Anda di halaman 1dari 42

PEMANFAATAN TEPUNG BIJI DURIAN SEBAGAI

BAHAN PENGISI BAKSO DAGING SAPI

DELVIA RISA MALINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Tepung Biji
Durian sebagai Bahan Pengisi Bakso daging Sapi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016

Delvia Risa Malini


NIM D151140121
RINGKASAN

DELVIA RISA MALINI. Pemanfaatan Tepung Biji Durian Sebagai Bahan


Pengisi Bakso Daging Sapi. Dibimbing oleh IRMA ISNAFIA ARIEF dan
HENNY NURAINI.

Durian (Durio zibethinus murr) merupakan salah satu buah yang sangat
popular di Indonesia. Biji durian yang masak mengandung karbohidrat yang
tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan pengganti sumber karbohidrat yang ada
dalam bentuk tepung. Tepung biji durian memiliki kesamaan dengan tepung
tapioka yaitu memiliki kandungan pati yang terdiri atas amilosa dan amilopektin,
sehingga dapat dikombinasikan dengan tepung tapioka sebagai bahan pengisi
makanan seperti bakso, sosis dan nugget.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi karakteristik tepung biji durian dan
mengevaluasi karakteristik bakso dengan bahan pengisi tepung biji durian serta
mengevaluasi kualitas bakso selama penyimpanan suhu ruang dan dingin.
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah konsentrasi
penambahan tepung biji durian sebagai bahan pengisi bakso daging sapi.
Perbedaan konsentrasi tersebut adalah sebagai berikut : 1) Tanpa substitusi tepung
biji durian, 2) Subtitusi tepung biji durian 50% (tepung tapioka : tepung biji
durian = 50 : 50), dan 3) Subtitusi tepung biji durian 100%. Data dianalisa dengan
menggunakan Sidik Ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh dari pelakuan.
Jika perlakuan berpengaruh nyata atau sangat nyata, dilakukan uji Tukey.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung biji durian dapat
meningkatkan kadar protein bakso tetapi memiliki tingkat kekerasan yang rendah.
Tepung biji durian dapat menjadi subtitusi tepung tapioka sebagai bahan pengisi
bakso daging sapi dengan level pemberian 50%. Pada uji kualitas bakso selama
penyimpanan suhu ruang,bakso mampu bertahan hingga jam ke 8 dan hari ke 12
pada suhu dingin (4 ºC).

Kata Kunci : bakso, tepung biji durian, fisik, kimia


SUMMARY

DELVIA RISA MALINI. Utilization of Durian Seed Flour as Filler Ingredient of


Meatball. Supervised by IRMA ISNAFIA ARIEF dan HENNY NURAINI.

Durian (Durio zibethinus murr) is one of the most popular fruits in


Indonesia. Durian seed which has been a mature content high carbohydrate, so can
be used as a substitution of carbohydrate source in the flour form. Starch of flour
durian seed and tapioca have a amylose and amylopectin similiar content, so can
be utilized as adhesive content on food compotition such as meat ball, sausage and
nugget.
The purposes of this research were to evaluate the nutrient content of durian
seed flour, evaluate quality of meatball with filler ingredient durian seed flour,
and evaluate quality of meatball during storage were in room temperature and in
refrigerator. The research was conducted by a completely randomized design with
three treatments and replications. The treatments consisted of : (1) The 100 %
tapioca utilization + 0%, durian seed flour (2) The utilization of 50% tapioca + 50
% durian seed flour (3) The 0% tapioca utilization + 100 % durian seed flour.
Data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) to determine the effect
of treatments. The treatments can impact significant or very significant, it were
tested Tukey.
The result showed use of durian seed flour can increase the protein content
of a meatball but it has a low level of hardness. The 50% durian seed flour could
be utilized as tapioca substitution to filler and the best level storage meatball. The
room temperature storage could survive at 8 hours, and refrigerator (4 ºC) was at
12 hours.

Keywords : meatball, durian seed flour, physical, chemical.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN TEPUNG BIJI DURIAN SEBAGAI
BAHAN PENGISI BAKSO DAGING SAPI

DELVIA RISA MALINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Tuti Suryati, S.Pt MSi
Judul Tesis : Pemanfaatan Tepung Biji Durian sebagai Bahan Pengisi Bakso
Daging Sapi
Nama : Delvia Risa Malini
NIM : D151140121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi Dr Ir Henny Nuraini, MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr Ir Salundik, Msi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 Juni 2016 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2016 ini ialah
pemanfaatan tepung biji durian sebagai bahan pengisi bakso daging sapi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Irma Isnafia Arief SPt MSi
dan Ibu Dr Ir Henny Nuraini MSi selaku pembimbing, serta Ibu Dr Tuti Suryati
SPt MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis
menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada Fakultas Peternakan,
Departemen IPTP, Kepala bagian Laboratorium Teknologi Hasil Ternak atas izin
dan kesempatan untuk melakukan penelitian dilaboratorium tersebut, serta pihak-
pihak lain yang tidak dapat disebutkan yang telah membantu sejak awal studi
sampai saat ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada yang terhormat
dan tersayang Bapak Ni’am Saleh SP dan Ibu Lili Mardawati selaku orang tua
penulis, kakak dan adik tercinta, Julliya Malini, Amd Keb dan Yan Ramadhani
Falini serta teman-teman seperjuangan ITP 2014 atas do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016

Delvia Risa malini


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
2 METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan dan Alat 4
Prosedur 4
Pembuatan Tepung Biji Durian 4
Kualitas Bakso Selama Penyimpanan 6
Prosedur Analisis 6
Sifat Fisik 6
Analisis Kimia 7
Analisis Kualitas Mikrobiologi 10
Rancangan dan Analisis Data 10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Tepung Biji Durian 10
Warna 11
Amilografi 11
Rendemen 12
Pati 12
Kandungan Nutrisi 13
Kualitas Mikrobiologi 14
Kualitas Bakso 14
Daya Serap Air 14
pH 15
aw 15
Tekstur 15
Kadar Air 16
Kadar Abu 16
Kadar Protein 16
Kadar Lemak 16
Karbohidrat 17
Total Mikroba 17
Sifat Organoleptik Bakso 17
Warna 18
Rasa 18
Aroma 18
Tekstur 18
Kualitas Bakso Selama Penyimpanan 19
4 SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 21
RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL

1 Formulasi pembuatan bakso 5


2 Karakteristik tepung biji durian 11
3 Karakteristik bakso daging sapi 14
4 Hasil organoleptik bakso daging sapi 17
5 Kualitas bakso selama penyimpanan 19

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir penelitian 3


1 Skema pembuatan bakso 5
2 Grafik amilografi tepung biji durian 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sidik Ragam Nilai pH 25


1 Sidik Ragam Nilai DSA 25
2 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Kekerasan) 25
3 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Elastisitas) 25
4 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Daya Kohesif) 25
5 Sidik Ragam Nilai aw 25
6 Sidik Ragam Nilai Kadar Air 25
7 Sidik Ragam Nilai Kadar Abu 26
8 Sidik Ragam Nilai Kadar Protein 26
9 Sidik Ragam Nilai Kadar Lemak 26
10 Sidik Ragam Nilai Kadar Karbohidrat 26
11 Sidik Ragam Nilai Total Mikroba 26
12 Sidik Ragam Nilai pH Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Ruang 26
13 Sidik Ragam Nilai DSA Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Ruang 26
14 Sidik Ragam Nilai aw Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Ruang 26
15 Sidik Ragam Nilai Total Mikroba Uji Kualitas Bakso Selama
Penyimpanan Suhu Ruang 27
16 Sidik Ragam Nilai pH Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Dingin 27
17 Sidik Ragam Nilai DSA Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Dingin 27
18 Sidik Ragam Nilai aw Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan Suhu
Dingin 27
19 Sidik Ragam Nilai Total Mikroba Uji Kualitas Bakso Selama
Penyimpanan Suhu Dingin 27
8

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Durian (Durio zibethinus murr) merupakan salah satu buah yang sangat
popular di Indonesia. Buah dengan julukan The King of fruits ini termasuk dalam
famili Bombacaceae dan banyak ditemukan di daerah tropis. Tiap pohon durian
dapat menghasilkan 80 sampai 100 buah bahkan hingga 200 buah terutama pada
pohon yang tua, tiap rongga buah terdapat 2 sampai 6 biji atau lebih. Berdasarkan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan di Indonesia produksi durian
mengalami peningkatan setiap tahun, pada tahun 2013 mencapai 1 818 949 ton.
Selama ini, bagian buah durian yang lebih umum dikonsumsi adalah bagian
salut buah atau dagingnya. Persentase berat bagian ini termasuk rendah yaitu
hanya 20-35%. Hal ini berarti kulit durian 60-75% dan biji durian sekitar 5-15%
belum termanfaatkan secara maksimal (Wahyono 2009). Secara fisik biji durian
berbentuk bulat telur, berkeping dua, berwarna putih kekuning-kuningan atau
coklat muda. Biji durian yang masak mengandung 51.1% air, 46.2% karbohidrat,
2.5% protein dan 0.2% lemak (Nurfiana et al. 2009 ; Djaeni 2010). Kandungan
karbohidrat yang tinggi memungkinkan biji durian dimanfaatkan sebagai bahan
pengganti sumber karbohidrat yang ada dalam bentuk tepung.
Tepung biji durian memiliki kesamaan dengan tepung tapioka yaitu
memiliki kandungan pati yang terdiri atas amilosa 22% dan amilopektin 66.33%,
sehingga dapat dikombinasikan dengan tepung tapioka sebagai bahan pengisi
makanan. Amilosa di dalam tepung memberikan sifat keras dan berperan dalam
pembentukan gel, sedangkan amilopektin dapat menyebabkan sifat lengket serta
pembentukan sifat viskoelastis pada produk pangan. Berdasarkan hal tersebut
dapat diketahui bahwa pati biji durian memiliki sifat yang sama dengan tepung
tapioka yaitu sebagai bahan perekat dalam adonan makanan seperti bakso, sosis
dan nugget (Ageng et al. 2013)
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang sangat terkenal dan
digemari oleh semua lapisan masyarakat, yang bisa diharapkan sebagai sumber
pangan yang cukup bergizi (Widati et al. 2012). Produk olahan bakso pada
umumnya menggunakan bahan baku daging dan tepung. Daging yang biasanya
dipakai adalah daging sapi, ayam dan ikan sedangkan tepung yang biasanya
dipakai yaitu tepung tapioka (Kusnadi et al. 2012). Data survey yang dilakukan
Creative Data Make Investigation and Research (CDMI) menunjukkan di
Indonesia konsumsi tepung tapioka meningkat rata-rata 10% pertahun. Pada tahun
2013 konsumsi tepung tapioka mencapai 3.33 juta ton, sedangkan produksi tepung
tapioka di Indonesia hanya sekitar 1.2 juta ton. Hal ini memaksa Indonesia untuk
melakukan impor tepung tapioka untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Manfaat biji durian telah dibuktikan dengan penelitian yang
memanfaatkannya sebagai bahan pengisi produk nugget (Ageng et al. 2013), biji
durian menjadi glukosa cair (Anwar dan Laelia 2011), dan sebagai bahan pengikat
dalam tablet (Jufri dan Rosmala 2006). Hal tersebut dapat mendorong inovasi
terbaru dalam menciptakan produk pangan yang bernilai gizi tinggi yang layak
dikonsumsi, memberikan nilai tambah produk, dan mengurangi penggunaan
konsumsi tepung tapioka. Oleh karena itu, diperlukan inovasi makanan jajanan
9

yang sehat dan bernilai gizi tinggi dengan pembuatan bakso daging sapi dengan
modifikasi tepung biji durian sebagai bahan pengisi dan subtitusi tepung tapioka.

Tujuan Penelitian

 Mengevaluasi karakteristik yang terdapat dalam tepung biji durian.


 Mengevaluasi pemberian level terbaik tepung biji durian terhadap bakso
daging sapi.
 Menganalisis pengaruh penambahan tepung biji durian terhadap kualitas
bakso daging sapi.

Manfaat Penelitian

 Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi tentang


kualitas tepung biji durian dan kualitas bakso daging sapi dengan
penambahan tepung biji durian.
 Biji durian diharapkan dapat menjadi bahan pangan subtitusi tepung
tapioka.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencangkup pemanfaatan tepung biji durian sebagai subtitusi


tepung tapioka dan sebagai bahan pengisi bakso daging sapi. Penelitian dilakukan
untuk menguji pemanfaatan tepung biji durian sebagai bahan pada pembuatan
produk pangan. Ruang lingkup penelitian ini mencakup tiga tahap penelitian,
yaitu :
1. Penelitian Tahap I : Mengevaluasi karakteristik tepung biji durian
2. Penelitian Tahap II : Mengevaluasi fisikokimia, mikrobiologi dan organoleptik
bakso dengan penambahan tepung biji durian
3. Penelitian Tahap III : Mengevaluasi kualitas fisik dan mikrobiologi bakso pada
penyimpanan suhu ruang selama 4 jam, 8 jam, dan 12 jam, serta pada suhu
dingin selama 3 hari, 6 hari, 9 hari, dan 12 hari. Secara lengkap diagram alur
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
10

Biji Durian

Pembuatan Tepung Biji Durian

Tepung Biji Durian

Fisik Kimia Mikrobiologi


Warna Kadar amilosa Total mikroba
Amilografi Kadar amilopektin Kapang
Rendemen Kadar pati
Analisis proksimat

Karakteristik Tepung Biji Durian

Pembuatan Bakso dengan Berbagai Formula

Fisik dan Kimia Mikrobiologi Organoleptik


Daya serap air (DSA) Total mikroba Warna
pH Rasa
Aktivitas air (aw) Bau
Tekstur Tekstur
Proksimat

Bakso Perlakuan Terbaik

Uji Umur Simpan pada Suhu Ruang dan Suhu Refrigrator

Fisik dan Kimia Mikrobiologi Organoleptik


Daya serap air (DSA) Total mikroba Warna
pH Bau
Aktivitas air (aw) Tekstur

Gambar 1 Diagram alir penelitian


11

2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di


Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi,
Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Teknologi
Hasil Ternak, Laboratorium Analisis Hasil Ternak, Laboratorium Organoleptik,
Laboratorium Ruminansia Besar, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah daging sapi dan bahan
pengisinya adalah tepung tapioka dan tepung biji durian serta bahan - bahan lain
untuk masing - masing perlakuan yaitu STPP (Sodium Tripolyphosphate), merica,
garam, bawang putih dan es batu. Alat–alat yang digunakan untuk pembuatan
bakso adalah penggiling daging, panci, timbangan elektrik, sendok, wadah plastik,
pisau, dan talenan.

Prosedur

Pembuatan Tepung Biji Durian


Prosedur pembuatan tepung biji durian adalah sebagai berikut: 1). Biji
durian dipilih yang beratnya minimal 35 g dan dalam keadaan baik kemudian
dicuci hingga bersih; 2). Biji durian dikupas untuk menghilangkan kulitnya; 3).
Biji durian yang sudah bersih direndam dalam air panas selama 5 menit; 4). Biji
durian direndam dalam air kapur 10% (1 L aqudest + 10 g kapur sirih) selama 1
jam 5). Biji durian dicuci lalu ditiriskan dan diiris tipis untuk mempercepat proses
pengeringan kemudian dijemur selama 3-4 hari sampai benar-benar kering; 6).
Biji durian yang telah kering dihaluskan dengan penggiling lalu diayak (Hutapea
2010).

Pembuatan Bakso
Prosedur pembuatan bakso menurut Arief et al. (2012) adalah 1). Daging
yang telah dibersihkan dan dipotong kecil – kecil kemudian digiling
menggunakan food processor bersamaan garam, es batu dan STPP (Sodium
Tripolyphosphate) selama 1 menit; 2). Selanjutnya ditambahkan lada, bawang
putih, tepung tapioka, tepung biji durian dan digiling kembali selama 1 menit; 3).
Adonan bakso dicetak bulat-bulat dan dimasukkan ke dalam air panas dengan
suhu 80oC selama 10 menit kemudian ditiriskan 15 menit. Formulasi pembuatan
bakso dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 serta skema pembuatan
bakso dapat dilihat pada Gambar 2.
12

Tabel 1 Formulasi pembuatan bakso


Perlakuan penambahan tepung biji durian
Bahan Tanpa substitusi Substitusi tepung biji Substitusi tepung
tepung biji durian durian 50% biji durian 100%
Daging sapi (g) 400 400 400
STPP (g) 2 2 2
Tepung tapioka (g) 60 30 0
Tepung biji durian (g) 0 30 60
Lada (g) 3 3 3
Garam (g) 12 12 12
Bawang putih (g) 4 4 4
Es batu (g) 140 140 140

Skema Pembuatan Bakso

Daging dipotong kecil, dimasukkan ke dalam food processor

Ditambahkan es batu,
garam dan STTP

Digiling hingga halus

Ditambahkan lada, bawang


putih, tepung tapioka dan
tepung biji durian

Digiling kembali selama 1 menit

Adonan dibentuk bulat-bulat di dalam air hangat (80oC)

Dimasak hingga matang

Bakso

Gambar 2 Skema pembuatan bakso


Sumber : Arief et al. 2012
13

Kualitas Bakso Selama Penyimpanan


Prosedur pengujian kualitas bakso selama penyimpanan dilakukan dengan
cara menyimpan bakso perlakuan terbaik pada suhu ruang selama 12 jam dengan
melakukan pengamatan pada jam ke 0, 4, 8 dan 12 serta penyimpanan pada suhu
dingin selama 12 hari dengan pengamatan pada hari ke 0, 3, 6, 9 dan 12.

Prosedur Analisis

Sifat Fisik

Warna (Gaurav and Sharma 2003)


Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta. Uji
warna dilakukan dengan sistem warna Hunter L*, a*, b*. Chromameter terlebih
dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang terdapat pada alat tersebut.
Hasil analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*. Pengukuran
total derajat warna digunakan basis warna putih sebagai standar (L1, a1, b1)

Serat Kasar (AOAC 2005)


Serbuk sampel ditimbang sebanyak 10 g. Serbuk disoxhletasi hingga pelarut
yang bersirkulasi jernih. Serbuk ditambahkan 200 mL asam sulfat 1.25% dan
direfluks selama 1 jam. Campuran disaring dan endapan dinetralkan dengan air
panas lalu kalium sulfat 10% hingga filtrat yang menetes jernih, lalu 15 mL etanol
96%. Endapan yang tersaring dikeringkan pada suhu 105oC hingga bobot konstan.

Amilografi (Faridah et al. 2014)


Sebanyak 3 g sampel ditimbang dalam wadah RVA, lalu ditambahkan 25
mL akuades. Pengukuran dengan RVA mencangkup fase proses pemanasan dan
pendinginan pada pengadukan konstan (160 rpm). Pada fase pemanasan suspensi
pati dipanaskan dari suhu 50oC hingga 95oC dengan kecepatan 6oC/menit, lalu
dipertahankan pada suhu tersebut (holding) selama 5 menit. Setelah fase
pemanasan selesai. Pasta pati dilewatkan pada fase pendinginan, yaitu suhu
diturunkan dari 95oC menjadi 50oC dengan kecepatan 6oC/menit, kemudian
dipertahankan pada suhu tersebut selama 2 menit. Instrumen RVA memplot kurva
profil gelatinisasi sebagai hubungan dari nilai viskositas (cP) pada sumbu y
dengan perubahan suhu (oC) selama fase pemanasan dan pendinginan pada sumbu
x.

Rendeman (Abdillah 2006)


Pengukuran rendeman tepung biji durian dihitung berdasarkan perbandingan
berat tepung yang diperoleh terhadap berat biji durian segar tanpa kulit yang
dinyatakan dalam persen (%). Persentase rendemen dapat dihitung dengan rumus :

A
Rendemen= x 100 %
B

Dimana : A = berat tepung yang diperoleh (g)


B = berat biji durian segar tanpa kulit(g)
14

Daya Serap Air (Soeparno 2005)


Sampel diambil sebanyak 1 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung
sentrifuge dan ditambahkan 9 mL aquadest kemudian disentrifugasi selama 30
menit dengan kecepatan 3500 rpm. Volume supernatan yang terbentuk diukur
menggunakan gelas ukur.

A−B
Daya Serap Air= x 100 %
A

Dimana : A = Jumlah aquadest yang ditambahkan (ml)


B = Jumlah supernatan yang terbentuk setelah proses sentrifugasi (ml)

aw (AOAC 2005)
Pengukuran aw bakso diukur dengan menggunakan aw meter yang telah
dikalibrasi. Sampel bakso sebanyak 5 g diletakkan di dalam cawan pengukur. Alat
dijalankan sampai menunjutkan tanda completed. Nilai aw dapat dibaca.

Tekstur (Kusnadi et al. 2012)


Pengujian tingkat kekenyalan dilakukan dengan alat Tekstur Analyser, merk
TA-XT2i produksi England. Prosedur pelaksanaan pengujian kekenyalan adalah
kabel data dari Texture Analyzer dipastikan telah tersambung ke CPU komputer,
kemudian komputer dinyalakan, kemudian sampel diletakkan diwadah penekanan,
sampel ditekan sampai tinggi sampel berkurang 50%. Proses penekanan dilakukan
sebanyak 2 kali.

Organoleptik (Arief et al. 2014)


Uji organoleptik (uji hedonik) bakso menggunakan skala skor 1-5 dengan
40 orang panelis, parameter yang diamati dalam uji ini meliputi warna, rasa,
aroma dan tekstur.

Analisis Kimia

pH (AOAC 2005)
Sampel bakso sebanyak 5 g diukur dengan menggunakan pH meter merek
HANNA HI 99163. Alat pH meter mula-mula dikalibrasi dengan larutan buffer
pada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas menggunakan akuades dan dikeringkan, pH
meter ditusukkan ke dalam sampel daging kira-kira 2-4 cm. Nilai pH diperoleh
dengan membaca skala tersebut.

Kadar Amilosa (Hartati dan Prana 2003)


Sampel sebanyak 100mg ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Campuran dipanaskan
dalam air mendidih hingga terbentuk gel, kemudian dipindahkan ke dalam labu
takar 100 mL. Gel ditambahkan dengan air dan dikocok, kemudian ditambahkan
dengan air hingga menjadi 100 mL. Sebanyak 5 mL larutan dimasukan ke dalam
labu takar dan ditambahkan dengan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL larutan iod.
Larutan ditepatkan hingga 100 mL kemudian dikocok dan dibiarkan selama 20
menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada
15

panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa dihitung berdasarkan persamaan


kurva standar amilosa.

Amilopektin (by difference) (Hartati dan Prana 2003)


Amilopektin dihitung dengan menggunakan rumus :

Amilopektin ( % ) =Kadar Pati−Kadar Amilosa

Kadar Pati (Hartati dan Prana 2003)


Analisis kadar pati dilakukan pada tepung biji durian untuk mengetahui
jumlah pati yang terdapat pada tepung. Sampel dihidrolisis dengan alkohol 80%
dalam waterbath. Kemudian endapan dipisahkan dan dihidrolisis kembali dengan
9.2 N HClO4 sebanyak tiga kali dan dinetralisir kembali dengan 1 N NaOH.
Selanjutnya direduksi dengan pereaksi Cu dan Nelson. Kadar Pati diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm.

Kadar Air (AOAC 2005)


Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan
sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan
dalam oven selama 30 menit pada suhu 105oC atau sampai didapat berat tetap,
kemudian didinginkan selam 30 menit dalam desikator, setelah dingin beratnya
ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan
kemudian dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 100 oC sampai 102oC.
Cawan kemudian didinginkan dalam desikator selam 30 menit dan setelah dingin
ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan
rumus :

B 1−B 2
Kadar Air = x 100 %
B

Dimana : B = berat sampel (g)


B1 = berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan (g)
B2 = berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan (g)

Kadar Abu (AOAC 2005)


Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil
pembakaran bahan organik pada suhu 650oC. Cawan kosong dipanaskan dalam
oven lalu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya.
Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar
dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan ke
dalam tanur. Secara bertahap suhu tanur dinaikkan hingga mencapai suhu 650 oC
hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabu-abuan. Cawan kemudian
didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari
kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Berat Abu(g)
Kadar Abu= x 100 %
Berat Sampel ( g)
16

Kadar Protein (AOAC 2005)


Kadar protein dihitung menggunakan mikro Kjedahl. Sampel ditimbang
sebesar 0.5 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL,
ditambahkan campuran selen sebanyak 2 g dan 25 mL H2SO4 pekat lalu
dipanaskan diatas pemanas listrik sampai mendidih dan larutan menjadi jernih
kehijauan (sekitar 2 jam). Setelah dingin, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda garis. 5 mL larutan dipipet
dan dimasukkan ke dalam alat penyuling, lalu ditambahkan 5 mL NaOH 30% dan
beberapa tetes indikator kemudian lakukan penyuling selama 10 menit. Sebagai
penampung gunakan 10 mol larutan asam borat 2% yang telah dicampurkan
indikator. Ujung pendingin dibilas dengan air suling lalu dititar dengan larutan
HCl 0.01 N sampai larutan berwarna merah jambu. Larutan blanko sebagai
pembanding.

Kadar nitrogen dihitung dengan rumus :

( HCl−blanko ) ml x N HCl x faktor pengenceran


N (% )= x 100 %
Mg sampel

Fakor pengenceran = 14,007


Protein (% berat basah) = 6,25 N
100
Protein ( % berat kering ) = x % berat basah protein
100−kadar air

Kadar Lemak (AOAC 2005)


Contoh sebanyak 5 g ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan
diletakkan pada alat ektsraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu
lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya
sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama
minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di
dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil
ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105oC selama 5 jam. Labu
lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang.
Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Berat Lemak (g)


Kadar Lemak= x 100 %
Berat Sampel (g)

Kadar Karbohidrat (by difference)


Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus :

Kadar Karbohidrat ( % )=100 %−(%air +%abu+ %protein+%lemak )


17

Analisis Kualitas Mikrobiologi

Total Mikroba (BAM 2001)


Sampel sebanyak 25g ditimbang dan ditambahkan 225 mL larutan BPW
0.1%, kemudian dihaluskan. Pengenceran yang digunakan adalah 10-2, 10-3, 10-4
untuk produk bakso dan pengenceran 10-4, 10-5, 10-6 untuk analisis tepung. Masing
– masing pengenceran dipipet 1 mL ke dalam cawan petri steril yang telah diberi
label sebelumnya. Media Plate Count Agar (PCA) dituangkan ke dalam masing –
masing cawan petri sebanyak 10-15 mL, lalu dihomogenkan dan dibiarkan
memadat. Cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator selama 48 jam pada suhu
37oC dengan posisi terbalik. Perhitungan dilakukan pada semua koloni dalam
cawan petri yang berisi 25-250.

Total Kapang Khamir (BAM 2001)


Sampel sebanyak 25g ditimbang dan ditambahkan 225 mL larutan BPW
0.1%, kemudian dihaluskan. Pengenceran yang digunakan adalah 10-2, 10-3, 10-4.
Masing-masing pengenceran dipipet 1 mL ke dalam cawan petri steril yang telah
diberi label sebelumnya. Media Potato Dextrose Agar (PDA) dituangkan ke
dalam masing-masing cawan petri sebanyak 10-15 mL, lalu dihomogenkan dan
dibiarkan memadat. Cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator selama 48 jam
pada suhu 37oC dengan posisi terbalik. Perhitungan dilakukan pada semua koloni
dalam cawan petri yang berisi 25 - 250.

Rancangan dan Analisis Data

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak lengkap


(RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah konsentrasi
penambahan tepung biji durian sebagai bahan pengisi bakso daging sapi.
Perbedaan konsentrasi tersebut adalah sebagai berikut : 1) Tanpa substitusi tepung
biji durian, 2) Subtitusi tepung biji durian 50% (tepung tapioka : tepung biji
durian = 50 : 50), dan 3) Subtitusi tepung biji durian 100%.
Data dianalisa dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) untuk
mengetahui pengaruh dari pelakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata atau sangat
nyata, dilakukan uji Tukey (Steel and Torrie 1993).
18

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Biji Durian

Tepung biji durian merupakan tepung yang berasal dari biji durian dengan
melalui beberapa proses antara lain penyortiran, pencucian, pengupasan,
pemblansingan, perendaman, pengirisan dan penepungan. Analisis karakteristik
tepung biji durian penting dilakukan untuk mengetahui mutu dan kondisi bahan
sebelum diproses lebih lanjut (Indrastuti et al. 2012). Pengujian yang dilakukan
meliputi uji fisik, uji kimia dan uji mikrobiologi. Karakteristik fisik tepung biji
durian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik tepung biji durian


Tepung Tepung
Peubah
biji durian tapioka
Warna
Nilai L* (Tingkat gelap – terang kisaran 0 – 100) 80.27 94.09-99.38 a
Nilai a* ( Intensitas warna merah (+) dan hijau (-)) 1.49 -
Nilai b*( Intensitas wana kuning (+) dan biru (-)) 13.69 -
Amilografi
Viskositas puncak (cp) 1715 5387.94b
Waktu puncak (Menit) 8 6.05b
Suhu gelatinisasi (oC) 54.90 69.56b
Rendemen (%) 62 56.92-64.83a
Kadar pati (%/100g) 88.68 82.41e
Kadar amilosa (%/100g) 22.35 20 – 27c
Kadar amilopektin (%/100g) 66.33 82.13d
Kadar air (%bb) 10.32 11.10e
Kadar abu (%bb) 1.16 2.28e
Kadar protein (%bb) 1.08 0.94e
Kadar lemak (%bb) 5.40 0.34e
Kadar karbohidrat (%bb) 82.04 87.95e
Serat kasar (%bb) 1.09 2.18e
Total mikroba (cfu/g) 1.20 x 105 -
Total kapang khamir (cfu/g) 1.14 x 103 -
Keterangan: a. Wijana (2009) b. Imanningsih (2012) c. Eliasson (2004) d. Helmi (2001) e.
Charoenkul et al. (2011)

Warna
Pemilihan warna merupakan salah satu bahan pertimbangan bagi konsumen
dalam mengkonsumsi produk tepung (Wijana et al. 2009). Pada umumnya jika
dilihat secara visual tepung biji durian memiliki warna coklat muda dengan nilai
L*, a*, b* berturut 80.27, 1.49, dan 13.69. Perubahan warna putih dari biji durian
menjadi coklat muda setelah menjadi tepung disebabkan pada proses pembuatan
tepung, biji durian terlebih dahulu dikeringkan dengan cara penjemuran. Proses
19

penjemuran memungkinkan terjadinya reaksi kimia antara asam amino dan gula
pereduksi sehingga menyebabkan perubahan warna menjadi kecoklatan.

Amilografi
Sifat amilografi bertujuan untuk mempelajari perubahan viskositas tepung
dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan (Indrastuti et al.
2012). Uji yang dilakukan pada sifat amilografi meliputi beberapa parameter yang
diamati yaitu viskositas puncak, waktu puncak dan suhu gelatinisasi.
Profil gelatinisasi tepung memiliki perbedaan antara satu sama lain. Tepung
tapioka memiliki viskositas puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung
biji durian dan memiliki waktu gelatinisasi yang lebih cepat. Sifat gelatinisasi dan
pembengkakan dari suatu pati ditentukan oleh beberapa faktor seperti struktur
amilopektin, komposisi pati dan ukuran granular pati. Hal ini sejalan dengan
pendapat Imanningsih (2012) yang menyatakan beras ketan merupakan jenis
tepung yang mengandung amilopektin tinggi yaitu 99.11% dari fraksi patinya

dengan waktu glatinisasi 5.87 menit.

Gambar 3 Grafik amilografi tepung biji durian

Rendemen
Karakteristik tepung biji durian berupa rendemen menghasilkan nilai
sebesar 62%, nilai rendemen tepung biji durian berada dalam kisaran normal
rendemen tepung tapioka pada umumnya. Wijana et al. (2009) menyatakan
tepung tapioka memiliki rendemen berkisar 56.92-64.38% dan rendemen suatu
produk dipengaruhi oleh kualitas bahan baku meliputi kadar pati dan kadar air
bahan yang digunakan. Rendemen tepung juga diipengaruhi oleh serat yang
terkandung di dalam bahan, jika bahan memiliki serat kasar yang tinggi dan sukar
untuk dihalus maka tidak dapat lolos dalam pengayakan, hal ini akan
mempengaruhi jumlah tepung yang dihasilkan.
20

Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, sifat pada
pati tergantung panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang rantai
molekulnya (Hee-Joung An 2005). Kadar pati tepung biji durian hasil penelitian
ini menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda dengan pati tepung tapioka.
Kadar pati tepung biji durian sebesar 88.68 %, sedangkan tepung tapioka menurut
Charoenkul et al. (2011) memiliki kadar pati sekitar 82,41%. Nilai kadar pati di
dalam tepung berbanding lurus dengan kadar air, semakin tinggi kadar pati maka
kadar air semakin rendah dan sebaliknya (Wijana et al. 2009).

Tepung biji durian memiliki kandungan pati yang terdiri atas amilosa dan
amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-(1,4) dari unit
glukosa dan setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk rantai
lurus yang umumnya dikatakan sebagai linear pati (Hee-Joung An 2005). Tepung
biji durian mengandung kadar amilosa sebesar 22.35%, kadar amilosa tepung biji
durian tersebut masih berada dalam kisaran kadar amilosa tepung tapioka pada
umumnya. Menurut Eliasson (2004) menyatakan kadar amilosa tepung tapioka
berkisar 22-27%. Pati dengan kandungan amilosa yang tinggi, cenderung
menghasikan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi secara
terbatas (Hee-Joung An 2005). Amilopektin adalah polimer berantai cabang
dengan ikatan α-(1.4)-glikosidik dan ikatan α-(1.6)-glikosidik ditempat
percabangannya, setiap cabang terdiri atas 25-30 unit D-glukosa (Hee-Joung An
2005). Kadar amilopektin tepung biji durian lebih rendah (66.33%) dibandingkan
dengan tepung tapioka (82.13%). Hee-Joung An (2005) menyatakan semakin
tinggi kandungan amilopektin di dalam tepung menyebabkan pati akan lebih
bersifat basah, lengket, cenderung sedikit menyerap air dan pembentukan sifat
viskoelastis pada produk pangan.

Kandungan Nutrisi
Kandungan nutrisi tepung biji durian menunjukkan konsentrasi yang tidak
jauh berbeda dengan tepung tapioka yang dilaporkan Charoenkul et al. (2011).
Lebih lanjut, kandungan proksimat tepung biji durian meliputi kadar air, kadar
abu, kadar protein dan kadar lemak sudah memenuhi standar SNI tepung tapioka
sebagai bahan pangan. Kadar air tepung biji lebih rendah dari tepung tapioka yaitu
10.32%. Kadar air yang rendah menunjukkan bahwa kualitas tepung baik dan
dapat memperlambat kerusakan pada tepung, tingginya kadar air dapat menarik
jamur, bakteri, dan serangga yang dapat menyebabkan penurunan mutu.
Umumnya tepung yang cepat rusak memiliki kadar air diatas 15% (Suprapti
2005). Kadar air di dalam dapat dipengaruhi oleh proses pengolahan, khususnya
pada saat pengeringan dan kadar air bahan baku (Wijana et al. 2009).
Selain berpengaruh terhadap kadar air, proses pengolahan tepung juga dapat
mempengaruhi kadar abu tepung. Kadar abu tepung biji durian dibandingkan
tepung tapioka. Hal ini diduga pada proses pengolahan, mineral yang terkandung
di dalam biji durian juga ikut terbuang bersama air rendaman. Kadar protein
tepung biji durian yaitu 1.08. Kadar protein tepung biji durian ini lebih tinggi
dibandingkan kadar protein tepung tapioka. Tinggi rendahnya kadar protein suatu
bahan salah satunya dipengaruhi oleh bahan bakunya.
21

Hasil analisis juga menunjukkan kadar lemak tepung biji durian lebih tinggi
dari tepung tapioka. Tingginya kadar lemak tepung biji durian diduga karena
kadar lemak yang ada pada biji durian juga tinggi. Karbohidrat juga mempunyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan pangan misalnya rasa,
warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2004). Tepung biji durian memiliki
kandungan karbohidrat yang lebih rendah dari tepung tapioka. Kadar serat kasar
yang dimiliki tepung biji durian juga rendah jika dibandingkan dengan tepung
tapioka. Serat kasar di dalam tepung dapat mempengaruhi rendemen tepung yang
dihasilkan. Menurut Piliang dan Djoyosoebagio (2002), kadar serat yang tinggi
pada bahan makanan mempunyai nilai tambah dalam proses metabolisme selama
masih dapat diterima oleh tubuh.
Kualitas Mikrobiologi
Penentuan baik buruknya kualitas suatu produk pangan dapat ditinjau dari
kualitas mikrobiologi. Kualitas mikrobiologi tepung biji durian sudah memenuhi
standar SNI tepung tapioka. Nilai total mikroba tepung biji durian yaitu 1.20 x 10 5
cfu/g dan total kapang 1.14 x 103 cfu/g. Menurut SNI (1994a), tepung tapioka
memiliki nilai standar total miroba maksimal 1.0x10 6 cfu/g dan kapang maksimal
1.0 x 104 cfu/g. Kualitas mikrobiologi produk pangan dipengaruhi oleh bahan
baku dan proses pembuatannya (Hatta dan Murpiningrum 2012).

Kualitas Bakso

Kualitas bakso daging sapi dengan penambahan tepung biji durian 0%, 50%
dan 100% dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik bakso daging sapi


Perlakuan penambahan tepung biji durian
Peubah Tanpa substitusi Substitusi tepung Substitusi tepung
tepung biji durian biji durian 50% biji durian 100%
Kualitas fisik
DSA (%)* 5.18 ± 0.64 5.92 ± 0.64 5.92 ± 0.64
pH 6.34 ± 0.04 6.42 ± 0.02 6.37 ± 0.00
aW 0.888 ± 0.04 0.885 ± 0.03 0.887 ± 0.01
Tekstur
Kekerasan (gf) 4506.43 ± 930.90a 2908.83 ± 778.36ab 2002.50 ± 161.05b
Elastisitas (gf) 81.79 ± 0.10 80.83 ± 0.86 80.51 ± 0.31
Daya kohesif (gf) 0.51 ± 0.04 0.52 ± 0.07 0.51 ± 0.05
Kandungan nutrisi
Kadar air (% bb) 74.61 ± 0.47 74.29 ± 0.43 73.70 ± 0.43
Kadar abu (% bb) 2.28 ± 0.06 2.34 ± 0.14 2.35 ± 0.24
Kadar protein (%bb) 11.22 ± 0.32b 11.32 ± 0.20b 12.10 ± 0.11a
Kadar lemak (%bb) 1.59 ± 0.11 2.09 ± 0.37 2.27 ± 0.28
Karbohidrat (%bb) 10.28 ± 0.61 9.94 ± 0.30 9.57 ± 0.50
Kualitas mikrobiologi
Total mikroba
3.57 ± 0.18 3.62 ± 0.41 3.67 ±0.03
(log cfu/g)
22

Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0.05)
*DSA = Daya serap air

Daya Serap Air


Daya serap air merupakan parameter yang menunjukkan besarnya
kemampuan bahan untuk menarik air sekelilingnya yang berikatan dengan partikel
bahan atau tertahan pada pori partikel bahan (Trisyulianti et al. 2001). Nilai daya
serap air pada ketiga perlakuan menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda.
Fardiaz et al. (1992) menyatakan, protein merupakan komponen yang paling
berpengaruh terhadap daya serap air suatu bahan meskipun komponen-komponen
yang lain juga berpengaruh. Hal yang paling berpengaruh terhadap interaksi
protein-air meliputi bentuk protein dan faktor lingkungan seperti konsentrasi
protein, suhu dan nilai pH.

pH
Nilai pH merupakan indikator penting dalam menentukan kualitas daging
dengan memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh kualitas daging segar
(Montolalu et al. 2013). Hasil pengukuran pH bakso menunjukkan rataan pH
bakso dengan persentase penambahan tepung biji durian yang berbeda berkisar
antara 6.34-6.42. Montolalu et al. (2013) juga menambahkan nilai pH dipengaruhi
oleh bahan dasar yang digunakan serta pencampuran bahan-bahan membuat titik
keseimbangan hidrogen yang baru pada bakso. Nilai pH pangan menurut SNI
berkisar antara 6-7, hal ini berarti bahwa nilai pH dalam penelitian ini masih
memenuhi batasan pH menurut SNI.

aw
Nilai aw dapat dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan pada
stabilitas dan keawetan pangan,laju reaksi kimia,aktivitas enzim dan pertumbuhan
mikroba. Nilai aw pada penelitian ini sama halnya dengan nilai pH dan DSA, tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga perlakuan bakso. Nilai a w bakso pada
penelitian ini berkisar 0.885-0.888. Menurut Kusnandar (2010), nilai aw dapat
dijadikan sebagai parameter yang menunjukkan pada stabilitas dan keawetan
pangan, laju reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba. Coultate
(2002) menyatakan adanya perbedaan nilai aw untuk kebutuhan tumbuh mikroba
seperti bakteri 0.91, kapang 0.88 dan jamur 0.80.

Tekstur
Tekstur merupakan sifat struktural, mekanik dan permukaan makanan
terdeteksi melalui indra penglihatan, pendengaran, sentuhan dan kinestesis
(Szczesniak 2006). Pada awalnya tekstur diukur berdasarkan persepsi sensorik,
tetapi perkembangan saat ini tekstur telah dikonversi menjadi nilai pengukuran
melalui alat uji tekstur yang dapat mendeteksi dan mengukur parameter tertentu
(Sarifudin et al. 2015). Peubah tekstur pada bakso penelitian ini yang diukur
termasuk kekerasan, elastisitas dan daya kohesif. Bakso dengan penggunaan
100% tepung tapioka memiliki tingkat kekerasan tertinggi. Nilai kekerasan dapat
dipengaruhi oleh komposisi tepung dan daging yang digunakan (Hermianto dan
Aulia 2001). Yu et al. (2009) juga menambahkan kekerasan di dalam produk juga
23

dipengaruhi oleh kadar amilosa, karena kemampuannya membentuk ikatan


hidrogen yang kuat antar amilosa ataupun antara amilosa dan amilopektin.
Nilai elastisitas yang dihasilkan bakso pada penelitian ini cukup tinggi
meskipun tidak berpengaruh nyata yaitu berkisar 80.51-81.79 gf. Penggunaan
daging yang lebih banyak dari pada tepung menyebabkan nilai elastisitas tinggi.
Hermianto dan Aulia (2001) menyatakan nilai elastisitas diduga dipengaruhi oleh
protein miofibril yang bersifat elastis. Daya kohesif bakso pada penelitian ini
juga menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Mittal dan Usborne (1986)
menyatakan bahwa pada produk emulsi daging dan penambahan pati dapat
mengubah kualitas produk, namun tidak mempengaruhi daya kohesif produk.

Kadar Air
Air merupakan unsur penting dalam bahan makanan, air dalam bahan
makanan dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, cita rasa makanan dan
mempengaruhi daya tahan makanan dari serangan mikroba. Kadar air dalam
penelitian menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata tetapi berada diatas SNI
bakso daging sapi. SNI (1995b) menyatakan standar kadar air bakso daging sapi
yaitu maksimal 70%. Kadar air di dalam bakso dipengaruhi oleh lama pemanasan
dan bahan pengisi (Pramuditya dan Yuwono 2014). Menurut Putra et al. (2011),
lama pemanasan menyebabkan peningkatan jumlah air yang terserap karena air
dapat berdifusi ke dalam makanan dan berikatan dengan pati dan protein.
Tingginya kadar amilosa yang terdapat pada tepung juga akan mempercepat
peningkatan kadar air pada bakso karena amilosa dapat mengikat air dengan
mudah (Pramuditya dan Yuwono 2014).

Kadar Abu
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat pada suatu pangan. Rataan kadar abu juga menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata dan telah memenuhi SNI. Kadar abu yang memenuhi syarat
SNI (1995b) yaitu maksimal 3%. Semakin banyak penambahan bumbu dalam
formulasi pembuatan bakso dapat mempengaruhi kadar abu. Soeparno (2005)
menyatakan penambahan bumbu dalam formulasi produk dapat mempengaruhi
nilai kadar abu.

Kadar Protein
Protein merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung asam
amino yang terikat satu sama lain melalui ikatan peptida. Kandungan protein
dalam pangan bervariasi baik dalam jumlah maupun jenisnya. Kadar protein
tertinggi dimiliki bakso dengan penggunaan tepung biji durian 100%. Peningkatan
persentase kadar protein diduga disebabkan kandungan protein tepung biji durian
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka, sehingga semakin besar
persentase subtitusi tepung biji durian maka kadar protein bakso akan meningkat.
Kadar protein bakso juga dipengaruhi oleh kadar air, semakin banyak air dapat
menurunkan persentase protein bakso (Pramuditya dan Yuwono 2014). Hal
tersebut dibuktikan dengan bakso perlakuan pengunaan tepung biji durian 100%
memiliki kadar protein tertinggi dan kadar air paling rendah.
24

Kadar Lemak
Kandungan lemak di dalam pangan berfungsi memperbaiki bentuk, tekstur,
menambah nilai gizi dan kalori serta memberikan cita rasa gurih dalam bahan
pangan. Kadar lemak bakso tepung biji durian 100% lebih tinggi dibandingkan
dengan penggunaan tepung tapioka 100% meskipun tidak berbeda nyata.
Peningkatan kadar lemak pada penggunaan tepung biji durian diguga karena
kandungan lemak pada tepung biji durian juga lebih tinggi dibandingkan dengan
tepung tapioka. Kadar lemak tepung biji durian sebesar 5.40% sedangkan tepung
tapioka sebesar 0.34%.

Karbohidrat
Karbohidrat memiliki sifat fungsional yang juga berperan penting dalam
berbagai proses pengolahan bahan pangan. Karbohidrat berfungsi sebagai sumber
energi, pembentuk struktur, bahan pengisi, pemanis, pengental, penstabil,
pembentuk gel, pembentuk lapisan film dan pengganti lemak dalam berbagai
formulasi prooduk pangan (Kusnandar 2010). Berdasarkan sidik ragam, kadar
karbohidrat bakso dengan penggunaan tepung biji durian 0%, 50% dan 100% juga
tidak berbeda nyata. Bakso dengan penggunaan tepung tapioka 100% memiliki
kadar karbohidrat tertinggi. Hal tersebut diduga karena kandungan karbohidrat
yang dimiliki tepung tapioka lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung biji
durian.

Total Mikroba
Mutu mikrobiologis pada suatu bahan pangan ditentukan oleh jumlah total
mikroba yang terdapat dalam bahan pangan tersebut. Mutu mikrobiologis pada
bahan pangan ini akan menentukan daya simpan dari produksi tersebut di tinjau
dari kerusakan oleh bakteri dan keamanan pangan dari mikroorganisme ditentukan
oleh jumlah total mikroba (Chrismanuel et al. 2012). Total mikroba ketiga
perlakuan pada penelitian ini tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata
berkisar 3.57-3.67 log cfu/g. Rendahnya angka total mikroba dalam penelitian ini
diduga karena adanya proses pemanasan dalam pembuatan bakso, sehingga
bakteri yang tidak tahan panas akan mati.
Keseluruhan perlakuan bakso pada penelitian ini telah memenuhi SNI bakso
daging sapi baik kualitas kimia maupun mikrobiologi. Nilai kadar air, abu, protein
dan lemak bakso daging sapi menurut SNI berturut-turut adalah maksimal 70%,
maksimal 3.0%, minimal 9.0% dan maksimal 2.0%, dan total mikroba pada bakso
menurut SNI yaitu maksimal 1.0 x 105 cfu/g.

Sifat Organoleptik Bakso

Hasil analisis uji organoleptik (uji hedonik) bakso daging sapi dengan
memanfaatkan tepung biji durian sebagai subtitusi tepung tapioka terlihat pada
Tabel 4.

Tabel 4 Hasil organoleptik bakso daging sapi


Perlakuan penambahan tepung biji durian
Peubah
Tanpa substitusi Substitusi tepung Substitusi tepung
25

tepung biji durian biji durian 50% biji durian 100%


Warna 3.50 ± 0.86 3.60 ± 0.67 3.40 ± 0.72
Rasa 3.40 ± 0.85 3.46 ± 0.81 3.30 ± 0.72
Aroma 3.40 ± 0.93 3.43 ± 0.62 3.26 ± 0.69
Kekenyalan 3.50 ± 0.90 3.46 ± 0.62 3.43 ± 0.67
Rataan 3.45 ± 0.50 3.48 ± 0.07 3.34 ± 0.80
Keterangan : 5 = Sangat suka, 4 = Suka, 3 = Netral, 2 = Tidak suka, 1 = Sangat tidak suka

Warna
Warna merupakan alat sensori pertama yang dapat dilihat langsung oleh
panelis. Warna bakso yang disukai oleh panelis adalah bakso dari pengunaan
campuran tepung tapioka dan tepung biji durian 50% : 50%, meskipun ketiga
perlakuan tidak menunjukkan angka yang berbeda nyata. Warna bakso
diantaranya dipengaruhi oleh kandungan mioglobin daging, semakin tinggi
mioglobin daging maka warna semakin merah. Proses pemanasan dapat merubah
warna daging yang awalnya merah menjadi abu-abu, dengan penambahan jumlah
tepung tapioka akan mempengaruhi intensitas warna abu-abu mengarah ketingkat
lebih lebih muda atau pucat sehingga tidak disukai panelis (Usmiati dan Komariah
2007). Penggunaan 100% tepung biji durian menghasilkan warna lebih gelap atau
abu-abu tua. Menurut Hermianto dan Andayani (2002), warna bakso yang disukai
oleh panelis adalah abu-abu muda atau sedikit tua.

Rasa
Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk
pangan. Dalam menilai rasa lebih banyak menggunakan alat indra perasa.
Menurut Hermianto dan Andayani (2002) melaporkan ada tiga macam rasa bakso
yang menentukan penerimaan konsumen yaitu tingkat kegurihan, tingkat asin oleh
garam dan rasa daging. Uji rasa pada penelitian ini tidak menunjukkan angka yang
berbeda nyata. Faktor yang sering mempengaruhi rasa bakso adalah kandungan
lemak daging dan bumbu-bumbu yang digunakan (Usmiati dan Komariah, 2007).
Persentase daging dan bumbu yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan
kadar yang sama pada semua perlakuan.

Aroma
Aroma disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal
enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari
jarak jauh. Uji aroma bakso memperlihatkan skor yang diberikan oleh panelis juga
tidak berbeda nyata. Hal tersebut diduga adanya persentase bumbu yang sama
pada masing-masing adonan bakso. Menurut Zaika et al. (1978) bahwa aroma
dipengaruhi oleh jumlah bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan, semakin
banyak bumbu yang ditambahkan maka aroma semakin tajam.

Tekstur
Tekstur juga merupakan salah satu faktor yang diperhitungkan konsumen
dalam menilai kesukaan dan penerimaan daging serta produknya. Sejalan dengan
uji warna, rasa dan aroma, uji tekstur pada penelitian ini juga tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata. Bakso dengan perlakuan penggunaan 100% tepung tapioka
lebih disukai panelis. Hal ini diduga karena tepung tapioka memiliki kandungan
26

amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tapioka sehingga


menghasilkan bakso lebih kenyal.
Secara umum perlakuan ketiga bakso menunjukkan data yang tidak
berpengaruh nyata pada semua variabel pengamatan (warna, rasa, aroma dan
tekstur). Data rataan uji organoleptik berada diatas 3, dengan asumsi semua bakso
pada seluruh perlakuan telah dapat diterima oleh masyarakat, karena standar untuk
uji organoleptik yang diterima masyarakat adalah ≥ 3.

Kualitas Bakso Selama Penyimpanan

Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan laju pertumbuhan dan
jumlah mikroorganisme pada daging dan produk olahannya. Pengamatan kualitas
bakso selama penyimpanan dilakukan terhadap bakso perlakuan terbaik (subtitusi
tepung biji durian 50%) pada penelitian pendahuluan selama 12 jam pada suhu
ruang dan 12 hari pada suhu dingin. Pengujian kualitas bakso selama
penyimpanan suhu ruang dilakukan pengamatan pada jam ke 0, 4, 8 dan 12,
sedangkan pada suhu dingin dilakukan pada hari ke 0, 3, 6, 9 dan 12 dengan
parameter pengamatan meliputi DSA, aw, pH dan total mikroba. Hasil pengamatan
kualitas bakso selama penyimpanan bakso daging sapi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kualitas bakso selama penyimpanan


Total mikroba
Peubah DSA (%) pH aw
(Log cfu/g)
Suhu ruang
Jam ke 0 5.55 ± 1.11 6.07 ± 0.07c 0.882 ± 0.001 3.75 ± 0.16c
Jam ke 4 5.18 ± 0.64 5.98 ± 0.06c 0.883 ± 0.001 4.34 ± 0.32b
Jam ke 8 5.18 ± 1.28 6.57 ± 0.10b 0.884 ± 0.005 4.77 ± 0.02b
Jam ke 12 4.81 ± 0.64 6.92 ± 0.03a 0.885 ± 0.001 6.33 ± 0.03a
Suhu dingin
Hari ke 0 5.55 ± 1.11 6.07 ± 0.07r 0.882 ± 0.001p 3.75 ± 0.16s
Hari ke 3 7.40 ± 1.60 6.72 ± 0.10q 0.867 ± 0.01q 3.92 ± 0.05s
Hari ke 6 7.03 ± 0.64 6.87 ± 0.02p 0.863 ± 0.01qr 4.41 ± 0.02r
Hari ke 9 6.29 ± 0.64 6.84 ± 0.01p 0.861 ± 0.01s 4.58 ± 0.02q
Hari ke 12 5.92 ± 0.64 6.81 ± 0.03p 0.847 ± 0.03t 4.84 ± 0.01p
Keterangan : Angka dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada suhu ruang atau suhu
dingin menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)

Perlakuan penyimpanan suhu ruang 0, 4, 8, 12 jam dan penyimpanan suhu


dingin 0, 3, 6, 9 dan 12 hari pada nilai DSA tidak memberikan pengaruh yang
nyata. Perlakuan pada kondisi suhu ruang memiliki nilai DSA cenderung menurun
selama penyimpanan. Hal ini diduga adanya kandungan protein yang sudah rusak
sehingga tidak dapat menyerap air dengan baik. Disisi lain perlakuan
penyimpanan pada kondisi suhu dingin memiliki nilai DSA cenderung meningkat
hingga hari ke 6 dan kembali menurun sampai akhir penyimpanan.
Pengukuran nilai aw terhadap penyimpanan bakso perlu dilakukan karena
aktivitas air dapat mempengaruhi reaksi-reaksi yang ada dalam suatu produk
27

makanan (Candra et al. 2014). Nilai aw bakso penyimpanan suhu ruang tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata dan cenderung mengalami peningkatan.
Peningkatan nilai aw ini diduga pada suhu ruang terjadi penurunan kemampuan
protein untuk mengikat air, sehingga air akan keluar, dengan demikan nilai aw
akan meningkat (Afrianto et al. 2014). Perlakuan pada kondisi suhu dingin nilai
aw menunjukkan berpengaruh nyata dan mengalami penurunan. Penurunan nilai aw
selama penyimpanan suhu dingin disebabkan bakso mengalami proses desorpsi
(dehidrasi).
Secara umum nilai pH bakso perlakuan terbaik mengalami kenaikan selama
penyimpanan suhu ruang dan suhu dingin. Perlakuan pada suhu ruang, hasil
analisa menunjukkan bahwa nilai pH pada awal penyimpanan adalah 6.07. Nilai
pH tersebut turun sampai jam ke 4 kemudian naik kembali sampai akhir
penyimpanan menjadi 6.92. Perlakuan pada suhu dingin, hasil analisa
menunjukkan nilai pH terus mengalami kenaikan hingga hari ke 12 menjadi 6.81.
Menurut Muratore et al. (2007) bahwa penurunan nilai pH disebabkan oleh
adanya metabolisme bakteri asam laktat. Hal ini sejalan dengan pendapat Afrianto
et al. (2014) menyatakan pada awal penyimpanan enzim akan memanfaatkan
glikogen untuk mempertahankan kesegaran dan energi yang diperoleh dari
perombakan glikogen menjadi asam laktat yang dapat menurunkan pH. Pada
penyimpanan lebih lanjut, cadangan glikogen akan habis. Enzim mulai merombak
protein menjadi amonia, trimetilamin dan komponen volatil lainnya yang bersifat
basa (Goulas dan Kontominas 2005). Akumulasi senyawa-senyawa tersebut
perlahan akan meningkatkan nilai pH sehingga menjadi netral.
Hasil Pengamatan nilai total mikroba bakso pada perlakuan suhu ruang jam
ke 12 sebesar 6.33 log cfu/g. Berdasarkan nilai total mikroba pada SNI (1995b)
untuk produk bakso daging maksimal 1.0x105cfu/g sama dengan 5.00 log cfu/g.
Produk bakso pada perlakuan penyimpanan suhu ruang jam ke 12 sudah ditolak
dan hanya bisa diterima hingga jam ke 8 secara mikrobiologis, sedangkan pada
perlakuan suhu dingin bakso masih mampu bertahan hingga hari ke 12 dengan
nilai total mikroba sebesar 4.84 log cfu/g. Wally et al. (2015) menyatakan suhu
dingin dapat menghambat aktivitas bakteri dan enzim pembusuk.
Sejalan dengan pengamatan secara mikrobiologis, bakso yang disimpan
pada suhu ruang telah berlendir dan berbau busuk pada jam ke 12. Terbentuknya
lendir pada bakso mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah mengalami
kemunduran mutu akibat aktivitas bakteri, sehingga sebaiknya tidak dikonsumsi
lagi (Kok dan Park 2007 ; Siskos et al. 2007). Perlakuan pada suhu dingin
memperlihatkan bakso pada hari ke 12 masih layak dikonsumsi, tetapi secara
visual tekstur pada bagian luar bakso terasa sedikit keras dan kering. Martinez et
al. (2007) menyatakan bahwa perlakuan suhu dingin (4±1oC) dan lama
penyimpanan akan menyebabkan kerusakan sel daging terutama bagian
sarkolema, sehingga daging akan kehilangan daya mengikat air. Selanjutnya, air
akan keluar dari bakso yang menyebabkan tekstur bakso menjadi keras dan kering
(Zuraida et al. 2009).
28

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penggunaan tepung biji durian dapat meningkatkan kadar protein bakso


tetapi memiliki tingkat kekerasan yang rendah. Tepung biji durian dapat menjadi
subtitusi tepung tapioka sebagai bahan pengisi bakso daging sapi dengan level
pemberian 50%. Pada uji kualitas bakso selama penyimpanan suhu ruang bakso
mampu bertahan hingga jam ke 8 dan hari ke 12 pada suhu dingin (4ºC).
Saran

Pemanfaatan tepung biji durian sebagai bahan pengisi bakso daging sapi
lebih baik dilakukan sampai taraf perbandingan tepung biji durian dan tepung
tapioka 50% : 50%.

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Analitycal Chemist. 1995. Official methods of analysis of


the association official analytical chemistry. Virginia (USA): Arlington.
[BAM] Bacterial Analitical Manual. 2001. Aerobic Plate Count. U.S. Food and
Drugs Administration.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): Badan Pusat
Statistik.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1994a. Tepung Tapioka. SNI-01-3451-1994.
Jakarta (ID):BSN.
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1994b. Bakso daging. SNI-01-3947-1995.
Jakarta (ID):BSN.
Abdillah F. 2006. Penambahan tepung wortel dan karagenan untuk meningkatkan
kadar serat pangan pada naget ikan nila (Oreochromis sp) [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Afrianto E, Evi L, Otong S, Herman H. 2014. Pengaruh suhu dan lama blasing
terhadap penurunan kesegaran filet tagih selama penyimpanan pada suhu
rendah. Jurnal Akuatika 5(1):45-54.
Ageng PM, Djalal R, Eny SW. 2013. Pengaruh penambahan pati biji durian
terhadap kualitas kimia dan organoleptik nugget ayam. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan 23(3):17-26.
Anwar AS, Laelia A. 2011. Pemanfaatan biji durian menjadi glukosa cair melalui
proses hidrolisa dengan menggunakan enzim α-amilase [skripsi]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro.
Arief II, Jenie BSL, Suryati T, Ayuningtyas G, Fuziawan A. 2012. Antimicrobial
activity of bacteriocin from indigenous Lactobacillus plantarum 2c12 and its
application on beef meatball as biopreservative. Journal the Indonesian
Tropical Animal Agriculture 37(2)90-96.doi:10.14710/jitaa.37.2.90-96.
Arief II, Suryati T, Afiyah DN. and Wardhani DP. 2014. Physicochemical and
organoleptic of beef sausages with teak leaf extract (Tectona grandis) addition
29

as preservative and natural dye. International Food Research Journal


21(5):2033-2042.
Candra FN, Riyadi PR, Wijayanti I. 2014. Pemanfaatan karagenan (Euchema
cottoni) sebagai emulsifier terhadap kestabilan baksoikan nila (Oreochromis
Nilotichus) pada penyimpanan suhu dingin. Jurnal Pengolahan dan
Bioteknologi Hasil Perikanan 3(1):167-176.
Charoenkul N, Dudsadee U, Worayudh P, Yasuhito T. 2011. Physicochemical
characteristics of starches and flours from cassava varieties having different
cooked root textures. LWT-Food Science and Technology 44(8):1774-
1781.doi:10.1016/j.lwt.2011.03.009.
Chrismanuel A, Pramono YB, Setyani BE. 2012. Efek pemanfaatan keraginan
sebagai edible coating terhadap pH, total mikroba dan H 2S pada bakso selama
penyimpanan 16 jam. Animal Agriculture Journal 1(2):286-292.
Coultate TP. 2002. Food The Chemistry of its Components. London (UK): RSC
Paperbacks.
Djaeni M, Prasetyaningrum A. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan
alternatif : Aspek Nutrisi Biji Durian. Riptek 4(11):37-45.
Eliasson AC. 2004. Starch in Food: Structure, Function and Applications.
Florida:CRC Press.
Fardiaz DN, Andarwulan, Hariantono HW, Puspita NL. 1992. Teknik Analisa
Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor (ID): IPB Pr.
Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2014. Karakteristik sifat
fisiko kimia pati garut (Maranta arundinaceae). Agritech 34(1):14-21.
Gaurav and Sharma. 2003. Digital Color Imaging Handbook. CRG Press.
Goulas AE, Kontaminas MG. 2005. Effect of salting and smoking method on
keeping quality of chub mackerel (Scomber japonicus): Biochemical and
sensory attributes. Food chemistry
93(3):511-520.doi:10.1016/j.foodchem.2004.09.040.
Hatta M, Murpiningrum E. 2012. Kualitas bakso daging sapi dengan penambahan
garam (NaCl) dan fosfat (sodium tripolifosfat/stpp) pada level dan waktu yang
bebeda. Jurnal Ilmu Teknologi Peternakan. 2(1):30-38.
Hartati dan Prana. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa
kultivar talas. Jurnal Natur Indonesia 6(1):29-33.
Hee-Joung An. 2005. Effects of ozonation and addition of amino acids on
properties of rice starches [disertasi]. Amerika Serikat (US):Southern
Universitas and Agricultural and Mechanical Collage.
Helmi H. 2001. Kemungkinan penggunaan edible film dari pati tapioka untuk
pengemas lempuk. Jurnal ilmu-ilmu pertanian indonesia 3(2):99-106.
Hermianto J, Aulia. 2001. Pengembangan aroma dan cita rasa bakso dengan
penggunaan flavour. Jurnal Teknol dan Industri Pangan 7(2):102-107.
Hermianto, Andayani RY. 2002. Studi perilaku konsumen dan identifikasi
parameter bakso sapi berdasarkan preferensi konsumen diwilayah DKI Jakarta.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 8(1):1-10.
Hutapea U. 2010. Pembuatan tepung biji durian (Durio Zibethinusmurr) dengan
variasi perendaman dalam air kapur dan uji mutunya [skripsi].Medan (ID):
Universitas Sumatra Utara.
Imanningsih N. 2012. profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung-tepungan
untuk pendugaan sifat pemasakan. Penel Gizi Makan 35(1):13-22.
30

Indrastuti E, Harijono, Susilo B. 2012. Karakteristik tepung uwi ungu (Dioscorea


alata L.) yang direndam dan dikeringkan sebagai edible paper. Jurnal
Teknologi Pertanian 13(3):169-176.
Jufri M dan Rosmala DARF. 2006. Studi kemampuan pati biji durian sebagai
bahan pengikat dalam tablet ketoprofen secara granulasi basah. Majalah Ilmu
Kefarmasian 3(2):78-86.
Kok TN, Park JW. 2007. Extending the shelf life of set fish ball. Journal of Food
Quality 30(1):1-27.doi:10.1111/j.1745-4557.2007.00103x.
Kusnadi DC, Bintoro VP, Al‐Baarri AN. 2012. Daya ikat air, tingkat kekenyalan
dan kadar protein pada bakso kombinasi daging sapi dan daging kelinci. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 1(2):28-31.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian rakyat.
Martinez O,Salmero J, Guillen MD, Casas C. 2007. Textural and physicochemical
change in salmon (Salmo salar) Treated with commercial liquid smoke
flavourings. Food Chemistry
100(2):498-503.doi:10.1016/j.foodchem.2005.09.071.
Mittal GS and Usborne WR. 1986. Meat emulsion functionality related to fat
protein ratio and selected dairy and cereal products. Meat science 18(1):1-
21.doi:10.1016/0309-1740(86)90063-X.
Montolalu S, Lontaan N, Sakul S, Mirah ADP. 2013. Sifat fisiko kimia dan mutu
organoleptik bakso broiler dengan menggunakan tepung ubi jalar (Ipomoea
batatas L). Jurnal Zootek 32(5):1-13.
Muratore G, Mazzaglia A, Lanza CM, Licciardello F. 2007. Process variables on
the quality of swordfish filled flavored with smoke condensate. Journal of
Food Processing and Preservation 31(2):167-177.doi:10.1111/j.1745-
4549.2007.00120.x.
Nurfiana F, Mukaromah U, Jeannisa VC, Putra S. 2009. Pembuatan bioethanol
dari biji durian sebagai sumber energi alternatif [prosiding]. Seminar Nasional
V SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, 5 November 2009.
Piliang WG dan Djojosoebagio Al Haj S. 2002. Fisiologi Nutrisi. Bogor (ID): IPB
Pr.
Pramuditya G, Yuwono SS. 2014. Penentuan atribut mutu tekstur bakso sebagai
syarat tambahan dalam SNI dan pengaruh lama pemanasan terhadap bakso.
Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(4):200-209.
Putra AA, Huda N, Ahmad R. 2011. Changes during the processing of duck
meatballs using different fillers after the heating and preheating process.
International Journal Of Poultry Science 10(1):62-70.
Sarifudin A, Ekafitri R, Suharman DN, Putri SKDFA. 2015. Pengaruh
penambahan telur padakandungan proksimat, karakteristik aktivitas air bebas
(aw) dan tekstural snack bar berbasis pisang (Musa paradisiaca). AGRITECH
35(1):1-8.
Siskos I, Zotos A, Melidou S, Tsikritzi R. 2007. The effect of liquid smoking of
fillets of trout (Salmo Gairdneril) on sensory, Microbiological and chemical
changes during chiled storage. Food Chemistry
101(2):458-464.doi:10.1016/j.foodchem.2006.02.002.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi daging. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Steel R, Torrie JK. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. Jakarta (ID): Penertbit
PT.Gramedia Pustaka Utama.
31

Suprapti M, Lies. 2005. Tepung Tapioka Pembuatan dan Pemanfaatannya.


Yogyakarta (ID): Kanisius.
Szczesniak AS. 2006. Objective measurement of food texture. Journal of Food
Science 28(4):410-420.doi:10.1111/j.1365-2621.1963.tb00219.x.
Trisyulianti E, Jacjha J, Jayusmar. 2001. Pengaruh suhu dan tekanan pengepaan
terhadap sifat fisik wafer ransum dari limbah pertanian sumber serat dan
leguminose untuk ternak ruminansia. Media peternakan 24(3):76-81.
Usmiati S, Komariah. 2007. Karakteristik bakso daging kerbau dari berbagai
bagian karkas dan tingkat tepung tapioka. [Prosiding] Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner.
Wahyono. 2009. Karakteristik edible film berbahan dasar kulit dan pati biji durian
(durio sp) untuk pengemasan buah strawberry [skripsi]. Surakarta (ID):
Universitas Muhammadiya Surakarta.
Wally E, Mentang F, Montolalu. 2015. Kajian mutu kimiawi ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis L.) asap (FUFU) selama penyimpanan suhu ruang dan
suhu dingin. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan 3(1):7-12.
Widati AS, Eny SW, Rulita, Muhammad SZ. 2012 The effect of addition tapioca
starcton quality of chiken meatball chips whit vacuum frying method. Jurnal
Ilmu-ilmu Peternakan 21(2):11-27.
Wijana S, Nurika I, Habibah E. 2009. Analisis kelayakan kualitas tapioka
berbagai bahan baku gaplek (Pengaruh asal gaplek dan kadar kaporit yang
digunakan. Jurnal Teknologi Pertanian 10(2):97-105.
Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Yu S, Ying M, Wen SD. 2009. Impact of amylase content on start retrogradation
and texture of cooked milled rice during storage. Journal of Cereal Science
50(2):139-144.doi:10.1016/j.jcs.2009.04.003.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA, Smith JL. 1978. Effect of spice and salt on
fermentation of libanon bologna-type sausage.Journal of Food Science
43(1):186-189.doi:10.1111/j.1365-2621.1978.tb09766.x.
Zuraida I, Hasbullah R, Sukarno, Budijanto S, Prabawati S, Setiadjit. 2009.
Aktivitas antibakteri asap cair dan daya awetnya terhadap bakso ikan. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia 14(1):41-49.
32

Lampiran 1 Sidik Ragam Nilai pH


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,0090 0,0045 4,81 0,057
Galat 6 0,0057 0,0009
Total 8 0,0147

Lampiran 2 Sidik Ragam Nilai DSA


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 1,0952 0,5476 1,33 0,332
Galat 6 2,4642 0,4107
Total 8 3,5594

Lampiran 3 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Kekerasan)


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 9643448 4821724 9,65 0,13
Galat 6 2996733 499456
Total 8 12640181

Lampiran 4 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Elastisitas)


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 2,6412 1,3206 4,60 0,061
Galat 6 1,7211 0,2868
Total 8 4,3622

Lampiran 5 Sidik Ragam Nilai Tekstur (Daya Kohesif)


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,0022 0,0010 0,32 0,736
Galat 6 0,0200 0,0033
Total 8 0,0222

Lampiran 6 Sidik Ragam Nilai aW


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,00001 0,0000054 0,49 0,632
Galat 6 0,00006 0,0000110
Total 8 0,00007

Lampiran 7 Sidik Ragam Kadar Air


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 1,2704 0,6352 3,11 0,118
33

Galat 6 2,2253 0,2042


Total 8 1,4958

Lampiran 8 Sidik Ragam Kadar Abu


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,00809 0,00404 0,15 0,865
Galat 6 0,16293 0,02716
Total 8 0,17102

Lampiran 9 Sidik Ragam Kadar Protein


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 1,38382 0,69191 19,11 0,002
Galat 6 0,21727 0,03621
Total 8 1,60109

Lampiran 10 Sidik Ragam Kadar Lemak


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,74847 0,37423 4,76 0,58
Galat 6 0,47133 0,07856
Total 8 1,21980

Lampiran 11 Sidik Ragam Kadar Karbohidrat


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,7641 0,3820 1,59 0,279
Galat 6 1,4427 0,2405
Total 8 2,2068

Lampiran 12 Sidik Ragam Total Mikroba


SK Db JK KT F P
Perlakuan 2 0,01607 0,00803 0,49 0,637
Galat 6 0,09893 0,01649
Total 8 0,11500

Lampiran 13 Sidik Ragam Nilai pH Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan


Suhu Ruang
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 1,76380 0,58793 110,93 0,000
Galat 8 0,04240 0,00530
Total 11 1,80620

Lampiran 14 Sidik Ragam Nilai DSA Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan
Suhu Ruang
SK Db JK KT F P
34

Perlakuan 3 0,8214 0,2738 0,30 0,827


Galat 8 7,3926 0,9241
Total 11 8,2140

Lampiran 15 Sidik Ragam Nilai aw Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan


Suhu Ruang
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 0,0000180 0,0000060 4,50 0,039
Galat 8 0,0000107 0,0000013
Total 11 0,0000287

Lampiran 16 Sidik Ragam Nilai Total Mikroba Uji Kualitas Bakso Selama
Penyimpanan Suhu Ruang
SK Db JK KT F P
Perlakuan 3 10,9983 3,6661 110,81 0,000
Galat 8 0,2647 0,0331
Total 11 11,2630

Lampiran 17 Sidik Ragam Nilai pH Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan


Suhu Dingin
SK Db JK KT F P
Perlakuan 4 1,36691 0,34173 100,31 0,000
Galat 10 0,03407 0,00341
Total 14 1,40097

Lampiran 18 Sidik Ragam Nilai DSA Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan
Suhu Dingin
SK Db JK KT F P
Perlakuan 4 7,064 1,766 1,65 0,236
Galat 10 10,678 1,068
Total 14 17,742

Lampiran 19 Sidik Ragam Nilai aw Uji Kualitas Bakso Selama Penyimpanan


Suhu Dingin
SK Db JK KT F P
Perlakuan 4 0,0018231 0,0004558 115,38 0,000
Galat 10 0,0000293 0,0000029
Total 14 0,0018542

Lampiran 20 Sidik Ragam Nilai Total Mikroba Uji Kualitas Bakso Selama
Penyimpanan Suhu Ruang
SK Db JK KT F P
Perlakuan 4 2,49687 0,62422 103,58 0,000
Galat 10 0,06027 0,00603
Total 14 2,55713
35

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 03 Desember 1991 di Sibiruang Kabupaten


Kampar, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Ni’am Saleh dan Ibu Lili
Mardawati. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Peternakan, Fakultas
Pertanian dan Peternakan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Lulus tahun 2014. Pada tahun yang sama penulis diterima di sekolah pascasarjana
program studi Ilmu dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai