SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
11190950000093
iii
PERNYATAAN
vi
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
Phytophthora capsici is the cause of phytophthora rot disease that attacks the
roots, stems and fruits of red chili. This disease causes more than 40% loss in red
chili harvest. Pathogens can be controlled using biological agents such as
endophytic fungi. Endophytic fungi are symbiotic with the host plant tissue so
they are believed to produce the same metabolites. Soil orchids have metabolites
that contribute to plant growth and resistance like alkaloids, flavonoids, tannins
and phenols. This research aims to determine the ability of endophytic fungi to
promote plant growth and inhibit the growth of P. capsici on red chili. The
research methods include exploration of endophytic fungi of soil orchids,
experimental with in vitro tests of endophytic fungi on Chinese cabbage (Brassica
pekinensis) on OMA media as a model plant because it is sensitive and fast
growing and in vivo tests on red chili (Capsicum annuum) infected with P. capsici
on planting media with a mixture of endophytic fungi. Molecular identification
was conducted on potential endophytic fungi. A completely randomized design
was used with 3 replicates and 3 controls. A total of 34 endophytic fungi were
obtained from soil orchid plants. The results of in vitro and in vivo tests obtained 3
isolates that effectively promote plant growth (indicated by higher dry weight of
chinese cabbage and red chili than the control) and inhibit P. capsici, namely
Colletotrichum arxii SIG 10.2, Colletotrichum gigasporum GG 5.2 and
Chaetomium globosum GG 14.2. The most effective inhibition was shown by
plants inoculated with Colletotrichum arxii SIG 10.2 showing a lower percentage
of disease incidence and severity than the control and other isolates.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas
seluruh rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal
skripsi berjudul “Kapang Endofit Akar Tanaman Anggrek Tanah di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sebagai Pemacu Tumbuh dan
Penghambat Phytophthora capsici”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains di Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah ke baginda Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan membimbing sehingga
penulisan proposal skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, di antaranya
kepada:
1. Husni Teja Sukmana, S.T., M. Sc, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Agus Salim, S.Ag., M.Si dan Etyn Yunita, M.Si. selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.
3. Dr. Nani Radiastuti, M.Si. dan Dr. Dwi Ningsih Susilawati, S.TP, M.Si
selaku Pembimbing I dan II yang telah memberikan waktu dan arahan yang
membangun kepada penulis.
4. Dr. Priyanti, M.Si dan Arina Findo Sari, M.Si selaku Penguji I dan II pada
seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan arahan dan
kritik yang membangun kepada penulis.
5. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi yang
telah memberikan ilmu dan waktunya kepada penulis selama masa studi.
6. Laboratorium Indonesian Culture Collection (InaCC) dan Laboratorium
Genomik di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno BRIN Cibinong yang
ix
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian dan menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.
7. Jajang Kosasih, Siti Aminah, dan Titi Tentrem selaku staf teknisi litkayasa
yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian penulis.
8. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan doa dan dukungan moril
maupun materil kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan
skripsi.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan yang tidak
dapat disebutkan satu persatu
Demikian penyusunan skripsi ini. Penulis terbuka atas kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dan berharap semoga skripsi ini dapat menjadi
sumber wawasan baru bagi para pembaca.
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv
xi
Cabai Merah secara In Vivo ........................................................27
3.4.6. Identifikasi Molekuler Kapang Endofit Pemacu Tumbuh ...........29
3.4.7. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Kapang Endofit .....32
3.5. Analisis Data .........................................................................................32
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kapang endofit akar anggrek
tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman dan penghambat Phytophthora capsici ............4
Gambar 2. Anggrek tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) ................................................................................................6
Gambar 3. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis cabai merah....................15
Gambar 4. Skema isolasi kapang endofit pada media CMA .................................24
Gambar 5. Skema inokulasi kapang endofit untuk pengujian in vitro ...................25
Gambar 6. Skema inokulasi bibit sawi ke media berisi kapang endofit ................26
Gambar 7. Hasil uji in vitro kapang endofit anggrek tanah ...................................34
Gambar 8. Rataan berat kering sawi hasil skrining kapang endofit anggrek tanah
secara in vitro pada 14 hari pengamatan .............................................35
Gambar 9. Rataan berat kering akar cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan ......................37
Gambar 10. Rataan berat kering batang cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan .....................38
Gambar 11. Persentase insidensi penyakit Phytophthora capsici pada cabai merah
selama 11 hari pengamatan ...............................................................40
Gambar 12. Persentase keparahan penyakit Phytophthora capsici pada cabai
merah selama 11 hari pengamatan .....................................................41
Gambar 13. Karakter makroskopis dan mikroskopis Chaetomium globosum .......44
Gambar 14. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum
gigasporum.........................................................................................46
Gambar 15. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum arxii ...........48
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lokasi pengambilan sampel anggrek tanah .......................................66
Lampiran 2. Dokumentasi eksplorasi anggrek tanah di TNGGP ..........................66
Lampiran 3. Kapang endofit hasil isolasi dari akar anggrek tanah .......................67
Lampiran 4. Data berat kering sawi hasil skrining in vitro ...................................69
Lampiran 5. Dokumentasi skrining in vitro ...........................................................70
Lampiran 6. Data tinggi dan berat kering hasil skrining in vivo ............................72
Lampiran 7. Dokumentasi skrining in vivo ............................................................73
Lampiran 8. Hasil skoring penyakit in vivo ...........................................................73
Lampiran 9. Hasil Pengujian Compare Means dengan metode One-Way Anova
pada software SPSS...........................................................................75
Lampiran 10. Hasil BLAST isolat Kapang Endofit pada website NCBI ...............77
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Isolasi kapang endofit dilakukan dari akar beberapa anggrek tanah dengan
pengambilan kurang dari 20% populasi di Resor Cibodas dan Resor Situ Gunung
di Kawasan TNGGP. Potensi pemacu tumbuh diuji menggunakan bibit sawi putih
(Brassica pekinensis) yang bersifat sensitif sebagai indikator, kemudian diuji lebih
lanjut untuk mengevaluasi potensi penghambatannya terhadap P. capsici.
Anggrek akan dikonservasi kembali secara ek situ di Kebun Raya Bogor.
Informasi mengenai kapang endofit anggrek tanah sebagai pemacu tumbuh dan
penghambat patogen P. capsici diharapkan dapat menjadi informasi dan data
ilmiah awal untuk penelitian dan pengembangan lanjutan untuk pembuatan
biofertilizer dan biokontrol.
Isolasi kapang endofit dari anggrek tanah di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anggrek sebagai salah satu spesies tanaman hias telah menjadi sorotan bagi
pecinta tanaman hias, baik dari dalam maupun luar negeri (Jalur et al., 2015;
Shidiqy et al., 2018). Umumnya anggrek ditemukan di hutan hujan tropis seperti
salah satunya di TNGGP yang berada di Jawa Barat (Gambar 2). Resor Cibodas
dan Situ Gunung merupakan dua diantara 15 resor di TNGGP yang menjadi
tempat tumbuhnya beberapa populasi anggrek tanah. Resor Cibodas dan Situ
Gunung merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian di atas 900 mdpl
(Hidayat et al., 2012). Kedua resor tersebut menjadi tempat tumbuhnya
keanekaragaman ekosistem hutan sehingga menjadikannya salah satu wilayah
konservasi flora (Mimin et al., 2020).
A B C
D E F
dengan permukaan yang rata. Daun tidak bertangkai, sepenuhnya duduk pada
batang. Bagian tepi tidak bergerigi (rata) dengan ujung daun terbelah. Tulang
daun sejajar dengan tepi daun dan berakhir di ujung daun. Susunan daun
berselang-seling atau berhadapan (Parnata, 2005; Pratidina & Nengsih, 2018).
Batang
Batang anggrek memiliki bentuk yang beragam, mulai dari yang ramping
hingga gemuk. Batang anggrek dibedakan menurut pertumbuhannya menjadi dua
tipe, yaitu tipe monopodial dan tipe simpodial. Anggrek tipe monopodial memiliki
batang utama dengan pertumbuhan lurus ke atas pada satu batang tak terbatas,
bentuknya ramping dan tidak memiliki rhizoma maupun umbi semu. Anggrek
dengan batang bertipe simpodial seperti pada genus Dendrobium, Oncidium, dan
Caattleya pada genus Vanda, Aranthera dan Phalaenopsis. Anggrek tipe
simpodial adalah anggrek yang tidak memiliki batang utama, bunga keluar dari
ujung batang dan akan berbunga kembali pada pertumbuhan anakan atau tunas
baru (Parnata, 2005; Pratidina & Nengsih, 2018; Tjitrosoepomo, 2013).
Bunga
Bagian yang terpenting dari anggrek adalah karakter morfologi pada
bunganya. Bunga anggrek memiliki kelopak bunga yang khas yang terdiri dari
petal, sepal, sepal dorsal dan labelum. Untuk memperoleh jenis atau varietas baru
anggrek, dilakukan persilangan untuk memperoleh jenis anggrek yang baru
(Pangestu et al., 2014; Rahmadani & Purwantoro, 2020).
b. Arundina sp.
Arundina diambil dari kata “Arundo” yang berarti pembuluh atau seperti
bamboo. Karakteristik dari genus arundina adalah bentuk daunnya yang
menyerupai rumput dan batangnya menyerupai bambu. Karakteristik yang
membedakan Arundina sp. dengan rerumputan adalah batangnya, batang rumput
memiliki rongga sedangkan batang Arundina sp. cenderung solid (Lestari et al.,
2019).
10
c. Arachnis sp.
Genus Arachnis merupakan jenis anggrek yang Sifat hidupnya setengah
epifit dan mudah ditanam sebagai anggrek tanah. Batangnya tegak, keras, dan
memanjang. Ciri khas lainnya adalah banyak memiliki akar udara yang memanjat.
Anggrek jenis ini banyak dikenal dengan sebutan anggrek laba-laba atau
kalajengking karena bunga jenis anggrek ini memiliki bentuk seperti laba-laba
atau kalajengking (Rahmawati et al., 2020).
d. Macodes sp.
Karakteristik dari genus macodes ini adalah akarnya tebal berdaging dan
tumbuh dari rhizome. Daunnya bulat dan bagian uncungnya meruncing, pangkal
daun bulat dan permukaannya mengkilap. Memiliki batang semu majemuk
dengan pertumbuhan ujung batangnya yang terbatas. Batangnya bertumpu pada
rhizome kemudian dari rhizome akan tumbuh tunas anakan dan akar. Bunga
biasanya muncul dari pucuk batang (Novia, 2017).
(Rukmana, 2007). Tanaman ini dapat tumbuh di bawah sinar matahari penuh
hingga teduh. Namun, suhu di atas 24℃ dapat menyebabkan tepi daun terbakar
sedangkan suhu dibawah 13℃ membuat sawi memasuki fase reproduktif terlalu
cepat. Sawi lebih menyukai tanah yang lembab namun tidak sampai tergenang air.
Sawi mampu mempertahankan kelembapan, dengan kisaran pH 6 hingga 7.
Penanaman di musim hujan perlu dibarengi dengan sistem drainase yang baik
untuk menghindari serangan hama. (Haryanto et al., 2007; Himawarni & Nuraini,
2022).
Cabai merah adalah salah satu tanaman rempah-rempah dan sayuran penting
yang dibudidayakan di seluruh dunia. Cabai adalah tanaman yang berasal dari
Amerika Selatan dan telah menyebar ke seluruh dunia sebagai tanaman budidaya
dan bahan pangan. Cabai memiliki tempat yang unik dalam menu makanan dunia
dalam bentuk kering yang sudah matang (sebagai bumbu) dan juga buah-buahan
hijau (sebagai sayuran). Tanaman cabai memiliki beragam jenis pertumbuhan
serta bentuk buah sehingga diperkirakan terdapat 20 spesies yang hidup di Negara
asalnya namun masyarakat umumnya mengenal beberapa jenis saja yang sering
14
ditemui dalam kehidupan sehari hari misalnya seperti cabai rawit, paprika, cabai
keriting dan cabai besar (Swastika et al., 2017).
Cabai merah (C. annuum) memiliki akar, batang, dan daun yang khas. Akar
cabai merah berbentuk serabut dan tumbuh ke dalam tanah untuk menyerap air
dan nutrisi. Batang cabai merah tegak dan bercabang-cabang, berbentuk silinder
dan dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 60-90 cm. Daun cabai
merah berbentuk oval dan memiliki ujung runcing. Daun ini tumbuh bergantian
pada batang dan memiliki panjang sekitar 5-15 cm. Bunga cabai berbentuk corong
dan tersusun dalam kelompok di ketiak daun (Aziziy et al., 2020; Sunarningtyas
& Sudiarso, 2022).
Umumnya tanaman cabai melalui dua fase selama pertumbuhan dan
perkembangannya, yaitu fase vegetatif dan fase generatif. Masa vegetatif berkisar
antara 0-40 hari setelah tanam (HST). Setelah tanam (HST), masa vegetatif
berkisar antara 0-40 hari setelah tanam (HST). Pada masa vegetatif, pertumbuhan
cenderung mengarah pada perkembangan batang dan akar, sedangkan fase
generatif berlangsung antara umur 40-50 hari setelah tanam sampai tanaman cabai
berhenti berbuah. Pada fase generatif cenderung digunakan untuk pembungaan,
perkembangan buah, dan pematangan buah (Wahyudi & Topan, 2011a).
Tanaman cabai merah dapat tumbuh dengan baik dengan kondisi tanah yang
memiliki drainase yang baik serta memiliki kisaran pH pada rentang 6,0 dan 7,0.
Cabai mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti regosol (mampu menahan
air dengan baik), vertisol (mengembang dan menyusut karena perubahan
kelembapan) dan latosol (tanah dari batuan vulkanik yang mengalami pelapukan).
Cabai adalah salah satu tanaman yang memiliki daya adaptasi luas, sehingga dapat
ditanam pada beragam lahan seperti sawah, tegalan, dataran rendah, maupun
dataran tinggi (hingga ketinggian 1.300 mdpl). Namun cabai merah biasanya
tumbuh optimum di dataran rendah dengan ketinggian 800 mdpl dengan suhu
berkisar 20-25℃. Cabai merah dapat tumbuh pada ketinggian 1.300 mdpl namun
pertumbuhan kurang optimum karena produktivitasnya yang rendah (Paiman et
al., 2022; Widiyono & Hidayati, 2005).
15
Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman yang dengan mudah dapat
terpengaruh oleh cekaman biotik dan abiotik. Cekaman biotik mengacu pada
organisme hidup yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, seperti hama
dan penyakit yang disebabkan oleh kapang, bakteri, virus, nematoda, sedangkan
cekaman abiotik mengacu pada faktor tak hidup, seperti suhu ekstrem,
kekeringan, dan salinitas. Tanaman ini dapat dipengaruhi oleh berbagai stres
abiotik, termasuk stres panas, stres dingin, kerusakan akibat garam, kekeringan,
dan cekaman karbohidrat (Pang et al., 2023; Zhai et al., 2016).
Ketika kondisi lahan sedang kering selama penanaman, sangat dianjurkan
untuk melakukan penyiraman secara rutin misalnya dua kali dalam sehari selama
musim kemarau untuk menghindari kekeringan. Jika musim hujan datang,
intensitas penyiraman dapat dikurangi menjadi sehari sekali (Wahyudi & Topan,
2011b).
A B CC
daun tetap berwarna hijau, tanaman terserang menjadi layu dan mati. Daun-daun
yang layu tetap tergantung sampai menjadi kering, kemudian gugur. Pangkal
batang yang terserang berwarna hitam, pada keadaan lembab akan mengeluarkan
lendir berwarna biru muda. Serangan infeksi pada akar akibat P. capsici
mengakibatkan tanaman layu perlahan-lahan, selanjutnya warna daun akan
berubah menjadi kuning dan gugur secara bertahap (Wibawanti & Setyaningsih,
2019).
Infeksi P. capsici pada akar dan batang menyebabkan tanaman layu yang
diikuti kematian secara cepat dengan intensitas serangan berkisar 55,56%-61,20%
(Asniah & T, 2012). Tanaman yang mudah terinfeksi penyakit busuk pangkal
batang menyebabkan matinya tanaman pada hari kesepuluh setelah inokulasi,
sedangkan pada tanaman yang tahan menyebabkan rusaknya akar dengan adanya
luka berwarna kecokelatana dibagian akar sekunder pada waktu yang sama.
Menurut (Hausbeck et al., 2014) infeksi kapang P. capsici pada tanaman cabai
dapat terjadi sebelum gejala penyakit pada tanaman muncul. Patogen tersebut
dapat meyerang akar maupun tajuk tanaman dengan gejala seperti luka busuk
menyebabkan batang menunjukkan bercak membentuk korset, selanjutnya
tanaman layu dan mati (Manohara et al., 1990).
Menurut (Manohara & M, 1986), infeksi pada daun terjadi 4 - 6 jam setelah
diinokulasi dengan zoospora dan menimbulkan gejala berupa titik hitam setelah
18 – 20 jam diinokulasi. Kebun lada yang disiang bersih akan mengalami
kerusakan lebih parah (50 – 80% diserang BPB) dibandingkan kebun yang disiang
terbatas. Penyakit ini dapat menyerang tanaman dari pembibitan sampai tanaman
tua. Pada tanaman rentan, P. capsici menyebabkan kematian pada hari kesepuluh
setelah inokulasi, sedangkan pada tanaman tahan menyebabkan timbulnya luka
kecokelatan di bagian akar sekunder pada waktu yang sama (Dunn & Smart,
2011). Infeksi P. capsici sulit dikendalikan, karena perkembangan awal dari
penyakit ini sulit dideteksi dan penyakit cepat menyebar saat kondisi lingkungan
mendukung (Ramdan et al., 2018).
18
BAB III
METODE PENELITIAN
per populasi, sementara anggrek dengan populasi terbatas diambil tidak lebih dari
20% populasi. Identifikasi spesies anggrek yang ditemukan mengacu pada
publikasi (Sadili & Mahyar, 2003). Spesies yang tidak ditemukan pada publikasi
tersebut, diidentifikasi menggunakan acuan dari (Comber, 1990, 2001; O’Byrne,
2001, 2011; Seidenfaden & Wood, 1992). Akar yang dikoleksi dimasukkan
kedalam plastik kemudian diberi label. Tanaman yang telah diidentifikasi diberi
label dan didokumentasi. Lokasi sampel diidentifikasi dengan GPS dan pita
penanda (Lampiran 1). Hasil koleksi kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan isolasi terhadap kapang endofitnya (Tabel 1). Anggrek yang dikoleksi
kemudian akan diserahkan kembali ke Kebun Raya untuk dikonservasi kembali
secara ek situ.
Tabel 1. Spesies anggrek tanah dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP)
Resor
No. Cibodas No. Situ Gunung
1 Corymborkis sp. 1. Taenia sp.
2 Godyera 1 sp. 2. Chrysoglossum sp.
3 Diglyphosa sp. 3. Phaius sp.
4 Macodes petola 4. Appendicula sp.
5 Malaxis sp. 5. Appendicula sp.
6 Liparis sp. 6. Godyera sp.
7 Godyera 2 sp. 7. Godyera sp.
8 Godyera 3 sp. 8. Godyera sp.
9 Godyera reticulata 9. Phaius calosus
Chrysoglossum
10
ornatum
11 Stereosandra sp.
12 Spiranthes sp.
13 Cymbidium ensifolium
kemudian disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121℃ selama 15 menit dengan
tekanan 1 atm. Media CMA steril kemudian di tuang ke dalam cawan petri untuk
keperluan inkubasi dan pemurnian kapang endofit. Tujuan penggunaan CMA
adalah media ini memungkinkan pertumbuhan kapang yang lebih lambat daripada
PDA. Hal ini penting karena beberapa kapang endofit cenderung tumbuh lebih
lambat daripada kapang umum yang biasa diisolasi. CMA memberikan
keuntungan bagi kapang endofit untuk tumbuh dan berkembang tanpa bersaing
secara agresif dengan kapang lain yang mungkin hadir. CMA dapat lebih baik
meniru lingkungan inang kapang endofit sehingga pertumbuhan lebih optimal
(Buatong, 2010).
A B
Gambar 4. Skema isolasi kapang endofit pada media CMA; (A) 4 segmen cawan
petri berisi masing masing 2 potong akar steril; (B) koloni kapang
endofit setelah inkubasi ±7 hari; (C) pemurnian kapang endofit.
25
3.4.4. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen secara In
Vitro
Skrining kapang endofit dilakukan untuk menyeleksi kapang endofit dengan
potensi pemacu tumbuh terhadap tanaman indikator yaitu sawi putih (B.
pekinensis). Kapang endofit murni yang akan diuji dan diinokulasikan ke media
OMA dalam botol kaca. Setiap kode kapang dibuat 3 kali pengulangan (triplo)
dan diinkubasi selama ± 5 hari (Gambar 5).
B C
A
Gambar 5. Skema inokulasi kapang endofit untuk pengujian in vitro; (A) koloni
murni kapang endofit; (B) inokulasi kapang endofit murni pada media
OMA; (C) koloni kapang endofit pada inkubasi 5 hari.
26
Gambar 6. Skema inokulasi bibit sawi ke media berisi kapang endofit; (A) bibit
sawi berumur 3 hari; (B) dilihat pengaruh kapang endofit terhadap
sawi; (C) perlakuan kontrol yang digunakan sebagai pembanding.
27
IP = Insidensi penyakit
a = tanaman yang terserang (jumlah)
b = tanaman yang diamati (jumlah)
KP = Keparahan penyakit
ni = tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi = nilai skor ke-i
N = jumlah tanaman diamati
V = nilai skor tertinggi
Elektroforesis DNA
Tahapan selanjutnya yaitu Elektroforesis DNA. Hasil dari amplifikasi di
imigrasi dengan elektroforesis gel agarose. DNA amplifikasi sebanyak 1 µL
ditambahkan dengan 1 µL loading dye dan dihomogenkan. Hasil amplifikasi di
masukkan ke sumur elektroforesis dengan komposisi 1% gel agarose yang
ditambahkan 1% gel red, kemudian ditambahkan TAE 1x hingga gel agarose
terendam. Gel agarose dengan konsentrasi 1% dipanaskan hingga larut kemudian
ditambahkan dengan gel red, kemudian tuang gel dalam cetakan dan sisir
diletakkan dalam satu ujung cetakan untuk membentuk sumuran pada gel. Gel
agarose yang sudah mengeras dicabut sisirannya dan diletakkan dalam chamber
untuk direndam dalam TAE 1x (Yarza et al., 2021). DNA Ladder 1 kb yang
ditambahkan 1 µL loading dye kemudian dihomogenkan dan dimasukkan ke
sumuran. Elektroforesis dilakukan selama 10 menit dengan tegangan 100 Volt,
DNA ditampilkan dengan menggunakan bantuan sinar UV di gel doc (Susilowati
et al., 2020).
Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan mengacu pada metode
(Sulistiyono & Mahyuni, 2019) dengan sedikit modifikasi pada saat pengambilan
miselium kapang. Miselium kapang diambil menggunakan tusuk gigi steril
kemudian dimasukkan kedalam microtube berukuran 0,2 mL berisi akuades,
diaduk perlahan supaya isolat tidak menggumpal kemudian teteskan di atas object
glass sebanyak 2 tetes dan ditutup dengan cover glass selanjutnya diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. Hifa, konidia dan spora diamati
bentuk serta tipe nya kemudian tangkapan layar disimpan sebagai data
pengamatan untuk proses identifikasi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Kode isolat kapang endofit yang diperoleh dari Resor Cibodas dan Situ
Gunung TNGGP
Resor Cibodas Resor Situ Gunung
No No
Kode Isolat Spesies Anggrek Kode Isolat Spesies Anggrek
1. GG 2.3 Corymborkis sp. 1. SIG 2.1
Taenia sp.
2. GG 3.3 Godyera sp. 2. SIG 2.3
3. GG 4.3 Diglyphosa sp. 3. SIG 6.1
Chrysoglossum sp.
4. GG 5.2 4. SIG 6.2
Macodes petola
5. GG 5.3 5. SIG 7.2
Phaius sp.
6. GG 8.3 Malaxis sp. 6. SIG 7.3
7. GG 9.1 Liparis sp. 7. SIG 9.2 Appendicula sp.
8. GG 11.3 (T) 8. SIG 10.1
Godyera sp. Appendicula sp.
9. GG 11.3 (G) 9. SIG 10.2
10. GG 12.2 10. SIG 11.3 Godyera sp.
Godyera sp.
11. GG 12.3 11. SIG 12.1
Godyera sp.
12. GG 14.1 12. SIG 12.1 (G)
Godyera reticulata
13. GG 14.2 13. SIG 14.1
GG 15.1 Chrysoglossum SIG 14.3 Godyera sp.
14. 14.
ornatum
15. GG 17.2 Stereosandra sp. 15. SIG 15.2
Phaius calosus
16. GG 18.3 Spiranthes sp. 16. SIG 15.3
17. GG 19.2
Cymbidium ensifolium
18. GG 19.3
Dari kedua resor didapatkan beberapa tanaman dengan genus yang sama
pada titik pengambilan yang berbeda, seperti Godyera sp., Appendicula sp., dan
Chrysoglossum sp., namun kapang endofit yang diisolasi dari spesies tersebut
menghasilkan jenis koloni dengan karakter makroskopis berbeda-beda. Sebanyak
15% dari koloni kapang endofit yang diperoleh merupakan jenis DSE atau kapang
34
dengan septa gelap, 85% lainnya merupakan kapang dengan septa cerah atau
terang. Perbedaan jumlah dan jenis kolonisasi kapang endofit disebabkan oleh
adalah jenis dan genotipe tanaman inang, lokasi, bagian tanaman yang dikoleksi,
dan jenis mikroorganisme yang diisolasi (Murphy et al., 2013; Suganda et al.,
2007).
4.2. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen secara In
Vitro
Skrining in vitro untuk mencari kapang endofit dengan kemampuan pemacu
tumbuh dengan sifat non patogen menghasilkan isolat kapang endofit potensial
dengan kode GG 5.2, GG 14.2, dan SIG 10.2. Hal ini diindikasikan dengan
pertumbuhan bibit sawi yang diberi aplikasi 3 kapang endofit tersebut memiliki
berat kering lebih tinggi dari perlakuan 31 kapang endofit lainnya dan kontrol
(Gambar 7). Pada pengamatan selama 14 hari, sawi dengan aplikasi 3 kapang
endofit potensial memiliki pertumbuhan yang baik diindikasikan tanaman yang
tampak segar dengan warna daun hijau dan batang berisi. Pertumbuhan sawi yang
baik mengindikasikan kapang endofit tidak bersifat patogen terhadap tanaman,
sebaliknya yaitu justru memacu pertumbuhan sawi.
A B C D
Gambar 7. Hasil uji in vitro kapang endofit anggrek tanah; (A) kontrol
(Tanpa aplikasi kapang endofit); (B) isolat GG 5.2; (C) isolat GG
14.2; (D) isolat SIG 10.2.
pembuluh juga menghambat aliran zat cair, menyebabkan tanaman tampak layu.
Proses ini berlanjut, menyebabkan patogen menyebar dan merusak pembuluh
tanaman. Infeksi kapang dapat terjadi melalui berbagai jenis luka, termasuk luka
akibat pemindahan bibit, pembumbunan, bahkan pada akar tanaman yang tidak
memiliki luka.
0.0250
0.0200
Berat (g)
0.0150
0.0100
0.0050
0,016 0,018 0,020 0,023
0.0000
Kontrol SIG 10.2 GG 14.2 GG 5.2
Perlakuan
Gambar 8. Rataan berat kering sawi hasil skrining kapang endofit anggrek tanah
secara in vitro pada 14 hari pengamatan
0,014 dan 0,019 (Lampiran 9). Rendahnya nilai P-value mengindikasikan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok berat akar, batang dan
kontrol. Jika nilai p-value lebih kecil dari nilai signifikansi 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara variabel independen dan
variabel dependen yang dalam hal ini adalah kapang endofit dan berat kering
cabai Sukara et al. (2023).
Efektivitas aplikasi kapang endofit terhadap berat kering GG 14.2 dan GG
5.2 pada tanaman terinfeksi patogen adalah 20% dan 25%, persentase tersebut
sangat rendah dibandingkan perlakuan aplikasi kapang SIG 10.2 dengan
persentase 100%. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa kemampuan
tanaman inang dalam menoleransi cekaman lingkungan dan serangan penyakit
disebabkan oleh senyawa metabolit yang dihasilkan kapang endofit sehingg
memiliki kemampuan meningkatkan pertahanan tanaman inangnya (Hiruma et al.,
2016; Lubna et al., 2018; Nurzannah et al., 2014).
0.015
a a
0.010 a
0.005
0,007 0,008 0,009 0,023
0.000
Kontrol GG 5.2 GG 14.2 SIG 10.2
Perlakuan
Gambar 9. Rataan berat kering akar cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan
38
0.080
b
0.070
0.060
0.050
Berat (g)
a
0.040 a
a
0.030
0.020
0.010
0,028 0,033 0,038 0.075
0.000
Kontrol GG 14.2 GG 5.2 SIG 10.2
Perlakuan
Gambar 10. Rataan berat kering batang cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan
Produksi metabolit diantaranya seperti IAA, sitokinin dan giberelin, atau
secara spesifik auksin mendorong diferensiasi dan pemanjangan sel pada jaringan
tanaman inang dan kemudian meningkatkan jumlah akar lateral dan panjang
tunas. Hormon ini mendukung pertumbuhan kapang endofit dalam menunjang
pertumbuhan, perkecambahan dan reproduksi serta melindungi tanaman dari
stress biotik dan abiotik (Egamberdieva et al., 2017). IAA adalah salah satu
senyawa metabolit yang paling banyak diteliti dan ditemukan pada kapang endofit
menunjukkan bahwa IAA memainkan peran penting dalam pertumbuhan tanaman
sebagai bagian dari sistem pertahanannya (Herrera-Parra et al., 2017; Imaningsih
et al., 2021).
Uji DMRT dilanjutkan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan (Karanat
et al., 2021), hasil uji (Lampiran 9) menunjukan bahwa kode SIG 10.2 memiliki
perbedaan paling signifikan dengan perlakuan aplikasi kapang endofit lainnya dan
juga kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa SIG 10.2 merupakan kapang endofit
dengan tingkat pemacu pertumbuhan tanaman dan penghambatan tertinggi
terhadap P. capsici pada cabai merah.
Beberapa kapang endofit seperti Colletotrichum sp. terbukti efektif melawan
patogen P. capsici (Li et al., 2000; Lu et al., 2000). Dalam penelitian lain dengan
uji coba in vivo, pengaplikasian kapang endofit terbukti mampu mengurangi
39
kejadian penyakit busuk pangkal batang pada cabai, dengan tingkat penekanan
penyakit mencapai 13,7-27,5% (Ramdan, 2014).
Sifat penghambatan ini diduga muncul karena adanya persaingan antara dua
jenis kapang yang tumbuh berdampingan. Persaingan ini terjadi karena keduanya
memiliki kebutuhan yang sama terhadap tempat tumbuh dan nutrisi dari media
pertumbuhannya. Dengan kata lain, karena keterbatasan sumber daya yang
tersedia, kedua kapang bersaing untuk mendapatkan ruang dan nutrisi yang
diperlukan. Persaingan ini memicu respons antagonis di mana satu jenis kapang
dapat menghambat pertumbuhan kapang lain melalui pelepasan senyawa-senyawa
yang bersifat menghambat atau membunuh (Melysa et al., 2013). Senyawa ini
dapat berupa antibiotik atau metabolit sekunder termasuk alkaloid, kuinol, steroid,
flavonoid, terpenoid, peptida, poliketon, fenol, senyawa terklorinasi, dan senyawa
organik volatil (VOC) yang dapat membentuk aktivitas antivirus, antibakteri,
antijamur (Latz et al., 2018).
Insidensi Penyakit
350.0
Insidensi Penyakit (%) 300.0 95,8 95,8
250.0
85
200.0 87,5 87,5
150.0
66,7
70,8 75 75
100.0
0,0 37,5
50.0 12,5 42,9 42,9
33,3
16,7
0.0
Hari ke -3 Hari ke-5 Hari ke-8 Hari ke-11
SIG 10.2 GG 5.2 GG 14.2 Kontrol
Gambar 11. Persentase insidensi penyakit Phytophthora capsici pada cabai merah
selama 11 hari pengamatan
Keparahan Penyakit
250.0
90,0 90,0
Keparahan Penyakit (%) 200.0
150.0 68,3
54,2 54,2
100.0
39,2
33,3 43,3 43,3
50.0 0,0
22,5
5,0 21,7 30,0 30,0
0.0 8,3
Hari ke-3 Hari ke-5 Hari ke-8 Hari ke-11
Tabel 3. Hasil identifikasi isolat kapang endofit berdasarkan daerah ITS rDNA
Hasil Analisis BLAST
Kode The Closest
Query E-
Isolat BLAST Strain Accesion Similarity
Cover Value
Chaetomium
GG 14.2 100% 0.0 KM822861.1 100%
globosum
Colletotrichum
GG 5.2 99% 0.0 OR734596.1 99.06%
gigasporum
Colletotrichum
SIG 10.2 99% 0.0 MZ595778.1 98.33%
arxii
Hasil analisis BLAST NCBI berdasarkan daerah ITS rDNA (Tabel 3) pada
isolat GG 14.2 mengungkapkan kemiripan genetik yang sangat tinggi dengan
spesies Chaetomium globosum, diikuti dengan persentase similarity sebesar 100%
dengan nilai yang sama yaitu 100% pada query cover-nya sebesar. Tingginya
persentase similarity mencerminkan kemiripan yang substansial antara query
cover dan urutan basis data, sementara persentase query cover yang tinggi
menunjukkan sebagian besar urutan query sejajar dengan urutan basis data.
Namun, ketika kedua nilai ini berada di bawah 95%, hal ini dapat mengisyaratkan
bahwa kesesuaian tersebut tidak memiliki relevansi signifikan secara biologis
(Anderson & Brass, 1998; Hussain et al., 2023).
Hasil analisis BLAST NCBI berdasarkan daerah ITS rDNA isolat GG 5.2
menunjukkan kemiripan genetik yang tinggi dengan spesies C. gigasporum.
Persentase query cover sebesar 99% menunjukkan bahwa sebagian besar sekuens
isolat GG 5.2 sesuai dengan spesies C. gigasporum pada data di NCBI. Hasil
analisis BLAST NCBI pada isolat SIG 10.2 mengungkapkan kemiripan genetik
yang sangat tinggi dengan spesies Colletotrichum arxii. Tingginya similarity
sebesar 98,33% menunjukkan tingkat kesamaan yang kuat antara isolat SIG 10.2
dan C. arxii. Hasil 99% cover menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi antara
sampel dengan sekuen yang ada di basis data. Hal ini mengindikasikan bahwa
sampel kapang endofit tersebut memiliki kemiripan yang sangat tinggi dengan
sekuen yang ada di NCBI berdasarkan analisis ITS rDNA BLAST (López-
Martínez et al., 2019).
44
A B
1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚
C D
(109) 9.9 µm
(110) 15.0 µm
20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 13. Karakter makroskopis dan mikroskopis Chaetomium globosum
pada inkubasi selama 7 hari; (A) koloni makroskopis bagian atas; (B)
koloni makroskopis bagian bawah; dengan (C) konidia berbentuk
oval; (D) hifa bersekat.
45
senyawa fitohormon seperti IAA dan giberelin yang dihasilkan oleh C. globosum
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman inang Capsicum annuum melalui
peningkatan pertumbuhan tunas, biomassa tunas serta luas daun yang lebih tinggi
daripada tanaman kontrol. Senyawa inilah yang menjadikan kapang C. globosum
mampu memacu pertumbuhan tanaman dan termasuk dalam Plant Growth
Promotion Fungi (PGPF) (Latif Khan et al., 2012).
A B
1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚
C D
20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 14. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum
20 µ𝑚
gigasporum pada inkubasi selama 7 hari; (A) makroskopis koloni
bagian atas; (B) makroskopis koloni bagian Bawah; (C) konidia; (D)
hifa bersekat.
yang ditunjukkan sesuai dengan penelitian oleh Sari & Kasiamdari, (2021), C.
gigasporum memiliki ciri-ciri makroskopis yang dapat dikenali, yaitu koloni
berwarna putih. permukaan yang bertekstur seperti kapas, dan pinggiran yang
tidak merata.
Secara mikroskopis, terdapat lapisan yang menyelubungi konidia dan hifa
berasal dari miselium yang tidak menyebar secara merata di bawah kaca preparat,
menyebabkan penumpukan dan kesulitan dalam melihat karakter mikroskopis
dengan jelas. Konidia dari C. gigasporum berdinding halus, berbentuk silinder
dengan ujung yang membulat dan sedikit menyempit ke arah pangkal dengan
ukuran sekitar 15-20 µm dan yang lebih kecil biasanya berbentuk silindris
(AVRDC, 2010; Hunupolagama et al., 2015). C. gigasporum mempunyai
kecepatan tumbuh 12,5 mm per hari. Hifa menunjukkan sifat tebal dan bersekat
dengan warna keabuan yang khas (AVRDC, 2010).
Hasil penelitian potensi C. gigasporum dalam menghambat P. capsici sesuai
dengan literatur oleh Paul et al. (2012) yang menyatakan bawa genus
Colletotrichum sp. terbukti mampu menghambat pertumbuhan miselium kapang
P. capsici ditunjukkan oleh pembentukan zona bening terhadap koloni P. capsici.
C. gigasporum juga telah membuktikan kemampuannya dalam memacu
pertumbuhan kacang panjang dengan panjang akar dan batang lebih tinggi
daripada kontrol dengan berat berturut-turut 17,5 cm dan 16,5 cm untuk akar,
sedangkan 17,8 cm dan 15,3 cm untuk batang (Dos Santos Oliveira et al., 2021).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian in vivo terhadap parameter tinggi akar dan
batang (Lampiran 6). Peningkatan pertumbuhan pada akar dan batang
menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan
pertumbuhan bagian tanaman lainnya, sehingga parameter tinggi ini berkorelasi
dengan berat tanaman (Gardner & Franklin, 1991).
Hidayah & Fikroh, (2021) pada penelitiannya menemukan bahwa kapang C.
gigasporum menghasilkan senyawa metabolit antipatogen yaitu siderofor dan
glukanase. Kandungan siderofor ditandai dengan dideteksinya zona oranye akibat
bereaksi dengan besi (Fe3+) dan mengikatnya menjadi ikatan besi-siderofor.
Elemen ini penting bagi tanaman karena merupakan elemen penting dalam
48
A B
1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚
C D
20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 15. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum arxii pada
inkubasi selama 7 hari; (A) koloni makroskopis bagian atas; (B)
koloni makroskopis bagian bawah; (C) hifa bersekat; (D) konidia.
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian diperoleh 34 isolat kapang endofit hasil isolasi dari
akar tanaman anggrek tanah. Sejumlah kapang dengan kode SIG 10.2, GG
5.2, dan GG 14.2 efektif memacu pertumbuhan tanaman yang diindikasikan
berat kering sawi dan cabai merah lebih tinggi daripada kontrol, dan
menghambat P. capsici. Penghambatan paling efektif ditunjukkan tanaman
diinokulasi SIG 10.2 dengan persentase insidensi dan keparahan penyakit
lebih rendah daripada kontrol.
2. Ketiga isolat diidentifikasi sebagai Colletotrichum arxii SIG 10.2,
Chaetomium globosum GG 14.2 dan Colletotrichum gigasporum GG 5.2.
5.2. Saran
Kemampuan pemacu pertumbuhan dan pengendalian patogen pada ketiga
isolat belum diuji secara langsung penyebabnya, termasuk kandungan senyawa
metabolit dan mekanisme aktivitas biologinya yang mendasarinya. Oleh karena
itu, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
senyawa metabolit pada setiap isolat dan memahami mekanisme aktivitas
biologinya. Informasi yang diperoleh dari penelitian tersebut dapat memberikan
informasi yang lebih detail.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abakatiri, K. (2016). Kondisi Populasi Dan Pola Penyebaran Anggrek Eria Spp.
di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan. Universitas Lampung.
Adhiana. (2021). Analisis Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Produksi Cabai
Merah di Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal Agrica Ekstensia, 15(1).
Aggarwal, S., Nirmala, C., Beri, S., Rastogi, S., & Adholeya, A. (2012). In Vitro
Symbiotic Seed Germination and Molecular Characterization of Associated
Endophytic Fungi in a Commercially Important and Endangered Indian
Orchid Vanda coerulea griff. ex lindl. European Journal of Environmental
Science, 2(1), 33–42.
Akamalasari, I., Purwati, E. S., & Dewi, R. S. (2013). Isolasi dan Identifikasi
Jamur Endofit Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.). Iosfera, 30(2),
82–89. https://doi.org/10.20884/1.mib.2013.30.2.131
Alandana, I. M., Rustiami, H., & Widodo, P. (2015). Inventarisasi Palem di Hutan
Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Buletin Kebun Raya,
18(2), 81–98.
Anderson, I., & Brass, A. (1998). Searching DNA Databases for Similarities to
DNA Sequences: When is a Match Significant? Bioinformatics, 14(4), 349–
356. https://doi.org/10.1093/bioinformatics/14.4.349
Andriyani, A. (2017). Membuat Tanaman Anggrek Rajin Berbunga. PT
Agromedia Pustaka.
Anggraeini, W., Rusmiyanto, E., Wardoyo, & Rahmawati. (2019). Isolasi dan
Identifikasi Jamur Pada Buah Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.).
Protobiont, 8(2), 94–100.
Armand, A., Hyde, K. D., Huanraluek, N., Wang, Y., & Jayawardena, R. S.
(2023). Identification and Characterization of Colletotrichum Species
Associated with Durian Fruit in Northern Thailand. Mycosphere, 14(2), 107–
129. https://doi.org/10.5943/mycosphere/14/si2/2
Asniah, S., & T, W. A. S. (2012). Survei Kejadian Penyakit Busuk Pangkal
Batang (Phytophthora capsici) Tanaman Lada (Piper nigrum. L) di
Kabupaten Konawe Selatan. Journal Agroteknos, 2(3), 151–157.
AVRDC. (2010). Characterization of Colletotrichum spp. Causing Pepper
Anthracnose and Development of Resistant Pepper Lines. Asian Seed
Congress.
Aziziy, M. H., Tobing, O. L., & Mulyaningsih, Y. (2020). Studi Serangan
Antraknosa pada Pertumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum L.) setelah
52
Aplikasi Larutan Daun Mimba dan Mol Bonggol Pisang. Jurnal Agronida,
6(1), 24. https://doi.org/10.30997/jag.v6i1.2668
Baiduri, N., & Fitriani. (2019). Keanekaragaman Jenis dan Habitat Anggrek
(Orchidaceae) di Bukit Lawang. Jurnal Biologica Samudra, 1(2), 22–27.
www.theplantlist.com
Bamisile, B. S., Dash, C. K., Akutse, K. S., Keppanan, R., & Wang, L. (2018).
Fungal Endophytes: Beyond Herbivore Management. Frontiers in
Microbiology, 9, 544. https://doi.org/10.3389/fmicb.2018.00544
Bayman, P., & Otero, J. T. (2006). Microbial Endophytes of Orchid Roots. In
Barbara J. E, B. Schulz, C. Boyle, & T. Sieber (Eds.), Microbial root
endophytes (pp. 153–177). Springer.
BBTNGGP. (2018). Ayo ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Balai
Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Bellini, A., Ferrocino, I., Cucu, M. A., Pugliese, M., Garibaldi, A., & Gullino, M.
L. (2020). A Compost Treatment Acts as a Suppressive Agent in
Phytophthora capsici – Cucurbita pepo Pathosystem by Modifying the
Rhizosphere Microbiota. Frontiers in Plant Science, 11(6).
https://doi.org/10.3389/fpls.2020.00885
Broto, B. W., & Pratama, A. A. (2015). Keragaman Jenis dan Sebaran Anggrek
Alam di Taman Wisata Alam Cani Sirenreng, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan. PROS SEMINAR NASIONAL NAS MASY BIODIV INDON, 449–
454. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010312
Buatong, J. (2010). Endophytic Fungi Producing Antimicrobial Substances from
Mangrove Plants in the South of Thailand. Prince of Songkla University.
Cheplick, G. P. (2017). Persistence of Endophytic Fungi in Cultivars of Iolium
perenne Grown from Seeds Stored for 22 Years. American Journal of
Botany, 104(4), 627–631. https://doi.org/10.3732/ajb.1700030
Chitnis, V. R., Suryanarayanan, T. S., Nataraja, K. N., Prasad, S. R., Oelmüller,
R., & Shaanker, R. U. (2020). Fungal Endophyte-Mediated Crop
Improvement: The Way Ahead. Frontiers in Plant Science, 11.
https://doi.org/10.3389/fpls.2020.561007
CITES. (2021). Appendices I, II & III.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19547689%0Ahttp://www.pubmedcen
tral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC2699076
Comber, J. B. (1990). Orchids of Java (First Edit). Bentham Moxon Trust.
Comber, J. B. (2001). Orchid of Sumatra. Royal Botanic Gardens.
53
Deng, X., Song, X., Halifu, S., Yu, W., & Song, R. (2020). Effects of Dark
Septate Endophytes Strain A024 on Damping-off Biocontrol, Plant Growth
and the Rhizosphere Soil Enviroment of Pinus sylvestris var. mongolica
Annual Seedlings. Plants (Basel), 9(7), 913.
https://doi.org/10.3390/plants9070913.
Devi, D., Anggraeni, A., & Wahyuni, T. (2021). Isolasi Kapang Endofit Pelawan
(Tristaniopsis merguensis Griff.) yang Berpotensi sebagai Antibakteri
terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Al-Kauniyah: Jurnal
Biologi, 14(2), 195–206. https://doi.org/10.15408/kauniyah.v14i2.14051
Dewi, A. A., Ainurrasjid, & Saptadi, D. (2016). Identifikasi Ketahanan Tujuh
Genotip Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap Phytophthora
capsici (Penyebab Penyakit Busuk Batang). Jurnal Produksi Tanaman, 4(3),
174–179.
Dewi, I. G. S. U., Mahardika, I. G., & Antara, M. (2017). Residu Pestisida
Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum
L.) pada Berbagai Lama Penyimpanan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(1).
Dos Santos Oliveira, J. A., Ferreira, A. P., Polli, A. D., da Silva, A. A., Ribeiro,
A. da S., Azevedo, J. L., & Pamphile, J. A. (2021). Plant Growth-Promoting
Activity of Wild-Type and Bromate-Resistant Mutant of the Endophytic
Fungus Colletotrichum karstii. Acta Scientiarum, 43.
https://doi.org/10.4025/ACTASCITECHNOL.V43I1.55457
Duaja, M. D., Arzita, & Redo, Y. (2012). Analisis Tumbuh Selada (Lactuca sativa
.L) pada Perbedaan Jenis Pupuk Organik Cair. Jurnal Universitas Jambi,
1(1), 33–41.
Dunn, A. R., & Smart, C. D. (2011). Interactions of Phytophthora capsici with
Resistant and Susceptible Pepper Roots and Stems. Mycology, 105(10),
:1355–1361. https://doi.org/https://doi.org/10.1094/PHYTO-02-15- 0045-R.
Egamberdieva, D., Wirth, S. J., Alqarawi, A. A., Abd-Allah, E. F., & Hashem, A.
(2017). Phytohormones and Beneficial Microbes: Essential Components for
Plants to Balance Stress and Fitness. In Frontiers in Microbiology (Vol. 8,
Issue 10). Frontiers Media S.A. https://doi.org/10.3389/fmicb.2017.02104
Eniko, L., & Silviu, A. A. (2011). Research Regarding the Introduction of a Least
Known Vegetable Species in Culture, in Transylvanian Tableland Area; the
Possibility of Cultivating Chinese Cabbage in Early Spring in Open Field.
18, 33–40.
Gaber, D. A., Berthelot, C., Chamehl, I., Kovacs, Gabor. M., Blaudez, D., &
Franken, P. (2020). Salt Stress Tolerance of Dark Septate Endophytes is
54
Suppression. In Plant Ecology and Diversity (Vol. 11, pp. 555–567). Taylor
and Francis Ltd. https://doi.org/10.1080/17550874.2018.1534146
Le Cocq, K., Gurr, S. J., Hirsch, P. R., & Mauchline, T. H. (2017). Exploitation of
Endophytes for Sustainable Agricultural Intensification. Molecular Plant
Pathology, 18(3), 469–473. https://doi.org/10.1111/mpp.12483
Leake, J. R. (1994). The biology of Myco-heterotrophic (saprophytic) plants. New
Phytol, 127, 171–216.
Lestari, L. D., Rafdinal, R., & Mukarlina, M. (2019). Inventarisasi Jenis Anggrek
(Orchidaceae) Terestrial di Taman Wisata Alam Bukit Kelam Kabupaten
Sintang. Jurnal Protobiont, 8(3), 46–52.
https://doi.org/10.26418/protobiont.v8i3.36834
Li, J. Y., Strobel, G., Harper, J., Lobkovsky, E., & Clardy, J. (2000). Cryptocin, a
Potent Tetramic Acid Antimycotic from the Endophytic Fungus
Cryptosporiopsis cf. quercina. Organic Letters, 2(6), 767–770.
https://doi.org/10.1021/ol000008d
Linkies, A., Jacob, S., Zink, P., Maschemer, M., Maier, W., & Koch, E. (2021).
Characterization of cultural traits and fungicidal activity of strains belonging
to the fungal genus Chaetomium. Journal of Applied Microbiology, 131(1),
375–391. https://doi.org/10.1111/jam.14946
López-Martínez, A., Valera-Martínez, D. L., Molina-Aiz, F. D., Moreno-Teruel,
M. de los Á., Peña-Fernández, A., & Espinoza-Ramos, K. E. (2019).
Analysis of the Effect of Concentrations of Four whitening Products in
Cover Transmissivity of Mediterranean Greenhouses. International Journal
of Environmental Research and Public Health, 16(6).
https://doi.org/10.3390/ijerph16060958
Lu, H., Zou, W. X., Meng, J. C., Hu, J., & Xiang Tan, R. (2000). New Bioactive
Metabolites Produced by Colletotrichum sp., an Endophytic Fungus in
Artemisi annua. Plant Science, 151, 67–73.
www.elsevier.com/locate/plantsci
Lubna, Asaf, S., Hamayun, M., Gul, H., Lee, I. J., & Hussain, A. (2018).
Aspergillus Niger CSR3 Regulates Plant Endogenous Hormones and
Secondary Metabolites by Producing Gibberellins and Indoleacetic Acid.
Journal of Plant Interactions, 13(1), 100–111.
https://doi.org/10.1080/17429145.2018.1436199
Madbouly, A. K., & Tamim, M. (2020). The Use of Chaetomium Taxa as
Biocontrol Agents. In A. M. Abdel-Azeem (Ed.), Recent Developments on
Genus Chaetomium (Issue January, pp. 251–266). Fungal Biology.
https://doi.org/doi.org/10.1007/978-3-030-31612-9_10
58
Narisawa, K., Kawamata, H., Currah, R. S., & Hashiba, T. (2002). Surpression of
Verticillium Wilt in Eggplant by Some Fungal Root Endophytes. European
Journal of Plant Pathology, 108, 103–109.
Ningsih, R., & Ambardini, S. (2018). Aklimatisasi dan Laju Pertumbuhan Planlet
Anggrek Macan (Grammatophyllum scriptum BL.). Jurnal Biologi, 7(2), 58–
68.
Novia, M. R. (2017). Keanekaragaman dan Kelimpahan Anggrek di Pusat
Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat [UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta]. https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/28645/
Nurul, Aidawati, N., & Liestiany, E. (2018). Pengaruh Pemberian Pseudomonas
Kelompok Fluorescens SKM 2 dan Variasi Waktu Inokulasi Virus Terhadap
Keparahan Penyakit Mosaik (Tobacco Mosaic Virus) pada Tanaman Cabai
Besar (Capsicum annum L.). Jurnal Proteksi Tanaman Tropika, 1(3), 50–57.
http://jtam.ulm.ac.id/index.php/jpt/article/view/41
Nurzannah, S. E., Lisnawita, & Bakti, D. (2014). Potensi Jamur Endofit Asal
Cabai sebagai Agens Hayati untuk Mengendalikan Layu Fusarium
(Fusarium oxysporum) pada Cabai dan Interaksinya. Jurnal Online
Agroekoteknologi, 2(3), 1230–1238. https://doi.org/10.32734/jaet.v2i3.7543
O’Byrne. (2001). A to Z of Southeast Asian Orchid Species (1st ed). Orchids
Society of South East Asia.
O’Byrne. (2011). A to Z of South East Asian Orchid Species Vol. 2. Orchid
Society of South East Asia.
Paiman, Ardiyanta, Kusumastuti, C. T., Pamungkas, P. B., & Ansar, M. (2022).
Identifikasi Propagul Gulma pada Berbagai Jenis Tanah Sawah. Vegetalika,
11(4), 315–328. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/veg.73437
Pang, X., Chen, J., Xu, Y., Liu, J., Zhong, Y., Wang, L., Zheng, J., & Wan, H.
(2023). Genome-Wide Characterization of Ascorbate Peroxidase Gene
Family in Pepper (Capsicum annuum L.) in Response to Multiple Abiotic
Stresses. Frontiers in Plant Sci, May, 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpls.2023.1189020
Pangestu, F., Aziz, S. A., & Sukma, D. (2014). Karakterisasi Morfologi Anggrek
Phalaenopsis Hibrida. Jurnal Hortikultura Indonesia, 5(1), 29–35.
Parnata, A. (2005). Pupuk Organik Cair. PT Agromedia Pustaka.
Paul, N. C., Deng, J. X., Sang, H. K., Choi, Y. P., & Yu, S. H. (2012).
Distribution and Antifungal Activity of Endophytic Fungi in Different
Growth Stages of Chili Pepper (Capsicum annuum L.) in Korea. Plant
60
Strobel, G., & Daisy, B. (2003). Bioprospecting for Microbial Endophytes and
Their Natural Products. Microbiol Mol Biol Rev, 67(4), 491–502.
https://doi.org/10.1128/MMBR.67.4.491-502.2003.
Suada, I. K. (2017). Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen
Tumbuhan (Mengenal Mikroba Sahabat Petani). In I. K. Suada (Ed.),
Mengenal Mikroba Sahabat Petani (1st ed.). Pelawa Sari.
Sudantha, I. M., & Abadi, A. L. (2007). Identifikasi Jamur Endofit dan
Mekanisme Antagonismenya terhadap Jamur Fusarium oxysporum f. sp.
vanillae pada Tanaman Vanili. Agroteksos, 17(1), 23–38.
Suganda, Tarkus, N. Istifadah, & Hersanti. (2007). Jamur Endofit:
Keanekaragaman, Kolonisasi dan Pernanannya terhadap Berbagai
Tanaman Sayuran dan Pangan.
Sukara, M. A., Farid, N., Yusuf, M., & Yustikawati. (2023). Efektivitas Infusa
Kulit Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah. Jurnal Promotif Preventif, 6(1), 145–157.
http://journal.unpacti.ac.id/index.php/JPP
Sulistiarini, D., & Djarwaningsih, T. (2016). Keanekaragaman Jenis-Jenis
Anggrek Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Teknologi Lingkungan, 10(2),
167. https://doi.org/10.29122/jtl.v10i2.1489
Sunarningtyas, S., & Sudiarso. (2022). Pengaruh Pemberian Dosis Pupuk
Kandang Ayam dan Pupuk Anorganik NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Jurnal Produksi Tanaman,
10(11), 646–652.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21776/ub.protan.2022.010.11.07
Supriyanto, Priyatmojo, A., & Arwiyanto, T. (2009). Penapisan PGPF untuk
Pegendalian Penyakit Busuk Lunak Lidah Buaya (Aloe vera) di Tanah
Gambut. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 15(2), 71–82.
Susilowati, D. N., Sofiana, I., Atmini, K. D., & Yuniarti, E. (2020). Penapisan
Kapang Asal Lahan Sulfat Masam Kalimantan Selatan sebagai Penghasil
Enzim Ekstraseluler. Jurnal Ilmu Pertanian, 32(Juli), 65–82.
Suwadji, S., Nugraha, N. S., & Dapala, O. (2022). Strategi Pelestraian Anggrek
Alam di Ruang Terbuka Hijau Wonosobo. Prosiding Seminar Nasional
Instiper, 1(1), 140–149. https://doi.org/10.55180/pro.v1i1.250
Swastika, S., Pratama, D., Hidayat, T., & Andri, K. B. (2017). Buku Petunjuk
Teknis Teknologi Budidaya Cabai Merah. Badan Penerbit Universitas Riau
UR PRESS, Riau.
63
Syahnen, Roma, I., & Siahaan, T. U. (2011). Pemetaan Lokasi Penanaman Lada
dan Serangan Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) di Propinsi Lampung
dan Propinsi Bangka Belitung. In BBP2TP (Laboratorium Lapangan Balai
Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan) (pp. 1–11).
http://ditjenbun.deptan.go.id/bb2tpmed/
Syamsia, S., Idhan, A., Firmansyah, A. P., Noerfitryani, N., Rahim, I., Kesaulya,
H., & Armus, R. (2021). Combination on Endophytic Fungal as the Plant
Growth-Promoting Fungi (PGPF) on Cucumber (Cucumis sativus).
Biodiversitas, 22(3), 1194–1202. https://doi.org/10.13057/biodiv/d220315
Syamsudin. (2010). Perlakuan Benih untuk Pengendalian Penyakit Busuk
Phytophthora, Peningkatan Hasil dan Mutu Benih Cabai Merah (Capsicum
annuum L). Institut Pertanian Bogor.
Teoh, E. S. (2016). Medicinal Orchids of Asia. Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-24274-3
Tjitrosoepomo, G. (2013). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Universitas
Gajah Mada.
Tumangger, B. S., Nadilla, F., Baiduri, N., Fitriani, & Mardina, V. (2018). In vitro
Screening of Endophytic Fungi Associated with Mangrove as Biofertilizer on
the Growth of Black Rice (Oryza sativa L.) Cempo Ireng. IOP Conference
Series: Materials Science and Engineering, 420(1).
https://doi.org/10.1088/1757-899X/420/1/012080
Vannini, C., Carpentieri, A., Salvioli, A., Novero, M., Marsoni, M., Testa, L., de
Pinto, M. C., Amoresano, A., Ortolani, F., Bracale, M., & Bonfante, P.
(2016). An Interdomain Network: The Endobacterium of A Mycorrhizal
Fungus Promotes Antioxidative Responses in Both Fungal and Plant Hosts.
New Phytologist, 211(1), 265–275. https://doi.org/10.1111/nph.13895
Varma, A., Fekete, A., Srivastava, A., Saxena, A. K., Frommberger, M., Li, D.,
Gschwendter, S., Sherameti, I., Oelmueller, R., Schmitt-Kopplin, P.,
Tripathi, S., & Hartmann, A. (2013). Inhibitory Interactions of Rhizobacteria
with the Symbiotic Fungus Piriformospora indica. In Piriformospora indica
(pp. 201–219). https://doi.org/10.1007/978-3-642-33802-1_12
Vergara, C., Araujo, K. E. C., Urquiaga, S., & Santa-catarina, C. (2018). Dark
Septate Endophytic Fungi Increase Green Manure-15 N Recovery Efficiency,
N Contents, and Micronutrients in Rice Grains. Brazil Journal Microbiology,
50(1), 825–838. https://doi.org/10.3389/fpls.2018.00613
Vergara, C., Araujo, K. E. C., Urquiaga, S., & Schultz, N. (2017). Dark Septate
Endophytic Fungi Help Tomato to Acquire Nutrients from Ground Plant
64
Yarza, H. N., Ahda, Y., & Fifendi, M. (2021). Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Termofilik Penghasil Inulinase dari Sumber Air Panas. Journal Bio-Site,
6(1), 01–09. https://doi.org/10.22437/bs.v4i2.5658
Yulianti, T. (2012). Menggali Potensi Endofit untuk Meningkatkan Kesehatan
Tanaman Tebu Mendukung Peningkatan Produksi Gula. Perspektif, 11(2),
11–122.
Zhai, Y., Guo, M., Wang, H., Lu, J., Liu, J., Zhang, C., Zhenhui, G., & Lu, M.
(2016). Autophagy, a Conserved Mechanism for Protein Degradation,
Responds to Heatss, and Other Abiotic Stresses in. Frontiers in Plant Sci,
7(February), 1–13. https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00131
Zhang, Y., Zhang, Y., Liu, M., Shi, X., & Zhao, Z. (2008). Dark septate
endophyte (DSE) Fungi Isolated from Metal Polluted Soils: Their
Taxonomic Position, Tolerance, and Accumulation of Heavy Metals In Vitro.
The Journal of Microbiology, 46, 624–634.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s12275-008-0163-6
66
LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi pengambilan sampel anggrek tanah
Kode
Spesies Anggrek Lattitude Longitude Northing Easting Elevation
Isolat
Corymborkis sp. GG 2.3 -6.235155106 116.1371613 -6.235155106 116.1371613 1435
Godyera 1 sp. GG 3.3 -4.646748451 113.4379283 -4.646748451 113.4379283 1457
Diglyphosa sp. GG 4.3 -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1437
GG 5.2
Macodes petola -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1438
GG 5.3
Malaxis sp. GG 8.3 -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1483
Liparis sp. GG 9.1 -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1490
GG 11.3
(T)
Godyera 2 sp. -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1558
GG
11.3(G)
GG 12.2
Godyera 3 sp. GG 12.2 -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1587
GG 12.3
Godyera GG 14.1
-0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1584
reticulata GG 14.2
Chrysoglossum
GG 15.1 -0.282095909 112.1247864 -0.282095909 112.1247864 1590
ornatum
Stereosandra sp. GG 17.2 -0.865894857 110.7886978 -0.865894857 110.7886978 1588
SIG 15.3
ULANGAN
3 HST 5 HST
KODE
KODE
Score penyakit pada tanaman ke- Score penyakit pada tanaman ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
1 4 3 0 0 3 0 3 3 1 5 5 3 3 5 0 5 4
KONTROL
KONTROL
2 4 3 3 0 3 3 2 1 2 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 2 2 2 3 0 0 0 3 4 3 4 3 4 3 0 0
1 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 3 0 0 0
GG 5.2
GG 5.2
2 0 0 0 0 2 0 0 0 2 3 0 0 0 3 3 0 0
3 0 0 0 0 2 0 0 0 3 3 0 0 3 3 3 3 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2 2 0 3 0 3 3
GG 14.2
GG 14.2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 0 0 0 2 0 3 3
3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 2 3 2 2 2 0
1 0 0 3 3 0 0 0 2 1 3 0 4 4 0 0 4 0
SIG 10.2
SIG 10.2
2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 3 0
3 0 0 0 2 0 0 0 0 3 0 0 3 3 2 0 0 0
74
ULANGAN
ULANGAN
8 HST 11 HST
KODE
KODE
Score penyakit pada tanaman ke- Score penyakit pada tanaman ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
1 5 5 5 5 5 0 5 5 1 5 5 5 5 5 0 5 5
KONTROL
KONTROL
2 5 5 5 5 5 5 4 5 2 5 5 5 5 5 5 4 5
3 5 5 5 5 4 5 3 2 3 5 5 5 5 4 5 3 2
1 3 3 0 3 2 0 2 2 1 3 3 0 3 2 0 2 2
GG 5.2
GG 5.2
2 3 0 0 3 3 3 2 3 2 3 0 0 3 3 3 2 3
3 4 0 4 0 3 3 3 3 3 4 0 4 0 3 3 3 3
1 3 3 3 0 3 0 3 3 1 3 3 3 0 3 0 3 3
GG 14.2
GG 14.2
2 4 3 3 0 2 3 4 4 2 4 3 3 0 2 3 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 3 0 5 5 0 0 3 5 1 3 0 5 5 0 0 3 5
SIG 10.2
SIG 10.2
2 0 0 2 2 2 0 3 0 2 0 0 2 2 2 0 3 0
3 0 0 2 1 3 0 0 0 3 0 0 2 1 3 0 0 0
ANOVA
Akar
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N a b
Kontrol 12 .007383
GG 5.2 12 .008108
GG 14.2 12 .009167
SIG 10.2 12 .022767
Sig. .749 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
76
B. Output Batang
Descriptives
B.Batang
Between-
95% Confidence Component
Interval for Mean Minimum Maximum Variance
Lower Upper
N Mean Std. Deviation Std. Error Bound Bound
Kontrol 12 .027667 .0463890 .0133913 -.001807 .057141 .0016 .1588
GG 14.2 12 .033250 .0164479 .0047481 .022800 .043700 .0082 .0577
SIG 10.2 12 .075400 .0479136 .0138315 .044957 .105843 .0095 .1822
GG 5.2 12 .038508 .0370706 .0107014 .014955 .062062 .0052 .1444
Total 48 .043706 .0422238 .0060945 .031446 .055967 .0016 .1822
Model Fixed Effects .0390269 .0056331 .032354 .055059
Random Effects .0107940 .009355 .078057 .0003391
ANOVA
B.Batang
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .017 3 .006 3.672 .019
Within Groups .067 44 .002
Total .084 47
Batang
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N a b
Kontrol 12 .027667
GG 14.2 12 .033250
GG 5.2 12 .038508
SIG 10.2 12 .075400
Sig. .527 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
77
Lampiran 10. Hasil BLAST isolat Kapang Endofit pada website NCBI
https://blast.ncbi.nlm.nih.gov/
A. Hasil 10 teratas BLAST isolat SIG 10.2