Anda di halaman 1dari 146

SKRIPSI

STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum


LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

Oleh
NANDA HADITTAMA
F24050806

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum
LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
NANDA HADITTAMA
F24050806

2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum
LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
NANDA HADITTAMA
F24050806

Dilahirkan pada tanggal 27 November 1986


di Bukittinggi

Tanggal Lulus : 1 September 2009

Menyetujui,
Bogor, Oktober 2009

Dr. Ir. Joko Hermanianto Tjahja Muhandri, STP, MT


Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Nanda Hadittama. F24050806. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium
sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. Di bawah
bimbingan : Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. 2009

RINGKASAN

Pengawet merupakan salah satu kategori bahan tambahan pangan. Salah


satu pengawet yang sering digunakan adalah asam organik, contohnya asam
asetat. Asam asetat memiliki kelemahan saat digunakan ke bahan pangan yaitu
aroma dan rasa asam yang tidak disukai. Penambahan bahan lain dibutuhkan
sebagai penutup aroma dan rasa asam, salah satunya dengan penggunaan rempah.
Bawang putih memiliki komponen citarasa yang khas dan kuat. Pencampuran
asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menjadi pengawet yang
efektif dan diterima secara sensori.
Penelitian bertujuan untuk menemukan pengawet yang aman bagi
kesehatan, diterima secara sensori, dan relatif murah untuk diaplikasikan pada
bakso. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat
mengawetkan bakso selama minimal 4 hari pada suhu ruang tanpa terjadinya
perubahan mutu bakso.
Penelitian dibagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada
penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk
bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan
biang pengawet, dan melihat pengaruh pengawetan terhadap umur simpan bakso.
Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi pengenceran terbaik untuk
mengawetkan bakso minimal 4 hari pada suhu ruang. Metode pengawetan yang
digunakan adalah perendaman dan perebusan. Lama perlakuan perendaman dan
perebusan selama 10 menit. Bakso yang telah direbus atau direndam dengan
larutan pengawet dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang.
Pengamatan dilakukan selama 4 hari atau lebih singkat karena terdeteksinya
kerusakan pada bakso seperti terbentuknya lendir atau tumbuhnya miselium
kapang. Pengamatan meliputi total mikroba, pengukuran pH, total asam tertitrasi,
tekstur, warna, uji organoleptik, dan analisis biaya sederhana.
Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol, karena
ekstrak yang dihasilkan memiliki aroma dan rasa yang kuat dibandingkan dengan
penggunaan pelarut lain seperti heksan dan etil asetat. Pengukuran kadar air
terhadap bawang putih menunjukkan bahwa kadar air bawang putih cukup tinggi
yaitu 69.18%, sehingga dilakukan pengeringan bawang putih terlebih dahulu agar
kandungan air yang tinggi tidak mengganggu penetrasi pelarut dalam
mengekstrak komponen citarasanya. Pengeringan dilakukan menggunakan oven
vakum suhu 60oC dengan tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Kadar air bawang
putih setelah pengeringan menjadi 46.33%. Rendemen ekstraksi dengan etanol
70% yaitu sekitar 75.18% (KA ekstrak bawang putih 66.48%). Kombinasi asam
asetat dan ekstrak bawang putih yang terpilih berdasarkan nilai pH dan uji
organoleptik yaitu kombinasi 60:40, dengan pH 3.02 dan intensitas rasa asam
yang paling rendah. Pengamatan menunjukkan metode pengawetan dengan
perendaman dan perebusan memperpanjang umur simpan bakso. Perendaman
dengan konsentrasi 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 3 hari,
perendaman dengan larutan konsentrasi 15% mampu memenuhi target
penyimpanan 4 hari. Pengawetan dengan perebusan menunjukkan keefektifan
yang lebih besar dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan
dengan konsentrasi larutan 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso
selama 6 hari. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1
pengamatan.
Uji mikrobiologi menunjukkan pengawetan dengan perendaman
(konsentrasi 15% dan 20% larutan biang) dan dengan perebusan (konsentrasi
10%, 15%, dan 20% larutan biang) dapat mempertahankan total mikroba pada
bakso dibawah 1x105 koloni/g sampai penyimpanan hari ke-4 di suhu ruang. Uji
organoleptik yang dilakukan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan
biang yang digunakan menurunkan penerimaan untuk parameter aroma, rasa, dan
keseluruhan. Pengawetan dengan konsentrasi terendah yang diujikan yaitu 10%
larutan biang menunjukkan penerimaan tertinggi untuk pengawetan dengan
metode perendaman dan perebusan. Berdasarkan uji mikrobiologi dan
organoleptik, metode pengawetan dan konsentrasi yang memenuhi target
penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang adalah metode perendaman dengan
konsentrasi minimal 15% larutan biang dan metode perebusan dengan
konsentrasi 10% larutan biang. Biaya pengawetan dengan metode perendaman
adalah Rp.360,00 per kg bakso dan dengan metode perebusan Rp.516,92 per kg
bakso.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1986


di Bukittinggi. Penulis adalah putra pertama dari
pasangan Bapak Yoer Sofyan dan Ibu Elisri Nelhuda.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD
Negeri 30 ATTS, Bukittinggi pada tahun 1993-1999,
kemudian melanjutkan studi di SLTP Negeri 4
Bukittinggi pada tahun 1999-2002 dan di SMA Negeri 5
Bukittinggi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005,
penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB) dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dibidang akademik dan
non akademik. Dibidang non akademik, penulis aktif dalam berbagai
keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti penulis
adalah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang) sebagai BPA (Badan
Perwakilan Anggota) periode 2006-2007 dan sebagai Ketua pada periode 2008-
2009, HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai
Staff Departemen Hubungan Luar periode 2007-2008, dan Food Processing Club
pada divisi Ice Cream. Beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti adalah
sebagai Ketua Pelaksana Baur (Masa Perkenalan Departemen dan Himpunan
Mahasiswa ITP) pada tahun 2007 dan sebagai staff Public Relation HACCP pada
tahun 2007.
Penulis juga pernah menjadi trainer pembuatan produk sari buah dan mi
jagung tahun 2008, menjadi penyuluh keamanan pangan pada tahun yang sama.
Menjuarai cabang basket pada Olimpiade Fateta dari tahun 2006-2009.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi
Pertanian, penulis telah menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di
laboratorium ITP FATETA IPB mulai bulan Desember 2008 sampai bulan Mei
2009, dengan judul Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum
LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat di bawah bimbingan Dr. Ir.
Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. STP, MT
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Studi
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan
Bakso dengan Asam Asetat, Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah
dilakukan penulis di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah banyak memberikan bantuan, baik moril, materi dan waktu kepada :
1. Mama dan Ayah tercinta yang telah memberikan dukungan penuh
terhadap pendidikan kami baik moril dan materil selama ini, Rifqi, Arif
yang memberi semangat dan Nenek untuk kasih sayangnya.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik
pertama, yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan, terutama
selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Tjahja Muhandri STP, MT, yang telah bersedia menjadi dosen
pembimbing akademik kedua dan memberikan arahan serta bimbingan
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum M. Sc. yang telah bersedia menjadi
dosen penguji dan memberi masukan untuk penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang
telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan
menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.
6. Sari Sulistyawati dan Try Aprianti Utami, yang telah memberikan
perhatian, dukungan, dan semangat selama ini.
7. Teman-teman terbaik selama di ITP 42 yaitu Aji, Ardi, Wiwi, Hesti, Haris,
Midun, Beqi, Caca, Fera, Fuad, Juju, Nina, Umam, Ikhwan, Wahyu,

Venty, Muji, Tyu, Adi Leo, Santi, Galih, Arya, Suhe, Olo dan teman-
teman ITP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
8. Muji, Nina, Tyu, Kak Cici, Dody dan Indi, teman-teman sebimbingan
yang senasib dan sepenanggungan di ITP, dan telah banyak membantu dari
awal penelitian sampai skripsi ini selesai.
9. Teman-teman Sarang Rayap, Aji, Haris, Juju, Fuad dan Mas Bowo.
10. Para Laboran yang sangat membantu selama penelitian, Pak Sobirin, Pak
Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu Antin,
Mba Ida dan Mba Ari.
11. Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 42, 43, 44 atas kebersamaannya
selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

Bogor, Oktober 2009

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... iii
DAFTAR TABEL........................................................................... v
DAFTAR GAMBAR....................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................... viii
I. PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG............................................................... 1
B. TUJUAN.................................................................................... 3
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN..................... 3
D. MANFAAT PENELITIAN....................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
A. ASAM ORGANIK ................................................................. 4
B. REMPAH.................................................................................. 8
C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)............................. 9
D. EKSTRAKSI ............................................................................ 12
E. BAKSO...................................................................................... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN...................................................... 19
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................... 19
B. METODE PENELITIAN ......................................................... 19
1. Penelitian Pendahuluan ...................................................... 20
2. Penelitian Utama ................................................................ 21
C. PERLAKUAN............................................................................ 24
1. Metode Pengawetan............................................................... 24
2. Konsentrasi Larutan Pengawet............................................... 24
3. Kondisi Pengemasan.............................................................. 25
D. PENGAMATAN........................................................................ 25
1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum
(AOAC 925.45,1999)..................... 25
2. Rendemen Ekstraksi................................................... 26

iii
3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)............................ 26
4. Warna (Pomeranz et. al., 1978).............................................. 26
5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)................... 27
6. Tekstur (Penetrometer)........................................................... 28
7. Total Mikroba (Fardiaz, 1992)............................................... 29
8. Pendugaan Umur Simpan Secara Visual................................ 29
9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)......................................... 29
10. Analisis Biaya......................................................................... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 31
A. PENELITIAN PENDAHULUAN............................................. 32
1. Ektraksi Bawang Putih......................................................... 32
2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih
sebagai Larutan Biang........................................................... 35
3. Pengaruh Pegawetan terhadap Umur Simpan Bakso........ 36
B. PENELITIAN UTAMA ............................................................ 39
1. Mikrobiologi......................................................................... 39
2. Derajat Keasaman (pH)......................................................... 42
3. Total Asam Tertitrasi............................................................. 48
4. Tekstur................................................................................... 52
5. Warna..................................................................................... 57
6. Uji Organoleptik.................................................................... 64
7. Analisis Biaya....................................................................... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 75
A. KESIMPULAN............................................................................ 75
B. SARAN........................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 77
LAMPIRAN .................................................................................... 82

iv
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan
(ICSMF, 1982).......................................................................... 5
Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat
dikonsumsi per hari oleh manusia................................. 6
Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat
mikroorganisme.................................................................... 7
Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat......................................................... 8
Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi.................................. 11
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi........... 13
Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI.............. 18
Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso..................................................... 18
Tabel 9. Intrepretasi nilai oHue............................................................... 27
Tabel 10. Kadar air bawang putih............................................................. 34
Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air
Bawang putih............................................................................. 34
Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan
kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih..................... 36
Tabel 13. Pengaruh metode pengawetan dan konsentrasi larutan
pengawet terhadap TPC............................................................ 39
Tabel 14. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi
terhadap nilai pH selama penyimpanan....................................... 44
Tabel 15. Pengaruh perebusan baksodengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan........ 46
Tabel 16. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan 49
Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan.................... 51

v
Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan................... 61
Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan.............. 63
Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan.......................... 72
Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih 72
Tabel 22. Pembuatan larutan biang dan pertambahan nilai per kg bakso.. 73

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Bawang Putih............................................................................ 10
Gambar 2. Struktur kimia Allisin............................................................... 11
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih........................................ 22
Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat
dan ekstrak bawang putih........................................................ 23
Gambar 5. Diagram alir penelitian utama ...................................... 24
Gambar 6. Hasil ekstraksi dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksana 33
Gambar 7. Umur simpan bakso berdasarkan pengamatan visual............... 37
Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi
terhadap nilai pH selama penyimpanan.................................... 43
Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai pH selama
penyimpanan............................................................................ 45
Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan 48
Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan.... 50
Gambar12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan 53
Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan.... 55
Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan 58
Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap derajat hue selama
penyimpanan............................................................................. 60
Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kecerahan selama
penyimpanan............................................................................. 62
Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap derajat hue selama
penyimpanan............................................................................. 63
Gambar 18. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap penerimaan panelis.................... 65
Gambar 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap penerimaan
panelis....................................................................................... 68

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Form Uji Organoleptik........................................... 82
Lampiran 2. Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan............ 83
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan
perendaman pada hari ke-0..................................................... 84
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol H0-H1.... 84
Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10%
H0-H4.................................................................................... 85
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15%
H0-H4.................................................................................... 86
Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 20%
H0-H4.................................................................................... 87
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan
perebusan pada H-0................................................................ 88
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10%
H0-H4.................................................................................... 89
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15%
H0-H4.................................................................................... 90
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 20%
H0-H4.................................................................................... 91
Lampiran 12. Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan
perendaman............................................................................. 92
Lampiran 13. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan
perendaman H-0...................................................................... 93
Lampiran 14. Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1....................... 94
Lampiran 15. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10%
H0-H4.................................................................................... 95
Lampiran 16. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15%
H0-H4.................................................................................... 96
Lampiran 17. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20%
H0-H4.................................................................................... 97
Lampiran 18. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan
perebusan H-0........................................................................ 98
Lampiran 19. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10%
H0-H4.................................................................................... 99
Lampiran 20. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 15%
H0-H4.................................................................................... 100
Lampiran 21. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 20%
H0-H4.................................................................................... 101

vii
Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan
(celup dan rebus).................................................................... 102
Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol
dan perendaman H0................................................................. 102
Lampiran 24. Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol
H0-H1..................................................................................... 103
Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 10% H0-H4......................................................... 104
Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 15% H0-H4......................................................... 105
Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 20% H0-H4......................................................... 106
Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol
dan perebusan H0................................................................... 107
Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 10% H0-H4........................................................... 108
Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 15% H0-H4........................................................... 109
Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 20% H0-H4........................................................... 110
Lampiran 32. Data warna kontrol dan perlakuan (perendaman dan
perebusan).............................................................................. 112
Lampiran 33. Nilai 0hue kontrol dan perlakuan (perendaman dan
perebusan).............................................................................. 112
Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan
perendaman H0....................................................................... 113
Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness bakso kontrol H0-H1................ 113
Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 10% H0-H4......................................................... 114
Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 15% H0-H4......................................................... 115
Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 20% H0-H4......................................................... 116
Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan
perebusan H0......................................................................... 117
Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perebusan 10% H0-H4........................................................... 118
Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perebusan 15% H0-H4........................................................... 119
Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perebusan 20% H0-H4........................................................... 120

viii
Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso
perendaman......................................................................... 121
Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso
perendaman......................................................................... 122
Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso
perendaman......................................................................... 123
Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso
perebusan............................................................................ 124
Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso
perebusan............................................................................. 125
Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso
perebusan.............................................................................. 126
Lampiran 49. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan
perendaman.......................................................................... 127
Lampiran 50. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan
perendaman.......................................................................... 127
Lampiran 51. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol
dan perebusan....................................................................... 128
Lampiran 52. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan
perebusan.............................................................................. 129
Lampiran 53. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan
perebusan.............................................................................. 129
Lampiran 54. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol
dan perebusan....................................................................... 130

ix
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengawet termasuk ke dalam salah satu kategori bahan tambahan
pangan, namun dalam penggunaannya sering terjadi pelanggaran seperti
penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat atau penggunaan bahan lain yang
bukan bahan tambahan pangan. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang
RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kurangnya pengetahuan, efektifitas,
dan harga dari pengawet, mempengaruhi pemilihan bahan pengawet untuk
digunakan.
Keberadaan mikroorganisme di alam tersebar luas sehingga produk
pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis
mikroba (Rahmawati, 2004). Mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan
kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba
pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen
atau akibat toksin yang dihasilkan sebagai produk sekunder metabolismenya,
sehingga keberadaan mikroba sangat berpengaruh terhadap umur simpan dan
tingkat keamanan produk pangan saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroba produk berada dalam batas aman,
seperti angka lempeng total bakso menurut SNI yaitu maksimal 1x105
koloni/gram.
Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet
karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat
pada umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada
suhu kamar. Menurut survei yang dilakukan Andayani (1999), sebagian besar
konsumen bakso adalah pelajar dan mahasiswa yang merupakan usia
produktif (usia di bawah 21 tahun), sehingga keamanan bakso sebagai bahan
pangan yang sering dikonsumsi oleh konsumen usia produktif ini perlu
diperhatikan. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati
netral, kadar air dan Aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya
relatif singkat yaitu sekitar 12 jam sampai 1 hari, sehingga banyak produsen
atau pedagang bakso menggunakan bahan pengawet untuk memperpanjang
umur simpan bakso, bahkan menggunakan pengawet yang dilarang seperti
1

boraks dan formalin. Boraks dan formalin diketahui dapat menyebabkan


penyakit degeneratif seperti kanker, apabila terakumulasi di dalam tubuh
dalam waktu yang lama.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan perhatian masyarakat
terhadap keamanan makanan yang mereka konsumsi, penelitian telah banyak
diarahkan untuk menemukan bahan pengawet baru yang dapat mengawetkan
produk pangan dengan baik dan aman bagi kesehatan. Saat ini sedang
dikembangkan metode pengawetan dengan menggunakan asam-asam organik,
karena dengan menurunkan pH menciptakan lingkungan yang tidak disukai
oleh mikroba untuk tumbuh. Asam organik yang sering digunakan untuk
mengawetkan seperti asam askorbat, asam asetat, asam sitrat, dan asam laktat.
Asam organik yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat (cuka
pasar).
Rempah digunakan sebagai pemberi citarasa yang khas pada produk
kulinari dan telah banyak penelitian berusaha membuktikan bahwa rempah
juga dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan alami. Hasil
penelitian menunjukkan sifat antibakteri dan antioksidan rempah memang ada
tetapi masih kurang efektif dibandingkan dengan senyawa sintetis yang
beredar di pasaran. Penggunaan rempah pada penelitian ini dititikberatkan
kepada sifat rempah yang memiliki citarasa yang kuat dan khas, digunakan
untuk menutupi rasa asam dari asam organik, dan tidak mempengaruhi sifat
antimikroba dari asam organik itu sendiri. Rempah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum LINN) yang merupakan
ingredien umum dalam pembuatan bakso.
Pembuatan pengawet yang merupakan paduan antara asam asetat
(cuka pasar) dan ekstrak bawang putih diharapkan efektif meningkatkan umur
simpan bakso dan penggunaannya lebih murah secara ekonomi dibandingkan
dengan pengawet sintetik yang beredar di pasaran dan diterima secara sensori,
sehingga penggunaan pengawet yang dilarang dan membahayakan kesehatan
dapat dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan dari tengah masyarakat.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan :
1. Tujuan umum:
a. Memperoleh bahan pengawet yang sesuai untuk bakso
b. Menemukan bahan pengawet yang efektif untuk mengawetkan produk
pangan sehingga dapat menggantikan bahan pengawet yang dilarang.
c. Menemukan bahan pengawet yang murah sehingga dapat diaplikasikan
oleh industri-industri kecil.
2. Tujuan khusus:
a. Menemukan bahan pengawet yang dapat mengawetkan bakso minimal
empat hari penyimpanan dalam suhu ruang.
b. Menemukan rempah yang dapat menutupi rasa asam dari asam organik
yang digunakan.
c. Memperoleh kombinasi yang tepat antara rempah dan asam organik
sehingga pengawet yang dibentuk tidak terasa asam dan tetap memiliki
aktivitas antimikroba.
d. Menemukan bahan pengawet yang diterima oleh konsumen secara
organoleptik

C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN


Penggunaan kombinasi antara asam asetat dan ekstrak bawang putih
mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang
selama empat hari dan diterima secara sensori.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan bahan pengawet
yang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, meningkatkan
umur simpan, dapat diaplikasikan oleh produsen bakso, tidak berdampak
negatif terhadap kesehatan, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan
pengawet makanan yang beredar sekarang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ASAM ORGANIK
Asam organik adalah asam yang secara alami dihasilkan oleh tumbuh-
tumbuhan dan makhluk hidup. Sifat antimikroba asam organik disebabkan
kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba dan
pengaruhnya terhadap pH. Beberapa asam organik yang sering digunakan
untuk makanan yaitu asam sitrat, asam laktat, asam askorbat, asam
propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam asetat. Kisaran pH
menentukan jenis mikroorganisme yang tumbuh pada suatu lingkungan,
sehingga pengaturan pH akan mempengaruhi pertumbuhan dari
mikroorganisme. Nilai pH menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh
dominan pada suatu produk pangan, karena setiap mikroorganisme memiliki
toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai pH, misalnya kapang yang masih
dapat tumbuh pada pH 4.0 (Doores, 1993), sedangkan bakteri tumbuh pada
pH mendekati netral yaitu pH 6.5-7.5 (Davidson et al., 2005).
Penurunan pH dilakukan dengan penambahan asidulan atau dengan
fermentasi alami. Pengasaman atau penambahan asidulan cenderung bersifat
mikrostatik atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme daripada bersifat
mikrosidal atau membunuh mikroorganisme. Pemberian asam organik
diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan
bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine, 1992).
Pemilihan dan penggunaan asam organik perlu mempertimbangkan
banyak faktor. Beberapa faktor pertimbangan dalam pemilihan asam organik
yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi
produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain asam organik; tipe,
karakteristik dan jumlah mikroba di dalam produk; aspek legalitas dan
keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa
antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk.
Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba di dalam bahan
pangan juga tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman),
polaritas, komposisi nutrisi di dalam bahan pangan, juga tergantung pada

faktor lainnya seperti suhu, metode pengawetan, proses pengolahan,


pengemasan, dan penanganan pasca pengolahan.
Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan
makanan didasarkan atas kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada
bahan pangan dan toksisitasnya yang rendah. Asam organik kebanyakan
mudah larut dalam air, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Menurut
FAO/WHO (ICMSF, 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan
pengawet makanan yang dianggap aman.
Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan
(ICMSF, 1980)
Konsentrasi
Solubilitasa ADb maksimum yang
Asam pKa
(g/100g) (mg/kg berat digunakan
organik
badan) (mg/kg)

Asam asetat 4.75 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas

Asam sitrat 3.1 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas

Asam laktat 3.1 Mudah larut Tidak Terbatas Tidak Terbatas

Asam sorbat 4.8 0.16 (20oC) 25 1-2000

a
Keterangan : Solubilitas dalam air
b
Jumlah yang dapat dimakan per hari (FAO/WHO, 1979)

Asam organik telah sering digunakan sebagai pengawet untuk makanan,


karena selain memiliki aktivitas antimikroba, asam organik tersebut aman
untuk dikonsumsi karena bersifat food grade. Penggunaan beberapa jenis
asam organik pada makanan sebagai bahan pengawet memiliki batas
maksimal penggunaan. Batas maksimal penggunaan beberapa asam organik
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per
hari oleh manusia

Batasan
No Asam Organik
(mg/kg berat badan)
1 Asam asetat Tidak terbatas
2 Sodium diasetat 0-15
3 Asam fumarat 0-6
4 Asam laktat Tidak terbatas
5 Asam propionat Tidak terbatas
6 Asam tartarat 0-30
Sumber : Doores (1993)

Keberhasilan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme sangat


dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme, jenis dan konsentrasi asidulan, waktu
kontak, kapasitas buffer pada makanan, dan kondisi lain pada makanan yang
mampu meningkatkan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tersebut
(Doores, 1993). Konsentrasi hambatan asam organik terhadap pertumbuhan
mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3.
Aktivitas antimikroba asam organik ditentukan oleh besarnya
persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan
dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam merupakan
bentuk yang tidak terurai. Masing-masing jenis asam organik memiliki nilai
pKa yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 1 (ICMSF, 1980).Nilai
pKa akan menentukan kisaran pH efektif dari asam organik untuk dapat
bersifat mikrostatis.
Bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka banyaknya persentase
molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan
sebagai antimikroba juga akan meningkat. Kemampuan asam sebagai anti
mikroorganisme didasarkan atas dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH
lingkungan dan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi untuk
meracuni mikroba (Buckle et al., 1987).
Proses penghambatan dari asam tidak terdisosiasi yang merupakan
asam organik adalah dengan berpenetrasi ke dalam membran sel dengan
6

mudah karena sifat lipofilik dari rantai karbon pada asam organik. Di dalam
sel, asam organik akan terdisosiasi karena pH di sitoplasma yang netral,
disosiasi asam organik menurunkan pH di sitoplasma. Sel harus
mempertahankan netralitas pH di dalam sitoplasma agar tidak terjadi
perubahan bentuk dari protein, enzim, asam nukleat dan fosfolipid. Proton
yang dihasilkan dari disosiasi asam organik harus dikeluarkan dari dalam sel,
proses pengeluaran proton dari sitoplasma sel menggunakan ATP sebagai
sumber energi karena melawan gradien konsentrasi, sehingga pada akhirnya
sel akan kehabisan energi (ATP) dan tidak dapat tumbuh (Davidson et al.,
2005).
S. aureus adalah bakteri yang paling sensitif terhadap asam asetat,
diikuti oleh asam sitrat, asam laktat, asam malat, asam tartarat, dan asam
hidroklorat (Nunheimer dan Fabian 1940 di dalam Davidson et al., 2005).
Anderson dan Marshall (1989) di dalam Davidson et al., (2005) menunjukkan
penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi jumlah bakteri
pada daging sebesar 99.6%.
Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme
Asam organik Asam tidak terdisosiasi yang diperlukan untuk menghambat (%)
Bakteri Gram Bakteri
Ragi Kapang
positif Gram negatif
Asam asetat 0.1 0.05 0.5 0.1
Asam 0.1 0.05 0.2 0.05
propionat
Asam laktat >0.03 >0.01 >0.01 >0.01
Sumber : Ray dan Sandine (1992)

Asam asetat merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan


memiliki bau asam yang menusuk. Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol,
lemak, dan gliserol. Selain itu asam jenis ini juga dikenal sebagai pelarut
yang baik untuk bahan organik (Marshall et al., 2000). Asam asetat selain
digunakan sebagai sanitaiser, juga dapat digunakan pada makanan sebagai
penegas rasa, penegas warna, bahan pengawet, penyelubung after taste yang
tidak disukai, dan sebagai bahan pengembang (Winarno, 1997). Sifat dari
asam asetat dapat dilihat pada Tabel 4.
7

Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat


No Sifat Fisik Karakteristik
1 Rumus Kimia CH3COOH
2 Berat Molekul 60.03
3 Aspek Fisik Cairan tidak berwarna
4 Titik Didih 119oC
5 Titik Beku 16.6oC
6 Konstanta Ionisasi 1.75 x 10-5
7 Bau Menyengat
8 Rasa Asam
9 Kelarutan Larut dalam air, alkohol, gliserin
10 Commercial grades Larutan aqueous 99.5 % dan 36 %
11 Densitas larutan 99.5 % 1045 g/l
12 Densitas larutan 36 % 376 g/l
13 pH larutan 1 % 2.78
Sumber : Furia (1972)

Asam asetat termasuk ke dalam gugus asam karboksilat. Asam


karboksilat berwujud cairan tidak berwarna dengan bau tajam atau tidak enak
(Hart, 2003). Asam karboksilat tergolong polar dan larut air disebabkan
gugus hidrogen pada molekul asam yang berbobot molekul rendah seperti
asam asetat. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat menghambat
pertumbuhan mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah.
Asam asetat memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
asam asetat sebagai sanitaiser antara lain : 1) termasuk kelompok GRAS
(Generally Recognize As Safe) sehingga aman digunakan pada makanan; 2)
harganya relatif murah; 3) memiliki toksisitas yang rendah (Marshall et al.,
2000). Kekurangan asam asetat adalah bau dan rasanya yang asam, sehingga
sebelum digunakan asam asetat ini biasanya diencerkan terlebih dahulu. Sifat
hidrofilik yang dimiliki asam asetat juga mendukung proses pengawetan,
karena fase air merupakan tempat mikroorganisme tumbuh.

B. REMPAH
Rempah-rempah adalah bahan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa
dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberi aroma atau flavor
dan membangkitkan selera makan. Rempah-rempah diklasifikasikan menjadi

4 kategori, yaitu: 1) species Aromata yaitu rempah-rempah yang digunakan


sebagai wangi-wangian, seperti kapulaga, kayu manis, dan sweet marjoram;
2) species Thumiamata yaitu rempah yang digunakan untuk dupa dan
kemenyan, seperti thyme, kayu manis, dan rosemary; 3) species Condimenta
yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk pembalseman dan pengawetan,
seperti kayu manis, jinten, adas, cengkeh, dan sweet marjoram; 4) species
Theriaca yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk menetralkan racun,
seperti adas, ketumbar, bawang putih, dan oregano (Farrel, 1985).
Peran rempah sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari
kemampuan rempah yang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan.
Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu
pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan
pembusuk makanan (Pelczar dan Reid, 1972). Antioksidan adalah senyawa
yang dapat menghambat terjadinya proses oksidasi.
Menurut Ardiansyah (2007), efek penghambatan senyawa antimikroba
dari rempah-rempah tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi
dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan
Sacharomyces cerevisiae. Komponen-komponen aktif pada minyak thyme,
minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak
cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0.5-2.0 mg/mL.

C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)


Bawang putih termasuk famili Liliaceae, ordo Liliflorae, kelas
Monocotyledone, Genus Allium, dan spesies Sativum (Wibowo, 1991).
Menurut Morton dan Macleod (1982), bawang putih merupakan umbi
tanaman yang berukuran kecil dan sedikit keras, warnanya berbeda-beda
(putih, merah muda, dan kuning) tergantung varietasnya. Bawang putih
termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung bersusun. Bawang
putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm,
mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian
daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Bawang putih pada
awalnya merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, namun sekarang di
Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah (Anonima, 2005).
9

Di bidang pangan, bawang putih banyak digunakan sebagai penyedap


masakan, sedangkan di bidang farmasi bawang putih digunakan sebagai
bahan pencampur obat-obatan. Bawang putih digunakan untuk mencegah
infeksi lanjut pada penyakit batuk dan sebagai disinfektan bagi sejumlah
penyakit (Farrell, 1985).

Gambar 1. Bawang Putih

Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992, bawang putih adalah umbi


tanaman bawang putih (Allium sativum Linn.) yang terdiri dari siung-siung,
kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang
putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dengan air sebagai komponen
dengan jumlah terbesar. Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada
Tabel 5.
Bawang putih mempunyai karakter bau sulfur yang khas yang akan
keluar setelah bawang putih dipotong atau dihancurkan. Bawang putih
mengandung minyak volatil kurang dari 0.2% (w/w). Komponen-komponen
yang terdapat dalam minyak bawang putih adalah dialil disulfida (60.0%),
dialil trisulfida (20.0%), alil propil disulfida (6.0%), dietil disulfida, dialil
polisulfida, alinin, serta allisin dalam jumlah kecil (Farrell, 1985).
Menurut Guenther (1952), allisin tidak terdapat pada umbi bawang
putih yang utuh, tetapi dalam bentuk prekursor yang tahan panas yaitu alliin.
Senyawa alliin sendiri tidak mempunyai sifat bakterisidal. Pada saat umbi
bawang putih dihancurkan allisin akan terbentuk dari alliin dengan bantuan
dari enzim alliinase. Hal ini terjadi karena alliin dan enzim alliinase berada di
dalam kompartemen sel yang berbeda, ketika bawang putih dihancurkan
kompartemen ini pecah, substrat alliin dan enzim alliinase akan membentuk

10

produk yaitu allisin. Allisin selanjutnya akan terdekomposisi menjadi dialil


sulfida dan sulfida-sulfida lain pada destilasi uap dengan tekanan atmosfer.
Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi
Komposisi Jumlah (per 100g)
Protein 4.5 g
Lemak 0.20 g
Karbohidrat 23.10 g
Vitamin B1 0.22 g
Vitamin C 15 mg
Kalori 95 kal
Fosfor 134 mg
Kalsium 42 mg
Besi 1 mg
Air 71 g
a
Sumber : Anonim (2005)

Bawang putih termasuk salah satu rempah yang telah terbukti dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Golongan senyawa yang
diperkirakan memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti
allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan
senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa yang mengandung
2 atom belerang yang saling berikatan rangkap dengan atom oksigen seperti
allisin.

CH2=CHCH2S-SCH2CH=CH2

O
Gambar 2. Struktur kimia Allisin

Struktur kimia allisin dapat dilihat pada Gambar 2. Allisin adalah


komponen utama hasil degradasi secara enzimatis dari prekursor pembentuk
citarasa (Alliin) bawang putih yang tidak stabil dan sangat reaktif yang
disebabkan lemahnya ikatan S-S (Block, 1992). Kestabilan senyawa
tiosulfinat tergantung dari pelarut, suhu, konsentrasi, dan kemurnian.
11

Tiosulfinat mengalami beberapa perubahan yang tergantung pada suhu, pH,


dan kondisi pelarut untuk membentuk senyawa yang lebih stabil, seperti
disulfida, trisulfida, alilsulfida, vinil dithiins, ajoene, dan merkaptosistein
(Nagpurkar et al., 2000).
Allisin (dialil tiosulfinat) pertama kali ditemukan oleh Cavalito dan
Bailey pada tahun 1944. Sifat-sifatnya antara lain tidak stabil terhadap panas,
stabil dalam asam dan basa pada konsentrasi rendah, larut air (2.5% pada
10oC), tidak larut dalam larutan karbon alifatik (n-heksan) (Whitmore dan
Naidu, 2000). Allisin adalah cairan kuning berminyak, berbau tajam, bersifat
sangat reaktif, sedikit larut air, larut alkohol dan merupakan oksidator kuat.
Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik,
terutama pelarut polar, namun kurang larut dalam air. Komponen larut air
allisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya.
Amagase et al., (2001) mengemukakan bahwa allisin hanyalah sebuah
senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa
sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Diallil sufida merupakan
komponen yang paling dominan dalam bawang putih (Fenwick dan Hanley,
1985) dan merupkan komponen yang sangat menentukan citarasa dan aroma
bawang putih. Menurut Purnowati et al., (1992), allisin adalah komponen
terbesar yang menentukan rasa bawang putih segar, sedangkan disulfida dan
trisulfida mendukung bau bawang putih yang dimasak.
Suharti (2004) meneliti tentang sifat antibakteri bawang putih terhadap
Salmonella typhirium. Hasilnya adalah serbuk bawang dengan konsentrasi
5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang setara dengan tetrasiklin
100 g/ml. Whitmore dan Naidu (2000) mengemukakan bahwa allisin dalam
bawang putih dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak untuk menghambat
mikroba pada medium cair dibandingkan dengan medium padat.

D. EKSTRAKSI
Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa
pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang saling tidak
bercampur. Menurut Harborne (1987), ektraksi adalah proses penarikan
komponen atau zat aktif suatu contoh dengan menggunakan pelarut tertentu.
12

Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari


bahan yang mengandung komponen aktif.
Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan.
Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain
yang diinginkan (Nielsen, 2003). Pemilihan metode ekstraksi senyawa
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan
zat aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Karakteristik beberapa
pelarut organik untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi
pelarut polaritas konstanta titik didih kelarutan
()a) dielektrik (oC) a) dalam air
(Debye)b) (%)b)
karbondioksida 0,00 - -56,60 -
pentana 0,00 1,84 36,20 0,01
heksana 0,00 2,00 68,70 0,01
toluena 0,29 2,40 11,06 0,05
benzena 0,32 2,30 80,10 0,06
etil asetat 0,38 6,00 77,10 9,80
aseton 0,47 20,70 56,20 larut
propan-2-ol (IPA) 0,63 18,30 82,30 larut
etanol 0,68 24,30 78,30 larut
metanol 0,73 32,60 64,80 larut
air 0,90 78,50 100,00
Sumber : a)Moyler (1995); b)Houghton dan Raman (1998)

Proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung


dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan
pelarut. McCabe dan Smith (1974) menyatakan bahwa metode yang
digunakan untuk melarutkan komponen yang larut dari zat padat yang tidak
dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu disebut dengan leaching
atau ekstraksi padat/ cairan (solid/liquid extraction). Ekstraksi dengan pelarut
dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga
komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpes, 1954).

13

Proses pemindahan komponen bioaktif dari bahan ke pelarut dapat


dijelaskan dengan teori difusi, proses difusi merupakan pergerakan bahan
secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki
konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah
(Danesi, 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan
padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir
apabila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan terjadi
apabila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan
konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini tercapai
dengan cepat atau lambat tergantung dari struktur zat padatnya.
Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke permukaan
padatan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari
dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan
massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses ini berlangsung secara
seri. Bila salah satu proses berlangsung lebih cepat maka kecepatan ekstraksi
ditentukan oleh proses yang lebih lambat, tetapi bila kedua proses
berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan
reaksi tergantung dari kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997).
Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan
dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin
komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut
yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan
tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena
persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul
yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa
kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif
sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar
dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982).
Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh konstanta dielektriknya, semakin
besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar komponen
tersebut.

14

Penggunaan metode ekstraksi yang akan dilakukan bergantung pada


beberapa hal, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat
komponen yang akan diekstraksi, dan sifat pelarut yang diinginkan (Hougton
dan Raman, 1998). Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi
dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh oleh lama
ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat
kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna
proses ekstraksi.
Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi
dengan pelarut organik secara bertingkat atau disebut dengan ekstraksi
bertingkat. Menggunakan metode maserasi atau dengan perendaman bahan
menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bertingkat dilakukan dengan
menggunakan beberapa pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran, dimulai
dengan pelarut non-polar ke pelarut polar. Hal-hal yang perlu diperhatikan
mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar,
(2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3)
pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam
ataupun basa (Achmadi, 1992).
Penelitian ini menggunakan pelarut non-polar yaitu heksana yang
berfungsi melarutkan lemak, heksana merupakan hidrokarbon alkana dengan
rumus molekul C6H14, pelarut semi-polar yaitu etil asetat dengan rumus
molekul C4H8O2, dan pelarut polar yaitu etanol dengan rumus molekul
C2H5OH yang bersifat volatil.

E. BAKSO
Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan
berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging
tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan
Tambahan Pangan yang diizinkan. Menurut Tarwotjo et al. (1971), Bakso
berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak
dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat
protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya
maksimal 12%.
15

Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan


pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso merupakan
produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang
(Widyaningsih, 2006). Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging
sapi. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung yang digunakan, Elviera
(1988) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging,
bakso urat, dan bakso aci. Bakso juga dapat dikelompokkan berdasarkan
daging yang digunakan, seperti bakso sapi, bakso ikan, bakso babi, dan bakso
ayam.
Proses pembuatan bakso dibagi menjadi 4 tahap yaitu penghancuran
daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Bahan-bahan yang
digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi,
garam, es, dan ingredien lain (seperti bawang putih, MSG, merica).
Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim, 1992).
Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding
capacity masih tinggi (jumlah ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar
protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase
berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan
menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging
fase pre rigor, akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan
bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang
umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting karena
kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tapi tidak mempunyai
kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1)
memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3)
memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich,
1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam
berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama
perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks
yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Jumlah
garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam
penggilingan daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama

16

penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi (lebih dari 15-20oC) akan
menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson, 1981). Selain itu es juga berfungsi
memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering,
dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10%-15% dari berat
daging, atau bahkan 30% dari berat daging.
Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk
sistem emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein
yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma
yang larut air, (2) aktin miosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti
mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981).
Karakteristik bakso sapi yang disukai oleh konsumen berdasarkan
survei yang dilakukan Andayani (1999) adalah rasanya gurih (sedang), agak
asin, rasa daging kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging
rebus, teksturnya empuk dan kenyal, bentuk bulat dengan ukuran sedang
(diameter 3 -5 cm). Syarat mutu bakso menurut SNI dapat dilihat pada Tabel
7.
Banyak pengusaha bakso yang ingin meningkatkan produksinya
terbentur masalah keawetan dari produk bakso yang hanya berkisar 12 jam
dan maksimal 1 hari pada suhu ruang, sehingga mereka menggunakan bahan
yang dapat memperpanjang umur simpan dari bakso, termasuk penggunaan
bahan pengawet yang dilarang seperti penggunaan boraks dan formalin.
Menurut Sendih (1998), 63% pedagang bakso di kota Bogor menggunakan
formalin untuk mengawetkan bakso. Penilaian mutu bakso dapat dilakukan
dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Menurut Wibowo
(2005), kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui berdasarkan lima
parameter sensori utamanya seperti tercantum pada Tabel 8. Bakso memiliki
kadar air dan Aw yang tinggi yaitu 80% dan 0.99 sehingga rentan terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh mikroorganisme. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan
berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.

17

Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI


No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Air % b/b Maks. 70.0
2 Abu % b/b Maks. 3.0
3 Protein % b/b Min. 9.0
4 Lemak % b/b Maks. 2.0
5 Boraks - Tidak boleh ada
6 Cemaran mikroba - -
6.1 Angka Lempeng Total Koloni / g Maks. 1.0 x 105
6.2 Escherichia coli APM / g <3
6.3 Staphylococcus Koloni / g Maks. 1.0 x 102
aureus
Sumber : SNI No. 01-3818-1995

Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso


Parameter Ciri-ciri
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak
berjamur, tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau
abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang
mengganggu (jamur).
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau
tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup
tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak
basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2005.
18

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakso dan bawang
putih (Allium sativum LINN). Senyawa organik yang digunakan yaitu asam
asetat (CH3COOH) merupakan cuka pasar. Bahan-bahan yang digunakan
dalam proses ekstraksi adalah pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat,
pelarut teknis etanol. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi
yaitu media PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer (buffer fosfat,
KH2PO4), alkohol 70%, dan aquades. Bahanbahan yang digunakan untuk
analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0,1N, asam potasium phtalate
(KHP), dan indikator phenoftalein (PP).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pisau,
pengaduk, penyaring, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam
analisis adalah oven, oven vakum, pH meter, stomacher, bunsen, inkubator,
rotary vaccum evaporator, penyaring vakum, shaker, buret, erlenmeyer, gelas
piala, Chromameter, Texture Analyzer, cawan petri, mikro pipet, gelas ukur,
balep, tabung reaksi, tabung pengencer, autoklaf, dan labu takar.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan pelarut
yang efektif untuk ekstraksi komponen citarasa dari bawang putih dan
menentukan fraksi yang mampu menghilangkan atau mereduksi rasa asam
dari asam asetat, yaitu fraksi polar, semi-polar, non-polar, atau kombinasi
ketiga fraksi tersebut, juga membandingkan rendemen ekstraksi dari masing-
masing pelarut.
Penelitian dilanjutkan dengan penentuan formula dari ekstrak bawang
putih dan asam asetat yang dapat mengurangi rasa dan aroma asam, dilakukan
dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih dengan asam asetat pada
berbagai perbandingan. Formula larutan biang juga diujikan terhadap bakso
untuk melihat pengaruh larutan biang terhadap umur simpan bakso.

19

Pengawetan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan perendaman


dan perebusan. Pada penelitian utama, dilakukan penentuan konsentrasi
terbaik dari asam asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian dilakukan
terhadap bakso perlakuan dengan beberapa konsentrasi larutan pengawet.
Pengamatan dilakukan terhadap bakso yang telah diberi perlakuan, untuk
mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama empat hari penyimpanan.
1. Penelitian Pendahuluan
Ekstraksi bawang putih dilakukan dengan ekstraksi bertingkat metode
maserasi (perendaman) menggunakan pelarut yang berbeda-beda tingkat
kepolarannya, kemudian dinilai keefektifan dan rendemen ekstraksinya.
Pelarut terpilih digunakan untuk ekstraksi bawang putih selanjutnya.
Bawang putih dibersihkan lapisan luarnya, diiris melintang, dan
kemudian dikeringkan dengan oven vakum suhu 600C tekanan 400 mmHg
selama 3 jam. Pengeringan dilakukan untuk mencegah kandungan air yang
terlalu tinggi pada ekstrak.
Selanjutnya bawang putih dihancurkan dengan blender sehingga
diperoleh bawang putih yang telah menjadi potongan-potongan atau bentuk
yang lebih kecil. Semakin halus hancuran bawang putih maka semakin luas
permukaan yang kontak dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat
berlangsung lebih efektif dan cepat. Metode ekstraksi ini berdasarkan
penelitian Leomitro (2007) yang mengekstraksi biji Lotus (Nelumbium
nelumbo). Perbandingan bawang putih dengan pelarut adalah 1:4, yaitu 60
g bawang putih dengan 240 ml pelarut dalam erlenmeyer dan ditempatkan
di atas inkubator bergoyang dengan kecepatan 30 rpm pada suhu ruang
selama 24 jam untuk masing-masing pelarut yang digunakan.
Filtrat yang telah diperoleh dipekatkan dengan rotary vaccum
evaporator pada suhu 55oC dengan kecepatan 75 rpm hingga sebagian
besar pelarut terpisah dari ekstrak. Volume akhir filtrat yaitu sekitar
seperempat volume sebelum dipekatkan. Filtrat ditempatkan semalam di
ruang asam untuk menghilangkan sisa pelarut.
Padatan yang diperoleh dari penyaringan vakum kembali diekstraksi
dengan pelarut berikutnya dengan tahapan proses yang sama. Pelarut yang

20

digunakan pertama adalah pelarut nonpolar yaitu heksana, pelarut


selanjutnya adalah pelarut semipolar yaitu etil asetat, dan terakhir pelarut
polar yaitu etanol. Tiap larutan hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut
kemudian disaring vakum untuk memisahkan padatan dan filtrat, filtrat
diuapkan dengan rotary vaccum evaporator untuk menghilangkan
pelarutnya. Diagram proses ektraksi yang lebih lengkap dapat dilihat pada
Gambar 3.
Ekstrak bawang putih yang diperoleh dicampurkan dengan asam
organik yaitu asam asetat. Penentuan konsentrasi yang tepat dilakukan
secara objektif dengan pengukuran pH yaitu campuran dengan pH 3.0
dan secara subjektif dengan organoleptik yaitu kombinasi asam asetat dan
ekstrak bawang putih yang menghasilkan rasa asam paling rendah
dibandingkan dengan larutan asam dengan konsentrasi yang sama tapi
tanpa penambahan ekstrak rempah. Campuran ini akan digunakan pada
penelitian utama. Diagram proses penentuan konsentrasi rempah yang tepat
dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengamatan terhadap
kemampuan antimikroba dari kombinasi asam asetat dan bawang putih
yang telah diencerkan menjadi beberapa konsentrasi. Kemampuan
antimikroba ini dinyatakan sebagai umur simpan bakso. Parameter subjektif
(visual) yang diukur adalah terbentuknya lendir, tumbuhnya miselium
kapang, dan perubahan aroma.

2. Penelitian Utama
Pada penelitian utama campuran asam asetat dan ekstrak bawang
putih yang terpilih ditentukan konsentrasi terbaik untuk mengawetkan
bakso minimal 4 hari penyimpanan pada suhu ruang. Metode pengawetan
yang digunakan adalah perendaman dan perebusan dengan larutan
pengawet konsentrasi pengenceran tertentu. Konsentrasi pengenceran yang
dibuat adalah 10%, 15%, dan 20%. Waktu perendaman dan perebusan
selama 10 menit. Bakso dikemas dengan plastik HDPE dan di-seal.
Kemudian dilakukan pengujian terhadap bakso yang diberi perlakuan
pengawetan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi selama
21

penyimpanan. Parameter yang diuji adalah total mikroba, pH, total asam
tertitrasi, tekstur, warna, dan uji organoleptik. Diagram penentuan
konsentrasi pengenceran optimum dapat dilihat pada Gambar 5.
Dikeringkan dengan oven
Bawang putih Diiris melintang vakum, suhu 60oC, 400 mmHg,
selama 3 jam

Dihaluskan dengan blender

Diekstrak dengan heksana,


selama 24 jam

Disaring vakum

padatan filtrat

Diekstrak dengan etilasetat, Evaporasi, 550C


24 jam

Disaring vakum Dihembus N2 /


diuapkan di ruang
asam
padatan filtrat

Ekstrak heksana
0
Diekstrak dengan etanol, Evaporasi, 55 C
24 jam
Dihembus N2 /
diuapkan di ruang
Disaring vakum asam

padatan filtrat Ekstrak etil asetat

Evaporasi, 550C

Dihembus N2 / diuapkan di
ruang asam

Ekstrak Bawang
Ekstrak etanol putih
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih 22

Larutan asam asetat 25% Ekstrak bawang putih

Dibuat berbagai kombinasi


konsentrasi 60:40, 70:30, 80:20

Mixing

Dilakukan pengukuran pH untuk masing-masing


kombinasi

Diperoleh larutan pengawet dengan pH 3, rasa dan aroma asam


dapat direduksi

Diujikan pada bakso dengan konsentrasi 10%, 15%, dan


20%

Pengamatan terhadap kerusakan visual dan aroma dari bakso

Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang


putih terpilih

Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat


dan ekstrak bawang putih

23

Penggilingan daging Formula larutan pengawet terpilih

Pembuatan adonan
Larutan pengawet diencerkan menjadi
konsentrasi 10%, 15%, dan 20%
Pencetakan

Perebusan Perendaman atau perebusan


2x (60-80oC Bakso bakso pada larutan pengawet
& 100oC) matang selama 10 menit

Dikemas dan di-seal dalam plastik HDPE

Disimpan dalam suhu ruang

Pengamatan terhadap perubahan mutu


bakso
Gambar 5. Diagram alir penelitian utama

C. PERLAKUAN
1. Metode Pengawetan
K : Kontrol, tidak mendapat perlakuan dengan larutan asam asetat dan
ekstrak bawang putih.
A : Perendaman bakso ke dalam larutan asam asetat dan ekstrak
bawang putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit.
B : Perebusan bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit.

2. Konsentrasi Larutan Pengawet


A0 : Kontrol, tanpa perendaman dengan larutan asam asetat dan ekstrak
bawang putih
A1 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%.
24

A2 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang


putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.
A3 : Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.
B0 : Kontrol, tanpa perebusan dengan larutan asam asetat dan ekstrak
bawang putih
B1 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%.
B2 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.
B3 : Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang
putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.

3. Kondisi Pengemasan
Penyimpanan bakso dilakukan pada kondisi suhu ruang selama
maksimal 4 hari dengan menggunakan kemasan plastik HDPE untuk
melihat tingkat efektifitas dari masing-masing formula larutan pengawet
dalam mengawetkan bakso.

D. PENGAMATAN
Pengamatan dilakukan dari hari ke-0 sampai hari ke-4 atau sampai hari
terdeteksinya kerusakan pada bakso. Pengamatan yang dilakukan meliputi :
1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45, 1999)
Kadar air awal bawang putih diukur untuk menentukan besarnya
kadar air dari bahan mentah, sehingga dapat diketahui perlakuan
pendahuluan seperti pengeringan. Pengukuran kadar air dilakukan dengan
menggunakan oven vakum untuk mencegah kehilangan komponen volatil
yang terdapat pada bawang putih. Bawang putih ditimbang sebanyak 1-2
g, kemudian dikeringkan dengan oven vakum dengan suhu 60oC dengan
tekanan 400 mmHg selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator,
selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik sampai tercapai bobot tetap
(<0.0005 g).

25

2. Rendemen Ekstraksi
Rendemen ekstraksi diukur dengan menimbang jumlah bahan awal
sebelum proses ekstraksi, kemudian diukur jumlah ekstrak yang diperoleh
setelah proses penghilangan pelarut. Rendemen ekstraksi adalah
perbandingan bahan awal dengan hasil ekstraksi yang dinyatakan dalam
persen (%).
Rendemen Ekstraksi (%) = Ekstrak yang didapatkan x 100%
Berat bawang setelah pengeringan

3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)


Nilai pH bakso diukur menggunakan pH meter. Sebelum
pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Bakso yang
akan dianalisis, ditimbang sebanyak 1 gram dan dicampur dengan akuades
sebanyak 10 ml, dihancurkan dengan tangan selama 1 menit dengan
memasukkan bakso dan akuades ke dalam plastik HDPE. Setelah
campuran homogen baru dilakukan pengukuran pH. Pengukuran pH
dilakukan dengan merendam elektroda pH meter ke dalam larutan sampai
alat menunjukkan nilai pH terukur, elektroda kemudian dibilas dengan
akuades, dikeringkan dan digunakan untuk pengukuran pH selanjutnya.

4. Warna (Pomeranz et al., 1978)


Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter CR-200
merek Minolta. Pada Chromameter ini menggunakan sistem Y, x, dan y.
Pengukuran warna dari bakso dimulai dengan kalibrasi alat dengan
menggunakan lempeng warna yang mendekati warna sampel uji. Nilai
kalibrasi yang digunakan yaitu Y = 25.3, x = 0.363, dan y = 0.336. Nilai
Yxy yang diperoleh dari pengukuran, kemudian dikonversi menjadi nilai
L, a, dan b.
Y = Y (Luminan) L = 10 (Y0.5)
X = Y (x/y) a = 17.5 (1.02X - Y)/Y0.5
Z = Y (I1-(x+y)I/y) b = 7.0 (Y - 0.847Z)/Y0.5

26

Nilai L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat


kromatis dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah (a positif) dan b
untuk biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Semakin tinggi nilai L,
maka semakin tinggi tingkat kecerahan warnanya, L bernilai 0-100, yang
mewakili warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Selanjutnya dari
nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus:

o
Hue = tan-1 b/a

Pengukuran tiap produk dilakukan sebanyak 2 kali. Data perhitungan


nilai oHue dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Interpretasi nilai oHue
Hasil Perhitungan Warna

18o-54o Merah

54o-90o Merah Kuning

90o-126 o Kuning

126o-162o Kuning Hijau

162o-198o Hijau

198o-234o Hijau Biru

234o-270o Biru

270o-306o Biru Ungu

306o-342o Ungu

342o-18o Ungu Merah

5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)


Penentuan total asam tertitrasi dimulai dengan standarisasi NaOH
yang dijadikan sebagai basa standar, standarisasi dilakukan dengan
mentitrasi asam potassium phtalate dengan larutan NaOH, dan dilakukan

27

penentuan normalitas NaOH. Analisis terhadap bakso dilakukan dengan


menimbang 4 gram bakso, ditambahkan dengan sedikit air, dan
dihancurkan sampai menjadi bubur. Setelah itu, campuran dipindahkan ke
dalam labu takar 100 ml, ditambahkan akuades sampai tanda tera, diambil
50 ml larutan dan diberi 3 tetes indikator fenolftalein. Larutan kemudian
dititrasi dengan NaOH 0.01 N sampai terbentuk warna merah muda yang
merupakan titik akhir titrasi.

100

Keterangan : TAT dinyatakan dalam ml NaOH 0.1 N/100ml atau 100g


larutan contoh
V = volume NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi
FP = faktor pengenceran
W = berat contoh atau volume contoh (g atau ml)

6. Tekstur (Penetrometer)
Tekstur bakso dianalisis dengan menggunakan penetrometer.
Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tusuk pada bahan pangan
dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu tertentu. Dihasilkan nilai
kedalaman tusukan terhadap sampel dalam satuan mm, dengan waktu
pengamatan yang telah ditentukan yaitu 5 detik. Jarum yang digunakan
memiliki berat 1.4 gram.
Sampel bakso diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian
pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tusuk pada sampel. Pada
layar penetrometer akan menunjukkan penghitungan mundur waktu,
setelah itu dapat dilihat berapa kedalaman jarum menembus sampel.
Nilainya dinyatakan dalam mm per 5 detik. Pengukuran dilakukan
sebanyak 2 kali pada bagian yang lonjong dari bakso.

28

7. Total mikroba (Fardiaz, 1992)


Sebanyak 10 gram sampel ditimbang secara aseptik dimasukkan ke
dalam plastik stomacher steril, ditambahkan 90 ml larutan pengencer
fisiologis (NaCl), dan dihancurkan selama 1 menit. Sampel yang telah
dihancurkan dengan stomacher, kemudian dilakukan pengenceran hingga
10-4 dan dilakukan pemupukan duplo 10-3 dan 10-4.
Dilakukan penambahan media PCA cair untuk menguji total
mikroba. Setelah media membeku, cawan diinkubasi pada suhu 30oC
selama 2 hari dengan posisi terbalik. Penghitungan total koloni dilakukan
dengan metode Harrigan seperti di bawah ini:

N= C

[(1 * n1) + (0.1 * n2)] * d

Batas koloni yang dihitung : 25 250 cfu


Keterangan :
N : Total koloni per ml atau gram sampel
C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan
n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua
d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan

8. Umur Simpan (Secara Visual)


Sampel bakso diamati secara visual. Parameter-parameter yang
menunjukkan mutu bakso yang menurun adalah (1) adanya lendir, (2)
teksturnya lunak, (3) adanya kapang, dan (4) berbau asam atau bau yang
menyimpang.

9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)


Pengujian organoleptik terhadap bakso dilakukan terhadap 3
parameter yaitu aroma, rasa, dan keseluruhan (tekstur, warna,
penampakan, aroma, rasa). Uji yang dilakukan adalah uji kesukaan (rating
hedonik). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Skala
hedonik yang digunakan terdiri dari 7 skala, dari sangat tidak suka pada
29

skala 1 sampai sangat suka pada skala 7. Form uji organoleptik dapat
dilihat pada Lampiran 1.
1 = sangat tidak suka 5 = agak suka
2 = tidak suka 6 = suka
3 = agak tidak suka 7 = sangat suka
4 = netral
10. Analisis Biaya
Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui biaya yang diperlukan
untuk mengawetkan satu kilogram bakso dengan larutan kombinasi asam
asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian terhadap analisis biaya ini
dilakukan dengan menghitung selisih volume larutan sebelum perebusan
dengan volume larutan setelah perebusan. Selisih bobot sebelum dan
sesudah perlakuan akibat penyerapan pengawet dikonversikan ke dalam
biaya tambahan untuk pengawetan.

30

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral dan


kadar air serta Aw yang tinggi (80% dan 0.99). Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan masa simpannya relatif singkat yaitu 12 jam sampai maksimal 1
hari pada suhu ruang. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme
penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar
netral adalah golongan bakteri.
Umur simpan bakso yang relatif singkat membuat produsen menyiasatinya
dengan penambahan boraks (Na2B4O7.10H2O) atau dengan penambahan formalin.
Boraks memperpanjang umur simpan bakso dan menyebabkan bakso menjadi
lebih kenyal. Bakso yang diawetkan dengan formalin tidak mengalami kerusakan
hingga mencapai lima hari penyimpanan dalam suhu ruang (Saparinto dan
Hidayati, 2006). Penggunaan formalin dan boraks dilarang oleh pemerintah
(Permenkes No.722 /MENKES /PER /IX /88).
Larutan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan
kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih. Kemampuan asam sebagai
antimikroba didasarkan pada dua hal, yaitu pengaruhnya terhadap pH dan
kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba (Buckle et al.,
1987). Penelitian-penelitian membuktikan bahwa asam asetat merupakan asam
organik yang efektif dalam menghambat aktivitas mikroorganisme pada produk
pangan. Menurut Setyadi (2008), cuka pasar direkomendasikan sebagai bahan
pengawet karena efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
harganya yang murah. Chung dan Goepfert (1970) juga telah menguji 13 jenis
asam sebagai inhibitor terhadap Salmonella dan merekomendasikan asam asetat
dan asam propionat sebagai asam paling efektif dalam menghambat pertumbuhan
Salmonella. Ekstrak bawang putih memiliki karakteristik aroma dan rasa yang
khas dan kuat. Ekstrak bawang putih digunakan untuk menutupi aroma dan rasa
asam dari asam asetat. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih ini
diharapkan dapat menjadi alternatif pengawet makanan yang aman dengan harga
yang relatif murah.

31

A. Penelitian Pendahuluan
Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang
sesuai untuk bawang putih, penentuan formulasi asam asetat dan bawang putih
sebagai larutan biang, dan penentuan umur simpan bakso perlakuan
pengawetan.
1. Ekstraksi Bawang Putih
Bawang putih dipilih karena merupakan rempah yang memiliki
citarasa yang khas dan kuat. Selain itu, bawang putih merupakan
ingredien umum dalam proses pembuatan bakso, sehingga
penggunaannya tidak menyebabkan penyimpangan aroma atau rasa dari
bakso.
Teknik ekstraksi yang dipilih adalah ekstraksi bertingkat dengan
metode maserasi (perendaman), menggunakan pelarut-pelarut yang
berbeda-beda nilai kepolarannya, yaitu heksana (pelarut non-polar), etil
asetat (pelarut semi-polar), dan etanol (pelarut polar). Bawang putih
sebelum diekstraksi diiris melintang kemudian dikeringkan dengan oven
vakum dan dihaluskan dengan blender. Hancuran bawang putih direndam
di dalam larutan heksana dengan perbandingan 1:4, selama 24 jam
disertai pengadukan dengan kecepatan 30 rpm. Dilanjutkan dengan
penyaringan untuk memisahkan larutan dan padatan. Larutan hasil
penyaringan mengandung ekstrak non-polar bawang putih dan pelarut
heksana.
Pemisahan pelarut dari ekstrak menggunakan alat rotary vaccum
evaporator dengan suhu 55oC sampai diperoleh ekstrak non-polar dari
bawang putih. Padatan direndam kembali dengan etil asetat dengan
perbandingan dan waktu yang sama seperti perendaman sebelumnya.
Tahap perendaman dengan etil asetat juga diikuti dengan penyaringan,
pemisahan padatan dan larutan, serta pemisahan ekstrak dari pelarut.
Selanjutnya padatan direndam kembali dengan etanol dengan
perbandingan dan waktu yang sama dengan perendaman sebelumnya.
Hasil ekstraksi yang didapatkan adalah ekstrak non-polar, semi-polar, dan

32

polar dari bawang putih. Diagram proses ekstraksi yang lengkap dapat
dilihat pada Gambar 3.

A B C

Gambar 6. Hasil ektraksi dengan pelarut: (A) etanol, (B) etil asetat,
dan (C) heksana

Tahap perendaman dengan etanol menghasilkan larutan dengan


aroma dan rasa bawang putih yang paling kuat, sedangkan aroma dan rasa
ekstrak heksana dan etil asetat lebih lemah. Selain itu, perendaman
menggunakan pelarut etanol menghasilkan volume ekstrak paling besar.
Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Berdasarkan pertimbangan
karakteristik aroma dan rasa bawang putih yang diperoleh, hanya ekstrak
polar dari bawang putih yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Pengukuran kadar air bawang putih dilakukan untuk menentukan
perlakuan pendahuluan untuk bawang putih setelah dikupas kulitnya.
Perlakuan pendahuluan yang dimaksud seperti pengeringan. Kadar air
yang terlalu tinggi mengganggu penetrasi pelarut dalam mengekstraksi
dan mengurangi kepekatan ekstrak yang dihasilkan, sedangkan kadar air
yang telalu rendah menyebabkan perubahan dari komponen yang
diekstrak. Selama pengeringan terjadi penguraian air serta zat-zat yang
mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan. Hal ini mempercepat
berlangsungnya proses ektraksi. Selain itu kerusakan dinding sel bahan
selama pengeringan mempermudah pengeluaran komponen bioaktif
bahan sehingga waktu ekstraksi lebih singkat (Bombardelli, 1991).
Pengeringan dapat meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari
adanya air dalam ekstrak (Houghton dan Raman, 1998). Kadar air bahan

33

yang tinggi menyebabkan hasil ekstrak mengandung komponen larut air


seperti pati dan gula. Kadar air bawang putih terukur dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Kadar air bawang putih
Bawang Putih Kadar air (% BB)
Sebelum pengeringan 69.18
Setelah pengeringan 46.33

Kadar air awal bawang putih yaitu 69.18 g/100g basis basah, hasil
ini mendekati kadar air bawang putih di literatur yaitu 71 g/100g basis
basah (anonima, 2005). Pengeringan dilakukan menggunakan oven vakum
dengan suhu 60oC tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Kadar air setelah
pengeringan yaitu 46.33 g/100g bahan basah. Menurut Harborne (1987),
pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terkontrol untuk mencegah
terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak dari bahan.
Setelah bawang putih dikeringkan, bawang putih diblender untuk
menghaluskan ukurannya. Menurut Purseglove et al., (1981), partikel
bahan setelah pengecilan sebaiknya berukuran seragam untuk
mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan. Hal ini mempengaruhi
rendemen ekstraksi secara langsung.
Rendemen ektraksi diukur berdasarkan perbandingan antara
volume hasil ekstrak dan berat rempah yang telah dikeringkan dan
dihaluskan. Rendemen ekstraksi bawang putih yang diperoleh dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air bawang putih
Bawang Volume Volume Rendemen Kadar Volume
putih ekstrak dan setelah Ekstraksi air ekstrak
setelah pelarut dievaporasi dengan ekstrak tanpa
dikeringkan sebelum (ml) pelarut bawang kandungan
(g) dievaporasi etanol putih air (ml)
(ml) 70% (%)
(%)

117.06 428.15 88 75.18 66.48 29.50

34

Rendemen ekstraksi bawang putih dengan pelarut etanol 70% yaitu


sebesar 75.18%. Pengukuran kadar air ekstrak bawang putih menunjukkan
kadar air ekstrak bawang putih cukup tinggi yaitu sebesar 66.48%. Jadi
volume ekstrak bawang putih tanpa kandungan air yaitu sebesar 29.50 ml,
sehingga rendemen ekstraksi komponen polar bawang putih yaitu sebesar
25.20%.
Karakteristik ekstrak polar bawang putih yang didapatkan yaitu
berwarna kuning, lengket, rasa dan aroma khas bawang putih. Komponen
aktif dan citarasa dari bawang putih yang paling besar adalah allisin.
Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik,
terutama pelarut polar dan kurang larut dalam air. Aroma dan rasa khas
ekstrak polar bawang putih digunakan untuk mereduksi aroma dan rasa
yang tidak disukai dari asam asetat.
2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih sebagai Larutan
Biang
Larutan biang terdiri dari larutan asam asetat berkonsentrasi 25%
dicampurkan dengan ekstrak polar dari bawang putih. Asam asetat yang
digunakan yaitu cuka pasar merk Dixi dengan konsentrasi 25%.
Formulasi larutan biang yang digunakan dipilih berdasarkan pH larutan
dan intensitas rasa asam dari campuran yang diuji secara organoleptik.
Nilai pH yang diinginkan nilainya 3.0 dengan intensitas rasa asam
rendah secara sensori. Asam asetat yang digunakan memiliki pH sebesar
2.77, sedangkan ekstrak bawang putih memiliki pH sebesar 5.82.
Pencampuran keduanya akan menaikkan pH dari asam asetat. Nilai pKa
asam asetat adalah 4.75 sehingga pada pH 3.0 jumlah asam tidak
terdisosiasi dari asam asetat lebih besar dari 50%. Formula larutan biang
yang diujikan beserta nilai pH dan intensitas asam secara sensori dapat
dilihat pada Tabel 12.

35

Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan kombinasi
asam asetat dan ekstrak bawang putih
Larutan pH Intensitas Asam Rasa
Asam asetat 2.77 ++++ Asam
Khas bawang
Ekstrak bawang putih 5.82
putih
Asam asetat : Ekstrak bawang putih
Sedikit asam,
60:40 3.02 +
cepat hilang
Sedikit asam,
70:30 2.88 ++ lebih lama
hilang
Keterangan : + intensitas asam rendah
++ intensitas asam sedang
+++ intensitas asam agak tinggi
++++ intensitas asam tinggi

Pengujian pH dan intensitas rasa asam terhadap beberapa formula


larutan biang menunjukkan perbandingan asam asetat dan ekstrak bawang
putih sebesar 60:40 merupakan kombinasi terbaik. Penambahan ekstrak
bawang putih lebih banyak lagi, maka pH larutan biang akan lebih besar
dari 3.0. Selain itu, intensitas rasa asam yang terdeteksi sudah cukup
rendah, rasa asamnya sedikit dan cepat hilang. Perbandingan asam asetat
dan ektrak bawang putih sebesar 70:30 memiliki pH di bawah 3.0 yaitu
2.88, tetapi intensitas rasa asamnya lebih tinggi dan lebih lama hilang.
Berdasarkan nilai pH dan intensitas rasa asam, formula larutan biang
terpilih adalah perbandingan asam asetat dan ekstrak bawang putih sebesar
60:40.
3. Pengaruh Pengawetan terhadap Umur Simpan Bakso
Larutan terpilih (larutan biang) diencerkan menjadi 3 konsentrasi
larutan yaitu 10%, 15% dan 20%. Asam asetat yang digunakan
berkonsentrasi 25%, penambahan ekstrak bawang putih mengencerkan
asam asetat. Kombinasi terpilih yaitu 60% asam asetat dan 40% ekstrak
bawang putih. Kombinasi ini mengencerkan asam asetat konsentrasi 25%
menjadi 15%. Kombinasi terpilih diencerkan menjadi 10%, 15%, dan
20%, sehingga konsentrasi asam asetat yang digunakan adalah 1.5%,
2.25%, dan 3.0%. Penetapan konsentrasi ini berdasarkan penelitian
36

Sugih
harti (2009) yang menyiimpulkan baahwa asam aasetat konsenntrasi 1.5%
mem
mberikan keaawetan terbaaik untuk bakso selamaa 4 hari pen
nyimpanan
pada suhu ruang..
Hasil penngamatan terrhadap umu
ur simpan baakso dengann perlakuan
penggawetan perrendaman dan perebu
usan, sertaa konsentraasi setelah
penggenceran laru
utan biang daapat dilihat pada
p Gambaar 7.

9 Akhhir
8 penggamatan
Umur simpan (hari)

7
6
5 Tarrget
4 umu ur
3 sim
mpan
kontrol
2
1 rendam
0 rebus
0 100 155 2
20
K
Konsentrasi larutan pen
ngawet (%)

mbar 7.Umuur simpan baakso berdasaarkan pengam


Gam matan visual

Pengamattan dihentikkan saat teerdeteksi addanya kerusakan pada


bakso seperti teerbentuknyaa lendir ataau tumbuhnnya miselium
m kapang.
Penggamatan umuur simpan baakso dilakukkan sampai hhari ke-8 unttuk melihat
peng
garuh peninggkatan konseentrasi larutaan pengawet terhadap um
mur simpan
bakso.
Gambar 7 menunjukkkan bahwaa bakso koontrol hanyaa bertahan
ma 1 hari, kerusakanny
selam k a yaitu tekssturnya hanccur dan perm
mukaannya
berleendir. Pengaamatan terhaadap bakso yang
y diberi perlakuan pengawetan
p
menu
unjukkan baahwa baksoo yang diren
ndam dengaan larutan konsentrasi
k
10% larutan biaang mampu bertahan selama 3 haari. Perendam
man bakso
gan larutan pengawet
deng p konsentrasi 155% dan 20% mampu meengawetkan
samppai 5 dan 6 hari.
h Perebussan bakso deengan larutann pengawet konsentrasi
k
10% larutan bianng mampu mengawetka
m an bakso sellama 6 hari. Perebusan
bakso dengan koonsentrasi 155% dan 20%
% larutan bianng dapat meengawetkan
37

sampai akhir pengamatan yaitu 8 hari. Perbedaan keawetan selain


dipengaruhi konsentrasi larutan pengawet juga dipengaruhi oleh metode
pengawetan. Penetrasi larutan pengawet lebih besar dengan perebusan
dibandingkan dengan perendaman, sehingga keawetan metode perebusan
lebih lama dari metode perendaman pada konsentrasi yang sama
Pengamatan secara visual memperhatikan terbentuknya lendir pada
permukaan bakso, karena lendir merupakan indikasi awal kerusakan.
Kerusakan lain yang dapat terdeteksi adalah tumbuhnya miselium kapang
pada permukaan, penyimpangan aroma, dan melunaknya tekstur bakso
akibat aktivitas proteolitik dari mikroorganisme. Menurut Ray (2001),
untuk dapat menghasilkan perubahan yang terdeteksi secara subyektif
seperti munculnya bau asam dan lendir, mikroorganisme (terutama bakteri
dan khamir) harus tumbuh sampai mencapai level tertentu yang disebut
dengan level deteksi kerusakan. Umumnya level deteksi kerusakan ini
bervariasi dari 106 sampai 108 koloni/ml, tergantung dari jenis bahan
pangan, tipe kerusakan, dan jenis mikrobanya. Terbentuknya lendir
diakibatkan oleh golongan bakteri pembentuk lendir (slime forming
bacteria) yang umumnya bersifat aerobik. Bakteri yang termasuk ke dalam
golongan ini antara lain beberapa spesies dari Pseudomonas, Alcaligenes,
Lactobacillus, Streptococcus, dan Koliform (Frazier dan Westhoff, 1978).
Bau basi terutama disebabkan oleh aktivitas golongan bakteri
koliform dan beberapa spesies bakteri yang bersifat putrefactive seperti
Clostridium, S. putrefaciens dan Pseudomonas yang menghasilkan bau
busuk. Senyawa-senyawa dan gas-gas hasil hidrolisis yang menyebabkan
munculnya bau menyimpang antara lain senyawa sulfida seperti metil dan
etil sulfida, hidrogen disulfida (H2S); senyawa amine seperti histamine,
tyramine, piperidine, putrescine, dan cavaderine; serta senyawa-senyawa
lain seperti amonia (NH3), indole, skatol, dan asam-asam lemak (Frazier
dan Westhoff, 1978). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), kandungan
mikroorganisme saat terdeteksi bau tidak enak adalah 1.2x106-108
koloni/g.

38

B. PENELITIAN UTAMA
Pada penelitian utama dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi
pengenceran dan metode pengawetan. Konsentrasi yang diujikan yaitu 10%,
15%, dan 20%. Metode pengawetan yang digunakan yaitu metode
perendaman dan perebusan.
1. Mikrobiologi
Uji mikrobiologi dilakukan untuk melihat pengaruh pengawetan
terhadap jumlah mikroba pada bakso selama 4 hari penyimpanan. SNI
No.01-3818-1995 tentang bakso menyatakan jumlah maksimal total
mikroba pada bakso 1x105 koloni/g, sehingga pengamatan dilakukan
terhadap cawan dengan pengenceran 103 dan 104 saja. Hasil pengujian
TPC pada bakso dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Pengaruh metode pengawetan dan konsentrasi larutan
pengawet terhadap TPC
Konsentrasi Jumlah Mikroorganisme (koloni/gram)
Perlakuan
(%) H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
4 TBUD
Kontrol 0 <2,5x10 * * *
>2,5x106
TBUD
10 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 4,2x105
>2,5x106
Rendam 15 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
20 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
10 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
Rebus 15 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
20 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Pengamatan pada hari ke-0 menunjukkan bakso kontrol dan


perlakuan memiliki total mikroba lebih kecil dari 2,5x104 koloni/gram.
Pada hari ke-1, bakso kontrol telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan
seperti permukaan yang berlendir (lengket), jumlah total mikroba bakso
kontrol pada hari ke-1 sudah melewati 2.5x106 koloni/gram. Berdasarkan
SNI, bakso kontrol sudah tidak layak dikonsumsi setelah 1 hari
penyimpanan. Pada hari ke-1 bakso yang diberi perlakuan pengawetan
baik itu perendaman dan perebusan pada semua konsentrasi

39

masih.menunjukkan jumlah total mikroba masih dibawah 2.5x104


koloni/gram sampai pengamatan hari ke-2. Pada hari ke-3, bakso dengan
perlakuan perendaman dengan larutan pengawet konsentrasi 10%
menunjukkan jumlah total mikroba yang telah mencapai 4.2x105
koloni/gram. Jumlah ini melampaui batas maksimal SNI total mikroba
pada bakso. Jumlah total mikroba bakso perendaman dengan konsentrasi
15% dan 20% masih lebih kecil dari 2,5x104 koloni/gram sampai
pengamatan hari ke-4. Begitu juga dengan jumlah total mikroba bakso
dengan metode perebusan di dalam larutan pengawet konsentrasi 10%,
15%, dan 20% masih kurang dari 2,5x104 koloni/gram sampai
pengamatan hari ke-4.
Perbedaan antara metode perendaman dan metode perebusan adalah
kemampuannya dalam mempertahankan sampel bakso dari kerusakan
pada konsentrasi yang sama. Bakso yang direbus dengan larutan
pengawet konsentrasi 10% larutan biang dapat mempertahankan
keawetan sampai hari ke-4, sedangkan bakso yang direndam dengan
larutan berkonsentrasi sama hanya dapat mempertahankan keawetan
sampai hari ke-3. Perbedaan kemampuan ini disebabkan penetrasi asam
yang lebih baik dengan metode perebusan dan efektifitas asam yang
meningkat dengan penggunaan suhu yang tinggi, sehingga metode
perebusan juga mereduksi jumlah mikroba awal pada bakso.
Pada suhu kamar, terbentuknya lendir akibat pertumbuhan
mikrokoki dan bakteri mesofil yang dapat berkompetisi dengan
Pseudomonas (Frazier dan Westhoff, 1988). Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir
adalah 3.0 x 106 sampai 3.0 x 108 koloni/ml sampel dan jumlah populasi
mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2x106 sampai 1.2x108
koloni/ml. Pengamatan sampai hari ke-4 pada sampel yang diberi
perlakuan pengawetan menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan
pengamatan hari ke-0 yaitu kurang dari 2,5x104 koloni/gram, kecuali
untuk bakso yang direndam dengan larutan pengawet konsentrasi 10%

40

yang pada hari ke-3 jumlah mikroorganismenya yaitu 4.2x105 koloni/g


dan jumlah ini telah melewati SNI bakso yaitu 1x105 koloni/g.

Dapat disimpulkan bakso dengan metode perebusan konsentrasi


10% larutan biang saja dapat mempertahankan jumlah mikroba pada
bakso di bawah 1x105 koloni/g selama 4 hari penyimpanan, sedangkan
metode perendaman membutuhkan konsentrasi yang lebih besar untuk
hasil yang sama.
Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab
kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar
netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut Frazier dan Westhoff
(1978), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan
pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH
netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan
golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria.
Adam dan Moss (1995) menyatakan bahwa secara umum bakteri tumbuh
lebih cepat pada pH 6.0-8.0, khamir pada pH 4.5-6.0, dan kapang pada
3.5-4.0. Sampel bakso yang diberi perlakuan berada pada kisaran pH
4.58-5.43 masih memungkinkan terjadinya aktifitas kapang, khamir dan
bakteri. Kerusakan yang terdeteksi seperti terbentuknya lendir dan tekstur
yang melunak menunjukkan adanya aktifitas mikroba. Lendir dapat
diproduksi oleh khamir dan bakteri. Pelunakan tekstur terjadi akibat
aktifitas bakteri proteolitik yang tahan dengan kondisi asam. Golongan
mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus
faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat
termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat
memfermentasi laktosa (Frazier dan Westhoff, 1978).
Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam dalam bentuk tidak
terurai (undissociated form). Semakin besar total asam yang tidak terurai,
semakin efektif hambatan asam terhadap mikroba. Kisaran nilai pH
bakso perlakuan pengawetan yaitu 4.58-5.43. Kisaran nilai pH ini tidak
terlalu jauh dari nilai pKa asam asetat yaitu 4.75, sehingga keefektifan

41

asam asetat sebagai antimikroba masih tinggi. Penelitian yang dilakukan


oleh Dickson dan Anderson (1992), menunjukkan daya antimikroba dari
asam organik semakin meningkat dengan semakin meningkatnya
konsentrasi asam organik tersebut.
Keefektifan asam organik sebagai antimikroba juga didukung oleh
sifat kimianya. Asam organik memiliki 2 sisi yaitu rantai lipofilik dan
rantai hidrofilik. Rantai lipofilik berperan untuk menembus membran sel,
sedangkan bagian hidrofilik juga berperan karena mikroorganisme
tumbuh pada kondisi adanya air (Robach, 1980 di dalam Davidson et. al.,
2005).
Nilai pH yang rendah akan mengubah bentuk protein atau enzim
sehingga mengganggu metabolisme sel. Penggunaan ATP untuk
mengeluarkan proton (H+) menyebabkan sel mikroorganisme kehabisan
energi dan tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seluler. Jadi selain nilai
pH larutan pengawet yang rendah, jumlah asam tidak terdisosiasi juga
memiliki peran penting dalam menghambat pertumbuhan
mikroorganisme. Rendahnya pH menekan mikroorganisme yang tidak
tahan pada kondisi lingkungan yang asam tetapi tidak mematikannya.

2. Derajat Keasaman (pH)


Nilai pH menunjukkan perbandingan jumlah ion hidrogen (H3O+)
atau ion hidroksi (OH-), nilainya dinyatakan dalam negatif logaritmik
jumlah ion hidrogen, atau 14 dikurangi logaritmik dari jumlah ion
hidroksi dalam larutan. Peningkatan jumlah ion hidrogen (H3O+)
menyebabkan terjadi penurunan pH dan sebaliknya penurunan jumlah ion
hidrogen (H3O+) menyebabkan terjadinya kenaikan pH. Perubahan nilai
pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2.
a. Metode Perendaman
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh
penggunaan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih terhadap
nilai pH bakso dan perubahan pH bakso selama penyimpanan. Nilai
pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 8.

42

6,50

6,00
kontrol
5,50
A1 (10%)
pH
5,00 A2 (15%)
A3 (20%)
4,50

4,00
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 8.Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi


terhadap nilai pH selama penyimpanan

Gambar 8 menunjukkan bakso kontrol mengalami penurunan


pH dari 6.33 (hari 0) menjadi 5.95 (hari 1). Pada hari 1, bakso kontrol
telah mengalami kerusakan, tekstur yang hancur dan bau yang tidak
enak. Bakso A1 dan A2 menunjukkan peningkatan pH. Bakso A1
mengalami peningkatan pH yang besar dibanding peningkatan pH dari
bakso A2. Mikroba penyebab terjadinya peningkatan pH bakso adalah
bakteri proteolitik yang memecah protein. Hidrolisis protein secara
enzimatis oleh bakteri proteolitik meningkatkan derajat kebasaan
(Frazier dan Westhoff, 1978). Bakso A3 dapat mempertahankan nilai
pH-nya sampai hari ke-4. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat
dilihat pada Tabel 14.

43

Tabel 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan
Nilai pH pada hari ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4
Kontrol 6.33 5.95 * * *
A1 (10%) 4.95 5.18 5.17 5.33 5.43
A2 (15%) 4.90 4.87 4.95 5.01 5.02
A3 (20%) 4.75 4.84 4.79 4.82 4.77
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) dengan derajat signifikansi 5%,


menunjukkan nilai pH bakso kontrol berbeda dengan nilai pH bakso
perlakuan pada hari ke-0 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan
perlakuan memberikan nilai pH yang berbeda terhadap bakso.
Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso kontrol menunjukkan
perubahan nilai pH dari hari ke-0 sampai hari ke-1 tidak berbeda
signifikan (Lampiran 4). Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso
A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan pH ketiga bakso selama
penyimpanan tidak berbeda nyata (Lampiran 5, 6, dan 7). Perubahan
nilai pH yang terjadi tidak signifikan selama 4 hari penyimpanan,
sehingga dapat disimpulkan perendaman dapat mempertahankan nilai
pH bakso.
Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1, uji
mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikrobanya telah mencapai
>2.5x106 koloni/gram. Penurunan pH ini disebabkan aktivitas bakteri
pembentuk asam seperti bakteri asam laktat yang menghasilkan asam
dan menurunkan pH bakso. Bakso A1 mengalami peningkatan pH
yang lebih besar jika dibandingkan dengan bakso A2. Hal ini
menunjukkan perbedaan konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi
kemampuan antimikroba dalam mempertahankan perubahan pH
akibat aktivitas mikroba. Aktivitas mikroba pada bakso A1 lebih
tinggi dari bakso A2. Bakso A3 dapat mempertahankan nilai pH
selama penyimpanan, perubahan nilai pH-nya berkisar 4.75-4.84.

44

Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan bahwa


bakso kontrol mengalami penurunan pH, sedangkan bakso yang diberi
perlakuan mengalami peningkatan pH selama penyimpanan. Analisis
sidik ragam menunjukkan perubahan nilai pH yang terjadi tidak
signifikan, artinya perubahan pH yang terjadi masih kecil.
Konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi profil perubahan pH.
Oleh sebab itu, bakso A2 dan A3 merupakan bakso yang paling dapat
mempertahankan nilai pH selama 4 hari penyimpanan karena nilai
pH-nya yang rendah dan menghambat terjadinya pertumbuhan
mikroba.
b. Metode Perebusan
Nilai pH bakso kontrol dan metode perebusan selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9.

6,50

6,00
kontrol
5,50
B1 (10%)
pH
5,00 B2 (15%)
B3 (20%)
4,50

4,00
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 9.Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan

Gambar 9 menunjukkan bakso kontrol pada hari ke-1 telah


mengalami kerusakan seperti permukaan yang berlendir, tekstur yang
melunak, dan bau yang tidak enak. Bakso kontrol mengalami
penurunan pH yang disebabkan kerusakan oleh aktivitas mikroba,
sedangkan bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan nilai pH
selama penyimpanan. Penurunan pH pada bakso kontrol disebabkan
45

oleh aktifitas bakteri pembentuk asam, karena pH bakso kontrol


mendekati netral yaitu 6.33. Nilai ini memungkinkan mikroba untuk
tumbuh, salah satunya adalah bakteri pembentuk asam yang
menghasilkan asam-asam organik. Bakso B1 menunjukkan profil
perubahan pH yang fluktuatif tapi tidak menyimpang terlalu besar dari
pH pada hari ke-0. Bakso B2 dan B3 dapat mempertahankan nilai pH-
nya tetap stabil selama penyimpanan. Nilai pH bakso selama
penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan
Nilai pH pada hari ke-
Perlakuan 0 1 2 3 4
Kontrol 6.33 5.95 * * *
B1 (10%) 4.77 4.81 4.91 4.77 4.89
B2 (20%) 4.63 4.60 4.59 4.63 5.69
B3 (30%) 4.58 4.57 4.58 4.59 4.63
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan nilai pH bakso


kontrol berbeda dengan nilai pH bakso perlakuan pada hari ke-0
(Lampiran 8). Hal ini menunjukkan perlakuan memberikan nilai pH
yang berbeda terhadap bakso. Analisis sidik ragam terhadap nilai pH
bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan menunjukkan perubahan
pH dari ketiga bakso tidak berbeda secara signifikan (Lampiran 9, 10
dan 11). Perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan antar harinya
yang disebabkan perlakuan pengawetan mampu mempertahankan
bakso dari kerusakan akibat aktifitas mikroba yang menyebabkan
perubahan pH.
Bakso B1 mengalami fluktuasi nilai pH yang masih berada
pada kisaran 4.77-4.91. Nilai pH yang stabil ditunjukkan oleh nilai pH
bakso B2 dan B3. Fluktuasi nilai pH terjadi akibat aktivitas mikroba
yang menghasilkan produk sekunder metabolismenya yang bersifat
asam atau basa.

46

Perbedaan penetrasi asam dengan pengawetan metode


perebusan menghasilkan nilai pH yang lebih rendah. Pada konsentrasi
larutan pengawet yang sama, pengawetan dengan perebusan
menghasilkan pH yang lebih rendah dibandingkan pengawetan
dengan perendaman. Perebusan juga mengurangi jumlah mikroba
awal dari bakso. Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan
bahwa bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan pH selama 4 hari
penyimpanan. Hal ini disebabkan perebusan dapat meningkatkan
penetrasi larutan pengawet ke dalam bakso.
Keasaman yang dihasilkan dengan perlakuan tidak cukup tinggi,
rata-rata pH sekitar 4-5. Keadaan ini memungkinkan pertumbuhan
beberapa mikroba, seperti kapang dan golongan proteolitik yang tahan
asam (acid proteolitik). Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara
lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk
bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies
Bacillus pembentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa (Frazier dan
Westhoff, 1978).
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Setyadi (2008) yang
menyatakan bahwa tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada
konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% dengan metode perendaman selama satu
menit mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 3 hari.
Ferdiani (2008) juga menyatakan bahwa mi basah matang yang diawetkan
dengan cuka pasar konsentrasi 1% dan 2% mengalami penurunan nilai pH
selama penyimpanan 4 hari.
Jadi dapat disimpulkan perlakuan perendaman dengan larutan
pengawet konsentrasi 15%, 20% dan perlakuan perebusan pada semua
konsentrasi dapat mempertahankan nilai pH bakso selama 4 hari
penyimpanan. Hal ini disebabkan bakso perlakuan perendaman dan
perebusan dengan larutan biang dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme penyebab terjadinya perubahan pH.

47

3. Total Asam Tertitrasi


Analisis total asam tertitrasi (TAT) merupakan analisis untuk
mengukur kandungan keseluruhan asam yang tidak terdisosiasi yang
terdapat dalam bahan pangan, dengan mentitrasi sampel dengan larutan
basa standar yang telah diketahui normalitasnya. Total asam tertitrasi
merupakan aplikasi dari reaksi penetralan asam-basa, sehingga jumlah
asam yang tertitrasi dapat dihitung dengan mengetahui jumlah basa
terstandarisasi yang digunakan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
kestabilan jumlah asam asetat yang berfungsi sebagai antimikroba selama
penyimpanan dan kemungkinan aktivitas bakteri pembentuk asam seperti
bakteri asam laktat. Nilai total asam tertitrasi bakso selama penyimpanan
dapat dilihat pada Lampiran 12.
a. Metode Perendaman
Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perendaman selama
empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10.

25,00
(ml NaOH 0,1N/100ml bahan)

20,00
total asam tertitrasi

kontrol
15,00
A1 (10%)
10,00 A2 (15%)
A3 (20%)
5,00

0,00
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 10.Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai


konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama
penyimpanan

Gambar 10 menunjukkan pada hari ke-0, bakso kontrol
memiliki nilai TAT yang paling rendah dan bakso A3 memiliki nilai
TAT yang paling tinggi. Nilai TAT semakin besar dengan

48

meningkatnya konsentrasi dari larutan pengawet yang digunakan.


Nilai TAT yang terukur fluktuatif karena tidak seragamnya kerusakan
yang terjadi walaupun dengan perlakuan yang sama. Nilai TAT bakso
selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan
Nilai TAT pada hari ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4
Kontrol 4.00 5.25 * * *
A1 (10%) 11.75 10.30 13.45 8.27 13.98
A2 (15%) 15.55 16.80 15.42 14.31 14.50
A3 (20%) 21.98 20.67 23.52 19.29 21.85
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam menunjukkan nilai TAT bakso kontrol


dan perendaman (A1, A2, A3) pada hari ke-0 berbeda signifikan
(Lampiran 13). Hal ini menunjukkan bahwa perendaman
mempengaruhi nilai TAT bakso secara nyata. Bakso kontrol hari ke-0
berbeda dengan nilai TAT pada hari ke-1 (Lampiran 14). Analisis
sidik ragam terhadap bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai TAT
untuk ketiga bakso selama penyimpanan tidak berbeda secara
signifikan (Lampiran 15, 16, dan 17). Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan nilai TAT selama penyimpanan tidak signifikan.
Bakso kontrol mengalami kenaikan nilai TAT disebabkan oleh
aktivitas bakteri pembentuk asam yang menurunkan pH bakso.
Penurunan pH menyebabkan asam dalam bentuk tidak terdisosiasinya
menjadi bertambah. Jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke-
1 sudah lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram. Nilai TAT bakso A1,
A2, dan A3 yang fluktuatif disebabkan aktivitas mikroba, kompetisi
antara bakteri pembentuk asam dan bakteri proteolitik yang tahan
asam.
Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba bakso A1
pada hari ke-3 mencapai 4.2x105 koloni/gram, ini juga ditunjukkan

49

oleh nilai TAT bakso A1 pada hari ke-3 yang turun menjadi 8.27,
didukung juga oleh kenaikan pH pada hari ke-3. Bakso A2 dan A3
berdasarkan uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba
masih di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai penyimpanan hari ke-4.
Jumlah mikroba yang masih rendah ini menyebabkan sedikit
perubahan nilai TAT. Nilai TAT berkorelasi negatif dengan nilai pH,
semakin tinggi nilai pH semakin rendah nilai TAT, dan semakin
rendah nilai pH semakin tinggi nilai TAT. Hal ini disebabkan asam
akan terdisosiasi pada pH yang lebih tinggi dari nilai pKa-nya.
b. Metode Perebusan
Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perebusan selama
empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11.

50,00
45,00
(nl NaOH 0.1N/100ml)

40,00 kontrol
total asam tertitrasi

35,00 B1 (10%)
30,00 B2 (15%)
25,00
B3 (20%)
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 11.Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan

Gambar 11 menunjukkan pada hari ke-0, nilai TAT bakso


kontrol yang paling rendah dan nilai TAT bakso B3 paling tinggi.
Peningkatan konsentrasi larutan pengawet meningkatkan nilai TAT
dari bakso. Perubahan nilai TAT dari bakso B1, B2, dan B3 stabil
selama 4 hari penyimpanan. Nilai TAT bakso selama penyimpanan
dapat dilihat pada Tabel 17.

50

Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan
Nilai TAT pada hari ke-
Perlakuan
0 1 2 3 4
Kontrol 4.00 5.25 * * *
B1 (10%) 19.03 19.75 17.59 18.38 18.57
B2 (15%) 28.22 33.99 34.32 29.47 31.76
B3 (20%) 44.49 40.16 43.25 42.00 41.80
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan


berpengaruh terhadap nilai TAT bakso pada hari ke-0 (Lampiran 18).
Analisis sidik ragam juga menunjukkan perubahan nilai TAT bakso
kontrol berbeda antara hari ke-0 dengan hari ke-1, sedangkan nilai
TAT bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan tidak berbeda
signifikan (Lampiran 19, 20, dan 21).
Bakso B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai TAT yang lebih besar
dari nilai TAT bakso kontrol dan lebih besar dari nilai TAT bakso
metode pengawetan perendaman (Bakso A1, A2, dan A3). Nilai TAT
yang besar ini disebabkan penetrasi yang besar dari larutan pengawet
yang mengandung asam asetat. Metode perebusan menunjukkan
penetrasi yang lebih besar ke dalam bakso. Hal ini ditunjukkan nilai
TAT metode perebusan lebih besar dari metode perendaman pada
konsentrasi yang sama. Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total
mikroba bakso B1, B2, dan B3 di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai
penyimpanan hari ke-4. Berdasarkan profil perubahan nilai TAT,
metode pengawetan dengan perebusan dengan larutan pengawet
konsentrasi 10% dari larutan biang (B1) sudah dapat mempertahankan
nilai TAT selama 4 hari penyimpanan.
Menurut Ray dan Sandine (1992), penurunan pH disebabkan oleh
kandungan karbohidrat (pati) yang menjadi bahan pengisi dari bakso,
walaupun kandungan protein yang juga cukup tinggi karbohidrat akan
lebih dulu digunakan oleh mikroba pembentuk asam (bakteri asam

51

laktat). Peningkatan pH pada sampel yang diberi perlakuan disebabkan


oleh aktivitas proteolitik. Hidrolisis protein secara enzimatis oleh
golongan mikroba proteolitik cenderung menyebabkan peningkatan
derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978).
Hasil pengamatan yang didapat berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Setyadi (2008) menyatakan bahwa tahu yang diawetkan
dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3%
mengalami kenaikan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan
selama 3 hari. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Ferdiani
(2008) bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar
berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami kenaikan nilai total asam
tertitrasi selama penyimpanan 4 hari.
Jadi dapat disimpulkan bakso dengan perlakuan perendaman 15%
dan perebusan pada semua konsentrasi dapat mempertahankan perubahan
nilai total asam tertitrasi selama 4 hari penyimpanan.

4. Tekstur
Tekstur bakso diukur dengan menggunakan penetrometer untuk
melihat perubahan tekstur berdasarkan kedalaman jarum penetrometer
menembus permukaan bakso. Menurut Wibowo (2005), tekstur bakso
termasuk dalam kriteria mutu bakso. Tekstur yang bagus adalah tekstur
yang kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada
serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Kekerasan
menyatakan kekuatan suatu benda terhadap gaya tekan yang diberikan
tanpa mengalami deformasi bentuk (Soekarto, 1990). Prinsip
penetrometer adalah melakukan penusukan terhadap sampel dengan gaya
tertentu selama waktu tertentu.
Pengamatan untuk melihat perbedaan kekerasan antar bakso tanpa
pengawetan dan bakso dengan pengawetan, serta membandingkan
perubahan kekerasannya selama penyimpanan. Peningkatan hasil
pengukuran dengan penetrometer mengindikasikan bahwa kekerasan
sampel berkurang, sehingga jarum dapat lebih mudah menembus bakso
dan begitu juga sebaliknya, penurunan hasil pengukuran mengindikasikan
52

terjadinya peningkatan kekerasan dari sampel yang diukur Hasil


pengukuran dengan penetrometer selama 4 hari dapat dilihat pada
Lampiran 22.
a. Metode Perendaman
Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran penetrometer
terhadap tekstur dari bakso kontrol dan bakso perendaman (10%,
15%, dan 20%). Pada hari ke-0, bakso A1 menunjukkan nilai
pengukuran yang paling besar yaitu 17.28 mm/5detik yang artinya
bakso A1 adalah bakso yang paling lunak pada hari itu. Bakso
kontrol, A2, dan A3 menunjukkan kekerasan yang hampir sama pada
hari ke-0.

18

17
(mm/5 detik (1.4g))

kontrol
Daya Penetrasi

16
A1 (10%)
15 A2 (15%)
A3 ( 20%)
14

13

12
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai


konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan
selama penyimpanan

Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan tidak


berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan bakso (Lampiran 23). Hal
ini menunjukkan perendaman tidak mempengaruhi kekerasan bakso
pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol mengalami penurunan
kekerasan, sedangkan bakso A1, A2, dan A3 mengalami peningkatan
kekerasan. Bakso kontrol pada hari ke-1 sudah mengalami kerusakan

53

akibat aktivitas mikroba, kerusakan yang terjadi yaitu permukaan


berlendir dan tekstur yang mulai lunak. Jumlah total mikroba bakso
kontrol pada hari ke-1 juga telah lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram.
Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan kekerasan bakso
kontrol tidak berbeda signifikan (Lampiran 24). Bakso A1, A2, dan
A3 terus mengalami peningkatan kekerasan sampai hari ke-4.
Penurunan kekerasan seharusnya terjadi pada bakso A1 disebabkan
terjadinya aktivitas mikroba, jumlah total mikroba pada hari ke-3
pada bakso A1 telah mencapai 4.2x105 koloni/gram, sedangkan
jumlah total mikroba bakso A2 dan A3 masih di bawah 2.5x104
koloni/gram. Tidak turunnya kekerasan dari bakso A1 walau jumlah
mikroba sudah mencapai 4.2x105 dikarenakan kerusakan yang terjadi
masih pada permukaan saja sedangkan bagian dalam bakso masih
baik sehingga tidak mempengaruhi tekstur ketika diukur. Analisis
sidik ragam terhadap nilai kekerasan dari bakso A1, A2, dan A3
selama penyimpanan menunjukkan lama penyimpanan tidak
mempengaruhi nilai kekerasan secara signifikan (Lampiran 25, 26,
dan 27).
Bakso perlakuan pengawetan dengan perendaman ke dalam
larutan pengawet konsentrasi tertentu terbukti mampu menghambat
aktivitas mikroba pada bakso A1, A2, dan A3. Aktivitas mikroba
yang tinggi terjadi pada bakso kontrol yang mengalami penurunan
kekerasan pada hari ke-1. Menurut Jay (1996), bahwa lendir hasil
pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan terjadinya pelunakan atau
melonggarnya struktur protein daging. Menurut Frazier dan Westhoff
(1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah
3.0x106 sampai 3.0x108 koloni/ml dan jumlah populasi mikroba saat
terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2x106 sampai 1.2x108 koloni/ml.
Tidak terjadinya atau sedikitnya aktivitas mikroorganisme pada bakso
A1, A2, dan A3 membuat bakso perlakuan tidak mengalami
penurunan kekerasan.

54

Peningkatan kekerasan terjadi karena penurunan kadar air


selama penyimpanan sehingga menyebabkan mengkerutnya struktur
protein daging dan tekstur menjadi lebih keras. Dapat disimpulkan
bakso perlakuan dapat mempertahankan kekerasan dengan
menghambat aktivitas mikroba yang menyebabkan terjadinya
pelunakan tekstur dari bakso. Perlakuan perendaman bakso ke dalam
larutan pengawet konsentrasi 15% dan 20% dapat mempertahankan
kekerasan sampai hari ke-4 penyimpanan.
b. Metode Perebusan
Gambar 13 menunjukkan pada hari ke-0 bakso perlakuan
pengawetan dengan perebusan (B1, B2, dan B3) memiliki nilai
pengukuran yang paling besar, dan nilai pengukuran bakso kontrol
paling rendah.

19

18
(mm/5 detik (1.4g))

17 kontrol
Daya Penetrasi

16 B1 (10%)
B2 (15%)
15
B3 ( 20%)
14

13

12
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (Hari)

Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap kekerasan selama
penyimpanan

Analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh


nyata terhadap nilai kekerasan bakso pada hari ke-0 (Lampiran 28).
Hal ini menunjukkan metode perebusan tidak mempengaruhi
kekerasan bakso pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol
menunjukkan penurunan kekerasan disertai dengan
55

terdeteksinyakerusakan akibat aktivitas mikroba. Bakso B1, B2, dan


B3 terus mengalami peningkatan kekerasan selama penyimpanan. Hal
ini didukung oleh hasil uji mikrobiologi yang menunjukkan jumlah
total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai hari ke-4
penyimpanan masih di bawah 2.5x104 koloni/gram, sehingga bakso
belum mengalami kerusakan oleh mikroba.
Analisis sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan tidak
berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan dari bakso B1 dan B2
(Lampiran 29 dan 30), sedangkan analisis sidik ragam tehadap nilai
kekerasan bakso B3 menunjukkan lama penyimpanan mempengaruhi
nilai kekerasan secara nyata (Lampiran 31). Hal ini menunjukkan
bakso B1 dan B2 tidak mengalami peningkatan kekerasan secara
signifikan, sedangkan bakso B3 mengalami peningkatan kekerasan
yang besar. Jumlah total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai
hari ke-4 penyimpanan di bawah 2.5x104 koloni/gram.
Bakso perlakuan pengawetan dengan perebusan dengan larutan
pengawet konsentrasi tertentu dapat menghambat aktivitas mikroba
selama penyimpanan. Bakso kontrol yang merupakan bakso tanpa
perlakuan telah mengalami penurunan kekerasan akibat pertumbuhan
mikroba yang tinggi, yaitu lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram,
terutama bakteri proteolitik. Kekerasan yang rendah dari bakso B1,
B2, dan B3 pada hari ke-0 disebabkan perlakuan perebusan
mengempukkan tekstur bakso. Perlakuan pemanasan seperti
perebusan membuat struktur protein dari bakso menjadi merenggang.
Dapat disimpulkan perlakuan perebusan dengan larutan pengawet
berkonsentrasi 10%, 15%, dan 20% dapat mempertahankan kekerasan
dengan menghambat aktivitas mikroba selama 4 hari penyimpanan.
Menurut Frazier dan Westhoff (1978), beberapa golongan bakteri
yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung
protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri
proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti
Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria. Menurut Fardiaz (1989), semua

56

bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu


membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Metabolisme bakteri
heteotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen
makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk
pertumbuhannya.
Hasil pengukuran tekstur ini berbeda dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Setyadi (2008), yaitu tahu yang diawetkan dengan
pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% mengalami
penurunan tingkat kekerasan secara terus-menerus selama penyimpanan
selama 3 hari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ferdiani (2008)
bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar
berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami penurunan tingkat kekerasan
selama penyimpanan 4 hari.
Jadi dapat disimpulkan bakso perlakuan perendaman dan
perebusan pada semua konsentrasi yang diujikan dapat mempertahankan
tekstur (kekerasan) selama empat hari penyimpanan pada suhu ruang.

5. Warna
Warna merupakan mutu sensori yang pertama terdeteksi ketika
mengkonsumsi produk pangan dan mempengaruhi penilaian terhadap
produk karena memberikan persepsi terhadap sesuatu, termasuk pada
bakso. Sifat warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik
perhatian konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau
tidak (Soekarto, 1990). Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu warna
bakso adalah coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat
muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut
merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur). Oleh sebab itu
pengujian terhadap warna dari bakso secara objektif dilakukan.
Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter. Chromameter
adalah alat yang digunakan untuk menganalisis warna secara tristimulus
untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Sebuah
lampu gelombang xenon arc akan memberikan pencahayaan pada
permukaan sampel kemudian pantulan cahaya dari permukaan sampel
57

akan dideteksi oleh detektor. Skala yang digunakan dalam pengukuran


warna pada penelitian adalah L (Lightness/ kecerahan), a (a+ warna
merah, a- warna hijau), dan b (b+ kuning, b- biru) yang kemudian nilai a
dan b dikonversi menjadi nilai 0Hue.
a. Metode Perendaman
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna bakso. Perubahan
nilai L bakso kontrol dan perebusan selama penyimpanan dapat
dilihat pada Gambar 14. Kecerahan sampel bakso yang diberi
perlakuan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, dibandingkan dengan
bakso kontrol (Lampiran 32).

57,00

56,00

55,00
Kecerahan (L)

54,00 kontrol

53,00 A1 (10%)
A2 (15%)
52,00
A3 (20%)
51,00

50,00
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai


konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan
selama penyimpanan

Gambar 14 menunjukkan kecerahan bakso kontrol berbeda


dengan kecerahan dari bakso A1, A2, dan A3. Kecerahan bakso
kontrol lebih rendah dibanding bakso perlakuan. Analisis sidik ragam
(ANOVA) menunjukkan nilai kecerahan bakso kontrol pada hari ke-0
berbeda dengan nilai kecerahan bakso perlakuan (Lampiran 34).
Bakso perlakuan lebih cerah dibandingkan bakso kontrol. Kecerahan
bakso kontrol pada hari ke-1 mengalami peningkatan. Analisis sidik

58

ragam menunjukkan peningkatan ini tidak berbeda dengan kecerahan


pada hari ke-0 (Lampiran 35).
Nilai kecerahan dari bakso perlakuan A1, A2, dan A3
menunjukkan perubahan yang fluktuatif, pada hari ke-1 bakso A1, A2
dan A3 mengalami peningkatan kecerahan. Pada hari ke-2, terjadi
penurunan kecerahan bakso A1 dan A2, sedangkan bakso A3 masih
mengalami peningkatan kecerahan. Pada hari ke-3, bakso A1, A2, dan
A3 menunjukkan penurunan keceran. Pada hari ke-4, bakso A1 dan
A3 mengalami peningkatan kecerahan, sedangkan bakso A2
mengalami penurunan kecerahan. Analisis sidik ragam untuk nilai
kecerahan bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan kecerahan
selama penyimpanan tidak berbeda signifikan (Lampiran 36, 37, dan
38).
Peningkatan kecerahan dari bakso kontrol pada hari ke-1
disebabkan oleh aktivitas mikroba yang membentuk lendir, sehingga
permukaan bakso menjadi mengkilat dan memantulkan cahaya lebih
banyak ketika diukur. Bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan
nilai kecerahan yang fluktuatif selama penyimpanan. Perbedaan nilai
kecerahan yang tidak terlalu besar selama penyimpanan disebabkan
tidak meratanya warna bakso, ada bagian yang lebih terang dan ada
bagian yang lebih gelap. Nilai kecerahan bakso A1, A2, dan A3
selama perlakuan berkisar antara 54.41 sampai 56.39. Nilai ini
menunjukkan bahwa bakso selama penyimpanan tetap berwarna abu-
abu. Hasil survei yang dilakukan Andayani (1999), menunjukkan
konsumen paling menyukai bakso dengan nilai kecerahan sebesar
53.77. Kecerahan bakso A1, A2, dan A3 masih mendekati nilai
kecerahan 53.77.
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap oHue dari kontrol dan
sampel perlakuan (Lampiran 33).

59

92

90

88 kontrol

Derajat Hue
A1 (10%)
86
A2 (15%)
84
A3 (20%)
82

80

78
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai


konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue
selama penyimpanan

Nilai 0Hue bakso kontrol mengalami penurunan dari 85.990 (hari


0) ke 83.360 (hari 1). Nilai 0Hue 540-900 merupakan kisaran warna
merah ke kuning, jadi kontrol mengalami perubahan warna menjadi
lebih merah selama 1 hari pengamatan saat bakso kontrol mengalami
kerusakan. Perlakuan perendaman dengan larutan pengawet
konsentrasi 10%, 15%, dan 20% pada hari 0 menunjukkan nilai 0Hue
yang hampir sama dengan kontrol, nilainya berturut-turut yaitu 89.56,
89.06, dan 89.86. Pada hari 1 perlakuan perendaman dengan larutan
pengawet konsentrasi 10%, 15%, dan 20% mengalami penurunan
0 0
Hue. Nilai Hue menunjukkan profil yang fluktuatif hal ini
disebabkan warna bakso yang tidak merata. Nilai 0Hue masih berada
dalam kisaran 82.34 sampai 89.98. Nilai ini mewakili warna kuning
dan mendekati warna kontrol pada hari ke-0, sehingga perlakuan
pengawetan dapat mempertahankan warna bakso sampai hari ke-4.
Pengukuran 0Hue untuk bakso pelakuan perendaman dapat dilihat
pada Tabel 18.

60

Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan

Perlakuan H-0 H-1 H-2 H-3 H-4


Kontrol 85,99 83,36 * * *
A1 (10%) 89,56 82,34 83,91 89,14 84,79
A2 (15%) 89,06 82,93 89,10 87,19 85,47
A3 (20%) 89,86 86,31 89,26 89,98 85,83
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

b. Metode Perebusan
Perubahan nilai L bakso kontrol dan perebusan selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukkan
kecerahan bakso kontrol berbeda dengan kecerahan dari bakso B1,
B2, dan B3. Analisis sidik ragam menunjukkan nilai kecerahan bakso
kontrol berbeda dengan bakso perlakuan perebusan (Lampiran 39).
Pada hari ke-0, kecerahan bakso kontrol lebih rendah dibanding bakso
perlakuan. Pada hari ke-1 kecerahan bakso kontrol mengalami
peningkatan. Bakso B1 dan B3 juga mengalami peningkatan
kecerahan, sedangkan bakso B2 mengalami penurunan nilai
kecerahan. Nilai kecerahan bakso B1 dan B2 terus meningkat sampai
hari ke-4, sedangkan bakso B3 sampai hari ke-3 mengalami
peningkatan kecerahan dan pada hari ke-4 mengalami penurunan
kecerahan. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan kecerahan
bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan tidak berbeda signifikan
(Lampiran 40, 41, dan 42).

61

57,00

56,00

55,00

Kecerahan (L)
kontrol
54,00
B1 (10%)
53,00 B2 (15%)
52,00 B3 (20%)

51,00

50,00
0 1 2 3 4

Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap kecerahan selama
penyimpanan

Berdasarkan pengamatan terjadi peningkatan kecerahan dari


bakso kontrol dan perlakuan. Bakso kontrol mengalami peningkatan
nilai kecerahan yang besar, sedangkan perlakuan mengalami
peningkatan nilai kecerahan secara bertahap antar hari. Penilaian yang
fluktuatif terhadap kecerahan dari bakso dikarenakan tidak meratanya
warna dari bakso, terdapat bagian yang lebih gelap dan bagian yang
lebih terang. Sehingga nilai kecerahan yang terukur berbeda.
Kecerahan bakso yang diberi perlakuan pengawetan perebusan berada
pada kisaran 53.14 sampai 55.94. Nilai ini mewakili warna abu-abu
dan masih merupakan warna normal bakso
Selanjutnya dilakukan analisis terhadap oHue dari kontrol dan
sampel perlakuan (Lampiran 33).

62

92
90
88
86 kontrol

Derajat Hue
84 B1 (10%)
82 B2 (15%)
80
B3 (20%)
78
76
74
72
70
0 1 2 3 4
Lama Penyimpanan (hari)

Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi


larutan pengawet terhadap derajat hue selama
penyimpanan

Gambar 17 menunjukkan pada hari ke-0 , nilai 0Hue dari bakso


kontrol sama dengan bakso perlakuan (Bakso B1, B2, dan B3). Pada
hari ke-1, bakso kontrol mengalami sedikit penurunan nilai 0Hue.
Perubahan 0Hue dari bakso perlakuan perebusan menunjukkan profil
yang hampir sama dengan perubahan 0Hue dari bakso perlakuan
perendaman. Terjadi fluktuasi nilai 0Hue selama penyimpanan, yang
disebabkan warna permukaan bakso tidak merata. Pengukuran 0Hue
untuk bakso pelakuan perebusan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap derajat hue selama
penyimpanan
Perlakuan H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
Kontrol 85,99 83,36 * * *
B1 (10%) 88,12 83,83 89,98 88,08 87,25
B2 (15%) 88,12 77,70 89,45 89,68 88,40
B3 (20%) 87,49 82,89 89,78 84,87 89,59
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan

Ketidakseragaman dari warna bakso menyebabkan perubahan nilai


0
Hue yang tidak dapat dilihat profil perubahannya, diantaranya bumbu

63

yang tidak merata, yang terlihat pada permukaan bakso. Peningkatan


intensitas warna merah pada bakso dan penurunan warna kuning,
dikarenakan terjadinya pengikatan oksigen sehingga membentuk
oksimioglobin yang berwarna merah terang sehingga nilai kecerahan pada
bakso pun meningkat, jika terjadi oksidasi berlebihan oleh oksigen
terhadap oksimioglobin akan menyebabkan oksimioglobin menjadi
metmioglobin yang berwarna coklat dan lebih gelap. Hal ini didukung
oleh kondisi pengemasan bakso yang tidak vakum sehingga
memungkinkan terjadinya oksidasi oleh oksigen.
Warna bakso dipengaruhi oleh jenis daging, jenis dan jumlah
tepung serta bahan pemutih yang digunakan. Kecerahan bakso juga
cenderung menurun dengan semakin banyaknya penambahan jumlah
tepung. Bakso yang beredar di pasaran pada umumnya berwarna abu-abu
(pucat sampai gelap) atau putih (bakso ikan atau bakso daging yang
ditambahkan bahan pemutih).

6. Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan yaitu uji rating hedonik atau
kesukaan. Uji Hedonik adalah uji penerimaan berdasarkan penilaian
panelis secara spontan sehingga tidak digunakan standar. Uji ini hanya
menilai kesukaan atau ketidaksukaan panelis secara subjektif. Uji ini
untuk mengetahui derajat kesukaan panelis terhadap bakso yang diberi
perlakuan pengawetan. Hasil pengukuran ini menunjukkan penerimaan
subjektif dari panelis yang mewakili penerimaan konsumen bakso secara
umum.
Data hasil uji diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan
apabila terdapat perbedaan yang signifikan antar sampel dilanjutkan
dengan uji uji Duncan untuk mengidentifikasi sampel yang berbeda.
a. Metode Perendaman
Aroma merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk
mengukur tingkat kesukaan bakso yang diberi perlakuan pengawet asam
organik. Hasil penilaian panelis terhadap parameter aroma, rasa, dan

64

keseluruhan daari bakso konntrol dan bakkso perlakuaan pengawettan dengan


perendaman daapat dilihat pada Gambarr 18.

aroma
6
5
4
kontro
ol
3
A1 (10%)
2
1 A2 (15%)

0 A3 ( 20%)
2

kkeseluruh
rasa
an

Gambar 18. Pengaaruh perenddaman bakkso dengann berbagai


konseentrasi larutaan pengawett terhadap penerimaan
p
paneliis

1) Aroma
Hasiil uji organnoleptik mennunjukkan parameter
p a
aroma dari
bakso tanp
pa perlakuann (kontrol) memperoleh
m h penerimaaan tertinggi
yaitu 5.80,, nilai ini terrdapat antarra agak sukka dan suk
ka. Bakso
A1, A2, daan A3 menuunjukkan nillai penerimaaan berturut--turut yaitu
4.43, 4.13,, dan 3.07. Penerimaann aroma unttuk bakso A1
A dan A2
nilainya teerdapat anttara netral dan agak suka, sedangkan
penerimaan
n untuk baksso C nilainyaa terdapat anntara agak tidak
t suka
dan netrall.
Anallisis sidik raagam (ANO
OVA) terhaddap penerim
maan aroma
menunjukk
kan perlakuuan berpeng
garuh nyataa terhadap parameter
aroma. Ujii Duncan menunjukkan
m n penerimaaan aroma un
ntuk bakso
kontrol berbeda dari bakso
b perlakkuan, baksoo A1 dan A2
A berbeda
nnya, sedanngkan bakso
penerimaan o A3 berbeeda dari koontrol dan
berbeda jugga dengan baakso A1 dan
n A2 (Lampiiran 49).
Peneerimaan pannelis terhadaap aroma bakso perlak
kuan masih
baik sampai konsentraasi 15% darri larutan biiang. Pada konsentrasi
k

65

20%, penerimaan panelis menunjukkan hasil agak tidak disukai.


Perlakuan pengawetan mengurangi penerimaan terhadap bakso,
karena bakso kontrol menunjukkan penerimaan yang paling tinggi.
Penelitian Ferdiani (2008) menyatakan perendaman mi basah dengan
larutan asam asetat 2% menurunkan penerimaan terhadap aroma
secara signifikan. Penurunan penerimaan terhadap aroma disebabkan
bau yang tajam dan menyengat dari asam asetat.
Aroma asam asetat dapat tertutupi oleh komponen aroma dari
bawang putih untuk bakso A1 dan A2. Tingkat volatilitas ekstrak
bawang putih yang lebih tinggi dibanding asam asetat menyebabkan
intensitas aroma bawang putih lebih dominan tercium oleh panelis.
Penerimaan aroma untuk bakso A1 dan A2 antara netral dan agak
suka. Penerimaan aroma ini juga didukung karena bawang putih
merupakan ingredien bakso yang umum digunakan, sehingga aroma
ini tidak menyimpang dari aroma bakso normal.
2) Rasa
Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter rasa dari bakso
kontrol memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 5.0, (agak suka).
Penerimaan aroma untuk bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai
penerimaan yaitu 4.17, 3.77, dan 3.07. Penerimaan rasa untuk bakso
A1 nilainya antara netral dan agak suka, sedangkan penerimaan
untuk bakso A2 dan A3 nilainya antara agak tidak suka dan
netral.
Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan rasa
menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap rasa. Uji
Duncan menunjukkan penerimaan rasa untuk bakso kontrol berbeda
dengan bakso perlakuan, bakso A1, A2, dan A3 juga saling berbeda
penerimaan rasanya secara signifikan (Lampiran 50).
Penerimaan panelis terhadap bakso perlakuan berbeda dengan
bakso kontrol. Uji organoleptik menunjukkan penerimaan rasa
terhadap bakso perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan bakso
kontrol. Penerimaan untuk bakso yang direndam dengan larutan

66

pengawet konsentrasi 10% masih baik. Penelitian Ferdiani (2008)


mengatakan bahwa perendaman mi basah matang ke dalam larutan
pengawet asam asetat 2 % saja menyebabkan perbedaan rasa yang
signifikan terhadap mi basah kontrol, dimana mi basah kontrol lebih
disukai.
3) Keseluruhan
Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter keseluruhan
dari bakso kontrol memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 5.17, nilai
ini berada antara agak suka dan suka. Penerimaan keseluruhan
untuk bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai penerimaan
berturut-turut yaitu 3.77, 3.47, dan 2.80. Penerimaan rasa untuk
bakso A1 dan A2 nilainya terdapat antara agak suka dan netral.
Penerimaan untuk bakso A3 terdapat antara tidak suka dan agak
tidak suka.
Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan
keseluruhan menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap
parameter keseluruhan. Uji Duncan menunjukkan penerimaan
keseluruhan untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan,
bakso A1 dan A2 tidak berbeda penerimaannya, dan bakso A3
berbeda dengan kontrol dan bakso A1 dan A2 (Lampiran 51).
Penerimaan parameter keseluruhan untuk bakso yang
diawetkan dengan perendaman ke dalam larutan pengawet
menunjukkan penerimaan yang rendah, yaitu antara tidak sukadan
netral. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Ferdiani (2008)
yang menyatakan bahwa perendaman mi basah matang ke dalam
larutan pengawet asam asetat 2% tidak menyebabkan perbedaan
penerimaan keseluruhan yang signifikan terhadap mi basah.
Perbedaan penerimaan antara bakso kontrol dan bakso perlakuan
disebabkan sifat ekstrak bawang putih yang lengket dari larutan
biang, sehingga bakso setelah perendaman memiliki permukaan
yang lengket dan sulit untuk kering dan terjadi akumulasi larutan

67

pengawet pada permuukaan bakso yang meenurunkan penerimaan


p
parameter keseluruhan
k n.
b. Mettode Perebu
usan
Hasil penilaian panelis terhhadap param
meter aroma,, rasa, dan
keseluruhaan dari baksso kontrol dan
d bakso pperlakuan pengawetan
p
dengan perrebusan dapaat dilihat pad
da Gambar 119.

aroma
6
5
4 kontrrol
3 B1 (1
10%)
2
B2 (1
15%)
1
B3 ( 20%)
0

keseluruhan
n rasa

Gambar 19. Pengaaruh perebbusan baksso dengan berbagai


konsenntrasi larutann pengawet terhadap penerimaan
panelis

1) Aroma
Hasil uji organnoleptik mennunjukkan pparameter aroma
a dari
bakso tanp
pa perlakuann (kontrol) memperoleh
m h penerimaaan tertinggi
yaitu 5.27,, nilai ini anntara agak suka dan suka. Baksso B1, B2,
dan B3 menunjukkan
m n nilai peneerimaan bertturut-turut yaitu
y 5.10,
5.00, dan 4.90.
4 Penerim
maan aromaa untuk baksso B1 dan B2
B nilainya
terdapat anntara agak suka
s dan ssuka. Penerrimaan untukk bakso B3
nilainya terrdapat antaraa netral daan agak sukka.
Anallisis sidik ragam (A
ANOVA) terhadap p
penerimaan
keseluruhaan menunjukkkan perlak
kuan berpenngaruh nyataa terhadap
aroma. Ujii Duncan menunjukkan
m n penerimaaan aroma un
ntuk bakso
kontrol dan
n bakso perlaakuan tidak berbeda nyaata (Lampiraan 52).

68

Penerimaan yang tinggi terhadap parameter aroma dari bakso


yang direbus dengan larutan pengawet disebabkan penggunaan suhu
yang tinggi ketika perebusan. Suhu yang tinggi meningkatkan
jumlah komponen aroma bawang putih yang volatil lebih banyak
menguap dan terdeteksi oleh indera penciuman. Perbedaan titik didih
asam asetat dan ekstrak bawang putih menyebabkan aroma bawang
putih lebih dominan dari aroma asam asetat pada saat pendinginan
setelah perebusan.
2) Rasa
Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter rasa dari bakso
tanpa perlakuan (kontrol) memperoleh penerimaan tertinggi yaitu
5.93, nilai ini terdapat antara agak suka dan suka. Bakso yang
B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai penerimaan berturut-turut yaitu
3.87, 3.47, dan 2.90. Penerimaan aroma untuk bakso B1 dan B2
nilainya terdapat antara agak tidak suka dan netral. Penerimaan
untuk bakso B3 nilainya terdapat antara tidak suka dan agak tidak
suka.
Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan rasa
menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap rasa. Uji
Duncan menunjukkan penerimaan keseluruhan untuk bakso kontrol
berbeda dengan bakso perlakuan, bakso B1 dan B2 tidak berbeda
penerimaannya, dan bakso B3 berbeda dengan kontrol dan bakso B1
dan B2 (Lampiran 53).
Penerimaan yang rendah untuk parameter rasa dari bakso yang
direbus dengan larutan pengawet disebabkan oleh penetrasi larutan
pengawet yang tinggi ke dalam bakso. Hal ini menyebabkan jumlah
asam yang masuk ke dalam bakso semakin besar, sehingga intensitas
rasa asam semakin kuat ketika dideteksi oleh indera pengecap.
Selain itu, peningkatan konsentrasi larutan biang semakin
menurunkan penerimaan rasa dari bakso yang diberi perlakuan.

69

3) Keseluruhan
Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter aroma dari
bakso tanpa perlakuan (kontrol) memperoleh penerimaan tertinggi
yaitu 6.00, nilai ini yaitu suka. Bakso B1, B2, dan B3
menunjukkan nilai penerimaan berturut-turut yaitu 4.33, 4.00, dan
3.63. Penerimaan aroma untuk bakso B1 dan B2 nilainya terdapat
antara netral dan agak suka. Penerimaan untuk bakso B3
nilainya terdapat antara agak tidak suka dan netral.
Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan
keseluruhan menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap
parameter keseluruhan. Uji Duncan menunjukkan penerimaan
keseluruhan untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan,
bakso yang direbus B1 dan B2 tidak berbeda penerimaannya, dan
bakso B3 berbeda dengan kontrol dan bakso yang direbus B1 dan B2
(Lampiran 54).
Penerimaan keseluruhan terhadap bakso yang diberi perlakuan
perebusan menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan
perlakuan perendaman. Bakso yang direbus dengan larutan
pengawet, memiliki permukaan yang kering dan aroma bawang putih
yang kuat. Sifat larutan biang yang lengket dan susah kering diatasi
dengan penggunaan suhu yang tinggi pada perebusan. Ketika bakso
ditiriskan, larutan pengawet yang menempel pada permukaan bakso
mengering karena suhu yang tinggi. Perebusan meningkatkan
penetrasi larutan pengawet sehingga bakso yang diberi perlakuan
memiliki rasa asam yang lebih kuat. Hal ini menurunkan penerimaan
parameter rasa dan parameter keseluruhan dari penerimaan bakso
yang diberi perlakuan.
Aroma bawang putih dapat menutupi rasa asam dari asam asetat
karena perbedaan volatilitas keduanya. Komponen volatil bawang putih
lebih dahulu menguap sehingga terdeteksi lebih awal dibandingkan
aroma asam asetat.

70

Rasa asam terdeteksi ketika asam terdisosiasi menjadi ion hidrogen


(H3O+), ion ini terdeteksi oleh ion hidrogen channel dan berinteraksi
dengan amaloryde sensitive channel yang akan memberi kesan rasa asam
(Anonimb, 2006). Rasa asam terdeteksi setelah ion hidrogen tercuci oleh
saliva. Mekanisme penurunan intensitas rasa asam dengan penambahan
ekstrak rempah disebabkan rasa ekstrak bawang putih yang kuat,
sehingga pencucian oleh saliva sesaat setelah ion hidrogen terdeteksi
langsung ditutupi oleh rasa ekstrak bawang putih. Rasa asam yang
terdeteksi segera dicuci oleh rasa khas yang kuat dari bawang putih,
sehingga rasa asam hanya terdeteksi sedikit dan sesaat oleh indera
pengecap manusia. Komponen citarasa bawang putih dalam bentuk
ekstrak memiliki rasa dan aroma yang lebih kuat dibandingkan rasa dan
aroma bawang putih biasa.
Sifat oleoresin termasuk di dalamnya bawang putih yaitu kental,
berupa cairan sampai semi padat menyulitkan pencampuran ke dalam
makanan tanpa disertai dengan pemanasan, dan kualitas flavornya
tergantung dari pelarut yang digunakan (Farrel, 1985). Oleh sebab itu,
penerimaan parameter keseluruhan dari perlakuan perendaman lebih
rendah dari perlakuan perebusan, karena perlakuan perebusan disertai
dengan perlakuan pemanasan. Sifat ekstrak bawang putih yang kental
juga menyebabkan permukaan bakso dengan perendaman terlihat
berlendir dan lengket.

7. Analisis Biaya
Pertimbangan produsen bakso dalam memilih pengawet adalah
keefektifan pengawet dalam memperpanjang umur simpan dan
pertimbangan ekonomis. Aplikasi pengawet pada bakso akan menambah
biaya produksi, sehingga produsen cenderung memilih pengawet yang
relatif murah sehingga tidak terjadi peningkatan biaya produksi yang
terlalu besar, sehingga pada akhirnya harus menaikkan harga penjualan
bakso untuk konsumen.
Pendekatan untuk analisis biaya aplikasi pengawet dilakukan
secara sederhana, dengan memperhitungkan harga dari bawang putih,
71

cuka pasar (25%), dan alkohol (etanol 70%) sebagai pelarut untuk proses
ekstraksi. Analisis biaya untuk bakso dilakukan dengan menimbang
bobot bakso sebelum dan setelah perlakuan, sehingga diketahui beberapa
jumlah larutan yang terserap dan terbawa oleh bakso. Larutan pengawet
diencerkan ke dalam air, berdasarkan uji mikrobiologi dan uji
organoleptik, untuk perlakuan perendaman konsentrasi larutan pengawet
minimum adalah 15% dan untuk perebusan konsentrasi larutan
minimum adalah 10%.
Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui harga larutan biang
yang merupakan campuran asam asetat (cuka pasar) dan ekstrak bawang
putih. Dapat dilihat pada Tabel 20, 21 dan 22.
Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan
No Nama bahan Harga (Rp) Satuan
1 Cuka pasar, merk Dixie (25%) 13.250,00 liter
2 Bawang putih 15.000,00 kg
3 Alkohol (etanol 70%) 15.000,00 liter

Bahan-bahan yang digunakan diperoleh dari pasar dan toko bahan


kimia. Bahan yang cukup mahal adalah bawang putih dan alkohol,
penggunaan alkohol dapat lebih dari sekali, karena dalam proses juga
dilakukan pemisahan pelarut dari ekstrak. Pada perhitungan ini alkohol
dianggap hanya digunakan untuk sekali ekstraksi.
Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih
Bahan Jumlah Harga (Rp)
Bawang putih 1 kg 15.000,00
Bawang putih bersih kulit 900 g
Pengeringan :
Bobot bawang putih dengan
900 g
kadar air awal 69.18%
Bobot bawang putih dengan
516,83 g
kadar air akhir 46.33%
Alkohol untuk ekstraksi (1:4) 2,07 liter 31.050,00
Rendemen ekstraksi 75,18% 388,55 ml 46.050,00

72

Tabel 22. Penghitungan biaya untuk pembuatan larutan biang dan


pertambahan biaya pengawetan bakso
Bahan Jumlah Harga (Rp)
Ekstrak bawang putih 388,55 ml 46.050,00
Asam asetat yang dicampurkan
60:40 volume ekstrak 582,83 ml 7.722,50
971,38 ml 53.772,50
Harga per liter 1.000 ml 53.356,81

Aplikasi untuk 1 liter larutan


Perendaman
Konsentrasi minimal 15% 150 ml 8.003,52
Perebusan
Konsentrasi minimal 10% 100 ml 5.335,68

Bakso perendaman 15% mengalami


peningkatan berat sebesar 0,585 g 4,68/bakso (13g)
Bakso perebusan 10% mengalami
peningkatan berat sebesar 1,26 g 6,72/bakso (13g)
Kenaikan biaya produksi per kg
Pengawetan perendaman 15% 1 kg 360.00
Pengawetan perebusan 10% 1 kg 516,92

Peningkatan biaya untuk memproduksi 1 kg bakso untuk rendam


adalah sebesar Rp.360,00 dan untuk rebus sebesar Rp.514,92. Peningkatan
biaya ini cukup besar dikarenakan penggunaan bawang putih yang
harganya cukup mahal yaitu Rp.15.000,00 per kg, dan penggunakan
alkohol yang pada perhitungan ini dianggap sekali pakai, harganya yaitu
Rp.15.000,00 per liter. Jika dibandingkan dengan penggunaan formalin,
biaya tambahan pengawet formalin 250 ppm untuk 1 kg bakso yaitu
sekitar Rp. 54,00, biaya tambahan dengan menggunakan pengawet asam
asetat dan ekstrak bawang putih relatif lebih mahal. Meskipun demikian,
jika melihat efek toksik yang ditimbulkan oleh pengawet formalin,
pengawetan dengan asam cuka pasar cenderung lebih baik. Menurut
Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc (2004) yang dikutip oleh Teddy
(2007), batas konsentrasi formaldehid yang tidak berpengaruh terhadap
kesehatan manusia hanyalah sebesar 0.05 ppm.
73

Biaya pengawetan ini tentunya sebanding dengan nilai


keamanannya ketika dikonsumsi, karena tidak adanya efek toksisitas bagi
tubuh walau dikonsumsi berulang kali. Efektivitasnya dalam
memperpanjang umur simpan bakso hingga penyimpanan minimal empat
hari (pelakuan perendaman konsentrasi minimal adalah 15% dan
perlakuan perebusan konsentrasi minimal adalah 10%) dapat dijadikan
pertimbangan untuk menggantikan formalin dan boraks.

74

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol merupakan
metode paling efektif untuk mendapatkan ekstrak bawang putih dengan aroma dan
citarasa yang kuat dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan pelarut heksan
(non polar) dan etil asetat (semi polar).
Formula yang memenuhi kriteria pH dan intensitas rasa asam adalah
larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan perbandingan 60:40. Hasil
pengujian aktivitas antimikroba menunjukkan pengenceran terhadap formula
terpilih dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20% memiliki kemampuan
menghambat kerusakan oleh mikroba pada bakso.
Uji mikrobiologi menunjukkan perendaman dan perebusan dengan larutan
pengawet dapat menghambat aktivitas mikroba pada bakso. Jumlah total mikroba
pada bakso kontrol hari ke-1 lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram, sedangkan
jumlah total mikroba bakso perlakuan sampai hari ke-4 masih di bawah 2.5x104
koloni/gram, kecuali bakso yang direndam dengan konsentrasi 10%. Total
mikroba dari bakso yang direndam larutan pengawet konsentrasi 10% pada hari
ke-3 telah mencapai 4.2x105 koloni/gram. Konsentrasi minimum untuk metode
perendaman yaitu 15% dan metode perebusan yaitu 10% dapat mempertahankan
bakso dari kerusakan sampai 4 hari penyimpanan di suhu ruang.
Uji organoleptik menunjukkan perlakuan pengawetan berpengaruh nyata
terhadap kesukaan panelis untuk parameter aroma, rasa, dan keseluruhan secara
signifikan. Nilai derajat kesukaan bakso perlakuan perendaman dan perebusan
berbeda dari bakso tanpa perlakuan (kontrol). Peningkatan konsentrasi larutan
pengawet yang digunakan menurunkan kesukaan panelis terhadap parameter
aroma, rasa, dan keseluruhan.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dan
perebusan berpengaruh terhadap nilai pH, TAT, tekstur bakso, dan warna.
Analisis biaya menunjukkan untuk pengawetan dengan metode perebusan
konsentrasi 10% menambah biaya produksi sebesar Rp.514,92 per kg bakso, dan
untuk pengawetan dengan metode perendaman konsentrasi 15% menambah biaya
produksi sebesar Rp.360,00 per kg bakso.
75

Metode pengawetan yang paling efektif adalah metode perebusan dengan


konsentrasi larutan pengawet 10%. Pengawetan ini dapat mempertahankan
keawetan bakso selama 4 hari pada suhu ruang. Penerimaan sensori untuk
konsentrasi 10% ini lebih tinggi daripada penerimaan sensori metode perendaman
pada konsentrasi yang sama.

B. SARAN
Pengawetan bakso dengan perendaman dan perebusan menggunakan
kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih selama 10 menit dapat
mempertahankan umur simpan bakso hingga 4 hari. Namun, dilihat dari segi
sensori, pengawet ini masih belum sepenuhnya diterima secara organoleptik
karena rasa asam yang ditimbulkan masih belum tertutupi dengan sempurna.
Untuk mengurangi rasa yang masih asam, disarankan untuk :
1. Menambahkan rempah lain yang mempunyai aroma dan rasa yang lebih
kuat
2. Mengkombinasikan asam cuka pasar dengan asam laktat atau asam
organik lainnya yang memiliki karakteristik rasa asam yang tidak terlalu
tajam.
3. Menambahkan perlakuan perendaman dalam larutan basa yang foodgrade
ketika hendak disajikan untuk mengurangi rasa asam.
4. Mengurangi lamanya perebusan bakso dalam larutan pengawet.

76

VI. DAFTAR PUSTAKA

[Anonima. 2005] Tanaman Obat Indonesia. www.iptek.net.id. [2 Februari 2006]

[Anonimb. 2006] Tongue Feels Sour Taste Only After Saliva Has Wiped It Off.
www.thaindian.com. [16 Maret 2009].

[ICMSF] The Internacional Comisin on Microbiological Specification for Foods.


1980. Microbial Ecology of Foods Volume 1. Factors Affecting Life and
Death of Microorganisms. New York: Academia Press.

Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB. Bogor.

Adams, M. R. Dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology. Chapman, The Royal


Society Of Chemistry. United Kingdom.

Amagase, H., B. L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga, Y. Itakura. 2001. Intake of


Garlic dan Its Bioactive Components. Journal of Nutrition. 131:955S-962S.

Andayani, R. 1999. Standarisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan


Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fateta,
IPB, Bogor.

AOAC International. 1999. Official Method of Analysis 925.45 Chapter 44.1.03


p.2.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L.Puspitasari, Y. Sedarnawati dan B. Budiyanto.


1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU IPB. Bogor

Ardiansyah. 2007. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional.


www.beritaiptek.com [19 Maret 2007].
Block, E. 1992. The Organosulfur Chemistry of The Genus Allium. Implications
for The Organic Chemistry of Sulfur. Angew. Chem. Int. Ed. Engl 31:1135-
1178

Bombardelli, E. 1991. Technologies for the processing of medical plants. Di


dalam Supriadi. Optimalisasi Ekstraksi Komponen Bioaktif Daun Tabat
Barito. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

Buckle, K. A., R. A.Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.


Terjemahan. Penerjemah : Purnomo, H., Adiono. UI Press. Jakarta.

Chung, K.C. dan Geopfert. 1970. Di dalam : Gould, G.W. (Ed). 1995. New
Method of Food Preservation. Chapman and Hall, Glosgow.

77

Danesi, P. R. 1992. Solvents Extractiom Kinetic. di dalam Rydberg, j., C.


Musikas dan G. R. Choppin. Principles and Practises of Solvent Extraction.
Marcel Dekker Inc., New York.

Davidson, P. M., N. S. Jhon, A. L. Brannen. 2005. Antimicrobial in Food. 3rd


edition. Taylor & Francis Group. United States Of America.

Dickson, J. S., dan M. E. Anderson. 1992. Microbilological Decontamination of


Food Animal Carcasses by Washing and Sanitizing Systems : A Review. J.
Food Protect. 55 : 133-140.

Dorres, S. 1993. Organics Acids. Di dalam : Davidson, P. M., Branen, A. L.


(Eds.). Antimicrobials In Foods. Marcel Dekker Inc. New York.

Elviera, G. 1988. Pengaruh Pelayuan Daging Sapi Terhadap Mutu Bakso


Bakso.Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan


dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. IPB Press. Bogor

Farrel, K. T. 1985. Spices, Condiments, and Seasonings. The AVI Publ. Co., Inc.
Westport, Connecticut.

Fenwick, G. R., dan A, B, Hanley. 1985. The Genus Allium. CRC Critical Review
in Food Science and Nutrition.

Ferdiani, I. 2008. Pengaruh Perendaman Larutan Asam Organik Terhadap Mutu


Sensori dan Umur Simpan Mi Basah Matang Pada Suhu Ruang. Skripsi.
Fateta IPB, Bogor.

Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th Edition.


McGraw-Hill, Inc., USA.

Frazier, W.C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill, Ltd.


New York.

Furia, E. T. 1972. Handbook of Food Additives Second EditionVolume I. CRC


Press, Inc. Florida.

Guenther, E. 1952. The Essential Oil. Vol. VI. D. Van Nostrand Company, Inc.
New York.

Harborne, I. B. 1987. Metode Fitokimia, terjemahan K. Radmawinata dan I.


Soediso. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.

78

Hart, H., L.F. Craine, D.J dan Hart. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat.
Penerbit Erlangga, Jakarta.

Houghton, P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination


of Natural Extract. Thomas Science, London.

ICMSF. 1996. Microorganism In Food : Microbial Ecology Of Food


Commodines. G. Blackie Academic and Professional. New Tork.

Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. Chapman dan Hall, New York.

Kramlich,W.E., A.M. Pearson, F.W.Tauber. 1977. Processed Meat. AVI


Publisher.Co.Inc., Westport, Connecticut.

Kusumo, S. 1985. Budidaya Bawang Putih. Yasaguna, Jakarta.

Leomitro, A. 2007. Ekstraksi Komponen Antioksidan dan Antibakteri Biji Lotus


(Nelumbium nelumbo). Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

Marshal, D. L., L. N. Cotton, F. A. Bala. Acetic Acid. Di dalam : Naidu, A. S.


(Eds.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York.

McCabe, W. L. dan J. C. Smith. 1974. Unit Operations of Chemical Engineering.


3th ed. Mc Graw Hill International Book Company, New York.

Miskelly, D. M. 1996. The Use Of Alkali For Noodle Processing. Di dalam :


Pasta and Noodle Technology. Kruger, J. E., Matsuo, R. B., Dick, J. W.
(Eds.). Cereal Chemist Inc. St Paul, Minnesota, USA.

Morton, I.D. dan A. J. Macleod. 1982. Food Flavors. Elsevier Scientific Publ.,
Co., Amsterdam.

Moyler, D.A. 1995. Oleoresins, Tinchores, and Extracts. Di dalam : Ashurst, PR


(ed.) Food Flavoring. Blackie Academic and Professional, New York.

Nagpurkar, A., J. Peschell, B.J. Holub. 2000. Garlic Constituens and Disease
Prevention. Di dalam: Mazza, G., dan B. D. Oomah (Eds). Herbs, Botanical
and Teas. Technomic Publishing Co., Inc. Lancaster. Pp. 3-5.

Nielsen, S. S. 2003. Food Analysis 3rd Edition. Kluwer Academic / Plenum


Publisher. New York, USA.

Nur, N. A. dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biokimia.


PAU, Ilmu Hayati, IPB, Bogor.

Pelczar, M. J., R.D. Reid dan E. S. C. Chan. 1979. Microbiology. McGraw-Hill


Book, co., New York.
79

Pomeranz, Yeshaju dan C. E. Meloan. 1978. Food Analysis : Theory and


Practice. AVI Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut.

Purnowati, S., S. Hartinah dan R. Sumekar. 1992. Tinjauan Kepustakaan Bawang


Putih: Kegunaan dan Prospek Pemasaran. Pusat Dokumentasi dan Informasi
Ilmiah, LIPI, Jakarta.

Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. L. Robbins. 1981. Spices.


Volume II. Longman Inc., New York.

Rahmawati, D. 2004. Mempelajari Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba


Ekstrak Antarasa (Litsea cubeba) dan Aplikasinya sebagai Pengawet Alami
pada Bahan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Ray, B., dan W.E. Sandine. 1992. Acetic, Propionic, And Lactic Acid of Starter
Culture Bacteria as Biopreservatives. Di dalam Ray, B., Daeschel, M.,
editor. Food Biopreservatives of Microbial Origin. Tokio: CRC Press. hlm
104 133.

Saparinto, Cahyo dan Diana Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius,
Yogyakarta.

Sediawan, W. B. dan A. Prasetya.1997. Pemodelan Matematis dan Penyelesaian


Numeris dalam Teknik Kimia dengan Pemrograman Bahasa Basic dan
Fortran. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Sendih. 1998. Pengaruh Pemberian Bakso yang Mengandung Boraks terhadap


Keadaan Fisiologik dan Morfologik Tikus Percobaan. Skripsi. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Setyadi, D. 2008. Pengaruh Penggunaan Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu


Sensori Dan Umur Simpan Tahu. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

SNI No. 01-3818. 1995. Bakso Daging. Badan Standarisasi Nasional.

Soekarto, S. T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Jarya Aksara. Jakarta.

Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.


IPB, Bogor.

Standar Nasional Indonesia. 01-3160-1992. Bawang Putih. Badan Standarisasi


Nasional. Jakarta.

Sugiharti, S. 2009. Pengaruh Perebusan Bakso Dalam Pengawet Asam Organik


Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

80

Suharti, S. 2004. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe, dan Bawang Putih


terhadap Bakteri Salmonella typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih
terhadap Performans dan Respon Imun Ayam Pedaging. Tesis. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh


Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan
Mutu. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syamsir, E., F. Kusnandar, D. R. Adawiyah, N. E. Suyatma, D. Herawati, D.


Hunaefi. 2008. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan.
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tarwotjo, Ig., S. Hartini, S. Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi Tiga


Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi Jakarta.

Teddy. 2007. Pengaruh Konsentrasi Formalin terhadap Keawetan Bakso dan


Cara Pengolahan Bakso terhadap Residu. Skripsi. Fateta IPB, Bogor.

Thorpes J. F. dan M. A. Whiteley. 1954. Thorpes Dictionary of Applied


Chemistry. Volume II. 4th ed. Longmans, Green and Co., London.

Ucko, D. A. 1982. Basic for Chemistry. Academic Press Inc., New York.

Whitemore, B. B. Dan A. S. Naidu. 2000. Thiosulfinates. Di dalam: Natural Food


Antimicrobial System. A. S. Naidu (Ed). CRC Press. New York.

Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang. PT. Penebar Swadaya. Jakarta

Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Widyaningsih, T.D. dan E.S.Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada


Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Wilson, N. R. P. 1981. Meat and Meat Products: Factor Affecting Quality


Control. Applied Science Publisher Ltd., England.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Winarno, F. G.dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan


Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

81

LAMPIRAN

Lampiran 1. Form uji organoleptik

Uji Rating Hedonik

Hari/ tgl : Produk :


Nama : No. Hp :

Petunjuk :
1. Tuliskan nomor sampel pada bagian atas kolom.
2. Lakukan pengujian dimulai dari kiri ke kanan terhadap masing-masing atribut
dengan memberikan tanda tick () pada baris dan kolom yang sesuai.
3. Jangan membandingkan antar sampel.

Aroma
Kode sampel
Penilaian
sangat tidak suka
tidak suka
agak tidak suka
netral
agak suka
suka
sangat suka

Rasa
Kode sampel
Penilaian
sangat tidak suka
tidak suka
agak tidak suka
netral
agak suka
suka
sangat suka

Keseluruhan
Kode sampel
Penilaian
sangat tidak suka
tidak suka
agak tidak suka
netral
agak suka
suka
sangat suka

Komentar : .................
.

82

Lampiran 2. Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan pengawetan


perlakuan [ ] H-0 H-1 H-2 H-3 H-4
u1 6,31 6,35
u2 6,35 5,55
kontrol 0% rerata 6,33 5,95
SD 0,0259 0,5657
RSDa 0,4097 9,5073
u1 4,70 4,76 4,86 4,69 4,87
u2 4,85 4,85 4,95 4,84 4,91
10% rerata 4,77 4,81 4,91 4,77 4,89
SD 0,1061 0,0636 0,0636 0,1037 0,0283
RSDa 2,2228 1,3235 1,2966 2,1757 0,5788
u1 4,57 4,57 4,50 4,50 4,61
u2 4,70 4,63 4,68 4,75 4,76
rebus 15% rerata 4,63 4,60 4,59 4,63 4,69
SD 0,0896 0,0448 0,1296 0,1768 0,1108
RSDa 1,9331 0,9739 2,8253 3,8222 2,3646
u1 4,47 4,51 4,48 4,43 4,49
u2 4,70 4,63 4,68 4,75 4,76
20% rerata 4,58 4,57 4,58 4,59 4,63
SD 0,1603 0,0825 0,1414 0,2286 0,1956
RSDa 3,4970 1,8045 3,0878 4,9829 4,2299
u1 4,77 5,04 4,98 5,06 5,20
u2 5,13 5,31 5,36 5,61 5,67
10% rerata 4,95 5,18 5,17 5,33 5,43
SD 0,2593 0,1909 0,2687 0,3889 0,3347
RSDa 5,2378 3,6893 5,1940 7,2943 6,1601
u1 4,78 4,79 4,76 4,87 4,95
u2 5,02 4,95 5,14 5,15 5,10
rendam 15% rerata 4,90 4,87 4,95 5,01 5,02
SD 0,1673 0,1108 0,2640 0,2003 0,1120
RSDa 3,4141 2,2740 5,3331 4,0003 2,2284
u1 4,66 4,70 4,62 4,70 4,74
u2 4,85 4,97 4,96 4,94 4,80
20% rerata 4,75 4,84 4,79 4,82 4,77
SD 0,1379 0,1909 0,2369 0,1650 0,0424
RSDa 2,9013 3,9487 4,9479 3,4231 0,8894

83

Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan perendaman
pada H-0
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 6,3300 ,02828 ,02000 6,0759 6,5841 6,31 6,35
celup 10% 2 4,9500 ,25456 ,18000 2,6629 7,2371 4,77 5,13
celup 15% 2 4,9000 ,16971 ,12000 3,3753 6,4247 4,78 5,02
celup 20% 2 4,7550 ,13435 ,09500 3,5479 5,9621 4,66 4,85
Total 8 5,2338 ,69263 ,24488 4,6547 5,8128 4,66 6,35

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3,246 3 1,082 38,485 ,002
Within Groups ,112 4 ,028
Total 3,358 7

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset for alpha = .05
sampel N 1 2
celup 20% 2 4,7550
celup 15% 2 4,9000
celup 10% 2 4,9500
kontrol 2 6,3300
Sig. ,315 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol pada H-0-H-1
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 6,3300 ,02828 ,02000 6,0759 6,5841 6,31 6,35
1 2 5,9500 ,56569 ,40000 ,8675 11,0325 5,55 6,35
Total 4 6,1400 ,39379 ,19689 5,5134 6,7666 5,55 6,35

84

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,144 1 ,144 ,900 ,443
Within Groups ,321 2 ,160
Total ,465 3

Lampiran 5. Hasil Uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10% pada
H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,9500 ,25456 ,18000 2,6629 7,2371 4,77 5,13
1 2 5,1750 ,19092 ,13500 3,4597 6,8903 5,04 5,31
2 2 5,1700 ,26870 ,19000 2,7558 7,5842 4,98 5,36
3 2 5,3350 ,38891 ,27500 1,8408 8,8292 5,06 5,61
4 2 5,4350 ,33234 ,23500 2,4490 8,4210 5,20 5,67
Total 10 5,2130 ,28056 ,08872 5,0123 5,4137 4,77 5,67

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,273 4 ,068 ,785 ,581
Within Groups ,435 5 ,087
Total ,708 9

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 4,9500
2 2 5,1700
1 2 5,1750
3 2 5,3350
4 2 5,4350
Sig. ,173
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

85

Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15% H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,9000 ,16971 ,12000 3,3753 6,4247 4,78 5,02
1 2 4,8700 ,11314 ,08000 3,8535 5,8865 4,79 4,95
2 2 4,9500 ,26870 ,19000 2,5358 7,3642 4,76 5,14
3 2 5,0100 ,19799 ,14000 3,2311 6,7889 4,87 5,15
4 2 5,0250 ,10607 ,07500 4,0720 5,9780 4,95 5,10
Total 10 4,9510 ,14925 ,04720 4,8442 5,0578 4,76 5,15

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,036 4 ,009 ,276 ,882
Within Groups ,164 5 ,033
Total ,200 9

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
1 2 4,8700
0 2 4,9000
2 2 4,9500
3 2 5,0100
4 2 5,0250
Sig. ,440
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

86

Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH perendaman 20%, pada H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,7550 ,13435 ,09500 3,5479 5,9621 4,66 4,85
1 2 4,8350 ,19092 ,13500 3,1197 6,5503 4,70 4,97
2 2 4,7900 ,24042 ,17000 2,6299 6,9501 4,62 4,96
3 2 4,8200 ,16971 ,12000 3,2953 6,3447 4,70 4,94
4 2 4,7700 ,04243 ,03000 4,3888 5,1512 4,74 4,80
Total 10 4,7940 ,12989 ,04107 4,7011 4,8869 4,62 4,97

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,009 4 ,002 ,078 ,986
Within Groups ,143 5 ,029
Total ,152 9

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 4,7550
4 2 4,7700
2 2 4,7900
3 2 4,8200
1 2 4,8350
Sig. ,661
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

87

Lampiran 8. Hasil uji ANOVA pH bakso kontrol dan perebusan pada H-0

Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 6,3300 ,02828 ,02000 6,0759 6,5841 6,31 6,35
rebus 10% 2 4,7750 ,10607 ,07500 3,8220 5,7280 4,70 4,85
rebus 15% 2 4,6350 ,09192 ,06500 3,8091 5,4609 4,57 4,70
rebus 20% 2 4,5850 ,16263 ,11500 3,1238 6,0462 4,47 4,70
Total 8 5,0813 ,77865 ,27529 4,4303 5,7322 4,47 6,35

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4,197 3 1,399 119,195 ,000
Within Groups ,047 4 ,012
Total 4,244 7

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset for alpha = .05
sampel N 1 2
rebus 20% 2 4,5850
rebus 15% 2 4,6350
rebus 10% 2 4,7750
kontrol 2 6,3300
Sig. ,160 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

88

Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10%, H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,7750 ,10607 ,07500 3,8220 5,7280 4,70 4,85
1 2 4,8050 ,06364 ,04500 4,2332 5,3768 4,76 4,85
2 2 4,9050 ,06364 ,04500 4,3332 5,4768 4,86 4,95
3 2 4,7650 ,10607 ,07500 3,8120 5,7180 4,69 4,84
4 2 4,8900 ,02828 ,02000 4,6359 5,1441 4,87 4,91
Total 10 4,8280 ,08535 ,02699 4,7669 4,8891 4,69 4,95

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,034 4 ,009 1,360 ,366
Within Groups ,031 5 ,006
Total ,066 9

Post Hoc Tests

pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 4,7650
0 2 4,7750
1 2 4,8050
4 2 4,8900
2 2 4,9050
Sig. ,149
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

89

Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15%, H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
0 2 4,6350 ,09192 ,06500 3,8091 5,4609 4,57 4,70
1 2 4,6000 ,04243 ,03000 4,2188 4,9812 4,57 4,63
2 2 4,5900 ,12728 ,09000 3,4464 5,7336 4,50 4,68
3 2 4,6250 ,17678 ,12500 3,0367 6,2133 4,50 4,75
4 2 4,6850 ,10607 ,07500 3,7320 5,6380 4,61 4,76
Total 10 4,6270 ,09429 ,02982 4,5596 4,6944 4,50 4,76

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,011 4 ,003 ,201 ,928
Within Groups ,069 5 ,014
Total ,080 9

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
2 2 4,5900
1 2 4,6000
3 2 4,6250
0 2 4,6350
4 2 4,6850
Sig. ,464
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

90

Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH perebusan 20%, H-0-H-4
Descriptives

pH
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,5850 ,16263 ,11500 3,1238 6,0462 4,47 4,70
1 2 4,5700 ,08485 ,06000 3,8076 5,3324 4,51 4,63
2 2 4,5800 ,14142 ,10000 3,3094 5,8506 4,48 4,68
3 2 4,5900 ,22627 ,16000 2,5570 6,6230 4,43 4,75
4 2 4,6250 ,19092 ,13500 2,9097 6,3403 4,49 4,76
Total 10 4,5900 ,12684 ,04011 4,4993 4,6807 4,43 4,76

ANOVA

pH
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups ,004 4 ,001 ,031 ,998
Within Groups ,141 5 ,028
Total ,145 9

Post Hoc Tests


pH
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
1 2 4,5700
2 2 4,5800
0 2 4,5850
3 2 4,5900
4 2 4,6250
Sig. ,760
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

91

Lampiran 12. Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan perendaman

perlakuan [ ] H-0 H-1 H-2 H-3 H-4


u1 3,806 5,250
u2 4,200 5,250
kontrol 0%
rerata 4,003 5,250
stdev 0,278 0,000
u1 21,656 20,606 17,456 19,425 18,244
u2 16,406 18,900 17,719 17,325 18,900
10%
rerata 19,031 19,753 17,588 18,375 18,572
stdev 3,712 1,207 0,186 1,485 0,464
u1 28,744 38,850 40,031 36,488 35,569
u2 27,694 29,138 28,613 22,444 27,956
rebus 15%
rerata 28,219 33,994 34,322 29,466 31,763
stdev 0,742 6,868 8,074 9,930 5,383
u1 49,744 42,788 46,988 43,706 42,656
u2 39,244 37,538 39,506 40,294 40,950
20%
rerata 44,494 40,163 43,247 42,000 41,803
stdev 7,425 3,712 5,290 2,413 1,207
u1 13,256 11,025 12,338 10,369 8,531
u2 10,238 9,581 14,569 6,169 19,425
10%
rerata 11,747 10,303 13,453 8,269 13,978
stdev 2,135 1,021 1,578 2,970 7,703
u1 16,538 17,325 16,275 17,588 15,225
u2 14,569 16,275 14,569 11,025 13,781
rendam 15%
rerata 15,553 16,800 15,422 14,306 14,503
stdev 1,392 0,742 1,207 4,640 1,021
u1 26,381 23,231 26,381 21,131 22,444
u2 17,588 18,113 20,659 17,456 21,263
20%
rerata 21,984 20,672 23,520 19,294 21,853
stdev 6,218 3,620 4,046 2,599 0,835

92

Lampiran 13. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan
perendaman H-0

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 4,00300 ,278600 ,197000 1,49988 6,50612 3,806 4,200
celup 10% 2 11,74700 2,134048 1,509000 -7,42666 30,92066 10,238 13,256
celup 15% 2 15,55350 1,392293 ,984500 3,04424 28,06276 14,569 16,538
celup 20% 2 21,98450 6,217590 4,396500 -33,87833 77,84733 17,588 26,381
Total 8 13,32200 7,405736 2,618323 7,13065 19,51335 3,806 26,381

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 338,686 3 112,895 9,984 ,025
Within Groups 45,229 4 11,307
Total 383,914 7

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset for alpha = .05
sampel N 1 2 3
kontrol 2 4,00300
celup 10% 2 11,74700 11,74700
celup 15% 2 15,55350 15,55350
celup 20% 2 21,98450
Sig. ,083 ,321 ,128
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

93

Multiple Comparisons

Dependent Variable: TAT

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) sampel (J) sampe (I-J) Std. Error Sig. Lower BoundUpper Bound
Tukey HSDkontrol celup 10%-7,744000 3,362614 ,240 -21,43272 5,94472
celup 15%11,550500 3,362614 ,085 -25,23922 2,13822
celup 20%17,981500*3,362614 ,020 -31,67022 -4,29278
celup 10% kontrol 7,744000 3,362614 ,240 -5,94472 21,43272
celup 15%-3,806500 3,362614 ,692 -17,49522 9,88222
celup 20%10,237500 3,362614 ,119 -23,92622 3,45122
celup 15% kontrol 11,550500 3,362614 ,085 -2,13822 25,23922
celup 10%3,806500 3,362614 ,692 -9,88222 17,49522
celup 20%-6,431000 3,362614 ,350 -20,11972 7,25772
celup 20% kontrol 17,981500*3,362614 ,020 4,29278 31,67022
celup 10%10,237500 3,362614 ,119 -3,45122 23,92622
celup 15%6,431000 3,362614 ,350 -7,25772 20,11972
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Lampiran 14. Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,00300 ,278600 ,197000 1,49988 6,50612 3,806 4,200
1 2 5,25000 ,000000 ,000000 5,25000 5,25000 5,250 5,250
Total 4 4,62650 ,737705 ,368853 3,45265 5,80035 3,806 5,250

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1,555 1 1,555 40,068 ,024
Within Groups ,078 2 ,039
Total 1,633 3

94

Lampiran 15. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10%
H0-H1.

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 11,74700 2,134048 1,509000 -7,42666 30,92066 10,238 13,256
1 2 10,30300 1,021062 ,722000 1,12912 19,47688 9,581 11,025
2 2 13,45350 1,577555 1,115500 -,72027 27,62727 12,338 14,569
3 2 8,26900 2,969848 2,100000 -18,41403 34,95203 6,169 10,369
4 2 13,97800 7,703221 5,447000 -55,23270 83,18870 8,531 19,425
Total 10 11,55010 3,651477 1,154699 8,93799 14,16221 6,169 19,425

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 43,755 4 10,939 ,717 ,615
Within Groups 76,245 5 15,249
Total 120,000 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 8,26900
1 2 10,30300
0 2 11,74700
2 2 13,45350
4 2 13,97800
Sig. ,216
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

95

Lampiran 16. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15%
H0-H4

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 15,55350 1,392293 ,984500 3,04424 28,06276 14,569 16,538
1 2 16,80000 ,742462 ,525000 10,12924 23,47076 16,275 17,325
2 2 15,42200 1,206324 ,853000 4,58361 26,26039 14,569 16,275
3 2 14,30650 4,640742 3,281500 -27,38891 56,00191 11,025 17,588
4 2 14,50300 1,021062 ,722000 5,32912 23,67688 13,781 15,225
Total 10 15,31700 1,955730 ,618456 13,91796 16,71604 11,025 17,588

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7,900 4 1,975 ,372 ,820
Within Groups 26,524 5 5,305
Total 34,424 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 14,30650
4 2 14,50300
2 2 15,42200
0 2 15,55350
1 2 16,80000
Sig. ,339
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

96

Lampiran 17. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20%
selama 4 hari

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 21,98450 6,217590 4,396500 -33,87833 77,84733 17,588 26,381
1 2 20,67200 3,618973 2,559000 -11,84318 53,18718 18,113 23,231
2 2 23,52000 4,046065 2,861000 -12,83245 59,87245 20,659 26,381
3 2 19,29350 2,598617 1,837500 -4,05415 42,64115 17,456 21,131
4 2 21,85350 ,835093 ,590500 14,35049 29,35651 21,263 22,444
Total 10 21,46470 3,258364 1,030385 19,13381 23,79559 17,456 26,381

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 19,976 4 4,994 ,330 ,847
Within Groups 75,576 5 15,115
Total 95,552 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 19,29350
1 2 20,67200
4 2 21,85350
0 2 21,98450
2 2 23,52000
Sig. ,337
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

97

Lampiran 18. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan perebusan
H-0

Descriptives

TAT
5% Confidence Interval fo
Mean
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 4,00300 ,278600 ,197000 1,49988 6,50612 3,806 4,200
rebus 10% 2 19,03100 3,712311 2,625000 -14,32279 52,38479 16,406 21,656
rebus 15% 2 28,21900 ,742462 ,525000 21,54824 34,88976 27,694 28,744
rebus 20% 2 44,49400 7,424621 5,250000 -22,21357 111,20157 39,244 49,744
Total 8 23,93675 16,010055 5,660409 10,55201 37,32149 3,806 49,744

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1724,718 3 574,906 33,071 ,003
Within Groups 69,535 4 17,384
Total 1794,253 7

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset for alpha = .05
sampel N 1 2 3
kontrol 2 4,00300
rebus 10% 2 19,03100
rebus 15% 2 28,21900
rebus 20% 2 44,49400
Sig. 1,000 ,092 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

98

Lampiran 19. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10%, H0-H4

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 19,03100 3,712311 2,625000 -14,32279 52,38479 16,406 21,656
1 2 19,75300 1,206324 ,853000 8,91461 30,59139 18,900 20,606
2 2 17,58750 ,185969 ,131500 15,91663 19,25837 17,456 17,719
3 2 18,37500 1,484924 1,050000 5,03349 31,71651 17,325 19,425
4 2 18,57200 ,463862 ,328000 14,40436 22,73964 18,244 18,900
Total 10 18,66370 1,592835 ,503699 17,52425 19,80315 16,406 21,656

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 5,143 4 1,286 ,363 ,826
Within Groups 17,691 5 3,538
Total 22,834 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
2 2 17,58750
3 2 18,37500
4 2 18,57200
0 2 19,03100
1 2 19,75300
Sig. ,313
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

99

Lampiran 20. Hasil uji ANOVA dan Duncan bakso perebusan 15%, H0-H4

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 28,21900 ,742462 ,525000 21,54824 34,88976 27,694 28,744
1 2 33,99400 6,867421 4,856000 -27,70733 95,69533 29,138 38,850
2 2 34,32200 8,073745 5,709000 -38,21772 106,86172 28,613 40,031
3 2 29,46600 9,930608 7,022000 -59,75697 118,68897 22,444 36,488
4 2 31,76250 5,383204 3,806500 -16,60367 80,12867 27,956 35,569
Total 10 31,55270 5,761709 1,822012 27,43102 35,67438 22,444 40,031

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 58,282 4 14,570 ,303 ,865
Within Groups 240,494 5 48,099
Total 298,776 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 28,21900
3 2 29,46600
4 2 31,76250
1 2 33,99400
2 2 34,32200
Sig. ,428
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

100

Lampiran 21. Hasil uji ANOVA dan Duncan bakso perebusan 20, H0-H4

Descriptives

TAT
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 44,49400 7,424621 5,250000 -22,21357 111,20157 39,244 49,744
1 2 40,16300 3,712311 2,625000 6,80921 73,51679 37,538 42,788
2 2 43,24700 5,290573 3,741000 -4,28691 90,78091 39,506 46,988
3 2 42,00000 2,412648 1,706000 20,32321 63,67679 40,294 43,706
4 2 41,80300 1,206324 ,853000 30,96461 52,64139 40,950 42,656
Total 10 42,34140 3,732497 1,180319 39,67133 45,01147 37,538 49,744

ANOVA

TAT
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 21,211 4 5,303 ,255 ,895
Within Groups 104,173 5 20,835
Total 125,384 9

Post Hoc Tests


TAT
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
1 2 40,16300
4 2 41,80300
3 2 42,00000
2 2 43,24700
0 2 44,49400
Sig. ,396
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

101

Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan (rebus
dan rendam)

perlakuan [ ] H-0 H-1 H-2 H-3 H-4


0% 16,175 17,33333
kontrol
stdev 1,237437 1,791337
10% 17,725 14,725 14,1 14,291667 12,75
stdev 3,075914 2,722361 0,5656854 0,9310239 1,6970563
15% 18,125 17,0375 13,5875 13,025 13,15
rebus
stdev 4,772971 0,053033 1,5379572 0,6717514 0,2828427
20% 17,275 16,20833 14,216667 13,433333 13,191667
stdev 0,106066 0,082496 0,8720984 0,3771236 0,2239171
10% 17,28333 15,7 13,675 13,495833 13,0625
stdev 3,983368 0,141421 1,3788582 0,2415948 1,5379572
15% 16,55 15,6 14,8 12,883333 13,033333
rendam
stdev 2,687006 0,070711 1,979899 0,7778175 0,3299832
20% 16,19167 15,15 14,083333 14,025 13,316667
stdev 0,058926 1,862048 2,710576 0,3889087 0,0235702

Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai penetrometer bakso kontrol
dan perendaman H0

Descriptives
mm
llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 16,175000 1,2374369 ,8750000 5,057071 27,292929 15,3000 17,0500
celup 10% 2 17,285000 3,9810112 2,8150000 -18,482966 53,052966 14,4700 20,1000
celup 15% 2 16,550000 2,6870058 1,9000000 -7,591789 40,691789 14,6500 18,4500
celup 20% 2 16,190000 ,0565685 ,0400000 15,681752 16,698248 16,1500 16,2300
Total 8 16,550000 1,9355250 ,6843114 14,931861 18,168139 14,4700 20,1000

mm ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1,621 3 ,540 ,088 ,963
Within Groups 24,603 4 6,151
Total 26,224 7

102

Post Hoc Tests


llightness
mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
sampel N 1
kontrol 2 16,175000
celup 20% 2 16,190000
celup 15% 2 16,550000
celup 10% 2 17,285000
Sig. ,678
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

Lampiran 24.Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol H0-H1


mm Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
0 2 6,175000 1,2374369 ,8750000 5,057071 27,292929 15,3000 17,0500
1 2 7,335000 1,7889802 ,2650000 1,261651 33,408349 16,0700 18,6000
Total 4 6,755000 1,4232943 ,7116472 14,490221 19,019779 15,3000 18,6000

mm ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1,346 1 1,346 ,569 ,529
Within Groups 4,732 2 2,366
Total 6,077 3

103

Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman
10% H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 17,285000 3,9810112 2,8150000 -18,482966 53,052966 14,4700 20,1000
1 2 15,700000 ,1414214 ,1000000 14,429380 16,970620 15,6000 15,8000
2 2 13,675000 1,3788582 ,9750000 1,286450 26,063550 12,7000 14,6500
3 2 13,500000 ,2404163 ,1700000 11,339945 15,660055 13,3300 13,6700
4 2 13,065000 1,5344217 1,0850000 -,721232 26,851232 11,9800 14,1500
Total 10 14,645000 2,2569362 ,7137059 13,030485 16,259515 11,9800 20,1000

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 25,662 4 6,415 1,589 ,309
Within Groups 20,182 5 4,036
Total 45,844 9

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
4 2 13,065000
3 2 13,500000
2 2 13,675000
1 2 15,700000
0 2 17,285000
Sig. ,100
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

104

Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman
15% dari H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 6,550000 2,6870058 ,9000000 -7,591789 40,691789 14,6500 18,4500
1 2 5,600000 ,0707107 ,0500000 14,964690 16,235310 15,5500 15,6500
2 2 4,800000 1,9798990 ,4000000 -2,988687 32,588687 13,4000 16,2000
3 2 2,880000 ,7778175 ,5500000 5,891587 19,868413 12,3300 13,4300
4 2 3,035000 ,3323402 ,2350000 10,049042 16,020958 12,8000 13,2700
Total 10 4,573000 1,8960019 ,5995685 13,216682 15,929318 12,3300 18,4500

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 20,493 4 5,123 2,160 ,210
Within Groups 11,860 5 2,372
Total 32,353 9

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 12,880000
4 2 13,035000
2 2 14,800000
1 2 15,600000
0 2 16,550000
Sig. ,072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

105

Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman
20% dari H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
0 2 6,190000 ,0565685 ,0400000 15,681752 16,698248 16,1500 16,2300
1 2 5,150000 1,8667619 ,3200000 -1,622190 31,922190 13,8300 16,4700
2 2 4,085000 2,7082190 ,9150000 -10,247382 38,417382 12,1700 16,0000
3 2 4,025000 ,3889087 ,2750000 10,530794 17,519206 13,7500 14,3000
4 2 3,315000 ,0212132 ,0150000 13,124407 13,505593 13,3000 13,3300
Total 10 4,553000 1,5314267 ,4842796 13,457483 15,648517 12,1700 16,4700

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 10,133 4 2,533 1,154 ,429
Within Groups 10,974 5 2,195
Total 21,107 9

Post Hoc Tests

mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
4 2 13,315000
3 2 14,025000
2 2 14,085000
1 2 15,150000
0 2 16,190000
Sig. ,121
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

106

Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso kontrol dan
perebusan H0

Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 6,175000 1,2374369 ,8750000 5,057071 27,292929 15,3000 17,0500
rebus 10% 2 7,725000 3,0759145 2,1750000 -9,910995 45,360995 15,5500 19,9000
rebus 15% 2 8,125000 4,7729708 3,3750000 -24,758441 61,008441 14,7500 21,5000
rebus 20% 2 7,275000 ,1060660 ,0750000 16,322035 18,227965 17,2000 17,3500
Total 8 7,325000 2,3310022 ,8241337 15,376233 19,273767 14,7500 21,5000

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4,250 3 1,417 ,168 ,913
Within Groups 33,785 4 8,446
Total 38,035 7

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
sampel N 1
kontrol 2 16,175000
rebus 20% 2 17,275000
rebus 10% 2 17,725000
rebus 15% 2 18,125000
Sig. ,541
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

107

Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 10%
H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 7,725000 3,0759145 2,1750000 -9,910995 45,360995 15,5500 19,9000
1 2 4,725000 2,7223611 ,9250000 -9,734444 39,184444 12,8000 16,6500
2 2 4,100000 ,5656854 ,4000000 9,017518 19,182482 13,7000 14,5000
3 2 4,290000 ,9333810 ,6600000 5,903905 22,676095 13,6300 14,9500
4 2 2,750000 1,6970563 ,2000000 -2,497446 27,997446 11,5500 13,9500
Total 10 4,718000 2,3070944 ,7295673 13,067604 16,368396 11,5500 19,9000

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 26,960 4 6,740 1,609 ,304
Within Groups 20,944 5 4,189
Total 47,904 9

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
4 2 12,750000
2 2 14,100000
3 2 14,290000
1 2 14,725000
0 2 17,725000
Sig. ,068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

108

Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 15%
H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 18,125000 4,7729708 3,3750000 -24,758441 61,008441 14,7500 21,5000
1 2 17,040000 ,0565685 ,0400000 16,531752 17,548248 17,0000 17,0800
2 2 13,590000 1,5414928 1,0900000 -,259763 27,439763 12,5000 14,6800
3 2 13,025000 ,6717514 ,4750000 6,989553 19,060447 12,5500 13,5000
4 2 13,150000 ,2828427 ,2000000 10,608759 15,691241 12,9500 13,3500
Total 10 14,986000 2,8317023 ,8954629 12,960322 17,011678 12,5000 21,5000

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 46,475 4 11,619 2,261 ,197
Within Groups 25,692 5 5,138
Total 72,167 9

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
3 2 13,025000
4 2 13,150000
2 2 13,590000
1 2 17,040000
0 2 18,125000
Sig. ,084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

109

Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 20%
H0-H4
Descriptives

mm
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 7,275000 ,1060660 ,0750000 16,322035 18,227965 17,2000 17,3500
1 2 5,700000 ,1414214 ,1000000 14,429380 16,970620 15,6000 15,8000
2 2 3,675000 1,3788582 ,9750000 1,286450 26,063550 12,7000 14,6500
3 2 3,500000 ,2404163 ,1700000 11,339945 15,660055 13,3300 13,6700
4 2 3,065000 1,5344217 ,0850000 -,721232 26,851232 11,9800 14,1500
Total 10 4,643000 1,8227333 ,5763989 13,339095 15,946905 11,9800 17,3500

ANOVA

mm
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 25,556 4 6,389 7,353 ,025
Within Groups 4,345 5 ,869
Total 29,901 9

Post Hoc Tests


mm
a
Duncan
Subset for alpha = .05
hari N 1 2 3
4 2 13,065000
3 2 13,500000 13,500000
2 2 13,675000 13,675000
1 2 15,700000 15,700000
0 2 17,275000
Sig. ,551 ,071 ,152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

110

Multiple Comparisons

Dependent Variable: mm
Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) hari (J) hari (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
0 1 1,5750000 ,9321749 ,511 -2,164424 5,314424
2 3,6000000 ,9321749 ,058 -,139424 7,339424
3 3,7750000* ,9321749 ,048 ,035576 7,514424
4 4,2100000* ,9321749 ,032 ,470576 7,949424
1 0 -1,5750000 ,9321749 ,511 -5,314424 2,164424
2 2,0250000 ,9321749 ,319 -1,714424 5,764424
3 2,2000000 ,9321749 ,263 -1,539424 5,939424
4 2,6350000 ,9321749 ,162 -1,104424 6,374424
2 0 -3,6000000 ,9321749 ,058 -7,339424 ,139424
1 -2,0250000 ,9321749 ,319 -5,764424 1,714424
3 ,1750000 ,9321749 1,000 -3,564424 3,914424
4 ,6100000 ,9321749 ,958 -3,129424 4,349424
3 0 -3,7750000* ,9321749 ,048 -7,514424 -,035576
1 -2,2000000 ,9321749 ,263 -5,939424 1,539424
2 -,1750000 ,9321749 1,000 -3,914424 3,564424
4 ,4350000 ,9321749 ,987 -3,304424 4,174424
4 0 -4,2100000* ,9321749 ,032 -7,949424 -,470576
1 -2,6350000 ,9321749 ,162 -6,374424 1,104424
2 -,6100000 ,9321749 ,958 -4,349424 3,129424
3 -,4350000 ,9321749 ,987 -4,174424 3,304424
*. The mean difference is significant at the .05 level.

111

Lampiran 32. Data warna bakso kontrol dan perlakuan (perendaman dan
perebusan)

perlakuan [ ] H-0 H-1 H-2 H-3 H-4


L 51,0205 53,6749
kontrol 0% a 0,8505 1,2824
b 12,1351 11,0098
L 54,2043 54,5210 54,9839 54,8639 55,4172
10% a 0,4349 1,2492 0,0037 0,3893 0,5725
b 13,2813 11,5530 11,1122 11,6261 11,9393
L 53,9903 53,1398 54,6182 55,3600 55,9442
rebus 15% a 0,7164 2,3540 0,1089 0,0649 0,3382
b 13,0378 10,7967 11,3062 11,6139 12,1073
L 53,7716 54,1926 54,9838 55,6162 54,1332
20% a 0,5891 1,4411 0,0439 1,0111 0,0832
b 13,4499 11,5536 11,3007 11,2719 11,6547
L 54,4080 56,1846 55,7207 54,9590 55,9040
10% a 0,0920 1,5835 1,1527 0,1774 1,0348
b 12,0192 11,7707 10,8052 11,8479 11,3443
L 55,7068 56,2929 54,9615 54,9362 54,6845
rendam 15% a 0,2148 1,2837 0,1762 0,5414 0,9151
b 13,0286 10,3491 11,1697 11,0439 11,5491
L 54,5592 55,2844 55,8790 55,1345 56,3943
20% a 0,0315 0,7331 0,1370 0,0039 0,7424
b 12,9856 11,3756 10,6323 10,7335 10,1720

Lampiran 33. Nilai 0Hue untuk bakso kontrol dan perlakuan

perlakuan [ ] H-0 H-1 H-2 H-3 H-4


kontrol 0% 85,9909 83,3556
10% 88,1245 83,8287 89,9809 88,0822 87,2547
rebus 15% 88,1245 77,7003 89,4482 89,6798 88,3999
20% 87,4921 82,8901 89,7774 84,8742 89,5909
10% 89,5614 82,3381 83,9107 89,1422 84,788
rendam 15% 89,0555 82,9292 89,0962 87,1935 85,4696
20% 89,861 86,3127 89,2618 89,9792 85,8257

112

Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan Lightness bakso kontrol dan
perendaman H-0

Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 1,020500 ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 51,6624
celup 10% 2 4,408050 ,1786859 ,1263500 52,802621 56,013479 54,2817 54,5344
celup 15% 2 5,706750 1,4185269 ,0030500 42,961791 68,451709 54,7037 56,7098
celup 20% 2 4,559200 ,2883581 ,2039000 51,968405 57,149995 54,3553 54,7631
Total 8 3,923625 1,9800416 ,7000504 52,268269 55,578981 50,3786 56,7098

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 24,493 3 8,164 11,065 ,021
Within Groups 2,951 4 ,738
Total 27,444 7

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset for alpha = .05
sampel N 1 2
kontrol 2 51,020500
celup 10% 2 54,408050
celup 20% 2 54,559200
celup 15% 2 55,706750
Sig. 1,000 ,211
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness kontrol H0-H1


Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 1,020500 ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 51,6624
1 2 3,674900 ,0000000 ,0000000 53,674900 53,674900 53,6749 53,6749
Total 4 2,347700 1,6196615 ,8098308 49,770457 54,924943 50,3786 53,6749

113

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 7,046 1 7,046 17,100 ,054
Within Groups ,824 2 ,412
Total 7,870 3

Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 10%
H0-H4
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 54,408050 ,1786859 ,1263500 52,802621 56,013479 54,2817 54,5344
1 2 56,184550 ,7677058 ,5428500 49,286987 63,082113 55,6417 56,7274
2 2 55,720750 ,9485837 ,6707500 47,198063 64,243437 55,0500 56,3915
3 2 54,959000 ,1415628 ,1001000 53,687109 56,230891 54,8589 55,0591
4 2 55,904000 1,2206077 ,8631000 44,937275 66,870725 55,0409 56,7671
Total 10 55,435270 ,9018695 ,2851962 54,790111 56,080429 54,2817 56,7671

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4,289 4 1,072 1,769 ,272
Within Groups 3,031 5 ,606
Total 7,320 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 54,408050
3 2 54,959000
2 2 55,720750
4 2 55,904000
1 2 56,184550
Sig. ,081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

114

Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 15%
H0-H4
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 55,706750 1,4185269 ,0030500 42,961791 68,451709 54,7037 56,7098
1 2 56,292900 1,1053493 ,7816000 46,361730 66,224070 55,5113 57,0745
2 2 54,961550 ,6818631 ,4821500 48,835253 61,087847 54,4794 55,4437
3 2 54,936200 ,7304413 ,5165000 48,373445 61,498955 54,4197 55,4527
4 2 54,684550 1,7908893 ,2663500 38,594048 70,775052 53,4182 55,9509
Total 10 55,316390 1,1050914 ,3494606 54,525855 56,106925 53,4182 57,0745

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3,551 4 ,888 ,597 ,681
Within Groups 7,440 5 1,488
Total 10,991 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
4 2 54,684550
3 2 54,936200
2 2 54,961550
0 2 55,706750
1 2 56,292900
Sig. ,256
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

115

Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 20%
H0-H4
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,559200 ,2883581 ,2039000 51,968405 57,149995 54,3553 54,7631
1 2 5,284450 ,5115918 ,3617500 50,687980 59,880920 54,9227 55,6462
2 2 5,879050 ,2530735 ,1789500 53,605275 58,152825 55,7001 56,0580
3 2 5,134500 1,1735144 ,8298000 44,590891 65,678109 54,3047 55,9643
4 2 6,394300 ,9309768 ,6583000 48,029805 64,758795 55,7360 57,0526
Total 10 5,450300 ,8592821 ,2717289 54,835607 56,064993 54,3047 57,0526

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3,993 4 ,998 1,881 ,252
Within Groups 2,653 5 ,531
Total 6,645 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 54,559200
3 2 55,134500
1 2 55,284450
2 2 55,879050
4 2 56,394300
Sig. ,061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

116

Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan
perebusan
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol 2 1,020500 ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 51,6624
rebus 10% 2 4,566000 1,0496293 ,7422000 45,135455 63,996545 53,8238 55,3082
rebus 15% 2 4,254400 1,9810304 ,4008000 36,455548 72,053252 52,8536 55,6552
rebus 20% 2 3,955550 ,7467755 ,5280500 47,246039 60,665061 53,4275 54,4836
Total 8 3,449113 1,7932044 ,6339935 51,949956 54,948269 50,3786 55,6552

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 16,101 3 5,367 3,350 ,137
Within Groups 6,408 4 1,602
Total 22,509 7

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
sampel N 1
kontrol 2 51,020500
rebus 20% 2 53,955550
rebus 15% 2 54,254400
rebus 10% 2 54,566000
Sig. ,053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

117

Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 10%
H0-H4
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 54,566000 1,0496293 ,7422000 45,135455 63,996545 53,8238 55,3082
1 2 54,521000 1,5530893 ,0982000 40,567046 68,474954 53,4228 55,6192
2 2 54,983850 1,0256584 ,7252500 45,768675 64,199025 54,2586 55,7091
3 2 54,863900 ,9537456 ,6744000 46,294836 63,432964 54,1895 55,5383
4 2 55,417200 ,6092432 ,4308000 49,943367 60,891033 54,9864 55,8480
Total 10 54,870390 ,8755873 ,2768850 54,244033 55,496747 53,4228 55,8480

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1,053 4 ,263 ,225 ,913
Within Groups 5,847 5 1,169
Total 6,900 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
1 2 54,521000
0 2 54,566000
3 2 54,863900
2 2 54,983850
4 2 55,417200
Sig. ,454
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

118

Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness perebusan 15% H0-H4
Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
0 2 4,254400 1,9810304 ,4008000 36,455548 72,053252 52,8536 55,6552
1 2 3,139800 1,6799443 ,1879000 38,046099 68,233501 51,9519 54,3277
2 2 4,618250 ,4434267 ,3135500 50,634220 58,602280 54,3047 54,9318
3 2 5,360000 ,2203345 ,1558000 53,380373 57,339627 55,2042 55,5158
4 2 5,944150 ,0347189 ,0245500 55,632213 56,256087 55,9196 55,9687
Total 10 4,663320 1,3426992 ,4245988 53,702811 55,623829 51,9519 55,9687

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 9,232 4 2,308 1,650 ,295
Within Groups 6,993 5 1,399
Total 16,226 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
1 2 53,139800
0 2 54,254400
2 2 54,618250
3 2 55,360000
4 2 55,944150
Sig. ,073
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

119

Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 20%
H0-H4

Descriptives

llightness
95% Confidence Interval for
Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum
0 2 3,955700 ,7469876 ,5282000 47,244283 60,667117 53,4275 54,4839
1 2 4,192550 1,1547761 ,8165500 43,817299 64,567801 53,3760 55,0091
2 2 4,983800 1,0320931 ,7298000 45,710812 64,256788 54,2540 55,7136
3 2 5,616250 ,4100512 ,2899500 51,932086 59,300414 55,3263 55,9062
4 2 4,133150 ,4441338 ,3140500 50,142766 58,123534 53,8191 54,4472
Total 10 4,576290 ,8990610 ,2843081 53,933140 55,219440 53,3760 55,9062

ANOVA

llightness
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3,953 4 ,988 1,487 ,332
Within Groups 3,322 5 ,664
Total 7,275 9

Post Hoc Tests


llightness
a
Duncan
Subset
for alpha
= .05
hari N 1
0 2 53,955700
4 2 54,133150
1 2 54,192550
2 2 54,983800
3 2 55,616250
Sig. ,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.

120

Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perendaman


konsentrasi larutan pengawet
Panelis Kontrol
10% 15% 20%
1 5 5 5 4
2 3 3 2 2
3 6 6 6 5
4 6 7 6 4
5 6 2 2 3
6 6 4 3 3
7 7 6 5 4
8 3 4 5 2
9 6 4 3 3
10 6 4 3 2
11 6 5 5 4
12 6 3 4 2
13 6 3 3 3
14 5 3 3 3
15 6 4 3 3
16 6 5 5 3
17 7 5 5 3
18 6 4 4 2
19 6 6 5 3
20 6 6 5 4
21 6 5 5 4
22 6 3 4 2
23 6 3 3 3
24 5 3 3 3
25 6 4 3 3
26 6 5 5 3
27 7 5 5 3
28 6 4 4 2
29 6 6 5 3
30 6 6 5 4
Rata-
rata 5,80 4,43 4,13 3,07

121

Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perendaman


konsentrasi larutan pengawet
Panelis kontrol
10% 15% 20%
1 5 4 4 4
2 5 5 4 3
3 5 4 4 3
4 5 3 4 4
5 4 3 3 2
6 5 4 4 3
7 5 3 3 2
8 5 3 3 5
9 6 6 3 3
10 5 5 6 3
11 5 3 5 3
12 6 5 3 5
13 4 3 2 2
14 6 5 4 6
15 6 5 4 3
16 4 4 4 3
17 4 4 4 3
18 5 5 4 3
19 5 5 4 3
20 5 4 4 2
21 4 2 2 1
22 4 3 3 2
23 4 3 3 2
24 7 6 4 3
25 5 5 5 3
26 5 5 4 4
27 5 4 3 4
28 6 5 4 3
29 5 4 3 2
30 5 5 6 3
Rata-
rata 5 4,17 3,77 3,07

122

Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perendaman


konsentrasi larutan pengawet
Panelis Kontrol
10% 15% 20%
1 4 3 3 3
2 6 4 3 2
3 5 3 2 2
4 5 4 2 2
5 6 4 4 3
6 6 5 5 3
7 6 4 4 2
8 4 3 2 3
9 6 2 2 2
10 5 3 3 5
11 6 6 6 4
12 6 3 4 3
13 6 3 4 2
14 5 4 3 2
15 4 6 6 4
16 4 3 3 2
17 3 2 2 2
18 6 7 7 4
19 6 6 6 5
20 3 3 3 2
21 4 3 3 3
22 6 4 3 2
23 5 3 2 2
24 5 4 2 2
25 6 4 4 3
26 6 5 5 3
27 6 4 4 2
28 4 3 2 3
29 6 2 2 2
30 5 3 3 5
Rata-
rata 5,17 3,77 3,47 2,80

123

Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perebusan


konsentrasi larutan pengawet
Panelis Kontrol
10% 15% 20%
1 5 6 6 6
2 7 6 5 6
3 6 6 3 6
4 3 6 4 6
5 6 3 6 4
6 6 5 6 5
7 2 3 6 2
8 6 6 4 5
9 6 5 3 5
10 6 6 6 6
11 6 6 5 6
12 6 5 2 6
13 6 6 7 6
14 6 6 6 5
15 6 6 4 4
16 5 4 6 5
17 5 6 6 6
18 4 4 4 4
19 5 5 4 5
20 4 4 6 4
21 4 5 4 3
22 6 4 3 4
23 6 2 6 2
24 7 6 6 6
25 6 6 6 6
26 4 6 5 7
27 4 5 4 3
28 2 3 5 2
29 7 6 5 6
30 6 6 7 6
Rata-
rata 5,27 5,10 5,00 4,90

124

Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perebusan


konsentrasi larutan pengawet
Panelis Kontrol
10% 15% 20%
1 7 4 3 4
2 6 5 3 2
3 6 4 4 3
4 6 3 4 4
5 7 2 3 2
6 6 4 4 1
7 5 3 3 2
8 7 2 1 5
9 7 6 3 3
10 6 5 6 3
11 5 3 5 3
12 7 5 3 5
13 6 2 2 2
14 6 5 4 6
15 6 5 3 3
16 3 4 4 2
17 5 4 4 3
18 5 5 3 3
19 5 5 4 3
20 6 4 3 2
21 4 2 2 1
22 6 3 3 2
23 6 1 1 1
24 7 5 3 3
25 7 5 5 3
26 5 5 6 5
27 7 4 3 4
28 7 2 3 2
29 6 4 3 2
30 6 5 6 3
Rata-
rata 5,93 3,87 3,47 2,90

125

Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perebusan


konsentrasi larutan pengawet
Panelis Kontrol
10% 15% 20%
1 6 4 3 4
2 4 5 6 4
3 6 6 5 6
4 7 5 3 6
5 6 4 3 3
6 6 3 4 2
7 4 3 3 2
8 7 5 4 3
9 6 5 5 3
10 6 4 4 4
11 6 5 5 4
12 6 4 4 3
13 7 5 3 3
14 6 5 5 6
15 6 3 3 3
16 7 5 6 2
17 5 3 5 3
18 6 6 6 4
19 6 3 3 4
20 6 5 3 5
21 6 3 3 6
22 6 4 4 1
23 7 2 3 2
24 5 4 3 4
25 6 4 4 4
26 6 6 4 3
27 6 4 3 4
28 6 4 4 4
29 7 5 3 3
30 6 6 6 4
Rata-
rata 6,00 4,33 4,00 3,63

126

Lampiran 49. Hasil uji Anova dan Duncan aroma bakso kontrol dan perendaman
Anova
Dependent Variable: skor
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2470,342(a) 33 74,859 139,583 ,000
panelis 76,842 29 2,650 4,941 ,000
sampel 114,092 3 38,031 70,912 ,000
Error 46,658 87 ,536
Total 2517,000 120
a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,974)
Duncan
N Subset
sampel 1 2 3 1
rendam20
30 3,07
%
rendam15
30 4,13
%
rendam10
30 4,43
%
kontrol 30 5,80
Sig. 1,000 ,116 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,536.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.

Lampiran 50. Hasil uji Anova dan Duncan rasa dari bakso kontrol dan
perendaman

Dependent Variable: skor


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2036,100a 33 61,700 116,948 ,000
panelis 57,500 29 1,983 3,758 ,000
sampel 58,600 3 19,533 37,024 ,000
Error 45,900 87 ,528
Total 2082,000 120
a. R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,970)

127

a,b
Duncan
Subset
sampel N 1 2 3 4
rendam20% 30 3,07
rendam15% 30 3,77
rendam10% 30 4,17
kontrol 30 5,00
Sig. 1,000 1,000 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,528.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b. Alpha = ,05.

Lampiran 51. Hasil uji ANOVA keseluruhan dari bakso kontrol dan perendaman
Anova
Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: skor


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 1920,900(a) 33 58,209 80,257 ,000
panelis 98,700 29 3,403 4,693 ,000
sampel 89,400 3 29,800 41,087 ,000
Error 63,100 87 ,725
Total 1984,000 120
a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,956)

Duncan
sampel N Subset
1 2 3 1
rendam20% 30 2,80
rendam15% 30 3,47
rendam10% 30 3,77
kontrol 30 5,17
Sig. 1,000 ,176 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,725.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.

128

Lampiran 52. Hasil uji ANOVA aroma dari bakso kontrol dan perebusan
Anova
Dependent Variable: skor
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 3177,200(a) 33 96,279 81,481 ,000
panelis 94,467 29 3,257 2,757 ,000
sampel 2,200 3 ,733 ,621 ,604
Error 102,800 87 1,182
Total 3280,000 120
a R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,957)
Duncan
N Subset
sampel 1 1
rebus20% 30 4,90
rebus15% 30 5,00
rebus10% 30 5,10
kontrol 30 5,27
Sig. ,240
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1,182.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 53. Hasil Uji ANOVA rasa dari bakso Kontrol dan perebusan
Anova
Dependent Variable: skor
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2189,042(a) 33 66,335 61,422 ,000
panelis 71,542 29 2,467 2,284 ,002
sampel 157,292 3 52,431 48,548 ,000
Error 93,958 87 1,080
Total 2283,000 120
a R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,943)
Duncan
N Subset
sampel 1 2 3 1
Rebus20% 30 2,90
Rebus15% 30 3,47
Rebus10% 30 3,87
kontrol 30 5,93
Sig. 1,000 ,140 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1,080.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.

129

Lampiran 54. Hasil uji ANOVA bakso keseluruhan kontrol dan perebusan
Anova
Dependent Variable: skor
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Model 2567,608(a) 33 77,806 83,168 ,000
sampel 98,358 3 32,786 35,045 ,000
panelis 48,242 29 1,664 1,778 ,022
Error 81,392 87 ,936
Total 2649,000 120
a R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,958)
Duncan
N Subset
sampel 1 2 3 1
Rebus20% 30 3,63
Rebus15% 30 4,00 4,00
Rebus10% 30 4,33
kontrol 30 6,00
Sig. ,146 ,185 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = ,936.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000.
b Alpha = ,05.

130

Anda mungkin juga menyukai