Anda di halaman 1dari 116

K

Kaajjiiaann U
Ummuurr SSiim
mppaann SSoopp D
Daauunn T
Toorrbbaanngguunn
((CCoolleeuuss aam
mbbooiinniiccuuss LLoouurr))
D
Daann PPeerrhhiittuunnggaann M
Miiggrraassii T
Toottaall K maassaannnnyyaa
Keem

Oleh :
Devi Marlina
F34103037

2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Kajian Umur Simpan Sop Daun Torbangun
(Coleus amboinicus Lour)
Dan Perhitungan Migrasi Total Kemasannya

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
Devi Marlina
F34103037

2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kajian Umur Simpan Sop Daun Torbangun
(Coleus amboinicus Lour)
Dan Perhitungan Migrasi Total Kemasannya

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
Devi Marlina
F34103037

Dilahirkan pada 14 Maret 1985


Di Tanjung karang

Tanggal Lulus
Bogor, Oktober 2007

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Endang Warsiki, MT, Ph. D Drh.M.Rizal M.Damanik, M.Rep.Sc, Ph.D


Devi Marlina. F34103037. Kajian Umur Simpan Sop daun Torbangun (Coleus
amboinicus Lour) dan Perhitungan Migrasi Total Kemasannya. Dibawah
bimbingan Endang Warsiki dan M.Rizal M. Damanik. 2007

Ringkasan

Daun bangun–bangun atau Torbangun (Colues amboinicus Lour) adalah


salah satu jenis tanaman yang umum dikonsumsi oleh ibu yang baru melahirkan di
daerah Sumatera Utara, khususnya oleh suku Batak. Daun Torbangun ini memiliki
kandungan zat gizi tinggi, terutama zat besi dan karoten. Selain sebagai bahan
pangan pemulih tenaga dan untuk memperbanyak ASI, daun Torbangun juga
dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk penyembuhan beberapa
penyakit seperti sariawan, demam, sakit kepala, influenza, dan rheumatik
(Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu, 2000).
Fitriah (2007) telah mengkaji kemasan terbaik bagi sop Torbangun yaitu
kemasan gelas, plastik dan kaleng. Kajian penurunan mutu selama penyimpanan
diperlukan untuk mengetahui perubahan mutu sop daun Torbangun selama
penyimpanan dan penting juga untuk mengetahui umur simpan produk. Kajian
penyimpanan produk dalam kemasan juga berkaitan dengan permasalahan migrasi
yang sering terjadi pada berbagai jenis kemasan.
Kajian umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode Extended
Storage Studies (ESS) atau disebut juga metode konvensional dimana produk
disimpan sesuai dengan kondisi normal sehari–hari dan dilakukan pengamatan
terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa.
Pendugaan umur simpan produk dengan mengamati produk selama penyimpanan
sampai terjadi perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
Penurunan mutu produk dianalisa secara kimia, mikrobiologis, dan
organoleptik. Analisa yang dilakukan antara lain pH, TAT, TPC, dan TBA. Hasil
analisa pH pada kemasan gelas dan CPET memiliki kecenderungan yang sama
untuk penyimpanan pada suhu rendah, yaitu cenderung mengalami kenaikan.
Nilai pH pada penyimpanan suhu ruang mengalami penurunan drastis. Produk
yang dikemas pada kemasan kaleng memiliki nilai pH yang tidak jauh berbeda
untuk ketiga suhu penyimpanan dengan kecenderungan naik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai TAT yang terukur pada kemasan
gelas dan kemasan CPET memiliki kecenderungan yang sama, menurun pada
penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan 10-12°C) dan meningkat pada
penyimpanan suhu ruang. Pada penyimpanan suhu ruang, nilai TAT meningkat
drastis sejak penyimpanan selama 4 hari untuk kemasan CPET dan 6 hari untuk
kemasan gelas. Penurunan nilai TAT produk yang disimpan pada suhu rendah
disebabkan karena terhambatnya laju oksidasi karena penyimpanan dingin. Laju
oksidasi yang terhambat membuat degradasi asam lemak juga terhambat, sehingga
jumlah asam yang dihasilkan tidak besar. Sebaliknya, produk yang disimpan pada
suhu ruang mengalami peningkatan nilai TAT karena laju oksidasi dipicu dengan
cahaya dan panas. Perubahan nilai TAT pada kemasan kaleng tidak berbeda untuk
ketiga suhu penyimpanan. Nilai TAT yang terukur pada kemasan kaleng lebih
besar dari kemasan gelas dan CPET dan memiliki kecenderungan meningkat. Hal
ini berkaitan dengan karakteristik kaleng.
Pertumbuhan koloni yang terdapat pada kemasan gelas dan CPET pada
penyimpanan suhu rendah sampai pada penyimpanan ke enam belas hari relatif
masih lebih rendah dibandingkan dengan mikroba yang tumbuh pada suhu ruang.
Pada suhu ruang jumlah koloni yang terhitung meningkat drastis hingga
penyimpanan pada hari ke delapan. Penyimpanan sop daun Torbangun pada
kemasan kaleng menunjukkan jumlah koloni yang negatif hingga penyimpanan
hari ke enam, dan mulai menunjukkan hasil positif pada hari selanjutnya. Rata –
rata jumlah koloni yang tumbuh pada sop daun Torbangun sampai penyimpanan
hari ke 22 adalah kurang dari 30 koloni per ml.
Nilai TBA pada tiga kemasan yang digunakan pada penelitian ini kecil yaitu
hanya berkisar 0,012 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,060 mg
malonaldehida/kg bahan, hal ini berkaitan dengan penambahan antioksidan yang
dapat menghambat laju oksidasi lemak pada santan. Hasil penilaian panelis pada
uji hedonik menunjukkan penurunan skor hingga akhir penyimpanan.
Berdasarkan hasil analisa penurunan mutu yang dilakukan dapat
diperkirakan sop daun Torbangun yang dikemas dengan gelas dan kemasan CPET
pada suhu 5-8°C dan 10-12°C bisa dikonsumsi sebelum 8 hari. Produk sop daun
Torbangun yang disimpan pada suhu ruang hanya dapat dikonsumsi sebelum
penyimpanan selama 2 hari. Produk sop daun Torbangun yang dikemas pada
kaleng pada penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan 10-12°C) bisa dikonsumsi
hingga 22 hari, sedangkan pada penyimpanan suhu ruang produk ini bisa
dikonsumsi hingga 14 hari.
Hasil perhitungan migrasi total pada ketiga kemasan yang digunakan
menunjukkan jumlah migran di bawah standar yang ditetapkan oleh EU yaitu 10
mg/dm2 untuk food simulant aquades, asam asetat3%, dan alkohol 15%.
Perhitungan migrasi total terhadap food simulant alkohol 95% memberikan hasil
yang tinggi dan melebihi dari standar yang diperbolehkan oleh EU.
Dari hasil penelitian, umur simpan paling lama didapatkan pada produk sop
daun Torbangun yang dikemas dengan kemasan kaleng pada penyimpanan suhu
rendah. Akan tetapi dilihat dari potensi migrasi kemasan kaleng memiliki resiko
migrasi paling tinggi.
Devi Marlina. F34103037. Shelf Life Study of Torbangun (Coleus amboinicus
Lour) Leaf Soup and Total Migration of Its Packaging. Supervised by Endang
Warsiki dan M.Rizal M. Damanik. 2007.

SUMMARY

Torbangun is originating from North Sumatera. Since years ago, Batak


people believed that Torbangun can stimulate the breast milk production or even
could used to recovery mother’s health status after birth. Beside that, Torbangun
also used as traditional medicine for sprue, fever, headache, influenza, rheumatic
(Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu, 2000).
Fitriah (2007) studied the best packaging for Torbangun soup, there are
CPET, glass and tin plate. Study about quality deterioration is needed to
understand product shelf life. It’s also related with migration of the packaging.
Shelf life study conducted with Extended Storage Studies (ESS) or known as
convencional method. Product stored in daily condition and monitoring until
expired.
There are three types of packaging used in this study. There are glass, CPET
and tin plate. It also used room temperature and refrigerator temperature. The
Torbangun soup stored for 20 days. Along the storage, soup is analyzed its quality
including acidity level (pH), Titrated Acid Total (TAT), microbiology test (Total
Plate Count), and rancidity test (thiobarbituric Acid Value).
The primary study resulted that pH value glass and CPET has same
inclination for refrigerator temperature storage which was increased. pH value for
room temperature has decreased. While, pH value tin plate not really different for
all temperature and the value was increased.
The calculation of TAT value can be used to know the acidity level. Result
study show that TAT value glass and CPET has same inclination and tends to
decreased at low temperature (5-8°C dan 10-12°C), while increased at high
temperature (room temperature). TAT value tends to increased dramatically at
fourth days storage in CPET and six days storage in glass. Decreasing TAT value
at low temperature storage is because hampered oxidation. Product stored at room
temperature produce high oxidation becaused of heat and light influenced. TAT
value tin plate not really different for all temperature. TAT value tin plate tends to
be higher than glass and CPET. This related with its characteristic.
The result of kind examination for TPC shows that glass and CPET
packaging at low temperature storage tends to be lower than room temperature
storage. Number of microorganism is low until 16 days storage. High number of
microorganism is shown by room temperature storage which rapidly increased
until 8 days storage. TPC value tin plate is negatif until 6 days storage, and
microorganism grow the day after. TPC average value tin plate is lower that 30
colony/ml until 22 days storage.TBA value for all packaging is low , there are
about 0,012 mg malonaldehida/kg product until 0,060 mg malonaldehida/kg
product. This is because of antioxidant added. Antioxidant hampered oxidation.
Base on deterioration quality study, Torbangun soup in glass and CPET
packaging best consume before 8 days at refrigerator temperature storage. While
at room temperature best consume before 2 days storage. Torbangun soup in tin
plate packaging best consume until 22 days at refrigerator storage and 14 days at
room temperature storage.
Total migration result shows that all packaging have migran number lower
that EU standar which is 10 mg/dm2 for food simulant aquades, acetic acid 3%,
alcohol 15%. The highest migran number shown by food simulant alcohol 95%.
From this study conclude that tin plate give the longest shelf life but its has high
risk migration too.
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14


maret 1985 dengan nama lengkap Devi Marlina. Penulis
adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Maizal Chandra dan Ernawati. Penulis mengawali jenjang
pendidikannya di SD Negeri 2 Labuhan Ratu Bandar
Lampung pada tahu 1989-1991 dan meneruskan jenjang
sekolah lanjutan di SLTP Negeri 2 Bandar Lampung.
Selanjutnya, penulis melanjutkan sekolah lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 2
Bandar Lampung. Tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian melalui jalur USMI.
Selama masa studi di IPB, penulis aktif dalam kegiatan keorganisasian baik
dalam maupun luar kampus. Organisasi dalam kampus yang pernah diikuti penulis
yaitu HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian), IAAS
International Association of Agriculture Related Sciences of Student), dan Forum
Silaturahmi Mahasiswa ESQ (FOSMA ESQ Bogor). Pada tahun 2005-2006
Penulis menjabat sebagai ketua Biro Hubungan Eksternal HIMALOGIN. Penulis
juga aktif dalam kegiatan kepanitiaan baik dalam maupun luar kampus, berbagai
ajang perlombaan dalam bidang bahasa inggris juga pernah dijuarai dengan tim
english debatnya.
Penulis melakukan kegiatan praktek lapang dengan topik Efisiensi Produksi
di PT Coca Cola Bottling Company Southern Sumatera tahun 2006. Lebih lanjut,
penulis menyelesaikan masa studi dengan judul penelitian ”Kajian Umur Simpan
Sop Daun Torbangun Dan Perhitungan Migrasi Totalnya” dibawah bimbingan
Dr.Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M Rizal Damanik M.rep.Sc.PhD.
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Kajian Umur Simpan Sop daun Torbangun dan
Perhitungan Migrasi Total Kemasannya” dengan baik.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan
selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan baik secara
moril maupun materil dari semua pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap hati
penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibu Dr.Ir. Endang Warsiki, MT dan Drh. M. Rizal M. Damanik M.Rep.Sc,
Ph.D selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dorongan,
arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulis
2. Ibu Dr. Ir. Ani Suryani, DEA sebagai dosen penguji yang telah memberikan
masukan yang berarti bagi kesempurnaan skripsi ini
3. Ibunda Ernawati, A.Md tercinta dan ayahanda serta kedua adik-adikku Fetra
Januar dan Irfan Febriandi atas doa, kasih sayang serta dukungan moril dan
materiil yang berharga bagi penulis
4. Bapak Dr. Syafruddin Surin, SpJP. dan Ete Rosmaini Syaf serta sepupu
Rahmi, Ridho, dan abang Rahmedi atas kasih sayangnya kepada penulis serta
dukungan, dan motivasi yang tak henti tercurah
5. Pak Buyung dan Om Delfi sekeluarga atas dukungan dan doa yang berarti
bagi penulis
6. Uni Herlinda dan Mas Imam serta keponakan tersayang untuk rumah baru
yang menyenangkan
7. Saudari–saudari penyejuk yang menemani hari-hari penulis saat masa studi
Neng Detri, Widia, Indah, Farah, Bunda Ratih, Adinda untuk bahu yang
selalu ada saat bersandar
8. Sahabat–sahabat terbaik penulis selama di TIN Vinanda, Mayang, mbak Umi,
Purwati, Idesh, Fardian, Helmi, Ichsan, Budi, Ayah Amet, Hendrick, Umam,
Galuh, Mas Akhlis dan Mas Kosi, skripsi ini tak akan pernah selesai tanpa
bantuan kalian
9. Uda Yandra, saudara perantauan terbaik atas motivasi dan perhatiannya yang
berarti selama masa studi
10. Adik-adiku Ami, Amen, Ade Putra, Neisya Solaita, atas waktu dan tenaga
yang telah diberikan kepada penulis
11. Keluarga Besar IKMP atas persaudaraan indah yang diberikan (Mona, Inggit,
Dora, Ayu, Nandi, Ipal, Sutan, Zano)
12. Teman-teman selama penelitian, Mas tarwin, Mbak Pipit, Silvi, dan seluruh
laboran TIN
13. Bu Ulan dan keluarga atas bantuan dan perhatiannya
14. Derry Dardanella dan Windi Rismawati, rekan satu bimbingan yang selalu
menyemangati
15. Rekan–rekan TIN 40 yang tak dapat disebutkan satu persatu, atas
persaudaraan indah, dukungan dan persahabatan terbaik dalam meniti langkah
selama kuliah
16. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Tiada satu hal pun yang sempurna melebihi kesempurnaan-Nya, begitu juga
skripsi hasil penelitian ini yang kemungkinan masih memiliki kekurangan.. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berdoa
semoga hasil karya ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Oktober 2007

Devi Marlina
DAFTAR ISI

HAL
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Tujuan .................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Torbangun.................................................................................... 4
2.1.1. Khasiat Daun Torbangun.................................................................... 5
2.1.2. Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun ................................................ 6
2.2. Santan .................................................................................................... 7
2.2.1. Emulsi Santan..................................................................................... 9
2.2.2. Ketengikan.......................................................................................... 10
2.2.3. Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Stabilitas Santan..................... 11
2.3. Proses Pemanasan.................................................................................. 12
2.3.1. Pasteurisasi ......................................................................................... 14
2.3.2. Pendinginan Setelah Sterilisasi .......................................................... 15
2.3.3. Kondisi Pengemasan .......................................................................... 15
2.4. Antioksidan ........................................................................................... 16
2.5. Kemasan ................................................................................................ 19
2.5.1. Kemasan Gelas ................................................................................... 21
2.5.2. Kemasan Plastik ................................................................................. 23
2.5.3. Kemasan Kaleng................................................................................. 25
2.6. Umur Simpan ........................................................................................ 27
2.7. Migrasi................................................................................................... 29
2.7.1. Food Simulant .................................................................................... 32
2.7.2. Legislasi.............................................................................................. 33
III. METODOLOGI
3.1. Bahan dan Alat ...................................................................................... 35
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 35
3.3. Metode penelitian .................................................................................. 36
3.3.1. Pembuatan sop daun torbangun.......................................................... 36
3.3.2. Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 37
3.3.3. Penelitian Utama ................................................................................ 39
3.3.3.1. Umur simpan ................................................................................... 39
3.3.3.2. Migrasi Total ................................................................................... 40
3.4. Analisa Mutu ......................................................................................... 42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Pendahuluan ......................................................................... 43
4.2. Penelitian Utama ................................................................................... 46
4.2.1. Analisa Mutu ...................................................................................... 46
4.2.1.1. Pengukuran Nilai pH ....................................................................... 46
4.2.1.2. Pengukuran Total Asam Tertitrasi .................................................. 50
4.2.1.3. Uji Mikrobiologi (TPC)................................................................... 52
4.2.1.4. Uji Ketengikan (TBA)..................................................................... 58
4.2.2. Pengujian Organoleptik...................................................................... 63
4.2.2.1. Aroma .............................................................................................. 63
4.2.2.2. Tekstur............................................................................................. 64
4.2.2.3. Kekentalan....................................................................................... 64
4.2.2.4. Warna .............................................................................................. 65
4.2.2.5. Penerimaan Umum .......................................................................... 66
4.2.3. Umur Simpan ..................................................................................... 66
4.2.4. Perhitungan Migrasi Total.................................................................. 68
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan............................................................................................ 73
5.2. Saran...................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 75
LAMPIRAN...................................................................................................... 83
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour).................................... 4
Gambar 2. Reaksi otooksidasi............................................................................ 11
Gambar 3. Diagram alir pembuatan sop daun torbangun .................................. 37
Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan ............................................... 38
Gambar 5. Diagram alir penelitian utama umur simpan .................................... 40
Gambar 6. Diagram alir pengujian migrasi total................................................ 42
Gambar 7. Penurunan nilai hedonik pada parameter aroma .............................. 44
Gambar 8. Penurunan nilai hedonik pada parameter tekstur ............................. 44
Gambar 9. Penurunan nilai hedonik pada parameter kekentalan....................... 45
Gambar 10. Penurunan nilai hedonik pada parameter warna ............................ 45
Gambar 11. Penurunan nilai hedonik pada parameter penerimaan umum ....... 45
Gambar 12. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan gelas .......... 47
Gambar 13. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan CPET......... 47
Gambar 14. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan kaleng........ 48
Gambar 15. Struktur kimia BHT........................................................................ 49
Gambar 16. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan gelas ....... 51
Gambar 17. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan CPET...... 51
Gambar 18. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan kaleng..... 52
Gambar 19. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan gelas .................... 54
Gambar 20. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan CPET................... 54
Gambar 21. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan Kaleng................. 56
Gambar 22. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan gelas ................... 59
Gambar 23. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan CPET.................. 59
Gambar 24. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan kaleng ................. 60
Gambar 25. Penurunan nilai hedonik sop daun torbangun terhadap .................
parameter aroma............................................................................. 63
Gambar 26. Penurunan nilai hedonik sop daun torbangun terhadap .................
parameter tekstur............................................................................ 64
Gambar 27. Penurunan nilai hedonik sop daun torbangun terhadap .................
parameter kekentalan ..................................................................... 65
Gambar 28. Penurunan nilai hedonik sop daun torbangun terhadap .................
parameter warna ............................................................................. 65
Gambar 29. Penurunan nilai hedonik sop daun torbangun terhadap .................
parameter penerimaan umum......................................................... 66
Gambar 30. Hasil perhitungan migrasi total pada kemasan...............................
gelas, CPET, dan kaleng ................................................................ 69
DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu.................................. 6
Tabel 2. Komposisi kimia santan kelapa ........................................................ 7
Tabel 3. Senyawa aktif beberapa jenis rempah............................................... 18
Tabel 4. Pengaruh penambahan BHT terhadap kandungan oksigen
terlarut dalam minyak kedelai........................................................... 19
Tabel 5. Komposisi kimia wadah gelas komersial.......................................... 22
Tabel 6. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable............................ 25
Tabel 7. Resep sop daun torbangun ................................................................ 36
Tabel 8. Kondisi (temperatur dan waktu) pengujian migrasi total.................. 41
Tabel 9. Faktor-faktor yang mempercepat dan menghambat oksidasi ........... 62
Tabel 10. Hasil perhitungan migrasi total pada gelas, CPET, dan kaleng ........ 68
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1. Prosedur Analisa........................................................................... 83
Lampiran 2. Form uji hedonic........................................................................... 85
Lampiran 3. Layout canning line pada Laboratorium Pilot Plant.....................
SEAFAST , IPB ........................................................................... 86
Lampiran 4a. Data uji organoleptik pendahuluan aroma ................................... 87
Lampiran 4b. Data uji organoleptik pendahuluan tekstur.................................. 88
Lampiran 4c. Data uji organoleptik pendahuluan kekentalan............................ 89
Lampiran 4d. Data uji organoleptik pendahuluan warna ................................... 90
Lampiran 4e. Data uji organoleptik pendahuluan penerimaan umum ............... 91
Lampiran 5. Data Hasil Uji pH pada kemasan gelas, CPET, dan kaleng ........ 92
Lampiran 6. Data hasil uji total asam tertitrasi pada kemasan gelas ...............
CPET, dan kaleng........................................................................ 93
Lampiran 7. Data hasil uji total plate count pada kemasan gelas, ...................
CPET dan kaleng......................................................................... 94
Lampiran 8. Data hasil uji Thiobarbituric Acid (TBA) pada kemasan............
gelas, CPET dan kaleng .............................................................. 95
Lampiran 9a. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter aroma ............ 96
Lampiran 9b. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter tekstur........... 96
Lampiran 9c. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter kekentalan..... 96
Lampiran 9d. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter warna ............ 97
Lampiran 9e. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter .......................
penerimaan umum ...................................................................... 97
Lampiran10. Luas permukaan kemasan gelas, CPET dan...............................
kaleng yang digunakan............................................................... 98
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daun bangun–bangun atau Torbangun (Colues amboinicus Lour) adalah


salah satu jenis tanaman yang umum dikonsumsi oleh ibu yang baru melahirkan di
daerah Sumatera Utara, khususnya oleh suku batak. Daun Torbangun ini
dipercaya dapat meningkatkan produksi air susu ibu (ASI). Tradisi mengkonsumsi
daun Torbangun oleh ibu suku batak yang baru melahirkan ini sudah berlangsung
sejak ratusan tahun yang lalu dan sampai sekarang masih tetap dipertahankan,
meskipun mereka telah merantau ke luar pulau Sumatera. Daun Torbangun ini
memiliki kandungan zat gizi tinggi, terutama zat besi dan karoten (Ref).
Ditemukan pula bahwa konsumsi daun Torbangun berpengaruh nyata terhadap
peningkatan kadar beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium
dalam ASI serta mengakibatkan peningkatan berat badan bayi secara nyata
(Damanik et al., 2005).
Daun Torbangun umumnya dikonsumsi dalam bentuk matang berupa sop.
Resep sayur daun Torbangun yang umum dikenal oleh masyarakat suku Batak
adalah sayur yang dibuat dengan menggunakan santan. Pada proses pengolahan
sop daun Torbangun, kuahnya yang bersantan akan mengalami perubahan-
perubahan fisik maupun kimiawi yang dikehendaki maupun yang tidak
dikehendaki. Disamping itu, setelah melalui proses pengolahan sop mengalami
penurunan mutu, sehingga diperlukan penyimpanan yang baik untuk
mempertahankan mutunya.
Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan dan distribusi
produk, mutu akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan
berbagai faktor, baik faktor lingkungan eksternal maupun faktor lingkungan
internal (Hariyadi, 2004). Data mengenai interaksi yang mungkin terjadi,
sebaiknya diketahui dengan baik sehingga dapat dilakukan perhitungan umur
simpan, usaha meminimalisir kerusakan dan memaksimumkan masa simpan.
Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian lanjutan terhadap
penelitian terdahulu tentang kemasan terbaik sop daun Torbangun. Fitriah (2007)
telah mengkaji kemasan terbaik bagi sop Torbangun yaitu kemasan gelas, plastik
dan kaleng. Kajian penurunan mutu selama penyimpanan diperlukan untuk
mengetahui perubahan mutu sop daun Torbangun selama penyimpanan dan
penting juga untuk mengetahui umur simpan produk. Kajian penyimpanan produk
dalam kemasan juga berkaitan dengan permasalahan migrasi yang sering terjadi
pada berbagai jenis kemasan.
Kontak antara makanan yang dikemas dan bahan kemasan merupakan aspek
yang penting. Kontak ini sudah terjadi selama pemanenan, transportasi, proses
pengolahan dan terutama dengan kemasan akhir makanan. Dibalik perkembangan
yang merebak di industri kemasan, muncul masalah pencemaran berbahaya
(hazard) bagi kesehatan konsumen yang perlu diwaspadai. Salah satu masalah
yang perlu diwaspadai adalah perpindahan komponen bahan kemasan terhadap
makanan yang dikemas. Migrasi komponen bahan kemasan ini dapat merusak
mutu produk dan menjadikan produk berbahaya untuk dikonsumsi.
Kajian migrasi yang telah banyak dilakukan saat ini lebih terfokus pada
kemasan plastik. Kemasan plastik memang sangat rentan terhadap migrasi.
Barbagai zat berbahaya dari kemasan plastik yang dapat terakumulasi dalam
tubuh manusia atau beresiko terhadap kesehatan manusia. Jenis kemasan lain yang
banyak digunakan untuk mengemas seperti kaleng, gelas, alumunium foil dan
kertas masih belum banyak dikaji tentang potensi migrasinya.
Gelas telah digunakan bertahun–tahun dan beberapa masalah khusus pada
gelas adalah terlarutnya timbal dari gelas kristal yang berkualitas tinggi yang
kemungkinan mengandung lebih dari 30% PbO (Budiawan, 2004). Resiko
kesehatan juga dapat muncul dari kandungan logam sebagai komponen utama
penyusun kaleng. Bahan kimia yang digunakan dalam bahan pelapis kaleng antara
lain logam alumunium, seng, atau bahan organik seperti epoksi-fenol dan
organosol. Dengan demikian perlu dilakukan penghitungan migrasi total pada
kemasan selain berbahan dasar plastik untuk menjamin mutu produk yang baik
serta keamanan pangan untuk dikonsumsi. Selain bermanfaat untuk menjamin
keamanan produk terkonsumsi, kajian migrasi ini juga dapat menjadi landasan
pemerintah Indonesia untuk membuat regulasi tentang bahan kemasan yang
digunakan. Adanya regulasi yang jelas dari pemerintah akan memudahkan pihak
industri untuk mengembangkan usaha.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


(i) Melihat penurunan mutu selama penyimpanan produk sop daun
Torbangun dalam berbagai macam kemasan dan memperkirakan umur
simpan produk sop daun Torbangun dengan metode Ekstended Storage
Studies (ESS).
(ii) Mengetahui jumlah migrasi total kemasan sop daun Torbangun dalam
”food simulant”.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daun Torbangun

Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan terna sekuler


tahunan atau agak menyerupai semak. Tanaman ini tidak berumbi, percabangan
agak berbentuk galah, berbulu halus pada saat muda, lokos jika tua. Daun tanaman
ini berhadapan, tunggal, tebal, berdaging, bundar telur melebar, agak bundar atau
berbentuk seperti jantung, dengan luas 5-7 x 4-6 cm2. Permukaan daun atas
berbulu halus tersebar dan pada bagian pertulangannya daun berambut panjang,
tepi daun beringgit kasat sampai bergigi kecuali pada bagian pangkal. Panjang
tangkai daun 2 - 45 cm dan berbulu halus (Siagian dan Rahayu, 2000).

Rangkaian bunga terdiri atas 10-20 bunga yang tersusun rapat dalam suatu
gelungan menyerupai bulir, panjang rakis 10-20 cm, berdaging dan berbulu halus.
Daun pelindung bulat telur, melebar, panjang 3-4 cm dengan ujung meruncing.
Daun kelopak berbentuk lonceng, panjang 2-4 mm, berbulu panjang dan
berkelenjar, berukuran tidak sama, bergigi 5, gigi atas bundar telur melebar,
tumpul, gigi lateral dan bawah meruncing. Daun mahkota biru, melengkung,
panjang 8-12 mm, panjang tabung 3-4 mm, menyerupai terompet, labium atas
pendek, tegak, berbulu sangat halus, labium bawah panjang, cekung. Tangkai sari
bersatu di bagian bawah membentuk tabung, mengelilingi putik. Berbiji satu
coklat pucat, permukaannya licin, agak bulat, pipih 0,7 x 0,5 mm2 (Siagian dan
Rahayu, 2000).

Gambar 1. Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour)


Daun Torbangun masuk ke dalam bangsa solanases, suku labiatae, dan
marga coleus. Daun ini mempunyai nama yang berbeda pada beberapa daerah,
yaitu ajeran atau ajiran (Sunda), daun kucing (Jawa), Torbangun (Batak), sukan
(Melayu), daun kambing (Madura), iwak (Bali), dan kunu etu (Timor)
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Nama latin tumbuhan ini adalah Coleus
aromaticus Lour atau Plectranthus amboinicus Lour. Klasifikasi daun Torbangun
: divisi: spermatophyta; sub divisi : angiospermae; kelas : dicotiledónea; bangsa :
solanales; suku : labiatae; marga : coleus; jenis : Coleus amboinicus Lour
(Rahayu, 1999).

2.1.1. Khasiat Daun Torbangun

Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan salah satu sumber


bahan pangan yang secara turun temurun dikonsumsi oleh masyarakat suku batak
dan dipercaya berkhasiat sebagai pelancar ASI. Hal ini telah dibuktikan melalui
penelitian ilmiah Damanik (2005), bahwa konsumsi daun Torbangun pada ibu
menyusui dapat meningkatkan total volume ASI dan kandungan beberapa mineral
dalam ASI seperti besi, kalium, seng, dan magnesium. Dari hasil penelitian, selain
sebagai bahan pangan pemulih tenaga dan untuk memperbanyak ASI, daun
Torbangun juga dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk
penyembuhan beberapa penyakit seperti sariawan, demam, sakit kepala, influenza,
dan rheumatik (Damanik et al., 2001; Siagian dan Rahayu, 2000). Berdasarkan
penelitian Silitonga (1993) selain meningkatkan produksi air susu induk tikus,
ternyata konsumsi daun Torbangun dapat berakibat pada peningkatan bobot badan
anak tikus.
Di daerah Cina Peninsula, jus daun Torbangun diberikan untuk obat batuk
anak – anak dengan ditambah gula. Di Indo China dipakai sebagai obat asma dan
bronkhitis (Burkill, 1935; Jain dan Lata, 1996). Di Malaysia daun Torbangun juga
dimanfaatkan untuk jamu–jamuan yang direbus dan diberikan setelah melahirkan
(Burkill, 1935). Nurendah (1982) dalam penelitiannya tentang sifat ekbolik
komponen jamu yang digunakan pada ibu hamil yang salah satunya adalah daun
Torbangun, menyimpulkan bahwa pengamatan pada uterus terisolasi
menunjukkan daun tersebut bersifat oksitosik (seperti oksitosin).
Manfaat lain dari daun Torbangun adalah dapat dimasak sebagai sayur atau
untuk lalapan. Daunnya dipakai untuk memberi aroma tajam masakan daging
kambing oleh masyarakat di pulau Jawa. Selain itu, tanaman ini juga bermanfaat
sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah
luka atau dibuat jamu penurun panas, bisa juga dikunyah untuk obat sariawan
(Heyne, 1987).

2.1.2. Komposisi Zat Gizi Daun Torbangun

Menurut Mahmud et al. (1995) daun Torbangun berpotensi sebagai bahan


pangan sumber zat besi, provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram
bahan, daun Torbangun mengandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13,6
mg, dan karoten total sebesar 13 288 mg. Komposisi zat gizi daun Torbangun
yang terdapat dalam daftar komposisi bahan makanan menyebutkan bahwa dalam
100 gram daun Torbangun mengandung lebih banyak kalsium, besi, dan karoten
total dibandingkan dengan daun katu (Sauropus androgynus). Daun katu juga
merupakan jenis tanaman yang daunnya digunakan sebagai pelancar produksi Air
Susu Ibu (ASI). Daun katu hanya mengandung kalsium sebesar 233 mg, besi
sebesar 3,5 mg, dan karoten total sebesar 10 020 mg. Data selengkapnya tentang
komposisi zat gizi daun Torbangun dan daun katu tercantum dalam Tabel 1
dibawah.
Komposisi kandungan kimia secara ilmiah daun Torbangun masih belum
banyak diketahui. Beberapa penelitian pernah dilakukan oleh Dr. Boorsma untuk
mengetahui kandungan kimia daun tersebut (Heyne, 1987; Dep Kes RI, 1989).
Menurut Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso (1985) dalam daun Torbangun
terdapat banyak kalium (6,46 % dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri
(0,043 % pada daun yang segar atau 0,2 % pada daun kering). Weehuizen di
dalam Heyne (1987) menyatakan bahwa dari 120 kg terna kering segar kira–kira
terdapat 25 ml minyak atsiri yang mengandung phenol (isopropyl-O-kresol).
Lebih lanjut disebutkan bahwa phenol tersebut berperan sebagai antisepticum
yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun Torbangun ternyata juga mempunyai
aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al., 2000). Selain itu menurut
Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso (1985) daun dan buahnya mengandung
zat lemak dan protein.

Tabel 1. Komposisi zat gizi daun Torbangun dan Katu

Zat Gizi Komposisi

Torbangun Katu
Energi (kal) 27,0 59,0
Protein (g) 1,3 6,4
Lemak (g) 0,6 1,0
Karbohidrat (g) 4,0 9,9
Serat (g) 1,0 1,5
Abu (g) 1,6 1,7
Kalsium (mg) 279,0 233,0
Fosfor (mg) 40,0 98,0
Besi (mg) 13,6 3,5
Karotin total (mg) 13288,0 10020,0
Vitamin A 0,0 0,0
Vitamin B1 0,16 0,0
Vitamin C 5,1 164,0
Air 92,5 81,0
BDD 66,0 42,0
Sumber : Mahmud et al. (1995)

2.2. Santan

Santan merupakan cairan yang berwarna putih yang diekstrak dari daging
kelapa parut dengan cara pengepresan mekanis, dengan atau tanpa penambahan
sejumlah air (Balasubramaniam dan Sihotang, 1979). Santan merupakan emulsi
lemak dalam air dengan ukuran partikel lebih besar dari satu mikron sehingga
berwarna putih susu (Kirk dan Othmer, 1950). Komposisi kimia dari santan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia santan kelapa*
Bahan Nathanael Proper Clemente Nathanael
(1954) % (1966) % (1933) % (1966) %

Air 50 54 47 – 53 52
Lemak 39,77 32,2 36,6 – 40,0 27
Protein 2,78 4,4 2,6 – 2,9 4
Pati 0,09 - 0 08 – 010 -
Gula 2,99 - 2,8 – 3,2 -
Total solid 10,38 - 10,3 – 10,5 -
Abu 1,22 1,0 1,1 – 1,3 1
Karbohidrat - 8,3 - -
*
Woodroof (1979)
Santan kelapa merupakan emulsi dari lemak, protein dan karbohidrat dalam
air yang stabilitasnya tidak dapat bertahan lama (Somaatmadja et al., 1973 dan
Thieme, 1968). Lemak dalam emulsi santan merupakan butir koloid yang
terdispersi antara molekul air, protein dan karbohidrat (Thieme, 1968). Selama
santan disimpan atau didiamkan, butir lemak yang diselubungi lapisan protein dan
karbohidrat akan memisah ke bagian atas dan membentuk kepala santan,
sedangkan air ditinggal pada bagian bawah. Somaatmadja et al. (1973) telah
mencoba memisahkan protein dari kelapa melalui suatu proses pemisahan melalui
sentrifusi dan diperoleh tiga bagian yaitu (i) bagian atas yang disebut krim
mengandung 71,89 % lemak dan 70,56 % protein; (ii) bagian cair yang umum
disebut skim, mengandung 22,26 % lemak dan 15,28 % protein; (iii) bagian
bawah yang berupa endapan (terdiri dari 1,34 % lemak dan 6,27 % protein); dan
(iv) ampas (terdiri dari 5,5 % lemak dan 7,89% protein). Protein santan terdiri atas
asam amino esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin, tirosin, sistein,
metionin, treonin, triptofan, dan valin; serta asam amino non esensial seperti
histidin, asam aspartat, asam glutamat, serin, prolin, alanin, glisin (Hagenmaier,
1975). Komposisi santan kelapa hampir sama dengan komposisi susu, hanya saja
kadar lemak santan kira–kira sepuluh kali kadar lemak susu.
Hagenmaier et al. (1974) melaporkan bahwa santan juga mengandung
sejumlah mineral, seperti Ca, Mg, K, Na, P dan Cl yang diduga juga dapat
mempengaruhi stabilitas santan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Leung et
al.(1972) dan Departemen Kesehatan RI. (1967). Kadar K lebih tinggi daripada
mineral lainnya (Djatmiko,1983). Kandungan mineral lain (Na, Ca, Mg, P dan Cl)
pada kelapa kecil jumlahnya (Djatmiko,1983).
Santan kelapa merupakan emulsi minyak dalam air yang akan distabilkan
oleh protein dan beberapa jenis ion yang terserap pada batas permukaan antara air
dan minyak (Woodroof, 1979). Protein kelapa terutama disusun oleh globulan
yang mempunyai sifat khas tidak larut dalam air dan pelarut organik tetapi larut
dalam larutan garam dapur encer yang netral, menggumpal apabila dipanaskan
dan mempunyai titik iso-elektrik pada pH 5,5 sampai 6,5 (Jacobs, 1951).
Dari aspek mikrobiologis, Fernandez et al. (1970) menyatakan bahwa santan
harus ditangani seperti susu sapi, karena santan mengandung protein, vitamin,
gula, komponen amino dan mineral yang merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Santan ternyata mempunyai nilai simpan 24 jam.
Santan merupakan bahan pangan yang mudah rusak karena mengandung kadar
air, protein dan lemak cukup tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh
mikroorganisme pembusuk. Oleh karena itu dibutuhkan proses sterilisasi untuk
meningkatkan daya awet santan. Hal–hal yang dapat menimbulkan kerusakan
mutu santan adalah pecahnya emulsi santan, timbulnya aroma tengik dan
perubahan warna menjadi lebih coklat.

2.2.1. Emulsi Santan

Bentuk emulsi pada santan kelapa adalah makro emulsi dengan ukuran
partikel yang lebih besar dari 1 mikron. Penampakannya berwarna putih susu
yang disebabkan oleh perbedaan indeks refraksi antara kedua fase dan partikel
emulsinya lebih besar dari panjang gelombangnya (Furia, 1975). Stabilitas emulsi
santan adalah sifat membentuk krim (”Creaming property”) santan. Tejada (1973)
telah mempelajari pengawetan krim santan. Krim santan atau santan konsentrat
mempunyai titik mulai koagulasi pada suhu 80,9°C dan sama sekali menggumpal
pada suhu 85°C. Pasteurisasi di bawah suhu koagulasi dapat mencegah
menggumpalnya krim santan.
Stabilitas emulsi santan tergantung dari ukuran partikel, perbedaan densitas
kedua fase, viskositas, muatan partikel, bahan penstabil dan suhu penyimpanan
(Kirk dan Othmer, 1950). Emulsi lemak dalam air pada santan bersifat stabil
karena adanya protein dan karbohidrat sebagai stabilizer (Mulia, 1986). Menurut
Clemente dan Villacorte (1933) emulsi santan (minyak dalam air) bersifat stabil
karena adanya bahan protein dan beberapa jenis ion yang terabsorbsi pada
permukaan minyak. Penambahan air pada pembuatan santan juga membuat emulsi
santan lebih stabil, sedangkan sejumlah air yang ditambahkan tidak
mempengaruhi kestabilan emulsi (Cheosakul, 1967). Ketidakstabilan emulsi
santan diduga disebabkan oleh kandungan minyaknya yang tinggi. Dalam santan
terdapat minyak dengan ukuran diameter globulanya kurang dari 10 mikron
(Hagenmaier, 1972).
Tingginya kandungan air dan protein dari santan, menyebabkan santan
sangat mudah ditumbuhi mikroorganisme pembusuk, sehingga tidak bisa
disimpan lama dan memerlukan tindakan pengawetan. Pemanasan dapat
mengawetkan santan, tetapi dapat merusak bentuk emulsinya. Pemanasan pada
suhu 121,1°C dalam waktu lama dapat mengakibatkan perubahan warna dan
pecahnya emulsi. Hal ini dapat dicegah dengan penambahan pengemulsi
(Cheosakul, 1967).

2.2.2. Ketengikan

Santan merupakan salah satu produk pangan berlemak tinggi. Kerusakan


bahan pangan berlemak yang sering terjadi adalah kerusakan lemak pada proses
pengolahan maupun pada saat penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama adalah
ketengikan, yaitu terjadinya perubahan bau dan flavor (Ketaren, 1986). Kerusakan
lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebabkan oleh
otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai
dengan pembentukan radikal bebas yang disebabkan oleh faktor–faktor yang
dapat mempercepat reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau
hidroperoksida, logam berat seperti Cu, Fe, Co dan Mn, logam porfirin seperti
hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil dan enzim lipoksidase. Molekul lemak
yang mengandung radikal asam lemak tidak jenuh mengalami oksidasi dan
menjadi tengik. Bau tengik yang tidak sedap tersebut disebabkan oleh
pembentukan senyawa hasil pemecahan hidroperoksida (Winarno, 1991). Proses
reaksi otooksidasi asam lemak jenuh yang menyebabkan timbulnya ketengikan
dapat dilihat pada Gambar 2. Ketengikan dapat juga disebabkan oleh adanya
proses hidrolisa lemak yang dapat menghasilkan komponen zat berbau tengik
yang mengandung asam lemak jenuh rantai pendek. Pemanasan yang terlalu lama
atau berlebih dapat merusak ikatan antara asam lemak dan gliserol pada minyak
sehingga asam–asam lemak lebih banyak yang terbebaskan memberi bau tengik
selama penyimpanan (Mulia, 1986).

Gambar 2. Reaksi otooksidasi (Winarno, 1991)

2.2.3. Pengaruh Perlakuan Panas Terhadap Stabilitas Santan

Semakin tinggi perlakuan panas semakin rendah stabilitas santan, karena


semakin tinggi perlakuan panas semakin tinggi denaturasi protein santan tersebut.
Denaturasi protein menyebabkan perubahan pada struktur protein, terbuka atau
sekurang–kurangnya suatu perubahan pada strukturnya yang tertutup tanpa
memecahkan ikatan peptidanya yang kovalen (Aurand dan Woods, 1973).
Pemanasan juga dapat menyebabkan koagulasi protein. Koagulasi protein kelapa
dumulai pada suhu sekitar 79°C (Hagenmaier, 1978). Sedangkan Samson et al.
(1971), Hagenmaier et al. (1974), Gonzales dan Tanchuco (1977) dan Muir et al.
(1978) melaporkan bahwa koagulasi protein kelapa terjadi antara suhu 75°C dan
80°C.
Perubahan dalam struktur protein juga dapat mempengaruhi tekstur makanan
yang mengandung protein (Aurand dan Woods, 1973). Pada santan protein yang
terkoagulasi mengekrim pada permukaan karena memiliki afinitas dengan butir-
butir minyak lebih besar. Sifat mengkrim itu lebih besar dengan naiknya tingkat
denaturasi protein (Monera, 1980).

2.3. Proses Pemanasan

Proses pemanasan merupakan metode yang berperan penting berkaitan


dengan umur simpan bahan pangan. Metode ini ditujukan untuk menghilangkan
atau mengurangi jumlah mikroorganisme atau enzim yang akan berkembang biak
selama penyimpanan dan mengakibatkan kerusakan bahan pangan tersebut atau
bahkan membahayakan kesehatan konsumen (Lund, 1977). Proses panas atau
proses termal dikenal sebagai ilmu yang telah berkembang sejak termokopel
digunakan untuk mengukur suhu. Secara industri, teknik pengemasan untuk
mengawetkan makanan sudah sangat berkembang, sehingga dapat
memperpanjang masa simpan produk pangan beberapa bulan bahkan sampai
hitungan tahun. Menurut Hariyadi (2000) ada beberapa keuntungan dari proses
pemanasan atau pemasakan ini yaitu :
(i) Terbentuknya tekstur dan citarasa yang khas dan disukai
(ii) Rusaknya atau hilangnya beberapa komponen anti gizi (misalnya inhibitor
antitripsin pada kedelai)
(iii) Peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya
cerna protein dan karbohidrat
(iv) Terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keamanan dan
keawetan pangan, dan
(v) Menyebabkan tidak aktifnya enzim–enzim perusak, sehingga mutu produk
lebih stabil selama penyimpanan
Adapun kerugian yang mungkin diakibatkan oleh proses pemanasan ini
antara lain adalah kemungkinan rusaknya beberapa zat gizi dan mutu (umumnya
yang berkaitan dengan mutu organoleptik seperti tekstur, warna dan lain–lain)
terutama jika proses pemanasan tidak terkontrol dengan baik. Kontrol terpenting
dalam proses pemanasan adalah kontrol terhadap suhu dan waktu. Lund (1977)
membagi proses pemanasan menjadi tiga yaitu : (i) proses blanching (blansir);
(ii) pasteurisasi; dan (iii) sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial adalah proses
untuk menginaktifkan mikroorganisme dan sporanya. Sterilisasi komersial
biasanya dibarengi dengan penggunaan kemasan anaerobik, kemasan
konvensional yang banyak digunakan antara lain gelas dan kaleng, namun dewasa
ini plastik dan alumunium foil pouch juga sedang dikembangkan.
Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang bertujuan untuk
memperbaiki mutu buah dan sayuran sebelum dikenai proses sterilisasi. Menurut
Fardiaz et al. (1980) blansir adalah pemanasan pendahuluan yang bertujuan
menginaktifkan enzim–enzim didalam bahan pangan. Enzim dapat menyebabkan
perubahan cita rasa,warna, tekstur dan sifat–sifat lain dari bahan pangan. Jika
enzim tidak diinaktifkan kemungkinan akan terjadi pembusukan. Menurut Latif
(1998) blansir adalah proses pemanasan awal untuk mendapatkan tingkat
keseragaman produk yang sama.
Sterilisasi adalah proses termal pada suhu diatas 100°C dalam waktu yang
cukup untuk membunuh spora bakteri (Syarief et al., 1989). Istilah sterilisasi
berarti membebaskan bahan dari semua mikroba, karena beberapa spora bakteri
relatif lebih tahan terhadap panas, sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu yang
tinggi misalnya 121°C (250°F) selama 15 menit. Ini berarti bahwa setiap partikel
dari makanan tersebut harus menerima jumlah panas yang sama. Selama proses
sterilisasi dapat terjadi perubahan terhadap makanan yang dapat menurunkan
mutunya. Oleh karena itu, jumlah panas yang diberikan harus dihitung sedemikian
rupa sehingga tidak merusak mutu makanan tersebut. Proses sterilisasi merupakan
metode yang banyak digunakan dalam proses pengawetan bahan pangan yang
bertujuan untuk membunuh mikroba yang ada di dalamnya, sehingga dapat
mencegah pembusukan selama penyimpanan dan bahan pangan tersebut tidak
membahayakan bagi kesehatan konsumen. Pengertian steril menunjukkan suatu
kondisi yang suci hama yaitu kondisi yang bebas dari mikroba.
Menurut Seehafer (1967) Amerika Serikat menggunakan metode
konvensional untuk sterilisasi susu sapi adalah 115,6°C selam 15 menit.
Hagenmeier (1973) menambahkan proses pateurisasi 65°C selama 15 menit
terhadap produk skim santan dapat mereduksi jumlah mikroba. Suherly (1984)
membuat produk santan pasteurisasi dengan suhu pasteurisasi 75°C selama 20
menit. Namun daya simpan produk masih sekitar 1 bulan atau kurang. Kondisi
sterilisasi komersial tergantung pada berbagai faktor antara lain (i) kondisi produk
pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal dan lain–lain), jenis dan
ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan; (ii) karakteristik pindah
panas pada bahan pangan; (iii) wadah yang digunakan; (iv) medium pemanas;
serta (iv) kondisi penyimpanan setelah sterilisasi (Winarno, 1994).
Produk dalam kemasan disterilisasi dengan menggunakan ketel uap (retort).
Retort yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan
tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber di luar
retort. Sumber uap panas tersebut dapat berbentuk boiler atau steam generator
(Winarno, 1994).
Proses sterilisasi komersial dengan menggunakan panas di disain untuk
melindungi kesehatan konsumen dan untuk melindungi produk dari mikroba
pembusuk yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomis (Schmidt, 1957).
Bila sterilisasi komersial telah tercapai berarti makanan yang dimaksud telah
mengalami pamanasan yang mengakibatkan makanan tersebut bebas dari mikroba
hidup yang dapat membahayakan kesehatan manusia.

2.3.1. Pasteurisasi

Pasteurisasi adalah salah satu cara pengawetan dengan panas dimana


dilakukan secara minimum untuk membunuh semua mikroorganisme patogen
(Herro, 1980). Prinsip dari pasteurisasi adalah produk dipanaskan secara singkat
sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu yang cukup untuk
membunuh semua mikroorganisme patogen, tetapi menyebabkan kerusakan
sekecil mungkin terhadap produk akibat panas (Woodroof, 1975). Penambahan
gula dan lemak dapat meningkatkan kebutuhan pemanasan dari produk (Harper
dan Hall, 1981). Contoh produk pasteurisasi adalah susu dan juice buah–buahan
seperti juice jeruk, anggur, apel dan lain–lain (Woolrich dan Hallowell, 1970).
Pasteurisasi biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak bila
dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial (Desroiser, 1983).
Pasteurisasi membunuh bakteri psikrofilik, mesofilik dan sebagian yang bersifat
termofilik. Biasanya perlakuan pasteurisasi dipadukan dengan sistem
penyimpanan produk pangan dalam suhu rendah yang bertujuan untuk mencegah
timbulnya tumbuhnya mikroorganisme termofilik yang suhu minimumnya cukup
tinggi.
Penyimpanan suhu rendah adalah penyimpanan di atas titik beku dari
produk, biasanya digunakan untuk menyimpan buah–buahan dan sayur–sayuran,
produk sterilisasi atau daging yang siap dikonsumsi dalam fase chilling dengan
tujuan untuk mencegah kerusakan produk (Woolrich, 1970). Penyimpanan pada
suhu rendah ini biasanya dilakukan pada suhu 5–15°C. Prinsip penyimpanan suhu
rendah pada buah dan sayur–sayuran adalah dengan memperlambat metabolisme
dari produk, sedangkan untuk produk pasteurisasi yang dihambat adalah
metabolisme dari mikroorganisme penyebab kerusakan (Heid, 1963).

2.3.2. Pendinginan Setelah Sterilisasi

Setelah sterilisasi biasanya dilakukan proses pendinginan. Menurut Winarno


(1994) selama proses pendinginan pemanasan produk masih berlanjut. Jumlah
panas yang diterima tergantung kecepatan pendinginan, dapat besar bila proses
pendinginan berjalan lambat dan dapat kecil bila pendinginan cepat
berlangsungnya. Selama pendinginan terjadi penurunan tekanan didalam retort.
Perbedaan tekanan yang tiba–tiba (dari pemanasan ke pendinginan) dapat
menyebabkan kebocoran pada kemasan selama proses pendinginan. Kondisi
vakum dalam wadah tercapai karena tekanan dalam kaleng lebih rendah dari udara
luar. Wadah bisa didinginkan secara parsial atau komplit dalam retort. Pada
pendinginan, tekanan dijaga hingga wadah didinginkan dengan cukup untuk
mengurangi tekanan internal sampai level aman. Wadah kemudian bisa
dikeluarkan pada tekanan atmosfir tanpa bahaya kerusakan wadah. Waktu untuk
pendinginan wadah tidak ditentukan secara spesifik, namun ada beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu jenis produk, ukuran wadah, suhu proses, suhu air
pendingin, dan jumlah air yang digunakan (Hariyadi, 2000). Adapun tujuan dari
pendinginan adalah memberikan kejutan (shocking) pada bakteri termofilik.
Mencegah over cooking dan memudahkan proses inspeksi (Latif, 1998).

2.3.3. Kondisi Pengemasan

Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan


kemasan yang kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminan. Kondisi
pengemasan yang kedap udara ini menyebabkan terbatasnya jumlah udara yang
bersifat aerob dan bakteri tidak akan tumbuh pada produk pangan tersebut.
Umumnya proses pengemasan bagi bahan pangan yang disterilisasi
dikombinasikan dengan teknik pengemasan yang akan menyebabkan kondisi
anaerobik. Kondisi ini akan memberikan beberapa keuntungan antara lain
mikroba tidak tahan panas lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan dan
kondisi anaerobik ini dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi
selama proses pemanasan dan selama penyimpanan setelah proses. Untuk
mempertahankan kondisi anaerobik ini bahan pangan perlu dikemas dalam
kemasan kedap udara (Winarno, 1994).
Peterson (1969) menyatakan bahwa kondisi vakum dalam kemasan dapat
dibuat dengan cara pemindahan mekanis udara dari produk. Teknik ini dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan menggunakan alat vaccum sealer,
menyapu uap air keluar dari headspace dengan penyemprotan steam serta secara
manual. Pada penelitian ini digunakan cara manual. Teknik manual adalah
pengisian produk kedalam kemasan dengan suhu awal yang tinggi dan segera
dikelim pada headspace tertentu.
Kondisi vakum atau hampa udara terbentuk karena sewaktu pemanasan
molekul–molekul produk berkontraksi melepas molekul udara dan pada proses
pendinginan terjadi pemindahan molekul udara dalam headspace dengan uap air
yang segera mengalami kondensasi. Semakin tinggi suhu produk yang diisikan
dalam kemasan, semakin tinggi kondisi vakum yang terbentuk. Semakin besar
headspace dalam kemasan maka kondisi vakum makin menurun. Oleh karena itu,
dilakukan pengisian produk pada suhu awal yang optimum dengan headspace
minimum untuk menghasilkan kondisi vakum secara manual dengan baik
(Peterson, 1969).
2.4. Antioksidan

Antioksidan dalam industri bahan pangan mempunyai berbagai kegunaan,


diantaranya memperpanjang umur simpan dari bahan pangan, mengurangi
kehilangan nutrisi seperti vitamin yang larut dalam minyak, misalnya vitamin A
yang rentan terhadap oksidasi. Selain itu, antioksidan dapat memberikan peluang
penggunaan lemak dan minyak yang lebih besar dalam teknologi pangan (Coppen,
1983). Menurut Winarno (1992), adanya antioksidan dalam lemak akan
menghambat dan mengurangi kecepatan reaksi oksidasi. Nawar (1985)
menjelaskan bahwa antioksidan dapat menunda terjadinya reaksi oksidasi atau
memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang dapat
teroksidasi. Akan tetapi antioksidan tidak dapat memperbaiki minyak yang telah
mengalami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat terjadinya
ketengikan (Coppen, 1983).
Antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (i) senyawa
endogonous dari satu atau lebih komponen bahan pangan; (ii) substansi yang
terbentuk dari reaksi selama pengolahan; dan (iii) bahan tambahan yang diisolasi
dari sumber alami. Beberapa sumber alami yang umum diantaranya alga, macam-
macam lada, rempah-rempah dan tanaman bumbu, bawang merah dan bawang
putih, leguma, zaitun, biji-bijian berminyak, dan lain-lain (Pratt dan Hudson,
1990). Salah satu tanaman yang mengandung antioksidan alami adalah rempah-
rempah. Menurut Schuler (1983), rempah-rempah mempunyai nilai komersil
sebagai antioksidan. Pengaruh yang menguntungkan dari rempah-rempah tersebut
terhadap lemak telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu. Efektivitas
antioksidan dari rempah-rempah tidak hanya tergantung pada jenis dan kualitas
rempah-rempah, tetapi juga pada kondisi penyimpanan. Berbagai laporan
penelitian menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan dari rempah-rempah
bervariasi pada rentang yang lebar. Keberadaan cahaya mempengaruhi sebagian
besar rempah-rempah sehingga akan merubah efek antioksidannya menjadi
prooksidan.
Kochar dan Rossel (1990) yang dikutip oleh Darmini (1998) menjelaskan
bahwa tidak kurang dari 30 jenis tanaman rempah-rempah menunjukkan sifat
antioksidan. Beberapa senyawa antioksidan, terutama fenolik dari ekstrak
berbagai rempah-rempah telah teridentifikasi. Selain mengandung senyawa
antioksidan, rempah-rempah juga mengandung senyawa antimikroba. Menurut
Web dan Tanner (1945) yang dikutip oleh Triana (1998), aktivitas antimikroba
rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan
komponen minyak atsirinya. Secara umum senyawa aktif yaitu senyawa yang
mempunyai khasiat tertentu baik antioksidan, antimikroba ataupun yang lain,
disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Senyawa aktif beberapa jenis rempah


Jenis rempah Senyawa aktif Sumber pustaka
Bawang merah Allin, allisin Sumarjono dan
Soedono (1983)
Bawang putih Dialilsulfida, dialil Farrel (1990)
trisulfida, alil propel
disulfide, dan sejumlah
kecil dietilsulfida, dialil
polisulfida, allinin, allisin
Jahe Zingiberen, kurkumin, Muchtadi dan Sugiyono
filandren, gingerol, (1992)
shogaol
SeraiLengkuas Sitral, geraniol Farrel (1990)
Kamfer, galangi, Muchtadi dan Sugiyono
galangol, eugenol, (1992)
kurkumin

Antioksidan sintetik yang sering ditambahkan kedalam lemak bahan pangan


untuk mencegah ketengikan adalah Butylated hydroxyanisole (BHA), Butylated
hydroxytoluene (BHT), propylgallate (PG) dan Nordihidroquairetic acid (NDGA),
(Winarno, 1986). Pemakaian bahan antioksidan sintetik harus memenuhi
persyaratan tidak berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak
diinginkan, efektif pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat
dan ekonomis. Semakin tinggi penambahan antioksidan dalam minyak akan
menyebabkan semakin tingginya kandungan oksigen terlarut (Min dan Wen,
1983). Hal ini berarti reaksi oksidasi semakin diperlambat. Pengaruh penambahan
BHT sebagai antioksidan terhadap kandungan oksigen terlarut dalam minyak
kedelai dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh penambahan BHT terhadap kandungan oksigen terlarut dalam


minyak kedelai (a)
BHT (ppm) Kandungan oksigen terlarut (ppm) b)

200 6,48
150 5,95
100 5,00
50 4,50
0 3,95 (kontrol)

a) Min dan wen (1983)


b) Rata–rata kandungan O2 terlarut dalam minyak kedelai setelah penyimpanan
0, 24, 48, 72, 120, 144, 192, dan 240 jam

2.5. Kemasan

Kemasan didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Dari segi komersial


pangan dipandang sebagai teknik di industri dan pemasaran untuk mengemas,
melindungi, untuk identifikasi, serta mempermudah penjualan dan distribusi
produk pertanian, industri dan produk konsumen. The Packaging Institute
International mendefinisikan kemasan sebagai menutup suatu produk, item atau
mengemas dalam kantong pembungkus, kotak, cangkir, baki, kaleng, tube, botol
atau bentuk kontainer lain untuk melaksanakan salah satu atau lebih fungsi berikut
menyimpan, proteksi atau pengawetan, komunikasi dan kegunaan atau kinerjanya.
Jika kontainer berfungsi menurut salah satu atau lebih dari fungsi tersebut maka
dianggap sebagai suatu pengemas (Agoes, 2004).
The UK Institute of Packaging memberikan 3 definisi kemasan : (i) sistem
terkoordinasi dalam pembuatan barang untuk transport, distribusi, pentimpanan,
perdagangan eceran dan penggunaan akhir; (ii) suatu sarana untuk menjamin
sistem penghantaran yang aman kepada konsumen terakhir dalam kondisi yang
baik dengan biaya seminimal mungkin; (iii) suatu fungsi tekno ekonomi dengan
tujuan agar biaya semurah mungkin, dan memaksimalkan perdagangan (atau
dengan kata lain keuntungan). Secara teoritis, kemasan yang ideal adalah apabila
secara kimia inert total, dan memungkinkan bahan makanan mempertahankan
karakteristik aslinya. Dalam kenyataannya jarang sekali bahan pengemas yang
betul–betul inert, beberapa reaksi tidak dapat dihindari atau dicegah tergantung
dari sifat–sifat bahan pengemas dan tipe makanan yang (Agoes, 2004). Menurut
Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 1996 (7/1996) tentang Pangan, bab
Ketentuan Umum Pasal 1 no.10, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan
yang digunakan untuk mewadahi atau membungkus pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak.
Kemasan dapat ditinjau berdasarkan bahan dasar, konstruksi, bentuk dan
fungsinya. Berdasarkan bahannya, kemasan yang semula dari bahan tradisional
(pelepah, kelobot jagung, daun pisang) kini telah banyak berkembang dari bahan–
bahan modern berupa metal baja, alumunium, kaca, karton/kertas, plastik.
Sedangkan berdasarkan konstruksinya, kemasan dapat berupa lapis tunggal (hanya
satu jenis bahan plastik), lapis ganda (dua atau lebih jenis bahan plastik), dan lapis
majemuk (terdiri dari campuran berbagai jenis bahan alumunium–plastik; plastik–
kertas). Berdasarkan bentuknya, kemasan dapat berbentuk kaleng, tube, sachet,
botol, gelas, mangkuk, kotak, karton, karung dan drum (Soekarto et al., 2004).
Beberapa persyaratan untuk kemasan makanan yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut: (i) permeabilitas terhadap udara; (ii) tidak dapat
menyebabkan penyimpangan warna produk; (iii) tidak bereaksi sehingga tidak
merusak bahan maupun cita rasanya, tidak mudah teroksidasi atau bocor; (iv),
tahan panas; (v) mudah dikerjakan; dan (vi) harganya murah (Winarno dan Jenie,
1983). Kerusakan yang terjadi dalam bahan pangan dapat terjadi secara spontan
dan hal ini sering disebabkan oleh pengaruh keadaan dari luar. Pengemasan juga
digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dengan keadaan sekelilingnya
untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu tertentu (Buckle et al.,
1987).
Menurut Syarief dan Irawati (1983), pengemasan pada umumnya bertujuan
untuk menghindari kerusakan yang disebabkan oleh mikroba, fisik, kimia,
biokimia, perpindahan uap air dan gas, sinar UV dan perubahan suhu.
Pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi dan pengawetan bahan
pangan dapat juga mempengaruhi mutu produk antara lain perubahan fisik dan
kimia karena migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan. Selain itu juga perubahan
aroma, warna, dan tekstur yang dipengaruhi uap air dan oksigen (Syarief et al.,
1989). Jenis kemasan yang dapat digunakan untuk makanan berlemak adalah
wadah gelas, kertas, plastik dan kaleng (Ketaren, 1986).

2.5.1. Kemasan Gelas

Gelas adalah padatan amorf dari suatu larutan silika oksida, kalsium,
natrium dan elemen lain. Bahan mentah gelas terutama adalah pasir, soda abu, dan
batu kapur yang dipilih secara hati-hati. Dalam pembuatan wadah gelas, bahan
adonan termasuk pasir, soda abu, batu kapur dan bubuk gelas (yang dimasukan ke
dalam adonan untuk menurunkan titik lebur), diukur jumlahnya secara teliti dan
dipanaskan sampai suhu melebihi 2600°F. Setelah gelas melebur dan dibersihkan,
wadah gelas dibentuk dengan cara memasukan gelas cair kedalam mesin pencetak
dimana pembentukan wadah gelas dimulai. Kemudian dipindahkan kedalam
mesin pencetak terakhir untuk ditiup menjadi bentuk akhir, didinginkan sebentar
dan akhirnya dilepaskan dari mesin (Muchtadi, 1995).
Wadah gelas yang terbentuk disusun pada suatu konveyor yang masuk
kedalam terowongan yang disebut ”Lehr”, dimana gelas tersebut dipanaskan
kembali pada suhu 1200°F, kemudian secara berangsur-angsur didinginkan. Hal
ini dimaksudkan untuk mempertinggi daya tahan gelas. Wadah gelas untuk bahan
pangan dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu : gelas bermulut lebar (wide
mouth) dan gelas bermulut sempit (narrow neck). Wadah gelas bermulut lebar
digunakan untuk produk makanan bayi, susu bubuk, buah-buahan, mentega
kacang, kopi, teh, jam, jelly, acar, mayonais. Sedangkan wadah gelas berleher
sempit digunakan untuk produk-produk seperti kecap, sari buah, sirup, bumbu
cair, saus, cuka (Muchtadi, 1995). Komposisi kimia wadah gelas komersial dapat
dilihat pada Tabel 5.
Gelas merupakan salah satu bentuk kemasan tertua yang banyak digunakan
sebagai pengemas produk pangan. Sebagai bahan kemasan, gelas mempunyai
berbagai sifat yang menguntungkan, seperti sifatnya yang kedap terhadap gas
sehingga bahan kemasan gelas cocok untuk mengemas minuman karbonat, barier
yang baik terhadap benda padat, cair dan gas yang dapat berfungsi sebagai
pelindung terhadap kontaminasi bau dan cita rasa, serta mempunyai sifat tidak
bereaksi (inert) sehingga produk dalam kemasan gelas dapat lebih awet dan tidak
mengalami perubahan cita rasa. Selain memiliki berbagai sifat yang
menguntungkan, kemasan gelas juga mempunyai beberapa kelemahan, seperti
sifatnya yang mudah pecah dan sifatnya yang kurang baik bagi produk-produk
yang peka terhadap penyinaran (ultraviolet) (Muchtadi, 1995).

Tabel 5. Komposisi kimia wadah gelas komersial


Komponen Jumlah (%)
Silika oksida (SiO2) 72,7
Alumunium oksida (Al2O3) 2,0
Besi oksida (FeO) 0,06
Kalsium oksida (CaO) 10,4
Barium oksida (BaO) 0,5
Natrium oksida (NaO) 13,6
Kalium oksida (K2O) 0,4
Belerang oksida (SO3) 0,3
Flour (F2) 0,2
Anonim, (1953).

Permeabilitas gas suatu kemasan merupakan kemampuan gas tersebut untuk


melewatkan suatu gas misalnya oksigen, karbondioksida dan nitrogen. Oksigen
merupakan faktor pemicu terjadinya reaksi oksidasi karena oksigen akan bereaksi
dengan lipid tidak jenuh pada bahan pangan berlemak yang ada dalam kemasan.
Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan terjadinya ketengikan yang akan
mempengaruhi umur simpan bahan pangan. Menurut Syarief et al., (1989)
kemasan gelas kedap terhadap semua gas. Jenis penutup pada kemasan gelas yang
dipakai adalah plastik HDPE yang memiliki permeabilitas gas oksigen sebesar 11
(cc/cm/cm2/cmHg)1011.
Faktor yang cukup menentukan dalam pengemasan botol adalah adanya
ruang udara. Ruang kosong (head space) harus disediakan pada saat setiap botol
diisikan dengan suatu bahan. Ruang udara ini diberikan untuk mengantisipasi
terjadinya pemuaian bahan akibat peningkatan suhu karena proses sterilisasi.
Ukuran dari head space ini diusahakan tidak terlalu besar atau kecil. Bila terlalu
besar maka dapat mengakibatkan akumulasi udara pada ujung botol dan bila
terlalu kecil maka tutup dan ujung botol dapat pecah (Winarno dan Laksmi,
1974). Besarnya head space yang digunakan tergantung dari bahan yang dikemas.
Pada umumnya berkisar antara 3%-5%. Namun untuk produk-produk yang
menghasilkan gas seperti peroksida dan hipoklorit digunakan head space sebesar
10% (Adcock, 1997).

Proses penutupan merupakan bagian yang cukup penting dalam penggunaan


gelas jar. Penutupan yang rapat dapat dihasilkan karena konstruksi leher botol
memiliki ulir dan pengunci yang dapat menahan tutup secara kuat, sedangkan
tutup botol memiliki bibir pengunci yang cocok dengan leher botol tersebut
(Adcock, 1997). Penutupan wadah gelas dalam industri memperhatikan tiga
elemen penting yaitu : (i) bagian finish wadah; (ii) gasket atau lapisan karet yang
membuat penutupan rapat; (iii) tutup wadah yang dapat berupa jenis ”pry off”,
”srew”, ”lug”, ”crimpon” atau ”shaker disc”. Tutup yang terbuat dari logam dapat
berupa kaleng atau alumunium yang dilapisi bahan organik. Tutup yang paling
banyak digunakan dalam pengalengan makanan adalah ”screw cap”. Tutup ini
terbuat dari plastik tertentu dan dilapisi lagi oleh kertas berlapis film tipis yang
terbuat dari plastik tertentu tergantung dari jenis pangan yang akan disimpan
(Muchtadi, 1995).
Kemasan gelas dapat digunakan untuk jenis bahan berasam rendah ataupun
berasam tinggi, sehingga cocok digunakan untuk mengemas sayuran. Perbedaan
suhu di dalam dan di luar kemasan tidak boleh lebih dari 27oC. Oleh karena itu
proses pengemasan terhadap kemasan ini harus dilakukan secara perlahan-lahan
untuk menghindari keretakan (Syarief et al., 1989). Keuntungan menggunakan
kemasan gelas adalah (i) gelas bersifat inert sehingga tidak akan bereaksi dengan
bahan yang dikemas; (ii) gelas bersifat kedap dan tidak berpori; (iii) tidak berbau
dan bersih; (iv) bersifat transparan sehingga memungkinkan produk didalamnya
dapat diperiksa baik oleh konsumen maupun produsen; (v) wadah gelas mudah
dibuka dan ditutup kembali dan wadah bekasnya dapat digunakan kembali; (vi)
wadah gelas dapat dibuat dalam berbagai bentuk, ukuran dan warna. Kelemahan
utama wadah gelas adalah sifat yang mudah pecah (Muchtadi, 1995).
2.5.2. Kemasan Plastik

Penggunaan plastik sebagai bahan kemasan dapat berupa kemas bentuk


(fleksibel) atau sebagai bahan kemas baku. Makanan padat umumnya memiliki
umur simpan pendek atau makanan yang tidak memiliki perlindungan yang hebat
dibungkus dengan kemas bentuk. Akan tetapi, makanan cair dan makanan padat
yang memerlukan perlindungan yang kuat perlu dikemas dengan wadah kaku
dalam bentuk botol, jerigen, kotak atau bentuk lainnya (Syarief et al., 1989).
Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan
dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan,
transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2 dan O2
(Winarno, 1987). Kelemahan bahan kemasan plastik adalah adanya zat–zat
monomer dan molekul kecil lain yang terkandung dalam plastik yang dapat
melakukan migrasi ke bahan makanan terkemas (Winarno, 1994).
Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran
plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting
bahan kemasan yang digunakan meliputi pemeabilitas gas dan uap air, bentuk dan
permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan
mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan
yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987).
Plastik adalah senyawa polimer dari turunan-turunan monomer hidrokarbon
yang membentuk molekul-molekul dengan rantai panjang dari reaksi polimerisasi
adisi atau polimerisasi kondensasi. Sifat-sifat plastik sangat tergantung jumlah
molekul dan susunan atom molekul. Plastik dalam bentuk produk akhir terdiri dari
polimer murni dan unsur-unsur lain seperti bahan pengisi (filler), pigmen,
stabilisator, dan bahan pelunak (Harper, 1975). Dalam plastik juga terkandung
beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat–sifat fisiko kimia
plastik. Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen non plastik
yang berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul
rendah. Bahan aditif tersebut dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan,
penyerap sinar UV, antilekat dan masih banyak lagi (Winarno, 1994).
Jenis plastik lain yang digunakan dalam pengemasan sop daun Torbagun ini
adalah Crystallized Polyethylene Terephthalat (CPET). CPET merupakan plastik
dengan ketahanan panas yang baik, yaitu berkisar antara 200-225oC. Plastik ini
kuat, kaku, namun bersifat rapuh, sehingga harus ditambahkan bahan aditif
tertentu. CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu
sifat penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk
berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas
dengan teknik hot filling atau teknik pengemasan biasa. Sifat fisik CPET jika
dibandingkan dengan bahan lain tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Perbandingan sifat bahan kemasan microwavable

Material Temperatur Ketahanan terhadap Kemampuan Dual


maksimum keliman panas ovenability
Oksigen Uap lemak
(oC) (heat seal)
air
CPET 220 +++ ++ +++ ++ √
PP 110 + +++ +++ +++ -
PS 80 +++ ++ +++ + -
LDPE 75 + +++ ++ +++ -
Keterangan : +++ : Baik - : Ya
++ : Sedang √ : Tidak
+ : Buruk
(Anantheswaran, 2001)

2.5.3. Kemasan Kaleng

Pelat kaleng merupakan bahan baku yang ideal untuk digunakan sebagai
wadah makanan. Kaleng dibuat dari pelat baja yang mengandung timah yang tipis.
Kaleng yang sekarang banyak digunakan untuk pengalengan makanan
mengandung kurang dari 25% timah. Dalam makanan kaleng yang tertutup
hermetis, korosi wadah merupakan suatu proses yang terjadi bertahap. Baja yang
digunakan untuk membuat kaleng makanan mengandung kadar karbon yang
rendah. Penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan faktor
penting untuk memperoleh umur pakai yang memadai bagi bahan pangan yang
korosif. Kadar fosfor dan silika sangat menentukan, tetapi kadar mineral lain
seperti tembaga , nikel dan molibdat dapat juga mempengaruhi daya tahan kaleng
terhadap korosi (Muchtadi, 1995).
Kemasan kaleng baik bagian luar maupun bagian dalamnya harus
memenuhi beberapa persyaratan daya tahan korosi. Korosi oleh suatu produk
disebabkan adanya hubungan atau kontak langsung antara produk dan permukaan
kaleng serta cara pengalengan. Keadaan korosi dapat disebabkan oleh dua faktor
utama yaitu detinning, berupa terkelupasnya atau hilangnya lapisan timah putih
sehingga terjadi evolusi hidrogen dan kebocoran atau perforasi, serta terjadinya
reaksi kimia produk dengan bahan kaleng (Muchtadi, 1995).
Karatan adalah pembentukan lapisan longgar dari feroksida yang berwarna
merah kecoklatan sebagai hasil proses korosi produk pada permukaan dalam
kaleng. Pembentukkan karat membutuhkan banyak oksigen, oleh karena itu karat
terjadi biasanya pada bagian head space. Proses korosi dapat terus berlangsung
sehingga menimbulkan lubang dan mengakibatkan kebocoran kaleng. Adanya dan
terjadinya karat kadang-kadang tidak nampak karena mungkin saja bagian yang
berkarat sudah jatuh membaur ke dalam produk (Muchtadi, 1995).
Spesifikasi kaleng ditentukan oleh dua kebutuhan yaitu : (i) kebutuhan akan
kekuatan yang dimiliki wadah; (ii) daya simpan yang dimiliki oleh produk dalam
kaleng. Kebutuhan akan kekuatan kaleng perlu disesuaikan dengan beberapa hal
yaitu kecepatan jalur pengolahan keadaan dan kondisi alat penutup kaleng,
kevakuman yang banyak mempengaruhi pendinginan dengan tekanan (pressure
cooling), serta cara penanganan pasca proses. Sedangkan kebutuhan terhadap daya
simpan isi kaleng ditentukan oleh daya korosif produk, lapisan timah putih, sifat
basic-steelnya, plate surface treatment dan jenis organic coating (Winarno, 1994).
Pada industri pembuatan wadah, wadah kaleng diproduksi secara mekanis
dengan kecepatan tinggi. Pertama dilakukan pelapisan enamel pada bagian dalam,
setelah itu pelat kaleng dipotong-potong berdasarkan ukuran tertentu untuk
pembuatan badan kaleng. Potongan kaleng ini kemudian dimasukkan kedalam alat
pembentuk badan kaleng dimana bagian-bagian sambungan akan saling
mengunci. Sambungan ini diratakan dengan cara dipress kemudian disolder
hingga membentuk kerangka silindris. Langkah berikutnya adalah pelekukan
badan kaleng bagian atas dan bawah yang nantinya berguna untuk menempelkan
tutup kaleng. Tutup kaleng dibuat dari pelat kaleng yang dilapisi enamel yang
dipotong membentuk lingkaran kemudian ditekuk sambil dipres. Pada bagian
tutup kaleng terbentuk alur pada sisi yang ditekuk untuk diberi gasket. Gasket ini
akan memberikan penutupan yang hermetis (Muchtadi, 1995).
Keuntungan menggunakan wadah kaleng adalah (i) dapat menjaga bahan
pangan yang ada didalamnya karena wadah ditutup secara hermetis dan terjaga
dari kontaminasi mikroba yang dapat membuat kebusukan atau penyimpangan
penampakan dan citarasa; (ii) kaleng juga dapat menjaga bahan pangan terhadap
perubahan kadar air yang tidak diinginkan; (iii) kaleng dapat menjaga bahan
pangan terhadap penyerapan oksigen, gas lain, bau-bauan dan dari partikel
radioaktif yang terdapat di atmosfer; (iv) untuk beberapa bahan pangan berwarna
yang peka terhadap reaksi fotokimia, kaleng dapat menjaga bahan tersebut
terhadap cahaya (Muchtadi, 1995).

2.6. Umur Simpan

Hine (1997), menyatakan bahwa istilah umur simpan mengandung


pengertian tentang waktu antara saat produk mulai dikemas sampai dengan mutu
produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ellis (1994), mengemukakan
bahwa pengetahuan akan umur simpan pada produk pangan sangatlah penting.
Termasuk pula pada penanganan akan bahan pangan tersebut. Hal ini berarti
pertumbuhan, pemasok bahan–bahan tambahan, produsen, seluruh penjual, retail,
dan konsumen termasuk didalamnya. Umur simpan pada produk pangan dapat
diartikan sebagai waktu antara produksi dan pengemasan produk dengan waktu
saat produk mencapai titik tertentu yang tidak dapat diterima dibawah kondisi
lingkungan tertentu.
Arpah (2001), menyatakan bahwa penyimpangan mutu produk dari mutu
awalnya disebut sebagai deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera
setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dari persinggungan produk dengan
udara, oksigen, uap air, cahaya atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat juga
diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi. Reaksi
deteriorasi pada produk pangan juga dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
ataupun ekstrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi didalam produk berupa
reaksi kimia, enzimatis, atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan
uap air atau gas dari lingkungan. Hal ini akan menyebabkan perubahan–perubahan
terhadap produk yang meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan
fisik, nilai gizi, maupun mikrobiologis.
Faktor–faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan dikemas
adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air, oksigen dan kemungkinan terjadinya
perubahan kimia internal dan fisik. Selain itu ukuran kemasan dalam
hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban
dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, serta
kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau termasuk
perekatan, penutupan dan bagian–bagian yang terlipat (Labuza, 1982). Floros
(1993) menyatakan umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian
ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi
penyimpanan produk pangan yaitu dengan Ekstended Storage Studies (ESS) dan
Accelerated Storage Studies (ASS). ESS sering juga disebut sebagai metode
konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu
seri produk pada kondisi normal sehari–hari dan dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Pendugaan umur
simpan produk dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi
perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan metode Arrhenius. Metode
ini merupakan pendugaan umur simpan dengan menggunakan metode simulasi.
Menganalisa penurunan mutu dengan metode simulasi ini diperlukan beberapa
pengamatan yaitu harus ada parameter yang diukur secara kuantitatif dan
parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu yang akan terjadi pada
kondisi ini (Syarif dan Halid, 1993). Dalam penentuan umur simpan, metode
Arrhenius sangat baik untuk diterapkan dalam penyimpanan produk pada suhu
penyimpanan relatif stabil dari waktu ke waktu. Selanjutnya laju penurunan mutu
ditentukan dengan persamaan Arrhenius (Arpah, 2001) berdasarkan :

-Ea/RT
K = Ko. e

dimana :
K = konstanta penurunan mutu
Ko = Konstanta (tidak tergantung pada suhu)
Ea = Energi aktivasi (kal/mol)
T = Suhu mutlak (K)
R = Konstanta gas (1,986 kal/mol K)

Interpretasi Ea (energi aktivasi) dapat memberikan gambaran mengenai


besarnya pengaruh temperatur terhadap reaksi. Nilai Ea diperoleh dari slope grafik
garis lurus hubungan ln K dengan (1/T). Dengan demikian, energi aktivasi yang
besar mempunyai arti bahwa nilai ln K berubah cukup besar dengan hanya
perubahan beberapa derajat dari temperatur. Dengan demikian, nilai slope akan
besar (Arpah, 2001). Nilai energi aktivasi dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
(i) Kecil (Ea 2-15 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan karena kerusakan
karotenoid, klorofil, atau oksidasi asam lemak
(ii) Sedang (Ea 15-30 kkal/mol), kerusakan produk diakibatkan kerusakan
vitamin, kerusakan pigmen yang larut air dan reaksi mailard
(iii) Besar (Ea 50-100 kkal.mol), kerusakan produk diakibatkan karena denaturasi
enzim, inaktivasi mikroba dan sporanya
Asumsi yang digunakan dalam pendugaan umur simpan metode Arrhenius
adalah:
(i) Perubahan faktor mutu yang hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja
(ii) Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu
(iii) Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat proses–proses
yang terjadi sebelumnya
(iv) Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap

2.7. Migrasi

Dalam terminologi pengemasan pangan, migrasi digunakan untuk


menggambarkan perpindahan bahan (substansi) dari kemasan (biasanya bahan
plastik) kedalam bahan makanan. Bahan yang berpindah ke makanan sebagai
akibat kontak atau interaksi antara makanan dan bahan kemasan biasa disebut
migran dan biasanya terdiri dari monomer–monomer reaktan residual (sisa) dan
bahan yang ditambahkan selama pengolahan (Syarif dan Halid, 1993).
Migrasi adalah proses dua arah, karena komponen makanan dapat juga
berpenetrasi (masuk) kedalam plastik. Biasanya dibuat pembedaan terhadap
migrasi global (menyeluruh) dengan migrasi khusus (spesifik). Migrasi global
atau total adalah jumlah keseluruhan (unsur–unsurnya tidak diketahui secara pasti)
komponen kemasan yang bersifat mudah bergerak (mobil) kedalam makanan,
sedangkan migrasi spesifik ditujukan terhadap satu atau dua komponen penyusun
kemasan yang telah diketahui. Dengan demikian migrasi global adalah jumlah
keseluruhan komponen yang berpindah ke dalam makanan dengan atau
memperhatikan sifat–sifat racun atau juga aspek bahaya lain dari segi fisiologi.
Konsep migrasi global meniadakan perlunya identifikasi dari setiap migran,
karena bahan pangan merupakan gabungan berbagai unsur (komponen) yang
dapat menyulitkan dalam pendekatan aspek matematika dalam migrasi (Syarif dan
Halid, 1993).
Tujuan pengujian migrasi adalah untuk menjamin keamanan pangan dan
melindungi konsumen dengan mengontrol komponen yang tidak diinginkan
memasuki bahan pangan. Banyak faktor yang mempengaruhi migrasi bahan
kemasan, diantaranya kandungan alami dari bahan pangan itu sendiri seperti
lemak, kandungan alkohol, Aw, keasaman dan sebagainya. Waktu dan suhu
penyinaran cahaya merupakan salah satu faktor yang penting. Faktor–faktor ini
tergantung pada struktur polymer itu sendiri (bobot molekul dan distribusinya),
derajat kristalinitas, Bentuk geometris dari kemasan seperti ketebalan, ratio luas
permukaan dan volumenya (Ashby, 1988; Sutless dan Marshal, 1993).
Migrasi atau kemampuan untuk mengekstrak dengan tujuan untuk
memperkirakan kontaminasi yang mungkin terjadi pada makanan dan resikonya
bagi konsumen. Kemampuan untuk mengekstraksi digunakan untuk
mendefinisikan pemindahan komponen plastik ke dalam makanan, terlepas dari
bagaimana mekanisme difusi, pelepasan atau kombinasi keduanya. Pada
prinsipnya kemampuan untuk mengekstraksi komponen plastik oleh bahan
makanan dapat ditentukan dengan menempatkan plastik (yang diketahui luas
permukaannya) kedalam keadaan kontak dengan makanan dibawah kondisi suhu
dan waktu tertentu (Syarief et al., 1989).
Pada prinsipnya penentuan migrasi total pada bahan kemasan adalah
sederhana. Contoh bahan yang diuji diketahui luas permukaannya ditempatkan
dan kontak dengan makanan pengganti (food simulant) dibawah kondisi
temperatur dan waktu tertentu. Akhir pengujian simulant diuapkan dan sisanya
yang kering ditimbang. Hasilnya dinyatakan sebagai mg residu/dm2 luas
permukaan bahan kemasan yang kontak dengan simulant. Migrasi dari bahan yang
potensial toksik dari bahan pengemas ke dalam pangan yang dikemas, merupakan
masalah utama dalam pemilihan dan seleksi bahan plastik untuk pengemasan
pangan. Bagaimanapun juga, migrasi komponen dari pengemas ke dalam pangan
terjadi juga pada bahan pengemas lain (Agoes, 2004).
Faktor–faktor yang mempengaruhi migrasi bahan kimia antara lain : (i)
jenis dan konsentrasi bahan kimia yang terkandung dalam kemasan; (ii) Sifat
alamiah pangan disertai kondisi saat terjadinya kontak (suhu dan durasi kontak);
(iii) Sifat intrinsik bahan kemasan itu sendiri, jika berinteraksi kuat dengan bahan
makanan, dapat terjadi migrasi kuat dengan proses leaching, sebaliknya bahan
inert dengan daya difusi rendah sulit bermigrasi. Potensi migrasi meningkat
seiring dengan meningkatnya durasi kontak, meningkatnya suhu kontak, tinggi
konsentrasi komponen aditif dalam kemasan, meningkatnya frekuensi kontak dan
adanya bahan makanan yang reaktif. Potensi migrasi dapat rendah bila bahan
kemasan memiliki bobot molekul yang tinggi, hanya terjadi kontak tidak
langsung, daya difusi bahan kemasan rendah (inert), adanya lapisan pembatas
yang inert (Budiawan, 2004).
Migrasi adalah proses pemindahan dua arah yang akan terus berlangsung
hingga potensi kimia dari bahan sama dengan potensi kimia yang terdapat pada
kemasan. Proses migrasi bahan makanan ke dalam kemasan tergantung dari
gerakan acak rantai polimer bahan kemasan plastik yang digunakan. Bahan
makanan dapat bersifat seperti plasticiser saat kontak dengan bahan kemasan
plastik, dengan demikian dapat meningkatkan perubahan bentuk dari rantai
molekul plastik (Crosby, 1981).
Model dasar interaksi yang dipertimbangkan diantara tiga komponen migrasi
adalah makanan, plastik dan lingkungan, dimana plastik pada umumnya terletak
antara makanan dan lingkungan. Dalam wadah tertutup, makanan umumnya
terisolasi dari lingkungannya meskipun tidak semua plastik kedap terhadap gas.
Oleh karena itu kontaminasi mungkin terjadi dan dalam arah sebaliknya mungkin
terjadi kehilangan aroma (volatil) dari makanan. Migrasi dianggap hanya
merupakan interaksi diantara plastik dan bahan makanan dimana lingkungan tidak
memberikan pengaruh berarti (Syarief et al., 1989).
Briston dan Katan (1974) dan Knibe (1971) telah mengidentifikasikan tiga
kelas migrasi yang berbeda yaitu :
(i) Kelas 1 : tidak terjadi migrasi
Makanan keras dan kering tertentu yang dikemas dalam
wadah inert misalnya buah atau sayur keras, gula dan
garam.
(ii) Kelas 2 : migrasi bebas, yaitu yang tidak ditentukan oleh makanan
Ditunjukkan oleh difusi komponen – komponen gas
misalnya : VCM dari plastik dalam makanan.
(iii) Kelas 3: migrasi yang dipengaruhi oleh makanan, misalnya dengan
cara leaching (pelepasan) yaitu migrasi yang diabaikan
tanpa ada makanan. Makanan berpenetrasi dalam plastik
sehingga merusak struktur fisik dan mengubah fase batas
diantara makanan dan plastik, plastik menjadi
mengembang.

2.7.1. Food Simulant

Makanan terdiri dari campuran yang kompleks dari air, lemak, protein dan
karbohidrat juga sedikit mengandung unsur pokok seperti vitamin–vitamin,
mineral dan komponen sintetis yang ditambahkan selama proses misalnya
pewarna, antioksidan, pengawet, stabiliser, flavor dan lain–lain (Crosby, 1981).
Komposisi yang kompleks dari tiap jenis bahan makanan ini membutuhkan
penyederhanaan dalam pengujian migrasi total. Karena alasan itu, maka
dibutuhkan pendekatan dengan menggunakan beberapa jenis food simulant yang
memiliki kemampuan ekstraksi yang baik dibandingkan dengan bahan makanan.
Bahan kemasan dan kondisi lingkungan diasumsikan berada dalam kondisi
konstan (Ashby et al., 1992).
Menurut peraturan tentang makanan dan kemasan Eropa (European Standard
EN 1186-1,1999), food simulant yang digunakan dalam perhitungan migrasi
antara lain : (i) air distilasi (simulant A); (ii) 3 % (v/v) asam asetat dalam air
(simulant B); (iii) 15 % (v/v) alkohol dalam air (simulant C); (iv) olive oil,
minyak biji matahari, atau sintetik fat simulant HB 307 (simulant D). Setiap food
simulant mewakili tiap jenis makanan.
Air distilasi digunakan untuk mengganti kemampuan ekstraksi dari makanan
dengan pH 5 dan diatasnya. Makanan yang asam dengan pH<5 seperti vinegar,
pikel, dan jus buah biasanya diwakili oleh larutan asam asetat. Konsentrasi yang
direkomendasikan bervariasi antara 2–5% tetapi tidak menjadi faktor kritis.
Konsentrasi etanol yang digunakan untuk mencampur bervariasi 5% untuk bir dan
cider, 15% untuk anggur dan 50% untuk sprits (aki). Pemilihan food simulant
pengganti makanan berlemak lebih sulit (Crosby, 1981).
Minyak mungkin merupakan subtitusi yang baik untuk bahan makanan yang
berlemak, namun penghitungan migrasi total dengan menggunakan minyak
sangatlah sulit dan membutuhkan kemampuan analis yang baik. Dengan alasan
tersebut, percobaan migrasi dilaksanakan dengan menggunakan media yang
mudah menguap yang bersifat non polar, n-heptana or iso-oktana atau bahan polar
seperti iso propanol, atau etanol yang biasa disebut alternatif fatty food simulant
(Baner et al., 1996). Pelarut ini menunjukkan interaksi yang sama dengan
makanan yang mengandung lemak tapi lebih mudah diuapkan. Dalam beberapa
penelitian disarankan untuk menggunakan iso–oktana dan 95% (v/v) atau etanol
cair sebagai food simulant untuk makanan berlemak (European Standard EN
1186-1, 1999).

2.7.2. Legislasi

Regulasi yang diterapkan pada berbagai negara tentang interaksi antara


bahan makanan dan kemasan berbeda-beda. Regulasi European Union (EU) dan
US Food and Drug Administration (FDA) yang digunakan sebagai standar
berbagai negara didunia. Cara efektif untuk mengontrol penggunaan bahan
kemasan yang tepat adalah dengan mengatur batas migrasi. European Union (EU)
mengatur batas migrasi total dan migrasi spesifik terhadap bahan kemasan yang
bersifat racun. Migrasi total mengatur batas maksimum migrasi bahan kemasan
terhadap bahan makanan atau food simulant.
European Union telah membuat suatu Corrigendum terhadap Commision
Directive 90/128/EEC yang diamanandemen menjadi Commision Directive
92/39/EEC, 93/9/EEC, 95/3/EEC, 96/11/EEC, 99/91/EEC, 2001/62/EC,
2002/17/EC yang mengatur “A-list” yang diterima sebagai monomer dan
penambahan zat pengawet yang yang diijinkan pada perhitungan spesifik migrasi
dan total migrasi (Commission Directive, 1990; 1992; 1993; 1995; 1996; 1999;
2001; 2002).
Perhitungan migrasi total pada regulasi negara eropa didasarkan pada data
penggunaan bahan kemasan yang bersifat racun. Peraturan ini dibuat dengan
asumsi rata-rata berat badan orang 60 kg dan mengkonsumsi 1 kg makanan (padat
dan cair) yang dikemas dengan plastik setiap harinya. Lebih lanjut diasumsikan
pula bahwa komposisi makanan yang dikonsumsi dikontrol. Perbandingan luas
permukaan dan volume bahan kemasan yang kontak dengan bahan pangan adalah
6 dm2/l atau 6 dm2/kg makanan. Batas migrasi dihitung dengan satuan mg
kontaminan/kg makanan (food simulant). Perhitungan migrasi dilakukan dengan
mengalikan acceptable daily intake (ADI) atau makanan yang dikonsumsi setiap
hari dengan 60 dan dinyatakan dengan satuan mg kontaminan/kg berat badan/hari.
Perhitungan migrasi dapat pula dihitung berdasarkan total makanan yang
dikonsumsi dikalikan dengan 60 dan dinyatakan dalam satuan mg kontaminan/ kg
makanan/hari. European Union telah menentukan jumlah maksimum bahan yang
bermigrasi sebesar 10 mg migran/dm2 luas permukaan bahan kemasan atau 60
mg migran/kg makanan (food simulant) yang setara dengan 1 mg makanan yang
dikonsumsi oleh orang dewasa dengan berat badan 60 kg per harinya (artikel 2,
commission Directive 90/128/EEC, 1990).
FDA menentukan konsentrasi bahan kemasan yang bermigrasi dari kemasan
plastik pada 0,5 µg/kg (Thorsheim dan Armstrong, 1993; Begley dan Hollifield,
1993; Bayer, 1997; Begley, 1997). Konsentrasi ini didasarkan pada asumsi bahwa
100% kontaminan bermigrasi terhadap makanan. Banyak ilmuwan setuju bahwa
1,0 µg/kg adalah jumlah yang sesuai untuk melindungi tingkat keamanan
konsumen (Thorsheim dan Armstrong, 1993; Bayer, 1997).
III. METODOLOGI

3.1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun yaitu daun
Torbangun segar yang diambil dari kebun budidaya di daerah Cijeruk, santan
segar, bumbu masak seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, lengkuas,
merica, jahe, kunyit, jeruk nipis, sereh, dan garam. Buthylated hidroksi Toluen
(BHT) yang digunakan sebagai antioksidan dibeli dari toko kimia Setia Guna.
Bahan–bahan kimia yang digunakan untuk keperluan analisa antara lain aquadest,
NaOH 0,01 N, asam asetat glasial, HCl 0,1 N, pereaksi TBA, NaCl, dan Plate
Count Agar.
Alat–alat yang digunakan dalam pembuatan sop daun Torbangun adalah
heater, canning line, exhaust box, retort, dan sealer. Alat yang digunakan untuk
keperluan analisa sop daun Torbangun antara lain gelas piala, erlenmeyer, buret,
stirrer, magnetic stirrer, pH meter, clean bench, blender, cawan Petri, tabung
pengencer, spektrofotometer , dan alat distilasi.
Bahan–bahan yang digunakan untuk pembuatan food simulant migrasi total
antara lain aquadest, asam asetat 3 %, alkohol 15 %, dan alkohol 95 %. Alat yang
digunakan dalam analisa migrasi total antara lain, bahan kemasan, hot plate, water
bath, cawan evaporasi, oven 105°C dan inkubator.
Kemasan yang digunakan pada penelitian ini yaitu kemasan gelas yang
dibeli dari toko kimia Frisconina Bogor, kemasan plastic microwavable yang
dibeli di toko Aneka Plastik Pasar Anyar, kemasan kaleng, plastik segel LDPE
dan shrinkable heat yang dibeli dari Toko Kimia Panca Kimia Bogor.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei hingga September


2007. Produksi sop daun Torbangun dilakukan di Laboratorium Pilot Plan
SEAFAST. Skema pengalengan produk dapat dilihat pada Lampiran 3 . Kegiatan
penyimpanan sampel dan analisa mutu dilakukan di Laboratorium Pengemasan,
Laboratorium Pengawasan Mutu, Laboratorium DIT, Laboratorium Teknik Kimia
serta Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1. Pembuatan Sop Daun Torbangun

Tahapan pembuatan sop daun Torbangun adalah sebagai berikut: daun


Torbangun disortasi dan dipisahkan dari tangkai, kemudian ditimbang, dan dicuci
menggunakan garam (agar cepat layu). Daun diremas–remas dengan
menggunakan garam dan diperas untuk mengurangi bau langu dan cairan hitam
dari daun, kemudian ditiriskan. Bumbu-bumbu dibersihkan kemudian ditimbang
dan dicuci. Kemiri dan kunyit disangrai atau dibakar terlebih dahulu selama
beberapa menit sebelum dihaluskan. Bumbu-bumbu dihaluskan dan selanjutnya
campuran santan-bumbu dimasak sambil terus diaduk, masukkan daun sereh yang
telah ditumbuk lalu tambahkan BHT sebagai antioksidan. Setelah santan
mendidih, daun Torbangun dimasukkan dan campuran dimasak kembali sampai
mendidih. Setelah mendidih kemudian diangkat dan dibubuhkan air perasan jeruk
nipis. Resep pembuatan sop daun Torbangun disajikan pada Tabel 7 dan
selanjutnya diagram alir pembuatan sop ini digambarkan seperti Gambar 3.

Tabel 7. Resep sop daun Torbangun


BAHAN JUMLAH
Daun Torbangun segar 250 gram berat
Santan 575 ml (dari ½ butir kelapa)
Bawang merah 15 gram (2 siung besar)
Bawang putih 10 gram (2 siung kecil)
Kemiri 6 gram (2 butir besar)
Garam ½ sdm
Merica 4 butir
Sereh 1 tangkai
Air jeruk nipis 2 sdm
Jahe Secukupnya
Kunyit Seujung jari kelingking
Lengkuas Seujung jari kelingking
BHT 200 ppm
Keterangan : Total berat formula satu resep : ± 725 gram
Gambar 3. Diagram alir pembuatan sop daun Torbangun

3.3.2. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui perkiraan lama


penyimpanan produk yang selanjutnya digunakan untuk keperluan penelitian
utama. Produk disimpan hingga rusak. Penurunan mutu ini dapat disebabkan oleh
faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang selanjutnya memicu reaksi di dalam
produk. Reaksi tersebut meliputi kimia, enzim, dan fisik dalam bentuk penyerapan
uap air atau gas dari lingkungan. Hal ini akan menyebabkan perubahan produk
meliputi perubahan tekstur, flavour, warna, penampakan fisik, nilai gizi dan
mikrobiologis.
Dalam melakukan penelitian pendahuluan ini, penurunan mutu produk
hanya diuji secara organoleptik dengan uji hedonik. Parameter organoleptik yang
diamati meliputi aroma, tekstur, kekentalan, warna dan penerimaan umum.
Perlakuan suhu penyimpanan yaitu suhu refrigerator (5-8°C), (10–12°C) dan suhu
ruang (27-30°C). Diagram alir penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 4
Penilaian penyimpangan mutu dilakukan dengan menggunakan panelis sejumlah
3 – 5 orang. Form uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 4. Diagram alir penelitian pendahuluan


3.3.3. Penelitian Utama

Penelitian utama terbagi menjadi dua yaitu pendugaan umur simpan dan
perhitungan migrasi total kemasan.

3.3.3.1. Umur Simpan

Umur simpan produk pangan dapat diduga dengan menggunakan dua


konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies
(ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode ESS. ESS sering juga disebut sebagai metode
konvensional adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan jalan menyimpan suatu
seri produk pada kondisi normal sehari–hari dan dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutu hingga mencapai tingkat kadaluarsa. Pendugaan umur simpan
produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi
perubahan yang tidak dapat lagi diterima oleh konsumen.
Dalam penelitian ini produk dikemas dalam tiga kemasan berbeda (gelas,
kaleng, CPET) lalu disimpan dalam refrigerator (suhu 5-8°C, suhu 10–12°C) dan
suhu ruang (27-30°C). Kemudian dilakukan uji mutu produk selama penyimpanan
meliputi pH, TAT, TBA, uji mikrobiologis (TPC) dan uji organoleptik (aroma,
tekstur, kekentalan, dan warna). Diagram alir penelitian utama umur simpan
disajikan pada Gambar 5.
Penambahan Pembuatan Sop Daun
Antioksidan Torbangun

Dikemas

Gelas CPET Kaleng

Pasteurisasi
75°C selama 20 menit.

Penyimpanan

Suhu Suhu Suhu


5-8°C 10-12°C 27-30°C

Pendugaan umur
simpan

Gambar 5. Diagram alir penelitian utama umur simpan

3.3.3.2. Migrasi Total

Perhitungan migrasi total dilakukan dengan menggunakan metode total


immersion. Bersihkan kemasan dari debu dengan menggunakan kain lap bebas
debu. Masukkan food simulant kedalam masing–masing kemasan yang telah
dibersihkan. Untuk mencegah hilangnya food simulant karena penguapan, tutup
kemasan berisi food simulant dengan alumunium foil dan rekatkan dengan
parafilm. Level food simulant ditandai untuk verifikasi. Pengujian migrasi total
dilakukan 2 kali pengulangan untuk masing-masing food simulant dan kemasan
selanjutnya diinkubasi berdasarkan waktu dan temperatur yang disajikan pada
Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8. Kondisi (temperatur dan waktu) pengujian migrasi total


Temperatur
Food Simulant Deskripsi Waktu/jam
/oC

A Air destilata 240 40


B 3% (v/v) asam asetat dalam air 240 40
C 15% (v/v) alkohol dalam air 240 40
D 95% (v/v) alkohol dalam air 48 40

Di akhir pengujian semua food simulant dituangkan ke dalam cawan


evaporasi dan diuapkan dengan menggunakan hot plate. Kemasan dibilas dengan
10 ml food simulant dan dituangkan kembali ke dalam cawan evaporasi masing-
masing. Diagram alir pengujian migrasi total dapat dilihat pada gambar 6
dibawah. Selama evaporasi, temperatur penguapan dijaga di bawah titik didih
food simulant untuk menghindari kehilangan food simulant karena ”splashing”.
Ketika hampir seluruh food simulant menguap, cawan dipanaskan dalam oven
pada suhu 105 ± 5oC selama 2 jam dan timbang sampai diperoleh massa yang
sama. Migrasi total dihitung dengan rumus sebagai berikut :

ma
Mt =
S

Dimana :
Mt : migrasi total (mg dm-2)
ma : massa residu (mg)
S : luas permukaan kemasan (dm-2)
Gambar 6. Diagram alir pengujian migrasi total.

3.4. Analisa Mutu

Analisa mutu yang dilakukan pada penelitian utama pendugaan umur


simpan meliputi total asam tertitrasi (TAT), pH, Uji mikrobiologis total plate
count (TPC), dan uji ketengikan Thiobarbituric Acid (TBA). Prosedur analisa
mutu disajikan pada Lampiran 1.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sop daun Torbangun merupakan pangan fungsional masyarakat Sumatera


Utara yang memiliki banyak khasiat, terutama berfungsi untuk melancarkan
produksi ASI wanita yang sedang menyusui. Sop ini sangat bergizi dan berpotensi
untuk dipasarkan, agar manfaatnya dapat dinikmati pula oleh masyarakat luas.
Kajian tentang umur simpan produk penting untuk melepaskan produk ini ke
pasaran. Keamanan konsumen dalam mengkonsumsi produk sop daun Torbangun
yang dikemas dalam berbagai kemasan ini perlu dikaji, seperti potensi migrasi
dari kemasan yang berkaitan erat dengan keamanan pangan.
Kajian tentang penurunan mutu selama penyimpanan berkaitan dengan umur
simpan produk. Penelitian ini dimulai dengan memperkirakan lama penyimpanan
produk sop daun torbangan dalam tiga kemasan dengan melakukan penilaian
mutu secara visual menggunakan uji hedonik. Kemasan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kemasan gelas, CPET dan kemasan kaleng. Produk sop daun
Torbangun dibuat dengan formulasi tertentu, lalu ditambahkan antioksidan
kemudian disimpan dengan suhu penyimpanan 5-8°C , 10-12°C dan suhu ruang.
Pemilihan suhu berdasarkan pendekatan penyimpanan produk oleh penjual dan
oleh konsumen sebelum produk tersebut dikonsumsi.

4.1. Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan uji hedonik untuk mengetahui


penerimaan konsumen terhadap produk. Uji hedonik adalah uji penerimaan
konsumen, dimana panelis diminta untuk memberikan tanggapan secara pribadi
tentang kesukaan atau ketidaksukaannya pada produk. Parameter yang dinilai
antara lain aroma, tekstur, kekentalan, warna dan penerimaan secara umum.

Setelah dilakukan penilaian mutu secara visual selama 20 hari, panelis mulai
memberikan skor yang rendah sehingga dapat diperkirakan lama penyimpanan
produk selama 20 hari. Hasil ini digunakan untuk penyimpanan produk pada
penelitian utama. Grafik penurunan nilai skor hedonik yang diberikan panelis
pada parameter aroma, tekstur, kekentalan, warna, dan penerimaan umum secara
berturut-turut disajikan pada Gambar 6, 7, 8, 9 dan 10 di bawah ini. Hasil
selengkapnya uji pendahuluan sop daun Torbangun secara organoleptik dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Hasil penilaian panelis pada uji hedonik kemudian diregresikan secara linier
sehingga terlihat kecenderungan penurunan nilai parameter uji terhadap produk.
Produk yang dikemas pada kemasan gelas disimpan selama 20 hari penyimpanan
dan dilakukan analisa setiap hari. Produk yang dikemas pada kemasan CPET juga
dilakukan penyimpanan selama 20 hari dan dilakukan analisa untuk mengetahui
penurunan mutu produk setiap hari. Kemasan kaleng tidak menunjukkan
perubahan yang drastis dan penyimpanan dilakukan selama 22 hari.

7
Gelas Suhu 5-8°C
Nilai hedonik terhadap aroma

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 6. Penurunan nilai hedonik pada parameter aroma


Nilai hedonik terhadap tekstur

7 Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 7. Penurunan nilai hedonik pada parameter tekstur


7
Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C


Nilai hedonik terhadap
Gelas Suhu Ruang
kekentalan
5
CPETSuh 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 8. Penurunan nilai hedonik pada parameter kekentalan

7
Nilai hedonik terhadap warna

Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


5 CPET Suhu 5-8°C

CPET Suhu 10-12°C


4
CPET Suhu Ruang
3 Kaleng Suhu 5-8°C

Kaleng Suhu 10-12°C


2
Kaleng Suhu Ruang
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 9. Penurunan nilai hedonik pada parameter warna

7
Gelas Suhu 5-8°C
Nilai hedonik terhadap

6 Gelas Suhu 10-12°C


penerimaan umum

Gelas Suhu Ruang


5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 10. Penurunan nilai hedonik pada parameter penerimaan umum


4.2. Penelitian Utama

Pada penelitian utama dilakukan analisa penurunan mutu secara kimia dan
mikrobiologis. Analisa penurunan mutu dilakukan terhadap produk selama
penyimpanan sampai produk mulai rusak. Analisa mutu yang dilakukan pada
penelitian utama lebih lanjut dijelaskan pada sub bab di bawah ini.

4.2.1. Analisa Mutu

Analisa mutu yang diamati meliputi derajat asam (pH), total asam tertitrasi
(TAT), uji mikrobiologis (Total Plate Count), dan uji ketengikan. Hasil uji lebih
lanjut dijelaskan pada sub bab berikut ini.

4.2.1.1. Pengukuran Nilai pH

Nilai pH merupakan salah satu faktor penting dalam pengolahan dan


pengawetan bahan pangan terutama melalui proses sterilisasi. Nilai pH juga
berperan dalam menentukan jenis mikroba yang dapat tumbuh pada bahan pangan
tersebut. Bakteri yang mungkin mengkontaminasi produk pangan bersantan
adalah golongan flat sour B. Strearothermophillus, golongan pembusuk C.
Thermosacharolyticum, golongan pembentuk H2S C. Nigrificans, golongan
putrefaktif anaerob C. Sporogenes serta C. Botulinum.
Produk sop daun Torbangun ini termasuk kedalam golongan pangan
berasam rendah (pH<4,5). Hasil penelitian ini menunjukkan nilai pH untuk
produk sop daun Torbangun yang dikemas dengan kemasan gelas pada suhu 5-
8°C berkisar 5,85 sampai 6,36, pada suhu 10-12°C berkisar 6,12 sampai 6,38.
Pada sop daun Torbangun yang disimpan di suhu ruang nilai pH berkisar 6,12
sampai 4,37. Penurunan nilai pH terjadi secara signifikan, hal ini mengindikasikan
kerusakan produk. Grafik nilai pH sop daun Torbangun yang dikemas dalam
kemasan gelas disajikan pada Gambar 11 di bawah ini. Nilai pH sop daun
Torbangun pada kemasan gelas cenderung mengalami kenaikan walau tidak
terlalu besar, kecuali pada sop yang disimpan pada suhu ruang. Egan et al., (1981)
menyatakan bahwa nilai pH produk selama penyimpanan dapat berubah dengan
toleransi 0,5 satuan pH.
Produk sop daun Torbangun yang dikemas pada kemasan CPET memiliki
kecenderungan yang sama dengan produk yang dikemas pada kemasan gelas.
Produk yang dikemas pada kemasan CPET dan disimpan pada suhu 5-8°C
memiliki nilai pH berkisar 6,25 sampai 6,45, sedangkan pada suhu 10-12°C
memiliki nilai pH berkisar 6,25 sampai 6,43. Produk yang disimpan pada suhu
ruang mengalami penurunan nilai pH, dengan nilai pH berkisar 4,57 sampai 6,25.
Grafik nilai pH sop daun Torbangun yang dikemas dengan kemasan CPET dapat
dilihat pada Gambar 12 di bawah ini.

Gambar 11. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan gelas

6
Nilai pH

5 Suhu 5-8°C
Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
4
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 12. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan CPET

Selama penyimpanan, sop daun Torbangun yang dimasak dengan santan


mengalami reaksi oksidasi dan menjadi tengik. Reaksi oksidasi pada santan dapat
dipercepat dengan beberapa faktor antara lain : pengaruh cahaya atau penyinaran,
suhu atau panas, katalis logam khususnya garam dari beberapa logam berat.
Oksidasi terjadi pada suhu kamar sampai dengan suhu 100°C, setiap satu ikatan
tidak jenuh dapat mengabsorbsi dua atom oksigen, sehingga terbentuk
persenyawaan peroksida yang bersifat labil (Ketaren, 1986). Pengemasan
makanan dalam wadah yang bening di toko menyebabkan kerusakan produk
karena oksidasi (Deman, 1989). Kemasan gelas dan CPET yang bening membuat
sop daun Torbangun yang dimasak dengan santan lebih cepat teroksidasi pada
suhu ruang. Reaksi oksidasi ini mendegradasi asam lemak jenuh yang terdapat
pada santan sehingga pH produk yang dikemas pada kemasan gelas dan CPET
menjadi turun. Pemanasan yang lama pada proses pengolahan sop daun
Torbangun ini juga memicu proses hidrolisis asam lemak jenuh yang terdapat
pada santan, hal ini juga dapat mempengaruhi nilai pH.
Sop daun Torbangun yang dikemas pada kemasan kaleng memiliki nilai pH
yang relatif stabil. Nilai pH untuk produk yang dikemas pada kemasan kaleng dan
disimpan pada suhu 5-8°C memiliki nilai pH berkisar 5,54 sampai 5,73, pada suhu
10-12°C berkisar 5,54-5,75, sedangkan untuk produk yang disimpan pada suhu
ruang memiliki nilai pH berkisar 5,54-5,70. Perubahan nilai pH memiliki
kecenderungan naik, namun tidak terlalu besar. Grafik nilai pH pada kemasan
kaleng disajikan pada Gambar 13 di bawah ini. Data hasil uji pH setiap kemasan
selengkapnya disajikan pada Lampiran 5.

6
Nilai pH

Suhu 5-8°C
5
Suhu 10-12°C
Suhu T. Ruang
4
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lama penyimpanan (hari)

6
Nilai pH

Suhu 5-8°C
5
Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
4
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 13. Nilai pH produk selama penyimpanan pada kemasan kaleng


Perubahan nilai pH untuk produk yang dikemas pada kemasan kaleng
berbeda dengan produk yang dikemas pada kemasan gelas dan CPET pada suhu
yang sama. Hal ini berkaitan dengan karakter fisik sifat bahan pengemas. Kaleng
relatif lebih mampu menahan cahaya untuk masuk dan kontak langsung dengan
produk.
Secara umum, nilai pH pada ketiga kemasan yang disimpan pada suhu
dingin memiliki kecenderungan naik. Hal ini dipengaruhi oleh penambahan
antioksidan BHT (Butylated hydroxytoluene). BHT merupakan antioksidan primer
sintetik. BHT merupakan antioksidan yang memiliki gugus fenol (Ketaren,
1986). Winarno (1997) menyatakan bahwa adanya antioksidan dalam lemak akan
mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan sintetik yang ditambahkan ke
dalam lemak atau bahan pangan untuk mencegah ketengikan biasanya adalah
senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun. Oleh karena itu,
penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, antara lain tidak
berbahaya bagi kesehatan. BHT mempunyai kemampuan menghambat
terbentuknya hidroperoksida dengan mengikat radikal bebas asam lemak sehingga
ion H+ hasil penguraian asam lemak bebas dapat dikurangi. Struktur kimia BHT
disajikan pada Gambar 14 di bawah ini.

Gambar 14. Struktur kimia BHT (Fennema, 1985)

Penyimpanan produk pada suhu rendah cenderung lebih bisa


mempertahankan nilai pH. Dari ketiga kemasan yang digunakan, kemasan kaleng
mampu mempertahankan nilai pH lebih baik dibandingkan kemasan gelas dan
CPET. Produk yang disimpan pada kemasan gelas dan CPET mengalami
penurunan nilai pH yang tajam setelah penyimpanan selama empat hari. Pada
kemasan kaleng produk mampu mempertahankan nilai pH sampai penyimpanan
22 hari untuk suhu rendah dan 14 hari untuk suhu ruang. Karakteristik kemasan
juga berpengaruh terhadap pH. Kemasan yang memiliki permeabilitas oksigen
yang lebih rendah yaitu kaleng dapat menghambat laju oksidasi. Penyimpanan
pada suhu rendah juga dapat menghambat laju oksidasi (Ketaren, 1986).

4.1.2. Pengukuran Total Asam Tertitrasi

Perhitungan total asam tertitrasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat


keasaman atau kandungan asam suatu produk. Total asam yang terukur adalah
jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi). Hasil
percobaan menunjukkan bahwa produk yang dikemas dalam kemasan gelas dan
disimpan pada suhu 5-8°C memiliki nilai TAT sebesar 1,294 ml NaOH 0,1 N/100
g hingga 2,761 ml NaOH 0,1 N/100 g, untuk suhu 10-12°C sebesar 0,654 ml
NaOH 0,1 N/100 g hingga 2,761 ml NaOH 0,1 N/100 g, untuk suhu ruang nilai
TAT yang terukur hingga hari ke delapan sebesar 2,513 ml NaOH 0,1 N/100 g
hingga 24,554 ml NaOH 0,1 N/100 g.
Kemasan CPET yang digunakan untuk mengemas sop daun Torbangun pada
suhu 5-8°C memiliki nilai TAT sebesar 0,864 ml NaOH 0,1 N/100 g sampai 1,557
ml NaOH 0,1 N/100 g, untuk penyimpanan pada suhu 10-12°C nilai TAT yang
terukur sebesar 1,010 ml NaOH 0,1 N/100 g sampai 2,466 ml NaOH 0,1 N/100 g.
Pada penyimpanan suhu ruang nilai TAT yang terukur 1,401 ml NaOH 0,1 N/100
g sampai 19,420 ml NaOH 0,1 N/100 g. Grafik nilai TAT selama penyimpanan
pada kemasan gelas dan CPET disajikan pada Gambar 15 dan 16 di bawah ini.
Nilai TAT yang terukur pada kemasan gelas dan kemasan CPET memiliki
kecenderungan yang sama, menurun pada penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan
10-12°C) dan meningkat pada penyimpanan suhu ruang. Pada penyimpanan suhu
ruang, nilai TAT meningkat drastis sejak penyimpanan selama empat hari untuk
kemasan CPET dan enam hari untuk kemasan gelas. Penurunan nilai TAT produk
yang disimpan pada suhu rendah disebabkan karena terhambatnya laju oksidasi
karena penyimpanan dingin. Laju oksidasi yang terhambat membuat degradasi
asam lemak juga terhambat, sehingga jumlah asam yang dihasilkan tidak besar.
Sebaliknya, produk yang disimpan pada suhu ruang mengalami peningkatan nilai
TAT karena laju oksidasi dipicu dengan cahaya dan panas. Kecenderungan
peningkatan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan disebabkan oleh
peningkatan asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis lemak oleh
panas.

25
Nilai TAT (ml NaOH 0.1

Suhu 5-8°C
N/100 gr sampel)

20 Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
15

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 15. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan gelas

25
Nilai TAT (ml NaOH 0.1

Suhu 5-8°C
N/100 g sampel)

20 Suhu 10-12°C

15 Suhu Ruang

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 16. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan CPET

Nilai TAT yang terukur pada kemasan kaleng yang disimpan pada suhu 5-
8°C sebesar 6,245 ml NaOH 0,1 N/100 g sampai 9,627 ml NaOH 0,1 N/100 g,
untuk suhu 10-12°C nilai TAT sebesar 6,245 ml NaOH 0,1 N/100 g sampai
10,762 ml NaOH 0,1 N/100 g. Penyimpanan pada suhu ruang memiliki nilai TAT
sebesar 6,245 ml NaOH 0,1 N/100 g sampai 7,595 ml NaOH 0,1 N/100 g.
Perubahan nilai TAT pada kemasan kaleng tidak jauh berbeda nilainya untuk
ketiga suhu penyimpanan. Nilai TAT yang terukur pada kemasan kaleng lebih
besar dari kemasan gelas dan CPET dan memiliki kecenderungan meningkat. Hal
ini berkaitan dengan karakteristik kaleng, bahan dasar penyusun kaleng terdiri
dari elemen–elemen mineral seperti mangan (Mn), karbon (C), fosfor (P),
belerang (S), silika (Si), tembaga (Cu), nikel (Ni), khrom (Cr) Molibdat (Mo) dan
arsen (As) (Ellis, 1963). Beberapa logam, terutama yang memiliki valensi dua
atau lebih, misalnya Fe, Cu, Co, Mn, Ni umumnya mempercepat kerusakan lemak
dalam bahan pangan. Logam–logam tersebut mempersingkat periode induksi
(jangka waktu mulai terjadinya proses oksidasi sampai timbulnya bau tengik).
Katalis logam turut membantu peroksida dalam menyerang molekul asam lemak
jenuh atau tidak jenuh yang masih utuh. Logam-logam yang merupakan bahan
dari wadah penyimpanan berada dalam bentuk elemen. Jika lemak disimpan
dalam wadah tersebut proses katalisasi oksidasi adalah proporsional terhadap luas
permukaan lemak yang kontak dengan logam (Ketaren, 1986). Grafik nilai TAT
produk yang dikemas dengan kemasan kaleng disajikan pada Gambar 17 di bawah
ini. Data hasil uji TAT pada tiga kemasan disajikan pada Lampiran 6.

25
Nilai TAT (ml NaOH 0.1

Suhu 5-8°C
N/100 g sampel)

20 Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
15

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 17. Nilai TAT produk selama penyimpanan pada kemasan kaleng

4.1.3. Uji Mikrobiologi (TPC)

Sop daun Torbangun yang dimasak dengan menggunakan santan merupakan


bahan yang mudah untuk ditumbuhi oleh mikroba. Komposisi santan kelapa
sangat lengkap, karena selain mengandung lemak, santan juga memiliki kadar
karbohidrat dan protein yang cukup tinggi sebagai media tumbuh mikroba.
Produk sop daun Torbangun pada penelitian ini ditambahkan proses pasteurisasi
dalam pengolahannya. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 75°C selama 20 menit
(Suherly, 1984).
Makanan yang memiliki pH lebih besar dari 4,6 berpeluang besar untuk
ditumbuhi oleh mikroba pembusuk yang menyebabkan makanan tersebut lebih
mudah rusak. Jenis makanan dengan kisaran pH diatas 4,6 disebut makanan
berasam rendah. Produk sop daun Torbangun memiliki nilai pH berkisar antara
5,5–6,7 dan termasuk dalam golongan pangan berasam rendah. Clostridium
botulinum mampu tumbuh pada kisaran pH tersebut. Mikroba yang dapat tumbuh
dengan baik pada kisaran suhu lemari es yaitu -7°C sampai 10°C adalah mikroba
psikrofilik. Mikroba-mikroba tersebut menyebabkan pembusukan makanan yang
disimpan di lemari es. Mikroba jenis ini berasal dari jenis C. Botulinum. Mikroba
yang tumbuh baik pada suhu antara 25°C dan 40°C adalah mikroba mesofil
(Winarno, 1994).
Dari hasil penelitian nilai TPC yang didapat pada penyimpanan suhu 5-8°C
relatif lebih kecil dari suhu 10-12°C. Jumlah koloni pada kemasan gelas yang
disimpan pada suhu 5-8°C berkisar antara 1x102 koloni/ml sampel sampai 3,6x105
koloni/ml sampel, pada suhu 10-12°C jumlah koloni yang terhitung adalah 1x102
koloni/ml sampel sampai 1,65x106 koloni/ml sampel, sedangkan pada suhu ruang
jumlah koloni yang terhitung lebih banyak yaitu 1x102 koloni/ml sampel sampai
2x107 koloni/ml sampel.
Pada kemasan CPET, jumlah koloni yang terhitung pada penyimpanan suhu
5-8°C sebesar 4x102 koloni/ml sampel sampai 1,6x106 koloni/ml sampel, pada
penyimpanan suhu 10-12°C jumlah koloni yang terhitung sebesar 4x102 koloni/ml
sampel sampai 1,3x107. Pada penyimpanan suhu ruang jumlah koloni yang
terhitung lebih banyak yaitu sebesar 4x102 koloni/ml sampel sampai 8,7x106.
Pertumbuhan koloni yang terdapat pada penyimpanan suhu rendah sampai pada
penyimpanan ke 16 hari relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan mikroba
yang tumbuh pada suhu ruang. Pada suhu ruang jumlah koloni yang terhitung
meningkat drastis hingga penyimpanan pada hari ke delapan. Nilai lengkap TPC
sop daun Torbangun pada kemasan gelas dan kaleng dapat dilihat pada Gambar
18 dan 19.
Log Jumlah koloni/ml

1.E+07
Suhu 5-8°C
8.E+06 Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
6.E+06
4.E+06
2.E+06
0.E+00
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 18. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan gelas

1.E+07
Log jumlah koloni/ml

Suhu 5-8°C
8.E+06 Suhu 10-12°C
Suhu Ruang
6.E+06
4.E+06
2.E+06
0.E+00
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 19. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan CPET

Tingginya kandungan air dan protein dari santan, menyebabkan santan


sangat mudah ditumbuhi mikroorganisme pembusuk, sehingga tidak bisa
disimpan lama dan memerlukan tindakan pengawetan. Pemanasan dapat
mengawetkan santan, tetapi dapat merusak bentuk emulsinya (Cheosakul, 1967).
Produk sop daun Torbangun yang memiliki umur simpan lebih panjang
didapatkan dengan menambahkan proses pasteurisasi terlebih dahulu pada suhu
75°C selama 20 menit. Produk santan yang dipasteurisasi dengan suhu 75°C
selama 20 menit memiliki umur simpan selama sebulan (Suherly, 1984). Sesuai
dengan prinsipnya, pemilihan suhu pasteurisasi dilakukan untuk membunuh
semua mikroorganisme patogen, tetapi menyebabkan kerusakan seminimal
mungkin terhadap produk akibat panas (Woodroof, 1975). Produk sop daun
Torbangun yang di pasteurisasi pada suhu 75°C selama 20 menit masih dapat
mempertahankan mutu secara organoleptik.
Pasteurisasi yang dilakukan terhadap produk yang dikemas dengan kemasan
gelas dan plastik tidak sepenuhnya mematikan mikroba, hanya mikroba patogen
saja yang mampu dimusnahkan. Tingginya nilai total plate count yang terhitung
pada penyimpanan selama 16 hari menunjukkan bahwa proses pasteurisasi yang
dilakukan terhadap kemasan gelas dan plastik masih belum optimal. Diperkirakan
masih ada mikroba yang tahan panas tidak mati dengan suhu pasteurisasi.
Beberapa jenis mikroba yang terdapat pada produk kaleng berasam rendah yaitu :
(i) bakteri termofilik, seperti Bacillus stearothermofilus penyebab flat sour,
Clostridium thermosacharolyticum penyebab hard swell, Clostridium nigrificans
penyebab sulfide spoilage dan (ii) bakteri Mesofilik, seperti Clostridium
botulinum penyebab putrid swell, Clostridium sporogenes.
Pada produk pangan berasam rendah, kondisi anaerob pada kaleng adalah
kondisi yang tepat bagi Clostridium botulinum untuk tumbuh, berkembang dan
membentuk racun. Bakteri jenis ini juga tahan panas dan membentuk spora.
Masih tingginya jumlah koloni pada kemasan gelas dan plastik mengindikasikan
bahwa proses pasteurisasi yang dilakukan belum mampu menginaktivasi
Clostridium botulinum. Walau demikian, proses pasteurisasi yang ditambahkan
pada proses pembuatan sop daun Torbangun ini telah menambah umur simpan
produk hingga delapan hari untuk penyimpanan pada suhu rendah dan dua hari
untuk penyimpanan pada suhu ruang. Jumlah koloni yang terhitung pada hari ke
delapan mencapai 105, batas ini sesuai dengan SNI 01-3816-1995 tentang santan
cair. Fitriah (2007) membuat produk sop daun Torbangun tanpa pasteurisasi dan
disimpan pada suhu rendah. Jumlah koloni yang terhitung dengan metode total
plate count melebihi 1x105 pada penyimpanan selama tiga hari.
Pertumbuhan mikroba selama penyimpanan mempengaruhi penampakan
fisik sop daun Torbangun yaitu terjadinya perubahan aroma serta pelunakan daun
Torbangun didalam sop. Pertumbuhan mikroba tersebut akan menyebabkan
timbulnya pembusukan yang akan mengakibatkan munculnya karakteristik
sensori yang tidak diinginkan dan menyebabkan pangan tidak aman untuk
dikonsumsi (Singh, 1994). Muchtadi (1989) menjelaskan kerusakan sensori yang
diakibatkan oleh mikroba dapat berupa pelunakan, terjadinya asam, terbentuknya
gas, lendir, busa dan lain-lain.
Menurut Muchtadi (1989) bakteri, kapang dan khamir menyukai keadaan
hangat dan lembab. Suhu pertumbuhan untuk bakteri berbeda-beda. Kapang dan
khamir mempunyai suhu optimum untuk pertumbuhannya pada suhu 25-30°C
atau suhu kamar. Hal ini terlihat jelas pada hasil perhitungan koloni pada suhu
ruang yang meningkat pesat untuk kemasan gelas dan kemasan CPET.
Jumlah koloni yang terhitung pada kemasan kaleng jauh lebih sedikit
dibandingkan kemasan gelas dan kemasan CPET. Penyimpanan sop daun
Torbangun pada kemasan kaleng menunjukkan jumlah koloni yang negatif hingga
penyimpanan hari ke enam, dan mulai menunjukkan hasil positif pada hari
selanjutnya. Rata–rata jumlah koloni yang tumbuh pada sop daun Torbangun
sampai penyimpanan hari ke 22 adalah kurang dari 30 koloni per ml. Grafik
jumlah koloni sop daun Torbangun pada kemasan kaleng selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 20 yang disajikan di bawah ini. Data lengkap nilai TPC
sop daun Torbangun dapat disajikan pada Lampiran 7.

40
Suhu 5-8°C
log jumlah koloni/ml

Suhu 10-12°C
30 Suhu ruang

20

10

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 20. Nilai TPC selama penyimpanan pada kemasan Kaleng

Pasteurisasi pada sop daun Torbangun yang dikemas dengan kaleng


menunjukkan hasil yang baik, hal ini dapat dilihat jumlah koloni terhitung selama
penyimpanan hingga 22 hari yang rendah. Pasteurisasi yang dikombinasikan
dengan penyimpanan dingin dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Pasteurisasi membunuh bakteri psikrofilik, mesofilik dan sebagian yang bersifat
termofilik. Menurut Frazier dan Westhoff (1967) bahan pangan yang disimpan
pada suhu refrigerator dengan suhu sekitar 10°C (50°F) dapat mencegah
pertumbuhan bakteri patogen dan memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk.
Pertumbuhan mikroba akibat absorpsi dan kontaminasi dari lingkungan
dapat ditekan oleh penyimpanan pada suhu dingin. Penanganan produk selama
pengolahan juga turut mempengaruhi mutu produk. Menurut Muchtadi (1989)
aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, seperti aktivitas
enzim dan mikrobiologis, dapat dikurangi dengan pengolahan dalam suhu tinggi.
Usaha meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme pada suatu produk juga dapat
dilakukan dengan penerapan higienitas pada seluruh proses pengolahan dan
pengemasan. Produk diolah dengan suhu tinggi, kemasan disterilisasi sebelum
digunakan dan pengemasan produk dengan teknik hot filling.
Jenis kemasan juga dapat mempengaruhi nilai TPC. Pada prinsipnya
kemasan yang baik merupakan kemasan yang dapat mencegah atau meminimalisir
kontak antara produk dengan pengaruh lingkungan terutama udara dan uap air.
Kemasan yang memiliki permeabilitas rendah terhadap oksigen dapat
memberikan perlindungan yang baik pula. Kemasan gelas merupakan kemasan
yang inert dan dapat memberikan perlindungan yang baik. Kemasan gelas yang
digunakan pada penelitian ini dikombinasikan dengan tutup kaleng yang memiliki
gasket (karet) di bagian dalamnya sehingga memungkinkan penutupan yang
hermetis. Kemasan gelas yang digunakan juga diberi perlindungan bagian luar
dengan plastik shrinkable heat (plastik yang menyusut bila diberi panas) yang
terbuat dari plastik PET. Pertumbuhan mikroba selama penyimpanan diperkirakan
karena kurang optimalnya suhu pasteurisasi untuk membunuh mikroba yang
terdapat dalam produk.
Kemasan CPET mampu memberikan perlindungan yang cukup baik namun
tidak sebaik kemasan gelas. Kemasan CPET ini merupakan plastik dengan sifat
penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk
berlemak. Masuknya uap air dan oksigen ke dalam kemasan CPET diduga berasal
dari plastik segel, karena dalam penelitian ini, CPET digunakan sebagai wadah
dan LDPE digunakan sebagai penutup (segel).
Kemasan kaleng memberikan perlindungan yang baik terhadap
pertumbuhan mikroba. Karena kemasan kaleng lebih hermetis dan mampu
memberikan kondisi vakum yang baik. Selain itu kemasan kaleng memiliki
permeabilitas yang rendah terhadap oksigen dan uap air. Kaleng lebih mudah
ditangani dan aman untuk disterilisasi karena resiko pecah atau kemasan rusak
sangat kecil. Produk sop daun Torbangun yang dipasteurisasi dan dikemas dengan
kemasan kaleng dapat memberikan nilai pertumbuhan mikroba yang rendah bila
dikombinasikan dengan penyimpanan suhu rendah.

4.1.4. Uji Ketengikan (TBA)

Sop daun Torbangun yang digunakan pada penelitian ini dibuat dengan
menggunakan santan. Pembuatan sop ini berdasarkan pada pendekatan resep asli
yang biasa digunakan oleh masyarakat suku batak. Santan merupakan salah satu
produk pangan berlemak tinggi. Kerusakan bahan pangan berlemak yang sering
terjadi adalah kerusakan lemak pada proses pengolahan maupun pada saat
penyimpanan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik
yang disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak
(Ketaren, 1986). Kerusakan ini bisa menurunkan mutu sop daun Torbangun.
Mutu produk pangan yang mengandung lemak ditentukan oleh terbentuknya
ketengikan selama penyimpanan sebagai indikator rusaknya lemak. Kerusakan
lemak dapat disebabkan oleh oksidasi atau hidrolisis. Hidrolisis lemak dalam
santan akan merubah lemak jenuh menjadi asam-asam lemak bebas. Hasil
pengukuran bilangan TBA produk sop daun Torbangun pada kemasan gelas yang
disimpan pada suhu 5-8°C adalah 0,015 mg malonaldehida/kg bahan sampai
0,040 mg malonaldehida/kg bahan, pada suhu 10-12°C nilai TBA yang terukur
sebesar 0,015 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,055 mg malonaldehida/kg
bahan. Pada suhu ruang nilai TBA yang terukur adalah 0,015 mg
malonaldehida/kg bahan sampai 0,060 mg malonaldehida/kg bahan.
Pada kemasan CPET yang disimpan pada suhu 5-8°C nilai TBA berkisar
0,016 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,030 mg malonaldehida/kg bahan,
pada suhu 10-12°C nilai TBA sebesar 0,016 mg malonaldehida/kg bahan sampai
0,040 mg malonaldehida/kg bahan, sedangkan pada suhu ruang nilai TBA yang
terukur sebesar 0,016 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,040 mg
malonaldehida/kg bahan. Grafik nilai TBA pada kemasan gelas dan CPET selama
penyimpanan disajikan pada Gambar 21 dan 22 di bawah ini.

0.06
Suhu 5-8°C
Bilangan TBA (mg
malonaldehid/kg)

0.05 Suhu 10-12°C


Ruang
0.04

0.03
0.02

0.01
0 10 18
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 21. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan gelas

0.06
malonaldehide/kg )
Bilangan TBA (mg

Suhu 5-8°C
0.05 Suhu 10-12°C
Ruang
0.04
0.03

0.02
0.01
0 10 18
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 22. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan CPET


0.06

malonaldehide/kg )
Bilangan TBA (mg
Suhu 5-8°C
0.05
Suhu 10-12°C
0.04 Ruang

0.03

0.02

0.01
0 10 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 23. Nilai TBA selama penyimpanan pada kemasan kaleng


Nilai TBA yang terukur pada kemasan kaleng yang disimpan pada suhu 5-
8°C adalah sebesar 0,012 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,026 mg
malonaldehida/kg bahan, pada suhu 10-12°C sebesar 0,012 mg malonaldehida/kg
bahan sampai 0,035 mg malonaldehida/kg bahan, sedangkan pada penyimpanan
suhu ruang nilai TBA yang terukur sebesar 0,012 mg malonaldehida/kg bahan
sampai 0,049 mg malonaldehida/kg bahan. Pengujian nilai TBA pada penelitian
ini dilakukan selama tiga kali selama masa penyimpanan yaitu penyimpanan awal,
penyimpanan 10 hari dan hari terakhir penyimpanan. Grafik nilai TBA selama
penyimpanan pada kemasan kaleng dapat dilihat pada Gambar 23 diatas. Data
lengkap hasil uji TBA disajikan pada Lampiran 8.
Pengujian TBA dilakukan untuk mengetahui tingkat ketengikan sop daun
Torbangun yang ditambahkan antioksidan. Uji ini berdasarkan atas terbentuknya
pigmen berwarna merah sebagai hasil dari reaksi kondensasi antara dua molekul
TBA dengan satu molekul malonat dialdehida. Persenyawaan malonaldehida
secara teoritis dapat dihasilkan oleh pembentukan diperoksida pada gugus
pentadiena yang disusul dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara
oksidase lebih lanjut dari 2-enol yang dihasilkan dari penguraian monohidro
peroksida. Keuntungan dari uji ini adalah karena pereaksi TBA dapat digunakan
langsung untuk menguji lemak dalam suatu bahan tanpa mengekstraksi fraksi
lemaknya (Ketaren, 1986). Hidroperoksida adalah hasil kerusakan asam-asam
lemak tidak jenuh yang bereaksi dengan oksigen selama penyimpanan dan proses
pemanasan. Adanya hidroperoksida akan membantu proses oksidasi.
Nilai TBA kemasan kaleng lebih kecil dibandingkan kemasan gelas dan
CPET, hal ini menunjukkan bahwa sampai penyimpanan ke 22 hari degradasi
sekunder yang membentuk senyawa aldehid masih rendah. Rendahnya kandungan
senyawa aldehida dalam produk menunjukkan off flavor belum terjadi.
Ketengikan pada produk dapat juga disebabkan oleh hidrolisis lemak.
Berdasarkan hasil penelitian ini nilai TBA semakin meningkat dengan
meningkatnya suhu penyimpanan. Kecenderungan yang sama juga diperoleh dari
penelitian Anggraeni (2002), untuk produk cendol dalam kemasan. Menurut hasil
penelitian Fitriah (2007) faktor suhu berpengaruh nyata terhadap nilai TBA pada
hari ke dua. Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan diudara akan bertambah
dengan kenaikan suhu dan berkurang dengan penurunan suhu (Ketaren, 1986).
Kondisi penyimpanan dingin akan memperlambat ketengikan dikarenakan proses
oksidasi pada produk yang terhambat. Reaksi oksidasi tersebut akan menyebabkan
ketengikan dan mempengaruhi umur simpan produk.
Nilai TBA tergantung pada beberapa faktor, diantaranya jumlah lipid,
kondisi penyimpanan, dan komponen lain yang ada bersama lipid seperti logam
berat, logam porfirin, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1986). Nilai TBA
pada sup daun Torbangun ini tergolong cukup rendah. Menurut Theime yang
dikutip oleh Ketaren (1986) rendahnya bilangan TBA berkaitan dengan
kandungan asam lemak tidak jenuh suatu produk. Sop daun Torbangun dibuat
dengan santan kelapa yang memiliki asam lemak tak jenuh sekitar 6,5-11,8%.
Makin rendah nilai TBA yang diperoleh juga mengindikasikan efektifitas
kemasan dalam melindungi produk terhadap pengaruh lingkungan atau udara
sehingga proses oksidasipun dapat dihambat. Dari hasil penelitian ini nilai TBA
paling kecil diperoleh pada kemasan kaleng.
Nilai TBA pada tiga kemasan yang digunakan pada penelitian ini kecil yaitu
hanya berkisar 0,012 mg malonaldehida/kg bahan sampai 0,060 mg
malonaldehida/kg bahan, hal ini berkaitan dengan penambahan antioksidan yang
dapat menghambat laju oksidasi lemak pada santan. Sebagai perbandingan,
menurut Fitriah (2007) nilai TBA produk sop daun Torbangun tanpa penambahan
antioksidan (BHT) berkisar antara 0,307 mg malonaldehida/kg bahan sampai
0,477 mg malonaldehida/kg bahan. Berdasarkan penelitian Mulia (1995),
penambahan BHT berpengaruh nyata terhadap nilai TBA santan segar yang
disterilisasi. Pada penelitian Mulia (1995) Perubahan nilai TBA yang terukur
selama penyimpanan 12 minggu adalah 0-0,0351 mg malonaldehida/kg bahan.
Grafik nilai TBA ketiga kemasan yang telah disajikan diatas menunjukkan
peningkatan nilai TBA hingga hari ke 10, kemudian mengalami penurunan pada
hari berikutnya. Hal ini mengindikasikan bahwa antioksidan BHT belum bekerja
selama optimal hingga penyimpanan hari ke 10. Selama penyimpanan BHT
berangsur-angsur kembali bekerja untuk menghambat ketengikan yang terlihat
dari menurunnya nilai TBA produk. Kecenderungan ini sama untuk semua
perlakuan. Diperkirakan dari penelitian ini antioksidan BHT efektif menghambat
proses oksidasi setelah 10 hari produk disimpan. Penggunaan antioksidan
bertujuan untuk mencegah oksigen kontak dengan lemak. Antioksidan juga
berfungsi mencegah reaksi berantai pembentukan peroksida. Faktor-faktor yang
mempercepat dan menghambat oksidasi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Faktor-faktor yang mempercepat dan menghambat oksidasi


Akselerator Dihambat/pencegah
1. Suhu tinggi Suhu rendah (refrigerasi
2. Sinar dan ionisasi Wadah berwarna atau opak
3. Peroksida Menghindari oksigen
4. Enzim lipoksidase Merebus
5. Katalis Fe-organik Antioksidan
6. katalis logam (Cu, Fe, dsb) Metal deactivator
Metal deactivator EOTA, as-sitrat
Ketaren, (1986).

Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan


reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan
oleh empat macam mekanisme reaksi yaitu : (i) pelepasan hidrogen dari
antioksidan; (ii) pelepasan elektron dari antioksidan; (iii) addisi lemak ke dalam
cincin aromatik pada antioksidan; (iv) pembentukan senyawa kompleks antara
lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan dapat menghambat
setiap proses oksidasi. Dengan penambahan antioksidan, maka energi dalam
persenyawaan aktif (mengandung energi) ditampung oleh antioksidan, sehingga
reaksi oksidasi terhenti. Dalam industri pangan, oksidasi lemak biasanya disertai
dengan off flavor yang disebabkan oleh persenyawaan aldehid dan keton.
Antioksidan dapat menghambat terjadinya kehilangan flavor dari minyak atau
lemak (Ketaren, 1986).

4.2. Pengujian Organoleptik

Pengujian organoleptik dilakukan dua hari sekali selama penyimpanan


produk. Organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik atau uji
kesukaan terhadap parameter aroma, tekstur, kekentalan, warna dan penerimaan
umum dengan skor 1-7. Skor 1 adalah sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak
tidak suka, 4 = biasa, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka dengan jumlah
panelis 10 orang. Hasil uji hedonik secara lengkap disajikan pada Lampiran 9.

4.2.1. Aroma

Uji hedonik dilakukan segera setelah produk dikeluarkan dari refrigerator.


Dari hasil uji organoleptik terhadap aroma dapat dilihat penurunan skor paling
rendah diberikan kepada produk yang disimpan pada kemasan gelas dan kemasan
CPET dengan suhu penyimpanan pada suhu ruang. Hal ini sesuai dengan
penurunan nilai pH dan kenaikan nilai TAT pada kedua kemasan. Aroma tidak
sedap yang terdapat pada produk berasal dari aldehid dan keton hasil oksidasi
lemak pada santan. Aroma produk yang dikemas pada suhu rendah lebih dapat
dipertahankan. Grafik penurunan nilai hedonik untuk terhadap aroma sop daun
Torbangun dapat dilihat pada Gambar 24 di bawah ini. Data selengkapnya skor
hedonik untuk parameter aroma disajikan pada Lampiran 9a.

7
Nilai hedonik terhadap aroma

Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 24. Penurunan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap parameter
aroma
4.2.2. Tekstur

Produk sop daun Torbangun mengalami pelunakan selama penyimpanan.


Penurunan nilai hedonik paling tinggi ditunjukkan oleh produk yang dikemas
pada kemasan CPET dengan penyimpanan suhu ruang. Panelis memberikan nilai
yang cukup stabil untuk produk sop daun Torbangun yang dikemas pada kemasan
kaleng. Nilai yang tinggi juga diberikan panelis terhadap produk yang disimpan
pada suhu rendah yaitu 5-8°C dan 10-12°C. Pelunakan tektur daun Torbangun
pada sop selama penyimpanan berkaitan dengan proses pemasakan dengan suhu
tinggi dan kerusakan enzim pada daun. Grafik penurunan nilai hedonik terhadap
parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 25 di bawah ini. Data penilaian
hedonik terhadap parameter tekstur disajikan pada Lampiran 9b.
7
Nilai hedonik terhadap tekstur

Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 25. Penurunan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap parameter
tekstur

4.2.3. Kekentalan

Kekentalan sop daun Torbangun berkaitan dengan kekentalan santan


sebagai kuahnya. Kekentalan sop daun Torbangun selama penyimpanan pada
dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti karena santan tidak berlendir
ataupun berbusa. Grafik perubahan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap
parameter kekentalan disajikan pada Gambar 26 di bawah ini. Data lengkap
penilaian hedonik kekentalan sop daun Torbangun dapat dilihat pada Lampiran
9c.
7 Gelas Suhu 5-8°C

Nilai hedonik terhadap


6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


kekentalan 5
CPET Suhu 5-8°C

4 CPET Suhu 10-12°C

. CPET Suhu Ruang


3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C

Kaleng Suhu Ruang


1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 26. Penurunan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap parameter
kekentalan

4.2.4. Warna

Panelis memberikan nilai yang rendah untuk warna sop daun Torbangun
yang dikemas pada CPET dengan penyimpanan suhu ruang. Perubahan warna ini
disebabkan oleh peroksida aktif yang dihasilkan selama proses oksidasi.
Penurunan nilai untuk parameter warna juga dapat dilihat dengan jelas untuk sop
daun Torbangun yang dikemas pada kemasan kaleng. Perubahan warna sop daun
Torbangun pada kemasan kaleng dipengaruhi pula oleh proses oksidasi. Grafik
penurunan nilai hedoni untuk parameter warna dapat dilihat pada Gambar 27 di
bawah ini. Data lengkap nilai hedonik untuk parameter warna disajikan pada
Lampiran 9d.

7 Gelas Suhu 5-8°C


Nilai hedonik terhadap

6 Gelas Suhu 10-12°C


Gelas Suhu Ruang
5 CPET Suhu 5-8°C
warna

4 CPET Suhu 10-12°C


CPET Suhu Ruang
3
Kaleng Suhu 5-8°C

2 Kaleng Suhu 10-12°C


Kaleng Suhu Ruang
1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 27. Penurunan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap parameter
warna
4.2.4. Penerimaan Umum

Panelis memberikan nilai paling kecil pada penerimaan umum sop daun
Torbangun yang dikemas pada kemasan gelas dan kemasan CPET pada
penyimpanan suhu ruang. Hasil ini sesuai dengan uji kimia dan mikribiologis sop
daun Torbangun yang telah dilakukan. Penerimaan umum adalah penerimaan
keseluruhan terhadap aroma, tekstur, kekentalan dan warna sop daun Torbangun.
Grafik penurunan nilai penerimaan umum sop daun Torbangun dapat dilihat pada
Gambar 28 di bawah ini. Data lengkap nilai sop daun Torbangun disajikan pada
Lampiran 9e.

7 Gelas Suhu 5-8°C

6 Gelas Suhu 10-12°C

Gelas Suhu Ruang


Nilai hedonik terhadap

5
penerimaan umum

CPET Suhu 5-8°C

CPET Suhu 10-12°C


4
CPET Suhu Ruang
3 Kaleng Suhu 5-8°C

Kaleng Suhu 10-12°C


2
Kaleng Suhu Ruang
1
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 28. Penurunan nilai hedonik sop daun Torbangun terhadap parameter
penerimaan umum

4.3. Umur Simpan

Menurut Floros (1993) umur simpan pangan dapat disuga dan kemudian
ditetapkan kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan
produk pangan yaitu dengan Ekstended Storage Studies (ESS) dan Accelerated
Storage Studies (ASS). Menurut Gacula dan Kubala (1975) untuk melakukan
penelitian umur simpan dalam keadaan yang sebenarnya (tidak terakselerasi atau
konvensional) harus dibuat rancangan percobaan yang sesuai. Lebih lanjut
dikatakan bahwa desain percobaan dapat menggunakan data subyektif (hasil
penilaian indra) maupun data obyektif (hasil pengukuran fisik, kimia atau
mikrobiologis).
Berdasarkan hasil pengujian secara kimia dan mikrobiologi terhadap produk
sop daun Torbangun yang dikemas dengan kemasan gelas, nilai pH pada
penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan 10-12°C) memiliki nilai yang tidak jauh
berbeda. Produk yang disimpan pada suhu ruang memiliki perubahan nilai yang
besar dibandingkan penyimpanan suhu dingin. Hal yang sama juga terjadi pada
nilai TAT. Produk yang disimpan pada suhu rendah memiliki nilai TAT yang
tidak jauh berbeda, sedangkan untuk penyimpanan pada suhu ruang nilai TAT
mengalami kenaikan yang drastis. Berdasarkan jumlah koloni yang terhitung
mencapai 1.1x105 koloni/ml pada hari kedelapan pada penyimpanan suhu 5-8°C ,
begitu juga dengan kemasan gelas yang disimpan pada suhu 10-12°C, jumlah
koloni mencapai 5,2x105 pada hari keenam. Penyimpanan pada suhu ruang
menunjukkan jumlah koloni 2,2x105 pada hari kedua. Batas jumlah koloni yang
dipakai berdasarkan pada SNI 01-3816-1995 tentang santan cair. Sehingga dapat
diperkirakan sop daun Torbangun yang dikemas dengan gelas pada suhu 5-8°C
bisa dikonsumsi sebelum 8 hari, untuk penyimpanan pada suhu 10-12°C bisa
dikonsumsi sebelum enam hari. Produk sop daun Torbangun yang disimpan pada
suhu ruang hanya dapat dikonsumsi sebelum penyimpanan selama dua hari.
Produk sop daun Torbangun yang disimpan pada kemasan CPET memiliki
kecenderungan yang sama dengan kemasan gelas. Nilai pH pada suhu rendah (5-
8°C dan 10-12°C) memiliki nilai yang tidak jauh berbeda, dan kenaikan nilai pH
juga tidak besar. Nilai TAT yang didapat dari kemasan CPET yang disimpan pada
suhu 5-8°C tidak jauh berbeda dengan nilai TAT pada penyimpanan suhu 10-
12°C. Hasil perhitungan koloni produk yang dikemas pada kemasan CPET pada
suhu 5-8°C mencapai 1,9x105 pada hari kedelapan. Penyimpanan pada suhu 10-
12°C jumlah koloni mencapai 2,0x105 pada hari kedelapan, sedangkan pada suhu
ruang jumlah koloni mencapai 1,8x106 pada hari keempat. Dengan demikian
dapat diperkirakan sop daun Torbangun yang dikemas dengan CPET pada
penyimpanan suhu 5-8°C bisa dikonsumsi sebelum penyimpanan delapan hari
demikian juga pada penyimpanan suhu 10-12°C. Sedangkan pada penyimpanan
suhu ruang produk sop daun Torbangun hanya aman dikonsumsi sampai hari ke
dua.
Sop daun Torbangun yang dikemas dengan kaleng pada penyimpanan suhu
dingin dan suhu ruang, memiliki kisaran nilai pH yang tidak jauh berbeda. Nilai
TAT yang terdapat pada ketiga suhu penyimpanan juga memiliki kisaran nilai
yang tidak jauh berbeda. Tidak terjadi penurunan nilai pH yang signifikan pada
ketiga suhu penyimpanan Berdasarkan hasil perhitungan cawan, jumlah koloni
yang diperoleh pada kemasan kaleng rata-rata kurang dari 30 koloni/ml hingga
penyimpanan selama 22 hari. Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologis dan
kimia, produk sop daun Torbangun pada penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan
10-12°C) aman dikonsumsi hingga 22 hari, sedangkan pada penyimpanan suhu
ruang produk ini aman dikonsumsi hingga 14 hari. Dengan demikian dapat
disimpulkan produk yang dikemas dengan kaleng memiliki umur simpan paling
lama yaitu 22 hari.

4.4. Perhitungan Migrasi Total

Migrasi merupakan proses perpindahan komponen bahan kemasan terhadap


makanan. Masalah migrasi komponen bahan pengemas masih belum menjadi
perhatian bagi pemerintah. Perhitungan migrasi dilakukan untuk mengetahui
jumlah komponen bahan kemasan yang berpindah (migran). Perhitungan migrasi
total didasarkan pada peraturan Uni Eropa bahwa batas migran yang
diperbolehkan 10 mg/dm2 bahan kemasan. Data selengkapnya hasil perhitungan
total migrasi kemasan gelas, CPET dan kaleng disajikan pada Tabel 10 di bawah
ini. Dan grafik hasil migrasi total disajikan pada Gambar 29.

Tabel 10. Hasil perhitungan migrasi total pada gelas, CPET, dan kaleng

Jenis Kemasan
Food simulant
Gelas CPET Kaleng
Aquades 0,5230 1,4871 1,5271
asam asetat 3% 1,2406 2,0245 6,7488
Alkohol 15% 3,0370 3,0625 4,0394
Alkohol 95% 10,4566 27,7914 37,4435
40
Jenis Kemasan Gelas
Jenis Kemasan CPET
Jumlah migran (mg/dm2)

30 Jenis Kemasan Kaleng

20

European Union Standard (10mg/dm2)


10

0
Aquades 3% asam asetat 15% alkohol 95% alkohol
Food Simulant

Gambar 29. Hasil perhitungan migrasi total pada kemasan gelas, CPET, dan
kaleng

Hasil perhitungan migrasi total menunjukkan nilai di bawah ketentuan


Directive 90/128/EEC yaitu 10mg/dm2 untuk ketiga tiga food simulant yaitu
aquades, 3% asam asetat, dan 15% alkohol. Food simulant 95% alkohol
memberikan nilai migrasi yang relatif tinggi dibandingkan ketiga food simulant
lainnya. Pada penelitian ini perhitungan migrasi total dilakukan dengan food
simulant tanpa mengalami proses pasteurisasi. Bila ditambahkan proses
pasteurisasi kepada food simulant sebelum diuji kemungkinan menghasilkan nilai
migrasi total yang lebih tinggi. Kemasan gelas memberikan nilai migran paling
kecil untuk semua food simulant. Kemasan kaleng memberikan nilai migrasi yang
paling tinggi untuk semua jenis food simulant.
Berdasarkan grafik diatas, kenaikan nilai migrasi aquades < 3% asam asetat
< 15% alkohol < 95% alkohol. Hal ini mengindikasikan kekuatan food simulant
dalam mengekstrak komponen bahan kemasan. Food simulant 3% asam asetat
pada kemasan kaleng memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan
15% alkohol. Hasil ini sesuai dengan laporan Galotto dan Guarda (1999) dan
O’Brien et al. (2000) yang menyatakan bahwa 3% asam asetat menunjukkan
kemampuan mengekstrak komponen bahan kemasan lebih besar dibandingkan
dengan 15% alkohol. Dilaporkan juga bahwa 95% alkohol memberikan hasil
paling tinggi dalam mengekstrak komponen bahan kemasan. 95% alkohol sebagai
fatty food simulant meingindikasikan kondisi paling buruk pada kasus migrasi
total.
Migrasi bahan kemasan berkaitan dengan karakteristik bahan kemasan yang
digunakan. Gelas merupakan bahan kemasan yang paling inert. Bahan baku utama
yang digunakan dalam pembuatan gelas adalah silika. Gelas merupakan bahan
kemasan yang baik digunakan untuk mengemas makanan karena gelas tahan
terhadap air, ataupun asam. Hal ini dapat dilihat pula dari hasil penelitian ini,
dimana kemasan gelas memberikan nilai migrasi total yang sangat kecil dengan
aquades dan asam asetat. Air dan asam sangat sedikit berinteraksi dengan silika,
tapi dapat mudah bereaksi dengan komponen penyusun gelas lainnya. Larutan
alkali secara umum lebih korosif terhadap kemasan gelas pada suhu tinggi. Silika
dan alkali adalah komponen utama yang lepas dari kemasan gelas, laju pelepasan
dijelaskan dengan proses difusi. Larutan asam dapat mengekstrak sodium yang
terkandung pada kemasan gelas. Komponen kemasan gelas yang bermigrasi
(seperti silika dan sodium) tidak mempengaruhi mutu produk secara organoleptik.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kemasan gelas memiliki nilai migrasi total
paling rendah untuk keempat food simulant. Jumlah migran yang terhitung berada
di bawah standar EEC yaitu 10 mg/dm2. Jumlah migran yang terhitung pada
95% alkohol adalah 10,4566 mg/dm2, nilai ini sedikit diatas standar yang
diijinkan. Namun jumlah migran yang terhitung pada migrasi total tidak
semuanya merupakan bahan kimia berbahaya, karena pada perhitungan migrasi
total ini semua komponen yang bermigrasi akan ikut terhitung, walaupun tidak
termasuk bahan yang berbahaya. Dengan demikian kemasan gelas realtif lebih
aman digunakan untuk mengemas berbagai jenis kemasan karena selain bersifat
inert, potensi migrasi komponen berbahaya dari kemasan juga sangat kecil.
Kemasan CPET pada penelitian ini memberikan nilai perhitungan migrasi
total yang lebih besar dibandingkan kemasan gelas. Migrasi total paling kecil pada
CPET didapat pada food simulant aquades. Nilai bahan yang bermigrasi
meningkat pada food simulant 3% asam asetat dan 15% alkohol. Nilai migrasi
paling tinggi didapat pada food simulant 95% alkohol. Secara umum nilai migrasi
total kemasan CPET lebih tinggi dari kemasan gelas, namun tidak melebihi nilai
migrasi pada kemasan kaleng. CPET memiliki ketahanan panas yang baik, yaitu
berkisar antara 200-225oC. Migrasi berkaitan dengan derajat kristalinitas suatu
bahan, CPET merupakan Polyethylene Terephthalat yang ditambahkan bahan
aditif tertantu sehingga lebih kaku. Dengan demikian CPET memiliki derajat
kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan PET murni. Makin tinggi derajat
kristalinitas suatu bahan makin sulit komponen bahan tersebut bermigrasi. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan nilai migrasi total pada kemasan
CPET untuk food simulant aquades, 3% asam asetat dan 15% alkohol yang rendah
(di bawah 10 mg/dm2). Untuk food simulant 95% alkohol, nilai migrasi total yang
terhitung pada kemasan CPET sebesar 27,7914 mg/dm2. Alkohol 95% cenderung
lebih agresif dibandingkan ketiga food simulant lain, dan memiliki daya
pengekstrak yang lebih besar sehingga menghasilkan nilai migrasi total yang lebih
tinggi pula. Pada perhitungan migrasi total, komponen yang terhitung pada nilai
migrasi tidak diketahui secara spesifik. Nilai migrasi total yang tinggi pada
kemasan CPET tidak menunjukkan komponen berbahaya yang bermigrasi dari
kemasan juga tinggi, perlu dilakukan perhitungan migrasi spesifik untuk
mengetahui jumlah komponen berbahaya yang bermigrasi dari kemasan CPET.
CPET memiliki sifat penghalang yang hampir sama dengan PET, yaitu sifat
penahan yang baik terhadap oksigen dan uap air, serta baik untuk produk
berlemak. Plastik CPET ini dapat digunakan untuk produk yang akan dikemas
dengan teknik hot filling atau teknik pengemasan biasa.
Kemasan kaleng memberikan nilai migrasi total yang paling tinggi
dibandingkan kemasan gelas dan kemasan CPET. Kaleng dibuat dari pelat baja
yang mengandung lapisan timah tipis. Kaleng yang sekarang banyak digunakan
untuk pengalengan makanan mengandung kurang dari 0,25% timah. Baja yang
digunakan untuk membuat kaleng mengandung kadar karbon yang rendah.
Penelitian telah membuktikan bahwa komposisi baja merupakan faktor penting
untuk memperoleh umur pakai kaleng bagi wadah pangan yang korosif. Kadar
fosfor (P), silika (Si), tembaga (Cu), nikel (Ni) dan molibdat (Mo) dapat juga
mempengaruhi daya tahan kaleng terhadap korosi.. Kaleng yang biasa digunakan
untuk bahan pangan berasam rendah adalah kaleng jenis MR dan MC, kaleng
jenis ini memiliki kadar fosfor yang lebih tinggi, tetapi kadar mineral lainnya
tidak dibatasi secara khusus.
Enamel merupakan bahan organik yang dilapiskan pada kaleng untuk
mempertahankan daya tarik makanan yang dikalengkan. Selain itu, enamel juga
berfungsi untuk melindungi kaleng dari korosi dan melindungi kontak antara
bahan pangan dengan metal yang dapat menghasilkan warna dan citarasa yang
tidak diinginkan. Hasil migrasi kaleng pada food simulant asam asetat 3% lebih
tinggi daripada alkohol 15%. Asam asetat bereaksi dengan enamel kaleng
sehingga melunturkan lapisan enamel kaleng, dan menghasilkan warna
kekuningan setelah food simulant dievaporasi. Hal serupa juga terjadi pada food
simulant alkohol 95%. Alkohol 95% lebih reaktif daripada asam asetat 3%. Nilai
migrasi total yang terhitung pada food simulant alkohol 95% lebih tinggi daripada
asam asetat 3%. Hasil migrasi total kemasan kaleng terhadap asam asetat tidak
melebihi 10 mg/dm2, akan tetapi hasil migrasi total terhadap alkohol 95%
memerikan nilai yang tinggi yaitu 37,4435 mg/dm2. Berdasarkan hasil penelitian
ini kemasan kaleng tidak efektif untuk digunakan pada bahan pangan berlemak
karena memiliki potensi migrasi yang cukup besar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Produk sop daun Torbangun yang ditambahkan antioksidan mampu


bertahan selama dua hari pada suhu ruang untuk penyimpanan pada kemasan
gelas dan CPET. Berdasarkan uji mikrobiologis, sop daun Torbangun yang
dikemas dengan gelas pada suhu 5-8°C bisa dikonsumsi sebelum delapan hari,
untuk penyimpanan pada suhu 10-12°C bisa dikonsumsi sebelum enam hari. Dari
hasil uji mikrobiologis diperkirakan sop daun Torbangun yang dikemas dengan
CPET pada penyimpanan suhu 5-8°C bisa dikonsumsi sebelum penyimpanan
delapan hari demikian juga pada penyimpanan suhu 10-12°C. Berdasarkan hasil
pengujian mikrobiologis dan kimia, produk sop daun Torbangun yang dikemas
dalam kaleng pada penyimpanan suhu rendah (5-8°C dan 10-12°C) masih bisa
dikonsumsi hingga 22 hari, sedangkan pada penyimpanan suhu ruang produk ini
aman dikonsumsi hingga 14 hari.
Kajian umur simpan sop daun Torbangun dilakukan dengan menganalisa
secara kimia dan mikrobiologi, selain itu pengujian organoleptik juga dilakukan.
Nilai pH, TAT, TBA dan TPC untuk kemasan gelas, plastik dan CPET yang
disimpan pada suhu 5-8°C tidak jauh berbeda dengan produk yang disimpan pada
suhu 10-12°C. Pemilihan suhu berdasarkan pada pendekatan penyimpanan produk
oleh penjual sebelum dikonsumsi dan penyimpanan yang dilakukan konsumen.
Nilai pH produk sop daun Torbangun yang disimpan pada suhu rendah
memiliki kecenderungan naik pada ketiga kemasan yang digunakan. Sedangkan
pada penyimpanan suhu ruang terjadi penurunan nilai pH secara drastis pada
kemasan gelas dan CPET. Nilai TAT pada kemasan gelas dan CPET yang
disimpan pada suhu rendah mengalami penurunan karena terhambatnya laju
oksidasi pada penyimpanan dingin. Laju oksidasi yang terhambat membuat
degradasi asam lemak juga terhambat, sehingga jumlah asam yang dihasilkan
tidak besar. Sebaliknya, produk yang disimpan pada suhu ruang mengalami
peningkatan nilai TAT karena laju oksidasi dipicu dengan cahaya dan panas. Nilai
TAT yang terukur pada kemasan kaleng lebih besar dari kemasan gelas dan CPET
dan memiliki kecenderungan meningkat. Hal ini berkaitan dengan karakteristik
kaleng yang mengandung logam dan dapat memicu kecepatan proses oksidasi.
Nilai TPC pada ketiga kemasan mengalami kenaikan selama penyimpanan.
Pertumbuhan mikroba lebih cepat pada penyimpanan suhu ruang. Pertumbuhan
mikroba pada produk yang dikemas dalam kaleng rata-rata dibawah 30 koloni/ml.
Nilai TBA produk yang disimpan pada ketiga kemasan mengalami kenaikan
hingga sepuluh hari. Nilai TBA turun kembali setelah 10 hari, hal ini
menunjukkan aktifitas antioksidan mulai optimal setelah sepuluh hari
penyimpanan. Secara umum produk sop daun Torbangun yang dimasak dengan
penambahan antioksidan mampu mempertahankan umur simpan lebih lama
dibandingkan tanpa penambahan antioksidan. Proses pasteurisasi yang
ditambahkan juga mempengaruhi lama umur simpan produk.
Migrasi bahan kemasan yang digunakan pada pengemasan sop daun
Torbangun kecil. Jumlah migran lebih kecil dari standar yang ditetapkan oleh
European Economic Community (EEC) yaitu 10mg/dm2 untuk food simulant
aquades, asam asetat 3% dan alkohol 15%. Perhitungan migrasi total terhadap
food simulant alkohol 95% menunjukkan nilai diatas standar yang diijinkan.
Migrasi total tidak membedakan bahan kemasan yang berpindah, sehingga
diperlukan penelitian migrasi spesifik untuk mengetahui komponen berbahaya
yang berpindah dari bahan kemasan.
Dari hasil penelitian, umur simpan paling lama didapatkan pada produk sop
daun Torbangun yang dikemas dengan kemasan kaleng pada penyimpanan suhu
rendah. Akan tetapi dilihat dari potensi migrasi kemasan kaleng memiliki resiko
migrasi paling tinggi.

5.2. Saran

Perlu dilakukan pengukuran proses termal yang optimal untuk


memperpanjang umur simpan produk sop daun Torbangun. Penelitian lebih lanjut
tentang migrasi spesifik dari komponen bahan kemasan juga disarankan untuk
mengetahui bahaya kontak produk dengan kemasan.
DAFTAR PUSTAKA

Adamic, K., D.F. Bowman dan K.U. Ingold. 1970. The Inhibition of Autoxidation
by Aromatic Amines. JAOCS Vol. (47) : 109-111.

Adcock, E.P. 1997. Closures and Dispensing Devices for Glass and Plastic
Containers In F.A. Paine. The Packing Media. Blackie and Son, London.

Agoes, Goeswin. 2004. Toksisitas dan Persyaratan Wadah Pangan. Di dalam


Prosiding Lokakarya Wadah Pangan. Direktorat Standarisasi Produk
Pangan BPPOM, Jakarta.

Anderson, A.J.C. dan P.N. Williams. 1962. Refining of Oil and Fats for Edible
Purposes. Pergamon press Inc, New York.

Anderson, A.K. 1958. Essentials of Physiological Chemistry. John Wiley and


Sons, Inc, New York.

Anonim. 1953. Handbook of Glass Manufacture. Ogden Publishing Co, New


York.

Arpah. 2001. Buku dan monograf penentuan kadaluarsa produk. Program studi
ilmu pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ashby, R., Ian Cooper, dan Derek Shorten. 1992. Standar Method of Test for
Plastic Intended to Come Into Contact With Food, Di dalam Food
Packaging Migration and Legislation. Pira International. London, Uk,
pp.16-41.

Aurand, L.W. dan A.E. Woods. 1973. Food Chemistry. The AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut.

Balasubramaniam, K. dan K. Sihotang. 1979. Studies of Coconut Protein and Its


Enzymes Activities. J. Food Sci Vol. 44 : 62.

Baner, A.L., J.Brandsch, R. Franz dan O. Piringer. 1996. The Application of a


Model for Evaluating The Compliance of Plastics Materials with Food
Regulation. Food Additives and Contaminants Vol. 9 : 137-226.

Bayer, F.L. 1997. The Threshold of Regulationand its Application to Indirect


Food Additive Contaminants in Recycled Plastics. Food Additives and
Contaminants. Vol. 14(6) : 145-148.

Begley, T.H. dan Hollifield, H.C. 1993. Recycled Polymers in Food Packaging
Migration Consideration. When Recycled Polymer are Used in Packaging
The Possibility That Toxic Contaminants May Migrate Into Food Must be
Determined. Food Technology. Vol. 47 : 109-112.
Begley, T.H. 1997. Methods and Approaches Used by FDA to Evaluate The
Safety of Food Packaging Materials. Food Additives and Contaminants.
Vol. 14(6-7) : 545-553.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, dan G.H. Fleet. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. UI-
Press, Jakarta.

Budiawan, R.N. 2004. Ekses Bahan Kemasan Terhadap Kesehatan dan


Lingkungan. Di dalam Prosiding Lokakarya Wadah Pangan. Direktorat
Standarisasi Produk Pangan BPPOM, Jakarta.

Briston, J.H. dan L.L. Katan. 1974. Plastic in Contact With Foods. Food Trade
press Ltd, London.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of Economic Products of The Malay Peninsula,


Crown Agents for The Colonies, Millbank, London.

Cheosakul, U. 1967. Preparation of Stabilized Coconut Milk. Applied Sci. Res.


Co., Bangkok.

Clemete, A., dan M. Villacorte. 1933. Some Colloidal Properties of Coconut


Milk. Natur. Applied Sci. Bull. Univ Phil Vol. 3(1) : 7.

Commission Directive 90/128/EEC. Official Journal of The European


Communities L346. p.26, 13/12/1990 of 23rd February 1990.

Commission Directive 92/39/EEC. Official Journal of The European


th
Communities L168. p.21, 23/6/1992 of 14 May 1992.

Commission Directive 93/9/EEC. Official Journal of The European Communities


L090. p.26, 14/4/1993 of 15th March 1990.

Commission Directive 95/3/EEC. Official Journal of The European Communities


L041. p.44, 23/2/1995 of 14th February 1995.

Commission Directive 96/11/EEC. Official Journal of The European


Communities L061. p.26, 13/3/1996 of 5 March 1996.

Commission Directive 99/91/EEC. Official Journal of The European


Communities L310. p.41, 4/12/1999 of 23rd November 1999.

Commission Directive 2001/62/EEC. Official Journal of The European


Communities L221. p.18, 17/08/2001 of 9 August 2001.

Commission Directive 2002/17/EEC. Official Journal of The European


Communities L058. p.19, 28/02/2002 of 21 February 2002.
Crosby, N.T. 1981. Food Packaging Material : Aspect of Analysis and Migration
of Contaminants. Applied Science Publisher, London.

Damanik, R. Z. Daulay, S. Saragih, R. Premier, N.Wattanapenpaiboon & ML.


Wahlqvist. 2001. Consumption of Bangun-Bangun Leaves (Coleus
amboinicus Lour) to Increase Breast Milk Production Among Bataknese
Women in North Sumatera Island, Indonesia. Asia Pacific Journal of
Clinical Nutrition Vol. 10(4) : S67.

Damanik, R. 2005. Effect of Consumption Torbangun Soup (Coleus amboinicus


Lour) on Micronutrient Intake of The Bataknese Lactating Women. Media
Gizi & Keluarga Vol. 29(1) : 68-73.

Damanik, R. 2005. Fatty Acid Intake of The Bataknese Lactating Women


Consuming the Torbangun Soup (Coleus amboinicus Lour). Media Gizi &
Keluarga Vol. 29(1) : 74-80.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharatara


Karya Aksara, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid


V. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM),
Jakarta.

Desroiser, N.W. 1983. Food Preservation. The New Encyclopedia British


Macropedia Vol. 7 : 492-496.

Djatmiko, B. 1983. Studi Tentang Serat Daging Buah Beberapa Varietas Kelapa
dan Tentang Stabilitas Emulsi Santan. Jurusan Teknologi Industri
Pertanian. IPB, Bogor.

Ellis, MJ., 1994, The Methodology of shelf life determination. didalam. Shelf life
Evaluation of Foods, ed. CMD man dan AA Jones. Blackie Academic and
Professional. Glasgow

European Standard EN 1186-1 (Part 1). 1999. Guide to The Selection of


Condition and Test Method for Overall Migration.

Fardiaz, D. Srikandi F., F.G Winarno. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT


Gramedia, Jakarta.

Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York dan Basel.

Fernandez, W.L. dan V.M. Lirio. 1970. Thermophilic, Mesophilic Bacterial Plate
Count og “Gata” (coconut milk) Stored for 24 Hours at 55°C, 30°C, dan
10°C. Phil. Agric Vol. 54 : 193-201.
Fitriah, N. 2007. Kajian Pengemasan dan Penyimpanan Sop Daun Torbangun
(Coleus amboinicus Lour) Sebagai Makanan Tambahan Pelancar Produksi
Air Susu Ibu (ASI). Skripsi. Fateta. IPB, Bogor.

Floros, JD. 1993. Shelf Life Prediction of Packaged Foods. Di dalam Arpah,
2001, Buku dan Monograf Penentuan Kadaluarsa produk, Program studi
ilmu pangan. Institut Pertanian Bogor.

Furia, T.E. 1975. Hand Book of Food Additive. Volume 11. Cranwood Park-Way-
Cleveland : CRC Press, Inc.

Galotto, M. J. dan A. Guarda. 1999. Comparison between thermal and microwave


treatment on the overall migration of plastic material intended to be in
contact with food. Packaging Science and Technology. Vol 12 : 277-281.

Gonzales, O.N. dan R.H. Tanchuco. 1977. Chemical Composition and Functional
Properties of Coconut Protein Isolate (CPI). Phil. J. Coco. Study Vol 2(3) :
21-30.

Gortner, R.A. dan W.A. Gortner. 1950. Outlines of Biochemistry. John Wiley and
sons. Inc, New York.

Hagenmaier, R. 1972. Coconut Aqueous Processing. University of San Carlos,


Cebu City.

Hagenmaier, R. K.F. Mattil dan C.M. Cater. 1974. Dyhydrate Coconut Skim Milk
as a Food Product : Composition and Functionality. J. Food Sci Vol. 39 :
196-198.

Hagenmaier, R. R. Lapitakwong dan W. Verasestakul. 1975. Nutritive Value and


Food Uses of Coconut Skim Milk Solids. J. Food Sci Vol. 40 : 1324.

Hagenmaier, R. 1978. Research Report for Oct Nov 1978. Coconut Food Pilot
Plan, Cebu. City.

Hariyadi, P. 2000. Dasar–Dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Pusat Studi
Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (PSPG-IPB), Bogor.

Harper, W.J. dan C.W. Hall. 1981. Dairy Technology and Engineering. The AVI
Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Heid, J.L. dan M.A. Joslyn. 1963. Food Processing Operation. The AVI
Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Herro, A.C. 1980. Pasteurization. Encyclopedia of Food Technology and Food


Science Series Vol 2 : 677-678.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Departemen Kehutanan RI,
Jakarta.

Hine, DJ., 1997. Modern Packaging, Packaging and Distribution System For food.
Blackie, London.

Hoffman, F. dan La Roche. 1951. The Stabilization of Edible Fats and Oils.
Brosur. F. Hoffman-La Roche and Co, LTD, Basle.

Jacobs, M.B. 1951. The Chemistry and Technology of Food and Food Products.
D. Van Nostrand Co. Inc, New York.

Jain, S.K. dan S. Lata. 1996. Unique Indigenous Amazonian Uses of Some Plants
Growing in India, IK Monitor 4(3) article.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press,


Jakarta.

Kirk, R.E. dan O.F. Othmer. 1950. Encyclopedia of Chemical Technology. The
Interscience Encyclopedia, Inc, New York.

Kirk, R.E. D.P. Othmer. 1951. Encyclopedia of Chemical Technology. The


Interscience Encyclopedia, Inc, New York.

Kirschenbaueur, H.G. 1960. Fats and Oils, an Outline of their Chemistry and and
Technology. Reinhold Publishing Corporation, New York.

Knibe, D.E. 1971. Theory of Extraction of Additives from Plastics by Swelling


Solvent. Plastica. Vol. 8 : 358.

Labuza, T.P. 1982. Open Shelf Life Dating of Food. Food science and Nutrition.
Press inc., Westport, Connecticut.

Latif, Abdul. 1998. Kajian Proses Pengalengan dan Sistem Pengendalian Mutu
Produk Jamur Champignon (Agericus bisporus) pada PT Dieng Jaya,
Wonosobo, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Leung, W.W., R.R. Butrun dan F.M. Chang. 1972. Food Composition Table for
Use in East Asia. FAO of the UN. N.

Lund, D. 1977. Design of Thermal Processing for Maximing Nutrient Rettention.


Food Tech Vol. 2 : 71.
Mahmud, K., D.S. Slamet, R.R. Apriyantono, dan Hermana. 1995. Komposisi Zat
Gizi Pangan Indonesia. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Jakarta.
Mardisiswojo, S. dan H. Rajakmangunsudarso. 1985. Cabe Puyang Warisan
Nenek Moyang. Cetakan I. PN Balai Pustaka, Jakarta.

Meyer, L.H. 1960. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York.

Monera, O.D. 1980. Physico-chemical Studies on The Stability of Coconut Milk


Emulsion (gata). M.S. Thesis, UPLB.

Muchtadi, D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Pustaka Sinar


Harapan, Jakarta.

Muir, D.D., J. Abbot dan A.M. Sweetsur. 1979. Changes in The Heat Stability of
Milk Protein During The Manufacture of Skim Milk. J. Food Technology
Vol. 13 : 45-53.

Mulia, A. 1986. Mempelajari Pengaruh Penyimpanan Beku dari Santan dan


Kelapa Parut (Cocus nucifera L.) terhadap Cita Rasa Santan dan Mutu
Minyak yang Dihasilkan. Laporan Kerja Praktek. Akademi Kimia
Analisis, Bogor.

Nurendah. 1982. Laporan Penelitian Sifat Ekbolik Komponen Jamu yang


Digunakan terhadap Kehamilan II. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan, Jakarta.

O’Brien, A., A. Leach and I. Cooper. 2000. Polypropylene: Establishment of a


Rapid Extraction Test for Overall Migration Limit Compliance Testing,
Packaging Science and Technology. Vol. 13 : 13-18.

Peterson, G.T. 1969. Methods of Producing Vacum in Cans. Di dalam Laboratory


Manual For Food Canners & Processors. Vol 2. 1978. The AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut.

Rahayu, M. 1999. Plactranthus L’Her. Di dalam de Padua, L.S., N.


Bunyapraphatsara dan R.H.M.J. Lemmens (Eds.). Plant Resources of
South – East Asia : Medicinal and Poisonous Plants 1. Vol 12(1) : 403-
408.

Samson, S.J.A.S., R.N. Khaud, C.M. Cater dan K.F. Mattill. 1971. Extractability
of Coconut Proteins. J Food Sci Vol. 36: 725-728.

Samson, A.S. 1971. Extacbility of Coconut Proteins. Journal of Food Sci Vol. 36 :
725.

Schmidt, C. F. 1957. Commercial Processing of Canned Foods. Di dalam Goerge


F. Reddish Lea and Febriger (ed). Antiseptic, Desinfectans, Fungicides
and Chemical and Physical Sterilizations. Philadelphia.
Seehafer, M.E. 1967. The Development and Manufacture of Sterilized Milk
Concentrate. FAO, Rome.

Siagian, M.H. dan M. Rahayu. 2000. Laporan Penelitian Etnobotani Plecantrus


amboinicus Lour Spreng di daerah Batak Toba, Tapanuli Utara, Sumatera
Utara. Makalah disajikan pada Kongres Nasional Obat Tradisional
Indonesia, Surabaya.

Silitonga, M.1993. Efek Laktogagum Daun Jinten (Coleus amboinicus, L) pada


Tikus Laktasi. Tesis. Program Studi Biologi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Soekarto, S.T. dan Nur Wulandari. 2004. Pencemaran Bahan Berbahaya dari
Wadah Pangan (Indirect Food Additives). Di dalam prosiding Lokakarya
Wadah Pangan, Jakarta.

Somaatmadja, D., J. Ali, A. Ghani, S. Herman, H. Wiriano dan A. Dachlan. 1973.


Isolasi Protein dan Tekonologinya II. Protein Kelapa. Balai Penelitian
Bogor, Departemen Perindustrian, Bogor.

Suherly, L.A. 1984. Mempelajari Stabilitas Emulsi Santan Terhadap Sterilisasi.


Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syamsuhidayat, S.S. & J.R. Hutapea. 1991. Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia
(I). Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.

Syarief, R., dan A. Irawati.1983. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.


MSP, Jakarta.

Syarief , R., Sasya Santausa dan St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan
Pangan. Lab Rekayasa Proses Pangan, PAU pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Syarif, R. dan Halid, 1993, Teknologi penyimpanan pangan, Pusat studi antar
universitas. Institut Pertanian Bogor.

Tejada, A.W. 1973. Studies on Processing and Preservation of Coconut Cream.


Thesis, UPLB.

Thieme, J. G. (1968). Coconut Oil Processing. FAO. Agricultural Development


Paper no. 89, Rome.

Thorsheim, H. R. dan Armstrong, D. J. 1993. Recycled Plastics for Food


Packaging : How do FDA policy and research ensure that recycled plastics
are safe for food contact use?. Chemtech, vol. 33. No 8. pp: 55-58.
Vasquez, E.A., W. Kraus, A.D. Solsoloy, B., dan M. Rejesus. 2000. The Use of
Spices and Medicinal: Antifungal, Antibacterial, Anthelmintic, and
Molluscicidal Constituents of Philipphine Plants.
http://www.faoorg/docrep/x2230e/x2230e8.htm

Winarno, F.G dan B.S.L. Jennie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara
Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Winarno, F. G. 1986. Kimia Pangan. Penerbit Gramedia, Jakarta.

Winarno, F.G. 1990. The prospect of Retorable Pouch in Food Industries. Paper in
17th Asian Packaging Federation Congress 1990. 24 September 1990,
Jakarta.

Winarno, F.G. 1994. Sterilisasi Komersial Produk Pangan. PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Woodroof, J.G. 1975. Commercial Fruit Processing. The AVI Publishing


Company, Inc. Westport, Connecticut.

Woodroof, J.G. 1979. Coconuts : Production, Processing, Products. 2nd ed. The
AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.

Woolrich, W.R. dan E.R. Hallowell. 1970. Cold and Freezer Storage Manual.
The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Lampiran 1. Prosedur Analisa

1. pH

Sebelum digunakan untuk mengukur pH, terlebih dahulu pH meter


dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4 atau 7. Setelah pH meter
dikalibrasi, sampel diukur. Elektrode dibilas dengan menggunakan aquades dan
dikeringkan dengan kertas tissue. Elektroda dicelupkan pada larutan sampel.
Elektrode dibiarkan tercelup beberapa saat sampai diperoleh pembacaan yang
stabil dan catat pH sampel.

2. TAT (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 10 gram dilarutkan ke dalam labu takar 250 ml, lalu
diambil 25 ml. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 N yang
sudah distandarisasi dengan asam oksalat, kemudian ditetesi 2-3 tetes indikator
phetolpethalein 1% dan terus dititrasi sampai menunjukkan titik akhir titrasi yaitu
berwarna merah muda/pink. Hasil perhitungan dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1
N/100 ml bahan.
ml NaOH × N × 64 × P × 100
Total asam ( g / 100 g ) =
Y × 100

Dimana N : Normalitas NaOH yang telah distandarisasi


Y : Bobot sampel
P : Faktor pengenceran
64 : ekuivalensi asam sitrat

3. Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) (Apriyantono et al., 1989)

Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke


dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2
menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci
dengan 47.5 ml aquades. Ditambahkan ± 2.5 ml HCl 4M sampai pH menjadi 1.5.
Kemudian, ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent)
secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml
destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk merata,
kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Ditambahkan 5
ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit
dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml
pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel.
Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama ± 10 menit, kemudian
diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan larutan blanko
sebagai titik nol. Digunakan sampel sel berdiameter 1 cm. Bilangan TBA dihitung
dan dinyatakan dalam mg malanoldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7.8 D.

4. Total Plate Count (Fardiaz, 1987)

Pembuatan media agar dilakukan dengan mencampurkan 23 g Nutrient


agar ke dalam 1 liter aquades dalam gelas piala. Larutan yang terbentuk
dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut.
Sterilisasi dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan yang lain yang akan
digunakan seperti pipet, blender, dan larutan agar dalam autoklaf selama 15 menit.
Larutan agar disimpan dalam pemanas air suhu 45oC. Pembuatan larutan
pengencer dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml aquades. Larutan
pengencer kemudian didestilasi.
Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan (campuran
sop daun bangun-bangun) dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9
ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1
ml larutan sampel yang sudah homogen dengan pipet steril sehingga terbentuk
pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen.
Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari
masing-masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan
dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet
steril. Media agar ditambahkan ke dalam setiap cawan petri sebanyak 20 ml dan
digoyangkan sampai dengan merata (metode tuang). Cawan petri (agar yang
sudah membeku) diinkubasi dalam inkubator bersuhu 30oC selama 48 jam.
Lampiran 2. Form uji hedonik
Lampiran 3. Layout canning line pada Laboratorium Pilot Plant SEAFAST , IPB
Lampiran 4a. Data uji organoleptik pendahuluan

Hasil penilaian hedonik untuk parameter aroma


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
1 6 6 6 6 6 6 6 4 4
2 6 6 6 6 6 4 6 5 3
3 6 6 6 5 6 3 5 5 5
4 5 6 6 5 5 2 4 4 4
5 6 4 5 4 5 1 4 3 3
6 5 4 4 4 3 1 4 3 3
7 5 5 5 4 3 2 4 4 4
8 5 5 4 5 2 3 3 3 3
9 6 4 4 5 3 1 4 4 2
10 5 4 4 4 5 1 4 4 3
11 5 5 4 3 4 2 6 6 5
12 5 5 4 4 4 1 4 6 5
13 5 5 3 4 3 1 3 3 3
14 5 5 3 3 4 1 4 4 3
15 5 4 4 3 4 5 3 2
16 4 4 4 3 4 4 3 4
17 4 4 4 4 4 4 4 2
18 4 4 4 4 4 4 4 3
19 4 4 4 2 2 3 3 3
20 4 4 3 4 4 5 3 2
Lampiran 4b. Data uji organoleptik pendahuluan

Hasil penilaian hedonik untuk parameter tekstur


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
1 6 6 6 6 6 6 5 5 5
2 6 6 6 6 6 6 6 5 5
3 6 6 6 6 5 5 5 5 5
4 6 5 3 6 5 4 4 2 6
5 6 5 5 5 4 4 6 3 4
6 5 5 4 5 3 4 3 3 6
7 5 5 5 4 3 3 4 2 3
8 5 5 4 4 3 3 3 3 3
9 5 5 5 4 3 2 5 3 5
10 5 5 5 4 4 3 5 4 3
11 4 4 4 4 4 2 4 4 3
12 4 4 4 4 4 2 4 4 4
13 4 4 3 4 4 1 4 3 3
14 3 4 4 4 3 1 4 3 4
15 3 4 4 4 4 1 3 3 2
16 3 4 4 3 3 4 3 3
17 3 4 4 3 3 3 3 4
18 2 4 4 2 2 3 2 2
19 3 4 4 3 3 3 3 3
20 3 2 3 3 3 3 3 3
Lampiran 4c. Data uji organoleptik pendahuluan

Hasil penilaian hedonik untuk parameter kekentalan


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
1 6 6 6 6 6 6 6 5 5
2 6 7 6 5 5 7 6 5 4
3 6 6 6 5 5 4 4 4 4
4 5 6 4 6 4 4 3 3 4
5 5 4 5 4 4 4 4 4 4
6 5 4 4 4 4 4 4 3 6
7 4 4 4 4 4 3 4 2 3
8 4 5 4 5 4 2 3 4 4
9 4 4 4 4 4 4 4 3 4
10 4 5 5 4 4 3 5 4 4
11 4 4 4 4 4 3 3 4 4
12 4 4 5 4 4 3 5 6 4
13 4 4 4 4 4 4 3 3 4
14 4 4 5 4 3 3 5 3 4
15 4 4 4 4 4 4 3 3 2
16 4 4 3 3 3 4 4 3
17 4 4 3 3 3 3 2 3
18 4 4 3 2 2 3 3 2
19 4 3 5 3 3 3 3 2
20 3 2 3 1 4 3 3 2
Lampiran 4d. Data uji organoleptik pendahuluan

Hasil penilaian hedonik untuk parameter warna


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
1 7 7 6 6 6 6 5 5 5
2 7 6 6 6 6 6 5 5 5
3 6 6 6 6 6 5 5 5 5
4 6 5 5 6 5 4 4 3 3
5 5 5 5 6 5 4 4 4 5
6 5 5 5 5 5 4 3 3 4
7 5 4 4 5 4 4 4 2 2
8 5 4 4 5 4 4 3 4 3
9 5 4 4 5 4 4 5 6 4
10 5 4 4 5 4 4 5 4 3
11 5 4 4 4 4 3 4 4 4
12 5 4 4 4 4 3 5 4 3
13 4 4 4 4 4 3 3 4 4
14 4 4 4 4 4 3 3 3 4
15 4 3 4 4 4 3 3 2
16 4 3 3 4 3 3 3 3
17 4 3 3 3 3 3 2 3
18 4 3 3 2 3 3 2 3
19 4 3 3 3 3 3 3 4
20 3 2 3 2 2 4 4 3
Lampiran 4e. Data uji organoleptik pendahuluan

Hasil penilaian hedonik untuk parameter penerimaan umum


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
1 6 6 6 6 6 6 6 6 6
2 6 5 5 6 6 6 6 6 5
3 6 6 5 6 6 5 5 6 5
4 6 4 5 5 5 4 5 5 5
5 6 4 5 6 5 4 3 6 4
6 5 5 5 6 5 4 3 3 5
7 5 4 4 6 5 4 4 3 4
8 4 4 4 5 5 3 4 3 3
9 4 4 4 6 4 3 4 3 3
10 5 4 5 4 4 2 5 6 4
11 5 4 5 4 4 2 5 3 3
12 5 4 4 4 4 1 4 3 4
13 4 4 4 4 4 1 5 3 5
14 5 4 4 4 3 1 3 3 3
15 4 4 3 4 3 4 4 4
16 4 4 3 4 3 3 3 2
17 4 4 3 4 3 4 4 3
18 5 4 4 3 2 3 3 2
19 3 4 2 4 3 4 4 3
20 2 3 2 1 3 3 3 2
Lampiran 5. Data Hasil Uji pH pada kemasan gelas, CPET, dan kaleng

Data hasil uji pH pada kemasan Gelas


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C T. Ruang
0 6,12 6,12 6,12
2 6,25 6,12 6,02
4 6,30 6,28 5,92
6 6,31 6,31 6,04
8 6,36 6,29 4,37
10 6,31 6,25
12 6,28 6,32
14 6,34 6,33
16 5,85 6,37
18 6,05 6,38

Data hasil uji pH pada Kemasan CPET


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C Ruang
0 6,25 6,25 6,25
2 6,39 6,38 6,31
4 6,43 6,43 5,69
6 6,45 6,37 4,97
8 6,43 6,42 4,57
10 6,40 6,39
12 6,39 6,41
14 6,40 5,59
16 6,43 6,16
18 6,37 6,22

Data hasil uji pH pada kemasan kaleng


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C Ruang
0 5,54 5,54 5,54
2 5,68 5,71 5,67
4 5,70 5,69 5,67
6 5,71 5,71 5,68
8 5,71 5,70 5,71
10 5,70 5,69 5,68
12 5,70 5,70 5,68
14 5,71 5,72 5,70
16 5,68 5,70
18 5,75 5,73
20 5,76 5,73
22 5,73 5,75
Lampiran 6. Data hasil uji total asam tertitrasi pada kemasan gelas, CPET, dan
kaleng

Data hasil uji TAT pada kemasan gelas


Suhu
Hari Pengamatan 5-8°C 10-12°C Ruang
0 2,761 2,761 2,761
2 2,100 1,630 3,778
4 2,132 1,963 6,800
6 1,314 1,673 2,513
8 1,499 1,747 24,554
10 1,552 3,286
12 1,593 1,598
14 1,294 1,355
16 1,608 1,509
18 2,445 0,654

Data hasil uji TAT pada kemasan CPET


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C Ruang
0 1,557 1,557 1,557
2 0,940 1,387 1,401
4 1,910 1,872 5,214
6 0,864 1,302 11,453
8 1,372 1,010 19,420
10 1,148 1,314
12 1,322 1,227
14 1,135 6,477
16 1,382 2,466
18 1,442 1,778

Data hasil uji TAT pada kemasan kaleng


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C Ruang
0 6,245 6,245 6,245
2 6,224 6,331 6,123
4 5,947 6,205 6,708
6 6,587 5,942 6,860
8 6,795 6,799 6,996
10 6,156 6,870 7,698
12 7,092 7,665 7,653
14 7,041 7,479 7,595
16 7,705 8,104
18 8,369 8,728
20 9,174 10,762
22 9,627 9,965
Lampiran 7. Data hasil uji total plate count pada kemasan gelas, CPET dan kaleng

Data hasil uji TPC pada kemasan gelas


Suhu
Hari
5–8°C 10 -12 ° C Ruang
0 1 x 102 1 x 102 1 x 102
2 7 x 102 8 x 102 2,2x 105
4 2,9 x 103 1,2 x 103 1,6 x 105
6 1 x 103 5,2 x 105 1,3x 105
8 1,1 x 105 1,7 x 105 2 x 107
10 1,6 x 106 1,1 x 105
12 1,6 x 105 1,2 x 106
14 2 x 104 1,7 x 106
16 3,6 x 105 1,65 x 106

Data hasil uji TPC pada kemasan CPET


Hari Suhu
5–8°C 10 -12 ° C Ruang
0 4 x 102 4 x 102 4 x 102
2 2,3 x 103 2,3 x 103 1 x 104
4 6,5 x 102 1,9 x 104 1,8 x 106
8 1,9 x 105 2,0 x 105 2,8 x 106
10 1,6 x 106 1,1 x 105 8,7 x 106
12 1 x 104 1 x 104
14 5 x 107 1,1 x 107
16 3,1 x 105 1,3 x 107

Data hasil uji TPC pada kemasan kaleng


Suhu
Hari Pengamatan
5-8˚C 10-12˚C Ruang
0 0 0 0
2 0 0 0
4 0 0 0
6 0 0 0
8 10 20 10
10 20 20 20
12 10 10 30
14 10 10 30
16 10 10
18 10 10
20 10 10
22 20 30
Lampiran 8. Data hasil uji Thiobarbituric Acid (TBA) pada kemasan gelas, CPET
dan kaleng.

Data hasil uji TBA pada kemasan gelas


Suhu
Hari
5-8°C 10-12°C Ruang
0 0,015 0,015 0,015
10 0,040 0,055 0,060
18 0,017 0,014

Data hasil uji TBA pada kemasan CPET


Suhu
Hari
5-8°C 10-12°C Ruang
0 0,016 0,016 0,016
10 0,030 0,040 0,040
18 0,018 0,017

Data hasil uji TBA pada kemasan kaleng


Suhu
Hari Pengamatan
5-8°C 10-12°C Ruang
0 0,012 0,012 0,012
10 0,026 0,035 0,049
12 0,021 0,027
Lampiran 9a. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter aroma

Gelas CPET Kaleng


Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
2 6 6 5 6 6 4 6 6 6
4 6 5 3 6 6 3 6 6 5
6 6 5 2 5 5 2 6 5 5
8 6 5 2 5 4 2 5 5 4
10 6 5 4 4 5 5 4
12 4 5 4 4 5 4 4
14 3 4 4 3 4 4
16 4 3 4 3 4 4
18 4 2 3 3 6 6
20 4 4
22 4

Lampiran 9b. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter tekstur


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
2 6 6 5 6 6 6 6 6 6
4 6 6 5 6 5 5 6 6 6
6 6 6 3 6 6 3 5 5 5
8 5 5 3 5 4 2 5 5 5
10 5 4 3 4 4 1 5 5 5
12 4 4 4 4 4 4 4
14 4 4 2 3 4 4
16 4 4 4 2 4 3
18 3 3 3 3 4 3
20 4 3
22 3 3

Lampiran 9c. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter kekentalan


Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
2 6 6 6 6 6 5 6 6 6
4 6 6 6 6 5 4 6 6 5
6 6 5 5 6 4 4 6 5 5
8 6 6 5 4 4 3 5 5 5
10 4 4 4 4 4 1 5 5 4
12 4 4 4 4 5 5 4
14 4 4 4 4 4 4
16 4 4 4 2 4 4
18 4 3 3 4 4 4
20 4 3
22 3 3
Lampiran 9d. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter warna
Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
2 5 6 6 5 6 5 6 6 6
4 6 6 6 6 6 5 6 6 5
6 6 6 6 5 4 3 6 6 4
8 6 6 6 5 4 3 5 5 4
10 5 5 5 4 4 2 4 4 4
12 4 5 5 3 4 4 3
14 4 4 3 3 4 4
16 4 3 4 2 4 4
18 4 3 3 4 5 4
20 5 5
22 3 3

Lampiran 9e. Data hasil penilaian hedonik terhadap parameter penerimaan umum
Gelas CPET Kaleng
Hari Suhu Suhu Suhu
5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang 5-8°C 10-12°C Ruang
2 6 6 5 6 6 6 6 6 5
4 6 6 4 6 5 4 6 6 4
6 6 6 4 5 4 3 5 6 5
8 6 6 3 4 4 2 5 6 4
10 6 5 3 4 4 2 5 5 4
12 4 5 5 3 4 5 4
14 4 4 4 3 4 4
16 4 4 4 2 4 4
18 3 4 3 3 4 6
20 5 4
22 4 4
Lampiran 10. Luas permukaan kemasan gelas, CPET dan kaleng yang digunakan

Rumus luas permukaan gelas


L = πr 2 + 2πrt

Rumus luas permukaan CPET


L = π ( R + r ) h 2 + ( R − r ) 2 + πr 2

Rumus luas permukaan kaleng


L = πr 2 + 2πrt

Keterangan :
L : luas permukaan
R : jari-jari lingkaran atas CPET
r : jari-jari lingkaran bawah CPET
t : tinggi food simulant dalam kemasan

Anda mungkin juga menyukai