Anda di halaman 1dari 18

Harfina Rais

Hidup dalam "cinta"

Menu
Skip to content

Beranda
About

Lap.7. SALAMI
September 30, 2012 by harfinarais

LAPORAN PRAKTIKUM

Mata Kuliah : Teknik Pengolahan Daging Nama : Harfina Rais

Praktikum ke : 7(Tujuh) NRP : D24090112

Tempat : Labotaorium THP Dosen : Dr. Irma Isnafa Arief , S.Pt


Kelompok : 3 (tiga) Teknisi : Devi Murtini, S. Pt

M. Sriduresta, S. Pt. M. Sc

Asisten : Lega Krisda F Irma


Indah K

Winda Permata Sari

Sindya Erti, J. S

Sita Arum Prabawati

Paingat P. Sipayung

Rullyana Nurbianti
SALAMI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peternakan merupakan sektor penyumbang protein hewani yang cukup besar dan digemari oleh
masyarakat. Salah satu Contohnya adalah daging. Daging adalah suatu produk pangan yang kaya
akan protein dan menyehatkan. Konsumsi daging sapi di Indonesia kebanyakan berasal dari
produk olahan daging itu sendiri. Hal ini tentu mendorong para pengusaha dan orang yang
terlibat untuk terus mengembangkan produk olahan daging. Tidak hanya dari cara
pengolahannya produk daging ini juga memeliki perbedaan dari bahan tambahan yang
digunakan.

Salah saatu kelemahan daging adalah mudah sekali rusak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan
pengawetan pada daging agar daya simpan daging menjaddi lebih lama. Salah satu cara
pengawetan daging adalah melalui pengolahan daging. Produk olahan daging yang berkembang
saat ini diantaranya adalah bakso, sosis, lidah asap, abon, dendeng, kornet dan salami.

Sosis fermentasi (salami) merupakan produk fermentasi olahan daging dengan penggunaan
kultur bakteri asam laktat, yang mengubah karbohidrat menjadi asam laktat (Arief, 2008). Salami
adalah sosis mentah (rawsausage) yang difermentasi dengan melibat-kan mikroba khususnya
bakteri asam laktat,yang menyebabkan produk menjadi lebihawet dan dapat meningkatkan cita
rasaproduk, mempunyai karakteristik yang khasbiasanya dikemas dengan diameter yangagak
besar (45 sampai dengan 75 mm) danbentuk adonannya kasar, serta mempunyaiflavor tertentu,
terutama bawang putih (Soriah, 2006)

Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk memahami cara pembuatan salamidan untuk mengetahui
mutu salami melalui uji organolepti, uji sifat fisi dan uji mikrobiologi pada salami yang
diproduksi.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging adalah salah satu dari produk pangan yang mudah rusak disebabkan daging kaya zat
yang mengandung nitrogen, mineral, karbohidrat, dan kadar air yang tinggi serta pH yang
dibutuhkan mikroorganisme perusak dan pembusuk untuk pertumbuhannya (komariah, 2004).
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1998). Organ-organ misalnya hati, ginjal, otak,
paru0paru, jantung, limpa, pancreas, dan jaringan otot termasuk dalam definisi ini (Soeparno,
2005).

Banyak hal yang dapat mempengaruhi kualitas daging baik ketika pemeliharaan ataupun ketika
pengolahan. Faktor yang dapat mempengaruhi penampilan daging selama proses sebelum
pemotongan adalah perlakuan transportasi dan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman
(stress) pada ternak yang pada akhirnya akan menentukan kualitas daging yang dihasilkan
(Suryati, 2006).

Faktor penanganan setelah pemotongan yang telah diteliti dapat mempengaruhi kualitas daging
adalah perlakuan stimulasi listrik (Ho et al., 1996; Lee et al., 2000). Selain itu injeksi kalsium
klorida (CaCl2) diketahui dapat pula mempengaruhi kualitas daging sapi (Wheeler et al., 1993;
Diles et al., 1994).

Ternak yang mengalami perjalanan jauh akan mengakibatkan ternak tersebut stress (kelelahan)
sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002). Salah
satu sifat fisik daging yang bisa dimati dan dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan
kualitas daging adalah kelembaban. Semakin daging tersebut lembab atau basah serta lembek
(tidak kenyal) menunjukkan kualitas daging yang kurang baik (Margono, 1993).

Menurut Soeparno (1998), berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi :

1. Daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan

2. Daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin)

3. Daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging beku)

4. Daging masak

5. Daging asap

6. Daging olahan

Salami

Sosis fermentasi (salami) merupakan produk fermentasi olahan daging dengan penggunaan
kultur bakteri asam laktat, yang mengubah karbohidrat menjadi asam laktat (Arief, 2008). Salami
adalah sosis mentah (rawsausage) yang difermentasi dengan melibat-kan mikroba khususnya
bakteri asam laktat,yang menyebabkan produk menjadi lebihawet dan dapat meningkatkan cita
rasaproduk, mempunyai karakteristik yang khasbiasanya dikemas dengan diameter yangagak
besar (45 sampai dengan 75 mm) danbentuk adonannya kasar, serta mempunyaiflavor tertentu,
terutama bawang putih (Soriah, 2006)
Pembuatan Sosis Fermentasi (Arief, 2000)

Pembuatan sosis fermentasi diawali dengan standardisasi daging sebanyak 80% dengan
mengelompokkan daging utuh dan daging yang masih mengandung lemak. Lemak sebanyak
20% distandardisasi dengan memisahkan lemak utuh dengan lemak yang masih mengandung
daging. Daging yang telah distandardisasi dibagi menjadi dua bagian yaitu seperempat bagian
digiling dan tiga perempat bagian lainnya diiris-iris, kemudian dibekukan. Daging digiling dalam
cutter, lalu dimasukkan secara berurutan NPS (nitrit poekeln salt) 2%, gula 2%, starter kultur
sebanyak 2% w/w (sesuai dengan perlakuan lama penyimpanannya) dan bumbu-bumbu (bawang
putih 2%, pala 2%, garam dapur 2% dan jahe 2%). Adonan yang telah terbentuk dimasukkan ke
dalam selongsong atau casing sosis berdiamater 4,5 cm. Proses conditioning dilakukan pada
suhu kamar selama 24 jam, kemudian dilanjutkan dengan proses fermentasi pada suhu kamar
selama 6 hari yang diselingi dengan proses pengasapan selama 2 jam setiap harinya pada suhu
kamar.

Kultur

Menurut Branen & Davidson (1993), aktivitas bakteriostatik dan fungistatik dari aroma asap
yang dihasilkan selama proses pengasapan ternyata dapat menekan jumlah bakteri patogen
seperti E. coli, Staphylococcus dan Pseudomonas yang terdapat dalam makanan. Asam alifatik
dan komponen fenol asap berkontribusi untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen
maupun kapang.

Hasil penelitian Arkoudelos et al. (1998) menunjukkan adanya eliminasi maupun

penghambatan bakteri patogen S. aureus pada produk fermentasi daging oleh starter

kultur L. plantarum. Penghambatan terhadap Staphylococcus disebabkan adanya senyawa


antimikroba yang diproduksi oleh bakteri asam laktat tertentu. L. plantarum menghasilkan
senyawa antimikroba laktolin yang ternyata dapat menghambat pertumbuhan S. aureus
(Davidson & Hoover, 1993). Senyawa antimikroba lain yang dapat menghambat pertumbuhan S.
aureus adalah hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Leroy & Vuyst,
1999).

Vuyst & Vandamme (1994) menyatakan bahwa sinergis asam-asam organik tertentu misalnya
asam asetat dan asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat akan menghambat
pertumbuhan E. coli dan Salmonella. Bakteri asam laktat spesies L. plantarum dapat
menghasilkan senyawa antimikroba hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida berfungsi untuk
menurunkan permiabilitas molekul struktur dari E. coli melalui mekanisme laktoperoksidase dan
tiosianat, hidrogen Salmonella termasuk kedalam bakteri patogen dan berbahaya.

Uji Mikrobiologi
Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, anaerob fakultatif dan memiliki fl agella peritrikat
(Savadogo et al., 2006). Bakteri ini memproduksi asam hasil fermentasi dan H2S, tumbuh
optimum pada suhu 37oC dengan pH 4- 9 dan aw minimum 0,95 (Varnam & Sutherland, 1995).

Aktivitas bakteri asam laktat di dalam sosis yang masih baik dapat menghasilkan senyawa
organik, bakteriosin dan antimikroba yang efektif menghambat pertumbuhan bakteri patogen,
misalnya H2O2 yang dihasilkan L. plantarum dapat menghambat pertumbuhan Salmonella
(Nowroozi et al., 2004). Kandungan aw pada sosis fermentasi baik daging sapi maupun domba
yang berkisar pada 0,88, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan Salmonella. Hal ini
disebabkan Salmonella memiliki aw optimum sekitar 0,91-0,95 (Fontana, 1998).

Analisia Kuantitatif Salmonella (Soriah, 2006)

Pada analisia kuantitatif Salmonella,dilakukan terlebih dahulu tahap enrichment dengan


medium SCB (Selenite Cytein Broth), di mana sebanyak 10 ml sampel dipipet secara aseptik ke
dalam 90 ml SCB,kemudian diinkubasikan selama 12 16 jam.Proses selanjutnya adalah
penggoresan padacawan petri steril yang telah berisi mediumSSA (Salmonella Shigella Agar),
kemudiancawan tersebut diinkubasikan pada suhu300C selama 1 hari. Jika terdapat kolonibening
yang terpisah dengan atau tanpabintik hitam maka dilakukan uji TSI (TripleSugar Iron) dan SIM
(Sugar Indole Motility).

Menurut SNI (1995) standarbatas maksimum cemaran mikroba Salmonella

pada sosis harus negatif, dengandemikian salami penelitian berada pada batastoleransi sehingga
aman untuk dikonsumsi.

Faktor-faktor yang menyebabkanrendahnya total mikroba setelah fermentasi antara lain nilai aw
yang rendah akanmenghambat pertumbuhan mikroba, penam-bahan NaCl dan nitrit merupakan
senyawaantimikroba yang akan menghambatpertumbuhan bakteri patogen (Fardiaz, 1992)

Garam

Garam mampu memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak
protein miofibriler dari serabut daging selamaproses penggilingan dan pelunakan daging. Garam
berin teraksi dengan proteindaging selama pemanasan, sehingga protein membentuk massa yang
kuat, dapatmenahan air, dan membentuk tekstur yang baik. Selain itu, garam memberi cita
rasaasin pada produk, serta bersama-sama senyawa fosfat, berperan dalam meningkatkan daya
menahan air dan meningkatkan kelarutan protein serabut daging. Garam juga bersifat
bakteriostatik dan bakteriosidal, sehingga mampu menghambat pertumbuhanbakteri dan mikroba
pembusuk lainnya (Potter, 1996)

Bumbu

Penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk meningkatkan flavour
(Soeparno, 1994). Bumbu merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan
bakso dan berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan
daging (Cross dan Overby, 1988).

Organoleptik

Uji organoleptik merupakan pengujian berdasarkan tingkat kesukaan. Pengujian ini penting
karena berkaitan dengan selera konsumen. Menurut Suryati (2006) biasanya konsumen memilih
daging melalui penampilan secara fisik yang meliputi warna, tekstur, kekilapan, kebasahan serta
intensitas aroma daging segar. Karena berkaitan dengan selera konsumen uji organoleptikpun
dilakukan oleh panelis dari berbagai kalangan. Parameter yang digunakan adalah sifat fisik
daging yang dapat diamati, diraba, dicium aromanya yang menurut winarno (1995) dalam
menentukan rasa suatu makanan diperlukan penunjang lain diantaranya adalah penciuman.

Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan penilaian skala hedonik terhadap parameter
warna, aroma, tekstur dan rasa dari produk tersebut (Rahayu, 1998). Uji organoleptik dapat
dilakukan dengan metode uji pembendaan pasangan. Menurut Arief (2006) uji pembandingan
pasangan dilakukan dengan membandingkan dua sampel yang berbeda.

Flavor dan aroma daging masak dipengaruhi ole humur ternak, tipe pakan, spesies, jenis
kelamin, lemak, bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan (Soeparno 1998)

Aroma salami diberikan oleh adanya asam amino, peptida, asam lemak rantai pendek serta
senyawa volatil karbonil (Girard & Bucharles 1992). MenurutSoeparno (1998), lipase yang
disekresikan oleh mikroba akan menghidrolisis trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak,
serta menghidrolisis fosfolipid menjadi senyawa bernitrogen. Lipolisis yang ekstensif dapat
meningkatkan oksidasi lemak dan menimbul-kan bau tengik.

Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna daging yaitu
konsentrasi mioglobin, dan kondisi kimiaserta fisik komponen lain dalam daging. Mioglobin
sebagai protein sarkoplasmik terbentuk dari rantai polipeptida tunggal terikat disekeliling suatu
grup heme yang membawa oksigen. Grup heme tersusun dari atom Fe dan suatu cincin porfirin.
Tekstur dipengauhi oleh umur dan bangsa ternak, otot dengan serabut-serabut yang kecil tidak
menunjukkan kekasaran tekstur (Soeparno, 1998). Menurut Montel et al. (1996), penggunaan
starter kultur akan meningkatkan sifat organoleptik, seperti warna, tekstur dan kualitas higienes
dari suatu produk.
MATERI DAN METODE

Materi
Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan salami adalah food processor, grinder, food
cutter, stuffer, smoke chamber dan pisau, daging, gula pasir, starter kultur (L. plantarum, L.
achidopillus), dan NPS.

Sedangkan untuk analisis sifat mikrobiologis daging salami alat dan bahan yang digunakan
adalah plastik steril, tik steril, pipet 1ml, cawan petri, inkubator, tabung scott, tabung reaksi,
vortex, larutan Bpw 0,85%, aquadest, sampel 5 gr, plat count, media agar (MRS A untuk BAL
dan HEA untuk salmonella).

Metode

Daging (80%) yang sudah disiapkan untuk pembuatan salami dipisahkan bagian
digiling dan bagian diiris dan dibekukan. Sisa 20% adalah lemak juga dibekukan. Daging dan
lemak yang sudah dibekukan dicampur dan digiling dengan food cutter dan ditambahkan gula
pasir 0,5%, starter kultur 2%, NPS 2%. Suhu food cutter diusahakan tetap dibawah 20C. Adonan
yang sudah dicampur dimasukkan kedalam stuffer untuk dimasukkan kedalam selongsong sosis.
Selanjutnya disimpan pada suhu kamar selama 24 jam (conditioning). Setelah 24 jam sosis
diasap dengan pengasapan dingin (suhu <400C) 2 jam/ hari selama 3 hari. Selang waktu yang
tidak digunakan untuk pengasapan dilakukan fermentasi.

Analisis mikrobiologi adalah untuk mengetahui kandungan BAL dan salmonella pada salami.
Aquadest dimasukkan kedalam tabung reaksi. BPN ditimbang 0,85% dari volume aquadest dan
dikocok sampai homogen. Kemudian larutan sebanyak 9 ml dimasukkan kedalam 5 tabung
reaksi lain. Sampel sebanyak 5 gr dimasukkan kedalam larutan BPW dan dikocok hingga
homogen. Kemudian larutan tersebut diencerkan sampai pengenceran 7 kali. Pengenceran 5, 6
dan 7 diambil sebanyak 1 ml masing-masingnya dan dimasukkan kedalam cawan petridan
dimsukkan media agar. Kemudian digoyangkan supaya merata yang selanjutnya diinkubasi 370C
selama 24 jam. Selanjutnya dihitung bakteri asam laktatnya. Sedangkan untuk pengujian
salmonella hampirsama, hanya saja pengenceran dilakukan sampai pengenceran 4 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setelah produk berhasil diproduksi, pda produk tersebut dilakukan pengujian kualitas, sifat fisik
dan mikrobiologi dengan hasil sebagai berikut.

Tabel 1. Hasil Rataan Uji Hedonik pada salami

SAMPEL Parameter
Warna Tekstur Kekerasan Rasa Aroma
A 3,1 2, 8 2,7 3,2 3,4
B 3 2,8 2,7 3,2 3,2

Keterangan :

1 = sangat tidak suka

2 = tidak suka

3 = netral

4 = suka

5 = sangat suka

Table 2. Hasil Rataan Uji Mutu Hedonik pada salami

SAMPEL Parameter
Warna Tekstur Kekerasan Rasa Aroma
A 3,1 2, 5 2,5 3,2 3,4
B 3 2,7 2,5 3,1 3,2

Keterangan:

Warna: Tekstur:

1 :hitam 1 :sangat kasar

2 :coklat kehitaman 2 :kasar

3 :coklat 3 :agak kasar

4 :merah kecoklatan 4 :halus

5 :merah 5 :sangat halus

Rasa: Aroma:

1 :pahit 1 :sangat baud aging

2 :tidak asam 2 :bau daging


3 :ssedikit asam 3 :bau asap + daging

4 :asam 4 :bau asap

5 :sangat asam 5 :sangat bau asap

Kekerasan:

1 :sangat keras

2 :keras

3 :sedikit keras

4 :tidak keras

5 :sangat tidak keras

Table 3. Uji fisik salami Aw dan pH

A1 A2 B1 B2
Aw 0,707 0,869 0,849 0,829
pH1 4,38 4,39 4,27 4,76
pH2 4,59 4,66 4,66 4,93

Table 4. Kadar air pada salami

A1 A2 B1 B2
Berat cawan(a) 2,7013 2,757 2,7048 2,7349
(a)+sampel 5,0238 5,0505 5,0444 5,0551
Setelah oven 4,56 4,71 4,75 4,68
sample setelah oven 1,8587 1,953 2,0432 1,95
KA 0,3699 0,3867 0,4055 0,3837
% KA 36,99 38,67 40,55 38,57
Table 5. Uji mikrobiologi salami (Salmonella)

Sampel P5 P6 P7 N(cfu/g)
2C12 TBUD TBUD TBUD 436 x 107
TBUD 188 248
4B4 TBUD TBUD 195 311 x 107
TBUD 205 222

Keterangan:

TBUD: Tidak bisa untuk dihitung

Pembahasan

Sosis fermentasi (salami) merupakan produk fermentasi olahan daging dengan penggunaan
kultur bakteri asam laktat, yang mengubah karbohidrat menjadi asam laktat (Arief, 2008). Salami
adalah sosis mentah (rawsausage) yang difermentasi dengan melibat-kan mikroba khususnya
bakteri asam laktat,yang menyebabkan produk menjadi lebihawet dan dapat meningkatkan cita
rasaproduk, mempunyai karakteristik yang khas biasanya dikemas dengan diameter yang agak
besar (45 sampai dengan 75 mm) dan bentuk adonannya kasar, serta mempunyai flavor tertentu,
terutama bawang putih (Soriah, 2006).

Setelah melakukan analisis uji hedonik didapatkan hasil bahwa sampel A dengan menggunakan
kultur Achidopillus memiliki memiliki nilai 3,1 untuk warna, tekstur 2,8, kekerasan 2,7, rasa 3,2
dan aroma 3,4. Sedangkan sampel B yang menggunakan kultur planntarum memiliki nilai 3
untuk warna, tekstur 2,8, kekerasan 2,7, rasa 3,2 dan aroma 3,2. Pada dasarnya kedua sampel ini
memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Nilai yang diperoleh rata-rata dari tidak suka sampai
netral.

Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh panelis yang tidak terlalu menyukan atau belum terbiasa
dengan rasa salami, sehingga kurang bisa membedakan kedua rasa salami.

Hasil uji mutu hedonikpun tidak begitu signifikan antara kedua sampel baik dari segi warna,
tekstur, kekerasan, rasa dan aroma. Kedua sampel memiliki nilai mulai dari 2,5 sampai 3,4.
Sampel A memiliki warna 3,1 dan sampel B 3. Menurut Montel et al. (1996), penggunaan starter
kultur akan meningkatkan sifat organoleptik, seperti warna, tekstur dan kualitas higienes dari
suatu produk. Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna daging
yaitu konsentrasi mioglobin, dan kondisi kimiaserta fisik komponen lain dalam daging.
Mioglobin sebagai protein sarkoplasmik terbentuk dari rantai polipeptida tunggal terikat
disekeliling suatu grup heme yang membawa oksigen. Selain itu pengasapan juga akan
mempengaruhi warna dari salami.

Tekstur pada sampel A 2,5 dan pada sampel B 2,7. Nilai ini mengandung arti bahwa sampel
memiliki tekstur kasar-agak kasar. Tekstur dipengauhi oleh umur dan bangsa ternak, otot dengan
serabut-serabut yang kecil tidak menunjukkan kekasaran tekstur (Soeparno, 1998). Selain faktor
dari ternak tersebut pengolahan juga memberikan pengaruh pada tekstur salami. Penggilingan
yang kurang halus akan memberikan teksur salami yang agak kasar. Begitupula sebaliknya
penggilingan yang halus akan memberikan tingkat kehalusan yang lebih halus pula pada salami.

Kekerasan pada sampel A dan sampel B memiliki nilai yang sama yaitu 2,5 yang berati agak
keras. Tingkat kekerasan pada salami ini erat kaitannya dengan kadar air pada salami dan Aw.
Pada nilai Aw sampel B memiliki nilai lebih tinggi dibanding sampel A. Begitupula pada %
kadar air, sampel B memiliki % kadar air lebih tinggi. Hanya saja nilai ini tidak terlalu signifikan
sehingga menghasilkan tingkat kekerasan yang sama. Nilai Aw dan kadar air ini erat kaitannya
dengan kekerasan. Salami dengan kadar air yang tinggi akan menghasilkan salami dengan
tingkat kekerasan yang rendah dan begitupula sebaliknya. Nilai % kadar air yang rendah akan
menghasilkan salami yang keras. Proses pengasapan akan mempengaruhi % kadar air. Semakin
lama salami diasap akan menurunkan kadar air yang banya pula dan ini tentu akan
mempengaruhi kekerasan.

Rasa pada sampel A 3,2 dan pada sampel B 3,1 yang berarti sampel A sedikit lebioh asam dari
pada sampel B. Rasa asam ini erat kaitannya dengan jumlah Bakteri Asam laktat yang terdapat
pada salami dan pH. Semakin banyak kandungan BAL pada salami maka pH akan semakin
rendah. Semakin rendah pH maka rasa salami akan semakin asam. Sampel A (Achidopillus)
memiliki pH lebih rendah dari sampel B. Jumlah BAL pada sampel dengan kultur achidopillus
lebih sedikit dibanding plantarum. Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengujian pH. Kemungkinan
ini disebakan oleh kesalahan pada saat perhitungan BAL yang banyak dan kecil-kecil.

KESIMPULAN

Produk salami telah berhasil dibuat dengan cukup baik. Pada uji kualitas salami sampel A dan B
didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi pada semua uji dan parameter yang
diujikan yaitu uji hedonik (warna, tekstur, kekerasan dan aroma), uji mutu hedonik (warna,
kekerasan, tekstur, rasa dan aroma), uji sifat fisik (Aw dan pH), dan uji mikrobiologi.

DAFTAR PUSTAKA

Arief. 2008. Kualitas Mikrobiologi Sosis Fermentasi Daging Sapi dan Domba yang
Menggunakan Kultur Kering Lactobacillus plantarum 1B1 dengan Umur yang Berbeda. Media
Peternakan Vol. 31 (1): 36-43
Arief, I.I. 2000. Pengaruh aplikasi kultur kering dengan beberapa kombinasi mikroba terhadap
kualitas fi siko-kimia dan mikrobiologi sosis fermentasi. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB,
Bogor.

Arkoudelos, J. S., G. J. E. Nychas & F. Samaras. 1998. The occurence of Staphylococci on


Greek fermented sausages. Fleischwirtschaft International. J. for Meat Production and Meat
Processing (2).

Branen, A.L. & P.M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Food. Marcel Pekker, New York.

Cross, H. R. and A. J. Overby. 1988. Meat Science and Technology In Old Animal Science.
Elsevier Publishing Company Inc., New York.

Davidson, P. M. & D. G. Hoover. 1993. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. In:
Salminen, S. & A. Wright (Eds.). Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, New York.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I .Jakarta: PT Gramedia

Fontana, 1998. Water Activity: Why it is Important for Food Safety. International Conference on
Food Safety, November 16-18, Albuquerque, NM.

Girard J.P, Bucharles C. 1992.Technology of Meat and Meat Products. New York:Ellis
Horwood.

Ho, C. Y. , M. M. Stromer & R. M. Robson. 1996. Effects of electrical stimulation on


postmortem titin, nebulin, desmin, and troponin-t degradation and ultrastructural changes in
bovine longissimus muscle. J. Anim. Sci. 74:1563-1575.

Komariah, I. I. Arief, & Y. Wiguna. 2004. Kualitas Fisik dan Mikroba Daging Sapi yang
Ditambah Jahe (Zingiber officinale Roscoe) pada Konsentrasi dan Lama Penyimpanan yang
Berbeda. Media Peternakan. 27(2): 46-54

Leroy, F. & L. D. Vuyst. 1999. Temperature and pH conditions that prevail during fermentation
of sausages are optimal for production of the antilisterial bacteriocin Sakacin K. Applied and
Environmental Microbiology 65: 974 981.

Margono, Tri, dkk, 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. http://www.ristek.go.id.

Montel M.C, Reitz J, Talon R, Berdague JL,Rousset-Akrim S. 1996. Biochemical Aktivities of


Micrococcaceae and their Effects on The Aromatic Profilesand Odours of a Dry Sausage model
.Food Microbiology 13 (1996) 489-499.

Nowroozi, J., M. Mirzaii & M. Norouzi. 2004. Study of Lactobacillus as probiotic bacteria.
Iranian J. Publ. Health 33:1-7.

Potter, N. 1996, Food Science. Published by Van Nostrand Reinhold Co, New York.
Rahayu, W. P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan
dan Gizi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Savadogo, A., C. A. T. Outtara, I. H. N. Bassole & A. S. Traore. 2006. Bacteriocins and lactic
acid bacteria a minireview. African Journal of Biotechnology 5: 678-683.

Soeparno, 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Soriah Ace, Iis. 2006. Sifat Mikrobiologi dan organoleptik salami daging domba dan sapi dengan
penambahan wortel. Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol 1 (1) : 65-76

T. Suryati, M. Astawan & T. Wresdiyati. 2006. Karakteristik Organoleptik Daging Domba yang
Diberi Stimulasi Listrik Voltase Rendah dan Injeksi Kalsium Klorida. Media Peternakan.
29(1):1-6

Varnam, A. N. & J. P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Products. Chapman and Hall, London.

Vuyst, L. D. & E. J. Vandamme. 1994. Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria: Microbiology,


Genetics and Application. Blackie Academic and Professional, London.

Winarno, F. G. 1995. Kimia pangan dan Gizi. Gramedia: Jakarta

Wheeler, T. L., M. Koohmaraie, J. L. Lansdell, G. R. Siragusa & M. F. Miller. 1993. Effects of


postmortem injection time, injection level, and concentration of calcium chloride on beef quality
traits. J. Anim. Sci. 71:2965-2974.

LAMPIRAN

Data Mikrob Salami

C12

P5 P6 P7
TBUD TBUD TBUD
TBUD 188 248
N= 188+248

(1 x 1)(10,1) x 10-6

=436

10-7

=436 x 107 cfu/g

B4

P5 P6 P7
TBUD TBUD 195
TBUD 205 222

N= 205+195+222

(1 x 1)+(2 x 0,1) x 10-6

= 622

2 x 10-7

= 311 x 107 cfu/g

Iklan

Share this:

Twitter
Facebook

Memuat...
Lap. pengolahan daging Tinggalkan komentar

Navigasi pos
Laporan 4. UJI SIFAT FISIK DAGING
lap. 8. ABON DAN DENDENG

Tinggalkan Balasan

Cari

Tulisan Terakhir
Korea : Raksasa Tidur Itu Bernama Indonesia
ComTy
lap. 8. ABON DAN DENDENG
Lap.7. SALAMI
Laporan 4. UJI SIFAT FISIK DAGING

Arsip
Maret 2014
September 2012

Kategori
CerPen Kita
Lap. pengolahan daging

Meta
Daftar
Masuk
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Ikuti

Anda mungkin juga menyukai