Anda di halaman 1dari 35

PENGARUH PEMAKAIAN LANJARAN DAN GULUDAN

TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN UWI


(Dioscorea alata)

KAYS ABDUL FATTAH


A24140103

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pemakaian


Lanjaran dan Guludan Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Uwi (Dioscorea
alata) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2018

Kays Abdul Fattah


NIM A24140103
ABSTRAK
KAYS ABDUL FATTAH. Pengaruh Pemakaian Lanjaran dan Guludan Terhadap
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Uwi (Dioscorea alata). Dibimbing oleh EKO
SULISTYONO.

Budidaya uwi (Dioscorea alata) umumnya dilakukan dengan bantuan


lanjaran dan guludan dengan harapan dapat meningkatkan kualitas dan hasil yang
lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dari pemakaian lanjaran
dan guludan terhadap pertumbuhan vegetatif uwi (Dioscorea alata). Penelitian ini
dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor pada bulan
Januari – Mei 2018. Penelitian ini disusun dalam rancangan split plot dengan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan lanjaran sebagai petak utama dan
guludan sebagai anak petak dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Faktor lanjaran
terdiri dari 2 taraf, yaitu tanpa lanjaran (L0) dan menggunakan lanjaran (L1). Faktor
guludan terdiri dari 2 taraf, yaitu tanpa guludan (G0) dan menggunakan guludan
(G1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian lanjaran tidak berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan vegetatif namun berpengaruh nyata terhadap waktu
perkecambahan bibit. Pemakaian guludan tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan vegetatif namun berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 10
MST. Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan
vegetatif uwi pada umur 4 bulan awal, sehingga direkomendasikan untuk tidak
memakai guludan dan lanjaran dalam budidaya uwi.

Kata kunci : guludan, lanjaran, pertumbuhan vegetatif


ABSTRACT
KAYS ABDUL FATTAH. The Utilization Effect of Stake and Mound Through the
Vegetative Growth in Greater Yam (Dioscorea alata). Supervised by EKO
SULISTYONO.

The cultivation of the Greater Yam (Dioscorea alata) is generally done with
using of stake and mound which is expected to improve the quality and a higher
yield. This research is aimed to determine the effect of of using stake and mound
against the vegetative growth of Greater Yam (Dioscorea alata). This research was
conducted in the Research Farm Leuwikopo, Bogor Agricultural University in
January until May 2018. This research is compiled by the design of split plots with
complete mixed reviews (RKLT) and stakeas the main plot and mound as the spacce
with 4 treatments and 3 replications. The stake factor consists of two levels, there
are without stake (L0) and use stake (L1). Mound factor consists of two levels, there
are without mound (G0) and use mound (G1). The results showed that the staking
did not have effect against vegetative growth but it had significant effect to the time
of seed germination. Mounding did not have effect against vegetative growth but it
had significanteffect against the growth of shoots at 10 MST. Staking and mounding
did not have effect against the Greater Yam on vegetative growth with the age of
early 4 months, so it is not recommended to use mound in the cultivation of the
Greater Yam.

Key word : mound, stake, vegetative growth


PENGARUH PEMAKAIAN LANJARAN DAN GULUDAN
TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN UWI
(Dioscorea alata)

KAYS ABDUL FATTAH


A24140103

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
Judul Skripsi : Pengaruh Pemakaian Lanjaran dan Guludan Terhadap
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Uwi (Dioscorea alata)
Nama : Kays Abdul Fattah
NIM : A24140103

Disetujui oleh

Dr. Ir. Eko Sulistyono, M.Si.


Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si


Ketua Departemen

Tanggal lulus:
PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
karunia-Nya dan kasih sayang yang berlimpah maka penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul Pengaruh Pemakaian Lanjaran dan
Guludan Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Uwi (Dioscorea alata)
dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu, bapak, beserta keluarga besar penulis untuk setiap doa, dan dukungan
yang tak hentinya kepada penulis. Semoga skripsi ini dapat menjadi
persembahan dan tanda bakti yang terbaik.
2. Dr. Ir. Eko Sulistyono. M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing penulis dalam akademik maupun penelitian skripsi.
3. Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MSc.Agr. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing dan membantu penulis dalam perkuliahan
dan juga selaku dosen penguji wakil urusan yang telah memberikan masukan
dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Deden Derajat Matra, S.P, M.Agr. selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan masukan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibrahim Johar, S.P. yang telah membantu penulis untuk melakukan penelitian
dan memberikan saran – saran selama penyusunan skripsi ini.
6. Qudsyi Ainul Fawaid dan Willdia Firman Chan, S.P. selaku sahabat penulis
yang selalu mendukung dan mengingatkan penyelesaian skripsi ini.
7. Teman – teman komunitas Banana Pirates dan Rumah Kepemimpinan Bogor
angkatan 8 yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman - teman Azalea (AGH 51) serta semua teman –teman yang membantu
selesainya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu - persatu atas bantuan
dan dukungannya. Ungkapan terima kasih yang terindah diberikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa dan
dukungan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi ilmu pengetahuan dan
manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Oktober 2018

Kays Abdul Fattah


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Botani Uwi 2
Syarat Tumbuh Uwi 2
Fase Vegetatif Uwi 3
Lanjaran 3
Guludan 4
METODE 5
Tempat dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Rancangan Percobaan 6
Prosedur Percobaan 6
Pengamatan Percobaan 7
Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Kondisi Umum 9
Pengaruh Lanjaran dan Guludan 10
Persentase umbi berkecambah 10
Waktu dan kecepatan berkecambah 11
Karakter vegetatif 12
KESIMPULAN DAN SARAN 19
Kesimpulan 19
Saran 19
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 25

DAFTAR TABEL
1 Kondisi cuaca di lahan percobaan bulan Januari – Mei 2018 9
2 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap waktu berkecambah dan 13
jumlah tunas 10 MST
3 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap jumlah daun 14
4 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap kecepatan berkecambah dan 14
panjang tanaman
5 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap jumlah tunas dan jumlah 15
cabang
6 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap bobot basah dan bobot 16
kering daun, batang, dan umbi saat berumur 17 MST
7 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap kadar air daun, batang, dan 17
umbi saat berumur 17 MST
8 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap volume, lebar dan bobot 18
jenus umbi saat berumur 17 MST
9 Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap bobot, bobot jenis, dan 19
kadar air tanah

DAFTAR GAMBAR
1 Persentase data berkecambah umbi uwi 11
2 Rata – rata waktu perkecambahan bibit uwi 12
3 Kecepatan berkecambah bibit 12
4 Panjang tanaman 17 MST 15
5 Bobot kering batang, daun, akar dan 16
umbi
6 Bobot basah akar dan umbi 16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam perlakuan lanjaran dan 23
guludan terhadap pertumbuhan vegetatif uwi
2 Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam perlakuan lanjaran dan 24
guludan terhadap bobot, bobot jenis, kadar air, lebar dan volume
organ tanaman
3 Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam bobot, bobot jenis, dan kadar 24
air tanah
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman tanaman pangan


yang tinggi. Berbagai macam tanaman pangan dapat ditemui di Indonesia berupa
buah, batang, biji – bijian, dan umbi – umbian. Tanaman pangan yang berasal dari
umbi – umbian saat ini masih kurang diminati masyarakat karena mayoritas
penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan pokok. Salah satu
tanaman pangan yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah uwi
(Dioscorea alata). Uwi atau ubi kelapa (Dioscorea alata) merupakan salah satu
tanaman pangan lokal berupa umbi – umbian yang mudah ditemukan di Indonesia.
Uwi memiliki berbagai keunggulan sebagai pangan lokal. Uwi memiliki daya
adaptasi yang baik meskipun berada di lingkungan yang sub optimum. Uwi dapat
tumbuh pada lingkungan yang minim air dan kurang subur sehingga bisa menjadi
pengganti padi disaat cuaca kurang mendukung untuk penanaman padi. Umbi uwi
dapat mengalami dorman ketika musim kemarau untuk bertahan pada kondisi air
yang sedikit sehingga memiliki kelebihan untuk disimpan lebih lama sebelum
dikonsumsi (FAO, 1998). Uwi (Dioscorea alata) memiliki karakteristik yang
superior untuk fisiologi dari umbi daripada uwi putih kulit cokelat (Dioscorea
rotundata), berproduksi secara keberlanjutan, potensi produksi tinggi, mudah untuk
dikembangbiakan dan kemampuan lebih cepat untuk menahan gulma (Njoh et al.,
2015). Uwi mengandung karbohidrat sebesar 21.08%, protein 5.56%, lemak 0.10%,
air 72.49%, dan abu 0.77% (Budoyo, 2010). Produktifitas uwi dapat mencapai
63.01 ton ha-1, sehingga dapat menjadi pangan alternatif sebagai sumber
karbohidrat penduduk Indonesia (Yalindua, 2014).
Program diversifikasi pangan di Indonesia dapat digencarkan dengan
mengonsumsi pangan alternatif selain beras dan tepung terigu untuk mencukupi
kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia berjumlah
237,641,326 (BPS, 2012) dengan pertumbuhan 1.38% per tahunnya (BPS, 2015).
Peningkatan konsumsi pangan alternatif bertujuan mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap beras atau gandum sehingga dapat mengurangi kebutuhan
impor bahan pangan dan meningkatkan program diversifikasi pangan. Menurut
Kemenperin (2017) saat ini Indonesia masih mengimpor gandum sebanyak 8.3 juta
ton terutama untuk memenuhi kebutuhan industri tepung terigu nasional. Konsumsi
pangan alternatif juga dapat menurunkan kebutuhan konsumsi beras per kapita
Indonesia. Berdasarkan data dari BPS (2017), konsumsi beras per kapita Indonesia
cukup tinggi, yaitu sebesar 1.668 kg kapita -1 minggu -1.
Budidaya uwi yang umumnya dilakukan oleh petani adalah dengan
pemakaian lanjaran dan guludan. Salah satu sifat tanaman uwi yaitu melilit benda
disekitarnya menyebabkan penanaman uwi biasanya dibantu dengan pemakaian
lanjaran. Lanjaran yang digunakan dapat membantu tanaman tumbuh lebih tinggi
karena tajuk tanaman tertopang oleh lanjaran yang dililiti batang uwi. Pemakaian
guludan dilakukan dengan tujuan mempermudah perawatan dan panen uwi.
Pengaruh pemakaian lanjaran dan guludan masih harus diteliti lebih lanjut untuk
mendapatkan rekomendasi yang sesuai untuk budidaya uwi.
Tujuan
Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemakaian lanjaran dan guludan
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman uwi (Dioscorea alata).

Hipotesis
Terdapat pengaruh dari pemakaian lanjaran dan guludan terhadap
pertumbuhan vegetatif tanaman uwi (Dioscorea alata), sehingga terdapat
kombinasi perlakuan yang memberikan pertumbuhan yang lebih maksimal.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Uwi

Uwi merupakan tanaman yang masuk dalam genus Dioscorea yang


merupakan genus terbesar dalam famili Dioscoreaceae yang meliputi 500 spesies.
Uwi dengan nama spesies Dioscorea alata merupakan salah satu spesies dari genus
Dioscorea yang dapat dikonsumsi. Famili Dioscoreaceae termasuk dalam tanaman
monokotil yang juga memiliki sifat dikotil. Sifat ganda yang dimiliki famili
Dioscoreaceae menimbulkan dugaan bahwa tanaman dari famili ini adalah tanaman
Angiospermae purba (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Uwi merupakan tanaman jenis ubi rambat yang memiliki spesies terbanyak.
Batang uwi memiliki empat atau lebih baris sayap. Batang uwi umumnya berwarna
hijau, namun beberapa kultivar berwarna ungu atau kemerahan akibat kandungan
dari pigmen antosianin. Batang uwi umumnya tidak memiliki duri. Daun uwi
berbentuk bulat telur dan seperti hati dan tersusun berhadapan. Umbi uwi umumnya
memiliki bentuk yang sangat bervariasi, namun umumnya berbentuk silinder. Umbi
uwi memiliki daging umbi berwarna putih, oranye, atau keunguan dan bertekstur
ringkih karena berair (Onwueme, 1978).
Uwi memiliki bunga jantan dan betina yang terpisah. Bunga dapat muncul
di bagian aksial dari bagian teratas daun. Bunga jantan memiliki kepala kecil
sepanjang pangkal ranting dengan panjang 25 cm dan berwarna hijau. Bunga betina
memiliki duri yang lebih pendek. Beberapa kultivar tidak memproduksi biji yang
fertil. Buah uwi memiliki 3 sayap dan panjang 2,5 cm dengan lebar 3,5 cm. Biji uwi
memiliki sayap di sekelilingnya ketika sudah terbentuk (French, 1986).
Tanaman uwi merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara, yang
diduga berasal dari Myanmar. Tanaman uwi menyebar ke India, Malaysia,
Indonesia, dan bagian timur dari Asia Tenggara. Penyebaran uwi dilakukan oleh
para pelaut dan imigran yang menggunakannya sebagai makanan sehingga dapat
tersebar ke wilayah tropis lain seperti Madagaskar kemudian Afrika Timur
(Onwueme, 1978).

Syarat Tumbuh Uwi

Uwi dapat ditanam pada dataran rendah hingga ketinggian 1800 mdpl
dengan iklim tropis. Suhu maksimum untuk lingkungan Uwi adalah >30o C dan
minimum adalah 20o C. Suhu optimumnya adalah antara 25-30o C. Uwi merupakan
tanaman yang tahan kekeringan, namun akan menghasilkan produksi umbi yang
maksimum dengan curah hujan yang tinggi. Pencahayaan juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan umbi. Pencahayaan yang terus – menerus secara signifikan
mengurangi produksi umbi. Panjang hari uwi dipengaruhi oleh fotoperiode. Hari
pendek sekitar <10 – 11 jam membantu perkembangan umbi namun masih dapat
bertahan dengan penyinaran 10 - 12 jam (French, 1986).
Tanaman uwi dapat ditanam di lahan dengan cahaya penuh ataupun
ternaungi karena uwi toleran terhadap cahaya penuh dan naungan. Uwi dapat
ditanam dengan menggunakan lubang, larikan, dan guludan. Tanah pada bagian
pangkal batang dibumbun agar umbinya tidak menyembul keluar dari permukaan
tanah karena umbi yang tersembul akan berasa pahit. Uwi dapat tumbuh dengan
baik pada daerah yang memiliki curah hujan 1000 – 1500 mm tahun-1 dengan
terdistribusi selama 6 – 7 bulan (Hapsari, 2014). Uwi tumbuh secara merambat
dengan melilit benda apapun yang berada di dekatnya. Lanjaran atau tiang panjat
diperlukan supaya tanaman dapat tumbuh vertikal dan daunnya dapat melakukan
fotosintesis dengan baik (Saleh, 2011).

Fase Vegetatif Uwi

Fase pertumbuhan vegetatif uwi dimulai dari 0 – 6 minggu pertama setelah


perkecambahan. Fase pertama ini ditunjukkan dengan distribusi akar dan
perambatan batang secara meluas namun dengan perluasan daun yang masih
terbatas. Uwi yang memasuki umur 6 – 12 minggu setelah perkecambahan sudah
memasuki fase kedua dengan ditandai perkembangan akar yang terbatas namun
perkembangan tunas dan daunnya meluas diiringi dengan permulaan pembentukan
umbi. Fase ketiga merupakan fase pertumbuhan terakhir sampai akhir musim
dengan dicirikan perkembangan umbi dan umur masak. Uwi yang sudah memasuki
fase ketiga akan memiliki perkembangan tunas dan akar sangat terbatas (Flach dan
Rumawas, 1996 dalam Hapsari, 2014).
Pertumbuhan vegetatif berhenti pada saat umur tanaman memasuki umur 20
minggu setelah tanam selanjutnya organ – organ tanaman seperti daun dan batang
mulai layu dan mengering saat berumur 23 minggu setelah tanam atau saat hampir
memasuki umur 6 bulan (Mansur et al., 2015). Fase keempat merupakan periode
dorman yang akan berlangsung selama 2 – 4 bulan sebelum umbi bertunas kembali
(Flach dan Rumawas, 1996 dalam Hapsari, 2014).

Lanjaran

Lanjaran merupakan tiang penyangga yang digunakan untuk menopang


tanaman atau sebagai tempat melilit bagi tanaman menjalar. Lanjaran juga
digunakan untuk mencegah kerebahan pada tanah yang tidak stabil. Terdapat
banyak jenis tanaman budidaya terutama sayuran yang membutuhkan lanjaran
untuk membantu pertumbuhan. Pemakaian lanjaran dapat meningkatkan hasil yang
sangat besar bagi tanaman sayur yang umumnya berasal dari famili Cucurbitaceae,
Leguminosae, dan Solanaceae (Williams et al. 1993).
Pemakaian lanjaran dalam budidaya uwi diperlukan saat tanaman sudah
memiliki panjang 1 m atau saat berumur sekitar 1 bulan sebelum tanaman menjalar
di atas tanah. Keuntungan dari pemakaian lanjaran adalah membantu tanaman
tumbuh ke arah atas sehingga susunan daun menjadi lebih baik agar terkena sinar
matahari dengan baik. Pemakaian lanjaran juga dapat menjaga pucuk tanaman
berada jauh dari permukaan tanah yang bisa menjadi panas di awal musim dan
lembab pada periode berikutnya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan efek
terbakar pada bagian tanaman yang selanjutnya dapat menyebabkan penyakit oleh
mikroorganisme. Pengendalian gulma juga dapat dilakukan lebih mudah dengan
pemakaian lanjaran daripada tanaman yang tumbuh secara tersebar di atas
permukaan tanah tanpa lanjaran. Lanjaran yang digunakan dalam budidaya uwi
terdapat tiga jenis tipe, yaitu tipe lanjaran tunggal, lanjaran piramida, dan lanjaran
jari – jari (Onwueme, 1978).
Tipe lanjaran tunggal sebuah lanjaran kokoh ditancapkan secara vertikal dan
uwi melilit pada lanjaran vertikal tersebut. Uwi yang ditanam dengan guludan yang
tinggi dan terdapat lebih dari satu tanaman dalam guludan umumnya hanya
menggunakan satu lanjaran untuk semua tanaman uwi di guludan tersebut. Batang
bambu merupakan lanjaran yang ideal untuk lanjaran tunggal. Metode piramida
terdiri dari tiga atau empat lanjaran yang dimiringkan satu sama lain dan diikat di
setiap ujung lanjaran sehingga terbentuk kerangka sebuah piramida. Setiap tanaman
akan melilit satu sama lain setelah batangnya sudah mencapai puncak lanjaran. Tipe
lanjaran piramida lebih kokoh daripada lanjaran tunggal karena setiap lanjaran
menopang satu sama lain (Onwueme, 1978).
Tipe lanjaran jari – jari terdiri dari dua tiang kuat yang ditancapkan di kedua
sisi ujung setiap baris tanaman. Seutas kawat besi dibentangkan diantara kedua
tiang pada ketinggian 2 m diatas permukaan tanah Tiang lanjutan diletakkan pada
interval sekitar 20 m untuk penyangga tambahan bagi kawat. Seutas tali digantung
diatas setiap tanaman dan diikatkan pada kawat besi. Uwi yang sudah berkecambah
akan tumbuh dan melilit mengikuti tali hingga mencapai kawat dan terus melilit di
sekitar kawat. Tipe lanjaran jari – jari memiliki keuntungan memiliki daya tahan
lama karena dapat digunakan selama beberapa tahun dan dapat dibongkar dengan
mudah jika budidaya secara mekanik dilakukan (Onwueme, 1978).

Guludan

Pemakaian guludan merupakan salah satu teknik pengolahan tanah yang


paling umum dilakukan untuk sistem budidaya tradisional uwi. Top soil
dikumpulkan pada satu titik membentuk tumpukan berbentuk kerucut dalam
pembuatan guludan di lahan. Pembuatan guludan yang paling sering dilakukan di
negara – negara penghasil uwi umumnya membuat guludan dengan tinggi sekitar
50 cm dan hanya satu atau dua lubang yang ditanami tiap guludannya. Tanaman
lain seperti Jagung, Okra, dan Melon terkadang turut ditanam di jarak antara
guludan (Onwueme, 1978).
Beberapa fungsi pembuatan guludan adalah memperbaiki aerasi dan
drainase, memudahkan pemeliharaan tanaman (terdapat alur), dan memperbaiki
sifat tanah. Tanaman yang umumnya memerlukan guludan dalam kegiatan
budidayanya adalah singkong, umbi – umbian, berbagai jenis palawija, dan sayuran
yang banyak tumbuh di daerah dengan iklim tropis (Lovita, 2009).
Pengguludan yang dibuat dalam budidaya uwi menyebabkan sifat tanah
menjadi remah untuk penetrasi akar. Akibat pengguludan ini, uwi akan
menghasilkan produksi umbi per tanaman yang sangat besar dan bentuk umbi yang
seragam. Faktor kedua yang menyebabkan besarnya produksi umbi di guludan
adalah karena dalam pembuatan guludan dilakukan pengumpulan top soil dalam
guludan yang mengandung tanah yang subur dan bahan organik pada lubang tanam
dimana akar tumbuh dan berkembang. Kelebihan lainnya adalah mudahnya proses
pemanenan karena tanah yang remah pada guludan lebih mudah untuk dibongkar
daripada tanpa guludan (Onwueme, 1978).
Bentuk dan ukuran guludan yang dibentuk dalam budidaya tanaman
berbeda sesuai dari sifat perakaran tanaman yang dibudidayakan. Lebar guludan
yang dibentuk berpengaruh terhadap kegiatan penyiangan, penanaman dan kegiatan
lainnya dalam budidaya tanaman. Panjang guludan tergantung dari ukuran lahan
pertanian, jumlah jenis yang diusahakan, dan urutan penanaman yang digunakan.
Lebar antara guludan bervariasi tergantung dari tipe tanaman yang dibudidayakan
(Rustam, 2009).
Pembuatan guludan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
menggunakan traktor (power tiller), penggunaan tenaga hewan (pembajakan
dengan kerbau), penggunaan tenaga manusia (pencangkulan), dan penggunaan
cultivator untuk membuat bedengan/guludan. Pembuatan guludan umumnya
dengan membentuk parit dari kedua sisi berbeda dengan kedalaman dan lebar
tertentu yang diperlukan dan menumpuk tanah dari bagian yang digali, baik secara
manual (mencangkul), maupun secara mekanis dengan menggunakan mesin
pertanian. Pembuatan guludan secara manual membutuhkan konsumsi energi total
yang diperlukan per hektar lebih dari 8 kali lipat lebih besar daripada secara
mekanis dan secara umum pembuatan guludan secara mekanis lebih
menguntungkan daripada secara manual dari segi waktu yang diperlukan (Lovita,
2009).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan akan dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut


Pertanian Bogor dan Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Institut Pertanian Bogor, Dramaga (250 mdpl), Bogor pada bulan
Januari 2018 – Mei 2018.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu Uwi sebanyak 300 umbi ukuran 10 cm dengan
bobot 200 - 300 g, pupuk urea sebanyak 100 kg ha-1, pupuk SP36 100 kg ha-1, dan
KCl 100 kg ha-1 (Rakhmawati, 2017). Alat yang digunakan adalah cangkul,
meteran, linggis, arit, pisau, kored, timbangan, amplop kertas, kertas HVS, lanjaran,
tali plastik, penggaris, dan jangka sorong.
Rancangan Percobaan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Split Plot, Rancangan


Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan menggunakan dengan 3 ulangan.
Faktor pertama sebagai petak utama adalah pemakaian lanjaran yang terdiri dari
dua taraf yaitu:
L0 = (Tanpa lanjaran)
L1 = (Lanjaran 1 m)

Faktor kedua sebagai anak petak adalah pemakaian guludan dengan dua taraf yaitu:
G0 = Tanpa guludan atau lahan datar
G1 = guludan lebar dasar 1 m dan tinggi guludan 0,5 m
Model aditif linier yang digunakan adalah
Yijk = µ + αi + βj + Ck + εijk + αβij + Sj.k

Ket : i = 1, 2, dan 3 (ulangan)


j = 1,2 (lanjaran)
k = 1,2 (guludan)
Yijk = Respon pengamatan dari perlakuan lanjaran ke - i, perlakuan guludan ke
- j, dan pengelompokan ke - k, dan interaksi faktor ke-i dan ke - j
µ = Nilai tengah populasi
αi = Pengaruh lanjaran ke-i
βj = Pengaruh guludan ke-j
Ck = Pengaruh pengelompokkan ke-k
εijk = Pengaruh galat percobaan perlakuan lanjaran ke-i, kelompok ke-k,
guludan ke-j
αβij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan ke-j
Sj.k = Pengaruh galat petak utama

Percobaan ini terdiri atas 4 perlakuan dengan 3 ulangan. Setiap perlakuan


terdiri dari 25 individu tanaman yang ditanam dalam lima baris tiap satuannya,
sehingga jumlah keseluruhan percobaan terdiri dari 300 individu tanaman.

Prosedur Percobaan

Persiapan Bahan Tanam


Bahan tanam yang digunakan adalah umbi uwi yang diperoleh dari hasil
panen penelitian sebelumnya. Umbi uwi yang akan dijadikan bibit terlebih dahulu
dibersihkan dan dikeringkan di bawah sinar matahari sampai umbi tidak lembab
atau basah.

Persiapan Lahan
Persiapan lahan tanam diawali dengan pembersihan lahan dari gulma dan
pengolahan tanah. Lahan yang digunakan seluas 150 m2. Lahan diolah dan dibentuk
menjadi enam petak percobaan dengan masing – masing petak percobaan seluas 5
m x 5 m. Setiap ulangan terdiri ats lahan 2,5 m x 2,5 m lahan datar dan guludan.
Setelah tanaman berumur 3 MST, lanjaran dipasang di tiap ulangan. Pengolahan
lahan dilakukan dengan metode minimum tillage.

Penyiapan Bibit
Umbi uwi yang sudah kering siap diolah menjadi bahan bibit. Umbi dipotong
sepanjang 10 cm dengan bobot 200 - 300 g. Bibit yang sudah dipotong lalu diolesi
abu gosok untuk mencegah cairan dari bibit keluar dan mencegah serangan hama
penyakit.
Penanaman Uwi
Bibit uwi ditanam dengan cara dipendam sedalam 20 cm di dalam guludan
tanah setinggi 50 cm. Bibit ditanam dengan jarak tanam 0.5 m dalam barisan dan 1
m antar barisan. Terdapat 6 petak percobaan dengan masing – masing petak
percobaan terdiri dari 2 perlakuan. Masing – masing petak percobaan seluas 5 m x
5 m. Tiap satuan percobaan terdapat 50 individu tanaman. Dosis pupuk yang
diberikan berupa urea sebanyak 100 kg ha-1, pupuk SP36 100 kg ha-1, dan KCl 100
kg ha-1 sehingga didapatkan dosis pemupukan 15 g tiap tanaman untuk urea, SP36,
dan KCl sebagai pupuk dasar (Rakhmawati, 2017).

Perawatan Uwi
Tanaman uwi dibersihkan dari gulma sejak awal penanaman hingga akhir
pengamatan. Gulma dibersihkan satu kali per pekannya. Perlindungan dari hama
dan penyakit dilakukan secara manual dan kimiawi apabila diperlukan. Penyiraman
dilakukan setiap harinya apabila tidak turun hujan.

Pengamatan Percobaan

Pengamatan tanaman meliputi pertumbuhan dan secara destruktif.


Parameter pertumbuhan diukur selama empat bulan pengamatan. Pengamatan
dilakukan terhadap peubah kuantitatif yang meliputi:
1. Persentase umbi yang bertunas (%) dihitung dengan formula :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑏𝑖𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠


Persentase umbi bertunas = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑏𝑖𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑎𝑛𝑎𝑚 𝑥 100%
2. Waktu perkecambahan umbi (hari), dilaksanakan dengan mengamati lubang
tanam percobaan sampai ada bibit yang mulai terlihat daun berukuran kecil.
3. Kecepatan tumbuh tunas dihitung dengan formula:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ 𝑚𝑎𝑥


Kecepatan tumbuh tunas (tunas hari-1) = 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ 𝑡𝑢𝑛𝑎𝑠 𝑚𝑎𝑥
4. Panjang tanaman (cm), dilakukan dengan mengukur panjang dari pangkal batang
yang berada di atas permukaan tanah sampai ujung pucuk daun. Pengamatan
dilakukan sejak awal fase vegetatif, yaitu pada 4 - 8 MST dan fase awal generatif
pada 17 MST.
5. Jumlah daun, menghitung jumlah daun pada daun yang sudah terbuka dan
berwarna hijau tua. Pengamatan dilakukan sejak awal fase vegetatif, yaitu pada
4 - 9 MST dan fase awal generatif pada 17 MST.
6. Jumlah tunas yang tumbuh setiap tanaman. Perhitungan jumlah tunas dilakukan
dengan menghitung total tunas yang muncul ke permukaan tanah dalam setiap
umbi. Pengamatan dilakukan hingga tanaman berumur 10 dan 12 MST karena
pada umur tersebut tanaman sudah memasuki fase vegetatif akhir.
7. Jumlah cabang yang muncul setiap tanaman. Perhitungan jumlah cabang
dilakukan dengan cara menghitung total cabang yang terdapat dalam setiap
tanaman. Pengamatan dilakukan hingga tanaman berumur 10 dan 12 MST
karena pada umur tersebut tanaman sudah memasuki fase vegetatif akhir.
8. Bobot basah dan bobot kering tanah. Bobot basah tanah diperoleh dengan
mengukur bobot tanah dari lahan. Sampel tanah diambil dari kedalaman 5 cm
dibawah permukaan tanah berjarak 10 cm dari pangkal batang. Bobot kering
tanah didapatkan setelah sampel tanah di panaskan di dalam oven selama 6 hari.
9. Bobot jenis tanah (g cm-3). Menghitung bobot tanah per satuan volume tanah
dihitung dengan formula:
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
Bobot jenis tanah = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑤𝑎𝑑𝑎ℎ
10. Kadar air tanah dihitung dengan formula:
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
Kadar air tanah (% BB) = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
Kadar air tanah (% BK) = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
11. Pada umur 4 bulan (17 MST) setelah tanam diamati bobot basah, bobot kering,
dan kadar air masing-masing untuk daun, batang, akar dan umbi. Pengamatan
bobot basah dilakukan dengan menimbang bobot umbi dan akar, batang dan
daun yang dicabut langsung dari lahan percobaan. Pengamatan bobot kering
dilakukan dengan menimbang bobot batang dan daun yang sudah dikeringkan di
dalam oven selama tiga hari pada suhu 80 oC. Bobot kering umbi dan akar
dilakukan dengan menimbang bobot keringnya setelah di cacah dan dikeringkan
di dalam oven selama empat hari pada suhu 80 oC.
12. Kadar air daun 17 MST dihitung dengan formula:

bobot basah daun − bobot kering daun


Kadar air daun (% BB) = x 100%
bobot basah daun
bobot basah daun − bobot kering daun
Kadar air daun (% BK) = 𝑥 100%
bobot kering daun
13. Kadar air batang 17 MST dihitung dengan formula:

bobot basah batang − bobot kering batang


Kadar air batang (% BB) = 𝑥 100%
bobot basah batang
bobot basah batang − bobot kering batang
Kadar air batang (% BK) = 𝑥 100%
bobot kering batang
14. Kadar air akar dan umbi 17 MST dihitung dengan formula:
Kadar air akar dan umbi (% BB)

bobot basah akar dan umbi−bobot kering akar dan umbi


= 𝑥 100%
bobot basah akar dan umbi
Kadar air akar dan umbi (% BK)

bobot basah akar dan umbi − bobot kering akar dan umbi
= 𝑥 100%
bobot kering akar dan umbi
15. Diameter umbi
16. Volume umbi. Diukur dengan menghitung volume air yang keluar dari wadah
yang dipenuhi air sesuai hukum Archimedes.
17. Bobot jenis umbi dihitung dengan formula:
bobot umbi
Bobot jenis umbi =
volume umbi

Analisis Data

Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji sidik ragam
(uji F) pada taraf α 5 %. Apabila hasil sidik ragam (uji F) menunjukkan pengaruh nyata
pada taraf α 5 %, maka dilakukan uji lanjut nilai tengah antar perlakuan dengan
menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan α 5 %. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan software Microsoft Excel dan SAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum

Percobaan berupa penanaman umbi dilakukan dari bulan Januari – Mei 2018
di Kebun Percobaan Leuwikopo Dramaga. Kondisi cuaca di wilayah penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu rata – rata di wilayah penelitian yang memiliki
rentang 25 – 27 oC sangat cocok sebagai lingkungan tempat tumbuh uwi. Sejalan
dengan pernyataan French (2006), bahwa uwi masih dapat tumbuh pada wilayah
yang memiliki suhu lebih dari 30 oC dan minimal 20 oC dengan suhu optimum
antara 25 – 30 oC. Hapsari (2014) menyatakan bahwa uwi akan tumbuh dengan baik
pada daerah dengan curah hujan 1000 – 1500 mm tahun-1 atau 83 – 125 mm bulan-
1
yang terdistribusi selama 6 – 7 bulan. Angka curah hujan yang optimum tidak
terlalu tinggi dikarenakan uwi adalah tanaman yang toleran kekeringan daripada
wilayah yang basah. Wilayah yang menjadi lokasi percobaan memiliki curah hujan
yang lebih tinggi daripada yang curah hujan yang optimum untuk pertumbuhan uwi.

Tabel 1. Kondisi cuaca di lahan percobaan bulan Januari – Mei 2018


Bulan Suhu rata-rata Curah hujan rata-rata Kelembaban udara
(˚C) (mm) (%)
Januari 25.7 189.2 80.8
Februari 25.4 358.9 85.9
Maret 26.0 122.7 82.6
April 26.3 353.0 85.3
Mei 26.6 284.0 82.0
Sumber : Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (2018)

Kondisi tanah petak percobaan di Kebun Percobaan Leuwikopo menurut


Rinaldi (1986) dalam sistem klasifikasi USDA adalah ultisol atau disebut tanah
podsolik. Hardjowigeno (1987), menyatakan tanah ultisol memiliki ciri berupa
adanya penimbunan liat di horison bawah (argilik), kejenuhan basa <35% pada
kedalaman 180 cm dari permukaan tanah, dan bersifat masam karena mengandung
alumunium dan besi yang tinggi. Menurut Soil Survey Staff (1999), tanah
ultisolpada horison A di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral terdapat besi-
fero aktif. Horison B mempunyai kadar karbon organik sebesar 0.9% atau lebih di
dalam 15 cm di bagian atas horison argilik atau kandik dan mempunyai karbon
organik sebesar 12 kg m-2 atau lebih diantara permukaan tanah mineral dan
kedalaman 100 cm. Berdasarkan pernyataan Hardjowigeno (1987), horison argilik
adalah horison penimbun liat yang sedikitnya mengandung 1.2 kali lipat lebih
banyak liat daripada liat di lapisan atasnya hingga permukaan tanah, sedangkan
horison kandik adalah horison yang memiliki sifat yang mirip dengan argilik namun
kandungan KTK<16 cmol+ kg-1 liat.
Tanah pada petak percobaan berupa tanah podsolik atau ultisol merupakan
tanah yang kurang subur. Penggunaan lahan yang dilakukan terus – menerus
mengakibatkan adanya perubahan kesuburan tanah di petak percobaan dan
sekitarnya. Penggunaan pupuk dan bahan organik setiap penggunaan lahan tersebut
mengakibat unsur hara dan bahan organik juga meningkat sehingga tanah menjadi
subur. Petak percobaan yang digunakan memiliki permukaan tanah yang berwarna
coklat kegelapan akibat kandungan bahan organik yang terkandung di dalamnya.
Organisme tanah seperti cacing, semut, dan rayap juga banyak ditemukan sehingga
semakin membuktikan bahwa tanah yang digunakan cukup subur. Secara umum,
pengertian tanah yang subur adalah tanah yang dapat menopang kehidupan bagi
kebanyakan tanaman yang diusahakan (Munawar, 2011).
Serangan hama yang terlihat hanya berupa gigitan dari belalang (Valanga
sp.). Serangan yang terjadi mengakibatkan daun – daun tanaman menjadi bolong –
bolong akibat digigit. Gejala serangan yang ditimbulkan tidak sampai mengganggu
pertumbuhan tanaman karena jumlah belalang yang berada di petak percobaan
masih rendah. Gejala penyakit yang terjadi berupa busuk pucuk atau batang dan
juga antraknosa namun tidak mengganggu pertumbuhan tanaman secara
keseluruhan. Antraknosa yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum
gloeosporioides dapat cepat berkembang di daerah tropikal basah. Penyebarluasan
spora antraknosa dapat terjadi dengan bantuan air hujan dan angin (Bhattacharjee,
2016). Hal ini sesuai dengan kondisi di lahan yang memiliki curah hujan yang tinggi
selama percobaan.

Pengaruh Lanjaran dan Guludan

Persentase umbi berkecambah

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapang yang dapat dilihat pada


Gambar 1, umbi yang digunakan sebagai bibit tanaman dapat tumbuh seluruhnya
di setiap petak percobaan. 25 umbi di setiap petaknya dapat berkecambah dengan
baik seluruhnya dengan waktu berkecambah yang berbeda – beda. Tingginya daya
berkecambah pada percobaan ini disebabkan umbi yang digunakan telah selesai
mengalami masa dormansi. Penanaman dilakukan pada Bulan Januari 2018
menggunakan umbi yang berasal dari pertanaman sebelumnya yang dipanen sejak
Bulan September 2018. Umbi uwi dapat mengalami dormansi selama beberapa
bulan hingga maksimal 5 bulan tergantung kondisi lingkungan sekitarnya (Lebot,
2009). Penggunaan umbi yang sudah melewati masa dormansi menyebabkan bibit
cepat berkecambah dan memiliki daya berkecambah yang maksimum.
Perkecambahan dan diikuti dengan penumbuhan tunas menunjukkan
berakhirnya masa dormansi umbi. Pemberian perlakuan atau bahan – bahan tertentu
dapat memperpanjang masa dormansi atau mengakhiri masa dormansi. Penggunaan
ektrak biji mimba dan potash dapat menghambat perkecambahan dan
memperpanjang masa dormansi sehingga berguna untuk menyimpan umbi yang
akan digunakan sebagai bahan pangan (Tortoe et al., 2015). Perpanjangan masa
dormansi juga dapat dilakukan dengan perendaman umbi dalam larutan hidrasida
maleat dan radiasi gamma walaupun tidak umum dilakukan (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998). Pemberian Kloroetanol dan Thiourea merupakan salah satu
teknik memperpendek masa dormansi dibandingkan menggunakan GA3 (Ile et al.,
2006).

Waktu dan kecepatan berkecambah

Perbedaan waktu berkecambah antar umbi bervariasi di tiap petak


percobaan. Petak percobaan yang memiliki waktu perkecambahan yang relatif lebih
lama terdapat pada petak yang menggunakan lanjaran. Rata – rata waktu
berkecambah antar petak tidak memiliki selisih yang jauh. Rata – rata waktu
berkecambah umbi paling cepat terdapat pada petak 2 LOG1 (19.36 hari) dan paling
lama terdapat pada petak 3 L1G0 (23.34 hari). Rata – rata waktu perkecambahan
umbi uwi secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2.
Kecepatan berkecambah merupakan perhitungan dari berkecambahnya
umbi tiap pekannya. Umbi sebagian mulai tumbuh saat 2 MST dan saat 4 MST
hampir seluruh umbi sudah berkecambah. Kecepatan berkecembah umbi dapat
dilihat pada Gambar 3.

Rata - Rata Waktu Perkecambahan Bibit Umbi


25
24
23
22
Waktu (hari)

21
20
19
18
17
16
15

Petak Percobaan

Gambar 2. Rata – rata waktu perkecambahan umbi uwi


Kecepatan Berkecambah Bibit
80
Jumlah Bibit 60
L0G0
40
L0G1
20
L1G0
0 L1G1
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST

Waktu Berkecambah
Gambar 3. Kecepatan berkecambah umbi

Karakter vegetatif

Pemakaian lanjaran berpengaruh nyata terhadap waktu berkecambah umbi


dapat dilihat pada Tabel 2. Waktu berkecambah pada petak yang memakai lanjaran
lebih lama dibandingkan petak tanpa lanjaran. Pemakaian lanjaran juga tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas tanaman saat berumur 10 MST, namun
pemakaian guludan berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas saat berumur 10
MST. Jumlah tunas lebih banyak terdapat pada petak yang memakai guludan
dibanding tanpa guludan.
Pemakaian lanjaran memberikan pengaruh nyata terhadap waktu
perkecambahan karena pemasangan lanjaran pada 17 HST menyebabkan petak
yang menggunakan lanjaran menjadi sedikit ternaungi. Hal ini mungkin yang
menyebabkan perbedaan waktu berkecambah bagi umbi pada petak yang diberikan
lanjaran dan tanpa lanjaran. Ternaunginya petak akibat pemasangan lanjaran
sehingga cahaya sedikit berkurang menjadi faktor eksternal yang memengaruhi
perkecambahan umbi. Menurut Widajati et al. (2012), perkecambahan dipengaruhi
oleh faktor internal, yaitu: genetik, tingkat kemasakan benih, dan umur benih.
Faktor eksternal yang juga memengaruhi perkecambahan antara lain: air, suhu,
cahaya, gas, dan medium perkecambahan.
Pemakaian guludan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas saat 10
MST dikarenakan perlakuan guludan lebih remah daripada perlakuan tanpa guludan
yang lebih padat. Hal ini dikarenakan perlakuan guludan menyebabkan lubang
tanam memiliki kadar udara yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa
guludan yang bobot tanah dan kadar airnya yang lebih tinggi. Tanah yang tidak
terlalu padat menyebabkan tunas dapat tumbuh dengan lebih mudah dan perakaran
menjadi lebih baik dalam menembus permukaan tanah. Pembuatan guludan yang
termasuk dalam bentuk pengolahan tanah memiliki fungsi pembentukan kondisi
yang baik untuk pertumbuhan bibit dan perkembangan akar (Rachman et al., 2013).
Tabel 2. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap waktu berkecambah dan jumlah
tunas 10 MST
Perlakuan Waktu berkecambah (hari) Jumlah Tunas 10 MST
Lanjaran
L0 20.46 1.85
L1 21.73 1.85
Uji F (Pr>F) 0.01* 1.00 tn
Guludan
G0 21.38 1.61
G1 20.81 2.08
Uji F (Pr>F) 0.57 tn 0.03*
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
5%.* = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat
nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah


daun saat berumur 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 17 MST dapat dilihat pada Tabel 3. Perlakuan
lanjaran tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun disebabkan karena
pemakaian lanjaran yang kurang tinggi dan jarak tanam yang cukup rapat.
Pemakaian lanjaran setinggi 1 m masih kurang optimal karena lanjaran yang dapat
dililit oleh batang tanaman hanya sepanjang 0.75 m sehingga tajuk tanaman masih
berada di dekat permukaan tanah. Menurut Mirza (2005), pemakaian lanjaran
setinggi 50 – 100 cm tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif
karena ruang tumbuh yang tersedia belum optimal dan belum mendukung daun –
daun untuk berfotosintesis secara optimal karena banyak daun yang saling
menutupi. Jarak tanam yang rapat yaitu 50 cm antar tanaman dan 1 m antar baris
menyebabkan tanaman saling menutupi dan melilit satu sama lain sehingga terjadi
persaingan dalam fotosintesis dan respirasi.
Pemakaian guludan tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah vegetatif
di lapang dikarenakan fungsi dari guludan adalah untuk memudahkan pemanenan,
penyiangan gulma, perawatan tanaman, dan memperbaiki aerasi dan drainase
(Lovita, 2009; Onwueme, 1978). Tanaman yang tumbuh di guludan tidak terlalu
terpengaruh dengan adanya guludan dalam proses fotosintesis, transpirasi, dan
respirasi selama pertumbuhan vegetatif sehingga tidak menunjukkan adanya
pengaruh yang nyata.
Tabel 3. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap jumlah daun
Jumlah Daun
Perlakuan 4 5 6 7 8 9 17
MST MST MST MST MST MST MST
Lanjaran
L0 1.53 6.26 14.23 29.23 41.95 64.45 341.80
L1 1.54 6.41 16.26 30.98 46.16 66.21 385.30
Uji F 0.95 0.90 0.46 0.66 0.43 0.87 0.23
(Pr>F) tn tn tn tn tn tn tn
Guludan
G0 1.49 6.51 15.16 30.65 44.18 62.25 343.80
G1 1.59 6.16 15.33 29.56 43.93 68.41 383.30
Uji F 0.79 0.81 0.94 0.82 0.95 0.37 0.84
(Pr>F) tn tn tn tn tn tn tn
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
5%.* = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat
nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan


berkecambah dan panjang tanaman saat berumur 4, 5, 6, 7, 8, dan 17 MST, tetapi
dengan tingkat kesalahan 8% panjang tanaman pada perlakuan tanpa lanjaran lebih
panjang dibandingkan dengan perlakuan lanjaran pada umur 17 MST (Tabel 4).
Kecepatan berkecambah lebih cepat pada perlakuan tanpa lanjaran dan guludan.
Tanaman pada petak tanpa guludan menunjukkan perbedaan pertumbuhan panjang
tanaman pada umur 17 MST sehingga lebih panjang dibandingkan dengan guludan
dengan Pr>F 0.19. pengamatan panjang tanaman dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 4. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap kecepatan berkecambah dan


panjang tanaman
Panjang Tanaman (cm)
Kecepatan
Perlakuan 4 5 6 7 8 17
Berkecambah
MST MST MST MST MST MST
Lanjaran
L0 0.18 30.73 83.82 161.38 234.73 278.65 700.83
L1 0.20 33.07 88.49 163.85 239.32 291.42 617.67
Uji F 0.68 0.88 0.82 0.65 0.08
0.81 tn 0.81tn
(Pr>F) tn tn tn tn tn
Guludan
G0 0.15 34.44 93.75 169.05 243.75 287.55 722.83
G1 0.24 29.36 78.56 156.18 230.30 282.52 595.67
Uji F 0.65 0.29 0.49 0.56 0.83 0.19
0.23 tn
(Pr>F) tn tn tn tn tn tn
Keterangan : Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
5%. * = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat
nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.
Gambar 4. Panjang tanaman 17 MST

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah


tunas saat berumur 10 MST dan jumlah cabang saat berumur 10 dan 12 MST dapat
dilihat pada Tabel 5. Jumlah cabang pada perlakuan tanpa lanjaran lebih banyak
dibandingkan dengan perlakuan lanjaran pada umur 12 MST dengan tingkat
kesalahan 8% atau Pr>F 0.08. jumlah tunas dengan perlakuan guludan pada umur
12 MST lebih banyak dibandingkan tanpa guludan dengan tingkat kesalahan 8%.

Tabel 5. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap jumlah tunas dan jumlah cabang
Jumlah Tunas Jumlah Cabang
Perlakuan
12 MST 10 MST 12 MST
Lanjaran
L0 1.86 6.10 11.70
L1 1.75 5.03 8.23
Uji F (Pr>F) 0.74 tn 0.60 tn 0.08 tn
Guludan
G0 1.50 5.65 8.91
G1 2.11 5.48 11.01
Uji F (Pr>F) 0.08 tn 0.52 tn 0.27 tn
Keterangan : Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
5%.* = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat
nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot


basah dan bobot kering daun, batang, dan umbi saat berumur 17 MST dapat dilihat
pada Tabel 6. Pengamatan terhadap seluruh organ tanaman yang dilakukan saat
tanaman berumur 17 MST tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata karena
pertumbuhan tanaman masih seragam. Penanaman uwi di lahan dengan curah hujan
yang cukup, lahan yang subur, dan perawatan yang intensif dengan perlakuan yang
sama menyebabkan seluruh petak percobaan tumbuh dengan baik walaupun uwi
masih dapat bertahan di lahan yang kurang subur. Penanaman di lahan yang subur
dapat mengurangi perbedaan hasil antara tanaman yang tumbuh dengan lanjaran
dan tanpa lanjaran sehingga seluruh tanaman memiliki pertumbuhan yang sama –
sama baik (Norman et al., 2015). Uwi yang memasuki umur 17 MST atau berumur
4 bulan baru memasuki fase pembentukan umbi, sehingga ketika diamati kondisi
umbinya belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Uwi yang telah melewati
umur 14 minggu akan berkurang pertumbuhan daun dan akarnya karena
karbohidrat yang dihasilkan tanaman akan dialokasikan untuk pembentukan umbi
yang akan berlangsung sekitar 10 – 12 minggu (Lebot, 2009). Sampel hasil berupa
bobot basah akar dan umbi dan bobot kering daun, akar dan umbi, dan batang dapat
dilihat pada Gambar 5. dan Gambar 6.

Tabel 6. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap bobot basah dan bobot kering
pada daun, batang, dan umbi saat berumur 17 MST
Daun Batang Umbi
Perlakuan
BB (g) BK (g) BB (g) BK (g) BB (g) BK (g)
Lanjaran
L0 257.29 43.86 231.24 46.65 592.70 104.41
L1 314.45 48.15 199.09 36.85 591.50 94.05
Uji F
0.44 tn 0.71 tn 0.49 tn 0.41 tn 0.98 tn 0.84 tn
(Pr>F)
Guludan
G0 243.08 41.87 194.32 40.60 680.00 116.54
G1 328.67 50.14 236.01 42.90 504.2 81.91
Uji F
0.45 tn 0.71 tn 0.51 tn 0.83 tn 0.31 tn 0.33 tn
(Pr>F)
Keterangan : BB = Bobot basah, BK = Bobot kering, KA = Kadar air. Angka pada
baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.* =
berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada
taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Gambar 5. Sampel bobot kering batang, daun, akar dan umbi

Gambar 6. Sampel bobot basah akar dan umbi

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air
per bobot basah dan kadar air per bobot kering dari daun, batang, dan umbi saat
berumur 17 MST dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar air per bobot basah dan bobot
kering daun lebih tinggi dengan menggunakan lanjaran dengan nilai Pr>F 0.1 dan
0.2. Kadar air per bobot basah dan bobot kering batang lebih tinggi dengan
menggunakan guludan dengan nilai Pr>F 0.1 dan 0.09. Kadar air per bobot basah
dan bobot kering umbi lebih tinggi dengan menggunakan lanjaran dengan nilai
Pr>F 0.12 dan 0.12.

Tabel 7. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap kadar air pada daun, batang, dan
umbi saat berumur 17 MST
Daun Batang Umbi
Perlakuan KA BB KA BK KA BB KA BK KA BB KA BK
(%) (%) (%) (%) (%) (%)
Lanjaran
L0 83.31 512.34 80.13 408.16 83.14 507.24
L1 84.62 562.80 81.44 448.37 84.71 568.82
Uji F
0.10 tn 0.20 tn 0.28 tn 0.30 tn 0.12 tn 0.12 tn
(Pr>F)
Guludan
G0 83.07 502.87 79.52 395.30 83.20 504.90
G1 84.85 572.27 82.05 461.24 84.65 571.15
Uji F
0.32 tn 0.28 tn 0.10 tn 0.09 tn 0.36 tn 0.23 tn
(Pr>F)
Keterangan : BB = Bobot basah, BK = Bobot kering, KA = Kadar air. Angka pada
baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.* =
berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat nyata pada
taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap volume,


lebar, dan bobot jenis umbi saat berumur 17 MST dapat dilihat pada Tabel 8.
Pengaruh pemakaian lanjaran dan guludan ketika uwi berumur 17 MST belum
dapat menunjukkan perbedaan hasil karena tanaman baru memasuki fase awal
pembentukan umbi. Perbedaan diameter umbi terjadi karena variasi bentuk umbi
dan tidak selalu berbanding lurus dengan ukuran umbi. Pengaruh pemakaian
lanjaran dan guludan terhadap bobot jenis umbi tidak menghasilkan beda yang
signfikan karena bobot jenis setiap umbi selalu memiliki bobot jenis yang hampir
sama. Besarnya ukuran umbi uwi berkorelasi positif nyata terhadap diameter umbi.
Hal ini diduga karena translokasi fotosintat ke umbi diakumulasi ke arah diametral
sehingga mempengaruhi diameter umbi bukan panjang umbi (Sulistyono dan
Marpaung, 2004).
Tabel 8. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap volume, lebar dan bobot jenis
umbi saat berumur 17 MST
Umbi
Perlakuan 3
Volume (cm ) Lebar (cm) Bobot jenis (g cm-3)
Lanjaran
L0 554.70 13.68 1.08
L1 561.30 13.30 1.06
Uji F
0.99 tn 0.98 tn 0.50 tn
(Pr>F)
Guludan
G0 643.20 16.43 1.06
G1 472.80 10.55 1.09
Uji F
0.31 tn 0.15 tn 0.63 tn
(Pr>F)
Keterangan : Angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf
5%. * = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat
nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Pemakaian lanjaran dan guludan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot


basah, bobot kering, bobot jenis,kadar air per bobot basah, dan kadar air per bobot
kering tanah dapat dilihat pada Tabel 8. Bobot basah dan bobot kering tanah lebih
tinggi pada petak tanpa guludan dengan nilai Pr>F 0.13 dan 0.16. Bobot jenis tanah
lebih tinggi pada petak tanpa guludan dengan nilai Pr>F 0.16. Kadar air tanah per
bobot basah lebih tinggi pada petak tanpa guludan dengan nilai Pr>F 0.11.
Tidak adanya pengaruh nyata dari pemakaian lanjaran maupun guludan
menunjukkan tidak adanya perubahan pada komposisi tanah secara signifikan.
Komposisi tanah terdiri dari fase padat berupa partikel atau unsur anorganik dan
organik, fase cair berupa air tanah sebagai bahan pelarut, dan fase gas berupa udara
(Rachman et al., 2013). Komposisi tanah antar petak percobaan tidak mengalami
banyak perubahan walaupun diberikan lanjaran maupun dibuat guludan karena
pengolahan tanah yang dilakukan berupa pembersihan lahan dari gulma dan
pembuatan petak secara manual dengan bantuan cangkul. Pengolahan tanah secara
manual tidak banyak menyebabkan perubahan kondisi tanah dibandingkan
pengolahan secara mekanik.
Bobot jenis tanah atau bulk density adalah rasio massa tanah terhadap volume
tanah (Rachman et al., 2013). Tanah yang diamati setiap petak percobaan memiliki
bobot jenis dan kadar air yang mendekati bobot jenis dan kadar air untuk tanah
pertanian pada umumnya. Rata – rata bobot jenis tanah di lahan percobaan sedikit
dibawah bobot jenis tanah pertanian dan kadar air per bobot basah tanah sedikit
diatas rata – rata untuk tanah pertanian.
Tanah yang tepat untuk budidaya uwi adalah tanah yang gembur, dalam, dan
berdrainase baik sehingga dapat meningkatkan hasil panen karena perakaran uwi
bersifat khas dan menyebar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Tanah yang baik
untuk pertumbuhan tanaman lahan kering umumnya terdiri atas 45% (volume)
mineral, 5% bahan organik, 20 – 30% udara, dan 20 – 30% air. Kepadatan tanah
yang dihitung dengan bobot jenis tanah dapat menunjukkan seberapa mudahnya
tanah untuk meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Umumnya bobot jenis
tanah atau bulk density berkisar antara 1.1 – 1.6 g cm-3. Bobot jenis merupakan
faktor yang penting untuk menghitung kebutuhan pupuk atau air untuk tiap – tiap
hektar tanah (Hardjowigeno, 1987).

Tabel 9. Pengaruh lanjaran dan guludan terhadap bobot, bobot jenis, dan kadar air
tanah
Tanah
Perlakuan Bobot jenis
BB (g) BK (g) KA BB (%) KA BK (%)
(g cm-3)
Lanjaran
L0 32.84 21.66 1.03 33.93 52.11
L1 31.05 20.65 0.97 31.80 50.43
Uji F
0.39 tn 0.55 tn 0.53 tn 0.24 tn 0.51 tn
(Pr>F)
Guludan
G0 35.16 23.25 1.10 36.20 51.56
G1 28.74 19.06 0.90 29.53 50.98
Uji F
0.13 tn 0.16 tn 0.16 tn 0.11 tn 0.82 tn
(Pr>F)
Keterangan : BB = Bobot basah, BK = Bobot kering, KA = Kadar air. Angka pada
baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata berdasarkan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Pemakaian lanjaran tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif,
pertumbuhan umbi, dan kondisi tanah di sekitaran perakaran tanaman, namun
berpengaruh nyata terhadap waktu berkecambah umbi uwi. Pemakaian guludan
tidak berpengaruh terhadap kondisi tanah di sekitaran perakaran tanaman,
pertumbuhan umbi, dan pertumbuhan vegetatif namun berpengaruh nyata terhadap
jumlah tunas pada 10 MST. Berdasarkan penelitian, pemakaian lanjaran dan
guludan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif uwi pada umur 4 bulan
awal, sehingga direkomendasikan untuk tidak memakai guludan dan lanjaran dalam
budidaya uwi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan bentuk lanjaran dan
guludan yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan uwi selama fase vegetatif.
DAFTAR PUSTAKA

Bhattacharjee, R., C. Nwadili., C. Saski, B. Scheffler, J. Onyeka, J. Augusto, A. L.


Montes, R. Asiedu, P. L. Kumar, R. Bandyopadhyaya. 2016. An EST-SSR
Based Genetic Linkage Map of Water Yam (Dioscorea alata L.) and
Identification of QTL (s) for anthracnose disease. Proceedings of World
Congress on Root and Tuber Crops. Nanning, China 19 January 2016.
[BMKG] Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika. 2018. Data Iklim Januari
– Mei 2018. Stasiun Klimatologi Dramaga, Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Laju Pertumbuhan Penduduk menurut Provinsi.
https://www.bps.go.id/ [28 November 2017].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971,
1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010. https://www.bps.go.id/ [28 November
2017].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu
Beberapa Macam Bahan Makanan Penting, 2007-2016.
https://www.bps.go.id/ [4 Desember 2017].
Budoyo, S. 2010. Kandungan karbohidrat dan pola pita isozim pada varietas ubi
kelapa (Dioscorea alata) di kabupaten karanganyar. Thesis. Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Ed. D. J. B. Calverley. Storage
and Processing of Roots and Tubers in the Tropics. http://www.fao.org/ [11
Desember 2017].
French, B.R. 1986. Food plants of Papua New Guinea : a Copendium. The author,
Tasmania, AUS.
Hapsari, R.T. 2014. Prospek uwi sebagai pangan fungsional dan bahan diversifikasi
pangan. Buletin Palawija 27 : 27 -26.
Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Bogor, ID.
Ile, E.I., P.Q. Craufurd., N.H. Battey., R. Asiedu. 2006. Phases of dormancy in yam
tubers (Dioscorea rotundata). Annals of Botany 97 (4) : 497 – 504.
[Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2017. Impor Gandum Konsumsi
Diperkirakan Naik 6%. http://agro.kemenperin.go.id [4 Desember 2017].
Lebot, V. 2009. Tropical Root and Tuber Crops : Cassava, Sweet Potato, Yams,
and Aroid. Cabi, London, UK.
Lovita. 2009. Analisis beban kerja pada pembuatan guludan di lahan kering (studi
kasus : analisis komparatif kerja manual dengan cangkul dan mekanis
dengan Walking-type Cultivator). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mansur S., Barus H. N., Madauna I. 2015. Respon pertumbuhan dan hasil ubi
banggai (Dioscorea alata) jenis “Baku Pusus” terhadap pemberian pupuk
anorganik, organik dengan mulsa jerami padi. J. Agroland 22 (2) : 131 –
137.
Mirza, M.D. 2005. Pengujian beberapa taraf tinggi lanjaran terhadap pertumbuhan
dan produktivitas Dioscorea esculenta (Lour.) Burk. (Combilium). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press, Bogor, ID.
Onwueme, I.C. 1978. The Tropical Tuber Crops : yam, cassava, sweet potato,
cocoyams. John Willey and Sons, New York, USA.
Njoh, E.E., C. Billiard, D. Petro, S. Adenet,K. Rochefort. 2015. Physicochemical,
nutritional and sensorial qualities of boutou yam (Dioscorea alata). Jebas 3
(2) : 138 – 150.
Norman, P.E., J.B.A. Whyte, A.E. Samura, A. Massaquoi, L. Sesay, A.G.O. Dixon,
S.N. Fomba, M.T. Benya, M.M. Sowa. 2015. Effect of staking and non-
staking system on disease severity, yield, and quality attributes of yams
(Dioscorea alata). JAERI 2 (4) : 219. 229.
Rachman, L.M., E.D. Wahjunie, K.R. Brata, W. Purwakusuma, K. Murtilaksono.
2013. Fisika Tanah Dasar. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Bogor, ID.
Rakhmawati R. 2017. Perbaikan bobot jenis dan kadar air media tumbuh Dioscorea
alata serta perubahan karbohidrat umbi akibat penundaan panen. Thesis.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rinaldi, A. 1986. Pemetaan tanah detil kebun percobaan leuwikopo – institut
pertanian bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Rubatzky, V.E., M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi, dan Gizi,
Jilid 1. ITB, Bandung, ID.
Rustam, A. T. E. 2009. Rancang bangun furrower traktor Yanmar TE 550 N untuk
pembuat guludan pada budidaya sayuran. Skripsi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Saleh, M. 2011. Keragaman fenotipe ubi alabio (Dioscorea alata L.) di lahan rawa
lebak Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi 2011. 817 – 824.
Soil Survey Staff. 1999. Kunci Taksonomi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor, ID.
Sulistyono, E., Marpaung J. 2004. Studi karakter umbi dan kandungan nutrisi
Dioscorea alata spp. Bul. Agron. 32 (2) : 39 – 43.
Tortoe, C., S. Dowuona, N.T. Dziedzoave. 2015. Determination of sprout control
treatment using seven key yam (Dioscorea spp.) varieties of farmers in
ghana. World Journal of Agricultural Research 3 (1) : 20 – 23.
Widajati, E., E. Murniati, E.R. Palupi, T. Kartika, M.R. Suhartanto, A. Qadir. 2013.
Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Press. Bogor, ID.
Williams, C. N., J. O. Uzo, W. T. H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di Daerah
Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Penerjemah
Ronoprawiro S.
Yalindua, A. 2014. Potensi genetik klon tanaman uwi (Dioscorea alata L.) asal
banggai kepulauan sebagai sumber pangan dalam menunjang ketahanan
pangan nasional. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam perlakuan lanjaran dan guludan
terhadap pertumbuhan vegetatif uwi
Pr > F
KK
Peubah Lanjaran Guludan Lanjaran x STD
(%)
Guludan
Waktu berkecambah 0.01* 0.57 tn 0.86 tn 7.68 1.62
Kecepatan
0.81 tn 0.23 tn 0.53 tn 7.70 0.06
berkecambah
Jumlah daun 4 MST 0.95 tn 0.79 tn 0.28 tn 39.37 0.60
Jumlah daun 5 MST 0.90 tn 0.81 tn 0.06 tn 37.76 2.39
Jumlah daun 6 MST 0.46 tn 0.94 tn 0.10 tn 27.52 4.19
Jumlah daun 7 MST 0.66 tn 0.82 tn 0.36 tn 25.84 7.78
Jumlah daun 8 MST 0.43 tn 0.95 tn 0.11 tn 18.35 8.08
Jumlah daun 9 MST 0.87 tn 0.37 tn 0.17 tn 16.28 10.64
Jumlah daun 17 MST 0.23 tn 0.84 tn 0.18 tn 37.97 6.91
Panjang tanaman 4
0.81 tn 0.65 tn 0.24 tn 23.47 1.31
MST
Panjang tanaman 5
0.68 tn 0.29 tn 0.20 tn 25.07 21.59
MST
Panjang tanaman 6
0.88 tn 0.49 tn 0.40 tn 18.20 29.61
MST
Panjang tanaman 7
0.82 tn 0.56 tn 0.66 tn 15.57 36.92
MST
Panjang tanaman 8
0.65 tn 0.83 tn 0.69 tn 13.92 36.68
MST
Panjang tanaman 17
0.08 tn 0.19 tn 0.28 tn 21.66 142.8
MST
Jumlah tunas 10 MST 1.00 tn 0.03* 0.55 tn 14.47 0.26
Jumlah tunas 12 MST 0.74 tn 0.08 tn 0.52 tn 25.54 0.46
Jumlah cabang 10
0.60 tn 0.52 tn 0.52 tn 7.47 0.41
MST
Jumlah cabang 12
0.08 tn 0.27 tn 0.45 tn 28.89 2.87
MST
Keterangan : BB = Bobot basah, BK = Bobot kering, KK = Koefisien keragaman,
* = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat nyata
pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.
Lampiran 2. Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam perlakuan lanjaran dan guludan
terhadap bobot, bobot jenis, kadar air, lebar dan volume organ
tanaman
Pr > F
KK
Peubah Lanjaran Guludan Lanjaran x STD
(%)
Guludan
Bobot basah daun 17
0.44 tn 0.45 tn 0.19 tn 29.45 4.79
MST
Bobot kering daun 17
0.71 tn 0.71 tn 0.29 tn 35.81 2.39
MST
Bobot basah batang
0.49 tn 0.51 tn 0.16 tn 24.95 3.53
17 MST
Bobot kering batang
0.41 tn 0.83 tn 0.22 tn 28.37 1.77
17 MST
Bobot basah umbi 0.98 tn 0.31 tn 0.73 tn 30.85 7.25
Bobot kering umbi 0.84 tn 0.33 tn 0.55 tn 38.61 3.67
Volume umbi 0.99 tn 0.31 tn 0.67 tn 32.37 7.36
Lebar umbi 0.98 tn 0.15 tn 0.74 tn 24.75 0.90
Bobot jenis umbi 0.50 tn 0.63 tn 0.52 tn 8.40 0.09
Kadar air daun BB 0.10 tn 0.32 tn 0.88 tn 3.30 2.77
Kadar air daun BK 0.20 tn 0.28 tn 0.75 tn 18.18 97.74
Kadar air batang BB 0.28 tn 0.10 tn 0.74 tn 2.63 2.13
Kadar air batang BK 0.3 tn 0.09 tn 0.63 tn 12.28 52.61
Kadar air umbi BB 0.12 tn 0.36 tn 0.17 tn 2.92 2.45
Kadar air umbi BK 0.12 tn 0.23 tn 0.12 tn 15.38 82.78
Keterangan : BB = Bobot basah, BK = Bobot kering, KK = Koefisien keragaman,
* = berpengaruh nyata pada taraf 5%, ** = berpengaruh sangat nyata
pada taraf 5%, dan tn = tidak berpengaruh nyata.

Lampiran 3. Hasil rekapitulasi analisis sidik ragam bobot, bobot jenis, dan kadar air
tanah
Pr > F
KK
Peubah Lanjaran Guludan Lanjaran x STD
(%)
Guludan
Bobot basah tanah 0.39 tn 0.13 tn 0.14 tn 18.29 5.84
Bobot kering tanah 0.55 tn 0.16 tn 0.16 tn 20.00 4.23
Bobot jenis tanah 0.38 tn 0.13 tn 0.13 tn 18.35 0.18
Kadar air tanah BB 0.19 tn 0.10 tn 0.12 tn 17.46 5.75
Kadar air tanah BK 0.51 tn 0.82 tn 0.79 tn 8.51 4.36
Keterangan : KK = Koefisien keragaman, * = berpengaruh nyata pada taraf 5%,
** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 5%, dan tn = tidak
berpengaruh nyata.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 12 September 1996 sebagai anak kedua dari


ayah Fatah Nurdin dan ibu Nurlaila Ramayani. Tahun 2014 penulis lulus dari SMA
Negeri 38 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri) dan diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi pengurus Badan
Eksekutif Mahasiswa periode kepengurusan 2015 - 2016 sebagai ketua departemen
kajian strategis. Penulis juga aktif mengikuti kegiatan kepanitiaan acara di kampus.
Beberapa kepanitiaan yang diikuti antara lain Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa
Baru angkatan 52 sebagai pendamping kelompok dan angkatan 53 sebagai ketua
divisi acara. Penulis juga masih aktif sebagai ketua komunitas Banana Pirates
hingga sekarang.
Selama perkuliahan, penulis pernah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)
di Desa Sajira Mekar, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten pada bulan Juli
- Agustus 2017. Penulis juga aktif dalam kegiatan pengembangan masyarakat yang
dilaksanakan dari komunitas maupun lembaga lainnya. Daerah tempat pelaksanaan
kegiatan pengembangan masyarakat yang pernah didatangi penulis antara lain
Negara Kamboja, Provinsi Lampung, dan Provinsi Maluku Utara.

Anda mungkin juga menyukai