Anda di halaman 1dari 55

PENGARUH IMBANGAN TANAH LATERIT DENGAN PUPUK

KOMPOS TERHADAP NILAI NUTRISI TANAMAN LAMTORO


Tarramba (Leucaena leuchochephala cv. Tarramba)

Alexander A kato; Twen O. Dami Dato; Grace Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh imbangan tanah laterit


dengan pupuk kompos terhadap nilai nutrisi tanaman lamtoro tarramba
(Leucaena leuchochephala cv. Tarramba). Rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL), terdiri dari 4
perlakuan dengan 3 ulangan. Perlakuan tersebut adalah: P₀=tanpa pupuk kompos
(kontrol), P₁= imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 90:10, P₂= imbangan
tanah laterit dan pupuk kompos 80:20 dan P₃= imbangan tanah laterit dan pupuk
kompos 70:30. Variabel yang diamati adalah: kandungan dan kecernaan in vitro
bahan kering dan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan rataan kandungan
bahan kering: P₀ (89,31±0,71); P₁ (89,32±0,73); P₂ (89,35±0,84); P₃
(89,62±0,46); kandungan bahan organik: P₀ (82,35± 0,77); P₁ (82,45± 0,98); P₂
(82,50± 0,95); P₃ (82,69± 0,87); kecernaan in vitro bahan kering: P₀
(72.37±1.05); P₁ (73.94±1.52); P₂ (74.36±1.04); P₃ (78.57±3.16); dan kecernaan
in vitro bahan organik: P₀ (69.08±0.36); P₁ (69.30±0.95); P₂ (69.68±2.28); P₃
(75.66±3.68). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan imbangan
tanah laterit dan pupuk kompos berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap
kandungan bahan kering dan bahan organik tetapi memberikan pengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kecernaan in vitro bahan kering dan bahan organik.
Disimpulkan bahwa pengaruh imbangan tanah laterit dengan pupuk kompos
terhadap nilai nutrisi tanaman lamtoro tarramba secara nyata dapat meningkatkan
KcBK dan KcBO, namun memberikan respon yang sama terhadap kandungan
bahan kering dan kandungan bahan organik pada tanaman lamtoro tarramba
(Leucaena leucocephala cv. Tarramba).

Kata Kunci: pupuk kompos, lamtoro tarramba, bahan kering, bahan organik,
kecernaan in vitro.

i
THE INFLUENCE OF LATERITAL LAND BALANCE WITH COMPOST
FERTILIZER ON NUTRITION VALUE OF LAMTORO PLANTS
Tarramba (Leucaena leuchochephala cv. Tarramba)

Alexander A kato; Twen O. Dami Dato; Grace Maranatha

ABSTRACT

This study aims to determine the effect of laterite soil balance with compost
fertilizer on the nutritional value of lamtoro tarramba plant (Leucaena
leuchochephala cv. Tarramba). The experimental design used in this study is a
complete randomized design (RAL), consisting of 4 treatments with 3 repetitions.
The treatments were: P₀= without compost (control), P₁ = laterite soil balance
and compost 90:10, P₂ = laterite soil balance and 80:20 compost and P₃ = laterite
soil balance and 70:30 compost. The variables observed were:content and
digestion in vitro of dry matter and organic matter. The results showed that the
average dry matter content: P₀ (89.31 ± 0.71); P₁ (89.32 ± 0.73); P₂ (89.35 ±
0.84); P₃ (89.62 ± 0.46); organic matter content: P₀ (82.35 ± 0.77); P₁ (82.45 ±
0.98); P₂ (82.50 ± 0.95); P₃ (82.69 ± 0.87);digestion in vitro of dry matter: P₀
(72.37 ± 1.05); P₁ (73.94 ± 1.52); P₂ (74.36 ± 1.04); P₃ (78.57 ± 3.16);
anddigestion in vitro of organic matter: P₀ (69.08 ± 0.36); P₁ (69.30 ± 0.95); P₂
(69.68 ± 2.28); P₃ (75.66±3.68). The results of statistical analysis showed that the
treatment of laterite soil balance and compost fertilizer had no significant effect
(P>0.05) on the content of dry matter and organic matter but gave a significant
effect (P<0.05) ondigestion in vitro of dry matter and organic matter. It is
concluded that the influence of laterite soil balance with compost fertilizer on the
nutritional value of lamtoro tarramba plant can significantly increase KcBK and
KcBO, but provide the same response to dry matter content and organic matter
content in lamtoro tarramba plant (Leucaena leucocephala cv. Tarramba).

Keywords: compost, lamtoro tarramba, dry matter, organic matter, digestion in


vitro.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan anugerah serta penyertaan-Nya, maka penulis dapat

menyelesaikan penelitian sampai penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun

berdasarkan hasil penelitian yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana.

Penulis menyadari selama menyelesaikan penelitian hingga penyusunan

skripsi ini, banyak sekali tantangan dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi,

penulis mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian hingga penyusunan skripsi ini dengan baik. Untuk

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Twen O. Dami Dato,

MP., selaku pembimbing utama, Ir. Grace Maranatha, M.Si., selaku pembimbing

anggota, Ir. Marthen Yunus, MP., selaku penguji yang dengan sabar dan tulus

serta yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tulus dan hormat Penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Arnold E. Manu, MP., selaku Dekan Fakultas Peternakan

Universitas Nusa Cendana yang telah menyediakan sarana dan fasilitas

selama penulis melakukan perkuliahan.

2. Bapak Ir. Edi Djoko Sulistijo, MP., selaku Ketua Program Studi

Peternakan di Fapet Undana yang selalu menyediakan waktu untuk

melayani dalam hal pelayanan akademik.

iii
3. Ibu Dr. Ir. Twen O. Dami Dato, MP., selaku Dosen penasehat yang telah

membimbing penulis dari semester I sampai semester IX serta memberi

motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen dan pegawai pada Fakultas Peternakan Undana atas

didikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penulis kuliah.

5. Bapak Mama tercinta Gidion Nappu dan Martha Alu. Kakak Elisabet dan

adik Neta, Lita, Erlina, Grace dan Ruth yang dengan sukacita memberi

doa, dukungan dan cinta kasih kepada penulis dalam mengerjakan skripsi

ini sampai selesai.

6. Rekan peneliti Gerin, Putra, Rio, Marsela, Mey dan Benyamin terima

kasih atas kebersamaan yang telah terjalin selama masa penelitian.

7. Rekan-rekan seperjuangan Fapet angkatan 2016: Gerin, Tommy, Samuel

T, Bazalel, Jovandra, Putra, Angel, Glen, Pierre, Rolan, Jhoy, Yacob, Tito,

Debi, Rio N, Rio S, Elson, Edhgar, Jen, Hero dan semua rekan yang tidak

sempat disebut satu persatu yang selalu memberi motivasi selama di

bangku perkuliahan. Terima kasih atas kebersamaan yang telah terjalin

selama masa studi di Kampus Cokelat.

iv
Kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya di bidang peternakan. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun

sangat Penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga tulisan ini

bermanfaat bagi pembaca sekalian. Tuhan memberkati.

Kupang, Januari 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

hal

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.4 Manfaat Penelitian 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tanaman Lamtoro (Leucaena glauca) 7
2.1.1 Taksonomi dan Morfologi 8
2.1.2 Jenis-jenis Lamtoro 9
2.1.3 Tanaman lamtoro tarramba 10
2.2 Pupuk Kompos 11
2.3 Kandungan Bahan Kering dan Bahan Organik 12
2.4 Kecernaan 12
2.4.1 Kecernaan Bahan Kering 13
2.4.2 Kecernaan Bahan Organik 15
2.6 Tanah Laterit 17

vi
2.7 Ciri-ciri Fisik Tanah Laterit 19

BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 20
3.2 Materi Penelitian 20
3.3 Metode Penelitian 20
3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 21
3.5 Variabel Yang Diamati 23
3.6 Analisis Data 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Kering 24
4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Organik
26
4.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Bahan
Kering 28
4.4 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Bahan
Organik 30

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan 32
5.2 Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 38

RIWAYAT HIDUP 46

vii
DAFTAR TABEL

Tabel. halaman

1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Kering 24

2. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Organik 26

3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Bahan Kering 28

4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan in vitro Bahan Organik 30

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lamp. halaman

1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Bahan Kering Imbangan


Jenis Tanah 38

2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Organik


Imbangan Jenis Tanah 40

3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Kering


Imbangan Jenis Tanah 42

4. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Organik


Imbangan Jenis Tanah 44

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu daerah penting sentra

produksi ternak sapi sudah lama dikenal dengan baik, namun sebagian besar

peternaknya masih memelihara ternak sapi secara ekstensif tradisional, yaitu

dengan membiarkan ternaknya mencari makan sendiri di padang rumput

alam, yang pertumbuhan dan produksinya berfluktuasi mengikuti musim

(Nulik & Bamualim 1998). Hal ini dipersulit lagi dengan rendahnya kualitas

hijauan (3-8% protein) yang dapat diperoleh ternak di padang rumput (Nulik

& Kana Hau 2016), bahkan selama musim hujan ketika hijauan rumput alam

masih dalam tahap pertumbuhan vegetatif (hanya mencapai 10% kandungan

protein kasar). Walaupun di dalam komposisi hijauan padang rumput alam

terdapat cukup beraneka ragam jenis hijauan leguminosa herba lokal

(Aeschynomene sp, Alysicarpus spp, Macroptilium triloba, M. atropurpureum

dan Censtrosema pubescens), namun persentasenya dalam komposisi sangat

kecil (<5%) (Kana Hau 2014), sehingga kualitas pakan secara keseluruhan

masih rendah. Karena itu perlu melakukan kajian pengembangan dan

pemanfaatan tanaman pakan leguminosa yang sesuai dengan kondisi

agroklimat yang spesifik lokasi, dengan kondisi kemarau yang panjang guna

meningkatkan kualitas pakan ternak, menunjang produktivitas yang tinggi

dan berkelanjutan. Dalam upaya pengembangan hijauan makanan ternak

berbasis leguminosa, yaitu leguminosa pohon (Leucaena leucoephala cv

1
Tarramba) di NTT di pandang sangat penting untuk memperhatikan faktor-

faktor penghambat dan pendukung, seperti yang telah dilakukan

penelitiannya pada awal introduksi teknologi (Kana Hau et al. 2014).

Lamtoro (Leucaena leucocephala) adalah tumbuhan

semak-semak/pohon kecil yang cepat tumbuh, berasal dari bagian selatan

Mexico dan bagian utara Amerika Tengah tetapi sekarang telah menjadi

vegetasi alam di daerah tropis. Pada tahun 1870 dan 1980-an, lamtoro

dipromosikan sebagai pohon ajaib (miracle tree) karena begitu banyak

kegunaannya. Lamtoro dapat digunakan sebagai bahan pakan, pupuk hijau,

kayu bakar, pengontrol erosi, tanaman penaung, furniture, bahan pembuat

kertas dan bahan pangan untuk manusia. Sebagai bahan pakan, daun lamtoro

dan ranting-rantingnya yang kecil mengandung nutrient dan serat yang

hampir merupakan pakan lengkap untuk ternak ruminansia, hampir sama

dengan alfalfa dan merupakan sumber-sumber pakan di negara maju

(D’Mello and Thomas, 1997). Dalam 100 g bahan kering, lamtoro

mengandung 29,2 g protein kasar, 4,3 g mimosin, 19,2 g serat kasar 10,5g

abu, 1,01 g tanin, 1,9 g kalsium, 0,23 g fosfor, 0,34 g magnesium, NDF 39,5,

ADF 35,1, energi dapat dicerna 11,6 – 12,9 MJ/kg dari bahan kering (Garcia

et al., 1966).

Leucaena leucocephala merupakan salah satu sumber daya pakan

dengan kandungan protein tinggi. Tanaman L. leucocephala cv. Tarramba

memiliki produktivitas yang tinggi, sangat tahan terhadap kekeringan, dan

tahan terhadap hama kutu loncat. Tanaman lamtoro memiliki kandungan

2
protein kasar yang tinggi yakni sebesar 23.7% - 34% dengan palatabilitas

yang tinggi (Yumiarty dan Suradi, 2010). Lamtoro mampu beradaptasi

dengan baik di daerah tropis dan mampu beradaptasi pada tanah dengan

kemasaman sedang antara pH 5,5 – 6,5 dengan curah hujan tahunan di atas

760 mm (Hoult dan Briant, 1974). Salah satu varietas lamtoro yang sudah

berkembang baik di Indonesia adalah varietas Tarramba. Penelitian Yurmiaty

dan Suradi (2010) lamtoro varietas Tarramba (L. leucocephala cv. Tarramba)

memiliki keunggulan tahan terhadap hama kutu loncat dan tahan pada kondisi

kering. Keunggulan lain dari Lamtoro Tarramba adalah tinggi kandungan

protein (15-18%), vitamin dan mineral.

Hijauan pakan ternak adalah semua bentuk bahan pakan berasal dari

tanaman atau rumput termasuk leguminosa baik yang belum dipotong

maupun yang dipotong dari lahan dalam keadaan segar (Akoso, 1996) yang

berasal dari pemanenan bagian vegetatif tanaman yang berupa bagian hijauan

yang meliputi daun, batang, kemungkinan juga sedikit bercampur bagian

generatif, utamanya sebagai sumber makanan ternak ruminansia

(Reksohadiprodjo, 1985). Untuk penanaman hijauan makanan ternak

dibutuhkan tanah yang subur dan memenuhi persyaratan-persyaratan jenis

tanah dan iklim yang sesuai dengan yang dikehendaki (Sosroamidjoyo dan

Soeradji, 1986). Produksi hijauan pakan sepanjang tahun berbeda-beda

tergantung pada musim. Pada musim hujan produksi hijauan pakan

berlimpah, sedangkan pada musim kemarau produksinya berkurang. Demi

tersedianya hijauan pakan sepanjang tahun, diperlukan budidaya hijauan

3
pakan dengan cara penanaman jenis hijauan pakan yang unggul. Budidaya

pakan hijauan yang baik akan menjaga ketersediaan pakan sehingga

kebutuhan ternak tercukupi.

Untuk mendapatkan tingkat produksi lamtoro taramba (Leucaena

leucocephala cv. Tarramba) dalam mempertahankan produktivitas dan

kualitasnya tinggi perlu dilakukan pemupukan. Pemupukan bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman sehingga dapat meningkatkan

produktivitas tanaman. Sebagian besar lahan pertanian menurun

produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan. Terutama sangat

rendahnya kandungan bahan organik dalam tanah akibat adanya erosi pada

topsoil tanah, panen setiap musim serta akibat iklim kering yang

berkepanjangan. Untuk menanggulangi hal tersebut perlu dilakukan

pengelolaan kesuburan tanah secara tepat dan benar. Pupuk organik sangat

bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun

kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas

lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang

dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.

Tanah memiliki sifat yang bervariasi, yaitu terdiri dari sifat fisik, kimia dan

biologi. Dengan bervariasinya sifat-sifat tersebut, maka tingkat kesuburan

dari berbagai jenis tanah berbeda-beda pula, karena kesuburan suatu tanah

tergantung pada sifat-sifat tersebut. Ketidakstabilan agregat tanah pada tanah

tekstur berpasir merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman.

Butir- butir tanah lepas satu sama lain sehingga jumlah pori drainasenya

4
tergolong tinggi dan kemampuan menahan air, nutrisi, dan memegang akar

tanaman sangat rendah (Cahaya dkk 2014). Menurut Bhardwaj et al. (2007)

karakteristik tanah tekstur berpasir adalah kemampuan memegang air yang

rendah dan drainase berlebihan sehingga ketersedian air dan pupuk yang

dapat digunakan oleh tanmana sangat rendah. Sehingga diharapkan

penggunaanya yang dipadukan dengan pupuk kompos mampu meningkatkan

pertumbuhan tanaman.

Bedasarkan uraian diatas maka akan dilaksanakan suatu penelitian yang

berudul “Pengaruh Imbangan Tanah Laterit Dengan Pupuk Kompos

Terhadap Nilai Nutrisi Tanaman Lamtoro Tarramba (Leucaena

leuchochephala cv. Tarramba).”

1.2 Rumusan Masalah

Mengacuh pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut: bagaimana pertumbuhan lamtoro terrambah yang dibudidaya

pada jenis tanah laterit dengan penambahan pupuk kompos.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu : untuk mengetahui pengaruh

imbangan tanah laterit dengan pupuk kompos terhadap nilai nutrisi tanaman

lamtoro tarramba (Leucaena leuchochephala cv. Tarramba).

5
1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: sebagai bahan informasih ilmiah

dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya nilai nutrisi lamtoro sebagai

hijauan makanan ternak yang dibudidaya pada tanah laterit dengan tambahan

pupuk kompos.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Lamtoro (Leucaena glauca)

Tanaman lamtoro (leucaena glauca) banyak ditemukan di semua tempat di

Indonesia, terbukti dari sebutan nama tanaman ini yang berbeda-beda di suatu

daerah. Meskipun sebarannya cukup luas, namun lamtoro bukanlah tanaman asli

Indonesia. Lamtoro (leucaena glauca), berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko

(Brewbaker et al., 1985). Dijelaskan lebih lanjut bahwa lamtoro mempunyai

banyak nama tergantung Negara tempat tumbuhnya, seperti Leucaena (Australia,

Amerika Serikat), Ipil-ipil, Elena, Kariskis (Philippina), Lamtoro (Indonesia),

Petai Jawa (Malaysia), Yin ho huan (Tiongkok), White Leadtree (Inggris),

Fauxmimosa (Perancis), Krathin (Thailand), Kubabul atau Subabul (India), Koa

hoa le (Hawaii), Tangantangan (beberapa Kepulauan di Pasifik), Cassis

(Vanuatu), Guaje (Mexico), Huaxin (Amerika Tengah), Lamandro (Papua

Nugini). Di Indonesia nama lamtoro juga dikenal dengan sebutan Petai Cina. Di

beberapa daerah di Indonesia lamtoro disebut dengan nama lain Kemlandingan

(Jawa), Belandingan (Lombok), dan Kawa Manila (Sumbawa), Lamentoro, Petai

Selong (Manggarai Flores).

Tanaman lamtoro termasuk familia mimosa. Orang menyebut tanaman ini

sebagai “the miracle tree”, pohon ajaib. Hal ini karena kegunaan tanaman ini yang

begitu banyak. Lamtoro digunakan sebagai tanaman pencegah erosi,

meningkatkan kesuburan lahan, pohon peneduh pada perkebunan kopi dan kakao,

7
sumber kayu bakar, penahan angin, tanaman jalur hijau, pohon tempat merambat

tanaman yang melilit seperti lada, vanili, markisa, biasa dipakai untuk tanaman

pagar karena tanaman ini berupa pohon, dengan ketinggian mencapai 18 meter,

tergantung jenisnya. Petai Cina juga merupakan tanaman penghasil pulp untuk

produksi kertas, kulit batangnya (pepagan) sebagai penghasil zat samak dan zat

pewarna merah, coklat, dan hitam. Daun dan polong serta tangkainya yang masih

muda merupakan sumber pakan potensial bagi sapi.

Tanaman Leguminosa adalah tanaman polong-polongan dengan sistem

perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium dan membentuk

bintil akar yang mempunyai kemampuan mengikat nitrogen dari udara (Purwanto,

2007).

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Klasifikasi Lamtoro (Leucaena leucocephala) seperti ditulis Ruslin (2011) dan

Yahya (2014) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Family : Leguminoseae

Subfamily : Papilionaceae

Genus : Leucaena

Species : Leucaena leucocephala

8
Spesies Leucanena leucocephala inilah yang banyak dibudidayakan di tanah

air. Penyebaran Lamtoro di Asia dilakukan oleh Bangsa Spanyol. Mereka

membawa biji tanaman ini pertama kali ke Pilipina pada akhir Abad XVI. Biji

tersebut mereka jadikan bibit dan setelah tumbuh, tanaman lamtoro ditanam di

areal perkebunan guna dijadikan sebagai peneduh tanaman kopi. Selain itu, daun

lamtoro digunakan sebagai pakan ternak. Tanaman lamtoro yang sudah tua

dijadikan sebagai kayu bakar. Dari Pilipina kemudian tanaman lamtoro menyebar

luas ke pelbagai bagian dunia. Keberadaan lamtoro di Indonesia, pertama kali

ditemukan di Pulau Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Kemudian

menyebar ke tempat lain termasuk Malaysia. Itulah sebabnya di Malaysia tanaman

ini di sebut sebagai ”petai jawa”.

2.1.2 Jenis-jenis Lamtoro

Beberapa jenis lamtoro yang telah dikenal dan dibudidayakan di dunia.

Menurut catatan Gutteridge dan Shelton, (1998) paling sedikit ada 17 jenis,

diantaranya adalah leucaena leucocephala cv. Cunningham, leucaena

leucocephala K636, leucaena leucocephala Q25221, leucaena leucocephala

CP161227, leucaena pallida K818, leucaena pallida K803, leucaena pallida

CSIRO composite, leucaena pallida K376, leucaena diversifolia K156, leucaena

diversifolia CP146568, leucaena leucocephala x Leucaena diversifolia (KX3)

K636 x K156, leucaena leucocephala x Leucaena pallida (KX2)K8 x K376,

leucaena leucocephala x Leucaena pallida (KX2)K748 x K636 (F1), leucaena

pallida x Leucaena leucocephala (KX2)K806 x K636 (F1), leucaena pallida x

9
Leucaena leucocephala (KX2) K8 x K376, leucaena pallida K806 x K748,

leucaena pallida K953

2.1.3 Tanaman lamtoro taramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba)

Merupakan hasil persilangan Leucaena leucocephala dengan Leucaena

pallida. Hibrid Leucaena ini dikenal dengan istilah KX2. Kelebihan dari hibrid ini

antara lain adalah tahan kutu loncat (Heteropsylla cubana). Produksi daun lebih

tinggi dibanding Leucaena leucocephala. Tetapi kebanyakan Leucaena hibrid

produksi bijinya sedikit. Leucaena KX2 hibrid, generasi berikutnya akan

mengalami segregasi bila ditanam menggunakan biji, sehingga disarankan

menggunakan bahan vegetatif untuk perbanyakannya. Biji Lamtoro taramba

pertama kali dibawa ke Indonesia pada tahun 2011 oleh Project Australia Centre

for International Agricultural Research (ACIAR). Menurut Dahlanuddin (2016,

Komunikasi Pribadi), sebanyak 1000 kg biji Lamtoro cv taramba saat itu dibawa

langsung dari Australia dan disebarkan ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masing-masing 500 kg. Hingga saat ini

penanaman lamtoro jenis ini masih terus digalakkan di NTB melalui Project

Applied Research and Innovation System in Agriculture (ARISA) bekerjasama

dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Sampai dengan tahun 2016

sudah ada 350 petani ternak dari target 1000 orang yang ikut menanam Lamtoro

cv taramba di Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat.

Leucaena leucocephala cv Tarramba, yaitu dalam hal daya tahannya terhadap

kemarau panjang, daya toleransi yang tinggi terhadap serangan hama kutu loncat

dan daya tahan yang tinggi terhadap pemangkasan berulang, serta kemampuan

10
memproduksi hijauan berkualitas dalam jangka waktu yang panjang (>50 tahun)

setelah pemangkasan pertama (setelah mencapai umur 10 bulan hingga satu

tahun). Pemasukan kultivar lamtoro toleran kutu loncat, khususnya untuk NTT

merupakan pendukung utama, mengingat provinsi ini merupakan provinsi yang

awalnya sangat bergantung kepada penggunaan lamtoro. Namun pernah

mengalami serangan berat hama pada kultivar-kultivar yang digunakan

sebelumnya sehingga pengembangan ke berbagai lokasi lain dari lokasi inti di

Amarasi menjadi relatif terhenti sama sekali. Baru bangkit kembali semangat

untuk mengembangkan lamtoro sebagai pakan utama setelah masuknya kultivar

Tarramba yang sudah diamati lebih unggul dari kultivar-kultivar sebelumnya

(Nulik et al. 2004).

2.2 Pupuk Kompos

Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang digunakan pada pertanian

untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan kompos dapat

memperbaiki sifat fisik tanah dan mikrobiologi tanah (Syam, 2003). Kompos

memiliki kandungan unsur hara seperti nitrogen dan fosfat dalam bentuk senyawa

kompleks argon, protein, dan humat yang sulit diserap tanaman (Setyotini et al.,

2006). Berbagai upaya untuk meningkatkan status hara dalam kompos telah

banyak dilakukan, seperti penambahan bahan alami tepung tulang, tepung darah

kering, kulit batang pisang dan biofertilizer (Simanung- kalit et al., 2006).

Biofertilizer (pupuk hayati) merupakan campuran bakteri penambatnitrogen

bebas, pelarut fosfat dan jamur pelarut hara dengan formulasi bahan pembawa

yang mengandung senyawa organik alami pemacu tumbuh dan unsur mikro yang

11
diperlukan oleh mikroba dan tanaman (Simanungkalit et al., 2006). Penggunaan

pupuk hayati memerlukan takaran dosis yang tepat agar hasilnya sesuai dengan

harapan. Penambahan pupuk hayati menyebabkan penggunaan pupuk menjadi

efisien. Hal ini sangat penting bagi pelaku usaha pertanian danperkebunan

mengingat tingkat kehilangan yang tinggi akibat proses-proses dalam tanah (aliran

pemupukan, pencucian, evaporasi, fiksasi dan imobilisasi) (Cahyono, 2008).

2.3 Kandungan Bahan Kering dan Bahan Organik

Bahan pakan mengandung zat nutrisi yng terdiri dari air, bahan kering, bahan

organik yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak dan vitamin. Hartadi dkk.

(1991) menyatakan bahwa bahan kering terdiri dari bahan organik yaitu mineral

yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah cukup untuk pembentukan tulang dan

berfungsi sebagai bagian dari enzim dan hormon. Bahan organik utamanya

berasal dari golongan karbohidrat, yaitu BETN dengan komponen penyusun

utama pati dan gula yang digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan asam laktat.

Kehilangan BO ditandai dengan meningkatnya kandungan air dan serat kasar

silase serta turunnya kandungan BETN silase.

2.4 Kecernaan

Kecernaan secara in vitro dilakukan di laboratorium (Doyle et al., 1986), yaitu

dengan cara menginkubasi sampel dalam cairan rumen yang diberi tambahan

bahan kimia berupa larutan buffer dan mineral untuk mengkondisikan seperti

yang terjadi dalam lambung ternak ruminansia. Tabung berisi sampel selanjutnya

dimasukkan kedalam waterbath pada suhu 39-40 0C selama 48 jam dan dalam

keadaan fermentasi anaerob. Fermentasi yang dilakukan Tilley dan Terry (1963)

12
terdiri dari 2 tahap. Tahap I merupakan kecernaan oleh mikroorganisme rumen

selama 48 jam dan tahap II merupakan kecernaan oleh pepsin dalam suasana asam

(pH 2) selama 48 jam. Kecernaan secara in vitro mirip dengan prinsip fisiologis

pencernaan pada retikulo rumen. Teknik in vitro sering disebut dengan rumen

buatan (Tillman et al., 1983).

Metode in vitro adalah suatu metode pendugaan kecernaan secara tidak

langsung yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses yang terjadi di

dalam saluran pencernaan ruminansia (Novrariani, 2017). Keuntungan metode in

vitro adalah waktu lebih singkat dan biaya lebih murah apabila dibandingkan

metode in vivo, pengaruh terhadap ternak sedikit serta dapat dikerjakan dengan

menggunakan banyak sampel pakan sekaligus. Metode in vitro bersama dengan

analisis kimia saling menunjang dalam membuat evaluasi pakan hijauan (Pell et

al., 1993).

Metode in vitro dikembangkan untuk memperkirakan kecernaan dan tingkat

degradasi pakan dalam rumen, dan mempelajari berbagai respon perubahan

kondisi rumen. Metode ini biasa digunakan untuk evaluasi pakan, meneliti

mekanisme fermentasi mikroba dan untuk mempelajari aksi terhadap faktor

antinurisi, aditif dan suplemen pakan (Lopez, 2005).

2.4.1 Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan pakan biasanya dinyatakan dalam persen berdasarkan bahan

kering. Faktor yang berpengaruh terhadap kecernaan ditinjau dari segi pakan

kecernaan dipengaruhi oleh perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan

13
dan cara pemberian), jenis, jumlah dan komposisi pakan yang diberikan pada

ternak (Rifai, 2009). Sutardi (1979), menyatakan bahwa kecernaan bahan kering

dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki

kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Kecernaan bahan kering

merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum. Semakin

tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrisi yang

dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya (Afriyanti, 2008). Setiap jenis

ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang

berbedabeda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan

kecernaan. Menurut Zulharman (2010), tingginya komponen serat yang tidak

dapat dicerna (lignin dan silika) dapat menyebabkan rendahnya kecernaan.

Tillman et al. (1983), bahwa lignin bersama-sama selulosa membentuk komponen

yang disebut lignoselulosa, yang mempunyai koefisien cerna sangat kecil.

Tingginya kandungan selulosa dalam ransum yang mana dengan adanya lignin

dalam ransum akan berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa sehingga dapat

menurunkan kecernaan ransum.

Ikatan lignin merupakan penghambat kecernaan dinding sel tanaman

sehingga semakin banyak lignin terdapat dalam dinding sel koefisien cerna

hijauan tersebut semakin rendah (Jung, 1989). Bila hijauan makin tua proporsi

selulosa dan hemiselulosa makin bertambah (Tillman et al., 1983). Kusnandar

(2010), menambahkan bahwa selulosa merupakan komponen struktural utama

dinding sel. Selulosa dicirikan dengan kekuatan mekanisnya yang tinggi, tinggi

daya tahannya terhadap zat-zat kimia dan relatif tidak larut dalam air. Selulosa

14
dapat dihidrolisis dengan enzim selulosa. Bahan kering mempunyai komposisi

kimia yang sama dengan bahan organik ditambah abu, kandungan abu dapat

memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering ransum (Raharjo et

al., 2013).

Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada

temperatur 150 ° C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan

pakan tersebut konstan (Tillman dkk., 1998). Kisaran normal kecernaan bahan

kering suatu bahan pakan yaitu 50,7-59,7% (Schneider dan flantt, 1975). Tinggi

rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan

tersebut mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam

saluran pencernaan (ismail. 2011).

Faktor-faktor yang pempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan

pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan

lainnya, perlakuan pakan, suplemenasi enzim alam pakan, ternaka dan taraf

pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Faktor lain yang pempengaruhi

kecernaaan bahan kering adalah mikroba dalam cairan rumen (Setyaningsih dkk.,

2021). Selain itu, kandunan abu yang terdapat pada bahan kering dapat

memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering (Fathul dan wijazah,

2010).

2.4.2 Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik menggambarkan ketersedian nutrien dari pakan.

Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan

15
zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein,

lemak, dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia

dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan

zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut (Suardin et al., 2014).

Sutardi (1980), degradasi bahan organik erat kaitannya dengan degradasi

bahan kering, karena sebagian bahan kering terdiri dari bahan organik. Hal ini

diperkuat oleh Ismail (2011), bahwa kecernaan bahan organik erat kaitannya

dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari

bahan organik. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah

kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Suardin et al. (2014),

menyatakan bahwa penurunan kecernaan bahan kering mengakibatkan kecernaan

bahan organik menurun atau sebaliknya.

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu,

komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan

asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Nilai kecernaan

bahan organik (KcBO) didapatkan melalui selisih kandungan bahan organik (BO)

awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi, proporsional terhadap kandungan BO

sebelum inkubasi tersebut (Blümmel et al., 1997).

Bahan organik utamanya berasal dari golongan karbohidrat, yaitu BETN

dengan komponen penyusun utama pati dan gula yang digunakan oleh bakteri

untuk menghasilkan asam laktat. Bahan organik yang terkandung dalam bahan

pakan, protein, lemak, serat kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen, sedang bahan

16
anorganik seperti calsium, phospor, magnesium, kalium dan natrium (Muhtarudin,

2007).

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu,

komponen bahan kering bila diferermentasi di dalam rumen akan menghasilkan

VFA yang merupakan sumber energi bagi ternak.nilai kecernaan organik didapat

dari selisih kandungan BO awal sebelum inkubasi dan setlah inkubasi,

prooposional terhadap kandunan BO tersebut (Blummel et al., 1997). Nilai

kecernaan bahan organik yang normal berkisar antara 48,26-53,75% (Firsoni dkk.

2008).

Faktor-faktor yang mempengruhi kecernaan bahan organik yaitu adanya

kandunan protein kasar, protein kasar yan tingi dapat mengakibatkan peningkatan

perkembangan mikroorganisme yang mencerna bahan pakan tinggi (Setyaningsih

dkk., 2012). Bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena BO

merupakan bagian terbesar dari BK (Fathul dan Wijazah, 2010).

2.6 Tanah Laterit

Tanah laterit adalah tanah yang terbentuk di daerah tropis atau sub tropis

dengan tingkat pelapukan tinggi pada batuan basa sampai batuan ultrabasa yang

didominasi oleh kandungan logam besi. Tanah ini mengandung mineral-mineral

lempung yang relative tinggi utamanya illite dan montmorilonite, sehingga

potensi kerusakannya relative besar jika dilakukan pekerjaan konstruksi pada

tanah seperti ini. Dengan kandungan mineral lempung dan unsur logam, tanah ini

dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan baik pada pekerjaan konstruksi,

17
industri, maupun lainnya, namun perlu kajian mendalam terhadap karakteristik

detail dan kemungkinan perbaikannya sebelum digunakan.Tanah laterit

merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang tinggi, terbentuk dari hasil

konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium (Thagesen, 1996 dari Olugbenga O

Amu, 2011). Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di India, dari

Bahasa Latin ”later” yang berarti bata.

Tanah jenis ini memiliki karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit

berubah jika dalam kondisi kering (Makasa, 2004 dalm Amu, O.O., et. al., 2011).

Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari warna merah, coklat sampai kuning,

tanah residual berukuran butir halus dengan tekstur ringan memiliki bentuk

butiran nodular dan tersementasi dengan baik (Lambe dan Whitman, 1979).

Bridges (1970) menyatakan bahwa penggunaan yang benar dari istilah laterit

adalah formasi vesicular kompak batuan besi (a massive vesicular or

concretionary ironstone formation). Fookes (1997) menamai laterit didasarkan

pada pengerasan seperti ”freeic” untuk tanah keras kaya besi yang tersementasi,

“alcrete” atau bauksit untuk tanah keras kaya aluminium yang tersementasi,

“calcrete” untuk tanah keras kaya calcium karbonat, dan “silcrete” untuk yang

kaya silica. Definisi lainnya didasarkan pada perbandingan jumlah silica (SiO 2)

terhadap oksida (Fe2O3+Al2O3), untuk tanah laterit perbandingan tersebut antara

1,33 dan 2,0, sedangkan di atas 2,0 bukan tanah laterit.Komposisi unsur dan

senyawa yang terkandung dalam tanah laterit yang umum di Indonesia meliputi

oksigen, magnesium, aluminium, silicon, sulfur, calcium, vanadium, manganese,

besi, dan nikel. Sedangkan kandungan mineral yang ada dalam tanah laterit

18
tersebut terdiri dari hematite, kaolinte, illite, montmorillonite, rutile, forsterite,

andalusite, magnetite, magnesium silicate, dan nikel dioksida.

2.7 Ciri-ciri Fisik Tanah Laterit

Secara umum, tanah laterit atau sering disebut dengan tanah merah merupakan

tanah berwarna merah hingga coklat yang terbentuk pada lingkungan lembab,

dingin, dan mungkin genangan-genangan air. Tanah ini memiliki profil yang

dalam, mudah menyerap air, memiliki kandungan bahan organic sedang dan pH

netral hingga asam dengan banyak kandungan logam terutama besi dan

aluminium, serta baik digunakan sebagai bahan pondasi karena menyerap air dan

teksturnya relative padat dan kokoh.

Sifat-sifat fisik tanah laterit sangat bervariasi tergantung pada komposisi

mineralogy dan distribusi ukuran partikel tanah, granulometri dapat bervariasi dari

halus sampai gravel tergantung asal dan proses pembentukannya sehingga akan

mempengaruhi sifat-sfat geoteknik seperti plastisitas dan kuat tekan. Salah satu

kelebihan tanah laterit adalah tidak mudah mengembang dengan air, tergantung

pada kandungan mineral lempung di dalamnya.

3.7

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kebun Hijauan Makanan Ternak

Fakultas Peternakan (Fapet), Universitas Nusa Cendana (Undana) dari Oktober

2019 sampai April 2020 yang dilanjutkan dengan analisis kandungan protein

kasar, kandungan serat kasar, kecernaan protein kasar dan kecernaan serat kasar di

Laboratorium Kimia Pakan Fakultas Peternakan (Fapet), Universitas Nusa

Cendana (Undana), Kupang. Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan.

3.2 Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian adalah: bibit (biji) lamtoro tarramba

dan pupuk kompos. Alat bantu perlengkapan penelitian lainnya adalah: tanah dan

kotoran sapi sebagai media tanam, polibag (ukuran tinggi 17,5 dan diameter 35

cm), air, gelas ukur, ember, alat potong, perangkat alat analisis proksimat dan

kecernaan in vitro.

3.3 Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga diperoleh 12 unit

percobaan. Keempat perlakuan tersebut adalah:

P₀ : Tanpa pupuk kompos

P₁ : imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 90 :10

P₂ : imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 80 :20

P₃ : imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70 :30

20
3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Media Tanam

Pengolahan tanah bertujuan untuk menyediakan media tumbuh yang optimal

bagi tanaman. Tanah yang digunakan diambil dari sekitar lokasi penelitian

dibersihkan dari material-material lainnya, kemudian dicampur dengan pupuk

kandang dengan perbandingan berat 16 kg tanah : 4 kg pupuk kandang setiap

polibag yang berukuran tinggi 17,5 cm dan berdiameter 35 cm.

2. Penanaman Bibit

Biji atau bibit lamtoro tarramba yang sudah disiapkan dibersihkan dari

benda-benda asing dan kotoran lainnya, dipilih biji yang secara visual normal

ukurannya, selanjutnya diskarifikasi dengan cara bagian bawah biji digunting,

kemudian direndamkan dalam air selama 4 jam, setelah itu biji lamtoto ditanam

sebanyak tiga biji pada setiap polibag, dengan pertimbangan ada yang tidak

tumbuh, dan akan dicabut setelah tanaman tumbuh normal.

3. Trimming

Trimming dilakukan setelah bibit tumbuh dengan baik, yaitu setelah

tanaman berumur ±3 bulan. Sebelum dilakukan trimming tanaman di polibag

disisakan hanya dibiarkan tumbuh satu pohon saja, yang lainnya dicabut.

Trimming atau pemotongan rata bertujuan untuk menyeragamkan tinggi tanaman

pada awal pengamatan. Caranya, seluruh tangkai tanaman dirangkul dan

diluruskan ke atas, kemudian diukur setinggi 20cm dari permukaan tanah dan

dipotong.

21
4. Penyiraman

Secara normal, penyiraman dilakukan dua kali sehari, pukul 07.00 dan 17.00

dengan air sebanyak satu liter polibag, tetapi pada saat hari hujan tidak disiram,

namun pengamatan tetap dilakukan setiap hari untuk melihat tingkat kebutuhan

air, dan pengamatan terhadap serangan hama penyakit, juga terhadap

pertumbuhan tanaman.

5. Pemupukan

Dalam penelitian ini, pemupukan dengan pupuk kompos merupakan

perlakuan yang diberikan pada tanaman dengan imbangan yang sudah ditentukan.

Sebelum penanaman, terlebih dahulu diberi pupuk dasar berupa pupuk kandang

(kotoran sapi). Pupuk kandang (kotoran sapi) diberikan 2 minggu sebelum tanam

sesuai dengan dosis perlakuan. Cara aplikasinya dengan menaburkan pupuk

tersebut secara merata di atas plot percobaan dan sesuai dosis perlakuan.

6. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan maksud untuk membersihkan gulma atau

tanaman pengganggu yang ada pada setiap unit percobaan. Selama penelitian

pengamatan dilakukan setiap hari terhadap gulma yang tumbuh langsung dicabut.

Pertumbuhan tanaman terus diamati hingga akhir penelitian.

7. Panen

Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 87 hari (2 bulan 27 hari)

dihitung dari saat trimming tanaman. Daun dan tangkai daun serta pucuk muda

diambil, ditimbang, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60ºC dengan tujuan

persiapan sampel untuk analisis nilai nutrisinya secara proksimat.

22
3.5 Variabel yang Diamati

1. Kandungan Bahan Kering

Berat awal bahan−Berat akhir bahan


BK = Air ( % )= ×100 %
Berat awal bahan

2. Kandungan Bahan Organik

Kandungan abu atau mineral


BO = Berat abu (%) ×100 %
Berat awal bahan

3. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) in vitro

BK sampel−BK residu−BK blanko


% KCBK = × 100%
BO sampel

4. Kecernaan Bahan Organik (KCBO) in vitro

BO sampel−BO residu−BO blanko


% KCBO = × 100%
BO sampel

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menurut Analysis of

Variance (ANOVA) untuk melihat ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap

variabel yang akan diteliti dan untuk mengetahui adanya perbedaan antara

perlakuan maka diadakan uji lanjut dengan menggunakan Uji Jarak Berganda

Duncan sesuai dengan petunjuk (Steel and Torrie, 1991).

Model matematis Rancangan Acak Lengkap :

Yij = µ + τi + Σij

Dimana : Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke - i ulangan ke - j

µ = nilai tengah umum

τi = pengaruh perlakuan ke - i

Σij = kesalahan (galat) percobaan ada perlakuan ke-i ulangan

23
ke - j.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Kering

Rataan kandungan bahan kering akibat pemberian pupuk kompos terhadap

tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba) tertera pada

Tabel 1 (Lampiran 1).

Tabel 1. Kandungan Bahan Kering yang diberikan perbandingan antara


pemberian pupuk kompos dan tanpa pemberian pupuk kompos
pada tanaman lamtoro taramba (Leucaena leucocephala cv.
Tarramba)

Perlakuan Ulangan Rataan


I II III
P₀ 89,32 88,59 90,01 89,31±0,71ª
P₁ 89,14 88,69 90,12 89,32±0,73ª
P₂ 89,47 88,45 90,12 89,35±0,84ª
P₃ 89,51 89,22 90,12 89,62±0,46ª
Keterangan Rataan dengan superskip yang berbeda kearah kolom tidak nyata (P>0,05)

Pada Tabel 1, tampak bawa kisaran kandungan BK akibat pemberian pupuk

kompos 88,45-90,12% dengan rataan tertinggi pada perlakuan P₃ yakni 90,12%

dan terendah pada perlakuan P₂ yakni 88,45%. Namun secara statistik tidak

memperlihatkan pengaruh yang nyata tetapi pemberian pupuk kompos cenderung

dapat meningkatkan kandungan BK dibandingkan dengan perlakuan tanpa

pemupukan. Secara umum total rataan nilai kandungan BK tanaman lamtoro

tarramba sebesar 89,40% dengan kisaran antara 88,45% sampai 90,12%.

24
Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukan bahwa perlakuan pemberian

pupuk kompos pada setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05)

terhadap nilai kandungan BK pada tanaman latoro tarramba. Artinya pemberian

pupuk kompos sampai pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70 :30

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan BK pada lamtoro

tarramba. Hal ini diduga karena waktu panen yang lebih awal (umur tanaman)

sehingga presentase kandungan BK dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang dikemukakan oleh Beever et al., (2000) yang dikutip Seseray et al.,

(2013) bahwa proporsi bahan kering yang dikandung oleh tanaman berubah

seiring dengan umurnya, makin tua tanaman maka makin sedikit kandungan

airnya dan proporsi dinding sel lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Apabila

kandungan dinding sel yang dimiliki tanaman lebih besar, maka tanaman akan

lebih banyak mengandung bahan kering. Meningkatnya kandungan bahan kering

merupakan indikator pertumbuhan yang utama paling sering digunakan, di mana

bahan kering merupakan akumulasi dari hasil fotosintesis, serapan unsur hara dan

air yang diolah melalui proses biosintesis yang meningkat seiring dengan

bertambahnya umur (Sitompul dan Guritno, 1995).

Hal ini diduga karena semakin tinggi dosis pupuk kandang feses sapi yang

diberikan untuk tanaman belum menunjukkan pengaruh terhadap kandungan

bahan kering pengaruh lain disebabkan oleh kemampuan sistem perakaran

tanaman dalam menyerap unsur hara mineral. Menurut Danuhue (1991) dalam

Wedyaning (1997) bahwa unsur N dan P yang tersedia pada pupuk kandang

sebagai bahan organik mikro dan makro untuk tanaman tidak dapat langsung

25
dimanfaatkan oleh tanaman tersebut untuk membentuk bahan kering, melainkan

untuk produksi berat segar, berat kering dan jumlah anakan tanaman.

4.2 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan Organik

Rataan kandungan bahan organik akibat pemberian pupuk kompos terhadap

tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba) tertera pada

Tabel 2 (Lampiran 2).

Tabel 2. Kandungan Bahan Organik yang diberikan perbandingan antara


pemberian pupuk kompos dan tanpa pemberian pupuk kompos
pada tanaman lamtoro taramba (Leucaena leucocephala cv.
Tarramba)

Perlakuan Ulangan Rataan


I II III
P₀ 82,18 81,68 83,19 82,35± 0,77 ª
P₁ 82,58 81,41 83,36 82,45± 0,98ª
P₂ 82,96 81,41 83,13 82,50± 0,95ª
P₃ 82,22 82,16 83,69 82,69± 0,87ª
Keterangan Rataan dengan superskip yang berbeda kearah kolom tidak nyata (P>0,05)

Pada Tabel 2, tampak bawa kisaran kandungan BO akibat pemberian pupuk

kompos 81,41-83,69% dengan rataan tertinggi pada perlakuan P₃ yakni 83,69%

dan terendah pada perlakuan P₁ yakni 81,41%. Namun secara statistik tidak

memperlihatkan pengaruh yang nyata tetapi pemberian pupuk kompos cenderung

dapat meningkatkan kandungan BO dibandingkan dengan perlakuan tanpa

pemupukan. Secara umum total rataan nilai kandungan BO tanaman lamtoro

tarramba sebesar 82,50% dengan kisaran antara 81,41% sampai 83,69 %.

Hasil analisis ragam (Lampiran 2) menunjukan bahwa perlakuan pemberian

pupuk kompos pada setiap perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05)

26
terhadap nilai kandungan BO pada tanaman latoro tarramba. Artinya pemberian

pupuk kompos sampai pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70 :30

tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan BO pada lamtoro

tarramba. Hal ini diduga karena waktu panen yang lebih awal (umur tanaman)

sehingga presentase kandungan BK dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang dikemukakan oleh Beever et al., (2000) yang dikutip Seseray et al.,

(2013) bahwa proporsi bahan kering yang dikandung oleh tanaman berubah

seiring dengan umurnya, makin tua tanaman maka makin sedikit kandungan

airnya dan proporsi dinding sel lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Apabila

kandungan dinding sel yang dimiliki tanaman lebih besar, maka tanaman akan

lebih banyak mengandung bahan kering. Meningkatnya kandungan bahan kering

merupakan indikator pertumbuhan yang utama paling sering digunakan, di mana

bahan kering merupakan akumulasi dari hasil fotosintesis, serapan unsur hara dan

air yang diolah melalui proses biosintesis yang meningkat seiring dengan

bertambahnya umur (Sitompul dan Guritno, 1995).

Pengaruh pemberian pupuk kompos (Tabel 1, Lampiran 2) menunjukan bahwa

nilai kandungan BK pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70:30 lebih

tinggi dibanding imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 80:20 (P₃-P₂),

imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 90:10 (P₃-P₁); sementara pada

pemberian imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 90:10 walaupun cenderung

meningkat tetapi tidak nyata (P>0,05) dibanding tanpa pupuk kompos (P₁-P₀).

Hal ini diduga karena semakin tinggi dosis pupuk kandang feses sapi yang

diberikan untuk tanaman belum menunjukkan pengaruh terhadap kandungan

27
bahan kering pengaruh lain disebabkan oleh kemampuan sistem perakaran

tanaman dalam menyerap unsur hara mineral. Menurut Danuhue (1991) dalam

Wedyaning (1997) bahwa unsur N dan P yang tersedia pada pupuk kandang

sebagai bahan organik mikro dan makro untuk tanaman tidak dapat langsung

dimanfaatkan oleh tanaman tersebut untuk membentuk bahan kering, melainkan

untuk produksi berat segar, berat kering dan jumlah anakan tanaman.

4.3 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Kering

Rataan kecernaan bahan kering akibat pemberian pupuk kompos terhadap

tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba) tertera pada

Tabel 3 (Lampiran 3).

Tabel 3. Kecernaan Bahan Kering yang diberikan perbandingan antara


pemberian pupuk kompos dan tanpa pemberian pupuk kompos
pada tanaman lamtoro taramba (Leucaena leucocephala cv.
Tarramba)

Perlakuan Ulangan Rataan


I II III
P₀ 72.52 73.33 71.25 72.37±1.05ª
P₁ 72.21 75.07 74.55 73.94±1.52ª
P₂ 73.17 74.77 75.13 74.36±1.04ª
P₃ 74.93 80.23 80.55 b
78.57±3.16
Keterangan Rataan dengan superskip yang berbeda kearah kolom berbeda nyata (P<0,05)

Pada Tabel 3, tampak bawa kisaran KcBK akibat pemberian pupuk kompos

71.25-80.55% dengan rataan tertinggi pada perlakuan P₃ yakni 80.55% dan

terendah pada perlakuan P₁ yakni 71.25%. Secara statistik memperlihatkan bahwa

terdapat pengaruh nyata pada pemberian pupuk kompos dibandingkan dengan

28
perlakuan tanpa pemupukan. Secara umum total rataan nilai KcBK tanaman

lamtoro tarramba sebesar 74.81% dengan kisaran antara 72.37% sampai 78.57%.

Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukan bahwa perlakuan pemberian

pupuk kompos pada perlakuan P₃ memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap

nilai KcBK pada tanaman latoro tarramba. Artinya pemberian pupuk kompos

sampai pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70:30 memberikan

pengaruh nyata terhadap KcBK pada lamtoro tarramba namun memberikan respon

yang sama terhadap perlakuan P₀: Tanpa pupuk kompos (kontrol), P₁: imbangan

tanah laterit dan pupuk kompos 90:10, P₂: imbangan tanah laterit dan pupuk

kompos 80:20. Hal ini disebabkan oleh tambahan unsur hara dari pupuk kompos

dapat memenuhi kebutuhan dan merubah kandungan nutrisi tanaman. Imbangan

tanah laterit dan pupuk kompos 70:30 yang diberikan sesuai dengan kebutuhan

optimal akan unsur hara sehingga memiliki nilai KcBK tertinggi. Menurut

Rizqiani dkk., (2007) semakin tinggi dosis pupuk yang diberikan maka kandungan

unsur hara yang diterima tanaman akan semakin tinggi dan jika semakin rendah

dosis pupuk yang diberikan maka kandungan unsur hara yang diterima tanaman

akan semakin rendah. Berbeda pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos

90:10 dan imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 80:20 memiliki nilai KcBK

terendah diduga dosis yang diberikan kurang optimum bagi tanaman lamtoro

tarramba. Pengaturan dosis pupuk diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan,

produksi daun yang lebih banyak dan mampu meningkatkan kualitas hijauan.

Peningkatan kualitas hijauan terutama protein, mengakibatkan hijauan akan

mudah untuk dicerna oleh ternak sehingga bermanfaat bagi pertumbuhan dan

29
perkembangan tubuh ternak. Menurut Tillman et al., (1998), bahwa kandungan

nutrisi hijauan makanan ternak (HMT) didasarkan pada daya cerna pakan yang

dipengaruhi oleh pemupukan, kesuburan tanah, perbandingan daun/batang,

keadaan iklim dan fase pertumbuhan ketika defoliasi.

4.4 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Organik

Rataan kecernaan bahan organik akibat pemberian pupuk kompos terhadap

tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv. Tarramba) tertera pada

Tabel 4 (Lampiran 4).

Tabel 4. Kecernaan Bahan Organik yang diberikan perbandingan antara


pemberian pupuk kompos dan tanpa pemberian pupuk kompos
pada tanaman lamtoro taramba (Leucaena leucocephala cv.
Tarramba)

Perlakuan Ulangan Rataan


I II III
P₀ 68.77 68.99 69.47 69.08±0.36ª
P₁ 69.36 68.32 70.22 69.30±0.95ª
P₂ 67.14 70.33 71.57 69.68±2.28ª
P₃ 71.46 77.16 78.35 75.66±3.68ª
Keterangan Rataan dengan superskip yang berbeda kearah kolom tidak nyata (P>0,05)

Pada Tabel 4, tampak bawa kisaran KcBO akibat pemberian pupuk kompos

71.25-80.55% dengan rataan tertinggi pada perlakuan P₃ yakni 78.35% dan

terendah pada perlakuan P₂ yakni 67.14%. Secara statistic memperlihatkan bahwa

terdapat pengaruh nyata pada pemberian pupuk kompos dibandingkan dengan

perlakuan tanpa pemupukan. Secara umum total rataan nilai KcBO tanaman

lamtoro tarramba sebesar 70.93% dengan kisaran antara 69.08% sampai 75.66%.

30
Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan pemberian

pupuk kompos pada setiap perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05)

terhadap nilai KcBK pada tanaman latoro tarramba. Artinya pemberian pupuk

kompos sampai pada imbangan tanah laterit dan pupuk kompos 70:30

memberikan pengaruh nyata terhadap KcBK pada lamtoro tarramba. Hal ini

diduga karena pemberian pupuk kompos memberikan respon terhadap kandungan

nutrisi yang terdapat pada tanaman lamtoro tarramba. Menurut McDonald (2002),

faktor yang mempengaruhi kandungan nutrisi hijauan yaitu spesies, pertumbuhan,

tanah, iklim, pupuk dan faktor lain seperti jarak tanam dan intensitas injakan oleh

ternak. Dosis pemberian pupuk perlu diatur agar mampu meningkatkan kualitas

hijauan. Pemupukan dilakukan dengan tujuan mempertahankan kandungan unsur

hara sebagai sumber nutrisi supaya dapat berproduksi secara berkelanjutan dan

meningkatkan kualitas hijauan. Menurut Whitehead (2000), pemberian pupuk

mampu meningkatkan kualitas nutrisi hijauan sebagai pakan ternak. Menurut

Skerman (1977), yang menyatakan bahwa tanaman leguminosa membutuhkan

tambahan unsur hara dalam jumlah sesuai kemampuan setiap tanam dalam

menyerap unsur hara.

31
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh

imbangan tanah laterit dengan pupuk kompos terhadap pertumbuhan tanaman

lamtoro tarramba secara nyata dapat meningkatkan KcBK dan KcBO, namun

memberikan respon yang sama terhadap kandungan bahan kering dan kandungan

bahan organik pada tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv.

Tarramba).

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan

meningkatkan imbangan tanah laterit dengan pupuk kompos untuk memperoleh

hasil yang terbaik terhadap kandungan bahan kering, kandungan bahan organic,

KcBK dan KcBO pada tanaman lamtoro tarramba (Leucaena leucocephala cv.

Tarramba).

32
DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B.T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

Anonymous, 1983. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah. Penerbit
Aksi Agraris Kanisius. Yogyakarta.

Brewbaker, J.L., N. Hedge, E.M. Hutton, R.J. Jones, J.B. Lowry, F. Moog,
and R. Van den Beldt. 1985. Leucaena-Forage Production-and Use.
NFTA Hawaii.

D’Mello, J. P. F. and D. Thomas, 1997. Animal feed. In: Rushkin, F. R. (ed).


Leucaena promising forage and tree crops for the tropics, Washington, D. C.
National Academy of Sciences.

Devi, M.VN., Ariharan, VN, and N. Prasad P. 2013. Nutritive Value and
Potential Used of Leucaena leucocephala as Biofuel-A Mini Re-
view. Research journal of Pharmaceutical, Biological, and Chemi- cal
Sciences. Vol 4 (1): 515-521.

Garcia, G. W. T. U. Ferguson, F. A. Neckles and K.A.E. Archibald, 1966. The


nutritive value and forage productivity of Leucaena leucocephala. Anim.
Feed Sci. Technol. 60 (1-2) : 29 – 41.

Gollu, Y. W. 2003. Kecernaan in vitro Protein Kasar dan Serat Kasar dari Rumput
Setaria sphacelata yang Diberi Pupuk N yang Ditanam Campur Dengan
Leguminosa (Centrosema pubescens). Skripsi. Fakultas Peternakan Undana.
Kupang.

Gutteridge, R.C. and H.M. Shelton. 1998. Forage Tree Legumes in Tropi-
cal Agriculture. Published by Tropical Grassland Society of Aus-
tralia Inc.

33
Hoult, E. H., Briant, P. P. 1974. Practice experiments and demonstration dalam:
Whiteman P. C., Humpreys, L. R., dan Mounteith, N. H. A Course Manual
in Tropical Pasture Science. Australia Vice Chancerllors Committee.
Brisbane

Kana Hau D, Panjaitan T, Nulik J, Dahlanuddin, van de Fliert E. 2014. Barriers to


and opportunities for the use of forage tree legumes in smallholder cattle
fattening systems in Eastern Indonesia. Trop Grasslands-Forrajes Trop.
2:79-81.

Kana Hau D. 2014. The potency of using and developing local and introduced
herbaceous legume forages in East Nusa Tenggara, Indonesia. In:
Proceedings of The 16th AAAP Congress. Yogyakarta, 10-14 November
2014. Yogyakarta (Indonesia). p. 2710-2713.

Kominfo Manggarai Timur 2016. Jejak Operasi Nusa Hijau dan Lamtoro.
Warga Pesisir Utara Manggarai Timur Panen Rupiah. Pos Kupang,
Sabtu 29 Oktober 2016. Halaman 12.

Leo, U. 1996. Pengaruh Pupuk Kandang dan Pupuk Buatan (NPK) Serta
Kombinasinya Terhadap Kualitas Rumput Sawang (Pennisetum
macrostachyum). Skripsi. Fakultas Peternakan Undana. Kupang.

McDonald, P., R. A. Edwards and J. F. D. Greenhalg. 2002. Animal Nutrition. 6th


Edition. Prentice Hall, London.

McIlroy, R. J. 1997. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika (Diterjemahkan


Oleh S. Susetyo, Soedarmadi, I. Kismono, dan I. S. Sri Harini). Pradnya
Paramita. Jakarta.

Nulik J, Bamualim A. 1998. Pakan ruminansia besar di Nusa Tenggara. Balai


Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat bekerjasama dengan Eastern
Island Veterinary Services Project.

Nulik J, Kana Hau D, Fernandez PT, Ratnawati S. 2004. Adaptasi beberapa


Leucaena spesies di Pulau Timor dan Sumba NTT. Dalam: Thalib A,
Sendow W, Purwadaria T, Tarmudji, Darmono, Triwulanningsih E,
Beriajaya, Natalia L, Nurhayati, Ketaren PP, Priyanto D, Iskandar S, Sani
Y, penyunting. Iptek sebagai motor penggerak pembangunan sistem dan
usaha agribisnis peternakan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi

34
Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor (Indonesia):
Puslitbangnak. hlm. 825-831.

Nulik J, Kana Hau D. 2016. Forage growing and hay making of Clitoria ternatea
for dry season feed supplement in East Nusa Tenggara, Indonesia. In: The
17th Asian Australian Association of Animal Production Societies Animal
Science Congress Proceedings. Fukuoka, 22-26 August 2016. Fukuoka
(Japan).

Pamungkas, D., Y.N. Anggraeni, Kusmartono, dan N.H. Krishna. 2008.


Produksi Asam lemak Terbang dan Amonia Rumen Sapi Bali Pada
Imbangan Daun Lamtoro (L.leucocephala) dan Pakan Lengkap
yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner. Hal: 197-204.

Plantamor. 2012. Petai Cina Dalam:http://www.plantamorcom/index.php?


plant=772diunduh pada 28 April 2016.

Purwanto I. 2007.Mengenai Lebih Dekat Leguminoseae. Yogyakarta. Penerbit


Kanisius

Ranjhan, S.K and G. Krishna. 1980. Laboratory Manual for Nutrition Research.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak


tropic. Edisi Kedua. BPFE. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Edisi


kedua. BPFE. Yogyakarta.

Rismunandar, 1986. Mendayagunakan Tanaman Rumput. Penerbit Sinar Baru.


Bandung.

Rizqiani, N.F., E. Ambarwati, dan N.W. Yuwono. 2007. Pengaruh Dosis dan
Frekuensi Pemberian Pupuk Organik Cair terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Dataran Rendah. Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Vol. 7 : 43 - 53.

35
Ruslin,M.2011.http://ruslin-munir.blogspot.co.id/2011/12/makalah-
tentang-tanaman-lamtoro. html. Kamis, 01 Desember 2011.(Diakses
tanggal 10 September 2016).

Scott, M. L., Malden C. Nesheim and robert J. Young. 1976. Nutririon of the
Chicken. M. L. Scott and Associates, Ithaca, New York.

Skerman, P. J. 1977. Tropical Forage Legume. FAO. Plant Production and


Protection Series No. 2. Food and Agriculture Organization of United
Station, Roma.

Sosroamidjojo, M.S dan Soeradji. 1986. Peternakan Umum. CV.


Yasaguna, Jakarta.

Suprapto, H., F.M. Suhartati, dan T. Widiyastuti. 2013. Kecernaan serat kasar dan
lemak kasar complete feed limbah rami dengan sumber protein berbeda
pada kambing pernakan etawa lepas sapih. Jurnal Ilmiah Peternakan.
1(3):938-946.

Suprijatna, E., Atmomarsono, U., dan Kartasudjana, R. 2008. Ilmu Dasar


Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suriadikarta, Didi Ardi., Simanungkalit, R.D.M. (2006).Pupuk Organik dan


Pupuk Hayati. Jawa Barat:Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian.

Sutanto, Rachman. (2002). Pertanian organik: Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan. Jakarta:Kanisius.

Theodorou, M.K. & A.E. Brooks. 1990. Evaluation of a New Procedure for
Estimating the Fermentation Kinetics of Tropical Feeds. The Natural
Resources Institute. Ctatham

Tilley, J.M.A. and Terry. R.A. 1963. A two Stage Technique for The In Vitro
Digestion of Forage Crops. J. Brit. Grssld Sci. 18 : 104-111

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Lebdosukojo, S. Prawirakusuma dan S.


Reksohadiprodjo. 1991. Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

36
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-6. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.

Wahju. 1982, Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gajah Mada Press,


Yogyakarta.

Whitehead, D. C. 2000. Nutrient Element in Grassland: Soil, Plant, Animal


Relationship. CABI Publising, London.

Yahya, Y. 2014. Tanaman Lamtoro, Hijauan Pakan untuk Sapi dengan


Tingkat Kecernaan Paling Tinggi. 1. http://
yusranyahya.blogspot.co.id/2014/10/tanaman-lamtoro-hijauan- pakan-
untuk.html. (Diakses tanggal 10 September 2016).

Yumiarty, H., dan Suradi, K. 2010. Utilization of lamtoro leaf in diet on pet
production and the lose of hair rabbit’s pelt. Jurnal Ilmu Ternak.

37
Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan
Kering Imbangan Jenis Tanah
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III

P₀ 89.32 88.59 90.01 267.93 89.31


P₁ 89.14 88.69 90.12 267.95 89.32
P₂ 89.47 88.45 90.12 268.04 89.35
P₃ 89.51 89.22 90.12 268.85 89.62
Total 357.44 354.95 360.36 1072.76 89.397

( ΣΣYij)²
FK =
N

2
1072.76
FK =
12
= 95900.81

JK Total = (89.32²+88.59²+90.01²+89.14²+88.69²+90.12²+.......+90.12²) –
95900.81
= 14.10

2 2 2 2
(267.93 +267.95 +268.04 +268.85 )
JKPerlakuan = – 95900.81
3

= 0.20

JK Galat = JK Total – JK Perlakuan


= 14.10 – 0.20
= 3.91

38
KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 0.20/3

= 0.07

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 3.91/8

= 0.49

DB Perlakuan = (t-1) = 3

DB Galat = (t)(r-1) = 8

DB Total = (tr-1) = 11

F Tabel (0.05:8;3) = 4,07

F Tabel (0.01:8;3) = 7,59

Daftar Sidik Ragam Kandungan BK Imbangan Jenis Tanah


F
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Hitung F Tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 3 0.20 0.07 0.13 4,07 7,59

Galat 8 3.91 0.49 tn


Total 11 4.10
Keterangan: tn Berbeda tidak nyata (P>0.05)

39
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan Bahan
Organik Imbangan Jenis Tanah
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III

P₀ 82.18 81.68 83.19 247.04 82.35


P₁ 82.58 81.41 83.36 247.34 82.45
P₂ 82.96 81.41 83.13 247.51 82.50
P₃ 82.22 82.16 83.69 248.07 82.69
Total 329.93 326.66 333.37 989.96 82.497

( ΣΣYij)²
FK =
N

2
989.96
FK =
12

= 81668.57

JK Total = (82.18²+81.68²+83.19²+82.58²+81.41²+83.36²+.......+83.69²) –
81668.57
= 6,60

2 2 2 2
(247.04 + 247.34 +247.51 +248.07 )
JKPerlakuan = – 81668.57
3

= 0,19

JK Galat = JK Total – JK Perlakuan


= 6,60– 0,19
= 6,42

KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

40
= 0,19/3

= 0,06

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 6,42/8

= 0,80

DB Perlakuan = (t-1) = 3

DB Galat = (t)(r-1) = 8

DB Total = (tr-1) = 11

F Tabel (0.05:8;3) = 4,07

F Tabel (0.01:8;3) = 7,59

Daftar Sidik Ragam Kandungan BO Imbangan Jenis Tanah


F
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Hitung F Tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 3 0.19 0,06 0.08 4,07 7,59

Galat 8 6,42 0,80 tn


Total 11 6,60
Keterangan: tn Berbeda tidak nyata (P>0.05)

Lampiran 3. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan


Kering Imbangan Jenis Tanah
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III

41
P₀ 72.52 73.33 71.25 217.11 72.37
P₁ 72.21 75.07 74.55 221.82 73.94
P₂ 73.17 74.77 75.13 223.07 74.36
P₃ 74.93 80.23 80.55 235.71 78.57
Total 292.83 303.40 301.48 897.71 74.809

( ΣΣYij)²
FK =
N

2
897 , 71
FK =
12

= 67156.79

JK Total = (72.52²+73.33²+71.25²+72.21²+75.07²+74.55²+.......+80.55²) –
67156.79
= 92,13

2 2 2 2
(217.11 +221.82 +223 , 07 +235 ,71 )
JKPerlakuan = – 67156.79
3

= 63,21

JK Galat = JK Total – JK Perlakuan


= 92,13– 63,21
= 28,92

KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 63,21/3

= 21,07

42
KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 28,92/8

= 3,62

DB Perlakuan = (t-1) = 3

DB Galat = (t)(r-1) = 8

DB Total = (tr-1) = 11

F Tabel (0.05:8;3) = 4,07

F Tabel (0.01:8;3) = 7,59

Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering Imbangan Jenis Tanah


F
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Hitung F Tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 3 63,21 21,07 5,83 4,07 7,59

Galat 8 28,92 3,62 *


Total 11 92,13
Keterangan: * Berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 4. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan


Organik Imbangan Jenis Tanah
Perlakuan Ulangan Total Rataan
I II III

P₀ 68.77 68.99 69.47 207.23 82.35


P₁ 69.36 68.32 70.22 207.90 82.45
P₂ 67.14 70.33 71.57 209.04 82.50

43
P₃ 71.46 77.16 78.35 226.97 82.69
Total 276.73 284.79 289.61 851.13 70.928

( ΣΣYij)²
FK =
N

2
70.928
FK =
12

= 67156.787

JK Total = (68.77²+68.99²+69.47²+69.36²+68.32²+70.22²+.......+78.35²) –
67156.787
= 129.67

2 2 2 2
(207.23 +207.90 +209.04 +226.97 )
JKPerlakuan = – 67156.787
3

= 90.00

JK Galat = JK Total – JK Perlakuan


= 129.67– 90.00
= 39.67

KT Perlakuan = JK Perlakuan/DB Perlakuan

= 90.00/3

= 30.00

KT Galat = JK Galat/DB Galat

= 39.67/8

44
= 4.96

DB Perlakuan = (t-1) = 3

DB Galat = (t)(r-1) = 8

DB Total = (tr-1) = 11

F Tabel (0.05:8;3) = 4,07

F Tabel (0.01:8;3) = 7,59

Daftar Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik Imbangan Jenis Tanah


F
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Hitung F Tabel
Keragaman Bebas Kuadrat Tengah 0,05 0,01

Perlakuan 3 90.00 30.00 6.05 4,07 7,59

Galat 8 39.67 4.96 *


Total 11 129.67
Keterangan: * Berbeda nyata (P<0,01)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumba Timur, Kota Waingapu, Nusa

Tenggara Timur pada tanggal 20 Agustus 1998, sebagai anak

kedua dari delapan bersaudara dari ayah Gidion Gili Nappu

45
dan Ibu Martha Alu. Pada tahun 2003 penulis mengawali Pendidikan Taman

Kanak-kanak Manakabokul,Mauliru dan tamat tahun 2004. Pada tahun 2004

penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Mauliru, Sumba Timur

dan tamat pada Tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

Pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Waingapu dan tamat pada

tahun 2013. Pada Tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan ke Sekolah

Menengah Atas Negeri 1 Pandawai dan pada tahun 2016.

Pada tahun 2016 penulis diterima sebagai mahasiswa melalui jalur mandiri

pada Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang hingga akhir

penulisan skripsi ini.

Kupang, November 2020

Rio A. S. Sakan

46

Anda mungkin juga menyukai