Anda di halaman 1dari 49

KAJIAN KANDUNGAN FOSFOR PADA PRODUK

PANGAN OLAHAN DI INDONESIA

DIAN ANGGRAENI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Kandungan Fosfor
Pada Produk Pangan Olahan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2017

Dian Anggraeni
NIM F252140115
RINGKASAN

DIAN ANGGRAENI. Kajian Kandungan Fosfor pada Produk Pangan


Olahan di Indonesia. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan DEDE
ROBIATUL ADAWIYAH.

Fosfor (P) merupakan zat gizi yang dapat digunakan sebagai Bahan
Tambahan Pangan (BTP) dalam bentuk senyawa fosfat. BTP fosfat ditambahkan
ke dalam pangan olahan berfungsi sebagai garam pengemulsi, anti kempal,
pengemulsi, penstabil, dan pengatur keasaman dengan batas maksimum 10 mg/kg
– 9000 mg/kg tergantung dari jenis pangan olahannya. Berdasarkan peraturan
yang berlaku, batas maksimum BTP fosfat dihitung sebagai total P pada produk
akhir sedangkan penggunaan BTP fosfat banyak terdapat pada pangan olahan
yang secara alami bahan bakunya mengandung fosfor dengan cukup tinggi seperti
produk susu, daging olahan, serealia, dan lain-lain, sehingga dapat mempengaruhi
kadar fosfor pada produk akhir.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian kadar
fosfor pangan olahan dengan regulasi yang berlaku. Metode penelitian yang
digunakan melalui beberapa tahap yaitu inventarisasi dan identifikasi pangan
olahan di Indonesia yang terdaftar secara e-registrasi pada tahun 2013-2015, yang
kemudian disampling dan dianalisis kandungan total P dengan metode
spektrofotometri.
Hasil penelitian menunjukkan pangan olahan tidak mengandung BTP
fosfat terdeteksi kadar P dalam jumlah tertentu. Kadar fosfor rata-rata pada
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat pada setiap jenis pangan bervariasi
dengan rata-rata secara keseluruhan 2867 mg/kg. Pangan olahan tanpa BTP fosfat
terdeteksi total fosfor dalam jumlah tertentu dengan rata-rata seluruh produk 1530
mg/kg. Rata-rata perbedaan kadar fosfor pangan olahan yang tidak mengandung
BTP fosfat dengan pangan olahan yang mengandung BTP fosfat yaitu 1337 mg/kg
atau tingkat kenaikannya sebesar 39%. Dari perbedaan masing-masing produk
pada umumnya kadar fosfor pangan olahan yang disampling memenuhi batas
maksimum penggunaan fosfat sebagai BTP kecuali pada produk bumbu dan
premix. Jenis BTP fosfat yang digunakan pada sampel teridentifikasi 12 jenis dan
BTP fosfat yang paling banyak digunakan yaitu natrium tripolifosfat. Dalam
penggunaannya BTP fosfat tersebut berfungsi sebagai penstabil, pengemulsi, dan
antikempal.

Kata kunci: fosfor, fosfat, Bahan Tambahan Pangan, pangan olahan


SUMMARY

DIAN ANGGRAENI. Study of Phosphorus Content in Processed Food Products


in Indonesia. Supervised by NURI ANDARWULAN and DEDE ROBIATUL
ADAWIYAH.

Phosphorus (P) is a nutrient that can be used as Food Additives in the form
of phosphate compounds. Phosphate additives is added to processed foods act as
emulsifying salt, anti-caking agent, emulsifier, stabilizer, and acidity regulator
with a maximum limit of 10 mg/kg - 9000 mg/kg, depending on the type of
processed food. Under existing regulations, the maximum limit phosphate as
additive is calculated according to total P in the final product. Meanwhile, P as
foos additive mostly found in processed foods that initialy have high P content
such as dairy products, processed meats, cereals, and so on; thus potentially
affecting P levels in the final product.
This study aimed to analyze P content in processed food in Indonesia and
its compliance with the regulations. Processed food with and without P as food
additive on ingredient, listed in the National Agency of Drug and Food Control e-
registrration database (2013-2015), were sampled and analyzed by
spectrophotometry.
The result showed that processed foods without P as food additives actually
contained a certain amount of P. The average of P content in processed food
containing P additives was varied about 2867 mg/kg. Total P content detected in
processed food without P additives was approximately 1530 mg/kg. The average
difference in P content of processed food without P additives compared to
processed foods with P additives was 1337 mg/kg or with the increase rate of
39%. Generally, the P content of processed food samples was still within the
maximum limit use of P as food additive except in seasoning products and premix.
There were 12 types of P additives identified in the samples, and sodium
tripolyphosphate was the most widely used. Phosphate additive applied as
stabilizer, emulsifier, and anti-caking.

Key words: phosphorus, phosphate, food additive, processed food


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN KANDUNGAN FOSFOR PADA PRODUK
PANGAN OLAHAN DI INDONESIA

DIAN ANGGRAENI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknologi Pangan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si
Judul Tesis :Kajian Kandungan Fosfor Pada Produk Pangan Olahan di Indonesia
Nama : Dian Anggraeni
NIM : F252140115

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si
Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Magister Profesional Teknologi Pangan

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Maret 2017 Tanggal Lulus:


Judul Tesis :Kajian Kandungan FO,sfor Pada Produk Pangan Olahan di Indonesia
Nama : Dian Anggraeni
NIM : F252140115

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Ketua
/J2
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Magister Profesional Teknologi Pangan

CiT~1
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Maret 2017 Tanggal Lulus: 2 6 MAY 2017


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penelitian yang dimulai dari bulan Maret 2016 ini mengambil tema Bahan
Tambahan Pangan Fosfat, dengan judul Kajian Kandungan Fosfor pada Produk
Pangan Olahan di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan,
M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si selaku pembimbing, Bapak
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si selaku dosen penguji luar komisi, serta Bapak/Ibu di
Pusat Pengujian Obat dan Makanan (PPOMN) Badan POM RI yang telah
membantu selama penelitian. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktur Penilaian Keamanan
Pangan, struktural dan staf dilingkungan Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
yang telah membantu secara moril dan materil. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta, papa, mama serta seluruh
keluarga atas segala pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2017

Dian Anggraeni
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor 4
Fosfor dalam Bahan Pangan 6
Fosfor sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP) 7

METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat 9
Tempat dan Waktu 9
Prosedur Penelitian 9
Inventarisasi dan Identifikasi Pangan Olahan yang mengandung
BTP fosfat di Indonesia 9
Penentuan dan Pengambilan Sampel 10
Identifikasi Golongan dan Jenis BTP Fosfat pada Label 10
Analisis Total Fosfor 11
Pengolahan Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN


Inventarisasi dan Identifikasi Pangan Olahan di Indonesia 14
Penentuan dan Pengambilan Sampel 14
Kandungan Total Fosfor pada Pangan Olahan 16
Identifikasi Golongan dan Jenis BTP Fosfat pada Label 24

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan 28
Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL

1. Daftar kadar fosfor pada beberapa bahan pangan 6


2. Kelompok kategori pangan dan jenis pangan serta
jumlah masing-masing sampel yang dianalisis 15
3. Kadar total fosfor (mg/kg) pada pangan olahan terdaftar 17
4. Pencantuman BTP fosfat pada label pangan olahan
terdaftar e-registrasi tahun 2013-2015 dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor. 033 tentang Bahan Tambahan
Pangan tahun 2012 26

DAFTAR GAMBAR

1. Tahapan proses penelitian kandungan total P pada pangan olahan 13


2. Persentase pangan olahan dari data e-reg 2013-2015
yang mengandung BTP fosfat 14
3. Kandungan Rata-rata total fosfor pada pangan olahan dengan BTP
fosfat dan tanpa BTP fosfat 21
4. Kandungan rata-rata total fosfor pangan olahan dengan BTP fosfat
dan tanpa BTP fosfat berdasarkan kategori pangan 22
5. Presentase selisih kenaikan atau penurunan kadart fosfor
pada pangan olahan dengan adanya penggunaan BTP fosfat 23

DAFTAR LAMPIRAN

1. Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan


Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 tahun 2012 33
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mineral merupakan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk


mempertahankan keseimbangan asam basa, katalis bagi reaksi-reaksi biologis,
mempertahankan keseimbangan air tubuh, mentransmisi impuls syaraf, mengatur
kontraksi otot, serta untuk pertumbuhan jaringan tubuh.
Fosfor adalah salah satu mineral makro yang memiliki peranan penting bagi
tubuh, tidak hanya berperan dalam berbagai proses biologis tetapi juga termasuk
metabolisme energi dan mineralisasi tulang (Raina et al. 2012). Fosfor merupakan
mineral kedua terbanyak di dalam tubuh manusia setelah kalsium, yaitu 1% dari
berat badan. Kurang lebih 80% fosfor di dalam tubuh disimpan sebagai garam
kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi
(Uribarri, 2007).
Kebutuhan fosfor setiap umur berbeda dan ditetapkan melalui Angka
Kecukupan Gizi yang disingkat dengan AKG. AKG diatur dalam Permenkes RI
nomor 75 tahun 2013 yang merupakan suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap
hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh,
aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Berdasarkan
peraturan tersebut kecukupan fosfor rata-rata sehari ditetapkan sebagai berikut:
untuk bayi sekitar 200-250 mg, anak-anak 250-500 mg, remaja dan dewasa 1200
dan 700 mg, dan untuk ibu hamil dan menyusui 700 mg. (Kemenkes 2012)
Kekurangan asupan fosfor jarang terjadi karena beberapa bahan pangan
yang dikonsumsi mempunyai sumber fosfor yang baik terutama pada makanan
yang banyak mengandung protein seperti daging, ayam, ikan, telur, kacang-
kacangan, susu dan juga olahannya, serta serealia. Kekurangan fosfor dapat terjadi
dikarenakan adanya konsumsi obat antasid untuk menetralkan asam lambung
seperti alumunium hidroksida untuk jangka lama, karena alumunium hidroksida
mengikat fosfor, sehingga tidak dapat diabsorpsi.Kekurangan fosfor juga bisa
terjadi pada penderita yang kehilangan banyak cairan melalui urin.Kekurangan
fosfor menyebabkan kerusakan tulang (Horne dan Swearingen 2001).
Asupan maksimum harian yang dapat ditoleransi atau Maximum
Tolerable Daily Intake (MTDI) untuk BTP fosfat yang dihitung sebagai fosfor
yaitu 70 mg/kg berat badan (BPOM 2013). Kadar fosfat yang tinggi dalam darah
biasa disebut dengan hiperfosfatemia dapat terjadi pada kondisi tertentu yaitu pada
penderita penyakit ginjal kronis karena adanya kegagalan dalam mengekskresi
fosfat, tingginya asupan fosfat, atau peningkatan pelepasan fosfat dari ruang
intraseluler. Asupan fosfor yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan tulang
(Takeda et al. 2013). Ginjal merupakan regulasi utama homeostatis fosfat, ginjal
membantu mengontrol kadar fosfat, pada kondisi ginjal yang normal, kelebihan
fosfat dapat disaring oleh ginjal dan dibuang melalui urin (Blaine et al. 2014).
fosfor dapat juga secara sengaja ditambahkan kedalam bahan pangan
sebagai BTP fosfat dengan fungsi sebagai pengemulsi dan atau penstabil pada
pangan olahan. Asupan fosfat dari bahan pangan dengan kandungan protein tinggi
atau dari BTP dapat menjadi penentu keseimbangan fosfor pada pasien penyakit
ginjal kronis, fosfat dari BTP dapat meningkatkan jumlah fosfor dalam tubuh
2

karena fosfat dari BTP dalam bentuk anorganik yang mudah diserap, untuk itu
asupan fosfat dari BTP harus dibatasi (Noori et al. 2010, Zadeh et al. 2010).
Produk pangan olahan yang mengandung BTP fosfat sering ditemui sebagai
menu makanan di rumah sakit, bahkan tidak menutup kemungkinan diberikan
pada pasien penderita ginjal kronis, beberapa penderita ginjal kronis yang
melakukan hemodialisis merupakan pasien rawat jalan yang tidak di rawat inap di
rumah sakit sehingga besar kemungkinan dapat mengkonsumsi pangan olahan
yang mengandung BTP fosfat. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Leon et
al (2013) fosfor dari BTP banyak terdapat pada pangan olahan yang dibeli yaitu
pangan olahan beku, daging yang dikemas, produk bakeri, sup, dan yogurt. Selain
itu, pangan olahan mengandung BTP fosfor dari segi harga lebih murah daripada
pangan olahan sejenis yang bebas BTP fosfor. Akibatnya, penderita ginjal kronis
dapat mengkonsumsi pangan olahan tersebut tanpa menyadari dapat
meningkatkan asupan fosfor yang mudah diserap. Informasi kandungan fosfat
pada produk pangan olahan sangat dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk
pengaturan menu dan pemilihan pangan olahan bagi penderita hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia adalah salah satu penyakit penyerta dari penderita gagal ginjal
kronis, Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada 70 pasien penderita gagal
ginjal kronik dengan hemodialisis terdapat 77.14% menderita hiperfosfatemia
dengan kadar fosfat rata-rata 7.936±4.277 mg/dL (Octawati 2005).
Sebagian besar pasien penderita penyakit ginjal kronis harus menjalani
hemodialisis, penderita penyakit gagal ginjal kronis meningkat setiap tahunnya.
Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronis menyebabkan kenaikan
jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan laporan Indonesian
Renal Registry pada tahun 2015 jumlah pasien hemodialisis di Indonesia yaitu
sebanyak 30554 orang dengan presentase diagnosa penyakit utama gagal ginjal
kronik 89%, gagal ginjal akut 7% dan gagal ginjal akut pada gagal ginjal kronik
4%. Jumlah kematian dari keseluruhan pasien hemodialisis pada tahun 2015
tercatat 1243 orang (PERNEFRI 2015).
Hiperfosfatemia juga merupakan salah satu penyebab kematian pada
penderita gagal ginjal kronis yang disertai dengan hemodialisis. Blok. et al (2004)
telah melakukan penelitian terhadap 40538 pasien hemodialisis, 12% dari 10015
kematian yang terjadi disebabkan oleh hiperfosfatemia.
Fosfor dalam bentuk fosfat digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan
(BTP) yang dapat berfungsi sebagai antikempal, garam pengemulsi, pengemulsi
atau penstabil dengan peruntukan pangan olahan dan batasan tertentu. Hal ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun
2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
Pada Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor 24 tahun 2013 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penstabil dan Peraturan Kepala
Badan POM RI Nomor 20 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pengemulsi, fosfat digunakan sebagai pengemulsi atau sebagai
penstabil pada beberapa pangan olahan dengan batas maksimum sebagai total
fosfor pada produk akhir adalah 10 mg/kg sampai dengan 9000 mg/kg tergantung
dari jenis pangan olahannya. Tetapi berdasarkan Codex Alimentarius Commission
(CAC) penggunaan BTP fosfat pada produk daging dan daging olahan telah
direvisi pada tahun 2015 yang semula 2200 mg/kg menjadi 3250 mg/kg dihitung
berdasarkan total fosfor yang ditambahkan sebagai BTP dan fosfor yang secara
3

alami terdapat pada bahan baku (CAC, 2015), sedangkan regulasi yang berlaku di
Indonesia menunjukkan batas maksimum BTP fosfat pada produk daging dan
daging olahan masih menggunakan batas maksimum CAC sebelum tahun 2015.
Penggunaan fosfat dalam bentuk BTP banyak terdapat pada pangan olahan
yang secara alami bahan bakunya mengandung fosfor dengan cukup tinggi seperti
produk susu, daging olahan, serealia, dan lain-lain, sehingga dapat mempengaruhi
kadar fosfor pada produk akhir, karena hasil analisa BTP fosfat yang
dipersyaratkan dalam bentuk total fosfor sementara sumber fosfor yang diperoleh
tidak hanya dari BTP yang ditambahkan tetapi juga berasal dari bahan baku itu
sendiri. Dengan adanya penggunaan BTP fosfat pada produk daging ayam olahan
maka kadar total fosfor pada produk akhirpun meningkat rata-rata 84 mg/100g
(Sullivan et al. 2007). Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya monitoring dan
evaluasi terhadap penerapan regulasi penggunaan BTP fosfat pada produk pangan
olahan dengan melakukan pengujian terhadap kadar fosfor pada produk pangan
olahan terdaftar sebagai bentuk dari proses manajemen risiko.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang adanya penggunaan BTP fosfat pada pangan


olahan yang secara alami mengandung fosfor, adanya revisi regulasi CAC untuk
batas maksimum BTP fosfat pada produk daging dan olahannya, dan beberapa
hasil penelitian BTP fosfat pada pangan olahan yang dikaitkan dengan
kardiovaskular, hemodialisis, dan pasien dengan penyakit ginjal (CKD) dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana kandungan fosfor pada produk pangan olahan yang menggunakan
BTP fosfat dengan pangan olahan yang tidak menggunakan BTP fosfat di
Indonesia?
2. Bagaimanakah kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku baik dari batas
maksimum maupun dari pelabelan?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian


kadar fosfor pangan olahan dengan regulasi yang berlaku. Tujuan khusus
penelitian adalah:
1. Menginventarisasi dan mengidentifikasi pangan olahan dalam negeri yang
terdaftar di Indonesia yang mengandung BTP fosfat dan tidak mengandung
BTP fosfat
2. Mengetahui kadar total fosfor pada pangan olahan dengan BTP fosfat dan
tanpa BTP fosfat
3. Menganalisis perbedaan total fosfor pada pangan olahan dengan BTP fosfat
dan pangan olahan tanpa BTP fosfat, dan
4. Mengidentifikasi jenis dan fungsi atau golongan BTP fosfat yang digunakan.
4

Manfaat Penelitian

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
upaya monitoring penggunaan BTP fosfat oleh regulator, sebagai evaluasi post
market oleh regulator. Selain itu dari penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui kandungan fosfor pada pangan olahan yang menggunakan dan tidak
menggunakan BTP fosfat, sebagai salah satu masukan dalam rangka evaluasi
regulasi yang berlaku, serta sebagai informasi untuk dietitian dalam merancang
menu yang menggunakan pangan olahan yang menggunakan BTP fosfat.

TINJAUAN PUSTAKA

Fosfor

Fosfor adalah anion utama dari cairan intraselular. Dalam tubuh sekitar 85%
fosfor terdapat dalam tulang dan gigi, 14% adalah jaringan lunak, dan kurang dari
1% dalam cairan ekstraselular. Fosfor dalam sel sebagian besar dalam bentuk
senyawa organik seperti kreatinin fosfat, ATP, asam nukleat, fosfolipid, dan
fosfoprotein.
Pentingnya peranan mineral fosfor, menempati urutan kedua setelah kalsium
dalam total kandungan tubuh. Menurut Takeda et al. (2004) fungsi fosfor di dalam
tubuh sebagai berikut:
1. Kalsifikasi tulang dan gigi. Kalsifikasi tulang dan gigi diawali dengan
pengendapan fosfor pada matriks tulang. Kekurangan fosfor menyebabkan
peningkatan enzim fosfatase yang diperlukan untuk melepas fosfor dari
jaringan tubuh ke dalam darah agar diperoleh perbandingan kalsium terhadap
fosfor yang sesuai untuk pertumbuhan tulang.
2. Mengatur pengalihan energi. Melalui proses fosforilasi fosfor mengaktifkan
berbagai enzim dan vitamin B dalam pengalihan energi dan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Bila satu gugus fosfat ditambahkan pada ADP
(Adenin Difosfat) maka terbentuk ATP (Adenin Trifosfat) yang menyimpan
energi dalam ikatannya. Bila energi diperlukan, ATP diubah kembali menjadi
ADP. Energi yang mengikat fosfat pada ADP dilepas untuk keperluan
berbagai reaksi di dalam tubuh.
3. Absorpsi dan transportasi zat gizi. Dalam bentuk fosfat, fosfor berperan sebagai
alat angkut untuk membawa zat-zat gizi menyeberangi membran sel atau di
dalam aliran darah. Proses ini dinamakan fosforilasi dan terjadi pada absorpsi
di dalam saluran cerna, pelepasan zat gizi dari aliran darah ke dalam cairan
interseluler dan pengalihannya ke dalam sel. Lemak yang tidak larut dalam air,
diangkut di dalam darah dalam bentuk fosfolipida. Fosfolipida adalah ikatan
fosfat dengan molekul lemak, sehingga lemak menjadi lebih larut. Glikogen
yang dilepas dari simpanan hati atau otot berada di dalam darah terikat dengan
fosfor.
4. Bagian dari ikatan tubuh esensial. Vitamin dan enzim tertentu hanya dapat
berfungsi bila terlebih dahulu mengalami fosforilasi, contohnya enzim yang
mengandung vitamin B1 tiamin pirofosfat (TPP). Fosfat merupakan bagian
esensial dari DNA dan RNA, bahan pembawa kode gen/ keturunan yang
5

terdapat di dalam inti sel dan sitoplasma semua sel hidup. DNA dan RNA
dibutuhkan untuk reproduksi sel.
5. Pengaturan kesimbangan asam-basa. Fosfat memegang peranan penting sebagai
buffer untuk mencegah perubahan tingkat keasaman cairan tubuh. Ini terjadi
karena kemampuan fosfor mengikat tambahan ion hidrogen.
Hampir semua fosfor yang ada dalam tubuh berada dalam bentuk ion
fosfat (PO43). Kadar fosfat plasma bervariasi sesuai usia, dengan pengecualian
sedikit peningkatan pada fosfat wanita setelah menopause. Pemberian glukosa
atau insulin dapat menurunkan konsentrasi fosfat plasma. Hiperventilasi, alkalosis
dan pemberian epinefrin juga menurunkan konsentrasi fosfat plasma. Konsentrasi
fosfat plasma juga dipengaruhi oleh pertukaran fosfat berksinambungan antara
tempat penyimpanan terbanyak di tulang dan cairan ekstraseluler. Peningkatan
fosfat plasma yang akut dapat menimbulkan hipokalsemia. Tetapi perubahan
konsentrasi kalsium tidak selalu secara timbal balik mengubah konsentrasi fosfat
plasma (Arvin 2000)
Absorpsi fosfat berlangsung di daerah usus kecil, terutama di bagian tegah
usus halus, dan berlangsung dengan pengangkutan aktif yang membutuhkan
natrium maupun secara difusi. Salah satu faktor penting dalam efisiensi absorpsi
fosfat yaitu status vitamin D, kekurangan vitamin D khususnya metabolit aktif
vitamin D mengakibatkan turunnya absorpsi fosfat. Tingkat absorpsi fosfat dari
makanan dipengaruhi oleh masukan kation-kation yang dapat membentuk
senyawa fosfat tak larut dalam usus yaitu kalsium, aluminium, dan
stronsium.(Raina et al. 2012)
Status asam basa akan mempengaruhi keseimbangan fosfor (Uribarri
2007). Kadar fosfor dalam cairan ekstraseluler dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti asupan diet, absorpsi usus, ekskresi ginjal, dan secara hormonal terikat erat
pada kalsium. Kadar fosfor serum normal berada diantara 2.5-4.5 mg/dL (1.7 –
2.6 mEq/L) (Horne dan Swearingen 2001). Tingkat reabsorpsi dan mineralisasi
berperan dalam menentukan konsentrasi serum fosfor (Raina et al. 2012)
Kekurangan fosfor dapat menyebabkan hipofosfatemia. Hipofosfatemia
adalah gangguan elektrolit yang terjadi dalam spektrum yang luas dari pasien, dari
tanpa gejala sampai sakit kritis, dimana kadar fosfor serum <2.5 mg/dL atau 0.8
mmol/L. Kadar fosfor serum pada hipofosfatemia ringan: 2-2.5 mg/dl atau 0.65-
0.81 mmol/L, sedang: 1-2 mg/dL atau 0.32-0.65 mmol/L, dan berat: <1 mg/dL
atau 0.32 mmol/L (Liamis et al. 2010).
Hipofosfatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselular sementara,
peningkatan ekskresi urin, penurunan absorpsi usus, atau peningkatan
penggunaan. Kekurangan fosfor berat dapat terjadi pada alkoholisme, malnutrisi,
ketoasidosis diabetik, dan hiperparatiroidisme (produksi hormone paratiroid yang
berlebihan), selain itu kekurangan dapat terjadi juga karena penggunaan antasida,
karena aluminium hidroksida aluminium karbonat, dan kalsium karbonat
berkombinasi dengan fosfat untuk meningkatkan kehilangan fosfat melalui feses
(Horne dan Swearingen 2001).
Kelebihan fosfor biasa disebut hiperfosfatemia dapat terjadi pada penderita
gagal ginjal karena menurunnya fungsi ginjal atau bila kadar hormon paratiroid
menurun. Hiperfosfatemia juga dapat terlihat pada kelebihan asupan fosfat yang
mengakibatkan kadar fosfor anorganik tinggi, atau karena adanya penyalahgunaan
laksatif mengandung fosfat (Tambayong 2000).
6

Asupan fosfor yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme kalsium


(Kemi et al. 2006 dan Trautvetter 2016). Hasil dari studi menunjukkan bahwa
kelebihan fosfor dapat membahayakan kesehatan tulang (Takeda 2013). Kadar
serum fosfat yang tinggi dapat meningkatkan risiko kematian bagi pasien
hemodialisis, pasien dengan penyakit ginjal (CKD), dan pasien kardiovaskular
(Noori et al. 2010, Kestenbaum et al. 2004, dan Tonelli et al. 2005), namun pada
penilitian lain hipofosfatemia juga dapat meningkatkan mortalitas pada pasien
hemodialisis berusia ≥ 65 tahun. (Lertdumrongluk 2013).

Fosfor dalam Bahan Pangan

Fosfor merupakan mineral yang berperan penting dalam struktur dan


fungsi tubuh. Fosfor di dalam tubuh terdapat pada tulang dan gigi dalam bentuk
kalsium fosfat. Fosfor banyak terkandung dalam bahan pangan yang tinggi protein
seperti ikan, ayam, daging, telur, kacang kacangan, biji bijian, serealia atau
gandum. Fosfor juga banyak terkandung dalam berbagai macam pangan olahan
seperti: minuman bersoda, daging dan daging ayam olahan, mi instan, produk
bakeri, kentang beku, dan lain lain. Pada pangan olahan, fosfor bersumber dari
BTP fosfat yang digunakan atau bahkan dapat berasal dari bahan baku itu sendiri.
Kadar fosfor secara alami terkandung dalam beberapa bahan pangan. Pada
bahan pangan tertentu kandungan fosfor dapat melebihi batas maksimum sebagai
BTP yang digunakan pada pangan olahan. Bahan pangan dengan kandungan
fosfor yang tinggi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar kadar fosfor pada beberapa bahan pangan


Bahan Pangan Kadar fosfor (mg/100g)
Kacang kedelai 682
Kacang merah 400
Kacang tanah 456
Kenari 691
Jagung var. kuning 538
Ikan sarden 597
Ikan Bilis 1760
Telur ayam lokal 334
Tepung susu 694
Tepung susu skim 1030
Daging ayam 200
Daging sapi 300
Sumber: PERSAGI (2009)

Fosfat terjadi secara alami dalam bentuk ester organik dalam berbagai
jenis makanan, termasuk daging, kentang, roti, dan produk lainnya. Fosfat alami
dalam makanan terdapat dalam bentuk organik terikat, dan hanya 40% sampai
60% yang diserap di saluran pencernaan. Dengan demikian tidak perlu membatasi
asupan fosfat alami dari bahan pangan karena tidak diserap secara lengkap.
Dengan membatasi asupan fosfat alami dapat menyebabkan kekurangan gizi
protein (Ritz et al. 2012)
7

Makanan siap saji sebagian besar mengandung fosfor yang berasal dari
BTP fosfat sehingga membatasi pilihan bagi kosumen penderita hemodialisis
(Sarathy et al. 2008). Prevalensi asupan fosfor yang tinggi pada orang dewasa
yang sehat di Amerika dan meluasnya penggunaan aditif fosfor anorganik dalam
pangan olahan menyebabkan dikaitkannya dengan peningkatan mortalitas (Chang
et al. 2014)
Fosfor dibebaskan dari makanan oleh enzim alkalin fosfatase di dalam
mukosa usus halus dan diabsorpsi secara aktif dan difusi pasif. Absorpsi aktif
dibantu oleh bentuk aktif vitamin D. Sebagian besar fosfor di dalam darah
terutama terdapat sebagai fosfat anorganik atau sebagai fosfolipida. Kadar fosfor
di dalam darah diatur oleh hormon paratiroid (PTH) yang dikeluarkan oleh
kelenjar paratiroid dan hormon kalsitonin. Kedua hormon tersebut berinteraksi
dengan vitamin D untuk mengontrol jumlah fosfor yang diserap, jumlah yang
ditahan oleh ginjal, serta jumlah yang dibebaskan dan disimpan di dalam tulang.
PTH menurunkan reabsorpsi fosfor oleh ginjal. Kalsitonin meningkatkan ekskresi
fosfat oleh ginjal. Konsumsi fosfor yang relatif tinggi terhadap kalsium sehingga
diperoleh perbandingan P : Ca yang tinggi dalam serum akan merangsang
pembentukan PTH yang mendorong pengeluaran fosfor dari tubuh. (Raina et al.
2012)

Fosfor Sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam


pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (BPOM 2012).Jika
membaca informasi komposisi pada label suatu pangan olahan, banyak dijumpai
adanya penggunaan Bahan Tambahan Pangan seperti: pengawet, pewarna,
pemanis buatan, pengemulsi, penstabil, antioksidan, dan lain-lain penguat rasa.
Pada Permenkes RI No. 033 tahun 2012 disebutkan bahwa BTP yang
digunakan pada pangan olahan dapat mempunyai nilai gizi atau tidak mempunyai
nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dengan tujuan penggunaan
sebagai teknologi pada proses pembuatan, pengolahan, penyimpanan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk
menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Fosfor merupakan mineral yang dapat digunakan sebagai BTP dalam
bentuk senyawa fosfat. Fosfat merupakan salah satu senyawa yang mempunyai
nilai gizi. Pada Permenkes RI No. 033 tahun 2012 tercantum jenis BTP fosfat apa
saja yang dapat digunakan pada pangan olahan dengan disertai fungsinya.
Penggunaan BTP fosfat tersebut diizinkan hampir pada semua kategori pangan,
mulai dari kategori 1 (produk susu dan olahannya) sampai dengan kategori 15
(makanan ringan) kecuali kategori 16 (pangan campuran/komposit), namun ada
beberapa sub kategori yang tidak diatur penggunaannya. Salah satu contoh
Mononatrium fosfat (Monosodium orthophosphate) dapat digunakan sebagai
pengemulsi, garam pengemulsi, penstabil pada beberapa kategori, tetapi tidak
diatur penggunaannya pada kategori 1.2 (susu fermentasi dan produk susu hasil
hidrolisa enzim renin), kategori 1.7 (makanan pencuci mulut berbahan dasar
susu), kategori 5.3 (permen karet), kategori 6.1 (Biji-bijian utuh, patahan, atau
8

serpihan, termasuk beras), 6.2 (tepung dan pati), 6.7 (kue beras), 9.1 (ikan dan
produk perikanan segar), 9.3 (Ikan dan produk perikanan yang semi awet), 10.1
(telur segar), 11.1 (gula mentah dan gula dimurnikan /Rafinasi), 11.2 (gula
merah), 11.3 (larutan gula dan sirup, juga gula invert sebagian termasuk treacle
dan molase), 11.5 (madu), 12.1 (garam dan pengganti garam), 12.3 (cuka makan),
12.4 (mustard), 13.1 (formula untuk bayi dan formula lanjutan, serta formula
untuk kebutuhan medis khusus dari bayi), 13.2 (makanan bayi dan anak dalam
masa pertumbuhan), 13.3 (pangan diet untuk pelangsing dan penurun berat
badan), 13.5 (makanan diet contohnya suplemen pangan untuk diet) (BPOM
2013)
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Leon et al. (2013) BTP fosfat
banyak terkandung dalam daging olahan beku, daging yang dikemas, makanan
kering, roti panggang, sup, dan yogurt. BTP fosfat yang digunakan adalah
dikalsium fosfat, heksameta fosfat, monokalsium fosfat, asam fosfat, pirofosfat,
natrium asam pirofosfat, natrium aluminium fosfat, natrium fosfat, natrium
tripolifosfat, dan trikalsium fosfat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
92% dari 38 produk ayam yang di survei mengandung BTP fosfat (Sullivan et al.
2007). Di wilayah Waterloo-Ontario terdapat 43% dari daging dan daging olahan
yang disurvey mengandung BTP fosfat. (Cafferty et al. 2010). Sebanyak 44% dari
produk yang dijual di Ohio mengandung BTP fosfat (Leon et al. 2013), dari 118
produk yang dianalisa 43,2% mengandung BTP fosfor (Arnal et al. 2014), 44%
dari 2532 produk yang evaluasi mengandung BTP fosfor.
Pada label pangan olahan yang beredar kadang kala tidak memberikan
informasi terkait kandungan BTP fosfat yang telah digunakan. Seperti studi yang
telah dilakukan diketahui bahwa pangan olahan yang mengandung BTP fosfat
kandungan fosfornya relatif tinggi namun terdapat ketidaksesuaian
pencantumannya pada label (Arnal et al. 2014). Penelitian lain menunjukan
bahwa pangan olahan yang mengandung aditif fosfat memiliki kandungan fosfor
hampir 70% lebih tinggi dari sampel yang tidak mengandung aditif fosfat (Benini
et al. 2011).
Fosfor yang terkandung dalam pangan olahan yang berasal dari BTP lebih
mudah diserap tubuh dari pada fosfor yang terkandung secara alami dalam bahan
pangan karena bahan pangan nabati biji bijian termasuk kacang-kacangan kaya
akan fosfor tetapi penyerapannya dalam usus dihambat oleh fitat yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut (Zadeh et al. 2010). Penelitian yang telah dilakukan
membuktikan bahwa pangan olahan susu dan produk susu yang mengandung BTP
fosfat anorganik dapat meningkatkan konsentrasi serum fosfor sebesar 0,07
mg/dL setiap porsi, dan produk sereal dan biji-bijian dengan BTP fosfat dapat
meningkatkan serum fosfor sebesar 0,005 mg/dL untuk setiap porsi (Moore 2015).
Telah terbukti bahwa telah dilakukan penelitian pada pasien stadium akhir ginjal
dengan hiperfosfatemia dilakukan diet asupan BTP fosfat dan setelah 3 bulan
mengalami penurunan kadar serum fosfor sebanyak 0.6 mg/dL (Sullivan et al.
2009).
9

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan-bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: data
sekunder pangan olahan dalam negeri yang terdaftar secara e-registrasi pada tahun
2013-2015 di Badan POM. Pangan olahan yang terpilih menjadi sampel yaitu
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dan tidak mengandung BTP fosfat.
Untuk bahan kimia yang gunakan pada analisis kadar fosfor yaitu Amonium
heptamolibdat tetrahidrat [(NH4)6Mo7O244H2O] (Merck KGaA, Darmstadt
Germany), Amonium metavanadat (NH4VO3) (Merck KGaA, Darmstadt
Germany), Asam nitrat (HNO3) (Merck KGaA, Darmstadt Germany), asam
klorida (HCl) (Merck KGaA, Darmstadt Germany), kalium dihidrogen fosfat
(KH2PO4) (Merck KGaA, Darmstadt Germany). Peralatan laboratorium untuk uji
fosfor yaitu: tanur pengabuan (Thermoline furnace), cawan krus, desikator,
penjepit cawan, pemanas (hot plate), neraca analitik, spektrofotometer (Shimadzu
UV-1800), pipet mikro, labu takar, batang pengaduk, gelas ukur, dan peralatan
gelas lainnya.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Jakarta selama 6 bulan dimulai dari bulan Maret


2016 hingga bulan September 2016. Untuk analisis kadar fosfor dilakukan di
Laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN) Badan
POM RI.

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam enam tahap, yaitu (1) inventarisasi dan


identifikasi pangan olahan yang mengandung BTP fosfat di Indonesia (2)
penentuan dan pengambilan sampel (3) identifikasi jenis dan fungsi BTP fosfat
yang digunakan, (4) identifikasi pencantuman BTP fosfat pada label (5) analisis
kadar total fosfor, dan (6) pengolahan data.

Inventarisasi dan Identifikasi Pangan Olahan di Indonesia


Tahap ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi data
pangan olahan dalam negeri terdaftar secara e-registrasi di Direktorat Penilaian
Keamanan Pangan Badan POM mulai tahun 2013 sampai dengan 2015.
Identifikasi yang dilakukan terhadap produk pangan olahan yang menggunakan
BTP fosfat dan tidak menggunakan BTP fosfat dengan kategori yang sama yang
diperoleh secara resmi melalui prosedur yang berlaku di Badan POM. Data
pangan olahan yang terdaftar dikelompokkan ke dalam beberapa kategori
mengacu pada Kategori Pangan tahun 2015. Selain pengelompokan kategori
pangan juga dilakukan pembersihan (cleaning) data dari nomor aju perubahan
data, nomor aju single MD, dan nomor aju khusus ekspor. Karena data awal yang
10

diperoleh merupakan jumlah produk pendaftaran yang diajukan baik pendaftaran


baru maupun perubahan data sehingga 1 (satu) produk dapat terdiri dari beberapa
nomor aju. Dengan adanya proses pembersihan dapat menghindari data produk
yang memiliki beberapa nomor persetujuan yang sama, sehingga data akhir yang
diperoleh 1 (satu) produk hanya terdiri dari 1 (satu) nomor persetujuan.

Penentuan dan Pengambilan Sampel


Tahap selanjutnya yaitu penentuan dan pengambilan sampel yang dilakukan
terhadap data hasil inventarisasi dan identifikasi. Penentuan jumlah pangan olahan
yang dianalisa dilakukan dengan cara sampling dari data yang telah diperoleh.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu Purposive/selective stratified
random sampling. Sampel diseleksi berdasarkan jenis pangan yang serupa yang
mempunyai kemiripan dalam komposisi, contoh pada pangan olahan yang
mengandung BTP fosfat diperoleh data sampel biskuit lapis cokelat maka pada
pangan olahan tanpa BTP fosfat dipilih data produk yang serupa yaitu biskuit
lapis cokelat, kemudian dilakukan sampling secara acak.
Jumlah sampel ditentukan berdasarkan metode Slovin dengan rumus
sebagai berikut (Sevilla et al. 2007):

N
S = --------------
N d2 + 1

N = Jumlah populasi
d = 0.1
S= Jumlah sampel

Jumlah sampel yang terambil dilakukan secara proporsional dengan jumlah yang
mewakili masing-masing kategori. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
melalui cara pengundian nomor sampel secara otomatis dengan menggunakan
software acak undian dari data yang telah diperoleh. Penarikan sampel di
lapangan diambil dari 3 batch yang berbeda yaitu 3 sampel pangan olahan yang
sama memiliki kode produksi yang berbeda.

Identifikasi Golongan dan Jenis BTP Fosfat pada Label


Pangan olahan yang terpilih menjadi sampel dilakukan identifikasi jenis
BTP fosfat pada komposisi yang tercantum pada label. Fungsi penggunaan BTP
fosfat dapat diketahui dengan melihat pencantuman golongan BTP tersebut pada
label, tetapi jika pada label tidak mencantumkan golongan BTP maka dapat
ditelusuri fungsinya melalui data base. Kriteria label pangan olahan yang
memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu yang mencantumkan golongan dan nama
BTP fosfat sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan. BTP fosfat untuk golongan pengatur keasaman,
garam pengemulsi, pengemulsi, penstabil, dan antikempal tidak diwajibkan
mencantumkan nama jenis BTP pada label. Dengan mencantumkan golongan saja,
kriteria tersebut telah memenuhi syarat, tetapi jika sebagai pengemulsi dan
penstabil, berkaitan dengan pencantuman asal bahan, sehingga diwajibkan untuk
mencantumkan asal bahannya (hewani/nabati).
11

Hasil Identifikasi Golongan dan Jenis BTP fosfat pada label pangan olahan
diperoleh data a, b, c, d, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan pangan olahan yang mencantumkan golongan BTP fosfat;
b. pangan olahan yang mencantumkan nama jenis BTP fosfat;
c. pangan olahan yang mencantumkan golongan dan nama BTP fosfat; dan
d. pangan olahan yang memenuhi ketentuan pelabelan.

Analisis Total Fosfor


Metode Analisis dilakukan secara kuantitatif dengan menganalisa kadar total
fosfor pada produk pangan olahan terdaftar yang telah disampling. Analisis kadar
total fosfor dilakukan dengan menggunakan metode AOAC 986.24 tahun 2012
dengan prinsip: penentuan kadar fosfor secara spektrofotometri dengan pereaksi
molybdovanadat membentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning.
a. Persiapan larutan untuk analisa
Tahap awal adalah pembuatan larutan asam klorida, larutan reagen molibdat
vanadate, dan larutan stok fosfor standar. Larutan asam klorida (HCl) 1+3 (v/v)
dibuat dengan cara menambahkan HCl sebanyak 250 ml ke dalam air (H2O) 750
mL. Pembuatan larutan reagen molibdat-vanadat dilakukan dengan cara:
melarutkan 20 g amonium molibdat dalam 200 mL air panas dan didinginkan.
Selanjutnya sebanyak 1 g amonium metavanadat dilarutkan dalam 125 mL air
mendidih dan didinginkan, kemudian ditambahkan 160 mL asam klorida. Larutan
molibdat yang telah dingin dicampurkan dengan larutan vanadat, dan diencerkan
hingga 1 L. Larutan stok fosfor standar 2 mg P/mL dibuat dengan cara:
mengeringkan kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) selama 2 jam pada suhu 105oC
setelah itu ditimbang sebanyak 8.7874g, dan dipindahkan ke dalam labu ukur 1 L
dan ditambahkan 750 mL air untuk melarutkan. Kemudian diencerkan dengan air
sampai tanda batas dan disimpan dalam kulkas.
b. Persiapan sampel
Pangan olahan yang terpilih menjadi sampel dari 3 (tiga) batch masing-masing
ditimbang sebanyak 50 g, jika berat bersih pada label sampel yang digunakan
kurang dari 50 g maka sampel tersebut digunakan seluruhnya. Kemudian sampel
dihancurkan dan dilakukan pencampuran dan homogenisasi dengan menggunakan
blender setelah itu di tempatkan ke dalam plastik sampel.
c. Pengabuan sampel
Sampel yang telah dicampur dari 3 batch ditimbang sebanyak 1 mg
dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan uapkan hingga kering diatas hot plate
atau steam bath. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu maksimum
600oC sampai bebas karbon (3-4) jam, lalu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang hingga konstan. Dari proses ini diperoleh kadar abu dengan rumus
sebagai berikut:
Kadar abu (%) =
Keterangan:
W2 = Berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)
W0 = berat cawan kosong (g)
W1 = Berat cawan dan sampel sebelum pengabuan
12

d. Persiapan analisis sampel


Sampel yang telah diabukan ditambah 40 mL larutan asam klorida (HCl 1+3),
dan beberapa tetes HNO3 kemudian dididihkan diatas hot plate dan didinginkan.
Setelah itu dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan H2O
hingga tanda batas, kemudian dipipet sebanyak 20 mL kedalam labu ukur 100 mL
dan ditambahkan larutan molibdat vanadat sebanyak 20 mL setelah itu diencerkan
dengan air hingga tanda batas dan dihomogenkan. Larutan didiamkan selama 10
menit kemudian diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 400nm.
e. Pembuatan kurva standar
Larutan fosfor standar dimasukkan ke dalam satu seri labu ukur 100 ml,
masing-masing 0, 5, 8, 10, dan 15 mL. Larutan tersebut mengandung 0, 2, 4, 6,
dan 8 mg P, ditambahkan 20 mL reagen molibdat vanadat ke dalam masing-
masing labu standar kemudian diencerkan dengan air sampai tanda batas dan
dihomogenkan. Labu yang berisi larutan tersebut dibiarkan 10 menit untuk
membentuk warna yang komplit. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 400 nm.
Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi tersebut
diukur pada panjang gelombang 400 nm, kemudian dibuat kurva larutan baku
yang merupakan hubungan antara konsentrasi (sumbu y) dan absorbansi (sumbu
x) diperoleh persamaan regresi linier: y = 0.0885x + 0.0033 dengan koefesien
korelasi (r) = 0.9998. Dari pengukuran sampel dengan spektrofotometer diperoleh
absorban sampel dan dihitung kadar fosfor dengan rumus perhitungan sebagai
berikut:

P (mg/kg) = ( )

Pengolahan Data
Data kadar total fosfor pada pangan olahan yang telah diperoleh dilakukan
analisis terhadap kesesuaian pelabelan dan kesesuaian batas maksimum
penggunaan fosfor sebagai BTP. Selain itu data diolah secara statistik deskriptif
kuantitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul. Tahapan penelitian secara lengkap tercantum pada Gambar 1.
13

Data Pangan olahan terdaftar melalui


e-registrasi BPOM tahun 2013-2015
n = 19090

Inventarisasi dan Identifikasi pangan


olahan mengandung BTP fosfat
n = 3554

Identifikasi pangan olahan sejenis


tidak mengandung BTP fosfat Identifikasi kategori pangan
n = 2983 n = 3554

Pembersihan data Pembersihan data


n = 1873 n = 1828

Penentuan pengambilan sampel Penentuan pengambilan sampel


masing-masing jenis pangan masing-masing jenis pangan
(metode Slovi (metode Slovin)

Data pangan olahan Data pangan olahan


tanpa BTP fosfat n=95 dengan BTP fosfat n=95

Pengambilan sampel @ 3 batch

Identifikasi golongan dan jenis


BTP fosfat pada label

Evaluasi kesesuaian label


dengan regulasi

Analisis total P

Data kadar P pada


pangan olahan

Pengolahan data

Gambar 1 Tahap pengambilan sampel dan analisis kandungan total P pada pangan
olahan
14

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inventarisasi dan Identifikasi Pangan Olahan di Indonesia

Pangan olahan dalam negeri yang terdaftar secara e-registrasi di BPOM


dalam kurun waktu tahun 2013-2015 adalah sebanyak 19.090 nomor aju. Dari
jumlah tersebut teridentifikasi pangan olahan yang mengandung BTP fosfat
sebanyak 3554 dan dengan kategori dan jenis pangan yang sama terdapat 2983
pangan olahan yang tidak menggunakan BTP fosfat. Jumlah tersebut bukan
merupakan jumlah akhir tetapi harus dilakukan pembersihan data terlebih dahulu
dari nomor aju perubahan, khusus ekspor, dan nomor aju single MD. Diperoleh
hasil 1873 nomor aju pangan olahan tanpa BTP fosfat dan 1828 nomor aju pangan
olahan dengan BTP fosfat.
Pengelompokan kategori pangan mengacu pada Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Kategori Pangan. Dari data yang diperoleh pangan olahan yang mengandung BTP
fosfat teridentifikasi pada kategori 1, 6,7,8,9,12,14, dan 15. Jumlah pangan olahan
berdasarkan kategori pangan yang mengandung BTP fosfat dapat dilihat pada
Gambar 2.

Pangan olahan lainnya tanpa


BTP Fosfat
81% Makanan ringan
Produk bakeri
Pangan olahan tanpa fosfat, 12% 6.6%
9% Ikan dan produk perikanan
6.3%

Serealia dan
produk serealia
24% Produk susu dan analognya
6.2%

Minuman tidak termasuk


Pangan olahan dengan BTP
produk susu 3%
Fosfat
10%

Garam, rempah, sup,


saus, salad, dan prod. Protein
0.8%
Daging dan produk daging
41.1%
n = 19090 n = 1828

Gambar 2 Persentase pangan olahan dari data e-registrasi 2013-2015 yang


mengandung BTP fosfat berdasarkan kategori pangan

Penentuan dan Pengambilan Sampel

Pangan olahan yang telah diidentifikasi berdasarkan kategori pangan


tersebut dilakukan proses pembersihan data (cleaning) dari nomor aju perubahan
data, nomor aju khusus ekspor, dan nomor aju single MD, kemudian dilakukan
sampling. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode sampling dengan
menggunakan rumus slovin diperoleh jumlah sampel sebanyak 95 untuk masing-
masing pangan olahan yang mengandung BTP fosfat tidak mengandung BTP
15

fosfat. Dan dari masing-masing jenis pangan tersebut disampling secara acak
dengan jumlah yang proporsional, data jumlah sampel disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kelompok kategori pangan dan jenis pangan serta jumlah masing-
masing sampel yang dianalisis
Pangan Olahan Pangan Olahan
dengan Tanpa BTP Fosfat
Kategori Nama Jenis Pangan BTP Fosfat
Pangan Olahan Jml Jml
Terdaftar Terdaftar
sampel sampel
(n) (n)
(N) (N)
krimer 16 1 4 0
susu bubuk 1 0 26 1
01 minuman susu 11 1 45 2
minuman mengandung susu 2 0 24 1
keju 83 4 12 1
sereal 2 0 28 1
tepung 13 1 21 1
06
mi instan 361 19 72 4
mi kering 63 3 29 1
krekers 28 1 74 4
malkist 22 1 5 0
biskuit 36 2 167 8
07 kukis 19 1 98 5
wafer 33 2 385 20
premiks 50 3 43 2
keik 31 2 7 0
bakso 180 9 11 1
daging sapi olahan
21 2
(kornet) 1 0
8 ayam goreng 6 0 1 0
sosis 405 21 83 4
naget 121 6 22 1
ayam olahan 19 1 12 1
9 ikan 116 6 50 3
12 bumbu 14 1 197 10
minuman rasa 1 0 89 5
14 minuman berkarbonasi 3 0 114 6
minuman serbuk 51 3 59 3
15 makanan ringan 120 6 193 10
TOTAL 1828 95 1873 95

Dari perhitungan sampling yang telah dilakukan, banyaknya sampel pangan


olahan keseluruhan berjumlah 180 produk. Pangan olahan yang mengandung BTP
fosfat yang terbanyak yaitu pada produk sosis dan mi instan dengan jumlah
masing-masing 21 dan 19 produk, sedangkan untuk pangan olahan tanpa BTP
fosfat sampel terbanyaknya dari wafer yang berjumlah 20 produk. Berdasarkan
kategori pangan produk yang paling banyak disampling yaitu produk bakeri
16

(kategori 7) dengan jumlah sampel 51 produk yang terdiri dari pangan olahan
yang mengandung BTP fosfat (12 sampel) dan tidak mengandung BTP fosfat
(49 sampel). Antara jenis pangan yang mengandung BTP fosfat dengan jenis
pangan yang tidak mengandung BTP fosfat tidak selalu memiliki pasangan
sampel, contoh pada produk krimer, pada produk krimer mengandung BTP fosfat
terdapat 1 sampel sedangkan pada produk krimer tidak mengadung BTP fosfat 0
artinya tidak ada produk yang disampling, begitu pula dengan susu bubuk,
minuman mengandung susu, sereal malkist, keik, kornet, ayam goreng, minuman
rasa, dan minuman berkarbonasi.

Kandungan Total Fosfor pada Pangan Olahan Terdaftar

Kandungan fosfat yang terdapat pada pangan olahan dihitung sebagai total
fosfor, analisis laboratorium dilakukan dengan menggunakan metode analisa yang
telah ditetapkan dalam hal ini adalah metode AOAC 986.24 tahun 2012. Baik
pangan olahan yang menggunakan BTP fosfat maupun tidak menggunakan BTP
fosfat terdeteksi mengandung sejumlah fosfor dalam satuan miligram (mg) per
kilogram (kg).
Penggunaan BTP fosfat pada pangan olahan mempunyai batasan tertentu.
Kadar total fosfor yang dipersyaratkan dihitung sebagai total fosfor pada produk
akhir. Namun demikian karena fosfor secara alami terkandung pada bahan pangan
tertentu maka beberapa pangan olahan terdeteksi kadar total fosfor pada produk
akhir yang melebihi batas maksimum. Dalam bahan pangan fosfor terdapat dalam
bentuk organik dan fosfat dari BTP terdapat dalam bentuk anorganik. hasil
analisis yang terdeteksi adalah total fosfor dan tidak membedakan antara fosfor
organik dan anorganik.
Pada regulasi Internasional Codex STAN 192-1995 beberapa pangan olahan
khususnya pada kategori 08.2.2 yaitu produk daging, daging unggas dan daging
hewan buruan, dalam bentuk utuh atau potongan yang diolah dengan perlakuan
panas dan kategori 08.3 yaitu produk-produk olahan daging, daging unggas dan
daging hewan buruan yang dihaluskan, penggunaan BTP fosfat pada batas
maksimumnya telah direvisi dengan memperhitungkan kadar fosfor yang secara
alami terdapat pada bahan baku.
Pada Tabel 3 disajikan data hasil analisis kadar fosfor rata-rata yang
disertai dengan batas maksimum penggunaan BTP fosfat pada masing-masing
pangan olahan berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia dan Codex STAN
192-1995. Hasil analisis menunjukkan kadar total fosfor pada pangan olahan
dalam bentuk serbuk atau bubuk relatif tinggi namun bukan berarti kadar tersebut
melebihi batas maksimum penggunaan, karena pangan olahan serbuk atau bubuk
seperti susu bubuk, minuman serbuk, krimer bubuk, bukan merupakan pangan
olahan siap konsumsi tetapi memerlukan pengenceran terlebih dahulu sehingga
hasil analisa yang diperoleh dikonversi terhadap makanan/minuman siap
konsumsi.
Tabel 3. Kadar total fosfor (mg/kg) pada pangan olahan terdaftar e-registrasi pada tahun 2013 - 2015
Pangan Olahan tanpa Perbedaan Rataan Batas Maksimum
Pangan Olahan dengan BTP Fosfat
BTP Fosfat Pangan Olahan Penggunaan
Kategori
Nama Jenis Pangan Olahan dengan BTP Fospat
Pangan
dan Tanpa BTP Codex STAN
Min - Max Min - Max Perka.BPOM
X ± SD X ± SD Fosfat 192-1995

Krimmer 5532** ± 19 (221)*** 5519-5549 -* -* - 880 13000

susu bubuk 5416** ± 25 (807)*** 5399-5434 2249** ± 56 (335)*** 2209-2289 3167(472)*** 500 4400
01 minuman susu 1057 ± 39 1029-1085 752 ± 19 731-777 305 1320 1320

minuman mengandung susu -* -* 745 ± 11 737-753 - 1320 1320

Keju 8365 ± 1856 6255-10763 4496 ± 107 4420-4571 4448 9000 9000

Sereal -* -* 1444 ± 9 1437-1450 - 900 2200


Tepung 1713 ± 25 1695-1731 795 ± 23 778-811 918 2500 2500
06 2000 2500
mi instan 1421 ± 355 1049-2226 1107 ± 302 705-1466 314
mi kering 1604 ± 256 1358-1838 1274 ± 23 1237-1276 329 2000 2500

Krekers 1835 ± 1 1834-1835 1104 ± 147 935-1311 731


Malkist 2107 ± 7 2102-2112 -* -* -
biskuit 1510 ± 367 1063-1856 1116 ± 336 660- 1814 394
07 Kukis 1167 ± 0 1167-1167 1668 ± 788 817-2819 (22) 2200 9300

Wafer 1430 ± 27 1407-1461 1362 ± 359 582-1953 68


premiks 5211 ± 2000 2546 - 6572 1264 ± 209 1061-1447 3947
Keik 1282 ± 759 622 - 2040 -* -* 1282
Bakso 1588 ± 492 1002 - 2318 971 ± 3 969-973 617 2200 3520
daging sapi olahan 2200 2200
1823 ± 32 1800 - 1846 -* -* -
(kornet)
08 2200 3520
Sosis 1843 ± 492 1186-2997 1854 ± 67 1742-1944 (11)
Naget 1547 ± 158 1396 - 1876 1582 ± 3 1580-1584 (35) 2200 3520

Ayam karage 2223 ± 13 2214-2232 2592 ± 23 2576 - 2608 (369) 1650 2200
17
18

Tabel 3 Kadar total fosfor (mg/kg) pada pangan olahan terdaftar e-registration pada tahun 2013 - 2015 (lanjutan)

Pangan Olahan tanpa Perbedaan Rataan Batas Maksimum


Pangan Olahan dengan BTP Fosfat
BTP Fosfat Pangan Olahan Penggunaan
Kategori
Nama Jenis Pangan Olahan dengan BTP Fospat
Pangan Codex STAN
X ± SD Min - Max X ± SD Min - Max dan Tanpa BTP Perka.BPOM
192-1995
Fosfat
09 Ikan Olahan 1265 ± 411 756-1807 1073 ± 623 416-1819 192 2000 2200

12 Bumbu ayam goreng 10603 ± 320 10377-10829 814 ± 499 316-1910 9789 880 2200

minuman rasa -* -* 97 ± 124 0-308 - 1300 1000


14 minuman berkarbonasi -* -* 66 ± 62 0-177 - 800 1000

minuman serbuk 2464** ± 776 (246)*** 2280-3904 1653** ± 236 (165)*** 1343-1831 1214 (80.7)*** 500 300

15 makanan ringan 1847 ± 985 1031-3741 1203 ± 348 708-1825 644 1000 2200
*) tidak terdapat sampel yang dianalisis (berdasarkan perhitungan sampling)
**) dihitung terhadap produk siap konsumsi
***) kadar P siap konsumsi
19

Pada produk krimer kadar fosfor dihitung terhadap siap konsumsi diperoleh
kadar 221 mg/kg, susu bubuk 807 mg/kg dan minuman serbuk 246 mg/kg. untuk
batas maksimum penggunaannya yaitu pada krimer 880 mg/kg, dan pada susu dan
minuman serbuk 500 mg/kg dengan demikian krimer dan minuman serbuk
memenuhi batas maksimum penggunaan. Pada susu bubuk, hasil perhitungan
kadar fosfor siap minum yaitu 807 mg/kg. Jika dilihat dari batas maksimum (500
mg/kg) kadar tersebut tidak memenuhi syarat, akan tetapi jika dilihat dari
perbedaan pada susu yang tidak menggunakan BTP fosfat yaitu 472 mg/kg maka
nilai tersebut memenuhi batas maksimum kadar fosfor.
Berdasarkan proporsi sampel, kadar fosfor beberapa jenis pangan tidak
dapat dibandingkan antara pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dengan
pangan olahan tanpa BTP fosfat karena salah satu dari pembandingnya tidak
terdapat sampel yang dianalisis seperti pada produk krimer, minuman
mengandung susu, sereal, malkist, keik, kornet, minuman rasa, dan minuman
berkarbonasi, sehingga tidak dapat diketahui perbedaan kadar fosfor antara
pangan olahan dengan BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat.
Kadar total fosfor pada produk akhir diperoleh dari hasil analisis terhadap
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dan tidak mengandung BTP fosfat.
Hasil analisis menunjukan bahwa pangan olahan yang tidak menggunakan BTP
fosfat terdeteksi kadar total fosfor dengan jumlah tertentu bahkan dapat melebihi
batas maksimum total fosfor sebagai BTP seperti pada makanan ringan, hasil
analisis total fosfor rata-rata pada makanan ringan tanpa BTP fosfat sebesar 1203
mg/kg, sementara batas maksimum total fosfor sebagai BTP pada produk tersebut
adalah 1000 mg/kg, hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan batas
maksimum kadar total fosfor pada produk akhir.
Hasil analisis kadar fosfor pada kategori 8 yaitu daging dan produk daging,
rata-rata produk yang tidak mengandung BTP fosfat lebih besar dari produk yang
mengandung BTP fosfat seperti pada produk sosis, naget, dan ayam karage
dengan nilai perbedaan yang dihasilkan negative yaitu untuk sosis -11, naget -35,
dan ayam karage -369. Produk yang disampling antara pangan olahan yang
menggunakan BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat disesuaikan
jenis produknya sehingga dapat memiliki persamaan, akan tetapi produk yang
sama dari nama dagang dan produsen yang berbeda biasanya tetap memiliki
perbedaan misalnya dalam hal komposisi. Untuk jenis produk yang sama jenis
bahan baku yang digunakan tentu akan sama tetapi dari jumlah atau kadar bahan
baku tersebut biasanya berbeda-beda karena tiap produsen memiliki formula
tersendiri, jika bahan baku yang digunakan secara alami mengandung fosfor maka
dapat mempengaruhi kadar fosfor pada produk akhir.
Seperti halnya pada kategori 8 untuk produk ayam karage dihasilkan selisih
kadar fosfor rata-rata yang lebih besar (-369 mg/kg) antara ayam karage tanpa
BTP fosfat (2592±23) dengan ayam karage dengan BTP fosfat (2223±13), hal
tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan penggunaan jumlah daging ayam
sebagai bahan baku, ataupun pada ayam karage yang tidak menggunakan BTP
fosfat adanya penggunaan bahan lain sebagai penyumbang fosfor secara alami
yang dapat terdeteksi pada hasil analisis sebagai total fosfor. Selain itu adanya
BTP fosfor yang tersembunyi, artinya pada data yang diperoleh pada saat
identifikasi pangan olahan, produk tersebut tidak mengandung BTP fosfat baik
pada komposisi maupun sebagai carry over akan tetapi pada kenyataanya produk
tersebut dapat mengandung BTP fosfat sebagai bawaan dari bahan baku yang
20

digunakan seperti pada bumbu. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Arnal et al
(2014) pada 118 produk pangan olahan terdeteksi kadar total fosfor relatif tinggi
tetapi pada label tidak semua menginformasikan keberadaan BTP fosfat pada
produk. Begitu pula yang terjadi pada produk sosis dan naget sehingga perbedaan
kadar fosfor pada produk akhir antara produk yang tidak mengandung BTP fosfat
lebih tinggi dibanding produk yang tidak mengandung BTP fosfat.
Hasil analisis kadar fosfor yang diperoleh pada tiap kategori pangan
bervariasi tergantung dari bahan baku yang digunakan. Fosfor pada pangan olahan
tanpa BTP fosfat berupa fosfor organik yang berasal dari bahan baku atau dapat
berasal dari bawaan (carry over) Pangan olahan yang menggunakan bahan baku
utamanya dari daging, tepung terigu, susu bubuk atau susu skim, bubuk coklat,
kuning telur, serta sereal terdeteksi total fosfor hingga mencapai lebih dari 1000
mg/kg, seperti pada daging olahan, produk bakeri, dan makanan ringan.
Berdasarkan data pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia PERSAGI (2009)
secara alami tepung terigu mengandung fosfor 150 mg/100g, cokelat bubuk 715
mg/100g, kuning telur 586 mg/100gr, daging ayam 200 mg/100g, dan daging sapi
170 mg/100g. Sebagian besar pangan olahan yang dianalisis menggunakan baku
tersebut. Fosfor yang secara alami terkandung pada bahan pangan baik dari
hewani maupun nabati dalam bentuk fosfor organik. Fosfor pada bahan pangan
nabati hanya sebagian kecil yang dapat diserap sekitar 10% hingga 30% karena
fosfor pada bahan pangan nabati mayoritas tersedia dalam bentuk fitat (Noori et
al. 2010).
Hasil analisa kadar fosfor setiap sampel dengan jenis pangan yang sama
tetapi nama dagang yang berbeda mempunyai nilai yang bervariasi dan memiliki
standar deviasi yang beragam pula. Standar deviasi tertinggi pada pangan olahan
dengan BTP fosfat yaitu pada produk premiks hal ini menunjukan adanya
perbedaan kadar fosfor yang berbeda antara sampel yang satu dengan sampel
lainnya. Sedangkan pada pangan olahan tanpa BTP fosfat standar deviasinya
cenderung lebih rendah dari pangan olahan dengan BTP fosfat. Pada Gambar 3
disajikan grafik mengenai hasil analisis kadar total fosfor rata-rata antara pangan
olahan mengandung BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat.
Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa kadar total fosfor pada
pangan olahan memenuhi batas maksimum kadar total fosfor sebagai BTP.
Namun terdapat pangan olahan yang tidak mengadung P fosfat tetapi pada produk
akhir terdeteksi kadar fosfor yang relatif tinggi, jika dibandingkan dengan batas
maksimum sebagai BTP fosfat kadar tersebut melebihi batas maksimum yang
ditetapkan. Kadar fosfor pada bumbu yang mengandung BTP fosfat juga tinggi,
komposisi bumbu tersebut terdiri dari bahan-bahan penyumbang fosfor seperti
kunyit, bawang putih, dan ketumbar bubuk. Data pada Tabel Komposisi Pangan
Indonesia yang disusun oleh PERSAGI (2009) menunjukkan bahwa kandungan
fosfor pada kunyit 78 mg/100g, bawang putih 134 mg/100g, ketumbar bubuk 370
mg/100g, akan tetapi jumlah fosfor pada bahan-bahan tersebut tentunya hanya
dapat berpengaruh terhadap kenaikan kadar fosfor sesuai dengan proporsi
penggunaan bahan tersebut pada produk, hasil analisis kadar fosfor pada sampel
mencapai angka 10603 mg/kg besar kemungkinan penyumbang fosfor terbanyak
yaitu dari BTP fosfat yang digunakan. Sampel bumbu tersebut merupakan bumbu
untuk ayam goreng yang secara alami ayam kaya akan kandungan fosfor. Jika
diolah menggunakan bumbu ini maka jumlah fosfor pada produk akhir akan
meningkat.
12000

10000 10603

8365
8000

5416
6000

5211

4496

kadar fosfor (mg/kg)


4000
2864

2592

2249
2223

2107
1854
1847

1843

1835
1823

1713
1668
1649

1604
1582

1558
1547

1510

1444
1430

1421
2000

1362

1274
1264
1265

1260
1203

1167

1107
1104
1073

1057
971
814

795

752
745
97
66

-2000

tanpa BTP Fosfat dengan BTP Fosfat

Gambar 3 Kandungan rata-rata total fosfor pada pangan olahan tanpa BTP fosfat dan pangan olahan tanpa BTP fosfat berdasarkan jenis
pangan
21
22

Gambar 3 menunjukkan nilai kadar fosfor rata-rata tertinggi yaitu pada


bumbu 10603±320 mg/kg perbedaan dengan bumbu tanpa BTP fosfat sebesar
9789 mg/kg (92%) selain itu pada produk keju kadar fosfor yang mengandung
BTP fosfat rata-rata mencapai 8365±1856 mg/kg, perbedaan dengan keju tanpa
BTP fosfat yaitu 4448 mg/kg (46%). keju dibuat dari susu yang memiliki
kandungan fosfor secara alami cukup tinggi. Data kandungan fosfor pada berbagai
susu: susu sapi mempunyai kadar fosfor 60 mg/100g, susu skim mengandung
fosfor 97 mg/100g, susu bubuk 694 mg/100g dan susu skim bubuk 1030 mg/100g
(PERSAGI 2009). Beberapa produk keju pada sampel adalah keju chedar olahan
yang dibuat bukan berasal dari bahan baku susu secara langsung tetapi dari keju
chedar yang sudah mengandung BTP fosfat, sehingga kadar fosfor pada produk
keju cheddar olahan relatif tinggi.

10603
12000
kadar total fosfor (mg/kg)

10000

8000
5093

6000

2864
4000
2210
2060

1847
1799
1750

1649
1579

1332

1265

1203
1155

1073

2000
814

0
1 6 7 8 9 12
10 14 15
Kategori Pangan

Tanpa BTP fosfat dengan BTP fosfat

Gambar 4 Kandungan rata-rata total fosfor pangan olahan dengan BTP fosfat
dan tanpa BTP fosfat berdasarkan kategori pangan

Gambar 4 menunjukkan rata-rata kadar fosfor berdasarkan kategori pangan.


Kandungan rata-rata total fosfor yang digambarkan pada grafik di atas
menunjukkan adanya perbedaan antara kategori pangan yang mengandung BTP
fosfat dengan kategori pangan tanpa BTP fosfat. Pada kategori 01. Produk susu
dan Analognya rata-rata kadar fosfor pada pangan olahan mengandung BTP fosfat
sebesar 5093 mg/kg sedangkan tanpa BTP fosfat 2060 mg/kg. pada kategori 06.
Serealia dan Produk Serealia rata-rata kandungan fosfor pada pangan olahan
dengan BTP fosfat 1579 mg/kg dan pangan olahan tanpa BTP fosfat 1059 mg/kg.
pada kategori 07. Produk Bakeri rata-rata kadar fosfor pada pangan olahan dengan
BTP fosfat 2210 mg/kg dan pangan olahan tanpa BTP fosfat 1332 mg/kg, pada
kategori 08. Daging dan Produk Daging rata-rata kadar fosfor pada pangan olahan
mengandung BTP fosfat 1799 mg/kg dan pangan olahan yang tidak mengandung
23

BTP fosfat 1750 mg/kg, pada kategori 09. Ikan dan Produk Perikanan rata-rata
kandungan fosfor pada pangan olahan mengandung fosfat 1073 mg/kg, pada
kategori 12. Garam, Rempah, Sup, Saus, Salad, Produk Protein dalam hal ini
bumbu, kandungan rata-rata fosfor pada pangan olahan mengandung BTP fosfat
yaitu 10603 mg/kg, pada kategori 14. Minuman, Tidak termasuk Produk Susu
pada pangan olahan mengandung fosfpor rata-rata kadar fosfor pada pangan
olahan mengandung BTP fosfat sebesar 2864 mg/kg dan pangan olahan tanpa
BTP fosfat 1649 mg/kg, dan pada kategori 15. Makanan Ringan siap santap
kandungan rata-rata fosfor pada pangan olahan mengandung BTP fosfat 1847
mg/kg dan pada pangan olahan tanpa BTP fosfat terdeteksi kadar fosfor sebanyak
1203 mg/kg. Kadar fosfor tertinggi yaitu pada kategori 12 dalam hal ini adalah
produk bumbu dan kadar fosfor tertinggi kedua yaitu pada kategori 01 susu dan
analognya, kadar fosfor yang tinggi pada kategori ini disumbang oleh produk keju
cheddar olahan.
Data perbedaan dan kenaikan kadar fosfor rata-rata pangan olahan pada
Tabel 3 menunjukkan perbedaan antara kadar fosfor pangan olahan mengandung
BTP fosfat dengan pangan olahan yang tidak mengandung BTP fosfat. Dari data
perbedaan tersebut dapat dihitung kenaikan kadar fosfor rata-rata pada pangan
olahan mengandung BTP fosfat yang dibandingkan dengan pangan olahan tanpa
BTP fosfat, dapat dilihat pada Gambar 5.

makanan ringan 35%


minuman ringan 42%
bumbu 92%
ikan olahan 15%
ayam olahan -17%
naget -2%
sosis -1%
bakso 38%
premiks 76%
wafer 5%
kukis -43%
biskuit 17%
krekers 40%
mi kering 21%
22%
mi instan
54%
tepung bumbu
46%
keju
29%
minuman susu
58%
susu bubuk
-60% -40% -20% 0% 20% 40% 60% 80% 100%

kenaikan kadar fosfor

Gambar 5 Persentase selisih kenaikan atau penurunan kadar fosfor pada pangan
olahan dengan adanya penggunaan BTP fosfat.
24

Perbedaan rata-rata keseluruhan pangan olahan mengandung BTP fosfat


dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat yaitu 1337 mg/kg dan presentase
kenaikan kadar total fosfor 5-92% dengan rata-rata kenaikannya 39%. Jumlah ini
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Leon et al.
(2007) pada 13 kategori pangan olahan diperoleh perbedaan rata-rata kadar fosfor
antara produk mengandung BTP fosfat dengan produk tanpa BTP fosfat sebesar
670 mg/kg.
Pada produk ayam olahan, naget, sosis, dan kukis diperoleh kenaikan kadar
fosfor dengan nilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa kadar fosfor pada pangan
olahan tanpa BTP fosfat terdeteksi kadar total fosfor melebihi pada pangan olahan
yang mengandung BTP fosfat. Hal ini dapat disebabkan karena adanya
ketidakseragaman jumlah sampel karena sampling produk berdasarkan proporsi
jumlah populasi yang ada. Seperti pada produk kukis jumlah sampel produk yang
tidak mengandung BTP fosfat sebanyak 5 sampel sedangkan yang menggunakan
BTP fosfat terdiri dari 1 sampel dan tidak menutup kemungkinan bahwa sampel
yang digunakan sebagai pangan olahan mengandung BTP fosfat sebagai carry
over, karena data yang diperoleh tidak memisahkan antara sampel yang
digunakan BTP fosfat pada komposisi atau sebagai carry over.
Kenaikan kadar fosfor dengan nilai negatif yang paling tinggi yaitu pada
ayam olahan atau ayam karage dengan nilai -43%. Produk yang disampling
mempunyai nama jenis yang sama yaitu ayam karage tetapi setiap pabrik
mempunyai formula yang berbeda-beda, seperti pada produk ini, Produk ayam
karage tanpa BTP fosfat bahan penyusunnya terdiri dari daging paha ayam, tepung
terigu, air, minyak nabati, gula, bumbu, dan protein nabati sedangkan bahan
penyusun pada karage yang mengunakan BTP fosfat terdiri dari daging dada
ayam, tepung pelapis, gula, garam, pati tapioka, perisa, dan penstabil fosfat. Dari
komposisi tersebut dapat dilihat perbedaan bahan-bahan yang digunakan, daging
ayam sebagai bahan utama merupakan penyumbang fosfor yang baik. Dari data
yang diperoleh bahwa kadar daging ayam yang digunakan pada produk karage
tanpa BTP fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan produk karage yang
menggunakan BTP fosfat. Tidak menutup kemungkinan adanya perlakuan
pendahuluan pada bahan baku daging ayam yang melibatkan BTP fosfat. Selain
itu penyambang fosfor pada produk karage tanpa BTP fosfat dapat berasal dari
tepung terigu, bumbu, dan protein nabati.

Identifikasi Golongan dan Jenis BTP Fosfat pada Label

Jenis fosfat yang diizinkan penggunaannya di Indonesia sebagai BTP


terdiri dari 23 jenis (terlampir). Berdasarkan hasil identifkasi pada sampel pangan
olahan jenis BTP fosfat yang digunakan terdiri dari 12 jenis yaitu: natrium
polifosfat, dikalium fosfat, dinatrium fosfat, natrium tripolifosfat, trikalsium
fosfat, dinatrium difosfat, mononatium fosfat, tetranatrium difosfat, trinatrium
fosfat, monokalsium fosfat, kalium polifosfat, dan kalium tripolifosfat dengan
fungsi sebagai penstabil, pengemulsi dan antikempal. Hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Sullivan et al.(2007) pada produk ayam di wilayah Cleveland
Ohio, BTP fosfat yang digunakan pada produk yang disampling terdiri dari:
25

natrium fosfat, natrium aluminium fosfat, natrium asam pirofosfat, monokalsium


fosfat, dan natrium tripolifosfat.
Jenis senyawa fosfat yang paling banyak digunakan pada sampel
penelitian adalah natrium tripolifosfat (34 sampel) yaitu digunakan pada produk
mi instan, mi kering, bakso, sosis, naget, ikan olahan, bumbu, dan makanan
ringan. Natrium polifosfat (19 sampel) digunakan pada produk krimer nabati, mi
instan, bakso, dan ayam olahan.Dan dinatrium difosfat (23 sampel) digunakan
pada produk keju, tepung, krekers, kukis, premix, keik, bakso, sosis, naget, ikan
olahan, dan makanan ringan. BTP fosfat yang digunakan pada sampel yang diteliti
dalam bentuk tunggal atau campuran, untuk BTP fosfat campuran terdiri dari 2
sampai 5 jenis senyawa fosfat.
Pencantuman BTP fosfat pada label telah diatur pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan. Pada pasal 13 ayat 1 (satu) disebutkan bahwa “Untuk pangan yang
mengandung BTP, pada label wajib dicantumkan golongan BTP”, dan pada ayat 9
(Sembilan) tercantum: “Pada label pangan olahan yang mengandung BTP ikutan
(carry over) wajib dicantumkan BTP ikutan (carry over) setelah bahan yang
mengandung BTP tersebut”. Namun, dari produk yang diidentifikasi mengandung
BTP fosfat sebagai carry over pada label tidak dicantumkan sehingga dari daftar
komposisi tidak diketahui bahwa produk tersebut mengandung BTP fosfat. Seperti
studi kandungan fosfor pada beberapa jenis pangan olahan di yang telah dilakukan
oleh Arnal et al. (2014) diketahui bahwa pangan olahan yang mengandung BTP
fosfat kandungan fosfornya relatif tinggi namun terdapat ketidaksesuaian
pencantumannya pada label.
Sebagian besar BTP fosfat yang digunakan pada sampel yang dianalisis
berfungsi sebagai penstabil dan pengemulsi, terdapat 1 sampel yang berfungsi
sebagai antikempal yaitu pada minuman serbuk. Selain berbahan dasar fosfat,
golongan pengemulsi dan penstabil dapat berasal dari bahan nabati atau hewani
sehingga diwajibkan untuk mencantumkan asal bahannya pada label, sesuai
dengan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK 03.1.5.12.11.09955 Tahun
2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan. Berikut data pencantuman BTP fosfat
pada label pangan olahan disajikan pada Tabel 5.
Data pencantuman BTP fosfat pada label sampel yang diidentifikasi adalah
sebagai berikut: 56 sampel (59%) hanya mencantumkan golongan BTP,
sedangkan yang mencantumkan nama jenis BTP fosfat sebanyak 40 sampel (42%)
dan jumlah sampel yang mencantumkan golongan dan nama jenis atau golongan
BTPnya 40 (42%), dari seluruh sampel pangan olahan yang mengandung BTP
fosfat terdapat 63 sampel (66%) yang telah memenuhi ketentuan pelabelan.
Dengan rincian: 7 sampel merupakan pangan olahan yang mengandung BTP
fosfat yang berasal dari (carry over) dan tidak diketahui jenis BTP fosfat carry
over yang digunakan, hal ini diketahui bukan dari label tetapi dari data awal yang
diperoleh sebagai pangan olahan mengandung BTP fosfat. Untuk pencantuman
carry over BTP fosfat tidak diwajibkan pada label, sehingga 7 sampel tersebut
memenuhi ketentuan pelabelan. 8 sampel hanya mencantumkan golongan BTP
fosfat saja tanpa mencantumkan nama jenis BTP fosfatnya, 15 sampel
mencantumkan nama jenis fosfat yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku, 17 sampel mecantumkan golongan yang tidak sesuai peraturan yang
terdiri dari 16 sampel mencantumkan sekuestran dan 1 sampel mencantumkan
sebagai pemantap.
26

Tabel 4 Pencantuman BTP fosfat pada label pangan olahan terdaftar e-registrasi
tahun 2013-2015 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 033
tentang Bahan Tambahan Pangan tahun 2012
Jumlah
Jumlah Jumlah yang Jumlah yang Jumah yang
yang
produk mencantumkan mencantumkan mencantumkan
memenuhi
Jumlah dengan golongan BTP, nama BTP golongan dan
Kategori pangan ketentuan
sampel BTP fosfat, n(%) fosfat, n (%) nama BTP, n
pelabelan,
n (%) (%)
n(%)
(a) (b) (c)
(d)
Produk susu dan
analognya 11 6 (55) 4 (67) 4 (67) 4 (67) 5 (83)

Serealia dan produk


30 23 (77) 22 (96) 7 (30) 8 (35) 11 (48)
serealia

Produk bakeri 51 12 (24) 7 (58) 6 (50) 6 (50) 7 (58)

Daging dan produk 45 38 (84) 19(50) 20 (53) 19 (50) 25 (66)


daging

Ikan dan produk 9 6 (67) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (50)


perikanan
garam, rempah, sup,
saus, salad, prod. 11 1 (9) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 1 (100)
Protein
minuman tidak termasuk 17 3 (43) 1 (33) 1 (33) 1 (33) 3 (100)
produk susu
makanan ringan 16 6 (38) 3 (50) 2 (33) 2 (33) 3 (50)
56
total 190 95 40 (42%) 40 (42%) 63 (66%)
(59%)

Kriteria pangan olahan yang tidak memenuhi ketentuan pelabelan yaitu pada
komposisi label tidak mencantumkan golongan BTP, sama sekali tidak
mencantumkan golongan maupun nama jenis BTP (tetapi pada hasil identifikasi
dari data yang diperoleh produk tersebut mengandung BTP fosfat), tidak
mencantumkan golongan ataupun nama BTP yang tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.
Pada sampel yang diteliti terdapat beberapa pangan olahan yang masih
menggunakan label lama, terlihat dari penggunaan nama golongan BTP fosfat
yaitu sebagai sekuestran. Sejak diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor. 033 tentang Bahan Tambahan Pangan tahun 2012, BTP fosfat tidak diatur
penggunaannya sebagai sekuestran tetapi diatur sebagai garam pengemulsi,
pengemulsi, penstabil, antikempal, dan pengatur keasaman. Selain itu pada label
masih adanya pencantuman golongan BTP fosfat sebagai pemantap, karena pada
peraturan BTP terbaru golongan tersebut diganti menjadi penstabil.
Penggunaan BTP fosfat pada produk rata-rata digunakan 1 jenis BTP fosfat
tetapi dari keseluruhan sampel yang diteliti penggunaan BTP fosfat digunakan
secara tunggal atau campuran dengan sesama BTP fosfat lainnya. Untuk BTP
fosfat campuran digunakan 2,3, hingga 5 jenis BTP fosfat.
Bagi sejumlah industri pangan, BTP fosfat sangat penting untuk berbagai
tujuan sehingga banyak digunakan pada berbagai jenis pangan olahan, namun
masih ditemukan adanya indikasi ketidaksesuaian dari batas maksimum dan
ketidaksesuaian dari pencantuman pada label. Selain fosfat beberapa bahan
tambahan pangan lain yang diizinkan dengan fungsi yang sama dengan BTP fosfat
27

dapat digunakan sebagai pengganti BTP fosfat sehingga dapat mengurangi


penggunaan BTP fosfat. Jika tetap harus menggunakan BTP fosfat maka harus
mengikuti ketentuan yang berlaku baik dari batas maksimum yang diizinkan
maupun pencantumannya pada label sehingga memberikan informasi yang jelas
bagi konsumen.
Jenis fosfat yang dapat digunakan sebagai BTP diatur penggunaannya pada
Permenkes RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Pada
sampel yang telah dianalisis tidak semua BTP fosfat yang telah diizinkan
digunakan, tetapi hanya 12 jenis BTP fosfat yang digunakan dengan penggunaan
secara tunggal maupun campuran dengan sesama BTP fosfat lainnya.
Penggunaan BTP fosfat pada sampel dilengkapi dengan data jenis BTP fosfatnya
dapat dilihat pada lampiran 3.
Jenis BTP fosfat yang digunakan pada semua produk yang diteliti telah
memenuhi ketentuan yang berlaku baik dari fungsinya maupun peruntukan jenis
pangannya. Pada saat identifikasi, dari data yang diperoleh untuk fosfor yang
diketahui sebagai carry over tidak semuanya dapat diketahui jenis BTP fosfat
yang digunakan karena produk hanya diketahui kadar fosfor dari data hasil
analisanya saja tanpa diketahui jenis BTP fosfat yang digunakan pada bahan
pembawanya.
Jenis BTP fosfat yang diatur pada Peraturan Kepala Badan POM RI
berfungsi sebagai pengemulsi, garam pengemulsi, pengatur keasaman, penstabil,
dan sebagai antikempal. Dari 1 (satu) jenis BTP fosfat dapat mempunyai fungsi
tunggal atau mempunyai beberapa fungsi, contoh yang paling banyak digunakan
pada sampel yaitu natrium tripolifosfat karena BTP ini mempunyai 3 (tiga) fungsi
yaitu sebagai garam pengemulsi, penstabil, dan pengemulsi dengan peruntukan
pangan olahan yang beragam. Akan tetapi telah dilakukan penelitian oleh Yuanita
(2009) bahwa perendaman daging ayam dengan natrium tripolifosfat pada
konsentrasi dan waktu tertentu dapat meningkatkan umur simpan, dengan
demikian selain fungsinya sebagai golongan BTP sebagaimana yang telah
diizinkan pada Peraturan Kepala Badan POM RI natrium tripolifosfat juga dapat
memperpanjang umur simpan daging ayam, hal ini menunjukkan bahwa jika
digunakan dalam proses perendaman dapat berpotensi sebagai pembawa BTP
fosfat pada produk akhir.
Hasil penelitian ini memberikan informasi beberapa pangan olahan
kandungan total fosfor pada produk akhir. Bagi kalangan tertentu informasi
kandungan fosfor pada pangan olahan sangat diperlukan. Berdasarkan hasil
penelitian, beberapa rusulan disusun sebagai pertimbangan dalam penentuan
kebijakan, diantaranya:
1. Kadar fosfor pada produk akhir bukan merupakan batas maksimum jumlah
fosfor yang telah ditetapkan, untuk itu batas maksimum pada produk akhir
dapat dihitung dari kenaikan fosfor setelah menggunakan BTP fosfat.
2. Hasil penelitian memberikan indikasi adanya pangan olahan bentuk kering dan
bukan siap konsumsi yang mengandung BTP fosfat yang melebihi batas
maksimum yang ditetapkan, hal ini untuk menjadi perhatian Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi untuk dilakukan evaluasi post market.
3. Perlu adanya kaji ulang penetapan batas maksimum pada jenis pangan bentuk
kering dan bukan siap konsumsi, dari hasil analisis sejumlah produk diperoleh
kadar fosfor yang memberikan indikasi melebihi batas maksimum terhadap
28

peraturan yang berlaku di Indonesia, kaji ulang ini tentunya dengan


mempertimbangkan batas maksimum yang berlaku pada regulasi Internasional
dalam hal ini CAC sebagai salah satu acuan dalam penyusunan regulasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kadar fosfor rata-rata pada pangan olahan yang mengandung BTP fosfat
pada setiap jenis pangan bervariasi mulai dari 622 mg/kg sampai dengan 10829
mg/kg, dengan rata-rata secara keseluruhan 2867 mg/kg. Pangan olahan tanpa
BTP fosfat terdeteksi total fosfor dalam jumlah tertentu yaitu 0-4571 mg/kg
dengan rata-rata seluruh produk 1530 mg/kg. Rata-rata perbedaan kadar fosfor
pangan olahan yang tidak mengandung BTP fosfat dengan pangan olahan yang
mengandung BTP fosfat yaitu 1337 mg/kg atau tingkat kenaikannya sebesar 39%.
Dari perbedaan masing-masing produk pada umumnya kadar fosfor pangan
olahan yang disampling memenuhi batas maksimum penggunaan fosfat sebagai
BTP kecuali pada produk bumbu dan premix. Jenis BTP fosfat yang digunakan
pada sampel teridentifikasi 12 jenis dan BTP fosfat, natrium tripolifosfat
merupakan jenis BTP fosfat yang paling banyak digunakan pada sampel yang
dianalisis. Berdasarkan hasil identifikasi penggunaan BTP fosfat tersebut
berfungsi sebagai penstabil, pengemulsi, dan antikempal.
Untuk pendaftaran pangan olahan, batas maksimum penggunaan BTP
fosfat tidak dapat dilihat dari hasil analisa total fosfor pada produk akhir karena
fosfor yang terdeteksi tidak hanya berasal dari BTP yang gunakan akan tetapi
mendapat tambahan dari fosfor yang terkandung secara alami pada bahan
bakunya.

Saran

Perlu adanya surveilan dengan melakukan monitoring dan evaluasi (post


market evaluation) terkait penggunaan BTP fosfat pada produk yang beredar
berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan.
29

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Analytical Chemist. 2012. Official Methods of Analysis


of AOAC International 18th Edition. Ed ke-19. AOAC Official Method
986.24. Phosphorus in Infant Formula and Enteral Product, Revised 1997.
Latimer GW, Editor. Maryland (US): AOAC.
Arvin BK. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Wahab AS, editor. Jakarta (ID): Penerbit
Buku Kedokteran. Terjemahan dari: Nelson Textbook of Pediatrics
Arnal LM, Casanova LA, Muñoz AC, Tormo AV, Gutiérrez RC, Navarro PM,
Gutiérrez BC, Mena MG. (2014). Hidden sources of phosphorus: presence
of phosphorus-containing additives in processed foods. Nefrologia
2014;34(4):498-506. doi:10.3265.
Block GA, Klassen PS, Lazarus JM, Ofsthun N, Lowrie EG, Chertow GM. 2004.
Mineral metabolism, mortality, and morbidity in maintenance
hemodialysis. J. Am. Soc Nephrol. Aug;15(8):2208-18. doi:
10.1097/01.ASN.0000133041.27682.A2.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia No. 10 tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Antikempal. Badan POM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia No. 16 tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Garam Pengemulsi. Badan POM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia No. 20 tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengemulsi. Badan POM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Peraturan Kepala Badan
POM Republik Indonesia No. 24 tahun 2013 tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penstabil. Badan POM.
Benini O, D Alessandro C, Gianfaldoni D, Cupisti A. 2011. Extra-phosphate load
from food additives in commonly eaten foods: a real and insidious danger
for renal patients. J Ren Nutr. 2011 Jul;21(4):303-8. doi:
10.1053/j.jrn.2010.06.021. Epub 2010 Nov 5.
Blaine J, Chonchol M, Levi M. 2014. Renal control of calcium, phosphate, and
magnesium homeostasis. Clin J Am Soc Nephrol. doi:
10.2215/CJN.0975091.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2015. General Standard For Food
Additives Codex Stan 192-1995. 237, 311, 382.
Cafferty J, Wan C, Mulderrig K. 2014. Prevalence of Phosphate additives in meat
products in waterloo region grocery stores. J Ren Nutr. 24(2):138.
doi: 10.1053/j.jrn.2014.01.004.
Chang AR, Lazo M, Appel LJ, Gutie´rrez OM, Grams ME. 2014. High dietary
phosphorus intake is associated with all-cause mortality: results from
NHANESIII1–3.Am J Clin Nutr 2014;99:320–7
Horne Mima M, Swearigengen PL. 2001. Balance Keseimbangan Cairan
Elektorit & Asam Basa. Dewi Indah Nurmala dan Ester monica,
Penterjemah; Asih Yasmin, Editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Terjemahan dari: Pocket Guide to Fluids, Electrolytes, and Acid-
Base. Ed ke-II.
30

[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi
yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Kemenkes
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan
Pangan. Jakarta (ID): Kemenkes.
Kemi VE, Ka¨rkka¨inen MUM, Lamberg-Allard CJE. 2006. High Phosphorus
Intakes Acutely and Negatively Affect Calcium and Bone Metabolism in A
Dose-Dependent Manner in Healthy Young Females. British Journal of
Nutrition 96: 545–552 doi: 10.1079/BJN2006183.
Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD, Patterson DJ, Seliger SL, Young B,
Sherrard DJ, Andress DL. 2004. Serum phosphate levels and mortality risk
among people with chronic kidney disease. J Am Soc Nephrol 16: 520-528.
doi: 10.1681/ASN.2004070602.
Lean, M.EJ. 2013. Ilmu Pangan, Gizi, dan Kesehatan. Cetakan ke-1.Nilamsari N
& Fajriyah A, penerjemah.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Terjemahan dari:
Food Science, Nutrition & Health.
Leon JB, Sullivan CM, Sehgal AR. 2013. The prevalence of phosphorus-
containing food additives in top-selling foods in grocery stores. J Ren.
Nutr, 23(4):265-270
Lertdumrongluk P,Rhee CM, Park J, Lau WL, Moradi H, Jing J, Molnar MZ,
Brunelli S, Nissenson AR, Kovesdy CP, Zadeh KK. 2013. Association of
serum phosphorus concentration with mortality in elderly and non-elderly
hemodialysis patients. J Ren Nutr. 2013 November ; 23(6).
doi:10.1053/j.jrn.2013.01.018.
Liamis G, Milionis HJ, Elisaf M, 2010. Medication-induced hypophosphatemia
[Review].QJ Med 2010; 103:449–459. doi:10.1093/qjmed/hcq039
McCutcheon J, Campbell K, Ferguson M, Day S, Rossi M. (2015). Prevalence of
phosphorus-based additives in the australian food supply: a challenge for
dietary education. J Ren Nutr. pp 1-5. doi: 10.1053/j.jrn.2015.04.003.
Moore LW, Nolte JV, Gaber AO, Suki WN, 2015. Association of dietary
phosphate and serum phosphorus concentration by levels of kidney
function. Am J Clin Nutr 2015;102:444–53.
Noori N, Sims JJ, Kopple JD, Shah A, Colman S, Shinaberger S, Bross R,
Mehrotra R. 2010. Organic and inorganic dietary phosphorus and its
management in chronic kidney disease, IJKD 2010;4:97
Noori N, Zadeh KK, Kovesdy CP,Bross R, Benner D, Kopple JD. 2010.
Association of dietary phosphorus intake and phosphorus to protein ratio
with mortality in hemodialysis patients. Clin J Am Soc Nephrol 5: 683–
692, 2010.doi: 10.2215/CJN.08601209.
Octawati I. 2005. Profil kadar hormon paratiroid, kalsium, dan fosfat pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RS. Sardjito Yogyakarta
[tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada.
[PERSAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan
Indonesia (TKPI). Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.
Raina R, Garg G, Sethi SK, Schreiber MJ, Simon JF and Thomas G. 2012.
Phosphorus metabolism [Review]. J Nephrol Ther. S3:008.
doi:10.4172/2161-0959.S3-008.
31

Ritz E, Hahn K, Ketteler M, Kuhlmann MK, Mann J. 2012. Phosphate additives in


food-a health risk [Review]. Dtsch Arztebl Int 109(4):49-55.
doi:10.3238/arztebl.2012.0049
Sarathy S, Sullivan C, Leon JB, Sehgal AR. 2008. Fast food, phosphorus-
containing additives, and the renal diet. J Ren Nutr. 2008 Sep;18(5):466-70.
doi: 10.1053/j.jrn.2008.05.007
Sevilla CG, Ochave JA, Punsalan TG, Regala BP, Uriarte GG. 2007. Research
Methods, Revised Edition. Inc. Quezon City. Rex Book Store. p 182
Sullivan CM, Leon JB, Sehgal AR. 2007. Phosphorus containing food additives
and the accuracy of nutrient databases: implications for renal patients, J Ren
Nutr. 2007 Sep; 17(5): 350–354.doi:10.1053/j.jrn.2007.05.008
Sullivan CM, Sayre SS, Leon JB, Machekano R, Love TE, Porter D, Marbury M,
Sehgal AS. 2009. Effect of food additives on hyperphosphatemia among
patients with end-stage renal disease. JAMA.2009;301(6):629-635.
Takeda E, Taketani Y, Sawada N, Sato T, Yamamoto H. 2004. The Regulation
and function of phosphate in the human body. Biofactors. 2004;21(1-
4):345-55.
Takeda E, Yamamoto H, Okumura HY, Taketani Y. 2013. Increasing dietary
phosphorus intake from food additives: potential for negative impact on
bone health. Reviews from ASN EB 2013 Symposia. American Society for
Nutrition. Adv. Nutr. 5: 92–97, 2014; doi:10.3945.
Tambayong Jan. 2000. Patofisiologi Keperawatan. Monica E, Editor. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tonelli M, Sacks F, Pfeffer M, Gao Z. 2005. Relation between serum phosphate
level and cardiovascular event rate in people with coronary disease.
Circulation. 2005;112:2627-2633 doi:10.1161/circulationaha105.553198.
Trautvetter U, Jahreis G, Kiehntop M, Glei M. 2016. Consequences of a high
phosphorus intake on mineral metabolism and bone remodeling in
dependence of calcium intake in healthy subjects – a randomized placebo-
controlled human intervention study. J Nutr. 15:7 doi:10.1186/s12937-016-
0125-5.
Uribarri J. 2007. Phosphorus homeostatis in normal health and chronic kidney
disease patiens with special emphasis on dietary phosphorus intake.
Seminars in Dialysis- 20(4):295-301 doi:10.1111/J.1525-
139X.2007.00309.x.
Yuanita L, Wikandari PR, Poedjiastoeti S, Tjahyani S. 2009. Penggunaan natrium
tripolifosfat untuk meningkatkan masa simpan daging ayam. Agritech,
29(2): 79-86.
Zadeh KK. 2010. Understanding sources of dietary phosphorus in the treatment of
patients with chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol 5: 519–530,
2010.doi: 10.2215/CJN.06080809.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 tahun 2012
No. Perka.BPOM
Jenis BTP Fosfat pada Permenkes Jenis pangan olahan Fungsi BTP
INS Golongan BTP kategori No. 10, 20, 24
033 (jumlah sampel = n) pada label
tahun 2013
1. Asam fosfat (Orthophosphoric acid) 338 Pengatur keasaman -

2. Mononatrium fosfat (Monosodium 339(i) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1) √ Pengemulsi
orthophosphate) penstabil 06.4.3 Mi instan (3) √ Penstabil
15.1 Makanan ringan (1) √ Penstabil

3. Dinatrium fosfat (Disodium 339(ii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.1.2 Minuman susu (1) √ Pengemulsi
orthophosphate) penstabil 01.6.4 Keju olahan (2) √ Penstabil
06.4.3 Mi instan (2) √ penstabil

4. Trinatrium fosfat (Trisodium 339(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.3 Mi instan (1) √ Penstabil
orthophosphate) penstabil

5. Monokalium fosfat (Monopotassium 340(i) Garam pengemulsi, pengemulsi, -


orthophosphate) penstabil

6. Dikalium fosfat (Dipotassium 340(ii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.3.2 Krimer (1) √ Penstabil
orthophosphate) penstabil 08.3.2 Bakso (1) √ Pengemulsi
09.2.4 Ikan olahan (1) √ Penstabil
7. Trikalium fosfat (Tripotassium 340(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, -
orthophosphate) penstabil

8. Kalsium fosfat (calcium phosphate) 341 Penstabil -

9. Monokalsium fosfat (Monocalcium


orthophosphate) Penstabil 07.2.1 Biskuit (1) √ Penstabil
341 (i) 07.2.1 Keik (2) √ Penstabil
10. Dikalsium fosfat (Dicalcium
orthophosphate) 341 (ii) Penstabil -
11. Trikalsium fosfat (Tricalcium
orthophosphate) 341 (iii) Penstabil, antikempal 14.1.5 Minuman serbuk (1) √ Antikempal
33
34 34

Lampiran 1 Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012
(lanjutan)

Perka.BPOM No.
Jenis BTP Fosfat pada Permenkes Jenis pangan olahan
No. INS Golongan BTP kategori 10, 20, 24 tahun Fungsi
033 (jumlah sampel = n)
2013

12. Dinatrium difosfat (Disodium 450(i) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1) √ Pengemulsi
diphosphate) penstabil 06.6 Tepung (1) √ Pengemulsi
06.4.2 Mi instan (1) √ Penstabil
07.1.2 Krekers(1) √ Pengemulsi
07.2.1 Kukis (1) √ Pengemulsi
07.2.3 Premiks (3) √ Penstabil
07.2.1 Keik (1) √ Pengemulsi
08.3.2 Bakso (3) √ Pengemulsi,
08.3.1 Sosis (7) √ penstabil
08.3.3 Naget (2) √ Pengemulsi,
09.2.4 Ikan olahan (3) √ penstabil
15.1 Makanan ringan (1) √ Penstabil
Penstabil
13. Trinatrium difosfat (trisodium 450 (ii) Pengemulsi, penstabil - Penstabil
diphosphate)

14. Tetranatrium difosfat (Tetrasodium 450(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1)
diphosphate) penstabil 06.4.2 Mi instan (1) √
08.3.1 Sosis (1) √ Pengemulsi
08.2.3 Ayam karage (1) √ Penstabil
Penstabil
15. Tetrakalium difosfat (Tetrapotassium 450(v) Garam pengemulsi, pengemulsi, -
diphosphate) penstabil
Garam pengemulsi, pengemulsi,
16. Dikalsium difosfat (Dicalcium 450(vi) -
penstabil
diphosphate) pengemulsi
Garam pengemulsi, penstabil
17. Kalsium difosfat (Calcium dihydrogen 450(vii) - 0
diphosphate)
Lampiran 1 Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 tahun 2012
(lanjutan)
Perka.BPOM
Jenis BTP Fosfat pada Jenis pangan olahan
No. INS Golongan BTP kategori No. 10, 20, 24 Fungsi
Permenkes 033 (jumlah sampel = n)
tahun 2013

18. Natrium tripolifosfat (Sodium 451(i) Garam pengemulsi, penstabil 06.4.2 Mi instan (7) √ Penstabil
Tripolyphosphate) 06.4.3 Mi kering (3) √ Penstabil
08.3.2 Bakso (6) √ Pengemulsi, penstabil
08.3.2 Kornet (1) √ Penstabil
08.3.2 Sosis (11) √ Pengemulsi, penstabil
08.3.3 Naget (4) √ Pengemulsi, penstabil
09.2.4 Ikan olahan (2) √ Penstabil
12. 2.2 Bumbu (1) √ Penstabil
15.1 Makanan ringan (2) √ Penstabil

19. Kalium tripolifosfat (Potassium 451(ii) Garam pengemulsi, penstabil 08.3.2 Bakso (1) √ Penstabil
tripolyphosphate) 08.3.2 Sosis (1) √ Penstabil

20. Natrium polifosfat (Sodium 452(i) Garam pengemulsi, Pengemulsi, 01.3.2 Krimer (1) √ Penstabil
polyphosphate) penstabil 01.6.4 Keju (2) √ Pengemulsi
06.4.2 Mi instan (13) √ Penstabil
08.3.2 Bakso (1) √ Penstabil
08.3.2 Naget (1) √ Penstabil
08.2.3 Ayam karage (1) √ Penstabil

21. Kalium polifosfat (Potassium 452(ii) Garam pengemulsi, Pengemulsi, 08.3.2 Bakso (2) √ Pengemulsi
polyphosphate) penstabil 08.3.2 Sosis (4) √ Pengemulsi, penstabil

22. Natrium kalsium polifosfat 452 (iii) Pengemulsi, penstabil -


(sodium calcium polyphosphate)
Kalsium polifosfat (Calcium Garam pengemulsi, pengemulsi, -
23. 452(iv)
polyphosphate) penstabil
Keterangan: - : tidak ada sampel/pangan olahan yang mengandung BTP tsb
√: diizinkan pada PerKa.Bpom
35
36

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lebak pada tanggal 6 Agustus


1979 sebagai anak pertama dari empat bersaudara
dari pasangan Asyik Hendyana dan N. Hernawati.
Pada tahun 1997 Penulis melanjutkan pendidikan
sarjana di Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknik Universitas Pasundan Bandung dan lulus
pada tahun 2002. Penulis mendapat kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi
Magister Profesional Teknologi Pangan pada
Program Pascasarjana IPB pada tahun 2014.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Penulis bakerja sebagai fungsional umum di Direktorat Penilaian Keamanan
Pangan Badan POM RI sejak tahun 2005. Bidang pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab penulis adalah evaluasi keamanan, mutu, gizi, dan label pangan
olahan sebelum beredar di pasaran.
Karya ilmiah yang berjudul Phosphorus Content of Processed Food in
Indonesia sedang diajukan untuk diterbitkan pada Asian Journal Chemistry tahun
2017. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S2 penulis.

Anda mungkin juga menyukai