Anda di halaman 1dari 39

MORFOLOGI DAN FENOLOGI BUNGA LIMA GENOTIPE

HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]

USWATUN CHUSNAH
A24140038

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
2
3

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Morfologi dan Fenologi
Bunga Lima Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv] adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2018

Uswatun Chusnah
NIM A24140038
4
5

ABSTRAK
USWATUN CHUSNAH. Morfologi dan Fenologi Bunga Lima Genotipe Hotong
[Setaria italica (L.) Beauv]. Dibimbing oleh SINTHO WAHYUNING ARDIE dan
MUHAMAD SYUKUR.

Hotong [Setaria italica (L.) Beauv] adalah salah satu sumber karbohidrat
yang berpotensi untuk dikembangkan karena toleran terhadap cekaman abiotik dan
bijinya yang bernutrisi tinggi. Meskipun berpotensi tinggi, hotong masih terabaikan
dan belum ada varietas unggul yang dilepas di Indonesia. Hibridisasi hotong
menghadapi beberapa tantangan, termasuk bunga berukuran kecil, waktu
pembungaan yang beragam, dan meyerbuk sendiri. Studi fenologi dan morfologi
pembungaan merupakan langkah penting dalam pengembangan strategi hibridisasi
hotong. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
fenologi dan morfologi pembungaan lima genotipe hotong. Penelitian dilaksanakan
pada bulan April sampai Agustus 2018 di Kebun Percobaan Cikabayan Bawah,
IPB. Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) faktor tunggal dengan tiga ulangan. Faktor perlakuan adalah genotipe
hotong yang terdiri atas 5 genotipe yaitu ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, Botok 4, dan
Botok 10. Hasil karakterisasi morfologi dan fenologi menunjukkan adanya
keragaman antar genotipe yang diuji. Genotipe Botok 4 memiliki malai dan zona
polinasi paling panjang. Genotipe ICERI-6 memiliki tangkai malai yang paling
panjang. Genotipe Botok 10 memiliki jumlah floret yang paling banyak. Rata-rata
periode pembungaan pada hotong sekitar 30 hari, terhitung sejak inisiasi sampai
biji panen. Genotipe ICERI mengalami anthesis sekitar 56-70 HST. Genotipe
Botok mengalami anthesis sekitar 95-100 HST. Periode polinasi genotipe ICERI
berlangsung selama 95-120 menit, sedangkan periode polinasi genotipe Botok
berlangsung selama 105-115 menit.

Kata kunci : anthesis, hibridisasi, keragaman, kurang dimanfaatkan, perkembangan


bunga
6

ABSTRACT
USWATUN CHUSNAH. Flower Morphology and Phenology of Five Foxtail
Millet [Setaria italica (L.) Beauv] Genotypes. Supervised by SINTHO
WAHYUNING ARDIE and MUHAMAD SYUKUR.

Foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv] is one of carbohydrate sources that
is potentially developed due to its nutritious grain and its tolerance to abiotic
stresses. Despite of its potential, foxtail millet is still neglected and no superior
foxtail millet variety has been released in Indonesia. Hybridization of foxtail millet
faces several challenges, including small sized flower, varied flowering time, and
its cleistogamy nature. Studying flower morphology and phenology is a pivotal step
in hybridization strategy development of foxtail millet. The objective of this study
was to provide basic information about flower morphology and phenology of five
foxtail millet genotypes. This study was conducted in April-August 2018 at the
Cikabayan Bawah Experimental Field, IPB. The experiment was arranged in a
Randomized Complete Block Design with single factor and three replications. The
treatment factor was foxtail millet genotype consisted of five genotypes namely
ICERI 5, ICERI 6, ICERI 7, Botok 4, and Botok 10. The results of morphological
and phenological characterization showed the existence of diversity among the
genotypes tested. Botok 4 genotype had the longest panicle and pollination zone.
The ICERI-6 genotype had the longest panicle stalk. Botok genotype 10 had the
most number of floret. The average flowering phase in foxtail millet were about 30
days, starting from the initiation until the seeds mature. ICERI genotype anthesis
was around 56-70 DAP. Botok genotype anthesis was around 95-100 DAP. The
ICERI genotype pollination period was about 95-120 minutes, while Botok
genotype pollination period was about 105-115 minutes.

Keywords : anthesis, diversity, flower development, hybridization, underutilized


7

MORFOLOGI DAN FENOLOGI BUNGA LIMA GENOTIPE


HOTONG [Setaria italica (L.) Beauv]

USWATUN CHUSNAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
8
9
10
11

PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Morfologi dan Fenologi Bunga Lima
Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv] dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Sintho Wahyuning Ardie, S.P., M.Si. dan Prof. Dr. Muhamad Syukur, S.P.,
M.Si. sebagai pembimbing tugas akhir yang telah memberikan ilmu, bimbingan,
dan motivasi selama pelaksanaan tugas akhir.
2. Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S. sebagai dosen penguji tugas akhir yang telah
memberikan saran dan masukan untuk perbaikan tugas akhir.
3. Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi selama perkuliahan.
4. Orangtua dan keluarga yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan
selama menempuh pendidikan di IPB.
5. Keluarga Ashima, Septi, Rahma, Kak Nurul, Kak Sherly, Kak Puput, Kak Zulfa,
Kak Satria, Mas Habib yang telah membantu, memberikan saran dan motivasi
selama pelaksanaan tugas akhir.
6. Yayasan Karya Salemba Empat yang telah memberikan ilmu, pengalaman,
motivasi, dan dukungan finansial selama masa studi di IPB.
7. Teman-teman seperjuangan: Yusuf, teman-teman KKB 51, Cikita yang selalu
memberikan semangat dan dukungan.
8. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya tugas akhir ini: teknisi KP
Cikabayan Bawah (Pak Sala, Pak Zaenal) dan teman-teman Azalea AGH 51.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2018

Uswatun Chusnah
12
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Tanaman Hotong 2
Fenologi Bunga Hotong 2
METODE 3
Tempat dan Waktu 3
Bahan dan Alat 3
Rancangan Percobaan 3
Prosedur Percobaan 4
Pengamatan 5
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Umum 7
Karakterisasi Morfologi Bunga Lima Genotipe Hotong 9
Karakterisasi Fenologi Bunga Lima Genotipe Hotong 13
KESIMPULAN DAN SARAN 18
Kesimpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 18
LAMPIRAN 21
RIWAYAT HIDUP 24
DAFTAR TABEL

1 Karakter agronomi lima genotipe hotong yang digunakan dalam penelitian 4


2 Rekapitulasi sidik ragam karakter morfologi dan fenologi bunga hotong 8
3 Panjang malai, panjang zona polinasi, panjang tangkai malai, panjang rambut
malai, jumlah anakan, dan jumlah anakan produktif lima genotipe hotong 10
4 Jumlah rachis, kerapatan rachis, dan jumlah floret per rachis pada lima genotipe
hotong 12
5 Jumlah floret di ujung, tengah, dan pangkal zona polinasi sesudah panen 13
6 Stadia perkembangan bunga hotong 14
7 Waktu dan periode tiap fase perkembangan bunga pada lima genotipe hotong 15
8 Korelasi antar peubah morfologi dan fenologi bunga hotong 17

DAFTAR GAMBAR

1 Petak percobaan di Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB 5


2 Stadia perkembangan bunga hotong 6
3 Peubah pengamatan destruktif hotong 6
4 Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) selama penelitian berlangsung 7
5 Stadia pertumbuhan lima genotipe hotong 8
6 Morfologi bunga hotong 9
7 Morfologi floret hotong 9
8 Morfologi floret lima genotipe hotong 9
9 Sifat malai lima genotipe hotong 10
10 Malai lima genotipe hotong 11
11 Rambut malai lima genotipe hotong 11
12 Pembagian zona polinasi pada malai hotong 13
13 Stadia perkembangan bunga hotong 14
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv] atau yang lebih dikenal dengan
nama hotong merupakan salah satu tanaman serealia yang dibudidayakan di
Tiongkok bagian Utara sejak zaman Neolitik (Cheng dan Dong, 2010). Hotong
termasuk tanaman yang toleran terhadap kekeringan dan mudah tumbuh pada
berbagai jenis tanah di daerah tropis (FAO, 2017). Hotong potensial untuk
dikembangkan sebagai pangan fungsional karena memiliki kandungan karbohidrat
yang cukup tinggi (60.9%) (Hariprasanna, 2017). Hotong juga mengandung protein
(14%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras. Selain itu, hotong juga
mengandung serat dan antioksidan (Balitbangtan, 2017).
Mengingat peran strategis dari tanaman ini, maka diperlukan upaya perbaikan
potensi genetiknya. Penelitian Sintia (2017) dan Zahroh (2017) menunjukkan
bahwa terdapat genotipe hotong dengan potensi hasil tinggi (2.2-3.5 ton ha-1), umur
panen cepat (64-67 hari setelah tanam) dan habitus pendek (80-89 cm). Sejumlah
genotipe hotong juga teridentifikasi toleran terhadap cekaman salinitas (Ardie et
al., 2015; Adillah, 2016; Ulum, 2017; Ihsan, 2017) dan kekeringan (Putri, 2017;
Lapuimakuni, 2018). Akan tetapi, sifat-sifat baik tersebut belum terfiksasi dalam
satu genotipe. Varietas unggul hotong dengan sifat-sifat yang ditargetkan tersebut
dapat dirakit melalui hibridisasi. Hibridisasi adalah persilangan dua sifat genetik
secara seksual dari dua tanaman berbeda untuk mendapatkan sifat genetik yang
lebih baik dalam satu tanaman (Mallet, 2005). Hibridisasi bertujuan untuk
memperoleh kombinasi genetik yang diinginkan melalui persilangan dua atau lebih
tanaman yang berbeda genotipenya.
Eksplorasi genotipe hotong lokal Indonesia telah dilakukan oleh Balai
Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) dan tim peneliti hotong di IPB. Akan
tetapi, perhatian terhadap pengembangan hotong masih sangat terbatas di Indonesia
dan belum ada varietas unggul hotong yang dilepas di Indonesia hingga saat ini.
Hotong merupakan tanaman menyerbuk sendiri (Li et al., 1935). Bunga hotong
yang berukuran sangat kecil (Diao dan Jia, 2017) dan variasi waktu berbunga antar
genotipe, bahkan antar spikelet dalam malai yang sama (Siles et al., 2001)
menyebabkan hibridisasi pada hotong cukup sulit dilakukan. Penelitian Sintia
(2017) dan Zahroh (2017) melaporkan bahwa waktu berbunga 16 genotipe hotong
bervariasi antara 35-60 hari setelah pindah tanam atau 49-74 hari setelah tanam.
Menurut Jamsari et al. (2007) keberhasilan dalam program hibridisasi tanaman
khususnya dalam perakitan varietas-varietas unggul pada prinsipnya tergantung
pada informasi fenologi perkembangan bunga. Oleh karena itu, informasi fenologi
perkembangan bunga hotong sangat diperlukan guna mendukung program
hibridisasi hotong.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai morfologi


dan fenologi perkembangan bunga pada lima genotipe hotong [Setaria italica (L.)
Beauv].
2

Hipotesis

Terdapat minimal satu karakter morfologi dan fenologi bunga yang berbeda
pada genotipe hotong.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Hotong

Foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv] atau yang lebih dikenal dengan
nama hotong merupakan salah satu tanaman serealia yang dibudidayakan di
Tiongkok bagian utara sejak zaman Neolitik (Cheng dan Dong, 2010). Hotong
termasuk tanaman yang toleran terhadap kekeringan dan mudah tumbuh pada
berbagai jenis tanah di daerah tropis. Hotong potensial untuk dikembangkan
sebagai pangan alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat sebesar 60.9%.
Nilai tersebut setara dengan nilai kandungan karbohidrat pada beras (78.2%)
(Hariprasanna, 2017).
Hotong merupakan tanaman yang memiliki kebutuhan air terendah di antara
serealia yang lain dan dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah.
Distribusi geografis hotong di Tiongkok menunjukkan bahwa hotong tumbuh
secara dominan di daerah Timur pada suhu 8°C sampai 10°C dengan curah hujan
tahunan 450 mm sampai 550 mm. Namun, hotong dapat tumbuh pada kondisi yang
lebih kering, yaitu pada suhu 6°C sampai 8°C dan curah hujan 350 mm sampai 450
mm per tahun (Lu et al., 2009).
Tanaman hotong memiliki batang berbentuk silinder berongga. Hotong
memiliki sistem perakaran yang dalam. Bentuk daun lanset, panjang, dan berwarna
terang. Tepi daun bergerigi. Pelepah daun lebih panjang dari buku. Ligula kecil,
pendek, dan tebal. Infloresens memiliki tangkai utama dengan percabangan pendek.
Bunga tersusun dua di tiap spikelet dengan bunga teratas merupakan bunga
biseksual (FAO, 2017)
Berdasarkan UPOV (2010) bentuk malai tanaman hotong dapat
dikelompokkan ke dalam 7 jenis yaitu kerucut, poros, silinder, club, mulut bebek,
kaki kucing, dan percabangan. Menurut Miswarti et al. (2014) panjang malai
hotong dapat dikelompokkan ke dalam 4 kriteria yaitu sangat pendek (<10cm),
pendek (11-20 cm), sedang (21-30 cm), panjang (31-40 cm), dan sangat panjang
(>40 cm). Karakter panjang malai merupakan karakter yang berhubungan dengan
hasil karena dapat menggambarkan potensi hasil yang dimiliki. Semakin panjang
malai maka hasil yang diperoleh semakin tinggi.

Fenologi Bunga Hotong

Fenologi adalah studi tentang waktu kejadian biologis dan hubungannya


dengan perubahan iklim musiman (Lieth, 1974). Informasi tentang fase-fase
pembungaan terutama perkembangan bunga dan buah atau yang diistilahkan
dengan fenologi merupakan informasi yang sangat penting bagi perluasan
pengetahuan tentang suatu tanaman dan untuk kepentingan perkembangan sains.
Studi fenologi juga memiliki kepentingan praktis bagi perencanaan program
3

pemuliaan tanaman terutama bila akan dilakukan perakitan varietas-varietas unggul


melalui hibridisasi di masa depan (Jamsari et al., 2007).
Li et al. (1935) melaporkan bahwa hotong sebagian besar menyerbuk sendiri.
Namun hotong masih memiliki peluang untuk menyerbuk silang sebanyak 4%.
Anthesis pada hotong terjadi pada periode tertentu selama siang hari dan bergantung
pada kultivar. Anthesis pada hotong tidak hanya dikaitkan dengan periode tertentu
di siang hari, tetapi juga dengan lokasi dan musim tertentu (Siles et al., 2001). Malai
biasanya muncul setelah titik balik matahari musim panas, dan pembungaan
dimulai dan berlanjut setelah memasuki musim gugur. Waktu rata-rata antara
pembukaan dan penutupan bunga adalah 70 menit (Dekker, 2003).

METODE
Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2018 di Kebun


Percobaan Cikabayan Bawah, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kebun Percobaan Cikabayan Bawah terletak
pada 240 m di atas permukaan laut dengan tipe tanah Latosol dan tipe iklim A
(klasifikasi Schmidt-Ferguson) (Darmawangsa, 2001).

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah tiga genotipe hotong yang diperoleh
dari Balitsereal (Balai Penelitian Tanaman Sereal) Maros, Sulawesi Selatan yaitu
ICERI 5, ICERI 6, dan ICERI 7 dan dua genotipe asal Nusa Tenggara Timur hasil
eksplorasi tim peneliti hotong IPB, yaitu Botok 4 dan Botok 10. Bahan-bahan lainya
yang digunakan yaitu media tanam untuk persemaian benih, insektisida Carbofuran
3%, pupuk Urea 300 kg ha-1, SP-36 150 kg ha-1, KCl 75 kg ha-1, tray semai, dan
ajir. Alat yang digunakan yaitu alat budidaya pertanian pada umumnya, kamera
digital, dan portable digital microscope 800x.

Rancangan Percobaan

Percobaan disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak


(RKLT) faktor tunggal dengan tiga ulangan. Setiap ulangan merupakan petak
berukuran 1.25 m x 2.0 m dengan 72 tanaman per petak. Terdapat sepuluh tanaman
contoh per petak per genotipe pada setiap ulangan yang diamati hingga panen, dan
tiga tanaman contoh yang digunakan untuk pengamatan destruktif. Faktor
perlakuan adalah genotipe hotong yang terdiri atas lima genotipe yaitu ICERI 5,
ICERI 6, ICERI 7, Botok 4, dan Botok 10. Genotipe-genotipe tersebut dipilih
karena memiliki karakter unggul yaitu produktivitas tinggi, habitus pendek, umur
panen cepat, dan toleran terhadap cekaman salinitas atau kekeringan (Tabel 1).
4

Tabel 1 Karakter agronomi lima genotipe hotong yang digunakan dalam penelitian
Estimasi Umur Tinggi
Toleransi terhadap
Genotipe produktivitas panen tanaman
cekaman
(ton ha-1)1,2 (HSPt)1,2 (cm)1,2
ICERI-5 1.71 64 82.13 Salinitas, kekeringan3,4,5
ICERI-6 1.94 64 86.30 Salinitas, kekeringan3,4,5
ICERI-7 2.10 64 89.37 -
Botok 4 2.51 98 169.10 Data belum tersedia
Botok 10 2.61 99 193.26 Data belum tersedia
Keterangan: HST=hari setelah pindah tanam; 1Sintia (2017) dengan rumus estimasi produktivitas =
bobot biji per tanaman x (60% populasi ha-1), 2Zahroh (2017) dengan rumus estimasi
produktivitas = bobot biji 10 tanaman x (60% populasi ha -1), 3Ihsan (2017), 4Fauziah
(2017), 5Lapuimakuni (2018)

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut:


𝑌𝑖𝑗 = µ + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝜀𝑖𝑗
Keterangan:
𝑌𝑖𝑗 = Nilai pengamatan pada genotipe ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
𝛼𝑖 = Pengaruh genotipe ke-i; i = 1,2,3,4,5
𝛽𝑗 = Pengaruh ulangan ke-j; j = 1,2,3
𝜀𝑖𝑗 = Galat percobaan

Prosedur Percobaan

Persiapan tanam dilakukan dengan menyemai benih hotong menggunakan


tray semai berukuran 128 lubang. Jumlah benih yang disemai sebanyak satu benih
per lubang semai. Media tanam yang digunakan adalah campuran pupuk kandang
sapi, sekam dan cocopeat dengan perbandingan 1:1:1 (v/v). Tray semai diletakkan
di meja semai dengan naungan plastik. Daya berkecambah benih hotong bervariasi
antar genotipe. ICERI 5, ICERI 6, dan ICERI 7 memiliki daya berkecambah yang
tinggi yaitu 95%. Genotipe Botok 10 memiliki daya berkecambah 52.2% dan
genotipe Botok 4 memiliki daya berkecambah yang rendah yaitu 33.3%.
Pembuatan petakan dilakukan dua minggu sebelum tanam. Petakan
berukuran 125 cm x 200 cm. Tiap petakan ditanami 72 tanaman dengan jarak tanam
25 cm x 10 cm. Jarak tanam pada penelitian ini mengacu pada Nurshanti (2008).
Bibit hotong kemudian dipindahtanamkan ke lapang saat mencapai tinggi bibit +10
cm dengan 3-4 helai daun, yaitu pada 14 hari setelah semai (HSS) untuk genotipe
ICERI 5, ICERI 6 dan ICERI 7, dan 30 HSS untuk genotipe Botok 4 dan Botok 10.
Tiap lubang tanam ditanami satu bibit hotong dan diberi insektisida Carbofuran 3%
untuk menghindari serangan hama. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah
pindah tanam pada bibit yang mati.
Bangunan tanam (net house) dibuat pada saat tanaman berumur satu minggu
setelah pndah tanam dengan ukuran panjang 19 m, lebar 9.5 m dan tinggi 2.3 m.
Rangka bangunan tanam terbuat dari bambu. Net dipasang mengelilingi bangunan
tanam dengan ukuran lubang net 2.5 cm x 2.5 cm. Tujuan dari pemasangan net
adalah agar tanaman terlindung dari serangan hama burung (Gambar 1).
5

Gambar 1 Petak percobaan di Kebun Percobaan Cikabayan Bawah IPB

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan menyiram tanaman dua kali sehari


atau sesuai dengan kondisi curah hujan. Penyiangan gulma dilakukan setiap satu
minggu sekali. Aplikasi pupuk dilakukan sebanyak dua kali, yaitu setelah tanaman
berumur 2 MST dengan setengah dosis pupuk Urea (150 kg ha-1), seluruh dosis SP-
36 (150 kg ha-1), dan KCl (75 kg ha-1). Pemupukan kedua adalah setengah dosis
pemupukan Urea, yaitu 150 kg ha-1 pada umur 6 MST (Nurshanti, 2008).
Pengendalian hama dilakukan saat malai sudah muncul 100% dengan cara
penyemprotan insektisida berbahan aktif deltamethrin dengan konsentrasi 25 g L-1.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap peubah morfologi dan fenologi bunga,


meliputi pengamatan non destruktif pada sepuluh tanaman per genotipe per
ulangan, dan pengamatan destruktif pada tiga tanaman per genotipe per ulangan.
Pengamatan non destruktif terdiri atas:
1. Waktu muncul malai (HST), ditentukan saat ujung malai muncul pertama kali
(Gambar 2A)
2. Periode berbunga (hari), yaitu periode antara saat ujung malai muncul pertama
kali sampai malai terbentuk sempurna (Gambar 2B)
3. Periode anthesis (hari), yaitu periode setelah malai penuh hingga 50% floret pada
malai mengalami anthesis
4. Periode pengisian biji (hari), yaitu periode antara saat malai terbentuk sempurna
hingga panen
5. Waktu anthesis (HST), ditentukan saat anther muncul (Gambar 2C)
6. Waktu anther gugur (HST), ditentukan saat bunga (floret) menutup (Gambar 2D)
7. Periode polinasi (menit), yaitu periode antara waktu anthesis dan waktu anther
gugur
8. Waktu muncul malai anakan (HST)
9. Jumlah anakan dan jumlah anakan produktif
6

10. Umur panen (HST), ditentukan apabila tanaman sudah siap dipanen yaitu saat
malai sudah berisi, berwarna cokelat, dan kering (Gambar 2E).

Gambar 2 Stadia perkembangan bunga hotong. A: muncul malai; B: malai


berkembang sempurna; C: anthesis; D: anther gugur; E: panen. Gambar
oleh: Muhammad Habib Widyawan.

Pengamatan destruktif dilakukan saat anthesis yang terdiri atas:


1. Panjang malai (cm), diukur dari pangkal hingga ujung malai (Gambar 3A)
2. Panjang zona polinasi pada malai (cm), yaitu panjang malai dengan bunga
(floret) anthesis minimal 50%
3. Jumlah rachis pada zona polinasi
4. Kerapatan rachis pada zona polinasi (jumlah rachis cm-1), yaitu jumlah rachis
pada zona polinasi dibagi dengan panjang zona polinasi
5. Jumlah bunga (floret) per rachis, diamati dengan menghitung jumlah bunga
(floret) pada ujung, tengah, dan pangkal rachis di zona polinasi sebelum dan
sesudah panen
6. Panjang rambut malai (bristle) (mm), diamati dengan mengukur panjang rambut
malai pada bunga utama di setiap rachis pada zona polinasi menggunakan
portable digital microscope 800x
7. Panjang tangkai malai (cm), diamati dengan mengukur panjang tangkai malai
dari daun bendera hingga pangkal malai (Gambar 3B).

Gambar 3 Peubah pengamatan destruktif hotong. A: Panjang malai; B: Panjang


tangkai malai. Sumber: UPOV, 2010.
7

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan


menggunakan uji-F pada taraf 5% Apabila terdapat pengaruh yang nyata, maka
akan dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Umum

Suhu harian rata-rata saat penelitian berkisar 29.7 °C, dengan kelembapan
udara rata-rata 81% dan curah hujan rata-rata 198 mm bulan-1 (BMKG, 2018).
Hama semut hitam (Dolichoderus thoracicus) dikendalikan dengan pemberian
insektisida dengan bahan aktif Carbofuran 3%. Hama belalang (Valanga
nigricornis) (Gambar 4A) menyerang fase vegetatif pada daun dan batang. Hama
walang sangit (Leptocorisa acuta) (Gambar 4B) menyerang saat periode pengisian
biji. Hama ini banyak ditemui saat kondisi setelah hujan. Hama tersebut
dikendalikan dengan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif deltamethrin
dengan konsentrasi 25 g L-1. Hama burung pipit (Lochura punculata) (Gambar 4C)
menyerang saat hendak panen. Hama burung pipit dikendalikan dengan
pemasangan net dengan ukuran 2.5 cm x 2.5 cm. Gulma yang tumbuh di petak
percobaan meliputi gulma golongan rumput (Eleusine indica, Rottboellia exaltata)
dan gulma golongan daun lebar (Borreria alata, Mimosa pudica, Calopogonium
mucunoides, Acalypha indica).

Gambar 4 Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) selama penelitian berlangsung.


A: belalang; B: walang sangit; C: burung pipit
Stadia pertumbuhan pada lima genotipe hotong berbeda (Gambar 5).
Genotipe ICERI-6 memiliki umur yang paling singkat yaitu 71 hari. Genotipe
Botok 10 memiliki umur yang paling panjang yaitu 132 hari. Periode antara waktu
muncul malai sampai waktu anthesis berlangsung sekitar 3-hari. Periode antara
waktu anthesis dan panen berlangsung sekitar 14-37 hari.
8

Gambar 5 Stadia pertumbuhan lima genotipe hotong

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ada beberapa karakter yang tidak
dipengaruhi oleh genotipe. Karakter periode berbunga dan panjang zona polinasi
tidak dipengaruhi oleh genotipe (Tabel 2).

Tabel 2 Rekapitulasi sidik ragam karakter morfologi dan fenologi bunga hotong
Karakter Genotipe KK (%)
Waktu pertama muncul malai (HST) ** 9.50
Periode berbunga (hari) tn 21.83
Periode anthesis (hari) ** 39.77
Waktu anthesis (HST) ** 9.44
Periode polinasi (hari) * 6.80
Umur panen (HST) ** 6.83
Periode pengisian biji (hari) ** 9.35
Waktu muncul malai anakan (HST) ** 8.63
Jumlah anakan * 18.55
Jumlah anakan produktif * 19.38
Panjang malai (cm) * 23.65
Panjang zona polinasi (cm) tn 22.69
Panjang rambut malai (mm) ** 10.03
Panjang tangkai malai (cm) * 22.30
Jumlah rachis pada zona polinasi ** 17.03
-1
Kerapatan rachis pada zona polinasi (rachis cm ) * 24.59
Jumlah floret per rachis sebelum panen * 33.56
Jumlah floret per rachis sesudah panen * 34.51
Jumlah floret per rachis di ujung zona polinasi * 38.33
Jumlah floret per rachis di tengah zona polinasi tn 36.69
Jumlah floret per rachis di pangkal zona polinasi tn 38.36
Keterangan: KK = koefisien keragaman; ** = nyata pada α = 1%; * = nyata pada α = 5%;
tn = tidak nyata.
9

Karakterisasi Morfologi Bunga Lima Genotipe Hotong

Bunga hotong merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam bentuk malai
(Gambar 6A). Bunga hotong berwarna hijau muda dengan rambut malai yang
tersebar di sepanjang malai. Setiap malai terdiri atas beberapa rachis (Gambar 6B)
dengan jumlah sekitar 100-200 rachis. Setiap rachis terdiri atas beberapa bunga
(floret) (Gambar 7) dengan jumlah sekitar 20-30 floret, berbeda pada setiap
genotipe.

Gambar 6 Morfologi bunga hotong. A: malai, B: rachis


Bunga hotong termasuk bunga biseksual karena setiap bunga terdapat organ
kelamin jantan dan betina. Hotong merupakan tanaman menyerbuk sendiri (Li et
al., 1935) sehingga anther dan stigma masak pada waktu yang sama. Panjang dan
lebar floret yang telah membuka berturut-turut sekitar 2.175 mm dan 1.177 mm
diukur dari ujung anther sampai tangkai floret (Gambar 8).

Gambar 7 Morfologi floret hotong

Gambar 8 Morfologi floret lima genotipe hotong. Skala = 0.5 mm


10

Tanaman hotong memiliki susunan bunga majemuk terbatas karena ujung


dari malai diakhiri dengan pembentukan bunga sehingga malai memiliki
pertumbuhan yang terbatas (Santoso et al., 2011). Genotipe ICERI-5, ICERI-6,
Botok 4, dan Botok 10 memiliki sifat malai terkulai. Genotipe ICERI-7 memiliki
sifat malai semi tegak (UPOV, 2010) (Gambar 9).

Gambar 9 Sifat malai lima genotipe hotong. ICERI-5, ICERI-6, Botok 4, dan Botok
10 memiliki sifat malai terkulai; ICERI-7 memiliki sifat malai semi
tegak.

Panjang malai hotong berkisar 11-25 cm, tergantung genotipe (Tabel 3).
Genotipe Botok 4 memiliki malai yang paling panjang dibandingkan dengan
genotipe yang lainnya yaitu sekitar 25.7 cm. Genotipe ICERI-7 memiliki malai
yang paling pendek dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sekitar 11.2 cm
(Gambar 10). Karakter panjang malai diduga dapat meningkatkan daya hasil
(Zahroh, 2017).

Tabel 3 Panjang malai, panjang zona polinasi, panjang tangkai malai, panjang
rambut malai, jumlah anakan, dan jumlah anakan produktif lima genotipe
hotong
Panjang Panjang
Panjang Panjang Jumlah
zona rambut Jumlah
Genotipe malai tangkai anakan
polinasi malai anakan
(cm) malai (cm) produktif
(cm) (mm)
ICERI-5 16.90bc 8.11 12.16ab 1.69bc 2.00ab 2.00abc
ICERI-6 20.30ab 9.66 15.05a 1.90ab 2.00ab 2.00bc
ICERI-7 11.20c 6.33 5.90c 1.46c 1.00b 1.00c
Botok 4 25.70a 11.66 13.05ab 2.09a 2.00a 2.00ab
Botok 10 17.20abc 7.88 8.44bc 0.69d 2.00a 3.00a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%.
11

Gambar 10 Malai lima genotipe hotong. Skala = 5 cm

Panjang zona polinasi malai hotong tidak berbeda nyata antar genotipe yaitu
berkisar 6-12 cm, diukur dari ujung malai sampai floret yang mengalami anthesis.
Panjang zona polinasi ditentukan saat floret sudah membuka sejumlah 50% bagian
malai. Panjang tangkai malai beragam, tergantung genotipe. Genotipe ICERI-7
memiliki tangkai malai yang paling pendek dibandingkan dengan genotipe lainnya
yaitu sekitar 5.9 cm. Genotipe ICERI-6 memilik tangkai malai yang paling panjang
dibandingkan dengan genotipe yang lainnya yaitu sekitar 15 cm.

Gambar 11 Rambut malai lima genotipe hotong. Skala = 0.5 mm

Panjang rambut malai berbeda antar genotipe (Tabel 3). Genotipe Botok 4
memiliki rambut malai yang paling panjang dibandingkan dengan genotipe lainnya
(Gambar 11). Rambut malai merupakan degenerasi dari jaringan meristem
(Kellogg, 2017). Rambut malai dapat menyulitkan pemulia untuk melakukan
12

hibridisasi pada Setaria viridis, sehingga rambut malai dipangkas saat hendak
melakukan hibridisasi (Jiang et al., 2013).
Informasi jumlah anakan dan jumlah anakan produktif diperlukan untuk
memperkirakan estimasi hasil produksi tanaman hotong. Genotipe ICERI-7
memiliki jumlah anakan dan jumlah anakan produktif yang paling sedikit
dibandingkan dengan genotipe yang lainnya yaitu sekitar 1 anakan per rumpun.
Genotipe Botok 10 memiliki jumlah anakan produktif yang paling banyak
dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sekitar 3 anakan per rumpun.
Informasi kerapatan rachis pada zona polinasi diperlukan untuk menghitung
jumlah rachis yang dapat disilangkan dalam proses hibridisasi. Genotipe ICERI-6
memiliki jumlah rachis paling sedikit yaitu sekitar 104 (Tabel 4). Genotipe Botok
4 merupakan genotipe dengan kerapatan rachis paling tinggi yaitu sekitar 230 rachis
pada zona polinasi.

Tabel 4 Jumlah rachis, kerapatan rachis, dan jumlah floret per rachis pada lima
genotipe hotong
Jumlah Jumlah Jumlah Rasio jumlah
Kerapatan
rachis floret per floret per floret per rachis
rachis pada
Genotipe pada rachis rachis sesudah panen
zona polinasi
zona sebelum sesudah dan sebelum
(rachis cm-1)
polinasi panen panen panen (%)
ICERI-5 119.29c 14.23b 28.95ab 23.85ab 82.38
ICERI-6 104.11c 11.11b 27.55b 21.85ab 79.31
ICERI-7 107.11c 17.45ab 22.59b 18.14b 80.30
Botok 4 230.00a 19.58ab 31.04ab 22.00ab 70.87
Botok 10 170.00b 23.93a 39.25a 29.81a 75.94
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%

Informasi jumlah floret per rachis diperlukan untuk menghitung jumlah floret
yang dapat disilangkan. Floret yang berhasil diserbuki akan berkembang menjadi
biji dan floret yang tidak berhasil diserbuki akan hampa. Jumlah floret dihitung
sebelum dan sesudah panen untuk menentukan berapa jumlah floret yang berhasil
diserbuki dan berapa floret yang gagal terserbuki. Genotipe ICERI-7 merupakan
genotipe yang memiliki jumlah floret paling sedikit, yaitu sekitar 23 floret sebelum
panen dan 18 floret sesudah panen. Genotipe Botok 10 merupakan genotipe yang
memiliki jumlah floret paling banyak, yaitu sekitar 39 floret sebelum panen dan 30
floret sesudah panen. Rasio jumlah floret per rachis sebelum dan sesudah panen
antar genotipe cukup tinggi, yaitu sekitar 77.76%. Hal ini menandakan bahwa
jumlah floret hampir semuanya dapat berkembang menjadi biji. Menurut Wahyu et
al. (2013) jumlah biji gandum yang terbentuk dipengaruhi oleh suhu lingkungan.
Suhu yang tinggi di lingkungan percobaan dapat menurunkan jumlah biji gandum
yang terbentuk.
13

Tabel 5 Jumlah floret di ujung, tengah, dan pangkal zona polinasi sesudah panen
Jumlah floret per Jumlah floret per Jumlah floret per
Genotipe rachis di ujung rachis di tengah zona rachis di pangkal
zona polinasi polinasi zona polinasi
ICERI-5 11.42ab 22.00 38.14
ICERI-6 14.44a 18.77 33.44
ICERI-7 7.11b 19.11 28.22
Botok 4 13.57a 22.42 30.00
Botok 10 16.55a 29.00 43.88
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%

Jumlah floret juga dihitung pada bagian ujung, tengah, dan pangkal zona
polinasi (Tabel 5, Gambar 12). Jumlah floret di ujung zona polinasi berbeda antar
genotipe dengan genotipe Botok 10 yang memiliki jumlah floret paling banyak.
Jumlah floret di tengah dan di pangkal zona polinasi tidak berbeda nyata antar
genotipe. Informasi jumlah floret di tiap bagian zona polinasi diperlukan untuk
menentukan bagian mana yang sebaiknya dihilangkan sebelum melakukan
hibridisasi. Hal ini bertujuan agar hibridisasi menjadi lebih efektif dan hanya
didapatkan benih hasil persilangan saja.

Gambar 12 Pembagian zona polinasi pada malai hotong

Karakterisasi Fenologi Bunga Lima Genotipe Hotong

Perkembangan bunga hotong (Gambar 13) dikelompokkan ke dalam lima


stadia (Tabel 6). Stadia inisiasi merupakan stadia paling awal dari perkembangan
bunga tanaman (Gambar 13A). Stadia ini dimulai saat daun bendera membuka.
Ujung malai muncul dan terlihat malai yang berwarna hijau muda. Stadia ini
diakhiri saat malai sudah penuh dan daun bendera terbuka. Stadia 2 ditandai dengan
malai yang sudah berkembang sempurna dan daun bendera sudah membuka
(Gambar 13B). Stadia 3 ditandai dengan membukanya floret (Gambar 13C). Floret
mulai membuka dari ujung malai ke pangkal malai. Floret mekar diawali dengan
membukanya petal kemudian diikuti dengan terbukanya lemma dan palea. Anther
dan stigma mulai terlihat dari luar. Anther berwarna kuning dan stigma berwarna
putih. Satu floret memiliki 3 buah anther dan satu buah stigma. Waktu anthesis
lima genotipe hotong berbeda tiap genotipenya, tergantung waktu muncul malai
dari tiap genotipe. Periode polinasi kelima genotipe hotong kurang lebih sekitar 95-
14

120 menit. Hotong mulai mekar pada pukul 06.00 pagi. Stadia 4 ditandai dengan
anther yang berubah warna menjadi cokelat kemudian floret menutup (Gambar
13D). Anther tertinggal di luar floret lalu mengering kemudian gugur. Anther gugur
sekitar pukul 08.30-09.30 pagi di hari yang sama saat mengalami anthesis. Stadia
5 dimulai saat satu malai sudah mengalami anthesis (Gambar 13E). Tidak semua
floret akan berkembang menjadi biji. Lama periode perkembangan biji berbeda tiap
genotipe. Malai siap dipanen saat sudah berwarna cokelat dan tajuk mulai
mengering.

Tabel 6 Stadia perkembangan bunga hotong


Stadia Waktu (HSA) Deskripsi
1 (-9) s/d (-5) Inisiasi
Stadia inisiasi dimulai saat ujung malai muncul pada
daun bendera. Daun bendera yang awalnya menggulung
mulai membuka.
2 (-4) s/d (-2) Malai penuh
Malai berkembang dan mulai memanjang sampai daun
bendera terbuka.
3 0 s/d 3 Anthesis
Floret membuka penuh. Tampak anther berwarna kuning
dan stigma berwarna putih.
4 0 s/d 3 Anther gugur
Anther berwarna cokelat lalu floret menutup. Anhter
berada di luar dan stigma berada di dalam.
5 14 s/d 37 Perkembangan biji
Fase ini dimulai saat satu malai sudah mengalami
anthesis. Tiap floret berkembang untuk membentuk biji.
Malai yang siap dipanen berwarna cokelat dan tajuk
mulai mengering.
Keterangan: HSA = hari saat anthesis

Gambar 13 Stadia perkembangan bunga hotong. A: stadia 1; B: stadia 2; C: stadia


3; D: stadia 4; E: stadia 5
15

Waktu pertama muncul malai (inisiasi) bervariasi antar genotipe (Tabel 7).
Malai genotipe ICERI-6 muncul paling awal dibandingkan genotipe lainnya yaitu
berkisar umur 51 HST. Genotipe Botok 10 merupakan yang paling lama yaitu
berkisar umur 91 HST. Waktu muncul malai genotipe Botok 10 tidak berbeda nyata
dengan genotipe Botok 4 yang mulai muncul malai pada umur 88 HST.
Periode berbunga hotong tidak berbeda antar genotipe. Periode berbunga
berlangsung sekitar 3-5 hari. Periode anthesis pada hotong berlangsung sektar 1-3
hari setelah malai penuh. Hotong mengalami anthesis mulai dari bagian ujung malai
lalu ke pangkal malai. Anthesis pada hotong mulai sekitar pukul 06.00 pagi. Waktu
anthesis genotipe ICERI-5, ICERI-6, dan ICERI-7 tidak berbeda nyata, yaitu
mengalami anthesis saat berumur sekitar 56-69 HST. Genotipe Botok 4 dan Botok
10 anthesis pada saat berumur sekitar 95-98 HST. Pembukaan dan penutupan bunga
dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kelembapan udara. Hotong akan mengalami
anthesis pada suhu sekitar 30°C dan kelembapan relatif 50% (Siles et al., 2001).
Informasi waktu anthesis perlu diketahui sebagai informasi dasar untuk melakukan
hibridisasi (Li et al., 1935).

Tabel 7 Waktu dan periode tiap fase perkembangan bunga pada lima genotipe
hotong
WMM PB PA WA PP WMMA PPB
Genotipe UP (HST)
(HST) (hari) (hari) (HST) (menit) (HST) (hari)
ICERI-5 59.33bc 3.36 2.70a 65.40b 98.46b 63.69bc 85.73b 20.43b
ICERI-6 51.06c 3.83 1.60a 56.50b 95.70b 55.70c 71.40c 19.83b
ICERI-7 65.66b 3.73 -0.06b 69.33b 119.67a 68.67b 83.60bc 14.26c
Botok 4 88.76a 3.93 1.43a 95.33a 113.00a 94.67a 131.26a 37.30a
Botok 10 91.83a 5.13 2.53a 98.53a 108.33ab 95.58a 132.96a 37.23a
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda
nyata berdasarkan DMRT pada α = 5%; HST = hari setelah tanam, dihitung setelah semai biji.
WMM = Waktu muncul malai; PB = Periode berbunga; PA: Periode anthesis; WA = Waktu
anthesis; PP = Periode polinasi; WMMA = Waktu muncul malai anakan; UP = Umur panen;
PPB = Periode pengisian biji.

Hotong mengalami periode polinasi yang singkat. Anther muncul dan gugur
pada hari yang sama. Genotipe ICERI-7 memiliki periode polinasi yang paling
lama, yaitu sekitar 120 menit. Namun, periode polinasi genotipe ICERI-7 tidak
berbeda nyata dengan genotipe Botok 4. Genotipe ICERI-6 merupakan genotipe
dengan periode polinasi yang paling singkat, yaitu sekitar 96 menit. Namun,
periode polinasi genotipe ICERI-6 tidak bereda nyata dengan genotipe ICERI-5,
yaitu sekitar 98 menit. Periode polinasi penting untuk diketahui sebagai informasi
awal untuk melakukan hibridisasi. Setelah mengalami polinasi, anther pada bunga
hotong akan gugur. Anther berubah warna menjadi cokelat kemudian floret
menutup. Anther tertinggal di luar floret lalu mengering kemudian gugur. Anther
gugur sekitar pukul 08.30-09.30 pagi di hari yang sama saat mengalami anthesis.
Waktu yang dibutuhkan satu malai bunga hotong untuk anthesis adalah tiga hari.
Hotong dapat dipanen bila malai sudah berwarna kecokelatan dan tajuk mulai
mengering (Nurshanti, 2008). Genotipe ICERI-6 merupakan genotipe yang
memiliki umur panen paling cepat, yaitu sekitar 71 HST. Genotipe Botok 10
merupakan genotipe yang paling lama umur panennya, yaitu sekitar 133 HST.
Informasi umur panen sangat diperlukan untuk merakit varietas baru melalui
hibridisasi. Umumnya petani menginginkan tanaman dengan umur panen yang
16

singkat agar lebih cepat mendapatkan hasil dari penanamannya. Periode pengisian
biji berbeda tiap genotipe. Genotipe yang memiliki waktu pengisian biji paling
singkat adalah ICERI-7 yaitu sekitar 14 hari. Genotipe yang memiliki waktu
pengisian biji paling lama yaitu Botok 4 yaitu sekitar 37 hari.
Peubah waktu anthesis berkorelasi positif sangat nyata dengan peubah waktu
muncul malai (Tabel 8). Semakin cepat waktu muncul malai, semakin cepat waktu
anthesis. Tiap genotipe memiliki waktu muncul malai dan waktu anthesis yang
berbeda-beda. Kedua karakter tersebut dipengaruhi oleh perubahan suhu dan
kelembapan relatif. Jumlah bunga yang mengalami anthesis berbanding lurus
dengan kelembapan relatif dan berbanding terbalik dengan suhu (Li et al., 1935).
Peubah panjang zona polinasi berkorelasi positif sangat nyata dengan peubah
panjang malai. Semakin panjang malai, maka semakin panjang zona polinasi.
Peubah jumlah rachis pada zona polinasi berkorelasi positif nyata dengan peubah
panjang zona polinasi. Semakin panjang zona polinasi, semakin banyak jumlah
rachis. Peubah jumlah floret sebelum panen berkorelasi positif sangat nyata dengan
peubah jumlah floret sesudah panen. Semakin banyak floret yang ada, semakin
banyak floret yang berkembang menjadi biji. Hal ini menunjukkan bahwa hasil
panen yang didapat akan semakin banyak.
17

Tabel 8 Korelasi antar peubah morfologi dan fenologi bunga hotong


Peubah WMM PB PA WA UP PPB PM PZP PRM PTM JR KR JFSbP JFSdP
PB 0.43tn
PA 0.17tn -0.14tn
WA 0.99** 0.45tn 0.22tn
UP 0.96** 0.50* 0.25tn 0.97**
PPB 0.81** 0.55* 0.36tn 0.83** 0.91**
PM 0.11tn 0.34tn 0.19tn 0.13tn 0.26tn 0.46tn
PZP -0.00tn 0.33tn 0.15tn 0.01tn 0.11tn 0.30tn 0.91**
PRM -0.43tn 0.31tn -0.23tn -0.41tn -0.35tn -0.24tn 0.48tn 0.51*
PTM -0.21tn 0.24tn 0.36tn -0.17tn -0.07tn 0.15tn 0.60* 0.61* 0.58*
JR 0.70** 0.52* 0.17tn 0.71** 0.76** 0.74** 0.65** 0.61* 0.12tn 0.15tn
KR 0.80** 0.18tn 0.16tn 0.80** 0.71** 0.48tn -0.29tn -0.41tn -0.51* -0.45tn 0.42tn
JFSbP 0.24tn 0.08tn 0.27tn 0.25tn 0.32tn 0.39tn 0.45tn 0.57* -0.29tn 0.19tn 0.42tn -0.05tn
JFSdP 0.09tn -0.06tn 0.27tn 0.10tn 0.18tn 0.25tn 0.45tn 0.59* -0.26tn 0.20tn 0.33tn -0.19tn 0.95**
JFUZP 0.07tn 0.05tn 0.33tn 0.09tn 0.16tn 0.36tn 0.60* 0.72** -0.08tn 0.39tn 0.43tn -0.23tn 0.88** 0.87**
Keterangan: ** = nyata pada α = 1%; * = nyata pada α = 5%; tn = tidak nyata. WMM = waktu muncul malai; PB = periode berbunga; PA: periode anthesis; WA = waktu anthesis;
UP = umur panen; PPB = periode pengisian biji; PM = panjang malai; PZP = panjang zona polinasi; PRM = panjang rambut malai; PTM = panjang tangkai malai;
KR = kerapatan rachis; JFSbP = jumlah floret sebelum panen; JFSdP = jumlah floret sesudah panen; JFUZP = jumlah floret di ujung zona polinasi

17
18

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Hasil karakterisasi morfologi menunjukkan adanya beberapa karakter


morfologi yang berbeda di antara lima genotipe yang diuji. Genotipe Botok 4
memiliki malai dan zona polinasi paling panjang dibandingkan dengan genotipe
lainnya. Genotipe ICERI-6 memiliki tangkai malai yang paling panjang. Genotipe
Botok 10 memiliki jumlah floret yang paling banyak dibandingkan dengan genotipe
lainnya. Rata-rata periode pembungaan dan pengisian biji pada hotong kurang lebih
30 hari, terhitung sejak inisiasi sampai panen. Hotong mengalami anthesis sekitar
pukul 06.00 pagi dengan periode polinasi sekitar 90-120 menit. Genotipe ICERI
mengalami anthesis sekitar 56-70 HST. Genotipe Botok mengalami anthesis sekitar
95-100 HST. Periode polinasi genotipe ICERI berlangsung selama 95-120 menit.
Periode polinasi genotipe Botok berlangsung selama 105-115 menit.

Saran

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari


bunga hotong. Penelitian mengenai sifat toleransi cekaman perlu dilakukan pada
genotipe yang belum diuji.

DAFTAR PUSTAKA
Adillah, A. 2016. Pertumbuhan dan produksi beberapa aksesi hotong (Setaria
italica (L.) Beauv.) pada cekaman salinitas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Ardie, S.W., N. Khumaida, A. Nur, N. Fauziah. 2015. Early identification of salt
tolerant foxtail millet (Setaria italica L. Beauv). Procedia Food Science 3:
303-312.
[Balitbangtan] Badan Litbang Pertanian. 2017. Hotong, SDG Maluku yang kaya
nutrisi. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/2996/. [20 Januari
2018].
[BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2018. Data iklim tahun 2018. Stasiun
Klimatologi Bogor. Bogor.
Cheng, R., Z. Dong. 2010. Breeding and production of foxtail millet in China.
Dalam: He Z., A.P.A. Bonjean, (Eds). Cereal in China. CYMMIT. Mexico.
Dekker, J. 2003. The foxtail (Setaria) species-group. Weed Science 51 (5): 641-
656.
Darmawangsa, M.M.L. 2001. Pengaruh pemberian kapur [CaCO3] dan pupuk urea
[CO(NH2)2] terhadap anakan Ochroma bicolor Rowlee pada tanah latosol –
Taman Hutan Cikabayan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Diao, X., G. Jia. 2017. Foxtail Millet Breeding in China. Dalam: Doust, A., X. Diao,
(Eds). Genetics and Genomics of Setaria, Plant Genetics and Genomics: Crop
and Models 19. Springer International Publishing. Switzerland.
19

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2017. Setaria italica L. Beauv.


http://www.fao.org/ ag/ Agp/ agpc/doc/Gbase/data/pf000314.htm. [19 Maret
2017].
Fauziah, N. 2017. Respon akar terhadap salinitas dan karakterisasi gen SINAC110
dari genotipe hotong [Setaria italica (L.) Beauv]. Tesis. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hariprasanna, K. 2017. Foxtail millet, Setaria italica (L.) P. Beauv. Dalam: Patil
J.V., (Ed). Millets and Sorghum: Biology and Genetic Improvement. John
Wiley & Sons Ltd. West Sussex.
Ihsan, S.M. 2017. Evaluasi pertumbuhan dan hasil sepuluh genotipe hotong
(Setaria italica (L.) Beauv) pada kondisi cekaman salinitas. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Jamsari, Yaswendri, K. Musliar. 2007. Fenologi perkembangan bunga dan buah
spesies Uncaria gambir. Biodiversitas 8 (2): 141-146.
Jiang, H., H. Barbier, T. Brutnell. 2013. Methods for performing crosses in Setaria
viridis, a new model system for the grasses. Journal of Visualized
Experiments (80): 1-8. doi: 10.3791/50527.
Kellogg, E.A. 2017. Evolution of Setaria. Dalam: Doust, A., X. Diao, (Eds).
Genetics and Genomics of Setaria, Plant Genetics and Genomics: Crop and
Models 19. Springer International Publishing. Switzerland.
Lapuimakuni, S. 2018. Respon beberapa genotipe hotong (Setaria italica L. Beauv)
terhadap cekaman kekeringan dengan menggunakan metode staggered
planting. Tesis. Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Li, H., W.J. Meng, T.M. Liu. 1935. Problems in the breeding of millet (Setaria
italica (L.) Beauv). Agronomy Journal 7 (12): 963-970.
Lieth, H. 1974. Purposes of a Phenology Book. Dalam: Lieth H (Ed). Phenology
and Seasonality Modeling. Springer Science + Business Media. New York.
Lu H., J. Zhang, K. Liu, N. Wu, Y. Li, K. Zhou, M. Ye, T. Zhang, H. Zhang, X.
Yang, L. Shen, Q. Li. 2009. Earliest domestication of common millet
(Panicum miliaceum) in East Asia extended to 10.000 years ago. Dalam:
Piperno D.R. (Ed). [PNAS] Proceedings of the National Academy of Sciences
of the United States of America; 05 Mei 2009. 106 (18): 7367-7372.
Mallet, J. 2005. Hybridization as an invasion of the genome. TRENDS in Ecology
and Evolution 20 (5): 229-237.
Miswarti, N. Tati, Anas. 2014. Karakterisasi dan Kekerabatan 42 Aksesi Tanaman
Hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Pangan 23 (2): 166-177.
Nurshanti, R. 2008. Pengaruh umur bibit dan jarak tanam terhadap pertumbuhan
dan produktivitas tanaman buru hotong (Setaria italica (L.) Beauv.). Skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Putri, R. 2017. Respon genotipe hotong [Setaria italica (L.) BEAUV.] toleran dan
peka terhadap cekaman kekeringan dan karakterisasi gen SiDREB2. Tesis.
Sekolah Pascasrjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso, B.B., S. Susanto, B.S. Purwoko. 2011. Pembungaan jarak pagar (Jatropha
curcas L.) beberapa ekotipe Nusa Tenggara Barat. J. Agron. Indonesia 39 (3):
210-216.
Siles, M.M., D.D. Baltensperger, L.A. Nelson. 2001. Technique for artificial
hybridization of foxtail millet [Setaria italica (L.) Beauv]. Crop Sci. 41:
1408-1412.
20

Sintia, M. 2017. Pertumbuhan dan produksi sepuluh genotipe hotong (Setaria


italica (L.) Beauv). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ulum, C.F. 2017. Pertumbuhan dan produksi sepuluh genotipe hotong (Setaria
italica (L.) Beauv) pada cekaman salinitas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
[UPOV] International Union for the Protection of New Varieties of Plants. 2010.
Foxtail Millet. Technical Working Party for Agriculture Crops; 2010 May 24-
28; Osijek, Croatia.
Wahyu, Y., A.P. Samosir, S.G. Budiarti. 2013. Adaptabilitas genotipe gandum
introduksi di dataran rendah. Bul. Agrohorti 1(1): 1-6.
Zahroh, Z.A. 2017. Evaluasi pertumbuhan dan hasil enam genotipe lokal hotong
(Setaria italica L. Beauv). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
21

LAMPIRAN
22
23

Lampiran 1 Data iklim bulan April-Agustus 2018


Lama
Minggu Suhu Kelembapan Curah
Bulan Penyinaran
ke- (0C) (%) Hujan (mm)
(jam)
April 2 27.7 78.7 94.8 6.5
3 25.7 90 45.9 3
4 25.1 87.3 45.6 2.4
Mei 1 27.4 79.9 1.9 6.2
2 27.6 76.8 0 6.4
3 25.9 89.1 80.2 3.5
4 26.8 87.1 25.8 4.8
Juni 1 26.7 80.0 0 6
2 26.8 84.3 4.7 4.8
3 27.6 79.9 0.5 4.9
4 24.6 88.6 147.2 2.5
Juli 1 26.2 75.7 0.2 6.2
2 26.0 77.4 0 5.8
3 26.4 77.5 1 6.9
4 26.8 78.8 7.8 5.6
Agustus 1 25.9 73.6 0 7.7
2 26.4 80.2 11.5 4.6
Sumber: BMKG (2018)
24

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 13 November 1995 dari pasangan
Kasturi dan Dalmuyati. Penulis merupakan putri keempat dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan TK hingga SMA di Kudus : TK Pertiwi Panjang,
SD NU Tanwirul Qulub, SMPN 1 Jati Kudus, SMAN 2 Kudus. Penulis diterima di
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi (SNMPTN) pada tahun 2014. Penulis diterima sebagai beswan
dari Yayasan Karya Salemba Empat pada tahun 2016. Selain mengikuti
perkuliahan, penulis juga aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan yaitu sebagai
Ketua Umum Organisasi Mahasiswa Daerah Asal (OMDA) Keluarga Kudus Bogor
Menara Kota (KKB-MK) (2016-2017), Paguyuban Karya Salemba Empat IPB
Divisi Internal (2016-2017) dan Divisi Advokasi (2017-2018), Bendahara IPB
Goes to School dan Canvassing 2016, Staf Divisi Acara Greenday 2015, Staf Divisi
Humas Leadership and Entrepreneurship School (LES) 2016, Staf Divisi Medis
Pembinaan Himagron 2016. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata
kuliah Fisika 100 (2016-2017) dan Manajemen Air dan Hara Tanaman (2018).
Penulis juga pernah mengikuti kegiatan PGN Leadership and Innovation Camp
pada 09-15 Februari 2018 di Lor In Hotel, Solo. Selain itu, penulis juga mengikuti
Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI) dengan
mempresentasikan sebagian hasil penelitian dengan judul Fenologi Bunga Lima
Genotipe Hotong [Setaria italica (L.) Beauv] pada 07 November 2018 di Balai
Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Uswatun Chusnah
+62 857 4000 4592
Alamat: Jalan Lingkar Panjang No. 249E, Bae, Kudus, Jawa Tengah
Email: ucha.chusnah@gmail.com
25

Anda mungkin juga menyukai