Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang sesuai untuk dimakan dan
tidak menyebabkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging dikenal sebagai
bahan pangan yang bernilai gizi tinggi, namun mempunyai sifat mudah rusak. Oleh karena
itu, usaha pengolahan penanganan merupakan cara untuk mengurangi kerusakan daging pasca
panen sekaligus memperoleh nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Pengolahan daging
seperti halnya pengolahan bahan lainnya bertujuan untuk memperpanjang umur simpan,
memperbaiki sifat organoleptik, menambah variasi bentuk hasil olahan daging,
memungkinkan tersedianya produk daging setiap saat serta menghemat waktu dan energi
untuk persiapan daging sebelum dimakan.
Salah satu cara pengolahan yang dapat dilakukan dan telah umum dikenal oleh
masyarakat adalah pengolahan sosis. Sosis merupakan produk emulsi daging yang
ditambahkan bahan pengisi, bahan pengikat, dan bumbu-bumbu untuk meningkatkan flavor
dan daya terima. Sosis umumnya dibuat dari daging sapi, namun jenis daging lainnya seperti
ayam, kelinci, dan babi dapat juga digunakan. Daging yang akan digiling pada umumnya
didinginkan terlebih dahulu sampai temperatur -2

C, kecuali pada pengolahan secara panas
(Henrickson, 1987). Temperatur penggilingan sangat penting dalam pembentukan sosis.
Penggilingan bertujuan untuk membentuk daging giling yang mempunyai campuran daging
dan lemak yang lebih merata (Tauber, 1977). Pada tahapan pencampuran diharapkan butiran
lemak dapat terdistribusi secara merata dan umumnya digunakan mesin pencacah atau mesin
pengemulsi yang merupakan gabungan dari system penggilingan dan pencacahan (Tauber,
1997). Pada tahapan tersebut bahan kuring, es atau air es, garam, bahan pengikat, dan bahan
tambahan lainnya ditambahkan sehingga dapat terdistribusi merata (Kramlich, 1971). Adonan
sosis dimasukkan ke dalam selongsong (casing) dengan menggunakan alat khusus yang
bertujuan untuk membentuk dan mempertahankan kestabilan (Kramlich, 1971) dan
mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara (Henrickson, 1978). Pemanasan bertujuan
untuk menyatukan komponen utama adonan sosis, memantapkan warna, inaktivasi
mikroorganisme dan meningkatkan atau menurunkan keempukan, tergantung temperatur,
lama pemasakan dan jenis daging (Lawrie, 1991).
Dalam semua industri, khususnya industri pangan, tentu memiliki keluaran berupa
bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak maupun tidak menimbulkan dampak
apapun bagi masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Seperti halnya limbah pengolahan
pangan berbahan dasar daging. Berdasarkan uraian di atas, baik daging maupun dalam proses
pengolahannya menjadi sosis daging, tentunya akan menghasilkan limbah yang tidak terpakai.
Misalnya dalam pemilihan daging yang digunakan untuk mengolah sosis serta saat sosis
tersebut diolah sampai pada tahap sosis dimasukkan ke dalam selongsong (casing). Oleh
karena itu, penulis bertujuan memaparkan poin-poin yang berhubungan dengan limbah
pengolahan daging dengan sosis daging sebagai produknya.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 JENIS LIMBAH
2.1.1 LIMBAH PADAT
Limbah padat atau bisa disebut sampah merupakan limbah yang terbanyak di
lingkungan. Istilah sampah diberikan kepada barang-barang atau bahan-bahan buangan
rumah tangga atau pabrik yang tidak digunakan lagi atau tidak terpakai dalam bentuk
padat.
Pada Industri Pengolahan Daging (Sosis Daging Sapi), limbah padat dihasilkan
mulai dari proses pemotongan sapi yang merupakan bahan baku pembuatan sosis sapi
hingga proses produksi sosis sapi. Adapun limbah padat yang dihasilkan selama proses
pemotongan sapi adalah :
Tulang
Isi Rumen dan Intestinal
Kotoran sapi
Sedangkan limbah yang dihasilkan selama proses produksi sosis sapi adalah :
Daging sapi yang tidak lolos penyortiran
Selongsong yang rusak

2.1.2 LIMBAH CAIR

Menurut PP No. 82 Tahun 2001, limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha
atau kegiatan yang berwujud cair. Jenis-jenis limbah cair dapat digolongkan
berdasarkan sifatnya, yaitu fisika dan sifat agregat, parameter logam, anorganik
nonmetalik, organik agregat, dan mikroorganisme.
Pada Industri Pengolahan Daging (Sosis Daging Sapi), limbah cair yang
dihasilkan mulai dari proses pemotongan sapi adalah :
Darah
Air dalam rumen
Air pembersihan tempat pemotongan
Sedangkan limbah cair yang dihasilkan selama proses produksi sosis sapi adalah :
Air pembersihan daging

2.2 KARAKTERISTIK LIMBAH
2.2.1 LIMBAH PADAT
2.2.1.1 TULANG
Menurut Perwitasari (2011), tulang pada dasarnya adalah sebuah jaringan
penghubung seperti kartilago yang terdiri atas sel-sel yang bertempat di lakuna dan
serat-serat kolagen. Dalam tulang biasanya hanya satu sel terdapat dalam tiap lakuna
dan berhubungan dengan yang lainnya, melalui serangkaian tulang yang melintasi
sebuah matriks yang banyak terdapat pada serat kolagen/zat albuminoid dan juga
diresapi garam-garam kalsium yang paling berlimpah. Matriks dan serat-serat kolagen
tersusun atas pelat-pelat pada jaringan ossein. Tulang adalah jaringan keras dalam
tubuh yang terdiri dari dua tipe jaringan yaitu jaringan kompak dan bunga karang
mengandung kolagen dalam jumlah yang hampir sama. Warna tulang segar adalah
putih kekuningan dan bila direbus akan menjadi putih bersih. Tulang terdiri dari bahan
organik dan anorganik sebagian besar bahan anorganik, seperti : kalsium fosfat dan
kalsium karbonat. Sedangkan sisanya adalah ion-ion seperti Mg,K,F,CI. Bahan-bahan
anorganik dalam tulang berfungsi untuk memberikan kekerasan pada struktur tulang.
Komposisi tulang secara umum
Komponen Jumlah (%)
Air 14 44
Lemak 1 27
Bahan Organik lainnya 16 33
Bahan anorganik 25 56
Komponen tulang sapi (KBBI)
Komponen Jumlah (%)
CaCO3 7,07
Mg3 (PO4)2 2,09
Ca3 (PO4)2 58,30
CaF2 1,96
Kolagen 4,62

2.2.1.2 Isi Rumen dan Intestinal
Isi rumen sapi, selain mengandung cairan yang terkandung mikroba dan
enzim-enzim yang disekresikan oleh mikroba rumen, juga mengandung zat-zat
makanan hasil perombakan mikroba rumen dan enzim, serta vitamin dan mineral
yang larut dalam cairan rumen. Pemisahan cairan rumen dengan Sentrifugasi
pada kecepatan 10000 g selama 10 menit akan menghasilkan bahan padatan
yang berasal dari sel-sel mikroba dan nutrien yang larut di dalam cairan Rumen.
Bahan tersebut kaya akan protein, asam amino, vitamin dan mineral. Komposisi
asam amino, mineral dan vitamin dalam endapan cairan rumen seperti halnya
enzim-enzim, juga tergantung dari perlakuan pakan yang diberikan. Komposisi
asam-asam amino, mineral dan vitamin pada endapan cairan rumen asal sapi-sapi
impor yang dipelihara dan digemukkan dengan mendapat lebih banyak konsentrat
dalam pakannya akan lebih tinggi karena lebih banyak asam-asam amino, mineral
dan vitamin yang larut dalam cairan rumen dibandingkan dengan sapi-sapi lokal
yang lebih banyak mendapatkan hijauan dan makanan kasar dalam pakannya.
Menurut Zimmermann dan Eggergluess (1986), sebagian besar kandungan
dalam isi rumen adalah bahan lognoselulosa (seperti rumput, merang, dll) dan bahan
pencerna meragi (digestive ferments). Isi rumen yang tidak terolah harus
dikategorikan sebagai bahan yang mengandung epidemiologis. Rumen, walaupun
didapatkan dari ternak yang sehat, ditemukan pula mengandung beberapa jenis
Salmonela sebagai bakteri, virus, dan parasit (misalnya cacing) dalam jumlah yang
mendekati titik bahaya dalam pandangan epidemiologis.
2.2.1.3 Kotoran Sapi
Menurut (Budiansyah, 2011), Kotoran sapi memiliki kandungan serat yang
tinggi. Serat atau selulosa merupakan senyawa rantai karbon yang akan mengalami
proses dekomposisi lebih lanjut. Proses dekomposisi senyawa tersebut memerlukan
unsur N yang terdapat dalam kotoran. Sehingga kotoran sapi tidak dianjurkan untuk
diaplikasikan dalam bentuk segar, perlu pematangan atau pengomposan terlebih
dahulu. Apabila pupuk diaplikasikan tanpa pengomposan, akan terjadi perebutan
unsur N antara tanaman dengan proses dekomposisi kotoran.
Serat, kotoran sapi memiliki kadar air yang tinggi. Atas dasar itu, para petani
sering menyebut kotoran sapi sebagai pupuk dingin. Tingginya kadar air juga
membuat biaya pemupukan menjadi mahal karena bobot pupuk cukup berat.
Kotoran sapi telah dikomposkan dengan sempurna atau telah matang apabila berwarna
hitam gelap, teksturnya gembur, tidak lengket, suhunya dingin dan tidak berbau.
2.2.1.4 Daging sapi yang tidak lolos penyortiran
Daging sapi yang tidak digunakan dalam pembuatan sosis adalah daging sapi yang
tidak sesuai, misalnya tekstur daging dan kandungan yang memiliki banyak lemak,
terlalu banyak serat sehingga tidak lolos penyortira. Daging sapi ini disebut juga
daging sapi reject. Secara umum kandungan dalam 100 gram daging sapi adalah
protein 27 gram, tapi total kandungan lemak 30 gram. Kandungan proteinnya 14 gram
dan kalorinya 332 kkal. Sedang kandungan karbohidratnya nol. Kolesterolnya 78 mg.

2.2.1.5 Selongsong sosis yang rusak
Selongsong sosis yang terbuat dari plastik ini memiliki karakteristik seperti
limbah plastik pada umumnya. selongsong sosis ini termasuk Thermoplastik yang
memiliki karakteristik yaitu dapat kembali ke bentuk aslinya melalui pemanasan,
mudah diolah dan dibentuk seperti dibentuk menjadi Film, fiber, kemasan
(packaging). Contoh material thermoplastik ialah : Polyethylene (PE), Polyprophylene
(PP), dan Polyvinyl chloride (PVC).

2.2.2 LIMBAH CAIR
2.2.2.1 Darah
Darah merupakan limbah cair tersuspensi yang dihasilkan dari rumah
pemotongan hewan dalam jumlah yang cukup besar. Darah sapi mempunyai BOD
5

sebesar 156.500 mg/l, COD 218.300 mg/l, kadar air 82% dan pH 7,3. Berat rata-rata
dari dareah basah yang dihasilkan untuk setiap 1.000 lb daging sapi adalah 32,5 lb
(Jenie, 2006).
Darah Sapi mengandung energi sebesar 104 kilokalori, protein 21,9 gram,
karbohidrat 0 gram, lemak 1,1 gram, kalsium 7 miligram, fosfor 24 miligram, dan zat
besi 1 miligram. Selain itu di dalam Darah Sapi juga terkandung vitamin A sebanyak
50 IU, vitamin B1 0 miligram dan vitamin C 0 miligram. Hasil tersebut didapat dari
melakukan penelitian terhadap 100 gram Darah Sapi (Anonim, 2012).

2.2.2.2 Air dalam Rumen
Screw press dilakukan untuk memisahkan isi rumen dengan air yang
terkandung didalamnya, sehingga air tersebut dapat dikembalikan ke saluran air
limbah dan meningkatkan kandungan padatan agar memenuhi spesifikasi yang
diinginkan dalam proses selanjutnya. Air hasil press sebagian besar mengandung
nitrogen dalam bentuk ikatan organik (Padmono, 2005). Sehingga air dalam rumen
termasuk dalam limbah cair organik terlarut.

2.2.2.3 Air Pembersihan Tempat Pemotongan

2.2.2.4 Air Pencucian Daging

2.3 PARAMETER LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN DAGING

Pada industri pengolahan daging, limbah yang dihasilkan tidak hanya pada saat proses
pengolahan produk saja, akan tetapi limbah telah dihasilkan mulai dari proses pemotongan
hewan. Limbah limbah tersebut tidak diijinkan untuk dibuang langsung ke lingkungan,
namun perlu adanya pengolahan agar limbah tersebut tidak berbahaya bagi lingkungan
sekitar. Limbah yang dihasilkan selama proses pengolahan daging sapi hingga menjadi sosis,
meliputi limbah padat dan cair. Limbah padat dari industri pengolahan daging masih dapat
termanfaatkan kembali dibandingkan limbah cair yang dihasilkan. Sehingga, limbah cair lebih
mendapat perhatian khusus dalam pengolahannya sebelum dibuang ke lingkungan. Adapun
limbah yang dihasilkan selama proses pemotongan hewan adalah :

BAHAN JUMLAH (per ekor
sapi)
PARAMETER NILAI
Kotoran sapi 7,5 10 kg TTS
TVS
Nitrogen
Potasium
Phosphat
15 21 %
77 85 % TTS
7,91 mg/kg
5,9 mg/kg
24,61 mg/kg
Darah Total : 15-20 lt/ekor
Tercecer : 5 lt/ekor
COD
TTS
TVS
Protein
Lemak
Asam organik
Nitrogen
NH
4
-N
375.000 mg/lt
18-20 %
96 % TTS
680-790gr/kg TTS
< 50 gr/kg TTS
80 mg/lt
30 gr/kg
2 gr/kg
Isi Rumen 25 35 kg/ekor TTS
TVS
C/N ratio
Protein
Lemak
Serat kasar
Nitrogen
Phosporus
Potasium
Kalsium
Sodium
Magnesium
11 13 %
80 - 85 %
17 21
105 173 gr/kg
15 31 gr/kg
256 391 gr/kg
20 22 gr/kg
5 - 6 gr/kg
4 5 gr/kg
6 8 gr/kg
9 15 gr/kg
0,8 1 gr/kg
Isi Intestinal 10 15 kg/ekor COD 2500 3000 mg/lt
Limbah cair total 300 400 m
3
/ hari COD
Lemak
Serat Kasar
3.500 7.500 mg/lt
5 gr/kg
2,04 gr/kg
Nitrogen
Phosphat
Amonium
0,2 gr/kg
0,03 gr/kg
0,18 gr/kg
Isi rumen fasa cair 0,5 0,6 m
3
/m
3
isi
rumen
COD 5.500 7.000 mg/lt
Baller et al (1982) [ Baller, G.,Bethke, U.& Wiemmer, H.J. 1982. The Situation Regarding
The Possibilities of Waste Utilization in the Food Industry Gurke III. Research report
10301309703 Part I, Schlachthoefe, on behalf of the Federal Environment Bureau

Sedangkan Baku Mutu Limbah Cair Rumah Pemotongan Hewan yang telah ditetapkan Badan
Standarisasi Nasional adalah :

NO PARAMETER KADAR MAKSIMUM
(mg/L)
1 BOD
5
100
2 COD 200
3 TSS 100
4 Minyak dan Lemak 15
5 NH
3
-N 25
6 Coliform (MPN/100 ml) 5.000
7 pH 6,0 9,0
Debit maksimum untuk sapi, kerbau, dan kuda : 1,5 m
3
/ekor/hari
Jika ditinjau dari baku mutu limbah cair yang telah ditetapkan Badan Standarisasi
Nasional, limbah cair yang dihasilkan selama proses pemotongan sapi sebelum diproses
menjadi sosis, tidak memenuhi persyaratan yang ada. Sehingga, perlu dilakukannya
pengolahan lebih lanjut agar tidak merusak ekosistem perairan saat dibuang ke lingkungan.

Baku mutu limbah cair industri pengolahan daging adalah sebagai berikut :
NO PARAMETER KADAR MAKSIMUM
(mg/L)
BEBAN PENCEMARAN
MAKSIMUM
(kg/ton)
1 BOD
5
125 0,75
2 COD 250 1,5
3 TSS 100 0,6
4 Amonia (NH
3
-N) 10 0,06
5 Minyak dan Lemak 10 0,06
6 pH 6,0 9,0
7 Debit maksimum 6 m
3
/ ton produk
Untuk mencapai baku mutu yang telah ditetapkan, setiap industri harus melakukan
proses pengolahan limbah yang dihasilkan selama produksi agar tidak berdampak merugikan
bagi lingkungan sekitar. Pengolahan setiap limbah dibedakan berdasarkan jenis dan
karakteristiknya. Pengolahan tidak hanya ditujukan agar limbah aman dibuang ke lingkungan,
namun juga agar limbah memiliki nilai ekonomis.

2.4 PENGOLAHAN LIMBAH SOSIS DAGING

2.4.1 Limbah Padat
Pengolahan Limbah Padat (Arief, 2012) :
- Pengomposan
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara
biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik
sebagai sumber energi. Secara alami, bahan-bahan organik akan mengalami
penguraian di alam dengan bantuan mikroba maupun biota tanah lainnya. Namun
proses pengomposan yang terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat.
- Insinerasi
Insinerasi adalah teknologi pengolahan limbah padat yang melibatkan
pembakaran bahan organik, bertemperatur tinggi lainnya didefinisikan sebagai
pengolahan termal. Insinerasi material limbah padat mengubah limbah padat
menjadi abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. Gas yang
dihasilkan harus dibersihkan dari polutan sebelum dilepas ke atmosfer. Panas
yang dihasilkan bisa dimanfaatkan sebagai energi pembangkit listrik.

- Landfill
Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di
dalam lahan landfill, limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam
tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi
dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang masuk ke dalam
tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill
tidak didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke
dalam badan-badan air di dalam tanah. Karena itu, tanah di landfill harus
mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba dalam landfill
menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal proses aerobik) dan
menghasilkan gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut
mempunyai nilai kalor sekitar 450-540 Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil
biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa yang dipasang
lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu, terdapat juga
sistem pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.
Untuk limbah padat industri pengolahan daging selama pemotongan sapi yang
berupa isi rumen dan intestinal, serta kotoran sapi, cara pengolahan yang tepat adalah
pengomposan, landfill, dan insinerasi. Menurut Arief (2012), pengomposan dilakukan
dalam beberapa tahap :
1. Pengecil Ukuran
Pengecil ukuran dilakukan untuk memperluas permukaan sampah, sehingga
sampah dapat dengan mudah dan cepat didekomposisi menjadi kompos
2. Penyusunan Tumpukan
o Bahan organik yang telah melewati tahap pemilahan dan pengecil ukuran
kemudian disusun menjadi tumpukan.
o Desain penumpukan yang biasa digunakan adalah desain memanjang dengan
dimensi panjang x lebar x tinggi = 2m x 12m x 1,75m.
o Pada tiap tumpukan dapat diberi terowongan bambu (windrow) yang
berfungsi mengalirkan udara di dalam tumpukan.
3. Pembalikan
Pembalikan dilakuan untuk membuang panas yang berlebihan, memasukkan
udara segar ke dalam tumpukan bahan, meratakan proses pelapukan di setiap bagian
tumpukan, meratakan pemberian air, serta membantu penghancuran bahan menjadi
partikel kecil-kecil.
4. Penyiraman
o Pembalikan dilakukan terhadap bahan baku dan tumpukan yang terlalu
kering (kelembaban kurang dari 50%).
o Secara manual perlu tidaknya penyiraman dapat dilakukan dengan memeras
segenggam bahan dari bagian dalam tumpukan.
o Apabila pada saat digenggam kemudian diperas tidak keluar air, maka
tumpukan sampah harus ditambahkan air. sedangkan jika sebelum diperas sudah
keluar air, maka tumpukan terlalu basah oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan.
5. Pematangan
o Setelah pengomposan berjalan 30 40 hari, suhu tumpukan akan semakin
menurun hingga mendekati suhu ruangan.
o Pada saat itu tumpukan telah lapuk, berwarna coklat tua atau kehitaman. Kompos
masuk pada tahap pematangan selama 14 hari.
6. Penyaringan
o Penyaringan dilakukan untuk memperoleh ukuran partikel kompos sesuai
dengan kebutuhan serta untuk memisahkan bahan-bahan yang tidak dapat
dikomposkan yang lolos dari proses pemilahan di awal proses.
o Bahan yang belum terkomposkan dikembalikan ke dalam tumpukan yang
baru, sedangkan bahan yang tidak terkomposkan dibuang sebagai residu.
Sedangkan untuk limbah padat berupa tulang, daging yang tidak lolos penyortiran,
dan selongsong sosis yang rusak, pengolahannya dengan cara landfill dan insinerasi. Hal
ini dikarenakan, limbah daging sapi tidak sesuai untuk dijadikan bahan pembuatan
kompos, sehingga limbah daging sapi tidak bisa diolah dengan cara pengomposan.
menurut Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah Departemen Perindustrian (2007),
meskipun hampir semua bahan organik dapat dikomposkan, tetapi beberapa bahan
organik perlu dihindari untuk dikomposkan, karena dapat menimbulkan bau busuk dan
merupakan media tumbuh beberapa jenis mikroba patogen. Bahan yang harus dihindari,
untuk dikomposkan antara, lain daging, ikan, tulang, produk susu dan sisa makanan
berlemak. Selongsong yang digunakan terbuat dari bahan anorganik, sehingga tidak bisa
digunakan untuk bahan pembuatan kompos. Menurut Jenie (2006), metode penanganan
dan pembuangan limbah padat anorganik adalah dengan cara penimbunan di tanah
(landfill). Sedangkan penanganan limbah padat organik adalah dengan insinerasi,
pengomposan, dan penimbunan lahan (landfill). Pengolahan limbah dengan sistem
insinerasi adalah dengan menggunakan insinerator. Insinerator dapat mengurangi volume
limbah padat hingga 95-96%, tergantung komposisi dan derajat recovery limbah
padat. Hal ini berarti, insinerasi tidak sepenuhnya mengganti penggunaan lahan sebagai
area pembuangan akhir, tetapi insinerasi mengurangi volume limbah padat yang
dibuang dalam jumlah yang signifikan. Insinerasi memiliki banyak manfaat untuk
mengolah berbagai jenis limbah padat seperti limbah padat medis dan beberapa
jenis limbah padat berbahaya dimana patogen dan racun kimia bisa hancur dengan
temperatur tinggi (Arief, 2012). Namun, untuk pengolahan limbah padat industri
pengolahan daging lebih banyak memanfaatkan metode penanganan limbah dengan
pengomposan dan landfill.
Pemanfaatan kembali limbah padat :
1. Tulang dan Daging yang tidak lolos penyortiran
Tulang dan daging dapat diolah menjadi tepung. Tepung daging dan tulang
diproses dengan cara pengeringan dan penggilingan daging dan tulang dengan komposisi
tulang lebih banyak dibandingkan daging. Pemrosesan dengan pengeringan akan
memisahkan lemak. hasil dari produk ini mengandung protein 600-700 g/kg, dengan
kandungan sisa lemak sekitar 90 g/kg. Tepung tulang dan daging merupakan bahan pakan
ternak yang sangat baik karena merupakan sumber mineral Ca, P, dan Mn, juga sebagai
sumber vitamin B kompleks terutama riboflafin, cholin, nicotinamid, dan B
12
(Darmono,
2007).
2. Isi Rumen
Isi rumen mengandung serat kasar tinggi dan kandungan protein yang rendah.
Kadar protein pada isi rumen adalah 6,13% dengan kadar serat kasar 28,5%, dan kadar
hemiselulosa 19,07% . Sehingga, dengan kandungan yang ada, isis rumen dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Selain itu, isi rumen dapat digunakan untuk pemupukan
kolam ikan dan udang.
3. Kotoran sapi
Limbah organik seperti feses hewan ternak, sampah domestik dan limbah
pertanian dapat dikonversi menjadi bioenergi. Bioenergi merupakan gas kompleks
yang terdiri dari Metana, karbondioksida, Asam sulfida, dan gas-gas lainnya.
Biokonversi limbah organik ini melibatkan proses fermentasi. Proses biokonversi
seperti ini dikenal pula sebagai proses Pencernaan Anaerob. Pembentukan gas pada
hewan pemamah biak terjadi di dalam lambung dan berlangsung bersamaan dengan
proses pencernaan makanan. Di dalam lambung, bahan-bahan berselulosa dari
rumput-rumputan atau bahan lain yang menjadi makanan hewan pemamah biak
dengan penambahan air diubah menjadi asam organik. Asam organik ini selanjutnya
diurai secara anaerob menjadi gas metan dan karbondioksida. Proses pembuatan gas
metan secara anaerob melibatkan interaksi kompleks dari sejumlah bakteri yang
berbeda, protozoa maupun jamur. Beberapa bakteri yang terlibat adalah Bacteroides,
Clostridium butyrinum, Escericia coli dan beberapa bakteri usus lainnya,
Methanobacterium, dan Methanobacillus (Rochintaniawati, 2012).
2.4.2 Limbah Cair
Limbah cair yang dihasilkan selama proses pemotongan sapi adalah darah, air
dalam rumen, dan air pembersihan tempat pemotongan, sedangkan limbah cair yang
dihasilkan selama proses produksi sosis adalah air sisa pencucian daging dan air hasil
pengukusan. Metode penanganan dan pembuangan limbah cair organik tersuspensi
maupun terlarut adalah dengan cara sedimentasi penanganan biologik dan penimbunan
lahan (Jenie, 2006). Sedimentasi dilakukan dengan sistem lumpur aktif, sedangkan untuk
penimbunan lahan menggunakan sistem tricking filter.
Sistem Lumpur Aktif (Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, 2007) :
Pada dasarnya sistem lumpur aktif terdiri atas dua unit proses utama, yaitu
bioreaktor (tangki aerasi) dan tangki sedimentasi. Dalam sistem lumpur aktif, limbah
cair dan biomassa dicampur secara sempurna dalam suatu reaktor dan diaerasi. Pada
umumnya, aerasi ini juga berfungsi sebagai sarana pengadukan suspensi tersebut.
Suspensi biomassa dalam limbah cair kemudian dialirkan ke tangki sedimentasi~
dimana biomassa dipisahkan dari air yang telah diolah. Sebagian biomassa yang
terendapkan dikembalikan ke bioreaktor, dan air yang telah terolah dibuang ke
lingkungan. Agar konsentrasi biomassa di dalam reaktor konstan (MLSS = 3 - 5 gfL),
sebagian biomassa dikeluarkan dari sistem. tersebut sebagai excess sludge.

Skema proses dasar sistem lumpur aktif :









Dalam sistem tersebut, mikroorganisme dalam biomassa (bakteri dan protozoa)
mengkonversi bahan organik terlarut sebagian menjadi produk akhir (air, karbon
dioksida), dan sebagian lagi menjadi sel (biomassa). Oleh karena itu, agar proses
perombakan bahan organik berlangsung secara optimum syarat berikut harus
terpenuhi(I) polutan dalam limbah cair harus kontak dengan mikroorganisme, (II)
suplai oksigen cukup, (III) cukup nutnien, (IV) cukup waktu tinggal (waktu kontak),
dan (V) cukup biomasa jumlah dan Jenis).
Sistem lumpur aktif dapat digunakan untuk mengeliminasi bahan organik dan
nutrien (nitrogen dan fosfor) dari limbah cair terlarut. Sistem lumpur aktif dapat
diterapkan untuk hampir semua jenis limbah cair industri pangan, baik untuk oksidasi
karbon, nitrifikasi, denitrifikasi, maupun eliminasi fosfor secara biologis.

Sistem Trickling Filter (Direktorat Jenderal Industri Kecil Menengah, 2007) :
Trickling filter terdiri atas tumpukan media padat dengan kedalaman sekitar 2 m,
umumnya berbentuk silinder. Limbah cair disebarkan ke permukaan media bagian atas
dengan lengan distributot berputar, dan air kemudian mengalir (menetes) ke bawah
melalui lapisan media. Polutan dalam limbah cair yang mengalir melalui permukaan
media padat akan terabsorpsi oleh miikroorganisme yang tumbuh dan berkembang
pada permukaan media padat tersebut. Setelah mencapai ketebalan tertentu, biasanya
lapisan biomassa ini terbawa aliran limbah cair ke bagian bawah. Limbah cair di
bagian bawah dialirkan ke tangki sedimentasi untuk memisahkan blomassa.
Resirkulasi dari tangki sedimentasi diperlukan untuk meningkatkan efislensi.
Trickilne filter dapat digunakan untuk mengoksidasi karbon organik dan
nitrogen organik atau amonium (nitrifikasi) dalam limbah cair. Trickling filter jarang
digunakan untuk proses denitrifikasi. Hampir semua jenis limbah industri pangan yang
dapat diolah dengan sistem lumpur aktif dapat juga diolah dengan sistem trickling
filter. Sistem trickling filter sesuai untuk pengolahan limbah cair dengan relatif kecil,
baik untuk tujuan oksidasi karbon maupun nitrifikasi. Desain dan operasi trickling
filter cukup sederhana, tetapi sistem ini memerlukan klarifier primer, klarifier
sekunder, serta memerlukan resirkulasi efluen. Terdapat potensi terjadinya
penyumbatan pada media filter oleh benda berukuran besar (seperti plastik, ranting,
daun, kayu), terutama jika sistem tidak dilengkapi fasilitas penyaringan kasar.

Anaerobic Biological Treatment
Proses digesti anaerobic dilakukan tanpa adanya gas oksigen. Mikroorganisme
anaerobic dalam proses pengolahan tersebut menggunakan oksigen yang terdapat
dalam bahan organik. Pada pengolahan ini, bahan organik di dalam limbah tersebut
dipech menjadi gas Methane (CH
4
) dan karbondioksida (CO
2
). Dengan cara ini,
reduksi kadar BOD5 air limbah penyembelihan hewan dapat mencapai 95%.

Pemanfaatan kembali limbah cair :
Darah
Darah dapat diolah kembali menjadi tepung darah. Tepung darah merupakan
produk yang diperoleh dari limbah rumah pemotongan hewan yang diproses
untuk konsentrat pakan ternak. Darah hewan tersebut dipanaskan sampai
100
o
C sehingga membentuk gumpalan, kemudian dikeringkan dan dipres
(tekanan tinggi) untuk mengeluarkan serum yang tersisa. Setelah itu,
dikeringkan dengan pemanasan lagi dan digiling. Tepung darah mengandung
protein sekitar 800 g/kg. Tepung darah juga banyak mengandung lysine,
arginine, methionine, cystein dan leucine, tetapi kandungan isoleucine dan
glycine hanya sedikit (Darmono, 2007).
















DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Isi Kandungan Gizi Darah Sapi - Komposisi Nutrisi Bahan Makanan.
http://www.organisasi.org/1970/01/isi-kandungan-gizi-darah-sapi-komposisi-nutrisi-
bahan-makanan.html. Diakses pada tanggal 10 April 2014 .

Arief, Latar Muhammad. 2012. Pengelolaan Limbah Padat Di Industri. Fakultas Kesehatan
Masyarakat: Universitas Esa Unggul. Jakarta.
Budiansyah, A. 2011. Karakteristik Endapan Cairan Rumen Sapi asal Rumah Potong Hewan
sebagai Feed Supplement. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Mei 2011, Vol. XIV.
No.1.
Darmono. 2007. Tatalaksana Usaha Sapi Kareman. Kanisius. Yogyakarta.
Direktorat Jenderal Industri Kecil menengah. 2007. Pengelolaan Limbah Industri Pangan.
Departemen Perindustrian: Jakarta.
Henrickson, R. L.. 1987. Meat, Poultry and Seafood Products. The AVI Publishing Company
Inc. Westport. Connecticut.
Jenie, Laksmi Betty. 2006. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius : Yogyakarta.

Kramlich, W. E. 1971. Saussage Product. In: J.F. Price and B. S. Schweigert (Eds.). The
Science of Meat and Meat Products. 2
nd
Edition W. H. Freeman and Company. San
Fransisco.
Lawrie, R. A. 1995. Ilmu Daging. Terjemahan: A. Parakkasi. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
Padmono, D. 2005. Alternatif Pengolahan Limbah Rumah potong Hewan Cakung. Jurnal
Teknologi Lingkungan. P3TL. BPPT. 6. (1) : 303-310]

Perwitasari, D.S. 2011. Hidrolisis Tulang Sapi Menggunakan Hcl Untuk Pembuatan
Gelatin. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri UPN Veteran Jatim.
Surabaya.
Rochintaniawati,D.2012.PembuatanBiogas.
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/DIANA_ROCHINTA
NIAWATI/BIOLOGY_TERAPAN/PEMBUATAN_BIOGAS.pdf. Diakses tanggal 10
April 2014.
Tauber, F. W. 1977. Saussage. In: Desrosier, N. W. (Ed.). Element of Food Technology. The
AVI Publishing Co. New York.
Zimmermann, C. & Eggergluess, H. 1986. Experience with Rumminal Manure Pressure. Die
Fleischwirt-schaft, 66 (1) 155-60.

Anda mungkin juga menyukai