Anda di halaman 1dari 136

SKRIPSI

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK


MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MENTAH

Oleh :
VALERIA KOES INGGRID SUKOWATI
F24102105

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK
MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MENTAH

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
VALERIA KOES INGGRID SUKOWATI
F24102105

2007
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN UNTUK


MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MENTAH

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
VALERIA KOES INGGRID SUKOWATI
F24102105

Tanggal lulus :

Menyetujui :
Bogor,

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi.
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah


Ketua Departemen ITP
Valeria Koes Inggrid Sukowati. F24102105. Aplikasi Teknologi dan Bahan
Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Mentah.
Di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc dan Dr. Ir. Nuri
Andarwulan, Msi.

RINGKASAN

Mie adalah makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Mie


basah mentah termasuk bahan pangan yang mudah rusak karena memiliki kadar
air yang cukup tinggi (20-35%). Penyimpanan mie basah mentah pada suhu ruang
hanya dapat mempertahankan kesegarannya hingga 36 jam. Oleh karena itu,
banyak produsen mie yang menggunakan bahan tambahan ilegal seperti formalin
dan boraks untuk meningkatkan mutu mie basah mentah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan umur simpan mie basah
mentah dengan mengaplikasikan teknologi dan bahan tambahan pangan yang
sesuai perundang-undangan. Mie basah mentah yang dihasilkan pada penelitian
ini selanjutnya disebut dengan mie. Tahapan penelitian meliputi pemilihan garam
alkali (0,6% Na2CO3 dan 0,2% STPP), penambahan hidrokoloid (0,5% gum arab,
0,5% karagenan, dan 0,2% CMC), aplikasi teknologi penyimpanan (suhu rendah,
kemas vakum) dengan menggunakan kemasan LDPE dan PP, peningkatan mutu
tapioka (tapioka bermerek dan tapioka tidak bermerek), optimasi pengawet (Na-
asetat, Ca-propionat, dan K-sorbat). Setiap perlakuan yang memberikan umur
simpan paling lama dan dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara
bersamaan pada aplikasi kombinasi terbaik. Pengamatan dilakukan untuk
menetapkan umur simpan secara subyektif berdasarkan bau asam. Selain itu, juga
dilakukan analisis mutu fisik (kekerasan, kelengketan, elastisitas, dan warna),
mutu kimia (pH dan aw), mutu mikrobiologis (TPC dan total kapang-khamir) yang
dilakukan secara obyektif, analisis kontribusi harga BTP, dan uji sensori.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mie yang menggunakan Na2CO3
memiliki umur simpan 44 jam, sedangkan mie yang menggunakan STPP hanya
bertahan selama 24 jam. Mie Na2CO3 memiliki tekstur yang lebih keras dan warna
yang lebih kuning dibandingkan dengan mie STPP, tetapi elastisitasnya lebih
rendah. Penambahan Na2CO3 memerlukan biaya sebesar Rp.19,20/kg mie
sedangkan penambahan STPP Rp.24,-/kg mie. Oleh karena itu, Na2CO3
digunakan sebagai garam alkali pada aplikasi kombinasi terbaik.
Mie dengan penambahan gum arab, CMC dan karagenan memiliki umur
simpan yang sama yaitu 48 jam. Mie dengan penambahan CMC, gum arab dan
mie kontrol lebih keras dibandingkan dengan mie dengan penambahan karagenan.
Penambahan CMC, gum arab atau karagenan tidak mempengaruhi kelengketan
mie. Mie dengan penambahan CMC lebih elastis dibandingkan dengan mie
dengan penambahan gum arab, karagenan dan mie kontrol. Dari segi harga, mie
dengan penambahan CMC memerlukan biaya sebesar Rp.96,-/kg mie sedangkan
mie dengan penambahan gum arab memerlukan biaya sebesar Rp.520,-/kg mie
dan mie dengan penambahan karagenan memerlukan biaya sebesar Rp.2.400,-/kg
mie. Oleh karena itum CMC digunakan sebagai hidrokoloid pada aplikasi
kombinasi terbaik.
Ada dua jenis tapioka yang digunakan sebagai pemupur yaitu tapioka tidak
bermerek (TTB) dan tapioka bermerek Gunung Agung (TGA). Penyangraian pada
suhu 80oC dilakukan terhadap tapioka tidak bermerek untuk mengurangi jumlah
mikroba awal. Penyangraian ini dilakukan selama 0 detik (TTB0), 15 detik
(TTB15), 30 detik (TTB30) dan 60 detik (TTB60). Berdasarkan analisis
mikrobiologis, TPC tapioka TTB30, TTB60 dan TGA memiliki nilai yang sama
yaitu sebesar 2,3 x 103 CFU/g dan lebih rendah dibandingkan dengan TPC
TTB15 dan TTB yang tidak disangrai. Mie yang dipupur dengan TTB60 dan TGA
memiliki umur simpan yang sama (52 jam) dan lebih lama dibandingkan dengan
mie yang dipupur dengan TTB0, TTB15, dan TTB30. Penambahan tapioka tidak
bermerek memerlukan biaya sebesar Rp.105,-/kg mie sedangkan tapioka
bermerek Rp.150,-/kg mie. Tapioka TGA digunakan sebagai tapioka terbaik
karena dapat memperpanjang umur simpan mie hingga 52 jam.
Mie yang disimpan pada suhu rendah (6oC) dengan kemasan LDPE atau PP
dan mie yang dikemas vakum dengan kemasan PP umur simpannya lebih dari 4
minggu (indikator bau asam) dan lebih lama dibandingkan dengan mie yang
disimpan pada suhu ruang (30oC) dengan kemasan LDPE atau PP dan mie yang
disimpan pada suhu rendah (13oC) dengan kemasan LDPE atau PP. Pengunaan
dua jenis kemasan LDPE atau PP tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap umur simpan mie. Penggunaan kemasan LDPE memerlukan biaya
sebesar Rp.400,-/kg mie sedangkan kemasan PP sebesar Rp.1.200,-/kg mie.
Teknologi kemas vakum dengan kemasan PP memerlukan biaya sebesar
Rp.26.200,-/kg mie.
Pada tahapan optimasi pengawet, pengawet yang dapat memperpanjang
umur simpan mie paling lama diperoleh dari hasil kombinasi pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% karena umur simpan mie mencapai 66
jam. Selanjutnya, mie dengan penambahan pengawet Na-asetat 25%+Ca-
propionat 50%+K-sorbat 25% akan digunakan sebagai mie dengan pengawet
terbaik karena dapat memperpanjang umur simpan mie hingga 66 jam.
Berdasarkan analisis ragam, penurunan konsentrasi pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% sebesar 50% telah berbeda nyata umur
simpannya dengan konsentrasi pengawet 100%. Mie dengan konsentrasi pengawet
50% dipilih sebagai pengawet optimal menurut GMP karena umur simpannya
cukup lama yaitu 60 jam. Pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat
25% dengan konsentrasi 50% memberikan kontribusi harga sebesar Rp.87,50/kg
mie.
Mie kombinasi terbaik dibuat dengan penambahan 0,6% Na2CO3, 0,2%
CMC, penggunaan tapioka bermerek dan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat
50%+K-sorbat 25% dengan konsentrasi 50%. Mie kontrol dinyatakan rusak
setelah 32 jam karena TPCnya mencapai 1,6 x 106 CFU/g, sedangkan mie
kombinasi terbaik dinyatakan rusak setelah 40 jam karena TPCnya telah mencapai
2,5 x 106 CFU/g. Sampai dengan 44 jam, pertumbuhan kapang dan khamir pada
mie kontrol masih memenuhi syarat SNI yaitu hanya mencapai 6,8 x 101 CFU/g.
Setelah 60 jam, pertumbuhan kapang dan khamir mie kombinasi terbaik mencapai
3,0 x 103 CFU/g. Jumlah koliform pada mie kontrol dan mie kombinasi terbaik
sebesar 0 MPN/g.
Uji sensori yang dilakukan menggunakan uji hedonik (kesukaaan) dengan
menggunakan 5 skala dan sebagai kontrol positif, digunakan mie pasar.
Berdasarkan hasil uji sensori, panelis menilai netral untuk parameter aroma,
tekstur, warna, dan secara keseluruhan mie kontrol mentah, mie pasar mentah, dan
mie kombinasi terbaik mentah. Akan tetapi, aroma dan tekstur mie pasar berbeda
nyata dengan aroma mie kontrol dan mie kombinasi terbaik, sedangkan untuk
parameter warna, ketiga jenis mie ini tidak berbeda nyata. Panelis juga menilai
netral untuk parameter aroma, tekstur, warna, rasa dan secara keseluruhan mie
kontrol mentah yang dimatangkan, mie pasar mentah yang dimatangkan, dan mie
kombinasi terbaik mentah yang dimatangkan. Aroma, warna, dan rasa mie pasar
mentah yang dimatangkan berbeda nyata dengan mie kontrol mentah yang
dimatangkan dan mie kombinasi terbaik yang dimatangkan.
Saran-saran yang dapat digunakan untuk aplikasi industri atau penelitian
selanjutnya yaitu : (1) penggunaan pengawet Na-asetat teknis dengan konsentrasi
maksimal yang digunakan sebesar 0,6% sehingga dapat lebih memperpanjang
umur simpan mie tetapi tidak memerlukan biaya yang mahal; (2) penyimpanan
mie pada suhu rendah untuk memperpanjang umur simpan mie.
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Valeria Koes Inggrid Sukowati. Penulis dilahirkan di


Jakarta pada tanggal 27 Desember 1983. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara dari Bapak Heribertus Paulus Sukimandoyo dan Ibu Anna Koes
Endah. Penulis memulai pendidikan SD di SD Strada Van Lith II Jakarta
pada tahun 1990-1996. Kemudian penulis melanjutkan ke SMP Santa Ursula
Jakarta pada tahun 1996-1999 dan SMU Santa Ursula Jakarta pada tahun 1999-
2002. Penulis diterima di IPB di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi melalui
jalur SPMB pada tahun 2002.
Selama kuliah, penulis pernah bergabung sebagai Bendahara dan Ketua
Dana & Usaha Ziarah Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) IPB dan menjadi
panitia di beberapa acara Natal Civa IPB. Penulis juga pernah menjadi asisten
mata kuliah Mikrobiologi tahun 2005 dan asisten mata kuliah Teknologi
Pengolahan Pangan tahun 2006. Penulis pernah bekerja Praktek Kerja Lapang di
Aerowisata Catering Service Tanggerang di bagian Kitchen & Hygiene
Departement pada tahun 2005 dengan tema : Mempelajari Penerapan GMP (Good
Manufacturing Practices) dan SSOP (Standard Sanitation Operating Procedures)
pada PT. Aerowisata Catering Service, Cengkareng, Banten. Pada penyelesaian
tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul : Aplikasi Teknologi dan
Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Mentah
di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Ir Nuri
Andarwulan, M.Si.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan berkatNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Aplikasi
Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur
Simpan Mie Basah Mentah”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang telah banyak mengajari
penulis tentang kesetiaan, cobaan, kepercayaan, kesabaran dan
kebijaksanaan dalam hidup ini dan khususnya selama penelitian ini
berlangsung.
2. Kedua orangtuaku tersayang, Mas Anton dan Iyus serta nenekku
tercinta, yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, doa,
nasehat, dorongan, serta bantuannya baik secara materi maupun moril.
3. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku dosen pembimbing I
yang telah memberikan arahan, bimbingan, nasehat dan segala bantuan
kepada penulis selama perkuliahan, penelitian maupun penyusunan
tugas akhir.
4. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi selaku dosen pembimbing II yang
telah banyak memberikan masukan, arahan, dan kritik yang sangat
membantu penulis.
5. Ibu Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku dosen penguji yang telah
memberikan waktu dan masukan-masukan kepada penulis.
6. Pretty, Karen, Elvina, Meilina dan Dhenok yang telah bersama-sama
menghadapi segala tantangan selama penelitian. Segala sesuatu yang
baik tidak akan datang terburu-buru.
7. Para Laboran : Pak Gatot, Bu Rubiyah, Pak Wahid, Pak Koko, Pak
Rozak, Pak Sidik, Pak Yahya, Pak Sobirin, Bu Sri, Teh Ida, Mas Edi
dan semua laboran di laboratorium Departemen ITP atas bantuan dan
kerjasamanya.
8. Sahabatku : Ratry, Ella dan Steisi yang selalu mau membagi kesedihan
dan kegembiraan persahabatan kita selama 4 tahun di IPB, Pretty yang
telah berbagi waktu, air mata dan senyuman bersama-sama selama
penelitian, Arvi yang selalu memberikan keceriaan selama praktikum,
Maria Dewi yang telah membantuku menemukan tujuan hidupku dan
Karen yang telah membantuku mengenal Tuhanku lebih dalam.
9. Shinta, Nanda, dan Ribka yang telah banyak menghibur dan
menguatkan penulis menghadapi segala cobaan. Cobaan yang kamu
alami ialah cobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatanmu sebab Allah
setia dan akan memberikan jalan keluar.
10. Tante, Tukep, Farah, Dora, Nui, Tissa dan Ina, dan Nene yang selalu
membagi cerita, gosip, jalan-jalan dan hal-hal seru lainnya selama 4
tahun ini.
11. Teman-teman TPG39 : Kelompok D1 (Te, Arvi, Woro, Stuty), Herold,
Kiki, Hansib, Hana, Yessica, Prasna, Randy, Adjeng, Didin, Ulik,
Dadik, Ijal, Adrinal, Tono, Eva, Risna, Aponk, Vivi, dan semua anak
ITP39 lainnya;
12. ITP40 khususnya Andreas dan Agus, tetangga kos ku Ayu BDP41 dan
Herdi INMT39, Rhais Prasetyo terimakasih atas pinjaman bukunya,
Greth yang telah meminjamkan kamarnya.
13. Masku, yang tanpa kau sadari kehadiranmu telah mengajariku untuk
setia dan sabar dalam doa.
14. Terima kasih untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik selama
kuliah maupun selama penelitian ini berlangsung.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga Tuhan Yang Maha Esa


melimpahkan kasih dan rahmatNya kepada semua pihak yang telah membantu
penulis baik selama kuliah maupun selama penelitian.

Bogor, 2 Februari 2007

Penulis
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR .................................................................................... . v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1
B. TUJUAN ............................................................................. ............. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. MIE ................................................................................................... 3
1. Jenis Mie ..................................................................................... 4
2. Proses Pengolahan Mie Basah Mentah ....................................... 5
3. Kerusakan Mie Basah ................................................................. 7
B. BAHAN TAMBAHAN PANGAN .................................................. 8
1. Pengawet ..................................................................................... 9
a. Na-asetat .............................................................................. 10
b. Ca-propionat ........................................................................ 11
c. K-sorbat ............................................................................... 12
2. Bahan Pemupur .......................................................................... 14
3. Garam Alkali .............................................................................. 15
4. Hidrokoloid ................................................................................ 16
a. Gum Arab .............................................................................. 16
b. Karagenan .............................................................................. 17
c. CMC ...................................................................................... 17
C. APLIKASI TEKNOLOGI PENYIMPANAN ................................. 19
1. Penyimpanan pada Suhu Rendah ............................................... 19
2. Pengemasan Vakum ................................................................... 19
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT ...................................................................... 22
1. Bahan .......................................................................................... 22
2. Alat ............................................................................................. 23
B. METODE ......................................................................................... 23
1. Pemilihan Garam Alkali ............................................................. 24
2. Penambahan Hidokoloid ............................................................. 25
3. Optimasi Penyangraian Tapioka sebagai Bahan Pemupur........... 26
4. Aplikasi Teknologi Penyimpanan................................................ 27
5. Optimasi Na-asetat, Ca-propionat dan K-sorbat sebagai
Bahan Pengawet ......................................................................... 28
6. Tahapan Kombinasi Terbaik ....................................................... 29
C. PENGAMATAN .............................................................................. 30
1. Analisis Mutu Fisik...................................................................... 30
a. Kekerasan dan Kelengketan (Texture Analyzer).................. 30
b. Elastisitas (Texture Analyzer)............................................... 30
c. Pengukuran Warna (Chromameter)..................................... 30
2. Analisis Mutu Kimia................................................................... 31
a. Pengukuran pH ..................................................................... 31
b. Pengukuran Aktivitas Air (aw) menggunakan aw meter
Shibaura WA-360 ................................................................ 31
3. Analisis Mutu Mikrobiologis...................................................... 32
4. Analisis Kontribusi Harga BTP terhadap Harga Mie................. 33
5. Uji Organoleptik .......................................................... .............. 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE 34
1. Umur Simpan Mie ....................................................................... 34
2. Mutu Fisik ................................................................... ................ 36
a. Tekstur .................................................................. ................ 37
b. Warna .................................................................... ................ 39
3. Kontribusi Harga Garam Alkali terhadap Harga Mie................... 40
B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP
MUTU MIE....................................................................................... 41
1. Umur Simpan Mie dengan Penambahan Hidrokoloid.................. 41
2. Tekstur ......................................................................................... 42
3. Kontribusi Harga Hidrokoloid terhadap Harga Mie...................... 44
C. PENGARUH PENYANGRAIAN BAHAN PEMUPUR
TERHADAP MUTU MIE .................................................................. 45
1. Mutu Mikrobiologis Tapioka........................................................ 45
2. Umur Simpan Mie dengan Aplikasi Bahan Pemupur.................. 47
3. Kontribusi Harga Tapioka terhadap Harga Mie ......... ................. 48
D. PENGARUH CARA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU
MIE...................................................................................................... 49
1. Umur Simpan ............................................................................... 49
2. Kontribusi Harga Kemasan terhadap Harga Mie......................... 51
E. PENGARUH BAHAN PENGGUNAAN PENGAWET TERHADAP
MUTU MIE........................................................................................ 52
1. Optimasi Bahan Pengawet .......................................................... 53
a. Umur Simpan ........................................................................ 53
b. Warna.................................................................................... 56
c. Kontribusi Harga Pengawet terhadap Mutu Mie.................. 57
d. Zona Pengawet .................................................... ................. 58
2. Optimasi Pengawet Menurut GMP .............................................. 59
a. Umur Simpan ....................................................................... 60
b. Warna ................................................................................. 62
c. Kontribusi Harga Pengawet terhadap Harga Mie................. 63
F. APLIKASI KOMBINASI TERBAIK TERHADAP MUTU MIE..... 64
1. Mutu Fisik .................................................................. ................. 64
a. Tekstur ................................................................ ................. 64
b. Warna .................................................................. ................. 67
2. Mutu Kimia .................................................................................. 69
a. Nilai pH.................................................................................... 69
b. Aktivitas air (aw) ..................................................................... 70
3. Mutu Mikrobiologi ....................................................................... 71
4. Mutu Organoleptik ..................................................... ................. 75
a. Aroma ................................................................................... 75
b. Tekstur .................................................................................. 77
c. Warna ................................................................................... 78
d. Rasa ...................................................................................... 79
e. Overall (Keseluruhan) .......................................................... 79

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN .................................................................................. 81
B. SARAN .............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 83
LAMPIRAN ...................................................................................................... 87
DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992) ............................... 3
Tabel 2. Penggunaan pengawet pada makanan dan batas
maksimum penggunaannya .......................................................... 9
Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam asetat .................................. 11
Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam propionat............................. 12
Tabel 5. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat .................................. 13
Tabel 6. Syarat mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)............ ........................ 15
Tabel 7. Faktor penghambat dan penginaktivasi C. botulinum .................. 20
Tabel 8. Resep mie yang digunakan ........................................................... 22
Tabel 9. Konsentrasi STPP dan Na2CO3 sebagai garam alkali pada
pembuatan mie............................................................................... 25
Tabel 10. Konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan pada pembuatan
mie................................................................................................. 25
Tabel 11. Aplikasi bahan pemupur dalam pembuatan mie .......................... 27

Tabel 12. Jenis aplikasi teknologi penyimpanan pada mie ........................... 27


Tabel 13. Formulasi penggunaan pengawet dalam pembuatan mie.............. 28
Tabel 14. Hasil analisis mutu fisik mie yang menggunakan Na2CO3
maupun STPP sebagai garam alkali dan mie yang
dijual di pasaran ............................................................................ 41
Tabel 15. Daftar harga dan kontribusi harga Na2CO3 dan STPP pada
pembuatan mie .............................................................................. 44
Tabel 16. Harga hidrokoloid serta kontribusi harganya ................................ 48
Tabel 17. Harga tapioka dan kontribusi harganya ........................................ 52
Tabel 18. Hasil analisis umur simpan mie dengan aplikasi teknologi .......... 54
Tabel 19. Harga kemasan dan kontribusi harga berbagai jenis kemasan ..... 55
Tabel 20. Harga dan konsentrasi maksimal pengawet ................................. 61
Tabel 21. Kontribusi harga berbagai jenis pengawet ................................... 62
Tabel 22. Kontribusi harga pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+
K-sorbat 25% (NCK 121) dalam berbagai konsentrasi ................ 67
DAFTAR GAMBAR

Hal
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah mentah secara umum ........... 5
Gambar 2. Struktur molekul asam propionat ................................................. 11
Gambar 3. Struktur molekul kalium sorbat ................................................... 13
Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC ........................................................... 18
Gambar 5. Tahapan metode penelitian............................................................ 24
Gambar 6. Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan
berbagai jenis garam alkali ........................................................... 38
Gambar 7. Nilai pH larutan dan pH mie dengan berbagai jenis garam
alkali............................................................................................. 39
Gambar 8. Nilai kekerasan mie dengan berbagai jenis garam alkali............. 41
Gambar 9. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan berbagai jenis
garam alkali .................................................................................. 42
Gambar 10. Warna mie dengan berbagai jenis garam alkali ............................ 43

Gambar 11.Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan


berbagai hidrokoloid .................................................................... 46
Gambar 12. Nilai Kekerasan mie dengan penambahan berbagai hidrokoloid 46

Gambar 13. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan penambahan


berbagai hidrokoloid..................................................................... 47
Gambar 14. Total Plate Count (TPC) tapioka dengan berbagai waktu
penyangraian .................................................................................. 50
Gambar 15. Umur simpan mie dengan berbagai jenis bahan pemupur............. 51
Gambar 16. Umur simpan mie dengan berbagai jenis bahan pengawet ........... 57
Gambar 17. Nilai pH mie dengan berbagai jenis pengawet ............................. 59
Gambar 18. Warna mie dengan berbagai jenis pengawet ................................ 60
Gambar 19. Hasil analisis jumlah penggunaan bahan pengawet dan nilai ADI 63
Gambar 20. Umur simpan mie dengan pengawet Na-asetat 25% +
Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi..... 64
Gambar 21. pH mie dengan pengawet Na-asetat 25% + Ca-propionat 50% +
K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi ................................... 65
Gambar 22. Warna mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%
+K-sorbat 25% dengan berbagai konsentrasi.............................. 66
Gambar 23. Perubahan kekerasan mie selama penyimpanan pada suhu ruang
(30oC) ............................................................................................ 69
Gambar 24. Perubahan kelengketan mie selama penyimpanan pada suhu
ruang (30oC) .................................................................................. 70
Gambar 25. Perubahan elastisitas mie selama penyimpanan pada suhu ruang
(30oC) ............................................................................................ 71
Gambar 26 . Perubahan warna mie selama penyimpanan pada suhu ruang
(30oC) ........................................................................................... 72
Gambar 27. Perubahan pH mie selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC) 73
Gambar 28. Nilai aw mie pada jam ke-0........................................................... 74
Gambar 29. Grafik Total Plate Count (TPC) mie selama penyimpanan pada
suhu ruang (30oC) .......................................................................... 76
Gambar 30. Grafik total kapang dan khamir mie selama penyimpanan pada
suhu ruang (30oC) ......................................................................... 77
Gambar 31. Skor uji hedonik terhadap aroma mie basah mentah dan mie
basah matang ................................................................................ 80
Gambar 32. Skor uji hedonik terhadap tekstur mie basah mentah dan mie
basah matang ................................................................................ 81
Gambar 33. Skor uji hedonik terhadap warna mie basah mentah dan mie
basah matang................................................................................. 82
Gambar 34. Skor uji hedonik terhadap rasa mie basah mentah dan mie
basah matang................................................................................. 83
Gambar 35. Skor uji hedonik secara keseluruhan mie basah mentah dan mie
basah matang.................................................................................. 84
DAFTAR LAMPIRAN

Hal
Lampiran 1. Spesifikasi pengawet calcium propionat teknis ....................... 91
Lampiran 2. Spesifikasi pengawet kalium sorbat teknis ............................... 92
Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid CMC teknis ........................................ 93
Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid gum arab teknis .................................. 94
Lampiran 5. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna
mie dengan garam alkali .......................................................... 95
Lampiran 6. Analisis ragam kekerasan, kelengketan, elastisitas, dan
warna mie dengan garam alkali................................................ 96
Lampiran 7. Rendemen mie yang dihasilkan pada pembuatan mie
(dalam 100 g terigu)................................................................. 96
Lampiran 8. Cara perhitungan kontribusi harga garam alkali ..................... 96
Lampiran 9. Hasil analisis kekerasan, kelengketan dan elastisitas mie
dengan berbagai hidrokoloid .................................................... 97
Lampiran 9. Analisis ragam kekerasan, kelengketan dan elastisitas
mie dengan berbagai jenis hidrokoloid..................................... 98
Lampiran 10. Cara perhitungan kontribusi harga hidrokoloid ....................... 98
Lampiran 11. Hasil analisis mikrobiologis Total Plate Count (TPC)
tapioka...................................................................................... 99
Lampiran 12. Cara perhitungan kontribusi harga tapioka ............................. 100
Lampiran 13. Cara perhitungan kontribusi harga kemasan............................ 100
Lampiran 14. Warna mie dengan berbagai jenis pengawet ........................... 100
Lampiran 15. Analisis ragam warna mie dengan berbagai pengawet ........... 101
Lampiran 16. Cara perhitungan kontribusi harga pengawet .......................... 101
Lampiran 17. Analisis ragam umur simpan mie menurut GMP .................... 101
Lampiran 18. Warna mie dengan pengawet Na-asetat 25% + Ca-propionat
50%+ K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi.................... 102
Lampiran 19. Analisis ragam warna mie menurut GMP ............................... 102
Lampiran 20. Perubahan kekerasan mie kontrol dan mie kombinasi terbaik
selama penyimpanan ............................................................... 103
Lampiran 21. Analisis ragam perubahan kekerasan mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik selama penyimpanan ................................. 103
Lampiran 22. Perubahan kelengketan mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik selama penyimpanan ................................................... 104
Lampiran 23. Analisis ragam perubahan kelengketan mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik selama penyimpanan................................... 104
Lampiran 24. Perubahan elastisitas mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik selama penyimpanan.................................................... 105
Lampiran 25. Analisis ragam perubahan elastisitas mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik selama penyimpanan ................................. 105
Lampiran 26. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik
selama penyimpanan............................................................... 106
Lampiran 27. Analisis ragam perubahan warna mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik selama penyimpanan................................. 106
Lampiran 28. Analisis ragam perubahan warna mie kombinasi terbaik
selama penyimpanan............................................................... 107
Lampiran 29. Perubahan pH mie kontrol dan pH mie kombinasi terbaik
selama penyimpanan............................................................... 107
Lampiran 30. Analisis ragam perubahan pH mie kontrol selama
penyimpanan........................................................................... 108
Lampiran 31. Analisis ragam perubahan pH mie kombinasi terbaik
selama penyimpanan............................................................... 108
Lampiran 32. Analisis mikrobiologi TPC mie kontrol selama penyimpanan 109
Lampiran 33. Analisis mikrobiologi TPC mie kombinasi terbaik selama
penyimpanan........................................................................... 111
Lampiran 34. Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie kontrol
selama penyimpanan............................................................... 114
Lampiran 35. Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie kombinasi
terbaik selama penyimpanan.................................................... 116
Lampiran 36. Formulir uji organoleptik......................................................... 119
Lampiran 37. Data uji organoleptik mie basah mentah.................................. 121
Lampiran 38. Data uji organoleptik mie basah matang.................................. 123
Lampiran 39. Analisis ragam mie basah mentah dalam uji organoleptik...... 125
Lampiran 40. Analisis ragam mie basah matang dalam uji organoleptik....... 125
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah keamanan pangan di Indonesia masih banyak dijumpai karena


banyak produk pangan yang beredar tidak memenuhi syarat keamanan pangan
seperti tidak memenuhi GMP (Good Manufacturing Practices), sanitasi yang
buruk, dan penggunaan zat-zat yang dilarang. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran akan
keamanan pangan yang rendah. Salah satu produk yang memiliki masalah
tersebut adalah mie basah mentah.
Mie merupakan salah satu makanan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia. Menurut SNI 01-2987-1992, mie basah mentah
mempunyai kandungan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 20-35% sehingga
mie basah mentah termasuk bahan pangan yang mudah rusak. Berdasarkan
hasil penelitian Chamdani (2005), kadar air mie basah mentah mencapai
31,73% sehingga penyimpanan mie pada suhu ruang hanya dapat
mempertahankan kesegaran mie hingga 36 jam.
Sebagian besar produk mie basah mentah yang diproduksi di Indonesia
tidak memenuhi syarat keamanan pangan baik dalam proses pembuatannya
yang tidak higienis maupun penggunaan zat terlarang seperti formalin atau
boraks. Menurut Indrawan (2005), mie basah mentah yang dihasilkan dari 17
industri mie di Jabotabek, seluruhnya positif mengandung zat berbahaya yaitu
formalin dan boraks. Industri mie yang diketahui menggunakan boraks
sebanyak 23,53%, sedangkan industri yang diketahui menggunakan formalin
sebanyak 5,88%, dan sisa industri mie lainnya diketahui menggunakan
formalin dan boraks (70,59%).
Berdasarkan hasil penelitian Oktaviani (2005), penambahan boraks
sebanyak 300 ppm dapat meningkatkan elastisitas mie dari 22,5 gforce menjadi
31,96 gforce. Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) untuk
meningkatkan mutu mie basah pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
Eksplorasi BTP yang dapat meningkatkan mutu mie seperti pengawet sintetik
dan hidrokoloid sangat penting. Menurut Chamdani (2005), mie basah mentah
yang ditambahkan pengawet Ca-propionat 0,075%+Parabens 0,025%+Na-
asetat 2,5% memiliki umur simpan hingga 76 jam dengan indikator bau asam.
Pentingnya memproduksi mie basah mentah yang aman dikonsumsi oleh
masyarakat merupakan hal yang cukup mendesak. Mie basah mentah yang
tidak aman dikonsumsi dapat memperburuk kesehatan generasi bangsa. Oleh
karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan BTP,
khususnya pengawet dan hidrokoloid yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan serta aplikasi teknologi yang dapat meningkatkan umur simpan mie
basah mentah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan umur simpan mie basah


mentah dengan mengaplikasikan teknologi dan bahan tambahan pangan yang
sesuai perundang-undangan. Manfaat penelitian ini adalah memberikan cara
alternatif bagi para produsen mie basah mentah untuk meningkatkan umur
simpan mie basah mentah dengan mengaplikasikan teknologi yang aman
dikonsumsi manusia.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. MIE

Mie merupakan makanan yang paling populer di Asia. Sekitar 40% dari
konsumsi tepung terigu di Asia digunakan untuk pembuatan mie. Di
Indonesia pada tahun 1990, penggunaan tepung terigu untuk pembuatan mie
mencapai 60-70% (Kruger dan Robert, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa
mie merupakan makanan yang paling populer di Asia khususnya Indonesia
hingga saat ini.
Mie pertama kali dibuat dari bahan baku beras dan tepung kacang-
kacangan. Menurut SNI 01-2987-1992, mie basah adalah produk pangan yang
terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak
dikeringkan. Mutu mie basah berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu mie basah (SNI 01-2987-1992)


No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan :
1.1 Bau Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna Normal
2 Air % b/b 20-35
3 Abu (dihitung atas dasar
bahan kering) % b/b Maks. 3
4 Protein (Nx6.25) dihitung
atas dasar bahan kering %b/b Min. 3
5 Bahan tambahan pangan
5.1 Boraks Tidak boleh ada
5.2 Pewarna - Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan
MenKes.No.722/MenKes/Per/IX/88
5.3 Formalin Tidak boleh ada
6 Cemaran Mikroba
6.1 Angka Lempeng Total Koloni/g Maks. 1.0 x 106
6.2 E. coli APM/g Maks. 10
6.3 Kapang Koloni/g Maks. 1.0 x 104
7 Cemaran Logam:
6.1 Timbal (Pb) Maks. 1.0
6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks.10.0
6.3 Seng (Zn) Maks. 40.0
6.4 Raksa (Hg) Maks. 0.05
8 Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05
1. Jenis Mie

Mie dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Pembagian


jenis mie yang paling umum yaitu berdasarkan warna, ukuran diameter
mie, bahan baku, cara pembuatan, jenis produk yang dipasarkan, dan kadar
air. Berdasarkan warnanya, mie yang ada di Asia dibagi menjadi dua jenis,
yaitu mie putih dan mie kuning karena penambahan alkali (Pagani, 1985).
Berdasarkan ukuran diameter produk mie, mie dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu spaghetti dengan diameter sebesar 0,11-0,27 inci, mie
dengan diameter sebesar 0,07-0,125 inci, dan vermiseli dengan diameter
kurang dari 0,04 inci. Berdasarkan bahan bakunya, mie dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu mie dengan bahan baku dari tepung terutama
tepung terigu dan mie transparan dengan bahan baku dari pati misalnya
soun dan bihun.
Berdasarkan cara pembuatannya, mie dibedakan menjadi mie basah
mentah (contohnya mie ayam) dan mie basah matang (contohnya mie
bakso), sedangkan berdasarkan jenis produk yang dipasarkan, terdapat dua
jenis mie yaitu mie basah (contohnya mie ayam dan mie kuning) dan mie
kering (contohnya mie telur dan mie instan (Pagani, 1985). Komposisi
dasar dari produk mie kering dan mie basah pada umumnya hampir sama.
Perbedaan dari kedua produk ini ialah kadar air dan tahapan proses
pembuatan.
Berdasarkan kadar air dan tahap pengolahannya, Winarno dan
Rahayu (1994) membagi mie yang terbuat dari gandum menjadi lima
golongan, yaitu : (1) mie basah mentah yang dibuat langsung dari proses
pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35%, (2) mie basah
matang, yaitu mie basah mentah yang telah mengalami perebusan dalam
air mendidih sebelum dipasarkan dengan kadar air 52%, (3) mie kering,
yaitu mie basah mentah yang langsung dikering dengan kadar air 10%, (4)
mie goreng, yaitu mie mentah yang lebih dahulu digoreng sebelum
dipasarkan, dan (5) mie instan, yaitu mie basah mentah yang telah
mengalami pengukusan dan pengeringan sehingga menjadi mie instan
kering atau digoreng sehingga menjadi mie instan goreng.
2. Proses Pengolahan Mie Basah Mentah

Mie basah mentah umumnya terbuat dari tepung gandum (tepung


terigu), air, dan garam dengan/tanpa penambahan garam alkali. Terigu
merupakan bahan utama dalam pembuatan mie basah mentah. Fungsi
terigu adalah sebagai bahan pembentuk struktur, sumber karbohidrat,
sumber protein, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berfungsi
memberikan rasa, memperkuat tekstur, dan mengikat air. Garam alkali
berfungsi untuk meningkatkan pH, menyebabkan warna sedikit kuning
dengan flavor yang lebih baik (Astawan, 1999).
Proses pembuatan mie basah mentah meliputi pencampuran semua
bahan (tepung, air dan garam) menjadi adonan lalu dibentuk menjadi
lembaran-lembaran yang tipis dengan mesin rollpress, diistirahatkan,
kemudian dipotong menjadi bentuk benang-benang mie. Selanjutnya
ditaburkan tapioka sebagai pemupur. Proses pembuatan mie basah mentah
dapat dilihat pada Gambar 1.
Terigu

Pencampuran bahan

Pengadukan

Pembentukan lembaran

Pengistirahatan

Penipisan lembaran

Pemotongan lembaran

Penaburan mie dengan tapioka

Mie basah Mentah

Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah mentah secara umum


(Kruger dan Robert, 1996)
Proses pencampuran semua bahan menjadi satu dimaksudkan
untuk membuat adonan yang homogen. Selain itu, proses ini juga memicu
terjadinya hidrasi air dengan tepung yang merata dan menarik serat-serat
gluten sehingga menjadi adonan yang elastis dan halus. Pada proses
pencampuran, pembentukan gluten sudah mulai terjadi meskipun belum
maksimal (Kruger dan Robert, 1996).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan mie
basah yaitu suhu adonan, waktu pengadukan, jumlah air yang
ditambahkan. Waktu pencampuran dan pengadukan bahan yang
dibutuhkan sangat bervariasi mulai dari 5 menit hingga 20 menit
tergantung dari jenis bahan dan alat. Menurut Badrudin (1994), waktu
pengadukan terbaik adalah 15 hingga 25 menit. Apabila waktu pengadukan
kurang dari 15 menit, adonan akan menjadi lunak dan lengket, sedangkan
jika lebih dari 25 menit adonan akan menjadi keras, rapuh, dan kering.
Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan mie juga berperan
dalam sukses tidaknya pembuatan mie. Menurut SNI 01-2987-1992,
jumlah air yang ditambahkan untuk pembuatan mie basah mentah adalah
sekitar 20% hingga 35% dari bobot tepung. Sedangkan menurut Badrudin
(1994), jumlah air terbaik dalam adonan mie basah mentah adalah sekitar
34% hingga 40% dari bobot tepung. Hal ini disebabkan karena tesktur mie
yang mudah keras, rapuh, dan lengket. Jika air yang ditambahkan kurang
dari 34%, maka mie yang dihasilkan akan menjadi keras, rapuh, dan sulit
dibentuk lembaran. Sedangkan bila air yang ditambahkan lebih dari 40%,
maka mie yang dihasilkan akan menjadi basah dan lengket.
Suhu adonan terbaik untuk membuat mie berkisar 25oC hingga
40oC. Jika suhu adonan mencapai kurang dari 25oC, maka adonan yang
dihasilkan akan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan jika suhu
adonan mencapai lebih dari 40oC maka adonan yang dihasilkan menjadi
lengket dan mie menjadi kurang elastis (Badrudin, 1994). Mutu mie yang
diinginkan oleh konsumen adalah mie yang bertekstur lunak, lembut,
elastis, halus, tidak lengket, dan mengembang dengan normal.
Tujuan dari proses pembentukan lembaran (sheeting) adalah
menghaluskan serat-serat gluten dalam adonan dan membentuk adonan
menjadi lembaran. Tahap pembentukan lembaran dilakukan dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah pembentukan lembaran dari adonan dengan
jarak roll 3 mm. Pada tahap kedua, lembaran yang telah terbentuk dilipat
menjadi tiga bagian dan dilewatkan kembali pada roll berjarak 3 mm
sebanyak dua kali. Tahap ketiga, lembaran tersebut dilipat menjadi dua
bagian dan dilewatkan kembali di antara dua roll yang berjarak 3 mm.
Selanjutnya lembaran digulung dan diistirahatkan selama 15 menit untuk
menyempurnakan pembentukan gluten (Kruger dan Robert, 1996).
Lembaran adonan ini kemudian dipipihkan dengan alat rollpress dan
dicetak menjadi untaian benang mie hingga diameter mencapai 1-2 mm.
Kemudian untaian benang mie ditaburi dengan tepung tapioka agar tidak
lengket satu sama lain.

3. Kerusakan Mie Basah

Berdasarkan cara pembuatannya, ada dua jenis mie basah yang


banyak dijual di pasaran, yaitu mie basah mentah dan mie basah matang.
Perbedaan mendasar dari kedua jenis mie ini adalah kadar air dan proses
pengolahannya. Kadar air untuk mie basah mentah adalah sekitar 20-35%,
sedangkan kadar air mie basah matang dapat mencapai 52%. Hal ini
disebabkan mie basah matang mengalami proses perebusan sedangkan mie
basah mentah tidak
Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna kuning terang.
Akan tetapi, jika disimpan lama, maka mie akan mengalami perubahan
warna menjadi lebih gelap. Menurut Hoseney (1998), jika mie basah
mentah disimpan pada suhu lemari es, maka pada jam ke 50 hingga ke 60,
warna mie basah mentah akan menjadi lebih gelap. Perubahan warna yang
terjadi ini karena adanya enzim polifenoloksidase, enzim yang dapat
menyebabkan terjadi pencoklatan atau browning.
Kerusakan lain yang terjadi pada mie adalah tumbuhnya kapang.
Menurut Chamdani (2005), jumlah kapang pada mie basah mentah kontrol
masih berjumlah 4,9 x 103 koloni/g dan 5,6 x 103 koloni/g setelah 36 jam.
Sedangkan pada jam ke 48 telah mencapai 2,5 x 104 koloni/g dan
5,0 x 104 koloni/g. Menurut SNI 01-2987-1992, jumlah maksimal kapang
pada mie basah mentah adalah 1,0 x 104 koloni/g.
Untuk mengatasi masalah kerusakan yang terjadi pada mie basah
mentah, banyak usaha telah dilakukan oleh para pedagang, antara lain
adalah penggunaan bahan pengawet ilegal seperti boraks dan formalin.
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), jumlah boraks yang biasa digunakan
di industri kecil adalah sebanyak 15 g untuk setiap 20 kg tepung gandum.
Pemakaian pengawet ilegal sangat tidak aman bagi manusia karena
dapat mempengaruhi fungsi organ tubuh dan dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, saat ini mulai dikembangkan mie dengan
penambahan bahan pengawet yang aman dikonsumsi.
Pengawet yang akan digunakan pada penelitian ini adalah natrium
asetat, kalsium propionat dan kalium sorbat. Ketiga bahan pengawet ini
merupakan bahan pengawet yang aman bagi tubuh dan sesuai dengan
perundang-undangan.

B. BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)

Menurut Codex Alimentarius yang dikutip oleh Brenann (1990), BTP


adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya
bukan merupakan komposisi/ingredient khas makanan, dapat bernilai gizi atau
tidak bernilai gizi yang ditambahkan ke dalam pangan dengan sengaja untuk
membantu teknik pengolahan pangan (termasuk organoleptik) dalam proses
pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
pengangkutan, dan penyimpanan produk pangan olahan agar menghasilkan
(langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik atau secara nyata
mempengaruhi sifat khas pangan tersebut. Penggunaan BTP telah diatur di
Indonesia sejak tahun 1988, yaitu dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia (Permenkes) No.722/MenKes/Per/IX/1988 tentang
penggunaan bahan tambahan pangan.
1. Pengawet

Menurut Permenkes No.722/MenKes/Per/IX/1988, pengawet


merupakan bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
proses fermentasi, pengasam atau penguraian lain terhadap pangan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Penambahan BTP ini sering diaplikasikan
ke dalam pangan yang mudah rusak atau pangan yang memiliki
karakteristik yang sesuai dengan medium pertumbuhan mikroorganisme.
Cepat atau lambat pertumbuhan mikroorganisme sangat tergantung pada
jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH/keasaman pangan. Batas
penggunaan bahan pengawet yang digunakan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Penggunaan pengawet pada makanan dan batas maksimum


penggunaannya
Batas Maksimum
No. Jenis Pengawet Jenis/Bahan Makanan
Penggunaan
1 Kalsium propionat Roti 2 g/kg*)
2 Natrium asetat Pasta dan snack 6 g/kg**)
Semua jenis/bahan
3 Kalium sorbat 2 g/kg***)
makanan
Sumber: *) Departemen Kesehatan (1988)
**) CFNP (2002)
***) JECFA (1973)

Sebagian besar pengawet hampir tidak aktif dalam suasana netral dan
aktivitasnya meningkat jika pH diturunkan. Dalam mempertahankan
hidupnya, mikroorganisme berusaha untuk menjaga pH internal sitoplasmik
berada pada kisaran pH 6.5 hingga pH 7. Nilai pH internal (pHi) sitoplasmik
ini sangat dipengaruhi oleh pH lingkungan sel (pHo) (Ray, 2001).
Prinsip mekanisme asam organik lemah sebagai senyawa antimikroba
adalah jumlah molekul yang tidak terdisosiasi dan ion yang terdisosiasi.
Pada saat asam organik lemah ditambahkan ke dalam bahan pangan,
beberapa molekul asam organik lemah akan terdisosiasi menjadi ion-ion dan
sebagian tidak terdisosiasi, tergantung dari pH bahan pangan, pKa asam
organik lemah dan suhu. Pada pH 5 hingga pH 8, sebagian besar asam
organik lemah akan terdisosiasi. Pada pH di bawah 5, jumlah molekul asam
organik yang tidak terdisosiasi akan meningkat (Ray, 2001).
Kondisi pH rendah pada bahan pangan dan adanya ion-ion yang
terdisosiasi akan meningkatkan jumlah ion H+ di lingkungan dan
mempengaruhi pertukaran proton dalam sel mikroba. Molekul asam organik
yang tidak terdisosiasi akan masuk ke dalam sel mikroba karena perbedaan
konsentrasi sel dengan lingkungannya. Akibatnya, nilai pHi sel semakin
meningkat dan nilai pHi sel lebih besar dari pKa asam organik lemah
tersebut, sehingga molekul asam organik yang tidak terdisosiasi akan
terdisosiasi menjadi ion-ion di dalam sel dan dapat membuat sel menjadi
tidak stabil karena sel mentranspor proton secara berlebihan dan
membutuhkan banyak energi untuk menyeimbangkan keadaan ini. Transpor
proton yang secara berlebihan ini dapat menurunkan nilai pHi sel.
Pengeluaran energi yang besar ini dapat menyebabkan sel tidak dapat
berkembang dengan baik dan dapat menyebabkan sel mikroba mati (Ray,
2001).
Na-asetat, Ca-propionat, dan K-sorbat merupakan bahan pengawet
sintetik yang termasuk dalam Generally Recognized As Safe (GRAS).
GRAS merupakan daftar yang dikeluarkan oleh FDA tentang bahan
tambahan pangan yang aman dikonsumsi dalam jangka panjang. Akan
tetapi, penggunaan bahan tambahan pangan ini tidak boleh berlebihan
karena akan menimbulkan racun jika dikonsumsi berlebihan. Oleh karena
itu, FDA mengeluarkan aturan perkiraan jumlah maksimal suatu bahan
tambahan pangan yang dapat dikonsumsi harian oleh seseorang sepanjang
hidupnya tanpa memberikan pengaruh yang buruk. Aturan ini disebut
dengan Acceptable Daily Intake (ADI).
Pengawet yang memiliki nilai ADI yang tinggi lebih aman dikonsumsi
dibandingkan dengan pengawet yang memiliki nilai ADI rendah. Akan
tetapi, penggunaan bahan pengawet ini harus seiring dengan aturan menurut
GMP, yaitu penggunaan seminimal mungkin dengan hasil maksimal.
a. Natrium asetat (Na-asetat)

Na-asetat merupakan bahan pengawet yang efektif menghambat


pertumbuhan khamir dan bakteri dibandingkan dengan kapang. Na-asetat
merupakan garam dari asam asetat. Senyawa ini memiliki nilai pKa 4.76
pada suhu 25oC. Semakin tinggi pH, semakin besar jumlah ion asam
asetat yang terdisosiasi. Pada pH 4, jumlah ion asam asetat yang
terdisosiasi sebesar 15,5%, sedangkan pada pH 6, jumlah ion yang
terdisosiasi sebesar 94,9%. Oleh karena itu, asam asetat beserta
garamnya efektif pada pH rendah (Ray, 2001). Rumus molekul Na-asetat
adalah C2H3O2Na dengan bobot molekul sebesar 82,04. Pengaruh pH
pada penguraian asam asetat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pH pada penguraian asam asetat


pH Asam asetat yang tidak terurai (%)
4 84,5
5 34,9
6 5,1
Sumber: Ray (2001)

Na-asetat berbentuk bubuk putih dan dapat digunakan untuk produk


pasta. Na-asetat merupakan garam dari basa kuat dan asam lemah. Na-
asetat dapat larut dengan baik dalam air tetapi sedikit larut dalam etanol
(Naidu, 2000).
Senyawa ini banyak diaplikasikan ke dalam produk saos, pasta,
mayonaise, acid-pickle vegetables, roti, dan produk bakery lainnya.
Sebagai bahan pengawet kimia, Na-asetat digolongkan dalam Generally
Recognized As Safe (GRAS) dengan Acceptable Daily Intake (ADI)
sebesar 15 mg/kg BB (Bredholt et al., 1999).

b. Kalsium propionat (Ca-propionat )

Ca-propionat (Ca(CH3CH2COO)2) dengan bobot molekul sebesar


186,22 merupakan senyawa kimia yang mampu menghambat
pertumbuhan kapang dan sebagian bakteri yang tidak diinginkan pada
makanan. Asam propionat efektif terhadap kapang dan khamir pada pH
lebih dari 5 (Fields, 1979). Ca-propionat merupakan garam dari asam
propionat (CH3CH3COOH). Rumus struktur senyawa ini dapat dilihat
pada Gambar 2. Bentuk aktif dari propionat adalah asam propionat yang
tidak terdisosiasi. Toksisitasnya terhadap mikroba adalah karena mikroba
tidak mampu memetabolisme tiga rantai karbon dari asam propionat
(Desrosier, 1977).

Gambar 2. Struktur molekul asam propionat (CFNP, 2002)

Asam propionat memiliki nilai pKa 4.86 pada suhu 25oC.


Efektivitas asam propionat optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan
meningkatnya pH. Pada pH 4, jumlah ion yang tidak terdisosiasi sebesar
87,6% sedangkan pada pH 6, jumlah ion yang tidak terdisosiasi hanya
sebesar 6,7%. Oleh karena itu, asam propionat beserta garamnya efektif
pada pH rendah (Ray, 2001). Pengaruh pH pada penguraian asam asetat
dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh pH pada penguraian asam propionat


pH Asam propionat yang tidak terurai (%)
4 87,6
5 41,7
6 6,7
Sumber: Ray (2001)

Propionat bersifat non toksik dan aman dikonsumsi oleh tubuh


manusia karena hasil metabolisme kalsium propionat di dalam tubuh
berupa asam lemak yang tidak bersifat racun bagi tubuh (Fields, 1979).
Senyawa kimia ini biasa digunakan sebagai pengawet pada produk
bakery untuk menghambat kapang dan mencegah ropiness yang
disebabkan oleh Bacillus mesentericus (Belitz dan Grosch, 1999).
Ca-propionat juga dapat digunakan pada produk mentega, selai, jeli,
keju, dan produk olahan lain yang tidak tahan lama. Penggunaannya pada
roti maksimal sebesar 3000 ppm sedangkan pada produk convectionary
sebesar 1000 ppm (Smith, 1993). Ca-propionat digolongkan dalam
Generally Recognized As Safe (GRAS) dengan Acceptable Daily Intake
(ADI) sebesar 20 mg/kg BB (Bredholt et al., 1999).

c. Kalium Sorbat (K-sorbat)

K-sorbat (C6H7O2K) dengan bobot molekul sebesar 150.23


merupakan garam dari asam sorbat (C6H8O2). Asam sorbat merupakan
bentuk asam lemak trans-trans yang tidak jenuh yang memiliki reaksi
grup karboksilat yang tinggi membentuk garam dan esternya (Naidu,
2000). Rumus struktur senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur molekul K-sorbat (CFNP, 2002)

Asam sorbat memiliki nilai pKa 4.76 pada suhu 25oC. Pada pH 4,
jumlah ion yang tidak terdisosiasi sebesar 82% sedangkan pada pH 6,
jumlah ion yang tidak terdisosiasi hanya sebesar 4,1%. Oleh karena itu,
asam sorbat beserta garamnya efektif pada pH rendah (Ray, 2001).
Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh pH pada penguraian asam sorbat


pH Asam sorbat yang tidak terurai (%)
3 98
4 82
5 37
6 4,1
7 0,6
Sumber: Ray (2001)
K-sorbat berbentuk kristal putih dan agak berbau asam. K-sorbat
dapat menghambat pertumbuhan kapang khususnya pada produk keju.
Pada pertumbuhan kapang yang rendah, kalium sorbat dapat digunakan
sebagai penghambat pertumbuhan kapang (fungistatis), bahkan
membunuh kapang (fungisida) (Desrosier, 1977). K-sorbat juga dapat
menghambat pertumbuhan khamir. Penghambatan khamir yang paling
efektif oleh kalium sorbat adalah pada pH asam (Fields, 1979). K-sorbat
efektif hingga pH 6.5 tetapi efektifitasnya meningkat dengan menurunnya
pH (Sofos dan Busta, 1993).
Penghambatan mikroba oleh asam sorbat dan garamnya disebabkan
karena struktur α-diena pada asam sorbat yang dapat mencegah kerja
enzim dehidrogenase mengoksidasi asam lemak (Winarno, 2002). Selain
itu, asam sorbat dapat memperpanjang fase adaptasi (lag phase)
pertumbuhan mikroba. Pada bakteri pembentuk spora, sorbat akan
mempengaruhi germinasi spora, pertumbuhan dan/atau pemisahan sel
vegetatif (Sofos dan Busta, 1993).
Sifat toksiksitas K-sorbat pada tubuh sangat kecil karena hasil
metabolisme K-sorbat di dalam tubuh adalah air dan CO2 (Fields, 1979).
Asam sorbat dan garamnya biasa digunakan sebagai pengawet pada
produk keju, margarin, acar ketimun, jam, jeli dan pekatan sari nanas.
Konsentrasi efektif asam sorbat untuk menghambat mikroba pada
sebagian besar makanan yaitu pada kisaran 0,02-0,30% (Naidu, 2000).
Menurut JECFA (1973), kisaran kadar K-sorbat yang masih aman
dikonsumsi adalah 100-2000 ppm atau 0,01-0,2%. Nilai Acceptable
Daily Intake (ADI) K-sorbat sebesar 25 mg/kg BB (Bredholt et al.,
1999).

2. Tapioka

Agar untaian mie basah mentah tidak saling melekat satu sama lain,
maka dilakukan penaburan atau pemupuran dengan tapioka. Tapioka
merupakan pati (amilum) yang berasal dari umbi singkong (Manihot
utilissima POHL atau Manihot uscelenta Crantz). Menurut SNI 01-3451-
1994, tapioka adalah pati (amilum) yang diperoleh dari umbi kayu segar
(Manihot utilissima POHL/Manihot usulenta Crantz) setelah melalui cara
pengolahan tertentu (Badan Standarisasi Nasional, 1994).
Secara umum, syarat mutu tapioka dibagi menjadi 2 syarat yaitu
syarat organoleptik dan syarat teknis. Syarat organoleptik tapioka yaitu
sehat (sound), tidak berbau apek atau bau asam, murni, dan tidak kelihatan
ampas dan/atau benda asing, sedangkan syarat teknis tapioka menurut
SNI 01-3451-1994 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Syarat mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)


Persyaratan
No. Kriteria Uji Satuan Mutu Mutu Mutu
I II III
1 Kadar Air maksimum % b/b 15 15 15
2 Kadar Abu maksimum
(dihitung atas dasar bahan % b/b 0.60 0.60 0.60
kering)
3 Derajat Putih minimum
94.5 92.0 92.0
(BaSO4=100%) %b/b
Kekentalan Engler 3-4 2.5-3 < 2.5
4 Cemaran Logam
(maksimum) :
6.1 Timbal (Pb) mg/kg 1 1 1
6.2 Tembaga (Cu) mg/kg 10 10 10
6.3 Seng (Zn) mg/kg 40 40 40
6.4 Raksa (Hg) mg/kg 0.05 0.05 0.05
5 Arsen (As) maksimum mg/kg 0.5 0.5 0.5
6 Cemaran Mikroba
(maksimum) :
9.1 Angka lempeng total Koloni/g 1.0 x 106 1.0 x 106 1.0 x 106
9.2 E. coli Koloni/g 1.0 x 101 1.0 x 101 1.0 x 101
9.3 Kapang Koloni/g 1.0 x 104 1.0 x 104 1.0 x 104

3. Garam Alkali

Garam alkali biasa digunakan sebagai bahan tambahan dalam


pembuatan mie. Garam alkali ini berfungsi untuk mempercepat
pembentukan gluten. Penggunaan senyawa tambahan ini akan
meningkatkan pH mie sehingga mempunyai pH yang lebih tinggi yaitu 7.0
hingga 7.5. Selain itu penambahan senyawa ini meyebabkan warna mie
menjadi lebih kuning dan menghasilkan flavor yang disukai oleh konsumen
(Astawan, 1999).
Natrium karbonat, kalium karbonat dan garam fosfat merupakan
bahan tambahan yang digunakan sebagai alkali dalam pembuatan mie.
Senyawa karbonat apabila dipanaskan akan melepas CO2 yang
menyebabkan adonan menjadi mengembang. Sodium Tri Poly Phosphate
(Na5P3O10) digunakan sebagai bahan pengikat air sehingga air yang terdapat
di dalam adonan tidak menguap yang dapat menyebabkan permukaan
adonan menjadi kering dan keras sebelum proses pembentukan adonan
(Astawan, 1999).

4. Hidrokoloid

Pada produk mie, tekstur merupakan salah satu parameter yang


penting untuk mengukur kualitas mie basah mentah. Mie yang baik
memiliki tekstur yang halus, lunak dan lembut. Salah satu bahan pangan
yang dapat memperbaiki tekstur pangan adalah hidrokoloid karena sifatnya
yang dapat mengikat air dan membentuk gel.
Hidrokoloid atau koloid hidrofilik adalah polimer berantai panjang
yang larut dalam air dan mampu membentuk koloid dan gel. Hidrokoloid
juga sering dikenal dengan istilah gum. Ada berbagai macam hidrokoloid
yang sekarang banyak digunakan di industri pangan antara lain gum Arab,
xanthan gum, agar-agar, pektin, CMC, dan karagenan. Hidrokoloid biasanya
digunakan dalam kadar yang sangat rendah yaitu sekitar 1% dari berat
bahan pangan (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid yang digunakan pada penelitian
ini adalah gum Arab, karagenan dan CMC.

a. Gum Arab

Gum Arab atau sering juga disebut gum akasia adalah kompleks
heteropolisakarida yang berasal dari getah alami pohon Acacia. Molekul
gum Arab terdiri dari 6 gugus karbohidrat yaitu galaktosa,
Arabinopiranosa, Arabinofuranosa, ramnosa, asam glukuronat, dan asam
4-0-metilglukuronat (Glicksman, 1983).
Gum Arab merupakan hidrokoloid yang unik karena gum Arab
dapat membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi yang
tinggi (sekitar 50%). Kekentalan maksimum gum Arab yaitu pada pH
4.5-5.5. Pada pH kurang dari 4.5 dan lebih besar dari 5.5 kekentalannya
menjadi rendah (Fardiaz, 1989). Kelarutan gum Arab sangat tinggi
terhadap air tetapi gum Arab tidak dapat larut dalam minyak dan pelarut
organik. gum Arab sering dikombinasikan dengan hidrokoloid lainnya
yang bersifat kompatibel karena mempunyai sifat daya gabung dan
kekentalannya sangat rendah (Fardiaz, 1989). Gum Arab juga dapat
berfungsi sebagai pengemulsi, pembentuk tekstur, dan pencegah
kristalisasi gula pada produk pangan.

b. Karagenan

Karagenan adalah hidrokoloid yang berasal dari ekstraksi rumput


laut merah yaitu Chondrus crispus. Polimer hidrokoloidnya tersusun atas
galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa yang secara bergantian terikat
melalui ikatan alfa 1, 3 dan beta 1,4 D-Galaktopiranosa. Karagenan
dibedakan atas tiga fraksi yaitu lamda, iota, dan kapa karagenan yang
membutuhkan ion kalsium untuk membentuk gel.
Karagenan sangat stabil pada pH 7 atau lebih besar. Pada pH yang
lebih rendah, kekentalannya menurun karena polimer karagenan akan
terhidrolisis sehingga kemampuannya membentuk gel menurun (Fardiaz,
1989). Pada pH rendah, ikatan glikosidik pada karagenan akan
terhidrolisis dan menurunkan viskositas pembentukan gel.
Karagenan memiliki kemampuan menghambat pembentukan
kristal es produk makanan yang dibekukan. Karagenan dapat
dikombinasikan dengan hidrolokoid lain seperti CMC atau beberapa jenis
bahan penstabil lainnya. Penggunaan karagenan di Amerika Serikat
berdasarkan pada Good Manufacturing Practices (GMP), yaitu
penggunaan seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan secara maksimal karena karagenan berstastus GRAS dan
diakui sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA.
c. CMC

CMC (Carboxy Methyl Cellulose) merupakan hidrokoloid sintetis


yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC
berfungsi untuk mengikat air dan memberikan kekentalan yang dapat
memantapkan komponen lainnya serta mencegah sineresis. Selain itu
CMC juga digunakan sebagai bahan pengisi karena kapasitas pengikatan
airnya tinggi (Fardiaz, 1989). Struktur molekul CMC dapat dilihat pada
Gambar 4.

Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997)

Kemampuan CMC untuk membentuk larutan yang kental, gel, dan


film menyebabkannya menjadi turunan selulosa larut air yang paling
banyak digunakan. CMC digunakan sebagai agen pengental pada sirup,
makanan rendah kalori, detergen, dan krim. Selain itu, CMC juga dapat
digunakan untuk mengikat air atau memberikan kekentalan sehingga
dapat memantapkan komponen lainnya atau mencegah sineresis.
Kapasitas pengikatan airnya yang tinggi menyebabkan CMC banyak
diaplikasikan ke dalam produk makanan-makanan dietetik sebagai bahan
pengisi.
CMC memiliki kelarutan dalam air yang cukup tinggi dan dapat
larut dalam air dingin atau panas. Akan tetapi, kelarutannya dalam air
sangat dipengaruhi oleh derajat substitusi dan polimerisasi. CMC yang
memiliki derajat substitusi rendah tidak dapat larut dalam air tetapi larut
dalam basa, sedangkan CMC yang memiliki derajat substitusi tinggi
dapat larut di dalam air.
CMC sangat stabil pada pH antara 5-11. Akan tetapi, kekentalan
CMC akan menghilang pada pH rendah dan cenderung untuk mengendap
pada pH rendah. Pada pH kurang dari 5.0, viskositasnya akan menurun
(Glicksman, 1983).

C. APLIKASI TEKNOLOGI PENYIMPANAN

1. Penyimpanan pada Suhu Rendah

Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara yang paling umum


dan ekonomis untuk memperpanjang umur simpan produk pangan.
Penyimpanan pada suhu rendah adalah penyimpanan di bawah 15oC. Faktor
yang perlu diperhatikan pada penyimpanan pada suhu rendah adalah
penggunaan suhu yang paling tepat. Penyimpanan pada suhu rendah dapat
mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, menghambat
aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia, menghambat atau menghentikan
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam makanan, menghambat
proses penuaan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan
warna dan tekstur, kehilangan air, kerusakan karena bakteri, kapang, dan
khamir (Fellers, 1955).
Daya tahan mikroorganisme terhadap suhu rendah berlainan antara
satu dengan lainnya. Temperatur rendah menyebabkan penahanan sintesa
enzim mikroorganisme, menginaktifkan mekanisme transpor solut melalui
membran sitoplasma pada bakteri mesofilik. Pada bakteri psikrofilik, hal
tersebut tidak terjadi. Bakteri psikrofilik adalah bakteri yang dapat hidup
pada suhu (-7)oC hingga 10oC.

2. Pengemasan Vakum

Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa


(tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan
(Syarief et al., 1989). Tujuan utama dari pengemasan pangan adalah untuk
melindungi produk dari lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan
mutu simpan. Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke
dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup
dan setelah itu direkatkan dengan panas (Jay, 2000).
Pengemasan vakum dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
karena kandungan oksigen yang rendah sehingga sebagian besar
mikroorganisme aerobik (memerlukan oksigen) tidak dapat tumbuh kecuali
Clostridium botulinum yang dapat tumbuh pada kondisi sedikit oksigen
(anaerobik). Menurut Patersen et al. (1999), kemasan vakum dapat
menghambat pertumbuhan Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter,
Flavobacterium, dan Cytophaga sehingga dapat mempertahankan kesegaran
produk. Kemasan vakum juga dapat menghambat perpindahan flavor dari
dalam kemasan atau sebaliknya. Kapang tidak dapat tumbuh pada kemasan
vakum karena kapang bersifat aerobik, sedangkan sebagian khamir dapat
tumbuh pada kemasan vakum karena dapat bersifat aerobik atau anaerobik
(tidak memerlukan oksigen) (Fardiaz, 1992).
Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk batang dan
bersifat anaerob yang dapat memproduksi endospora dan memperoleh
energi dari proses fermentasi. Selain itu, sebagian besar C. botulinum dapat
menghasilkan protein toksin yang bersifat letal bagi manusia dan hewan
dengan dosis cukup 0.1-1 µg/kg berat badan. Karena C. botulinum dapat
tumbuh pada kondisi anaerobik, maka keberadaan bakteri ini patut
diperhatikan khususnya pada proses pengolahan yang menggunakan kondisi
anaerobik seperti proses pengemasan vakum dan pengalengan. Oleh karena
itu, C. botulinum merupakan salah satu bakteri yang berbahaya bagi
manusia (Johnson, 1999).
Ada beberapa faktor yang dapat menghambat dan menginaktivasi
C. botulinum, yaitu pH, aw dan suhu. Faktor-faktor penghambat ini dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Faktor penghambat dan penginaktivasi C. botulinum
Faktor C. botulinum
Minimal pH 4.6
Minimal aw 0.94
o
Minimum suhu ( C) 10
Maksimum suhu (oC) 50
Sumber : Johnson (1999)

Berdasarkan Tabel di atas, C. botulinum dapat tumbuh pada kisaran


suhu 10oC hingga 50oC. Oleh karena itu, sebaiknya proses pengolahan yang
menggunakan kondisi anaerobik seperti pengemasan vakum diikuti dengan
penyimpanan pada suhu rendah. Proses pengemasan vakum mie basah
mentah yang akan dilakukan pada penelitian ini diikuti dengan
penyimpanan pada suhu rendah yaitu dengan refrigerator untuk
menghindari kemungkinan adanya C. botulinum (Johnson, 1999).
Pada pengemasan vakum, plastik yang biasa digunakan adalah plastik
yang memiliki permeabilitas O2 yang rendah. Plastik PP (Poly Propylene)
merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam kemas vakum
dan mempunyai rumus kimia (-CH2-CH-CH3)n. Poly Propylene memiliki
sifat mudah dibentuk, tembus pandang, ringan dengan densitas 0,9 g/cm3,
permeabilitas uap air yang rendah dan tidak mudah sobek (Syarief et. al.,
1989).
Kemasan yang digunakan pada aplikasi teknologi penyimpanan pada
suhu rendah menggunakan plasik LDPE (Low Density Poly Ethylene).
LDPE merupakan jenis plastik PE (Poly Ethylene) yang dibuat dengan
proses polimerisasi adisi dari gas etilen sebagai hasil samping dari industri
arang dan minyak dan memiliki densitas yang rendah. Plastik ini dapat
digunakan pada penyimpanan beku hingga mencapai suhu (-50)oC
(Syarief et al., 1989).
III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan


untuk produksi mie dan bahan untuk analisis mikrobiologi, fisik, kimia dan
sensori. Bahan yang digunakan dalam produksi mie adalah tepung terigu
merek Segitiga Biru dan tepung terigu merek Cakra Kembar yang
dikeluarkan oleh PT. Indofood Sukses Makmur, garam dapur, garam alkali
(STPP dan Na2CO3), air kran laboratorium, berbagai jenis pengawet (Na-
asetat, Ca-propionat dan K-sorbat), berbagai jenis hidrokoloid (gum Arab,
karagenan, CMC), tapioka merek Gunung Agung, tapioka tidak bermerek,
plastik Low Density Poly Ethylene (LDPE), plastik Poly Prophylene (PP)
dan mie basah mentah pasar yang dibeli di Pasar Merdeka. Resep dasar mie
basah mentah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Resep mie yang digunakan


Komposisi (%)
Jenis Bahan
dari bobot terigu
Tepung Terigu Segitiga Biru dan Cakra Kembar 100
(1:1)
Air 35
Garam 1
Garam alkali Na2CO3 0,6
Tapioka (bahan pemupur) 3

Pengawet Na-asetat yang digunakan berjenis P.A (Pro Analis)


sedangkan Ca-propionat dan K-sorbat yang digunakan adalah Ca-propionat
dan K-sorbat teknis. Spesifikasi pengawet Ca-propionat dapat dilihat pada
Lampiran 1 dan spesifikasi pengawet K-sorbat dapat dilihat pada Lampiran
2. CMC, gum Arab, dan karagenan yang digunakan berjenis teknis dan
spesifikasinya dapat dilihat pada Lampiran 3 untuk CMC dan Lampiran 4
untuk gum Arab.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologi, fisik,
kimia dan sensori adalah larutan pengencer steril NaCl 0,85%, media
Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA),
Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA), Tryptone Broth (TB), Methyl Red-voges Proskauer (MR-VP),
Koser Citrate (KS), pereaksi IMVIC, spiritus, tissue, kapas, buffer pH 7,
NaCl jenuh, label dan korek api.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu alat
untuk membuat mie dan alat untuk analisis, baik analisis mikrobiologi, fisik,
kimia ataupun sensori. Alat-alat yang digunakan dalam produksi mie adalah
noodle machine, mixer, timbangan, baskom, gelas ukur, gelas piala, dan
pisau. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah stomacher, cawan
petri steril, tabung reaksi, tabung Durham, pipet, mikropipet, ose, inkubator,
bunsen, erlenmeyer, gelas ukur, otoklaf, hot plate, refrigerator merek
Toshiba tipe GR-M66ED Plasma & Ion deodorizer (6oC) dan refrigerator
cool room (13oC), sealer, nampan, gelas sampel, sendok, aluminium foil,
sudip, aw-meter, pH-meter, texture analyzer, Chromameter.

B. METODE

Mie basah mentah yang akan dihasilkan pada penelitian ini


selanjutnya akan disebut dengan mie. Metode penelitian ini meliputi enam
tahapan, yaitu (1) pemilihan STPP dan Na2CO3 sebagai garam alkali pada
pembuatan mie; (2) penambahan CMC, gum Arab, dan karagenan sebagai
hidrokoloid pada pembuatan mie; (3) optimasi penyangraian tapioka tidak
bermerek dan penggunaan tapioka bermerek sebagai bahan pemupur pada
pembuatan mie; (4) aplikasi teknologi penyimpanan mie pada suhu ruang
(30oC), suhu rendah (6oC dan 13oC), dan pengemasan vakum; (5) optimasi
berbagai konsentrasi Na-asetat, Ca-propionat dan K-sorbat sebagai bahan
pengawet pada pembuatan mie kemudian optimasi penggunaannya menurut
Good Manufacturing Practices (GMP); dan (6) aplikasi kombinasi terbaik
dari tahapan satu, tahapan dua, tahapan tiga dan tahapan lima. Tahapan-
tahapan metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.

Pemilihan Garam Alkali

1.Penambahan 2. Optimasi 3. Aplikasi 4a. Optimasi


Hidrokoloid penyangraian teknologi Na-asetat,
tapioka sebagai penyimpanan Ca-propionat, dan
bahan pemupur K-sorbat sebagai
pengawet

4b. Optimasi pengawet


terbaik menurut GMP

5. Aplikasi
kombinasi terbaik

Analisis Mutu :
• Mikrobiologi
• Kimia
• Fisik
• Organoleptik

Gambar 5. Tahapan penelitian

1. Pemilihan Garam Alkali

Dalam tahap ini dilakukan pembuatan mie dengan penggunaan garam


alkali STPP dengan konsentrasi 0,2% dari bobot tepung terigu. Kemudian,
mie yang dihasilkan akan dibandingkan umur simpan, pH, mutu fisiknya
yang meliputi kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna (oHue) serta
kontribusi harganya dengan mie yang ditambahkan Na2CO3 sebagai garam
alkali sebanyak 0,6% dari bobot tepung terigu. Formulasi penggunaan
Na2CO3 maupun STPP sebagai garam alkali dapat dilihat pada Tabel 9 di
bawah ini.

Tabel 9. konsentrasi STPP dan Na2CO3 sebagai garam alkali pada


pembuatan mie
Perlakuan Jenis Garam Alkali %

I Na2CO3 0,6

II STPP 0,2

Pengukuran umur simpan mie dilakukan secara subyektif setiap 4 jam


sekali dengan parameter bau asam karena bau asam merupakan indikator
awal terjadinya kerusakan pada mie. Pengukuran mutu fisik menggunakan
Texture Analyzer untuk parameter kekerasan, kelengketan, dan elastisitas.
Sedangkan untuk parameter warna menggunakan Chromameter. Garam
alkali yang menghasilkan mie dengan umur simpan yang lebih baik akan
diaplikasikan pada aplikasi kombinasi terbaik.

2. Penambahan Hidrokoloid

Tahapan ini menggunakan berbagai jenis hidrokoloid. Jenis hidrokoloid


yang digunakan yaitu gum Arab, karagenan dan CMC. Penggunaan
hidrokoloid dilakukan secara tunggal dengan konsentrasi maksimal dari
setiap jenis hidrokoloid. Formulasi penggunaan berbagai jenis hidrokoloid
pada mie dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan pada pembuatan


mie
Perlakuan Jenis hidrokoloid %
I Tanpa hidrokoloid -
II CMC*) 0,2
III Gum Arab**) 0,5
IV Karagenan**) 0,5
Sumber : *) Oktaviani (2005)
**) Phillips dan Williams (2000)
Mie yang ditambahkan dengan hidrokoloid ini dibandingkan dengan
mie tanpa penambahan hidrokoloid. Pengamatan yang dilakukan adalah
pengamatan umur simpan secara subyektif dengan parameter bau asam
setiap 4 jam sekali, pengamatan mutu fisik yaitu kekerasan, kelengketan,
elastisitas, warna secara obyektif dan kontribusi harga masing-masing
hidrokoloid. Hidrokoloid yang menghasilkan mie dengan mutu yang lebih
baik akan digunakan pada aplikasi kombinasi terbaik.
Penggunaan CMC, gum Arab dan karagenan mengacu pada GMP,
yaitu penggunaan seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan secara maksimal. Konsentrasi CMC yang digunakan pada
penelitian ini adalah 0,2% sesuai dengan penelitian sebelumnya (Oktaviani,
2005). Sedangkan konsentrasi gum Arab dan karagenan yang digunakan
masing-masing sebanyak 0,5% (Phillips dan Williams, 2000).

3. Optimasi Penyangraian Tapioka sebagai Bahan Pemupur

Tapioka yang digunakan sebagai bahan pemupur mie dibagi menjadi


dua jenis, yaitu tapioka bermerek Gunung Agung (TGA) dan tapioka tidak
bermerek (TTB). Tapioka bermerek ini diperoleh dari supermarket
sedangkan tapioka tidak bermerek diperoleh dari pasar tradisional.
Tapioka tidak bermerek akan disangrai dengan api kecil pada suhu
o
80 C selama 15 detik, 30 detik, dan 60 detik untuk mengurangi jumlah
mikroorganisme yang terdapat pada tapioka. Perhitungan detik diperoleh
dengan menggunakan stopwatch dan dimulai pada saat suhu penyangraian
telah mencapai 80oC.
Kemudian, tapioka tidak bermerek yang telah disangrai akan
dibandingkan jumlah Total Plate Count (TPC) dengan tapioka bermerek.
Selanjutnya, tapioka ini digunakan sebagai bahan pemupur mie dan
dilakukan pengamatan secara subyektif (bau asam) setiap 4 jam sekali untuk
menentukan umur simpan mie yang dihasilkan. Penggunaan bahan pemupur
ini dilakukan secara tunggal. Tahapan ini juga menganalisa kontribusi harga
dari tapioka bermerek Gunung Agung dan tapioka tidak bermerek. Tapioka
yang menghasilkan mie dengan mutu yang lebih baik akan digunakan pada
aplikasi kombinasi terbaik. Aplikasi bahan pemupur dapat dilihat pada
Tabel 11.

Tabel 11. Aplikasi bahan pemupur dalam pembuatan mie


Waktu Penyangraian
Keterangan
pada 80oC (detik)

tapioka tidak bermerek -

tapioka tidak bermerek 15

tapioka tidak bermerek 30

tapioka tidak bermerek 60

Tapioka bermerek -

4. Aplikasi Teknologi Penyimpanan

Aplikasi teknologi yang dilakukan meliputi penyimpanan mie pada


suhu ruang (± 30oC), suhu rendah yaitu pada suhu refrigerator 13oC dan
6oC serta pengemasan vakum yang disimpan pada suhu refrigerator (6oC).
Tahapan ini menggunakan dua jenis kemasan, yaitu kemasan LDPE dan
kemasan PP. Jenis perlakuan fisik ini dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis aplikasi teknologi penyimpanan pada mie


Suhu (oC) Kemasan
LDPE
Suhu ruang (30oC)
PP
LDPE
Suhu rendah (13oC)
PP
LDPE
o
Suhu rendah (6 C) PP
PP + kemas vakum
Pengukuran suhu tempat penyimpanan dilakukan dengan
menggunakan termometer. Ada tiga kondisi tempat penyimpanan yang
digunakan pada tahapan ini, yaitu penyimpanan pada suhu ruang (30oC),
penyimpanan pada suhu 13oC dan 6oC. Mie yang dihasilkan diamati umur
simpannya secara subyektif (bau asam) setiap 4 jam sekali. Kontribusi harga
kemasan juga dihitung berdasarkan harga masing-masing kemasan. Mie
dengan aplikasi teknologi yang memberikan umur simpan yang lebih lama
akan digunakan pada aplikasi kombinasi terbaik.

5. Optimasi Na-asetat, Ca-propionat dan K-sorbat sebagai Bahan


Pengawet

Jenis pengawet yang digunakan yaitu Na-asetat, Ca-propionat dan


K-sorbat. Penggunaan pengawet dilakukan secara tunggal dan kombinasi
dengan konsentrasi maksimal dari setiap jenis pengawet. Penggunaan Na-
asetat dan Ca-propionat serta kombinasi yang digunakan merupakan
modifikasi dari Chamdani (2005) dengan menghilangkan paraben karena
sedang dikaji ulang kemanannya oleh FDA. Mie yang ditambahkan
pengawet akan diamati umur simpannya setiap 4 jam sekali secara subyektif
(bau asam) dan dibandingkan dengan mie tanpa penambahan pengawet.
Selain itu, dilakukan analisis kontribusi harga untuk masing-masing
pengawet dengan berbagai konsentrasi. Formulasi penggunaan bahan
pengawet dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Formulasi penggunaan pengawet dalam pembuatan mie
Formula Kode Sampel Jenis Pengawet % Keterangan*
I K - - Tanpa pengawet
Na-asetat 0,03 50% konsentrasi
NC 11
II Ca-propionat 0,1 50% konsentrasi
Ca-propionat 0,1 50% konsentrasi
CK 11
III K-sorbat 0,1 50% konsentrasi
Na-asetat 0,03 50% konsentrasi
NK 11
IV K-sorbat 0,1 50% konsentrasi
Na-asetat 0,045 75% konsentrasi
NC 31
V Ca-propionat 0,05 25% konsentrasi
Ca-propionat 0,15 75% konsentrasi
CK 31
VI K-sorbat 0,05 25% konsentrasi
Na-asetat 0,03 50% konsentrasi
VII NCK 211 Ca-propionat 0,05 25% konsentrasi
K-sorbat 0,05 25% konsentrasi
Na-asetat 0,015 25% konsentrasi
VIII NCK 121 Ca-propionat 0,1 50% konsentrasi
K-sorbat 0,05 25% konsentrasi
*) Persentase dari konsentrasi maksimum yang diperbolehkan menurut
Permenkes (1988)

Setelah diperoleh mie dengan kombinasi pengawet terbaik yaitu mie


yang memberikan umur simpan yang lebih lama, dilakukan optimasi dengan
menurunkan konsentrasi pengawet tersebut, yaitu 100%, 50%, 25%, 10%
dan 5% hingga diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata umur simpannya
dengan penggunaan pengawet pada konsentrasi maksimal. Pengamatan
yang dilakukan pada tahapan ini adalah pengamatan umur simpan secara
subyektif (bau asam), pengamatan mutu fisik yaitu warna, pengamatan mutu
kimia yaitu pH larutan pengawet dan pH mie serta kontribusi harga
pengawet.
6. Aplikasi Kombinasi Terbaik

Pada tahap ini dilakukan pembuatan mie dengan menggunakan


kombinasi seluruh perlakuan terbaik dari tahapan-tahapan sebelumnya,
yaitu garam alkali terbaik yang memberikan umur simpan lebih lama,
penambahan hidrokoloid terbaik, optimasi penyangraian tapioka sebagai
bahan pemupur, dan optimasi pengawet. Analisis yang dilakukan pada tahap
ini meliputi analisis mikrobiologi (TPC, total kapang-khamir dan E. Coli)
setiap 4 jam selama penyimpanan, analisis fisik (kekerasan, kelengketan,
elastisitas, warna) setiap 4 jam selama penyimpanan, analisis kimia (pH dan
aw) pada jam ke-0, dan analisis sensori terhadap kesukaan (aroma, tekstur,
warna, dan secara keseluruhan).

C. METODE ANALISIS

1. Analisis Mutu Fisik

a. Kekerasan (Firmness) dan kelengketan (Adhesiveness) dengan


Texture Analyzer

Pengukuran kekerasan (firmness) dan kelengketan (adhesiveness)


dilakukan dengan texture analyzer dengan probe P/35. Mie diletakkan di
atas meja sampel, lalu dengan menekan tombol pada keyboard, probe akan
turun hingga menekan mie. Pengukuran dimulai setelah tombol pada
keyboard ditekan dan berakhir jika probe telah menekan mie dan telah
mencapai bagian dasar meja sampel. Hasil pengukuran ini diperoleh dalam
bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer hingga
menghasilkan suatu nilai yang merupakan nilai kekerasan dan kelengketan
dari mie tersebut. Satuan kekerasan dan kelengketan adalah gf.

b. Elastisitas (Texture Analyzer)

Pengukuran elastisitas hampir sama dengan pengukuran kekerasan


ataupun kelengketan hanya saja menggunakan probe berjenis tensile
grips A/SPR. Mie dililitkan diantara tensile grips, kemudian tensile grips
akan menarik mie hingga putus. Pengukuran dimulai setelah tombol pada
keyboard ditekan dan berakhir jika probe telah menarik mie dan telah
mencapai bagian dasar meja sampel. Hasil pengukuran ini diperoleh
dalam bentuk grafik yang langsung dapat dibaca oleh komputer hingga
menghasilkan suatu nilai yang merupakan nilai elastisitas dari mie
tersebut. Satuan elastisitas adalah gf.

c. Pengukuran warna (Chromameter)

Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe


CR 200, Jepang). Mie diletakkan pada tempat yang tersedia, kemudian
ditekan tombol start dan akan diperoleh nilai L, a dan b dari mie dengan
kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik
campuran merah-hijau dengan nilai + a (positif) dari 0 sampai + 100
untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna
hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning
dengan nilai + b (positif) dari 0 sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai
– b (negatif) dari 0 sampai – 80 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a
dan b dapat dihitung oHue dengan rumus:
o
Hue = tan -1 b
a
Jika hasil yang diperoleh:
18o-54o : Maka produk berwarna red (R)
54o-90o : Maka produk berwarna yellow red (YR)
90o-126o : Maka produk berwarna yellow(Y)
126o-162o : Maka produk berwarna yellow green (YG)
o o
162 -198 : Maka produk berwarna green (G)
o o
198 -234 : Maka produk berwarna blue green (BG)
o o
234 -270 : Maka produk berwarna blue (B)
o o
270 -306 : Maka produk berwarna blue purple (BP)
306o-342o : Maka produk berwarna purple (P)
342o-18o : Maka produk berwarna red purple (RP)
2. Analisis Mutu Kimia

a. Pengukuran pH (AOAC, 1984)


Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan
menggunakan larutan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Sebanyak 10 gram mie
dihaluskan, ditambahkan sedikit air dan diaduk sampai merata. Kemudian
elektroda ditempatkan dalam mie sehingga dapat terbaca nilai pH yang
diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.

b. Pengukuran Aktivitas Air (aw) menggunakan aw-meter Shibaura


WA-360
Alat yang digunakan untuk mengukur Aw adalah Aw-meter Shibaura
WA-360. Mie diletakkan di dalam cawan sensor. Kemudian cawan sensor
dimasukkan ke dalam sensor Aw-meter dan ditekan tombol start untuk
memulai pengukuran. Nilai A dapat dibaca pada layar setelah ada tulisan
complete. Sebelum digunakan untuk mengukur mie, alat dikalibrasi
dengan NaCl jenuh.

3. Analisis Mutu Mikrobiologi (FDA, 2001)


Analisis mikrobiologi yang digunakan adalah analisis total mikroba,
kapang-khamir dan total bakteri E. Coli. Sebanyak 10 g mie dimasukkan ke
dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan pengencer steril.
Mie tersebut kemudian dihancurkan dengan alat stomacher selama 120 detik
sehingga dihasilkan mie dengan pengenceran 1:10. Campuran dikocok,
diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml
larutan pengencer steril dan diperoleh pengenceran 10-2. dengan cara yang
sama, dilakukan pengenceran 10-3, 10-4, dan seterusnya.
Dari masing-masing pengenceran diambil 1 ml suspensi mie secara
aseptis dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan ditambahkan PCA
(Plate Count Agar) steril (duplo). Setelah media membeku, cawan petri
diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator dengan suhu 37oC selama
2 hari. Penghitungan total mikroba dilakukan menggunakan metode BAM
(Bacteriological Analytical Manual)-FDA. Jumlah koloni yang diambil
berada pada kisaran angka antara 25 hingga 250 koloni untuk total mikroba.
Koloni/g = jumlah koloni total
[(1 x n1) + (0,1 x n2)] x d

n1 : jumlah petri dari pengenceran pertama


n2 : jumlah petri dari pengenceran kedua
d : pengenceran pertama yang dihitung

Analisis total kapang dan khamir dilakukan dengan metode TPC


menggunakan media APDA (Acidified Potato Dextrose Agar).
Penghitungan jumlah koloni/g mie dilakukan dengan metode BAM
(Bacteriological Analytical Manual)-FDA dengan kisaran antara 15 hingga
150 koloni, sedangkan analisis bakteri E. Coli dilakukan dengan MPN
(Most Probable Number) menggunakan media BGLBB (Brilliant Green
Lactose Bile Broth) 3 seri. Setelah itu diinkubasi selama 2 hari pada suhu
44oC. Jika ada pertumbuhan pada BGLBB, selanjutnya dilakukan uji
penguat dengan penggoresan pada media EMBA (Eosin Methylene Blue
Agar). Koloni positif yang tumbuh pada media EMBA dilakukan uji
konfirmasi dengan IMVIC.

3. Analisis Kontribusi Harga BTP terhadap Harga Mie


Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
penggunaan garam alkali, hidrokoloid, pengawet dan kemasan terhadap
harga jual mie basah mentah di pasaran. Pengaruh kontribusi harga ini
menggunakan satuan Rp/kg mie basah mentah. Cara perhitungan kontribusi
harga dapat dilihat dari rumus berikut ini.
Kontribusi harga BTP untuk 1 kg mie basah mentah (Rp/kg) :
A x C
B

Keterangan :
A = jumlah BTP yang digunakan dalam 100 g terigu (g)
B = rendemen mie yang dihasilkan dari 100 g terigu (g)
C = harga BTP dalam 1 kg (Rp/kg)
5. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik yang dilakukan menggunakan uji kesukaan (hedonik)
dengan 5 skor, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (netral), 4 (suka)
dan 5 (sangat suka). Ada tiga jenis mie yang digunakan dalam uji ini, yaitu
mie pasar, mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik. Mie
pasar diperoleh dari pasar Merdeka, Bogor. Nilai kesukaan mie pasar dan
mie yang menggunakan Na2CO3 yang digunakan merupakan hasil rata-rata
dari lima kali pengambilan sampel. Uji ini juga mengamati pengaruh
pemasakan terhadap tingkat kesukaan mie. Mie yang digunakan merupakan
mie basah mentah yang dimatangkan. Parameter yang diamati adalah aroma,
tekstur, warna, rasa dan secara keseluruhan (overall). Analisis data
dilakukan dengan menggunakan ANOVA dengan uji lanjut Duncan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE

Pengamatan yang dilakukan terhadap mie yang dihasilkan dilakukan


secara subyektif dan obyektif. Parameter yang diukur secara subyektif yaitu
parameter umur simpan dengan indikator bau asam sedangkan parameter yang
diukur secara obyektif yaitu mutu fisik yang meliputi kekerasan, kelengketan,
elastisitas dengan alat Texture Analyzer dan warna dengan alat Chromameter.

1. Umur Simpan Mie

Pengamatan umur simpan yang dilakukan berdasarkan analisis secara


subyektif yaitu ada/tidaknya bau asam yang merupakan indikasi awal
terjadinya kerusakan. Oleh karena itu, mie dinyatakan rusak apabila sudah
tercium bau asam. Hasil analisis umur simpan mie dengan berbagai jenis
garam alkali ditunjukkan pada Gambar 6.

50 44
umur simpan (jam

40
30 24
20
10
0
Na2CO3 0,6% STPP 0.2%
jenis mie
Gambar 6. Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan
berbagai jenis garam alkali

Gambar 6 menunjukkan bahwa umur simpan mie yang menggunakan


Na2CO3 mencapai 44 jam sedangkan umur simpan mie yang menggunakan
STPP hanya bertahan 24 jam. Sesuai dengan survei yang dilakukan oleh
Gracecia (2005), umur simpan mie pasar daerah Jakarta dan Bogor antara 1
- 4 hari dengan nilai modus 2 hari (48 jam). Begitu pula dengan survei yang
dilakukan oleh Priyatna (2005), umur simpan mie pasar daerah Tanggerang
dan Bekasi antara 1 - 4 hari dengan nilai modus 2 hari (48 jam). Dari 40
responden pedagang mie, mie yang umur simpannya selama 3-4 hari di
Tanggerang ada sebanyak 28,56%, sedangkan di Bekasi sebanyak 33,33%.
Mie yang umur simpannya mencapai 3-4 hari ini diduga menggunakan zat
terlarang seperti formalin dan boraks sebagai bahan pengawet. Formalin
dilarang digunakan dalam produk pangan karena dapat menyebabkan luka
bakar, muntah, sakit kepala, kerusakan hati, jantung, ginjal, pankreas dan
kematian (OSHA, 2006).
Umur simpan mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lama
dibandingkan dengan mie yang menggunakan STPP. Oleh karena itu, mie
yang menggunakan Na2CO3 dipilih sebagai mie dengan garam alkali
terbaik dengan umur simpan yang lebih lama.
Umur simpan mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lama
dibandingkan dengan mie yang menggunakan STPP karena pH larutan dan
pH mie yang menggunakan Na2CO3 lebih tinggi dibandingkan dengan pH
larutan atau pH mie yang menggunakan STPP. Gambar 7 menunjukkan pH
larutan dan pH mie yang menggunkan Na2CO3 atau STPP.

12 11.4
10 8.81 9.2
8
6.13
pH

6
4
2
0
Na2CO3 0.6% STPP 0.2%
pH larutan garam alkali Sampel
pH mie
Gambar 7. Nilai pH larutan dan pH mie dengan berbagai jenis garam alkali

Nilai pH larutan dan pH mie yang menggunakan Na2CO3 berturut-


turut 11.40 dan 8.81 sedangkan pH larutan dan pH mie yang menggunakan
STPP berturut-turut 9.20 dan 6.13. Sebagian besar mikroorganisme
memiliki pH optimal dan pH maksimal. Nilai pH optimal bakteri berkisar
antara pH 6 – 7 dan pH optimal kapang dan khamir berkisar antara
pH 4 - 7. Sedangkan pH maksimal bakteri 9, pH maksimal kapang dan
khamir yaitu pH 8 - 11 (Lund et. al., 2000).
Nilai pH awal bahan juga mempengaruhi jenis mikroba yang
mungkin tumbuh. Nilai pH awal mie yang menggunakan Na2CO3 sebesar
8.81 sedangkan pH awal mie yang menggunakan STPP sebesar 6.13. Pada
kisaran pH 8 hingga 11, tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh,
sedangkan pada kisaran pH 6 hingga 7, hampir semua mikroorganisme
dapat tumbuh (Lund et. al., 2000).

2. Mutu Fisik

Mutu adalah kelompok sifat pada komoditas yang membedakan


tingkat pemuas atau acceptability dari komoditas tersebut bagi pembeli atau
konsumen (Soekarto, 1990). Mutu fisik merupakan sifat-sifat mutu pada
komoditas yang dapat diamati secara fisik atau kasat mata. Parameter
kekerasan, kelengketan, elastisitas, dan warna merupakan bagian dari mutu
fisik mie. Mie yang baik memiliki tekstur yang lembut, halus, kenyal, tidak
terlalu lengket, dan berwarna kuning cerah (Astawan, 1999). Hasil analisis
mutu fisik mie yang menggunakan Na2CO3, mie yang menggunakan STPP
dan mie pasar yang dilaporkan oleh Indrawan (2005) dapat dilihat pada
Tabel 14 dan Lampiran 5.

Tabel 14. Hasil analisis mutu fisik mie yang menggunakan Na2CO3, mie
yang menggunakan STPP dan mie pasar
Parameter Satuan Mie Pasar* Na2CO3 0,6% STPP 0,2%
Kekerasan gf 6736,63 10291,75 6410,57
Kelengketan gf 202,62 14,26 11,76
Elastisitas gf 25,74 12,91 14,53
o
Warna Hue 77,19 83,47 83,15
*) Indrawan (2005)

a. Tekstur

Berdasarkan Tabel 14, kekerasan mie pasar lebih mendekati


kekerasan mie yang menggunakan STPP dibandingkan dengan mie yang
menggunakan Na2CO3. Mie pasar yang dilaporkan oleh Indrawan (2005)
diduga menggunakan bahan tambahan lain seperti kansui, obat mie
(K2CO3) atau natrium bikarbonat sebagai garam alkali. Kansui
merupakan garam alkali yang terdiri dari campuran STPP dan Na2CO3.
Menurut Indrawan (2005), diantara 12 pabrik mie yang disurvei di
daerah Jabotabek, terdapat 1 pabrik menggunakan kansui, 4 pabrik
menggunakan obat mie, 1 pabrik menggunakan Na2CO3, dan 6 pabrik
menggunakan natrium bikarbonat. Hasil analisis kekerasan mie yang
menggunakan Na2CO3, dan mie yang menggunakan STPP ditunjukkan
pada Gambar 8.

12000 10291.75
10000
kekerasan (gf)

8000 6410.57
6000
4000
2000
0
Na2CO3 0.6% STPP 0.2%
jenis mie

Gambar 8. Nilai kekerasan mie dengan berbagai jenis garam alkali


Berdasarkan analisis ragam, mie yang menggunakan Na2CO3 lebih
keras dan berbeda nyata dibandingkan dengan mie STPP (Lampiran 6).
Menurut Astawan (1999), STPP memiliki kemampuan untuk mengikat
air yang terdapat dalam adonan sehingga air tidak mudah menguap dan
tidak menyebabkan permukaan adonan menjadi kering dan keras
sebelum proses pembentukan adonan. Nilai kekerasan mie yang
menggunakan STPP dan mie yang menggunakan Na2CO3 berturut-turut
sebesar 6410,57 gf dan 10291,75 gf.
Indrawan (2005) melaporkan bahwa nilai kekerasan mie pasar
sebesar 6736,63 gf (Indrawan, 2005). Nilai kekerasan mie pasar lebih
mendekati nilai kekerasan mie yang menggunakan STPP dibandingkan
dengan mie yang menggunakan Na2CO3. Hasil analisis kelengketan dan
elastisitas mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang menggunakan
STPP dapat dilihat pada Gambar 9.

kelengketan
20 elastisitas
14.26 14.53
15 12.91 11.76
10
gf

0
Na2CO3 0.6% STPP 0.2%
jenis mie
Gambar 9. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan berbagai jenis
garam alkali

Kelengketan mie yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang


menggunakan STPP tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
meskipun mie yang menggunakan Na2CO3 lebih lengket dibandingkan
dengan mie yang menggunakan STPP (Lampiran 6). Indrawan (2005)
melaporkan bahwa kelengketan mie pasar sangat tinggi yaitu 202,62 gf.
Kelengketan mie pasar yang sangat tinggi ini diduga karena adanya
aktivitas mikroorganisme pembentuk lendir yang menyebabkan mie
menjadi lengket.
Mie yang menggunakan STPP lebih elastis dan berbeda nyata
dibandingkan dengan mie yang menggunakan Na2CO3 berdasarkan
analisis ragam dengan selang kepercayaan 95% (Lampiran 6). Menurut
Astawan (1999), STPP dapat meningkatkan elastisitas dan ekstensibilitas
adonan sedangkan Na2CO3 dapat meningkatkan kehalusan tekstur
adonan. Di pasar, garam STPP biasa digunakan pada produk bakso
untuk meningkatkan kekenyalan bakso karena STPP dapat berinteraksi
dengan protein aktin dan miosin untuk memperkuat tesktur bakso.
Indrawan (2005) melaporkan bahwa mie pasar memiliki elastisitas
yang tinggi sebesar 25.74 gf. Hal ini diduga karena adanya penambahan
senyawa boraks yang dapat meningkatkan elastisitas mie. Boraks
merupakan senyawa berbahaya yang dilarang digunakan pada bahan
pangan karena dapat menyebabkan sakit ginjal, respirasi, otak, hati,
demam, muntah, kram perut dan kematian (OSHA, 2006).

b. Warna

Penambahan garam alkali pada pembuatan mie dapat


mempengaruhi pembentukan warna mie. Hasil analisis warna (oHue) mie
yang menggunakan Na2CO3 dan mie yang menggunakan STPP dapat
dilihat pada Gambar 10 dan Lampiran 6.

83.47
83.5
derajat warna (oHue)

83.4
83.3
83.2 83.15
83.1
83
82.9
Na2CO3 0.6% STPP 0.2%
jenis mie
Gambar 10. Warna mie dengan berbagai jenis garam alkali

Penambahan Na2CO3 dan STPP dapat meningkatkan pH adonan


mie karena Na2CO3 dan STPP merupakan garam alkali yang memiliki
pH di atas pH netral (pH 7). Na2CO3 memiliki pH 11.40 sedangkan STPP
memiliki pH 9.20. Meningkatnya pH adonan dapat mengakibatkan
pembentukan warna kuning dari komponen flavanoid (Hatcher, 2001).
Mie yang menggunakan Na2CO3 lebih kuning dan berbeda nyata
dengan mie yang menggunakan STPP pada selang kepercayaan 95%
(Lampiran 6). Selain itu, mie yang menggunakan STPP secara visual
lebih putih dibanding dengan mie yang menggunakan Na2CO3. Hal ini
disebabkan karena pH STPP lebih rendah dibanding dengan pH Na2CO3
yang mengakibatkan tidak semua komponen flavanoid membentuk warna
kuning. Akan tetapi, kedua jenis mie ini masuk dalam kisaran warna
merah kekuningan yang mendekati kisaran warna kuning.
Indrawan (2005) melaporkan bahwa nilai warna mie pasar sebesar
77,19 oHue. Nilai warna mie pasar ini cukup rendah dibandingkan
dengan warna mie Na2CO3 atau mie STPP. Di pasar, warna mie pasar
secara visual lebih coklat dan gelap dibandingkan dengan kedua mie
lainnya. Pembentukan warna coklat disebabkan karena terjadi proses
pencoklatan oleh enzim polifenoloksidase yang berasal dari tepung.

3. Kontribusi Harga Garam Alkali terhadap Harga Mie

Harga Na2CO3 relatif lebih murah dibandingkan dengan harga STPP


di pasar. Daftar harga dan kontribusi harga Na2CO3 dan STPP pada
pembuatan mie dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Daftar harga dan kontribusi harga Na2CO3 dan STPP pada
pembuatan mie
Harga (Rp/Kg) Kontribusi Harga (Rp/kg mie)
Na2CO3 STPP Na2CO3 0,6% STPP 0,2%
4000 15000 19,20 24,00

Kontribusi harga (Rp/kg mie) dihitung berdasarkan jumlah BTP yang


digunakan pada pembuatan mie, rendemen mie yang dihasilkan dan harga
BTP di pasar. Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen mie yang
dihasilkan sekitar 125% yang artinya, bobot mie yang dihasilkan sebanyak
125 g mie dari penggunaan 100 g terigu (Lampiran 7). Untuk selanjutnya,
perhitungan kontribusi harga mengacu pada hasil rendemen ini.
Harga satu kg STPP dapat mencapai Rp. 15.000,-/kg sedangkan harga
satu kg Na2CO3 hanya Rp. 4.000-/kg. Selisih harga yang cukup besar ini
dapat mempengaruhi harga produksi mie. Penambahan Na2CO3 dalam
pembuatan mie hanya memerlukan biaya sebesar Rp. 19,20/kg mie
sedangkan penambahan STPP dapat mencapai Rp. 24,00/kg mie.
Perhitungan kontribusi harga dapat dilihat pada Lampiran 8.
B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU
MIE

Elastisitas mie merupakan salah satu parameter mutu mie. Untuk


memperbaiki elastisitas mie, di industri sering ditambahkan bahan tambahan
pangan hidrokoloid seperti CMC, gum Arab dan karagenan yang dapat
memberikan elastisitas mie yang lebih baik. Menurut Sunaryo (1985),
penambahan CMC dalam pembuatan mie bertujuan untuk mempercepat
pengembangan adonan. Akan tetapi, masih banyak industri yang menggunakan
zat terlarang boraks untuk meningkatkan elastisitas mie. Berdasarkan hasil
penelitian Oktaviani (2005), penggunaan boraks sebanyak 300 ppm pada
pembuatan mie dapat meningkatkan elastisitas mie dari 22,5 gf hingga menjadi
31,96 gf. Pengamatan yang dilakukan terhadap mie dengan penambahan
hidrokoloid meliputi pengamatan umur simpan secara subyektif dengan
indikator bau asam yang dilakukan setiap 4 jam sekali, pengamatan mutu fisik
yaitu kekerasan, kelengketan dan elastisitas serta analisis kontribusi harga
masing-masing hidrokoloid. Pengamatan mutu fisik warna tidak dilakukan
karena penambahan hidrokoloid tidak mempengaruhi warna mie.

1. Umur Simpan Mie dengan Penambahan Hidrokoloid

Pengukuran umur simpan mie dilakukan secara subyektif dengan


indikator ada/tidaknya bau asam karena bau asam merupakan indikator awal
terjadinya kerusakan mie. Pengukuran ini dilakukan setiap 4 jam sekali
hingga bau asam muncul. Umur simpan mie dengan penambahan CMC,
gum Arab atau karagenan dapat dilihat pada Gambar 11.
60
48 48 48
50 44
40

umur simpan (jam


30
20
10
0
kontrol CMC 0.2% Gum Arab Karagenan
0.5% 0.5%
jenis mie
Gambar 11. Umur simpan mie berdasarkan munculnya bau asam dengan
penambahan berbagai jenis hidrokoloid

Penambahan hidrokoloid ke dalam mie ternyata tidak meningkatkan


umur simpan yang cukup tinggi. Berdasarkan Gambar 11, umur simpan mie
dengan penambahan CMC, gum Arab atau karagenan memiliki umur
simpan yang sama yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan
tiga jenis hidrokoloid tersebut tidak berbeda umur simpannya, meskipun
ketiga jenis hidrokoloid ini memberikan umur simpan yang lebih lama 4 jam
dibandingkan dengan mie kontrol (44 jam). Oleh karena itu, pemilihan
hidrokoloid terbaik akan dilihat dari segi mutu fisik dan kontribusi harga.

2. Tekstur
Penambahan hidrokoloid ke dalam mie ternyata dapat mempengaruhi
mutu fisik mie. Hasil analisis kekerasan mie dengan berbagai jenis
hidrokoloid ditunjukkan pada Gambar 12 berikut dan Lampiran 9.

12000 10291.75 10310.43 9821.58


10000
7513.43
8000
kekerasan (gf)

6000
4000
2000
0
kontrol CMC 0.2% Gum Arab Karagenan
0.5% 0.5%
jenis mie

Gambar 12. Nilai kekerasan mie dengan penambahan berbagai hidrokoloid


Kekerasan mie yang ditambahkan CMC atau gum Arab tidak
berbeda secara signifikan dengan mie kontrol pada selang kepercayaan
95%, sedangkan kekerasan mie yang ditambahkan karagenan lebih
rendah dan berbeda secara signifikan dengan mie kontrol (Lampiran 10).
Mie dengan penambahan karagenan memiliki kekerasan yang lebih baik
dibandingkan dengan mie dengan penambahan hidrokoloid lainnya
karena nilai kekerasan mie karagenan (7513,43 gf) lebih rendah. Hasil
analisis kelengketan dan elastisitas mie yang ditambahkan hidrokoloid
dapat dilihat pada Gambar 13.

50 41.96 Kelengketan
40 Elastisitas
30 23.45
18.43 19.11
gf

20 14.26 12.91 16.8


12.06
10
0
kontrol CMC 0.2% Gum Arab Karagenan
0.5% 0.5%
jenis mie
Gambar 13. Nilai kelengketan dan elastisitas mie dengan penambahan
berbagai hidrokoloid

Penambahan CMC, gum Arab atau karagenan ternyata tidak


memberikan pengaruh nyata terhadap kelengketan mie dengan mie
kontrol pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 10) meskipun
kelengketan mie gum Arab sangat tinggi. Kelengketan mie gum Arab
sebesar 41,96 gf sedangkan kelengketan mie CMC dan mie karagenan
berturut-turut sebesar 18,43 gf dan 19,11 gf.
Penambahan CMC dapat meningkatkan elastisitas mie dan berbeda
nyata dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan
penambahan gum Arab atau karagenan tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap elastisitas mie dengan mie kontrol pada selang kepercayaan
95% (Lampiran 10).
Mie dengan penambahan CMC memiliki elastisitas yang lebih baik
dibandingkan dengan penambahan hidrokoloid lainnya karena mutu mie
yang baik dan yang diinginkan oleh konsumen adalah semakin elastis.
Selain itu, nilai elastisitas mie CMC, yaitu 23,45 gf mendekati nilai
elastisitas mie yang dijual di pasar, yaitu 25,74 gf (Indrawan, 2005).

3. Kontribusi Harga Hidrokoloid terhadap Harga Mie

Berdasarkan umur simpan, ketiga jenis hidrokoloid yang ditambahkan


pada mie memiliki umur simpan yang sama, yaitu 48 jam. Berdasarkan
mutu fisiknya, mie karagenan lebih baik dibandingkan dengan mie CMC
atau mie gum Arab untuk parameter kekerasan. Sedangkan untuk parameter
elastisitas, mie CMC lebih baik dibandingkan dengan mie karagenan dan
mie gum Arab. Untuk parameter kelengketan, ketiga jenis mie hidrokoloid
ini tidak berbeda nyata dengan mie kontrol. Oleh karena itu, pemilihan
hidrokoloid terbaik pada tahapan ini mengacu pada kontribusi harga yang
diberikan oleh masing-masing hidrokoloid karena kontribusi harga akan
sangat mempengaruhi harga produksi dan harga jual mie jika akan
diaplikasikan ke dalam industri.
Harga hidrokoloid di pasar ternyata sangat beragam tergantung dari
asal bahan dan proses pengolahannya. Karagenan merupakan hidrokoloid
yang paling mahal dan cukup sulit dicari di pasar dibandingkan dengan dua
hidrokoloid lainnya, yaitu gum Arab dan CMC. Harga pasar CMC, gum
Arab dan karagenan serta kontribusi harganya dalam pembuatan mie dapat
dilihat pada 16 berikut ini.
Tabel 16. Harga hidrokoloid serta kontribusi harganya
Harga (Rp/Kg) Kontribusi Harga
(Rp/kg mie)
CMC GA KA CMC 0,2% GA 0,5% KA 0,5%
60.000 130.000 600.000 96 520 2.400

Hidrokoloid yang memberikan kontribusi harga terbesar yaitu


karagenan sebesar Rp. 2.400,-/kg mie sedangkan kontribusi harga terkecil
berasal dari CMC yaitu hanya sebesar Rp. 96,-/kg mie. Sementara,
kontribusi harga gum Arab sebesar Rp. 520,-/kg mie (Lampiran 11). Oleh
karena itu, hidrokoloid terbaik yang akan digunakan pada tahapan
berikutnya adalah CMC karena memberikan kontribusi harga terkecil.

C. PENGARUH PENYANGRAIAN TAPIOKA TERHADAP MUTU MIE

Penambahan bahan pemupur dalam pembuatan mie berfungsi agar


benang-benang mie tidak saling menempel satu sama lain. Bahan pemupur
yang sering digunakan di pasar adalah tapioka karena memberikan warna
yang jernih pada saat dimasak menjadi mie basah mentah yang dimatangkan.
Ada dua jenis tapioka yang digunakan yaitu tapioka tidak bermerek dan
tapioka bermerek. Tapioka tidak bermerek sering dijumpai di pasar-pasar
tradisional. Sebenarnya, tapioka ini memiliki merek tertentu, akan tetapi
dalam kemasan karungan sedangkan ketika di pasar, tapioka ini dijual dalam
bentuk kemasan yang lebih kecil ukuran satu kg dan tidak dikemas secara
higienis. Sementara, tapioka bermerek dijual dalam kemasan kecil ukuran
500 gram dan telah dikemas secara higienis.

1. Mutu Mikrobiologi Tapioka

Tapioka tidak bermerek diberi perlakuan penyangraian pada suhu


80oC selama 15 detik, 30 detik, dan 60 detik dan dihitung jumlah Total
Plate Count (TPC) masing-masing perlakuan. Sementara, tapioka
bermerek tidak diberi perlakuan penyangraian. Hasil analisis TPC tapioka
dalam berbagai jenis perlakuan dapat dilihat pada Gambar 14 dan
Lampiran 12.
6.00 5.38
4.54

log TPC (CFU/g)


4.00 3.36 3.36 3.36

2.00

0.00
TTB0 TTB15 TTB30 TTB60 TGA
jenis mie
Keterangan :
TTB0 : tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai
TTB15 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 15 detik
TTB30 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 30 detik
TTB60 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 60 detik
TGA : tapioka bermerek
Gambar 14. Total Plate Count (TPC) tapioka dengan berbagai waktu
penyangraian

Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 14, penyangraian


tapioka dapat mengurangi jumlah mikroba pada tapioka. Semakin lama
waktu penyangraian, semakin sedikit jumlah TPC tapioka karena semakin
banyak mikroba yang tidak tahan panas dan mati.
Tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC)
memiliki TPC paling kecil dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek
yang disangrai selama 15 detik (80oC) karena waktu penyangraian tapioka
tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) lebih lama
dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai dan
tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik (80oC).
Nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik
o
(80 C) sama dengan nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai
selama 30 detik (80oC) dan nilai TPC tapioka bermerek. Tapioka bermerek
dikemas secara higienis sehingga tidak mudah terkontaminasi.
Nilai TPC tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik
(80oC) sebesar 2,3 x 103 CFU/g sedangkan nilai TPC tapioka tidak
bermerek yang tidak disangrai dan tapioka tidak bermerek yang disangrai
selama 15 detik (80oC) berturut-turut adalah 2,4 x 105 CFU/g dan
3,5 x 104 CFU/g . Meskipun nilai TPC tapioka tidak bermerek yang tidak
disangrai cukup tinggi, tetapi nilai TPC tapioka tidak bermerek yang tidak
disangrai masih memenuhi persyaratan SNI TPC tapioka yaitu sebesar 1,0
x 106 CFU/g.

2. Umur Simpan Mie dengan Aplikasi Bahan Pemupur

Untuk meningkatkan umur simpan mie, digunakan dua jenis tapioka


yaitu tapioka tidak bermerek dan tapioka bermerek. Untuk meningkatkan
mutu tapioka yang tidak bermerek, maka tapioka yang tidak bermerek
disangrai pada suhu 80oC dengan dengan berbagai waktu. Tapioka yang
telah diberi berbagai perlakuan diaplikasikan ke dalam mie sebagai bahan
pemupur kemudian diamati umur simpan mie yang telah dipupur ini. Umur
simpan dilakukan secara subyektif berdasarkan ada/tidaknya bau asam
setiap 4 jam sekali. Hasil analisis umur simpan mie dengan berbagai jenis
bahan pemupur dapat dilihat pada Gambar 15.

60 52 52
48
50 44 44
umur simpan (am

40
30
20
10
0
TTB0 TTB15 TTB30 TTB60 TGA
jenis mie
Keterangan :
TTB0 : tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai
TTB15 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 15 detik
TTB30 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 30 detik
TTB60 : tapioka tidak bermerek yang disangrai pada suhu 80oC selama 60 detik
TGA : tapioka bermerek
Gambar 15. Umur simpan mie dengan berbagai jenis bahan pemupur

Mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 15 detik


o
(80 C) umur simpannya sama dengan mie dengan tapioka tidak bermerek
yang tidak disangrai, yaitu 44 jam. Sedangkan mie dengan tapioka tidak
bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) atau tapioka tidak
bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) memiliki umur simpan
yang lebih lama dibandingkan dengan tapioka tidak bermerek yang tidak
disangrai. Umur simpan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai
selama 30 detik (80oC) yaitu 48 jam dan umur simpan mie dengan tapioka
tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) yaitu 52 jam.
Perbedaan umur simpan ini disebabkan karena jumlah TPC tapioka tidak
bermerek yang disangrai selama 30 detik (80oC) atau tapioka tidak
bermerek yang disangrai selama 60 detik (80oC) lebih sedikit dibandingkan
dengan tapioka tidak bermerek yang tidak disangrai. Semakin banyak
jumlah TPC suatu produk, umur simpan produk tersebut akan semakin
cepat karena asam yang terbentuk oleh mikroba pembentuk asam selama
penyimpanan semakin banyak.
Mie dengan tapioka bermerek memiliki umur simpan yang sama
dengan mie dengan tapioka tidak bermerek yang disangrai selama 60 detik
(80oC) yaitu 52 jam. Hal ini berarti bahwa, proses penyangraian tapioka
tidak bermerek selama 60 detik (80oC) dapat mengurangi jumlah TPC
tapioka tidak bermerek yang menyerupai dengan jumlah TPC tapioka
bermerek yang telah dikemas higienis. Akan tetapi, proses penyangraian
dianggap tidak praktis karena membutuhkan biaya dan energi tambahan
yang dapat mempengaruhi harga produksi mie.

3. Kontribusi Harga Tapioka terhadap Harga Mie

Penggunaan tapioka dapat mempengaruhi harga produksi mie. Harga


tapioka yang tidak bermerek jauh lebih murah dibandingkan dengan
tapioka bermerek. Akan tetapi, umur simpan mie tapioka tidak bermerek
lebih cepat dibandingkan dengan mie tapioka bermerek. Hasil analisis
harga dan kontribusi harga tapioka dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Harga tapioka dan kontribusi harganya


Kontribusi Harga Tapioka
Jenis tapioka Harga (Rp/kg)
(Rp/kg mie)
Tidak bermerek Rp.3500/kg 105
Bermerek Rp.5000/kg 150
Penggunaan tapioka tidak bermerek memerlukan biaya yang lebih
kecil dibandingkan dengan tapioka bermerek, yaitu hanya sebesar
Rp.105,-/kg mie sedangkan tapioka bermerek memerlukan biaya sebesar
Rp.150,-/kg mie (Lampiran 13). Akan tetapi, untuk mendapatkan hasil
maksimal dari penggunaan tapioka tidak bermerek diperlukan energi dan
biaya tambahan untuk proses penyangraian sehingga tapioka terbaik
sebagai bahan pupuran mie adalah tapioka bermerek.

D. PENGARUH CARA PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE

Ada dua keknologi yang dilakukan pada tahapan ini, yaitu


penyimpanan pada suhu rendah dan teknologi kemas vakum dengan
menggunakan dua jenis kemasan. Kedua teknologi ini dilakukan untuk
melihat pengaruh suhu penyimpanan terhadap umur simpan mie.
Tujuan utama dari pengemasan pangan adalah untuk melindungi
produk dari lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan.
Kemasan yang digunakan ada dua jenis, yaitu kemasan LDPE dan kemasan
PP. Kemasan yang biasa digunakan di pasar untuk membungkus mie yaitu
LDPE, sedangkan tidak semua kemasan dapat dijadikan kemas vakum. Oleh
karena itu, pada pengemasan vakum, digunakan kemasan PP.
Proses pengemasan vakum sebaiknya diikuti dengan penyimpanan
pada suhu rendah karena mikroba yang dapat tumbuh pada kondisi anaerob
seperti Clostridium botulinum dapat hidup pada kisaran suhu 10oC hingga
50oC. Clostridium botulinum merupakan bakteri berbahaya yang dapat
menghasilkan protein toksin yang bersifat letal bagi manusia dan hewan
dengan dosis cukup 0,1-1 µg/kg berat badan. Clostridium botulinum juga
dapat hidup pada lingkungan dengan pH di atas 4.6 (Johnson, 1999).

1. Umur Simpan

Penyimpanan suhu rendah dan pengemasan vakum dapat


mempengaruhi umur simpan mie karena dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Hasil analisis umur simpan mie dengan berbagai aplikasi
teknologi dan kemasan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil analisis umur simpan mie dengan aplikasi teknologi
Suhu (oC) Kemasan Umur Simpan
(bau asam)
LDPE
Suhu ruang (30oC) 44 jam
PP
LDPE
Suhu rendah (13oC) 13 hari
PP
LDPE
o
Suhu rendah (6 C) PP Lebih dari 4 minggu
Kemas vakum + PP

Mie yang disimpan pada suhu 13oC hanya bertahan hingga 13 hari
saja, baik itu dengan kemasan LDPE atau dengan kemasan PP. Indikator
kerusakan yang pertama kali terjadi pada kondisi ini adalah timbulnya
bintik-bintik hitam dan merah pada permukaan mie meskipun bau asam
belum terbentuk. Bintik-bintik hitam dan merah ini diduga merupakan
miselium dari mikroorganisme jenis kapang. Jenis-jenis kapang yang
banyak terdapat pada tepung antara lain Aspergillus, Rhizopus, Mucor,
Fusarium dan Penicillium (Christensen, 1974). Timbulnya kapang pada
permukaan mie disebabkan karena refrigerator yang digunakan sebagai
tempat penyimpanan mie telah terkontaminasi oleh berbagai macam bahan
penelitian lain yang juga terdapat dalam refrigerator tersebut. Oleh karena
itu, kebersihan tempat penyimpanan sangat mempengaruhi umur simpan
mie.
Untuk selanjutnya, mie disimpan pada suhu yang lebih rendah yaitu
suhu 6oC dan diletakkan pada tempat yang tidak mudah terkontaminasi
oleh bahan lain. Mie yang disimpan pada suhu 6oC memiliki umur simpan
yang dapat mencapai lebih dari 4 minggu baik itu dengan kemasan LDPE
atau dengan kemasan PP. Sedangkan umur simpan mie yang disimpan
pada suhu ruang hanya mencapai 44 jam. Hal ini disebabkan karena pada
suhu rendah, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroorganisme terhambat
bahkan terhenti. Semakin rendah suhu yang digunakan semakin lambat
terjadi aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et. al.,
1985).
Pengunaan dua jenis kemasan LDPE atau kemasan PP tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur simpan mie karena
kedua jenis kemasan ini memberikan umur simpan yang sama baik itu
pada suhu ruang (30oC) atau pada suhu rendah (13oC dan 6oC). Hal ini
dapat disebabkan karena LDPE dan PP memiliki permeabilitas gas uap air
yang hampir sama. Permeabilitas gas uap air LDPE mencapai
800 x 1011 (cc/cm/cm2/cmHg) sedangkan permeabilitas gas uap air PP
mencapai 600 x 1011 (cc/cm/cm2/cmHg) (Syarief et. al., 1989).
Pengemasan vakum dapat memperpanjang umur simpan mie hingga
mencapai lebih dari satu bulan. Pengemasan vakum dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme karena kandungan oksigen yang rendah
sehingga sebagian besar mikroorganisme aerobik (memerlukan oksigen)
tidak dapat tumbuh (Johnson, 1999 Aplikasi teknologi kemas vakum harus
disertai dengan penyimpanan pada suhu rendah karena untuk mencegah
pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum yang bersifat anaerob. Bakteri
ini sangat berbahaya karena dapat menghasilkan toksin yang berbahaya
bagi manusia.

2. Kontribusi Harga Kemasan terhadap Harga Mie

Kemasan digunakan untuk melindungi bahan pangan dari kotoran


agar tetap higienis dan tahan lama. Harga kemasan yang digunakan dapat
mempengaruhi harga produksi mie. Di pasar, mie biasa dikemas dengan
kemasan plastik LDPE berukuran 1 kg. Kontribusi harga kemasan LDPE
atau PP dapat dilihat pada Tabel 19 di bawah ini. Cara perhitungan
kontribusi harga kemasan dapat dilihat pada Lampiran 14.
Tabel 19. Harga kemasan dan kontribusi harga berbagai jenis kemasan
Kemasan Ukuran Harga Kontribusi Harga Kemasan
(gram) (Rp/kg mie)
LDPE 100 Rp.4.000/100 buah 400
PP 100 Rp.12.000/100 buah 1.200
Kemas vakum+ PP 100 Rp.2.500/100 gram 26.200

Penggunaan kemasan plastik LDPE memerlukan biaya sebesar


Rp.400,-/kg mie sedangkan kemasan PP sebesar Rp.1.200,-/kg mie.
Besarnya perbedaan kontribusi harga ini disebabkan karena harga
kemasan PP jauh lebih mahal dibandingkan dengan kemasan LDPE.
Sementara proses pengemasan vakum memerlukan biaya yang sangat
tinggi yaitu Rp.26.200,-/kg mie karena diperlukan alat untuk membuat
kemasan tersebut hampa udara serta kemasan PP yang dapat digunakan
dalam pengemasan vakum.
Meskipun penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang
umur simpan mie hingga lebih dari satu bulan, akan tetapi
pengaplikasiannya dalam industri memerlukan biaya tambahan yaitu biaya
pembelian refrigerator untuk tempat penyimpanan suhu rendah dan juga
biaya listrik. Biaya tambahan ini dapat mempengaruhi harga produksi mie.
Tipe dan harga refrigerator kulkas di pasar saat ini sangat bervariasi,
mulai dari harga Rp. 1.000.000,- (kapasitas 190 liter) hingga Rp.
7.120.000,- (kapasitas 590 liter).

E.PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN PENGAWET TERHADAP


MUTU MIE

Ada tiga jenis bahan pengawet yang digunakan pada tahapan ini, yaitu
natrium asetat (Na-asetat), kalsium propionat (Ca-propionat) dan kalium sorbat
(K-sorbat). Ketiga jenis bahan pengawet ini digunakan secara kombinasi
sehingga menghasilkan tujuh kombinasi dengan berbagai konsentrasi.
Pemakaian tiga jenis pengawet ini berdasarkan pada hasil penelitian
Chamdani (2005) yang dimodifikasi. Penelitian Chamdani menggunakan 4
jenis pengawet, yaitu parabens, Ca-propionat, Na-asetat dan monolaurin.
Berdasarkan penelitian Chamdani (2005), mie yang diberi pengawet
Ca-propionat 0,075% + parabens 0,025% + Na-asetat 2,5% dari bobot tepung
dapat memperpanjang umur simpan mie hingga 76 jam. Parabens dan
monolaurin tidak digunakan pada penelitian ini karena parabens sedang dikaji
ulang oleh FDA tentang keamanannya bagi kesehatan, sedangkan monolaurin
sangat langka di pasar dan harganya sangat mahal sehingga akan sulit
diterapkan di industri kecil.
Pengamatan yang dilakukan meliputi pengaruh bahan pengawet terhadap
umur simpan mie dengan parameter bau asam serta pengaruh bahan pengawet
terhadap mutu fisik mie, yaitu kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna
yang dilakukan secara obyektif.

1. Optimasi Bahan Pengawet


a. Umur Simpan
Tujuh formula pengawet selanjutnya diaplikasikan ke dalam mie
untuk mengetahui efektivitasnya. Hasil analisis umur simpan mie
berdasarkan munculnya bau asam dengan berbagai formula pengawet
dapat dilihat pada Gambar 16.

70 64 60 66
u m u r sim p an (jam

60 52 52
50 44 44 44
40
30
20
10
0
kontrol NC 11 NC 31 NK 11 CK 11 CK 31 NCK NCK
jenis mie 121 211

Keterangan :
NC 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + Ca-propionat 50%
NC 31 : mie dengan pengawet Na-asetat 75% + Ca-propionat 25%
NK 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + K-sorbat 50%
CK 11 : mie dengan pengawet Ca-propionat 50% + K-sorbat 50%
CK 31 : mie dengan pengawet Ca-propionat 75% + K-sorbat 25%
NCK 121 : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
NCK 211 : mie dengan pengawet Na-asetat 50%+Ca-propionat 25%+K-sorbat 25%
Gambar 16. Umur simpan mie dengan berbagai jenis pengawet
Na-asetat yang digunakan pada penelitian ini berspesifikasi PA
sedangkan Ca-propionat dan K-sorbat yang digunakan berspesifikasi
teknis. Ketidakseragaman jenis pengawet ini disebabkan karena
kelangkaan Na-asetat berspesifikasi teknis. Tujuan penggunaan pengawet
teknis adalah agar mudah diaplikasikan ke dalam industri kecil.
Dari Gambar 16, mie terbaik diperoleh dari hasil kombinasi
pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% karena
memiliki umur simpan yang paling lama dibandingkan dengan kombinasi
pengawet lainnya yaitu dapat mencapai 66 jam. Sedangkan, kombinasi
pengawet yang tidak memberikan pengaruh yang cukup nyata dengan
mie kontrol adalah kombinasi pengawet Ca-propionat 50%+ K-sorbat
50% dan kombinasi pengawet Ca-propionat 75%+K-sorbat 25% karena
keduanya memiliki umur simpan yang sama dengan mie kontrol, yaitu 44
jam. Selanjutnya, mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat
50%+K-sorbat 25% akan digunakan pada tahapan berikutnya sebagai
mie dengan pengawet terbaik.
Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata penambahan Na-asetat
meskipun dalam jumlah kecil dapat memperpanjang umur simpan mie.
Sedangkan penambahan Ca-propionat atau K-sorbat tanpa penambahan
Na-asetat tidak dapat memperpanjang umur simpan mie. Na-asetat
efektif terhadap bakteri dan khamir sedangkan Ca-propionat dan K-
sorbat efektif terhadap kapang (Ray, 2001; Fields, 1979; Desrosier,
1977). Penambahan Ca-propionat teknis sebanyak 0.3% dari bobot
tepung pada mie hanya dapat memperpanjang umur simpan mie hingga
45 jam, sedangkan penambahan Na-asetat (PA) sebanyak 5% dari bobot
tepung dapat memperpanjang umur simpan mie hingga 49 jam
(Chamdani, 2005). Efektivitas bahan pengawet dapat dipengaruhi oleh
pH awal bahan dan nilai pKa bahan pengawet tersebut. Hasil analisis pH
mie dengan berbagai formula pengawet dapat dilihat pada Gambar 17
berikut ini.
10 9.28 9.17 9.05 8.9 8.95 8.85 9.11
8.81
9
8
7
pH 6
5
4
3
2
1
0
kontrol NC 11 NC 31 NK 11 CK 11 CK 31 NCK 121 NCK 211
jenis mie
Keterangan :
NC 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + Ca-propionat 50%
NC 31 : mie dengan pengawet Na-asetat 75% + Ca-propionat 25%
NK 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + K-sorbat 50%
CK 11 : mie dengan pengawet Ca-propionat 50% + K-sorbat 50%
CK 31 : mie dengan pengawet Ca-propionat 75% + K-sorbat 25%
NCK 121 : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
NCK 211 : mie dengan pengawet Na-asetat 50%+Ca-propionat 25%+K-sorbat 25%

Gambar 17. Nilai pH mie dengan berbagai jenis pengawet

Na-asetat, Ca-propionat dan K-sorbat merupakan garam dari asam


organik lemah yang memiliki nilai pKa tertentu. Na-asetat dan K-sorbat
memiliki pKa 4.76 sedangkan nilai pKa Ca-propionat adalah 4.86.
Semakin tinggi pH awal bahan, efektivitas ketiga jenis pengawet ini
berkurang karena ketiganya memiliki nilai pKa yang rendah sehingga
jumlah asam yang tidak terdisosiasi dalam bahan semakin sedikit.
Mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat
25% memiliki pH yang cukup rendah dibandingkan dengan kombinasi
pengawet lainnya, yaitu 8.85. Hal ini dapat mempengaruhi jumlah asam
yang tidak terdisosiasi dalam mie yang nantinya akan terdisosiasi di
dalam sel mikroorganisme sehingga, kombinasi pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dapat memberikan umur simpan
yang lebih lama dibandingkan dengan kombinasi pengawet lainnya.
b. Warna

Mutu fisik yang diamati pada tahapan ini hanya parameter warna
karena penambahan bahan pengawet dapat mempengaruhi pH mie yang
dapat mempengaruhi warna mie. Sedangkan penambahan bahan
pengawet tidak mempengaruhi kekerasan, kelengketan atau elastisitas
mie. Hasil analisis warna mie dengan berbagai jenis pengawet dapat
dilihat pada Gambar 18 dan Lampiran 15.

100
83.47 86.295 85.726 85.029 83.803 84.353 83.551 85.713
90
80
Derajat warna ( Hue)

70
60
o

50
40
30
20
10
0
kontrol NC 11 NC 31 NK 11 CK 11 CK 31 NCK 121 NCK 211
jenis mie
Keterangan :
NC 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + Ca-propionat 50%
NC 31 : mie dengan pengawet Na-asetat 75% + Ca-propionat 25%
NK 11 : mie dengan pengawet Na-asetat 50% + K-sorbat 50%
CK 11 : mie dengan pengawet Ca-propionat 50% + K-sorbat 50%
CK 31 : mie dengan pengawet Ca-propionat 75% + K-sorbat 25%
NCK 121 : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
NCK 211 : mie dengan pengawet Na-asetat 50%+Ca-propionat 25%+K-sorbat 25%
Gambar 18. Warna mie dengan berbagai jenis pengawet

Meskipun secara subyektif penampakan semua mie yang


ditambahkan pengawet berwarna kuning dan berada pada kisaran warna
yang sama, yaitu kisaran warna 45oHue hingga 90oHue yang artinya
berwarna merah kekuningan, tetapi sebagian besar warna yang
ditambahkan pengawet berbeda nyata dengan mie kontrol.
Dari tujuh kombinasi pengawet, hanya dua kombinasi pengawet
memiliki warna yang tidak berbeda nyata dengan mie kontrol, yaitu
kombinasi pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
dan kombinasi pengawet Ca-propionat 50%+K-sorbat 50%. Sedangkan
lima kombinasi pengawet lainnya memiliki warna yang lebih kuning dan
berbeda nyata dengan mie kontrol pada selang kepercayaan 95%
(Lampiran 16). Lima kombinasi pengawet tersebut adalah pengawet Na-
asetat 50%+Ca-propionat 50%, pengawet Na-asetat 75%+Ca-propionat
25%, pengawet Na-asetat 50%+K-sorbat 50%, pengawet Ca-propionat
75%+K-sorbat 25% dan pengawet Na-asetat 50%+ Ca-propionat
25%+K-sorbat 25%. Perbedaan warna yang secara nyata kemungkinan
disebabkan karena perbedaan pH mie yang ditambahkan pengawet
dengan pH mie kontrol.

c. Kontribusi Harga Pengawet terhadap Harga Mie

Penggunaan bahan tambahan pangan, khususnya bahan pengawet


akan sangat mempengaruhi biaya produksi mie di industri karena
sebagian besar pengawet mempunyai harga yang mahal khususnya yang
berspesifikasi pro analis (PA). Oleh karena itu, penelitian ini
mengusahakan untuk menggunakan pengawet berjenis teknis agar mudah
diaplikasikan ke industri. Harga dan konsentrasi maksimal pengawet
yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 20 berikut ini.

Tabel 20. Harga dan konsentrasi maksimal pengawet terhadap harga mie
Pengawet Jenis Harga/kg Konsentrasi
(Rp/kg) Maksimal (%)
Na-asetat PA 962.000 0,06
Ca-propionat Teknis 30.000 0,2
K-sorbat Teknis 90.000 0,2

Konsentrasi maksimal Na-asetat yang digunakan sangat kecil yaitu


sebesar 0,06%. Menurut Center for Food and Nutrition Policy (CFNP)
(2002), konsentrasi maksimal Na-asetat yang diperbolehkan sebesar 0.6%.
Penggunaan Na-asetat dengan konsentrasi yang sangat kecil dimaksudkan
untuk menekan kontribusi Na-asetat terhadap harga produksi mie karena
harga Na-asetat berjenis P.A sangat mahal, yaitu dapat mencapai
Rp. 962.000,-
Ca-propionat dan K-sorbat yang digunakan berspesifikasi teknis
sedangkan Na-asetat berjenis pro analis (PA) karena Na-asetat
berspesifikasi teknis sangat sulit didapat di pasar. Harga dasar pengawet
dapat mempengaruhi kontribusi harga pengawet terhadap harga produksi
mie. Kontribusi harga pengawet dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Kontribusi harga berbagai jenis pengawet


Konsentrasi Kontribusi Harga
Formula Pengawet
(%) (Rp/kg mie)
Natrium asetat 0,03
NC 11 254,88
Calcium propionat 0,1
Natrium asetat 0,045
NC 31 358,50
Calcium propionat 0,05
Natrium asetat 0,03
NK 11 303,00
Kalium sorbat 0,1
Calcium propionat 0,1
CK 11 96,00
Kalium sorbat 0,1
Calcium propionat 0,15
CK 31 72,00
Kalium sorbat 0,05
Natrium asetat 0,015
NCK
Calcium propionat 0,1 175,50
121
Kalium sorbat 0,05
Natrium asetat 0,03
NCK
Calcium propionat 0,05 279,00
211
Kalium sorbat 0,05

Berdasarkan Tabel 21, kombinasi pengawet yang memerlukan biaya


terkecil yaitu pengawet Ca-propionat 75%+K-sorbat 25% sebesar
Rp.72,00/kg mie, sedangkan kombinasi pengawet yang memerlukan
biaya terbesar yaitu pengawet Na-asetat 75%+Ca-propionat 25% sebesar
Rp.358,50/kg mie. Pengawet terbaik Na-asetat 25%+Ca-propionat
50%+K-sorbat 25% memerlukan biaya sebesar Rp.175,50/kg mie.
Perhitungan kontribusi pengawet dapat dilihat pada Lampiran 17.

2. Optimasi pengawet menurut GMP

Pengawet terbaik yang memberikan umur simpan mie yang paling


lama adalah pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
yaitu selama 66 jam. Selanjutnya, mie ini diturunkan konsentrasi
pengawetnya untuk memenuhi Good Maufacturing Product (GMP) yaitu
penggunaan bahan tambahan pangan seminimal mungkin dengan hasil
semaksimal mungkin dan memperkecil kontribusi harga pengawet sehingga
dapat diaplikasikan ke industri.

a. Umur simpan

Mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat


25% diturunkan konsentrasinya menjadi 50%, 25%, 10% dan 5%.
kemudian dilakukan pengamatan umur simpan dengan parameter bau
asam. Gambar umur simpan mie dengan pengawet Na-asetat 25%+
Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi dapat
dilihat pada Gambar 20.

70 66 60 56 56 52
60
umur simpan (jam

50 44
40
30
20
10
0
kontrol NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121
100% 50% 25% 10% 5%
jenis mie
Keterangan :
NCK 121 100% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+ K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 100%
NCK 121 50% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 50%
NCK 121 25% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 25%
NCK 121 10% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 10%
NCK 121 5% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 5%

Gambar 20. Umur simpan mie dengan pengawet Na-asetat 25%+


Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi

Dari Gambar 20 di atas, umur simpan mie dengan pengawet


Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% semakin lama semakin
menurun seiring dengan menurunnya konsentrasi pengawet. Hal ini
disebabkan karena jumlah pengawet yang ditambahkan semakin
berkurang sehingga jumlah asam tidak terdisosiasi dalam bahan pun
semakin berkurang dan efektivitas pengawet pun semakin berkurang.
Konsentrasi pengawet yang ditambahkan ke dalam mie dapat
mempengaruhi pH mie. Hasil analisis pH mie dengan pengawet Na-
asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dalam berbagai
konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 21.

10 8.81 8.85 9.12 9.21 9.33 9.41


8
6
pH

4
2
0
kontrol NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121
100% 50% 25% 10% 5%
jenis mie
Keterangan :
NCK 121 100% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 100%
NCK 121 50% :mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 50%
NCK 121 25% :mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 25%
NCK 121 10%:mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 10%
NCK 121 5% :mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 5%

Gambar 21. pH mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-


sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi

Na-asetat, Ca-propionat dan K-sorbat merupakan garam dari asam


organik yang apabila dilarutkan dalam air akan terurai menjadi asam
organik dan garamnya. Semakin banyak jumlah asam organik pada
bahan, maka semakin rendah nilai pH bahan tersebut. Oleh karena itu,
penurunan konsentrasi pengawet dapat meningkatkan pH mie karena
jumlah asam organik pada mie semakin sedikit.
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 18), umur simpan mie
dengan konsentrasi pengawet 50%, 25%, 10% atau 5% telah berbeda
nyata dengan mie dengan konsentrasi pengawet 100%. Dalam hal ini,
penggunaan menurut GMP sulit dilakukan. Akan tetapi, mie dengan
konsentrasi pengawet 50% dipilih sebagai konsentrasi optimal pengawet
menurut GMP karena umur simpan mie dengan konsentrasi pengawet
50% ini dinilai sudah cukup lama yaitu 60 jam dibandingkan dengan
umur simpan mie tanpa pengawet yang hanya mencapai 44 jam.

b. Warna

Warna merupakan salah satu faktor yang berperan dalam


menentukan kualitas mie. Mie pada umumnya berwarna putih
kekuningan. Hasil pengukuran warna mie dengan pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan berbagai konsentrasi
disajikan pada Gambar 22 berikut ini dan Lampiran 19.

100 83.47 83.55 83.63 84.57 85.61 85.94


80
Warna( Hue)

60
o

40
20
0
kontrol NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121 NCK 121
100% 50% 25% 10% 5%
jenis mie
Keterangan :
NCK 121 100% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 100%
NCK 121 50% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 50%
NCK 121 25% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 25%
NCK 121 10% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 10%
NCK 121 5% : mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 5%

Gambar 22. Warna mie dengan pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat


50%+K-sorbat 25% dengan berbagai konsentrasi

Dari Gambar 22 di atas, dapat disimpulkan bahwa warna mie


mengalami peningkatan jika konsentrasi pengawet diturunkan. Hal ini
dapat disebabkan karena perbedaan pH adonan mie pada masing-masing
konsentrasi pengawet. Penurunan konsentrasi pengawet dapat
meningkatkan pH adonan mie karena jumlah asam organik yang berasal
dari pengawet menurun.
Berdasarkan analisis ragam dengan selang kepercayaan 95%
(Lampiran 20), ternyata warna mie dengan konsentrasi pengawet sebesar
50% tidak berbeda nyata dengan mie dengan konsentrasi pengawet 100%
dan mie tanpa pengawet. Sedangkan warna mie dengan konsentrasi
pengawet 25%, 10% atau 5% lebih kuning dan berbeda nyata dengan mie
dengan konsentrasi pengawet 100%.
Berdasarkan oHue, mie dengan konsentrasi pengawet 50% berada
pada kisaran warna merah kekuningan meskipun secara visual mie
dengan konsentrasi pengawet ini berwarna putih kekuningan. selain
memiliki umur simpan yang cukup panjang, mie dengan konsentrasi
pengawet 50% juga memiliki mutu fisik yang menyerupai dengan mie
dengan konsentrasi pengawet 100% atau mie tanpa pengawet.

c. Kontribusi Harga Pengawet terhadap Harga Mie

Penurunan konsentrasi pengawet yang digunakan dapat


menurunkan kontribusi pengawet tersebut terhadap harga produksi mie.
Tabel hasil analisis kontribusi harga pengawet dalam berbagai
konsentrasi disajikan pada Tabel 22 di bawah ini.

Tabel 22. Kontribusi harga pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat


50%+K-sorbat 25% (NCK 121) dalam berbagai konsentrasi
Kontribusi Harga
Konsentrasi pengawet
(Rp/kg mie)
NCK 121 100% 175,50
NCK 121 50% 87,50
NCK 121 25% 44,00
NCK 121 10% 17,50
NCK 121 5% 8,50

Dari Tabel 22 di atas, kontribusi harga pengawet semakin menurun


dengan menurunnya konsentrasi pengawet yang digunakan. Pengawet
Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan konsentrasi
50% memerlukan biaya setengah dari kontribusi harga pengawet dengan
konsentrasi 100%, yaitu sebesar Rp.87,50/kg mie.

F. APLIKASI KOMBINASI TERBAIK TERHADAP MUTU MIE

Tahapan ini merupakan tahapan gabungan mie terbaik dari tahapan-


tahapan sebelumnya, yaitu pemilihan garam alkali, penambahan hidrokoloid,
optimasi penyangraian tapioka sebagai bahan pemupur dan optimasi pengawet.
Mie terbaik dari masing-masing tahapan digabungkan menjadi satu adonan mie
yang kemudian diamati pengaruhnya terhadap mutu mie dan kontribusi harga.
Mie kombinasi terbaik pada tahapan ini menggunakan garam alkali
terbaik yaitu Na2CO3, hidrokoloid terbaik yaitu CMC, bahan pemupur terbaik
yaitu tapioka bermerek, pengawet terbaik yaitu Na-asetat 25%+Ca-propionat
50%+K-sorbat 25% dengan konsentrasi pengawet sebesar 50%. Mie kombinasi
terbaik ini diamati perubahan mutunya selama penyimpanan pada suhu ruang
(30oC) dan dibandingkan dengan mie kontrol. Perubahan mutu yang diamati
meliputi mutu fisik yaitu kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna, mutu
mikrobiologi yaitu TPC, total kapang-khamir dan total Eschericia coli, mutu
kimia yaitu pH dan aw serta mutu organoleptik terhadap aroma, tekstur, warna
dan secara keseluruhan (overall).

1. Mutu Fisik

a. Tekstur

Parameter yang diuji adalah kekerasan (firmness), kelengketan


(adhesiveness), dan elastisitas. Perubahan mutu kekerasan mie kombinasi
terbaik dan mie kontrol selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC)
dapat dilihat pada Gambar 23 dan Lampiran 21.
12000
10291.75
10000
8450.08
kekerasan (gf)
8000 8861.29
7772.28
6000

4000 2480.84
2000 2881.01
220.44
0
0 24 44 60
jam ke-
mie kontrol mie kombinasi terbaik

Gambar 23. Perubahan kekerasan mie selama penyimpanan pada suhu


ruang (30oC)

Berdasarkan Gambar 23, mie mengalami penurunan kekerasan


selama penyimpanan. Hal tersebut disebabkan karena adanya
pertumbuhan mikroorganisme yang mendekomposisi nutrisi yang terdapat
dalam mie sehingga akan mempengaruhi kekerasan mie.
Semua bakteri yang tumbuh dalam makanan membutuhkan zat
organik seperti protein, karbohidrat, lemak, dan komponen lainnya sebagai
sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya (Fardiaz, 1992). Gluten
merupakan satu jenis protein yang terdapat dalam mie yang berperan
penting terhadap pembentukan tekstur mie. Oleh karena itu, aktivitas
mikroorganisme dalam memecah protein akan menurunkan kualitas
tekstur mie.
Berdasarkan analisis ragam pada selang kepercayaan 95%, mie
kontrol pada jam ke-0 lebih keras dan berbeda nyata dengan jam ke-24
atau jam ke-44 (Lampiran 22). Mie mie kombinasi terbaik pada jam ke-0
lebih keras dan berbeda nyata dengan jam ke-24, jam ke-44 atau jam ke-
60 (Lampiran 22).
Adhesiveness merupakan tingkat kelengketan di antara benang-
benang mie. Perubahan kelengketan mie kombinasi terbaik dan mie
kontrol selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC) dapat dilihat pada
Gambar 24 dan Lampiran 23.

800 727.21 734.24


700
kelengketan(gf) 716.57
600
500
400
300
200
34.7 50.77
100
22.7
0
14.26
0 24 44 60
jam ke-
mie kontrol mie kombinasi terbaik

Gambar 24. Perubahan kelengketan mie selama penyimpanan pada suhu


ruang (30oC)

Gambar 24 di atas menunjukkan bahwa selama penyimpanan,


kelengketan mie mengalami peningkatan. Peningkatan kelengketan ini
disebabkan karena adanya aktivitas mikroorganisme seperti pembentukan
lendir yang dapat menyebabkan mie menjadi lengket.
Meskipun kelengketan mie kontrol pada jam ke-24 telah mengalami
sedikit kenaikan, akan tetapi kelengketan mie ini pada jam ke-24 tidak
berbeda nyata dengan jam ke-0 pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan
pada jam ke-44, mie ini lebih lengket dan berbeda nyata dengan jam ke-24
(Lampiran 24).
Kelengketan mie kombinasi terbaik pada jam ke-24 juga tidak
berbeda nyata dengan jam ke-0. Sedangkan pada jam ke-44, mie
kombinasi terbaik lebih lengket dan berbeda nyata dengan jam ke-24.
Pada jam ke-60, kelengketan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata
dengan jam ke-44 pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 24).
Mie yang baik yaitu tidak mudah putus dan elastis. Perubahan
elastisitas mie kombinasi terbaik dan mie kontrol selama penyimpanan
selama pada suhu ruang (30oC) dapat dilihat pada Gambar 25 berikut ini,
Lampiran 25.

18 14.94 16.02
16 12.91 16.27
elastisitas (gf) 14
12 14.54 14.07
12.91
10
8
6
4
2
0
0 24 jam ke- 44 60
mie kontrol mie kombinasi terbaik
Gambar 25. Perubahan elastisitas mie selama penyimpanan pada suhu
ruang (30oC)

Gambar 25 di atas menunjukkan bahwa selama penyimpanan,


elastisitas mie tidak mengalami perubahan yang tajam. Berdasarkan
analisis ragam pada selang kepercayaan 95%, elastisitas mie kontrol pada
jam ke-24 tidak berbeda nyata dengan jam ke-0 dan jam ke-44 (Lampiran
26). Sementara pada mie kombinasi terbaik, selama penyimpanan dari jam
ke-0 hingga jam ke-60 tidak terjadi perubahan elastisitas yang nyata pada
selang kepercayaan 95% (Lampiran 26).

b. Warna

Mie yang baik pada umumnya memiliki warna putih kekuningan.


Perubahan warna mie kombinasi terbaik dan mie kontrol selama
penyimpanan pada suhu ruang (30oC) dapat dilihat pada Gambar 26 dan
Lampiran 27.
90 83.47
73.57 72.26 71.06 69.62
75 83.63 66.84

Warna ( Hue)
60 72.82 70.31 71.45 69.58
o 45
30
15
0
0 12 24 36 44 60
Jam ke-

mie kontrol mie kombinasi terbaik


Gambar 26. Perubahan warna mie selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC)

Dari Gambar 26 di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan


warna mie selama penyimpanan. Selama penyimpanan, warna mie akan
berubah menjadi coklat kehitamanan karena adanya enzim
polifenoloksidase, yaitu enzim yang menyebabkan browning pada buah.
Berdasarkan analisis ragam pada selang kepercayaan 95%, warna
mie kontrol pada jam ke-12 lebih tua dan berbeda nyata dengan jam ke-0.
Warna mie kontrol pada jam ke-24 juga lebih tua dan berbeda nyata
dengan jam ke-12. Sedangkan warna mie kontrol pada jam ke-24 tidak
berbeda nyata dengan jam ke-36 dan jam ke-44 (Lampiran 28).
Warna mie kombinasi terbaik pada jam ke-12 lebih tua dan berbeda
nyata dengan jam ke-0 dan setiap 12 jam sekali, warna mie kombinasi
terbaik berubah menjadi lebih tua dan mengalami perbedaan yang nyata
dengan 12 jam sebelumnya (Lampiran 29). Perubahan warna selama
penyimpanan dari kedua sampel yaitu mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik masih berada pada kisaran warna merah kekuningan, yaitu berada
pada kisaran 54oHue hingga 90oHue meskipun secara visual, kedua mie
tersebut berwarna putih kekuningan.
2. Mutu Kimia

Perubahan kimia yang diamati pada mie selama penyimpanan yaitu


perubahan derajat keasaman (pH). Sementara, mutu kimia yang diamati
pada jam ke-0 adalah pengukuran kadar air dan aktivitas air (aw).

a. Nilai pH

Pengukuran nilai derajat keasaman (pH) dilakukan untuk


mengetahui kadar keasaman atau kebasaan suatu bahan pangan dan
perubahannya selama penyimpanan. Mie merupakan bahan pangan yang
mempunyai pH yang cukup tinggi (pH basa), yaitu berkisar antara 8-10.
Nilai pH suatu bahan pangan sangat mempengaruhi umur simpan bahan
pangan tersebut karena dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Perubahan pH mie kombinasi terbaik dan mie kontrol
selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC) dapat dilihat pada Gambar
27 berikut ini, Lampiran 30.

10 9.11 8.79 9.01 8.59 8.34


8 8.91 8.77 8.6 8.59
7.87 6.89
6
pH

0
0 12 24 Jam ke-36 44 60
mie kontrol mie kombinasi terbaik
Gambar 27. Perubahan pH mie selama penyimpanan pada suhu ruang
(30oC)

Berdasarkan Gambar 27, derajat keasaman (pH) mie mengalami


penurunan selama penyimpanan. Penurunan nilai pH mie ini disebabkan
karena adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam yang terdapat
dalam mie yang dapat memecah komponen organik seperti karbohidrat,
protein dan lemak menjadi asam-asam organik yang menimbulkan aroma
bau asam.
Nilai pH mie kontrol pada jam ke-12 lebih rendah dan berbeda nyata
dengan jam ke-0 pada selang kepercayaan 95% dan setiap 12 jam sekali,
pH mie kontrol menurun (Lampiran 31). Hal ini kemungkinan disebabkan
karena terjadi pemecahan komponen organik seperti karbohidrat, protein
dan lemak pada mie oleh bakteri pembentuk asam.
Berdasarkan analisis ragam pada selang kepercayaan 95%, pH mie
kombinasi terbaik pada jam ke-12 lebih rendah dan berbeda nyata dengan
jam ke-0 dan jam ke-24. Akan tetapi, pH mie kombinasi terbaik pada jam
ke-36 tidak berbeda nyata dengan jam ke-24. Sementara, pH mie
kombinasi terbaik pada jam ke-44 dan jam ke-60 mengalami penurunan
dan berbeda nyata (Lampiran 32).

b. Aktivitas Air (Aw)

Aktivitas air (aw) merupakan derajat ketersediaan air yang


digunakan oleh aktivitas mikroba (Fardiaz, 1992). Nilai aw suatu bahan
pangan menunjukkan jumlah air pada bahan pangan yang dapat
dimanfaatkan oleh mikroba untuk hidup atau untuk pertumbuhannya.
Nilai aw mie kombinasi terbaik dapat dilihat pada Gambar 28.

0.905 0.9
0.9
0.895
0.89
aw

0.885 0.88
0.88
0.875
0.87
Na2CO3 0,6% mie kombinasi terbaik
sampel
Gambar 28. Nilai aw mie

Nilai aw mie kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan aw mie


kombinasi terbaik. Ternyata, penambahan hidrokoloid CMC sebanyak
0,2%, pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan
konsentrasi 50%, dan tapioka bermerek dapat menurunkan aw mie.
Penurunan aw ini diduga karena adanya pengikatan air dalam adonan mie
sehingga jumlah air bebas yang dapat digunakan untuk aktivitas
mikroorganisme berkurang. Hasil penelitian Chamdani (2005) juga
menunjukkan bahwa penambahan pengawet Ca-propionat
0,225%+parabens 0,225% dapat menurunkan aw mie dari 8,18 menjadi
7,95.

3. Mutu Mikrobiologi

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mutu mikrobiologi mie


dibagi menjadi 3 bagian yang meliputi Total Plate Count (TPC), total
kapang dan khamir, dan kandungan E. coli. Hasil analisis TPC mie kontrol
dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan pada suhu ruang dapat
dilihat pada Gambar 29 di bawah ini dan pada Lampiran 33 dan Lampiran
34. Hasil analisis total kapang dan khamir mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik selama penyimpanan pada suhu ruang (30oC) dapat dilihat pada
Gambar 30 dan pada Lampiran 35 dan Lampiran 36.

9.00
8.00
7.00
Log CFU/g

6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60
jam ke-
mie kontrol mie kombinasi terbaik SNI
Gambar 29. Grafik Total Plate Count (TPC) mie selama penyimpanan pada
suhu ruang (30oC)

Berdasarkan Gambar 29, jumlah TPC mie selama penyimpanan


mengalami kenaikan. Menurut SNI, standar TPC mie maksimal sebesar
1,0 x 106 CFU/g (log TPC = 6), standar total kapang dan khamir maksimal
sebesar 1,0 x 104 CFU/g (log CFU = 4) dan E. coli maksimal sebesar
10 MPN/g. Mie kontrol telah dinyatakan rusak setelah 32 jam karena nilai
TPC mie ini pada jam ke-32 sebesar 1,6 x 106 CFU/g. Mie kombinasi terbaik
telah dinyatakan rusak setelah 40 jam karena nilai TPC mie kombinasi
terbaik pada jam ke-40 sebesar 2,5 x 106 CFU/g. Berdasarkan syarat SNI,
ternyata penggunaan Na2CO3+CMC+tapioka bermerek+pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan konsentrasi 50% hanya
mampu memperpanjang umur simpan mie selama 40 jam.
Hasil penelitian Chamdani (2005) menunjukkan bahwa penambahan
pengawet Ca-propionat 0,225%+parabens 0,025% dari bobot tepung dapat
meningkatkan umur simpan mie hingga 36 jam menurut syarat SNI. Selama
24 jam, mie dengan penambahan pengawet ini belum dianggap rusak. Hal ini
terlihat dari nilai TPC mie ini pada jam ke-24 masih memenuhi syarat SNI,
yaitu sebesar 2,1 x 105 CFU/g. Setelah 36 jam, jumlah TPC mie dengan
penambahan pengawet Ca-propionat 0,225%+parabens 0,025% dari bobot
tepung telah melewati batas SNI yaitu sebesar 2,7 x 106 CFU/g.
Penambahan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens 0,025%+Na-
asetat 2,5% pada mie dapat meningkatkan umur simpan mie hingga 60 jam.
Nilai TPC mie ini pada jam ke-48 masih memenuhi syarat SNI, sedangkan
pada jam ke-60 nilai TPC mie ini sudah melampui syarat SNI. Nilai TPC
mie dengan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens 0,025%+Na-asetat
2,5% yang disimpan selama 48 jam sebesar 7,1 x 105 CFU/g, sedangkan
setalah 60 jam, TPC mie dengan penambahn pengawet Ca-propionat
0,075%+parabens 0,025%+Na-asetat 2,5% meningkat hingga 4,1 x 106
CFU/g.
Kebersihan lingkungan kerja sangat mempengaruhi umur simpan mie
karena mie dapat terkontaminasi dari mikroorganisme yang berasal dari
sekitar lingkungan kerja tempat pembuatan mie. Mikroorganisme itu dapat
berasal dari tubuh pekerja terutama tangan yang kotor dan mulut, alat-alat
yang digunakan yang masih kotor dan dari udara kotor.
Proses pembersihan lingkungan sebelum melakukan produksi mie
dapat mengurangi jumlah mikroorganisme awal yang terdapat pada mie.
Sebelum dilakukan pembersihan lingkungan, jumlah TPC mie dengan
penambahan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens 0,025%+Na-asetat
2,5% selama penyimpanan 60 jam sebesar 4,1 x 106 CFU/g, sedangkan
setelah dilakukan pembersihan lingkungan, jumlah TPC mie dengan
penambahan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens 0,025%+Na-asetat
2,5% selama penyimpanan 60 jam berkurang menjadi 3,1 x 106 CFU/g
(Chamdani, 2005).

4.50
4.00
3.50
3.00
Log CFU/g

2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60
jam ke-
mie kontrol mie kombinasi terbaik SNI
Gambar 30. Grafik total kapang dan khamir mie selama penyimpanan pada
suhu ruang (30oC)
Menurut Gambar 30, selama penyimpanan total kapang dan khamir
pada mie mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena pH mie
mengalami penurunan selama penyimpanan yang dapat memicu
pertumbuhan kapang dan khamir yang memiliki pH optimal antara 4-7
(Lund et. al., 2000).
Pertumbuhan kapang dan khamir pada mie kombinasi terbaik dan mie
kontrol sudah mulai terlihat dari jam ke-0. Akan tetapi, pertumbuhan kapang
dan khamir ini sangat lambat. Hingga sampai jam ke-44, pertumbuhan
kapang dan khamir pada mie kontrol masih memenuhi syarat SNI yaitu
standar total kapang dan khamir maksimal sebesar 1,0 x 104 CFU/g (log CFU
= 4). Setelah 44 jam, pertumbuhan kapang dan khamir pada mie kontrol
hanya mencapai 6,8 x 101 CFU/g. Hal ini juga terjadi pada mie kombinasi
terbaik. Pertumbuhan kapang dan khamir pada mie kombinasi terbaik hingga
jam ke-60 masih memenuhi syarat SNI. Setelah 60 jam, pertumbuhan
kapang dan khamir mie kombinasi terbaik hanya mencapai 3,0 x 103 CFU/g.
Dapat disimpulkan bahwa, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik masih
memenuhi syarat SNI untuk parameter total kapang-khamir hingga 44 jam
untuk mie kontrol pada 60 jam untuk mie kombinasi terbaik.
Berdasarkan hasil penelitian Chamdani (2005), umur simpan mie
dengan penambahan pengawet Ca-propionat 0,225%+parabens 0,025% dari
bobot tepung dapat meningkat karena jumlah kapang-khamir yang tumbuh
pada mie ini hingga penyimpanan selama 60 jam masih memenuhi syarat
SNI. Total kapang-khamir mie dengan penambahan pengawet Ca-propionat
0,225%+parabens 0,025% pada jam ke-60 sebesar 2,5 x 103 CFU/g. Begitu
pula dengan mie dengan penambahan pengawet Ca-propionat
0,075%+parabens 0,025%+Na-asetat 2,5%. Hingga penyimpanan selama
60 jam, mie dengan penambahan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens
0,025%+Na-asetat 2,5% ini masih memenuhi syarat SNI. Total kapang-
khamir mie dengan penambahan pengawet Ca-propionat 0,075%+parabens
0,025%+Na-asetat 2,5% pada jam ke-60 sebesar 6,8 x 101 CFU/g.
Penghitungan jumlah kandungan bakteri E. coli pada mie dilakukan
untuk melihat kondisi sanitasi pada proses pembuatan mie yang dapat
mempengaruhi umur simpan mie. Menurut SNI, jumlah maksimal E. coli
sebesar 10 MPN/g. Jumlah E. coli pada mie yang menggunakan Na2CO3
atau mie kombinasi terbaik pada jam ke-0 sebesar 0 MPN/g. Oleh karena itu
tidak dilakukan uji penduga dan penguat. Hal ini mengindikasikan bahwa
kondisi sanitasi pada proses pembuatan mie cukup baik.

4. Mutu Organoleptik

Mutu organoleptik merupakan mutu produk yang didasarkan pada


kepekaan alat indera manusia yang meliputi indera penciuman, indera
penglihatan, indera pencicipan, indera perabaan dan indera pendengaran.
Pengujian mutu organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji
kesukaan atau yang sering disebut uji hedonik. Uji hedonik merupakan uji
organoleptik yang mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap suatu
produk.
Parameter yang diamati pada uji hedonik mie ini yaitu tekstur, aroma,
warna dan secara keseluruhan. Untuk mie yang dimatangkan, dilakukan uji
hedonik dengan parameter tambahan yaitu rasa. Jumlah panelis pada uji
hedonik ini sebanyak 30 orang dan tidak terlatih.
Uji hedonik ini menggunakan kisaran lima angka kesukaan, yaitu
angka 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (netral), 4 (suka) dan 5 (sangat
suka). Formulir uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 36 dan hasil
analisis uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 38 dan Lampiran 39.

a. Aroma

Pengujian hedonik terhadap parameter aroma mie digunakan untuk


mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie khususnya mie
kombinasi terbaik. Respon panelis terhadap aroma mie dan mie yang
dimatangkan disajikan pada Gambar 31.

5.00
3.86 3.87 3.77 3.67 3.4
4.00 3.11
3.00
skor

2.00
1.00
0.00
mie pasar kontrol mie kombinasi
jenis mie terbaik
mie basah mentah mie basah matang
Gambar 31. Skor uji hedonik terhadap aroma mie basah mentah dan mie
basah mentah yang dimatangkan

Gambar 31 menunjukkan bahwa sebagian besar panelis bersikap


netral terhadap aroma mie pasar, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik
karena nilai aroma ketiga mie tersebut berada pada kisaran angka 3
(netral). Akan tetapi, tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie pasar
paling rendah dan berbeda nyata dengan aroma mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 40). Hal ini
diduga karena mie pasar sudah menimbulkan sedikit bau asam.
Pengujian hedonik terhadap sampel mie yang dimatangkan
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemasakan terhadap tingkat
kesukaan panelis terhadap mie tersebut. Panelis juga menilai netral untuk
mie pasar, mie kontrol dan terbaik karena nilai aroma mie yang
dimatangkan pada ketiga mie tersebut juga berada pada kisaran angka 3
(netral). Hanya saja, nilai aroma mie kontrol yang dimatangkan dan mie
kombinasi terbaik lebih rendah dan berbeda nyata dengan aroma mie pasar
yang dimatangkan pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 41). Hal ini
diduga karena bau asam yang sebelumnya terdapat pada mie pasar hilang
setelah proses pemasakan.

b. Tekstur

Respon panelis terhadap tekstur mie dan mie yang dimatangkan


disajikan pada Gambar 32. Pengukuran tekstur untuk mie menggunakan
indera peraba tangan sedangkan untuk mie yang dimatangkan, pengukuran
tekstur menggunakan indera pengecap.

5
3.85 3.92 3.89 3.67 3.9
4
3 2.64
skor

2
1
0
pasar kontrol terbaik
jenis mie
mie basah mentah mie basah matang
Gambar 32. Skor uji hedonik terhadap tekstur mie basah mentah dan mie
basah mentah yang dimatangkan

Menurut Gambar 32, panelis tidak suka dengan tekstur mie pasar
dibandingkan dengan tekstur mie kontrol dan terbaik karena tekstur mie
pasar mudah putus dan kering. Panelis bersikap netral terhadap tekstur mie
h kontrol dan mie kombinasi terbaik. Berdasarkan analisis ragam pada
selang kepercayaan 95%, tekstur mie pasar berbeda nyata dengan tekstur
mie kontrol dan mie kombinasi terbaik (Lampiran 40).
Proses pemasakan dapat mempengaruhi tingkat kesukaan tekstur
mie khususnya mie pasar yang dimatangkan. Setelah dimasak, tingkat
kesukaan tekstur mie pasar meningkat. Hal ini terlihat dari penilaian
panelis terhadap mie pasar yang dimatangkan yaitu menjadi netral dan
tidak berbeda nyata dengan mie kontrol yang dimatangkan dan mie
kombinasi terbaik (Lampiran 41).

c. Warna

Warna mie yang baik adalah putih kekuningan. Respon panelis


terhadap warna mie dan mie yang dimatangkan disajikan pada Gambar 33.

4.4 4.21 4.13


4.2 3.93
4 3.84
3.71
skor

3.8 3.63
3.6
3.4
3.2
pasar kontrol terbaik
jenis mie
mie basah mentah mie basah matang
Gambar 33. Skor uji hedonik terhadap warna mie basah mentah dan mie
basah mentah yang dimatangkan
Sebagian besar panelis menilai netral terhadap warna mie pasar, mie
kontrol dan mie kombinasi terbaik. Nilai warna ketiga mie tersebut tidak
berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 40). Nilai warna
mie pasar lebih tinggi dibandingkan dengan warna mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik. Warna mie pasar terlihat menarik dan kuning terang
sedangkan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat kuning
pucat. Warna yang menarik dan kuning terang diduga karena adanya
penambahan pewarna seperti orange yellow.
Setelah dimatangkan, tingkat kesukaan panelis terhadap warna mie
kontrol yang dimatangkan dan mie pasar yang dimatangkan meningkat
menjadi suka. Berdasarkan analisis ragam pada selang kepercayaan 95%,
warna mie yang dimatangkan terbaik berbeda nyata dengan warna mie
kontrol yang dimatangkan dan mie pasar yang dimatangkan (Lampiran
41).

d. Rasa

Pengujian tingkat kesukaan terhadap rasa mie ah yang dimatangkan


bertujuan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap pengaruh
pemasakan mie terhadap rasa mie. Respon panelis terhadap rasa mie h
yang dimatangkan disajikan pada Gambar 34.

4.00 3.83
3.80 3.67
3.60
skor

3.33
3.40
3.20
3.00
pasar kontrol terbaik
sampel
Gambar 34. Skor uji hedonik terhadap rasa mie basah mentah yang
dimatangkan

Berdasarkan Gambar 34, sebagian besar panelis bersikap netral


terhadap rasa tiga yang dimatangkan. Akan tetapi, rasa mie yang
dimatangkan terbaik berbeda nyata dengan rasa mie kontrol yang
dimatangkan dan mie pasar yang dimatangkan pada selang kepercayaan
95%. (Lampiran 41).

e. Overall (Keseluruhan)

Pengujian hedonik secara keseluruhan bertujuan untuk mengetahui


tingkat kesukaan panelis terhadap produk mie secara keseluruhan. Respon
panelis secara keseluruhan (overall) terhadap mie basah mentah dan mie
yang dimatangkan disajikan pada Gambar 35.

5.00 3.97 3.87 3.96 3.7 3.77


4.00 3.05
3.00
skor

2.00
1.00
0.00
pasar kontrol terbaik
jenis mie
mie basah mentah mie basah matang
Gambar 35. Skor uji hedonik secara keseluruhan mie basah mentah dan
mie basah mentah yang dimatangkan

Menurut Gambar 35, panelis bersikap netral terhadap pasar, mie


kontrol dan mie kombinasi terbaik secara keseluruhan. Akan tetapi, mie
pasar secara keseluruhan lebih rendah dan berbeda nyata dengan mie
kontrol dan mie kombinasi terbaik pada selang kepercayaan 95%
(Lampiran 40).
Proses pemasakan dapat meningkatkan tingkat kesukaan panelis
secara keseluruhan terhadap mie yang dimatangkan. Panelis bersikap
netral terhadap mie pasar yang dimatangkan, mie kontrol yang
dimatangkan dan mie kombinasi terbaik yang dimatangkan. Ketiga mie
tersebut secara keseluruhan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan
95% (Lampiran 41). Oleh karena itu, pada saat dimatangkan, ketiga jenis
mie tersebut tidak berbeda.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Penggunaan Na2CO3 sebagai alkali menghasilkan mie dengan umur


simpan yang lebih baik dibandingkan dengan STPP karena mie STPP
memiliki pH rendah (6.3). Selain itu, penggunaan Na2CO3 hanya memerlukan
biaya sebesar Rp.19,20/kg mie.
Penambahan hidrokoloid pada mie ternyata hanya meningkatkan umur
simpan mie ingá 4 jam. Mie dengan penambahan CMC, gum arab atau
karagenan memberikan umur simpan yang sama yaitu 48 jam. Akan tetapi,
penggunaan CMC memerlukan biaya yang lebih rendah yaitu sebesar Rp.96,-
/kg mie.
Pempupuran mie dengan tapioka yang bermerek dapat meningkatkan
umur simpan mie karena karena memiliki TPC yang rendah yaitu sebesar
2,3 x 103 CFU/g. Penggunaan tapioka bermerek dapat memperpanjang umur
simpan mie hingga 52 jam dengan indikator bau asam. Selain itu, penggunaan
tapioka bermerek hanya memerlukan biaya sebesar Rp.150,-/kg mie.
Mie yang disimpan pada suhu rendah (6oC dan 13oC) umur simpannya
dapat mencapai lebih dari 4 minggu, sedangkan mie yang disimpan pada suhu
ruang (30oC) umur simpannya hanya mencapai 44 jam. Penggunaan teknologi
kemas vakum dapat memperpanjang umur simpan mie hingga mencapai lebih
dari 4 minggu. Pengunaan dua jenis kemasan LDPE atau PP tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur simpan mie.
Kombinasi pengawet Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25%
merupakan pengawet terbaik pada tahapan optimasi pengawet karena dapat
memperpanjang umur simpan mie hingga 66 jam. Kombinasi pengawet ini
memerlukan biaya sebesar Rp.175,50/kg mie.
Penerapan GMP sulit dilakukan karena penurunan konsentrasi pengawet
Na-asetat 25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% sebanyak 50% telah
berbeda nyata umur simpannya dengan konsentrasi pengawet sebanyak 100%.
Akan tetapi, penggunaan konsentrasi pengawet sebanyak 50% sudah dapat
memperpanjang umur simpan mie hingga 60 jam (indikator bau asam).
Mie kombinasi terbaik diperoleh dari penambahan 0,6% Na2CO3, 0,2%
CMC, penggunaan tapioka bermerek, penambahan pengawet Na-asetat
25%+Ca-propionat 50%+K-sorbat 25% dengan konsentrasi 50%. Mie
kombinasi terbaik dinyatakan rusak setelah 40 jam karena TPC mie sebesar
2,5 x 106 CFU/g pada jam ke-40 dengan total kapang-khamir sebesar 7,8 x
101 CFU/g dan bakteri koliform tidak ditemukan pada pengujian.
Uji sensori yang dilakukan menggunakan uji hedonik (kesukaaan)
dengan menggunakan 5 skala dan sebagai kontrol positif, digunakan mie
pasar. Berdasarkan hasil uji sensori, panelis menilai netral untuk parameter
aroma, tekstur, warna, dan secara keseluruhan mie kontrol mentah, mie pasar
mentah, dan mie kombinasi terbaik mentah. Akan tetapi, aroma dan tekstur
mie pasar berbeda nyata dengan aroma mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik, sedangkan untuk parameter warna, ketiga jenis mie ini tidak berbeda
nyata. Panelis juga menilai netral untuk parameter aroma, tekstur, warna, rasa
dan secara keseluruhan mie kontrol mentah yang dimatangkan, mie pasar
mentah yang dimatangkan, dan mie kombinasi terbaik mentah yang
dimatangkan. Aroma, warna, dan rasa mie pasar mentah yang dimatangkan
berbeda nyata dengan mie kontrol mentah yang dimatangkan dan mie
kombinasi terbaik yang dimatangkan.

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, muncul beberapa saran yang dapat


digunakan untuk aplikasi industri atau penelitian selanjutnya. Saran-saran
yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya, yaitu penggunaan
pengawet Na-asetat teknis sengan konsentrasi maksimal yang digunakan
sebesar 0,6% yang dapat mempengaruhi umur simpan dan harga mie. Selain
itu, penyimpanan mie pada suhu rendah yang dapat memperpanjang umur
simpan mie.
DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of The association of Oficial


Analytical Chemist. AOAC Int., Washington.

. 1995. Official Methods of Analysis of The association of Oficial


Analytical Chemist. AOAC Int., Washington.

Astawan, M. 1999. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya. Jakarta

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2987-1992. Mie Basah. Badan


Standarisasi Nasional, Jakarta.

. 1994. SNI 01-3451-1994. Tapioka. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)


sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian,IPB. Bogor.

Belitz, H, D dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin.

Bredholt, S., T. Nesbakken dan A. Holck. 1999. Protective cultures inhibit growth
of Listeria monocytogenes and Eschericia coli O157:H7 in cooked,
sliced, vaccum and gas-packed meat. Int. J. Food Microbiol. 53:43-52.

Branen, A. L. dan R. J. Haggerty. 2002. Introduction of Food Additives. 2nd


Edition. Additives. Marcel Dekker. Inc, New York and Basel.

Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan


Terjemahan. UI Press, Jakarta.

CFNP (Center for Food and Nutrition Policy (). 2002. Calcium Propionate.
Virginia Tech-Alexandria.

Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie
Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pangan, IPB. Bogor.

Christensen, C. M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products.


Minnesota. American Association of Cereal Chemists.

Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/


Menkes/ Per/ IX/ 1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Desrosier. 1977. The Technology of Food Preservation. Fourth Edition. AVI


Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut.
Fardiaz, S. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. PAU
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

______, 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fellers, C. R. 1955. Food Preservation. Di dalam: F. C. Blanck (ed.). Handbook of


Food and Agriculture. Reinhold Publishing Corporation. New York.

Fields, A. L. 1979. Fundamentals of Food Microbiology. AVI Publishing


Company, Inc. Westport, Connecticut.

Frazier, W. C. Dan D. C. Westhoff. 1979. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill


Publishing Company Ltd., New Delhi.

Glicksman, M. 1983. Food Hidrocoloids II. CRC Press, Boca Rotan, Florida.

Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Hatcher, P. W. 2001. Asian Noodle Processing. Di dalam : Cereal Processing


Technology 2nd edition. G. Owens (ed.). Woodhead Publishing Ltd.,
Cambridge. England.

Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition.


American Association of Cereal Chemists, inc. St. Paul, Minnesota.

Indrawan, I. 2005. Survei Manufaktur dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Mie


Basah di Jabotabek. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth ed. Aspen Publication,


Guithernberg.

JECFA. 1973. Seventeenth Report of the joint FAO/WHO Expert Commitee on


Food Additives: Toxicological evaluation of certain food additives with
a review of general principles and of specification. FAO Nutrition
Meeting Report Ser. No. 53; WHO Technical Report. Ser. No. 539,
Geneva.

Johnson, E. A. 1999. Clostridium botulinum. Di dalam: Carl A. Batt dan Pradip


D. Patel (eds). 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic
Press, San Diego.

Kruger, J. E dan R. B. Matsuo. 1996. Pasta and Noodle Technology. American


Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota.

Lund, B. M., Tony C., Grahamme W. Gould. 2000. The Microbiological Safety
and Quality of Food. Aspen Publishers, Inc.
Merck Index. 1989. Preservation and Preservatives. 11th edition. Susan B (ed.).
Merck&Cg., Inc. Rahway, N. J. USA.

Naidu, A. S. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press, Boca Raton.

Nussinovitch, A. 1997. Hydrocolloids Application: Gum technology in the food


and other industries. Blackie Academic & Professional. London.

Oktaviani. 2005. Perubahan Karakteristik dan Kualitas Protein pada Mie Mentah
yang Mengandung Formaldehide dan Boraks. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

OSHA. (Occupational Safety and Health Administration). 2006. Regulation


Subtance Tehnical Guidelines for Formalin (Standar-29 CFR).
www.osha.gov. U.S. Departemen Of Labor. [12 Januari 2006]

Pagani, M. A. 1985. Pasta product from non conventional raw material. P:52-68.
Di dalam: C. H. Mercier dan C. Centrarellis (eds.). Pasta and Extrusion
Cooked Foods. 1985. Proceeding of An International Symposium.
Milan, Italy.

Pahrudin. 2006. Aplikasi Bahan Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan


Mie Basah Matang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Patersen, K., P. V. Nielsen, G. Bertelsen, M. Lawther, M. B. Olsen, N. H. Nilson


dan G. Mortensen. 1999. Potential of biobased materials for food
packaging. Journal of Food Science and Technology. 10: 52-68. Elsevier
Science Ltd., UK.

Phillips, G. O. Dan P. A. Williams. 2000. Handbook of Hydrocolloids. CRC


Press. Cambridge England.

Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tanggerang dan


Bekasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor.

Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd edition. CRC Press, Boca
Raton.

Smith, J. 1993. Preservatives. Di dalam: J. Smith (ed.). Food Additive User’s


Handbook. Blackie. London.

Soekarto, S. T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

_______, 1990. Dasar-dasar Pengawasan Mutu dan Standardisasi Mutu Pangan.


Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sofos, J. N dan F. F.Busta. 1993. Sorbic acid and sorbates. Di dalam: Davidson
dan Branen (ed.). 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker, Inc.
New York.

Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Teknologi Pangan


dan Gizi. FATETA, IPB. Bogor.

Syarief, R., S. Santausa dan S. I. Budiana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.


PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

U. S. Food and Drug Administration. 2001. BAM Online (Bacteriologic


Analytical Manual). http://www.cfsan.fda.gov/=ebam/bam3.

Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lampiran 5. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna mie dengan garam alkali
Kekerasan Kelengketan Elastisitas Warna
(gforce) (gforce) (gforce) (oHue)
Ulangan
Na2CO3 STPP Na2CO3 STPP Na2CO3 STPP Na2CO3 STPP
0,6% 0,2% 0,6% 0,2% 0,6% 0,2% 0,6% 0,2%
9570,3 6893,6 67,6 16,5 12,3 13,9 87,78 83,54
10751,8 6650,8 3,7 12,8 11,9 11,7 82,87 83,38

1 9951,5 6107,4 6,9 16,1 11,7 13,7 82,91 83,27


10787 6266,5 18,6 14,1 13,2 17 83,07 83,63
10277,1 6527,2 15,6 15,5 13,1 15,3 82,99 83,12
10301,4 6553,5 5,5 15,3 12,5 14,8 83,23 83,19
9871,8 6727,5 6 3,1 11,6 16,6 83,27 83,1

2 10724,7 5983,1 3,9 9,5 14,4 14,6 82,98 82,8


9979,3 6377,4 4,2 8,3 14,8 12,8 82,8 82,77
10702,6 6018,7 10,6 6,4 13,6 14,9 82,76 82,69
Rata-rata 10291,75 6410,57 14,26 11,76 12,91 14,53 83,47 83,15
Lampiran 6. Analisis ragam kekerasan, kelengketan, elastisitas dan warna mie
dengan garam alkali
Std.
Garam alkali N Mean
Deviation
Kekerasan Na2CO3 10 10291.750 437.6342
STPP 10 6410.570 311.9056
Kelengketan Na2CO3 10 14.260 19.4318
STPP 10 11.760 4.6569
Elastisitas Na2CO3 10 12.9100 1.11201
STPP 10 14.5300 1.60835
Warna Na2CO3 10 83.4660 1.52500
STPP 10 83.1490 .32202

Independent Samples Test


Levene's
t-test for Equality of Means
Test
Sig. Mean Std. Error
F Sig. t df
(2-tailed) Difference Difference
Kekerasan Equal
variances 1.517 .234 22.838 18 .000 3881.180 169.9437
assumed
Kelengketan Equal
variances 2.717 .117 .396 18 .697 2.500 6.3189
assumed
Elastisitas Equal
variances .669 .424 2.620 18 .017 1.6200 .61833
assumed
Warna Equal
variances 2.429 .137 .643 18 .528 .3170 .49288
assumed

Lampiran 7. Rendemen mie yang dihasilkan pada pembuatan mie (dalam 100 g
terigu)
Ulangan Bobot mie yang dihasilkan Rendemen mie (%)
(g)
1 124,6 124,6
2 125,5 125,8
Rata-rata 125,05 125,05

Lampiran 8. Cara perhitungan kontribusi harga garam alkali


100 gram terigu = 125 gram mie (Rendemen 125%)

Harga Na2CO3 untuk 1 kg mie =


0,6 g X Rp. 4000,- = Rp.19,20 / kg mie
125 g mie

Harga STPP untuk 1 kg mie =


0,2 g X Rp. 15000,- = Rp. 24,- / kg mie
125 g mie
Lampiran 9. Hasil analisis kekerasan, kelengketan dan elastisitas mie dengan berbagai hidrokoloid
Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce)
Ulangan Na2CO3 CMC GA KA Na2CO3 CMC GA KA Na2CO3 CMC GA KA
0,2% 0,5% 0,5% 0,2% 0,5% 0,5% 0,2% 0,5% 0,5%
9570,3 10609,3 9010,9 7170,1 67,6 5,6 95 56 12,3 27,3 11,5 16,3
10751,8 10590,4 9213,7 5985,9 3,7 32,2 43 4,4 11,9 19,1 13,1 18,2

1 9951,5 10393,9 10252,8 7241,8 6,9 52,3 159,9 4,3 11,7 15,2 11 12,8
10787 10652,9 10893,6 8508,8 18,6 23,8 83,7 2,5 13,2 16,3 11,2 15,4
10277,1 10254,7 9778,7 8238,8 15,6 15,1 10 3,4 13,1 22,9 12,2 20,1
10301,4 9350,2 10383,4 10571,7 5,5 3 3,3 3,4 12,5 24,9 12 16,1
9871,8 10110,9 9459,7 7131,8 6 4,3 4 53,9 11,6 42,4 11,9 17,9

2 10724,7 10638,1 9412,6 6122,5 3,9 18 9,8 23,5 14,4 19,8 12,1 15,2
9979,3 9989,7 10466,7 7032,4 4,2 4,1 4,8 11,5 14,8 32,5 13,3 18,4
10702,6 10514,2 9343,7 7130,5 10,6 25,9 6,1 28,2 13,6 14,1 12,3 17,6
Rata-rata 10291,75 10310,43 9821,58 7513,43 14,26 18,43 41,96 19,11 12,91 23,45 12,06 16,8
Lampiran 10. Analisis ragam kekerasan, kelengketan dan elastisitas mie dengan
berbagai hidrokoloid
Uji Lanjut Subset for alpha = .05
Hidrokoloid N
Tukey 1 2
KA 0.5% 10 7513.4300
GA 0.5% 10 9821.5800
Kekerasan Tanpa hidrokoloid 10 10291.7500
CMC 0.2% 10 10310.4300
Sig. 1.000 .522
Tanpa hidrokoloid 10 14.2600
CMC 0.2% 10 18.4300
Kelengketan KA 0.5% 10 19.1100 -
GA 0.5% 10 41.9600
Sig. .219
GA 0.5% 10 12.0600
Tanpa hidrokoloid 10 12.9100
Elastisitas KA 0.5% 10 16.8000
CMC 0.2% 10 23.4500
Sig. .112 1.000

Lampiran 11. Cara perhitungan kontribusi harga hidrokoloid


100 gram terigu = 125 gram mie (Rendemen 125%)

Harga CMC untuk 1 kg mie =


0,2 g X Rp. 60000,- = Rp.96,- / kg mie
125 g mie

Harga gum arab untuk 1 kg mie =


0,5 g X Rp. 130000,- = Rp.520,- / kg mie
125 g mie

Harga karagenan untuk 1 kg mie =


0,5 g X Rp. 600000,- = Rp.2400,- / kg mie
125 g mie
Lampiran 12. Hasil analisis mikrobiologis Total Plate Count (TPC) tapioka
Tingkat Pengenceran
Formula Ulangan CFU/g rata-rata Log CFU
10-1 10-2 10-3 10-4
TBUD TBUD 167 138
1 2,8 x 105
Tapioka tidak bermerek TBUD TBUD 179 131
2,4 x 105 5,3802
yang tidak disangrai TBUD TBUD 185 71 5
2 2,0 x 10
TBUD TBUD 132 60
TBUD TBUD 36 21
1 4,2 x 104
Tapioka Tidak Bermerek TBUD TBUD 48 21
3,5 x 104 4,5440
(Sangrai 15 detik) TBUD TBUD 30 5 4
2 2,8 x 10
TBUD TBUD 27 2
228 26 3 1
1 2,3 x 103
Tapioka Tidak Bermerek 226 27 1 0
2,3 x 103 3,3617
(Sangrai 30 detik) 230 26 5 1 3
2 2,3 x 10
227 26 2 1
225 25 1 0
1 2,3 x 103
Tapioka Tidak Bermerek 226 25 1 0
2,3 x 103 3,3617
(Sangrai 60 detik) 226 25 1 0
2 2,3 x 103
226 27 2 0
231 26 3 1
1 2,3 x 103
Tapioka merek Gunung 229 27 0 0
2,3 x 103 3,3617
Agung 227 28 6 3 3
2 2,3 x 10
225 25 0 3
Lampiran 13. Cara perhitungan kontribusi harga tapioka
Bahan pupuran = 3%/kg mie

Harga tapioka tidak bermerek untuk 1 kg mie :


3g X Rp.3500,- = Rp.105,- / kg mie
100 g mie

Harga tapioka merek Gunung Agung untuk 1 kg mie =


3g X Rp.5000,- = Rp.150,- / kg mie
100 g mie

Lampiran 14. Cara perhitungan kontribusi harga kemasan


# kemasan LDPE
Harga kemasan LDPE untuk 1 kg mie =
Rp. 4.000,- X 1000 gram = Rp. 400,- / kg mie
100 buah 100 gram

# kemasan PP
Harga kemasan PP untuk 1 kg mie =
Rp. 12.000,- X 1000 gram = Rp.1.200,- / kg mie
100 buah 100 gram

# kemasan PP+ kemas vakum


Harga teknologi pengemasan vakum untuk 1 kg mie =
Rp. 2.500,- X 1000 gram = Rp. 25.000,- / kg mie
100 gram 1 kg
Harga kemasan PP + kemas vakum = Rp. 1.200,- + Rp. 25.000,- = Rp. 26.200,-

Lampiran 15. Warna mie dengan berbagai jenis pengawet


o
Hue
Ulangan Tanpa NC NC NK NCK NCK
CK 11 CK 31
pengawet 11 31 11 121 211
87,78 86,25 85,73 85,03 84,22 83,54 83,65 85,15
82,87 86,35 85,69 84,89 84,23 83,51 83,28 85,85
1 82,91 86,24 85,77 85,11 83,55 85,11 83,33 85,79
83,07 86,31 85.79 85,36 83,57 84,45 83,68 85,56
82,99 86,34 85,71 85,24 83,44 85,15 83,08 85,88
83,23 86,21 85,79 85,26 84,23 83,51 83,68 85,85
83,27 86,31 85,77 84,34 84,25 85,15 83,32 85,67
2 82,98 86,34 85,67 85,16 83,57 84,45 83,83 85,98
82,8 86,25 85,63 85,09 83,54 85,11 83,86 85,51
82,76 86,35 85,71 84,81 83,43 83,55 83,80 85,89
Rata-rata 83,47 86,29 85,73 85,03 83,80 84,35 83,55 85,71
Lampiran 16. Analisis ragam warna mie dengan berbagai pengawet
Uji Tukey WARNA
Subset for alpha = .05
Pengawet N
1 2 3 4 5
Tanpa
10 83.4660
pengawet
NCK 121 10 83.5510
CK 11 10 83.8030 83.8030
CK 31 10 84.3530 84.3530
NK 11 10 85.0290 85.0290
NCK 211 10 85.7130 85.7130
NC 31 10 85.7260 85.7260
NC 11 10 86.2950

Lampiran 17. Cara perhitungan kontribusi harga pengawet


100 gram terigu = 125 gram mie (Rendemen 125%)
Harga 1 kg Na-asetat (PA) = Rp. 962000,-
Harga 1 kg Ca-propionat (teknis) = Rp. 30000,-
Harga 1 kg K-sorbat (teknis) = Rp. 90.000,-

Cara Perhitungan :
Harga pengawet Na-asetat 50% untuk 1 kg mie :
0,03 g X Rp.962000,- = Rp.230,88 / kg mie
125 g mie

Harga pengawet Ca-propionat 50%untuk 1 kg mie :


0,1 g X Rp.30000,- = Rp. 24,-/ kg mie
125 g mie

Harga pengawet Na-asetat 50% + Ca-propionat 50% (NC 11) untuk 1 kg mie:
Rp. 230,88 + Rp. 24,- = Rp. 254,88/kg mie

Lampiran 18. Analisis ragam umur simpan mie menurut GMP


Uji Duncan Umur Simpan
Subset for alpha = .05
PENGAWET N 1 2 3 4
Tanpa
2 44.00
pengawet
5% 2 52.00
25% 2 56.00
10% 2 56.00
50% 2 66.00
100% 2 68.00
Sig. 1.000 1.000 1.000 .134
Lampiran 19. Warna mie dengan pengawet Na-asetat 25% + Ca-propionat 50% +
K-sorbat 25% dalam berbagai konsentrasi
o
Hue NCK 121
Ulangan
100% 50% 25% 10% 5%
83,65 83,78 84,79 85,37 86,26
83,28 83,76 84,51 86,09 85,96
1 83,33 83,67 84,23 85,99 85,89
83,68 83,73 84,36 85,30 85,66
83,08 83,64 84,38 85,06 86,04
83,68 83,50 84,83 85,63 85,99
83,32 83,47 84,62 85,93 85,68
2 83,83 83,36 85,15 85,09 85,84
83,86 83,77 84,17 85,70 86,46
83,80 83,67 84,71 85,96 85,60
Rata-rata 83,55 83,63 84,57 85,61 85,94

Lampiran 20. Analisis ragam warna mie menurut GMP


Tukey warna
Subset for alpha = .05
Sampel N
1 2 3
Tanpa
10 83.4660
pengawet
100% 10 83.5510
50% 10 83.6350
25% 10 84.5750
10% 10 85.6120
5% 10 85.9380
Sig. .993 1.000 .887
Lampiran 21. Perubahan kekerasan mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Kekerasan Na2CO3 (gforce) Kekerasan Mie Kombinasi Terbaik (gforce)
Ulangan
Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-60
9570,3 7711,9 3039,7 9219,2 8982,9 3245,2 250,3
10751,8 7700,5 2543,9 9748,1 8729,1 2564,6 95,7
1 9951,5 7931,6 2215,7 8583,8 7565,5 2102,8 253,9
10787 7808,1 2159,1 8159,1 7816,2 2500,5 190,3
10277,1 8010,1 2684,3 8228,8 7790,2 2361,8 238,1
10301,4 8620,7 1987,1 9195,1 6318,7 3128,0 179,3
9871,8 7906,2 2942,1 9885,8 7596,7 3196,6 225,5
2 10724,7 9395,6 2124,9 8351,1 6858,3 3387,5 252,0
9979,3 9671,4 2093,7 8122,5 8123.6 3683,0 323,5
10702,6 9744,7 3017,9 9119,4 7941,6 2640,1 195,8
Rata-rata 10291,75 8450,08 2480,84 8861,29 7772,28 2881,01 220,44

Lampiran 22. Analisis ragam perubahan kekerasan mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Tukey kekerasan
Jam ke- N Subset for alpha = .05
Sampel
1 2 3 4
jam ke-44 10 2480.84
jam ke-24 10 8450.08
Na2CO3 -
jam ke-0 10 10291.75
Sig. 1.0 1.0 1.0
jam ke-60 10 220.44
jam ke-44 10 2881.01
Mie Kombinasi
jam ke-24 10 7772.28
Terbaik
jam ke-0 10 8861.29
Sig. 1.0 1.0 1.0 1.0
Lampiran 23. Perubahan kelengketan mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Ulangan Kelengketan Na2CO3 (gforce) Kelengketan Mie Kombinasi Terbaik(gforce)
Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-60
1 67,6 16,5 707,9 26,5 67,1 854,2 838,1
3,7 24,3 648,3 45,0 26,5 656,4 598,9
6,9 16,6 647,6 26,9 76,7 555,2 578,0
18,6 11,1 772,8 50,9 49,8 679,1 486,0
15,6 23,5 816,9 21,2 51,8 654,8 801,1
2 5,5 37,1 649,6 25,0 42,8 654,5 678,2
6 34,4 803,7 40,9 45,0 771,3 937,5
3,9 14,9 642,3 22,0 48,4 866,6 670,1
4,2 14,7 604,7 59,6 68,2 981,7 699,5
10,6 33,9 871,9 29,0 31,4 598,3 1055,0
Rata-rata 14,26 22,7 716,57 34,7 50,77 727,21 734,24

Lampiran 24. Analisis ragam perubahan kelengketan mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpana
Tukey Kelengketan
N Subset for alpha = .05
Sampel Jam Ke-
1 2
jam ke-0 10 14.2600
jam ke-24 10 22.7000
Na2CO3
jam ke-44 10 716.5700
Sig. .997 1.000
jam ke-0 10 34.7000
jam ke-24 10 50.7700
Mie Kombinasi Terbaik jam ke-44 10 727.2100
jam ke-60 10 734.2400
Sig. .988 .999
Lampiran 25. Perubahan elastisitas mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Elastisitas Na2CO3 (gforce) Elastisitas Mie Kombinasi Terbaik (gforce)
Ulangan
Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-44 Jam ke-60
12,3 11,4 16,7 14,7 12,8 12,5 14,9
11,9 11,3 15,0 15,9 13,4 11,3 16,0
1 11,7 14,2 15,0 16,1 17,1 15,1 17,4
13,2 14,7 16,1 14,7 14,6 13,9 15,4
13,1 15,0 17,5 16,2 13,1 15,6 17,1
12,5 13,3 17,0 17,9 18,4 15,3 18,6
11,6 15,9 15,1 12,7 14,1 13,1 16,0
2 14,4 20,3 15,7 17,1 11,6 11,1 15,2
14,8 17,0 15,6 16,5 16,1 19,6 16,2
13,6 16,3 16,5 14,9 14,2 13,2 15,9
Rata-rata 12,91 14,94 16,02 12,91 14,54 14,07 16,27

Lampiran 26. Analisis ragam perubahan elastisitas mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Tukey Elastisitas
Subset for alpha = .05
Sampel Jam ke- N
1 2
jam ke-0 10 12.9100
jam ke-24 10 14.9400 14.9400
Na2CO3
jam ke-44 10 16.0200
Sig. .090 .575
jam ke-44 10 14.0700
jam ke-24 10 14.5400
Mie Kombinasi Terbaik jam ke-0 10 15.6700 -
jam ke-60 10 16.2700
Sig. .058
Lampiran 27. Perubahan warna mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Warna Na2CO3 Warna Mie Kombinasi Terbaik
(oHue) (oHue)
Ulangan
Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam Jam
ke-0 ke-12 ke-24 ke-36 ke-44 ke-0 ke-12 ke-24 ke-36 ke-44 ke-60
87.78 72.68 72.01 72.01 70.84 83.78 74.83 73.07 71.87 69.77 66.61
82.87 73.45 72.15 71.45 70.47 83.76 73.29 73.58 71.28 69.78 67.11
1 82.91 72.23 71.96 71.89 70.92 83.67 73.24 70.24 70.72 69.64 66.77
83.07 74.71 72.22 70.97 70.31 83.73 73.82 72.41 71.81 69.71 66.73
82.99 73.59 73.02 70.91 69.66 83.64 72.69 72.29 70.46 69.69 66.21
83.23 72.55 68.45 72.01 69.34 83.50 73.98 70.94 70.85 69.54 67.17
83.27 72.35 66.78 71.45 68.04 83.47 72.42 70.12 71.21 69.42 67.37
2 82.98 71.63 69.89 71.89 69.53 83.36 72.98 73.45 70.95 69.35 66.71
82.8 72.50 69.18 70.97 68.36 83.77 74.22 73.80 70.20 69.70 67.15
82.76 72.49 67.48 70.91 68.34 83.67 74.23 72.75 71.25 69.65 66.61
Rata-rata 83.47 72.818 70.314 71.446 69.581 83.63 73.57 72.26 71.06 69.62 66.84

Lampiran 28. Analisis ragam perubahan warna mie Na2CO3 selama penyimpanan
Tukey Warna
Na2CO3 N Subset for alpha = .05
1 2 3 4
jam ke-44 10 69.5810
jam ke-24 10 70.3140 70.3140
jam ke-36 10 71.4460 71.4460
jam ke-12 10 72.8180
jam ke-0 10 83.4660
Sig. .757 .365 .188 1.000
Lampiran.29. Analisis ragam perubahan warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Tukey Warna
mie kombinasi Subset for alpha = .05
N
terbaik 1 2 3 4 5 6
jam ke-60 10 66.844
jam ke-44 10 69.625
jam ke-36 10 71.060
jam ke-24 10 72.265
jam ke-12 10 73.570
jam ke-0 10 83.635
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000

Lampiran 30. Perubahan pH mie Na2CO3 dan mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
pH Na2CO3 pH Mie Kombinasi Terbaik
Ulangan Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke- Jam ke-
0 12 24 36 44 0 12 24 36 44 60
8.93 8.78 9.04 8.70 8.32 9.10 8.79 8.62 8.65 7.91 6.95
1
8.92 8.78 9.06 8.69 8.34 9.10 8.77 8.60 8.63 7.89 6.95
8.90 8.81 8.96 8.49 8.34 9.12 8.75 8.59 8.55 7.86 6.84
2
8.89 8.81 8.98 8.48 8.37 9.12 8.77 8.61 8.54 7.84 6.82
Rata-rata 8.91 8.79 9.01 8.59 8.34 9.11 8.77 8.60 8.59 7.87 6.89
Lampiran 31. Analisis ragam perubahan pH mie Na2CO3 selama penyimpanan
Tukey pH mie
Na2CO3 N Subset for alpha = .05
1 2 3 4
jam ke-44 4 8.3425
jam ke-36 4 8.5900
jam ke-12 4 8.7950
jam ke-0 4 8.9100
jam ke-24 4 9.0100
Sig. 1.000 1.000 .100 .182

Lampiran 32. Analisis ragam perubahan pH mie kombinasi terbaik selama


penyimpanan
Tukey pH mie
mie kombinasi Subset for alpha = .05
N
terbaik 1 2 3 4 5
jam ke-60 4 6.8900
jam ke-44 4 7.8750
jam ke-36 4 8.5925
jam ke-24 4 8.6050
jam ke-12 4 8.7700
jam ke-0 4 9.1100
Sig. 1.000 1.000 .997 1.000 1.000
Lampiran 33. Analisis mikrobiologi TPC mie Na2CO3 selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
40 10 0
1 3,8 x 102
37 0 0
0 1,9 x 102 2,28
18 0 0
2 0
14 2 1
48 2 1
1 4,4 x 102
39 8 1
4 2,2 x 102 2,34
15 3 0
2 0
5 1 1
26 7 2
1 2,7 x 102
27 9 1
8 1,4 x 102 2,15
24 9 1
2 0
19 8 2
21 3 24
1 2,8 x 103
28 8 3
12 2,8 x 103 3,45
27 5 15 3
2 2,7 x 10
9 1 0
TBUD 54 10
1 6,6 x 104
TBUD 79 8
16 5,3 x 104 4,72
TBUD 40 16 4
2 4,0 x 10
TBUD TBUD 8
TBUD 183 23
1 1,5 x 105
TBUD 118 22
20 1,3 x 105 5,11
TBUD 114 3 5
2 1,1 x 10
TBUD 114 8
Lampiran 33 (lanjutan). Analisis mikrobiologi TPC mie Na2CO3 selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
TBUD 21 1
1 2,8 x 105
TBUD 28 2
24 2,6 x 105 5,41
TBUD 23 1
2 2,5 x 105
TBUD 25 1
TBUD 70 10
1 6,4 x 105
TBUD 57 6
28 5,2 x 105 5,72
TBUD 26 8
2 3,9 x 105
TBUD 52 9
TBUD 165 17
1 1,6 x 106
TBUD 138 26
32 1,6 x 106 6,20
TBUD 164 24
2 1,7 x 106
TBUD 179 19
235 39 5
1 2,3 x 106
208 34 4
36 2,9 x 106 6,46
TBUD 34 0
2 3,6 x 106
TBUD 37 4
147 20 2
1 1,8 x 106
184 37 0
40 4,4 x 106 6,64
TBUD 69 3
2 7,0 x 106
TBUD 70 1
TBUD 60 13
44 1 5,9 x 106 6,0 x 106 6,78
TBUD 58 14
TBUD 48 10
2 6,2 x 106
TBUD 76 11

Lampiran 34. Analisis mikrobiologi TPC mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
25 5 0
1 2,6 x 102
27 5 0
0 2,7 x 102 2,43
28 0 0 2
2 2,8 x 10
23 1 1
38 1 1
1 3,6 x 102
34 1 1
4 3,4 x 102 2,53
30 1 0 2
2 3,2 x 10
35 1 1
27 8 2
1 2,7 x 102
17 7 2
8 2,8 x 102 2,45
28 8 1 2
2 2,8 x 10
24 8 1
26 1 19
1 2,7 x 103
28 5 1
12 2,8 x 103 3,45
27 3 17 3
2 2,8 x 10
29 1 1
49 29 7
1 7,8 x 103
69 25 7
16 8,0 x 103 3,90
54 30 10
2 8,3 x 103
64 35 8
153 52 13
1 2,1 x 104
198 58 12
20 2,2 x 104 4,34
194 48 10
2 2,2 x 104
196 46 10

Lampiran 34 (Lanjutan). Analisis mikrobiologi TPC mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
111 26 1
1 1,2 x 105
118 23 0
24 1,2 x 105 5,08
112 28 0
2 1,2 x 105
115 20 0
127 60 5
1 1,6 x 105
123 52 5
28 1,5 x 105 5,18
128 21 6
2 1,4 x 105
125 47 4
165 56 11
1 2,0 x 105
138 83 12
32 2,1 x 105 5,32
164 44 24
2 2,2 x 105
179 97 19
205 192 90
1 3,6 x 105
215 185 83
36 3,6 x 105 5,57
219 188 54
2 3,7 x 105
211 190 72
230 17 1
40 1 2,4 x 106 2,5 x 106 6,39
249 22 1
235 57 1
2 2,6 x 106
227 60 1
248 160 13
1 3,6 x 106
236 158 14
44 1,1 x 107 7,04
TBUD 148 30 7
2 1,8 x 10
250 176 31

Lampiran 34 (Lanjutan). Analisis mikrobiologi TPC mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
185 27 3
1 1,9 x 107
198 29 1
48 2,0 x 107 7,30
168 73 1
2 2,2 x 107
175 72 1
226 115 17
1 3,1 x 107
217 119 15
52 3,2 x 107 7,50
229 159 19
2 3,4 x 107
231 125 15
153 99 0
1 2,2 x 108
162 78 0
56 1,9 x 108 8,28
156 32 5
2 1,6 x 108
132 30 3
124 22 1
1 1,3 x 108
120 26 2
60 1,3 x 108 8,11
114 27 1
2 1,3 x 108
129 25 1
Lampiran 35.Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie Na2CO3 selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
0 1,0 x 101 1
0 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
1 0 0
4 1,0 x 101 1
1 0 0
2 1,0 x 101
0 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
8 1,0 x 101 1
0 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
1 0 0
12 1 1,0 x 101 1,0 x 101 1
0 0 0
1 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
1 0 0
1 1,5 x 101
2 0 0
16 1,3 x 101 1,11
1 0 0 1
2 1,0 x 10
1 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
1 0 0
20 1,0 x 101 1
1 0 0 1
2 1,0 x 10
1 0 0

Lampiran 35 (Lanjutan). Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie Na2CO3 selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
2 0 0
1 2,0 x 101
0 0 0
24 1,5 x 101 1,17
1 0 0 1
2 1,0 x 10
0 0 0
3 0 0
1 2,0 x 101
1 0 0
28 5,5 x 101 1,74
2 0 0 1
2 3,5 x 10
5 0 0
0 0 0
1 1,0 x 101
1 0 0
32 1,0 x 101 1
1 0 0
2 1,0 x 101
0 0 0
13 6 0
1 1,0 x 101
3 0 0
36 8,3 x 101 1,91
8 1 0
2 6,6 x 101
5 0 0
13 0 0
1 1,1 x 101
9 0 0
40 8,5 x 101 1,92
7 0 0 1
2 6,0 x 10
5 0 0
6 0 0
1 3,5 x 101
1 0 0
44 6,8 x 101 1,83
10 2 0
2 1,0 x 102
10 0 0

Lampiran 36. Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
0 1,0 x 101 1
0 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
4 1,0 x 101 1
1 0 0 1
2 1,0 x 10
0 0 0
1 0 0
8 1 1,0 x 101 1,0 x101 1
1 0 0
1 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
2 0 0
1 2,0 x 101
0 0 0
12 1,5 x 101 1,17
1 0 0 1
2 1,0 x 10
0 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
16 1,3 x 101 1,11
1 0 0 1
2 1,5 x 10
2 0 0
1 0 0
1 1,0 x 101
0 0 0
20 1,0 x 101 1
1 0 0 1
2 1,0 x 10
1 0 0

Lampiran 36 (Lanjutan). Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
1 0 0
1 1,0 x 101
1 0 0
24 1,3 x 101 1,11
1 0 0 1
2 1,5 x 10
2 0 0
1 0 0
1 1,5 x 101
2 0 0
28 1,3 x 101 1,11
1 0 0
2 1,0 x 101
1 0 0
2 0 0
1 2,0 x 101
2 0 0
32 1,3 x 101 1,11
1 0 0
2 5,0 x 101
0 0 0
10 0 0
1 7,5 x 101
5 0 0
36 6,8 x 101 1,83
9 0 0 1
2 6,0 x 10
3 0 0
8 0 0
1 6,5 x 101
5 0 0
40 5,8 x 101 1,76
4 0 0
2 5,0 x 101
6 0 0
8 0 0
1 7,5 x 101
7 0 0
44 7,8 x 101 1,89
6 0 0 1
2 8,0 x 10
10 0 0

Lampiran 36 (Lanjutan). Analisis Mikrobiologi total kapang dan khamir mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Jam Rata- Log
ulangan 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 CFU/g
ke- rata CFU/g
12 0 0 2
1 1,3 x 10
14 0 0
48 1.2 x 102 2,07
11 0 0 2
2 1,1 x 10
11 0 0
10 1 0
52 1 1,9 x 102 1,9 x 102 2,28
19 0 0
18 1 0
2 1,8 x 102
11 1 0
16 0 0
1 1,7 x 103
17 0 0
56 1.9 x 103 3,28
20 5 0 3
2 2.1 x 10
22 3 0
24 1 0
1 2,7 x 103
30 5 0
60 3,0 x 103 3,48
34 2 0 3
2 3,3 x 10
32 2 0
Lampiran 37. Form uji organoleptik

UJI KESUKAAN
Sampel : Mie Basah Mentah
Nama :
Kode Sampel

Instruksi :
♠ Amati sampel yang disajikan
♠Berikan penilaian terhadap aroma, warna, tekstur dan produk secara
keseluruhan (overall) dengan cara memberikan tanda check list (√) pada
kolom peringkat kesukaan terhadap sampel
♠ Atribut tekstur pada mie basah mentah meliputi kekerasan, kelengketan dan
elastisitas dan tidak dimakan (diukur menggunakan tangan)
♠ Jangan membandingkan antar sampel

Tingkat kesukaan
Aroma Warna Tekstur Overall
Sangat suka
suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar :
Lampiran 37 (Lanjutan). Form uji organoleptik

Sampel : Mie Basah Mentah yang dimatangkan


Nama :
Kode Sampel

Instruksi :
♠ Cicipilah sampel yang disajikan
♠ Netralkan lidah dengan meminum air putih
♠ Berikan penilaian terhadap rasa, aroma, warna, tekstur dan produk secara
keseluruhan (overall) dengan cara memberikan tanda check list (√) pada
kolom peringkat kesukaan terhadap sampel
♠ Jangan membandingkan antar sampel

Tingkat kesukaan
Aroma Warna Tekstur Rasa Overall
Sangat suka
suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar :
Lampiran 38. Data uji organoleptik mie basah mentah
Panelis SKOR mie basah mentah
Na2CO3 Terbaik Pasar
Aroma Warna Tekstur Overall Aroma Warna Tekstur Overall Aroma Warna Tekstur Overall
1 2.80 3.60 3.40 3.40 4.00 4.00 4.00 4.00 2.20 3.80 2.80 2.60
2 3.60 3.80 3.20 3.60 5.00 2.00 4.00 4.00 3.60 4.00 1.60 2.80
3 3.60 3.40 3.20 2.80 4.00 4.00 2.00 3.00 3.60 3.40 3.60 3.40
4 4.20 4.00 3.60 4.00 5.00 4.00 3.00 4.00 3.60 4.40 3.60 4.00
5 3.20 3.60 4.20 4.20 3.00 4.00 2.00 4.00 4.00 3.80 2.40 3.00
6 4.00 4.20 4.00 4.00 4.00 4.00 2.00 3.00 3.60 4.60 4.20 4.40
7 3.80 4.00 3.60 3.60 4.00 4.00 4.00 4.00 2.60 3.80 3.40 3.20
8 3.60 3.40 3.40 3.60 4.00 3.00 4.00 4.00 3.20 4.40 2.00 2.00
9 4.40 3.60 3.80 4.20 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.80 2.80 3.80
10 3.60 2.80 4.20 3.60 5.00 2.00 4.00 4.00 2.00 3.20 2.40 3.00
11 3.80 4.00 3.60 3.80 2.00 2.00 4.00 2.00 3.80 3.20 3.00 3.40
12 3.20 4.00 4.20 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 2.00 3.60 3.00 2.60
13 3.60 3.40 4.40 3.80 4.00 5.00 5.00 5.00 2.40 4.20 3.40 3.40
14 3.60 3.80 3.00 3.60 4.00 4.00 2.00 3.00 3.20 3.20 1.60 3.00
15 4.60 4.60 4.80 4.60 4.00 5.00 4.00 4.00 3.40 3.80 2.20 3.40
16 4.40 3.80 4.00 4.20 2.00 3.00 3.00 3.00 3.20 4.00 1.80 2.60
17 3.80 4.00 3.40 3.60 3.00 4.00 4.00 4.00 3.40 3.80 3.40 2.60
18 4.20 4.20 4.60 4.20 5.00 4.00 4.00 4.00 2.00 4.80 2.40 2.20
19 4.20 4.00 4.60 4.40 3.00 2.00 4.00 2.00 4.00 4.60 3.00 4.60
20 3.60 3.80 4.20 4.20 4.00 4.00 4.00 4.00 3.80 4.40 2.40 4.00
21 4.20 4.00 3.80 3.80 4.00 3.00 4.00 4.00 3.20 4.20 2.40 2.80
22 4.60 3.80 4.20 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.00 3.60 1.80 2.00
23 3.40 2.80 3.40 3.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.20 3.00 1.60 2.80
Lampiran 38 (Lanjutan). Data uji organoleptik mie basah mentah
Panelis SKOR mie basah mentah
Na2CO3 Terbaik Pasaran
Aroma Warna Tekstur Overall Aroma Warna Tekstur Overall Aroma Warna Tekstur Overall
24 3.80 3.80 4.40 4.20 2.00 3.00 4.00 3.00 3.40 3.40 2.60 3.00
25 4.60 3.80 4.40 4.40 4.00 4.00 4.00 4.00 2.60 4.20 2.60 2.60
26 3.80 3.60 4.00 3.80 3.00 4.00 3.00 3.00 3.00 3.60 1.80 2.60
27 4.00 3.00 4.00 4.00 1.00 5.00 4.00 3.00 3.00 4.20 2.20 2.80
28 4.20 3.00 3.80 3.60 4.00 4.00 4.00 5.00 2.60 2.80 2.60 2.20
29 4.40 4.20 4.40 4.20 4.00 4.00 5.00 4.00 3.60 3.80 3.80 3.80
30 3.20 3.40 3.80 3.60 3.00 4.00 4.00 4.00 2.00 3.60 2.80 3.00
Rata-rata 3.87 3.71 3.92 3.87 3.67 3.63 3.67 3.70 3.11 3.84 2.64 3.05
Lampiran 39. Data uji organoleptik mie basah matang
Skor mie basah mentah yang matang
Panelis Na2CO3 Terbaik Pasaran
Rasa Warna Aroma Tekstur Overall Rasa Warna Aroma Tekstur Overall Rasa Warna Aroma Tekstur Overall
1 3.80 4.40 2.80 3.80 3.60 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.60 4.20 3.80 3.80 4.60
2 3.80 4.60 3.60 4.40 4.00 2.00 5.00 5.00 5.00 4.00 3.00 5.00 4.00 4.40 4.20
3 3.00 3.20 3.60 3.00 3.20 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.20 4.40 3.40 2.80 3.60
4 3.60 3.80 3.60 4.20 4.00 2.00 3.00 2.00 4.00 4.00 4.40 4.40 3.80 3.60 4.00
5 4.00 4.40 3.40 4.20 4.20 2.00 3.00 2.00 4.00 4.00 3.80 4.80 3.60 3.80 4.20
6 3.60 3.20 3.40 3.40 3.80 3.00 4.00 2.00 2.00 3.00 4.40 3.80 4.00 3.60 4.20
7 4.20 4.80 4.20 4.60 4.60 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.40 3.80 3.80
8 3.60 4.80 4.80 4.20 4.40 3.00 5.00 4.00 3.00 3.00 3.40 4.00 3.80 3.40 3.80
9 3.60 4.40 4.20 3.60 3.80 4.00 3.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.40 4.40 4.00 4.40
10 3.80 4.20 3.40 4.00 3.80 2.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.80 3.80 3.60 3.40 3.60
11 3.00 4.80 3.80 3.60 3.80 3.00 4.00 2.00 4.00 4.00 3.80 4.60 3.60 4.40 3.80
12 3.80 4.40 4.20 4.80 4.60 4.00 4.00 5.00 4.00 4.00 4.20 4.00 4.20 3.60 3.80
13 3.00 4.80 4.40 3.80 3.80 2.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.60 4.20 4.20 4.40
14 3.60 4.00 3.40 4.20 4.00 3.00 5.00 4.00 5.00 4.00 3.60 3.80 4.40 4.20 3.80
15 5.00 5.00 4.40 4.80 5.00 3.00 4.00 3.00 4.00 3.00 4.40 4.60 3.60 4.40 4.00
16 4.20 4.20 3.80 4.00 4.20 4.00 3.00 2.00 4.00 4.00 3.60 4.40 4.40 3.80 4.00
17 4.00 4.00 3.60 4.00 3.80 4.00 5.00 3.00 5.00 4.00 4.00 4.00 4.40 3.60 4.00
18 3.60 4.20 4.00 4.00 4.20 4.00 4.00 3.00 3.00 4.00 3.40 2.80 3.00 3.00 3.00
19 4.00 4.00 4.00 4.20 4.40 4.00 4.00 3.00 5.00 4.00 3.00 4.20 3.00 3.20 3.40
20 2.80 4.40 3.40 3.40 3.60 3.00 4.00 3.00 4.00 4.00 3.60 4.60 4.20 3.60 4.20
21 3.40 3.40 3.40 3.60 3.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.20 4.00 4.20 3.80 4.20
22 3.60 3.80 4.20 3.00 3.80 2.00 4.00 4.00 3.00 3.00 3.80 3.80 4.00 3.20 4.00
23 3.80 4.00 4.00 4.20 3.80 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.20 4.00 3.20 3.80 3.60
Lampiran 39 (Lanjutan). Data uji organoleptik mie basah matang
Skor mie basah mentah matang
Panelis Na2CO3 Terbaik Pasaran
Rasa Warna Aroma Tekstur Overall Rasa Warna Aroma Tekstur Overall Rasa Warna Aroma Tekstur Overall
24 3.20 3.40 2.60 3.20 3.60 3.00 3.00 2.00 3.00 4.00 4.20 4.60 3.40 4.40 4.20
25 3.80 4.00 3.60 3.40 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 3.00 3.60 4.60 4.20 4.20 4.20
26 3.80 4.00 3.80 3.80 3.20 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.80 4.40 4.00
27 4.00 3.60 3.80 3.80 4.00 3.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.20 4.00 3.00 4.20 4.40
28 3.20 3.80 4.20 3.00 4.20 4.00 4.00 5.00 4.00 3.00 3.60 4.40 4.20 4.00 4.00
29 3.80 4.40 4.20 4.20 3.80 5.00 4.00 4.00 5.00 4.00 2.80 3.80 3.80 4.40 3.00
30 3.60 3.80 3.20 4.20 4.60 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.20 4.60 4.20 4.60 4.60
Rata-
3.67 4.13 3.77 3.89 3.91 3.33 3.93 3.40 3.90 3.77 3.83 4.21 3.86 3.85 3.97
rata
Lampiran 40. Analisis ragam mie basah mentah dalam uji organoleptik
Duncan
Subset
Atribut Sampel N
1 2
Pasaran 30 3.1067
Terbaik 30 3.6667
Aroma
Na2CO3 30 3.8667
Sig. 1.000 .284
Pasar 30 2.6400
Terbaik 30 3.6667
Tekstur
Na2CO3 30 3.9200
Sig. 1.000 .148
Terbaik 30 3.6333
Na2CO3 30 3.7133
Warna -
Pasar 30 3.8400
Sig. .228
Pasar 30 3.0533
Terbaik 30 3.7000
Overall
Na2CO3 30 3.8667
Sig. 1.000 .288

Lampiran 41. Analisis ragam aroma mie basah matang dalam uji organoleptik
Duncan
SAMPEL N Subset
1
terbaik 30 3.4000
Na2CO3 30 3.7667
Aroma
pasar 30 3.8600
Sig. 1.000
pasar 30 3.8533
Na2CO3 30 3.8867
Tekstur -
terbaik 30 3.9000
Sig. .767
terbaik 30 3.9333
Na2CO3 30 4.1267 4.1267
Warna
pasar 30 4.2067
Sig. .141 .540
terbaik 30 3.3333
Na2CO3 30 3.6733
Rasa
pasar 30 3.8333
Sig. 1.000 .311
terbaik 30 3.7667
Na2CO3 30 3.9600
Overall pasar 30 3.9667 -
Sig. .086

Anda mungkin juga menyukai