Anda di halaman 1dari 21

PAPER MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN PANGAN

SOSIS FERMENTASI DAN DADIH

Dibuat Oleh :
Arstia Zita Putri W (01034190063)
Virginia Wijaya (01034190054)
William Christian (01034190076)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2021
BAB I
SOSIS FERMENTASI

1.1 Karakteristik Sosis Fermentasi


Sosis fermentasi adalah salah satu produk asal daging yang dibuat dengan
penambahan kultur bakteri yang kemudian difermentasi atau diperam. Sosis
fermentasi merupakan salah satu kandidat pangan probiotik yang dibuat dengan
pemanasan ringan sehingga dapat meningkatkan daya tahan bakteri sehingga
mampu mencapai saluran pencernaan (Arihara, 2006). Nilai fungsional dari
daging dapat ditingkatkan dengan proses pengolahan, salah satunya dengan
pembuatan sosis fermentasi. Sosis fermentasi di Indonesia terutama di wilayah
Bali telah dikenal dengan nama “Urutan”. Sosis fermentasi “Urutan” merupakan
sosis yang terbuat dari daging babi dan lemak babi dengan campuran
rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan sodium nitrit dan gula, dikemas
dalam selongsong usus babi kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama 3-5
hari, proses fermentasi dilakukan secara spontan (Aryanta, 1996).
Mengidentifikasi jenis bakteri asam laktat yang berperan dalam proses pembuatan
“Urutan”,hasil dari penelitian tersebut adalah bakteri asam laktat homofermentatif
yang dominan tumbuh dalam “Urutan”. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI
01-3820-1995), sosis yang baik harus mengandung protein minimal 13%, lemak
maksimal 25% dan karbohidrat maksimal 8%. Jika standar ini terpenuhi, maka
dapat dikatakan bahwa sosis merupakan makanan sumber protein.
1.1.1 Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu proses pemecahan karbohidrat dan asam amino
secara anaerobik, yaitu tanpa menggunakan oksigen. Senyawa yang dipecah
dalam proses fermentasi terutama karbohidrat, asam amino hanya dapat
difermentasi oleh beberapa bakteri tertentu (Fardiaz, 1992). Sosis fermentasi
disebut fermentasi homofermentatif sebab asam laktat merupakan produk utama
fermentasi. Bakteri asam laktat yang melakukan fermentasi melalui jalur tersebut
disebut bakteri asam laktat homofermentatif. Bakteri asam laktat yang termasuk
homofermentatif diantaranya Streptococcus dan beberapa Lactobacillus (Bacus,
1984). Fermentasi pangan dibagi menjadi dua kelompok yaitu fermentasi spontan

1
dan tidak spontan. Fermentasi spontan merupakan suatu proses fermentasi yang
mengandalkan kultur starter alami yang terdapat dalam bahan baku, sedangkan
fermentasi tidak spontan dilakukan penambahan bakteri dalam bentuk starter
(Fardiaz, 1992).
1.1.2 Komposisi Sosis Fermentasi
1. Daging
Bahan baku utama pembuatan sosis fermentasi adalah daging dari bagian
jaringan otot rangka dan lemak beku (Toldra et al.,2001).
2. Lemak
Lemak merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
pembuatan sosis fermentasi. Lemak yang ditambahkan pada adonan akan
berpengaruh terhadap palatabilitas produk sosis fermentasi, aroma dan
flavour dari produk sosis fermentasi. Lemak sangat penting dalam
pembuatan sosis fermentasi karena pada sosis fermentasi akan dilakukan
penyimpanan dengan waktu yang lama, sehingga lemak harus memiliki
titik leleh yang tinggi dan kandungan lemak tak jenuh yang rendah.
Penggunaan lemak yang tinggi kandungan asam lemak tak jenuh
menyebabkan sosis mudah teroksidasi sehingga warna yang nampak agak
keruh akibat pelelehan lemak pada permukaan dan juga menyebabkan
munculnya flavour yang tidak menarik atau rancidity pada produk akhir
sosis fermentasi.
3. Garam
Penggunaan garam berfungsi sebagai sebagai flavour pada sosis, sebagai
pengawet dan mencegah kerusakan oleh mikroorganisme. Garam juga
dapat berfungsi sebagai pelarut dan mengekstraksi protein otot pada
bagian permukaan daging, mengkoagulasi protein semi-fluid selama
pemanasan, berikatan dengan daging dan membentuk tekstur sosis.
Komposisi garam dalam sosis berkisar 1%-3% (Aberle et al.,2001).
4. Gula
Penggunaan gula dalam produk yang difermentasi merupakan sumber
karbohidrat dalam proses fermentasi untuk pembentukan asam laktat. Gula
akan difermentasi menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat

2
menghasilkan produk fermentasi dengan flavour yang tajam. Gula juga
berperan dalam pembentukan cita rasa dan tekstur sosis fermentasi.
5. Selongsong Sosis
Terdapat dalam dua macam selongsong yaitu alami dan buatan.
Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti sapi,
domba dan babi. Selongsong alami yang memiliki diameter besar seperti
usus besar bagian tengah dan sekum sapi serta lambung dipisahkan dari
produk sebelum sosisnya dimakan.Selongsong alami mudah mengalami
kerusakan oleh mikroorganisme, sehingga setelah dibersihkan dikeringkan
atau digarami (Soeparno, 2005). Selongsong buatan terdiri dari empat
kelompok yaitu: 1) selulosa, 2) kolagen yang dapat dimakan, 3) kolagen
yang tidak dapat dimakan dan 4) plastik (Bacus, 1984).

1.2 Proses Pembuatan Sosis Fermentasi


Proses pembuatan sosis fermentasi meliputi persiapan, chilling/ freezing,
pemberian bumbu dan pencampuran, filling/ pengisian, fermentasi, pengasapan,
aging/ drying, dan penyimpanan.
1. Persiapan
Dilakukan pemilihan daging yang baik kemudian dipotong-potong
menjadi bagian yang lebih kecil. Daging tersebut kemudian dicincang
menjadi daging yang lebih halus. Dalam tahap ini harus dilakukan proses
penanganan yang tepat agar daging tidak mengalami kontaminasi silang.
2. chilling/ freezing
Terdapat dua macam pengawetan dengan suhu rendah, yaitu pendinginan
cara chilling dan deep-freezing (pembekuan pada suhu sangat rendah).
Pada pendinginan cara chilling, pangan ditempatkan pada suhu diatas titik
beku air (diatas 0°C). Pertumbuhan hampir semua mikroorganisme
diperlambat dan beberapa diantaranya dapat mengalami kematian. Namun
beberapa mikroorganisme tetap tumbuh lambat pada suhu tersebut dan
spora bakteri tetap bertahan hidup. Pada deep-freezing, pangan disimpan
pada suhu -18°C atau lebih rendah lagi. Freezing tidak dapat mensterilkan
makanan atau membunuh mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan

3
bahan atau produk rusak, melainkan hanya mampu menginaktifkan kerja
dari enzim bakteri pembusuk, sehingga dapat memperlambat kerja dari
mikroba pembusuk tersebut.
3. Pemberian bumbu dan pencampuran
Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah lada, pala
,bawang putih, gula dan garam. Setelah daging dicincang halus,
bumbu-bumbu ditambahkan pada adonan daging cincang kemudian
dicampur hingga merata. Slurry dibuat dari bumbu-bumbu dan garam
menggunakan dua gelas air lalu dicampur merata. Penambahan air
bertujuan untuk memecah curing agents, memfasilitasi proses
pencampuran dan memberikan karakteristik tekstur dan rasa pada produk
sosis.
4. Filling/ pengisian
Stuffing merupakan tahap pengisian adonan sosis ke dalam selongsong.
Pengisian adonan sosis ke dalam selongsong tergantung tipe sosis, ukuran
kemudahan proses, penyimpanan serta permintaan konsumen. Pemasukan
adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus (disebut stuffer)
yang bertujuan membentuk dan mempertahankan kestabilan sosis.
5. Fermentasi
Tahap peningkatan suhu sosis yang memungkinkan bakteri alami tumbuh
dan bereaksi dengan daging. Fermentasi merupakan tahapan penting pada
proses pembuatan sosis dan suhu yang tepat juga memainkan peran yang
penting. Semakin tinggi suhu, maka semakin tinggi kecepatan
pertumbuhan bakteri. Suhu pertumbuhan yang terbaik adalah suhu tubuh
kita (36,6°C).
6. Pengasapan
Pengasapan dilakukan pada suhu 70°C selama 30 menit, asap diusahakan
menempel dan masuk ke dalam casing sehingga sosis berflavor asap.
Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan, dan
memberikan warna yang khas.
7. Aging/ drying

4
Biasanya kandungan air sosis dikurangi sampai batas agar mikroba tidak
dapat tumbuh di dalamnya. Kadar air berpengaruh terhadap tekstur sosis.
Pengeringan dapat menurunkan kandungan air dan menyebabkan
pemekatan dari bahan-bahan yang ditinggal seperti karbohidrat, lemak,
protein sehingga bahan pangan memiliki kualitas simpan yang lebih baik.
8. Penyimpanan
Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan dalam pangan meliputi
jenis dan bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan pengolahan,
jenis dan keadaan kemasan, perlakuan mekanis yang cukup berat dalam
produk yang dikemas dalam penyimpanan, dan distribusi dan juga
pengaruh yang ditimbulkan oleh suhu dan kelembaban penyimpanan.
1.3 Mekanisme Secara Biokimia dan Komponen yang Terbentuk
Dalam sosis fermentasi terdapat kandungan makromolekul seperti
karbohidrat, protein, lemak dan fosfolipid. Karbohidrat akan mengalami
metabolisme oleh mikroba sehingga dipecah menjadi asam-asam organik. Enzim
yang terdapat pada daging akan memecah protein menjadi molekul yang lebih
kecil, yaitu peptida dan asam amino pada reaksi proteolisis. Sedangkan enzim lain
yang juga terdapat pada daging akan memecah lemak dan fosfolipid menjadi asam
lemak bebas pada reaksi lipolisis.
Asam-asam organik hasil pemecahan karbohidrat akan mempengaruhi
rasa (taste) dari sosis. Asam lemak bebas yang berasal dari reaksi lipolisis
(pemecahan lemak dan fosfolipid) akan mempengaruhi aroma (flavor) sosis.
Sedangkan peptida dan asam amino hasil pemecahan protein akan mempengaruhi
rasa dan aroma sosis (Nursirwan,H. 2009)
1.4 Jenis dan Faktor Kerusakan
1. Pertumbuhan Kapang dan Khamir atau Bakteri
Pertumbuhan kapang, khamir dan bakteri pada permukaan sosis dapat
menyebabkan kondisi permukaan berjamur dan berlendir.
2. Casing/selongsong Sosis Pecah
Casing/selongsong sosis pecah disebabkan karena pengisian adonan yang
terlalu banyak, pemasakan sosis dengan suhu yang terlalu tinggi dan pada
pengisian adonan pada casing terdapat gelembung udara. Untuk

5
menghindari pecahnya casing, perebusan sosis dilakukan pada suhu 60 OC
selama 15 – 20 menit, dan dilanjutkan dengan suhu 80OC–90OC hingga
matang.
3. Terdapat Gelembung Udara pada Sosis
Terdapat gelembung udara pada sosis disebabkan karena pada saat adonan
dimasukan ke dalam casing tidak hati-hati. Ini dapat menyebabkan casing
sosis pecah saat perebusan.
4. Pecahnya Emulsi Sosis
Pecahnya emulsi sosis disebabkan penggilingan dan pemanasan yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh diameter partikel lemak yang semakin
kecil dan permukaan lemak yang semakin besar, sehingga protein tidak
cukup untuk menyelubungi semua partikel lemak.
1.5 Mikroba yang Mengkontaminasi
Bakteri patogen yang paling banyak terdapat pada daging diantaranya
adalah Salmonella, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Clostridium
botulinum, Coliform, Enterococci, Campylobacter sp, dan Listeria sp. (Wood,
1998).
1.6 Mekanisme Kontaminasi
Menurut Siagian (2002), perubahan tekstur atau kekenyalan pada produk
olahan daging disebabkan karena terjadinya pemecahan struktur daging oleh
bakteri, sedangkan perubahan aroma pada produk olahan daging disebabkan
karena terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol,
dan amin yang merupakan hasil pemecahan protein oleh bakteri.Terjadinya
perubahan warna, tekstur dan aroma pada sampel dapat disebabkan karena adanya
peningkatan jumlah bakteri Coliform dan E. coli. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya gas dalam tabung durham yang berada dalam tabung reaksi yang
berisi media uji LB (Lactose Broth) dan BGLB (Brilliant Green Lactose Broth).
1.7 Pengendalian Sosis Fermentasi
1. Proses Showering
Berfungsi untuk menghilangkan sisa-sisa adonan dari proses stuffing yang
masih menempel pada kulit sosis. Jika adonan yang tersisa tidak

6
dibersihkan, maka dapat menyebabkan penurunan mutu produk sosis
terhadap parameter fisik (Mulyono & Hidayat, 2007).
2. Mengontrol Suhu Pemasakan
Pengontrolan tersebut bertujuan untuk pengawasan mutu selama proses
pengasapan berlangsung agar tidak terjadi undercook. Apabila terjadi
undercook, maka berat akhir sosis tidak sesuai standar. Suhu harus selalu
diamati karena apabila suhu terlalu tinggi akan menyebabkan pecahnya
emulsi produk sehingga menjadikan produk tidak sesuai standar (Mulyono
& Hidayat, 2007). Suhu yang digunakan adalah 65 - 70oC, suhu ini cukup
untuk membunuh mikroba yang terdapat didalamnya.
3. Proses drying/pengeringan
Waktu yang digunakan adalah 5-12 menit. Tahap pengeringan yang terjadi
tidak hanya berlangsung satu kali pengeringan, namun bertahap hingga
lima proses. Pengeringan dilakukan secara bertahap agar penghilangan
kadar air dalam bahan terjadi secara maksimal. Apabila kadar air dalam
produk tidak sesuai standar maka produk dapat cepat ditumbuhi oleh
mikroorganisme. Karena proses pengeringan ini bertujuan untuk
menghilangkan kadar air dalam produk (Mulyono & Hidayat, 2007).
4. Proses smoking/ pengasapan
Pengasapan dilaksanakan dengan suhu berkisar antara 65oC-70oC. Suhu
pengasapan tidak boleh melebihi standar karena akan menghasilkan
produk yang tidak standar. Lama pengasapan juga dapat mempengaruhi
hasil produk. Waktu yang terlalu lama akan menghasilkan produk sosis
yang kering dan keriput (Mulyono & Hidayat, 2007).
5. Chilling/Freezing
Pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan dapat dicegah dengan cara
penurunan suhu. Pendinginan chilling (diatas 0oC) Hampir semua
pertumbuhan mikroorganisme diperlambat dan beberapa diantaranya dapat
mengalami kematian. Namun beberapa mikroorganisme tetap tumbuh
lambat pada suhu tersebut dan spora bakteri tetap bertahan hidup. Pada
freezing (suhu -18oC) tidak dapat mensterilkan makanan atau membunuh
mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan atau produk rusak,

7
melainkan hanya mampu menginaktifkan kerja dari enzim bakteri
pembusuk, sehingga dapat memperlambat kerja dari mikroba pembusuk
tersebut.
1.8 Pembahasan Jurnal
1.8.1 Persentase Hasil Sosis Ayam Fermentasi Probiotik Dengan Berbagai
Bahan Aditif Pada Tahap Fermentasi Dan Tahap Pengeringan Yang Berbeda
(Mudawaroch, 2018).
Pada sosis fermentasi ditambahkan nitrit. Penambahan nitrit berfungsi
sebagai pencegah awal pertumbuhan patogen pada adonan sosis sebelum bakteri
asam laktat indigenous tumbuh. Penggunaan nitrit yang berlebih akan berbahaya
karena nitrit akan menyebabkan karsinogenik. Untuk menggantikan fungsi nitrit
pada sosis fermentasi adalah penambahan bakteri asam laktat Lactobacillus
fermentum BR 17. Lactobacillus fermentum 17 adalah bakteri asam laktat
probiotik. Penambahan bakteri asam laktat Lactobacillus fermentum BR 17 ini
akan membantu mempercepat pertumbuhan bakteri asam laktat yang akan
menekan pertumbuhan bakteri patogen saat awal pembuatan sosis fermentasi.
Hasil sosis ayam fermentasi probiotik pada tahap fermentasi. Bahan aditif
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap persentase hasil sosis ayam
fermentasi probiotik. persentase hasil pada sosis Nitrit paling tinggi jika
dibandingkan dengan sosis BAL probiotik dan sosis N-BAL probiotik. Perbedaan
hasil ini disebabkan karena Sosis fermentasi N -BP dan sosis fermentasi
ditambahkan bakteri asam laktat yang akan menyebabkan pH semakin turun. Pada
pH yang rendah mendekati titik isoelektrik protein daging menyebabkan daya ikat
air semakin rendah. Daya ikat air yang rendah ini menyebabkan air banyak yang
larut.
Hasil sosis ayam fermentasi probiotik pada tahap pengeringan. Lama
pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap hasil sosis ayam fermentasi
probiotik. Semakin lama fermentasi maka persentase hasil sosis fermentasi
semakin menurun. Tahap pengeringan tujuannya adalah untuk menguapkan kadar
air sosis fermentasi. Selama fermentasi dan pengeringan terjadi kenaikan
kekerasan sosis fermentasi dari hari 0 sampai hari ke 21. Kenaikan kekerasan ini
di sebabkan dehidrasi dan akan menghasilkan persentase hasil sosis fermentasi

8
yang rendah. Fermentasi dan pengeringan kadar air mengalami penurunan.
Penurunan ini menyebabkan persentase hasil sosis fermentasi yang rendah.
1.8.2 Karakteristik Sosis Fermentasi Daging Sapi Selama Fermentasi Dengan
Starter dari Kefir Pasta (Sumarmono, 2016)
Sosis fermentasi sapi diperoleh dengan fermentasi BAL (bakteri asam
laktat), dan pada percobaan ini diperoleh dari kefir. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan starter kefir dan lama fermentasi
sosis terhadap pH, kadar asam laktat, kadar air selama proses fermentasi dan total
BAL akhir fermentasi. Variabel pertama, yaitu variasi starter kefir adalah 0 hingga
2% dengan variasi 0,5% diantaranya. Variabel kedua adalah lama fermentasi sosis
dari 1 hingga 6 hari. Setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali,
sehingga total 3 kali.
pH yang ditemukan berkisar dari 4,67 hingga 5,21, dimana pH terendah
terdapat pada sampel tanpa starter kefir pada hari ke 5, dan pH tertinggi pada hari
tersebut terdapat pada sampel dengan konsentrasi starter 2%. Rerata pH adalah
4,89.
Kadar asam laktat yang ditemukan tertinggi pada sampel dengan
konsentrasi starter 2% pada hari kedua, dan terendah pada sampel yang sama saat
hari keenam. rerata adalah 0,63%.
Rerata kadar air adalah 58,16%, dan ditemukan bahwa level starter kefir
tidak berpengaruh terhadap kadar air, namun waktu memberikan pengaruh yang
jelas. pada hari keenam, kadar air terendah terdapat pada sampel dengan kadar
starter 1%, dan tertinggi pada kontrol.
Total BAL yang ditemukan terendah pada kefir pasta 2%, dan tertinggi
pada kontrol, menjelaskan mengapa pH tertinggi ditemukan pada sampel dengan
konsentrasi 2%, dan terendah pada kontrol. Populasi pada hari ke 6 menunjukkan
jumlah yang tinggi dengan kisaran 7,30-8,28 log/cfu/g
Sosis terbaik dihasilkan dari fermentasi dengan penambahan kefir 1% dan
fermentasi 6 hari, dengan pH 4,84, kadar asam laktat 0,67%, kadar air 48,19%,
dan total BAL 8,22 log/cfu/g.

9
1.8.3 Pengolahan Sosis Fermentasi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan
Kultur Starter Lactobacillus plantarum terhadap Nilai pH, Total Asam,
N-total , dan N-amino (Nursyam,2011)
Sosis fermentasi ikan tuna diperoleh dengan penambahan Lactobacillus
plantarum dimana pemilihan bakteri ini didasarkan karena bakteri ini
menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar, sedangkan untuk asam asetat
etanol dan CO2 hanya dihasilkan dalam jumlah sedikit. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan starter Lactobacillus plantarum
terhadap pH, total asam, N-total dan N-amino. Selain itu, metode yang digunakan
merupakan eksperimen dengan observasi langsung dan variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penambahan tanpa kultur starter Lactobacillus
plantarum sebagai kontrol (A1) dan penambahan kultur starter Lactobacillus
plantarum (A2).
Nilai pH yang ditunjukkan pada sosis fermentasi yang ditambahkan starter
Lactobacillus plantarum berkisar antara 4,2 hingga 5,2. Sedangkan sosis kontrol
menunjukkan rentang pH 4,5 hingga 5,2. Pada sosis dengan penambahan
Lactobacillus plantarum akan mengalami penurunan pH bertahap dari 5,2 hingga
4,2 ini disebabkan karena sosis dengan penambahan starter akan menstimulasi
laju fermentasi dan pertumbuhan Bakteri Asam Laktat sehingga mempercepat
penurunan pH dibanding fermentasi tanpa penambahan starter. Penurunan pH ini
akan sesuai dengan peningkatan kadar asam dalam sosis fermentasi.
Total asam yang ditunjukkan pada sosis fermentasi yang ditambahkan
starter Lactobacillus plantarum berkisar antara 2,163% hingga 3,973%.
Sedangkan sosis kontrol menunjukkan rentang total asam pada angka 2,177%
hingga 3,166%. Pada saat fermentasi sempat terjadi kenaikan total asam namun
setelah itu menurun karena saat fermentasi hingga titik optimum masih tersedia
cukup nutrisi untuk mendukung pertumbuhannya. Namun, saat nutrisi telah habis
untuk metabolisme akan terjadi penurunan total asam.
Nilai N-total menunjukkan kadar nitrogen yang terbentuk pada sosis
fermentasi. Pada penelitian ini menunjukkan sosis fermentasi dengan penambahan
Lactobacillus plantarum menunjukkan rentang 3,4896% hingga 3,6472%.
Sedangkan sosis kontrol menunjukkan rentang 3,4761% hingga 3,5455%. Pada

10
saat fermentasi berlangsung sempat terjadi kenaikan kadar nitrogen lalu menurun.
Hal ini dapat dikaitkan dengan jumlah aktivitas mikroba dimana makin tinggi
kadar nitrogen maka semakin tinggi aktivitas mikrobanya. Penurunan kadar
nitrogen dapat terjadi karena mikroba kekurangan nutrisi untuk metabolisme
sehingga menghambat aktivitasnya.
Nilai N-amino pada sosis fermentasi dengan penambahan Lactobacillus
plantarum menunjukkan rentang 0,199% hingga 0,684%. Sedangkan sosis
fermentasi kontrol menunjukkan rentang 0,146% hingga 0,475% Hal ini dapat
dikaitkan dengan jumlah nitrogen yang menunjukkan jumlah aktivitas mikroba
pada sosis fermentasi dimana saat fermentasi sempat terjadi peningkatan lalu
penurunan namun pada akhirnya kembali meningkat. Hal ini disebabkan karena
penurunan aktivitas metabolisme mikroba akibat minim nutrisi.

11
BAB II
DADIH

1.1 Karakteristik Dadih


Secara tradisional dadih dibuat dari susu kerbau yang diperam di dalam
tabung bambu dan ditutup dengan daun pisang yang telah dilayukan di atas api,
kemudian diinkubasikan pada suhu ruang (sekitar 27-330C) selama 2 hari. Dadih
berasal dari susu kerbau yang dimasukkan ke dalam tabung bambu dan ditutup
menggunakan daun pisang atau plastik lalu difermentasi pada suhu ruang selama
1-2 hari sampai terbentuk gumpalan (Elida, 2002). Dadih memiliki protein
lengkap yang mengandung hampir semua jenis asam amino esensial dan
mengandung kalsium dalam jumlah yang relatif tinggi dimana mineral ini sangat
berperan dalam pertumbuhan dan pembentukan tulang dan juga mencegah
terjadinya pengeroposan tulang (osteoporosis) pada orang dewasa atau usia lanjut.
Dadih merupakan salah satu produk susu fermentasi yang berkhasiat sebagai
makanan fungsional, makanan fungsional adalah makanan yang mengandung
mikroba hidup yang bila dikonsumsi akan menimbulkan efek terapeutik pada
tubuh dengan cara memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam saluran
pencernaan (Sisriyenni dan Zurriyati, 2004). Menurut Sugitha (1995),
mengonsumsi dadih secara teratur dapat menghindari seseorang dari serangan
jantung dan tumor.
Tabung bambu dalam pembuatan dadih memegang peranan penting dalam
mempertahankan kualitas dari dadih. Terdapat 2 jenis bambu yang sering
digunakan dalam pembuatan dadih yaitu bambu gombong (Gigantochloa
verticillata) dan bambu ampel (Bambusa vulgaris). Kedua bambu ini digunakan
karena memiliki rasa pahit, sehingga dapat menghindarkan produk dari semut dan
jenis bambu ini sering digunakan karena terdapat beberapa jenis mikroba yang
secara alami dapat memfermentasikan susu menjadi dadih. Permasalahan yang
mendasar dalam pengolahan dadih ini adalah kurang tercukupinya bahan baku
yaitu susu kerbau, oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut, diantaranya mencari alternatif pengganti bahan baku
dadih, salah satunya dengan menggunakan susu sapi. Peningkatan kualitas dadih

12
baik secara fisik, kimia, maupun mikrobiologis dilakukan dengan: 1) mengganti
susu kerbau dengan susu sapi yang diikuti proses pasteurisasi, 2) mengganti
kemasan konvensional berupa bambu dengan kemasan plastik yang lebih steril
dan higienis, dan 3) melakukan fermentasi terkontrol dengan menggunakan starter
kultur murni atau kombinasi berbagai starter BAL lainnya (Usmiati dan
Risfaheri, 2012).
1.2 Proses Pembuatan Dadih
Secara umum, pembuatan dadih dilakukan dengan cara:
1. Penuangan susu kerbau segar yang telah disaring sebelumnya ke dalam
tabung bambu.
2. Bambu ditutup dengan daun pisang/talas,
3. proses fermentasi spontan/alami pada suhu ruang selama 24-48 jam hingga
terbentuk gumpalan.
4. Proses fermentasi spontan/alami ini melibatkan mikroba yang terdapat
pada permukaan tabung bambu bagian dalam, permukaan daun yang
digunakan untuk menutup bagian atas bambu, dan dari bahan susu kerbau
itu sendiri (Usmiati dan Risfaheri, 2012).
Beberapa mikroba yang dimungkinkan terlibat pada proses fermentasi dadih
adalah bakteri asam laktat jenis Lactobacillus, Streptococcus, dan Lactococcus
(Pato, 2003). Selain itu terdapat bakteri selain bakteri asam laktat seperti
Micrococcus varians, Bacillus cereus, dan Staphylococcus saprophyticus serta
khamir Endomyces lactis (Hosono dkk., 1989).
1.3 Mekanisme Secara Biokimia dan Komponen yang Terbentuk
Dadih merupakan produk fermentasi spontan oleh bakteri asam laktat,
sehingga fermentasi yang terjadi adalah fermentasi asam laktat, dimana piruvat
diubah menjadi asam laktat, dimana sebelumnya telah melewati proses glikolisis.
1.4 Jenis dan Faktor Kerusakan
1. Adanya belatung
Belatung terdapat pada bambu, sehingga menyebabkan dadih menjadi
berair, beraroma tengik dan kekentalan dadih berkurang (Sari, 2009).
2. Pertumbuhan khamir dan kapang pada dadih dan dinding bambu

13
Kapang dalam media asam memanfaatkan asam laktat dan setelah
keasaman direduksi, bakteri lain termasuk tipe proteolitik akan tumbuh
dan men-dekomposisi protein yang menyebabkan terjadinya pembusukan,
keadaan ini dapat terlihat dari adanya pertumbuhan kapang, kekentalan
dadih berkurang, sehingga aroma dadih berubah (Usmiati, 2011).
1.5 Mikroba yang Mengkontaminasi
Mikroba patogen yang lazim mengontaminasi dadih adalah Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi (Melia et al., 2011).
1.6 Mekanisme Kontaminasi
Pato (2008), menyatakan bahwa mikroorganisme dadih berasal dari
pinggiran tabung bambu, daun pisang yang digunakan sebagai penutup, dan
berasal dari susu kerbau itu sendiri. Hal ini juga yang menyebabkan kemungkinan
kontaminasi.
1.7 Pengendalian Dadih
Menurut Evidaswati (2009) pengendalian dadih dapat dilakukan
dengan cara berikut:
1. Mengontrol Suhu
Dalam pembuatan dadih, suhu optimum yang harus dipertahankan
adalah 45oC. Suhu optimum dipertahankan agar tidak terjadi denaturasi
atau kerusakan selama proses penyimpanan. Suhu optimum harus dicapai
dan dipertahankan agar hanya Bakteri Asam Laktat yang tumbuh sehingga
kontaminasi bakteri patogen lain maupun kapang dan khamir akan minim
terjadi.
2. Mengontrol pH
Dalam proses pembuatan dadih, pH optimum 4-6 harus dicapai
dan dipertahankan guna membantu Bakteri Asam Laktat melakukan proses
fermentasi. pH optimum juga dipertahankan agar hanya Bakteri Asam
Laktat yang dapat tumbuh pada kondisi tersebut guna meminimalkan
kontaminasi bakteri lain, kapang dan khamir.
1.8 Pembahasan Jurnal
1.8.1 Kajian Kualitas Dadih Susu Kerbau di Dalam Tabung Bambu dan
Tabung Plastik (Sisriyenni, 2004)

14
Pada pembuatan dadih, biakan bakteri yang digunakan adalah
Lactobacillus acidophilus (starter kering). Fermentasi dilakukan selama 9 hari.
Uji organoleptik setelah 9 hari pada dadih susu kerbau dalam tabung bambu dan
tabung plastik menunjukkan bahwa rasa, aroma dan warna dari dadih dalam
tabung bambu dan tabung plastik berbeda nyata. Aroma dadih dalam tabung
bambu sudah berbau tengik sedangkan pada tabung plastik masih beraroma susu.
Begitu juga dengan parameter warna, pada dadih dalam tabung bambu warna
yang ditampilkan sudah putih kekuningan sedangkan pada tabung plastik masih
berwarna putih bersih. Hal ini disebabkan karena di permukaan dadih tabung
bambu mulai ditumbuhi jamur (bakteri koliform). Aroma dadih berbanding lurus
dengan warna dadih. Semakin kuning warna dadih, semakin tajam bau tengik dari
dadih tersebut. Pada parameter kesukaan, panelis menyatakan tidak suka dadih
tabung bambu dengan masa simpan 9 hari, sedangkan dadih tabung plastik,
panelis menyatakan kurang suka. Sementara itu dari parameter rasa dan
kekentalan menunjukkan tidak berbeda nyata antara dadih dalam tabung bambu
dengan dadih dalam tabung plastik. Panelis menyatakan bahwa dadih dalam
kedua kemasan tersebut telah berasa sangat asam. Dinyatakan bahwa dadih dalam
tabung bambu tidak layak lagi dikonsumsi sedangkan dadih dalam tabung plastik
masih layak dikonsumsi pada waktu simpan yang sama.
Nilai nutrisi dadih setelah dilakukan penyimpanan selama 12 hari
menyatakan bahwa nilai nutrisi dari dadih juga mengalami penurunan terutama
kadar protein dan lemak. Hasil analisis kimiawi dadih susu kerbau menunjukkan
penurunan yang tajam dari kadar protein dan lemak masing masing 5,58% (dari
6,81%) dan 7,74% (dari 8,66) pada tabung bambu, sementara pada tabung plastik
penurunan kadar protein dan lemak masing-masing menjadi 4,94% (dari 6,34) dan
7,09 (dari 7,96). Hal ini terjadi karena selama proses fermentasi bakteri L.
acidophilus aktif melakukan proses proteolitik dan lipolitik menjadi substansi
yang bisa dimanfaatkan oleh bakteri misalnya energi, pada mekanisme perubahan
tersebut biasanya akan menghasilkan air dan secara otomatis konsentrasi lemak
dan protein dalam produk fermentasi akan menurun. Pada tingkat keasaman dan
total koloni bakteri dari dadih justru mengalami peningkatan sejalan dengan
lamanya waktu penyimpanan. Dengan penyimpanan selama 12 hari, terjadi

15
peningkatan keasaman sebesar 2,24 persen (dari 0,99%) pada dadih dalam tabung
bambu dan 1,70 persen (dari 1,06%) pada dadih dalam tabung plastik. Total
koloni bakteri juga mengalami peningkatan sebesar 56,7x105 koloni/ml (dari

16,0 x 105 koloni/ml) pada dadih dalam tabung bambu dan 50,0x105 koloni/ml
(dari 10,67 x 105 koloni/ml) pada dadih dalam tabung plastik. Peningkatan
keasaman pada fermentasi susu disebabkan aktivitas bakteri dalam merombak
laktosa menjadi asam laktat, dengan semakin lama waktu fermentasi hingga batas
waktu tertentu jumlah koloni bakteri meningkat dan perombakan laktosa juga
mengalami peningkatan. Peningkatan koloni bakteri didukung oleh kandungan zat
gizi makanan dan suhu.
1.8.2 Kualitas Dadih Susu Kambing yang Diinkubasi pada Berbagai Macam
Bambu (Wijayanti, 2016)
Susu kambing dapat dipertimbangkan sebagai alternatif dalam pembuatan
dadih akibat penurunan populasi kerbau yang menyebabkan produksi susu kerbau
pun menurun. Yang dibedakan pada percobaan ini adalah jenis bambu, yaitu
bambu apus (Gigantochloa apus), bambu ori (Bambusa arundinacea), bambu
betung (Dendrocalamus asper), dan bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea).
Variabel yang diamati adalah keasaman, pH, total mikroba dan kadar protein.
Dari hasil yang diperoleh, jenis bambu berpengaruh terhadap tingkat
keasaman, dengan yang paling tinggi adalah bambu ori dengan 0,37% sedangkan
yang terendah terdapat pada bambu apus dan bambu hitam dengan 0,27%. pH
tertinggi pada bambu apus, diikuti dengan bambu betung, hitam, dan terendah
pada bambu ori. Kadar protein juga tertinggi pada bambu ori, terendah pada
bambu betung. Jenis bambu yang memiliki total mikroorganisme terbanyak
adalah bambu ori, diikuti dengan bambu betung dan bambu hitam, dan terakhir
pada bambu apus.
Bambu ori ditemukan sebagai wadah terbaik dalam pembuatan dadih susu
kambing dengan rata-rata keasaman 0,37 ± 0,02%, kadar protein 4,82 ± 0,13 %,
pH 6,47 ± 0,05, dan total mikroorganisme 6,298 ± 0,62072 Log cfu/mL.

16
1.8.3 Pengaruh Kemasan terhadap Kualitas Dadih Susu Sapi
(Miskiyah,2011)
Susu sapi dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembuatan dadih
untuk substitusi susu kerbau. Dalam penelitian ini, kemasan yang digunakan ada
7, yakni: bambu (bamboo), kemasan flexypack , bambu ke kemasan felxypack,
cup plastik pp, bambu ke cup plastik pp, gerabah (clay), dan bambu ke gerabah.
Dalam penelitian ini tidak semua kemasan dapat dimasukan ke refrigerator
dimana dadih hanya dapat bertahan 3-4 hari di suhu ruang. Jadi, ada beberapa
jenis kemasan yang tidak dapat diuji hingga hari ke-24.
Jenis dadih susu sapi ini dalam fermentasi, laktosa dan kasein sebagai
sumber energi bagi Bakteri Asam Laktat sehingga akan mendukung pertumbuhan
Bakteri Asam Laktat. Kemasan bambu, gerabah dan bambu ke gerabah tidak
dapat diteliti hingga hari ke 4 dan 8 dikarenakan kemasan tidak dapat dimasukkan
ke refrigerator. Kemasan yang memiliki jumlah BAL tersedikit pada hari terakhir
adalah bambu ke felxypack. namun, kemasan yang mampu mempertahankan
jumlah BAL dari awal hingga akhir adalah cup plastik.
Sedangkan kemasan yang menunjukkan uji organoleptik yang cenderung
lebih baik adalah gerabah dimana memiliki nilai kemasan, kemudahan konsumsi,
tekstur dan penerimaan yang lebih tinggi dibanding kemasan lain.
Lalu, untuk pH dan total asam menunjukkan nilai pH dimana pH
menunjukkan total asam yang terbentuk dari aktivitas bakteri. Untuk jenis
kemasan gerabah dan bambu ke gerabah tidak dapat dilakukan pengujian karena
masa simpan produk. Untuk total asam, semakin lama penyimpanan akan
menyebabkan asam laktat yang terbentuk semakin banyak dan akan meningkatkan
total asam pada dadih. Dimana total asam akan mencerminkan aktivitas bakteri
dari BAL.

17
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, D.E., J.C. Forrest., D.E. Gerrard., and E.W. Mills. 2001. Principles of
Meat Science Fourth Edition. USA: W.H. Freeman and Company.
Arihara K., 2006. Strategies of designing novel functional meat products. Meat
Science Vol 89: 219-299.
Aryanta, W.R. 1996. Karakteristik Sosis Terfermentasi Tradisional Bali. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Pangan Vol.1 No. 2: 74-77.
Bacus, J. 1984. Utilization of Microorganism in Meat Processing. England:
Research Studies Press Ltd.
Elida, Mutia. 2002. Profil Bakteri Asam Laktat dari Dadih yang Difermentasi
dalam Berbagai Jenis Bambu dan Potensinya sebagai Probiotik. Bogor
:Program Pascasarjana IPB
Fardiaz. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hosono, A., R. Wardoyo, and H. Otani. 1989. Microbial flora in dadih, a
traditional fermented milk in Indonesia. Lebensm Wiss. Technol. 22:
20−24.
Mudawaroch, R. E., Setiyono., L. M. Yusiati., E. Suryanto. 2018. Persentase
Hasil Sosis Ayam Fermentasi Probiotik Dengan Berbagai Bahan Aditif
Pada Tahap Fermentasi Dan Tahap Pengeringan Yang Berbeda. Jurnal
RISET Agribisnis & Peternakan Vol. 3, No. 1: 51-55.
Nursirwan,H. 2009. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik salami kandidat
probiotik selama penyimpanan dingin. Fakultas Peternakan.Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Pato, U. 2003. Potensi bakteri asam laktat yang diisolasi dari dadih untuk
menurunkan risiko penyakit kanker. Jurnal Natur Indonesia Vol. 5 No.2:
162−166.
Sari, Putri Tanjung. 2009. Pengaruh kemasan terhadap kualitas dadih susu sapi
selama penyimpanan .Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor
Siagian, A. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan dan Sumber Pencemarannya.
Fakultas Kesehatan Masyarakat,USU,Sumatera Utara

18
Sisriyenni D, Zurriyati Y, 2004. Kajian kualitas dadih susu kerbau di dalam
tabung bambu dan tabung plastik. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 7: 171-9.
Sugitha, I. M. (1995). Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas
Andalas. Padang.
Sumarmono, Juni. et al. 2016. Karakteristik Sosis Fermentasi Daging Sapi selama
Fermentasi dengan Starter dari Kefir Pasta. Universitas Jenderal
Soedirman: Purwokerto.
Toldrá,F., Hui, Y. H., Meunier-Goddik,L.,Hansen,Å. S., Josephsen, J., and
Stanfield, P. S. 2004. Handbook Of Food and Beverage Fermentation
Technology. USA: Marcel Dekker,Inc.
Usmiati, dkk. 2011. Sifat Fisikokimia Dadih susu Sapi: Pengaruh Suhu
Penyimpanan dan Bahan Pengemas. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Usmiati, S., & Risfaheri. 2012. Pengembangan Dadih Sebagai Pangan
Fungsional Probiotik Asli Sumatera Barat. Jurnal Litbang Pertanian. Vol.
32.No. 1.
Wijayanti, M. D. S. et al. 2016. Kualitas Dadih Susu Kambing yang Diinkubasi
pada Berbagai Macam Bambu. Universitas Brawijaya: Malang.
Wood. B.J.B. 1998. Microbiology of Fermented Food. London : Blackie
Academic and Professional.
W
Melia,S., Juliyarsi,I..2011.Quality and Antibacterial Activity of Mutant Cow Milk
Dadih Lactococcus lactis on Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Salmonella typhi. Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2011 Vol 13(1)
ISSN 1907-1760.
Nursyam,Happy. 2011.Pengolahan Sosis Fermentasi Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Menggunakan Kultur Starter Lactobacillus plantarum terhadap Nilai pH,
Total Asam, N-total , dan N-amino. Jurnal Ilmiah Perikanan dan
Kelautan Vol. 3 No. 2, November 2011.

19
Evidaswati, Hidayati, dan Elfawati.2009.Kualitas Dadih Susu Kerbau dengan
Lama Pemeraman yang Berbeda. Jurnal Peternakan Vol 6 No 1 Februari
2009 ISSN 1829 - 8729.
Miskiyah dan Broto,Wisnu.2011.Pengaruh Kemasan terhadap Kualitas Dadih
Sapi. Buletin Peternakan Vol. 35(2): 96-106, Juni 2011 ISSN 0126-4400.

20

Anda mungkin juga menyukai