mempengaruhi kandungan O2 yang terdapat dalam kemasan, fermentasi
menjadi lebih lambat. Nilai total asam selama penyimpanan semakin meningkat.
Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar alkohol dan lama fermentasi.
Tape ketan yang disimpan dalam kemasan III memiliki slope terkecil (1,1951).
Kemasan III memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air terutama oksigen
yang rendah menyebabkan mikroorganisme aerobik sulit tumbuh, sehingga
jumlah karbohidrat yang dipecah menjadi asam menjadi berkurang. Nilai pH yang
semakin menurun selama penyimpanan berkorelasi dengan nilai total asam yang
semakin meningkat. Nilai slope penurunan pH pada kemasan I lebih kecil
dibandingkan kemasan III dan IV.
Hasil uji organoleptik, baik rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum
terhadap tape ketan selama penyimpanan menunjukkan panelis lebih menyukai
tape ketan yang disimpan pada kemasan IV.
Tape ketan yang terbaik dibuat pada kemasan I dan volume 90%.
Berdasarkan analisa perubahan mutu tape ketan, yaitu kadar gula, total asam, pH,
kadar alkohol dan uji organoleptik didapatkan hasil bahwa tape ketan lebih baik
disimpan pada kemasan IV.
Ratih Dwi Setyawardhani F34103126. The Effect of Package Type and
Glutinous Rice Volume on Fermentation and The Quality Alteration of Black
Glutinous Rice During Storage. Supervised by Krisnani Setyowati and Mulyorini
Rahayuningsih. 2008.

SUMMARY

Tapai is one of the fermentation product that is traditionally produced in


home scale industry. Generally the production of glutinous rice tapai uses
traditional package (besek) and plastic package that have same material between
its base and cover, which is PP. Package type that is used relate with gas
penetration into the package. Volume of the gas that stay on the package is able to
affect the fermentation process. More gas makes faster fermentation process.
Glutinous rice tapai is usually made in lot quantities, so it can not be eaten
up straightaway and need to be stored. However, stored glutinous rice tapai is still
fermenting and if keep going continuously could convert it into alcohol and acid.
That’s of course affecting the tapai quality. That’s why glutinous tapai ussualy
stored in a chiller. Cold temperature causes fermentation rate become slower.
This research was aimed to find out the effect of different package type and
glutinous rice volume to the black glutinous rice (Oryza sativa glutinosa)
fermentation and also studied the effect of package type to the quality alteration
that was happened during cold storage.
The research was done in two steps, first step was pre-research that was
aimed to observe the effect of different package type and glutinous rice volume
for fermentation in glutinous rice tapai making process. The use package were
consisted of three packages, that were package I, package II and package III. The
observed volume on glutinous rice tapai were 90%, 75% and 60%. Those
glutinous rice tapai were fermented in room temperature for 2-3 days and done
proximate analysis, chemical analysis and sensory analysis test once every 6
hours. Proximate analysis were consisted of: water content, ash, protein, fiber and
lipid that were done on raw glutinous rice, steamed glutinous rice and glutinous
rice tapai to observe the nutrition alteration in it. The chemical analysis were
consisted of: sugar content, total acid and pH. While the sensory analysis test
were consisted of : texture, taste and aroma.
The second step was the storage of glutinous rice tapai in chiller. Glutinous
rice tapai was made in the best package and the best volume glutinous rice based
on the pre-research result which was package I with 90% volume. The glutinous
rice tapai was then fermented for 2-3 days and the product was stored in chiller in
package I, package III, and package IV. The proximate analysis and alcohol
content analysis were done before and after the storing in chiller. While the
analysis of sugar content, total acid, pH and sensory analysis test were done
everyday for two weeks to observe its quality decrease.
Glutinous rice tapai package characteristic were: package I was a package
that was made of bamboo plait or used to know as “besek”. This package was
given banana leaf base that was known could help in fermentation process and
gave certain aroma. Package II was a rounded plastic container that had different
material between its base and cover. The base was PP and its cover was PE so it
had different ability to resist gas and water vapor that enter the package. While the
package III was a package that had same material between its base and cover
which was PP. Package IV had the same material with package II, but the
difference was its shape. The material difference between package base and cover
affected the amount of gas and water vapor in the package so it could affect
glutinous rice tapai quality and affect transmission rate value (O2TR, CO2TR, and
WVTR) that produced. Based on calculation result, the smallest transmission rate
value was package IV (4,25; 17,26; 99,86 cms3/day). So package IV presumed as
the package that able to maintain the glutinous rice tapai quality.
Based on pre-research, the best glutinous rice tapai made in package I and
90% volume. This could be observed from sensory analysis test, especially taste
that showed the increasing of sweetness rate and from maximum sugar content
that was produced which is 35,3 obrix.
From the proximate analysis result wasobtained that package IV could
maintain the decrease of glutinous rice tapai chemical composition. This could be
observed from the water vapor that was increased but not too high. The glutinous
rice tapai alcohol content that packed in packages III and IV did not have
alteration during storage, while the glutinous rice tapai that was packed in package
I decreased.
During the storage, glutinous rice tapai had the increasing of sugar content.
This is because the fermentation was still happening and converted carbohydrate
into sugar. Package that showed the biggest sugar content increasing slope was
package IV (1,4085). Package IV had relatively high thickness so it was affecting
O2 content in the package, fermentation became slower. Total acid value during
storing was getting increased. The increase of total acid related with alcohol
content and the duration of fermentation. Glutinous rice tapai that packed in
package III had smallest slope (1,195). Package III had the ability to absorb gas
and vapor especially low oxygen caused aerobic microorganism difficult to grow,
so the amount of carbohydrate that were broken into acid was decreased. The
decreased pH value during storing correlated with the increased total acid value.
The pH decreasing slope value in package I was less than package III and IV.
Sensory analysis test result, either taste, aroma, texture and general
acceptance for glutinous rice tapai during storing showed that the panelist
preferred the glutinous rice tapai that packed in package IV.
The best glutinous rice tapai was made in package I with 90% volume.
Based on the result of glutinous rice tapai quality alteration analysis, which were
sugar content, total acid, pH, alcohol content and sensory analysis test obtained
that glutinous rice tapai was better packed in package IV.
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul


” Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta
Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama Penyimpanan” merupakan karya
asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang
dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Mei 2008

Ratih Dwi Setyawardhani


F34103126
BIODATA PENULIS

Penulis yang mempunyai nama lengkap Ratih Dwi


Setyawardhani dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus
1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
pasangan Sampoernowati (Almh) dan Abdul Manan.
Penulis memulai pendidikannya di TK Tunas Harapan
Jakarta pada tahun 1989, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar
di SDN 17 Pagi Jakarta pada tahun 1991. Setelah itu penulis menempuh
pendidikan menengah di SLTPN 216 Jakarta pada tahun 1997 dan penulis
melanjutkan ke SMUN 77 Jakarta pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis
diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui seleksi
penerimaan mahasiswa baru (SPMB).
Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan pada bulan Juli-Agustus
tahun 2006 di PT Ultrajaya Milk Industry And Trading Company, Bandung
dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Produksi Dan Pengemasan Susu Uht
Rasa Coklat di PT Ultrajaya Milk Industry And Trading Company, Bandung”.
Pada tahun 2007 sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di
laboratorium Departemen Industri Pertanian Bogor dengan judul “Pengaruh Jenis
Kemasan Dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Ketan
Hitam Selama Penyimpanan”.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan
rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Skripsi
ini berjudul “Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi
Serta Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama Penyimpanan”, yang merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Industri Pertanian di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran
serta berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Krisnani Setyowati selaku Dosen pembimbing pertama yang telah
memberikan bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis selama studi
hingga menyelesaikan skripsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian.
2. Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. selaku Dosen pembimbing kedua
yang telah memberikan bimbingan, saran membantu dan pengarahan kepada
penulis selama penelitian hingga menyelesaikan skripsi di Departemen
Teknologi Industri Pertanian.
3. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku Dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini.
4. Ibu Ir. Indah Yuliasih, M.Si., Bapak Drs. Purwoko, M.Si., dan Bapak Ir.
Sugiarto, M.Si. atas arahan dan bantuan yang diberikan selama penelitian.
5. PT. Tupperware Indonesia atas dana yang telah diberikan dalam pelaksanaan
penelitian.
6. Bapak, Ibu, kakak, dan seluruh keluarga penulis atas do’a, kasih sayang,
semangat dan motivasi kepada penulis.
7. Ibu Sri, Ibu Ega, Pak Sugiardi, Pak Edi, Ibu Rini, dan Pak Gunawan atas
bantuan yang diberikan selama penelitian.
8. Tim Tupperware yang kompak (Purwati, Farah, Umi, Nurul, Helmi, Hendrick,
Agung, Adith, Sendy, Renata, dan Derry) atas segala bantuan,kerja sama dan
dukungannya.
9. Dewi Ratih Pujihastuti rekan satu bimbingan atas diskusi dan motivasinya.
10. Seluruh teman-teman di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan
40 dan Wisma Padasuka yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
kebersamaan, persaudaraan, bantuan dan motivasinya.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangannya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkannya.

Bogor, Mei 2008

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
BIODATA PENULIS ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN ................................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4
A. BERAS KETAN .................................................................................... 4
B. RAGI TAPE ........................................................................................... 5
C. PEMBUATAN TAPE KETAN.............................................................. 8
D. PLASTIK POLIETILEN ....................................................................... 12
E. PLASTIK POLIPROPILEN................................................................... 13
F. KEMASAN TRADISIONAL................................................................. 14
G. PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH ......................................... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 18
A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 18
B. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18
1. Karakteristik Kemasan ...................................................................... 18
2. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 20
3. Penelitian Utama ............................................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 25
A. KARAKTERISTIK KEMASAN .......................................................... 25
B. PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN PADA
FERMENTASI TAPE........................................................................... 28
1. Kadar Gula ........................................................................................ 29
2. Total Asam Tertitrasi ........................................................................ 32
3. Derajat Keasaman (pH)..................................................................... 36
4. Analisis Proksimat ............................................................................ 39
C. PENURUNAN MUTU TAPE KETAN SELAMA PENYIMPANAN 42
1. Sifat Kimia ........................................................................................ 46
a. Kadar Gula ................................................................................... 46
b. Total Asam Tertitrasi ................................................................... 47
c. Derajat Keasaman (pH)................................................................ 49
d. Kadar Alkohol.............................................................................. 52
2. Analisis Organoleptik....................................................................... 53
a. Rasa .............................................................................................. 54
b. Aroma........................................................................................... 56
c. Tekstur.......................................................................................... 58
d. Penerimaan Umum....................................................................... 60
3. Aplikasi Dan Manfaat Penyimpanan ............................................... 61
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 63
A. KESIMPULAN ...................................................................................... 63
B. SARAN .................................................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65
LAMPIRAN..................................................................................................... 69
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia beras ketan hitam dan beras ketan putih................ 5
Tabel 2. Peranan mikroba pada ragi tape ......................................................... 7
Tabel 3. Komposisi kimia tape ketan per 100 gram ........................................ 12
Tabel 4. Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi
beberapa jenis film plastik ................................................................ 14
Tabel 5. Data sifat fisik bahan pengemas tape ketan ....................................... 26
Tabel 6. Hasil analisis proksimat ketan mentah............................................... 38
Tabel 7. Hasil analisis proksimat tape ketan.................................................... 43
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tape ketan.................................................... 9
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan
dan volume ketan yang berbeda....................................................... 23
Gambar 3. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama
penyimpanan pada suhu rendah ....................................................... 24
Gambar 4. Grafik peningkatan kadar gula (derajat brix) pada kemasan
dan volume ketan yang berbeda....................................................... 29
Gambar 5. Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan
dan volume ketan yang berbeda....................................................... 33
Gambar 6. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) pada kemasan
dan volume ketan yang berbeda....................................................... 37
Gambar 7. Grafik peningkatan kadar gula selama penyimpanan ...................... 46
Gambar 8. Grafik peningkatan total asam selama penyimpanan....................... 48
Gambar 9. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) selama penyimpanan...... 49
Gambar 10. Tahapan reaksi pembentukan hasil samping fermentasi tape ketan
hitam selain alkohol dan asam ....................................................... 51
Gambar 11. Grafik kadar alkohol selama penyimpanan.................................... 52
Gambar 12. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap rasa
selama penyimpanan ...................................................................... 54
Gambar 13. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap aroma
selama penyimpanan ...................................................................... 56
Gambar 14. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur
selama penyimpanan...................................................................... 58
Gambar 15. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap penerimaan umum
selama penyimpanan ...................................................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Perhitungan nilai transmission rate masing-masing kemasan .... 70
Lampiran 2. Prosedur pengujian ...................................................................... 79
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik....................................................... 84
Lampiran 4. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan....... 85
Lampiran 5. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept pembuatan tape ketan.. 86
Lampiran 6. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway ............................... 87
Lampiran 7. Hasil organoleptik pembuatan tape ketan.................................... 88
Lampiran 8. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept tape ketan selama
penyimpanan ................................................................................ 89
Lampiran 9. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan............................ 90
Lampiran 10. Data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan .................. 91
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Beras ketan merupakan bahan makanan pokok di Laos dan Muangthai


bagian utara. Beras ketan biasa digunakan sebagai makanan penutup (dessert)
atau diolah menjadi makanan kecil lain, misalnya dibuat tape ketan dan
berbagai jenis kue.
Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang telah banyak
dikenal di Indonesia. Pada umumnya tape diproduksi oleh industri skala
rumah tangga dengan teknik pembuatan secara tradisional. Tape ketan
merupakan makanan yang digemari dan disukai masyarakat karena
mempunyai rasa manis dan sedikit asam serta aroma yang khas dari alkohol.
Nilai gizi dari beberapa bahan pangan fermentasi dapat meningkat
dibandingkan bahan mentah. Melalui fermentasi sejumlah karbohidrat dan
protein akan terdegradasi menjadi fraksi yang lebih kecil dan mudah dicerna.
Selain itu proses fermentasi dapat meningkatkan nilai ekonomi dan cita rasa
suatu bahan pangan.
Pembuatan tape ketan pada umumnya dilakukan dengan menggunakan
kemasan besek dan daun pisang, karena memiliki kelebihan-kelebihan yang
tidak dimiliki oleh kemasan modern seperti plastik yang berbahan dasar
polietilen dan polipropilen. Kemasan pada tape tidak hanya berfungsi sebagai
pelindung dari debu, tetapi juga berfungsi untuk mengatur serta merapikan
makanan agar mudah dan praktis dibawa-bawa, dipegang atau dibuka ketika
hendak disantap. Kelebihan kemasan daun dapat membantu dalam proses
peragian (fermentasi) dan memberikan aroma tertentu.
Disamping kelebihan-kelebihan tersebut di atas, kemasan besek masih
memiliki beberapa kekurangan yaitu rongga-rongga yang dapat menyebabkan
bahan makanan dapat terkontaminasi oleh kotoran dan air dari luar. Selain itu,
apabila bahan makanan yang disimpan memiliki kandungan air maka air
tersebut dapat mudah keluar. Karena terbuat dari bahan biologi (bambu) maka
kemasan besek mudah rusak dan hanya dapat digunakan beberapa kali
pemakaian. Dalam distribusi, apabila ditumpuk terlalu berat akan
mengakibatkan perubahan baik pada bentuk juga dalam mutunya.
Kemasan plastik lebih mudah ditemukan dan tersedia untuk berbagai
macam kegunaan, dapat digunakan berulang-ulang kali, lebih rapat sehingga
terlindung dari debu dan kontaminasi dari luar, tersedia dalam berbagai jenis
ukuran sesuai dengan ruang penyimpanan yang ada serta dapat ditumpuk
secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang tidak terlalu rapat
sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam ruang pendingin
sebagai tempat penyimpanan. Plastik polietilen merupakan kemasan yang
memiliki kerapatan rendah, tahan panas, mudah dibentuk, transparan, fleksibel
pada suhu rendah serta atmosfer di dalam kemasan dapat disesuaikan dalam
rangka mengatur masa kadaluarsa. Plastik polipropilen merupakan kemasan
dengan permeabilitas uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, tahan
terhadap suhu tinggi, asam kuat dan basa, minyak serta ringan dan mudah
dibentuk.
Fermentasi dapat dipengaruhi oleh kandungan O2 yang terdapat dalam
kemasan. Fermentasi pada tape ketan yaitu anerobik fakultatif yang
merupakan proses fermentasi yang tidak memerlukan O2 dari luar namun
lebih menggunakan O2 yang terdapat pada lingkungan sekitarnya. Ruang
udara yang tersisa dalam wadah pembuatan tape ketan akan mempengaruhi
proses fermentasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh
jenis atau sifat kemasan dan volume ketan dalam suatu wadah pada proses
pembuatan tape ketan. Selain itu juga akan diteliti pengaruh jenis kemasan
terhadap perubahan mutu tape ketan yang terjadi saat disimpan pada suhu
rendah (chiller).
Penyimpanan pada suhu rendah baik dalam keadaan beku maupun tidak
beku merupakan salah satu penyimpanan yang telah lama dilakukan untuk
mencegah kerusakan pada bahan pangan. Pendinginan berfungsi untuk
mengawetkan dan memperlambat penurunan mutu bahan dan produk pangan
hingga jangka waktu tertentu, tergantung jenis bahannya. Pendinginan
biasanya dilakukan menggunakan lemari es dengan suhu 5-8°C.
B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis kemasan dan volume


ketan terbaik terhadap fermentasi tape ketan hitam (Oryza sativa glutinosa)
serta mengkaji pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan mutu yang terjadi
pada penyimpanan tape ketan dengan suhu rendah (chiller).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BERAS KETAN

Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari
padi dan termasuk famili Graminae (Kirk dan Othmer, 1954). Beras ketan bila
dimasak nasinya mempunyai sifat sangat mengkilap, sangat lekat dan
kerapatan antara butir nasi tinggi sehingga volume nasinya sangat kecil
(Legowo, 1984).
Menurut Juliano (1967), butir beras tersusun dari endosperm, aleuron
dan embrio. Dalam aleuron dan embrio terdapat protein, lemak, mineral dan
beberapa vitamin, sedangkan endosperm hampir seluruhnya terdiri dari pati.
Pati (C6H10O5)n adalah cadangan makanan yang terdapat di dalam biji atau
umbi tumbuh-tumbuhan. Pati juga terdapat pada bagian tumbuh-tumbuhan
yang berwarna hijau. Beras ketan mempunyai sifat yaitu butir patinya
berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasa butir patinya seperti pecahan
kaca dan keras (Grist, 1959). Menurut Hesseltine (1979), pati merupakan butir
atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa.
Granula pati dibentuk dari lapisan air. Unit glukosa pada pati membentuk dua
jenis polimer, yaitu polimer lurus atau linier dan polimer bercabang. Polimer
linier membentuk amilosa dan polimer bercabang membentuk amilopektin.
Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai
linier melalui ikatan α – 1,4 – glukosida. Amilopektin adalah molekul hasil
polimerasi unit-unit glukosa anhidrous melalui ikatan α – 1,4 – glukosida dan
cabang α -1,6 – glukosida.
Kandungan amilopektin dan amilosa yang terdapat dalam pati berbeda
untuk setiap jenis tanaman. Rata-rata pati mengandung 22-26% amilosa dan
78-74% amilopektin (Hesseltine, 1979). Biasanya berdasarkan kandungan
amilosa dan amilopektinnya, beras dibedakan dari beras ketan. Beras ketan
adalah beras yang mengandung sedikit amilosa yaitu kira-kira 1-2%,
sedangkan beras biasa mengandung 12-37% amilosa. Kandungan amilopektin
pada beras ketan 76-77% (Legowo, 1984). Pada Tabel 1, dapat dilihat
perbandingan komponen dan komposisi kimia bahan penyusun beras ketan
hitam dan beras ketan putih.

Tabel 1. Komposisi kimia beras ketan hitam dan beras ketan putih
Kandungan (per 100 gram bahan)
Komponen
Beras Ketan Putih Beras Ketan Hitam
Energi (kal) 362,00 356,00
Protein (g) 6,70 7,00
Lemak (g) 0,70 0,70
Karbohidrat (g) 79,40 78,00
Kalsium (mg) 12,00 10,00
Fosfor (mg) 148,00 148,00
Besi (mg) 0,80 0,80
Vitamin B1(mg) 0,16 0,20
Air (g) 12,00 13,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1972)

Senyawa terbesar selain pati yang terkandung pada beras ketan adalah
protein yang disebut oryzenin. Kadar lemak dalam beras tidak begitu tinggi,
yaitu rata-rata 0,7 persen dan kandungan asam-asam lemak yang terbanyak
adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat. Kandungan senyawa lain
seperti vitamin dan mineral-mineral sangat rendah. Beberapa vitamin yang
terdapat dalam beras ketan terutama thiamin, riboflavin dan niacin. Beberapa
mineral yang terdapat adalah besi, kalsium, fosfor, magnesium dan sebagainya
(Juliano, 1972).

B. RAGI TAPE

Ragi tape atau ragi pasar merupakan kultur campuran yang terdiri dari
kapang, khamir, dan bakteri. Ragi merupakan sumber mikroba yang akan
mengubah pati menjadi gula kemudian mengubah gula menjadi alkohol dan
asam-asam organik, sehingga menghasilkan tape dengan rasa dan aroma yang
manis dan khas.
Ragi tape dapat dibuat dengan bahan baku beras atau tepung beras,
dicampur dengan beberapa rempah-rempah seperti lengkuas, bawang putih,
jeruk nipis dan lada. Rempah-rempah tersebut berfungsi sebagai pembangkit
aroma dan menghambat mikroba yang tidak diinginkan (terutama bakteri
Gram positif dan Gram negatif tertentu) atau bahkan digunakan untuk
menstimulir mikroba yang diinginkan (Rahayu dan Suliantari, 1990).
Saono (1981) menyatakan bahwa ragi yang digunakan dan dibuat di
Jawa bervariasi mutunya pada setiap pembuatan, sehingga sulit untuk
memperoleh mutu produk yang seragam walaupun dari ragi yang sama.
Aktivitas ragi akan menurun selama penyimpanan dan batas waktu
penyimpanan maksimum adalah selama 2-3 bulan.
Ragi sebagai starter mengandung mikroba sebagai mikoflora (kapang)
amilolitik. Pada berbagai ragi tape dapat dijumpai jenis Candida sp,
Hansenula sp, Saccharomyces sp, Torula sp, Chlamydomucor sp, Aspergillus
sp, Mucor sp, Endomycopsis sp, Rhizopus sp, Penicillium sp, Fusarium sp
(Kirk dan Othmer, 1954).
Sedangkan menurut Ko (1982), tidak semua mikroba yang telah
ditentukan dalam ragi, penting untuk fermentasi bahan yang mengandung pati
menjadi tape. Mikroba yang aktif dalam fermentasi adalah Mucor rouxii,
Chlamydomucor oryzae, Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oryzae,
Candida javanica, Mucor sp., Hansenula anomala, dan Endomycopsis
fibuliger.
Kapang Rhyzopus oryzae dan Chlamydomucor oryzae menghasilkan
enzim amilase yang mengubah pati menjadi gula. Khamir Saccharomyces
cerevisiae akan mengubah gula menjadi alkohol dan komponen aroma dan
citarasa (Beauchat, 1987). Peranan masing-masing mikroba dalam fermentasi
tape dapat dilihat pada Tabel 2.
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang sering digunakan
dalam pembuatan tape, roti, brem bali, arak beras, bir dll. Khamir ini tumbuh
pada kondisi dengan persediaan air cukup. Kisaran suhu untuk pertumbuhan
kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan kapang, yaitu dengan
suhu optimum 25-300C dan pada keadaan asam (pH 4-4,5). Khamir tumbuh
terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat
tumbuh pada kondisi anaerobik. Menurut Saono (1981), enzim yang mampu
mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2 selama fermentasi adalah enzim
zimase yang dihasilkan oleh khamir S. cerevisie yang dapat membentuk
komponen aroma selama fermentasi.

Tabel 2. Peranan mikroba pada ragi tape


Grup Mikroba Genus Peranan
Kapang amilolitik Amylomyces Pembentukan sakarida dan air
Mucor Pembentukan sakarida dan air
Rhizopus Pembentukan air dan alkohol
Khamir amilolitik Endomycopsis Pembentukan sakarida dan aroma
Khamir non amilolitik Saccharomyces Pembentukan alkohol
Hansenula Pembentukan aroma spesifik
Endomycopsis Pembentukan aroma spesifik
Candida Pembentukan aroma spesifik
Bakteri asam laktat Pediococcus Pembentukan asam laktat
Bakteri amilolitik Bacillus Pembentukan sakarida
Sumber : Saono (1981)

Menurut Winarno dan Laksmi (1974), faktor-faktor yang


mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah nutrisi, air, suhu, pH, dan adanya
senyawa-senyawa penghambat pertumbuhan. Sebagian besar dari khamir
tumbuh baik dengan persediaan air yang banyak atau pada aw yang tinggi.
Tetapi karena banyak khamir yang dapat tumbuh pada konsentrasi gula dan
garam yang lebih tinggi daripada bakteri, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa khamir membutuhkan air yang lebih sedikit daripada bakteri. Tetapi
kebanyakan khamir membutuhkan air yang lebih banyak daripada kapang.
Umumnya batas aw terendah untuk khamir sekitar 0,88-0,94. Untuk khamir
bir, aw minimun 0,94, sedangkan untuk khamir yang biasa tumbuh pada susu
kental manis adalah 0,90, dan khamir untuk roti adalah 0,91. Khamir bersifat
osmofilik dapat terhenti pertumbuhannya dalam larutan garam dan gula (sirup)
yang mempunyai aw 0,78.
Pada umumnya kisaran suhu untuk pertumbuhan ragi (sebagian besar)
adalah serupa dengan kapang, dengan suhu optimum sekitar 25-300C dan suhu
maksimum kira-kira 35-470C. Beberapa macam ragi dapat tumbuh pada suhu
00C atau kurang dari 00C.
Konsentrasi ion hidrogen yang aktif dinyatakan dengan pH sering
menentukan macam mikroba yang tumbuh pada makanan dan produk yang
dihasilkan. Setiap mikroba masing-masing mempunyai pH optimum, minimun
dan maksimum pertumbuhannya. Sebagian besar bakteri tumbuh paling baik
pada pH mendekati netral, tetapi beberapa bakteri menyukai suasana asam dan
yang lain dapat tumbuh dengan sedikit asam atau dalam suasana basa.
Sebagian besar kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang lebar yaitu
2,0-8,5, tetapi biasanya senang hidup pada pH asam. Pertumbuhan ragi pada
umumnya lebih baik pada suasana asam dengan pH 4,0-4,5 dan tidak dapat
tumbuh dengan baik pada suasana basa.
Berdasarkan proses respirasinya, mikroba dibagi menjadi 4 golongan
yaitu anaerobik, aerobik, anaerobik fakultatif, dan mikroaerofilik. Mikroba
termasuk golongan aerobik, bila untuk pertumbuhannya memerlukan molekul
oksigen bebas, dan golongan anaerobik tidak memerlukan oksigen dan
tumbuh dengan baik tanpa adanya oksigen bebas, sedangkan golongan
fakultatif dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen bebas. Mikroba yang
mikroaerofilik membutuhkan hanya sejumlah kecil oksigen bebas. Beberapa
bakteri yang tergolong bakteri aerob dapat menggunakan oksigen yang berasal
dari hasil reduksi nitrat menjadi nitrit. Kapang-kapang yang tumbuh pada
makanan, umumnya adalah aerobik karena membutuhkan oksigen untuk
tumbuh.

C. PEMBUATAN TAPE KETAN

Tape ketan merupakan makanan tradisional yang terbuat dari beras


ketan (Oryzae sativa glutinosa) yang telah dimasak, didinginkan dan
diinokulasi dengan ragi. Ragi mengandung berbagai mikroba yang diperlukan
dalam fermentasi tape (Cronk et al., 1977). Komponen utama dalam beras
ketan adalah pati. Dalam keadaan utuh bulir-bulir pati sangat tahan terhadap
aksi-aksi zat kimia dan enzim (Damardjati, 1979). Pati yang dipanaskan dalam
air tidak mengalami perubahan sampai suhu gelatinasi tercapai, ikatan-ikatan
kimia pati menjadi lemah dan butir-butir pati akan mengembang (Winarno,
1980). Dalam keadaan mengembang, pati akan mudah bereaksi dengan zat-zat
kimia dan enzim, mengalami perubahan mekanik yang dapat menyerap lebih
banyak air (Damardjati, 1979). Senyawa lain yang terkandung setelah pati
adalah protein, kemudian vitamin dan mineral.
Tape ketan merupakan suatu produk fermentasi tradisional. Hasil
fermentasi akan menentukan cita rasa dan komposisi kimia tape ketan. Tape
ketan mempunyai rasa manis dan sedikit asam serta cita rasa yang khas karena
mengandung alkohol, selain itu tekstur menjadi lembek.
Tahap pembuatan tape ketan meliputi persiapan dan pengerjaan yang
dilanjutkan dengan proses fermentasi. Persiapan meliputi pencucian,
pemasakan dan pendinginan. Menurut Soedarmo (1973), pencucian bertujuan
untuk menghilangkan kotoran maupun sisa dedak yang mungkin masih
tertinggal, selain itu kemungkinan adanya bahan pengawet dapat
diminimumkan pada waktu diadakan fermentasi. Proses pembuatan tape ketan
secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 1.

Beras Ketan Hitam

Dibersihkan dari kotoran, pasir atau gabah dan dicuci

Direndam semalaman

Dicuci dengan air bersih

Dikukus selama ± 30 menit

Didinginkan sampai mendekati suhu ruang

Dicampur dengan ragi tape 0,1%

Diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari

Tape ketan

Gambar 1. Diagram alir pembuatan tape ketan (Saono, 1981)


Fermentasi adalah salah satu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem
biologi yang menghasilkan energi dengan senyawa organik sebagai donor dan
akseptor elektron (Fardiaz, 1989). Fermentasi tape termasuk anerobik
fakultatif yang artinya dapat melakukan fermentasi dengan ada atau tidaknya
oksigen yang terkandung pada lingkungannya, tetapi biasanya lebih
memanfaatkan oksigen yang terdapat pada lingkungan yang berada di
sekitarnya (Rachman, 1989). Teknologi fermentasi dalam memproduksi
makanan terfermentasi menghasilkan produk seperti roti, minuman
beralkohol, tempe, tauco, tape, nata de coco, dan lain-lain. Produk fermentasi
ketan yang sudah cukup terkenal di masyarakat Indonesia adalah tape ketan.
Tape ketan merupakan salah satu makanan tradisional yang cukup banyak
digemari. Pembuatannya melibatkan aktivitas yang dilakukan oleh species
khamir, yaitu Saccharomyces cerevisiae.
Semula istilah fermentasi digunakan untuk menyatakan peristiwa
perubahan sari buah menjadi minuman beralkohol. Dengan perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya mikrobiologi dan biokimia, maka dewasa ini
istilah fermentasi telah mempunyai pengertian yang lebih luas. Ditinjau dari
segi biokimia, fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk
memperoleh energi yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhannya
melalui pemecahan atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik
secara anaerobik.
Perubahan kimiawi utama yang terdapat dalam proses fermentasi
adalah hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa, karena adanya aktivitas
kapang amilolitik Amylomyces rouxii dan khamir Endomycopsis burtonii.
Proses selanjutnya glukosa akan terfermentasi menjadi etanol dan asam-asam
organik yang menimbulkan rasa dan aroma yang khas. Khamir Hansenula
akan mengesterifikasi alkohol dan asam-asam organik sehingga menghasilkan
tape yang beraroma kuat (Steinkraus, 1983).
Dewasa ini fermentasi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu
mencakup aktifitas metabolisme mikroorganisme baik aerobik maupun
anaerobik dimana terjadi perubahan atau transformasi kimiawi dari substrat
organik. Dari segi mikrobiologi, industri fermentasi adalah proses untuk
menghasilkan berbagai produk dengan perantaraan atau dengan melibatkan
mikroorganisme. Jadi dari segi mikrobiologi, industri fermentasi merupakan
pendayagunaan sifat-sifat biokimiawi mikroba untuk menghasilkan berbagai
produk baik produk-produk katabolisme maupun anabolisme atau biosintesa
(Rachman,1989).
Pada pembuatan tape, yaitu makanan tradisional Indonesia yang dibuat
dari ubi kayu atau beras ketan, khamir yang berperan yaitu Saccharomyces
cerevisiae dan Zigosaccharomyces (Fardiaz, 1989). Menurut Fardiaz (1992),
Chlamydomucor oryzae dan Endomycopsis fibuliger merupakan mikroba yang
memegang peranan utama untuk mengubah beras ketan menjadi tape yang
bermutu baik. Kemungkinan Chlamydomucor oryzae memulai fermentasi
dengan mengubah pati menjadi gula, kemudian proses selanjutnya oleh
Endomycopsis fibuliger sehingga terbentuk alkohol dan komponen
membentuk flavor.
Pembuatan tape ketan yang menggunakan ragi termasuk dalam proses
heterofermentasi karena pada fermentasi menggunakan dua macam biakan
yang berbeda yaitu jenis kapang dan khamir (Hesseltine, 1979). Khamir
Hansenula sp yang terdapat pada ragi mempunyai kemampuan untuk
membentuk ester dari asam-asam dan alkohol sehingga tape menjadi beraroma
karena terbentuknya etil asetat.
Pembuatan tape yang merupakan proses fermentasi menyebabkan
beberapa keuntungan antara lain meningkatkan citarasa, aroma, nilai gizi dan
kelezatan (Ko, 1972). Komposisi kimia tape ketan per 100 gramnya dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia tape ketan per 100 gram
Parameter Tape Ketan Putih Tape Ketan Hitam
Energi (kal) 173,000 173,000
Protein (g) 3,000 0,500
Lemak (g) 0,500 0,100
Karbohidrat (g) 37,500 42,500
Kalsium (mg) 6,000 30,000
Fosfor (mg) 35,000 30,000
Besi (mg) 0,500 -
Vitamin A(SI) - -
Vitamin B (mg) 0,040 0,007
Air (g) 58,900 56,100
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1990)

D. PLASTIK POLIETILEN

Plastik didefinisikan sebagai suatu polimer dari monomer-monomer


organik dengan berat molekul tinggi. Pembuatan plastik berlangsung dalam
suatu proses yang disebut proses polimerisasi dari bahan baku plastik yang
berasal dari gas alam, batu bara, minyak bumi, dan lain-lain
(Pawitan,1986). Menurut Paine (1977) plastik dapat didefinisikan sebagai
campuran dari bahan yang komponen-komponen utamanya polimer sintetis,
dapat dibentuk menjadi serat, lembaran, maupun padatan, dapat dicetak, dan
kemudian mengeras. Selain polimer sebagai komponen utamanya, plastik juga
mengandung beberapa bahan berikut yaitu penguat, pelarut, pelumas,
pemlastis, katalis, penyerap UV, dan zat warna.
Polietilen mempunyai rumus umum (CH2-CH2)n yang dihasilkan dari
proses polimerisasi adisi gas etilen yang diperoleh sebagai hasil samping
industri arang dan minyak (Syarief et al.,1989). Berdasarkan densitasnya PE
terdiri dari 3 jenis yaitu, Low Density Polyethylene (LDPE), Medium Density
Polyethylene (MDPE), High Density Polyethylene (HDPE). Ciri-ciri ketiga
plastik tersebut adalah sebagai berikut : (i). LDPE mempunyai densitas 0,910-
0,925 g/cm3, dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Digunakan sebagai
kantong, mudah dikelim, dan murah; (ii). MDPE mempunyai densitas 0,926-
0,940 g/cm3, lebih kaku dari LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi
daripada LDPE; (iii). HDPE mempunyai densitas 0,941-0,965 g/cm3, paling
kaku di antara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi; (iv). LDPE (Low Density
Polyethilene) dibuat dari gas etilen, karena tersusun dari banyak rantai cabang
maka stuktur molekul LDPE kurang rapat dan amorf.
Polietilen memiliki sifat-sifat lemas, lebih lunak, kekuatan tarik rendah,
tidak tahan panas dan bahan kimia. Polietilen apabila dipanaskan pada suhu
tinggi akan terjadi pembentukan karbonil yang menyebabkan timbulnya bau
plastik terhadap produk yang ada di dalamnya (Syarief, et al., 1989).
Secara umum menurut Syarief (1989), sifat dari polietilen yaitu:
a. Memiliki penampakan yang bermacam-macam.
b. Mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik.
c. Daya rentang tinggi tidak sobek.
d. Mudah dikelim panas sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan
bahan lain. Memiliki titik lebur pada suhu 120 ºC.
e. Tidak cocok untuk mengemas produk yang berlemak dan berminyak.
f. Tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya.
g. Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50 ºC.
h. Transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas
makanan beraroma.
i. Dapat dicetak setelah mengoksidasi permukaannya.
j. Memiliki sifat kedap air dan uap air (HDPE > MDPE > LDPE).

E. PLASTIK POLIPROPILEN

Menurut Syarief et al. (1989), polipropilen (PP) termasuk jenis plastik


olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama dari PP yaitu :
a. Ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih
dalam bentuk film.
b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan
rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku.
c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek.
d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang.
e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 1500C.
f. Titik leburnya tinggi.
g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak.
h. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, toluen, terpentin dan
asam nitrat kuat.
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan,
mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah
logam, transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air,
CO2, dan O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan
peran plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat
terpenting bahan kemasan yang digunakan meliputi pemeabilitas gas dan uap
air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas
permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang
baik dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih
lama (Winarno, 1987). Pada Tabel 4 disajikan permeabilitas terhadap gas dan
uap air serta transmisi uap air dari beberapa jenis film plastik.

Tabel 4. Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis
film plastik
Permeabilitas
Jenis Film (cc/hari-100 in2-mil) Transmisi uap air
(g/hari-100 in2-mil)
O2 CO2
LDPE 550 2900 1,3
PVC 150 970 4,0
PP 240 800 0,7
PS 310 1050 8,0
Sumber : Buckle et al. (1985)

F. KEMASAN TRADISIONAL

Kemasan makanan tradisional merupakan jenis kemasan yang


memanfaatkan bahan botanis (daun-daunan, misalnya) yang berfungsi bukan
saja sebagai pelindung isinya dari debu atau agar tahan lama, tapi juga
merupakan upaya untuk membereskan, mengatur, merapikan makanan itu agar
mudah dan praktis dibawa-bawa, dipegang atau dibuka ketika hendak disantap
dan membantu tangan dalam melakukan tugas.
Selain itu, bahan kemasan tersebut juga memberikan aroma tertentu
pada makanannya. Misalnya, peuyem ketan yang dibungkus dengan daun
pisang berbeda keharuman rasanya (aroma) dari yang dibungkus dengan daun
jambu air. Pada jenis makanan tertentu pengemasan dengan bahan botanis, di
samping melakukan fungsi-fungsi tadi, juga turut membantu proses, misalnya,
penjamuran pada tempe dan peragian (fermentasi) pada peuyeum ketan.
Sebagai rupa desain kemasan memberikan daya pikat atau ‘iklan’ tersendiri,
suatu bujukan agar orang-orang tertarik untuk menikmati isinya, atau dalam
konteks dagang agar makanan itu menarik serta dibeli orang
(http://lc.bppt.go.id/ladang_bambu/upload/kemasan.pdf).
Pada tape ketan yang dikemas secara tradisional, selain dikemas dengan
daun biasanya juga dilapisi dengan kemasan besek yang terbuat dari bambu
yang dianyam. Anyaman bambu merupakan kesatuan dari serpihan serat-serat
bambu yang agak kaku tetapi elastis dengan maksud untuk membuat suatu
wadah atau permukaan datar. Bambu merupakan tanaman yang mempunyai
banyak kegunaan karena bersifat kuat, ringan, dan keras serta mudah dibentuk.
Sehingga dengan sifat-sifat tersebut bambu yang dapat digunakan untuk
berbagai keperluan. (Berlian dan Rahayu, 1995).

G. PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH

Penyimpanan bahan pangan pada suhu dingin baik dalam keadaan beku
maupun tidak beku merupakan salah satu penyimpanan yang telah lama
dilakukan untuk mencegah kerusakan bahan pangan (Harper, 1976).
Menurut Soesarsono, 1981; Buckle, 1978, penyimpanan pada suhu
rendah diperlukan untuk bahan pangan, karena cara ini dapat mengurangi :
a. Kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya.
b. Proses penuaan (aging) yang disebabkan oleh adanya proses pematangan
(ripening), pelunakan (softening), dan perubahan-perubahan warna dan
tekstur.
c. Kehilangan air dan pelayuan.
d. Kerusakan karena bakteri, kapang dan khamir.
e. Proses-proses lain yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan
menurunnya mutu.
Suhu pada saat metabolisme berlangsung dengan sempurna disebut
suhu optimum. Pada suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suhu
optimum, metabolisme akan berjalan kurang sempurna (Winarno dan Fardiaz,
1973; Will et al, 1981), bahkan berhenti sama sekali pada kisaran suhu yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah. Pada umumnya proses respirasi akan
berlangsung terus hingga setelah bahan dipanen. Respirasi adalah suatu proses
metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa
makromolekul seperti karbohidrat, protein dan lemak yang akan menghasilkan
CO2, air dan sejumlah besar elektron-elektron (Winarno dan Aman, 1981).
Respirasi ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan kemudian
membusuk yang merupakan tahap akhir kehidupan dalam pertanian.
Penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang
masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan tersebut. Hal ini
disebabkan bukan saja karena laju respirasi menurun, tetapi juga karena
pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat diperlambat. Pendinginan
tidak dapat membunuh mikroba tetapi hanya bersifat menghambat
pertumbuhannya.
Cara pengawetan dengan suhu rendah dibedakan menjadi dua, yaitu
pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing). Pendinginan adalah
penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2-10°C.
Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es umumnya
mencapai suhu 5-8°C (Winarno dan Fardiaz, 1973). Pendinginan biasanya
akan mengawetkan bahan pangan sebelum beberapa hari atau beberapa
minggu tergantung dari jenis bahan pangannya. Sedangkan pembekuan dapat
mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau beberapa tahun.
Perbedaan yang lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam
hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroba dalam bahan pangan.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan bahan pangan tidak dapat
menyebabkan kematian mikroba, sehingga bila bahan pangan beku
dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan mencair lagi (thawing),
pertumbuhan mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat.
Penggunaan suhu rendah terutama untuk beberapa hasil pertanian
tertentu perlu mendapat perhatian karena kerusakan fisiologis dapat lebih
cepat terjadi terutama pada suhu rendah, misal kerusakan akibat proses
pendinginan (chilling injuries) dan kerusakan akibat proses pembekuan
(freezing injuries). Penggunaan suhu rendah yang kurang tepat dapat
mengakibatkan kerusakan fisiko-kimia. Jenis kerusakan yang mungkin terjadi
adalah ”chilling injuries”, ”freezing injuries” dan “freezing burn” (Syarief dan
Halid, 1993).
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras ketan hitam
yang dibeli dari Pasar Anyar, kota Bogor dan ragi yang dibeli dari Pasar
Gunung Batu. Bahan lain yang diperlukan adalah kemasan dengan wadah
berbahan dasar PP dan tutup berbahan dasar PE, kemasan dengan wadah dan
tutup berbahan dasar PP, dan kemasan berbahan dasar bambu biasa disebut
besek yang dialasi daun pisang, serta bahan-bahan kimia untuk analisis yang
berupa CuSO4, Na2SO4, H2SO4 pekat, akuades, NaOH 50%, HCl 0,02 N,
indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan etil biru
0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1), NaOH 0,02 N, pelarut heksan,
H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, aceton/alkohol, NaOH 0,1 N, indikator PP,
larutan buffer.
Alat yang digunakan untuk penelitian terdiri atas alat untuk proses dan
alat untuk analisis. Peralatan untuk proses berupa lemari es yang memiliki
ruangan chiller suhu 10 sampai 15°C. Sedangkan alat untuk analisis terdiri atas
neraca analitik, cawan alumunium/porselen, oven, desikator, pemanas
destruksi, tanur listrik, labu Kjeldahl, alat destilasi, hand refractometer, kertas
saring, kapas, alat ekstrasi Soxhlet, pH-meter, serta alat-alat gelas yang
digunakan dalam penelitian.

B. METODE PENELITIAN

1. Karakteristik Kemasan

Pada penelitian ini menggunakan bermacam-macam kemasan yang


memiliki perbedaan bahan dasar. Kemasan yang digunakan ada 4 macam,
yaitu kemasan I merupakan kemasan berbentuk persegi yang terbuat dari
anyaman bambu yang dikenal dengan nama “besek”, biasanya digunakan
sebagai wadah dalam acara selamatan atau acara-acara besar di beberapa
daerah. Kemasan II merupakan kemasan plastik yang berbentuk
lingkaran/silindris, memiliki bahan dasar berbeda antara wadah dan
tutupnya. Wadahnya berbahan dasar polipropilen dan tutupnya berbahan
dasar polietilen sehingga memiliki kemampuan yang berbeda untuk
menahan gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Pada bagian
tutupnya memiliki air sealed yang mendekati nilai nol sehingga dapat
menahan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan. Kemasan III merupakan
kemasan plastik yang berbentuk persegi, memiliki bahan dasar sama antara
wadah dan tutupnya yaitu berbahan dasar polipropilen. Pada bagian
tutupnya memiliki air sealed, tetapi nilainya tidak mendekati nol, sehingga
gas dan uap air lebih mudah masuk ke dalam kemasan. Kemasan IV
merupakan kemasan plastik yang berbentuk persegi, memiliki bahan dasar
berbeda antara wadah dan tutupnya. Wadahnya berbahan dasar polipropilen
dan tutupnya berbahan dasar polietilen sehingga memiliki kemampuan yang
berbeda untuk menahan gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan.
Pada bagian tutupnya memiliki air sealed yang mendekati nilai nol
sehingga dapat menahan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan.
Karakteristik kemasan yang dihitung yaitu densitas, gramatur,
ketebalan, luas pemukaan, dan laju transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR).
Gramatur dihitung berdasarkan pembagian bobot kemasan dengan luas
kemasan. Densitas dihitung dari hasil perhitungan gramatur dibagi dengan
ketebalan kemasan. Luas permukaan dihitung untuk menghitung laju
transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR). Sedangkan laju transmisi dihitung
untuk mengetahui berapa banyak gas dan uap air yang masuk ke dalam
kemasan, sehingga dapat diketahui bagaimana kemampuan kemasan yang
digunakan dalam menahan gs dan uap air. Laju transmisi dihitung dari
perbedaan tekanan terutama tekanan O2 dalam udara yang diasumsikan
tekanannya sama yaitu 21% dan mengalikannya dengan luas permukaan
yang diketahui dan dikalikan dengan faktor konversi permeabilitas dan
dibagi dengan ketebalan kemasan. Perhitungan laju transmisi (transmission
rate) dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pembuatan tape


ketan hitam dengan menggunakan tiga jenis kemasan dan volume ketan
yang berbeda-beda, disimpan dalam kondisi ruangan yang higienis pada
suhu ruang. Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mendapatkan jenis
kemasan dan volume ketan terbaik terhadap fermentasi saat inkubasi pada
proses pembuatan tape ketan. Beras yang akan digunakan untuk pembuatan
tape ketan adalah beras ketan hitam. Beras ketan hitam ini terlebih dahulu
dicuci sampai bersih kemudian direndam selama kurang lebih satu malam
dan dicuci kembali lalu dikukus selama ± 30 menit sebelum dibuat menjadi
tape ketan. Beras ketan hitam yang telah dikukus kemudian didinginkan
sampai mendekati suhu ruang dan ditambahkan ragi dengan perbandingan
satu kilogram ketan menggunakan dua butir ragi. Setelah itu, dimasukkan
ke dalam tiga jenis kemasan yang berbeda yaitu kemasan I, kemasan II, dan
kemasan III, di mana masing-masing kemasan mempunyai volume ketan
yang berbeda-beda yaitu 90% (b/v), 75% (b/v) dan 60% (b/v).
Volume ketan dihitung untuk mengetahui seberapa banyak ruang
sisa dalam kemasan. Cara perhitungannya yaitu dengan cara menimbang
bobot kemasan (a), bobot kemasan yang sudah diisi dengan ketan kukus
hingga penuh (b). Setelah didapatkan kurangi antara bobot kemasan yang
sudah diisi dengan ketan kukus hingga penuh (b) dengan bobot kemasan (a)
tersebut, didapatkan bobot ketan (c). Kemudian nilai volume ketan 90%
(b/v) atau diketahui ruang sisa kemasan didapatkan dari perkalian 90%
bobot ketan (c). Misalnya bobot kemasan (a) 300 g, bobot kemasan yang
sudah diisi dengan ketan kukus hingga penuh (b) 400 g, sehingga
didapatkan 400 g – 300 g = 100 g (c) x 90% = 90 g. Jadi bobot ketan yang
dimasukkan dalam kemasan yaitu sebanyak 90 g. Nilai 90 g diasumsikan
dengan volume ketan 90% (b/v) dalam kemasan dan diasumsikan ruang sisa
yang terdapat dalam kemasan sebanyak 10%.
Beras ketan hitam dalam masing-masing kemasan dibiarkan selama
2-3 hari atau selama 48-72 jam hingga beras ketan hitam tersebut menjadi
tape ketan. Diagram alir proses pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan
dan volume ketan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.
Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan analisis proksimat
(kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by
difference)) pada ketan mentah dan ketan yang sudah dikukus. Selain itu
juga dilakukan analisis kimia dan fisik yaitu kadar gula, kadar total asam,
pH, dan organoleptik (rasa, aroma, tekstur). Analisis ini dilakukan setiap
enam jam sekali selama dua hari. Prosedur pengujiannya dapat dilihat pada
Lampiran 2.

3. Penelitian Utama

Penelitian utama bertujuan untuk melihat perubahan mutu yang


terjadi selama penyimpanan tape ketan hitam pada suhu rendah. Pada
penelitian utama dibuat kembali tape ketan dengan menggunakan kemasan
yang sudah terpilih pada penelitian pendahuluan yaitu kemasan I dengan
volume 90%. Setelah tape ketan sudah jadi dipindahkan dalam kemasan I,
kemasan III, dan kemasan IV kemudian disimpan dalam lemari pendingin
selama 14 hari dan dilakukan pengamatan fisik dan kimia setiap hari.
Kemasan II diganti dengan kemasan IV karena dilihat dari volume
kemasan, ketebalan kemasan, dan luas permukaannya, serta seminimal
mungkin disamakan bentuknya karena dengan bentuk yang berbeda akan
sangat berpengaruh pada hasil penyimpanan, selain itu agar mudah
ditumpuk secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang tidak
terlalu rapat sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam ruang
pendingin sebagai tempat penyimpanan. Analisis kimia yang dilakukan
yaitu kadar total asam, kadar gula, pH, dan kadar alkohol yang hanya
dilakukan pada saat awal dan akhir penyimpanan tape ketan hitam, dan uji
organoleptik (rasa, aroma, tekstur, dan penerimaan umum).
Uji organoleptik yang dilakukan memakai uji mutu hedonik yang
dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik.
Besaran skalar digambarkan dalam bentuk garis lurus berarah dengan
pembagian skala dengan jarak yang sama, yaitu 1-10. Jenis panelis yang
digunakan yaitu jenis panelis agak terlatih/semi terlatih dengan jumlah
panelis sebanyak 15 orang. Perhitungan organoleptik dihitung dari rata-rata
penilaian harian oleh panelis dengan 2x ulangan berdasarkan skala nilai
pada form (1-10) selama 14 hari dengan mengamati nilai rasa, tekstur,
aroma dan penerimaan umum. Dari nilai tersebut diperoleh grafik trend nilai
secara linier untuk melihat perubahannya. Adapun contoh form pengujian
organoleptik yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil
analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Selain analisis di atas, juga dilakukan analisis proksimat (kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by
difference)) pada awal saat tape ketan hitam yang sudah jadi dan sebelum
disimpan ke dalam lemari pendingin (refrigerator) serta pada akhir
penyimpanan. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama
penyimpanan pada suhu rendah (dingin) dapat dilihat pada Gambar 3.
Beras Ketan Hitam

Dibersihkan dari kotoran, pasir atau gabah dan dicuci

Direndam semalaman

Dicuci dengan air bersih

Dikukus selama ± 30 menit

Didinginkan sampai mendekati suhu ruang

Dicampur dengan ragi tape 0,1%

Kemasan I Kemasan II Kemasan III

Volume Volume Volume Volume Volume Volume Volume Volume Volume


Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan
90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v) 90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v) 90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v)

Diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari

Tape ketan hitam

Analisis proksimat dilakukan Analisis dilakukan setiap 6 jam


pada ketan mentah, ketan selama 2 hari:
kukus dan tape yang sudah - Kadar Gula
jadi: - Kadar Total Asam
- Kadar Air - pH
- Kadar Abu - Organoleptik (rasa, aroma,
- Kadar Protein tekstur)
- Kadar Lemak
- Kadar Karbohidrat
(by difference)

Gambar 2. Diagram alir pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan dan
volume ketan yang berbeda
Tape Ketan Hitam

Kemasan I Kemasan III Kemasan IV

Penyimpanan dalam chiller

Analisis proksimat dilakukan Analisis dilakukan setiap


pada awal sebelum hari :
penyimpanan dan akhir - Kadar Gula
penyimpanan : - Total Asam
- Kadar Air - pH
- Kadar Abu - Kadar Alkohol
- Kadar Protein - Organoleptik (rasa,
- Kadar Lemak aroma, tekstur, dan
- Kadar Karbohidrat (by penerimaan umum)
difference)

Penurunan mutu selama penyimpanan pada suhu rendah

Gambar 3. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama
penyimpanan pada suhu rendah (dingin)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK KEMASAN

Karakterisasi kemasan perlu dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat


bahan kemasan yang digunakan. Dalam penelitian ini, kemasan yang
digunakan untuk pembuatan dan penyimpanan tape ketan hitam adalah
kemasan plastik yang memiliki bahan dasar polipropilen dan polietilen serta
kemasan berbahan dasar bambu. Karakteristik kemasan dapat dilihat dari
beberapa faktor yaitu nilai densitas, gramatur, O2TR, CO2TR, dan WVTR.
Setiap kemasan memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap gas
dan uap air, tergantung dari jenis polimer penyusunnya. Kemasan yang
berbahan dasar polipropilen, memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air
yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan yang berbahan dasar
polietilen. Kemampuan dalam menyerap gas dan uap air ke dalam suatu bahan
kemasan dapat dilihat dari nilai laju transmisinya. Semakin kecil nilai laju
transmisi yang diperoleh maka semakin rendah kemampuan suatu bahan
kemasan tersebut dalam menyerap gas dan uap air, begitu juga sebaliknya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju transmisi yaitu suhu, kelembaban udara,
perbedaan tekanan, ketebalan dan luas permukaan. Data sifat fisik dari tiap
kemasan dapat dilihat pada Tabel 5.
Perhitungan laju transmisi gas oksigen (O2TR), laju transmisi gas
karbondioksida (CO2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) diperoleh
berdasarkan hasil pengukuran dimensi tiap kemasan. Semakin besar nilai
perhitungan laju transmisi gas oksigen (O2TR), laju transmisi gas
karbondioksida (CO2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) maka akan
mempengaruhi mutu dari tape ketan. Banyaknya O2 yang terkandung dalam
kemasan akan mempengaruhi aktivitas mikroba aerob yang berperan dalam
fermentasi tape ketan. Sedangkan dalam penyimpanan terjadi oksidasi yang
dapat menurunkan mutu dari tape ketan hitam tersebut walaupun kerja mikroba
menjadi lebih lambat karena disimpan dalam lemari pendingin (chiller).
Tabel 5. Data sifat fisik bahan pengemas tape ketan
Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan IV
Perhitungan wadah tutup wadah tutup wadah tutup wadah tutup
Gramatur (g/m2) 368,64 1380,58 1879,63 191,85 1560,52 1309,14 1857,22
Densitas 231,85 5925,24 1146,12 157,25 1238,51 552,38 1205,99
(kg/m3)
Ketebalan (mm) 1,59 1,39 0,233 1,64 1,22 1,26 2,37 1,54
Luas permukaan 770,4 838,78 268,67 4639,05 212,75 1479,6 372,6
(cm2)
O2TR (cm3/hari) ∞ ∞ 11,25 1,56 11,88 0,53 1,95 2,30
Total ∞ 12,81 12,41 4,25
CO2TR ∞ ∞ 45,64 6,32 48,21 2,14 7,92 9,34
(cm3/hari)
Total ∞ 51,96 50,35 17,26
WVTR ∞ ∞ 337,36 27,99 356,34 15,82 58,51 41,35
(cm3/hari)
Total ∞ 365,35 372,16 99,86
Kondisi Non sealed Air sealed Air sealed tidak Air sealed
Penutupan mendekati nol mendekati nol mendekati nol
* suhu 30oC
Keterangan : Kemasan I : kemasan berbahan dasar bambu
Kemasan II : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE
Kemasan III : kemasan plastik berbahan dasar PP + PP
Kemasan IV : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE

Pengukuran nilai densitas suatu plastik sangat penting, karena densitas


menunjukkan struktur plastik secara umum. Aplikasi dari hal tersebut dapat
dilihat dari kemampuan plastik dalam melindungi produk dari beberapa zat
seperti air, O2 dan CO2. Ketebalan bahan kemasan sangat menentukan laju
transmisi gas oksigen (O2TR) dan uap air (WVTR) kemasan (Robertson,
1993). Ketebalan dan luas permukaan diukur untuk menghitung laju transmisi.
Semakin tebal kemasan maka semakin sedikit gas dan uap air yang masuk ke
dalam kemasan, sehingga semakin kecil nilai laju transmisi yang dihasilkan,
begitu juga sebaliknya. Selain itu, semakin besar luas permukaan kemasan
maka semakin besar nilai laju transmisi yang dihasilkan, begitu juga
sebaliknya. Dengan adanya oksigen, karbondioksida dan uap air akan
mempengaruhi produk selama penyimpanan karena dapat menyebabkan
terjadinya oksidasi dan hidrolisis. Semakin kecil nilai O2TR, CO2TR, dan
WVTR dari hasil perhitungan, maka bahan kemasan dapat melindungi produk
dari proses oksidasi dan hidrolisis sehingga dapat mempertahankan kualitas
produk, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan perhitungan, kemasan I memiliki nilai O2TR, CO2TR, dan
WVTR terbesar di antara keempat kemasan yang digunakan. Besarnya rongga-
rongga atau pori-pori pada kemasan I yang terbuat dari anyaman bambu,
menyebabkan mudahnya gas dan uap air masuk ke dalam kemasan sehingga
dapat mempercepat proses fermentasi serta menyebabkan terjadinya proses
oksidasi dan hidrolisis yang menyebabkan kemasan tersebut tidak dapat
mempertahankan kualitas tape ketan hitam. Kecilnya pori-pori pada kemasan
II, kemasan III, dan kemasan IV dapat menghambat masuknya mikroba yang
akan mempengaruhi proses fermentasi dan mencegah terjadinya proses
oksidasi dan hidrolisis sehingga diharapkan dapat mempertahankan mutu tape
ketan hitam. Pada kemasan IV memiliki nilai O2TR, CO2TR dan WVTR yang
terkecil di antara ketiga kemasan tersebut. Kecilnya nilai O2TR, CO2TR, dan
WVTR pada kemasan IV ini karena ketebalan kemasan yang dimiliki lebih
besar dibandingkan dengan kemasan II dan kemasan III, sehingga gas dan uap
air yang masuk lebih sedikit terutama gas O2. Kemasan IV relatif lebih
melindungi produk dari proses oksidasi dan hidrolisis, sehingga dapat
mempertahankan kualitas produk serta dapat memperlambat proses fermentasi.
Sifat kaku (rigid) dan ketebalan yang dimiliki oleh kemasan polipropilen
dan polietilen memungkinkan untuk penggunaan berulang kali. Kemasan besek
dikategorikan kemasan yang hanya dapat dipakai beberapa kali karena apabila
berulang kali dipakai dan dibersihkan akan mudah rusak.
Hal lain yang harus dimiliki oleh kemasan adalah sistem penutupannya.
Dengan sistem penutupan yang baik maka kemasan yang memiliki kemampuan
menyerap gas maupun uap air yang rendah secara keseluruhan dapat
meningkatkan daya lindung kemasan terhadap produk. Apabila bahan kemasan
tersebut tersusun dari polimer yang memiliki kemampuan menyerap gas dan
uap air yang sangat rendah terhadap gas dan uap air, tetapi tidak memiliki
sistem penutup yang baik maka kemasan tersebut menjadi kurang optimum
dalam menjaga mutu produk yang dikemasnya.
Di antara keempat kemasan yang digunakan, kemasan I memiliki sistem
penutupan yang tidak rapat dikarenakan pada kemasan ini mempunyai rongga-
rongga atau pori-pori. Kemasan II, kemasan III, dan kemasan IV memiliki
bahan dasar kemasan dan kondisi penutupan yang berbeda-beda. Pada kemasan
II dan kemasan IV memiliki bahan dasar yang tidak sama antara wadah dan
tutupnya. Tutup pada kemasan II dan IV memiliki air sealed yang mendekati
nilai nol sehingga dapat menghambat keluar masuknya gas dan uap air ke
dalam kemasan. Berdasarkan perhitungan, kemasan II memiliki nilai O2TR,
CO2TR dan WVTR yang lebih besar dibandingkan dengan kemasan IV karena
wadah pada kemasan II lebih tipis dan luas permukaan wadah kemasan II lebih
besar dibandingkan dengan kemasan IV, sehingga gas dan uap air yang masuk
ke dalam kemasan lebih banyak. Pada kemasan III memiliki bahan dasar yang
sama antara wadah dan tutupnya yaitu sama-sama berbahan dasar polipropilen.
Tutup pada kemasan III memiliki air sealed yang tidak mendekati nilai nol
sehingga gas dan uap air lebih mudah masuk ke dalam kemasan. Banyaknya
gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan menghasilkan nilai O2TR,
CO2TR dan WVTR yang lebih besar daripada kemasan II dan kemasan IV.

B. PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN PADA


FERMENTASI TAPE

Tujuan tahapan ini adalah untuk mendapatkan jenis kemasan dan


volume ketan terbaik terhadap proses fermentasi saat inkubasi berlangsung,
sehingga dapat menghasilkan tape ketan yang lebih baik dan disukai oleh
konsumen. Pemilihan jenis kemasan dan volume terbaik ini dilakukan melalui
analisis kimia dan uji organoleptik yang dilakukan setiap 6 jam sekali selama
2-3 hari atau selama 48-72 jam.
Analisis kimia yang dilakukan selama periode pembuatan tape ketan
adalah kadar gula, total asam tertitrasi, derajat keasaman (pH), dan uji
organoleptik. Selain dilakukan analisis kimia dan uji organoleptik juga
dilakukan analisis proksimat pada ketan mentah dan ketan kukus serta tape
ketan yang sudah diinkubasi selama 2-3 hari atau selama 48-72 jam. Nilai
korelasi, slope, dan intercept hasil pembuatan tape ketan dapat dilihat pada
Lampiran 5. Hasil analisis kimia dan uji organoleptik serta analisis proksimat
yang telah dilakukan selama proses pembuatan adalah sebagai berikut.
1. Kadar Gula

Perubahan kadar gula pada proses fermentasi tape ketan diukur


dengan nilai derajat brix dan diamati setiap 6 jam. Kurva kadar gula dapat
dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4, terlihat bahwa terjadi kenaikan
kadar gula selama waktu fermentasi. Gula tersebut terbentuk dari
pemecahan pati oleh kapang.
40.00
y = 0.5551x + 0.7283
35.00
R2 = 0.8709
30.00
Derajat Brix

y = 0.5109x + 0.5725
25.00
R2 = 0.8553
20.00
15.00 y = 0.5254x + 0.3913
R2 = 0.8504
10.00
5.00
0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(a)
21.00

18.00 y = 0.3306x + 2.5645


15.00 R2 = 0.9311
Derajat Brix

12.00 y = 0.2975x + 2.5269


R2 = 0.9200
9.00

6.00 y = 0.2975x + 2.5269


R2 = 0.9200
3.00

0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan III Kemasan II

(b)
40.00

35.00 y = 0.5362x - 0.9638


30.00 R2 = 0.8772
Derajat Brix

25.00
y = 0.5297x - 0.3370
20.00 R2 = 0.8490

15.00
y = 0.5399x + 0.2101
10.00 R2 = 0.8457
5.00

0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan III Kemasan II

(c)
Keterangan : (a). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 90%
(b). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 75%
(c). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 60%

Gambar 4. Grafik peningkatan kadar gula (derajat brix) pada kemasan dan
volume ketan yang berbeda
Kenaikan kadar gula yang dihasilkan akan semakin tinggi dengan
semakin lamanya tape difermentasi. Peningkatan kadar gula selama
fermentasi terus terjadi meskipun reaksi perubahan gula menjadi alkohol
berjalan cepat. Selama fermentasi, pati dipecah menjadi molekul-molekul
glukosa oleh enzim α-amilase yang disebut tahap sakarifikasi (Algaratman,
1977), sehingga meningkatkan kadar gula pada tape ketan. Apabila
molekul-molekul glukosa dipecah lebih lanjut akan menghasilkan alkohol
dan asam organik. Asam-asam yang dihasilkan selama fermentasi yaitu
asam laktat, asam asetat, dan asam suksinat. Proses pemecahan glukosa
menjadi etanol terjadi melalui jalur Heksosa difosfat (HDP) yang disebut
juga jalur Embden Meyerhoff-Parnas (EMP) (Rose, 1977). Skema Embden
Meyerhoff-Parnas dapat dilihat pada Lampiran 6.
Berdasarkan Gambar 4, kadar gula yang dihasilkan berkisar antara
0
0–35,3 brix. Kadar gula tertinggi terjadi pada kemasan I dengan nilai
maksimum 35,30brix. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan dapat
dilihat pada Lampiran 9. Pada grafik dapat dilihat bahwa semua faktor
perlakuan menghasilkan kenaikan kadar gula yang relatif kecil. Perbedaan
nilai slope kenaikan kadar gula tidak jauh berbeda di antara ketiga kemasan
yang digunakan. Di antara tiga kemasan yang digunakan pada volume 90%
nilai slope kenaikan kadar gula yang dihasilkan terlihat jelas perbedaannya.
Volume 90% memiliki ruang hampa yang sedikit sehingga kandungan O2
yang tersedia hanya sedikit. Berdasarkan Gambar 4 juga dapat dilihat
bahwa yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terbesar yaitu
kemasan I (0,5551) dan yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula
terkecil yaitu kemasan II (0,5109).
Pada volume 75%, di antara ketiga kemasan yang digunakan dapat
dilihat nilai slope kenaikan kadar gula yang dihasilkan tidak jauh berbeda,
begitu juga dengan volume 60%. Pada volume 75% yang memiliki nilai
slope peningkatan kadar gula terbesar yaitu kemasan I (0,3306) dan yang
memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terkecil yaitu kemasan II dan
III (0,2975).
Pada volume 90% dan 75% kemasan I memiliki nilai slope
peningkatan kadar gula terbesar, karena kemasan I memiliki rongga-rongga
pada wadah dan tutup kemasannya. Hal ini menyebabkan lebih mudahnya
gas dan uap air terutama gas O2 yang terdapat dalam kemasan, sehingga
proses perombakan karbohidrat menjadi gula oleh kapang lebih cepat
terjadi dibandingkan dengan kemasan II. Kemasan II dengan volume 90%,
75%, dan 60% memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terkecil.
Kecilnya nilai slope peningkatan kadar gula pada kemasan II disebabkan
oleh lebih rapatnya jenis kemasan tersebut dan memiliki sistem penutupan
yang lebih rapat (air sealed mendekati nol) yang menyebabkan gas dan uap
air sulit keluar masuk ke dalam kemasan sehingga mempengaruhi proses
fermentasi.
Kemasan III dengan volume 60% memiliki nilai slope kenaikan
kadar gula lebih besar dibandingkan dengan kemasan II. Kedua kemasan
ini mempunyai bahan dasar yang sama pada wadahnya yaitu polipropilen.
Namun tutup pada kemasan II berbahan dasar polietilen, sedangkan tutup
pada kemasan III berbahan dasar polipropilen. Walaupun kemasan III
mempunyai tutup berbahan dasar polipropilen yang sifat permeabilitas
terhadap udara lebih rendah dibandingkan dengan polietilen, tetapi sistem
penutupannya kurang rapat (air sealed tidak mendekati nilai nol) seperti
pada kemasan II sehingga dapat menahan udara lebih sedikit masuk ke
dalam kemasan. Akibatnya udara lebih mudah masuk ke dalam kemasan
sehingga proses perombakan karbohidrat menjadi gula lebih banyak.
Proses pembentukan glukosa terjadi secara aerob yang membutuhkan O2,
terbentuknya glukosa karena aktivitas kapang Chlamydomucor oryzae
yang menghasilkan enzim amilase sehingga pati diubah menjadi glukosa.
Di antara ketiga volume dan ketiga kemasan ini, yang memiliki
nilai slope peningkatan kadar gula terbesar adalah kemasan I dengan
volume 90%. Tape yang dihasilkan kemasan I dengan volume 90%
memiliki kadar gula yang lebih banyak. Hal ini didukung dengan hasil uji
organoleptik yaitu rasa manis yang dihasilkan lebih disukai oleh
konsumen.
Uji organoleptik ditujukan untuk mengetahui penerimaan panelis
terhadap rasa. Hasil uji organoleptik tersebut menunjukkan bahwa rasa
manis sudah terasa pada jam ke-12 pada kemasan I dengan ketiga volume
yang berbeda. Sedangkan pada kemasan II dan III, tape ketan terasa manis
pada jam ke-18. Semakin lama tape difermentasi, rasa manis yang
dihasilkan akan semakin tinggi terutama pada jam ke-48. Tiga jenis
kemasan dan tiga jenis volume yang menghasilkan rasa manis paling tinggi
yaitu pada kemasan I dengan volume 90% (Lampiran 7). Berdasarkan hasil
analisis kimia dan uji organoleptik yang dilakukan, kemasan I dengan
volume 90% merupakan kemasan yang dipilih untuk pembuatan tape
ketan.

2. Total Asam Tertitrasi

Total asam merupakan total kandungan asam organik yang terdapat


pada bahan. Pengukuran total asam dilakukan dengan mentitrasi bahan
dengan NaOH. Nilai total asam tertitrasi dinyatakan dalam ml NaOH 0,1
M/100 ml bahan. Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar
alkohol yang dihasilkan dan lamanya fermentasi. Selama proses
fermentasi, bakteri menghasilkan asam-asam organik seperti asam asetat,
laktat, suksinat dan sebagainya yang merupakan hasil samping dari
pembentukan alkohol. Semakin lama fermentasi, alkohol dan asam organik
yang dihasilkan juga lebih banyak. Nilai total asam pada tiga kemasan dan
volume yang digunakan dilihat pada Gambar 5.

49.00
y = 0.5778x + 5.8667
44.00
R2 = 0.9135
39.00
Total Asam (%)

34.00 y = 0.6311x + 3.9644


29.00 R2 = 0.9002

24.00
y = 0.7133x + 4.6578
19.00
R2 = 0.9070
14.00
9.00
4.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)


kemasan I kemasan II kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(a).
44.00

39.00 y = 0.6378x + 4.6933


R2 = 0.9121
34.00

Total Asam (%)


29.00 y = 0.6933x + 6.4711
R2 = 0.9302
24.00

19.00 y = 0.7111x + 4.8000


R2 = 0.9448
14.00

9.00

4.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)

kemasan I kemasan II kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

45.00
(b).
40.00 y = 0.5711x + 1.2267
R2 = 0.9896
35.00
Total Asam (%)

30.00
y = 0.6289x + 7.0400
25.00 R2 = 0.9145
20.00
15.00 y = 0.7133x + 3.3244
R2 = 0.9527
10.00
5.00
0.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(c).
Keterangan : (a). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 90%
(b). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 75%
(c). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 60%

Gambar 5. Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan dan


volume ketan yang berbeda

Dari Gambar 5, terlihat bahwa total asam tertitrasi semakin


meningkat dengan lamanya waktu fermentasi. Total asam tertitrasi yang
dihasilkan berkisar antara 3,20–45,60%, data hasil analisis pada pembuatan
tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 9. Di antara tiga kemasan yang
digunakan pada volume 90% dapat dilihat nilai slope yang dihasilkan
terlihat perbedaan yang sangat besar. Perbedaan nilai slope peningkatan
total asam tersebut dikarenakan banyaknya O2 yang tersedia di dalam
kemasan sehingga mempengaruhi proses fermentasi. Berdasarkan
Gambar 5, dapat dilihat yang memiliki nilai slope peningkatan total asam
terbesar yaitu kemasan III (0,7133).
Pada volume 75%, di antara ketiga kemasan yang digunakan dapat
dilihat bahwa nilai slope peningkatan total asam tertitrasi yang dihasilkan
terlihat jelas perbedaannya. Tersedianya O2 yang terlalu sedikit ataupun
terlalu banyak di dalam kemasan sangat mempengaruhi pembentukan asam
atau proses fermentasi. Berdasarkan Gambar 5, yang memiliki nilai slope
peningkatan total asam tertitrasi terbesar yaitu kemasan III (0,7111).
Sedangkan pada volume 60% di antara ketiga kemasan yang digunakan
juga memperlihatkan nilai slope yang berbeda. Berdasarkan Gambar 5,
yang memiliki nilai slope peningkatan total asam tertitrasi terbesar yaitu
kemasan III (0,7133).
Dilihat dari tiga jenis volume dan tiga kemasan yang digunakan
bahwa kemasan III dengan volume 90% dan volume 60% memiliki nilai
slope peningkatan total asam tertitrasi terbesar. Besarnya nilai slope
peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan III dikarenakan gas dan uap
air mudah masuk ke dalam kemasan ini. Luas permukaan yang dimiliki
pada kemasan III juga dapat mempengaruhi banyaknya kandungan O2
sehingga nilai laju transmisi oksigen (O2TR) yang dihasilkan lebih besar
dibandingkan kemasan II (Tabel 5). Selain itu O2 dapat masuk dari celah
antara tutup dan wadahnya, karena pada tutupnya tidak memiliki sistem
penutupan yang rapat (air sealed tidak mendekati nol). Banyaknya O2
dalam kemasan akan mempengaruhi proses fermentasi sehingga total asam
yang terbentuk semakin banyak. Tingginya total asam yang terkandung
pada tape ketan dapat mempengaruhi rasa yang dihasilkan. Semakin
rendahnya total asam yang terkandung dalam tape ketan maka semakin
bagus kualitas yang dimiliki oleh tape ketan. Kebanyakan konsumen tidak
menyukai tape ketan yang memiliki rasa asam.
Menurut Hasan (1987), perubahan yang terjadi selama fermentasi
adalah hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa yang menimbulkan rasa
manis, serta fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam-asam
organik. Apabila proses fermentasi terus berlanjut akan terbentuk asam
asetat karena adanya bakteri Acetobacter yang sering terdapat pada ragi
dan bersifat oksidatif. Alkohol yang dihasilkan dari hasil penguraian
glukosa akan dioksidasi lebih lanjut menjadi asam asetat. Produk lain yang
dihasilkan dari fermentasi yaitu metanol, gliserol, asetaldehid, dan ester.
Selain terbentuk asam asetat juga dapat terbentuk asam piruvat dan
asam laktat. Asam piruvat adalah produk antara yang terbentuk pada
hidrolisis gula menjadi etanol. Asam piruvat dapat diubah menjadi etanol
atau asam laktat. Bakteri Pedicoccus pentosaseus mengkatalis perubahan
asam piruvat menjadi asam laktat (Kozaki, 1979).
Asam-asam organik yang terbentuk seperti asam laktat akan
bereaksi dengan alkohol membentuk suatu ester aromatik yaitu etil asetat
yang merupakan salah satu komponen pembentuk citarasa tape. Aroma
tape selain disebabkan oleh ester asam etanoat, juga disebabkan oleh
adanya komponen-komponen alkohol, karbonil, asam dan zat-zat lain
seperti etil benzena, propil benzena, butilrelaktan, dan veralan
(Soedarsono, 1972). Reaksi-reaksi yang berlangsung di dalam fermentasi
tape yaitu :

amilase
2(C5H10O5)n + n H2O 2C6H12O6
Chlamydomucor oryzae
Pati Glukosa
& Rhyzopus oryzae

zimase
C6H12O6 + H2O 2 C2H5OH + 2 CO2
S. cerevisiae
Glukosa Etanol

C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O


Acetobacter
Etanol Asam asetat

CH3COOH + C2H5OH CH3COOC2H5 + H2O


Hansenula
Asam asetat etanol Etil asetat

Ketersediaan oksigen yang terkandung pada setiap kemasan akan


mempengaruhi fermentasi. Sifat dari setiap kemasan yang memiliki
permeabilitas terhadap oksigen dan uap air juga akan mempengaruhi
fermentasi tersebut. Banyak sedikitnya ketersediaan oksigen dalam ruang
kemasan mempengaruhi fermentasi tape. Jika semakin banyak tersedia
oksigen dalam ruang kemasan maka akan menurunkan kecepatan reaksi
jalur EMP, karena terjadi inaktifasi oksidatif enzim-enzim EMP.
Perubahan jumlah total asam juga diperlihatkan oleh perubahan derajat
keasaman (pH), dimana peningkatan total asam selama fermentasi diikuti
dengan pH yang cenderung menurun.

3. Derajat Keasaman (pH)

Penurunan nilai pH menunjukkan terjadinya peningkatan total asam


organik. Pengukuran nilai pH perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat
keasaman / kebasaan suatu produk dan berkaitan dengan keamanan serta
umur simpan produk. Hasil pengukuran pH selama fermentasi dapat dilihat
pada Gambar 6.

6.50
y = -0.0298x + 5.8731
6.00 R2 = 0.9413

y = -0.0313x + 5.9691
5.50
R2 = 0.9314
pH

5.00
y = -0.0324x + 5.9607
R2 = 0.9344
4.50

4.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(a).

7.00
y = -0.0298x + 5.9447
6.50 R2 = 0.9177

6.00
y = -0.0283x + 5.8822
R2 = 0.9189
pH

5.50

y = -0.0351x + 6.0076
5.00
R2 = 0.9063

4.50

4.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48
Waktu Fermentasi (Jam)
Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(b).
6.50
y = -0.0343x + 6.1673
R2 = 0.9134
6.00

y = -0.0279x + 5.9442
5.50
R2 = 0.9109

pH
5.00
y = -0.0277x + 5.8358
R2 = 0.9022
4.50

4.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48

Waktu Fermentasi (Jam)

Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan I Kemasan II Kemasan III

(c).
Keterangan : (a). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 90%
(b). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 75%
(c). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 60%

Gambar 6. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) pada kemasan dan


volume ketan yang berbeda

Nilai pH yang dihasilkan menurun dengan semakin lamanya


fermentasi sehingga rasa tape yang dihasilkan semakin asam. Menurut
Hasan (1987), perubahan yang terjadi selama fermentasi adalah hidrolisis
pati menjadi maltosa dan glukosa yang menimbulkan rasa manis, serta
fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam-asam organik.
Berdasarkan gambar di atas, ketiga jenis kemasan dan ketiga
volume ketan yang digunakan mengalami penurunan, dilihat dari tanda
negatif (-) pada nilai slope penurunan pH yang dihasilkan. Nilai pH yang
dihasilkan berkisar antara 4,60–6,21, dan rata-rata nilai pH terendah terjadi
pada jam ke-48. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan dapat dlihat
pada Lampiran 9. Nilai pH terendah terjadi pada kemasan I dengan volume
90%. Pada volume 90%, di antara ketiga kemasan yang digunakan
menghasilkan nilai slope penurunan pH yang tidak jauh berbeda, karena
kandungan O2 terlalu sedikit sehingga proses fermentasi tidak terlalu cepat.
Pada volume 75% dan volume 60% menghasilkan nilai slope penurunan
pH yang cukup jauh berbeda, sehingga lebih terlihat perbedaan nilai
slopenya dibandingkan dengan volume 90%. Kandungan O2 yang terdapat
dalam volume 75% tidak terlalu banyak dibandingkan dengan volume
60%, sehingga mempengaruhi proses fermentasi. Semakin banyak
kandungan O2 dalam kemasan maka akan mempengaruhi fermentasi yang
menyebabkan semakin tingginya kandungan total asam dan semakin
rendahnya nilai pH yang dihasilkan.
Penurunan pH selama fermentasi disebabkan banyaknya asam
organik yang terbentuk karena keaktifan enzim di dalam khamir, dimana
selain mengubah gula menjadi alkohol terbentuk juga hasil sampingan
seperti asam laktat, asam asetat, gliserol dan sebagainya. Asam-asam
organik yang terbentuk dapat berbeda untuk setiap bahan, hal ini
disebabkan perbedaan jenis dan jumlah karbohidrat serta perbedaan gula
yang terbentuk. Penurunan pH juga terjadi apabila terbentuk asam-asam
yang lebih banyak akibat adanya oksidasi ataupun adanya bakteri yang
dapat membentuk asam asetat dengan mengoksidasi alkohol. Menurut Fox
dan Allan (1977), reaksi perubahan tersebut dapat ditulis sebagai berikut :
Acetobacter
C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O
Berdasarkan Gambar 6, volume 90% memiliki nilai slope
penurunan pH terbesar yaitu pada kemasan III (-0,0324) dan yang memiliki
nilai slope penurunan pH terkecil yaitu pada kemasan I (-0,0298). Besarnya
nilai slope penurunan pH disebabkan lebih rapatnya permukaan pada
kemasan III sehingga keluar masuknya gas dan uap air akan lebih sulit
dibandingkan dengan kemasan I. Sulitnya keluar masuk gas dan uap air
pada kemasan III akan mempengaruhi banyaknya gas dan uap air yang
terkandung dalam kemasan, sehingga mempengaruhi fermentasi yang akan
menghasilkan banyak sedikitnya asam-asam yang terbentuk sehingga
mempengaruhi pH yang terbentuk. Kemasan I memiliki rongga-rongga
pada kemasan yang akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses
fermentasi. Semakin besar nilai pH maka semakin basa dan menunjukkan
kandungan total asam yang terkandung dalam tape ketan semakin kecil.
Pada volume 75% yang memiliki nilai slope penurunan pH terbesar
yaitu kemasan III (-0,0351) dan nilai slope penurunan pH terkecil yaitu
kemasan II (-0,0283). Semakin besar nilai slope penurunan pH yang
dihasilkan menunjukkan semakin basa. Kemasan II memiliki kemampuan
menyerap gas dan uap air lebih rendah daripada kemasan III, sehingga
kemasan II menghasilkan nilai slope penurunan pH yang lebih kecil
dibandingkan kemasan III. Selain itu, pada kemasan II memiliki wadah
yang lebih tebal dan tutup yang lebih rapat (air sealed mendekati nol)
dibandingkan kemasan III, sehingga gas dan uap air lebih sulit masuk ke
dalam kemasan.
Pada volume 60% yang memiliki nilai slope penurunan pH terbesar
yaitu kemasan I (-0,0343) dan yang memiliki nilai slope penurunan pH
terkecil yaitu kemasan II (-0,0177). Besar kecilnya nilai slope penurunan
pH dipengaruhi oleh perbedaan jenis kemasan.

4. Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui perubahan yang


terjadi yaitu perubahan dari ketan mentah menjadi ketan kukus dan saat
sesudah menjadi tape ketan yang belum disimpan pada suhu rendah. Hasil
analisis proksimat yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil analisis proksimat ketan mentah

Proksimat Awal Proksimat Sebelum


Analisis Ketan Ketan Penyimpanan Tape
Mentah Kukus Ketan
Kadar Abu (%) (bk) 2,2124 1,0064 1,1733
Kadar Air (%) (bk) 0,1192 0,4879 0,5379
Kadar Protein (%) (bk) 10,8478 11,8609 17,5756
Kadar Lemak (%) (bk) 4,3852 2,3437 2,4322
Kadar Karbohidrat (by
difference) (%) (bk) 82,5571 84,7957 78,8204

Dari Tabel 6, dapat dilihat kadar abu yang terdapat pada ketan
mentah lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu pada ketan kukus dan
tape ketan. Kadar abu pada ketan mentah sebesar 2,2124% menurun
menjadi 1,0064% pada ketan kukus. Sedangkan kandungan kadar abu pada
tape ketan mengalami peningkatan yaitu 1,1733%. Kadar abu suatu bahan
pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam
bahan pangan tersebut (Apriyantono et al., 1989). Pada proses pengabuan,
zat-zat organik diuraikan menjadi air dan karbondioksida, tetapi bahan
anorganik (mineral) tidak diurai menjadi air dan karbondioksida.
Penurunan nilai kadar abu dari ketan mentah menjadi ketan kukus
disebabkan karena sebagian mineral yang terkandung dalam ketan mentah
menghilang karena perendaman yang cukup lama sebelum diolah menjadi
ketan kukus. Menurut Departemen Kesehatan RI (1990), kadar abu per 100
gram pada ketan yang ditumbuk yaitu sebesar 1,5 g dan pada ketan yang
sudah dikukus yaitu sebesar 0,6 g sedangkan pada tape sebesar 0,6 g.
Kadar air pada ketan mentah mengalami peningkatan dari 0,1192%
menjadi 0,4879% pada ketan kukus, hal ini disebabkan ketan kukus banyak
menyerap air saat perendaman sebelum dimasak dan saat pemasakan.
Menurut Setiono (1975) dalam Rohmah (1997), beras dengan kadar air
kurang dari 14% akan lebih aman disimpan sedangkan beras dengan kadar
air lebih dari 14% akan menyebabkan pertumbuhan mikroba dan
perkembangbiakkan serangga bertambah cepat.
Perubahan ketan kukus menjadi tape ketan menyebabkan
peningkatan kadar air yang cukup tinggi, yaitu dari 0,4879% menjadi
0,5379%. Peningkatan tersebut disebabkan karena bahan mengalami proses
fermentasi, sehingga pada saat proses fermentasi akan dihasilkan cairan
yang terdiri dari air, asam, alkohol, dan ester.
Kadar protein ketan mentah menjadi ketan kukus meningkat dari
10,8478% menjadi 11,8609%. Kadar protein pada tape ketan mengalami
kenaikan sebesar 17,5756%. Menurut Winarno, et al., (1980), protein dapat
mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi kimia dengan
asam atau basa, dan sebab-sebab lainnya. Disamping itu protein dapat
mengalami denaturasi, degradasi dan menghasilkan komponen-komponen
yang menimbulkan bau busuk. Denaturasi protein dapat dihambat dengan
cara menurunkan suhu penyimpanan serendah mungkin
(Wirakartakusumah, 1992). Degradasi protein secara anaerobik dilakukan
oleh enzim proteolitik, yang dibedakan menjadi dua yaitu endopeptidase
dan eksopeptidase. Eksopeptidase dibedakan menjadi dua yaitu
aminopeptidase yang membutuhkan terminal bebas –NH2 dan
membutuhkan ion metal untuk aktifitasnya, dan karboksipeptidase yang
menghidrolisa peptida yang mempunyai terminal –COOH.
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar lemak kasar
yang terkandung pada ketan mentah menjadi ketan kukus mengalami
penurunan (Tabel 6). Kandungan kadar lemak kasar yang terdapat pada
tape ketan mengalami peningkatan, namun tidak terlalu besar seperti ketan
kukus. Kadar lemak kasar mengalami penurunan karena oksidasi tetap
berlangsung sesuai dengan permeabilitas kemasan terhadap oksigen. Selain
itu, penurunan kadar lemak kasar juga disebabkan oleh aktivitas enzim
lipase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme ini
menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol serta
menghidrolisis fosfolipid menjadi senyawa bernitrogen dan fosfor.
Sifat-sifat lemak yang penting dalam teknologi pangan adalah
lemak akan menjadi lunak langsung dengan pemanasan karena tidak
mempunyai titik cair yang tinggi, jika dipanaskan lebih lanjut mula-mula
akan menguap, kemudian menyala dan terbakar (suhu pada saat-saat
tersebut berturut-turut disebut suhu penguapan, suhu nyala, dan suhu
bakar), lemak dapat menjadi tengik jika dioksidasi atau jika asam-asam
lemak dibebaskan dari gliserol oleh enzim, dan lemak dapat membentuk
emulsi dengan air dan udara. Gelembung-gelembung lemak dapat
bersuspensi dengan air seperti didalam susu atau krim dimana jumlah air
lebih banyak, atau air dapat bersuspensi dengan lemak seperti pada
mentega dimana jumlah lemak lebih banyak.
Kadar karbohidrat yang dihasilkan mengalami peningkatan pada
ketan mentah menjadi ketan kukus sebesar 82,5571% menjadi 84,7957%.
Sedangkan pada tape ketan mengalami penurunan yang cukup besar yaitu
sebesar 78,8204%. Karbohidrat memegang peranan penting dalam biologi
khususnya dalam respirasi, yang dapat dioksidasi menjadi enersi. Zat-zat
penting yang termasuk karbohidrat adalah gula, dekstrin, pati, selulosa,
pektin dan gum. Kadar karbohidrat mengandung kadar serat dalam tape
ketan. Karena itu serat makanan pada umumnya merupakan karohidrat atau
polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya mengandung
serat makanan. Menurut Winarno (1997), karbohidrat juga mempunyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya
rasa, warna, tekstur dan lain-lain.

C. PENURUNAN MUTU TAPE KETAN SELAMA PENYIMPANAN

Pada penelitian utama dibuat tape ketan dengan menggunakan kemasan


dan volume ketan yang terpilih dari tahap sebelumnya yaitu kemasan I dengan
volume 90%. Setelah tiga hari diinkubasi pada kemasan dan volume ketan
yang terpilih, tape ketan yang telah matang atau telah difermentasi
dipindahkan ke dalam kemasan III, kemasan IV dan kemasan yang terpilih itu
sendiri (kemasan I), kemudian disimpan pada suhu rendah (chiller) dengan
pengamatan setiap hari selama dua minggu.
Penyimpanan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik dan
kimia tape ketan selama penyimpanan pada suhu rendah sebagai upaya untuk
memperpanjang umur simpan tape ketan. Analisis yang dilakukan selama
penyimpanan yaitu analisis kimia, fisik, dan uji organoleptik. Analisis kimia
yang dilakukan meliputi kadar gula, total asam tertitrasi, derajat keasaman
(pH), dan kadar alkohol yang diuji pada awal dan akhir penyimpanan.
Penyimpanan pada suhu rendah (chiller) diperlukan untuk bahan
pangan, karena dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya,
proses penuaan (aging) yang disebabkan oleh adanya proses pematangan
(ripening), pelunakan (softening), perubahan-perubahan warna dan tekstur,
kehilangan air dan pelayanan, kerusakan karena bakteri, kapang dan khamir,
proses-proses lagi yang tidak dikehendaki yang mengakibatkan menurunnya
mutu (Soesarsono, 1981; Buckle, 1978).
Penyimpanan suatu produk akan menyebabkan perubahan kandungan
gizi dari produk tersebut. Hal ini disebabkan selama penyimpanan terjadi
reaksi fisik, kimia, maupun mikrobiologi yang mempengaruhi komposisi gizi.
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada tape ketan yang disimpan pada
suhu rendah (chiller), dilakukan analisis proksimat pada dua titik pengamatan
yaitu awal dilakukan pada saat tape ketan sudah difermentasi atau diinkubasi
selama tiga hari serta sebelum disimpan pada suhu rendah (chiller) dan
terakhir dilakukan pada akhir penyimpanan. Hasil analisis proksimat tape
ketan yang disimpan dalam suhu rendah (chiller) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil analisis proksimat tape ketan

Proksimat Proksimat Akhir Penyimpanan


Analisis Awal Sebelum Disimpan Disimpan Disimpan
Proksimat Penyimpanan pada pada pada
Tape ketan kemasan I kemasan III kemasan IV
Kadar Abu (%) (bk) 1,1733 1,4927 1,3045 1,0299
Kadar Air (%) (bk) 0,5379 0,5291 0,5587 0,5495
Kadar Protein (%) (bk) 17,5756 12,5207 12,6952 8,8026
Kadar Lemak (%) (bk) 2,4322 6,5475 6,8072 6,4217
Kadar Karbohidrat (by
difference) (%) (bk) 78,8204 79,4404 79,1840 83,7512
Keterangan : Kemasan I : kemasan berbahan dasar bambu
Kemasan III : kemasan plastik berbahan dasar PP + PP
Kemasan IV : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE

Kadar abu yang diperoleh pada analisis proksimat mengalami


peningkatan yang tidak terlalu besar. Dari Tabel 7, dapat dilihat proksimat
kadar abu sebelum penyimpanan dan akhir penyimpanan meningkat, yaitu
pada tape ketan yang disimpan dalam kemasan I dan kemasan III. Nilai kadar
abu tape ketan sebelum disimpan dalam suhu rendah (chiller) sebesar
1,1733%, setelah disimpan dalam suhu rendah (chiller) nilai kadar abunya
mengalami peningkatan menjadi 1,4927% pada kemasan I dan menjadi
1,3045% pada kemasan III. Sedangkan tape ketan yang disimpan dalam
kemasan IV nilai kadar abunya mengalami penurunan menjadi 1,0299%.
Penurunan nilai kadar abu pada tape ketan yang disimpan dalam kemasan IV
disebabkan kandungan air yang dihasilkan pada kemasan ini lebih banyak dari
tape ketan yang disimpan dalam kemasan I dan kemasan III, sehingga
kandungan mineral yang terkandung pada bahan ikut larut dalam air tersebut.
Kadar air yang terbentuk pada tape ketan sebesar 0,5379%. Setelah tape
ketan disimpan dalam suhu rendah (chiller) yaitu pada akhir penyimpanan
mengalami kenaikan, namun hanya pada tape ketan yang disimpan dalam
kemasan I mengalami penurunan menjadi 0,5291%. Sedangkan pada kemasan
III dan kemasan IV, nilai kadar airnya mengalami kenaikan yang tidak terlalu
besar. Pada kemasan III nilai kadar airnya sebesar 0,5587% dan pada kemasan
IV nilai kadar airnya sebesar 0,5495%. Menurut Winarno et al., (1980), kadar
air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara di
sekitarnya. Apabila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi,
akan terjadi penyerapan uap air dari udara, sehingga bahan menjadi lembab
atau kadar airnya menjadi tinggi. Apabila suhu bahan lebih rendah (dingin)
daripada suhu sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada
permukaan bahan dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang
atau pertumbuhan bakteri.
Selain itu karena produk yang disimpan ini merupakan produk
fermentasi, maka tidak hanya karena pengaruh dari suhu penyimpanan saja
yang mempengaruhinya, tetapi juga dari jenis kemasannya yang memiliki
permeabilitas terhadap gas dan uap air yang baik. Semakin rendah
permeabilitas terhadap gas dan uap air maka semakin banyak gas dan uap air
yang masuk ke dalam kemasan. Banyaknya sedikitnya gas dan uap air yang
masuk ke dalam kemasan akan mempengaruhi banyak sedikitnya kandungan
air yang terdapat pada tape ketan. Tingginya kadar air yang dihasilkan pada
kemasan III dan kemasan IV saat penyimpanan, disebabkan oleh bahan yang
disimpan berupa bahan yang mengalami proses fermentasi. Saat proses
fermentasi akan dihasilkan cairan yang terdiri dari air, asam, alkohol, dan
ester.
Pada kemasan I kadar air yang terkandung lebih rendah daripada
kemasan III dan kemasan IV, hal ini disebabkan pada kemasan I terjadi
sirkulasi dengan udara sekitar penyimpanan yang menyebabkan bahan menjadi
lebih kering di antara kemasan yang lainnya. Konsumen kebanyakan lebih
menyukai tape ketan yang memiliki kadar air tinggi daripada tape ketan yang
memiliki kadar air rendah. Bahan yang disimpan merupakan bahan yang
mengalami fermentasi, maka semakin banyaknya kadar air pada bahan yang
disimpan akan mempengaruhi mikroba yang terkandung pada bahan tersebut.
Hal ini menyebabkan semakin lamanya bahan disimpan, maka rasa asam dan
aroma alkohol yang terbentuk semakin kuat.
Kadar protein tape ketan sebelum disimpan dalam suhu rendah (chiller)
sebesar 17,5756% menurun menjadi 12,5207% pada kemasan I, pada kemasan
III menurun menjadi 12,6952%, dan pada kemasan IV menurun menjadi
8,8026%. Protein dapat mengalami denaturasi, degradasi dan juga
menghasilkan komponen-komponen yang menimbulkan bau busuk.
Pemanasan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Semakin tinggi suhu
pemanasan, semakin cepat terjadinya denaturasi protein. Pemanasan
menginaktifkan enzim inhibitor dan menyebabkan denaturasi protein.
Sementara itu, denaturasi protein dapat dihambat dengan cara menurunkan
suhu penyimpanan serendah mungkin (Wirakartakusumah, 1992).
Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak kasar pada proksimat akhir
mengalami kenaikan. Kadar lemak kasar mengalami penurunan karena selama
penyimpanan oksidasi tetap berlangsung sesuai dengan permeabilitas kemasan
terhadap oksigen. Kelemahan dari penggunaan plastik yang mempunyai
permeabilitas tinggi terhadap gas organik dan oksigen adalah masih mungkin
bahan teroksidasi dan mengalami kerusakan (Winarno dan Jenie, 1983). Selain
itu, penurunan kadar lemak kasar juga disebabkan oleh aktivitas enzim lipase
yang disekresikan oleh mikroorganisme menghidrolisis trigliserida menjadi
asam lemak dan gliserol serta menghidrolisis fosfolipid menjadi senyawa
bernitrogen dan fosfor.
Semakin rendah kandungan gas dan uap air yang terdapat dalam
kemasan akan mempengaruhi kandungan kadar lemak pada tape ketan. Karena
semakin sedikitnya gas dan uap air dalam kemasan semakin rendah
kemungkinan terjadinya oksidasi yang dapat mempengaruhi mutu tape ketan
dan hidrolisis lemak.
Kadar karbohidrat yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami
peningkatan yang tidak begitu besar kecuali pada kemasan IV. Kadar
karbohidrat ini mengandung kadar serat dalam tape ketan. Menurut Winarno
(1997), serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-
buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis
karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat. Karena
itu serat makanan pada umumnya merupakan karohidrat atau polisakarida.
Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya mengandung serat makanan.
Karbohidrat pada tape ketan berasal dari gula dan pati. Menurut
Almatsier (2004), sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia, umbi-
umbian, kacang-kacang kering dan gula. Menurut Wianrno dan Fardiaz (1973)
bahwa fungsi utama karbohidrat sebagai penyedia keperluan energi tubuh,
pengatur metabolisme lemak, penghemat fungsi protein (protein spare),
simpanan sebagai glikogen dan sumber energi utama bagi otak dan susunan
syaraf. Menurut Winarno (1997), karbohidrat juga mempunyai peranan penting
dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur
dan lain-lain.

1. Sifat Kimia

Sifat kimia yang dianalisis selama penyimpanan bertujuan untuk


mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan mutu kimia
yang meliputi kadar gula, derajat keasaman (pH), kadar alkohol, dan total
asam tertitrasi. Hasil nilai korelasi, slope dan intercept selama
penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 8, sedangkan hasil analisis sifat
kimia yang telah dilakukan selama penyimpanan adalah sebagai berikut.

a. Kadar Gula

Perubahan kadar gula pada penyimpanan tape diukur dengan nilai


derajat brix dan diamati setiap hari selama dua minggu. Hasil
pengukuran kadar gula dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7,
dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar gula selama penyimpanan.

35

30
y = 1.4024x + 1.4329
25 R2 = 0.9067
Derajat Brix

20
y = 1.4085x + 0.9848
15 R2 = 0.8082

10
y = 0.5671x + 0.9680
5 R2 = 0.8769

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Penyimpanan (Hari)
Kemasan I Kemasan III Kemasan IV Kemasaan I Kemasan III Kemasan IV

Gambar 7. Grafik peningkatan kadar gula selama penyimpanan


Nilai kadar gula yang dihasilkan berkisar antara 0–300Brix, data
hasil analisis selama penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada
Lampiran 10. Kadar gula tertinggi terjadi pada kemasan I. Berdasarkan
Gambar 7, dapat dilihat nilai slope peningkatan kadar gula yang tertinggi
pada kemasan IV dengan nilai sebesar 1,4085.
Pada saat penyimpanan masih terjadi proses fermentasi, apabila
proses fermentasi terjadi semakin lama dapat meningkatkan kadar gula
dan pada proses selanjutnya menghasilkan alkohol, gas karbondioksida
dan asam-asam organik. Pembentukan asam yang lebih banyak dapat
disebabkan oleh bakteri yang dapat membentuk asam asetat dengan
mengoksidasi alkohol (Frazier, 1978).
Tingginya nilai slope peningkatan kadar gula pada kemasan IV
karena ketebalan yang dimilikinya mempengaruhi kandungan O2 yang
terdapat dalam kemasan, selain itu kemasan ini juga memiliki tutup yang
lebih rapat (air sealed mendekati nol). Rendahnya nilai O2TR
memperlihatkan bahwa kandungan O2 dalam kemasan sedikit, sehingga
mempengaruhi fermentasi yang terjadi. Proses pembentukan glukosa
terjadi secara aerob yang membutuhkan O2, terbentuknya glukosa karena
aktivitas kapang yang menghasilkan enzim amilase sehingga pati diubah
menjadi glukosa. Setelah itu glukosa dipecah menjadi alkohol dengan
khamir S. cerevisiae yang menghasilkan enzim zimase yang bersifat
anaerob sehingga kandungan O2 tidak berpengaruh. Tingginya nilai
slope peningkatan kadar gula pada kemasan IV menunjukkan bahwa
kemasan ini dapat mempertahankan kadar gula atau rasa manis yang
terbentuk.

b. Total Asam Tertitrasi

Total asam merupakan total kandungan asam organik yang


terdapat pada bahan. Selama penyimpanan ditunjukkan adanya
peningkatan nilai total asam tertitrasi pada setiap kemasan. Total asam
dipengaruhi oleh kandungan air dalam bahan. Karena kadar air tape
selama penyimpanan meningkat, maka total asam pada tape juga turut
meningkat. Selain itu peningkatan total asam juga berhubungan dengan
kadar alkohol dan lama fermentasi, dimana semakin lama fermentasi,
kadar alkohol meningkat dan total asam juga meningkat. Peningkatan
total asam dapat dilihat pada Gambar 8.

70.00

65.00
y = 1.6439x + 45.225
R2 = 0.831
Total Asam (%)

60.00

y = 1.1973x + 49.128
55.00 R2 = 0.8281

50.00
y = 1.5921x + 43.54
R2 = 0.8333
45.00

40.00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Penyimpanan (Hari)

Kemasan I Kemasan III Kemasan IV Kemasan I Kemasan III Kemasan IV

Gambar 8. Grafik peningkatan total asam selama penyimpanan

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba


penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Menurut
Winarno et al. (1980), fermentasi karbohidrat oleh ragi atau mikroba lain
dapat menghasilkan CO2, alkohol, asam organik dan zat-zat organik
lainnya. Asam organik inilah yang menyebabkan total asam tape ketan
meningkat.
Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat nilai total asam yang
dihasilkan berkisar antara 52–66%, data hasil analisis selama
penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada tabel 10. Semakin lama
disimpan total asam yang terbentuk akan semakin tinggi, walaupun tape
ketan disimpan pada suhu rendah proses fermentasi tetap terjadi tetapi
tidak secepat pada suhu ruang. Dari pengukuran yang dilakukan, nilai
slope peningkatan total asam selama penyimpanan pada kemasan I dan
IV memiliki nilai slope penurunan yang tidak jauh berbeda. Nilai slope
peningkatan total asam yang terendah yaitu pada kemasan III dengan
nilai slope sebesar 1,1951 dan tertinggi pada kemasan I dengan nilai
slope sebesar 1,6378. Tingginya nilai kemiringan total asam pada
kemasan I disebabkan oleh kandungan gas dan uap air yang tidak
terhingga (Tabel. 5), sehingga mempercepat pertumbuhan mikroba
aerobik yang dapat menyebabkan tingginya total asam yang dihasilkan
akibat dari pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam kemasan tersebut.
Sedangkan kandungan oksigen yang rendah mengakibatkan mikroba
aerobik sulit tumbuh. Semakin sedikit jumlah mikroba menyebabkan
berkurangnya jumlah karbohidrat yang dipecah menjadi asam pada
proses fermentasi.
Total asam yang terbentuk selama penyimpanan berubah-ubah,
menurunnya total asam disebabkan oleh karena pembentukan asam
sebelum enzim dekarboksilase aktif sudah cukup tinggi, utnuk akhirnya
menurun setelah terjadi dekarboksilasi yang menyebabkan jumlah asam
gliserat, piruvat dan laktat yang terbentuk lebih banyak dibandingkan
jumlah asam yang terbentuk akibat oksidasi etil alkohol yaitu asam
asetat.

c. Derajat Keasaman (pH)

Kadar total asam yang meningkat akan menurunkan nilai pH


karena pengukuran pH berdasarkan jumlah ion hidrogen yang terurai
dari asam. Oleh karena itu semakin tinggi total asam yang terukur,
semakin banyak ion hidrogen yang terurai dan pH yang terukur semakin
rendah. Fermentasi yang semakin lama menyebabkan penurunan nilai
pH. Selama penyimpanan nilai pH yang dihasilkan semakin menurun.
Menurunnya pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.
5.40

5.30 y = -0.0077x + 5.0960


R2 = 0.9107
5.20

5.10 y = -0.0313x + 5.1863


R2 = 0.7863
pH

5.00

4.90
y = -0.0388x + 5.2257
4.80 R2 = 0.8617

4.70

4.60
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Penyimpanan (Hari)

Kemasan I Kemasan III Kemasan IV Kemasan I Kemasan IIII Kemasan IV

Gambar 9. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) selama


penyimpanan
Berdasarkan gambar di atas menurunnya nilai pH yang dihasilkan
dapat dilihat dari tanda negatif (-) pada nilai slope penurunan pH. Hasil
pH yang diperoleh berkisar antara 4,88–5,08, data hasil analisis selama
penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai slope
penurunan pH yang tertinggi yaitu kemasan III dengan nilai sebesar -
0,0388 dan nilai slope penurunan pH yang terendah yaitu kemasan I
dengan nilai sebesar -0,0077. Penurunan nilai slope pH yang kecil ini
disebabkan karena jumlah mikroba yang ada hanya sedikit sehingga
aktivitas mikroba pembentuk asam laktat yaitu bakteri Pediococcus yang
memecah karbohidrat menjadi asam-asam organik hanya sedikit. Nilai
slope pH pada kemasan III dan kemasan IV menghasilkan nilai slope
penurunan pH yang tidak berbeda jauh. Namun pada kemasan III
merupakan nilai slope penurunan pH yang tertinggi di antara kemasan I
dan kemasan IV. Banyak sedikitnya kandungan oksigen yang terdapat
dalam kemasan akan mempengaruhi pemecahan atau pembentukan
asam-asam organik dari glukosa, mikroba yang berperan disini yaitu
Acetobacter. Banyaknya oksigen yang masuk ke dalam kemasan
menyebabkan perhitungan O2TR yang dihasilkan menjadi lebih besar.
Besarnya nilai O2TR dikarenakan pada kemasan III memiliki wadah
yang lebih tipis dan luas permukaan wadah yang lebih besar daripada
kemasan IV sehingga O2 lebih banyak masuk ke dalam kemasan, selain
itu pada kemasan III memiliki sistem penutupan yang kurang rapat (air
sealed tidak mendekati nol) daripada kemasan IV. Nilai slope penurunan
pH pada kemasan III dan kemasan IV tidak jauh berbeda sehingga
kemasan dan lamanya penyimpanan tidak mempengaruhi nilai pH tape.
Berdasarkan nilai slope penurunan pH yang dihasilkan tidak
berkorelasi dengan nilai slope peningkatan total asam yang dihasilkan,
yang seharusnya antara total asam yang dihasilkan berbanding teralik
dengan pH. Semakin tinggi total asam yang dihasilkan semakin rendah
pH. Penurunan pH selama fermentasi disebabkan banyaknya asam
organik yang terbentuk karena keaktifan enzim di dalam khamir, dimana
selain mengubah gula menjadi alkohol terbentuk juga hasil sampingan
seperti asam laktat, asam asetat, gliserol dan sebagainya. Diagram alir
pembentukan hasil samping fementasi tape ketan selain alkohol dan
asam dapat dilihat pada Gambar 10.
Pati
Hidrolisis

Glukosa

Glikolisis

Asam Piruvat
Piruvat dekarboksilase
Mg2+, Thiamin Pirofosfat
Asetaldehid + CO2
Alkohol dehidrogenase
NADH2
Etanol

Gambar 10. Tahapan reaksi pembentukan hasil samping fermentasi tape


ketan selain alkohol dan asam

Asam-asam organik yang terbentuk dapat berbeda untuk setiap


bahan, hal ini disebabkan perbedaan jenis dan jumlah karbohidrat serta
perbedaan gula yang terbentuk. Penurunan pH juga terjadi apabila
terbentuk asam-asam yang lebih banyak akibat adanya oksidasi ataupun
adanya bakteri yang dapat membentuk asam asetat dengan mengoksidasi
alkohol.
Menurut Fardiaz (1989), pH merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Mikroba pada umumnya dapat
tumbuh pada kisaran pH 3,0-6,0. Kebanyakan bakteri mempunyai pH
optimum sekitar 6,5-7,5. Pada pH di bawah 5,0 dan di atas 8,5 hanya
bakteri asam asetat dan bakteri oksidasi sulfur yang dapat tumbuh
dengan baik. Khamir menyukai pH 4,0-5,0 dan dapat tumbuh pada
kisaran pH 2,5-8,5. Sedangkan kapang mempunyai pH optimum 5,0-7,0,
tetapi seperti halnya khamir, kapang masih dapat hidup pada pH 3,0-8,5.
d. Kadar Alkohol

Kadar alkohol memegang peranan penting dalam proses


fermentasi karena berhubungan dengan penerimaan konsumen. Produk
dengan kadar alkohol yang tinggi akan menyebabkan penerimaan
konsumen menjadi berkurang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
alkohol tape ketan selama penyimpanan memiliki nilai kadar alkohol
yang bervariasi dan rata-rata kadar alkohol yang terkandung pada tape
ketan rendah. Kadar alkohol selama penyimpanan dapat dilihat pada
Gambar 11.

2.5

2
Kadar Alkohol (%)

1.5

0.5

0
Awal Penyimpanan Akhir Penyimpanan
Titik Pengamatan

Kemasan I Kemasan III Kemasan IV

Gambar 11. Grafik kadar alkohol selama penyimpanan

Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa kadar alkohol


yang terkandung dalam tape ketan memiliki kisaran antara 0–2 %. Kadar
alkohol yang dihasilkan pada tape ketan ini tergolong rendah.
Pengamatan ini hanya dilakukan dua kali dalam 14 hari. Pengamatan
awal yaitu hari ke-0 yang merupakan awal dari penyimpanan tape ketan
dalam suhu rendah (chiller). Ketiga kemasan memiliki nilai kadar
alkohol yang sama yaitu 2%. Pada pengamatan akhir yaitu hari ke-14,
kemasan III dan kemasan IV memiliki nilai kadar alkohol yang tetap
yaitu sebesar 2%, sedangkan kemasan I nilai kadar alkohol yang
terkandung mengalami penurunan yaitu menjadi 1%.
Alkohol terbentuk sebagai hasil hidrolisis gula yang terdapat pada
tape yang selanjutnya diubah menjadi asam (Winarno dan Fardiaz,
1984). Menurut Nuraini (1980), semakin lama fermentasi, aktivitas
kapang masih tinggi untuk memecah pati yang tersedia menjadi gula,
selanjutnya gula ini diubah menjadi alkohol oleh khamir. Selain itu,
karena penyimpanan dilakukan dalam wadah yang tertutup,
kemungkinan alkohol yang menguap relatif kecil.
Penyimpanan pada suhu dingin menyebabkan proses perombakan
gula menjadi alkohol oleh mikroba-mikroba yang terdapat pada ragi
terhambat. Selain itu, sifat alkohol yang mudah menguap sehingga
menyebabkan sebagian alkohol akan mengalami oksidasi membentuk
asam asetat, dan sebagian lagi akan bereaksi dengan asam yang
terbentuk menghasilkan ester aromatik. Hal tersebut menyebabkan
alkohol bebas yang terdapat dalam tape menjadi berkurang, sehingga
akan memberikan hasil pengukuran yang rendah (Jonsen, 1984).
Pada penyimpanan awal rata-rata kadar alkohol yang dimiliki
setiap kemasan nilainya sama, hal ini disebabkan saat pembuatan tape
ketan menggunakan kemasan yang sama yaitu kemasan I. Kadar alkohol
selama penyimpanan berubah-ubah, meningkatnya kadar alkohol
disebabkan karena proses fermentasi masih terus berlangsung selama
penyimpanan, sedangkan menurunnya kadar alkohol selama
penyimpanan disebabkan karena esterifikasi, oksidasi, dan penguapan.
Menguapnya alkohol dapat disebabkan oleh ruang pendingin yang
digunakan memiliki kelembaban yang rendah, sedangkan tape ketan
memiliki kelembaban yang cukup tinggi. Ketidakseimbangan ini
mengakibatkan menguapnya alkohol dari bahan ke lingkungan. Selain
itu karena kemasan I memiliki kemapuan menyerap gas dan uap yang
paling besar daripada kemasan III dan kemasan IV. Untuk itu akhir
pengamatan, kemasan I kandungan alkoholnya menurun, akibat dari
lebih mudahnya gas masuk ke dalam kemasan sehingga oksidasi lebih
mudah terjadi.

2. Analisis Organoleptik

Uji Organoleptik dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen


secara subjektif terhadap mutu tape ketan selama penyimpanan meliputi
rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum. Pada penelitian ini uji
organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji mutu hedonik. Berbeda
dengan uji kesukaan, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak
suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Mutu hedonik
dapat bersifat umum yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti manis-
asam untuk rasa tape.

a. Rasa

Rasa dapat dinilai karena adanya tanggapan rangsangan kimiawi


oleh indera perasa (lidah) yang meliputi kesatuan interaksi antara sifat-
sifat aroma dan tekstur serta dapat mempengaruhi penilaian konsumen
terhadap suatu produk. Nilai rasa dipengaruhi oleh kemanisan dan rasa
asam, tetapi juga dipengaruhi oleh alkohol. Hasil uji organoleptik
terhadap rasa selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12.
8.5
8.0 y = -0.2176x + 8.2938
Tingkat kesukaan

7.5 R2 = 0.9491
7.0
6.5 y = -0.1869x + 7.8320
6.0 R2 = 0.9629
5.5
5.0 y = -0.1552x + 7.6430
4.5 R2 = 0.9488
4.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Lama Penyimpanan (Hari)

Kemasan I Kemasan IV Kemasan III

Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tape ketan


antara skor 6-10

Gambar 12. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap rasa selama


penyimpanan

Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat nilai kesukaan terhadap rasa


tape ketan semakin menurun yang ditandai oleh tanda negatif (-) dengan
semakin lamanya waktu penyimpanan. Nilai slope penurunan mutu
organoleptik terhadap rasa yang terendah terdapat pada kemasan IV dan
nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa tertinggi pada
kemasan I. Kemasan IV memiliki nilai slope penurunan mutu
organoleptik terhadap rasa sebesar -0,1552 dan kemasan I memiliki nilai
slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa sebesar -0,2176.
Semakin rendahnya nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap
rasa yang dihasilkan pada kemasan IV dapat dikatakan bahwa kemasan
tersebut baik untuk menyimpan tape ketan karena penurunan rasa manis
yang tidak terlalu banyak.
Penurunan rasa manis dapat disebabkan masih adanya proses
fermentasi pada saat penyimpanan, sehingga rasa manis yang sudah
terbentuk berubah menjadi rasa asam, dan dipengaruhi oleh alkohol.
Selain itu karena kemasan IV memiliki kemasan lebih tertutup rapat
dibandingkan dengan kemasan I menyebabkan O2 yang masuk ke dalam
kemasan hanya sedikit sehingga nilai O2TR yang dihasilkan lebih rendah
yang dapat mempengaruhi proses fermentasi, proses oksidasi, dan
volatilisasi yang terjadi lebih rendah.
Menurut Widowati (1993), semakin lama penyimpanan, perubahan
rasa yang terjadi semakin besar yang disebabkan oleh hilangnya senyawa
kimia penting pembentuk rasa melalui volatilisasi, oksidasi, kondensasi,
dan reaksi kimia lainnya.
Semua kemasan yang digunakan sangat berpengaruh pada nilai laju
transmisi gas oksigen (O2TR), nilai laju transmisi gas karbondiokasida
(CO2), dan nilai laju transmisi uap air (WVTR). Kemasan IV memiliki
kemampuan menyerap uap air dan gas yang rendah, sehingga lebih baik
untuk menyimpan bahan yang memiliki kadar air tinggi. Semakin tinggi
kadar air yang dihasilkan dapat mempengaruhi rasa, karena kadar gula
dan total asam yang dihasilkan juga akan semakin rendah.
Penilaian panelis terhadap rasa bervariasi, batas penilaian panelis
dikatakan masih menyukai tape ketan yaitu antara nilai 6-10. Penentuan
seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak layak untuk
dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin rendahnya
penilaian panelis terhadap rasa manis selama penyimpanan dapat
disebabkan rasa tape ketan sudah menjadi asam, yang sebagian besar
konsumen tidak begitu menyukai rasa tape ketan yang asam. Jika dilihat
dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari
ke-11 untuk kemasan I dan III sudah tidak layak dikonsumsi karena
panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,5 dan 5,6). Namun, untuk
kemasan IV masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih
memberikan skor 6,1 pada penilaian organoleptik terhadap rasa. Hasil
analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada
Lampiran 4.

b. Aroma

Aroma merupakan sifat yang penting untuk diperhatikan dalam


penilaian organoleptik bahan pangan karena aroma merupakan faktor
yang sangat berpengaruh pada daya terima konsumen terhadap suatu
produk. Aroma merupakan sifat yang sangat cepat memberikan kesan
bagi konsumen. Penilaian terhadap aroma dapat dilakukan dari jarak jauh
atau tanpa melihat produk.
Nilai kesukaan terhadap aroma tape ketan semakin menurun
dengan semakin lama waktu penyimpanan. Penurunan yang dihasilkan
tidak terlalu besar karena nilai slope penurunan mutu organoleptik
terhadap aroma yang dihasilkan tidak berbeda jauh. Hasil uji
organoleptik terhadap aroma dapat dilihat pada Gambar 13.
8.5
y = -0.2162x + 8.0179
8.0
R2 = 0.9650
Tingkat kesukaan

7.5
7.0 y = -0.2356x + 8.1467
R2 = 0.9540
6.5
6.0 y = -0.2018x + 7.9435
5.5 R2 = 0.9554
5.0
4.5
4.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Lama Penyimpanan (Hari)


Kemasan I Kemasan IV Kemasan III

Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tape ketan


antara skor 6-10

Gambar 13. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap aroma selama


penyimpanan

Berdasarkan nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap


aroma yang dihasilkan, nilai yang tertinggi pada kemasan III dengan nilai
sebesar -0,2356 dan nilai yang terendah pada kemasan IV dengan nilai
sebesar -0,2018. Menurut Winarno (1997), aroma menentukan kelezatan
dari suatu produk. Aroma terjadi karena adanya sejumlah komponen
volatil yang berasal dari produk tersebut yang dapat terdeteksi oleh
indera pembau. Aroma tape berhubungan dengan total asam dan kadar
alkohol yang dihasilkan. Asam-asam tersebut dihasilkan pada proses
fermentasi lebih lanjut seperti asam asetat dan asam-asam organik
lainnya. Selain itu ester yang dihasilkan dari esterifikasi asam dengan
alkohol juga mempengaruhi pernurunan aroma yang terjadi (Wood,
1998).
Ketebalan yang dimiliki oleh suatu kemasan berhubungan dengan
kemampuan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan. Tinggi rendahnya
nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap aroma berkaitan
dengan ketebalan yang dimiliki oleh masing-masing kemasan sehingga
mempengaruhi aroma yang terkandung dalam tape ketan tersebut saat
penyimpanan.
Berdasarkan kemasan yang digunakan semakin rapatnya suatu
kemasan akan semakin kuat aroma yang dihasilkan pada bahan yang
disimpan. Hal ini dapat melindungi sifat-sifat dari aroma yang memiliki
sifat volatilisasi dapat terhindari seminimum mungkin. Tape ketan yang
disimpan masih mengalami fermentasi sehingga rasa asam, aroma
alkohol dan ester yang dihasilkan semakin banyak walaupun tidak
sebanyak pada saat sebelum disimpan dalam chiller.
Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak
layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin
rendahnya penilaian panelis terhadap aroma selama penyimpanan dapat
disebabkan aroma alkohol yang dihasilkan semakin menyengat. Jika
dilihat dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan,
pada hari ke-10 untuk kemasan I sudah tidak layak dikonsumsi karena
panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,8). Namun, untuk kemasan
III dan IV masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih
memberikan skor 6,1 dan 6,2 pada penilaian organoleptik terhadap
aroma. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat
dilihat pada Lampiran 4. Rata-rata semakin kuatnya aroma asam, alkohol
dan ester yang dihasilkan pada pembuatan tape disukai oleh konsumen,
tetapi ada juga konsumen yang tidak menyukainya.

c. Tekstur

Nilai kesukaan terhadap tekstur tape ketan selama penyimpanan


semakin lama mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin
lama waktu penyimpanan, maka tekstur yang dihasilkan semakin lembek
karena kandungan air pada tape tersebut. Tetapi di antara ketiga kemasan
tersebut ada juga yang menghasilkan tekstur tape menjadi kering. Hasil
uji organoleptik terhadap tekstur dapat dilihat pada Gambar 14.

8.5
y = -0.1761x + 7.8972
8.0
R2 = 0.9523
Tingkat kesukaan

7.5
7.0 y = -0.1664x + 7.9204
6.5 R2 = 0.9507
6.0
5.5 y = -0.1647x + 7.9479
5.0 R2 = 0.9500
4.5
4.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Lama Penyimpanan (Hari)

Kemasan I Kemasan IV Kemasan III

Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tape ketan


antara skor 5-10

Gambar 14. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur selama


penyimpanan

Pada Gambar 14, nilai kesukaan terhadap tekstur tape ketan dapat
dilihat dari nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape
ketan yang paling rendah yaitu kemasan IV (-0,1647) sedangkan yang
memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape
ketan paling tinggi pada kemasan I (-0,1761). Tingginya nilai slope
penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape ketan pada kemasan I
dapat dikatakan bahwa tekstur tape ketan selama penyimpanan paling
lembek dengan semakin lamanya penyimpanan. Sedangkan pada
kemasan IV yang memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik
terhadap tekstur tape ketan yang terendah memiliki nilai tekstur tape
ketan tidak begitu lembek. Hasil nilai kesukaan terhadap tekstur tape
merupakan selera dari konsumen.
Tekstur dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Syarief dan Halid
(1993), air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air
dapat mempengaruhi kekerasan, penampakan, citarasa, dan nilai gizinya.
Tekstur tape menjadi lunak atau mengalami pengerutan. Jaringan
permukaan tape yang keriput atau mengkerut terjadi pada suhu dingin
karena terjadi proses pengerasan. Proses pengerasan terjadi karena
adanya pengeringan pada lapisan luar tape. Tekstur yang lunak terjadi
karena pembentukan cairan sebagai hasil samping dari proses fermentasi.
Cairan tersebut keluar dari jaringan sehingga tekstur menjadi lunak.
Pembentukan cairan selain menyebabkan tekstur menjadi lunak, juga
mengakibatkan penyusutan jaringan yang selanjutnya menyebabkan
kekeriputan (Jonsen, 1984).
Lembeknya tekstur tape ketan yang dihasilkan selama
penyimpanan dipengaruhi oleh sifat kemasan yang digunakan. Pada
kemasan IV tekstur tape ketan yang dihasilkan paling rendah karena
memiliki nilai O2TR yang rendah daripada kemasan I (Tabel 5), sehingga
cairan yang terbentuk dari hasil samping fermentasi tidak terlalu banyak
yang dapat mempengaruhi tektur tape ketan selama penyimpanan.
Sedangkan pada kemasan I tekstur yang dihasilkan berdasarkan nilai
slope penurunan mutu organoleptik dengan yang diamati oleh indera
penglihatan berbeda. Berdasarkan indera penglihatan tekstur tape ketan
semakin lama disimpan akan semakin kering, hal ini disebabkan pada
kemasan I memiliki rongga-rongga sehingga selama penyimpanan
terpengaruh oleh peranan air terhadap bahan pangan dengan lingkungan
sekitar. Fenomena yang dapat terjadi berupa perpindahan air berbentuk
uap air dari bahan ke atmosfer, maupun sebaliknya. Perpindahan uap air
antara komponen yang berbeda pada satu kemasan, atau antar bahan
makanan dan atmosfir dapat disebabkan karena komposisi produk
tersebut dan ruangan sekitar yang berkaitan dengan kelembaban udara
pada lemari pendingin. Ruang pendingin yang digunakan memiliki
kelembaban yang rendah, sedangkan tape ketan memiliki kelembaban
yang cukup tinggi. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan perpindahan
air yang terjadi dari bahan ke lingkungan.
Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak
layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin
rendahnya penilaian panelis terhadap tekstur selama penyimpanan dapat
disebabkan tekstur tape ketan yang semakin lembek. Jika dilihat dari
hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke-
10 untuk kemasan I dan III sudah tidak layak dikonsumsi karena panelis
sudah memberikan skor di bawah 6 (5,9 dan 5,8). Namun, untuk
kemasan IV masih layak untuk dikonsumsi sampai hari ke-12 karena
panelis masih memberikan skor 6,1 pada penilaian organoleptik terhadap
tekstur. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat
dilihat pada Lampiran 4.

d. Penerimaan Umum

Parameter ini merupakan parameter penerimaan umum yang


dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen secara menyeluruh
terhadap suatu produk. Nilai kesukaan terhadap penerimaan umum
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.

8.5 y = -0.2157x + 8.1184


8.0 R2 = 0.9493
Tingkat Kesukaan

7.5
y = -0.2199x + 8.0780
7.0 R2 = 0.9526
6.5
6.0 y = -0.1771x + 7.8033
5.5 R2 = 0.9529
5.0
4.5
4.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Lama penyimpanan (Hari)


Kemasan I Kemasan IV Kemasan III

Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan umum


tape ketan antara skor 6-10

Gambar 15. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap penerimaan


umum selama penyimpanan
Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, penerimaan umum
terhadap tape ketan yang paling disukai yaitu tape ketan yang disimpan
pada kemasan IV. Kemasan IV dapat dikatakan lebih disukai oleh
konsumen berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan terhadap rasa,
aroma, dan tekstur serta dilihat dari nilai slope penurunan mutu
organoleptik terhadap penerimaan umum yang dihasilkan paling kecil
yaitu sebesar -0,1771 daripada kemasan yang lain.
Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak
layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin
rendahnya penilaian panelis terhadap penilaian umum selama
penyimpanan dapat disebabkan rasa manis, aroma dan tekstur tape ketan
sudah tidak disukai oleh panelis. Jika dilihat dari hasil analisis
organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke-11 untuk
kemasan I sudah tidak layak dikonsumsi karena panelis sudah
memberikan skor di bawah 6 (5,5). Namun, untuk kemasan III dan IV
masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih memberikan skor
6,1 pada penilaian organoleptik terhadap penerimaan umum. Hasil
analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada
Lampiran 4. Penilaian umum penilaian keseluruhan terhadap rasa manis,
asam dan aroma alkohol yang dihasilkan tape ketan. Namun, parameter
rasa merupakan syarat utama suatu produk dapat diterima oleh konsumen
(Nuraini,1980).

3. Aplikasi Dan Manfaat Penyimpanan

Upaya penerapan kemasan modern berupa kemasan plastik berbahan


dasar PE dan PP merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan
dalam proses pembuatan makanan tradisional berupa tape ketan. Hal ini
disebabkan sulitnya menemukan kemasan tradisional yaitu kemasan besek
dan daun pisang untuk pembuatan tape ketan terutama pada masyarakat
perkotaan. Kemasan plastik lebih mudah ditemukan dan tersedia untuk
berbagai macam kegunaan, dapat digunakan berulang-ulang kali, tersedia
dalam berbagai jenis ukuran sesuai dengan ruang penyimpanan yang ada
serta dapat ditumpuk secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang
tidak terlalu rapat sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam
ruang pendingin sebagai tempat penyimpanan. Hal ini dapat mempengaruhi
kondisi produk dan ruang penyimpanan sehingga produk yang disimpan
dapat mempertahankan kualitasnya dan mengurangi laju penurunan mutu
yang terjadi selama penyimpanan.
Perbandingan volume ketan yang digunakan dalam proses pembuatan
tape ketan bertujuan untuk memperoleh kondisi volume yang lebih baik
dalam menghasilkan tape ketan pada masing-masing kemasan, sehingga
diharapkan masyarakat dapat mengetahui volume yang lebih baik digunakan
dalam proses pembuatan tape ketan. Karena hal ini akan mempengaruhi
proses fermentasi yang berlangsung dan tape ketan yang dihasilkan
nantinya. Ruang kosong yang terlalu banyak dalam kemasan dapat
menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih cepat dan menghasilkan
variasi rasa antara rasa manis, asam dan aroma alokohol yang lebih banyak,
begitu juga sebaliknya. Untuk itu dalam proses pembuatan tape ketan,
banyaknya volume ketan dalam kemasan sebaiknya hanya 90% dari volume
kemasan yang digunakan agar menghasilkan tape ketan yang lebih baik dan
disukai oleh masyarakat.
Dalam penyimpanannya, tape ketan lebih baik disimpan menggunakan
kemasan yang tertutup rapat yang memiliki air sealed yang baik karena akan
mempengaruhi penyimpanan. Hal ini juga memberikan kondisi
penyimpanan yang lebih bersih karena air yang dihasilkan dari fermentasi
tidak akan mempengaruhi bahan makanan lain yang juga disimpan dalam
lemari pendingin, serta dapat mengurangi atau mencegah masuknya cemaran
dari lingkungan selama penyimpanan karena kemasannya tertutup rapat.
Sehingga diharapkan mampu memperlambat penurunan mutu dan
memperpanjang umur simpan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Pada pembuatan tape ketan, jenis kemasan dan volume ketan yang
berbeda akan mempengaruhi fementasi tape ketan, karena persediaan oksigen
yang terdapat dalam kemasan mempengaruhi terjadinya proses fermentasi.
Analisis kimia yang dilakukan menunjukkan bahwa kemasan yang terbaik di
antara kemasan lainnya yaitu kemasan I dengan volume 90%. Hal ini dilihat
dari nilai slope kadar gula yang tertinggi yaitu 0,5551 dengan nilai slope total
asam terendah yang bernilai 0,5778 dan nilai slope pH sebesar -0,0298, selain
itu juga didukung oleh uji organoleptik dari rasa manis yang dihasilkan.
Analisis fisiko kimia tape ketan pada awal dan akhir penyimpanan
menunjukkan penurunan pada tape ketan yang disimpan pada semua jenis
kemasan. Kadar gula mengalami peningkatan selama penyimpanan yang
dikarenakan fermentasi masih terjadi dan mengubah karbohidrat menjadi
glukosa. Kemasan yang menunjukkan peningkatan kadar gula tertinggi yaitu
kemasan IV (1,4085). Nilai total asam selama penyimpanan juga meningkat.
Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar alkohol yang dihasilkan
dan lamanya fermentasi. Tape ketan yang disimpan dalam kemasan III
memiliki nilai slope peningkatan total asam terendah (1,1951). Nilai pH
selama penyimpanan berkorelasi dengan total asam yang semakin meningkat.
Nilai slope penurunan pH pada kemasan I yang terendah (-0.0077). Sedangkan
kadar alkohol pada akhir penyimpanan yang tidak mengalami penurunan yaitu
kemasan III dan IV (2%).
Hasil uji organoleptik, baik rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum
terhadap tape ketan selama penyimpanan menunjukkan panelis lebih menyukai
tape ketan yang disimpan pada kemasan IV yang dilihat dari penurunan nilai
slope terkecil (-0,1552, -0,2018, -0,1647, dan -0,1771), dengan rasa manis,
asam dan aroma alkohol yang bervariasi. Sehingga berdasarkan analisa
terhadap penurunan mutu yang terjadi selama penyimpanan suhu dingin, tape
ketan masih layak dikonsumsi hingga 11 hari waktu penyimpanan yang
menggunakan kemasan IV.
B. SARAN
Beberapa saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini diantaranya :
1. Menggunakan volume ketan yang 90% agar mendapatkan volume ketan
yang lebih optimal.
2. Pada penyimpanan dianjurkan menggunakan kemasan yang tertutup rapat
selain untuk dapat mempertahankan mutu, juga dapat melindungi
kontaminasi dari bahan lainnya.
3. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan uji kadar pati untuk mengetahui
kandungan pati setelah fermentasi dan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official


Analytical Chemist. AOAC Inc., Washington.

Algaratman, R. 1977. Production of High Fructose Syrup From Starch. Di dalam


K. Tan (Ed). Papers of First International Sago. Symp. Kualalumpur.

Apriyantono, A., D. Fardiaz., N. L. Puspitasari., Sedarnawati., dan S.


Budiyantono. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan
dan Gizi. IPB, Bogor.

Beauchat, L. R. 1987. Traditional Fermented Food Product. Di dalam Beauchat,


L. R. (ed). Food and Beverage Mycology. The avi Publ. Co., Inc.,
Wesport, Connecticut.

Berlian, N., dan E. Rahayu. 1995. Bambu : Budidaya dan Prospek Bisnis. Penebar
Swadaya, Jakarta.

Buckle, K. A. 1978. Technology of Food Preservation. In a Course Manual in


Food Science. Australian Vice Chancellors Committee. PP : 75-139.

Buckle, K. A., R. A. Edward., G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1978. Ilmu Pangan


(terjemahan). UI Press, Jakarta.

Buckle, K. A., R. A. Edward., G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan.


Terjemahan Purnomo dan Adiono. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cronk, T. C., K. H. Steinkraus, L. R. Hackler dan L. R. Mattick. 1977. Production


of Higher Alcohol During Indonesian Tape Ketan Fermentation. Appl.
Environ. Mycrobiol. 33:1067-1073.

Damardjati, D. S. 1979. Struktur dan Komposisi Beras. Sekolah Pasca Sarjana.


IPB, Bogor.

Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 1972. Daftar Komposisi Bahan


Makanan. Bhratara, Jakarta.

Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan
Indonesia, Jakarta.

Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar


Universitas. IPB, Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia, Jakarta.


Frazier, W. C. Dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata McGraw Hill
Pub. Co. Limited, New Delhi.

Grist, D. H. 1959. Rice. Longmans and Co., London.

Harper, J. C. 1976. Element of Food Engineering. The AVI Publishing Company.


Inc. Westport, Connecticut.

Hasan, Z., M. I. K. Karim dan M. A. Augustin. 1987. Tapai Fermentation in


Malaysia. Di dalam NODAI Research Institute : Traditional Foods and
Processing in Asia. Tokyo University of Agriculture. Tokyo.

Hesseltine, C. W. 1979. Mycroorganism Involved in Food Fermentation Asia.


Procedings International Symposium on Mycrobiological Aspect of Food
Storage, Processing and Fermentation in Tropical Asia, Bogor, 10 – 13
Desember 1979. FTDC- IPB, Bogor.

Jonsen. 1984. Mempelajari Penyimpanan Tape Ubi Kayu (Manihot sp) Sebagai
Bahan Mentah Untuk Industri. Skripsi. Fateta. IPB. Bogor.

Juliano, B. O. 1967. Chemistry of The Rice Grain Cereal Chemistry. Saturday


Seminar, UPLB, Philippines.

Juliano, B. O. 1972. The Rice Grain Caryopsis and its Composition. Di dalam D.
F. Houston (ed). Rice chemistry and Technology. American Association of
Cereal Chemist, Inc. Minnesota.

Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol


3. The Interscience Encyclopedia, Inc., Connecticut, New York.

Ko, S. D. 1972. Tape Fermentation. Appl. Microbiology, 23 (5) : 976 – 978.

Ko, S. D. 1982. Indigenous Fermented Foods. Di dalam Rose, A. H. (ed).,


Economic Microbiology vol. 7 Fermented Foods. Academic Press.
London.

Kozaki, M. 1979. Microorganism in Fermented Foods Processing in Tropical Asia


Proc. Inter. Symp. On Mic. Aspect of Food Storage, Process and
Fermentation in Tropical Asia. FTDC-IPB, Bogor.

Legowo, B. 1984. Pengaruh Penyosohan Beras Ketan Putih (Oryza sativa


glutinosa), Lama Fermentasi dan Suhu Pemasakan Terhadap Mutu Brem
Padat. Skripsi. Fateta. Bogor.

Merican, Z. dan Yeoh, Q. L. 1989. Tapai Processing in Malaysia : A Technology


in Transition. Di dalam Steinkraus, K H. (ed). Industrialization of
Indigenous Fermented Foods. Marcel Dekker, New York.
Nuraini, Y. 1980. Mempelajari Faktor-faktor Kimiawi Yang Berpengaruh
Terhadap Nilai Organoleptik Tape Ketan, Berdasarkan Jenis Ketan,
Wadah dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.

Paine, F A. 1977. The Packaging Media. Blackle and Sons LTD. Scotland.

Pawitan, D. 1986. Mempelajari daya tahan berbagai jenis plastik terhadap radiasi
UV. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Rachman, A. 1989. Tehnologi Fermentasi. Arcan. Bandung.

Rahayu, W. P. dan Suliantari. 1990. Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbi-


umbian. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor.

Robertson, G.L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel Dekker
Inc., New York.

Rose, A. H. 1977. Alcoholic Beverages. Academic Press. London.

Saono, J. K. D. 1981. Microflora of Ragi : its composition and as a source of


industrial yeasts. Di dalam Proceeding of ASCA Technical Seminar.
Medan.

Soerdarmo, K. 1973. Ilmu Gizi. PT Dian Rakyat, Jakarta.

Soedarsono, J. 1972. Some Note on Ragi Tape for Tape Fermentation. Ilmu
Pertanian I (16) : 235-241.

Steinkraus, K. H. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Foods. Marcel-


Dekker. New York.

Syarief, R. 1989. Teknologi Pengemasan Bahan.Laboratorium Rekayasa Proses


Pangan PAU. IPB, Bogor

Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar


Universitas-Gizi Institut Pertanian Bogor. Arcan, Jakarta.

Widowati. 1993. Studi tentang Pengaruh Jenis Plastik dan Teknik Pengemasan
Terhadap Umur Simpan Roti Tawar. Skripsi. FATETA. IPB. Bogor.

Will, R. H., T. H. Lee, D. Graham, W. B. Mc Glasson and E. G. Hall. 1981.


Postharfest, An Introduction to The Physiology and Handling of Fruit and
Vegetable. New South Wales University Press Ltd.

Winarno, F. G. dan S. Fardiaz. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Fatemata, IPB.


Bogor.
Winarno, F. G. dan B. S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, dan
Keracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA. IPB,
Bogor.

Winarno, F. G. 1980. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.

Winarno, F. G., dan M. Aman. 1981. Penyimpanan Buah-buahan, Sayur-sayuran,


dan Bunga-bungaan. Alih Bahasa. Jurusan Tehnologi Industri. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.

Winarno, F.G. dan B.S.L. Jenie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara
Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Winarno, F. G. dan S. Fardiaz. 1984. Biofermentasi dan Biosintesis Protein.


Angkasa. Bandung.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M Syarif. 1992. Sifat Fisik Bahan
Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan
Tinggi. PAU, Bogor.

Wood, B. J. B. 1998. Microbiology of Fermented Foods. 2nd Edition. Blackie


Academic and Professional. London.

http://lc.bppt.go.id/ladang_bambu/upload/kemasan.pdf
Lampiran 1. Perhitungan nilai transmission rate masing-masing kemasan
Diket : * Kemasan I
Ukuran wadah : p = 13,2 cm; l = 12 cm; t = 9 cm
Bobot : wadah = 28,4 g
tutup = 32,8 g
Ketebalan : wadah = 1,78; 1,69; 1,65; 1,25; 1,56 = 1,59 mm
tutup = 1,24; 1,44; 1,46; 1,56; 1,27 = 1,39 mm

* Kemasan II
Ukuran kemasan : diameter bawah = 13,5 cm
diameter atas&tutup = 18,5 cm
tinggi = 8,5 cm
Bobot : wadah = 115,8 g
tutup = 50,5 g
Ketebalan : wadah = 0,25; 0,211; 0,213; 0,211; 0,28 = 0,233 mm
tutup = 1.68; 1,68; 1,60; 1,59; 1,64 = 1,64 mm

* Kemasan III
Ukuran kemasan : Bagian atas wadah : p = 18,5 cm; l = 11,5 cm
t = 10,7 cm
Bagian bawah wadah : p = 17,5 cm; l = 10,5 cm
Ketebalan : wadah = 1,275; 1,26; 1,28; 1,165; 1,1 = 1,22 mm
tutup = 1,22; 1,24; 1,25; 1,33; 1,28 = 1,26 mm
Bobot : wadah = 89,0 g
tutup = 33,2 g

* Kemasan IV
Ukuran kemasan : p = 27 cm; l = 13,8 cm; t = 9 cm
Ketebalan : wadah = 2,325; 2,33; 2,315; 2,15; 2,75 = 2,37 mm
tutup = 1,55; 1,58; 1,53; 1,525; 1,54 = 1,54 mm
Bobot : wadah = 193,7 g
tutup = 69,3 g

Koefisien permeabilitas P (cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1) polimer terhadap gas dan air
Polimer Permean T˚C P x 10-13
O2 30 1,7
Polipropilen CO2 30 6,9
H2O 30 51,0
O2 25 5,18
Polietilen CO2 25 21
H2O 25 93
Sumber : Piringer dan Baner (2000)
Faktor konversi untuk beberapa satuan terhadap koefisien permeabilitas
Into [cm3] [cm] [cm3] [cm] [cm3] [cm]
From [cm2] [s] [cm Hg] [cm2] [s] [Pa] [m2] [hari] [atm]
[cm3] [cm] 1 7,5 . 10-4 6,57 . 1010
[cm2] [s] [cm Hg]
[cm3] [mm] 10-1 7,5 . 10-5 6,57 . 109
[cm2] [s] [cm Hg]
[cm3] [cm] 1,32 . 10-2 9,87 . 10-6 8,64 . 108
[cm2] [s] [atm]
[cm3] [mil] 3,87 . 10-14 2,90 . 10-17 2,54 . 10-3
[cm2] [hari] [atm]
[in3] [mil] 9,82 . 10-12 7,37 . 10-15 6,45 . 10-1
[100in2] [hari] [atm]
[cm3] [cm] 1,52 . 10-11 1,14 . 10-14 1
2
[m ] [hari] [atm]
[cm3] [cm] 1,54 . 10-11 1,16 . 10-14 1,01
[m2] [hari] [bar]
[cm3] [cm] 1,33 . 103 1 8,75 . 1013
[cm2] [s] [Pa]

Dit : a. Gramatur
b. Densitas
c. O2TR
d. CO2TR
e. WVTR

Jawab :
* Kemasan I
Luas wadah = [ 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (p x t) ]
= [ 2 (13,2 x 12) + 2 (12 x 9) + 2 ( 13,2 x 9) ]
= (316,8 + 216 + 237,6)
= 770,4 cm2

* Kemasan II
Luas lingkaran atas = π R2 = 3,14 x 9,252 = 268,67 cm2
Luas lingkaran bawah = π r2 = 3,14 x 6,752 = 143,07 cm2
Luas selimut = ½ ( atas + bawah ) x t
= ½ ( 2πR + 2πr) x t
= ½ [ (2 x 3,14 x 9,25) + (2 x 3,14 x 6,75) ] x 8,5
= ½ (58,09 + 42,39) x 8,5
= 427,04 cm2
Luas wadah = Luas lingkaran atas + Luas selimut + Luas lingkaran bawah
= 268,67 + 427,04 + 143,07
= 838,78 cm2

Luas tutup = πr2 = 3,14 x 9,252 = 268,67 cm2

* Kemasan III
Luas atas = p x l = 18,5 x 11,5 = 212,75 cm2
Luas bawah = p x l = 17,5 x 10,5 = 183,75 cm2
Luas selimut = ½ ( atas + bawah ) x t
= ½ [ (2 x p x l) atas + (2 x p x l) bawah ] x t
= ½ [ (2 x 18,5 x 11,5) + ( 2 x 17,5 x 10,5) ] x 10,7
= ½ (425,5 + 367,5) x 10,7
= 4242,55 cm2

Luas wadah = Luas lingkaran atas + Luas selimut + Luas lingkaran bawah
= 212,75 + 4242,55 + 183,75
= 4639,05 cm2

Luas tutup = p x l = 18,5 x 11,5 = 212,75 cm2

* Kemasan IV
Luas wadah = [ 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (p x t) ]
= [ 2 ( 27 x 13,8) + 2 ( 13,8 x 9) + 2 ( 27 x 9) ]
= (745,2 + 248,4 + 486)
= 1479,6 cm2

Luas tutup = p x l = 27 x 13,8 = 372,6 cm2

bobot contoh (g) 10000 cm2


2
a. Gramatur (g/m ) = x
luas contoh (cm2) 1 m2

28,4 g 10000 cm2


Kemasan I : Gramatur wadah = x = 368,64 g/m2
770,4 cm2 1 m2

115,8 g 10000 cm2


Kemasan II : Gramatur wadah = x = 1380,58 g/m2
2 2
838,78 cm 1m

50,5 g 10000 cm2


Gramatur tutup = x = 1879,63 g/m2
2 2
268,67 cm 1m
89,0 g 10000 cm2
Kemasan III : Gramatur wadah = x = 191,85 g/m2
2 2
4639,05 cm 1m

33,2 g 10000 cm2


Gramatur tutup = x = 1560,52 g/m2
212,75 cm2 1 m2

193,7 g 10000 cm2


Kemasan IV : Gramatur wadah = x = 1309,14 g/m2
1479,6 cm2 1 m2

69,2 g 10000 cm2


Gramatur tutup = x = 1857,22 g/m2
2 2
372,6 cm 1m

gramatur (g/m2)
b. Densitas =
tebal plastik (m) x 1000

368,64 g/m2
Kemasan I : Densitas wadah = = 231,85 kg/m3
0,00159 m x 1000

1380,58 g/m2
Kemasan II : Densitas wadah = = 5925,24 kg/m3
0,000233 m x 1000

1879,63 g/m2
Densitas tutup = = 1146,12 kg/m3
0,00164 m x 1000

161,85 g/m2
Kemasan III : Densitas wadah = = 157,25 kg/m3
0,00122 m x 1000

1560,52 g/m2
Densitas tutup = = 1238,51 kg/m3
0,00126 m x 1000

1309,14 g/m2
Kemasan IV : Densitas wadah = = 552,38 kg/m3
0,00237 m x 1000

1857,22 g/m2
Densitas tutup = = 1205,99 kg/m3
0,00154 m x 1000
3. Oxygen Transmission Rate (O2TR)
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
PPP = 1,7 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m2
3 -2 -1 -1
= 14,875 cm cm m hari atm x
10000 cm2
-3 2 -1 -1
= 1,4875 x 10 cm hari atm

8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1


-13 3 -2 -1 -1
PPE = 5,18 x 10 cm cm cm s Pa x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
2
m
= 45,325 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x
10000 cm2
= 4,5325 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1

Asumsi : tekanan O2 dalam udara = 21%


∆P
3
O2TR (cm /hari) = Ai x Ji = Ai x P x
d
Kemasan II :
0,21 atm – 0
O2TR wadah = 838,78 cm2 x 1,4875 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x
0,0233 cm
3
= 11,25 cm /hari

0,21 atm – 0
O2TR tutup = 268,67 cm2 x 4,5325 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x
0,164 cm
= 1,56 cm3/hari
Total O2TR kemasan II = 11,25 cm3/hari + 1,56 cm3/hari = 12,81 cm3/hari

Kemasan III :
0,21 atm – 0
2 -3 2 -1 -1
O2TR wadah = 4639,05 cm x 1,4875 x 10 cm hari atm x
0,122 cm
3
= 11,88 cm /hari
0,21 atm – 0
2 -3 2 -1 -1
O2TR tutup = 212,75 cm x 1,4875 x 10 cm hari atm x
0,126 cm
3
= 0,53 cm /hari
Total O2TR kemasan III = 11,88 cm3/hari + 0,53 cm3/hari = 12,41 cm3/hari
Kemasan IV :
0,21 atm – 0
O2TR wadah = 1479,6 cm2 x 1,4875 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x
0,237 cm
= 1,95 cm3/hari

0,21 atm – 0
2 -3 2 -1 -1
O2TR tutup = 372,6 cm x 4,5325 x 10 cm hari atm x
0,154 cm
3
= 2,30 cm /hari
Total O2TR kemasan IV = 1,95 cm3/hari + 2,30 cm3/hari = 4,25 cm3/hari

4. Carbon Dioxyde Transmission Rate (CO2TR)


8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
PPP = 6,9 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m2
3 -2 -1 -1
= 60,375 cm cm m hari atm x
10000 cm2
= 6,0375 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1

8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1


-13 3 -2 -1 -1
PPE = 21 x 10 cm cm cm s Pa x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
2
m
3 -2 -1 -1
= 183,75 cm cm m hari atm x
10000 cm2
-2 2 -1 -1
= 1,8375 x 10 cm hari atm

Asumsi : tekanan CO2 dalam udara = 21%


∆P
CO2TR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px
d
Kemasan II :
CO2TR wadah = 838,78 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 45,64 cm3/hari
0,0233 cm

CO2TR tutup = 268,67 cm2 x 1,8375 x 10-2 cm2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 6,32 cm3/hari
0,164 cm
Total CO2TR kemasan II = 45,64 cm3/hari + 6,32 cm3/hari = 51,96 cm3/hari

Kemasan III :
CO2TR wadah = 4639,05 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 48,21 cm3/hari
0,122 cm

CO2TR tutup = 212,75 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 2,14 cm3/hari
0,126 cm
Total CO2TR kemasan III = 48,21 cm3/hari + 2,14 cm3/hari = 50,35 cm3/hari

Kemasan IV :
CO2TR wadah = 1479,6 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 7,92 cm3/hari
0,237 cm

CO2TR tutup = 372,6 cm2 x 1,8375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 9,34 cm3/hari
0,154 cm
CO2TR kemasan large = 7,92 cm3/hari + 9,34 cm3/hari = 17,26 cm3/hari

5. Water Vapor Transmission Rate (WVTR)


8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
PPP = 51 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m2
3 -2 -1 -1
= 446,25 cm cm m hari atm x
10000 cm2

= 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1


PPE = 93 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m2
= 813,75 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x
10000 cm2
-2 2 -1 -1
= 8,1375 x 10 cm hari atm

Asumsi : tekanan H2O dalam udara = 21%


∆P
WVTR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px
d
Kemasan II :
WVTR wadah = 838,78 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 337,36 cm3/hari
0,0233 cm

WVTR tutup = 268,67 cm2 x 8,1375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 27,99 cm3/hari
0,164 cm
Total WVTR kemasan II = 337,36 cm3/hari + 27,99 cm3/hari = 365,35
cm3/hari

Kemasan III :
WVTR wadah = 4639,05 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 356,34 cm3/hari
0,122 cm

WVTR tutup = 212,75 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 15,82 cm3/hari
0,126 cm
Total WVTR kemasan III = 356,34 cm3/hari + 15,82 cm3/hari = 372,16
cm3/hari
Kemasan IV :
WVTR wadah = 1479,6 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 58,51 cm3/hari
0,237 cm

WVTR tutup = 372,6 cm2 x 8,1375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1

0,21 atm – 0
x = 41,35 cm3/hari
0,154 cm
WVTR kemasan large = 58,51 cm3/hari + 41,35 cm3/hari = 99,86 cm3/hari
Lampiran 2. Prosedur pengujian
1. Analisa Proksimat
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dan ditaruh dalam cawan
alumunium/porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Selanjutnya
dikeringkan dalam oven pada suhu 100 - 105oC selama 3 – 5 jam. Setelah
itu sampel dan cawan alumunium/porselen diangkat dan didinginkan
dalam desikator hingga suhu ruang. Timbang bobot akhirnya dan ulangi
pekerjaan ini hingga bobot akhir konstan.
bobot awal sampel (g) – bobot akhir sampel (g)
Kadar Air (%) = x 100%
bobot awal sampel (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)


Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dan ditaruh dalam cawan
porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Sebelum diabukan, sampel
terlebih dahulu dipanaskan diatas pemanas destruksi hingga terbentuk
arang dan tidak berasap lagi. Selanjutnya sampel diabukan dalam tanur
listrik pada suhu 550oC hingga terbentuk warna abu - abu. Setelah itu
sampel didinginkan dalam desikator. Timbang bobot akhirnya dan ulangi
pekerjaan ini hingga bobot akhir konstan.
B-C
Kadar abu (%) = x 100%
A

3. Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl) (AOAC, 1995)


Sebanyak 0,1 gram bahan dicampur dengan 1 gram katalis (dibuat
dengan mencampurkan 1 gram CuSO4 dan 1,2 gram Na2SO4) dan 2,5 ml
H2SO4 pekat dididihkan sampai jernih dalam labu Kjeldahl, kemudian
didinginkan. Setelah itu diencerkan sampai dengan 100 ml, diambil
sebanyak 5 ml untuk dimasukkan ke alat destilasi ditambah 15 ml NaOH
50% dan didestilasi. Hasil destilat ditampung dalam 25 ml HCl 0,02 N dan
ditambah 2 tetes indikator Mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam
alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1).
Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai berwarna abu-abu.
Dilakukan juga terhadap blanko.
ml NaOH blanko – ml NaOH contoh x N NaOH x 14,007
%N = x 100%
gram contoh

%protein = %total N × faktor konversi


Bahan Uji Faktor Konversi
Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan
6,25
ternak, buah-buahan, teh, malt, anggur
Beras 5,95
Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,70
Kacang tanah 5,46
Kedelai 5,75
Kenari 5,18
Susu kental manis 6,38

4. Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet (AOAC,1995)


Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dengan seksama kemudian
dimasukkan dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas, dengan
selongsong kertas yang telah dikeringkan dan diketahui berat keringnya.
Kemudian sumbat selongsong kertas yang berisi contoh dengan kapas.
Setelah itu keringkan selongsong kertas berisi contoh dalam oven ± 800C
selama ± 1 jam. Sesudah kering dimasukkan ke dalam alat ekstraksi
Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang
telah dikeringkan dan sudah diketahui beratnya kemudian ditambahkan
pelarut heksan secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refluks selama ± 6
jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih.
Selanjutnya pelarut disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam
oven pada suhu 105 °C. Dinginkan dan timbang kemudian ulangi hingga
bobotnya tetap.
A- C
Kadar Lemak(%) = x 100%
B
A = bobot contoh
B = bobot lemak sebelum ekstraksi
C = bobot labu lemak sesudah ekstraksi

5. Kadar Karbohidrat Total (By Difference)


Kadar karbohidrat total dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (A + B + C + D)
Dimana : A = Kadar Air
B = Kadar Abu
C = Kadar Protein
D = Kadar Lemak

6. Kadar Gula
Sampel diperas dengan menggunakan kain diatas prisma untuk
diukur berapa kadar gula yang terkandung dalam sampel tersebut pada
refraktometer. Lalu lihat nilainya pada tempat yang terang, nilai yang
dibaca yaitu diantara warna kuning dan hitam.

7. Kadar Total Asam


Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dihaluskan dalam mortar lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan hingga
tanda tera dengan menambahkan air destilat. Selanjutnya didiamkan 30
menit dan disaring dengan kapas. Filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml
dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N dengan indikator PP hingga timbul
warna merah muda pada akhir titrasi. Perhitungan total asam tertitrasi
dilakukan dengan menggunakan rumus :
VxNxP
Total Asam = x 100
B

Dimana: V = volume NaOH 0.1 N yang terpakai (liter)


N = normalitas NaOH setelah distandarisasi
P = pengenceran
B = berat bahan
8. Kadar Alkohol
Sebanyak 10 gr contoh ditimbang dan kemudian dilarutkan dalam
air sampai 100 ml. Campuran diletakkan di dalam erlenmeyer 100 ml.
Campuran digoyang-goyangkan dan kemudian didestilasi. Destilat
ditampung dalam gelas ukur 100 ml, sampai volume 80 ml. Volume
destilat diencerkan sampai 100 ml.
Suhu destilat didinginkan sampai mendekati 160C. Alat hidrometer
(alkohol meter) dicelupkan secara pelahan-lahan, jangan sampai
menyentuh dinding gelas, kemudian dilepaskan. Setelah keadaan
setimbang, kadar alkohol dibaca pada skala hidrometer, kemudian
dikonversi dengan tabel konversi suhu. Kadar alkohol contoh diperoleh
dari perkalian kadar alkohol terukur dengan faktor pengenceran.

9. pH
Kalibrasi pH meter dengan larutan buffer pH (lakukan setiap saat
akan melakukan pengukuran). Celupkan elektroda yang telah dibersihkan
dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa (konsentrasi
larutan pati 10 % bk). Sesuaikan suhu dari contoh. Catat dan baca harga
pH pada skala pH meter yang ditunjukkan jarum.

10. Uji Organoleptik


Uji organoleptik yang digunakan dalam analisis tape ketan adalah
uji mutu hedonik yang menyangkut penilaian seseorang akan mutu fisik
produk yang biasa dinilai dengan panca indera. Dalam uji organoleptik ini
digunakan sepuluh orang panelis semi terlatih yang diminta tanggapan
pribadinya tentang mutu sampel tape ketan yang diuji. Tanggapan ini
dituliskan dalam kuesioner untuk uji organoleptik.
Parameter yang diuji secara organoleptik dari tape ketan adalah
rasa, aroma, tekstur, dan penerimaan umum. Pada pengujian ini digunakan
garis skalar dengan 10 titik. Untuk rasa, mulai dari sangat asam (1) sampai
sangat manis (10). Untuk aroma, mulai dari aroma tape menyengat (sangat
asam) (1) sampai aroma tape (asam) (10). Untuk tekstur, mulai dari sangat
kering (1) sampai lembek (10). Untuk penerimaan umum, mulai dari
sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (10). Panelis memberikan tanda
silang (X) pada garis skalar, lalu dikonversikan ke numerik dengan alat
penggaris. Data numerik kemudian dianalisis.
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik

Bahan : Tape Ketan Tanggal Pengamatan :

Petunjuk : Berilah tanda silang (X) pada garis sesuai dengan respon yang ditimbulkan untuk
masing-masing parameter dengan keterangan nilai sebagai berikut :

162
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rasa :
Asam Manis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tekstur :
Sangat kering Lembek
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aroma :
Asam Tape
Penerimaan umum : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sangat tidak suka Sangat suka

216
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rasa :
Asam Manis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tekstur :
Sangat kering Lembek
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aroma :
Asam Tape
Penerimaan umum : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sangat tidak suka Sangat suka

261
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rasa :
Asam Manis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tekstur :
Sangat kering Lembek
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Aroma :
Asam Tape
Penerimaan umum : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sangat tidak suka Sangat suka

84
Lampiran 4. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan

Pengamatan (Hari)
Organoleptik Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kemasan I 8.0 7.2 7.8 7.5 6.5 6.7 5.9 6.5 6.6 6.1 5.5 6.4 5.4 6.2
Rasa Kemasan III 7.8 7.1 7.4 7.0 6.6 6.5 6.3 6.5 6.6 5.8 5.6 6.2 5.0 5.5
Kemasan IV 7.5 7.1 7.6 7.0 6.8 6.5 6.1 6.4 6.5 5.9 6.1 5.9 5.2 5.8
Kemasan I 7.9 7.4 7.5 7.1 6.9 6.8 6.5 6.7 6.5 5.9 5.5 6.3 5.6 5.4
Tekstur Kemasan III 8.2 7.2 7.8 6.9 6.4 6.8 6.5 6.3 6.2 5.8 5.3 5.8 5.3 5.1
Kemasan IV 8.0 7.0 7.6 7.1 7.0 6.9 6.8 6.6 7.0 6.7 6.3 6.1 5.5 5.7
Kemasan I 8.2 7.2 7.8 6.9 6.4 6.8 6.5 6.3 6.2 5.8 5.3 5.8 5.3 5.1
Aroma Kemasan III 8.1 7.2 7.9 7.4 6.6 6.5 6.0 6.5 6.3 6.1 5.5 6.0 5.2 5.2
Kemasan IV 8.2 7.2 7.7 7.1 6.5 6.7 6.3 6.3 6.1 6.2 5.6 5.8 5.1 5.3
Kemasan I 8.1 7.2 7.9 7.4 6.6 6.5 6.0 6.5 6.3 6.1 5.5 6.0 5.2 5.2
Penerimaan
Umum Kemasan III 7.5 7.1 7.6 7.0 6.8 6.5 6.1 6.4 6.5 5.9 6.1 5.9 5.2 5.8
Kemasan IV 7.6 7.2 7.7 7.2 6.8 6.7 6.2 6.5 6.3 6.1 6.1 5.8 5.0 5.5

85
Lampiran 5. Hasil nilai korelasi, slope dan intercept pembuatan tape ketan

y = ax+b
Analisis Perlakuan 2
R a b
Volume 90%
Kemasan I 0.9413 -0.0298 5.8731
Kemasan II 0.9314 -0.0313 5.9691
Kemasan III 0.9344 -0.0324 5.9607
Volume 75%
Kemasan I 0.9177 -0.0298 5.9447
Derajat Keasaman (pH)
Kemasan II 0.9189 -0.0283 5.8822
Kemasan III 0.9063 -0.0351 6.0076
Volume 60%
Kemasan I 0.9134 -0.0343 6.1673
Kemasan II 0.9043 -0.0177 5.5280
Kemasan III 0.9022 -0.0244 5.8358
Volume 90%
Kemasan I 0.9135 0.5778 5.8667
Kemasan II 0.9002 0.6311 3.9644
Kemasan III 0.9070 0.7133 4.6578
Volume 75%
Kemasan I 0.9121 0.6378 4.6933
Total Asam Tertitrasi
Kemasan II 0.9302 0.6933 6.4711
Kemasan III 0.9448 0.7111 4.8000
Volume 60%
Kemasan I 0.9896 0.5711 1.2267
Kemasan II 0.9145 0.6289 7.0400
Kemasan III 0.9527 0.7133 3.3244
Volume 90%
Kemasan I 0.8709 0.5551 0.7283
Kemasan II 0.8553 0.5109 0.5725
Kemasan III 0.8504 0.5254 0.3913
Volume 75%
Kemasan I 0.9311 0.3306 2.5645
Kadar Gula
Kemasan II 0.9200 0.2975 2.5269
Kemasan III 0.9200 0.2975 2.5269
Volume 60%
Kemasan I 0.8772 0.5362 0.9638
Kemasan II 0.8490 0.5297 0.3370
Kemasan III 0.8457 0.5399 0.2101

86
Lampiran 6. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway

ATP ADP ATP ADP

Glukosa Glukosa 6-P Fruktosa-6-P Fruktosa-1,6-Di-P


NADH+H+ NAD+

1,3-Di-Asam Gliserat Gliseraldehid-3-P Dihidroksi-


aseton-
Fosfat
ATP
ADP

3-P-Asam Gliserat 2-P-Asam Gliserat Fenol-Asam-Piruvat

CO2
+ +
NAD NADH+H Asam Piruvat

Etanol Asetaldehida

Keterangan : ATP = Adenosin Trifosfat


ADP = Adenin Difosfat
NAD = Nikotinamida Adenin Dinukleotida
NADP = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat
NADPH = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Tereduksi

87
Lampiran 7. Hasil Organoleptik Pembuatan Tape Ketan
Wadah + Volume
Organoleptik Jam
K II, 90% K II, 75% K II, 60% K I, 90% K I, 75% K I, 60% K III, 90% K III, 75% K III, 60%
Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
Rasa 0 Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan
Aroma Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan
Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal
Rasa 6 Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan
Aroma Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan
Tekstur Kenyal Kenyal Kenyal Lembek Lembek Lembek Kenyal Kenyal Kenyal
Rasa 12 Ketan Ketan Ketan Manis Manis Manis Ketan Ketan Ketan
Aroma Ketan Ketan Ketan Tape Tape Tape Ketan Ketan Ketan
Tekstur Lembek Lembek Lembek Lembek+ Lembek+ Lembek+ Lembek Lembek Lembek
Rasa 18 Manis Manis Manis Manis+ Manis+ Manis Manis Manis Manis
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape
Tekstur Lembek Lembek Lembek Lembek++ Lembek++ Lembek++ Lembek Lembek Lembek
Rasa 24 Manis+ Manis+ Manis Manis+ Manis+ Manis+ Manis Manis+ Manis+
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape
Tekstur Lembek+ Lembek+ Lembek+ Lembek++ Lembek++ Lembek++ Lembek+ Lembek+ Lembek+
Rasa 30 Manis+ Manis+ Manis+ Manis++ Manis++ Manis+ Manis+ Manis+ Manis+
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape
Tekstur Lembek++ Lembek++ Lembek++ Lembek+++ Lembek+++ Lembek+++ Lembek+ Lembek+ Lembek+
Rasa 36 Manis++ Manis++ Manis+ Manis++ Manis++ Manis++ Manis+ Manis+ Manis+
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape
Tekstur Lembek+++ Lembek+++ Lembek+++ Lembek++++ Lembek++++ Lembek++++ Lembek++ Lembek++ Lembek++
Rasa 42 Manis++ Manis++ Manis++ Manis++++ Manis+++ Manis++ Manis++ Manis++ Manis++
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape
Tekstur Lembek++++ Lembek++++ Lembek++++ Lembek+++++ Lembek+++++ Lembek++++ Lembek+++ Lembek+++ Lembek+++
Rasa 48 Manis+++ Manis+++ Manis++ Manis+++++ Manis++++ Manis+++ Manis++ Manis++ Manis++
Aroma Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape Tape

88
Lampiran 8. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept selama panyimpanan

y = ax+b
Analisis Perlakuan
R2 a b

Kemasan I 0.9067 1.4024 1.4329

Kadar Gula Kemasan III 0.8769 0.5671 -0.9848

Kemasan IV 0.8082 1.4085 0.9680

Kemasan I 0.9116 1.6378 44.9022

Total Asam
Kemasan III 0.9100 1.1951 49.3617
Tertitrasi

Kemasan IV 0.9128 1.5008 45.5944

Kemasan I 0.9107 -0.0077 5.0960

Derajat Keasaman
Kemasan III 0.8617 -0.0388 5.2257
(pH)

Kemasan IV 0.7863 -0.0313 5.1863

89
Lampiran 9. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan
Waktu Fermentasi (Jam)
Analisis Perlakuan 0 6 12 18 24 30 36 42 48
Volume 90%
Kemasan I 0 10 11 11 12 12 13 15 35.3
Kemasan II 0 10 10 10 11 12 12 13 33
Kemasan III 0 10 10 10 11 12 12 13 34
Volume 75%
Kadar Gula (derajat brix) Kemasan I 0 10 11 11 12 12 13 15 34
Kemasan II 0 10 10 10 11 12 12 13 34
Kemasan III 0 10 10 10 11 12 12 13 33
Volume 60%
Kemasan I 0 10 11 11 12 12 13 15 34
Kemasan II 0 10 10 10 11 12 12 13 34.3
Kemasan III 0 10 10 10 11 12 12 13 35
Volume 90%
Kemasan I 3.2 4 16 16.8 25.6 28.8 27.2 25.6 30.4
Kemasan II 3.2 5.6 8 12.8 27.2 28 29.6 32 25.6
Kemasan III 11.2 6.4 10.4 13.6 19.2 26.4 30.4 45.6 32.8
Volume 75%
Total Asam (%) Kemasan I 3.2 5.6 8 18.4 27.2 28 30.4 32 27.2
Kemasan II 11.2 6.4 12.8 16.8 24 24.8 38.4 40 33.6
Kemasan III 3.2 5.6 14.4 20 20.8 32 31.2 38.4 31.2
Volume 60%
Kemasan I 3.2 4 6.4 12 15.2 16.8 22.4 24 30.4
Kemasan II 11.2 12 6.4 18.4 20 28 31.2 40 32
Kemasan III 3.2 4.8 11.2 15.2 24.8 27.2 28.8 38.4 30.4
Volume 90%
Kemasan I 6.21 5.67 5.42 5.09 5.03 4.88 4.79 4.73 4.6
Kemasan II 6.21 5.79 5.72 5.1 5.07 4.88 4.76 4.64 4.79
Kemasan III 6.21 5.95 5.48 5.07 4.99 4.84 4.76 4.7 4.65
Volume 75%
Derajat Keasaman (pH) Kemasan I 6.21 5.7 5.8 5.05 5.03 4.9 4.88 4.79 4.71
Kemasan II 6.21 5.71 5.52 5.13 5.02 4.9 4.78 4.72 4.83
Kemasan III 6.53 5.78 5.32 5.08 4.95 4.95 4.63 4.66 4.59
Volume 60%
Kemasan I 6.21 6.17 6.07 5.2 4.99 4.95 4.91 4.8 4.79
Kemasan II 6.21 5.74 5.24 5.17 5.13 4.96 4.94 4.8 4.84
Kemasan III 6.21 5.73 5.33 5.14 4.91 4.85 4.87 4.73 4.77
90
Lampiran 10. Data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan

Analisis Perlakuan Penyimpanan (Hari)


0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kemasan I 0.0 10.0 20.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 10.0 0.0 0.0 0.0 2.0 10.0 30.0
Kadar Gula Kemasan III 0.0 0.0 5.5 5.0 6.0 5.0 8.0 5.5 0.0 1.0 0.0 0.0 2.0 1.0 10.0
Kemasan IV 0.0 0.0 17.00 10.00 12.0 10.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 28.0
Kemasan I 11.2 49.6 53.6 46.4 53.1 54.0 51.3 63.0 90.0 63.0 64.8 60.3 64.8 52.8 60.0
Total Asam Kemasan III 11.2 52.0 53.6 49.6 53.1 52.2 51.3 52.2 61.2 60.3 63.0 59.4 66.6 50.4 64.0
Kemasan IV 11.2 48.0 52.0 44.8 53.1 53.1 52.2 51.3 69.3 61.2 66.6 63.0 63.0 52.0 63.2
Kemasan I 5.03 5.07 5.08 5.07 5.06 5.08 5.03 4.99 4.88 5.00 4.86 4.99 5.03 5.00 5.03
Derajat
Keasaman (pH) Kemasan III 5.33 4.93 4.93 4.93 4.93 4.94 4.94 4.91 4.83 4.92 4.85 4.92 4.95 4.96 4.97
Kemasan IV 5.33 4.92 4.91 4.94 4.94 4.94 4.93 4.91 4.83 4.91 4.88 4.92 4.95 4.93 4.96

90

Anda mungkin juga menyukai