PENGOLAHAN DAGING
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil
Hewani
Dosen Pengampu: Mustika Nuramalia Handayani, S.TP., M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Amanda Ilma Tania (1401708)
Irsan Luthfan Arifin (1405140)
Nadya Nanda Mutiara (1405514)
Natasha Krishna Amalia (1401809)
Sarah Tsamrotul Fuadah (1404231)
BAB I
PENDAHULUAN
pemilihan daging dengan kualitas yang diinginkan agar terhindar dari tindakan
penipuan seperti daging gelonggongan dan pengoplosan daging.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua
produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut dapat dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Lawrie (1998)
mendefinisikan daging dalam arti khusus sebagai bagian dari hewan yang digunakan
sebagi makanan. Menurut SNI 3932-2008, definisi daging segar adalah daging yang
belum diolah atau tidak ditambahkan dengan bahan apapun. Daging beku adalah daging
segar yang sudah mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan
temperatur internal minimal -18C.
Pendapat Soeparno (1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi
bervariasi antara 1,554,5% dengan kisaran 1540%. Daging bersusut masak rendah
mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak
besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut
masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air
daging, yaitu banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air
(WHC) yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat
dipengaruhi oleh nilai pH daging. Menurut Soeparno (1994) apabila nilai pH lebih
tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging (5,05,1) maka nilai susut masak
daging tersebut akan rendah.
Menurut Forest et al. (1975), pH daging pada ternak hidup berkisar antara 6,87,2, sedangkan menurut Buckle et al. (1987) pH daging pada ternak hidup berkisar
antara 7,2-7,4. Pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak
dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Pada saat itu nilai pH daging ada yang
tetap tinggi yaitu sekitar 6,5-6,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan
sangat cepat yaitu mencapai 5,4-5,6. Peningkatan pH dapat terjadi akibat partumbuhan
mikroorganisme Nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat
berhenti berkisar antara 5,1-6,2 (Buckle et al.,1987).
Daya ikat air oleh protein daging atau disebut dengan Water Holding Capacity
(WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air
secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan (water absorption). Ada tiga
bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot
sebesar 4 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah
sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%,
dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat.
Ketiga adalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
besarnya kira-kira 10%. Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan
molekul pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada
diantara molek
Salah saatu kelemahan daging adalah mudah sekali rusak. Untuk mengatasi hal
ini diperlukan pengawetan pada daging agar daya simpan daging menjaddi lebih lama.
Salah satu cara pengawetan daging adalah melalui pengolahan daging. Produk olahan
daging yang berkembang saat ini diantaranya adalah bakso, sosis, lidah asap, abon,
dendeng, kornet dan salami.
Sosis adalah suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan,
ternak dan rempah, serta bahan-bahan lain. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu
pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang sering
kali menggunakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan
pengasapan. Pembuatan sosis merupakan suatu teknik produksi dan pengawetan
makanan yang telah dilakukan sejak sangat lama. Di banyak negara, sosis merupakan
topping populer untuk pizza. Sosis terdiri dari bermacam-macam tipe, ada sosis mentah
dan juga sosis matang. Di Indonesia terdapat berpuluh-puluh merek sosis, ada yang tipe
premium dan ada tipe biasa, tergantung contain sosisnya. Secara umum dapat dilihat
dari harganya.
Jenis
sosis
dikelompokan
dalam
enam
kategori
berdasarkan
metode
pembuatannya yaitu: sosis segar, sosis asap-tidak dimasak, sosis asap-dimasak, sosis
masak, sosis fermentasi, dan daging giling masak. Sosis segar dibuat dari daging segar
yang tidak dikuring. Penguringan adalah suatu cara pengolahan daging dengan
menambahkan beberapa bahan seperti garam Natrium klorida (NaCl), Natrium nitrit,
Natrium nitrat, gula, serta bumbu-bumbu. Sosis segar tidak dimasak sebelumnya dan
biasanya tak diasapi, sehingga sebelum dikonsumsi, sosis segar harus dimasak . Sosis
masak dibuat dari daging yang telah dikuring sebelum digiling. Sosis jenis ini dimasak
dan biasanya diasapi. Daya simpannya lebih lama daripada sosis segar. Contohnya,
frankfurter dan hot dog. Dilihat dari jenis dagingnya, sosis dapat terdiri dari beberapa
macam, yaitu sosis sapi, sosis ayam, dan sosis babi.
Sosis juga ditambahkan bahan tambahan seperti garam, fosfat, pengawet
(biasanya nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat. Lemak
sering ditambahkan pada pembuatan sosis sebagai pembentuk permukaan aktif,
mencegah pengerutan protein, mengatur konsistensi produk, meningkatkan cita rasa,
dan mencegah denaturasi protein. Penambahan garam pada pembuatan sosis bertujuan
untuk meningkatkan cita rasa, pengembang protein daging, pelarut protein daging,
meningkatkan kapasitas pengikatan air (water holding capacity = WHC), serta sebagai
pengawet. Penambahan fosfat akan bersinergi dengan garam untuk meningkatkan WHC
pada sosis. Tanpa garam dan fosfat, sosis akan sulit untuk dibuat. Asam askorbat sering
ditambahkan dalam bentuk asam askorbat maupun natrium askorbat untuk membantu
pemerahan daging. Selain itu, asam askorbat juga berfungsi sebagai antioksidan agar
produk tidak mudah tengik. Untuk mensubtitusi daging, pada pembuatan sosis sering
juga ditambahkan isolate protein. Selain itu, pada pembuatan sosis juga ditambahkan
karbohidrat sebagai bahan pengisi sosis
Abon adalah makanan yang terbuat dari daging yang disuwir atau telah
dipisahkan seratnya, kemudian ditambah bumbu dan digoreng. Daging sapi dan daging
kerbau adalah daging yang umum digunakan dalam pembuatan abon. Menurut
Sumarsono et al., 2008, penggunaan kantong plastik yang ditutup rapat untuk
mengemas abon dapat mempertahankan kualitas selama penyimpanan sehingga abon
dapat disimpan beberapa bulan dalam suhu kamar. Umur simpan abon sapi dapat
mencapai lebih dari 60 hari dan memiliki rasa yang khas sehingga disukai konsumen
(Perdana, 2009).
Proses pembuatan abon melalui proses penggorengan. Selama proses
penggorengan terjadi perubahan-perubahan fisikokimiawi baik pada bahan pangan yang
digoreng maupun minyak gorengnya. Suhu penggorengan yang lebih tinggi dari pada
suhu normal (168-196C) maka akan menyebabkan degradasi minyak goreng yang
berlangsung dengan cepat (antara lain penurunan titik asap). Proses penggorengan pada
suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi. Lemak pada daging dan pada abon sapi
dapat menyebabkan terjadinya oksidasi. Hasil pemecahan ikatan rangkap dari asam
lemak tidak jenuh adalah asam lemak bebas yang merupakan sumber bau tengik.
Adanya antioksidan dalam lemak seperti vitamin E (tokoferol) dapat mengurangi
kecepatan proses oksidasi lemak, tetapi dengan adanya prooksidan seperti logam-logam
berat (tembaga, besi, kobalt dan mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin,
klorofil, dan enzim lipoksidasi lemak akan dipercepat (Nazieb, 2009).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
Daging Sapi
Alat
Kompor
Thermometer
Kasa Kawat
Sentrifuse
Inkubator
Gelas Ukur (10 ml)
Tabung Sentrifuse (50
ml)
Beaker Glass
Timbanga
n
Kertas
mm
pH Meter
Alat
Pisau
Kompor
Talenan
Wajan
Baskom
Daging Sapi
Bahan
Bawang Merah
Baskom
Alat
Food processor/Chopper
Tapioka
Garam; Sendawa
Merica Bubuk
Bawang Putih
Minyak Sawit
Susu Skim
Dicatat
Pengukura Ph Daging
Daging
Diukur
SapipH nya menggunakan pH meter sebanyak 2 kali
Pengolahan Abon
Tumbuk
daging
Tiriskan,
suir-suir
Lalu catat beratnya
Masukan santan kedalam wajan
panas,
laluhingga
aduk pipih, lalu
Adukhingga
Hinggahomogen
serat-serat daging terpisah
Masukan
Suiran
daging
lalu aduk
Campurkan Bumbu tambahan
kedalam
wajan
tersebut
Pengolahan Sosis
Giling
Daging,
tambahakan 15% air dingin
Campurkan daging dan
semua
Bumbu
Lakukan shaping dengan memasukkan adonan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Uji Kualitas
Warna
1
Merah
kecoklatan
(++)
Khas
daging
(++)
Keempukan ++
pH
4,9
WHC
72%
Susut
masak
Aroma
Rasa
Warna
Aroma
Rendemen
Asin gurih
2
Merah
segar
(+++)
3
Merah
(++)
Khas
daging
(+)
++
5,495
82%
50%
Khas
daging
(+)
++
5,235
72%
40,5%
Coklat
Gurih
asin
Coklat
Khas
daging
goreng
51,9%
Khas
daging
goreng
34,2%
Abu
Abu
+++
Gurih
rempah
160,8%
+++
Rempa
h
164,4%
Warna
Aroma
Rasa
Rendemen
Kelompok
4
5
6
Merah
Merah
Merah
segar
kecoklatan agak
(+++)
(++)
pucat
(+)
Khas
Khas
Khas
daging
daging
daging
(+)
()
(+)
+++
+++
+++
5,53
5,03
4,4
78%
74%
48%
30%
54%
Pengolahan Abon
Asin gurih Asin gurih Gurih
Coklat
Coklat
keemasan keemasan
Khas
Khas
daging
daging
goreng
goreng
39,4%
24,6%
Pengolahan Sosis
Abu
Abu
kecoklatan
+++
Asin gurih
rempah
148,8%
++
Gurih
136%
Coklat
keemasan
Khas
daging
goreng
43,73%
Gurih
asin
Coklat
Khas
daging
goreng
42,73%
Abu
Abu
kecoklatan kecokla
tan
+++
+++
Gurih asin Gurih
asin
143%
154,2%
7
Merah
segar
(+++)
8
Merah
kecoklatan
(++)
Khas
daging
()
++
5,78
18%
54%
Khas
daging
(+)
+
5,735
84%
-
Gurih
Gurih asin
Coklat
muda
Khas
daging
goreng
53,67%
Coklat
keemasan
Khas
daging
goreng
49,6%
Abu
kecokla
tan
+++
Gurih
Abu
kecoklatan
151%
148%
+++
Rempah
4.2 Pembahasan
Pada praktikum teknologi pengolahan hasil hewani kami melakukan uji
kualitas daging yang meliputi warna, keempukan, aroma, WHC, susut masak,
pH. Selain itu kami melakukan pengolahan daging yaitu pengolahan abon
daging sapi dan sosis sapi. Berikut ini adalah hasil pengamatannya :
1. Pengamatan subjektif terhadap sifat organoleptik daging
a.
Warna
Setelah melakukan pengamatan pada daging oleh 8 kelompok
maka dihasilkan hasil warna daging yang berbeda-beda karena penilaian
bersifat subjektif, hasilnya adalah warna daging berwarna merah kecoklatan
(kelompok 1, 5, dan 8), merah segar (kelompok 2, 3, 4, dan 7), dan merah
agak pucat (kelompok 6).
Perbedaan warna daging dipengaruhi oleh dipengaruhi oleh
mioglobin. Tipe molekul mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi
kimia serta fisik komponen lain dalam daging mempunyai peranan besar
dalam menentukan warna daging. Menurut Purbowati et al., (2006), faktor
penentu warna daging dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen.
Intensitas perubahan warna daging pada setiap kelompok dapat
terjadi karena perubahan warna daging dipengaruhi oleh suhu, kelembapan
dan lamanya penyimpanan daging. Pada awal pemotongan daging beku
segar akan terlihat daging berwarna merah cerah atau merah keungunan,
namun beberapa kelompok mendapati warna daging yang berwarna merah
c. Keempukan
Pengamatan keempukan daging dapat dilakukan dengan cara
menekan daging dengan jari kita apabila ditekan kemudian kembali ke
bentuk semula maka daging dapat dinyatakan empuk, hasil dari setiap
kelompok menunjukan hasil keempukan daging yang berbeda-beda. Hal ini
dikarenakan menurut Tobing (2012), tekstur daging dari seekor ternak
dipengaruhi oleh ikatan serabut otot (faskuli) yang terbungkus perimisium
kasar dan lembut. Ukuran tekstur ditentukan oleh jumlah serabut otot,
ukuran dan jumlah perimisium pembungkus. Tekstur otot menunjukkan
ukuran ikatan-ikatan serabut otot yang dibatasi oleh jaringan ikat yang
membagi otot secara longitudinal. Menurut Komariah (2008), secara fisik
daging yang baik akan terlihat lebih elastis, sedikit kaku, dan tidak lembek.
2. Pengukuran WHC dengan metode sentrifuse
Daya ikat air adalah kemampuan daging mengikat airnya yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan
daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Air dalam otot daging terdiri dari
tiga lapisan, yaitu lapisan air terikat erat secara kimiawi oleh protein daging
yang hampir tidak dipengaruhi oleh kekuatan mekanik atau fisik relatif besar
(Soeparno, 1992).
Disini kami menggunakan metode sentrifuse untuk menguji daya ikat air
pada daging sapi hasilnya adalah dari 8 kelompok artinya dari 8 sampel daging
sapi yang di uji menyatakan nilai WHC paling rendah adalah 18% sedangkan
yang paling tinggi adalah 84% sedangkan nilai rata-ratanya adalah 68,57%.
Daya ikat air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain spesies, umur, fungsi
otot, pH, lemak intramuskular, nutrien, stres dan prosesing. Perubahan nilai daya
ikat air selama proses juga ditentukan oleh tingkat mikro struktur jaringan,
struktur protein yang bertanggung jawab terhadap terikatnya air dan menentukan
jumlah air bebas dalam daging
3. Pengukuran Ph daging
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pH daging sapi dari tiaptiap kelompok adalah sebesar 4,90; 5,50; 5,24; 5,53; 5,03; 4,40; 5,78; dan 5,74
atau rata-rata berkisar 5,96. Berdasarkan SNI nilai PH daging yang normal
berkisar antara 5,4-5,8 yang artinya ph daging yang diuji oleh delapan kelompok
memiliki ph yang terbilang normal. Perbedaan nilai pH ini juga disebabkan oleh
perbedaan kandungan glikogen dari setiap jenis daging sehingga kecepatan
glikolisisnya berbeda. Semakin rendah kadar glikogen daging, maka makin
lambat proses glikolisis dan pH ultimate semakin tinggi. Bouton, et al. (1971)
menyatakan bahwa daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada daging
dengan pH rendah. Nilai pH daging ini perlu diketahui karena pH daging akan
menentukan tumbuh dan berkembangnya bakteri. Hampir semua bakteri tumbuh
secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4
atau diatas 9. Maka pH normal daging itu rentan terhadap serangan bakteri.
4. Pengukuran susut masak daging
Nilai susut masak merupakan nilai massa daging yang berkurang setelah
proses pemanasan atau pengolahan masak. Nilai susut masak ini erat kaitannya
dengan daya mengikat air. Semakin tinggi daya mengikat air maka ketika proses
pemanasan air dan cairan nutrisipun akan sedikit yang keluar atau yang
terbuang sehingga massa daging yang berkurangpun sedikit.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, susut masak daging sapi
dari tiap-tiap kelompok adalah sebesar 50%, 40,5%, 48%, 30%, 54%, dan 54%
atau rata-rata berkisar 47,25%. Menurut Yanti (2008) daging yang mempunyai
angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan
keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah. Dari hasil pengujian
dapat dilihat bahwa hasil pengukuran susut masak memiliki nilai yang tidak
terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah sehingga dapat dikatakan bahwa daging
dalam keadaan yang cukup baik.
c. Rasa
Surjana (2001) menyatakan bahwa rasa yang menentukan penerimaan
konsumen yaitu tingkat kegurihan, keasinan dan rasa daging. Rasa pada abon
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu pemasakan, bahan-bahan yang
ditambahkan ke dalam proses pembuatan abon, senyawa kimia. Dari hasil
praktikum menyatakan bahwa rasa dari abon yaitu asin gurih. Abon yang
mempunyai rasa asin bisa saja karena penambahan bumbu-bumbu dalam
pembuatan abon seperti garam yang membuat rasa abon menjadi asin.
Menurut Ketaren (1986), bahwa rasa gurih ini diperoleh karena
selama proses penggorengan, sebagian minyak masuk ke dalam bahan
pangan dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisi oleh air.
d. Rendemen
Rendemen adalah hasil akhir produk, rendemen penting untuk
diperhitungkan karena dapat membantu dalam proses penghitungan bahan
yang diperlukan untuk sebuah hasil akhir tertentu. Rendemen dari abon
adalah berkisar antara 24,6% - 53,67% atau rata-rata sebesar 42,98%.
Perbedaan hasil rendemen abon dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan
abon, dalam proses pemasakan pasti ada abon yang tidak terangkat sehingga
mengurangi hasil dari rendemen. Pada saat penirisan minyak pun dapat
terjadi pengurangan rendemen abon karena bisa saja rendemen abon terbawa
bersama minyak yang di tiriskan. Untuk meminimalisir penyusutan rendemen
pada abon maka pada saat proses penggorengan jangan menggunakan api
yang terlalu panas karena bisa menyebabkan susut bobot pada abon yang
sudah matang.
6. Pengolahan sosis daging sapi
Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging maupun ikan yang
telah dicincang, dihaluskan, diberi bumbu-bumbu, lalu dimasukkan ke dalam
pembungkus berbentuk bulat panjang (casing) berupa usus hewan atau
pembungkus buatan. Sosis dapat dikonsumsi dengan memasak, tanpa dimasak,
dengan atau tanpa diasap. Daging segar dapat diolah oleh konsumen menjadi
produk olahan daging yang siap saji, seperti sosis (Prayitno, dkk., 2009). Prinsip
pengolahan sosis adalah pencampuran,pengisian,perebusan. Berikut ini adalah
hasil pengamatan mengenai sosis daging sapi :
a. Warna
Warna pada produk makanan memegang peran penting, karena
menentukan produk tersebut diterima atau tidak oleh konsumen. Berdasarkan
karakteristik sensori warna sosis sapi yang dihasilkan ialah berwarna abu-abu
(kelompok 1, 2, dan 4) dan abu kecoklatan (kelompok 3, 5, 6, 7, dan 8).
Perbedaan warna pada sosis dapat terjadi akibat lamanya proses
perebusan, bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam adonan sosis, reaksireaksi kimia yang terjadi selama proses pemasakan sosis. Daging sapi yang
sudah direbus memang memiliki perubahan warna menjadi kecoklatan
sehingga sesuatu yang wajar apabila sosis sapi yang telah direbus memiliki
warna kecoklatan atau abu-abu kecoklatan. Penambahan gula pada adonan
sosis pun dapat memicu terjadinya perubahan warna karena terjadi reaksi
millard di dalamnya yaitu reaksi antara protein dan gula-gula pereduksi yang
menghasilkan warna kecoklatan, penambahan sendawa pada adonan sosis
bertujuan untuk mempertahankan warna merah dari daging sapi namun
karena pemakaian sendawa yang sedikit sehingga warna daging tetap
mengalami pencoklatan setelah di rebus.
b. Aroma
Aroma suatu makanan merupakan hal yang dapat memicu
ketertarikan konsumen terhadap suatu produk. Penilaian aroma tidak luput
dari indera penciuman kita yaitu hidung. Aroma dari sosis sapi adalah
memiliki aroma khas sosis pada umumnya. Aroma khas sosis ini terbentuk
karena adanya interaksi antara daging,dan beberapa komponen bahan-bahan
lain yang dapat mempengaruhi aroma pada sosis. Penambahan bawang putih
dan merica yang merupakan rempah-rempah yang memiliki senyawa volatile
yang khas juga dapat mempengaruhi aroma pada sosis.
c. Rasa
4.2 Pembahasan
Pada praktikum teknologi pengolahan hasil hewani, daging menjadi
objek yang akan diamati kualitasnya. Dengan mengamati warna, aroma,
keempukan, pH, WHC, dan susut masak. Selanjutnya adalah mengolah daging
sapi menjadi abon dan sosis.
Pada uji kualitas daging, dilakukan pengecekan warna dan aroma melalui
indera penglihatan dan indera penciuman untuk mengetahui kualitas daging.
Lalu dengan ditekan tekannya daging dengan jari untuk mengetahui tingkat
keempukan. Pada pengukuran pH daging dilakukan dengan menggunakan pH
meter yang telah dikaliberasi terlebih dahulu dan untuk perhitungan WHC,
daging dicacah menjadi ukuran kecil dan dicampur dengan aquades lalu
disentrifuse untuk menghitung cairannya. Lalu, susut masak dihitung setelah
daging direbus.
Setiap kelompok menghasilkan hasil yang berbeda beda namun itu
merupakan hasil yang wajar karena perlakuan dari tiap tangan berbeda meski
cara dan prosedur yang dilakukan sama. Hasil dari uji kualitas warna adalah
daging memiliki warna merah khas daging yang diletakkan disuhu ruang, lalu
aroma yang dihasilkan adalah khas daging dengan tingkat keempukkan yang
standar. Rata rata dari pH daging yang telah dihitung dari hasil tiap kelompok
adalah 5. Lalu untuk WHC, dikarena terdapat human error dimana tabung pecah
saat disentrifuse, jadi hasil dari tiap kelompok hanya dirata ratakan atas
kelompok yang masih memiliki sampel utuh yaitu pada kisaran 70% lalu pada
susut masak hanya pada kisaran 40% saja.
Selanjutnya adalah pengolahan abon dimana rempah rempah
dipersiapkan untuk dicampurkan dengan potongan daging yang telah disuir
4.2 Pembahasan
Pada praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Hewani yang pertama ini,
praktikan melakukan uji pada pengolahan daging, diantaranya uji kualitas
daging, kemudian melakukan uji pada olahan produk daging, yaitu abon sapi
dan sosis sapi.
Daging merupakan bahan pangan yang memiliki gizi yang tinggi karena
mengandung banyak protein, lemak, mineral, serta zat lainnya yang sangat
dibutuhkan
oleh
tubuh.
Daging
mudah
sekali
mengalami
kerusakan
mikrobiologi karena memiliki kandungan gizi dan kadar air yang tinggi.
Daging yang digunakan dalam praktikum ini yaitu daging beku, karena
sebelumnya daging disimpan pada suhu dingin di refrigerator antara 0 - 4C agar
dapat mencegah daging cepat rusak secara fisik oleh mikroba sebelum dilakukan
praktikum. Kualitas suatu produk sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha
produk tersebut, begitu pula dengan daging. Daging dengan kualitas yang baik
akan lebih disukai dan dikonsumsi oleh masyarakat. Kualitas daging dapat
dilihat dari sifat fisiknya seperti warna, aroma, dan keempukan. Selain itu pula
indikatornya lainnya seperti pH, WHC, dan susut masak. Kualitas daging akan
berpengaruh pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin
ini menurut T. Suryati (2004) dapat mengakibatkan terjadinya pemendekan otot.
hasil
pengamatan,
tiga
dari
delapan
kelompok
beberapa faktor seperti, pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres
(tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan juga oksigen. Namun, penentu utama
dari warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging itu sendiri, yaitu
mioglobin. Warna daging mioglobin berwarna merah keunguan. Warna
daging akan berubah mejadi merah terang setelah diiris dan dibiarkan terkena
oksigen. Pigmen mioglobin akan teroksidasi menjadi oksimioglobin sehingga
menghasilkan warna merah terang. Warna ini dapat kembali menjadi warna
awal (reversible). Daging kelompok 1, 5, dan 8 berwarna merah kecoklatan.
ini disebabkan karena daging terlalu lama terkena oksigen. Ini karena adanya
oksidasi lebih lanjut dari oksimioglobin yang menghasilkan pigmen
metmioglobin yang berwarna coklat. Sehingga, dapat diketahui bahwa warna
daging yang baik yaitu berwarna merah terang, mengkilap tidak pucat.
Aroma
Daging yang diuji kualitasnya tempo hari semuanya masih memiliki
aroma khas daging karena daging tersebut hanya mengalami penyimpanan di
suhu dingin selama 1 malam.
Keempukan
Lawrie (2003) dalam buku Ilmu Daging, menjelaskan bahwa derajat
keempukan daging dipengaruhi oleh tiga kategori protein urat daging, yaitu
tenunan pengikat (kolagen dan elastin), myofibril (Aktin dan myosin) dan
sarkoplasma (protein sarkoplasma dan sarkoplasmik reticulum). Soeparno
(2005) mengatakan bahwa ada beberapa metode penilaian mengenai
keempukan daging, yaitu secara obyektif yang meliputi pengujian secara fisik
dan kimia, dan juga secara subyektif dengan menggunakan metode panel test.
Dalam praktikum ini, kami mengetahui keempukan daging dengan
cara menekan jari pada sampel daging. Dapat diketahui dari tabel hasil
pengamatan, tiga kelompok memiliki hasil keempukan (+++) yang artinya
lebih empuk, sedangkan tiga lainnya (++), dan satu kelompok yang memiliki
hasil keempukan (+). Nilai (+++) menunjukkan lebih empuk dapat terjadi
karena daya ikat air dagingnya lebih tinggi sehingga berat airnya hanya
sedikit yang menyusut yang menyebabkan keempukannya lebih baik.
Pengukuran keempukan daging ini memiliki hasil relatif berbeda karena
diukur secara tradisional dengan tangan (tekstur daging). Soeparno (2005)
menjelaskan kembali bahwa semakin halus teksturnya, maka daging menjadi
lebih empuk.
pH
Menurut Smith (1978) dan Judge (2989), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pH daging, yaitu stres sebelum pemotongan, iklim, tingkah
laku agresif sapi ternak yang dapat berpengaruh besar terhadap penurunan
atau habisnya glikogen otot, yang menghasilkan daging yang gelap dengan
pH yang tinggi (pH > 5,9). Selain itu, pH daging menentukan adanya tumbuh
dan berkembangnya bakteri. Pada pH sekitar 7, bakteri dapat tumbuh secara
optimal, tetapi bakteri tidak akan tumbuh pada pH < 4 atau > 9. Menurut
Soeparno (2005), pH daging saat penyembelihan yaitu 7. pH mengalami
penurunan karena terbentuknya asam laktat akibat adanya proses glikolisis
pada glikogen. Lalu, menurut Lawrie (2003), daging setelah dipotong
memilki pH sekitar 6,5 7,0 dan mencapai titik terendah 5,5 5,6.
Berdasarkan hasil pengamatan, pH yang didapat sekitar 4,4 5,78,
yang dimana standard pH daging setelah dipotong. pH berkaitan dengan daya
ikat air (WHC), dimana semakin tinggi pH, maka semakin tinggi pula WHC
nya.
WHC
Komposisi kimia daging terdiri dari kadar air, protein, kadar
karbohidrat, dan mineral. Soeparno (2005) mengatakan bahwa daya ikat air
oleh protein atau water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan
daging untuk mengikat air atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan dari luar, misal pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan
tekanan. Selain kemampuan mengikat air, daging juga mempunyai
ABON SAPI
Abon merupakan salah satu produk olahan daging yang telah disuwir
atau telah dipisahkan seratnya, yang kemudian diberi bumbu dan digoreng.
Pembuatan abon ini melibatkan banyak proses, dimulai dari perebusan
daging, penyayatan, pembubuan, penggorengan, dan pengepresan. Suryani
(2007) mengatakan daging yang digunakan dalam pembuatan abon yaitu
daging sapi atau kerbau. Ada dua metode pembuatan abon, yaitu secara
tradisional, yaitu daging disuwir menggunakan garpu. Sedangkan, metode
secara modern yaitu menggunakan food processor. Praktikum ini kami
menggunakan food processor. Dengan food processor, serat daging akan
terpisah seluruhnya.
Abon mengalami proses penggorengan pada suhu tinggi. Ini dapat
mempercepat proses oksidasi pada lemak daging. Menurut Wisena (1988),
pada pembuatan abon, terjadi penurunan kadar protein akibat adanya proses
penggorengan, sedangkan kadar lemak, abu, dan serat kasar mengalami
peningkatan. Ini dkarenakan adanya penambahan santan, bumbu-bumbu
seperti garam, gula, dan merica, juga minyak goreng saat menggoreng.
Penambahan santan pada pemasakan abon ini agar menambah aroma, cita
rasa, flavour, dan perbaikan teksturs bahan pangan hasil olahan. Selain itu
pula, menurut Riwan (2008) santan mengandung senyawa nonymethylketon
yang pada suhu tinggi menyebabkan senyawa tersebut bersifat volatil dan
menimbulkan bau yang enak. Garam yang ditambahkan dalam pembuatan
abon ini yaitu sebanyak 2%. Sesuai dengan literatur Buckle et al. (1987)
bahwa pada konsentrasi garam 2%, sejumlah bakteri akan terhambat
pertumbuhannya. Penambahan gula menurut Desrosier (1977) dalam Agustini
(1987) akan melembutkan produk abon dan mengurangi penguapan air.
Berdasarkan tabel hasil pengamatan, rata-rata hasil warna yang
didapat yaitu coklat coklat keemasan. Intensitas warna ini bergantung pada
perubahan pigmen yang terjadi selama pemasakan yang ditentukan oleh jenis
dagingnya, lama, dan suhu pemasakan. Penambahan gula merupakan salah
satu faktor perubahan warna menjadi coklat. Merurut Muchtadi (1992), warna
coklat pada abon ini karena adanya reaksi maillard, yaitu reaksi pencoklatan
non enzimatis yang merupakan reaksi antara protein dengan gula-gula
pereduksi. Mengenai aroma, abon sapi ini memiliki aroma khas daging
goreng. Sedangkan, rasa dari olahan abon sapi ini yaitu asin gurih. Menurut
Forrest (1975), rasa dan aroma dari produk daging berasal dari sejumlah
bahan yang ada dalam lemak dan bersifat menguap ketika dipanaskan.
Rendemen merupakan persentase berat abon yang dihasilkan dari
berat
daging
yang
digunakan.
rendemen
dipengaruhi
oleh
proses
ABON SAPI
Menurut Vouling dan William (2000), sosis adalah produk olahan
daging yang diberi tambahan bumbu atau rempah-rempah yang digunakan
dalam pembuatan sosis, yaitu daging giling, garam, gula, bawang putih,
merica, ketumbar, susu skim, tepung tapioka, dan air es. Adonan sosis
menurut pendapat Forrest et al (1975) yaitu emulsi minyak dalam air yang
terbentuk dalam suatu fase koloid dengan protein daging yang bertindak
sebagai emulsifier sehingga protein air dalam adonan sosis akan membuat
matriks yang membentuk emulsi yang stabil. Minyak atau lemak
mempengaruhi kestabilan emulsi. Penambahan air es dalam adonan sosis
menurut Kramlich (1971) bertujuan untuk melarutkan garam, memudahkan
ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi. Penambahan
bumbu-bumbu seperti garam, merica, bawang putih, dan bawah merah untuk
meningkatkan flavour dan penambah karakteristik warna. Penambahan
sendawa berfungsi menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen dan
memberi warna merah muda yang menarik. Tepung tapioka berfungsi
memperbaiki atau menstabilkan emulsi, meningkatkan WHC. Penambahan
susu skim sama fungsinya dengan tepung tapioka. Adoanan sosis dimasukkan
ke dalam selongsong buatan, yaitu dari kolagen dan juga plastik. Perebusan
adonan sosis ini untuk menyatukan komponen-komponen adonan sosis,
membuat warna produk semakin menarik, dan menginaktifkan mikroba.
Berdasarkan hasil pengamatan, warna sosis yang didapat yaitu abu
abu kecoklatan. hal ini tidak sesuai dengan pendapat Komariah (2012) yang
menjelaskan bahwa kriteria mutu sosis yang baik yaitu memiliki warna coklat
muda cerah atau sedikit agak kemerahan terjadinya proses denaturasi protein
saat pemanasan dan juga temperatur. Sosis yang dihasilkan pun memiliki
tekstur kurang kenyal (kasar). Hal ini diduga karena masih terdapat udara saat
memasukkan adonan sosis ke dalam selongsong, atau karena menambahkan
air yang sedikit sehingga tekstur sosis keras. Kemudian, sosis yang dihasilkan
memiliki aroma sosis yang baik dan sesuai, memiliki rasa gurih, cita rasa
rempah terasa, dan rata-rata memiliki rendemen tinggi diatas 100%, sekitar
136 164,4%. Ini dikarenakan daya ikat air dalam pembuatan sosis sangat
besar sehingga menghasilkan rendemen besar pula.
1.2
4.2 Pembahasan
Pada praktikum hewani ini, kami melakukan tiga percobaan yaitu uji
kualitas daging, pembuatan abon, dan pembuatan sosis. Bahan yang kami
gunakan adalah daging sapi beku. Pada pengujian kualitas daging hal yang kami
amati adalah warna, aroma, keempukkan, pH, WHC, dan Susut Masak.
Sedangkan pada pengolahan abon dan sosis, hal-hal yang kami amati adalah
rasa, warna, aroma, dan rendemen.
1. Uji Kualitas Daging
Kualitas suatu produk sangat menentukan tingkat keberhasilan usaha
produk tersebut. Hal ini juga berlaku pada produk daging. Daging dengan
kualitas yang baik akan lebih digemari oleh konsumen. Kualitas daging salah
satunya dapat dilihat dari sifat fisik daging tersebut. Pengujian sifat fisik
daging diantaranya dilakukan dengan pengujian pH daging, daya mengikat
air, susut masak dan keempukan daging. Sifat fisik daging mempengaruhi
kualitas pengolahan daging. Daging yang memiliki kualitas sifat fisik yang
bagus tentunya akan memberikan produk pengolahan yang bagus dan akan
mempermudah selama proses pengolahannya. Penentuan kualitas sifat fisik
daging perlu dikaukan dengan benar dan teliti sehingga menghasilkan data
yang akurat. Berdasarkan pegujian yang kami lakukan kami memperoleh
hasil sebagai berikut :
Warna
Warna daging dipengaruhi oleh pigmen yaitu mioglobin. Jenis
molekul dan status kimia mioglobin, serta kondisi kimia dan fisik yang
terdapat dalam daging berperan besar dalam menentukan warna daging
(Lawrie,2003; Jeong et al.,2009). Berdasarkan pengujian yang kami
lakukan, warna daging tersebut memiliki warna merah segar. Hal ini
menujukkan daging yang kami uji masih memiliki kualitas yang baik.
Aroma
Aroma pada daging yang kami uji, memiliki aroma khas daging
pada umumnya.
Keempukkan
Keempukan dan tekstur daging merupakan penentu kualitas
daging sapi segar. Komponen utama yang menentukan keempukan
adalah jaringan ikat dan lemak yang berhubungan dengan otot (Aberle et
al., 2001).
Perbedaan suhu dalam daging saat pemasakan (60C, 70C dan
80C) akan mempengaruhi keempukan daging, semakin tinggi suhu
akhir pemasakan akan menghasilkan daging yang lebih empuk. Suhu
akhir (60C, 70C dan 80C) secara akurat dapat digunakan sebagai alat
untuk klasifikasi keempukan daging, tetapi pada suhu yang rendah
(<60C) perbedaan suhu dalam daging tidak dapat dijadikan patokan
yang akurat untuk klasifikasi keempukan daging karena dipengaruhi oleh
waktu pemasakan, jumlah perubahan jaringan dan rendahnya nilai
klasifikasi keempukan daging (Wheeler et al., 1999). Berdasarkan
pengujian yang telah kami lalukan, daging sapi yang kami uji memiliki
tingkat keempukkan (empuk ++).
pH
Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging,
karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air
dan masa simpan (Lukman et al., 2007). Berdasarkan standar SNI, nilai
pH daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8. Daging sapi segar yang
kami uji memiliki pH sebesar 5,96. Jika dilihat pH daging yang kami uji
memiliki nilai yang lebih besar debandingkan dengan standar SNI yang
ada. Menurut Bouton, et al. (1971) menyatakan bahwa daging dengan
WHC
Daya mengikat air oleh protein daging atau water holding
capacity atau water binding capacity (WHC dan WBC) adalah
kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan dan tekanan absorbsi air atau kapasitas
(kemampuan) daging menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa
daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH
akhir semakin tinggidaya mengikat air atau nilai mgH 2O rendah. Daging
sapi yang kami uji memiliki kadar WHC sebesar 68.57%.
Susut Masak
Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging
yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang
terikat di dalam dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh
temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan
maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai
tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang
sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi
miofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang
daging (Soeparno, 2005). Rataan susut masak pada percobaan ini yaitu
47,2 , hasil ini lebih tinggi dari penelitian Bolink et al. (1999) terhadap
susut masak daging pada sapi dara Limosin yang mempunyai nilai
31,20,6. Perbedaan ini diduga karena waktu dan suhu pemasakan yang
dilakukan dari setiap penelitian berbeda. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Soeparno (2005) bahwa susut masak dipengaruhi oleh
temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi temperatur pemasakan
maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai
tingkat yang konstan.
2.
Pengolahan Abon
Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan untuk rasa, warna,
aroma dan rendemen pada abon sapi yang kami olah. Kami memperoleh
hasil sebagai berikut :
Rasa
Rasa abon sapi yang dihasilkan adalah Asin Gurih. Hal tersebut
disebabkan karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti garam,
merica bubuk, dan santan. Yang menyebabkan timbulnya rasa asin gurih
pada abon yang kami buat.
Warna
Warna abon sapi yang dihasilkan adalah coklat keemasan. Hal
tersebut terjadi dikarenakan adanya proses penggorengan daging sapi
menggunakan minyak goreng panas, yang menyebabkan berubahnya
warna daging menjadi coklat keemasan. Warna coklat keemasan yang
timbul juga dapat mengindikasikan bahwa abon yang kami hasilkan
memiliki kualitas yang baik.
Aroma
Aroma abon sapi yang dihasilkan adalah aroma khas daging goreng.
Rendemen
Rendemen yang dihasilkan dari percoban ini adalah 42,98 %
3. Pengolahan Sosis
Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan untuk rasa, warna,
aroma dan rendemen pada sosis abon sapi yang kami olah. Kami
memperoleh hasil sebagai berikut:
Rasa
Rasa sosis sapi yang dihasilkan adalah Gurih. Hal tersebut disebabkan
karena adanya penambahan bumbu-bumbu seperti garam, merica bubuk,
bawang merah, dan bawang putih Yang menyebabkan timbulnya rasa
gurih pada sosis yang kami buat.
Warna
Warna yang dihasilkan pada sosis daging sapi yang kami buat
adalah abu-abu. Pada percobaan ini, kami menambahkan sendawa untuk
memunculkan warna merah segar khas daging sapi. Tetapi warna sosis
yang dihasilkan memiliki warna abu-abu. Hal tersebut dikarenakan tidak
timbulnya warna asli daging sapi.
Aroma
Aroma yang dihasilkan yakni aroma khas sosis pada umumnya.
Rendemen
Rendemen yang dihasilkan yakni sebanyak 150,86 %. Rendemen
sangat penting untuk diketahui, hal ini sangat berpengaruh pada berapa
banyak produk yang akan dihasilkan dari formula yang digunakan.
4.2 Pembahasan
Uji Kualitas daging
Praktikum ini dilakukan pengujian kualitas daging sapi, parameter
yang diamati diantaranya warna, aroma, keempukkan, pH, WHC, dan susut
masak. Keenam parameter yang diamati merupakan penentu kualitas daging.
Daging sapi yang digunakan adalah daging sapi segar yang telah dibekukan
semalaman.
Berdasarkan hasil pengamatan daging sapi berwarna merah segar (++
+), warna merah pada daging sapi dihasilkan dari pigmen mioglobin.
Mioglobin merupakan protein kompleks yang berfungsi membawa oksigen
untuk sel (Muchtadi, dkk. 2013). Karena daging sapi tersebut dibekukan dan
terkena udara, sehingga warnanya berubah menjadi merah segar, dan pigmen
daging sapi tersebut teroksidasi menjadi oksimioglobin yang menghasilkan
warna merah terang (merah segar). Aroma daging sapi yang diamati yaitu
khas daging (+), aroma ini sedikit berkurang karena daging sapi yang
digunakan sudah disimpan di lemari es dan terjadi pelepasan udara pada
daging ke lingkungan luar. Daging sapi tersebut memiliki tekstur yang
empuk (++) dan menunjukan bahwa daging masih segar. Saat ditekan dengan
jari daging tersebut memiliki konsistensi kenyal (padat). Dilihat dari jaringan
ikatnya tidak terlalu banyak sehingga daging sapi tersebut tidak liat karena
diperoleh dari sapi yang usianya muda.
Menurut Forest et al. (1975), pH daging pada ternak hidup berkisar
antara 6,8-7,2, sedangkan menurut Buckle et al. (1987) pH daging pada
ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Setelah hewan/ternak disembelih
(mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya
bahan,
pengukusan
atau
perebusan,
pencabikan
atau
boleh berlebihan tetapi cukup mencapai titik didih saja. Pada proses
penggorengan abon juga digunakan api yang kecil, agar abon tidak terlalu
gosong. Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu rupa dan kualitas
tekstur bahan. Abon harus benar-benar di pres (dihilangkan minyaknya) agar
masa simpan abon lebih lama, karena jika proses presnya kurang maka
kualitas abon akan menurun dan tidak tahan lama (cepat rusak). Kemasan
yang baik digunakan untuk abon yaitu dengan alumunium foil atau plastik
yang tebal. Berdasarkan hasil pengamatan, abon yang dibuat memiliki
karakteristik hampir sama dengan abon dipasaran, yaitu rasa yang asin gurih,
berwarna coklat keemasan, beraroma khas daging goreng, dan dari 150 gram
daging sapi yang digunakan menghasilkan abon dengan rendemen sekitar
42,98%. Perhitungan rendemen bertujuan untuk mengetahui berapa banyak
abon yang akan dihasilkan apabila kita menggunakan daging dengan berat
tertentu.
Pengolahan Sosis Sapi
Sosis adalah makanan olahan dari daging (sapi, ayam, ikan, dll) yang
bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging tersebut. Proses
pembuatan sosis dimulai dari pencician, pemotongan dan penggilingan,
penambahan air es, pencampuran bumbu, pencetakan/pengisian sosis ke
dalam pembungkus berupa usus hewan, edible film atau pembungkus buatan,
perebusan, dan pengemasan. Hal yang harus diperhatikan yaitu saat
penambahan air es yang berfungsi sebagai emulsifier yang mencampurkan
lemak daging. Saat pengisian/pencetakan sosis diusahakan jangan terlalu
padat karena akan menyebabkan pembungkusnya pecah pada saat
pemasakan, beri sedikit ruang agar pembungkus sosis tidak pecah. Sosis bisa
dengan direbus atau dipanggang sesuai kebutuhan, suhu yang digunakan
harus diperhatikan agar sosis matang secara merata. saat pengemasan sosis
dilakukan dengan cara di pres atau kedap udara, agar menjaga sosis tahan
lama dan tidak mudah rusak oleh mikroorganisme. Berdasarkan hasil
pengamatan, sosis yang dibuat memiliki karakteristik hampir sama dengan
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kualitas daging yang segar adalah yang memiliki warna merah cerah karena
kadar mioglobin dalam daging karena myoglobin pada daging belum
teroksidasi, aroma daging bau khas daging, daging memiliki keempukan yang
bagus apabila di tekan dengan tangan balik lagi ke bentuk semula.
Prinsip pengolahan abon daging sapi yaitu perebusan, penyuwiran, pemasakan
daging,penggorengan.
Tahap penting pada pembuatan abon daging sapi adalah proses penyuwiran dan
penggorengan karena dapat mempengaruhi tekstur,warna,aroma dan rasa dari
abon sapi tersebut.
Prinsip pengolahan sosis adalah proses percampuran, pengemulsian, pengisian,
perebusan.
Tahap penting pada pengolahan sosis sapi adalah proses pengisian dan
perebusan yang dapat mempengaruhi bentuk,tekstur,dan warna dari sosis
tersebut.
5.2 Saran
5.1 Kesimpulan
Kualitas daging yang digunakan merupakan daging dengan kondisi yang
cukup baik dan layak untuk digunakan dan diolah menjadi abon dan sosis karena
telah melalui uji dengan hasil yang normal.
5.2 Saran
Setiap cara uji memiliki hasil yang berbeda beda begitu juga dengan
pengolahan karena pembuatnya dan pengujinya yang berbeda dan terjadinya
kesalahan merupakan hal yang manusiawi seperti pecahnya tabung atau warna yang
kurang dari harapan dari hasil pengolahan.
5.1 Kesimpulan
Dari tabel hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
Kualitas daging yang baik dari segi warna yaitu warna merah mioglobin
(merah keunguan cerah), memiliki aroma khas daging, memiliki tingkat
keempukan yang bagus saat ditekan dengan jari tangan, dan WHC yang
rendah.
Prosedur pengolahan abon sapi diantarana perebusan daging, penyayatan
(penyuwiran) dengan food processor, pembubuan, penggorengan, dan
pengepresan.
Tahap penting untuk memperoleh produk abon yang berkualitas yaitu pada saat
penyuwiran dan juga penggorengan. Penyuwiran harus sesuai, tidak terlalu
tebal dan tipis, juga atur suhu dan lama penggorengan agar dapat warna yang
sesuai.
Tahapan pembuatan sosis sapi yaitu penggilingan daging, penambahan bahan-
5.2 Saran
Disarankan sebelum praktikum, daging sudah dibagi-bagi agar saat praktikum
berlangsung tidak mengantri mengambil bagian daging untuk kelompoknya.
Kemudian, saat penggorengan abon sapi, disarankan tidak memakai minyak terlalu
banyak agar tidak banyak minyak yang terserap.
NIM : 1401809
5.1 Kesimpulan
Daging sapi yang kami gunakan memiliki kondisi yang baik, hal ini dapat
dilihat dari warna, aroma, pH, keempukkan dan susut masak yang dihasilkan.
Abon sapi yang kami buat memiliki karakteristik yang hamper sama dengan
5.2 Saran
Menurut saya lebih diatur lagi pengambilan sempel yang akan digunakan,
terutama bahan daging. Hal ini untuk menghindari pengantrian pemotongan bahan
yang akan digunakan dan tidak kondusifnya mahasiswa saat akan mengambil
daging.
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, bahwa uji
kualitas daging dapat dilihat dari warna, aroma, keempukkan, pH, Daya
Mengikat Air (WHC), dan susut masak. Daging sapi segar memiliki warna,
aroma, dan keempukkan yang lebih baik. Untuk nilai pH, semakin tinggi pH
suatu daging maka daya mengikat airnya (WHC) semakin tinggi dan memiliki
susut masak yang rendah. Hubungan daya mengikat air dengan susut masak
adalah berdanding terbalik. Daging olahan bertujuan untuk memperpanjang
masa simpan dan meningkatkan kualitas. Pengolahan sosis dan pengolahan abon
yang dilakukan menghasilkan karakteristik produk sosis dan abon yang hampir
sama dengan yang ada dipasaran. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan
saat
pembuatan
sosis
yaitu
penggilingan,
penambahan
air
es,
5.2 Saran
Untuk praktikum selanjutnya, ditambahkan beberapa pengujian untuk menguji
produk yang telah dibuat, missal kadar mikroba, pengujian kadar air, dan perbedaan
perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D, J.C. Forrest, D.E. Gerrard, & E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Company.
Agustini, S. 1987. Pengaruh Tingkat Penambahan Keluwih dan Pembuatan Abon
Daging Sapi Terhadap Mutu Kimia dan Organoleptik Selama Penyimpanan.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Petanian Bogor, Bogor.
Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1972. The Effects of Cooking Temperature and
Time on Some Mechanical Properties of Meat. J. Food Sci. 97: 140-144.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. Jakarta: UI Press.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A Merkel. 1975.
Principles of Meat Science. London: Freeman.
Judge, M. D., Arberle, E. D. Forrest, J. C. Hendrick, H. B. and Merkel, R. A. 1989.
Priciples Meat Science 2nd. Kendall/Hunt Publishing Co, lowa.
Komariah. Sirajuddin. Purnomo. 2009. Aneka Olahan Daging Sapi II. Bogor: Agro
Media.
Komariah. Sirajuddin. Purnomo. 2012. Bogor: Aneka Olahan Daging Sapi. Agro
Media.
Kramlich, W., H. 1971. Sausage Product. Dalam: The Science of Meat and Meat
Products. San Fransisco: J. F. Price, dan B. S. Schweigert, Eds. W. H. Freeman
and Co.
Kusmiadi, Riwan. 2008. Kandungan Senyawa Santan Kelapa. Bangka Belitung: UBB.
Lawrie, R. A. 1995. Meat Science 5th Edition . New York: Pergamon Press.
Lawrie,R.A. 2003. Ilmu Daging. Parakkasi A:penerjemah.UI Press. Jakarta.Terjemahan
dari: Meat Science.
Muchtadi, T.R. dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Muchtadi, dkk. 2013. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.
Mustika, NH. 2014. Handbook PPT Daging. Pendidikan Teknologi Agroindustri UPI
Bandung.
Nurwantoro, et al. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi Hasil Ternak. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Smith, G. L., G. R. Culp. dan Z. L. Carperter. 1978. Post Mortem Aging of Carcases,
Journal Food Science. 430 : 823.
SNI
01-3707-1995.
SNI
Abon
Sapi
[Online].
A.
2009.
Proses
Pembuatan
Abon
Sapi.
[online]
Wisena, M. 1988. Evaluasi Nilai Gizi Abon Sapi Menggunakan Metode in vitro dan
Evaluasi Mutu Abon yang Beredar di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yanti, H., Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas Daging Sapi dengan Kemasan Plastik
PE (Polyethylen) dan Plastik PP (Polypropylen) di Pasar Arengka Kota
Pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol 5 No 1 Februari 2008 (22 27).
LAMPIRAN
Uji Kualitas Daging (Uji Sensori, Uji pH, Uji susut masak, uji WHC)
kemudian mencuci
Menyiapkan Bahan-bahan
yang akan digunakan
tipis
bumbu-bumbu
ditimbang
Memasukkan bumbu-bubu
wajan panas
campurkan
menggumpal
Menghilangkan minyak
berwarna kecoklatan
pada abon
Garam, merica
bawang putih
Mengikat ujung-ujung
sosis
segitiga, kemudian
dihaluskan
memasukkan ke dalam
selongsong
selama 30 menit
LEMBAR KONTRIBUSI
Nama Anggota
Kontribusi
BAB I. Pendahuluan
Lampiran
catatan : semua anggota kelompok berkontibusi selama praktikum dan pada pembuatan
hasil pengamatan.