MUSTIKA AMINTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Jenis Kedelai,
Natrium Metabisulfit, dan Asam Askorbat Terhadap Karakteristik Fisikokimia,
Fungsional, dan Organoleptik Tepung Tempe adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Mustika Aminta
NIM F24100010
ABSTRAK
MUSTIKA AMINTA. Pengaruh Jenis Kedelai, Natrium Metabisulfit, dan Asam
Askorbat Terhadap Karakteristik Fisikokimia, Fungsional, dan Organoleptik
Tepung Tempe. Dibimbing oleh JOKO HERMANIANTO dan MADE
ASTAWAN.
Pengolahan lanjut tempe menjadi tepung bertujuan memperpanjang umur
simpannya. Permasalahan browning dan belum adanya standar nasional tepung
tempe menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi metode pembuatan tepung tempe, serta memeriksa sifat fisikokimia,
fungsional, dan organoleptik tepung tempe berdasarkan interaksi jenis kedelai dan
zat anti pencoklatan yang digunakan. Jenis kedelai yang digunakan adalah kedelai
asal Grobogan dan kedelai pangan rekayasa genetik (PRG), sedangkan zat anti
pencoklatan berupa natrium metabisulfit dan asam askorbat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tepung tempe paling baik dibuat pada suhu pengeringan
70oC dengan blansir selama lima menit pada konsentrasi zat anti pencoklatan
sebesar 0.1 %. Interaksi perlakuan berpengaruh nyata (p<0.01) terhadap redness,
pH, kadar protein, dan warna organoleptik, namun tidak berpengaruh nyata
(p>0.01) terhadap derajat putih, kecerahan, yellowness, aw, kadar air, abu, lemak,
karbohidrat, indeks penyerapan dan kelarutan air, aktivitas emulsi, kapasitas
gelasi, serta aroma dan rasa organoleptik tepung tempe.
Kata kunci: tepung tempe, natrium metabisulfit, asam askorbat, kedelai,
fisikokimia
ABSTRACT
MUSTIKA AMINTA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa Surgawi atas segala kasih,
berkat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat memperoleh kekuatan, kesabaran,
dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah tepung tempe,
dengan judul Pengaruh Jenis Kedelai, Natrium Metabisulfit, dan Asam Askorbat
Terhadap Karakteristik Fisikokimia, Fungsional, dan Organoleptik Tepung
Tempe.
Selama penelitian dan penulisan skripsi, penulis banyak dibantu oleh
berbagai pihak; oleh karena itu, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis ucapkan kepada:
1. Keluargaku tercinta: Ayahanda Togar Marulitua Sibuea, Ibunda Etty
Saraswati, dan Mutiara Ayu Amanda untuk semua doa, kasih sayang,
dukungan, dan semangat yang diberikan.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing I yang telah
memberi banyak bimbingan, nasehat, motivasi, semangat, dan
penghiburan selama penelitian hingga penyusunan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan topik penelitian, serta bimbingan dan evaluasi selama
penelitian hingga penyusunan skripsi.
4. Eris Astari Putra, untuk semua waktu, tenaga, semangat, dan kepercayaan
yang diberikan. You’re my best supporter.
5. Ayu Pramesti, Gideon Satria PS, dan Gerardus Yosua. Tanpa kalian
mungkin kuliah dan tingkat akhir tidak akan semenyenangkan ini.
6. Satu tim penelitian tempe: Tessa Winandita, Dicky Aulia Rochim,
Jefriaman Sirait, Armando Saragih, dan Khalid A. untuk semua suka duka
yang dilewati bersama.
7. Mas Yanto dan Mas Andri, pengrajin tempe di Rumah Tempe Indonesia,
untuk semua ilmu, kebaikan, dan kesabarannya mengajari cara membuat
tempe.
8. Laboran ITP dan teknisi SEAFAST: Pak Sobirin, Mbak Ulfa, Pak Yahya,
Mbak Irin, serta Pak Jun dan Pak Deni untuk semua bantuan dan saran
yang diberikan selama penelitian.
9. Rachel Puspa dan Kartika Rizky, sahabat penulis sedari SMA, atas doa,
semangat, dan dukungannya yang diberikan kepada penulis.
10. ITP 47 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu untuk
semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
Mustika Aminta
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses pembuatan tempe dengan dua perlakuan 5
2 Diagram alir metode terpilih pembuatan tepung tempe dengan dua
perlakuan 13
3 Alur reaksi Maillard 15
4 Reaksi penguraian natrium metabisulfit dalam air 15
5 Penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit 16
6 Reaksi pencoklatan pada asam askorbat 17
7 Tepung tempe kedelai lokal 18
8 Tepung tempe kedelai PRG 18
9 Hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan 20
10 Reaksi pembentukan lemak 25
11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pembentukan bilangan TBA
pada masing-masing perlakuan tepung tempe 26
12 Spider web penilaian mutu organoleptik tepung tempe berbagai
perlakuan 34
DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir proses pembuatan tempe 40
2 Diagram alir proses penetapan metode pembuatan tepung tempe 41
3 Form uji organoleptik tepung tempe 42
4 Dokumentasi proses pembuatan tepung tempe 43
5 Hasil analisis ragam karakteristik fisik tepung tempe 45
6 Hasil analisis ragam karakteristik kimia tepung tempe 48
7 Hasil analisis ragam karakteristik fungsional tepung tempe 51
8 Hasil analisis ragam karakteristik organoleptik tepung tempe 52
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Protein dapat ditemukan pada bahan pangan hewani, seperti daging, ikan,
telur, susu, serta pada bahan pangan nabati, seperti serealia dan kacang-kacangan.
Protein hewani merupakan protein dengan kualitas teratas karena memiliki
kandungan asam amino esensial yang lengkap, namun harganya lebih mahal dan
pengadaannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal inilah yang membuat
protein nabati menjadi pilihan tepat untuk memenuhi kekurangan protein,
terutama bagi masyarakat dengan daya beli rendah.
Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 28,07 juta
orang (BPS 2013). Ini menunjukkan bahwa sekitar 11,37 % penduduk Indonesia
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, termasuk membeli
makanan sehat yang sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Menurut Bardosono
(2009), Indonesia masih cukup tinggi mengalami permasalahan gizi, terutama
kekurangan energi protein (KEP). Permasalahan ini membutuhkan solusi berupa
sumber protein yang murah dan berkualitas tinggi.
Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang berpotensi untuk
menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino esensial
yang lengkap dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan protein biji-
bijian lainnya, terutama asam amino lisin, dengan metionin sebagai asam amino
pembatas. Hal ini menyebabkan protein kedelai dapat digunakan untuk
mensubstitusi kekurangan protein dalam makanan pokok, seperti beras dan jagung.
Kandungan protein pada kedelai cukup tinggi, yaitu sekitar 40-50% dengan
susunan asam amino mendekati susunan asam amino susu sapi, serta mendekati
pola yang direkomendasikan oleh FAO (Palander et al. 2006).
Kedelai banyak diolah menjadi produk pangan melalui proses fermentasi
oleh sejumlah kapang, seperti Rhizopus oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer, R.
arrhizus, Aspergillus oryzae, dan Mucor. Di Indonesia sendiri, produk fermentasi
kedelai yang paling banyak diproduksi adalah tempe. Sebanyak 60 % dari total
kedelai nasional diolah menjadi tempe. Kedelai yang digunakan untuk pembuatan
tempe sebesar 1,2 juta ton/tahun (Rosalina 2011). Menurut Astawan (2009),
konsumsi tempe sebagai makanan pendamping makanan pokok di Indonesia
mencapai 8,5 kg/kapita/tahun dengan 69,89 % tingkat konsumsinya terjadi di
rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tempe sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia.
Permasalahan yang sering dihadapi adalah tempe merupakan produk
dengan daya simpan yang rendah. Jika disimpan dalam bentuk segar hanya dapat
bertahan selama dua hari pada suhu ruang, sedangkan jika disimpan dalam suhu
refrigerator dengan dilapis plastik tertutup dapat memperpanjang umur simpannya
menjadi satu minggu (Widowati et al. 2004). Hal ini disebabkan oleh terjadinya
fermentasi lanjut, sehingga terjadi degradasi protein lanjut membentuk amoniak
yang menyebabkan timbulnya aroma busuk. Berdasarkan sifat tempe yang
perishable namun khasiatnya penting bagi gizi dan kesehatan, maka
dikembangkanlah produk-produk turunan tempe untuk memperpanjang masa
simpannya (Bastian et al. 2013).
2
Salah satu produk turunan tempe adalah tepung tempe. Tepung tempe
adalah tempe generasi II, yaitu tempe yang diolah lebih lanjut sehingga tidak
mempunyai bentuk dan rasa khas tempe. Selanjutnya tepung tempe dapat
diaplikasikan secara luas ke produk pangan lain, seperti cake substitusi, bubur
bayi, minuman, biskuit, es krim, dan sebagainya. Akan tetapi masalah yang
dihadapi adalah terjadinya browning selama pembuatan tepung sehingga
menimbulkan warna coklat yang kurang diminati masyarakat dan juga belum
adanya standar nasional (SNI) untuk tepung tempe. Penggunaan zat anti
pencoklatan kemudian dipertimbangkan untuk memperbaiki warna dari tepung
tempe. Penelitian ini diadakan untuk mengkaji metode pembuatan serta
karakterisasi sifat fisikokimia tepung tempe yang dihasilkan, baik dengan atau
tanpa penggunaan zat anti pencoklatan, sehingga dapat diketahui prospek
pengolahan lanjut dari tepung tempe.
Tujuan
Manfaat
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2014.
Berdasarkan tahapannya, tempat pelaksanaan penelitian terbagi menjadi beberapa
tempat. Proses pembuatan tempe dilakukan di Rumah Tempe Indonesia, Jalan
Cilendek nomor 27, Bogor. Proses pembuatan tepung dilakukan di Pilot Plant
SEAFAST Center, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Analisis sifat fisikokimia,
fungsional, dan organoleptik tepung tempe dilaksanakan di Laboratorium Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
3
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu bahan untuk membuat tepung tempe dan bahan untuk analisis. Bahan untuk
membuat tepung tempe terdiri atas kedelai asal Grobogan dan kedelai produk
rekayasa genetik (PRG), yang diperoleh dari KOPTI Bogor, air, kain saring, ragi
merk Raprima, plastik pengemas polipropilen, natrium metabisulfit, dan asam
askorbat. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis meliputi K2SO4,
HgO, H2SO4 pekat, akuades, larutan 60% NaOH - 5% Na2S2O3.5H2O, H2BO3,
alumunium foil, indikator merah metilen dan biru metilen, etanol, indikator PP
1%, HCl 0,02 N dan 4 M, larutan HCl 25%, kertas saring Whatman No. 1, kapas
bebas lemak, heksana, batu didih, minyak sawit komersial, Thio Barbituric Acid
(TBA), dan asam asetat glasial 90%.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk membuat
tempe, tepung tempe, dan analisis. Alat untuk membuat tempe terdiri atas ember,
wadah perebus antikarat, mesin pengupas kulit kedelai antikarat, rak fermentasi
antikarat, dan ruang fermentasi. Alat untuk membuat tepung tempe meliputi
timbangan, baskom, pisau, slicer, dandang, tray drier, blender, termometer,
ayakan 40 mesh, dan sealer. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu neraca
analitik, whiteness meter, chromameter, aw meter, pH meter, oven pengering,
cawan alumunium, cawan porselen, pemanas Kjeldahl, labu Kjeldahl 30 mL,
buret 50 mL, labu takar, labu lemak, labu destilasi, Soxhlet, desikator berisi bahan
pengering (P2O5 kering, CaCl2 kering, atau butiran silika berwarna biru), tanur,
destilator, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pendingin balik, mixer,
sentrifuse, tabung sentrifus, penangas air, hot plate, magnetic stirrer, pipet tetes,
sudip, spatula, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, pipet Mohr, bulb,
penggaris, vortex, dan spektrofotometer.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas proses pembuatan tempe,
penentuan metode pembuatan tepung tempe yang tepat, serta penentuan
konsentrasi larutan perendam natrium metabisulfit dan asam askorbat. Penelitian
utama terdiri atas tahap pembuatan tepung tempe dengan blansir menggunakan
larutan natrium metabisulfit dan asam askorbat, serta tahap analisis sifat
fisikokimia, fungsional, dan uji organoleptik tepung tempe yang dihasilkan.
Penelitian Pendahuluan
Proses Pembuatan Tempe
kemudian direbus selama 30-45 menit. Kedelai lalu direndam dalam air selama 15
jam. Setelah itu kedelai dipecah, kulit dikupas dan dicuci kembali hingga bersih.
Selanjutnya kedelai kupas disiram dengan air panas beberapa kali, kemudian
ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 35-40 oC. Kedelai lalu
diinokulasi dengan ragi tempe merk Raprima dengan formula 1 gram ragi per kg
kedelai, diaduk hingga ragi merata, dan dibungkus dengan plastik pembungkus.
Pembungkus yang digunakan berupa plastik perforasi untuk mengatur suhu dan
kelembaban yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Selanjutnya kedelai
diinkubasi agar terjadi proses fermentasi selama 36-48 jam. Diagram alir proses
pembuatan tempe dapat dilihat pada Lampiran 1.
Pembuatan tepung tempe memiliki tahapan yang secara umum sama, yaitu
pengirisan tempe, blansir, pengeringan tempe, penggilingan, dan pengayakan.
Pada tahap pertama dilakukan penetapan suhu pengeringan dalam pengolahan
tepung tempe. Parameter suhu yang diujikan, yaitu 60 oC (Murni 2013), 70 oC
(Bastian et al. 2013), dan 80 oC (Inayati 1991). Hasil dari masing-masing suhu
pengeringan kemudian diuji nilai derajat putih dan warnanya untuk menentukan
suhu terpilih. Suhu terpilih selanjutnya diuji kembali dengan menerapkan empat
lama waktu blansir, yaitu 3, 5, 10, dan 15 menit. Tepung yang dihasilkan
kemudian diuji nilai derajat putih dan warnanya. Tahapan proses penetapan
metode dapat secara sistematis dilihat pada Lampiran 2.
Penelitian Utama
Pembuatan Tepung Tempe dengan Dua Perlakuan
Pengirisan
B0 : kontrol
Blansir B1 : larutan Na-metabisulfit
B2 : larutan asam askorbat
Pengeringan
Penggilingan
Pengayakan
Pengemasan
TEPUNG
TEMPE
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tepung tempe dengan dua perlakuan
Karakterisasi fisik tepung tempe meliputi uji derajat putih, uji warna notasi
Hunter, dan uji aktivitas air.
Karakterisasi kimia tepung tempe meliputi uji nilai pH, kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan uji bilangan TBA
(thiobarbituric acid).
Rancangan Percobaan
Keterangan :
Yijk = pengaruh faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k.
µ = rata-rata umum
Ai = efek perlakuan ke-i faktor A terhadap peubah respon
Bj = efek perlakuan ke-j faktor B terhadap peubah respon
ABij = efek dari interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B terhadap
peubah respon
ɛ(k)ij = galat percobaan ulangan ke-k karena pengaruh faktor A ke-i dan faktor
B ke-j
i = jenis bahan baku kedelai (kedelai lokal, impor PRG)
j = jenis zat anti pencoklatan (kontrol, Na-metabisulfit, asam askorbat)
k = ulangan 1, 2
7
Prosedur Pengamatan
( )
Analisis nilai pH dan proksimat, meliputi kadar air, abu, protein, dan
lemak mengikuti metode AOAC (2005) dan analisis kadar karbohidrat menurut
metode by difference.
8
( ⁄ )
( )
( ⁄ )
campuran dan kemudian diaduk selama lima menit. Sampel yang teremulsi lalu
dibagi menjadi dua bagian sama banyak (50 mL), dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus, dan masing-masing digunakan untuk menentukan aktivitas emulsi dan
stabilitas emulsi. Penentuan aktivitas emulsi dilakukan dengan sentrifugasi sampel
pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya hasil sentrifugasi dituang
ke dalam gelas ukur 50 mL lalu tunggu selama beberapa menit sampai lapisan
emulsinya stabil. Aktivitas emulsi ditunjukan sebagai presentase dari tinggi
lapisan minyak teremulsi dibandingkan dengan tinggi dari semua lapisan yang
terbentuk.
( )
Suspensi sampel tepung tempe dibuat pada konsentrasi 2-25 % dalam lima
mililiter akuades di tabung reaksi bertutup. Sampel kemudian dipanaskan selama
satu jam di dalam penangas air mendidih. Selanjutnya sampel didinginkan secara
cepat di air mengalir. Sampel lalu didinginkan pada suhu 4 oC selama dua jam.
Konsentrasi terendah gelasi ditentukan sebagai konsentrasi ketika sampel tidak
tumpah saat tabung dibalik.
Data hasil analisis sifat fisik, kimia, fungsional, dan organoleptik tepung
tempe hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excel selanjutnya dianalisis
menggunakan sidik ragam (ANOVA) dengan program SPSS 20 for Windows. Jika
hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut
Duncan.
Penelitian Pendahuluan
beberapa menit pada suhu mendekati air mendidih atau tepat pada suhu air
mendidih. Dalam proses pengeringan, blansir dimaksudkan untuk mencegah
perubahan akibat aktivitas enzim, serta mematikan dan mengurangi mikroba yang
ada di permukaan bahan (Dewi 2006). Perlakuan blansir mampu menginaktivasi
enzim sehingga tidak merangsang reaksi metabolisme yang menyebabkan
perubahan warna dan timbulnya bau tidak enak (Ikrawan 2004). Akan tetapi,
karena perubahan warna yang terjadi pada pembuatan tepung tempe bukan
disebabkan reaksi enzimatis maka perlu diketahui apa ada pengaruh lama blansir
terhadap karakteristik derajat putih dan warna dari tepung tempe.
Suhu blansir yang digunakan adalah 99±1 oC dengan metode perebusan.
Suhu ini sudah memenuhi syarat untuk mematikan mikroba target pada tempe,
yaitu kapang Rhizopus, yang tidak dapat hidup di atas suhu 42oC (Dewi 2006).
Lama waktu yang digunakan untuk blansir bervariasi antara 3-15 menit. Pengujian
ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan lama blansir terhadap karakteristik
(derajat putih dan warna) tepung tempe yang dihasilkan pada suhu pengeringan
70oC. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh lama blansir terhadap derajat putih dan warna tepung tempe
Lama blansir Derajat putih
Nilai L Nilai a Nilai b
(menit) (%)
3 46.94±2.43 73.32±0.01 0.66±0.01 17.66±0.01
5 47.06±1.08 76.22±0.02 0.82±0.00 18.62±0.01
10 44.68±0.00 76.34±0.01 0.95±0.01 20.34±0.02
15 44.50±2.55 76.10±0.01 0.86±0.01 21.24±0.01
pencoklatan, baik secara enzimatis maupun non enzimatis, pada bahan pangan,
seperti pada pengolahan gula pasir (Alreza 2012). Selain itu sifatnya efektif, stabil,
dan harganya murah (Rahayu 1997).
USFDA pda tahun 1995 telah memasukkan sulfur dioksida dan beberapa
garam sulfit lainnya sebagai GRAS (21 CFR 182), tetapi tidak boleh digunakan
dalam daging atau pangan sumber thiamin, buah, dan sayuran segar. Regulasi
penggunaan sulfit pada makanan berbeda-beda untuk setiap negara. FDA
mengatur batas maksimum penggunaan SO2 pada makanan yang dikeringkan
sebesar 2000-3000 ppm. Batas maksimum residu SO2 dalam produk tepung
maksimum 70 mg/kg menurut Peraturan KBPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang
Batas Maksimum Penggunaan BTP Pengawet.
Konsentrasi natrium metabisulfit yang diujikan adalah 0; 0,1; dan 0,3 %.
Konsentrasi tersebut dipilih mengingat proses blansir yang hanya dilakukan dalam
waktu singkat, di mana tidak 100 % senyawa sulfit akan terserap tempe, dan
adanya proses pengeringan. Kelebihan sulfur dioksida dapat hilang selama proses
pengeringan. Dengan demikian konsentrasi larutan blansir yang tinggi sepertinya
tidak akan meninggalkan residu SO2 yang melewati batas maksimum regulasinya.
Tepung tempe yang dihasilkan selanjutnya dianalisis derajat putih dan nilai L, a, b.
Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
metabisulfit dengan konsentrasi 0,1 % terpilih karena memiliki nilai derajat putih
tertinggi dan nilai kecerahan yang tinggi pula.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan untuk menentukan suhu pengeringan,
lama waktu blansir, dan konsentrasi larutan blansir yang akan digunakan dalam
pengolahan tepung tempe maka diperoleh metode pembuatan tepung tempe dalam
penelitian ini sebagai berikut. Sebanyak 500 gram tempe diiris tipis menggunakan
slicer lalu tempe diblansir dalam larutan blansir 0.1 % selama lima menit pada
suhu 99±1 oC. Selanjutnya tempe ditiriskan. Kemudian tempe dikeringkan
menggunakan tray drier pada suhu 70 oC selama 4-4.5 jam. Setelah itu tempe
kering digiling menggunakan blender dan diayak menggunakan saringan 40 mesh.
Tepung tempe dikemas dalam pastik polipropilen. Metode pembuatan tepung
tempe secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 2. Dokumentasi proses
pembuatan tepung tempe dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pengirisan
(slicer)
B0 : kontrol
Blansir 0,1% B1:larutan Na-metabisulfit
(5 menit; 99±1oC) B2 : larutan asam askorbat
Penggilingan
(blender)
Pengayakan
(40 mesh)
Pengemasan
(plastik PP)
TEPUNG TEMPE
Gambar 2. Diagram alir metode terpilih pembuatan tepung tempe dengan dua
perlakuan
14
Penelitian Utama
Karakteristik Fisik
Derajat Putih
Nilai derajat putih tepung tempe berbeda sangat nyata (p<0.01) antarjenis
kedelai dan larutan blansir berdasarkan hasil analisis ragam seperti yang terdapat
pada Lampiran 5. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi yang terjadi antara variabel jenis kedelai dengan jenis larutan blansir
selama pengolahan tepung tempe. Dapat diketahui bahwa nilai derajat putih
tepung tempe kedelai PRG memiliki kisaran yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung tempe kedelai lokal. Secara umum, tepung tempe kontrol pada
kedelai lokal maupun PRG memiliki derajat putih yang rendah, yaitu kurang dari
50.00%. Rendahnya derajat putih disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non
enzimatis, yaitu reaksi Maillard. Reaksi Maillard dapat terjadi karena adanya
reaksi antara senyawa yang mengandung gugus amin bebas (asam amino, protein,
atau senyawa lain yang mengandung gugus amin) dengan gugus karbonil gula-
gula pereduksi (gula aldosa) dalam bahan pangan, dikatalis dengan adanya
pemanasan, yang dalam hal ini terjadi pada saat proses pengeringan, dan pada
kondisi aktivitas air sebesar 0.50-0.80. Reaksi awal gugus amin dengan gugus
karbonil gula pereduksi menghasilkan senyawa glucosyl amine. Senyawa ini
kemudian melalui Amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-ketose.
Degradasi senyawa ini menghasilkan komponen pigmen melanoidin yang
memberi warna coklat pada produk akhir (Kusnandar 2010). Tahapan reaksi
Maillard secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 3.
15
Warna
Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada bahan
dan produk pangan. Peranan warna sangat nyata karena umumnya konsumen akan
mendapat kesan pertama, baik suka atau tidak suka terhadap suatu produk pangan.
Warna memiliki arti dan peranan penting pada produk pangan sebagai penciri
jenis, tanda-tanda pematangan buah, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat
mutu, pedoman proses pengolahan, dan sebagainya. Analisis terhadap warna
dinyatakan dalam sistem notasi. Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik
dan objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Warna
dinyatakan secara kuantitatif dalam notasi huruf dan atau angka sehingga dapat
dipahami secara konsisten oleh semua pihak (Andarwulan et al. 2011).
Analisis warna pada penelitian ini dinyatakan dalam sistem notasi Hunter,
yaitu L,a,b. Pengaruh interaksi jenis kedelai dengan jenis larutan blansir terhadap
warna tepung tempe disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa blansir
menggunakan natrium metabisulfit dan asam askorbat tidak berpengaruh secara
nyata terhadap nilai L (lightness) namun berpengaruh sangat nyata terhadap nilai a
(redness) dan b (yellowness).
Menurut hasil analisis ragam pada Lampiran 5, pengaruh sangat nyata
yang timbul pada nilai a disebabkan karena faktor jenis kedelai dan larutan blansir
itu sendiri, serta disebabkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut selama
pengolahan. Sementara itu pada nilai b, perbedaan yang ada disebabkan
perbedaan jenis kedelai saja, tidak dipengaruhi jenis larutan blansir, serta tidak
ditemukan adanya interaksi antara kedua faktor uji terhadap intensitas yellowness
tepung tempe. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tepung tempe kedelai
PRG memiliki intensitas warna kuning yang lebih besar daripada tepung tempe
kedelai lokal.
18
Tabel 5. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap warna tepung tempe
Larutan Nilai L Nilai a Nilai b
Jenis Kedelai
Blansir (Kecerahan) (Redness) (Yellowness)
Kontrol 79.96±2.37a 2.13±0.01d 18.42±0.15a
Lokal Na-metabisulfit 80.50±1.62a 2.02±0.02c 18.17±0.20a
Asam askorbat 77.48±4.07a 5.02±0.01f 19.66±0.89a
Kontrol 80.44±0.86a 0.15±0.01b 23.32±0.12b
PRG Na-metabisulfit 80.93±0.93a 0.11±0.01a 21.99±1.82b
Asam askorbat 77.07±2.70a 3.41±0.03e 23.07±0.29b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).
A B C
Gambar 7. Tepung tempe kedelai lokal
(A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)
A B C
Gambar 8. Tepung tempe kedelai PRG
(A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)
di dalam bijinya. Senyawa flavonoid yang dikandung kedelai terdiri dari isoflavon,
yang berperan sebagai antioksidan, serta antosianin dan flavonol, yang berfungsi
memberikan warna pada kedelai. Antosianin terakumulasi lebih banyak dan
terekspresi pada kedelai hitam karena adanya peran dari gen I dan gen R yang
bersifat pleiotropik. Kedelai kuning tidak memiliki gen tersebut sehingga
akumulasinya tidak sebanyak pada kedelai hitam dan juga tidak terekspresi.
Senyawa flavonol, yang memberikan warna kuning, lebih terekspresi pada kedelai
kuning (Wirnas et al. 2012).
Pada pH 1-4, antosianin berada pada bentuk terstabilnya yaitu kation
flavilium dan memunculkan warna merah atau ungu, sedangkan pada pH di atas 4,
antosianin terdapat dalam bentuk kalkon yang berwarna kuning (SEAFAST 2012).
Hal ini menunjukkan kenaikan intensitas redness pada tepung tempe dengan
perlakuan asam askorbat dapat dipengaruhi dari menurunnya pH sehingga
mengaktifkan warna merah dari antosianin. Selain itu diketahui bahwa senyawa
asam askorbat dapat mempercepat degradasi antosianin karena asam askorbat
mampu berkondensasi dengan antosianin membentuk senyawa phlobafen yang
berwarna coklat (SEAFAST 2012). Ini berarti penampakan tepung tempe dengan
warna kemerahan merupakan percampuran dari adanya sebagian antosianin yang
membentuk kation flavilium dan phlobafen. Sementara itu tepung tempe dengan
natrium metabisulfit tidak berwarna kemerahan disebabkan pemberian senyawa
sulfit menyebabkan SO2 bereaksi dengan antosianin menghasilkan senyawa tidak
berwarna (SEAFAST 2012).
dalam kurva hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan pada
Gambar 9.
Gambar 9. Hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan
(Anonim 2012)
Gambar yang sama sekaligus menjelaskan beberapa hal yang dapat terjadi
sehubungan dengan aktivitas air. Dapat dilihat bahwa reaksi pencoklatan non
enzimatis, atau pada penelitian ini merupakan reaksi Maillard, dapat berlangsung
pada kisaran aw sebesar 0.2 dan berangsur meningkat hingga aw 0.7. Peningkatan
keberlangsungan reaksi Maillard disebabkan mobilitas reaktan (gula pereduksi
dan gugus amin) lebih mudah terjadi pada kadar air dan aw yang lebih tinggi
(maksimum 0.7). Hal ini menjelaskan mengapa pembentukan warna coklat mudah
terjadi pada proses pembuatan tepung tempe. Sementara itu pada aw lebih dari 0.7,
reaksi Maillard cenderung melambat disebabkan oleh pengenceran reaktan. Gula
pereduksi dan asam amino bereaksi membentuk N-Substituted Glycosylamine dan
membebaskan molekul air. Berdasarkan prinsip kesetimbangan kimia,
21
peningkatan jumlah air, seperti yang terjadi pada pangan dengan aw di atas 0.7,
akan menggeser reaksi ke arah kiri atau menekan pembentukan N-Substituted
Glycosylamine (Kusnandar 2010).
Oksidasi lemak adalah hal yang juga dapat terjadi pada tepung tempe
sehubungan dengan aktivitas airnya. Nilai aw tepung tempe berada pada kisaran di
mana oksidasi lemak mengalami peningkatan reaksi. Hal ini disebabkan hidrasi
air membuka sisi-sisi reaktif makromolekul sehingga memungkinkan terjadinya
reaksi oksidasi (Kusnandar 2010). Hal ini menunjukkan ada resiko timbulnya
ketengikan selama penyimpanan tepung tempe. Pengujian terhadap derajat
ketengikan tepung tempe akan dibahas pada bagian berikutnya.
Karakteristik Kimia
pH
Tabel 7. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap pH tepung tempe
Jenis Kedelai Larutan Blansir pH
Kontrol 6.54±0.04f
Lokal Na-metabisulfit 6.35±0.01e
Asam askorbat 5.45±0.05b
Kontrol 6.06±0.14d
PRG Na-metabisulfit 5.72±0.02c
Asam askorbat 5.24±0.04a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).
Analisis Proksimat
Analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
Analisis dilakukan untuk melihat pengaruh jenis kedelai terhadap komposisi gizi
23
masing-masing tepung. Komposisi kimia dalam basis kering, kecuali kadar air,
dari tepung tempe ini dinyatakan dalam Tabel 8.
kebutuhan. Lemak yang berada dalam tepung tempe tergolong dalam lemak nabati
karena sumbernya berupa kacang kedelai. Secara umum, lemak nabati
mengandung lemak tidak jenuh yang relatif tinggi sehingga cenderung tidak stabil
terhadap oksidasi (Andarwulan et al. 2011). Berdasarkan hasil analisis ragam
pada Lampiran 6 dapat diketahui bahwa interaksi jenis kedelai dan larutan blansir
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung tempe. Perbedaan kadar
lemak pada keenam jenis tepung dipengaruhi oleh kadar lemak dalam kedelai.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono et al. (2012) dan Ichsani (2013)
menunjukkan bahwa kedelai lokal memang memiliki kadar lemak yang lebih
rendah daripada kedelai impor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini. GMO
Compass (2010) menyatakan bahwa pada kedelai PRG dilakukan pemerkayaan
asam lemak oleat hingga 86 % dan penambahan sejumlah asam lemak lainnya.
Penambahan asam lemak inilah yang meningkatkan kadar lemak secara
keseluruhan pada tepung sebagai produk akhir.
Lemak merupakan lipid sederhana dari ester gliserol yang disusun oleh
asam lemak dan gliserin. Dalam struktur lemak, molekul gliseril mengikat tiga
rantai asam lemak dan kemudian membentuk senyawa ester yang bersifat non
polar. Semakin banyak ester gliserol yang terbentuk maka semakin banyak
kandungan lemak dalam bahan pangan. Mekanisme pembentukan lemak dapat
dilihat pada Gambar 10. Asam lemak yang terdapat pada tepung tempe secara
umum sama dengan yang terdapat dalam tempe. Proses fermentasi kedelai
menjadi tempe menyebabkan terjadinya peningkatan derajat ketidakjenuhan pada
lemak. Asam lemak dominan tersebut ialah asam oleat dan asam linolenat
sementara asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan (Lestari
2011).
Bilangan TBA
3,5000
3,0000
*3.0000
2,5000
(mg MDA/kg tepung)
2,0000
Bilangan TBA
mencegah oksidasi lemak di antaranya tokoferol, EDTA, BHA, BHT, TBHQ, dan
propil galat (Kusnandar 2010).
Uji bilangan TBA sesungguhnya merupakan uji yang sensitif tetapi tidak
spesifik untuk menganalisis malonaldehid sebagai produk sekunder dari reaksi
oksidasi. Kekurangan metode tersebut menurut Heras et al. (2003) dalam
Kurniawati (2007), TBA bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di
bawah kondisi pengujian (dengan adanya pemanasan dan asam keras). Hasil
degradasi tersebut memiliki warna yang sama (terabsorbsi pada panjang
gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-malonaldehid. Oleh sebab itu
diperlukan uji lain untuk dapat mengetahui tingkat ketengikan tepung dengan
lebih baik.
Karakteristik Fungsional
Protein dari sumber yang berbeda memiliki sifat fungsional tertentu yang
dapat mempengaruhi karakteristik produk pangan. Sifat fungsional protein ini
berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajiannya yang
mempengaruhi karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, serta
penerimaannya oleh konsumen. Protein dapat berperan sebagai pengemulsi,
pengikat air, pembentuk gel dan kekentalan, penyerap lemak, serta pembentuk
buih. Karakter ini dapat terjadi akibat interaksi protein dengan pelarutnya, disertai
keberadaan ion, protein lain, serta sakarida atau lemak (Kusnandar 2010). Dengan
demikian pengujian terhadap beberapa sifat fungsional tepung tempe dilakukan
mengingat tepung tempe merupakan tepung sumber protein.
Hasil menunjukkan bahwa nilai IPA tepung tempe berkisar antara 3.48–
4.23 mL/g. Berdasarkan hasil analisis ragam yang terdapat pada Lampiran 7 dapat
diketahui bahwa nilai IPA tepung tempe tidak berbeda nyata antarperlakuan.
Variasi nilai IPA pada tepung tempe dapat disebabkan perbedaan kandungan
protein pada bahan baku kedelainya. Menurut Kusnandar (2010), konsentrasi
30
protein menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya serap air bahan
pangan. Semakin tinggi konsentrasi protein, jumlah air yang terikat juga semakin
meningkat.
Gomez dan Aguilera (1983) di dalam Nurhayati (2010) menyebutkan
bahwa nilai penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan
bermuatan, serta kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu protein itu
sendiri dan pati yang tergelatinisasi serta terdekstrinasi. Pemanasan hingga 80 oC
menyebabkan gelasi protein di mana air akan terperangkap di dalamnya. Semakin
banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan
produk menyerap air. Kandungan karbohidrat yang lebih tinggi pada kedelai lokal
(Tabel 8) memungkinkan kandungan pati yang lebih banyak tergelatinisasi dan
terdekstrinasi sehingga nilai IPA menjadi lebih besar.
Selain faktor suhu, terdapat dua faktor lainnya yang mempengaruhi IPA,
di antaranya adalah garam dan pH. Penambahan garam diharapkan dapat
meningkatkan nilai IPA karena terjadinya interaksi elektrostatik akibat muatan
listrik dari protein yang diikat oleh ion-ion garam. Hal ini menyebabkan interaksi
antarprotein menurun dan mendorong peningkatan interaksi antara protein dan air
melalui ikatan hidrogen (Kusnandar 2010). Garam yang digunakan pada
penelitian ini adalah natrium metabisulfit sehingga terdapat ion Na+ yang dapat
berikatan dengan muatan listrik protein. Namun dari Tabel 9 diketahui bahwa
penggunaan natrium metabisulfit tidak mengubah IPA tepung tempe dengan
signifikan. Ini berarti jumlah ion Na+ yang terdapat dalam tepung tempe tidak
cukup untuk dipakai berikatan dengan semua muatan listrik protein sehingga tidak
mendorong peningkatan IPA. Sementara itu apabila pH lingkungan menyebabkan
jumlah muatan positif dan negatif protein dalam tepung tempe sama (mencapai
titik isoelektrik) maka interaksi antarprotein menjadi maksimum dan daya ikat air
menjadi minimum. pH isoelektrik untuk masing-masing jenis protein berbeda.
Pada penelitian ini tidak dikaji lebih lanjut jenis-jenis protein yang terdapat dalam
tepung tempe sekaligus titik isoelektriknya.
Indeks kelarutan air (IKA) tepung tempe berkisar antara 0.0025-0.0080
g/mL. Tidak ada pengaruh signifikan yang ditimbulkan dari interaksi parameter
jenis kedelai dengan jenis larutan blansir pada nilai IKA tepung tempe (Lampiran
8). Menurut Khasanah (2003), setelah pati mengalami gelatinisasi maka akan
terjadi degradasi amilosa dan amilopektin menghasilkan molekul yang lebih kecil.
Molekul inilah yang mudah larut dalam air dan meningkatkan nilai IKA. Akan
tetapi nilai IKA tepung tempe tergolong rendah sehingga mengindikasikan bahwa
tepung tempe sulit larut dalam air. Tingginya kadar serat pangan tidak larut dalam
tepung tempe menjadi penyebab rendahnya nilai kelarutan. Komponen yang
berpengaruh pada kelarutan diduga berasal dari serat dan amilosa. Amilosa
merupakan komponen pati yang larut air (Damayanthi 2001).
Nilai IPA dan IKA sangat penting diketahui untuk menentukan jenis
produk yang memang memerlukan pertimbangan nilai IKA dan IPA. Produk
tersebut antara lain makanan bayi, bubuk instan, cake mixer, dan puding. Produk-
produk tersebut memerlukan daya penyerapan dan daya kelarutan yang tinggi
(Harnani 2009). Kemampuan protein untuk mengikat air sangat penting dalam
formulasi makanan. Kapasitas pengikatan ini mempengaruhi daya lekat
(cohesiveness/ adhesiveness), pembentukan film, dan serat. Melihat hasil uji IPA
dan IKA tepung tempe yang rendah maka mungkin perlu dicari teknik
31
Aktivitas Emulsi
Ahmed et al. (2011) menyatakan bahwa aktivitas emulsi lebih tinggi pada pH
alkali dibandingkan pH asam dengan pH maksimum 8.0 pada beberapa tepung
polong-polongan. Hal ini disebabkan meningkatnya interaksi protein-protein,
yang menurunkan hidrofobisitas permukaan serta muatan dan kelarutan protein.
Sementara itu pH tepung tempe masuk kategori asam, yaitu sebesar 5.24-6.54.
Ahmed et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya stabilitas emulsi pada pH
rendah dapat disebabkan partikel koloid membawa muatan listrik yang
menyebabkan stabilitas pada sistem koloid itu sendiri, sama halnya seperti partikel
dalam muatan yang sama saling tolak menolak untuk mencegah presipitasi pada
sistem emulsi.
Sifat emulsi yang rendah dari tepung tempe dapat berpengaruh terhadap
kesesuaiannya dalam sejumlah fungsi seperti menstabilkan sistem koloid dalam
pangan (Akubor et al. 2013). Dengan demikian perlu ditambahkan emulsifier lain
ke dalam pengolahan pangan yang menggunakan tepung tempe sebagai bahan
baku agar dapat membentuk sistem emulsi yang stabil.
Kapasitas Gelasi
Tabel 11. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap kapasitas terendah
gelasi pada tepung tempe
Least Gelation
Jenis Kedelai Larutan Blansir
Concentration (%)
Kontrol 19.00±0.00a
Lokal Na-metabisulfit 20.50±0.58b
Asam askorbat 20.75±0.50b
Kontrol 19.50±0.58a
PRG Na-metabisulfit 20.50±0.58b
Asam askorbat 21.00±0.00b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).
Angka ini menunjukkan nilai KTG yang cukup tinggi. Hasil analisis ragam pada
Lampiran 7 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata akibat interaksi
jenis kedelai dan larutan blansir terhadap kapasitas gelasi tepung tempe, namun
jenis larutan blansir mempengaruhi secara signifikan. Menurut Kusnandar (2010),
faktor yang dapat mempengaruhi kapasitas gelasi protein adalah konsentrasi
protein. Kekuatan gel meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi protein.
Telah diketahui sebelumnya kadar protein pada tepung tempe cukup tinggi, yaitu
sebesar 41.43-47.00 % dan terdapat kecenderungan penurunan kadar protein pada
tepung tempe yang diblansir dengan zat anti pencoklatan. Hal inilah yang
menyebabkan terjadi peningkatan pada nilai KTG. Akan tetapi gelasi
sesungguhnya tidak hanya merupakan fungsi dari kuantitas protein dalam bahan
pangan tetapi juga berhubungan dengan jenis protein dan kelarutannya (Andualem
dan Amare 2013). Gelatin dapat membentuk gel dengan konsentrasi yang relatif
rendah, sedangkan protein globular membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Hal ini
berarti protein yang terkandung dalam tepung tempe dapat didominasi oleh
protein globular sehingga menyebabkan tingginya nilai KTG.
Dalam proses gelasi yang diinduksi oleh pemanasan, terdapat dua
mekanisme yang terjadi, yaitu tahap pembukaan (unfolding) atau disosiasi dari
molekul protein dan tahap pengendapan (agregasi) protein di bawah kondisi yang
sesuai. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen
polipeptida uncoiled yang berinteraksi pada titik tertentu membentuk jaringan tiga
dimensi. Formasi gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan
hidrofobik, ikatan Van der Waals, serta ikatan kovalen disulfide, sedangkan
kekuatan gel berhubungan dengan ukuran dan bentuk polipeptida dalam matriks
gel (Kusnandar 2010).
Tepung dengan nilai KTG yang rendah dapat menjadi thickening agent
yang baik dan dapat digunakan dalam pengolahan adonan roti, tahu, pudding, keju,
yoghurt, maupun snack yang membutuhkan pengentalan dan pembentukan gel
(Akubor et al. 2013). Dengan demikian tepung tempe bukanlah tepung dengan
kemampuan thickening yang baik sehingga tidak dapat digunakan sebagai
thickening agent dalam pengolahan pangan. Penambahan bahan lain sebagai
pembentuk gel dan pengental disarankan untuk dilakukan pada pengolahan
pangan yang menggunakan tepung tempe.
Uji Organoleptik
Mutu bahan pangan maupun pangan jadi sangat ditentukan oleh penilaian
indera konsumen. Penilaian tersebut ialah uji organoleptik atau uji indera (sensory
evaluation). Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang bersifat subyektif
dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya
penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, penurunan mutu, dan kerusakan lainnya dari produk. Faktor utama
yang dapat mengindikasikan mutu pangan meliputi citarasa, warna, tekstur,
kerenyahan, sifat mikrobiologis, dan sebagainya (Nurhayati 2010).
Pada penelitian ini, tepung tempe pada semua perlakuan diuji secara
organoleptik oleh 16 panelis semi terlatih. Parameter yang diujikan berupa warna,
34
aroma, dan rasa. Hasil penilaian untuk masing-masing parameter terhadap semua
perlakuan tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 12.
Warna
9,5
9,0
8,5
8,0
7,5 A1B0
7,0
6,5 A1B1
6,0
5,5 A1B2
5,0
A2B0
A2B1
A2B2
Rasa Aroma
Keterangan :
A1B0 : Kedelai lokal – kontrol A2B0 : Kedelai PRG – kontrol
A1B1 : Kedelai lokal – Na-metabisulfit A2B1 : Kedelai PRG– Na-metabisulfit
A1B2 : Kedelai lokal – askorbat A2B2 : Kedelai PRG – askorbat
Gambar 12. Spider web penilaian mutu organoleptik tepung tempe berbagai
perlakuan
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
KEDELAI
Sortasi
Perendaman (3 jam)
Pengupasan kulit
Pencucian
Penirisan
Pendinginan (35-40oC)
Pengemasan
TEMPE
41
TEMPE
Pengeringan
60 oC 70 oC 80 oC
TEPUNG
TEMPE
Metode terpilih
3‟ 5‟ 10‟ 15‟
Lama blansir
terpilih
42
Petunjuk
Anda akan mendapatkan 3 sampel uji yang akan diberikan secara bersamaan
dengan kontrol. Lakukan penilaian terhadap kontrol mulai dari warna, aroma, dan
rasa. Selanjutnya lakukan penilaian serupa terhadap sampel secara satu per satu.
Anda dilarang membandingkan antarsampel. Tuliskan respon Anda dengan
menandai secara vertikal pada skala garis yang tersedia. Berikan nomor sampel di
bawah tanda garis tersebut. Netralkan lidah Anda dengan menggunakan air putih
seusai mencicipi suatu sampel.
K
Warna
Aroma K
Rasa K
Komentar :
43
Tray drier untuk mengeringkan tempe Tempe setelah dikeringkan (flakes tempe)
A B C
1 2
askorbat 4 42.6800
kontrol 4 45.6150
sulfit 4 46.7200
Sig. 1.000 .187
2. Uji warna
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: L
A
Duncan
1. Uji pH
pH
Duncan
Kadar_protein
Duncan
skor_warna
Duncan
prg-askorbat 16 5.1406
lokal-askorbat 16 6.2094 6.2094
prg-sulfit 16 6.6938 6.6938
prg-kontrol 16 7.2594 7.2594
lokal-sulfit 16 7.7281
lokal-kontrol 16 7.9313
Sig. .046 .063 .033
RIWAYAT HIDUP