Anda di halaman 1dari 17

Home

Profil
RSS

Search this

Yuri Chocoru
aku tidak bisa memilih untuk jatuh hati, aku hanya bisa memutuskan untuk menjalaninya atau
tidak

Hey there! Thanks for dropping by Yuri Chocoru! Take a look around and grab the RSS feed to
stay updated. See you around!

Kuliah
o Praktikum
Uncategorized

Salami
Filed under: Teknik Pengolahan Daging Tinggalkan komentar
Desember 21, 2012

1 Vote

Silahkan unduh file aslinya Salami Yusuf

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PENGOLAHAN DAGING

Tanggal : 27 November 2012 Nama Dosen : M. Sriduresta s, S.Pt, M.Sc


Praktikum ke : 8 Nama Asisten : Hesti Indri P.

Angritia Voreza

Gita Try L.

Sindya Erti J. S.

SALAMI

Oleh:

Yusuf Jafar Rizali

D14100064

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang menjadi sumber protein hewani.
Tingginya tingkat konsumsi daging disebabkan nilai gizi yang terkandung di dalam daging lebih
banyak bila dibandingkan dengan bahan pangan lainnya. Selain itu, daging mempunyai asam
amino essensial yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan protein yang berasal dari nabati.

Salami merupakan salah satu olahan daging (sosis) yang disukai oleh masyarakat dunia. Bahan
baku salami adalah daging, yaitu sosis fermentasi yang ditambahkan bakteri asam laktat, oleh
karena itu cara pengolahan dan penyimpanan salami harus diperhatikan karena akan menentukan
kualitasnya sehingga sangat perlu bagi praktikan untuk mengetahui prosedur pengolahan dan
pembuatan salami yang baik dan benar.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui prosedur dalam pembuatan salami, serta
mengetahui hasil uji mikrobiologi pada salami.

TINJAUAN PUSTAKA

Daging

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat
dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau
flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa
daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan
gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama
mikroba perusak.

Lemak

Kandungan lemak pada daging menentukan kualitas daging karena lemak menentukan
cita rasa dan aroma daging. Keragaman yang nyata pada komposisi lemak terdapat antara jenis
ternak memamah biak dan ternak tidak memamah biak adalah karena adanya hidrogenasi oleh
mikroorganisme rumen. Lemak sapi kaya akan asam stearat, asam palmitat dan asam oleat
(Soeparno, 1998).

Salami

Salami berasal dari kata suh-lah-mee. Salami merupakan famili produk sosis fermentasi
kering, dikemas dengan casing berdiameter agak besar, bentuk adonannya kasar, memiliki flavor
tertentu (terutama bawang putih), dan dapat langsung dikonsumsi tanpa dimasak. Jenis salami
yang terdapat di pasar antara lain: Lola,B. C. Salami, milano, dan lain-lain. Salami merupakan
sosis fermentasi yaitu hasil olahan daging lumat yang dicampur dengan bumbu-bumbu atau
rempah-rempah kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus atau casing. Salami biasanya
terbuat dari daging cincang, lemak hewan, ternak dan rempah, serta bahan-bahan lain yang
ditambahkan bakteri asam laktat dan melalui proses pengasapan.

Lactobacillus plantarum
Bakteri Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae
dan genus Lactobacillus. Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 m
x 1,2-0,6 m. Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan
makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987).
Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan
memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).

Pengolahan pangan dan pakan menggunakan BAL adalah teknologi yang telah ada sejak dulu
yang dapat meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan
perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Bakteri L. plantarum umumnya
lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada
tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi
susu, sayuran, daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga
tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum terutama berguna
untuk pembetukan asam laktat, penghasil hydrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri
asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang
bersifat bakterisidal. Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan
bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada
konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat
Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif. L. plantarum mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik.

Pendinginan

Pendinginan merupakan cara yang paling umum digunakan masyarakat untuk


memperpanjang daya simpan daging jika tidak segera diolah. Pendinginan dilakukan dengan cara
menyimpan daging di dalam freezer pada temperature -2oC sampai 5oC. Cara penyimpanan ini
bukan hanya digunakan untuk daging segar, tetapi juga untuk produk daging olahan sejak proses
pengolahan sampai akan dikonsumsi. Prinsip kerja pendinginan adalah menghambat aktivitas
mikroba. Pada temperatur dingin, mikroorganisme pembusuk tidak aktif sehingga daging yang
disimpan tidak rusak (Komariah dkk, 2008).

Lama penyimpanan daging dalam ruang pendingin ditentukan oleh penanganan sebelumnya. Di
rumah tangga, daging segar sebaiknya segera diolah, maksimum empat hari setelah dibeli. Jika
tidak segera diolah, sebaiknya dilakukan pembekuan. Perlu diperhatikan, menyimpan daging di
dalam kulkas harus terpisah dengan bahan makanan lainnya (Komariah dkk, 2008).

Bumbu

Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging
dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk.
Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti
sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan
citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu,
bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada
umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998).

Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas
(Pungent) dan berbau (aromatic). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap
dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1% 2,7%. Bawang putih adalah
umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih
mengandung sekitar 0,1% 0,25% zat volatile, yaitu alil sulfide yang terbentuk secara enzimatik
ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga
terdapat S-(2-propenil)-L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam
pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinnenccius, 1994).

Garam Dapur (NaCl)

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3%
garam. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang
digiling akan meningkatkan protein myofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki perasaan
penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambahakan atau meningkatkan rasa dan
memperpanjang umur simpan produk.

Aktivitas Air (Aw)

Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam pangan yang dapat digunakan
oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Nilai aw pangan dapat dihitung dengan membagi tekanan
uap air pangan dengan tekanan uap air murni. Jadi air murni mempunyai nilai aw sama dengan 1.
Nilai aw secara praktis dapat diperoleh dengan cara membagi % RH pada saat pangan mengalami
keseimbangan kadar air dibagi dengan 100. Sebagai contoh, jika suatu jenis pangan mempunyai
aw = 0,70, maka pangan tersebut mempunyai keseimbangan kadar air pada RE 70%, atau dengan
perkataan lain pada RE 70% kadar air pagan tetap (yang menguap sama dengan yang terserap)
(Sudiarto, Fadil).

Mikroba mempunyai kebutuhan aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di


bawah aw minimal tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh karena itu
salah satu cara untuk mengawetkan pangan adalah dengan menurunkan aw bahan tersebut.
Beberapa cara pengawetan pangan yang menggunakan prinsip penurunan aw bahan misalnya
pengeringan dan penambahan bahan pengikat air seperti gula, garam, pati serta gliserol
(Sudiarto, Fadil).
Sudiarto menyatakan bahwa kebutuhan aw untuk pertumbuhan mikroba umumnya adalah sebagai
berikut:

Bakteri pada umumnya membutuhkan aw sekitar 0,91 atau lebih untuk pertumbuhannya.
Akan tetapi beberapa bakteri tertentu dapat tumbuh sampai aw 0,75.
Kebanyakan kamir tumbuh pada aw sekitar 0,88, dan beberapa dapat tumbuh pada aw
sampai 0,6.
Kebanyakan kapang tumbuh pada minimal 0,8.

Bahan makanan yang belum diolah seperti ikan, daging, telur dan susu mempunyai aw di atas
0,95, oleh karena itu mikroba yang dominan tumbuh dan menyebabkan kebusukan terutama
adalah bakteri. Bahan pangan kering seperti biji-bijian dan kacang-kacangan kering, tepung, dan
buah-buahan kering pada umumnnya lebih awet karena nilai aw-nya 0,60 0.85, yaitu cukup
rendah untuk menghambat pertumbuhan kebanyakan mikroba. Pada bahan kering semacam ini
mikroba perusak yang sering tumbuh terutama adalah kapang yang menyebabkan bulukan
(Sudiarto, Fadil).

Seperti dijelaskan di atas, konsentrasi garam dan gula yang tinggi juga dapat mengikat air dan
menurunkan aw sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Makanan yang mengandung kadar
garam dan atau gula yang tinggi seperti ikan asin, dendeng, madu, kecap manis, sirup, dan
permen, biasanya mempunyai aw di bawah 0,60 dan sangat tahan terhadap kerusakan oleh
mikroba. Makanan semacam ini dapat disimpan pada suhu kamar dalam waktu yang lama tanpa
mengalami kerusakan (Sudiarto, Fadil).
MATERI DAN METODE

Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah daging sapi, gula pasir, merica, bawang
putih, jahe, kultur, ketumbar, lemak, pala dan NPS, sedangkan alat yang digunakan adalah
timbangan, pisau, baskom plastik, food processor, talenan, smoke chamber, dan alat dapur
lainnya.

Prosedur

Pembuatan salami dilakukan dengan menambahkan kultur bakteri. Kultur bakteri ini
dibuat seminggu sebelum pembuatan salami. Setelah kultur bakteri siap, dilakukan penggilingan
daging, lemak, serta pencampuran bumbu-bumbu yang sudah disiapkan termasuk kultur bakteri.
Ketika adonan sudah tercampur rata, selanjutnya dimasukan ke dalam casing untuk proses
pembentukan sosis (salami). Setelah semua adonan selesai dicetak, dilakukan pengasapan
terhadap salami tersebut selama satu minggu dengan durasi pengasapan satu jam per hari.
Setelah satu minggu, salami siap disajikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengujian Daging Adonan Salami


TPC (cfu) 1,1 x 106 1,4 x 106 2 x 103
E. Coli (cfu) 2,5 x 102 (0) 3,1 x 102 2,5 x 102
Aw 0,921 0,878 0,8195
KA (%) 23,1 32,845 45,465
pH 5,4 5,43 5,237
TAT (%) 51,07 25,6

Hasil Perhitungan Tpc Dan E-Coli Daging, Adonan Dan Salami

Tabel 1. Hasil uji mikrobiologi E-coli daging

Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan


teramati
1 1 0 2,5 x 102 Semua tidak
2 0 masuk dalam
2 1 0 range 25-250
2 0
3 1 0
2 0

Keterangan: tidak ada nilai yang masuk dalam range 25-250 sehingga jumlah MO dalam cfu
adalah 25 x pengenceran terendah.

Tabel 2. Hasil uji mikrobiologi E-coli adonan salami

Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan


teramati
1 1 31 3,1 x 102 Hanya 31 yang
2 22 masuk range
2 1 0 25-250
2 0
3 1 0
2 0

Keterangan: hanya 31 pada P1 yang masuk range 25-250 sehingga jumlah MO dalam cfu adalah
3,1 x 102

Tabel 3. Hasil uji mikrobiologi E-coli salami

Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan


teramati
1 1 25 2,5 x 102 Hanya 25 yang
2 3 masuk range
2 1 6 25-250
2 9
3 1 6
2 9

Keterangan: hanya 25 pada P1 yang masuk range 25-250 sehingga jumlah MO dalam cfu adalah
2,5 x 102

Tabel 4. Hasil uji mikrobiologi TPC daging

Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan


teramati
4 1 154 1,1 x 106 Hanya 154 dan 68
2 68 yang masuk range
5 1 1 25-250
2 3
6 1 5
2 6

Keterangan: hanya 154 dan 68 pada P1 yang masuk range 25-250, sedangkan yang lain tidak
masuk, sehingga jumlah MO dalam cfu adalah (154+68)/2=1111,1 x 106

Tabel 5. Hasil uji mikrobiologi TPC adonan salami


Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan
teramati
4 1 18 1,4 x 106 Hanya 143 dan
2 143 157 yang
5 1 7 masuk dalam
2 157 range 25-250
6 1 8
2 0

Keterangan: hanya 143 P4 dan 157 P5 yang masuk range 25-250, sedangkan yang lain tidak,
sehingga jumlah MO dalam cfu adalah: rasio pengenceran tertinggi/pengenceran terendah, jika
nilainya >2 maka jumalh MO=hasil pada pengenceran terrendah, sedangkan jika nilai rasio <2
maka jumlah MO=rataan dari dua atau lebih nilaiyang masuk dalam range tersebut. Hasil rasio
adalah (157105/143104= 10,979), 10,979>2 SEHINGGA nilai jumlah MO=hasil pengenceran
terendah= 1,4 x 106

Tabel 6. Hasil uji mikrobiologi TPC salami

Pengenceran Ulangan Jumlah Jumlah MO (cfu) Keterangan


teramati
4 1 584 2 x 103 Hanya P5 dan
2 434 P6 yang masuk
5 1 172 range 25-250.
2 218 Rataan P5 =
195 dan P6 =
6 1 28
42
2 56

Keterangan: hanya P5 dan P6 yang masuk range 25-250, sedangkan yang lain tidak, sehingga
jumlah MO dalam cfu adalah: rasio pengenceran tertinggi/pengenceran terendah. Hasil rasio
adalah (42106/195105= 2,6), 2,6 > 2 SEHINGGA nilai jumlah MO=hasil pengenceran
terendah yaitu pada P5 = 195 x 105 1,95 x 103 2 x103

Pembahasan

Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka
kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat
dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau
flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa
daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan
gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama
mikroba perusak.
Sosis fermentasi (salami) merupakan produk fermentasi olahan daging dengan penggunaan
kultur bakteri asam laktat, yang mengubah karbohidrat menjadi asam laktat. Kultur yang sering
digunakan dan tersedia secara komersial berasal dari golongan Strepcoccus, Lactobacillus, dan
golongan Micrococcus, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus sake, L. curvatus, pediococcus
lacidactici dan kombinasi yang tepat dengan P. pentosaceus. Secara alami terdapat spesies
bakteri asam laktat yang tumbuh pada daging sapi murni, salah satunya adalah L. plantarum.

Salami berasal dari kata suh-lah-mee. Salami merupakan famili produk sosis fermentasi kering,
dikemas dengan casing berdiameter agak besar, bentuk adonannya kasar, memiliki flavor
tertentu (terutama bawang putih), dan dapat langsung dikonsumsi tanpa dimasak. Jenis salami
yang terdapat di pasar antara lain: Lola,B. C. Salami, milano, dan lain-lain. Salami merupakan
sosis fermentasi yaitu hasil olahan daging lumat yang dicampur dengan bumbu-bumbu atau
rempah-rempah kemudian dimasukkan ke dalam pembungkus atau casing. Salami biasanya
terbuat dari daging cincang, lemak hewan, ternak dan rempah, serta bahan-bahan lain yang
ditambahkan bakteri asam laktat dan melalui proses pengasapan.

Pengasapan berfungsi untuk menghabat pertumbuhan bakteri, memperlambat oksidasi lemak dan
memberi flavour pada daging yang sedang diproses (Lawrie, 1998). Proses pengasapan dapat
dilaksanakan dengan proses konvensional, yaitu dengan menggantungkan produk dalam ruangan
selama 4-8 jam pada suhu 35-40C (Buckle et al., 1987). Kombinasi panas dan asap efektif
dalam mengurangi populasi mikroba di permukaan daging secara signifikan. Kayu yang baik
untuk pengasapan adalah kayu yang menghasilkan banyak asap dan lambat terbakar. Jenis kayu
yang banyak digunakan adalah kayu kaswari, kayu bakar, dan kayu keras lainnya, selain itu
tempurung dan sabut kelapa serta serbuk gergaji dapat digunakkan untuk proses pengasapan.
Harris dan Karmas (1989), menyatakan bahwa pengeringan permukaan dan koagulasi protein
dihasilkan dari kondensasi formaldehid dan fenol. Hal tersebut menghasilkan penghambatan
fisik dan kimia yang efektif terhadap pertumbuhan dan penetrasi mikroba pada produk yang
dihasilkan

Bakteri Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan
genus Lactobacillus. Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 m x
1,2-0,6 m. Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan
makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987).
Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan
memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).

Pengolahan pangan dan pakan menggunakan BAL adalah teknologi yang telah ada sejak dulu
yang dapat meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan
perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Bakteri L. plantarum umumnya
lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada
tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi
susu, sayuran, daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga
tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum terutama berguna
untuk pembetukan asam laktat, penghasil hydrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri
asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang
bersifat bakterisidal. Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan
bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada
konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat
Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif. L. plantarum mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa hasil pengujian TPC pada daging
sebesar 1,1 x 106, sedangkan hasil pengujian TPC pada adonan sebesar 1,4 x 106, dan hasil
pengujian TPC pada salami sebesar 2 x 103. Hasil pengujian E. coli pada daging sebesar 2,5 x
102 (0), sedangkan pada adonan sebesar 3,1 x 102, dan pada salami sebesar 2,5 x 102. Hasil
pengujian Aw pada daging sebesar 0,921, Aw pada adonan sebesar 0,878, dan Aw pada salami
sebesar 0,8195. Kadar air (KA) yang diperoleh dari daging sebesar 23,1%, pada adonan sebesar
32,845%, dan pada salami sebesar 45,465. Hasil pengujian pH pada daging sebesar 5,4,
sedangkan pada adonan sebesar 5,43, dan pada salami sebesar 5,237. Hasil pengujian TAT untuk
daging dan adonan masing-masing sebesar 51,07 dan 25,6.

KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuatan
salami diperlukan tambahan selain bumbu-bumbu, yaitu bakteri Lactobacillus plantarum serta
diperlukannya perlakuan pengasapan selama satu minggu. Jumlah bakteri yang terdapat pada
salami berdasarkan uji TPC sebesar 2 x 103 dan jumlah E. coli yang ada adalah sebesar 2,5 x 102.
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of


Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan: H.
Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 1995. SNI 01-3775-1995. Corned beef dalam kaleng.
Standar Nasional Indonesia, Jakarta.

Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of


Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco.

Komariah, Surajudin & Dwi Purnomo. 2008. Aneka Olahan Daging Sapi. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.

Reinnenccius, G. 1994. Source Book of Flavours. 2nd Edition. Chapman and Hall, New York.

Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Oberby. (Eds). Meat Science,
Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Sudiarto, Fadil. Mikrobiologi Pangan

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium
klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN

Iklan

Share this:

Twitter
Facebo
ok

Terkait

Dendeng dan
Abondalam
"Teknik
Pengolahan
Daging"

Uji Fisik dan


Organoleptik
Dagingdalam
"Teknik
Pengolahan Daging"

Peta Karkas dan Kegunaannyadalam "Teknik Pengolahan Daging"

Comments RSS feed

Tinggalkan Balasan
Dendeng dan Abon


Statistik
o 75,031 hits


Kategori

Kategori

Friends & links


o My Blogspot
o My Facebook
o My Idol
o My Music
o My Twitter

Laman
o Profil

Arsip Bulanan
o Desember 2012
o November 2012
o Oktober 2012
o September 2012

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.


[ Kembali ke atas ]

Ikuti

Anda mungkin juga menyukai