Anda di halaman 1dari 66

PENGARUH JENIS KEDELAI, NATRIUM METABISULFIT,

DAN ASAM ASKORBAT TERHADAP KARAKTERISTIK


FISIKOKIMIA, FUNGSIONAL, DAN ORGANOLEPTIK
TEPUNG TEMPE

MUSTIKA AMINTA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Jenis Kedelai,
Natrium Metabisulfit, dan Asam Askorbat Terhadap Karakteristik Fisikokimia,
Fungsional, dan Organoleptik Tepung Tempe adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Mustika Aminta
NIM F24100010
ABSTRAK
MUSTIKA AMINTA. Pengaruh Jenis Kedelai, Natrium Metabisulfit, dan Asam
Askorbat Terhadap Karakteristik Fisikokimia, Fungsional, dan Organoleptik
Tepung Tempe. Dibimbing oleh JOKO HERMANIANTO dan MADE
ASTAWAN.
Pengolahan lanjut tempe menjadi tepung bertujuan memperpanjang umur
simpannya. Permasalahan browning dan belum adanya standar nasional tepung
tempe menjadi perhatian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi metode pembuatan tepung tempe, serta memeriksa sifat fisikokimia,
fungsional, dan organoleptik tepung tempe berdasarkan interaksi jenis kedelai dan
zat anti pencoklatan yang digunakan. Jenis kedelai yang digunakan adalah kedelai
asal Grobogan dan kedelai pangan rekayasa genetik (PRG), sedangkan zat anti
pencoklatan berupa natrium metabisulfit dan asam askorbat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tepung tempe paling baik dibuat pada suhu pengeringan
70oC dengan blansir selama lima menit pada konsentrasi zat anti pencoklatan
sebesar 0.1 %. Interaksi perlakuan berpengaruh nyata (p<0.01) terhadap redness,
pH, kadar protein, dan warna organoleptik, namun tidak berpengaruh nyata
(p>0.01) terhadap derajat putih, kecerahan, yellowness, aw, kadar air, abu, lemak,
karbohidrat, indeks penyerapan dan kelarutan air, aktivitas emulsi, kapasitas
gelasi, serta aroma dan rasa organoleptik tepung tempe.
Kata kunci: tepung tempe, natrium metabisulfit, asam askorbat, kedelai,
fisikokimia
ABSTRACT

MUSTIKA AMINTA. The Impact of Soybean Varieties, Sodium Metabisulfite,


and Ascorbic Acid to Physicochemical, Functional, and Organoleptic
Characteristics of Tempe Flour. Supervised by JOKO HERMANIANTO and
MADE ASTAWAN.
Further processing of tempe becomes flour aims to extend its shelf life. The
browning problem and the absence of tempe flour national standard may be
concern in this study. The objective of this research was to evaluate the method of
tempe flour making, and also asses physicochemical, functional, and organoleptic
properties according to the interaction between soybean varieties and anti
browning agents used. The soybean varieties used were Grobogan soybean and
genetically modified organism (GMO) soybean. The anti browning agents used
were sodium metabisulfite and ascorbic acid. The result showed that the best
method of tempe flour making was within 70 oC of drying temperature, five
minutes of blanching, and 0,1 % of anti browning agent in blanching solution. The
interaction between treatments was significantly impacting (p<0.01) redness, pH,
protein content, and organoleptic color, yet not significantly impacting (p>0.01)
whiteness degree, lightness, yellowness, aw, water, ash, fat, carbohydrate content,
water absorption and solubility index, emulsion activity, gelation capacity, also
organoleptic aroma and taste.
Keywords: tempe flour, sodium metabisulfite, ascorbic acid, soybean,
physicochemical
PENGARUH JENIS KEDELAI, NATRIUM METABISULFIT,
DAN ASAM ASKORBAT TERHADAP KARAKTERISTIK
FISIKOKIMIA, FUNGSIONAL, DAN ORGANOLEPTIK
TEPUNG TEMPE

MUSTIKA AMINTA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa Surgawi atas segala kasih,
berkat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat memperoleh kekuatan, kesabaran,
dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah tepung tempe,
dengan judul Pengaruh Jenis Kedelai, Natrium Metabisulfit, dan Asam Askorbat
Terhadap Karakteristik Fisikokimia, Fungsional, dan Organoleptik Tepung
Tempe.
Selama penelitian dan penulisan skripsi, penulis banyak dibantu oleh
berbagai pihak; oleh karena itu, terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
penulis ucapkan kepada:
1. Keluargaku tercinta: Ayahanda Togar Marulitua Sibuea, Ibunda Etty
Saraswati, dan Mutiara Ayu Amanda untuk semua doa, kasih sayang,
dukungan, dan semangat yang diberikan.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto selaku dosen pembimbing I yang telah
memberi banyak bimbingan, nasehat, motivasi, semangat, dan
penghiburan selama penelitian hingga penyusunan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan topik penelitian, serta bimbingan dan evaluasi selama
penelitian hingga penyusunan skripsi.
4. Eris Astari Putra, untuk semua waktu, tenaga, semangat, dan kepercayaan
yang diberikan. You’re my best supporter.
5. Ayu Pramesti, Gideon Satria PS, dan Gerardus Yosua. Tanpa kalian
mungkin kuliah dan tingkat akhir tidak akan semenyenangkan ini.
6. Satu tim penelitian tempe: Tessa Winandita, Dicky Aulia Rochim,
Jefriaman Sirait, Armando Saragih, dan Khalid A. untuk semua suka duka
yang dilewati bersama.
7. Mas Yanto dan Mas Andri, pengrajin tempe di Rumah Tempe Indonesia,
untuk semua ilmu, kebaikan, dan kesabarannya mengajari cara membuat
tempe.
8. Laboran ITP dan teknisi SEAFAST: Pak Sobirin, Mbak Ulfa, Pak Yahya,
Mbak Irin, serta Pak Jun dan Pak Deni untuk semua bantuan dan saran
yang diberikan selama penelitian.
9. Rachel Puspa dan Kartika Rizky, sahabat penulis sedari SMA, atas doa,
semangat, dan dukungannya yang diberikan kepada penulis.
10. ITP 47 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu untuk
semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Bogor, September 2014

Mustika Aminta
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii


DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat 2
METODOLOGI 2
Waktu dan Tempat Pelaksanaan 2
Bahan 3
Alat 3
Tahapan Penelitian 3
Rancangan Percobaan 6
Prosedur Pengamatan 7
Pengolahan dan Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Penelitian Pendahuluan 9
Penelitian Utama 14
SIMPULAN DAN SARAN 36
Simpulan 36
Saran 36
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 40
RIWAYAT HIDUP 54
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan karakteristik tepung tempe berdasarkan suhu pengeringan 10
2 Pengaruh lama blansir terhadap derajat putih dan warna tepung tempe 11
3 Pengaruh konsentrasi larutan natrium metabisulfit terhadap derajat
putih dan warna tepung tempe 12
4 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap derajat putih tepung
tempe 14
5 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap warna tepung tempe 18
6 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap aktivitas air tepung
tempe 20
7 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap pH tepung tempe 21
8 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap analisis proksimat
tepung tempe 23
9 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap IPA dan IKA
tepung tempe 29
10 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap aktivitas dan
stabilitas tepung tempe 31
11 Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap kapasitas terendah
gelasi tepung tempe 32
12 Skor rata-rata penilaian mutu tepung tempe 34

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir proses pembuatan tempe dengan dua perlakuan 5
2 Diagram alir metode terpilih pembuatan tepung tempe dengan dua
perlakuan 13
3 Alur reaksi Maillard 15
4 Reaksi penguraian natrium metabisulfit dalam air 15
5 Penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit 16
6 Reaksi pencoklatan pada asam askorbat 17
7 Tepung tempe kedelai lokal 18
8 Tepung tempe kedelai PRG 18
9 Hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan 20
10 Reaksi pembentukan lemak 25
11 Pengaruh lama penyimpanan terhadap pembentukan bilangan TBA
pada masing-masing perlakuan tepung tempe 26
12 Spider web penilaian mutu organoleptik tepung tempe berbagai
perlakuan 34

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir proses pembuatan tempe 40
2 Diagram alir proses penetapan metode pembuatan tepung tempe 41
3 Form uji organoleptik tepung tempe 42
4 Dokumentasi proses pembuatan tepung tempe 43
5 Hasil analisis ragam karakteristik fisik tepung tempe 45
6 Hasil analisis ragam karakteristik kimia tepung tempe 48
7 Hasil analisis ragam karakteristik fungsional tepung tempe 51
8 Hasil analisis ragam karakteristik organoleptik tepung tempe 52
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Protein dapat ditemukan pada bahan pangan hewani, seperti daging, ikan,
telur, susu, serta pada bahan pangan nabati, seperti serealia dan kacang-kacangan.
Protein hewani merupakan protein dengan kualitas teratas karena memiliki
kandungan asam amino esensial yang lengkap, namun harganya lebih mahal dan
pengadaannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal inilah yang membuat
protein nabati menjadi pilihan tepat untuk memenuhi kekurangan protein,
terutama bagi masyarakat dengan daya beli rendah.
Pada Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 28,07 juta
orang (BPS 2013). Ini menunjukkan bahwa sekitar 11,37 % penduduk Indonesia
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, termasuk membeli
makanan sehat yang sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Menurut Bardosono
(2009), Indonesia masih cukup tinggi mengalami permasalahan gizi, terutama
kekurangan energi protein (KEP). Permasalahan ini membutuhkan solusi berupa
sumber protein yang murah dan berkualitas tinggi.
Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang berpotensi untuk
menggantikan protein hewani. Protein kedelai mengandung asam amino esensial
yang lengkap dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan protein biji-
bijian lainnya, terutama asam amino lisin, dengan metionin sebagai asam amino
pembatas. Hal ini menyebabkan protein kedelai dapat digunakan untuk
mensubstitusi kekurangan protein dalam makanan pokok, seperti beras dan jagung.
Kandungan protein pada kedelai cukup tinggi, yaitu sekitar 40-50% dengan
susunan asam amino mendekati susunan asam amino susu sapi, serta mendekati
pola yang direkomendasikan oleh FAO (Palander et al. 2006).
Kedelai banyak diolah menjadi produk pangan melalui proses fermentasi
oleh sejumlah kapang, seperti Rhizopus oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer, R.
arrhizus, Aspergillus oryzae, dan Mucor. Di Indonesia sendiri, produk fermentasi
kedelai yang paling banyak diproduksi adalah tempe. Sebanyak 60 % dari total
kedelai nasional diolah menjadi tempe. Kedelai yang digunakan untuk pembuatan
tempe sebesar 1,2 juta ton/tahun (Rosalina 2011). Menurut Astawan (2009),
konsumsi tempe sebagai makanan pendamping makanan pokok di Indonesia
mencapai 8,5 kg/kapita/tahun dengan 69,89 % tingkat konsumsinya terjadi di
rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa tempe sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia.
Permasalahan yang sering dihadapi adalah tempe merupakan produk
dengan daya simpan yang rendah. Jika disimpan dalam bentuk segar hanya dapat
bertahan selama dua hari pada suhu ruang, sedangkan jika disimpan dalam suhu
refrigerator dengan dilapis plastik tertutup dapat memperpanjang umur simpannya
menjadi satu minggu (Widowati et al. 2004). Hal ini disebabkan oleh terjadinya
fermentasi lanjut, sehingga terjadi degradasi protein lanjut membentuk amoniak
yang menyebabkan timbulnya aroma busuk. Berdasarkan sifat tempe yang
perishable namun khasiatnya penting bagi gizi dan kesehatan, maka
dikembangkanlah produk-produk turunan tempe untuk memperpanjang masa
simpannya (Bastian et al. 2013).
2

Salah satu produk turunan tempe adalah tepung tempe. Tepung tempe
adalah tempe generasi II, yaitu tempe yang diolah lebih lanjut sehingga tidak
mempunyai bentuk dan rasa khas tempe. Selanjutnya tepung tempe dapat
diaplikasikan secara luas ke produk pangan lain, seperti cake substitusi, bubur
bayi, minuman, biskuit, es krim, dan sebagainya. Akan tetapi masalah yang
dihadapi adalah terjadinya browning selama pembuatan tepung sehingga
menimbulkan warna coklat yang kurang diminati masyarakat dan juga belum
adanya standar nasional (SNI) untuk tepung tempe. Penggunaan zat anti
pencoklatan kemudian dipertimbangkan untuk memperbaiki warna dari tepung
tempe. Penelitian ini diadakan untuk mengkaji metode pembuatan serta
karakterisasi sifat fisikokimia tepung tempe yang dihasilkan, baik dengan atau
tanpa penggunaan zat anti pencoklatan, sehingga dapat diketahui prospek
pengolahan lanjut dari tepung tempe.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi metode pembuatan tepung


tempe, dari segi suhu pengeringan, lama waktu blansir, dan konsentrasi zat anti
pencoklatan dalam larutan blansir yang digunakan (yang efisien waktu serta
menghasilkan tepung dengan derajat putih dan kecerahan terbaik); mengevaluasi
pengaruh natrium metabisulfit dan asam askorbat terhadap derajat putih dan
kecerahan tepung tempe; mengevaluasi pengaruh jenis zat anti pencoklatan dan
jenis kedelai yang digunakan terhadap sifat fisikokimia, fungsional, dan
organoleptik tepung tempe; serta menentukan tepung tempe terbaik berdasarkan
penilaian organoleptik.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan produk turunan tempe,


dalam bentuk tepung, yang memiliki umur simpan lebih lama, dapat diaplikasikan
ke dalam banyak jenis makanan dan minuman olahan lainnya, serta tetap memiliki
kandungan gizi yang setara dengan kandungan gizi dalam tempe asli.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2014.
Berdasarkan tahapannya, tempat pelaksanaan penelitian terbagi menjadi beberapa
tempat. Proses pembuatan tempe dilakukan di Rumah Tempe Indonesia, Jalan
Cilendek nomor 27, Bogor. Proses pembuatan tepung dilakukan di Pilot Plant
SEAFAST Center, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Analisis sifat fisikokimia,
fungsional, dan organoleptik tepung tempe dilaksanakan di Laboratorium Ilmu
dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
3

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu bahan untuk membuat tepung tempe dan bahan untuk analisis. Bahan untuk
membuat tepung tempe terdiri atas kedelai asal Grobogan dan kedelai produk
rekayasa genetik (PRG), yang diperoleh dari KOPTI Bogor, air, kain saring, ragi
merk Raprima, plastik pengemas polipropilen, natrium metabisulfit, dan asam
askorbat. Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis meliputi K2SO4,
HgO, H2SO4 pekat, akuades, larutan 60% NaOH - 5% Na2S2O3.5H2O, H2BO3,
alumunium foil, indikator merah metilen dan biru metilen, etanol, indikator PP
1%, HCl 0,02 N dan 4 M, larutan HCl 25%, kertas saring Whatman No. 1, kapas
bebas lemak, heksana, batu didih, minyak sawit komersial, Thio Barbituric Acid
(TBA), dan asam asetat glasial 90%.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk membuat
tempe, tepung tempe, dan analisis. Alat untuk membuat tempe terdiri atas ember,
wadah perebus antikarat, mesin pengupas kulit kedelai antikarat, rak fermentasi
antikarat, dan ruang fermentasi. Alat untuk membuat tepung tempe meliputi
timbangan, baskom, pisau, slicer, dandang, tray drier, blender, termometer,
ayakan 40 mesh, dan sealer. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu neraca
analitik, whiteness meter, chromameter, aw meter, pH meter, oven pengering,
cawan alumunium, cawan porselen, pemanas Kjeldahl, labu Kjeldahl 30 mL,
buret 50 mL, labu takar, labu lemak, labu destilasi, Soxhlet, desikator berisi bahan
pengering (P2O5 kering, CaCl2 kering, atau butiran silika berwarna biru), tanur,
destilator, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pendingin balik, mixer,
sentrifuse, tabung sentrifus, penangas air, hot plate, magnetic stirrer, pipet tetes,
sudip, spatula, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, pipet Mohr, bulb,
penggaris, vortex, dan spektrofotometer.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri atas proses pembuatan tempe,
penentuan metode pembuatan tepung tempe yang tepat, serta penentuan
konsentrasi larutan perendam natrium metabisulfit dan asam askorbat. Penelitian
utama terdiri atas tahap pembuatan tepung tempe dengan blansir menggunakan
larutan natrium metabisulfit dan asam askorbat, serta tahap analisis sifat
fisikokimia, fungsional, dan uji organoleptik tepung tempe yang dihasilkan.

Penelitian Pendahuluan
Proses Pembuatan Tempe

Pembuatan tempe dilakukan dengan menerapkan Good Hygienic Practices


(GHP) di Rumah Tempe Indonesia (RTI) yang telah mendapatkan sertifikasi
HACCP. Produksi tempe dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
Kedelai, yang telah disortasi, direndam terlebih dahulu selama tiga jam dan
4

kemudian direbus selama 30-45 menit. Kedelai lalu direndam dalam air selama 15
jam. Setelah itu kedelai dipecah, kulit dikupas dan dicuci kembali hingga bersih.
Selanjutnya kedelai kupas disiram dengan air panas beberapa kali, kemudian
ditiriskan dan didinginkan hingga mencapai suhu 35-40 oC. Kedelai lalu
diinokulasi dengan ragi tempe merk Raprima dengan formula 1 gram ragi per kg
kedelai, diaduk hingga ragi merata, dan dibungkus dengan plastik pembungkus.
Pembungkus yang digunakan berupa plastik perforasi untuk mengatur suhu dan
kelembaban yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Selanjutnya kedelai
diinkubasi agar terjadi proses fermentasi selama 36-48 jam. Diagram alir proses
pembuatan tempe dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penetapan Metode Pembuatan Tepung Tempe

Pembuatan tepung tempe memiliki tahapan yang secara umum sama, yaitu
pengirisan tempe, blansir, pengeringan tempe, penggilingan, dan pengayakan.
Pada tahap pertama dilakukan penetapan suhu pengeringan dalam pengolahan
tepung tempe. Parameter suhu yang diujikan, yaitu 60 oC (Murni 2013), 70 oC
(Bastian et al. 2013), dan 80 oC (Inayati 1991). Hasil dari masing-masing suhu
pengeringan kemudian diuji nilai derajat putih dan warnanya untuk menentukan
suhu terpilih. Suhu terpilih selanjutnya diuji kembali dengan menerapkan empat
lama waktu blansir, yaitu 3, 5, 10, dan 15 menit. Tepung yang dihasilkan
kemudian diuji nilai derajat putih dan warnanya. Tahapan proses penetapan
metode dapat secara sistematis dilihat pada Lampiran 2.

Penentuan Parameter Konsentrasi Larutan Blansir

Penentuan konsentrasi larutan blansir dilakukan dengan menggunakan


natrium metabisulfit sebagai acuan. Konsentrasi natrium metabisulfit yang
digunakan adalah 0, 0.1, dan 0.3%. Tepung yang dihasilkan kemudian diukur
warnanya (L,a,b) dengan chromameter dan derajat putihnya dengan whiteness
meter untuk menentukan konsentrasi larutan terbaik.

Penelitian Utama
Pembuatan Tepung Tempe dengan Dua Perlakuan

Pembuatan tepung tempe pada penelitian utama menggunakan metode


terpilih dari penelitian pendahuluan dan menerapkan dua parameter perlakuan,
yaitu jenis kedelai dari tempe yang digunakan dan jenis larutan zat anti
pencoklatan yang digunakan sebagai larutan blansir. Tahapan proses pembuatan
tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 1.
5

A1 : tempe kedelai lokal


TEMPE A2 : tempe kedelai impor
(PRG)

Pengirisan
B0 : kontrol
Blansir B1 : larutan Na-metabisulfit
B2 : larutan asam askorbat

Pengeringan

Penggilingan

Pengayakan

Pengemasan

TEPUNG
TEMPE

Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan tepung tempe dengan dua perlakuan

Karakterisasi Fisik Tepung Tempe

Karakterisasi fisik tepung tempe meliputi uji derajat putih, uji warna notasi
Hunter, dan uji aktivitas air.

Karakterisasi Kimia Tepung Tempe

Karakterisasi kimia tepung tempe meliputi uji nilai pH, kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan uji bilangan TBA
(thiobarbituric acid).

Karakterisasi Fungsional Tepung Tempe

Karakterisasi fungsional tepung tempe meliputi uji indeks penyerapan air


dan indeks kelarutan air, uji aktivitas emulsi, serta uji kapasitas gelasi.
6

Uji Organoleptik Tepung Tempe

Uji organoleptik tepung tempe dilakukan dengan menggunakan 16 orang


panelis semi terlatih. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rating mutu
menggunakan skala garis yang dapat disetarakan dengan skor 1-9. Panelis
memberikan penilaian terhadap parameter uji tanpa membandingkan antarsampel.
Parameter yang dinilai meliputi, warna, aroma, dan rasa tepung tempe. Skor
penilaian untuk parameter warna berupa amat sangat coklat sampai dengan amat
sangat putih, skor penilaian untuk parameter aroma berkisar antara amat sangat
tengik sampai amat sangat khas aroma tempe, dan skor penilaian untuk parameter
rasa dimulai dari amat sangat berasa hingga amat sangat tawar. Form uji
organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3.

Rancangan Percobaan

Model rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah


Rancangan Acak Faktorial dengan dua perlakuan, yaitu jenis kedelai dan jenis zat
anti pencoklatan, serta dua kali ulangan. Faktor yang diteliti adalah pengaruh jenis
bahan baku kedelai pada pembuatan tempe (A) dan pengaruh penggunaan jenis
zat anti pencoklatan sebagai larutan blansir (B).
Faktor A : jenis bahan baku kedelai
A1 : kedelai lokal
A2 : kedelai impor PRG
Faktor B : jenis zat anti pencoklatan
B0 : kontrol
B1 : Natrium metabisulfit
B2 : Asam askorbat
Peubah yang diukur adalah sifat fisik (derajat putih, warna, dan aktivitas
air), sifat kimia (pH, analisis proksimat, dan nilai TBA), sifat fungsional (indeks
penyerapan dan kelarutan air, emulsi, dan gelasi), serta organoleptik tepung tempe
yang dihasilkan. Adapun model matematis untuk rancangan acak faktorial adalah
sebagai berikut:
Yijk = µ + Ai + Bj +ABij + ɛ(k)ij

Keterangan :
Yijk = pengaruh faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k.
µ = rata-rata umum
Ai = efek perlakuan ke-i faktor A terhadap peubah respon
Bj = efek perlakuan ke-j faktor B terhadap peubah respon
ABij = efek dari interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B terhadap
peubah respon
ɛ(k)ij = galat percobaan ulangan ke-k karena pengaruh faktor A ke-i dan faktor
B ke-j
i = jenis bahan baku kedelai (kedelai lokal, impor PRG)
j = jenis zat anti pencoklatan (kontrol, Na-metabisulfit, asam askorbat)
k = ulangan 1, 2
7

Prosedur Pengamatan

Prosedur Analisis Sifat Fisik


Analisis Derajat Putih (Andarwulan et al. 2011)

Pengukuran derajat putih menggunakan alat KETT Digital Whiteness Meter


Model C-100. Sampel ditempatkan dalam cawan sampel dengan jumlah sedikit
melebihi bibir cawan. Cawan berisi sampel ditempatkan ke dalam wadah sampel.
Wadah contoh dimasukkan ke tempat pengukuran, sehingga alat menyala. LED
menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Standar
menggunakan MgO dengan nilai 81.6. Nilai derajat putih sampel diukur dengan
membandingkan nilai derajat putih yang terbaca pada alat dengan nilai derajat
putih BaSO4 sebagai standar yaitu sebesar 110.8.

( )

Analisis Warna Notasi Hunter (Djuanda 2003)

Pengukuran warna menggunakan alat chromameter CR 300 Minolta.


Sampel dimasukkan ke dalam cawan kaca sampai permukaannya sama rata
dengan bibir cawan. Measuring head chromameter diletakkan pada sampel yang
akan diukur kemudian tombol „MEASURE‟ pada measuring head ditekan. Warna
dibaca oleh detektor digital dan hasilnya ditampilkan di layar. Pengukuran
dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing-masing sampel. Notasi L, a, b
digunakan sebagai parameter warna. Notasi L menggambarkan kecerahan dengan
kisaran 0-100, nilai 0 berarti hitam dan 100 berarti putih. Notasi a
menggambarkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a dari 0-
(+100) untuk warna merah dan –a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Notasi b
menggambarkan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b dari 0-
(+70) untuk warna kuning dan –b dari 0-(-70) untuk warna biru.

Analisis Aktivitas Air (Nurhayati 2010)

Penetapan aw dilakukan dengan menggunakan alat aw meter Shibaura WA


360. Sebanyak ±1 gram sampel dimasukkan ke dalam wadah aw meter.
Pembacaan skala dilakukan setelah indikator proses pada layar penunjuk proses
pengukuran telah selesai (Nurhayati 2010).

Prosedur Analisis Sifat Kimia


Analisis Nilai pH dan Proksimat (AOAC 2005)

Analisis nilai pH dan proksimat, meliputi kadar air, abu, protein, dan
lemak mengikuti metode AOAC (2005) dan analisis kadar karbohidrat menurut
metode by difference.
8

Analisis Bilangan TBA (Metode Tarladgis (1960), dikutip oleh Andarwulan


et al. (2011))

Sebanyak 10 gram tepung tempe disuspensikan dengan 50 mL akuades


menggunakan waring blender selama dua menit. Suspensi kemudian dipindahkan
secara kuantitatif ke labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 mL akuades.
Sebanyak 2,5 mL HCl 4 M ditambahkan sampai pH turun menjadi 1,5. Batu didih
dan vaselin secukupnya juga ditambahkan, kemudian labu destilasi dipasang pada
alat destilasi.
Destilasi dilakukan pada suhu 90oC selama 10 menit sampai diperoleh 50
mL destilat. Sebanyak 5 mL destilat kemudian dipipet ke dalam tabung reaksi
bertutup. Setelah itu, ditambahkan 5 mL pereaksi TBA, tabung reaksi ditutup, di-
vortex, dan dipanaskan di air mendidih selama 35 menit. Selanjutnya tabung
reaksi didinginkan dengan air pendingin selama 10 menit. Absorbansi (D) larutan
diukur pada panjang gelombang 528 nm dengan blanko sebagai titik nol. Blanko
dibuat dengan mencampurkan 5 mL akuades dengan 5 mL pereaksi. Bilangan
TBA diketahui dengan perhitungan sebagai berikut.

Bilangan TBA = 7,8 X D

Prosedur Analisis Sifat Fungsional


Analisis Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air (Metode
Sentrifugasi Anderson, dikutip oleh Muchtadi et al. 1988)

Sebanyak satu gram tepung sampel dimasukkan dalam tabung sentrifus.


Setelah itu ditambahkan 10 mL akuades dan diaduk dengan menggunakan vortex
sampai semua bahan terdispersi secara merata. Selanjutnya tabung disentrifugasi
dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang
diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain, sedangkan tabung
sentrifus beserta isinya dipanaskan dalam oven. Tabung diletakkan dalam oven
yang diatur pada suhu 50 oC selama 25 menit. Akhirnya tabung residu ditimbang
untuk menentukan berat air yang terserap. Dari supernatan yang diperoleh,
diambil sampel sebanyak 2 mL dan dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang
telah diketahui beratnya. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada
suhu 105 oC selama tiga jam. Setelah itu cawan didinginkan dan ditimbang untuk
mengetahui berat padatan kering yang terdapat dalam supernatan.

( ⁄ )
( )

( ⁄ )

Analisis Aktivitas Emulsi (Andualem dan Amare 2013)

Sebanyak dua gram sampel dicampurkan ke dalam 50 mL akuades.


Selanjutnya ditambahkan sebanyak 50 mL minyak pada suhu ruang ke dalam
9

campuran dan kemudian diaduk selama lima menit. Sampel yang teremulsi lalu
dibagi menjadi dua bagian sama banyak (50 mL), dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus, dan masing-masing digunakan untuk menentukan aktivitas emulsi dan
stabilitas emulsi. Penentuan aktivitas emulsi dilakukan dengan sentrifugasi sampel
pada kecepatan 4000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya hasil sentrifugasi dituang
ke dalam gelas ukur 50 mL lalu tunggu selama beberapa menit sampai lapisan
emulsinya stabil. Aktivitas emulsi ditunjukan sebagai presentase dari tinggi
lapisan minyak teremulsi dibandingkan dengan tinggi dari semua lapisan yang
terbentuk.

( )

Analisis Kapasitas Gelasi (modifikasi Andualem dan Amare 2013)

Suspensi sampel tepung tempe dibuat pada konsentrasi 2-25 % dalam lima
mililiter akuades di tabung reaksi bertutup. Sampel kemudian dipanaskan selama
satu jam di dalam penangas air mendidih. Selanjutnya sampel didinginkan secara
cepat di air mengalir. Sampel lalu didinginkan pada suhu 4 oC selama dua jam.
Konsentrasi terendah gelasi ditentukan sebagai konsentrasi ketika sampel tidak
tumpah saat tabung dibalik.

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil analisis sifat fisik, kimia, fungsional, dan organoleptik tepung
tempe hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excel selanjutnya dianalisis
menggunakan sidik ragam (ANOVA) dengan program SPSS 20 for Windows. Jika
hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut
Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan

Penentuan Metode Pembuatan Tepung Tempe

Salah satu tahapan dalam pembuatan tepung tempe adalah pengeringan.


Pengeringan merupakan proses mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air
dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas.
Pengolahan bahan pangan dengan metode pengeringan dimaksudkan untuk
mengendalikan laju kerusakan bahan pangan agar diperoleh bahan pangan olahan
kering yang bermutu, aman, dan stabil selama masa penyimpanan (Dewi 2006).
Penentuan metode pembuatan tepung tempe pada penelitian ini diawali dengan
menetapkan suhu pengeringan. Hal ini penting karena suhu pengeringan dapat
berdampak pada perubahan bentuk, sifat fisik, kimia, dan organoleptik, serta
penurunan mutu dari sifat asal bahan yang digunakan (Lubis 2009). Faktor suhu
yang diujikan adalah suhu 60, 70, dan 80 oC. Pengaruh suhu pengeringan terhadap
derajat putih, warna, dan rendemen tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 1.
10

Tabel 1. Perbandingan karakteristik tepung tempe berdasarkan suhu pengeringan


Suhu
Derajat Rendemen
Pengeringan Nilai L Nilai a Nilai b
Putih (%) (%)
(oC)
60 45.63±0.81 75.31±0.88 0.45±0,13 20.46±0.46 23.06±4.84
70 45.96±2.77 75.50±1.46 0.82±0.13 19.47±1.63 23.83±4.82
80 40.00±2.64 72.14±1.48 2.27±0.31 22.78±1.22 24.47±2.38

Hasil menunjukkan bahwa suhu 80 oC menyebabkan tepung tempe


memiliki derajat putih (40.00±2.64 %) dan nilai L (72.14±1.48) yang paling
rendah dibandingkan dengan tepung yang dikeringkan pada suhu 60 dan 70 oC.
Menurut Rizal et al. (2013), semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan
derajat putih bahan. Penurunan derajat putih disebabkan reaksi pencoklatan non
enzimatik akibat bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi. Laju reaksi pencoklatan
meningkat tajam pada suhu yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan proses
pencoklatan semakin cepat terjadi.
Pengaruh suhu pengeringan juga dilihat terhadap karakteristik warna
dengan menggunakan notasi Hunter. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan
tiga parameter warna, yaitu kecerahan (L), warna kromatik (a), dan intensitas
warna (b) (Andarwulan et al. 2011). Nilai a (redness) merupakan kisaran nilai
yang menunjukkan intensitas warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif.).
Nilai b (yellowness) merupakan kisaran nilai yang menunjukkan intensitas warna
biru (b negatif) sampai kuning (b positif) (Purwanto et al. 2013). Apabila melihat
hasil pengamatan terhadap nilai a, suhu 80 oC memberikan pengaruh terhadap
tingginya intensitas redness dibandingkan dengan suhu 60 dan 70 oC. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa suhu 80 oC menyebabkan tepung memiliki
intensitas warna merah yang paling besar. Hasil pengukuran terhadap nilai b juga
memberikan hasil serupa. Pengeringan pada suhu 80 oC ternyata juga
menyebabkan warna kuning yang paling dominan di antara tepung lainnya. Nilai a
dan b yang semakin besar berpengaruh pada rendahnya nilai L dan derajat putih.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2006) bahwa semakin tinggi suhu
pengeringan yang digunakan maka semakin gelap pula warna tepung tempe yang
dihasilkan. Alasannya karena proses pengeringan yang berlangsung cepat pada
suhu tinggi menyebabkan perubahan warna yang lebih banyak daripada
pengeringan pada suhu dan kecepatan yang lebih rendah (Fellows 1990 di dalam
Dewi 2006). Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan suhu 80 oC
paling tidak baik untuk digunakan sebagai suhu pengeringan tepung tempe.
Berdasarkan hasil pada Tabel 1, karakteristik kecerahan (L) dan derajat
putih paling tinggi dihasilkan oleh tepung dengan suhu pengeringan 70 oC. Selain
itu, pertimbangan akan efisiensi waktu pengeringan dan pemakaian energi panas
juga turut mendukung pemilihan suhu tersebut. Suhu 70oC menurut metode
Bastian et al. (2013) adalah suhu terpilih karena waktu pengeringannya hanya
berlangsung selama 4-4,5 jam dibandingkan suhu 60 oC yang berlangsung selama
5-5,5 jam.
Proses yang juga tidak kalah penting dalam pembuatan tepung tempe
adalah blansir. Blansir merupakan tahap pengolahan yang penting pada bahan
yang akan dikeringkan. Blansir adalah proses memanaskan bahan mentah selama
11

beberapa menit pada suhu mendekati air mendidih atau tepat pada suhu air
mendidih. Dalam proses pengeringan, blansir dimaksudkan untuk mencegah
perubahan akibat aktivitas enzim, serta mematikan dan mengurangi mikroba yang
ada di permukaan bahan (Dewi 2006). Perlakuan blansir mampu menginaktivasi
enzim sehingga tidak merangsang reaksi metabolisme yang menyebabkan
perubahan warna dan timbulnya bau tidak enak (Ikrawan 2004). Akan tetapi,
karena perubahan warna yang terjadi pada pembuatan tepung tempe bukan
disebabkan reaksi enzimatis maka perlu diketahui apa ada pengaruh lama blansir
terhadap karakteristik derajat putih dan warna dari tepung tempe.
Suhu blansir yang digunakan adalah 99±1 oC dengan metode perebusan.
Suhu ini sudah memenuhi syarat untuk mematikan mikroba target pada tempe,
yaitu kapang Rhizopus, yang tidak dapat hidup di atas suhu 42oC (Dewi 2006).
Lama waktu yang digunakan untuk blansir bervariasi antara 3-15 menit. Pengujian
ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan lama blansir terhadap karakteristik
(derajat putih dan warna) tepung tempe yang dihasilkan pada suhu pengeringan
70oC. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh lama blansir terhadap derajat putih dan warna tepung tempe
Lama blansir Derajat putih
Nilai L Nilai a Nilai b
(menit) (%)
3 46.94±2.43 73.32±0.01 0.66±0.01 17.66±0.01
5 47.06±1.08 76.22±0.02 0.82±0.00 18.62±0.01
10 44.68±0.00 76.34±0.01 0.95±0.01 20.34±0.02
15 44.50±2.55 76.10±0.01 0.86±0.01 21.24±0.01

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu blansir akan


semakin rendah derajat putihnya, namun akan semakin tinggi kecerahannya (nilai
L) sampai menit ke-10. Lama waktu blansir memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap nilai a dan b. Hasil ini sesuai dengan penelitian Isnaini dan Aniswatul
(2010) bahwa lama blansir memiliki pengaruh nyata terhadap warna produk.
Blansir selama tiga dan lima menit menyebabkan intensitas warna merah dan
kuning yang lebih rendah sehingga berpengaruh terhadap tingginya derajat putih.
Sebaliknya, blansir selama 10 dan 15 menit memperkuat intensitas warna merah
dan kuning. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi blansir, yaitu untuk
mempertajam warna alami bahan pangan (Purwanto et al. 2013). Terdapat
perbedaan hasil terbaik antara karakteristik derajat putih dan kecerahan. Nilai
derajat putih tertinggi (47.06±1.08 %) dihasilkan dari blansir selama lima menit
sedangkan nilai kecerahan tertinggi (76.34±0.01) dihasilkan tepung yang diblansir
selama 10 menit. Meskipun demikian, blansir selama lima menit kemudian dipilih
karena menghasilkan derajat putih yang paling tinggi dan nilai kecerahan yang
juga tinggi.

Penentuan Parameter Konsentrasi Larutan Blansir

Penentuan konsentrasi larutan blansir menggunakan natrium metabisulfit


sebagai acuan. Hal ini disebabkan natrium metabisulfit merupakan bahan
tambahan pangan yang sering digunakan sebagai pemutih dan pencegah reaksi
12

pencoklatan, baik secara enzimatis maupun non enzimatis, pada bahan pangan,
seperti pada pengolahan gula pasir (Alreza 2012). Selain itu sifatnya efektif, stabil,
dan harganya murah (Rahayu 1997).
USFDA pda tahun 1995 telah memasukkan sulfur dioksida dan beberapa
garam sulfit lainnya sebagai GRAS (21 CFR 182), tetapi tidak boleh digunakan
dalam daging atau pangan sumber thiamin, buah, dan sayuran segar. Regulasi
penggunaan sulfit pada makanan berbeda-beda untuk setiap negara. FDA
mengatur batas maksimum penggunaan SO2 pada makanan yang dikeringkan
sebesar 2000-3000 ppm. Batas maksimum residu SO2 dalam produk tepung
maksimum 70 mg/kg menurut Peraturan KBPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang
Batas Maksimum Penggunaan BTP Pengawet.
Konsentrasi natrium metabisulfit yang diujikan adalah 0; 0,1; dan 0,3 %.
Konsentrasi tersebut dipilih mengingat proses blansir yang hanya dilakukan dalam
waktu singkat, di mana tidak 100 % senyawa sulfit akan terserap tempe, dan
adanya proses pengeringan. Kelebihan sulfur dioksida dapat hilang selama proses
pengeringan. Dengan demikian konsentrasi larutan blansir yang tinggi sepertinya
tidak akan meninggalkan residu SO2 yang melewati batas maksimum regulasinya.
Tepung tempe yang dihasilkan selanjutnya dianalisis derajat putih dan nilai L, a, b.
Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi larutan Na-metabisulfit terhadap derajat putih dan


warna tepung tempe
Konsentrasi Derajat Putih
Nilai L Nilai a Nilai b
(%) (%)
0 45.26±0.19 79.84±0.01 0.02±0.01 23.40±0.00
0.1 50.72±0.13 80.26±0.01 0.22±0.05 20.68±0.01
0.3 50.04±0.19 80.64±0.00 0.13±0.01 21.58±0.00

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa konsentrasi larutan blansir


mempengaruhi intensitas derajat putih, nilai L, a, dan b tepung tempe. Semakin
tinggi konsentrasi larutan natrium metabisulfit maka semakin besar kecerahan
tepung tempe. Hal ini disebabkan oleh fungsi sulfit yang dapat menghambat
reaksi pencoklatan dengan cara membentuk ikatan dengan gugus aldehid gula
pereduksi sehingga gugus aldehid tidak memiliki kesempatan untuk bereaksi
dengan asam amino. Dengan demikian sulfit mencegah konversi D-glukosa
menjadi 5-hidroksi metal furfural atau HMF. Senyawa ini merupakan senyawa
antara yang berkontribusi pada pembentukan pigmen melanoidin yaitu pigmen
yang berperan dalam pembentukan warna coklat pada pangan (Purwanto et al.
2013).
Perendaman dengan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap
peningkatan intensitas warna merah pada tepung tempe. Peningkatan intensitas
warna merah sepertinya diakibatkan pigmen alami dalam kedelai yang diperkuat
karena pengaruh blansir. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu
fungsi blansir dapat meningkatkan warna alami bahan pangan (Purwanto et al.
2013). Sebaliknya, perendaman dalam natrium metabisulfit menurunkan intensitas
warna kuning pada tepung sehingga tepung kontrol (0 %) memiliki warna paling
kuning dibandingkan tepung pada perlakuan lainnya.. Larutan natrium
13

metabisulfit dengan konsentrasi 0,1 % terpilih karena memiliki nilai derajat putih
tertinggi dan nilai kecerahan yang tinggi pula.
Berdasarkan hasil uji pendahuluan untuk menentukan suhu pengeringan,
lama waktu blansir, dan konsentrasi larutan blansir yang akan digunakan dalam
pengolahan tepung tempe maka diperoleh metode pembuatan tepung tempe dalam
penelitian ini sebagai berikut. Sebanyak 500 gram tempe diiris tipis menggunakan
slicer lalu tempe diblansir dalam larutan blansir 0.1 % selama lima menit pada
suhu 99±1 oC. Selanjutnya tempe ditiriskan. Kemudian tempe dikeringkan
menggunakan tray drier pada suhu 70 oC selama 4-4.5 jam. Setelah itu tempe
kering digiling menggunakan blender dan diayak menggunakan saringan 40 mesh.
Tepung tempe dikemas dalam pastik polipropilen. Metode pembuatan tepung
tempe secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 2. Dokumentasi proses
pembuatan tepung tempe dapat dilihat pada Lampiran 4.

A1 : tempe kedelai lokal


TEMPE A2 : tempe kedelai impor
(PRG)

Pengirisan
(slicer)
B0 : kontrol
Blansir 0,1% B1:larutan Na-metabisulfit
(5 menit; 99±1oC) B2 : larutan asam askorbat

Pengeringan tray drier


(70oC; 4-4.5 jam)

Penggilingan
(blender)

Pengayakan
(40 mesh)

Pengemasan
(plastik PP)

TEPUNG TEMPE

Gambar 2. Diagram alir metode terpilih pembuatan tepung tempe dengan dua
perlakuan
14

Penelitian Utama

Karakteristik Fisik
Derajat Putih

Derajat putih adalah daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan


bahan. Nilai yang diperoleh adalah perbandingan dengan warna putih barium
sulfat (Nurhayati 2010). Derajat putih suatu produk berkisar antara 0 sampai 100.
Nilai 0 menunjukkan warna hitam sedangkan nilai 100 menunjukkan warna putih
(Rizal et al. 2013). Hasil pengukuran derajat putih tepung tempe pada penelitian
ini berkisar antara 40.54-48.11 %. Derajat putih tertinggi dimiliki oleh tepung
tempe kedelai lokal pada perlakuan kontrol dan yang diblansir menggunakan
larutan natrium metabisulfit 0.1 %, sedangkan derajat putih terendah dimiliki oleh
tepung tempe kedelai PRG dengan blansir menggunakan larutan asam askorbat
0,1 %. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir


terhadap derajat putih tepung tempe
Jenis Kedelai Larutan Blansir Derajat Putih (%)
Kontrol 46.86±1.50d
Lokal Na-metabisulfit 48.11±0.58d
Asam askorbat 44.81±0.26c
Kontrol 44.36±1.28b
PRG Na-metabisulfit 45.33±1.50b
Asam askorbat 40.54±0.29a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Nilai derajat putih tepung tempe berbeda sangat nyata (p<0.01) antarjenis
kedelai dan larutan blansir berdasarkan hasil analisis ragam seperti yang terdapat
pada Lampiran 5. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa tidak ada
interaksi yang terjadi antara variabel jenis kedelai dengan jenis larutan blansir
selama pengolahan tepung tempe. Dapat diketahui bahwa nilai derajat putih
tepung tempe kedelai PRG memiliki kisaran yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan tepung tempe kedelai lokal. Secara umum, tepung tempe kontrol pada
kedelai lokal maupun PRG memiliki derajat putih yang rendah, yaitu kurang dari
50.00%. Rendahnya derajat putih disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non
enzimatis, yaitu reaksi Maillard. Reaksi Maillard dapat terjadi karena adanya
reaksi antara senyawa yang mengandung gugus amin bebas (asam amino, protein,
atau senyawa lain yang mengandung gugus amin) dengan gugus karbonil gula-
gula pereduksi (gula aldosa) dalam bahan pangan, dikatalis dengan adanya
pemanasan, yang dalam hal ini terjadi pada saat proses pengeringan, dan pada
kondisi aktivitas air sebesar 0.50-0.80. Reaksi awal gugus amin dengan gugus
karbonil gula pereduksi menghasilkan senyawa glucosyl amine. Senyawa ini
kemudian melalui Amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-ketose.
Degradasi senyawa ini menghasilkan komponen pigmen melanoidin yang
memberi warna coklat pada produk akhir (Kusnandar 2010). Tahapan reaksi
Maillard secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 3.
15

Gambar 3. Alur reaksi Maillard


(Whistler dan Daniel 1985, dalam Chandra et al. 2013)

Penggunaan natrium metabisulfit cenderung meningkatkan derajat putih


tepung tempe jika dibandingkan dengan kontrol pada kedua jenis kedelai,
meskipun tidak secara signifikan. Mekanisme pencegahan pencoklatan oleh
natrium metabisulfit adalah sebagai berikut. Natrium metabisulfit di dalam air
akan terurai menjadi sulfur dioksida (SO2), ion HSO3-, dan asam sulfit (Frazier
1976, dalam Chandra et al. 2013). Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi Penguraian Natrium Metabisulfit dalam Air

Menurut Braverman (1963) dalam Chandra et al. (2013), mekanisme


penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit adalah reaksi antara
bisulfit dengan gugus aldehid dari gula, sehingga gugus aldehid tidak memiliki
kesempatan untuk bereaksi dengan asam amino. Maka dengan demikian sulfit
akan mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksi metal furfural atau HMF.
Senyawa ini merupakan senyawa antara yang bereaksi dengan gugus amino dan
kemudian membentuk pigmen melanoidin yang menyebabkan timbulnya
pencoklatan. Penghambatan reaksi pencoklatan oleh sulfit dapat dilihat pada
Gambar 5.
16

Gambar 5. Penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit

Peningkatan derajat putih secara signifikan dapat dilakukan dengan


meningkatkan konsentrasi larutan perendam natrium metabisulfit. Sementara itu,
asam askorbat yang diharapkan mampu menjadi anti browning agent ternyata
menurunkan derajat putih tepung tempe secara sangat nyata, baik pada tepung
tempe kedelai lokal maupun PRG. Hal ini terjadi karena asam askorbat
merupakan senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan dan bila terpapar
panas. Asam askorbat merupakan senyawa yang lebih efektif untuk mencegah
pencoklatan enzimatis karena kapasitasnya sebagai antioksidan (Fennema 2007),
sedangkan reaksi pencoklatan yang dialami tepung tempe bukanlah reaksi
pencoklatan enzimatis, melainkan non enzimatis. Dengan demikian yang terjadi
adalah asam askorbat teroksidasi dan terdegradasi karena pengaruh pemanasan
selama blansir dan pengeringan. Menurut Andarwulan dan Sutrisno (2008),
perlakuan panas pada saat pengolahan pangan selama satu jam dapat
menyebabkan kerusakan asam askorbat sebanyak 50 %. Kerusakan asam askorbat
akibat oksidasi sendiri merupakan salah satu penyebab dalam reaksi pencoklatan
non enzimatis (Prangdimurti et al. 2007). Winarno (1986) dalam Chandra et al.
(2013) juga menyebutkan bahwa asam askorbat merupakan suatu senyawa
reduktor dan dapat bertindak sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat
non-enzimatik. Asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam
dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai
secara irreversible dengan membentuk senyawa diketoglutarat dan kemudian
berlangsunglah reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan pada asam askorbat dapat
dilihat pada Gambar 6.
17

Gambar 6. Reaksi pencoklatan pada asam askorbat


(Theander 1980, dalam Chandra et al. 2013)

Warna

Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada bahan
dan produk pangan. Peranan warna sangat nyata karena umumnya konsumen akan
mendapat kesan pertama, baik suka atau tidak suka terhadap suatu produk pangan.
Warna memiliki arti dan peranan penting pada produk pangan sebagai penciri
jenis, tanda-tanda pematangan buah, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat
mutu, pedoman proses pengolahan, dan sebagainya. Analisis terhadap warna
dinyatakan dalam sistem notasi. Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik
dan objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Warna
dinyatakan secara kuantitatif dalam notasi huruf dan atau angka sehingga dapat
dipahami secara konsisten oleh semua pihak (Andarwulan et al. 2011).
Analisis warna pada penelitian ini dinyatakan dalam sistem notasi Hunter,
yaitu L,a,b. Pengaruh interaksi jenis kedelai dengan jenis larutan blansir terhadap
warna tepung tempe disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa blansir
menggunakan natrium metabisulfit dan asam askorbat tidak berpengaruh secara
nyata terhadap nilai L (lightness) namun berpengaruh sangat nyata terhadap nilai a
(redness) dan b (yellowness).
Menurut hasil analisis ragam pada Lampiran 5, pengaruh sangat nyata
yang timbul pada nilai a disebabkan karena faktor jenis kedelai dan larutan blansir
itu sendiri, serta disebabkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut selama
pengolahan. Sementara itu pada nilai b, perbedaan yang ada disebabkan
perbedaan jenis kedelai saja, tidak dipengaruhi jenis larutan blansir, serta tidak
ditemukan adanya interaksi antara kedua faktor uji terhadap intensitas yellowness
tepung tempe. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tepung tempe kedelai
PRG memiliki intensitas warna kuning yang lebih besar daripada tepung tempe
kedelai lokal.
18

Tabel 5. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap warna tepung tempe
Larutan Nilai L Nilai a Nilai b
Jenis Kedelai
Blansir (Kecerahan) (Redness) (Yellowness)
Kontrol 79.96±2.37a 2.13±0.01d 18.42±0.15a
Lokal Na-metabisulfit 80.50±1.62a 2.02±0.02c 18.17±0.20a
Asam askorbat 77.48±4.07a 5.02±0.01f 19.66±0.89a
Kontrol 80.44±0.86a 0.15±0.01b 23.32±0.12b
PRG Na-metabisulfit 80.93±0.93a 0.11±0.01a 21.99±1.82b
Asam askorbat 77.07±2.70a 3.41±0.03e 23.07±0.29b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Penggunaan natrium metabisulfit sebesar 0.1 % dalam larutan blansir tidak


cukup mampu meningkatkan kecerahan tepung tempe, demikian pula dengan
asam askorbat. Penampakan secara umum warna tepung tempe kontrol adalah
kuning, tepung tempe dengan Na-metabisulfit berwarna kuning pucat, dan tepung
tempe dengan asam askorbat berwarna kemerahan. Dokumentasi tepung tempe
hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

A B C
Gambar 7. Tepung tempe kedelai lokal
(A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)

A B C
Gambar 8. Tepung tempe kedelai PRG
(A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)

Warna yang berbeda pada masing-masing perlakuan tidak hanya


disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada tepung tempe,
melainkan turut dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat pada kacang kedelai itu
sendiri. Reaksi yang dimunculkan oleh pigmen kedelai dipengaruhi oleh pH
lingkungannya. Penggunaan asam askorbat dapat menurunkan pH tepung tempe
akibat sifat asam dari senyawa itu sendiri.Kedelai memiliki kandungan flavonoid
19

di dalam bijinya. Senyawa flavonoid yang dikandung kedelai terdiri dari isoflavon,
yang berperan sebagai antioksidan, serta antosianin dan flavonol, yang berfungsi
memberikan warna pada kedelai. Antosianin terakumulasi lebih banyak dan
terekspresi pada kedelai hitam karena adanya peran dari gen I dan gen R yang
bersifat pleiotropik. Kedelai kuning tidak memiliki gen tersebut sehingga
akumulasinya tidak sebanyak pada kedelai hitam dan juga tidak terekspresi.
Senyawa flavonol, yang memberikan warna kuning, lebih terekspresi pada kedelai
kuning (Wirnas et al. 2012).
Pada pH 1-4, antosianin berada pada bentuk terstabilnya yaitu kation
flavilium dan memunculkan warna merah atau ungu, sedangkan pada pH di atas 4,
antosianin terdapat dalam bentuk kalkon yang berwarna kuning (SEAFAST 2012).
Hal ini menunjukkan kenaikan intensitas redness pada tepung tempe dengan
perlakuan asam askorbat dapat dipengaruhi dari menurunnya pH sehingga
mengaktifkan warna merah dari antosianin. Selain itu diketahui bahwa senyawa
asam askorbat dapat mempercepat degradasi antosianin karena asam askorbat
mampu berkondensasi dengan antosianin membentuk senyawa phlobafen yang
berwarna coklat (SEAFAST 2012). Ini berarti penampakan tepung tempe dengan
warna kemerahan merupakan percampuran dari adanya sebagian antosianin yang
membentuk kation flavilium dan phlobafen. Sementara itu tepung tempe dengan
natrium metabisulfit tidak berwarna kemerahan disebabkan pemberian senyawa
sulfit menyebabkan SO2 bereaksi dengan antosianin menghasilkan senyawa tidak
berwarna (SEAFAST 2012).

Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air adalah parameter yang paling umum digunakan sebagai


kriteria untuk keamanan pangan dan kualitas pangan. Aktivitas air adalah
parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana air berpengaruh
pada stabilitas dan keawetan pangan, laju reaksi kimia, aktivitas enzim dan
pertumbuhan mikroba. Semakin tinggi nilai aw akan semakin tinggi pula
kemungkinan tumbuhnya mikroorganisme dalam bahan pangan tersebut.
Aktivitas air diukur secara sederhana menggunakan alat aw-meter. Nilai aw
tersebut dapat berubah bila kelembapan relatif lingkungannya berubah. Nilai aw
berkisar antara 0.0-1.0, yang diperoleh dari rasio antara tekanan uap air (P) pada
kelembapan relatif tertentu dengan tekanan uap murni (Po). Bila aw = 0 maka
bahan bersifat kering mutlak, sedangkan bila aw = 1 maka bahan adalah air murni
(Kusnandar 2010).
Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas air pada enam sampel
tepung tempe. Pengukuran dilakukan pada suhu 30.80 oC. Hasil pengukuran
menunjukkan tepung tempe memiliki nilai aw sebesar 0.583-0.601.
Faktor jenis kedelai, larutan blansir, serta interaksi antarperlakuan jenis
kedelai dan larutan blansir ternyata tidak berpengaruh nyata, menurut hasil
analisis ragam pada Lampiran 5, terhadap aktivitas air tepung tempe yang
dihasilkan. Aktivitas air tepung tempe rata-rata senilai 0.592±0.044. Menurut
Kusnandar (2010), nilai aktivitas air tepung pada umumnya sebesar 0.72. Dengan
demikian hasil penelitian menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan nilai
aktivitas air tepung secara umum. Nilai aw yang rendah berkorelasi dengan
kestabilan dan keawetan produk pangan selama penyimpanan. Ini dapat dijelaskan
20

dalam kurva hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan pada
Gambar 9.

Tabel 6. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap


aktivitas air tepung tempe
Jenis Kedelai Larutan Blansir Aktivitas Air
Kontrol 0.601±0.033a
Lokal Na-metabisulfit 0.592±0.045a
Asam askorbat 0.583±0.036a
Kontrol 0.585±0.050a
PRG Na-metabisulfit 0.596±0.060a
Asam askorbat 0.596±0.040a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (p>0,05).

Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa kisaran nilai aktivitas air


tepung tempe pada penelitian ini berada pada nilai di mana pertumbuhan mikroba
pembusuk, seperti kapang, khamir, dan bakteri belum terjadi. Ini berarti
kandungan air bebas dalam tepung tempe tidak cukup tersedia bagi pertumbuhan
mikroorganisme tersebut. Dengan demikian, laju kerusakan mikrobiologis pada
tepung tempe terbilang rendah sehingga umur simpannya menjadi lebih lama.

Gambar 9. Hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan
(Anonim 2012)

Gambar yang sama sekaligus menjelaskan beberapa hal yang dapat terjadi
sehubungan dengan aktivitas air. Dapat dilihat bahwa reaksi pencoklatan non
enzimatis, atau pada penelitian ini merupakan reaksi Maillard, dapat berlangsung
pada kisaran aw sebesar 0.2 dan berangsur meningkat hingga aw 0.7. Peningkatan
keberlangsungan reaksi Maillard disebabkan mobilitas reaktan (gula pereduksi
dan gugus amin) lebih mudah terjadi pada kadar air dan aw yang lebih tinggi
(maksimum 0.7). Hal ini menjelaskan mengapa pembentukan warna coklat mudah
terjadi pada proses pembuatan tepung tempe. Sementara itu pada aw lebih dari 0.7,
reaksi Maillard cenderung melambat disebabkan oleh pengenceran reaktan. Gula
pereduksi dan asam amino bereaksi membentuk N-Substituted Glycosylamine dan
membebaskan molekul air. Berdasarkan prinsip kesetimbangan kimia,
21

peningkatan jumlah air, seperti yang terjadi pada pangan dengan aw di atas 0.7,
akan menggeser reaksi ke arah kiri atau menekan pembentukan N-Substituted
Glycosylamine (Kusnandar 2010).
Oksidasi lemak adalah hal yang juga dapat terjadi pada tepung tempe
sehubungan dengan aktivitas airnya. Nilai aw tepung tempe berada pada kisaran di
mana oksidasi lemak mengalami peningkatan reaksi. Hal ini disebabkan hidrasi
air membuka sisi-sisi reaktif makromolekul sehingga memungkinkan terjadinya
reaksi oksidasi (Kusnandar 2010). Hal ini menunjukkan ada resiko timbulnya
ketengikan selama penyimpanan tepung tempe. Pengujian terhadap derajat
ketengikan tepung tempe akan dibahas pada bagian berikutnya.

Karakteristik Kimia
pH

Nilai pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman suatu bahan.


Suatu pH dikatakan normal apabila memiliki nilai 7 sementara bila nilai pH > 7
menunjukkan bahan tersebut memiliki sifat basa dan bila nilainya kurang dari
tujuh menunjukkan sifat asam. pH bernilai 0 menunjukkan derajat keasaman
tertinggi sedangkan nilai 14 menunjukkan derajat kebasaan tertinggi. Asam atau
basa merupakan besaran yang sering digunakan dalam pengolahan pangan, baik di
industri maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai pH tepung tempe berada pada kisaran nilai 5.24-6.54. Hal ini
menunjukkan bahwa tepung tempe tergolong dalam makanan yang bersifat asam
rendah. Asam dalam tepung tempe dihasilkan dari aktivitas proteolitik dan
lipolitik kapang yang membebaskan asam-asam amino dan asam-asam lemak
selama fermentasi kedelai berlangsung. Perlakuan jenis kedelai serta blansir
menggunakan larutan natrium metabisulfit dan asam askorbat berpengaruh
terhadap nilai pH tepung tempe yang dihasilkan. Hasil pengukuran pH tepung
tempe dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap pH tepung tempe
Jenis Kedelai Larutan Blansir pH
Kontrol 6.54±0.04f
Lokal Na-metabisulfit 6.35±0.01e
Asam askorbat 5.45±0.05b
Kontrol 6.06±0.14d
PRG Na-metabisulfit 5.72±0.02c
Asam askorbat 5.24±0.04a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Hasil analisis ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa setiap


perlakuan tepung menyebabkan perubahan nilai pH yang berbeda sangat nyata
satu sama lain. Tepung tempe kedelai lokal memiliki pH (6.54±0.04) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kedelai PRG (6.06±0.14). Menurut GMO Compass
(2010), kedelai dengan rekayasa genetik memiliki kandungan asam oleat yang
lebih tinggi (86 %) serta diperkaya dengan asam amino metionin dan beberapa
asam lemak lainnya. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH pada tepung tempe
kedelai PRG lebih rendah daripada tepung tempe kedelai lokal. Perlakuan blansir
22

menggunakan larutan natrium metabisulfit menurunkan pH pada tepung tempe


kedelai lokal dan PRG. Penurunan pH dapat disebabkan adanya disosiasi asam
sulfit selama pengolahan yang berkontribusi terhadap pengikatan ion H+ pada
sampel. Asam sulfit adalah zat antara yang terbentuk ketika garam-garam sulfit
dilarutkan di dalam air. Asam sulfit lebih mudah terdisosiasi pada pH lingkungan
yang mendekati netral (Wicaksono 2007). Perlakuan blansir dengan menggunakan
asam askorbat jelas menurunkan nilai pH tepung tempe menjadi 5.45 dan 5.24
karena asam askorbat merupakan asam organik larut air yang mampu berdifusi ke
dalam tempe ketika blansir berlangsung akibat adanya perbedaan konsentrasi
antara larutan blansir dengan kandungan air di dalam tempe.
Nilai pH dapat menjadi salah satu karakteristik intrinsik yang dominan
mempengaruhi potensi bahaya pada pangan, selain aktivitas air. Berdasarkan
klasifikasi US-FDA dengan mengacu pada nilai pH dan aw, bahan pangan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan menurut tingkat potensi bahayanya.
Kelompok pertama adalah bahan pangan dengan nilai aw > 0.85 dan pH > 4.5.
Bahan pangan ini memiliki potensi bahaya yang tinggi (high, H), sering disebut
potentially hazardous foods, dengan karakteristik basah dan tidak asam.
Kelompok kedua adalah bahan pangan dengan (i) nilai aw > 0.85 tapi pH < 4.5
atau (ii) nilai aw < 0.85 tapi pH > 4.5. Kelompok ini merupakan kelompok dengan
potensi bahaya medium (M). Kelompok M pertama, bahan pangan basah tetapi
asam, disebut sebagai acidified foods atau pH-controlled foods. Kelompok M
kedua, bahan pangan kering tapi asam, disebut sebagai aw-controlled foods.
Kelompok ketiga adalah kelompok pangan kering dan asam (aw < 0.85 dan pH
<4.5), umumnya relatif awet dan potensi bahayanya rendah (L) (Hariyadi 2009).
Diketahui tepung tempe yang dihasilkan memiliki pH sebesar 5.24–6.54
dengan aw sebesar 0.582-0.601. Ini berarti tepung tempe masuk pada kategori
pangan dengan dengan potensi bahaya medium II (tidak asam dan kering). Produk
pangan berasam rendah memiliki resiko ditumbuhinya mikroba patogen. Hal ini
disebabkan mikroba patogen pada umumnya menginginkan kondisi pH
pertumbuhan yang mendekati kisaran pH netral. Selain itu resiko germinasi spora
Clostridium botulinum juga terjadi. Clostridium botulinum adalah bakteri
pembentuk spora yang menyukai kondisi pangan berasam rendah, dapat hidup
pada kondisi anaerobik, dan menghasilkan toksin botulin yang mematikan bila
dikonsumsi oleh manusia. Akan tetapi karena tepung tempe memiliki aw yang
rendah, tidak perlu dilakukan proses sterilisasi komersial terhadap produk. Proses
sterilisasi komersial dilakukan apabila produk memiliki aw tinggi karena C.
botulinum dapat tumbuh dengan baik pada aw tinggi (Kusnandar 2010). Proses
termal dengan target 6 D sudah dirasa cukup jika dilakukan (Hariyadi 2009).
Dengan demikian hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan resiko kerusakan
mikrobiologis pada tepung tempe, selain dengan proses termal, adalah
memperhatikan kebersihan dan kerapatan kemasan, serta kondisi ruang
penyimpanan tepung sehingga kontaminasi mikroba tidak banyak terjadi.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
Analisis dilakukan untuk melihat pengaruh jenis kedelai terhadap komposisi gizi
23

masing-masing tepung. Komposisi kimia dalam basis kering, kecuali kadar air,
dari tepung tempe ini dinyatakan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir


terhadap analisis proksimat tepung tempe
Kadar Kadar Kadar
Jenis Larutan Kadar air Kadar Abu
Protein Lemak Karbohidrat
Kedelai Blansir (%bb) (%bk)
(%bk) (%bk) (%bk)
Kontrol 4.30±0.36b 2.36±0.01b 46.98±0.11c 24.39±1.55a 26.25±1.55b
Na-
4.29±0.19b 2.52±0.02b 47.02±0.05c 23.06±0.24a 27.40±0.27b
Lokal metabisulfit
Asam
3.94±0.16b 2.32±0.01b 46.81±0.38c 24.27±0.31a 26.96±0.63b
askorbat
Kontrol 3.33±0.12a 1.65±0.89a 42.99±0.12b 33.79±0.52b 21.50±0.80a
Na-
3.11±0.25a 1.39±0.18a 41.81±0.29a 33.75±0.36b 22.34±0.80a
PRG metabisulfit
Asam
2.99±0.45a 1.26±0.09a 41.42±0.37a 33.77±0.16b 23.55±0.24a
askorbat
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0.01).

Kandungan air pada bahan pangan sangat bervariasi. Keberadaan air


dalam bahan pangan sering dihubungkan dengan mutu bahan pangan, sebagai
pengukur bagian bahan kering atau padatan, penentu indeks kestabilan selama
masa penyimpanan, serta penentu mutu organoleptik terutama rasa dan
keempukan. Jumlah absolut air yang terdapat dalam pangan sebagai komponen
pangan dinyatakan sebagai kadar air (Andarwulan et al. 2011). Hasil analisis
menunjukkan kadar air tepung tempe berkisar antara 2.99-4.30 %. Berdasarkan
hasil analisis ragam pada Lampiran 6 diketahui bahwa interaksi jenis kedelai dan
larutan blansir tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tepung tempe. Jenis
kedelai sebagai bahan baku memberikan pengaruh sangat nyata terhadap variasi
kadar air pada tepung tempe yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Akubor et al. (2013) bahwa perbedaan nilai kadar air yang terjadi dipengaruhi
oleh perbedaan jenis dan varietas bahan baku, serta proses penyimpanan. Dapat
diketahui bahwa kadar air tepung tempe kedelai PRG lebih rendah jika
dibandingkan dengan tepung tempe kedelai lokal. Apabila nilai-nilai ini
dibandingkan dengan standar kadar air beberapa tepung lainnya (mengingat
tepung tempe belum memiliki Standar Nasional Indonesia), seperti tepung sagu
(BSN 2008), tepung beras (BSN 2009), tepung terigu (BSN 2009), dan tepung
tapioka (BSN 1994) dengan batas maksimum 13-15 %, maka kadar air tepung
tempe memenuhi standar mutu. Kadar air tepung yang rendah dapat meningkatkan
umur simpannya dengan mencegah pertumbuhan kapang dan menekan reaksi
biokimia yang berlangsung karena ketersediaan air bebas (Omimawo dan Akubor
2012). Hal ini berhubungan dengan karakter aktivitas air tepung yang juga rendah.
Hubungan antara kadar air dan aktivitas air bahan pangan dinyatakan dalam kurva
isoterm sorpsi air yang berbentuk sigmoid dan bentuknya bervariasi pada berbagai
jenis bahan pangan. Secara umum, semakin rendah aw maka semakin rendah pula
kadar air kesetimbangannya. Telah diketahui dari Tabel 6 bahwa aw tepung tempe
bernilai rendah dan telah dibahas sebelumnya juga bahwa aw yang rendah
berkorelasi dengan kestabilan bahan pangan selama penyimpanan.
24

Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dalam suatu bahan pangan


dan jumlahnya bervariasi tergantung jenis mineral dengan komposisi
bagaimanakah yang tersusun dalam bahan pangan tersebut. Analisis kadar abu
sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas gizi suatu bahan pangan dan
digunakan pula sebagai indikator mutu pangan lain (Andarwulan et al. 2011).
Kadar abu tepung tempe berkisar antara 1.26-2.61 %. Interaksi antara jenis
kedelai dengan jenis larutan blansir tidak berpengaruh nyata menurut hasil analisis
ragam pada Lampiran 6. Variasi kadar abu antarperlakuan dipengaruhi secara
sangat nyata oleh kandungan mineral dari jenis kedelai asal. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa kadar abu tepung tempe kedelai lokal (2.40 %) lebih
besar dibandingkan kedelai PRG (1.43 %). Ini sesuai dengan penelitian Yuwono
et al. (2012) bahwa kadar abu kedelai lokal, kecuali varietas Pangrango, memang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kedelai impor. Kandungan abu atau mineral
dalam tepung tempe berasal dari besi, tembaga, dan seng yang masing-masing
nilainya 9.39; 2.87; dan 8.05 mg dalam 100 gram tempe (Lestari 2011). Selain itu
kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang dapat menguraikan asam
fitat menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat merupakan senyawa pada kotiledon
kacang-kacangan yang dapat menghalangi proses penyerapan mineral dalam
tubuh. Asam fitat itu sendiri mengandung 70 % fosfor (Sunaryanto 2014). Dengan
terurainya asam fitat, mineral-mineral seperti besi, kalsium, magnesium, dan seng
meningkat jumlah dan bioavalabilitasnya.
Protein merupakan makronutrien yang diunggulkan dalam produk berbasis
kedelai. Kandungan total protein dalam dari suatu bahan pangan disebut kadar
protein. Pengetahuan mengenai kandungan protein dalam pangan penting untuk
keperluan pelabelan gizi, mengetahui sifat fungsionalnya, dan penentuan sifat
biologis protein (Andarwulan et al. 2011). Kadar protein yang terdapat dalam
tepung tempe berkisar antara 41.42-47.02 %. Tingginya kandungan protein dalam
tepung tempe didukung dengan kandungan asam amino, terutama asam amino
esensial, yang juga tinggi pada tempe sebagai produk intermediet. Asam amino
esensial tersebut ialah sistin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin,
triptofan, dan valin (Sunaryanto 2014). Kadar protein tepung tempe kedelai lokal
(46.80 %) lebih tinggi nilainya jika dibandingkan tepung tempe kedelai PRG
(42.98 %). Hal ini dapat disebabkan adanya modifikasi protein yang dilakukan
pada kedelai PRG (GMO Compass 2010) sehingga menurunkan kadar protein
total dari bahan baku kedelai itu sendiri. Selain itu dapat pula disebabkan masa
simpan kedelai impor dari saat dipanen hingga dipasarkan di Indonesia yang lebih
lama daripada kedelai lokal. Masa simpan yang lama ini menyebabkan penurunan
kandungan protein dalam bahan baku (Ginting et al. 2009). Hal ini disebabkan
sebagian protein mengalami degradasi secara kimia maupun fisik sehingga protein
berubah struktur dan kehilangan aktivitasnya. Faktor kimia penyebab degradasi
protein berupa air, pH, dan suhu selama penyimpanan sedangkan faktor fisik
berupa kegiatan mekanik seperti benturan. Interaksi antara jenis kedelai dan jenis
larutan blansir memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan kadar protein jika
dibandingkan dengan kontrol pada tepung tempe kedelai PRG namun tidak pada
tepung tempe kedelai lokal.
Sama seperti zat gizi lainnya, kandungan lemak dalam pangan juga
bervariasi kadar dan komposisinya. Analisis kadar lemak dapat memberikan
informasi mengenai ketersediaan lemak yang dapat diaplikasikan untuk berbagai
25

kebutuhan. Lemak yang berada dalam tepung tempe tergolong dalam lemak nabati
karena sumbernya berupa kacang kedelai. Secara umum, lemak nabati
mengandung lemak tidak jenuh yang relatif tinggi sehingga cenderung tidak stabil
terhadap oksidasi (Andarwulan et al. 2011). Berdasarkan hasil analisis ragam
pada Lampiran 6 dapat diketahui bahwa interaksi jenis kedelai dan larutan blansir
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak tepung tempe. Perbedaan kadar
lemak pada keenam jenis tepung dipengaruhi oleh kadar lemak dalam kedelai.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuwono et al. (2012) dan Ichsani (2013)
menunjukkan bahwa kedelai lokal memang memiliki kadar lemak yang lebih
rendah daripada kedelai impor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini. GMO
Compass (2010) menyatakan bahwa pada kedelai PRG dilakukan pemerkayaan
asam lemak oleat hingga 86 % dan penambahan sejumlah asam lemak lainnya.
Penambahan asam lemak inilah yang meningkatkan kadar lemak secara
keseluruhan pada tepung sebagai produk akhir.
Lemak merupakan lipid sederhana dari ester gliserol yang disusun oleh
asam lemak dan gliserin. Dalam struktur lemak, molekul gliseril mengikat tiga
rantai asam lemak dan kemudian membentuk senyawa ester yang bersifat non
polar. Semakin banyak ester gliserol yang terbentuk maka semakin banyak
kandungan lemak dalam bahan pangan. Mekanisme pembentukan lemak dapat
dilihat pada Gambar 10. Asam lemak yang terdapat pada tepung tempe secara
umum sama dengan yang terdapat dalam tempe. Proses fermentasi kedelai
menjadi tempe menyebabkan terjadinya peningkatan derajat ketidakjenuhan pada
lemak. Asam lemak dominan tersebut ialah asam oleat dan asam linolenat
sementara asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan (Lestari
2011).

Gambar 10. Reaksi pembentukan lemak

Karbohidrat merupakan komponen bahan pangan yang merupakan sumber


energi utama dan serat makanan yang mempengaruhi proses fisiologi tubuh. Hasil
analisis menunjukkan kadar karbohidrat tepung tempe berkisar antara 21.50-
27.40 %. Adanya pengurangan kadar sejumlah polisakarida, seperti stakiosa dan
rafinosa pada kedelai PRG (GMO Compass 2010) secara tidak langsung turut
menurunkan kadar karbohidrat total dalam tepung. Hal inilah yang menyebabkan
adanya perbedaan signifikan pada kadar karbohidrat tepung antarjenis kedelai
sesuai dengan hasil analisis ragam pada Lampiran 6. Interaksi jenis kedelai dan
larutan blansir tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat tepung tempe.
26

Bilangan TBA

Uji bilangan TBA (thiobarbituric acid) umum digunakan untuk mengukur


tingkat ketengikan lemak/minyak atau produk pangan yang mengandung
lemak/minyak. Tingkat ketengikan menunjukkan seberapa besar kerusakan
lemak/minyak telah terjadi akibat oksidasi. Dalam reaksi oksidasi lemak,
komponen hasil dekomposisi lemak yang dapat terbentuk adalah senyawa turunan
aldehida, yaitu malonaldehid. Keberadaan malonaldehid pada produk
menunjukkan bahwa lemak/minyak di dalamnya telah mengalami oksidasi lanjut.
Senyawa malonaldehid yang terbentuk akan bereaksi dengan pereaksi TBA dan
menghasilkan pigmen warna merah. Intensitas warna merah ini diukur secara
spektroskopis pada panjang gelombang 528 nm. Hasil pengukuran yang diperoleh
dinyatakan sebagai bilangan TBA yang nilainya setara dengan jumlah
malonaldehida pada contoh. Semakin tinggi bilangan TBA maka semakin tinggi
tingkat oksidasi lemak/minyak (Kusnandar 2010).
Tepung tempe merupakan tepung dengan kadar lemak yang cukup tinggi
(23.06–33,79 %) serta memiliki nilai aw yang masuk dalam rentang di mana reaksi
oksidasi lemak dapat berlangsung. Hal ini memungkinkan terjadinya oksidasi
lemak selama penyimpanan tepung. Hasil analisis bilangan TBA tepung tempe
yang telah disimpan selama satu dan tiga bulan dapat dilihat pada Gambar 11.

3,5000
3,0000
*3.0000
2,5000
(mg MDA/kg tepung)

2,0000
Bilangan TBA

1,5000 Lama Simpan 1 bulan


1,0000 Lama Simpan 3 bulan
0,5000
0,0000
A1B0 A1B1 A1B2 A2B0 A2B1 A2B2
Perlakuan *Balai Pascapanen (2000)
Keterangan :
A1B0 : kedelai lokal – kontrol A2B0 : kedelai PRG – kontrol
A1B1 : kedelai lokal – Na-metabisulfit A2B1 : kedelai PRG– Na-metabisulfit
A1B2 : kedelai lokal – askorbat A2B2 : kedelai PRG – askorbat

Gambar 11. Pengaruh lama penyimpanan terhadap pembentukan bilangan TBA


pada masing-masing perlakuan tepung tempe

Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan bilangan


TBA pada semua perlakuan tepung tempe seiring dengan bertambahnya lama
penyimpanan. Bilangan TBA pada masa simpan satu bulan berkisar antara
0.1521-1.1427 mg MDA/kg tepung, lebih rendah jika dibandingkan dengan
bilangan TBA pada masa simpan tiga bulan yaitu 0.1716-2.9055 mg MDA/kg
tepung. Peningkatan nilai TBA menunjukkan adanya reaksi oksidasi yang
27

berlanjut selama penyimpanan tepung. Oksidasi lemak dipicu oleh keberadaan


beberapa faktor, seperti oksigen, enzim peroksidase, radiasi (cahaya), dan ion
metal polivalen (Kusnandar 2010). Pada penelitian ini, reaksi oksidasi dipicu oleh
keberadaan oksigen akibat seringnya membuka dan menutup kemasan, serta oleh
faktor cahaya karena tepung tempe dikemas dalam plastik bening yang tembus
cahaya. Semakin lama tepung disimpan maka lebih besar kesempatan paparan
oksigen dan cahaya untuk menginduksi oksidasi lemak.
Mekanisme reaksi oksidasi lemak adalah sebagai berikut. Lemak yang
memiliki asam lemak tidak jenuh (R-H) teroksidasi oksigen dan dipicu dengan
adanya panas sehingga ikatan rangkapnya terputus dan oksigen akan menjadi
bagian dari molekul. Pada mulanya, atom karbon yang terdapat ikatan jenuhnya
akan membentuk radikal bebas (R•) dengan membebaskan atom hidrogen (H•)
yang keduanya bersifat reaktif. Tahap ini disebut tahap inisiasi. Selanjutnya,
radikal bebas yang reaktif ini secara cepat akan mengikat oksigen untuk
membentuk radikal peroksida (ROO•). Radikal peroksida juga bersifat reaktif dan
segera akan mengambil atom hidrogen yang terikat pada karbon yang memiliki
ikatan rangkap dari asam lemak lainnya, sehingga terbentuk radikal bebas baru
(R•). Pengikatan hidrogen oleh peroksida akan membentuk hidroperoksida
(ROOH), sedangkan radikal bebas yang baru akan mengulang reaksi serupa
dengan sebelumnya. Tahap ini disebut tahap propagasi. Pada tahap terminasi,
antarradikal peroksida (ROO•) juga dapat berikatan satu sama lain membentuk
ROOR. Hidroperoksida berkontribusi pada pembentukan aroma yang
menyimpang (off-flavor). Hidroperoksida segera mengalami degradasi
membentuk berbagai senyawa volatil, seperti keton, alkohol, dan aldehida (salah
satunya ialah malonaldehid) yang tercium sebagai bau tengik (Kusnandar 2010).
Penghambatan reaksi oksidasi dapat dilakukan dengan menambahkan
antioksidan. Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari
radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil
dari metabolisme oksidatif (Goldberg 2003 dalam Nurkhoeriyati 2007). Senyawa
antioksidan dapat berfungsi sebagai penangkap radikal bebas, pembentuk
kompleks dengan logam-logam prooksidan, dan berfungsi sebagai senyawa
pereduksi. Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer
(chainbreaking antioxidant) dan antioksidan sekunder (preventive antioxidant).
Antioksidan primer dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi
bentuk yang lebih stabil. Antioksidan sekunder berfungsi sebagai antioksidan
pencegah yaitu menurunkan kecepatan inisiasi dengan berbagai mekanisme,
seperti melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen, dan penguraian
hidroperoksida menjadi produk-produk nonradikal. Contoh antioksidan yang
memiliki fungsi primer dan sekunder adalah asam askorbat (Gordon 1990 dalam
Kurniawati 2007).
Apabila melihat Gambar 11, penggunaan asam askorbat sebagai larutan
blansir pada pengolahan tepung tempe justru meningkatkan bilangan TBA tepung
pada kedua jenis kedelai maupun kedua lama waktu penyimpanan. Bilangan TBA
untuk tepung tempe kedelai lokal pada masa simpan satu dan tiga bulan adalah
0.4095 mg MDA/kg tepung dan 0.4290 mg MDA/kg tepung sedangkan pada
tepung tempe kedelai PRG adalah 1.1427 mg MDA/kg tepung dan 2.9055 mg
MDA/kg tepung. Padahal menurut Andarwulan dan Koswara (1992) yang dikutip
oleh Nurkhoeriyati (2007), asam askorbat memiliki sifat pereduksi yang kuat
28

karena dipengaruhi adanya struktur enadiol yang berkonjugasi dengan gugus


karbonil dalam cincin lakton dan biasa ditambahkan ke dalam bahan pangan
sebagai antioksidan. Nabet (1996) dalam Nurkhoeriyati (2007) juga
menambahkan bahwa asam askorbat dapat memutuskan reaksi radikal yang
dihasilkan melalui peroksidasi lipid.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam askorbat
menghasilkan bilangan TBA yang tinggi dapat disebabkan asam askorbat yang
sudah rusak terlebih dahulu selama pengolahan pangan bahkan sebelum tepung
masuk ke masa penyimpanan. Menurut Nurkhoeriyati (2007), asam askorbat
bersifat mudah rusak di dalam larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam
seperti Cu dan Fe, serta cahaya. Asam askorbat sangat sensitif terhadap pengaruh-
pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan
garam, pH, oksigen, enzim, katalisator, dan logam. Hariyadi (2009) juga
menyatakan asam askorbat bersifat tidak stabil terhadap panas, cahaya, dan udara.
Batas maksimal kerusakan asam askorbat bahkan mencapai 100 %. Dengan
demikian proses pengolahan tepung tempe mengoksidasi asam askorbat terlebih
dahulu akibat paparan oksigen dan panas terutama saat blansir dan pengeringan.
Hal ini menyebabkan asam askorbat juga kehilangan kemampuannya untuk
mereduksi senyawa radikal yang muncul akibat oksidasi lemak selama
penyimpanan tepung tempe. Selain itu, Kurniawati (2007) menyatakan ketengikan
yang terjadi dapat disebabkan kurangnya konsentrasi antioksidan pada bahan
untuk menghambat oksidasi apalagi dalam proses yang menggunakan suhu tinggi.
Hal ini berarti konsentrasi asam askorbat sebesar 0.1 % yang digunakan sebagai
larutan blansir belum cukup untuk dapat menghambat reaksi oksidasi dalam
pengolahan dan penyimpanan tepung tempe.
Menurut Balai Pascapanen (2000), suatu produk dikatakan tengik apabila
bilangan TBA mencapai 3 mg MDA/kg bahan dan sangat tengik bila mencapai 5
mg MDA/kg bahan. Demikian juga Ketaren (1986) dalam Kurniawati (2007)
menyatakan bahwa bahan pangan telah mengalami ketengikan lanjut apabila telah
mencapai nilai malonaldehid lebih dari 3 mg/kg bahan. Dengan demikian tepung
tempe pada berbagai perlakuan dalam penelitian ini belum masuk kategori tengik
karena bilangan TBA-nya masih di bawah 3 mg MDA/kg bahan. Akan tetapi
khusus pada tepung tempe kedelai PRG dengan asam askorbat sebagai larutan
blansir memiliki bilangan TBA yang sangat tinggi dan jauh berbeda dibandingkan
perlakuan lainnya. Bahkan pada lama simpan tiga bulan, tepung sudah hampir
menyentuh nilai 3 mg MDA/kg bahan. Hal ini mengindikasikan adanya oksidasi
lemak berlebihan pada tepung tempe kedelai PRG. Selain itu didukung pula
dengan hasil analisis proksimat dimana kadar lemak tepung tempe kedelai PRG
lebih tinggi dibandingkan kedelai lokal. Jumlah lemak yang lebih banyak
memungkinkan reaksi oksidasi yang lebih besar terjadi dan tingkat ketengikan
menjadi lebih tinggi.
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko
terjadinya ketengikan yang lebih tinggi terhadap tepung tempe. Penggunaan
alumunium foil atau kemasan gelap dapat diterapkan untuk menghindari oksidasi
yang disebabkan oleh cahaya. Penggunaan oxygen scavenger di dalam kemasan
juga penting untuk menghambat kontak oksigen dengan lemak. Penambahan
antioksidan dengan tujuan menghambat oksidasi lemak juga dapat dilakukan pada
pengolahan tepung tempe. Beberapa jenis antioksidan yang disarankan dalam
29

mencegah oksidasi lemak di antaranya tokoferol, EDTA, BHA, BHT, TBHQ, dan
propil galat (Kusnandar 2010).
Uji bilangan TBA sesungguhnya merupakan uji yang sensitif tetapi tidak
spesifik untuk menganalisis malonaldehid sebagai produk sekunder dari reaksi
oksidasi. Kekurangan metode tersebut menurut Heras et al. (2003) dalam
Kurniawati (2007), TBA bersifat tidak stabil dan mengalami dekomposisi di
bawah kondisi pengujian (dengan adanya pemanasan dan asam keras). Hasil
degradasi tersebut memiliki warna yang sama (terabsorbsi pada panjang
gelombang yang sama) dengan kompleks TBA-malonaldehid. Oleh sebab itu
diperlukan uji lain untuk dapat mengetahui tingkat ketengikan tepung dengan
lebih baik.

Karakteristik Fungsional
Protein dari sumber yang berbeda memiliki sifat fungsional tertentu yang
dapat mempengaruhi karakteristik produk pangan. Sifat fungsional protein ini
berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajiannya yang
mempengaruhi karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, serta
penerimaannya oleh konsumen. Protein dapat berperan sebagai pengemulsi,
pengikat air, pembentuk gel dan kekentalan, penyerap lemak, serta pembentuk
buih. Karakter ini dapat terjadi akibat interaksi protein dengan pelarutnya, disertai
keberadaan ion, protein lain, serta sakarida atau lemak (Kusnandar 2010). Dengan
demikian pengujian terhadap beberapa sifat fungsional tepung tempe dilakukan
mengingat tepung tempe merupakan tepung sumber protein.

Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA)

Indeks Penyerapan Air atau IPA menunjukkan kemampuan produk untuk


mengikat air, sedangkan Indeks Kelarutan Air atau IKA menunjukkan jumlah
partikel produk yang dapat larut dalam air (Harnani 2009). Hasil pengukuran
terhadap IPA dan IKA tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir


terhadap IPA dan IKA tepung tempe
Jenis Kedelai Larutan Blansir IPA (mL/g) IKA (g/mL)
Kontrol 4.23±0.30a 0.0076±0.0021a
Lokal Na-metabisulfit 3.96±0.27a 0.0064±0.0011a
Asam askorbat 3.98±0.15a 0.0053±0.0001a
a
Kontrol 3.99±0.65 0.0080±0.0061a
PRG Na-metabisulfit 3.84±0.57a 0.0063±0.0032a
Asam askorbat 3.48±0.11a 0.0025±0.0019a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (p>0,05).

Hasil menunjukkan bahwa nilai IPA tepung tempe berkisar antara 3.48–
4.23 mL/g. Berdasarkan hasil analisis ragam yang terdapat pada Lampiran 7 dapat
diketahui bahwa nilai IPA tepung tempe tidak berbeda nyata antarperlakuan.
Variasi nilai IPA pada tepung tempe dapat disebabkan perbedaan kandungan
protein pada bahan baku kedelainya. Menurut Kusnandar (2010), konsentrasi
30

protein menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi daya serap air bahan
pangan. Semakin tinggi konsentrasi protein, jumlah air yang terikat juga semakin
meningkat.
Gomez dan Aguilera (1983) di dalam Nurhayati (2010) menyebutkan
bahwa nilai penyerapan air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan
bermuatan, serta kapasitas pembentukan gel dari makromolekul yaitu protein itu
sendiri dan pati yang tergelatinisasi serta terdekstrinasi. Pemanasan hingga 80 oC
menyebabkan gelasi protein di mana air akan terperangkap di dalamnya. Semakin
banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan
produk menyerap air. Kandungan karbohidrat yang lebih tinggi pada kedelai lokal
(Tabel 8) memungkinkan kandungan pati yang lebih banyak tergelatinisasi dan
terdekstrinasi sehingga nilai IPA menjadi lebih besar.
Selain faktor suhu, terdapat dua faktor lainnya yang mempengaruhi IPA,
di antaranya adalah garam dan pH. Penambahan garam diharapkan dapat
meningkatkan nilai IPA karena terjadinya interaksi elektrostatik akibat muatan
listrik dari protein yang diikat oleh ion-ion garam. Hal ini menyebabkan interaksi
antarprotein menurun dan mendorong peningkatan interaksi antara protein dan air
melalui ikatan hidrogen (Kusnandar 2010). Garam yang digunakan pada
penelitian ini adalah natrium metabisulfit sehingga terdapat ion Na+ yang dapat
berikatan dengan muatan listrik protein. Namun dari Tabel 9 diketahui bahwa
penggunaan natrium metabisulfit tidak mengubah IPA tepung tempe dengan
signifikan. Ini berarti jumlah ion Na+ yang terdapat dalam tepung tempe tidak
cukup untuk dipakai berikatan dengan semua muatan listrik protein sehingga tidak
mendorong peningkatan IPA. Sementara itu apabila pH lingkungan menyebabkan
jumlah muatan positif dan negatif protein dalam tepung tempe sama (mencapai
titik isoelektrik) maka interaksi antarprotein menjadi maksimum dan daya ikat air
menjadi minimum. pH isoelektrik untuk masing-masing jenis protein berbeda.
Pada penelitian ini tidak dikaji lebih lanjut jenis-jenis protein yang terdapat dalam
tepung tempe sekaligus titik isoelektriknya.
Indeks kelarutan air (IKA) tepung tempe berkisar antara 0.0025-0.0080
g/mL. Tidak ada pengaruh signifikan yang ditimbulkan dari interaksi parameter
jenis kedelai dengan jenis larutan blansir pada nilai IKA tepung tempe (Lampiran
8). Menurut Khasanah (2003), setelah pati mengalami gelatinisasi maka akan
terjadi degradasi amilosa dan amilopektin menghasilkan molekul yang lebih kecil.
Molekul inilah yang mudah larut dalam air dan meningkatkan nilai IKA. Akan
tetapi nilai IKA tepung tempe tergolong rendah sehingga mengindikasikan bahwa
tepung tempe sulit larut dalam air. Tingginya kadar serat pangan tidak larut dalam
tepung tempe menjadi penyebab rendahnya nilai kelarutan. Komponen yang
berpengaruh pada kelarutan diduga berasal dari serat dan amilosa. Amilosa
merupakan komponen pati yang larut air (Damayanthi 2001).
Nilai IPA dan IKA sangat penting diketahui untuk menentukan jenis
produk yang memang memerlukan pertimbangan nilai IKA dan IPA. Produk
tersebut antara lain makanan bayi, bubuk instan, cake mixer, dan puding. Produk-
produk tersebut memerlukan daya penyerapan dan daya kelarutan yang tinggi
(Harnani 2009). Kemampuan protein untuk mengikat air sangat penting dalam
formulasi makanan. Kapasitas pengikatan ini mempengaruhi daya lekat
(cohesiveness/ adhesiveness), pembentukan film, dan serat. Melihat hasil uji IPA
dan IKA tepung tempe yang rendah maka mungkin perlu dicari teknik
31

pengeringan atau pengolahan lainnya yang dapat meningkatkan porositas tepung


tempe. Menurut Puspitaningtyas (2004), porositas menjadi salah satu faktor yang
turut berpengaruh dalam peningkatan daya serap air.

Aktivitas Emulsi

Sifat emulsifikasi dikaitkan dengan kemampuan menjembatani air dan


lemak akibat kepemilikan area hidrofobik dan hidrofilik protein. Pembentukan
dan stabilitas emulsi sangat penting dalam beberapa sistem pangan, seperti kue
dan salad dressing. Kemampuan emulsi tepung dipengaruhi kandungan protein
dan polisakarida. Protein dapat membentuk dan menstabilkan emulsi dengan
mengurangi tegangan permukaan dan tolakan elektrostatik droplet minyak,
sementara beberapa jenis polisakarida dapat menstabilkan emulsi dengan
meningkatkan viskositas sistem (Eltayeb et al. 2011).
Berdasarkan pengetahuan tersebut, dilakukan uji terhadap aktivitas emulsi
dari tepung tempe sebagai tepung dengan kadar protein tinggi. Aktivitas emulsi
adalah kemampuan protein mengambil bagian dalam pembentukan emulsi dan
dalam menstabilkan emulsi yang baru terbentuk (Kusnandar 2010). Hasil
penelitian terhadap aktivitas emulsi tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir


terhadap aktivitas emulsi tepung tempe
Aktivitas Emulsi
Jenis Kedelai Larutan Blansir
(%)
Kontrol 0.87±0.00
Lokal Na-metabisulfit 0.87±0.00
Asam askorbat 0.87±0.00
Kontrol 0.87±0.00
PRG Na-metabisulfit 0.87±0.00
Asam askorbat 0.87±0.00

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung tempe pada semua perlakuan


memiliki aktivitas emulsi yang sama yaitu sebesar 0.87 %. Nilai ini sangatlah
rendah apabila dibandingkan dengan aktivitas dan stabilitas emulsi tepung terigu,
yaitu 30 %; tepung biji star apple Afrika, yaitu 5.8 % (Akubor et al. 2013);
tepung pigeon pea, yaitu 50 %; serta tepung cowpea, yaitu 52 % (Ahmed et al.
2011). Sifat emulsi tepung tempe yang rendah dapat disebabkan tingginya
kandungan komponen tidak larut, seperti serat kasar, yang dapat menghambat
formasi dan stabilitas emulsi (Eltayeb et al. 2011). Astuti et al. (2000)
menyebutkan bahwa terjadi kenaikan jumlah serat kasar setelah kedelai
mengalami fermentasi menjadi tempe.
Tipe protein juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sifat emulsi
tepung tempe. Untuk memproduksi emulsi yang stabil, harus dipilih protein larut,
memiliki grup bermuatan, dan memiliki kemampuan untuk membentuk film
kohesif yang kuat. Protein larut merupakan sisi aktif yang mendorong
terbentuknya formasi emulsi minyak dalam air (Omimawo dan Akubor 2012).
Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa jenis protein yang banyak terdapat dalam
tepung tempe bukanlah protein larut sehingga aktivitas emulsinya rendah. Selain
itu, pH tepung dapat mempengaruhi kelarutan protein di dalamnya. Penelitian
32

Ahmed et al. (2011) menyatakan bahwa aktivitas emulsi lebih tinggi pada pH
alkali dibandingkan pH asam dengan pH maksimum 8.0 pada beberapa tepung
polong-polongan. Hal ini disebabkan meningkatnya interaksi protein-protein,
yang menurunkan hidrofobisitas permukaan serta muatan dan kelarutan protein.
Sementara itu pH tepung tempe masuk kategori asam, yaitu sebesar 5.24-6.54.
Ahmed et al. (2011) juga menyatakan bahwa rendahnya stabilitas emulsi pada pH
rendah dapat disebabkan partikel koloid membawa muatan listrik yang
menyebabkan stabilitas pada sistem koloid itu sendiri, sama halnya seperti partikel
dalam muatan yang sama saling tolak menolak untuk mencegah presipitasi pada
sistem emulsi.
Sifat emulsi yang rendah dari tepung tempe dapat berpengaruh terhadap
kesesuaiannya dalam sejumlah fungsi seperti menstabilkan sistem koloid dalam
pangan (Akubor et al. 2013). Dengan demikian perlu ditambahkan emulsifier lain
ke dalam pengolahan pangan yang menggunakan tepung tempe sebagai bahan
baku agar dapat membentuk sistem emulsi yang stabil.

Kapasitas Gelasi

Sifat fungsional lain dari protein adalah kapasitasnya untuk membentuk


gel dalam proses pengolahan pangan. Pembentukan struktur gel protein dapat
terjadi pada kondisi yang dapat merusak struktur alami protein, seperti dengan
keberadaan air dan adanya perlakuan panas sehingga protein terdenaturasi. Pada
kondisi ini, protein membentuk matriks gel yang menyeimbangkan interaksi
antara protein-protein dan protein-pelarut dalam bahan pangan. Konsentrasi
terendah gelasi (KTG) didefinisikan sebagai konsentrasi terendah protein di mana
gel akan terbentuk dan tetap bertahan (tidak jatuh) pada posisi tabung terbalik dan
digunakan sebagai indeks kapasitas gelasi. Semakin rendah KTG, maka semakin
baik kemampuan gelasi dari komponen protein dalam bahan pangan (Adebowale
dan Lawal 2003). Konsentrasi terendah gelasi tepung tempe dapat dilihat pada
Tabel 11.

Tabel 11. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap kapasitas terendah
gelasi pada tepung tempe
Least Gelation
Jenis Kedelai Larutan Blansir
Concentration (%)
Kontrol 19.00±0.00a
Lokal Na-metabisulfit 20.50±0.58b
Asam askorbat 20.75±0.50b
Kontrol 19.50±0.58a
PRG Na-metabisulfit 20.50±0.58b
Asam askorbat 21.00±0.00b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Konsentrasi terendah gelasi bervariasi pada jenis tepung yang berbeda.


Menurut Akubor et al. (2013), variasi dalam kemampuan membentuk gel
dipengaruhi rasio protein, karbohidrat, dan lemak yang ada di dalam tepung.
Rasio ketiga zat gizi tersebut berbeda-beda pada setiap jenis kedelai. Hasil analisis
menunjukkan konsentrasi terendah gelasi tepung tempe berkisar antara 19-21 %.
33

Angka ini menunjukkan nilai KTG yang cukup tinggi. Hasil analisis ragam pada
Lampiran 7 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata akibat interaksi
jenis kedelai dan larutan blansir terhadap kapasitas gelasi tepung tempe, namun
jenis larutan blansir mempengaruhi secara signifikan. Menurut Kusnandar (2010),
faktor yang dapat mempengaruhi kapasitas gelasi protein adalah konsentrasi
protein. Kekuatan gel meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi protein.
Telah diketahui sebelumnya kadar protein pada tepung tempe cukup tinggi, yaitu
sebesar 41.43-47.00 % dan terdapat kecenderungan penurunan kadar protein pada
tepung tempe yang diblansir dengan zat anti pencoklatan. Hal inilah yang
menyebabkan terjadi peningkatan pada nilai KTG. Akan tetapi gelasi
sesungguhnya tidak hanya merupakan fungsi dari kuantitas protein dalam bahan
pangan tetapi juga berhubungan dengan jenis protein dan kelarutannya (Andualem
dan Amare 2013). Gelatin dapat membentuk gel dengan konsentrasi yang relatif
rendah, sedangkan protein globular membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Hal ini
berarti protein yang terkandung dalam tepung tempe dapat didominasi oleh
protein globular sehingga menyebabkan tingginya nilai KTG.
Dalam proses gelasi yang diinduksi oleh pemanasan, terdapat dua
mekanisme yang terjadi, yaitu tahap pembukaan (unfolding) atau disosiasi dari
molekul protein dan tahap pengendapan (agregasi) protein di bawah kondisi yang
sesuai. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen
polipeptida uncoiled yang berinteraksi pada titik tertentu membentuk jaringan tiga
dimensi. Formasi gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan
hidrofobik, ikatan Van der Waals, serta ikatan kovalen disulfide, sedangkan
kekuatan gel berhubungan dengan ukuran dan bentuk polipeptida dalam matriks
gel (Kusnandar 2010).
Tepung dengan nilai KTG yang rendah dapat menjadi thickening agent
yang baik dan dapat digunakan dalam pengolahan adonan roti, tahu, pudding, keju,
yoghurt, maupun snack yang membutuhkan pengentalan dan pembentukan gel
(Akubor et al. 2013). Dengan demikian tepung tempe bukanlah tepung dengan
kemampuan thickening yang baik sehingga tidak dapat digunakan sebagai
thickening agent dalam pengolahan pangan. Penambahan bahan lain sebagai
pembentuk gel dan pengental disarankan untuk dilakukan pada pengolahan
pangan yang menggunakan tepung tempe.

Uji Organoleptik

Mutu bahan pangan maupun pangan jadi sangat ditentukan oleh penilaian
indera konsumen. Penilaian tersebut ialah uji organoleptik atau uji indera (sensory
evaluation). Pengujian organoleptik merupakan pengujian yang bersifat subyektif
dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya
penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting
dalam penerapan mutu. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi
kebusukan, penurunan mutu, dan kerusakan lainnya dari produk. Faktor utama
yang dapat mengindikasikan mutu pangan meliputi citarasa, warna, tekstur,
kerenyahan, sifat mikrobiologis, dan sebagainya (Nurhayati 2010).
Pada penelitian ini, tepung tempe pada semua perlakuan diuji secara
organoleptik oleh 16 panelis semi terlatih. Parameter yang diujikan berupa warna,
34

aroma, dan rasa. Hasil penilaian untuk masing-masing parameter terhadap semua
perlakuan tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 12.

Tabel 12. Skor rata-rata penilaian mutu tepung tempe


Larutan Skor Rataan
Jenis Kedelai
Blansir Warna Aroma Rasa
c
Lokal Kontrol 7.9 7.7a 8.6a
Na-metabisulfit 7.7c 7.6a 9.3a
ab
Asam askorbat 6.2 6.8a 8.7a
PRG Kontrol 7.3bc 8.2a 7.9a
bc
Na-metabisulfit 6.7 9.2a 8.3a
Asam askorbat 5.1a 8.6a 7.3a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda nyata (p<0,01).

Warna
9,5
9,0
8,5
8,0
7,5 A1B0
7,0
6,5 A1B1
6,0
5,5 A1B2
5,0
A2B0
A2B1
A2B2
Rasa Aroma

Keterangan :
A1B0 : Kedelai lokal – kontrol A2B0 : Kedelai PRG – kontrol
A1B1 : Kedelai lokal – Na-metabisulfit A2B1 : Kedelai PRG– Na-metabisulfit
A1B2 : Kedelai lokal – askorbat A2B2 : Kedelai PRG – askorbat

Gambar 12. Spider web penilaian mutu organoleptik tepung tempe berbagai
perlakuan

Berdasarkan hasil analisis ragam yang terdapat pada Lampiran 8, penilaian


warna berada pada range skor 5.1-7.9 (netral sampai putih) dengan hasil yang
berbeda sangat nyata terutama pada tepung tempe dengan blansir menggunakan
asam askorbat. Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe kedelai dengan
perlakuan asam askorbat, baik pada kedelai lokal maupun PRG, memiliki warna
paling coklat/gelap dibandingkan keempat tepung tempe lainnya. Hal ini ternyata
sesuai dengan hasil pengukuran derajat putih dan warna dengan menggunakan
instrumen di mana tepung tempe pada perlakuan ini memang memiliki derajat
putih dan kecerahan paling rendah (Tabel 4 dan 5). Dengan demikian dapat
35

disimpulkan bahwa penggunaan asam askorbat tidak berbanding lurus dengan


tujuan awal penelitian yaitu untuk meningkatkan derajat putih dan warna dari
tepung tempe yang dihasilkan. Sementara itu perendaman menggunakan larutan
natrium metabisulfit 0.1 % menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan
kontrol berdasarkan hasil analisis ragam skor penilaian panelis. Hal ini sekaligus
menguatkan kesimpulan sebelumnya bahwa penggunaan natrium metabisulfit
pada konsentrasi 0.1 % tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan derajat putih dan kecerahan tepung tempe.
Penilaian terhadap aroma tepung tempe dibatasi pada skor 1-9 dimana skor
1 menyatakan amat sangat langu sedangkan skor 9 menunjukkan amat sangat
beraroma tempe. Hasil analisis ragam pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa
aroma tepung tempe berada pada range 6.8-9.2 (agak beraroma tempe hingga
amat sangat beraroma tempe). Aroma antartepung tempe tidak berbeda nyata. Hal
ini menunjukkan bahwa perlakuan blansir dengan natrium metabisulfit maupun
asam askorbat tidak mengganggu aroma asli tepung tempe. Aroma tepung tempe
berasal dari hasil perombakan asam linoleat, yang merupakan asam lemak
dominan dalam kedelai, oleh enzim lipoksigenase dan hidroperoksida lyase
menjadi 1-octen-3-ol (Feng et al. 2006) dan bukan karena perombakan oleh
R.oligosporus.
Selanjutnya dilakukan juga penilaian terhadap rasa dari tepung tempe.
Skor penilaian juga berkisar dari 1-9 yang menunjukkan kriteria amat sangat
berasa hingga amat sangat tawar. Berdasarkan hasil analisis ragam, dapat
diketahui bahwa skor penilaian rasa tepung tempe berada pada range 7.3-9.3
(tawar hingga amat sangat tawar). Tepung tempe kedelai PRG dengan asam
askorbat memiliki tingkat ketawaran paling rendah. Hal ini dapat disebabkan
pengaruh asam askorbat yang bersifat asam sehingga turut mempengaruhi rasa
tepung tempe itu sendiri cenderung menjadi lebih asam dan menurunkan tingkat
ketawarannya. Namun secara umum penilaian rasa tepung tempe tidak saling
berbeda nyata satu sama lain.
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan mengetahui penilaian subjektif
dari sisi konsumen dibandingkan dengan penilaian objektif menggunakan
instrumen. Secara umum hasil uji organoleptik mendukung hasil uji instrumen,
terutama dalam hal warna. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa
tepung tempe pada berbagai perlakuan masih memiliki aroma khas tempe namun
rasa tempe sudah tidak terasa. Ini berarti tepung tempe hasil penelitian sudah
memenuhi aspek dari tempe generasi kedua, yaitu produk olahan lanjutan tempe
dengan bentuk dan rasa yang sudah tidak khas tempe. Apabila dilakukan
penentuan terhadap perlakuan tepung tempe terbaik berdasarkan uji organoleptik,
maka tepung tempe terbaik ialah tepung tempe kontrol. Lebih spesifik lagi adalah
tepung tempe kedelai lokal karena nilai preferensi mutu lebih tinggi jika
dibandingkan kedelai PRG. Hal ini ditunjukan dari penilaian terhadap warna yang
masuk kategori putih, dengan aroma khas tempe, dan rasa yang sangat tawar pada
tepung tempe kedelai lokal kontrol. Selain itu jika dihubungkan dengan hasil
analisis bilangan TBA pada Gambar 11, maka tepung tempe kontrol kedelai lokal
juga menunjukkan tingkat reaksi oksidasi lemak yang rendah sehingga derajat
ketengikannya juga kecil.
36

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Metode pembuatan tepung tempe terpilih, berdasarkan uji derajat putih


dan warna, adalah blansir selama lima menit pada suhu 99±1oC dengan
konsentrasi natrium metabisulfit dan asam askorbat sebesar 0.1 %, serta
pengeringan pada suhu 70 oC. Karakter derajat putih dan kecerahan tepung tempe
tidak meningkat dengan penggunaan natrium metabisulfit, sedangkan asam
askorbat menurunkannya secara signifikan pada konsentrasi 0,1 %. Interaksi
perlakuan jenis kedelai dan larutan blansir berpengaruh nyata terhadap nilai a
(redness), derajat keasaman (pH), dan kadar protein tepung tempe, sedangkan
karakter aktivitas air, kadar air, abu, lemak, karbohidrat, indeks penyerapan dan
kelarutan air, aktivitas dan stabilitas emulsi, serta kapasitas gelasi tidak
dipengaruhi secara signifikan. Penilaian warna secara organoleptik berbeda nyata,
namun tidak dengan penilaian aroma dan rasanya. Tepung tempe terbaik dari hasil
uji organoleptik adalah tepung tempe kedelai lokal perlakuan kontrol. Penggunaan
tepung tempe dalam pengolahan pangan perlu ditunjang bahan tambahan pangan
lain agar karakteristik produk akhir menjadi lebih baik.

Saran

Uji densitas kamba perlu dilakukan untuk mengetahui porositas tepung.


Uji kelarutan protein, analisis asam amino, dan serat kasar juga perlu dilakukan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih pasti mengenai pengaruh dan
interaksinya terhadap kualitas sifat fungsional tepung tempe yang rendah. Residu
sulfit perlu diuji untuk faktor keamanan dan uji umur simpan dapat dilakukan
selanjutnya untuk dapat mengetahui masa simpan tepung tempe.

DAFTAR PUSTAKA

Adebowale KO dan OS Lawal (2003). Foaming, gelation and electrophoretic


characteristics of macuna bean (Macuna pruriens) protein concentrate.
Food Chem. 83: 237-246.
Ahmed SH, IAM Ahmed, MM Eltayeb, SO Ahmed, dan EE Babiker. 2011.
Functional Properties of Selected Legumes Flour as Influenced by pH. J of
Agricultural Technology 7(5): 1291-1302.
Akubor PI, Y Danladi, dan OJ Ejike. 2013. Proximate Composition and Some
Functional Properties of Flour from The Kernel of African Star Apple
(Chrysophyllual albidum). International J of Agricultural Policy and
Research 1(3): 62-66.
Alreza R. 2012. Pengaruh Bahan Pelapis Terhadap Karakteristik Kelapa Muda
Siap Saji Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Bogor: IPB.
Andarwulan N dan S Koswara. 2008. Kimia Vitamin. Bogor : PAU-IPB
Andarwulan N, F Kusnandar, dan D Herawati. 2011. Analisis Pangan. Jakarta:
Dian Rakyat.
37

Andualem B dan A Gessesse. 2013. Effects of Salt (NaCl) Concentrations on The


Functional Properties of Defatted Brebra (Millettia ferruginea) Seed Flour.
Middle-East J of Scientific Research 13(7): 889-897.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Methods of
Analysis 16th ed. Washington DC (US): AOAC.
Astawan M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Depok :
Penebar Swadaya.
Astuti M, M Andreanyta, SD Fabien, dan LW Mark. 2000. Tempe, A Nutitious
and Healthy Food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr. 9(4): 322-325.
Bardosono S. 2009. Masalah Gizi di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia
59(1) : 491-494.
Bastian F, E Ishak, AB Tawali, dan M Bilang. 2013. Daya Terima dan Kandungan
Zat Gizi Formula Tepung Tempe Dengan Penambahan Semi Refined
Carrageenan (SRC) dan Bubuk Kakao. J Aplikasi Teknologi Pangan 2(1):
5-8.
[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia. 2013. Jumlah Penduduk Miskin Maret
2013 Mencapai 28,07 Juta Orang. [Internet]
http://www.bps.go.id/?news=1023 (27 Januari 2014).
[BSN]. Badan Standarisasi Nasional. 1994. Standar Nasional Indonesia Tepung
Tapioka. SNI 01-3451-1994
________________________________. 2008. Standar Nasional Indonesia
Tepung Sagu. SNI 3729:2008
________________________________. 2009. Standar Nasional Indonesia
Tepung Beras. SNI 3549:2009
______________________________________. Standar Nasional Indonesia
Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI 3751: 2009
Chandra A, HM Inggrid, dan Verawati. 2013. Pengaruh pH dan Jenis Pelarut pada
Perolehan dan Karakterisasi Pati dari Biji Alpukat. Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bandung: Universitas Katholik
Parahyangan.
Damayanthi E. 2001. Rice Bran Stabilization and γ-Oryzanol Content of Two
Local Paddy Varieties “IR 64” and “Cisadane Muncul”. J Teknologi dan
Industri Pangan 15(1): 11-19.
Dewi PK. 2006. The Effects of Fermentation Period and Drying Temperature to
The Amount of Lysine and The Physico-chemical Characteristics of
Tempeh Powder. [Skripsi]. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
Djuanda V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea batatas)
Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. [Skripsi]. Bogor: IPB.
Eltayeb ARSM, AO Ali, AA Abou-Arab, dan FM Abu-Salem. 2011. Chemical
Composition and Functional Properties of Flour and Protein Isolate
Extracted from Bambara Groundnut (Vigna subterranean). African J of
Food Science 5(2): 82-90.
Faridah DN, F Kusnandar, D Herawati, HD Kusumaningrum, N Wulandari, dan D
Indrasti. 2008. Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan - IPB.
Feng XM, TO Larsen, dan J Schnurer. 2006. Production of Volatile Compounds
by Rhizopus oligosporus during Soybean and Barley Tempeh
Fermentation. Int J Food Microbiol 113(1): 133-141.
38

Ginting, Erliana, SS Antarlina, dan S Widowati. 2009. Varietas Unggul Kedelai


Untuk Bahan Baku Industri Pangan. [Internet]
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3283091.pdf (1 Agustus
2014)
[GMO Compass]. 2010. Soya bean – gene technology : aims of research and
development [Internet] http://www.gmo-
compass.org/eng/database/plants/67.soybean.html (1 Juni 2014).
Hariyadi P. 2009. Thermally Processed Shelf Stable Foods: Penjaminan
Keamanan dan Optimasi Proses [Internet]
http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=55686#.VA7YtcK1ae4 (9
September 2014)
Harnani S. 2009. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Kapasitas Antioksidan
Tepung Tempe Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) Sweet). [Skripsi].
Bogor : IPB.
Ichsani N. 2013. Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tempe yang
Dihasilkan dari Berbagai Varietas Kedelai. [Skripsi]. Bogor: IPB.
Ikrawan Y. 2004. Mengangani Bahan Pangan Beku [Internet] http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/0404/29/cakrawala/penelitian.htm (12 Agustus 2014).
Inayati I. 1991. Biskuit Berprotein Tinggi dari Campuran Tepung Terigu,
Singkong, dan Tempe Kedelai. [Skripsi]. Bogor : IPB.
Khasanah U. 2003. Formulasi, Karakterisasi Fisikokimia dan Organoleptik
Produk Makanan Sarapan Ubi Jalar (Sweet Potato Flakes). [Skripsi].
Bogor: IPB.
Kurniawati M. 2007. Penentuan Formula Antioksidan Untuk Menghambat
Ketengikan pada Bumbu Ayam Gorem Kalasan Selama Satu Bulan.
[Skripsi]. Bogor: IPB.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta : Dian Rakyat.
_______________. Klasifikasi Produk Pangan, Tingkat Resiko, dan Cara
Pengawetannya [Internet]
http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&i
d=107 (9 September 2014)
Lestari DY. 2011. Kandungan Gizi Tempe Beserta Manfaatnya [Internet]
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dewi-yuanita-lestari-ssi-
msc/kandungan-gizi-tempe-beserta-manfaatnya-versi-ringkas.pdf (10
September 2014).
Lubis IH. 2008. Pengaruh Lama dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung
Pandan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Muchtadi TR, P Hariyadi, dan AB Ahza. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi - IPB.
Murni M. 2013. Kajian Penambahan Tepung Tempe pada Pembuatan Kue Basah
Terhadap Daya Terima Konsumen. Ejournal UPN Jawa Timur.
Nurhayati E. 2010. Optimasi Perendaman Asam Askorbat Terhadap Tingkat
Kecerahan dan Kandungan Vitamin C Tepung Bekatul Fungsional.
[Skripsi]. Bogor : IPB.
Nurkhoeriyati T. 2007. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pendugaan Umur
Simpan Minuman Fungsional Susu Skim yang Disuplementasi Tepung
Kedelai Kaya Isoflavon serta Difortifikasi Vitamin C dan E. [Skripsi].
Bogor: IPB.
39

Omimawo IA dan PI Akubor. 2012. Food Chemistry (Integrated Approach with


Biochemcial background) 2nd ed. Agbowo-Nigeria: Joytal printing press.
Palander S, P Laurinen, S Perttil, J Valaja, dan K Partanen. 2006. Protein and
amino acid digestibility and metabolizeable energy value of pea (Pisum
sativum), faba bean (Vicia faba) and lupin (Lupinus angustifolius) seeds
for turkeys of different age. Animal Feed Science and Technology 127: 89-
100.
Prangdimurti E, FR Zakaria, dan NS Palupi. 2007. Modul E-learning Evaluasi
Nilai Biologis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB : Bogor
Purwanto CC, D Ishartani, dan D Rahadian. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia
Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima) Dengan Perlakuan Blanching
dan Perendaman Natrium Metabisulfit (Na2S2O5). J. Teknosains Pangan
2(2): 121-130.
Puspitaningtyas A. 2004. Mempelajari Pembuatan Tepung Labu Jepang
(Cucurbita maxima L.) dan Analisis Sifat Fisikokimia Tepung yang
Dihasilkan. [Skripsi]. Bogor: IPB.
Rahayu R. 1997. Kajian Pengaruh Konsentrasi Larutan Natrium Metabisulfit dan
Suhu Blansir Terhadap Mutu Produk Kering Jamur Merang (Volvariella
volvaceae). [Skripsi]. Bogor: IPB.
Fennema OR. 2007. Food Chemistry Fourth Edition. New York : CRC Press.
Rizal S, SH Sumarlan, dan R Yulianingsih. 2013. Pengaruh Konsentrasi Natrium
Bisulfit dan Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Fisik-Kimia Tepung Biji
Nangka (Artocarpus heterophyllus). J Bioproses Komoditas Tropis 1(2):
1-10.
Rosalina. 2011. Swasembada Kedelai Terancam Gagal [Internet]
http://www.tempo.co/read/news/2011/07/21/090347618/swasembada-
kedelai-terancam-gagal (27 Januari 2014)
[SEAFAST Center]. 2012. Merah – Ungu Antosianin : Pewarna Alami untuk
Pangan [Internet] http://seafast.ipb.ac.id/tpc-project/wp-
content/uploads/2013/03/06-merah-ungu-antosianin.pdf (1 Juni 2014).
Sunaryanto R. 2014. Ada Apa Dengan Tempe? [Internet]
http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/128-ada-apa-dengan-tempe
(10 September 2014)
Wicaksono DA. 2007. Pengaruh Metode Aplikasi Kitosan, Tanin, Natrium
Metabisulfit, dan Mix Pengawet Terhadap Umur Simpan Bakso Daging
Sapi pada Suhu Ruang. [Skripsi]. Bogor : IPB.
Widowati S, Yuniar, ME Christina, dan R Holinesti. 2004. Analisis Kerusakan
Produk Tempe Kedelai. [Laporan]. Bogor : Program Studi Ilmu Pangan,
Pascasarjana IPB.
Wirnas D, Trikoesoemaningtyas, SH Sutjahjo, D Sopandie, WR Rohaeni, S
Marwiyah, dan Sumiati. 2012. Keragaman Karakter Komponen Hasil dan
Hasil pada Genotipe Kedelai Hitam. J. Agron. Indonesia 40(3): 184 – 189.
Yuwono SS, KK hayati, dan SN Wulan. 2012. Karakterisasi Fisik, Kimia, dan
Fraksi Protein 7S dan 11S Sepuluh Varietas Kedelai Produksi Indonesia. J
Teknologi Pertanian 4(1): 84-90.
40

Lampiran 1. Diagram alir proses pembuatan tempe

KEDELAI

Sortasi

Perendaman (3 jam)

Perebusan (100oC; 30-45 menit)

Perendaman (15 jam)

Pengupasan kulit

Pencucian

Penyiraman dengan air panas

Penirisan

Pendinginan (35-40oC)

Peragian (1 g/kg kedelai)

Pengemasan

Inkubasi (36-48 jam)

TEMPE
41

Lampiran 2. Diagram alir proses penetapan metode pembuatan tepung tempe

TEMPE

Pengeringan

60 oC 70 oC 80 oC

TEPUNG
TEMPE

Uji derajat putih


Uji warna

Metode terpilih

Modifikasi lama blansir

3‟ 5‟ 10‟ 15‟

Uji derajat putih


Uji warna

Lama blansir
terpilih
42

Lampiran 3. Form uji organoleptik tepung tempe

UJI RATING SKALA GARIS


Produk : Tepung tempe
Nama : Tanggal :

Petunjuk
Anda akan mendapatkan 3 sampel uji yang akan diberikan secara bersamaan
dengan kontrol. Lakukan penilaian terhadap kontrol mulai dari warna, aroma, dan
rasa. Selanjutnya lakukan penilaian serupa terhadap sampel secara satu per satu.
Anda dilarang membandingkan antarsampel. Tuliskan respon Anda dengan
menandai secara vertikal pada skala garis yang tersedia. Berikan nomor sampel di
bawah tanda garis tersebut. Netralkan lidah Anda dengan menggunakan air putih
seusai mencicipi suatu sampel.

K
Warna

Amat sangat Amat sangat


coklat putih

Aroma K

Amat sangat Amat sangat


tengik aroma tempe

Rasa K

Amat sangat Amat sangat


berasa tawar

Komentar :
43

Lampiran 4. Dokumentasi proses pembuatan tepung tempe

Kedelai mentah Tempe segar

Penimbangan bobot awal tempe Pemotongan tempe dengan slicer

Tempe hasil slicing Proses blansir tempe


44

Tempe setelah diblansir Penyusunan tempe di rak pengering

Tray drier untuk mengeringkan tempe Tempe setelah dikeringkan (flakes tempe)

A B C

Blender untuk menggiling flakes tempe Tepung tempe


A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat
45

Lampiran 5. Hasil analisis ragam karakteristik fisik tepung tempe

1. Uji derajat putih

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Derajat_putih

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 24372.487 6 4062.081 3692.801 .000
Kedelai 30.401 1 30.401 27.637 .002
Blansir 34.876 2 17.438 15.853 .004
Kedelai * Blansir 1.810 2 .905 .823 .483
Error 6.600 6 1.100
Total 24379.087 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)


Derajat_putih
Duncan

Blansir N Subset for alpha = 0.01

1 2

askorbat 4 42.6800
kontrol 4 45.6150
sulfit 4 46.7200
Sig. 1.000 .187

2. Uji warna
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: L

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 75677.308 6 12612.885 2245.058 .000
Kedelai .087 1 .087 .015 .905
Blansir 27.571 2 13.786 2.454 .166
Kedelai * Blansir .505 2 .253 .045 .956
Error 33.708 6 5.618
Total 75711.016 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)


46

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: a

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 90.775 6 15.129 56734.125 .000
Kedelai 10.047 1 10.047 37675.125 .000
Blansir 25.865 2 12.933 48496.906 .000
Kedelai * Blansir .079 2 .039 147.656 .000
Error .002 6 .000
Total 90.776 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

A
Duncan

Subset for alpha = 0.01


Perlakuan N
1 2 3 4 5 6

prg - sulfit 2 .1100


prg - kontrol 2 .1450

lokal - sulfit 2 2.0150

lokal - kontrol 2 2.1250


prg - askorbat 2 3.4100
lokal - askorbat 2 5.0150

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: b

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 5231.505 6 871.918 1223.443 .000
Kedelai 49.005 1 49.005 68.762 .000
Blansir 3.362 2 1.681 2.359 .175
Kedelai * Blansir 1.176 2 .588 .825 .482
Error 4.276 6 .713
Total 5235.781 12

a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)


47

3. Uji aktivitas air

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Aw

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 4.211 6 .702 346.456 .000
Kedelai 1.333E-006 1 1.333E-006 .001 .980
Blansir 5.817E-005 2 2.908E-005 .014 .986
Kedelai * Blansir .000 2 .000 .113 .895
Error .012 6 .002
Total 4.223 12

a. R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .994)


48

Lampiran 6. Hasil analisis ragam karakteristik kimia tepung tempe

1. Uji pH

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: pH

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 419.497 6 69.916 16228.133 .000
Kedelai .576 1 .576 133.789 .000
Blansir 1.934 2 .967 224.393 .000
Kedelai * Blansir .093 2 .046 10.783 .010
Error .026 6 .004
Total 419.523 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

pH

Duncan

Subset for alpha = 0.05


Perlakuan N
1 2 3 4 5 6

PRG - askorbat 4 5.2450

Lokal – askorbat 4 5.4500

PRG – sulfit 4 5.7200

PRG – kontrol 4 6.0600

Lokal – sulfit 4 6.3500

Lokal - kontrol 4 6.5400

2. Uji kadar air

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Kadar_air

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 164.443 6 27.407 910.789 .000
Kedelai 3.193 1 3.193 106.109 .000
Blansir .250 2 .125 4.153 .074
Kedelai * Blansir .033 2 .017 .550 .603
Error .181 6 .030
Total 164.624 12
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
49

3. Uji kadar abu


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar_abu

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 46.892 6 7.815 56.223 .000
Kedelai 2.794 1 2.794 20.097 .004
Blansir .103 2 .052 .371 .705
Kedelai * Blansir .104 2 .052 .374 .703
Error .834 6 .139
Total 47.727 12

a. R Squared = .983 (Adjusted R Squared = .965)

4. Uji kadar protein

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Kadar_protein

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 23838.443 6 3973.074 60626.763 .000
Kedelai 70.956 1 70.956 1082.747 .000
Blansir 1.547 2 .773 11.802 .008
Kedelai * Blansir 1.160 2 .580 8.852 .016
Error .393 6 .066
Total 23838.836 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Kadar_protein
Duncan

Subset for alpha = 0.05


Interaksi N
1 2 3

prg - askorbat 2 41.4200


prg - sulfit 2 41.8050
prg - kontrol 2 42.9850
lokal - askorbat 2 46.8100
lokal - kontrol 2 46.9750
lokal - sulfit 2 47.0150
Sig. .183 1.000 .467
50

5. Uji kadar lemak


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar_lemak

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 10274.492 6 1712.415 6835.762 .000
Kedelai 291.955 1 291.955 1165.449 .000
Blansir 1.140 2 .570 2.276 .184
Kedelai * Blansir 1.026 2 .513 2.049 .210
Error 1.503 6 .251
Total 10275.995 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

6. Uji kadar karbohidrat


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kadar_karbo

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 7365.640 6 1227.607 2383.124 .000
Kedelai 58.212 1 58.212 113.006 .000
Blansir 4.053 2 2.027 3.934 .081
Kedelai * Blansir 1.548 2 .774 1.503 .296
Error 3.091 6 .515
Total 7368.731 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = .999)


51

Lampiran 7. Hasil analisis ragam karakteristik fungsional tepung tempe

1. Uji indeks penyerapan air

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: IPA

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 184.467 6 30.745 146.665 .000
Kedelai .244 1 .244 1.162 .322
Blansir .298 2 .149 .711 .528
Kedelai * Blansir .077 2 .039 .184 .836
Error 1.258 6 .210
Total 185.725 12

a. R Squared = .993 (Adjusted R Squared = .986)

2. Uji indeks kelarutan air


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: IKA

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model .000 6 7.927E-005 5.884 .024
Kedelai 2.083E-006 1 2.083E-006 .155 .708
Blansir 3.102E-005 2 1.551E-005 1.151 .377
Kedelai * Blansir 5.722E-006 2 2.861E-006 .212 .815
Error 8.084E-005 6 1.347E-005
Total .001 12

a. R Squared = .855 (Adjusted R Squared = .709)

3. Uji kapasitas gelasi


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Gelasi

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 4906.625 6 817.771 7850.600 .000
Kedelai .188 1 .188 1.800 .228
Blansir 5.792 2 2.896 27.800 .001
Kedelai * Blansir .125 2 .062 .600 .579
Error .625 6 .104
Total 4907.250 12

a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)


52

Lampiran 8. Hasil analisis ragam karakteristik organoleptik tepung tempe

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor_warna

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 4700.478 21 223.832 100.622 .000
panelis 138.625 15 9.242 4.154 .000
sampel 87.383 5 17.477 7.856 .000
Error 166.837 75 2.224
Total 4867.315 96

a. R Squared = .966 (Adjusted R Squared = .956)

skor_warna
Duncan

Subset for alpha = 0.01


sampel N
1 2 3

prg-askorbat 16 5.1406
lokal-askorbat 16 6.2094 6.2094
prg-sulfit 16 6.6938 6.6938
prg-kontrol 16 7.2594 7.2594
lokal-sulfit 16 7.7281
lokal-kontrol 16 7.9313
Sig. .046 .063 .033

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor_aroma

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 6533.059 21 311.098 63.398 .000
panelis 290.647 15 19.376 3.949 .000
sampel 52.728 5 10.546 2.149 .069
Error 368.029 75 4.907
Total 6901.088 96

a. R Squared = .947 (Adjusted R Squared = .932)


53

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: skor_rasa

Type III Sum of


Source df Mean Square F Sig.
Squares
a
Model 6857.315 21 326.539 55.225 .000
panelis 131.461 15 8.764 1.482 .134
sampel 40.841 5 8.168 1.381 .241
Error 443.465 75 5.913
Total 7300.780 96

a. R Squared = .939 (Adjusted R Squared = .922)


54

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Mustika Aminta lahir pada


tanggal 17 Desember 1992 di Jakarta. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan Togar Marulitua Sibuea, SE dan Etty
Saraswati, SH. Penulis menamatkan pendidikan tingkat
SD di SD Nusa Indah pada tahun 2004, tingkat SMP di
SMPK Mater Dei pada tahun 2007, dan tingkat SMA di
SMAK Mater Dei pada tahun 2010. Pada tahun 2010,
penulis melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI)
dan terdaftar sebagai mahasiswi Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Selama masa studinya, penulis aktif dalam beberapa
organisasi dan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi staff divisi Event Organizer
UKM Lises Gentra Kaheman (2010), bendahara Komisi Pelayanan Khusus UKM
PMK IPB (2011), staff divisi Hubungan Masyarakat dalam seminar The Future
Today II oleh BEM FATETA (2011), staff divisi Sponsorship dalam Lomba
Cepat Tepat Ilmu Pangan XX (LCTIP XX) oleh Himitepa (2012), kepala divisi
Acara dalam BAUR-ACCESS (2012), dan sekretaris Food Day Festival 2013
oleh Himitepa. Penulis pernah menjadi Master of Ceremony dari sejumlah acara
yang dilaksanakan oleh Himitepa maupun Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan. Penulis aktif dalam pertandingan aerobik dan pernah meraih juara I
aerobik dalam Red’s Cup 2013. Penulis memiliki pengalaman kerja sebagai
asisten praktikum Prinsip Teknik Pangan (2013) dan Teknologi Pengolahan
Pangan (2014) di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB serta menjadi
freelance translator di PT Hakindah Internasional (2013). Sebagai tugas akhir,
penulis melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Jenis Kedelai, Natrium
Metabisulfit, serta Asam Askorbat Terhadap Karakterisasi Sifat Fisikokimia,
Fungsional, dan Organoleptik Tepung Tempe” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko
Hermanianto dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.

Anda mungkin juga menyukai