DIAN ANGGRAENI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Kandungan Fosfor
Pada Produk Pangan Olahan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Dian Anggraeni
NIM F252140115
RINGKASAN
Fosfor (P) merupakan zat gizi yang dapat digunakan sebagai Bahan
Tambahan Pangan (BTP) dalam bentuk senyawa fosfat. BTP fosfat ditambahkan
ke dalam pangan olahan berfungsi sebagai garam pengemulsi, anti kempal,
pengemulsi, penstabil, dan pengatur keasaman dengan batas maksimum 10 mg/kg
– 9000 mg/kg tergantung dari jenis pangan olahannya. Berdasarkan peraturan
yang berlaku, batas maksimum BTP fosfat dihitung sebagai total P pada produk
akhir sedangkan penggunaan BTP fosfat banyak terdapat pada pangan olahan
yang secara alami bahan bakunya mengandung fosfor dengan cukup tinggi seperti
produk susu, daging olahan, serealia, dan lain-lain, sehingga dapat mempengaruhi
kadar fosfor pada produk akhir.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian kadar
fosfor pangan olahan dengan regulasi yang berlaku. Metode penelitian yang
digunakan melalui beberapa tahap yaitu inventarisasi dan identifikasi pangan
olahan di Indonesia yang terdaftar secara e-registrasi pada tahun 2013-2015, yang
kemudian disampling dan dianalisis kandungan total P dengan metode
spektrofotometri.
Hasil penelitian menunjukkan pangan olahan tidak mengandung BTP
fosfat terdeteksi kadar P dalam jumlah tertentu. Kadar fosfor rata-rata pada
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat pada setiap jenis pangan bervariasi
dengan rata-rata secara keseluruhan 2867 mg/kg. Pangan olahan tanpa BTP fosfat
terdeteksi total fosfor dalam jumlah tertentu dengan rata-rata seluruh produk 1530
mg/kg. Rata-rata perbedaan kadar fosfor pangan olahan yang tidak mengandung
BTP fosfat dengan pangan olahan yang mengandung BTP fosfat yaitu 1337 mg/kg
atau tingkat kenaikannya sebesar 39%. Dari perbedaan masing-masing produk
pada umumnya kadar fosfor pangan olahan yang disampling memenuhi batas
maksimum penggunaan fosfat sebagai BTP kecuali pada produk bumbu dan
premix. Jenis BTP fosfat yang digunakan pada sampel teridentifikasi 12 jenis dan
BTP fosfat yang paling banyak digunakan yaitu natrium tripolifosfat. Dalam
penggunaannya BTP fosfat tersebut berfungsi sebagai penstabil, pengemulsi, dan
antikempal.
Phosphorus (P) is a nutrient that can be used as Food Additives in the form
of phosphate compounds. Phosphate additives is added to processed foods act as
emulsifying salt, anti-caking agent, emulsifier, stabilizer, and acidity regulator
with a maximum limit of 10 mg/kg - 9000 mg/kg, depending on the type of
processed food. Under existing regulations, the maximum limit phosphate as
additive is calculated according to total P in the final product. Meanwhile, P as
foos additive mostly found in processed foods that initialy have high P content
such as dairy products, processed meats, cereals, and so on; thus potentially
affecting P levels in the final product.
This study aimed to analyze P content in processed food in Indonesia and
its compliance with the regulations. Processed food with and without P as food
additive on ingredient, listed in the National Agency of Drug and Food Control e-
registrration database (2013-2015), were sampled and analyzed by
spectrophotometry.
The result showed that processed foods without P as food additives actually
contained a certain amount of P. The average of P content in processed food
containing P additives was varied about 2867 mg/kg. Total P content detected in
processed food without P additives was approximately 1530 mg/kg. The average
difference in P content of processed food without P additives compared to
processed foods with P additives was 1337 mg/kg or with the increase rate of
39%. Generally, the P content of processed food samples was still within the
maximum limit use of P as food additive except in seasoning products and premix.
There were 12 types of P additives identified in the samples, and sodium
tripolyphosphate was the most widely used. Phosphate additive applied as
stabilizer, emulsifier, and anti-caking.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN KANDUNGAN FOSFOR PADA PRODUK
PANGAN OLAHAN DI INDONESIA
DIAN ANGGRAENI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Teknologi Pangan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si
Judul Tesis :Kajian Kandungan Fosfor Pada Produk Pangan Olahan di Indonesia
Nama : Dian Anggraeni
NIM : F252140115
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Ketua
/J2
Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si
Anggota
Diketahui oleh
CiT~1
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan.
Penelitian yang dimulai dari bulan Maret 2016 ini mengambil tema Bahan
Tambahan Pangan Fosfat, dengan judul Kajian Kandungan Fosfor pada Produk
Pangan Olahan di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan,
M.Si dan Ibu Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si selaku pembimbing, Bapak
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si selaku dosen penguji luar komisi, serta Bapak/Ibu di
Pusat Pengujian Obat dan Makanan (PPOMN) Badan POM RI yang telah
membantu selama penelitian. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktur Penilaian Keamanan
Pangan, struktural dan staf dilingkungan Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
yang telah membantu secara moril dan materil. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta, papa, mama serta seluruh
keluarga atas segala pengorbanan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Dian Anggraeni
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor 4
Fosfor dalam Bahan Pangan 6
Fosfor sebagai Bahan Tambahan Pangan (BTP) 7
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat 9
Tempat dan Waktu 9
Prosedur Penelitian 9
Inventarisasi dan Identifikasi Pangan Olahan yang mengandung
BTP fosfat di Indonesia 9
Penentuan dan Pengambilan Sampel 10
Identifikasi Golongan dan Jenis BTP Fosfat pada Label 10
Analisis Total Fosfor 11
Pengolahan Data 12
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 36
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
karena fosfat dari BTP dalam bentuk anorganik yang mudah diserap, untuk itu
asupan fosfat dari BTP harus dibatasi (Noori et al. 2010, Zadeh et al. 2010).
Produk pangan olahan yang mengandung BTP fosfat sering ditemui sebagai
menu makanan di rumah sakit, bahkan tidak menutup kemungkinan diberikan
pada pasien penderita ginjal kronis, beberapa penderita ginjal kronis yang
melakukan hemodialisis merupakan pasien rawat jalan yang tidak di rawat inap di
rumah sakit sehingga besar kemungkinan dapat mengkonsumsi pangan olahan
yang mengandung BTP fosfat. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Leon et
al (2013) fosfor dari BTP banyak terdapat pada pangan olahan yang dibeli yaitu
pangan olahan beku, daging yang dikemas, produk bakeri, sup, dan yogurt. Selain
itu, pangan olahan mengandung BTP fosfor dari segi harga lebih murah daripada
pangan olahan sejenis yang bebas BTP fosfor. Akibatnya, penderita ginjal kronis
dapat mengkonsumsi pangan olahan tersebut tanpa menyadari dapat
meningkatkan asupan fosfor yang mudah diserap. Informasi kandungan fosfat
pada produk pangan olahan sangat dibutuhkan oleh tenaga kesehatan untuk
pengaturan menu dan pemilihan pangan olahan bagi penderita hiperfosfatemia.
Hiperfosfatemia adalah salah satu penyakit penyerta dari penderita gagal ginjal
kronis, Penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada 70 pasien penderita gagal
ginjal kronik dengan hemodialisis terdapat 77.14% menderita hiperfosfatemia
dengan kadar fosfat rata-rata 7.936±4.277 mg/dL (Octawati 2005).
Sebagian besar pasien penderita penyakit ginjal kronis harus menjalani
hemodialisis, penderita penyakit gagal ginjal kronis meningkat setiap tahunnya.
Meningkatnya jumlah pasien dengan gagal ginjal kronis menyebabkan kenaikan
jumlah pasien yang menjalani hemodialisis. Berdasarkan laporan Indonesian
Renal Registry pada tahun 2015 jumlah pasien hemodialisis di Indonesia yaitu
sebanyak 30554 orang dengan presentase diagnosa penyakit utama gagal ginjal
kronik 89%, gagal ginjal akut 7% dan gagal ginjal akut pada gagal ginjal kronik
4%. Jumlah kematian dari keseluruhan pasien hemodialisis pada tahun 2015
tercatat 1243 orang (PERNEFRI 2015).
Hiperfosfatemia juga merupakan salah satu penyebab kematian pada
penderita gagal ginjal kronis yang disertai dengan hemodialisis. Blok. et al (2004)
telah melakukan penelitian terhadap 40538 pasien hemodialisis, 12% dari 10015
kematian yang terjadi disebabkan oleh hiperfosfatemia.
Fosfor dalam bentuk fosfat digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan
(BTP) yang dapat berfungsi sebagai antikempal, garam pengemulsi, pengemulsi
atau penstabil dengan peruntukan pangan olahan dan batasan tertentu. Hal ini
diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun
2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
Pada Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor 24 tahun 2013 tentang Batas
Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penstabil dan Peraturan Kepala
Badan POM RI Nomor 20 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pengemulsi, fosfat digunakan sebagai pengemulsi atau sebagai
penstabil pada beberapa pangan olahan dengan batas maksimum sebagai total
fosfor pada produk akhir adalah 10 mg/kg sampai dengan 9000 mg/kg tergantung
dari jenis pangan olahannya. Tetapi berdasarkan Codex Alimentarius Commission
(CAC) penggunaan BTP fosfat pada produk daging dan daging olahan telah
direvisi pada tahun 2015 yang semula 2200 mg/kg menjadi 3250 mg/kg dihitung
berdasarkan total fosfor yang ditambahkan sebagai BTP dan fosfor yang secara
3
alami terdapat pada bahan baku (CAC, 2015), sedangkan regulasi yang berlaku di
Indonesia menunjukkan batas maksimum BTP fosfat pada produk daging dan
daging olahan masih menggunakan batas maksimum CAC sebelum tahun 2015.
Penggunaan fosfat dalam bentuk BTP banyak terdapat pada pangan olahan
yang secara alami bahan bakunya mengandung fosfor dengan cukup tinggi seperti
produk susu, daging olahan, serealia, dan lain-lain, sehingga dapat mempengaruhi
kadar fosfor pada produk akhir, karena hasil analisa BTP fosfat yang
dipersyaratkan dalam bentuk total fosfor sementara sumber fosfor yang diperoleh
tidak hanya dari BTP yang ditambahkan tetapi juga berasal dari bahan baku itu
sendiri. Dengan adanya penggunaan BTP fosfat pada produk daging ayam olahan
maka kadar total fosfor pada produk akhirpun meningkat rata-rata 84 mg/100g
(Sullivan et al. 2007). Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya monitoring dan
evaluasi terhadap penerapan regulasi penggunaan BTP fosfat pada produk pangan
olahan dengan melakukan pengujian terhadap kadar fosfor pada produk pangan
olahan terdaftar sebagai bentuk dari proses manajemen risiko.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
upaya monitoring penggunaan BTP fosfat oleh regulator, sebagai evaluasi post
market oleh regulator. Selain itu dari penelitian yang telah dilakukan dapat
diketahui kandungan fosfor pada pangan olahan yang menggunakan dan tidak
menggunakan BTP fosfat, sebagai salah satu masukan dalam rangka evaluasi
regulasi yang berlaku, serta sebagai informasi untuk dietitian dalam merancang
menu yang menggunakan pangan olahan yang menggunakan BTP fosfat.
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfor
Fosfor adalah anion utama dari cairan intraselular. Dalam tubuh sekitar 85%
fosfor terdapat dalam tulang dan gigi, 14% adalah jaringan lunak, dan kurang dari
1% dalam cairan ekstraselular. Fosfor dalam sel sebagian besar dalam bentuk
senyawa organik seperti kreatinin fosfat, ATP, asam nukleat, fosfolipid, dan
fosfoprotein.
Pentingnya peranan mineral fosfor, menempati urutan kedua setelah kalsium
dalam total kandungan tubuh. Menurut Takeda et al. (2004) fungsi fosfor di dalam
tubuh sebagai berikut:
1. Kalsifikasi tulang dan gigi. Kalsifikasi tulang dan gigi diawali dengan
pengendapan fosfor pada matriks tulang. Kekurangan fosfor menyebabkan
peningkatan enzim fosfatase yang diperlukan untuk melepas fosfor dari
jaringan tubuh ke dalam darah agar diperoleh perbandingan kalsium terhadap
fosfor yang sesuai untuk pertumbuhan tulang.
2. Mengatur pengalihan energi. Melalui proses fosforilasi fosfor mengaktifkan
berbagai enzim dan vitamin B dalam pengalihan energi dan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Bila satu gugus fosfat ditambahkan pada ADP
(Adenin Difosfat) maka terbentuk ATP (Adenin Trifosfat) yang menyimpan
energi dalam ikatannya. Bila energi diperlukan, ATP diubah kembali menjadi
ADP. Energi yang mengikat fosfat pada ADP dilepas untuk keperluan
berbagai reaksi di dalam tubuh.
3. Absorpsi dan transportasi zat gizi. Dalam bentuk fosfat, fosfor berperan sebagai
alat angkut untuk membawa zat-zat gizi menyeberangi membran sel atau di
dalam aliran darah. Proses ini dinamakan fosforilasi dan terjadi pada absorpsi
di dalam saluran cerna, pelepasan zat gizi dari aliran darah ke dalam cairan
interseluler dan pengalihannya ke dalam sel. Lemak yang tidak larut dalam air,
diangkut di dalam darah dalam bentuk fosfolipida. Fosfolipida adalah ikatan
fosfat dengan molekul lemak, sehingga lemak menjadi lebih larut. Glikogen
yang dilepas dari simpanan hati atau otot berada di dalam darah terikat dengan
fosfor.
4. Bagian dari ikatan tubuh esensial. Vitamin dan enzim tertentu hanya dapat
berfungsi bila terlebih dahulu mengalami fosforilasi, contohnya enzim yang
mengandung vitamin B1 tiamin pirofosfat (TPP). Fosfat merupakan bagian
esensial dari DNA dan RNA, bahan pembawa kode gen/ keturunan yang
5
terdapat di dalam inti sel dan sitoplasma semua sel hidup. DNA dan RNA
dibutuhkan untuk reproduksi sel.
5. Pengaturan kesimbangan asam-basa. Fosfat memegang peranan penting sebagai
buffer untuk mencegah perubahan tingkat keasaman cairan tubuh. Ini terjadi
karena kemampuan fosfor mengikat tambahan ion hidrogen.
Hampir semua fosfor yang ada dalam tubuh berada dalam bentuk ion
fosfat (PO43). Kadar fosfat plasma bervariasi sesuai usia, dengan pengecualian
sedikit peningkatan pada fosfat wanita setelah menopause. Pemberian glukosa
atau insulin dapat menurunkan konsentrasi fosfat plasma. Hiperventilasi, alkalosis
dan pemberian epinefrin juga menurunkan konsentrasi fosfat plasma. Konsentrasi
fosfat plasma juga dipengaruhi oleh pertukaran fosfat berksinambungan antara
tempat penyimpanan terbanyak di tulang dan cairan ekstraseluler. Peningkatan
fosfat plasma yang akut dapat menimbulkan hipokalsemia. Tetapi perubahan
konsentrasi kalsium tidak selalu secara timbal balik mengubah konsentrasi fosfat
plasma (Arvin 2000)
Absorpsi fosfat berlangsung di daerah usus kecil, terutama di bagian tegah
usus halus, dan berlangsung dengan pengangkutan aktif yang membutuhkan
natrium maupun secara difusi. Salah satu faktor penting dalam efisiensi absorpsi
fosfat yaitu status vitamin D, kekurangan vitamin D khususnya metabolit aktif
vitamin D mengakibatkan turunnya absorpsi fosfat. Tingkat absorpsi fosfat dari
makanan dipengaruhi oleh masukan kation-kation yang dapat membentuk
senyawa fosfat tak larut dalam usus yaitu kalsium, aluminium, dan
stronsium.(Raina et al. 2012)
Status asam basa akan mempengaruhi keseimbangan fosfor (Uribarri
2007). Kadar fosfor dalam cairan ekstraseluler dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti asupan diet, absorpsi usus, ekskresi ginjal, dan secara hormonal terikat erat
pada kalsium. Kadar fosfor serum normal berada diantara 2.5-4.5 mg/dL (1.7 –
2.6 mEq/L) (Horne dan Swearingen 2001). Tingkat reabsorpsi dan mineralisasi
berperan dalam menentukan konsentrasi serum fosfor (Raina et al. 2012)
Kekurangan fosfor dapat menyebabkan hipofosfatemia. Hipofosfatemia
adalah gangguan elektrolit yang terjadi dalam spektrum yang luas dari pasien, dari
tanpa gejala sampai sakit kritis, dimana kadar fosfor serum <2.5 mg/dL atau 0.8
mmol/L. Kadar fosfor serum pada hipofosfatemia ringan: 2-2.5 mg/dl atau 0.65-
0.81 mmol/L, sedang: 1-2 mg/dL atau 0.32-0.65 mmol/L, dan berat: <1 mg/dL
atau 0.32 mmol/L (Liamis et al. 2010).
Hipofosfatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselular sementara,
peningkatan ekskresi urin, penurunan absorpsi usus, atau peningkatan
penggunaan. Kekurangan fosfor berat dapat terjadi pada alkoholisme, malnutrisi,
ketoasidosis diabetik, dan hiperparatiroidisme (produksi hormone paratiroid yang
berlebihan), selain itu kekurangan dapat terjadi juga karena penggunaan antasida,
karena aluminium hidroksida aluminium karbonat, dan kalsium karbonat
berkombinasi dengan fosfat untuk meningkatkan kehilangan fosfat melalui feses
(Horne dan Swearingen 2001).
Kelebihan fosfor biasa disebut hiperfosfatemia dapat terjadi pada penderita
gagal ginjal karena menurunnya fungsi ginjal atau bila kadar hormon paratiroid
menurun. Hiperfosfatemia juga dapat terlihat pada kelebihan asupan fosfat yang
mengakibatkan kadar fosfor anorganik tinggi, atau karena adanya penyalahgunaan
laksatif mengandung fosfat (Tambayong 2000).
6
Fosfat terjadi secara alami dalam bentuk ester organik dalam berbagai
jenis makanan, termasuk daging, kentang, roti, dan produk lainnya. Fosfat alami
dalam makanan terdapat dalam bentuk organik terikat, dan hanya 40% sampai
60% yang diserap di saluran pencernaan. Dengan demikian tidak perlu membatasi
asupan fosfat alami dari bahan pangan karena tidak diserap secara lengkap.
Dengan membatasi asupan fosfat alami dapat menyebabkan kekurangan gizi
protein (Ritz et al. 2012)
7
Makanan siap saji sebagian besar mengandung fosfor yang berasal dari
BTP fosfat sehingga membatasi pilihan bagi kosumen penderita hemodialisis
(Sarathy et al. 2008). Prevalensi asupan fosfor yang tinggi pada orang dewasa
yang sehat di Amerika dan meluasnya penggunaan aditif fosfor anorganik dalam
pangan olahan menyebabkan dikaitkannya dengan peningkatan mortalitas (Chang
et al. 2014)
Fosfor dibebaskan dari makanan oleh enzim alkalin fosfatase di dalam
mukosa usus halus dan diabsorpsi secara aktif dan difusi pasif. Absorpsi aktif
dibantu oleh bentuk aktif vitamin D. Sebagian besar fosfor di dalam darah
terutama terdapat sebagai fosfat anorganik atau sebagai fosfolipida. Kadar fosfor
di dalam darah diatur oleh hormon paratiroid (PTH) yang dikeluarkan oleh
kelenjar paratiroid dan hormon kalsitonin. Kedua hormon tersebut berinteraksi
dengan vitamin D untuk mengontrol jumlah fosfor yang diserap, jumlah yang
ditahan oleh ginjal, serta jumlah yang dibebaskan dan disimpan di dalam tulang.
PTH menurunkan reabsorpsi fosfor oleh ginjal. Kalsitonin meningkatkan ekskresi
fosfat oleh ginjal. Konsumsi fosfor yang relatif tinggi terhadap kalsium sehingga
diperoleh perbandingan P : Ca yang tinggi dalam serum akan merangsang
pembentukan PTH yang mendorong pengeluaran fosfor dari tubuh. (Raina et al.
2012)
serpihan, termasuk beras), 6.2 (tepung dan pati), 6.7 (kue beras), 9.1 (ikan dan
produk perikanan segar), 9.3 (Ikan dan produk perikanan yang semi awet), 10.1
(telur segar), 11.1 (gula mentah dan gula dimurnikan /Rafinasi), 11.2 (gula
merah), 11.3 (larutan gula dan sirup, juga gula invert sebagian termasuk treacle
dan molase), 11.5 (madu), 12.1 (garam dan pengganti garam), 12.3 (cuka makan),
12.4 (mustard), 13.1 (formula untuk bayi dan formula lanjutan, serta formula
untuk kebutuhan medis khusus dari bayi), 13.2 (makanan bayi dan anak dalam
masa pertumbuhan), 13.3 (pangan diet untuk pelangsing dan penurun berat
badan), 13.5 (makanan diet contohnya suplemen pangan untuk diet) (BPOM
2013)
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Leon et al. (2013) BTP fosfat
banyak terkandung dalam daging olahan beku, daging yang dikemas, makanan
kering, roti panggang, sup, dan yogurt. BTP fosfat yang digunakan adalah
dikalsium fosfat, heksameta fosfat, monokalsium fosfat, asam fosfat, pirofosfat,
natrium asam pirofosfat, natrium aluminium fosfat, natrium fosfat, natrium
tripolifosfat, dan trikalsium fosfat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan diperoleh data sebagai berikut:
92% dari 38 produk ayam yang di survei mengandung BTP fosfat (Sullivan et al.
2007). Di wilayah Waterloo-Ontario terdapat 43% dari daging dan daging olahan
yang disurvey mengandung BTP fosfat. (Cafferty et al. 2010). Sebanyak 44% dari
produk yang dijual di Ohio mengandung BTP fosfat (Leon et al. 2013), dari 118
produk yang dianalisa 43,2% mengandung BTP fosfor (Arnal et al. 2014), 44%
dari 2532 produk yang evaluasi mengandung BTP fosfor.
Pada label pangan olahan yang beredar kadang kala tidak memberikan
informasi terkait kandungan BTP fosfat yang telah digunakan. Seperti studi yang
telah dilakukan diketahui bahwa pangan olahan yang mengandung BTP fosfat
kandungan fosfornya relatif tinggi namun terdapat ketidaksesuaian
pencantumannya pada label (Arnal et al. 2014). Penelitian lain menunjukan
bahwa pangan olahan yang mengandung aditif fosfat memiliki kandungan fosfor
hampir 70% lebih tinggi dari sampel yang tidak mengandung aditif fosfat (Benini
et al. 2011).
Fosfor yang terkandung dalam pangan olahan yang berasal dari BTP lebih
mudah diserap tubuh dari pada fosfor yang terkandung secara alami dalam bahan
pangan karena bahan pangan nabati biji bijian termasuk kacang-kacangan kaya
akan fosfor tetapi penyerapannya dalam usus dihambat oleh fitat yang terkandung
dalam bahan pangan tersebut (Zadeh et al. 2010). Penelitian yang telah dilakukan
membuktikan bahwa pangan olahan susu dan produk susu yang mengandung BTP
fosfat anorganik dapat meningkatkan konsentrasi serum fosfor sebesar 0,07
mg/dL setiap porsi, dan produk sereal dan biji-bijian dengan BTP fosfat dapat
meningkatkan serum fosfor sebesar 0,005 mg/dL untuk setiap porsi (Moore 2015).
Telah terbukti bahwa telah dilakukan penelitian pada pasien stadium akhir ginjal
dengan hiperfosfatemia dilakukan diet asupan BTP fosfat dan setelah 3 bulan
mengalami penurunan kadar serum fosfor sebanyak 0.6 mg/dL (Sullivan et al.
2009).
9
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah: data
sekunder pangan olahan dalam negeri yang terdaftar secara e-registrasi pada tahun
2013-2015 di Badan POM. Pangan olahan yang terpilih menjadi sampel yaitu
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dan tidak mengandung BTP fosfat.
Untuk bahan kimia yang gunakan pada analisis kadar fosfor yaitu Amonium
heptamolibdat tetrahidrat [(NH4)6Mo7O244H2O] (Merck KGaA, Darmstadt
Germany), Amonium metavanadat (NH4VO3) (Merck KGaA, Darmstadt
Germany), Asam nitrat (HNO3) (Merck KGaA, Darmstadt Germany), asam
klorida (HCl) (Merck KGaA, Darmstadt Germany), kalium dihidrogen fosfat
(KH2PO4) (Merck KGaA, Darmstadt Germany). Peralatan laboratorium untuk uji
fosfor yaitu: tanur pengabuan (Thermoline furnace), cawan krus, desikator,
penjepit cawan, pemanas (hot plate), neraca analitik, spektrofotometer (Shimadzu
UV-1800), pipet mikro, labu takar, batang pengaduk, gelas ukur, dan peralatan
gelas lainnya.
Prosedur Penelitian
N
S = --------------
N d2 + 1
N = Jumlah populasi
d = 0.1
S= Jumlah sampel
Jumlah sampel yang terambil dilakukan secara proporsional dengan jumlah yang
mewakili masing-masing kategori. Pengambilan sampel dilakukan secara acak
melalui cara pengundian nomor sampel secara otomatis dengan menggunakan
software acak undian dari data yang telah diperoleh. Penarikan sampel di
lapangan diambil dari 3 batch yang berbeda yaitu 3 sampel pangan olahan yang
sama memiliki kode produksi yang berbeda.
Hasil Identifikasi Golongan dan Jenis BTP fosfat pada label pangan olahan
diperoleh data a, b, c, d, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. merupakan pangan olahan yang mencantumkan golongan BTP fosfat;
b. pangan olahan yang mencantumkan nama jenis BTP fosfat;
c. pangan olahan yang mencantumkan golongan dan nama BTP fosfat; dan
d. pangan olahan yang memenuhi ketentuan pelabelan.
P (mg/kg) = ( )
Pengolahan Data
Data kadar total fosfor pada pangan olahan yang telah diperoleh dilakukan
analisis terhadap kesesuaian pelabelan dan kesesuaian batas maksimum
penggunaan fosfor sebagai BTP. Selain itu data diolah secara statistik deskriptif
kuantitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul. Tahapan penelitian secara lengkap tercantum pada Gambar 1.
13
Analisis total P
Pengolahan data
Gambar 1 Tahap pengambilan sampel dan analisis kandungan total P pada pangan
olahan
14
Serealia dan
produk serealia
24% Produk susu dan analognya
6.2%
fosfat. Dan dari masing-masing jenis pangan tersebut disampling secara acak
dengan jumlah yang proporsional, data jumlah sampel disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kelompok kategori pangan dan jenis pangan serta jumlah masing-
masing sampel yang dianalisis
Pangan Olahan Pangan Olahan
dengan Tanpa BTP Fosfat
Kategori Nama Jenis Pangan BTP Fosfat
Pangan Olahan Jml Jml
Terdaftar Terdaftar
sampel sampel
(n) (n)
(N) (N)
krimer 16 1 4 0
susu bubuk 1 0 26 1
01 minuman susu 11 1 45 2
minuman mengandung susu 2 0 24 1
keju 83 4 12 1
sereal 2 0 28 1
tepung 13 1 21 1
06
mi instan 361 19 72 4
mi kering 63 3 29 1
krekers 28 1 74 4
malkist 22 1 5 0
biskuit 36 2 167 8
07 kukis 19 1 98 5
wafer 33 2 385 20
premiks 50 3 43 2
keik 31 2 7 0
bakso 180 9 11 1
daging sapi olahan
21 2
(kornet) 1 0
8 ayam goreng 6 0 1 0
sosis 405 21 83 4
naget 121 6 22 1
ayam olahan 19 1 12 1
9 ikan 116 6 50 3
12 bumbu 14 1 197 10
minuman rasa 1 0 89 5
14 minuman berkarbonasi 3 0 114 6
minuman serbuk 51 3 59 3
15 makanan ringan 120 6 193 10
TOTAL 1828 95 1873 95
(kategori 7) dengan jumlah sampel 51 produk yang terdiri dari pangan olahan
yang mengandung BTP fosfat (12 sampel) dan tidak mengandung BTP fosfat
(49 sampel). Antara jenis pangan yang mengandung BTP fosfat dengan jenis
pangan yang tidak mengandung BTP fosfat tidak selalu memiliki pasangan
sampel, contoh pada produk krimer, pada produk krimer mengandung BTP fosfat
terdapat 1 sampel sedangkan pada produk krimer tidak mengadung BTP fosfat 0
artinya tidak ada produk yang disampling, begitu pula dengan susu bubuk,
minuman mengandung susu, sereal malkist, keik, kornet, ayam goreng, minuman
rasa, dan minuman berkarbonasi.
Kandungan fosfat yang terdapat pada pangan olahan dihitung sebagai total
fosfor, analisis laboratorium dilakukan dengan menggunakan metode analisa yang
telah ditetapkan dalam hal ini adalah metode AOAC 986.24 tahun 2012. Baik
pangan olahan yang menggunakan BTP fosfat maupun tidak menggunakan BTP
fosfat terdeteksi mengandung sejumlah fosfor dalam satuan miligram (mg) per
kilogram (kg).
Penggunaan BTP fosfat pada pangan olahan mempunyai batasan tertentu.
Kadar total fosfor yang dipersyaratkan dihitung sebagai total fosfor pada produk
akhir. Namun demikian karena fosfor secara alami terkandung pada bahan pangan
tertentu maka beberapa pangan olahan terdeteksi kadar total fosfor pada produk
akhir yang melebihi batas maksimum. Dalam bahan pangan fosfor terdapat dalam
bentuk organik dan fosfat dari BTP terdapat dalam bentuk anorganik. hasil
analisis yang terdeteksi adalah total fosfor dan tidak membedakan antara fosfor
organik dan anorganik.
Pada regulasi Internasional Codex STAN 192-1995 beberapa pangan olahan
khususnya pada kategori 08.2.2 yaitu produk daging, daging unggas dan daging
hewan buruan, dalam bentuk utuh atau potongan yang diolah dengan perlakuan
panas dan kategori 08.3 yaitu produk-produk olahan daging, daging unggas dan
daging hewan buruan yang dihaluskan, penggunaan BTP fosfat pada batas
maksimumnya telah direvisi dengan memperhitungkan kadar fosfor yang secara
alami terdapat pada bahan baku.
Pada Tabel 3 disajikan data hasil analisis kadar fosfor rata-rata yang
disertai dengan batas maksimum penggunaan BTP fosfat pada masing-masing
pangan olahan berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia dan Codex STAN
192-1995. Hasil analisis menunjukkan kadar total fosfor pada pangan olahan
dalam bentuk serbuk atau bubuk relatif tinggi namun bukan berarti kadar tersebut
melebihi batas maksimum penggunaan, karena pangan olahan serbuk atau bubuk
seperti susu bubuk, minuman serbuk, krimer bubuk, bukan merupakan pangan
olahan siap konsumsi tetapi memerlukan pengenceran terlebih dahulu sehingga
hasil analisa yang diperoleh dikonversi terhadap makanan/minuman siap
konsumsi.
Tabel 3. Kadar total fosfor (mg/kg) pada pangan olahan terdaftar e-registrasi pada tahun 2013 - 2015
Pangan Olahan tanpa Perbedaan Rataan Batas Maksimum
Pangan Olahan dengan BTP Fosfat
BTP Fosfat Pangan Olahan Penggunaan
Kategori
Nama Jenis Pangan Olahan dengan BTP Fospat
Pangan
dan Tanpa BTP Codex STAN
Min - Max Min - Max Perka.BPOM
X ± SD X ± SD Fosfat 192-1995
susu bubuk 5416** ± 25 (807)*** 5399-5434 2249** ± 56 (335)*** 2209-2289 3167(472)*** 500 4400
01 minuman susu 1057 ± 39 1029-1085 752 ± 19 731-777 305 1320 1320
Keju 8365 ± 1856 6255-10763 4496 ± 107 4420-4571 4448 9000 9000
Ayam karage 2223 ± 13 2214-2232 2592 ± 23 2576 - 2608 (369) 1650 2200
17
18
Tabel 3 Kadar total fosfor (mg/kg) pada pangan olahan terdaftar e-registration pada tahun 2013 - 2015 (lanjutan)
12 Bumbu ayam goreng 10603 ± 320 10377-10829 814 ± 499 316-1910 9789 880 2200
minuman serbuk 2464** ± 776 (246)*** 2280-3904 1653** ± 236 (165)*** 1343-1831 1214 (80.7)*** 500 300
15 makanan ringan 1847 ± 985 1031-3741 1203 ± 348 708-1825 644 1000 2200
*) tidak terdapat sampel yang dianalisis (berdasarkan perhitungan sampling)
**) dihitung terhadap produk siap konsumsi
***) kadar P siap konsumsi
19
Pada produk krimer kadar fosfor dihitung terhadap siap konsumsi diperoleh
kadar 221 mg/kg, susu bubuk 807 mg/kg dan minuman serbuk 246 mg/kg. untuk
batas maksimum penggunaannya yaitu pada krimer 880 mg/kg, dan pada susu dan
minuman serbuk 500 mg/kg dengan demikian krimer dan minuman serbuk
memenuhi batas maksimum penggunaan. Pada susu bubuk, hasil perhitungan
kadar fosfor siap minum yaitu 807 mg/kg. Jika dilihat dari batas maksimum (500
mg/kg) kadar tersebut tidak memenuhi syarat, akan tetapi jika dilihat dari
perbedaan pada susu yang tidak menggunakan BTP fosfat yaitu 472 mg/kg maka
nilai tersebut memenuhi batas maksimum kadar fosfor.
Berdasarkan proporsi sampel, kadar fosfor beberapa jenis pangan tidak
dapat dibandingkan antara pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dengan
pangan olahan tanpa BTP fosfat karena salah satu dari pembandingnya tidak
terdapat sampel yang dianalisis seperti pada produk krimer, minuman
mengandung susu, sereal, malkist, keik, kornet, minuman rasa, dan minuman
berkarbonasi, sehingga tidak dapat diketahui perbedaan kadar fosfor antara
pangan olahan dengan BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat.
Kadar total fosfor pada produk akhir diperoleh dari hasil analisis terhadap
pangan olahan yang mengandung BTP fosfat dan tidak mengandung BTP fosfat.
Hasil analisis menunjukan bahwa pangan olahan yang tidak menggunakan BTP
fosfat terdeteksi kadar total fosfor dengan jumlah tertentu bahkan dapat melebihi
batas maksimum total fosfor sebagai BTP seperti pada makanan ringan, hasil
analisis total fosfor rata-rata pada makanan ringan tanpa BTP fosfat sebesar 1203
mg/kg, sementara batas maksimum total fosfor sebagai BTP pada produk tersebut
adalah 1000 mg/kg, hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan batas
maksimum kadar total fosfor pada produk akhir.
Hasil analisis kadar fosfor pada kategori 8 yaitu daging dan produk daging,
rata-rata produk yang tidak mengandung BTP fosfat lebih besar dari produk yang
mengandung BTP fosfat seperti pada produk sosis, naget, dan ayam karage
dengan nilai perbedaan yang dihasilkan negative yaitu untuk sosis -11, naget -35,
dan ayam karage -369. Produk yang disampling antara pangan olahan yang
menggunakan BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat disesuaikan
jenis produknya sehingga dapat memiliki persamaan, akan tetapi produk yang
sama dari nama dagang dan produsen yang berbeda biasanya tetap memiliki
perbedaan misalnya dalam hal komposisi. Untuk jenis produk yang sama jenis
bahan baku yang digunakan tentu akan sama tetapi dari jumlah atau kadar bahan
baku tersebut biasanya berbeda-beda karena tiap produsen memiliki formula
tersendiri, jika bahan baku yang digunakan secara alami mengandung fosfor maka
dapat mempengaruhi kadar fosfor pada produk akhir.
Seperti halnya pada kategori 8 untuk produk ayam karage dihasilkan selisih
kadar fosfor rata-rata yang lebih besar (-369 mg/kg) antara ayam karage tanpa
BTP fosfat (2592±23) dengan ayam karage dengan BTP fosfat (2223±13), hal
tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan penggunaan jumlah daging ayam
sebagai bahan baku, ataupun pada ayam karage yang tidak menggunakan BTP
fosfat adanya penggunaan bahan lain sebagai penyumbang fosfor secara alami
yang dapat terdeteksi pada hasil analisis sebagai total fosfor. Selain itu adanya
BTP fosfor yang tersembunyi, artinya pada data yang diperoleh pada saat
identifikasi pangan olahan, produk tersebut tidak mengandung BTP fosfat baik
pada komposisi maupun sebagai carry over akan tetapi pada kenyataanya produk
tersebut dapat mengandung BTP fosfat sebagai bawaan dari bahan baku yang
20
digunakan seperti pada bumbu. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Arnal et al
(2014) pada 118 produk pangan olahan terdeteksi kadar total fosfor relatif tinggi
tetapi pada label tidak semua menginformasikan keberadaan BTP fosfat pada
produk. Begitu pula yang terjadi pada produk sosis dan naget sehingga perbedaan
kadar fosfor pada produk akhir antara produk yang tidak mengandung BTP fosfat
lebih tinggi dibanding produk yang tidak mengandung BTP fosfat.
Hasil analisis kadar fosfor yang diperoleh pada tiap kategori pangan
bervariasi tergantung dari bahan baku yang digunakan. Fosfor pada pangan olahan
tanpa BTP fosfat berupa fosfor organik yang berasal dari bahan baku atau dapat
berasal dari bawaan (carry over) Pangan olahan yang menggunakan bahan baku
utamanya dari daging, tepung terigu, susu bubuk atau susu skim, bubuk coklat,
kuning telur, serta sereal terdeteksi total fosfor hingga mencapai lebih dari 1000
mg/kg, seperti pada daging olahan, produk bakeri, dan makanan ringan.
Berdasarkan data pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia PERSAGI (2009)
secara alami tepung terigu mengandung fosfor 150 mg/100g, cokelat bubuk 715
mg/100g, kuning telur 586 mg/100gr, daging ayam 200 mg/100g, dan daging sapi
170 mg/100g. Sebagian besar pangan olahan yang dianalisis menggunakan baku
tersebut. Fosfor yang secara alami terkandung pada bahan pangan baik dari
hewani maupun nabati dalam bentuk fosfor organik. Fosfor pada bahan pangan
nabati hanya sebagian kecil yang dapat diserap sekitar 10% hingga 30% karena
fosfor pada bahan pangan nabati mayoritas tersedia dalam bentuk fitat (Noori et
al. 2010).
Hasil analisa kadar fosfor setiap sampel dengan jenis pangan yang sama
tetapi nama dagang yang berbeda mempunyai nilai yang bervariasi dan memiliki
standar deviasi yang beragam pula. Standar deviasi tertinggi pada pangan olahan
dengan BTP fosfat yaitu pada produk premiks hal ini menunjukan adanya
perbedaan kadar fosfor yang berbeda antara sampel yang satu dengan sampel
lainnya. Sedangkan pada pangan olahan tanpa BTP fosfat standar deviasinya
cenderung lebih rendah dari pangan olahan dengan BTP fosfat. Pada Gambar 3
disajikan grafik mengenai hasil analisis kadar total fosfor rata-rata antara pangan
olahan mengandung BTP fosfat dengan pangan olahan tanpa BTP fosfat.
Secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa kadar total fosfor pada
pangan olahan memenuhi batas maksimum kadar total fosfor sebagai BTP.
Namun terdapat pangan olahan yang tidak mengadung P fosfat tetapi pada produk
akhir terdeteksi kadar fosfor yang relatif tinggi, jika dibandingkan dengan batas
maksimum sebagai BTP fosfat kadar tersebut melebihi batas maksimum yang
ditetapkan. Kadar fosfor pada bumbu yang mengandung BTP fosfat juga tinggi,
komposisi bumbu tersebut terdiri dari bahan-bahan penyumbang fosfor seperti
kunyit, bawang putih, dan ketumbar bubuk. Data pada Tabel Komposisi Pangan
Indonesia yang disusun oleh PERSAGI (2009) menunjukkan bahwa kandungan
fosfor pada kunyit 78 mg/100g, bawang putih 134 mg/100g, ketumbar bubuk 370
mg/100g, akan tetapi jumlah fosfor pada bahan-bahan tersebut tentunya hanya
dapat berpengaruh terhadap kenaikan kadar fosfor sesuai dengan proporsi
penggunaan bahan tersebut pada produk, hasil analisis kadar fosfor pada sampel
mencapai angka 10603 mg/kg besar kemungkinan penyumbang fosfor terbanyak
yaitu dari BTP fosfat yang digunakan. Sampel bumbu tersebut merupakan bumbu
untuk ayam goreng yang secara alami ayam kaya akan kandungan fosfor. Jika
diolah menggunakan bumbu ini maka jumlah fosfor pada produk akhir akan
meningkat.
12000
10000 10603
8365
8000
5416
6000
5211
4496
2592
2249
2223
2107
1854
1847
1843
1835
1823
1713
1668
1649
1604
1582
1558
1547
1510
1444
1430
1421
2000
1362
1274
1264
1265
1260
1203
1167
1107
1104
1073
1057
971
814
795
752
745
97
66
-2000
Gambar 3 Kandungan rata-rata total fosfor pada pangan olahan tanpa BTP fosfat dan pangan olahan tanpa BTP fosfat berdasarkan jenis
pangan
21
22
10603
12000
kadar total fosfor (mg/kg)
10000
8000
5093
6000
2864
4000
2210
2060
1847
1799
1750
1649
1579
1332
1265
1203
1155
1073
2000
814
0
1 6 7 8 9 12
10 14 15
Kategori Pangan
Gambar 4 Kandungan rata-rata total fosfor pangan olahan dengan BTP fosfat
dan tanpa BTP fosfat berdasarkan kategori pangan
BTP fosfat 1750 mg/kg, pada kategori 09. Ikan dan Produk Perikanan rata-rata
kandungan fosfor pada pangan olahan mengandung fosfat 1073 mg/kg, pada
kategori 12. Garam, Rempah, Sup, Saus, Salad, Produk Protein dalam hal ini
bumbu, kandungan rata-rata fosfor pada pangan olahan mengandung BTP fosfat
yaitu 10603 mg/kg, pada kategori 14. Minuman, Tidak termasuk Produk Susu
pada pangan olahan mengandung fosfpor rata-rata kadar fosfor pada pangan
olahan mengandung BTP fosfat sebesar 2864 mg/kg dan pangan olahan tanpa
BTP fosfat 1649 mg/kg, dan pada kategori 15. Makanan Ringan siap santap
kandungan rata-rata fosfor pada pangan olahan mengandung BTP fosfat 1847
mg/kg dan pada pangan olahan tanpa BTP fosfat terdeteksi kadar fosfor sebanyak
1203 mg/kg. Kadar fosfor tertinggi yaitu pada kategori 12 dalam hal ini adalah
produk bumbu dan kadar fosfor tertinggi kedua yaitu pada kategori 01 susu dan
analognya, kadar fosfor yang tinggi pada kategori ini disumbang oleh produk keju
cheddar olahan.
Data perbedaan dan kenaikan kadar fosfor rata-rata pangan olahan pada
Tabel 3 menunjukkan perbedaan antara kadar fosfor pangan olahan mengandung
BTP fosfat dengan pangan olahan yang tidak mengandung BTP fosfat. Dari data
perbedaan tersebut dapat dihitung kenaikan kadar fosfor rata-rata pada pangan
olahan mengandung BTP fosfat yang dibandingkan dengan pangan olahan tanpa
BTP fosfat, dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Persentase selisih kenaikan atau penurunan kadar fosfor pada pangan
olahan dengan adanya penggunaan BTP fosfat.
24
Tabel 4 Pencantuman BTP fosfat pada label pangan olahan terdaftar e-registrasi
tahun 2013-2015 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 033
tentang Bahan Tambahan Pangan tahun 2012
Jumlah
Jumlah Jumlah yang Jumlah yang Jumah yang
yang
produk mencantumkan mencantumkan mencantumkan
memenuhi
Jumlah dengan golongan BTP, nama BTP golongan dan
Kategori pangan ketentuan
sampel BTP fosfat, n(%) fosfat, n (%) nama BTP, n
pelabelan,
n (%) (%)
n(%)
(a) (b) (c)
(d)
Produk susu dan
analognya 11 6 (55) 4 (67) 4 (67) 4 (67) 5 (83)
Kriteria pangan olahan yang tidak memenuhi ketentuan pelabelan yaitu pada
komposisi label tidak mencantumkan golongan BTP, sama sekali tidak
mencantumkan golongan maupun nama jenis BTP (tetapi pada hasil identifikasi
dari data yang diperoleh produk tersebut mengandung BTP fosfat), tidak
mencantumkan golongan ataupun nama BTP yang tidak sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.
Pada sampel yang diteliti terdapat beberapa pangan olahan yang masih
menggunakan label lama, terlihat dari penggunaan nama golongan BTP fosfat
yaitu sebagai sekuestran. Sejak diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor. 033 tentang Bahan Tambahan Pangan tahun 2012, BTP fosfat tidak diatur
penggunaannya sebagai sekuestran tetapi diatur sebagai garam pengemulsi,
pengemulsi, penstabil, antikempal, dan pengatur keasaman. Selain itu pada label
masih adanya pencantuman golongan BTP fosfat sebagai pemantap, karena pada
peraturan BTP terbaru golongan tersebut diganti menjadi penstabil.
Penggunaan BTP fosfat pada produk rata-rata digunakan 1 jenis BTP fosfat
tetapi dari keseluruhan sampel yang diteliti penggunaan BTP fosfat digunakan
secara tunggal atau campuran dengan sesama BTP fosfat lainnya. Untuk BTP
fosfat campuran digunakan 2,3, hingga 5 jenis BTP fosfat.
Bagi sejumlah industri pangan, BTP fosfat sangat penting untuk berbagai
tujuan sehingga banyak digunakan pada berbagai jenis pangan olahan, namun
masih ditemukan adanya indikasi ketidaksesuaian dari batas maksimum dan
ketidaksesuaian dari pencantuman pada label. Selain fosfat beberapa bahan
tambahan pangan lain yang diizinkan dengan fungsi yang sama dengan BTP fosfat
27
Simpulan
Kadar fosfor rata-rata pada pangan olahan yang mengandung BTP fosfat
pada setiap jenis pangan bervariasi mulai dari 622 mg/kg sampai dengan 10829
mg/kg, dengan rata-rata secara keseluruhan 2867 mg/kg. Pangan olahan tanpa
BTP fosfat terdeteksi total fosfor dalam jumlah tertentu yaitu 0-4571 mg/kg
dengan rata-rata seluruh produk 1530 mg/kg. Rata-rata perbedaan kadar fosfor
pangan olahan yang tidak mengandung BTP fosfat dengan pangan olahan yang
mengandung BTP fosfat yaitu 1337 mg/kg atau tingkat kenaikannya sebesar 39%.
Dari perbedaan masing-masing produk pada umumnya kadar fosfor pangan
olahan yang disampling memenuhi batas maksimum penggunaan fosfat sebagai
BTP kecuali pada produk bumbu dan premix. Jenis BTP fosfat yang digunakan
pada sampel teridentifikasi 12 jenis dan BTP fosfat, natrium tripolifosfat
merupakan jenis BTP fosfat yang paling banyak digunakan pada sampel yang
dianalisis. Berdasarkan hasil identifikasi penggunaan BTP fosfat tersebut
berfungsi sebagai penstabil, pengemulsi, dan antikempal.
Untuk pendaftaran pangan olahan, batas maksimum penggunaan BTP
fosfat tidak dapat dilihat dari hasil analisa total fosfor pada produk akhir karena
fosfor yang terdeteksi tidak hanya berasal dari BTP yang gunakan akan tetapi
mendapat tambahan dari fosfor yang terkandung secara alami pada bahan
bakunya.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
2. Mononatrium fosfat (Monosodium 339(i) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1) √ Pengemulsi
orthophosphate) penstabil 06.4.3 Mi instan (3) √ Penstabil
15.1 Makanan ringan (1) √ Penstabil
3. Dinatrium fosfat (Disodium 339(ii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.1.2 Minuman susu (1) √ Pengemulsi
orthophosphate) penstabil 01.6.4 Keju olahan (2) √ Penstabil
06.4.3 Mi instan (2) √ penstabil
4. Trinatrium fosfat (Trisodium 339(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.3 Mi instan (1) √ Penstabil
orthophosphate) penstabil
6. Dikalium fosfat (Dipotassium 340(ii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.3.2 Krimer (1) √ Penstabil
orthophosphate) penstabil 08.3.2 Bakso (1) √ Pengemulsi
09.2.4 Ikan olahan (1) √ Penstabil
7. Trikalium fosfat (Tripotassium 340(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, -
orthophosphate) penstabil
Lampiran 1 Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 tahun 2012
(lanjutan)
Perka.BPOM No.
Jenis BTP Fosfat pada Permenkes Jenis pangan olahan
No. INS Golongan BTP kategori 10, 20, 24 tahun Fungsi
033 (jumlah sampel = n)
2013
12. Dinatrium difosfat (Disodium 450(i) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1) √ Pengemulsi
diphosphate) penstabil 06.6 Tepung (1) √ Pengemulsi
06.4.2 Mi instan (1) √ Penstabil
07.1.2 Krekers(1) √ Pengemulsi
07.2.1 Kukis (1) √ Pengemulsi
07.2.3 Premiks (3) √ Penstabil
07.2.1 Keik (1) √ Pengemulsi
08.3.2 Bakso (3) √ Pengemulsi,
08.3.1 Sosis (7) √ penstabil
08.3.3 Naget (2) √ Pengemulsi,
09.2.4 Ikan olahan (3) √ penstabil
15.1 Makanan ringan (1) √ Penstabil
Penstabil
13. Trinatrium difosfat (trisodium 450 (ii) Pengemulsi, penstabil - Penstabil
diphosphate)
14. Tetranatrium difosfat (Tetrasodium 450(iii) Garam pengemulsi, pengemulsi, 01.6.4 Keju olahan (1)
diphosphate) penstabil 06.4.2 Mi instan (1) √
08.3.1 Sosis (1) √ Pengemulsi
08.2.3 Ayam karage (1) √ Penstabil
Penstabil
15. Tetrakalium difosfat (Tetrapotassium 450(v) Garam pengemulsi, pengemulsi, -
diphosphate) penstabil
Garam pengemulsi, pengemulsi,
16. Dikalsium difosfat (Dicalcium 450(vi) -
penstabil
diphosphate) pengemulsi
Garam pengemulsi, penstabil
17. Kalsium difosfat (Calcium dihydrogen 450(vii) - 0
diphosphate)
Lampiran 1 Jenis senyawa fosfat yang digunakan pada pangan olahan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 tahun 2012
(lanjutan)
Perka.BPOM
Jenis BTP Fosfat pada Jenis pangan olahan
No. INS Golongan BTP kategori No. 10, 20, 24 Fungsi
Permenkes 033 (jumlah sampel = n)
tahun 2013
18. Natrium tripolifosfat (Sodium 451(i) Garam pengemulsi, penstabil 06.4.2 Mi instan (7) √ Penstabil
Tripolyphosphate) 06.4.3 Mi kering (3) √ Penstabil
08.3.2 Bakso (6) √ Pengemulsi, penstabil
08.3.2 Kornet (1) √ Penstabil
08.3.2 Sosis (11) √ Pengemulsi, penstabil
08.3.3 Naget (4) √ Pengemulsi, penstabil
09.2.4 Ikan olahan (2) √ Penstabil
12. 2.2 Bumbu (1) √ Penstabil
15.1 Makanan ringan (2) √ Penstabil
19. Kalium tripolifosfat (Potassium 451(ii) Garam pengemulsi, penstabil 08.3.2 Bakso (1) √ Penstabil
tripolyphosphate) 08.3.2 Sosis (1) √ Penstabil
20. Natrium polifosfat (Sodium 452(i) Garam pengemulsi, Pengemulsi, 01.3.2 Krimer (1) √ Penstabil
polyphosphate) penstabil 01.6.4 Keju (2) √ Pengemulsi
06.4.2 Mi instan (13) √ Penstabil
08.3.2 Bakso (1) √ Penstabil
08.3.2 Naget (1) √ Penstabil
08.2.3 Ayam karage (1) √ Penstabil
21. Kalium polifosfat (Potassium 452(ii) Garam pengemulsi, Pengemulsi, 08.3.2 Bakso (2) √ Pengemulsi
polyphosphate) penstabil 08.3.2 Sosis (4) √ Pengemulsi, penstabil
RIWAYAT HIDUP