Anda di halaman 1dari 79

SKRIPSI

STUDI PEMBUATAN TEPUNG BIJI KECIPIR (Psophocarpus


tetragonolobus (L) DC) DENGAN METODE PENGGILINGAN BASAH
DAN ANALISIS SIFAT FISIKO-KIMIA SERTA KARAKTERISTIK
FUNGSIONALNYA

Oleh:
YELITA UTAMI PUTRI
F24051923

2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Studi Pembuatan Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus (L) DC) Dengan Metode Penggilingan Basah
dan Analisis Sifat Fisiko-kimia serta Karakteristik
Fungsionalnya
Nama : Yelita Utami Putri
NRP : F24051923

Tanggal lulus : 9 Februari 2010


Yelita Utami Putri. F24051923. Studi Pembuatan Tepung Biji Kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) Dengan Metode Penggilingan Basah dan
Analisis Sifat Fisiko-kimia serta Karakteristik Fungsionalnya. Di bawah
Bimbingan Slamet Budijanto. 2010.

Ringkasan

Golongan tanaman yang telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein


adalah kacang-kacangan. Secara umum masyarakat telah dapat menerima
keberadaannya sebagai bahan konsumsi makanan. Salah satu tanaman yang
memiliki potensi protein yang cukup tinggi adalah kecipir (Psophocarpus
tetragonolobus sp). Kecipir merupakan tanaman di daerah tropis yang dapat
dimanfaatkan dalam setiap bagian tanamannya, terutama biji keringnya yang
mempunyai kandungan protein antara 29.8-39.0% (National Academy of Science,
1975). Namun tanaman ini telah dilupakan oleh banyak orang dan belum
dimanfaatkan secara maksimal.
Dalam usaha pengembangan biji kecipir sebagai bahan makanan ada
beberapa hambatan, antara lain biji yang terlalu keras dan juga pahit langu yang
tajam. Sifat inilah yang menyebabkan biji kecipir kurang disukai, meskipun
kandungan gizinya cukup tinggi. Proses pengolahan perlu dilakukan terlebih dulu
untuk memperoleh manfaat yang maksimum dari penggunaan biji kecipir sebagai
bahan makanan. Salah satu pengolahan yang dapat diterapkan adalah dengan
membuatnya menjadi tepung. Tepung yang dikembangkan dalam penelitian ini
adalah tepung biji kecipir dengan menggunakan metode penggilingan basah.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan meliputi tahap penentuan waktu
perendaman optimal, penentuan waktu perebusan optimal, dan penentuan
komposisi kimia bahan baku. Dari hasil penelitian pendahuluan kemudian
dilanjutkan ke tahapan penelitian utama. Penelitian utama meliputi tahap
pembuatan tepung biji kecipir dan analisis komposisi kimia serta sifat fisikokimia
dan fungsional proteinnya.
Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa pengolahan awal biji
kecipir agar didapatkan biji kecipir yang mudah dikelupas adalah dengan
perendaman selama 18 jam dan perebusan selama 120 menit. Dari biji kecipir
kupas kulit inilah yang akan digunakan pada tahapan penelitian utama. Secara
garis besar tahap pembuatan biji kecipir ini terdiri dari tahap sortasi bahan,
perendaman, perebusan, penggilingan, pengekstrakan dalam suasana basa,
penyaringan, penetapan pH isoelektrik, pengendapan, dekantasi, pengeringan, dan
penggilingan kembali dengan blender kering.
Persentase berat kering hasil analisis proksimat tepung biji kecipir adalah
kadar air sebesar 6.91%, kadar abu 4.02%, kadar lemak 26.63%, kadar protein
46.01%, dan karbohidrat 23.34%. Tepung biji kecipir ini dihasilkan dari bahan
baku (biji kecipir) yang memiliki kadar protein 31.56% (berat kering). Sehingga
nilai recovery proteinnya adalah 41.22%.
Hasil analisis komposisi asam amino menunjukkan bahwa asam amino
dominan dalam biji kecipir adalah asam glutamat (6.37%), prolin (3.61%), leusin
(3.37%), dan lisin (2.79%). Sementara persentase asam amino triptofan (0.37%),
sistein (0.40%), dan metionin (0.61%) adalah yang paling rendah dibanding asam
amino lainnya.
Hasil analisis sifat fisikokimia dan fungsional tepung biji kecipir cukup baik.
Nilai kelarutan maksimum dari tepung biji kecipir ini didapatkan pada saat pH 11
dan nilai kelarutan minimum pada pH 4. Ini berarti titik isoelektrik dari protein
tepung ini adalah ketika pH 4. Nilai densitas kamba dari tepung ini adalah 0.5974
g/ml. Nilai ini sesuai dengan kisaran densitas kamba dari produk tepung-
tepungan. Nilai Particle Size Index tepung cukup tinggi yaitu 81.41%. Nilai ini
artinya sampel tepung biji kecipir yang dihasilkan memiliki ukuran yang halus.
Penampakan fisik berupa warna dari tepung ini adalah cenderung kecoklatan,
sehingga derajat putihnya hanya 60.73%. Hasil analisis sifat-sifat fungsional
protein berupa daya serap air adalah senilai 2.1658 g/g, daya serap minyak 1.1698
g/g, dan daya emulsi 71.25%. Pembentukan gel membutuhkan konsentrasi
minimal 15%. Nilai kapasitas busa tepung ini rendah yaitu hanya 36.00% dengan
stabilitas 29.16%. Dengan mengacu pada hasil analisis tersebut, tepung biji
kecipir ini dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam pengolahan daging
atau produk pangan lainnya yang tidak membutuhkan daya busa yang tinggi.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 7 Juli 1987.


Penulis mengawali masa pendidikannya di TK Putra IV di
tahun 1990 dan pada tahun 1992 di Sekolah Dasar Negeri 4
Pandeglang hingga tahun 1999. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 1
Pandeglang hingga tahun 2002, dan melanjutkan pendidikan
menengah atas di SMU Negeri 1 Serang hingga tahun 2005. Pada tahun yang
sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi
kemahasiswaan, diantaranya adalah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu
dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) serta kepanitiaan lainnya seperti Masa
Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR 2007), Kepanitiaan
Seminar dan Pelatihan HACCP V, dan Masa Perkenalan Fakultas Teknologi
Pertanian.
Sebagai tugas akhir, penulis melakukan kegiatan penelitian di laboratorium
Departemen ITP. Penulis mengambil penelitian dengan judul Studi Pembuatan
Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) Dengan Metode
Penggilingan Basah dan Analisis Sifat Fisiko-kimia serta Karakteristik
Fungsionalnya, di bawah bimbingan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala


karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi
Pembuatan Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC)
Dengan Metode Penggilingan Basah dan Analisis Sifat Fisiko-kimia serta
Karakteristik Fungsionalnya, sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar
Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini penulis telah
mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dan Mama (almh) tercinta, Ibu , kedua Kakak dan Adik , serta seluruh
keluarga penulis yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian dan
pengertian yang amat berharga dan berarti.
2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr., selaku dosen pembimbing yang
banyak memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, M.Si.
atas kesediaannya menjadi dosen penguji.
4. Yuni, Wita, Catherine selaku teman sebimbingan penulis selama
menyelesaikan tugas akhir.
5. Chabibi Asyaba, terimakasih atas semangat, keceriaan, dan kehangatannya
kepada penulis.
6. Sahabat-sahabat penulis, Zakiah, Amel, Venty, Atus, Cany, Veni, Anggun,
Peye, Sina, Nina, dan Mike. Terima kasih atas indahnya waktu yang telah kita
habiskan bersama-sama.
7. Teman-teman di lab, Tuthie, Siyam, Midun, Chacha, Esther, Dina, Tjan, Galih
Eka, Santy, Ola, Arya, Galih Ika, dan Ari T. P. Terimakasih atas bantuan,
kesabaran, dan perhatiannya kepada penulis.
8. Teman-teman ITP 42, Aji, Difa, Harist, Marina, Marcel, Irene, Dion, Yusi,
Dita, dan lain-lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namun

i
tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas kebersamaan selama tiga
tahun ini.
9. Teman-teman satu kontrakan Nasya, Nisa, Kokom, Upi, Zizah, Euis, dan
Nova. Terimakasih telah memberikan kehangatan layaknya keluarga kepada
penulis.
10. Teman-teman Delonix Mba Tyas, Mba Oni, Mba Inge, dan Mba Harini.
Terimakasih atas semangat, nasihat, dan keceriaannya kepada penulis.
11. Teman-teman alumni Smunsa Serang, Eka, Anggara, Teguh, Jaka, Acuy,
Fehmi, Nazrul, dan Nurmalia. Terima kasih atas semangat dan dukungannya
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Dosen-dosen pengajar Departemen ITP yang telah membagikan ilmunya
kepada penulis.
13. Staf UPT, perpustakaan LSI, PITP, PAU terimakasih atas bantuannya kepada
penulis.
14. Teknisi dan laboran ITP, Pak Rojak, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Sobirin, dan
Bu Rub.
15. Teknisi AP4, Pak Hendra, Pak Ujang, dan Mas Djenal. Terimakasih atas
bantuannya selama penulis melakukan penelitian disana.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran
khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2010

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL............................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. TUJUAN................................................................................................ 2
C. MANFAAT............................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KECIPIR................................................................................................ 3
B. KOMPOSISI KIMIA DAN NILAI GIZI KECIPIR............................. 5
C. KENDALA PEMANFAATAN BIJI KECIPIR.................................... 9
D. ANTINUTRISI DAN INAKTIVASINYA........................................... 10
E. TEPUNG KEDELAI.............................................................................. 11
F. SIFAT FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL PROTEIN.................... 12
1. Densitas Kamba............................................................................... 13
2. Particle Size Index (PSI).................................................................. 13
3. Warna dan Derajat Putih.................................................................. 13
4. Komponen Asam Amino................................................................. 14
5. Kelarutan.......................................................................................... 14
6. Daya Serap Air................................................................................. 15
7. Daya Serap Minyak.......................................................................... 16
8. Daya Emulsi..................................................................................... 16
9. Kapasitas dan Stabilitas Busa.......................................................... 17
10. Sifat Gelasi....................................................................... ................ 18
G. PENGGUNAAN SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN DALAM
PRODUK PANGAN.............................................................................. 19

iii
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT............................................................................ 20
B. METODE PENELITIAN....................................................................... 20
1. Penelitian Pendahuluan.................................................................... 23
a. Penentuan Waktu Perendaman Biji Kecipir yang Optimal........ 23
b. Penentuan Waktu Perebusan Biji Kecipir yang Optimal........... 23
c. Penentuan Komposisi Kimia Bahan Baku (Biji Kecipir).......... 23
1) Analisis Kadar Air............................................................... 23
2) Analisis Kadar Abu.............................................................. 24
3) Analisis Kadar Protein......................................................... 25
4) Analisis Kadar Lemak.......................................................... 26
5) Analisis Kadar Karbohidrat................................................. 26
2. Penelitian Utama.............................................................................. 26
a. Pembuatan Tepung Biji Kecipir................................................. 26
b. Perhitungan Nilai Recovery Protein........................................... 27
c. Analisis Asam Amino................................................................ 27
d. Penentuan Kelarutan Protein Tepung Biji Kecipir pada
Berbagai pH............................................................................... 28
e. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Tepung Biji Kecipir...................... 30
1) Densitas Kamba................................................................... 30
2) Particle Size Index (PSI)...................................................... 30
3) Analisis Warna dan Derajat Putih........................................ 30
f. Analisis Sifat Fungsional Protein Tepung Biji Kecipir............. 31
1) Daya Serap Air..................................................................... 31
2) Daya Serap Minyak.............................................................. 31
3) Daya Emulsi......................................................................... 32
4) Kapasitas dan Stabilitas Busa.............................................. 32
5) Penentuan Daya Gelasi........................................................ 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN......................................................... 34
1. Penentuan Waktu Perendaman Biji Kecipir yang Optimal.............. 34
2. Penentuan Waktu Perebusan Biji Kecipir yang Optimal................. 35

iv
3. Penentuan Komposisi Kimia Bahan Baku (Biji Kecipir)................ 36
B. PENELITIAN UTAMA......................................................................... 38
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir....................................................... 38
2. Perhitungan Nilai Recovery Protein................................................. 41
3. Analisis Asam Amino...................................................................... 42
4. Penentuan Kelarutan Protein Tepung Biji Kecipir pada Berbagai
pH..................................................................................................... 43
5. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Tepung Biji Kecipir............................ 45
a. Densitas Kamba......................................................................... 45
b. Particle Size Index (PSI)............................................................ 46
c. Analisis Warna dan Derajat Putih.............................................. 46
6. Analisis Sifat Fungsional Protein Tepung Biji Kecipir................... 47
a. Daya Serap Air........................................................................... 47
b. Daya Serap Minyak.................................................................... 48
c. Daya Emulsi............................................................................... 49
d. Kapasitas dan Stabilitas Busa.................................................... 49
e. Penentuan Daya Gelasi.............................................................. 50
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN...................................................................................... 51
B. SARAN.................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 52
LAMPIRAN....................................................................................................... 56

v
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia bagian-bagian dari tanaman kecipira.................. 6
Tabel 2. Komposisi asam amino esensial pada biji kecipir.......................... 7
Tabel 3. Kandungan beberapa oligosakarida dan monosakarida dalam biji
kecipir dan kacang kedelaia............................................................ 9
Tabel 4. Tipe sifat fungsional yang ditunjukkan dengan fungsional protein
dalam sistem pangan....................................................................... 19
Tabel 5. Hasil pengamatan biji kecipir pada berbagai waktu
perebusan........................................................................................ 36
Tabel 6. Komposisi kimia bahan baku (biji kecipir)..................................... 37
Tabel 7. Komposisi kimia tepung biji kecipir............................................... 41
Tabel 8. Perhitungan nilai recovery protein tepung biji kecipir................... 41
Tabel 9. Hasil pengukuran sifat fisikokimia tepung biji kecipir................... 45
Tabel 10. Hasil pengukuran sifat fungsional protein tepung
biji kecipir....................................................................................... 47

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Buah kecipir (winged bean)........................................................ 3
Gambar 2. Biji kecipir dari polong yang sudah tua....................................... 4
Gambar 3. Bagian-bagian tanaman kecipir yang dapat dimanfaatkan.......... 5
Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian (proses pembuatan tepung biji
kecipir)......................................................................................... 22
Gambar 5. Diagram alir analisis kelarutan protein metode Lowry............... 29
Gambar 6. Diagram nilai rasio penyerapan air biji kecipir pada berbagai
waktu perendaman....................................................................... 34
Gambar 7. Kurva kelarutan protein biji kecipir............................................ 40
Gambar 8. Diagram komposisi asam amino protein biji kecipir................... 43
Gambar 9. Kurva kelarutan protein tepung biji kecipir pada berbagai pH... 44
Gambar 10. Kurva standar kelarutan protein tepung biji kecipir.................... 59

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Hasil pengolahan data rasio penyerapan air pada berbagai
waktu perendaman.................................................................... 49
Lampiran 2. Hasil analisis proksimat bahan baku biji kecipir...................... 58
Lampiran 3. Hasil analisis proksimat tepung biji kecipir............................. 58
Lampiran 4. Hasil analisis kelarutan protein tepung biji kecipir.................. 59
Lampiran 5. Hasil analisis kadar air tepung biji kecipir............................... 60
Lampiran 6. Hasil analisis kadar abu tepung biji kecipir............................. 60
Lampiran 7. Hasil analisis kadar lemak tepung biji kecipir......................... 61
Lampiran 8. Hasil analisis kadar protein tepung biji kecipir........................ 61
Lampiran 9. Hasil analisis densitas kamba tepung biji kecipir..................... 61
Lampiran 10. Hasil analisis Particle Size Index (PSI) tepung biji kecipir ... 62
Lampiran 11. Hasil analisis warna dan derajat putih tepung biji kecipir....... 63
Lampiran 12. Hasil analisis daya serap air tepung biji kecipir....................... 64
Lampiran 13. Hasil analisis daya serap minyak tepung biji kecipir............... 64
Lampiran 14. Hasil analisis daya emulsi tepung biji kecipir.......................... 65
Lampiran 15. Hasil analisa kapasitas dan stabilitas busa tepung biji
kecipir....................................................................................... 65
Lampiran 16. Hasil analisis daya gelasi tepung biji kecipir........................... 66

viii
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia sudah seharusnya
mengandung komponen lemak, protein, karbohidrat, vitamin, mineral, dan
air dalam jumlah cukup dan seimbang. Bahan-bahan ini akan mengalami
metabolisme yang bermanfaat untuk pembentukan tenaga, pertumbuhan, dan
pengaturan proses biologis. Golongan tanaman yang telah lama dimanfaatkan
sebagai sumber protein adalah kacang-kacangan. Secara umum masyarakat
telah dapat menerima keberadaannya sebagai bahan konsumsi makanan.
Salah satu kacang-kacangan yang berpotensi sebagai sumber protein
nabati di Indonesia adalah kecipir. Kecipir merupakan tanaman di daerah
tropis yang mempunyai potensi gizi yang tinggi. Hampir setiap bagian
tanaman dapat dimanfaatkan dan bernilai gizi tinggi, terutama biji keringnya.
Menurut National Academy of Science (1975), kadar protein biji kering kecipir
adalah sekitar 29.8 - 39.0%.
Tanaman kecipir sebenarnya sudah lama dikenal meskipun belum
secara meluas. Umumnya masyarakat belum banyak yang menanamnya untuk
tujuan komersial, hanya ditanam sebagai tanaman pelindung di pekarangan
saja. Buah kecipir juga masih dikonsumsi secara terbatas, misalnya polong
mudanya dikonsumsi sebagai sayuran sedangkan bijinya dikonsumsi setelah
disangrai atau direbus.
Beberapa laporan mengenai potensi produksi tanaman kecipir sudah
mulai dipublikasikan. Hal itu dapat dimaklumi karena nampaknya tanaman
kecipir dapat diandalkan sebagai sumber pangan nabati yang baru disamping
kacang-kacangan lainnya. Ragam bagian tanaman yang lebih banyak untuk
dimanfaatkan ikut menunjang kepopuleran tanaman ini bagi para peneliti.
Selain biji, bagian-bagian tanaman lainnya yang telah dimanfaatkan adalah
polong muda, daun, bunga, dan umbinya.
Biji kecipir merupakan jenis biji-bijian yang terdapat di polong tua
buah kecipir. Komposisi kimia bijinya menyerupai komposisi kimia kacang
kedelai, yaitu sumber protein nabati yang sudah dikenal secara luas. Beberapa

1
penelitian telah menunjukkan bahwa kecipir memiliki kandungan gizi berupa
protein, lemak, sumber energi, dan mineral.
Dalam usaha pengembangan biji kecipir sebagai bahan makanan ada
beberapa hambatan, antara lain faktor antinutrisi, biji yang terlalu keras
sehingga memerlukan waktu pemasakan yang lama, dan juga beany flavor
atau pahit langu yang cukup tajam. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan biji
kecipir kurang disukai, walaupun kandungan gizinya cukup tinggi. National
Academy of Science (1975) melaporkan zat-zat antinutrisi biji kecipir antara
lain anti tripsin, anti kimotripsin, hemaglutinin, tanin, dan kemungkinan
saponin. Biji kecipir harus melalui suatu proses tertentu, yaitu proses
menghilangkan zat antinutrisi yang dikandungnya.
Pengolahan biji kecipir sebagai bahan makanan perlu dilakukan
terlebih dahulu agar dapat diperoleh manfaat yang maksimum bagi yang
mengkonsumsinya. Salah satu pengolahan yang dapat diterapkan adalah
dengan membuatnya menjadi tepung. Tepung biji kecipir ini dibuat dengan
metode penggilingan basah yang dimodifikasi. Menurut Pratama (2008),
proses penggilingan basah memiliki beberapa keuntungan yaitu kemudahan
untuk mencapai derajat kehalusan yang tinggi, mencegah kenaikan suhu bahan
yang terlalu tinggi, dan memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan olahan.

B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan tepung biji kecipir
dengan menggunakan metode penggilingan basah dan menganalisa sifat-sifat
fisiko-kimia dan fungsional tepung biji kecipir tersebut.

C. MANFAAT
Penelitian ini bermanfaat memberikan informasi mengenai metode
pembuatan tepung biji kecipir beserta sifat fisiko-kimia dan fungsional tepung
biji kecipir tersebut. Sifat-sifat yang diukur diharapkan dapat bermanfaat
bagi pengembangan produk kaya protein berbasis tepung biji kecipir.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

H. KECIPIR
Kacang-kacangan yang termasuk ordo Leguminosae (kacang legume)
akhir-akhir ini diketahui sebagai sumber pangan yang kaya nutrisi dan non-
nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh (Hartoyo et al., 2007). Umumnya jenis
kacang-kacangan adalah penghasil protein yang cukup tinggi. Di daerah
tropis, dikenal sejenis leguminosa yang potensial yaitu tanaman kecipir. Jenis
kecipir yang dikenal sebagai sumber makanan adalah Psophocarpus
tetragonolobus dan Psophocarpus palustris. Psophocarpus tetragonolobus
nampak lebih tegar,
tegar, lebih produktif, dan sudah merupakan tanaman pangan di
Asia Tenggara. Sementara Psophocarpus palustris masih merupakan tanaman
setengah liar di Afrika namun telah banyak digunakan pada waktu kekurangan
makanan di Ghana dan negara-negara tetangganya. Kemungkinan asal
Psophocarpus tetragonolobus adalah Papua Nugini dan Asia Tenggara,
sedangkan Psophocarpus palustris berasal dari Afrika Barat (Samosir, 1985).

Gambar 1. Buah kecipir (winged bean)

National Academy of Science (1975) menyatakan bahwa tanaman


kecipir adalah tanaman rumput-rumputan tahunan. Merupakan tanaman
memanjat yang dapat mencapai ketinggian 3 – 4 m bila disangga. Bunganya
yang dapat menyerbuk sendiri (self pollinating) berwarna biru, putih, dan

3
ungu. Polongnya berbentuk empat persegi dan sudut-sudutnya tumbuh
melebar menyerupai sayap. Panjang setiap polong bervariasi dari 6 – 66 cm
dan dapat berisi antara 5 – 20 biji. Bijinya berbentuk bulat seperti kacang
kedelai dengan warna yang bervariasi dari putih, coklat,
coklat, kuning, hitam, dan
berintik-rintik dengan berat antara 0.06 – 0.40 gram setiap biji (Gambar 2).

Gambar 2. Biji kecipir dari polong yang sudah tua

Hasil tanaman kecipir yang relatif lebih tahan disimpan adalah bijinya.
Biji tersebut dapat disimpan lebih lama dibandingkan daun maupun umbinya
sebelum digunakan. Selain itu biji kecipir adalah hasil tanaman kecipir yang
paling bergizi. Penilaian ini didasarkan
didasarkan pada kandungan proteinnya yang
tinggi serta komposisi asam aminonya yang menguntungkan.
Dari berbagai laporan mengenai produksi biji kecipir, dapat diketahui
bahwa variasi produksi bijinya sangat besar seperti halnya yang diutarakan
Atmowidjojo (1982). Hal itu dapat dimaklumi karena tanaman kecipir tersebut
belum begitu menyeluruh diteliti dibandingkan kacang kedelai. Menurut
National Academy of Science (1975), tercatat paling sedikit terdapat tujuh
laporan yang menyebutkan produksi biji kecipir lebih
lebih dari 2 ton/Ha. Pada
percobaan petak-petak di Papua Nugini, produksi biji kecipir sebanyak lebih
dari 2 ton/Ha tergolong biasa.
Laporan yang agak terperinci mengenai produksi biji kecipir dapat
dibaca pada Thompson dan Kuntjiati (1980). Mereka menyebutkan bahwa
rataan produksi biji kecipir di Indonesia ialah 2282 kg/ha dengan kisaran

4
antara 885 – 4480 kg/ha. Di Nigeria 2054 kg/ha dengan kisaran antara 853 –
3307 kg/ha. Di Malaysia diperoleh produksi biji yang lebih tinggi dengan
rataan 4491 kg/Ha dan kisarannya antara 4160 – 5013 kg/ha.
Pada umumnya produksi biji kecipir yang sudah dilaporkan
merupakan hasil ekstrapolasi dari petak-petak percobaan kecil.
Pengusahaannya secara besar-besaran di kebun-kebun yang luas belum
banyak dilaporkan kecuali di Thailand seluas 25 ha (National Academy of
Science, 1975).

I. KOMPOSISI KIMIA DAN NILAI GIZI KECIPIR


Tanaman kecipir termasuk dalam jenis tanaman kacang-kacangan
(Leguminosae sp), dimana tanaman kacang-kacangan ini diketahui
mengandung protein yang lebih tinggi dibanding tanaman lainnya. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan tanaman ini dalam menambat nitrogen dari
udara melalui aktivitas bintil-bintil akarnya.

Gambar 3. Bagian-bagian tanaman kecipir yang dapat dimanfaatkan

Tanaman kecipir sangat potensial ditinjau dari kemampuan produksi


serta komposisi kimianya. Hampir seluruh bagian tanaman ini dapat
dimanfaatkan. Tanaman kecipir dapat menghasilkan daun, buah muda, biji
dan umbi yang mengandung gizi yang baik (Gambar 3.)

5
Buah kecipir berbentuk segi empat memanjang dengan sudut
beringgit, berwarna hijau waktu muda dan menjadi berserat, berwarna
kecoklatan dan kering bila sudah tua. Dari polong yang sudah tua ini
didapatkan biji kecipir yang banyak mengandung protein dibandingkan
bagian-bagian kecipir lainnya. Kadar protein, lemak dan jumlah energi yang
terkandung dalam biji kecipir lebih tinggi dibanding dengan daun, buah
maupun umbinya, seperti kadar proteinnya sekitar 29.8 – 39.0 % dan kadar
lemaknya sekitar 15.0 – 20.4 %. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia dari
bagian-bagian tanaman kecipir.

Tabel 1. Komposisi kimia bagian-bagian dari tanaman kecipira


Daun Polong muda Biji muda Biji tua Umbi
Airb 64.2 – 85.0 76.0 – 93.0 35.8 – 88.1 8.7 – 24.6 54.9 – 65.2
Energi (kkal)c 48 46 24 – 170 387 - 454 151d
Proteinb 5.0 – 7.7 1.9 – 4.3 4.6 – 10.7 29.8 – 39.0 3.0 – 15.0
b
Lemak 0.5 – 2.5 0.1 – 3.4 0.7 – 10.4 15.0 – 20.4 0.4 – 1.1
b
Karbohidrat (total) 3.0 – 8.5 1.1 – 7.9 5.6 – 42.1 23.9 – 42.0 27.2 – 30.5

Seratb 3.0 – 4.2 0.9 – 3.1 1.0 – 2.5 3.7 – 16.1 1.6 – 17.0
b
Abu 1.0 – 2.9 0.4 – 1.9 1.0 3.3 – 4.9 0.9 – 1.7
a
National Academy of Science (1975)
b
Nilai dinyatakan dalam gram per 100 gram berat segar
c
kkal = kilo kalori / 100 gram berat segar
d
Nilai rata-rata

Meskipun kandungan protein biji kecipir lebih tinggi dibandingkan


dengan polong muda, umbi, maupun daunnya (Rismunandar, 1986), tetapi
penilaiannya tidak hanya terletak pada jumlah kandungan proteinnya,
melainkan juga tergantung dari jenis-jenis asam amino yang menyusun protein
tersebut. Begitu pula menurut Samosir (1985), penilaian kandungan protein
suatu bahan makanan akan menjadi lebih sempurna bila diketahui kandungan
serta komponen asam-asam amino serta daya cernanya. Suatu bahan makanan
diharapkan memiliki kandungan protein yang tinggi, susunan asam amino
yang lengkap dan seimbang serta daya cerna yang tinggi.

6
Protein dari tanaman leguminosa umumnya kekurangan asam amino
yang mengandung sulfur seperti sistein , metionin, tetapi kaya akan asam
amino lisin (Winarno dan Rahman, 1974). Berdasarkan analisis yang pernah
dilakukan, kandungan metionin dan sistein terdapat dalam jumlah sedikit
sehingga asam amino tersebut merupakan asam-asam amino esensial
pembatas (the limiting essential amino acids). Asam-asam amino esensial
pembatas kedua adalah triptofan dan valin (Ekpenyong dan Borchers, 1978).
Chan dan de Lumen (1982) mengatakan bahwa biji kecipir
mengandung asam-asam amino bersifat asam dan basa seperti prolin, serin,
dan lisin dalam tingkatan yang cukup tinggi. Selanjutnya Rosario et al. (1981)
mengemukakan bahwa asam-asam amino esensial pada biji kecipir terutama
lisin, berada dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
terdapat pada kebanyakan biji-biji leguminosa yang lain. Dengan melihat
kandungan asam amino biji kecipir, maka biji kecipir dapat digunakan
sebagai sumber makanan berprotein yang kaya akan asam amino lisin.

Tabel 2. Komposisi asam amino esensial pada biji kecipir


Asam amino Jumlahnya
(dalam mg/g nitrogen)
Isoleusin 242 – 350
Leusin 453 – 564
Lisin 413 – 600
Metionin 38 – 87
Sistein 73 – 162
Phenilalanin 214 – 419
Tirosin 195 – 431
Treonin 256 – 300
Triptophan 47 – 69
Valin 242 – 344
Arginin 400 – 469
Histidin 169 – 183
Sumber: National Academy of Science (1975)

Selain analisis terhadap protein, banyak peneliti yang melakukan


analisis terhadap lemak (minyak) biji kecipir. Hal itu dapat dimaklumi karena
biji kecipir dapat dipandang sebagai sumber minyak yang potensial. Seperti
terlihat pada tabel 1, kadar lemak biji kecipir cukup tinggi yaitu sekitar 15-

7
20.4 %. Dari jumlah tersebut sekitar 71% tersusun dari asam lemak tidak
jenuh terutama asam linoleat (National Academy of Science, 1975). Sementara
menurut de Lumen dan Fiad (1982), jumlah asam lemak tidak jenuh pada biji
kecipir adalah sekitar 65% dari keseluruhan asam-asam lemak yang
dikandungnya. Perbandingan asam-asam lemak tidak jenuh dan asam-asam
lemak jenuhnya adalah 2:1. Komposisi asam-asam lemak minyak biji kecipir
sangat menyamai komposisi asam-asam lemak kacang tanah (Arachis
hypogea).
Lemak biji kecipir kaya akan tokoferol (vitamin E) yang berfungsi
sebagai antioksidan. Tokoferol dapat meningkatkan efisiensi vitamin A dalam
tubuh, karena dapat mengkatalisa penggunaan vitamin A dalam tubuh. Selain
tokoferol, ada beberapa vitamin lain yang terdapat pada biji kecipir antara lain
-karoten, thiamin, riboflavin, niasin, piridoksin, asam folat dan asam
askorbat. Walaupun kebutuhan vitamin ini sangat kecil, akan tetapi
ketersediannya di dalam makanan sehari-hari sangatlah dibutuhkan. Oleh
sebab itu, kandungan vitamin pada suatu bahan makanan termasuk komponen
yang harus dipertimbangkan di dalam penyusunan ransum.
Biji kecipir mengandung beberapa mineral antara lain Ca, Mg, K, Na,
P dan Fe. Mineral yang terpenting adalah Fe yang terdapat dalam bentuk yang
langsung dapat digunakan untuk pembentukan hemoglobin. Menurut
Ekpenyong dan Borchers (1980), biji kecipir merupakan sumber mineral besi
yang baik dan pengolahan tidak mempengaruhi kandungan besinya.
Sedangkan unsur Ca dan K kurang dapat dimanfaatkan karena menurut Cerny
(1978), kedua mineral tersebut dalam bentuk terikat dengan asam fitat.
Karbohidrat total pada biji kecipir berkisar antara 23.9 - 42.0 %.
Karbohidrat yang terdapat dalam biji kecipir sebagian besar terdiri dari
polisakarida berantai panjang yang sulit dicerna oleh tubuh manusia,
diantaranya adalah hemiselulosa dan selulosa. Sedangkan bagian yang dapat
dicerna merupakan beberapa jenis oligosakarida dan monosakarida seperti
sukrosa, stakiosa, rafinosa, arabinosa dan glukosa. Kadar rafinosa dan stakiosa
di dalam biji kecipir lebih rendah dibanding dengan kacang kedelai (National

8
Academy of Science, 1975). Tabel 3 menunjukkan perbandingan beberapa
jenis oligosakarida dari biji kecipir dan kacang kedelai.

Tabel 3. Kandungan beberapa oligosakarida dan monosakarida dalam biji


kecipir dan kacang kedelaia
Gula Biji kecipir (%) Kacang kedelai (%)
Sukrosa 5.0 4.8
Rafinosa 1.0 1.3
Stakiosa 2.5 3.5
a
National Academy of Science, 1975

J. KENDALA PEMANFAATAN BIJI KECIPIR


Biji kecipir termasuk biji leguminosa yang memiliki bentuk dan
ukuran berat yang hampir sama seperti kacang kedelai. Akan tetapi, biji
kecipir ini memiliki kulit keras seperti biji hyacinth, bambara groundnut,
kertsling’s groundnut dan velvet (Aykroyd dan Doughty, 1982). Kulit biji
kecipir yang keras itu lebih sulit dilepaskan dibandingkan dengan kulit kacang
kedelai.
Bau beany flavor yang tidak sedap dari biji kecipir termasuk salah satu
faktor yang menyebabkan biji kecipir tidak begitu disukai. Bau itu dapat
tercium pada biji kecipir mentah yang makin menusuk pada permulaan
direbus. Enzim lipoksigenase pada biji kecipir bertanggung jawab akan
adanya bau tersebut dan ternyata mudah dihilangkan melalui pemanasan.
Warna kulit biji kecipir lebih beragam dibandingkan dengan warna
kulit kacang kedelai. Pada umumnya warna kulit kacang kedelai adalah putih
dan krem, sementara warna kulit biji kecipir dapat ditemukan dari yang putih,
krem, ungu, coklat muda, coklat tua hingga kehitam-hitaman. Warna kulit biji
yang semakin hitam pekat, dianggap sebagai tanda bahwa semakin tingginya
kandungan tanin pada kulit biji kecipir.

9
K. ANTINUTRISI DAN INAKTIVASINYA
Selain tingginya kandungan protein dan nilai gizi yang berimbang, biji
kecipir mengandung beberapa komponen antinutrisi yang merupakan
pembatas pemanfaatan biji kecipir. National Academy of Science (1975),
melaporkan komponen antinutrisi biji kecipir antara lain adalah anti tripsin,
anti kimotripsin, hemaglutinin, tannin, dan kemungkinan saponin. Sementara
menurut Aykroyd dan Doughty (1982), komponen antinutrisi pada leguminosa
antara lain anti tripsin, lektin atau hemaglutinin, cynogen, saponin, dan asam-
asam amino beracun.
Komponen antinutrisi sebenarnya sangat berguna bagi biji-bijian. Zat
antinutrisi pada biji leguminosa akan menentukan daya tahannya. Baik daya
tahan selama disimpan, maupun daya tahan terhadap serangga atau
mikroorganisme lainnya (Aykroyd dan Doughty, 1982). Asam fitat pada biji
leguminosa berfungsi untuk menyimpan fosfor yang nantinya sangat
diperlukan pada perkembangan biji selama perkecambahan. Pada kedelai,
saponin yang dikandungnya dapat melindunginya dari serangan serangga
tertentu.
Komponen antinutrisi yang sangat berguna bagi tanaman itu sendiri
ternyata sangat merugikan dari sudut gizinya. Biasanya bila biji-biji
leguminosa dikonsumsi dalam keadaan mentah akan sangat menghambat
pertumbuhan dan bahkan dapat mematikan. Untuk memperoleh manfaat yang
maksimum dari penggunaan biji kecipir sebagai bahan makanan, maka perlu
dilakukan pengolahan terlebih dahulu.
Perendaman biji kecipir dapat mempermudah terlepasnya faktor anti
tripsin yang kemudian dapat dihambat aktivitasnya dengan pemanasan.
Menurut National Academy of Science (1975) aktivitas antitripsin dapat
dilenyapkan hanya dengan pemanasan basah, misalnya dengan mengukus biji
kecipir di dalam autoclave pada suhu 130oC selama 10 menit. Hal yang sama
dapat dicapai dengan perendaman selama 10 jam, kemudian direbus selama 30
menit. Hal yang serupa dikatakan oleh Chan dan de Lumen (1982), aktivitas
kerja anti tripsin baru terpengaruh dengan jelas pada pemanasan 100oC,
sedangkan pada pemanasan 60oC belum terpengaruh sama sekali.

10
Pemanasan suhu rendah dalam waktu yang singkat pada leguminosa
dapat secara efektif merusak hemaglutinin. Hemaglutinin adalah protein yang
labil terhadap panas. Perebusan pada suhu 100oC selama 15 menit
menurunkan aktivitas hemaglutinin.
Tahapan lain dalam pengolahan kecipir adalah perlakuan perendaman.
Menurut Cerny (1978), perendaman biji kecipir di dalam air pada suhu 22oC
selama 10 jam akan tercapai tingkat pengembangan yang maksimum dan
setelah perendaman selama 16 jam tidak akan terjadi penyerapan air lagi.
Menurut Claydon (1978), perendaman biji kecipir dalam air selama semalam
dapat mengurangi waktu perebusan dari 2-3 jam menjadi 30 menit. Proses
perendaman biji kecipir selama 24 jam dapat menghilangkan kandungan
taninnya sekitar 70 %.
Bau langu pada kacang-kacangan disebabkan oleh aktivitas enzim
lipoksigenase yang terdapat secara alamiah. Menurut Smith dan Circle (1972),
enzim lipoksigenase akan memecah rantai asam lemak tidak jenuh dan
menghasilkan sejumlah senyawa yang lebih kecil bobot molekulnya, terutama
senyawa-senyawa aldehid dan keton atau alkohol. Perlakuan perendaman di
dalam air selama empat jam diikuti dengan pemanasan uap air pada suhu
100oC selama 10 menit cukup memadai untuk menginaktivasi enzim
lipoksigenase dan memperbaiki aroma atau flavor hasil olahannya (Shurleff,
1978).

L. TEPUNG KEDELAI
Pengembangan produk baru dari kacang-kacangan kini membuka suatu
horizon baru dalam bidang pangan. Salah satu produk komersial yang telah
ada di pasaran adalah tepung kedelai. Menurut Endress (2001), tepung kedelai
adalah produk hasil penggilingan dan pengayakan kedelai, baik pada kedelai
yang tidak dihilangkan lemaknya maupun kedelai bebas lemak. Kandungan
protein dari tepung kedelai adalah sekitar 40 – 50%.
Secara umum tepung kedelai dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok berdasarkan pada kandungan lemaknya, yaitu tepung kedelai
dengan lemak penuh, kadar lemak rendah, dan tepung kedelai tanpa lemak

11
(full fat, low fat, dan defatted flour). Tepung kedelai kadar lemak penuh
diproduksi dari biji kedelai utuh. Umumnya kadar lemak tepung kedelai
dengan lemak penuh adalah sekitar 20%.
Tepung kedelai banyak digunakan di industri pangan, terutama di
industri bakeri (roti, biskuit, dan cake). Disamping itu, industri pangan lain
yang juga menggunakan tepung kedelai adalah industri sup, sosis, dan
makanan formula bayi. Selain karena alasan-alasan nilai gizi, penggunaan
tepung kedelai juga karena sifat-sifat fungsionalnya yang khas, antara lain
sifat dan kemampuannya untuk menyerap dan menahan air, sifat-sifat
pengemulsi dan antioksidan (terutama karena adanya lesitin) dan relatif
rendahnya kandungan karbohidratnya.

M. SIFAT FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONAL PROTEIN


Sifat-sifat suatu bahan pangan khususnya protein dibagi ke dalam
dua kelompok yaitu sifat-sifat nutrisi dan sifat- sifat fungsional. Sifat
nutrisi adalah sifat yang mempengaruhi tubuh setelah makanan masuk ke
dalam saluran pencernaan, seperti sifat anabolik, katabolik,
antimetabolik,dan toksik. Sedangkan sifat fungsional adalah sifat yang
mempengaruhi makanan sebelum memasuki tubuh, mencakup
fungsionalitas enzimatis, non-enzimatis, dan industrialnya.
Sifat fungsional protein adalah sifat fisikokimia yang
mempengaruhiperilaku protein dalam sistem pangan selama persiapan,
pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi. Sifat fungsional tidak hanya
penting dalam menentukan kualitas produk akhir, tetapi juga penting
dalam membantu proses pengolahan, misalnya memudahkan pembuatan
atau pengirisan adonan (Kinsella, 1979). Sifat fungsional juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor lingkungan yang berupa komponen-komponen lain
dalam sistem pangan, misalnya air, karbohidrat, lipid, garam, dan
surfaktan. Terdapat saling ketergantungan antara faktor-faktor yang
mempengaruhi sifat fungsional protein, misalnya pengaruh pH dan suhu
terhadap kelarutan, daya penyerapan air, stabilitas emulsi, dan viskositas.

12
Di bawah ini adalah beberapa sifat fisikokimia dan fungsional
protein produk tepung-tepungan yang penting untuk diketahui.

11. Densitas Kamba


Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang
menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh
berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil
pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah. Nilai densitas
kamba menunjukkan porositas dari bahan yaitu jumlah rongga yang
terdapat di antara partikel-partikel bahan padatan.

12. Particle Size Index (PSI)


Particle Size Index (PSI) adalah suatu ukuran yang diperlukan
untuk mengetahui ukuran partikel suatu bahan. Ukuran ini umumnya
digunakan untuk bahan tepung-tepungan. Ukuran partikel
mempengaruhi parameter penyerapan air, cooking loss, dan tekstur
dari produk yang dihasilkan. Semakin halus ukuran partikel, semakin
besar tingkat penyerapan air dan cooking loss ketika proses produksi
(Hatcher et al., 2002).
PSI dibutuhkan untuk menentukan kualitas penggilingan dan
juga merupakan parameter kerusakan pati, penyerapan air, dan
produksi gas. Indeks ini menunjukkan kekerasan relatif suatu bahan
dengan cara penggilingan dan separasi.

13. Warna dan Derajat Putih


Salah satu instrumen dalam mengukur warna adalah
kromameter. Prinsip kerja dari kromameter adalah pemantulan cahaya
oleh sampel. Kromameter memiliki lampu getar yang ditangkap oleh
fotosel dan filter untuk mencocokkan dengan standar CIE (Commision
Internasionale d’Eclairage) dalam mengukur sinar yang dipantulkan
oleh sampel. Sistem output dapat berupa CIE-XYZ, Judd-Hunter L a b
CIELAB, dan CIELCH.

13
Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan
b. Nilai L menunjukkan kecerahan atau gelap sampel dan memiliki
skala dari 0 sampai 100 dimana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan
100 menyatakan sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat
merah atau hijau sampel, dimana a positif menunjukkan warna merah
dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80
sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru, dimana b
positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna
biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70.

14. Komponen Asam Amino


Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih
gugus karboksil, satu atau lebih gugus amino, yang salah satunya
terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil (atau atom C
alfa). Asam amino dapat dibagi menjadi asam amino esensial dan asam
amino tidak esensial. Asam amino esensial adalah jenis asam amino
yang tidak dapat diproduksi dalam tubuh dengan cukup cepat untuk
menyokong pertumbuhan normal. Sementara asam amino tidak
esensial adalah asam amino yang dapat diproduksi cukup dalam tubuh
sendiri, sehingga tanpa adanya asam amino tersebut dalam bahan
pangan tidak mengganggu pertumbuhan normal.
Protein disusun oleh asam-asam amino yang bersambung
dengan ikatan peptida. Ikatan peptida adalah ikatan antara gugus
karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang
disampingnya. Protein sebagai salah satu kelompok bahan
makronutrien lebih berperan penting dalam pembentukan biomolekul
daripada sumber energi.

15. Kelarutan
Kelarutan protein ditetapkan berdasarkan kemampuannya
berasosiasi dengan air dan fungsi dari sejumlah parameter termasuk
pH, kekuatan ion, pelarut, dan suhu. Sifat kelarutan pada berbagai

14
macam kondisi berguna dalam penetapan fungsi protein dan dalam
optimasi ekstraksi, isolasi, dan prosedur pengolahan protein.
Tingkat ketidaklarutan merupakan indikasi yang baik dari
banyaknya denaturasi dan agregasi protein yang dapat mempengaruhi
daya busa, emulsifikasi, hidrasi, dan sifat pembentukan gel dari
protein. Sedangkan denaturasi dan agregasi sebagian dapat
memperbaiki sifat fungsional (meningkatkan daya serap air dan
stabilitas busa). Sifat kelarutan memudahkan homogenisasi dispersi
protein di dalam minuman.
Kelarutan protein di dalam air berbeda-beda, tidak ada diantara
protein-protein tersebut yang dapat larut dalam pelarut-pelarut lemak
seperti etil eter dan petroleum eter.

16. Daya Serap Air


Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengikat air atau air tambahan selama aplikasi gaya-gaya, tekanan,
sentrifugasi, atau pemanasan. Pengikatan air bergantung pada
komposisi dan konformasi molekul-molekul protein.
Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada
komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan kondisi proses.
Semakin rendah hidrofobisitas rata-rata dan semakin tinggi muatan
maka kelarutan akan semakin meningkat. Pada saat protein
terdenaturasi, pengikatan air hanya sedikit meningkat. Semakin besar
air yang terserap, semakin baik tekstur dan mouthfeel dari bahan
pangan. Protein yang mengikat air dapat membentuk struktur dengan
molekul protein lain melalui ikatan non kovalen selama proses
(Zayas, 1997).
Daya serap air sangat penting peranannya dalam makanan
panggang karena dapat meningkatkan rendemen adonan dan
memudahkan penanganannya. Di samping itu, sifat menahan air akan
memperlama kesegaran makanan, misalnya pada biskuit dan roti.
Daya serap air dan lemak penting dalam pembuatan produk daging

15
tiruan karena dapat menyebabkan perubahan tekstur tepung kering
(bahan dasar untuk membuat daging tiruan) menjadi kental berserat
menyerupai tekstur daging dan berperan dalam penyerapan cita rasa
atau flavor daging yang ditambahkan (Koswara, 1992).

17. Daya Serap Minyak


Kemampuan suatu produk pada bahan olahan berprotein tinggi
dalam menyerap lemak atau minyak digunakan untuk dua tujuan.
Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak pada daging giling
hingga dapat mengurangi kehilangan sari daging karena pemasakan
dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah untuk
mencegah penyerapan lemak yang berlebihan, misalnya pada
penggorengan donat dan pancakes. Hal ini disebabkan terjadinya
denaturasi protein oleh panas sehingga membentuk semacam lapisan
pada permukaan bahan (misalnya donat) sehingga menghalangi
penetrasi lemak (Koswara, 1992).

18. Daya Emulsi


Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam
cairan lain, yang molekul-molekul kedua cairannya tidak saling
berbaur, tetapi saling antagonistik. Ada tiga bagian utama dalam
sistem emulsi, yaitu bagian pendispersi, bagian terdispersi, yang
keduanya dapat berupa air atau minyak, dan bagian emulsifier
(Winarno, 1992).
Emulsifier berfungsi menjaga agar emulsi tetap stabil. Daya
kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik pada minyak (non polar) maupun air (polar). Emulsi
minyak dalam air (o/w) terjadi bila emulsifier lebih terikat atau larut
dalam air. Sebaliknya bila emulsifier lebih terikat atau larut dalam
minyak terjadi emulsi air dalam minyak (w/o) (Winarno, 1992).
Menurut Bird et al. (1983) kestabilan emulsi dapat
dipertahankan dengan menambahkan komponen ketiga dalam emulsi

16
yang disebut emulsifier. Emulsifier akan terkonsentrasi pada batas
permukaan antara minyak dengan air, sehingga tegangan antar
permukaan menjadi berkurang dan sistem emulsi menjadi stabil.
Menurut Winarno (1992) emulsifier dapat berupa kompleks
karbohidrat, protein, fosfolipid, bahan sintetik atau bahan-bahan
organik. Emulsifier dalam tepung tempe yaitu berupa protein dan
lesitin yang terdapat pada tempe. Protein dalam emulsi selain berfungsi
untuk mengikat air, juga sebagai emulsifier yang akan mempercepat
proses terjadinya emulsi dan memberikan kestabilan emulsi. Sifat ini
dipengaruhi oleh kadar protein dan tingkat kelarutannya. Daya emulsi
yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada
saat pemasakan atau pemanasan. Emulsifier banyak digunakan pada
produk sosis, frankfurter, bologna, roti, sup, dan whipped cream.

19. Kapasitas dan Stabilitas Busa


Busa adalah sistem dua fase terdiri dari sel-sel udara yang
dipisahkan lapisan cair kontinu yang tipis. Protein membentuk busa
dengan cara berdifusi pada permukaan udara air, menurunkan
tegangan, dan membentuk film yang elastis dan kuat menyelubungi
gelembung busa yang terbentuk. Hal ini dipengaruhi gugus hidrofobik
dan hidrofilik molekul protein yang berinteraksi dengan fase air dan
udara.
Daya busa protein menunjukkan kemampuannya memproduksi
suatu area permukaan dari busa (unit berat protein) dan untuk
menstabilkan lapisan permukaan dari kekuatan internal atau eksternal.
Dalam pembentukan busa ada tiga tahapan yaitu: pertama, protein
globular yang larut berdifusi ke antar fasa minyak/air, mengalami
konsentrasi, dan menurunkan tegangan permukaan; kedua, protein
membuka pada antar fasa dengan orientasi molekul polar ke air; dan
ketiga, polipeptida berinteraksi untuk membentuk film.
Daya busa protein sangat penting oleh karena itu kemampuan
untuk menstabilkan buih adalah hal yang kritikal dalam aplikasi

17
pangan. Sifat ini dimanfaatkan dalam pembuatan chiffon dessert dan
whipped toppings.

20. Sifat Gelasi


Daya pembentukan gel adalah suatu gejala agregasi protein,
yaitu terjadinya interaksi antara polimer - polimer dan polimer -
pelarut. Cheftel et al. (1985) menambahkan bahwa daya pembentukan
gel dipengaruhi tidak hanya oleh interaksi protein-protein, tetapi juga
oleh interaksi protein-air. Kekuatan interaksi yang seimbang akan
membentuk jaringan tersier atau matriks yang dapat memerangkap
banyak air (Scmidt, 1981).
Perubahan dari sol ke gel umumnya bersifat ireversibel, yang
melibatkan disosiasi dan denaturasi molekul protein. Tujuan utama
denaturasi adalah untuk mengekspos grup-grup fungsional, yang
berinteraksi membentuk jaringan gel tiga dimensi. Bila laju agregasi
lebih lambat dari denaturasi, maka akan terbentuk gel yang lebih jernih
dan elastis serta memiliki daya ikat air lebih tinggi. Ikatan disulfida
dalam protein globular berhubungan dengan kemampuan
meningkatkan berat molekul rata-rata atau panjang rantai dari
polipeptida. Protein yang terhidrolisa secara enzimatis membuat gel
yang lebih lemah dari protein alami. Selain itu, konsentrasi minimum
dari protein juga menentukan pembentukan gel, karena jika konsentrasi
terlalu kecil rantai-rantai terdispersi tidak dapat saling menjangkau.
Walaupun peningkatan suhu pemanasan umumnya membentuk gel
yang kuat, panas yang berlebih dapat menyebabkan thermal scission
dari ikatan-ikatan peptida yang menghambat pembentukan gel.
Pemanasan lambat menghasilkan absorpsi panas yang lebih besar dan
pembukaan protein secara intensif sehingga kekuatan gel meningkat
(Zayas, 1997).

18
N. PENGGUNAAN SIFAT FUNGSIONAL PROTEIN DALAM
PRODUK PANGAN
Sifat fungsional protein dibutuhkan pada beberapa produk pangan.
Berikut ini diuraikan beberapa sifat fungsional protein dan produk pangan
yang cocok untuk memakainya (Tabel 4).

Tabel 4. Tipe sifat fungsional yang ditunjukkan dengan fungsional protein


dalam sistem pangan

Sifat fungsional Berasal dari Sistem pangan


Solubilitas Solvasi protein Minuman

Absorpsi air Ikatan hidrogen dari air, Daging, sosis, roti,


pemerangkapan air cake

Viskositas Penebalan dan daya ikat air Daging, keju

Gelatinisasi Formasi matriks protein Daging, keju

Kohesi-adhesi Protein sebagai materi adhesif Daging, sosis, bakery,


dan pasta

Elastisitas Ikatan hidrofobik pada gluten, Daging dan bakery


jembatan disulfida

Emulsifikasi Formasi dan stabilitas dari Sosis, sup, cake


emulsi lemak

Ikatan flavor Absorpsi, pemerangkapan, dan Daging dan bakery


pelepasan

Daya busa Pembentukan film yang stabil Chiffon dessert,


untuk memerangkap gas whipped toppings

Sumber: Kinsella (1979)

19
III. BAHAN DAN METODE

C. BAHAN DAN ALAT


Bahan utama yang digunakan, yaitu biji kecipir, sedangkan bahan
kimia yang digunakan adalah heksana, HCl 1 N, NaOH 1 N, K2SO4, HgO,
H2SO4 pekat, akuades, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0.02 N, indikator
merah metil serta metil biru, HCl 25% , HCl 6 N, dry ice-aseton, HCl 0.01 N,
NaOH 0.01 N, HNO3 pekat, NaOH 2 N, minyak kedelai, HCl 0.1 N, NaOH
0.1 N, buffer asetat 100 mM (pH 5.50), buffer pH 4 dan pH 7, dan metanol.
Alat-alat yang digunakan antara lain nampan/alas, baskom, plastik,
blender, penggiling, ayakan, kertas saring, sentrifuse, oven biasa, desikator,
cawan porselen, cawan aluminium, pipet tetes, pipet volumetrik, pipet Mohr,
neraca analitik, labu Kjeldahl 100 ml, alat destilasi, labu lemak, alat ekstraksi
Soxhlet, gelas piala, batu didih, gelas arloji, kapas, tanur, Chromameter CR-
310 Minolta, gelas ukur 100 ml, gelas ukur 10 ml, tabung reaksi, pompa
vakum, batang gelas, magnetic stirer, tabung sentrifuse, vortex, alumunium
foil, shaker, rotary evaporator, botol gelap, refrigerator, freezer, tabung
reaksi bertutup, alat Spektrofotometer, dan hot plate.

D. METODE PENELITIAN
Sistematika penelitian ini terdiri dari dua tahap yakni penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari
penentuan larutan perendam, lama perendaman optimum, lama perebusan
optimum, dan penentuan komposisi kimia bahan baku biji kecipir. Penelitian
utama terdiri dari pembuatan tepung biji kecipir , penentuan komposisi kimia
tepung biji kecipir, perhitungan nilai recovery protein, dan analisis sifat fisiko-
kimia dan fungsional protein tepung biji kecipir. Adapun diagram alir proses
tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

20
Biji kecipir hasil
Analisis komposisi kimia
sortasi

Perendaman dalam air dengan


perbandingan biji kecipir : air = 1 : 3

Penentuan waktu perendaman:


6, 12, 18, dan 24 jam

Rasio penyerapan air Biji kecipir basah

Penentuan waktu perebusan:


30, 60, 90, 120, 180 menit

Pengamatan tingkat
Biji kecipir hasil
kekerasan dan kemudahan
perebusan
pengupasan kulit

Pengupasan kulit Kulit

Biji kecipir kupas kulit

Penggilingan dengan penambahan


akuades (biji kecipir : akuades = 1:3)

21
@

Pengaturan pH dengan penambahan NaOH hingga pH 10

Pendiaman dalam suhu ruang selama 60 menit


(pengadukan setiap 15 menit sekali)

Penyaringan Ampas

Suspensi kecipir lolos


saringan

Penambahan HCl hingga pH isoelektrik

Pengendapan Cairan
jernih

Endapan

Pengeringan dalam pengering tipe efek rumah kaca


(suhu 40-50oC)

Lembaran-lembaran kering

Penggilingan dengan blender kering

Penyaringan dengan ayakan 60 mesh Partikel


tidak lolos

Analisis sifat fisiko-kimia


Tepung biji kecipir
dan fungsional protein

Gambar 4. Diagram alir tahapan penelitian (proses pembuatan tepung biji kecipir)

22
A. Penelitian Pendahuluan
a. Penentuan Waktu Perendaman Biji Kecipir yang Optimal
Perendaman bertujuan melunakkan struktur selular kecipir.
Perendaman dapat mempersingkat waktu perebusan di tahap
selanjutnya. Perendaman dilakukan dengan merendam biji kecipir
dalam air (biji kecipir : air = 1: 3).
Biji kecipir direndam dengan larutan pada berbagai waktu
perendaman (6, 12, 18, dan 24 jam). Percobaan yang dilakukan dalam
penelitian ini untuk mengetahui waktu perendaman yang optimal untuk
mencapai rasio penyerapan air biji kecipir yang maksimal. Rasio
penyerapan air dilakukan dengan cara menimbang sebanyak 20 gram
biji kecipir kering kemudian merendam dalam 60 ml larutan perendam.
Setelah waktu perendaman tercapai kemudian ditiriskan selama 10
menit dan dihitung dengan rumus:

Rasio penyerapan air =

b. Penentuan Waktu Perebusan Biji Kecipir yang Optimal


Percobaan ini dilakukan pada biji kecipir hasil perendaman
dengan berbagai waktu perebusan (30, 60, 90, 120, dan 180 menit).
Perebusan dilakukan dengan air pada suhu 70 – 100oC. Setelah
perebusan diamati secara kualitatif warna air rendaman, kekerasan biji
kecipir, dan kemudahan pengupasan kulitnya.

c. Penentuan Komposisi Kimia Bahan Baku (Biji Kecipir)


Analisis dilakukan pada biji kecipir yang digunakan sebagai
bahan baku meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak,
dan kadar karbohidrat (by difference).
1) Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit.
Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2
gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel

23
ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan
dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi
sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.
Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤
0.0005 gram).
Perhitungan :

Kadar air (g/100 g bahan basah) = x 100

Kadar air (g/100 g bahan kering) = ) x 100

Keterangan :
W= bobot contoh sebelum dikeringkan (gram)
W1= bobot contoh + cawan kering kosong (gram)
W2= bobot cawan kosong (gram)

2) Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)


Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven 105oC selama 15
menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel
sebanyak 2-3 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan
yang berisi sampel padat diarangkan dahulu sebelum dimasukkan ke
dalam tanur. Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu maksimum
5500C hingga pengabuan sempurna. Cawan yang berisi sampel
didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca
analitik hingga bobotnya tetap.
Perhitungan :

Kadar abu (g/100 g bahan basah) = x 100

Kadar abu (g/100 g bahan kering) = x 100

Keterangan :
W = Bobot sampel sebelum diabukan (gram)
W1= Bobot cawan + sampel setelah diabukan (gram)
W2= Bobot cawan kosong (gram)

24
3) Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro (AOAC 960.52
yang dimodifikasi)
Sejumlah kecil sampel (kira-kira akan dibutuhkan 3-10 ml HCl
0.01 N atau 0.02 N) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30
ml. Setelah itu, ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO,
dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel.
Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap
10 mg bahan organik di atas 15 mg. Setelah itu, beberapa butir batu
didih dimasukkan labu Kjedahl yang berisi sampel kemudian labu
Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih didihkan
selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih,
labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan
sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian
didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi.
Labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi
dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke
dalam alat destilasi.
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4
tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol
dan satu bagian metil biru 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah
kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan
H3BO3 kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan
dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam
erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan
bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi
erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian dititrasi
dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu.
Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko.
Cara perhitungan kadar protein :
" #$%#&'()'*+" #$%#,# (-' . $%#. /01223 . /22
!
" 4 &'()'*
5 ')67( ! . 8 -)' '(96 :7

25
4) Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992)
Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi Soxhlet
dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator
kemudian ditimbang. Selongsong kertas saring yang berisis contoh
dengan kapas dikeringkan pada suhu 80oC selama ± 1 jam. Selongsong
kertas tersebut dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah
dihubungkan ke labu lemak. Ekstraksi lemak dengan heksana
dilakukan selama ± 6 jam. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak
hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105°C. Setelah itu
didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobotnya
tetap.
Perhitungan:

Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = ; /22

Kadar lemak (g/100 g bahan kering) = ; /22

Keterangan :
W = Bobot sampel (gram)
W1= Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (gram)
W2= Bobot labu lemak kosong (gram)

5) Analisis Kadar Karbohidrat by difference

B. Penelitian Utama
a. Pembuatan Tepung Biji Kecipir
Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian
pendahuluan. Hasil dari penelitian pendahuluan antara lain
perendaman dilakukan dengan air bersih selama 18 jam menghasilkan
biji kecipir dengan rasio penyerapan yang maksimal. Kemudian
penentuan waktu perebusan yang optimalnya adalah 120 menit.

26
Pembuatan tepung biji kecipir dapat dilihat pada Gambar 4.
Proses pembuatan tepung biji kecipir dilakukan dengan cara biji
kecipir direndam dalam air bersih pada suhu ruang selama 18 jam dan
dicuci tiap 6 jam. Biji kemudian direbus selama 120 menit. Setelah
direbus, biji kecipir ditiriskan dan dilakukan pengupasan kulit luarnya.
Kemudian biji kecipir kupas kulit ini digiling dengan penambahan
akuades (biji kecipir : akuades = 1 : 3). Suspensi ini diatur pH dengan
penambahan NaOH hingga pH 10 dan diekstrak kembali selama 60
menit. Kemudian disaring untuk memisahkan suspensi dengan
hancuran biji kecipir yang kasar. Bagian yang lolos saringan diatur pH-
nya dengan penambahan asam HCl hingga pH isoelektrik. Kemudian
dilakukan pengendapan sampai terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan
endapan biji kecipir dan lapisan air yang jernih. Tahap selanjutnya
adalah pemisahan endapan dari lapisan air sehingga diperoleh tepung
biji kecipir basah. Tepung basah ini kemudian dikeringkan dengan
pengeringan sinar matahari dalam rumah kaca. Setelah kering, tepung
masih dalam bentuk lembaran-lembaran ini digiling kembali dengan
blender kering. Kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh. Tepung biji
kecipir ini kemudian disimpan pada tempat tertutup sebelum
digunakan pada tahap selanjutnya.
Tepung biji kecipir yang dihasilkan dianalisis komponen
kimianya dengan analisis proksimat, meliputi kadar air, kadar abu,
kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat by difference.

b. Perhitungan Nilai Recovery Protein


Efisiensi proses pembuatan tepung biji kecipir diketahui
dengan perhitungan recovery.

c. Analisis Komposisi Asam Amino


Sebanyak 0.25 - 0.5 gram sampel protein biji kecipir ditimbang
dan dimasukkan ke dalam tabung 25 ml untuk ditambahkan 5-10 ml

27
HCl 6 N. Lalu sampel tersebut dipanaskan selama 24 jam pada suhu
100oC, kemudian disaring.
Sampel diambil sebanyak 30 ml dan ditambahkan larutan
pengering (metanol, picolotiocianat, dan trietilamin). Sampel
dikeringkan dengan pompa vakum dan ditambahkan lagi dengan 30 ml
larutan derivatisasi (metanol, natrium asetat, dan trietilamin). Sampel
didiamkan selama 20 menit, kemudian ditambahkan 200 ml natrium
asetat sebelum diinjek ke alat HPLC.
Kolom HPLC yang digunakan adalah kolom pico tag 3.9x150
mm dengan fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1M.
Detektor yang digunakan adalah UV dengan panjang gelombang 254
nm. Penentuan kadar asam amino dilakukan dengan rumus berikut:

! "

d. Penentuan Kelarutan Protein Tepung Biji Kecipir pada Berbagai


pH
Tahap ini dilakukan untuk mengetahui profil kelarutan protein
tepung biji kecipir pada berbagai pH. Profil mengenai kelarutan
protein ini penting untuk diketahui karena pengaruhnya terhadap sifat
fungsional protein lainnya (Zayas, 1997). Kelarutan protein ini dapat
diamati dengan melarutkan 10 mg sampel ke dalam 10 ml air, lalu pH
larutan ditepatkan 2 - 12 dengan menggunakan NaOH dan HCl 1 N.
Larutan disentrifus dan supernatan diambil untuk dianalisis konsentrasi
protein terlarutnya dengan metode Lowry. Pengujian dilakukan dua
kali ulangan. Penentuan kelarutan ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Pereaksi Lowry adalah campuran 50 ml NaOH 0.1 N yang
mengandung 2% Natrium karbonat dan 1 ml Natrium tartarat yang
mengandung CuSO4 5%.

28
10 mg tepung biji
kecipir

Pelarutan
10 ml akuades

Penepatan pH 2-12 dengan NaOH dan HCl 1 N

Sentrifus dengan kecepatan 4000 rpm


selama 20 menit pada suhu ruang Endapan

Supernatan

3.5 ml Pemipetan 0.5 ml supernatan dalam


akuades tabung reaksi

Penambahan 5.5 ml pereaksi Lowry*

Vorteks dan penyimpanan 15 menit pada suhu ruang

Penambahan 0.5 ml Folin Ciocalteau

Vorteks dan penyimpanan 30 menit pada


ruang gelap hingga warna biru terbentuk

Pengukuran absorbansi protein terlarut pada


panjang gelombang 650 nm

Nilai absorbansi dimasukkan ke persamaan kurva


standar untuk diketahui konsentrasi protein terlarut

Gambar 5. Diagram alir analisis kelarutan protein metode Lowry

29
e. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Tepung Biji Kecipir
1) Densitas Kamba (Bello dan Okezie, 1988)
Sampel dimasukkan ke dalam sebuah gelas ukur 10 ml yang
telah diketahui beratnya. Gelas ukur yang telah dimasukkan sampel
diketuk-ketukkan ke meja > 30 kali hingga tak ada lagi rongga ketika
sampel ditepatkan menjadi 10 ml. Gelas ukur yang berisi sampel
tersebut kemudian ditimbang. Densitas kamba dapat dihitung dari hasil
pembagian berat sampel dengan volumenya (10 ml). Pengukuran
densitas kamba dilakukan dua kali ulangan.

Densitas kamba (g/ml) = x 100%

Keterangan :
a = berat gelas ukur berisi 10 ml sampel
b = berat gelas ukur kosong (gram)

2) Particle Size Index (modifikasi Angulo-Bejarano, et al., 2007)


Sampel sebanyak 5 gram diayak menggunakan ayakan dalam
berbagai ukuran (mesh) yaitu 40 mesh (420 #m), 60 mesh (318 #m),
80 mesh (180 #m), dan 100 mesh (150 #m). Sampel diayak
menggunakan alat selama 10 menit. Material yang tersisa dalam
ayakan dinyatakan dalam percent over.
PSI = $ aibi
Keterangan :
ai = percent over pada ayakan
bi= koefisien relatif ayakan (40, 60, 80, 100 mesh dinyatakan
dalam 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0)

3) Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter CR-


200 Minolta (modifikasi Hutching, 1999)
Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam
wadah sampel yang sudah tersedia dan selanjutnya dilakukan
pengukuran pada skala nilai L, a, b. Nilai L menyatakan parameter
kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100

30
(putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna
kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 – 100
untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 – (-80) untuk warna
hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning
dengan nilai +b (positif) dari 0 – 70 untuk kuning dan nilai –b (negatif)
dari 0 – (-70) untuk warna biru.
Selanjutnya akan dihitung nilai derajat putih dengan persamaan:

Derajat putih = /22 +< /22+= > ? >? ,>

f. Analisis Sifat Fungsional Protein Tepung Biji Kecipir


1) Daya Serap Air (Sathe et al., 1982)
Sebanyak 1 gram sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke
dalam tabung sentrifus kemudian divortex selama dua menit.
Campuran kemudian didiamkan selama satu jam pada suhu ruang,
kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit.
Filtrat dipisahkan secara hati-hati dan diukur dengan gelas ukur 10 ml
untuk diketahui volum air bebas yang tidak terikat. Daya serap air
dapat dihitung dengan persamaan berikut. Pengukuran daya serap air
dilakukan dua kali ulangan.
–% 6 & '
Daya Serap Air (ml/g) = 4

2) Daya Serap Minyak (Chakraborty, 1986 dalam Zheng et al,


2007)
Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus
dan ditambahkan 10 ml minyak kedelai. Campuran tersebut divorteks
selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang.
Setelah itu, disentrifus pada kecepatan 3600 rpm selama 20 menit.
Supernatan dituang ke gelas ukur 10 ml dan diamati volum minyak
bebas. Daya serap minyak dapat dihitung dengan persamaan berikut.
Pengukuran daya serap minyak dilakukan dua kali ulangan.

31
@A B
Daya Serap Minyak (ml/g) =

3) Daya Emulsi (modifikasi Franzen & Kinsella, 1976)


Sampel sebanyak 2 gram ditambah 100 ml air, diatur pH 8.
Sampel diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Sebanyak 25
ml sampel ditambah 25 ml minyak kedelai. Campuran didispersikan
dengan blender selama 1 menit, kemudian disentrifus 3000 rpm selama
10 menit. Volume emulsi diukur.
@A C
Daya emulsi (%) = @A A C
x 100%

4) Kapasitas dan Stabilitas Busa (Widowati, 1998)


Stabilitas busa merupakan perbandingan antara volume busa
setelah satu jam dengan volume busa setelah 30 detik. Tepung
sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 100 ml akuades dan diaduk dengan
magnetic stirrer. Larutan diatur pH-nya menjadi 8.0 dengan NaOH 2
N. Volume awal dicatat. Kemudian diblender selama 2 menit. Volume
busa setelah 30 detik dan setelah 1 jam diukur.
@A D
Kapasitas busa (%) = @A E
x 100%

@A F
Stabilitas busa (%) = x 100%
@A D

5) Penentuan Daya Gelasi (Coffman dan Garcia, 1977)


Suspensi sampel dengan konsentrasi 6-20% disiapkan dan
ditepatkan pHnya. Suspensi sampel lalu dipanaskan pada suhu 80oC
selama 30 menit dan setelah diangkat dialiri dengan air mengalir.
Setelah mencapai suhu ruang, suspensi ditaruh di refrigerator bersuhu
4oC selama 1 jam. Kekuatan gel yang terbentuk diukur secara kualitatif
dan dicatat penampakannya. Pengukuran sifat gelasi ini dilakukan dua
ulangan.

32
Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah:
0 = gel tidak terbentuk
1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan
2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal
3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali
4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali

33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN
a. Penentuan Waktu Perendaman Biji Kecipir yang
yang Optimal
Pada umumnya kacang-kacangan sebelum diolah lebih lanjut
dilakukan perendaman lebih dulu. Jadi perendaman merupakan langkah
awal dalam pengolahan kacang-kacangan. Perendaman bertujuan
melunakkan struktur selular kacang-kacangan. Selama perendaman
kandungan zat gizi dari kacang-kacangan pada umumnya tidak hilang
(Sumitra, 1983).
Biji kecipir direndam dengan air pada berbagai waktu perendaman
(6, 12, 18, dan 24 jam). Percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini
untuk mengetahui waktu perendaman yang optimal
optimal untuk mencapai rasio
penyerapan air biji kecipir yang maksimal. Rasio penyerapan air dihitung
berdasarkan perbandingan antara berat biji kecipir setelah perendaman
dibanding dengan berat biji kecipir sebelum perendaman. Nilai rasio
penyerapan air biji kecipir pada berbagai waktu perendaman dapat dilihat
pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram nilai rasio penyerapan air biji kecipir pada berbagai
waktu perendaman

34
Berdasarkan data yang diperoleh nilai rasio penyerapan air akan
semakin meningkat dengan semakin lama waktu perendaman. Nilai rasio
penyerapan air tertinggi adalah pada biji kecipir setelah direndam selama
24 jam yakni 1.7782. Meskipun nilai ini paling tinggi, hasil pengujian
analisis sidik ragam pada taraf signifikansi 95% menunjukkan nilai rasio
penyerapan air pada jam ke-18 dan jam ke-24 tidak berbeda nyata. Hal ini
membuktikan bahwa pada jam ke-18 proses perendaman telah
memberikan nilai penyerapan air yang maksimal.

b. Penentuan Waktu Perebusan Biji Kecipir yang Optimal


Perebusan diperlukan untuk menginaktifkan komponen antinutrisi
yang ada pada biji kecipir. Berdasarkan literatur mengenai waktu
perebusan yang optimal untuk biji kecipir ini bermacam-macam. Menurut
Henry et al. (1985) di dalam Buckle dan Sambudi (1991), biji kecipir
membutuhkan waktu perebusan selama 220 menit agar dapat diterima
sebagai bahan makanan. Sementara menurut Purawisastra dan Komari
menyebutkan bahwa biji kecipir memerlukan waktu perebusan selama 90
menit.
Percobaan ini dilakukan pada biji kecipir hasil perendaman yang
optimal yaitu 18 jam dengan berbagai waktu perebusan (30, 60, 90, 120,
180, dan 220 menit). Perebusan dilakukan dengan air pada suhu 70 -
100oC. Setelah perebusan diamati secara kualitatif kekerasan biji kecipir,
warna air rebusan, dan kemudahan pengupasan kulitnya. Hasil
pengamatan dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Tabel 5).

35
Tabel 5. Hasil pengamatan biji kecipir pada berbagai waktu perebusan

Parameter yang diamati


Waktu
perebusan Kemudahan
Warna air
(menit) Kekerasan biji pengupasan
rebusan
kulit
30 Keras Coklat Sulit
60 Agak keras Coklat Sulit
90 Agak keras Coklat Agak mudah
120 Agak lunak Coklat Mudah
Coklat
180 Lunak Sulit
kehitaman
220 Lunak Hitam Sulit

Berdasarkan hasil pengamatan, tingkat kekerasan biji kecipir


setelah perebusan akan semakin menurun diikuti dengan semakin pekatnya
air rebusan. Semakin lama perebusan akan mengakibatkan air rebusan
semakin pekat karena larutnya pigmen dari biji kecipir. Pada menit ke-180
air rebusan telah berubah mendekati warna kehitaman.
Hasil yang optimal dari percobaan ini adalah perebusan pada
menit ke-120. Pada menit ke-120 penetrasi panas dan penyerapan air yang
masuk telah optimal melunakkan struktur selular dari biji kecipir sehingga
ketika dipegang biji tersebut telah terasa agak lunak dan mudah untuk
dikelupas. Jika perebusan dilakukan lebih lama lagi, pigmen kecipir larut
dalam air, biji kecipir pecah-pecah, dan teksturnya menjadi lunak sekali.
Penampakannya tidak menarik, warnanya kehitaman, dan butirannya
pecah-pecah. Enzim lipoksigenase menjadi aktif sehingga bau langunya
akan timbul dengan tajam dan tidak dikehendaki karena tidak disukai.

c. Penentuan Komposisi Kimia Bahan Baku (Biji Kecipir)

Komposisi bahan baku diperlukan untuk mengetahui karakteristik


biji kecipir yang akan digunakan pada penelitian utama dan juga sebagai
parameter untuk mengetahui perubahan komponen-komponen yang

36
terdapat pada kecipir setelah mengalami proses penepungan terutama
perubahan komponen proteinnya.

Tabel 6. Komposisi kimia bahan baku (biji kecipir)

Komposisi % Berat Basah (bb) % Berat Kering (bk)

Kadar air 10.32 11.51


Kadar abu 3.93 4.38
Kadar protein 28.30 31.56
Kadar lemak 14.52 16.19
Kadar
42.94 47.88
karbohidrat

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung ini adalah


biji kecipir yang memiliki kadar protein 31.56% (bk). Menurut data
komposisi kecipir dalam National Academy of Science (1975), kandungan
protein biji kecipir lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya, yaitu 29.8-
39.0% (bb). Bahkan beberapa peneliti berpendapat bahwa kandungan
protein dalam biji kecipir hampir menyamai kandungan protein pada
kedelai.
Kadar air biji kecipir sebesar 10.32% (bb) atau 11.51% (bk).
Menurut National Academy of Science (1975) biji kecipir mengandung air
8.7-24.6% (bb). Kadar air yang terkandung di dalam biji kecipir ini
berpengaruh pada karakteristik mutu biji terutama saat penyimpanan. Bila
biji-bijian disimpan dalam keadaan kadar air yang tinggi akan
menimbulkan kerusakan yang besar karena perkembangan kapang. Oleh
karena itu pada saat pembuatan tepung biji kecipir, perlu dilakukan sortasi
untuk menghilangkan biji kecipir yang telah rusak.
Biji kecipir hasil pengukuran mengandung kadar abu sebesar
3.93% (bb) atau 4.38% (bk). Kadar abu berhubungan dengan mineral yang
terkandung pada suatu bahan (Sudarmadji dkk, 1989). Mineral pada biji
kecipir sebagian besar adalah kalium dan phosphor, sedangkan zat besi
terdapat dalam jumlah relatif sedikit (National Academy of Science, 1975).

37
Mineral lain terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu mangan,
seng, dan tembaga. Sementara kadar lemak dalam biji kecipir cukup tinggi
yaitu sebesar 14.52% (bb) 16.19% (bk). Dari jumlah tersebut sekitar 71%
tersusun dari asam lemak tidak jenuh terutama asam linoleat.
Kandungan karbohidrat biji kecipir paling tinggi dibandingkan
kandungan gizi lainnya, yaitu 42.94% (bb) atau 47.88% (bk). Karbohidrat
yang terdapat dalam biji kecipir sebagian besar terdiri dari hemiselulosa
dan selulosa (Halim, 1989). Sedangkan bagian yang dapat dicerna
merupakan beberapa jenis oligosakarida dan monosakarida seperti
sukrosa, stakiosa, rafinosa, arabinosa dan glukosa. Kadar rafinosa dan
stakiosa di dalam biji kecipir lebih rendah dibandingkan dengan kacang
kedelai (National Academy of Science, 1975).

B. PENELITIAN UTAMA
g. Pembuatan Tepung Biji Kecipir
Pengolahan kecipir harus dimulai dengan sortasi untuk
mengeliminir biji berjamur, biji rusak atau pecah yang ada hubungannya
dengan kelanguan. Menurut Nelson (1971), proses pembuatan tepung
kedelai yang sebelumnya mengandung 23% biji pecah ketika diuji panel
dapat dengan mudah mendeteksi adanya cita rasa langu pada tepung
tersebut.
Setelah disortasi, biji kecipir kemudian direndam dalam air bersih
selama 18 jam pada suhu ruang. Perendaman ini berfungsi melunakkan
struktur selular sehingga mudah digiling, memberikan dispersi dan
suspensi bahan padat yang lebih baik pada waktu ekstraksi (penggilingan),
dan oligosakarida penyebab flatulensi berkurang menjadi tinggal sekitar
30% (Koswara, 1992).
Biji kecipir hasil perendaman ini kemudian direbus selama 120
menit. Dalam penelitian ini dilakukan perebusan selama 120 menit karena
kulit biji kecipir telah mudah dikupas. Menurut Purawisastra dan Komari,
pengupasan kulit biji dapat menurunkan kadar tanin dalam keping biji
kecipir sebesar 21%. Oleh karena itu dalam penelitian ini, biji kecipir

38
hasil perebusan kemudian dilakukan pengupasan kulit. Hasil penelitian
Wibowo (1998) juga menunjukkan bahwa isolat protein kacang gude yang
telah dikupas memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan
kacang gude utuh yakni masing-masing sebesar 84.08% dan 74.76%.
Pengupasan berguna untuk menghilangkan zat-zat lain seperti serat kasar
serta karbohidrat yang mungkin berpengaruh terhadap hasil ekstraksi
protein yang dihasilkan.
Biji kecipir kupas kulit digiling dengan penambahan akuades (biji
kecipir:akuades = 1:3). Suspensi ini diatur pH dengan penambahan NaOH
hingga pH 10. Kelarutan protein yang tinggi akan menghasilkan rendemen
protein yang tinggi pula. Prinsip dari tahapan ini adalah sebagian besar
asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya,
pada kondisi ini muatan sejenis cenderung tolak-menolak sehingga
interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutannya meningkat
(Cheftel et al., 1985).
Penentuan titik pH pengekstrakan dan pengendapan tepung biji
kecipir ini adalah berdasarkan hasil analisis kelarutan tepung biji kecipir
Kartika (2009). Biji kecipir memiliki kelarutan protein minimum (titik
isoelektrik) di pH 3.45 dan kelarutan maksimum suasana basa di pH 11
(Gambar 7). Meskipun kelarutan maksimum berada pada pH 11, namun
dalam pengekstrakan biji kecipir dilakukan pada pH 10. Hal ini berkaitan
dengan kemungkinan terbentuknya komponen antinutrisi seperti
lisinoalanin (Kinsella, 1979). Begitu pula dipertimbangkan juga
banyaknya asam HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan protein biji
kecipir pada titik isoelektriknya.

39
Gambar 7. Kurva kelarutan protein biji kecipir

Penggilingan (pengekstrakan) kembali pada suspensi kecipir.


Kemudian penyaringan untuk memisahkan suspensi dengan hancuran biji
yang kasar. Bagian yang lolos saringan diendapkan dengan penambahan
HCl hingga pH isoelektriknya (pH 3.45). Ketidaklarutan protein ini akibat
polimerisasi protein yang disebabkan oleh ikatan disulfida dan denaturasi
protein yang bersifat irreversibel (Zayas, 1997). Begitu pula menurut
Winarno (1992), protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya.
Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik
keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofil terlipat ke dalam.
Pelipatan atau pembalikan terjadi khususnya bila larutan protein telah
mendekati pH isoelektrik, dan akhirnya protein akan menggumpal dan
mengendap. Beberapa komponen nonprotein seperti lemak, asam fitat,
saponin, dan karbohidrat ikut mengendap saat pengendapan protein.
Tahap selanjutnya adalah pemisahan endapan dari lapisan air
sehingga diperoleh tepung biji kecipir basah. Tepung basah ini kemudian
dikeringkan dengan pengeringan sinar matahari dalam rumah kaca (suhu
±50oC). Menurut Rusli (1987), tujuan utama pengeringan adalah
mengeluarkan sebagian air dari biji sampai batas yang aman untuk

40
disimpan atau memudahkan pengolahan selanjutnya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran
matahari atau menggunakan mesin pengering. Setelah kering, tepung
masih dalam bentuk lembaran-lembaran ini digiling kembali dengan
blender kering. Kemudian diayak dengan ukuran ayakan 60 mesh. Berikut
ini adalah data komposisi tepung biji kecipir yang dihasilkan (Tabel 7).

Tabel 7. Komposisi kimia tepung biji kecipir

Komposisi % Berat Basah (bb) % Berat Kering (bk)

Kadar air 6.47 6.91


Kadar abu 3.76 4.02
Kadar protein 43.04 46.01
Kadar lemak 24.91 26.63
Kadar karbohidrat 21.83 23.34

h. Perhitungan Nilai Recovery Protein


Nilai recovery protein tepung biji kecipir didapat dari
perbandingan kandungan protein biji kecipir dan kandungan protein
tepung biji kecipir yang dijelaskan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perhitungan nilai recovery protein tepung biji kecipir


Sampel Jumlah Kadar Jumlah protein % recovery
(g) protein (%) dalam sampel (g)
Biji
500.00 31.56 157.80 -
kecipir
Tepung
biji 141.38 46.01 65.05 41.22
kecipir

Nilai recovery tepung biji kecipir hasil analisis adalah 41.22%.


Nilai recovery ini menunjukkan kadar protein hasil analisis ini belum

41
maksimal karena beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah
tahapan pengekstrakan yang belum optimal. Pengekstrakan protein pada
pembuatan tepung biji kecipir ini dilakukan di suhu ruang saja. Menurut
Zayas (1997), kelarutan protein akan meningkat pada suhu diantara 40-
50oC. Ketika suhu dinaikkan, struktur protein menjadi rantai lurus
sehingga interaksi protein-air lebih banyak dan kelarutan meningkat.
Kandungan serat kasar dan karbohidrat pada bahan baku (biji
kecipir) juga dapat mempengaruhi nilai recovery protein produk yang
dihasilkan. Zat-zat tersebut mungkin berpengaruh terhadap hasil ekstraksi
protein yang dihasilkan. Komponen antinutrisi berupa tannin dan saponin
juga dapat mengurangi efisiensi pengekstrakan. Komponen ini akan
membentuk kompleks dengan protein yang mengakibatkan protein tidak
terekstrak.

i. Analisis Asam Amino


Penilaian kandungan protein suatu bahan makanan akan menjadi
lebih sempurna bila diketahui kandungan serta komposisi asam aminonya.
Susunan asam amino yang lengkap dan seimbang sangat diharapkan dari
suatu bahan makanan. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat
diperlihatkan kandungan serta komposisi asam-asam amino biji kecipir
seperti pada Gambar 8.

42
Gambar 8. Diagram komposisi asam amino protein biji kecipir

Persentase asam amino triptofan, metionin, dan sistein biji kecipir


adalah yang paling rendah dibandingkan dengan asam-asam amino
lainnya. Sementara asam amino yang paling dominan adalah asam
glutamat, prolin, leusin, lisin, dan asam aspartat.
Dari komposisi asam-asam amino tersebut ternyata asam-asam
amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein merupakan
asam amino esensial pembatas. Asam amino esensial pembatas kedua
adalah triptofan.
Asam-asam amino dominan pada biji kecipir ini cenderung bersifat
hidrofilik. Asam glutamat dan asam aspartat dapat mengikat sekitar 4–7
molekul air/molekul asam amino, sedangkan asam amino polar hanya 1–2
molekul air/molekul asam amino. Untuk asam amino non polar hanya 1
molekul air/molekul asam amino atau tidak sama sekali (Zayas, 1997).

j. Penentuan Kelarutan Protein Tepung Biji Kecipir pada Berbagai pH


Penentuan kelarutan protein tepung biji kecipir dilakukan dengan
metode Lowry. Prinsip dari metode ini adalah reaksi antara ion Cu2+
dengan ikatan peptida dan reduksi asam fosfomolibdat dan asam

43
fosfotungstat oleh tirosin dan triptofan (merupakan residu protein) akan
menghasilkan warna biru.
Kelarutan protein adalah jumlah protein sampel yang terlarut
dalam larutan. Setiap protein mempunyai kelarutan tertentu yang
ditentukan oleh komposisi larutannya. Kelarutan protein secara nyata
dipengaruhi oleh pH dan umumnya mempunyai nilai minimum pada pH
isoelektrik.

Gambar 9. Kurva kelarutan protein tepung biji kecipir pada berbagai pH

Gambar 9 menunjukkan bahwa tepung biji kecipir memiliki nilai


kelarutan protein minimum pada pH 4 dan kelarutan maksimum pada pH
11. Kelarutan protein berada di titik terendah pada pH 4 dan naik perlahan-
lahan hingga pH 11 dan turun kembali pada pH 12.
Pada pH isoelektrik, muatan protein nol dan terjadi peningkatan
interaksi antara protein itu sendiri sehingga kelarutannya menurun.
Semantara dengan penambahan NaOH akan meningkatkan jumlah protein
yang larut. NaOH menyebabkan terjadinya hidrolisis secara acak sehingga
menyebabkan struktur protein membentang, membuka gugus karboksil

44
dan amino pada molekul yang berinteraksi dengan fase aqueous
(Yuslinawati, 2006).

k. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Tepung Biji Kecipir

Pengamatan sifat fisikokimia protein tepung biji kecipir meliputi


densitas kamba, Particle Size Index (PSI), dan analisis warna serta derajat
putih.

Tabel 9. Hasil pengukuran sifat fisikokimia tepung biji kecipir.


Sifat fisikokimia Tepung biji Konsentrat biji Konsentrat
kecipir kecipira biji kecipirb

Densitas kamba
0.5974 0.5841 0.5966
(g/ml)
PSI (%) 81.41 63.05 -

Analisis warna
L (lightness) 63.9896 75.42 83.8182
a (warna merah) 4.4973 0.85 1.2574
b (warna kuning) 15.0095 12.52 10.6593
Derajat putih (%) 60.73 72.40 72.73

Keterangan:
a: Haryasyah (2009)
b: Kartika (2009)

4) Densitas Kamba
Densitas kamba adalah salah satu sifat fisik bahan pangan
berupa tepung atau biji-bijian yang dinyatakan dalam g/ml. Nilai
densitas kamba menunjukkan porositas dari bahan yaitu jumlah rongga
yang terdapat di antara partikel-partikel bahan. Berdasarkan hasil
analisis nilai densitas kamba tepung biji kecipir adalah 0.5974 g/ml.
Nilai densitas kamba ini bila dibandingkan dengan konsentrat biji

45
kecipira dan konsentrat biji kecipirb tidak berbeda jauh. Hal ini sesuai
dengan nilai densitas kamba dari berbagai makanan bubuk yang
umumnya berkisar antara 0.30-0.80 g/ml (Wirakartakusumah et al.,
1992).
Menurut Khalil (1999), nilai densitas kamba yang besar
menunjukkan produk lebih ringkas. Tepung biji kecipir memiliki
keringkasan yang cukup tinggi menggambarkan bahwa porositas yang
dimiliki tepung ini kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara
partikel lebih kecil ataupun lebih sedikit jumlahnya. Jumlah rongga
yang banyak maupun besar ukurannya (tidak sebesar partikelnya) akan
menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh
partikel-partikel tersebut. Hal ini akan menyebabkan jumlah partikel
yang menempati suatu volume ruang akan menjadi lebih sedikit.

5) Particle Size Index (PSI)


Particle Size Index (PSI) menunjukkan tingkat kehalusan dari
suatu produk. Ukuran ini umumnya digunakan untuk bahan tepung-
tepungan. Tabel 9 menunjukkan bahwa tepung biji kecipir memiliki
nilai PSI yang cukup tinggi yaitu 81.41%. Nilai ini lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai PSI konsentrat biji kecipira. Nilai PSI yang
semakin besar menunjukkan semakin tingginya tingkat kehalusan dari
partikel tepung yang dihasilkan (Bejarano et al., 2007). Hal ini
membuktikan bahwa tahapan proses penggilingan tepung biji kecipir
menghasilkan produk dengan ukuran kehalusan yang cukup tinggi.

6) Analisis Warna dan Derajat Putih


Warna suatu bahan pangan merupakan sifat fisik yang sangat
penting, karena secara langsung mudah diamati oleh indera
penglihatan manusia. Mutu suatu bahan pangan seringkali juga dapat
dinilai melalui karakter warna yang dimilikinya. Berdasarkan hasil
analisis, warna tepung biji kecipir lebih gelap dibandingkan dengan
konsentrat biji kecipira dan konsentrat biji kecipirb (Tabel 9). Hal ini

46
terlihat dari nilai derajat putih tepung biji kecipir 60.73%, sedangkan
konsentrat biji kecipira dan konsentrat biji kecipirb berturut-turut
adalah 72.40% dan 72.73%. Tepung biji kecipir mengalami proses
pengeringan dengan pengeringan rumah kaca (suhu ±50oC)
menyebabkan kontak antara bahan dengan panas berlangsung lama
sehingga terjadi reaksi pencoklatan.

l. Analisis Sifat Fungsional Protein Tepung Biji Kecipir

Pengamatan sifat fungsional protein tepung biji kecipir meliputi


daya serap air, daya serap minyak, daya emulsi, kapasitas dan stabilitas
busa, dan penentuan sifat gelasi dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil pengukuran sifat fungsional protein tepung biji kecipir
Sifat fungsional Tepung biji kecipir Tepung kedelaia
Daya serap air (g/g) 2.1658 1.7500
Daya serap minyak (g/g) 1.1698 1.5100
Daya emulsi (%) 71.25 65.00
Kapasitas busa (%) 36.00 173.00
Stabilitas busa (%) 29.16 -
Sifat gelasi
Minimal konsentrasi 15% 12%
Keterangan:
a : Reddy et al. (1989)

6) Daya Serap Air


Daya serap air merupakan kemampuan protein menahan air
dalam suatu sistem pangan. Menurut Hutton dan Campbell (1981),
interaksi antara protein dengan air terjadi pada sisi polar asam amino,
seperti gugus karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfidril.
Sebagian besar protein mengandung sejumlah besar gugus polar
tersebut disepanjang rantai peptida yang menyebabkannya bersifat

47
hidrofilik. Bentuk protein dan faktor lingkungan seperti pH,
konsentrasi protein, dan suhu juga berpengaruh terhadap interaksi
antara protein dengan air. Bentuk protein yang tidak melipat akan lebih
banyak menyerap air daripada bentuk globular.
Dari hasil penelitian didapatkan nilai daya serap air tepung biji
kecipir yaitu 2.1658 g H2O/g sampel. Daya serap air dari tepung biji
kecipir ini lebih besar dibanding nilai daya serap air tepung kedelai
(1.7500 g H2O/g) yang dilaporkan oleh Reddy et al. (1989). Nilai daya
serap air yang tinggi ini disebabkan persentase asam amino dominan
pada biji kecipir adalah asam-asam amino polar seperti asam amino
glutamat, asam aspartat, dan lisin. Semakin banyak asam amino gugus
polar maka semakin baik daya serap airnya.

7) Daya Serap Minyak

Daya serap minyak juga dipengaruhi oleh protein yang


terdapat dalam bahan pangan (Hutton dan Campbell, 1981).
Pengukuran dilakukan dengan menambahkan minyak kedelai ke
dalam tepung biji kecipir, pencampuran dan kemudian sentrifugasi.
Dari supernatan hasil sentrifugasi dapat diketahui jumlah minyak
yang terserap. Dengan demikian jumlah sampel, jenis minyak, dan
kondisi sentrifugasi juga berpengaruh terhadap hasil yang didapat.
Dari hasil penelitian didapatkan nilai daya serap minyak rata-
rata adalah 1.1698 g/g. Nilai ini lebih kecil dibanding dengan nilai
daya serap tepung kedelai (1.5100 g/g) yang diujicobakan Reddy, et al.
(1989). Nilai daya serap minyak tepung biji kecipir ini juga ternyata
lebih rendah dibanding dengan daya serap airnya. Menurut Cheftel
(1985) protein yang tidak larut dan bersifat hidrofobik memiliki daya
serap minyak yang lebih besar. Berdasarkan komposisi asam amino
pada kecipir, protein tepung biji kecipir yang bersifat hidrofilik (polar)
lebih banyak dibandingkan dengan protein tepung biji kecipir yang
bersifat hidrofobik.

48
8) Daya Emulsi
Daya emulsi dalam penelitian ini diukur berdasarkan
persentase suspensi yang teremulsi dari suspensi campuran tepung
biji kecipir, air, dan minyak kedelai. Daya emulsi dari protein ini
dipengaruhi oleh konsentrasi protein dan pH medium. Pada
konsentrasi protein yang rendah akan menyebabkan adsorpsi
permukaan interfasial terjadi secara difusi, sementara pada
konsentrasi protein yang tinggi adsorpsi permukaan membutuhkan
energi aktivasi tertentu. Oleh karena itu, sifat emulsi biasanya diamati
pada konsentrasi yang rendah. Penentuan daya emulsi ini dilakukan
pada konsentrasi 1%.
Nilai daya emulsi tepung biji kecipir hasil analisis adalah
71.25%. Nilai ini lebih tinggi dibanding dengan nilai daya emulsi
tepung kedelai yang dilaporkan Reddy et al. (1989) yaitu sebesar
65.00%. Daya emulsi yang tinggi ini dikarenakan terjadinya
keseimbangan hubungan grup hidrofilik dan hidrofobik. Sehingga
dapat menurunkan tegangan permukaan diantara lapisan minyak dan
air.

9) Kapasitas dan Stabilitas Busa


Busa dapat didefinisikan sebagai dua sistem fase yang terdiri
dari sel udara yang dipisahkan oleh lapisan tipis cairan yang disebut
fase lamellar. Kemampuan protein untuk membentuk busa yang stabil
sangat diperlukan dalam produksi bahan pangan seperti es krim,
whipped cream, chiffon dessert, cake, dan roti.
Kapasitas busa tepung biji kecipir adalah 36.00% dan
stabilitasnya 29.16%. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding dengan
tepung kedelai yang mampu mencapai nilai 173% untuk kapasitas
busanya (Reddy et al., 1989). Nilai kapasitas dan stabilitas busa yang
rendah ini disebabkan oleh tidak cukup kuatnya larutan protein tepung
biji kecipir dalam membentuk lapisan yang viskoelastis diantara
permukaan udara dan air. Pembentukan lapisan viskoelastis tersebut

49
yang menentukan karakteristik busa suatu protein (Wilde dan Clark,
1996).

10) Penentuan Daya Gelasi


Gelasi adalah sifat reologi yang berkaitan dengan penarikan
air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Tepung biji kecipir
dapat membentuk gel pada konsentrasi minimal 15% dengan
karakteristik gel yang sangat lemah. Sementara tepung kedelai hasil
studi Reddy et al. (1989) dapat membentuk gel pada konsentrasi
minimal 12%.
Pada konsentrasi yang rendah, protein tepung biji keciipr tidak
dapat membentuk gel karena rantai-rantai terdispersinya tidak dapat
saling menjangkau. Menurut Schmidt (1981), semakin tinggi
konsentrasi, interaksi protein intramolekuler semakin baik. Sehingga
dapat menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin firm akibat
banyaknya molekul air yang terikat pada protein (Schmidt, 1981).
Begitu pula dengan yang dikatakan Zayas (1997), proses gelasi
tergantung dari pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai
hasil interaksi protein-protein dan protein-pelarut. Interaksi ini
semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena
kontak intermolekular yang juga lebih tinggi

50
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan pengekstrakan
merupakan hal penting dalam pembuatan tepung dengan metode penggilingan
basah. Tahapan pengekstrakan dalam penelitian ini belum optimal, terlihat
dari nilai recovery protein tepung biji kecipir hanya sebesar 41.22%. Nilai ini
menunjukkan kadar protein tepung biji kecipir yang dihasilkan belum
maksimal.
Hasil pengujian lebih lanjut terhadap produk tepung biji kecipir yang
dihasilkan melalui metode penggilingan basah menunjukkan bahwa tepung ini
memiliki sifat fisikokimia dan fungsional yang cukup bagus. Tepung biji
kecipir dengan kandungan protein 46.01% (bk) ini memiliki ukuran partikel
yang halus dan kemampatan yang sesuai dengan produk tepung-tepungan.
Hanya saja penampakan fisik warna tepung yang dihasilkan dengan
pengeringan rumah kaca ini tidak terlalu cerah dan berwarna kecoklatan.
Sifat fungsional berupa daya serap air, daya serap minyak, dan sifat
emulsi tepung biji kecipir cukup baik. Sementara kemampuan pembentukan
gel tepung biji kecipir minimal membutuhkan konsentrasi di atas 15%. Sifat
gelasi pada konsentrasi ini masih lemah, sehingga membutuhkan konsentrasi
yang tinggi agar dapat membentuk gel yang lebih baik.
Daya pembentukan busa protein tepung biji kecipir hasil analisis tidak
terlalu tinggi. Sehingga tepung ini dapat diaplikasikan sebagai bahan
tambahan dalam pengolahan daging atau produk pangan lainnya yang tidak
membutuhkan daya busa yang tinggi

B. SARAN
Kadar protein tepung kecipir masih relatif rendah dan perlunya
dilakukan optimasi dalam tahapan proses pembuatan tepung kecipir. Studi
lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendapatkan efisiensi pengekstrakan yang
maksimal, seperti penggunaan suhu diantara 40 – 50oC agar kelarutan
proteinnya meningkat dan juga perbandingan jumlah air pengekstrakan dan
biji kecipir perlu dioptimasi lagi.

51
DAFTAR PUSTAKA

Atmowidjojo, S. 1982. Produksi Biji Tanaman Induk dan Tanaman Anak pada
Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC). Laporan teknik 1981 –
1982. LBN – LIPI.

Aykroyd, W. R. dan J. Doughty. 1982. Legumes in Human Nutrition. Food and


Agriculture Organization of the United Nation (FAO), Roma.

Bejarano, P.I.A., N.M.V. Montoya, E.O.C. Rodriguez, J.M. Carillo, R.M.


Escobedo, J.A.L. Valenzuela, J.A.G. Tiznado, and C.R. Moreno. 2007.
Tempeh Flour from Chickpeas (Cicer arietinum L.) Nutritional and
Physicochemical Properties. J. Food Chem 106: 106 – 112.

Bello, A. B dan Okezie B. O. 1988. Physicochemical and Functional Properties of


Winged Bean Flour and Isolate Compared with Soy Isolate. J. Food Sci.
53(2): 450 – 454.

Cerny, K. 1978. Comparative Nutritional and Clinical Aspects of Winged Bean.


Winged bean workshop/seminar, public forum, Filipina

Chakraborty, P. 1986. Coconut Protein Isolate by Ultrafiltration. Di dalam Zheng,


H. G., X. Q. Yang, C. H. Tang, L. Li, I. Ahmad. Preparation of Soluble
Soybean Protein Aggregrates (SSPA) from Insoluble Soybean Protein
Consentrates (SPC) and Its Functional Properties. J. Food Research
International 41: 154 – 164.

Chan, J. dan B. O. de Lumen. 1982. Biological Effects of Isolated Trypsin


Inhibitor from Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) on Rats. J.
Agric. Food Chem. 30: 46 – 50.

Cheftel, J.C. , J. L. Coq dan D. Lorient. 1985. Amino Acids, Peptides, and
Proteins. Di dalam Fennema, O. R. (ed.). Food Chemistry. 2nd edition
Marcel Dekker Inc., New York dan Bazel.

Claydon, A. 1978. The Role of The Winged Bean in Human Nutrition di dalam
workshop on The Development of The Potential of The Winged Bean. Los
Banos, Laguna, Filipina.

Coffman, C. W., dan V. V. Garcia. 1997. Functional Properties and Amino Acid
Content of Protein Isolate from Mung Bean Flour. J. Food Technol. 12: 473
– 484.

Damodaran, S. 1996. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam Fennema,


O. R. 1996. Food Chemistry. 3rd edition. Marcel Dekker Inc., New York.

De Lumen, Benito O. dan Seham Fiad. 1982. Tochopherols of Winged Bean


(Psophocarpus tetragonolobus) Oil. J. Agric. Food Chem. 30 (1): 50 – 53.

52
Endress, J. G. 2001. Soy Protein Products : Characteristics, Nutritional Aspects,
and Utilization. AOCS Press and the Soy Protein Council, Amerika.

Erlina, M. D., S. T. Soekarto, Machfud, dan M. Hubeis. 1982. Menentukan Titik


Isoelektrik Protein Biji Kecipir. Buletin Pendidikan Ilmu dan Teknologi
Pangan 1: 250 – 260.

Ekpenyong, T. E. dan R. L Borchers. 1978. Nutritional Aspects of the Winged


Bean. Paper presented in the first International Symposium on Developing
the Potentials of the Winged Bean. Los Banos, Filipina.

Ekpenyong, T. E. dan R. L Borchers. 1980. The Fatty Acid Composition of the


Oil of the Winged Beans (Psophocarpus tetragonolobus). J. of Food Sci. 45:
1559 – 1565.

Food and Agriculture Organization. 1973. WHO Technical Report Series No. 522,
FAO Nutrition Meetings Report Series No. 52. FAO/WHO, Geneva. Di
dalam www. fao.org. htm [Diakses tanggal 3 Desember 2009).

Franzen, K. L. dan J. E. Kinsella. 1976. Functional Properties Succynilated and


Acetylated Soy Protein. J. Agric. Food Chem. 24: 788 – 795.

Halim, D. 1989. Pemanfaatan Biji Kecipir dalam Fermentasi Kefir. Skripsi.


Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartoyo, A., D. Syah, dan N. Sripalupi. 2007. Laporan Penelitian Hibah Bersaing
: Kajian Potensi Anti Atherogenik dan Sifat Hipoglikemik Fraksi Protein dan
Non-Protein Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Haryasyah, C. 2009. Produksi Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus


tetragonolobus (L.) DC) Serta Analisis Sifat Fisikokimia dan Fungsionalnya.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hatcher, D. W., M. J. Anderson, R. G. Desjardin, N. M. Edwards, dan J. E.


Dexter. 2002. Effects of Flour Particle Size and Starch Damage on
Processing and Quality of White Salted Noodles. J. American Association of
Cereal Chem. 79(1): 64 – 71.

Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Maryland:


Aspen Publisher, Inc Hutton, C. W. dan A. M. Cambell. 1981. Water and fat
absorption. Di dalam Cherry, J. P. (ed). Protein Functionality in Foods. ACS,
Washington D. C.

Kailasapathy, K , P. A. J. Perera dan J. H. Macnell. 1985. Improved Nutritional


Value in Wheat Bread by Fortification With Full-Fat Winged Bean Flour
(Psophocarpus tetragonolobus L. DC.). J. Food Sci. 50: 1693 – 1696.

53
Kartika, Y. D. Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Biji Kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan
Perilaku Fisik Bahan Pakan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan
Pemadatan, dan Berat Jenis. J. Media Peternakan vol. 22 No. 1: 1 – 11.

Kinsella, J. E. 1979. Functional Properties of Soybean Protein. J. Am. Oil Chem.


Soc. 56: 242 – 258.

Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu.


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Murdefi, Y. 1992. Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe Serta
Pemanfaatannya Dalam Pembuatan Biskuit Untuk Anak Balita. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Nakai, S., Ho, A. Kato, dan M. A. Tung. 1980. Relationship Between


Hydrophobicity and Emulsifying Properties of Some Plant Proteins. J. Can.
Inst. Food Tech. 13 (1) 23. Di dalam Zayas, J. F. 1997. Functionality of
Proteins in Food. Springer-Verlag, Berlin.

National Academy of Science. 1975. The Winged Bean: A High Protein Crop for
The Tropics. Nat. Ac. Of Sci, Washington D. C.

Narayana, K. dan M. S. Narasinga Rao. 1982. Functional Properties of Raw and


Heat Processed Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) flour. J. Food
Sci. 47(1): 1534 – 1538.

Pratama, G. F. S. P. 2008. Paket Teknologi Untuk Memproduksi Mi Jagung


Dengan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purawisastra, S. dan Komari. Pengaruh Perebusan Terhadap Kadar Tanin


Dalam Kedelai, Kecipir, dan Lamtoro Gung. Media Teknologi Pangan Vol
1 (2): 30 – 33.

Reddy, N. R., M. D. Pierson, S. K. Sathe, dan D. K. Salunke. 1989. Phytates in


Cereals and Legumes. CRC Press Inc., Florida.

Rusli, M. S. 1987. Pengaruh Suhu dan Metoda Penghembusan Terhadap Beberapa


Sifat Fisik Protein Kedelai (Glycine max (L) merr). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Samosir, D. J. 1985. Studi Laboratoris dan Biologis Biji Kecipir Sebagai Bahan
Makanan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

54
Sathe, S. K., S. S. Deshpande, dan D. K. Salunkhe. 1982. Functional Properties of
Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Proteins. J. Food Sci.
47: 503 – 509.

Schmidt, R.H. 1981. Gelation and Coagulation. Di dalam Cherry, J. P. (ed).


Protein Functionality in Foods. ACS Sympsium Series, 147. American
Chemistry Society, Washington D.C. p. 131.

Shurleff, W. R. 1978. Household Preparation of Winged Bean: Milk, Tofu and


Miso. Di dalam Workshop on The Development of The Winged Bean. Los
Banos, Laguna, Filipina.

Smith, A. K. dan S. J. Circle. 1972. Soybean: Chemistry and Technology. The


AVI Publ. Co. Inc. , Westport.

SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi


Nasional.

Tampubolon, T. K. 2000. Karakterisasi Sifat Molekular dan Sifat Fungsional


Protein Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonina L.). Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wibowo. 1988. Mempelajari Sifat Fisiko Kimia Protein Kacang Gude. Skripsi.
Fakultas Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widowati, S., S. K. Susi Wijaya dan R. Yuliati. 1998. Fraksi Globulin dan Sifat
Fungsional Isolat Protein dari Sepuluh varietas Kedelai Indonesia. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 17 (1): 52 – 58.

Wilde, P. J. dan D. C. Clark. 1996. Foam Formation and Stability. Di dalam Hall,
G. M. (ed). Methods of Testing Protein Functionality. Chapman and Hall,
London.

Winarno, F. G. dan A. Rahman. 1974. Protein: Sumber dan Peranannya.


Departemen Teknologi Hasil Pangan. Fatemeta Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Wirakartakusumah, M. A., K. Abdullah, dan A. M. Syarif. 1992. Sifat Fisik


Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Yuslinawati. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Sifat-Sifat Fungsional Protein Ampas


Tahu. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer-Verlag, Berlin.

55
Lampiran 1. Hasil pengolahan data rasio penyerapan air pada berbagai waktu
perendaman

Univariate Analysis of Variance

Between-Subjects Factors

N
LAMA 6 2
12 2
18 2
24 2

Descriptive Statistics

Dependent Variable: RASIO


LAMA Mean Std. Deviation N
6 1.103950 .0006364 2
12 1.382500 .0024042 2
18 1.732700 .0067882 2
24 1.754100 .0080610 2
Total 1.493313 .2874805 8

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: RASIO


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model .578a 3 .193 6577.658 .000
Intercept 17.840 1 17.840 608635.2 .000
LAMA .578 3 .193 6577.658 .000
Error 1.172E-04 4 2.931E-05
Total 18.418 8
Corrected Total .579 7
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

56
Post Hoc Tests

LAMA
Multiple Comparisons

Dependent Variable: RASIO


Tukey HSD

Mean
Difference 95% Confidence Interval
(I) LAMA (J) LAMA (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
6 12 -.278550* .0054140 .000 -.300590 -.256510
18 -.628750* .0054140 .000 -.650790 -.606710
24 -.650150* .0054140 .000 -.672190 -.628110
12 6 .278550* .0054140 .000 .256510 .300590
18 -.350200* .0054140 .000 -.372240 -.328160
24 -.371600* .0054140 .000 -.393640 -.349560
18 6 .628750* .0054140 .000 .606710 .650790
12 .350200* .0054140 .000 .328160 .372240
24 -.021400 .0054140 .055 -.043440 .000640
24 6 .650150* .0054140 .000 .628110 .672190
12 .371600* .0054140 .000 .349560 .393640
18 .021400 .0054140 .055 -.000640 .043440
Based on observed means.
*. The mean difference is significant at the .05 level.

Homogeneous Subsets
RASIO
a,b
Tukey HSD
Subset
LAMA N 1 2 3
6 2 1.103950
12 2 1.382500
18 2 1.732700
24 2 1.754100
Sig. 1.000 1.000 .055
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 2.931E-05.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b. Alpha = .05.

57
Lampiran 2. Hasil analisis proksimat bahan baku biji kecipir

% Berat Basah %Berat Kering


Komposisi
X±SD RSD X±SD RSD

Kadar air 6.47±0.08 1.18 6.91±0.09 1.26

Kadar abu 3.76±0.12 3.14 4.02±0.12 3.14

Kadar lemak 24.91±0.10 0.42 26.63±0.11 0.42

Protein 43.04±0.69 1.60 46.01±0.74 1.60

Karbohidrat 21.83±0.82 3.76 23.34±0.80 3.42

Lampiran 3. Hasil analisis proksimat tepung biji kecipir

% % Berat Basah %Berat Kering


Komposisi Ulangan
komposisi X±SD RSD X±SD RSD
1 10.39
Kadar air 10.32±0.11 1.03 11.51±0.04 0.37
2 10.24
1 3.95
Kadar abu 3.93±0.03 0.72 4.38±0.03 0.72
2 3.91
Kadar 1 14.35
14.52±0.23 1.61 16.18±0.26 1.61
lemak 2 14.68
1 28.82
Protein 28.30±0.74 0.00 31.56±0.82 2.60
2 27.78
1 42.49
Karbohidrat 42.94±0.64 1.48 47.88±0.59 1.24
2 43.39

58
Lampiran 4. Hasil analisis kelarutan protein tepung biji kecipir

[BSA] (mg/ml) Absorbansi


0.00 0.000
0.02 0.064
0.04 0.212
0.06 0.310
0.08 0.385
0.10 0.492

Gambar 8. Kurva standar kelarutan protein tepung biji kecipir

Konsentrasi protein
A rata-rata
pH 1 2 (mg/ml)
1 0.057 0.057 0.057 0.0127
2 0.027 0.027 0.027 0.0068
3 0.023 0.021 0.022 0.0058
4 0.010 0.012 0.011 0.0036
5 0.022 0.024 0.023 0.0060
6 0.027 0.026 0.027 0.0067
7 0.056 0.055 0.056 0.0124
8 0.071 0.070 0.071 0.0154
9 0.078 0.080 0.079 0.0171
10 0.164 0.165 0.165 0.0341
11 0.184 0.186 0.185 0.0382
12 0.105 0.106 0.106 0.0224

59
Lampiran 5. Hasil analisis kadar air tepung biji kecipir
%Berat Basah %Berat Kering
Sampel Ulangan w w1 w2
X±SD RSD X±SD RSD

1 2.0031 4.9202 3.0487 6.57 7.03


A
2 2.0027 4.9031 3.0297 6.46 6.90
6.47±0.08 1.18 6.91±0.09 1.26
1 2.0026 4.9068 3.0321 6.39 6.82
B
2 2.0039 4.9004 3.0258 6.45 6.90

Keterangan:
w = bobot contoh sebelum dikeringkan
w1 = bobot contoh + cawan kering kosong
w2 = bobot cawan kosong

Lampiran 6. Hasil analisis kadar abu tepung biji kecipir


%Berat Basah %Berat Kering
Sampel Ulangan w w1 w2
X±SD RSD X±SD RSD

1 2.0009 25.4583 25.3859 3.62 3.87


A
2 2.0041 20.2810 20.2069 3.70 3.95
3.76±0.12 3.14 4.02±0.12 3.14
1 2.0037 31.5117 31.4347 3.84 4.11
B
2 2.0030 34.7534 34.6760 3.86 4.13

Keterangan:
w = bobot contoh sebelum diabukan
w1 = bobot contoh + cawan setelah diabukan
w2 = bobot cawan kosong

60
Lampiran 7. Hasil analisis kadar lemak tepung biji kecipir
%Berat basah %Berat kering
Sampel Ulangan Wo W1 W2
X±SD RSD X±SD RSD
1 2.1054 107.6206 107.0933 25.05 26.78
A
2 2.0828 110.8141 110.2953 24.91 26.63
24.91±0.10 0.42 26.63±0.11 0.42
1 2.0623 116.4262 115.9149 24.79 26.51
B
2 2.1107 120.9626 120.4375 24.88 26.60

Keterangan:
Wo = bobot sampel (g)
W1 = bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g)
W2 = bobot labu lemak kosong (g)

Lampiran 8. Hasil analisis kadar protein tepung biji kecipir


W sampel Vol. HCl %Berat Basah %Berat Kering
Sampel Ulangan
(g) (ml) X±SD RSD
X±SD RSD
1 0.0645 10.7 43.49 46.50
A
2 0.0436 7.3 43.70 46.72
43.04±0.69 1.60 46.01±0.74 1.60
1 0.0533 8.6 42.20 45.12
B
2 0.0458 7.5 42.76 45.72

Lampiran 9. Hasil analisis densitas kamba tepung biji kecipir


Densitas
Sampel Ulangan a b X±SD RSD
kamba
1 37.8820 31.8252 0.6057
A
2 37.9834 31.8252 0.6158
0.5974±0.0162 2.7118
1 37.6383 31.8255 0.5813
B
2 37.6922 31.8255 0.5867

Keterangan:
a = berat gelas ukur berisi 10 ml sampel (g)
b = berat gelas ukur kosong (g)

61
Lampiran 10. Hasil analisis Particle Size Index (PSI) tepung biji kecipir

Jumlah partikel Jumlah sampel Percent


Sampel Ulangan mesh PSI X±SD RSD
yang tertahan (g) (g) over
40 0.1553 3.11
60 1.1487 22.97
1 80 1.3880 5.0000 27.76 83.39
100 0.6031 12.06
>100 1.7049 34.10
A
40 0.1352 2.70
60 1.1232 22.46
2 80 1.2961 5.0000 25.92 84.31
100 0.6330 12.66
>100 1.8175 36.35
81.41±3.5628 3.5628
40 0.3749 7.50
60 1.2865 25.73
1 80 1.3776 5.0000 27.55 79.70
100 0.5520 11.04
>100 1.4090 28.18
B
40 0.5054 10.11
60 1.3581 27.16
2 80 1.2047 5.0000 24.09 78.25
100 0.5414 10.83
>100 1.3904 27.81

62
Lampiran 11. Hasil analisis Total Color Differences tepung biji kecipir

Derajat
Sampel Ulangan Y x y Y X Z L a b
Putih
1 41.45 0.3626 0.3564 41.45 42.1711 32.6808 64.3817 4.2526 14.9709 61.1300
2 40.54 0.3641 0.3567 40.54 41.3810 31.7319 63.6710 4.5863 15.0212 60.4214
A 3 40.77 0.3629 0.3563 40.77 41.5252 32.1308 63.8514 4.3460 14.8605 60.6751
4 41.58 0.3629 0.3562 41.58 42.3621 32.7901 64.4826 4.4219 14.9882 61.1968
5 40.39 0.3652 0.3573 40.39 41.2830 31.3692 63.5531 4.7326 15.2222 60.2195
1 41.16 0.3657 0.3579 41.16 42.0570 31.7872 64.1561 4.7413 15.5331 60.6485
2 40.13 0.3654 0.3581 40.13 40.9481 30.9856 63.3482 4.5223 15.3432 60.0098
B 3 40.87 0.3637 0.3565 40.87 41.6954 32.0769 63.9296 4.5422 15.0018 60.6712
4 41.28 0.3623 0.3557 41.28 42.0459 32.7269 64.2495 4.3767 14.7740 61.0703
5 41.31 0.3611 0.3543 41.31 42.1029 33.1833 64.2729 4.4515 14.3803 61.2310

X±SD 63.9896±0.3798
L
RSD 0.5935
X±SD 4.4973±0.1601
a
RSD 3.5588
X±SD 15.0095±0.3173
b
RSD 2.1143
X±SD 60.7274±0.4259
Derajat putih (%)
RSD 0.7013

63
Lampiran 12. Hasil analisis daya serap air tepung biji kecipir

w
Sampe Ulanga w sampel kering Densitas air Vol. air Vol. air awal DSA
sampel X±SD RSD
l n (g) (g/ml) tersisa (ml) (ml) (g/g)
(g)
1 1.0006 0.9899 1 7.8 10.0 2.2224
A
2 1.0014 0.9907 1 8.0 10.0 2.0188
2.1658±0.097 4.534
1 1
1 1.0041 0.9934 1 7.8 10.0 2.2146
B
2 1.0075 0.9967 1 7.8 10.0 2.2073

Lampiran 13. Hasil analisis daya serap minyak tepung biji kecipir

w
Sampe Ulanga w sampel kering DSM
sampel Densitas minyak Vol. minyak Vol. minyak X±SD RSD
l n (g) (g/g)
(g) (g/ml) tersisa (ml) awal (ml)
1 1.0027 0.9920 0.88 8.7 10.0 1.1532
A
2 1.0093 0.9985 0.88 8.6 10.0 1.2338 1.1698±0.042 3.658
0.9990 8 7
1 1.0098 0.88 8.7 10.0 1.1451
B
2 1.0079 0.9971 0.88 8.7 10.0 1.1473

64
Lampiran 14. Hasil analisis daya emulsi tepung biji kecipir

Vol. campuran teremulsi Vol. total dalam tabung (ml)


Sampel Ulangan Daya emulsi (%) X±SD RSD
(ml)
1 7.0 10.0 70.00
A
2 7.5 10.0 75.00
71.25±2.50 3.5088
1 7.0 10.0 70.00
B
2 7.0 10.0 70.00

Lampiran 15. Hasil analisa kapasitas dan stabilitas busa tepung biji kecipir

60 Kapasitas Stabilitas
Sampel Ulangan Volume awal 30' X±SD RSD X±SD RSD
menit busa (%) busa
1 50.0 18.0 5.5 36.00 30.56
A
2 50.0 17.5 5.0 35.00 28.57
36.00±0.82 2.27 29.16±1.23 4.21
1 50.0 18.0 5.5 36.00 27.78
B
2 50.0 18.5 5.0 37.00 29.73

65
Lampiran 16. Hasil analisis daya gelasi tepung biji kecipir
Konsentrasi (% b/v)
Sampel Ulangan
7 1 1.25 1.5

1 0 0 0 1
A 0 0 0 1
2 0 0 0 1
1 0 0 0 1
B 0 0 0 1
2 0 0 0 1

Keterangan:
0 = gel tidak terbentuk
1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan
2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal
3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali
4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali

66

Anda mungkin juga menyukai