Anda di halaman 1dari 88

KAPANG ENDOFIT AKAR ANGGREK TANAH DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO (TNGGP)


SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN DAN
PENGHAMBAT Phytophthora capsici

NADHIRA RASYA SALSABILA

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2024 M / 1445 H
KAPANG ENDOFIT AKAR ANGGREK TANAH DI TAMAN NASIONAL
GUNUNG GEDE PANGRANGO (TNGGP) SEBAGAI PEMACU
PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PENGHAMBAT Phytophthora capsici

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

NADHIRA RASYA SALSABILA

11190950000093

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2024 M / 1445 H

iii
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH


BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Februari 2024

Nadhira Rasya Salsabila


11190950000093

vi
ABSTRAK

Nadhira Rasya Salsabila. Kapang Endofit Akar Anggrek Tanah di Taman


Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sebagai Pemacu Pertumbuhan
Tanaman dan Penghambat Phytophthora capsici. Skripsi. Program Studi
Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2024, Dibimbing oleh Dr. Nani Radiastuti, M. Si dan
Dr. Dwi Ningsih Susilowati, S.TP., M. Si.

Phytophthora capsici merupakan penyebab penyakit busuk phytophthora yang


menyerang akar, batang dan buah cabai. Penyakit ini menyebabkan kerugian
panen cabai lebih dari 40%. Patogen tanaman dapat dikendalikan menggunakan
agen hayati seperti kapang endofit. Kapang endofit bersimbiosis dengan jaringan
tanaman inang sehingga diduga menghasilkan metabolit yang sama. Anggrek
tanah memiliki metabolit yang berperan dalam pertumbuhan dan ketahanan
tanaman seperti alkaloid, flavonoid, tanin dan fenol. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui kemampuan kapang endofit dalam memacu pertumbuhan
tanaman dan menghambat pertumbuhan P. capsici pada cabai merah. Metode
penelitian meliputi eksplorasi kapang endofit anggrek tanah, eksperimental
dengan uji in vitro kapang endofit terhadap sawi putih (Brassica pekinensis)
sebagai tanaman model karena bersifat sensitif dan pertumbuhannya cepat pada
media OMA dan uji in vivo terhadap cabai merah (Capsicum annuum) terinfeksi
P. capsici pada media tanam dengan campuran kapang endofit. Identifikasi
molekuler dilakukan terhadap kapang endofit potensial. Rancangan Acak Lengkap
digunakan dengan 3 ulangan dan 3 kontrol. Sebanyak 34 kapang endofit diperoleh
dari tanaman anggrek tanah. Hasil uji in vitro dan in vivo diperoleh 3 isolat yang
efektif memacu pertumbuhan tanaman (diindikasikan berat kering sawi dan cabai
merah lebih tinggi daripada kontrol) dan menghambat P. capsici, yaitu
Colletotrichum arxii SIG 10.2, Colletotrichum gigasporum GG 5.2 dan
Chaetomium globosum GG 14.2. Penghambatan paling efektif ditunjukkan
tanaman diinokulasi Colletotrichum arxii SIG 10.2 menunjukkan persentase
insidensi dan keparahan penyakit lebih rendah daripada kontrol.

Kata kunci: Anggrek tanah; Kapang endofit; Phytophthora capsici; Pemacu


tumbuh; Penghambat patogen

vii
ABSTRACT

Nadhira Rasya Salsabila. Endophytic Fungi of Soil Orchid Roots in Mount


Gede Pangrango National Park (TNGGP) as Plant Growtssh Promoters and
Phytophthora capsici Inhibitors. Thesis. Departement of Biology. Faculty of
Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah
Jakara. 2024. Advised by Dr. Nani Radiastuti, M.Si dan Dr. Dwi Ningsih
Susilowati, S.TP., M.Si.

Phytophthora capsici is the cause of phytophthora rot disease that attacks the
roots, stems and fruits of red chili. This disease causes more than 40% loss in red
chili harvest. Pathogens can be controlled using biological agents such as
endophytic fungi. Endophytic fungi are symbiotic with the host plant tissue so
they are believed to produce the same metabolites. Soil orchids have metabolites
that contribute to plant growth and resistance like alkaloids, flavonoids, tannins
and phenols. This research aims to determine the ability of endophytic fungi to
promote plant growth and inhibit the growth of P. capsici on red chili. The
research methods include exploration of endophytic fungi of soil orchids,
experimental with in vitro tests of endophytic fungi on Chinese cabbage (Brassica
pekinensis) on OMA media as a model plant because it is sensitive and fast
growing and in vivo tests on red chili (Capsicum annuum) infected with P. capsici
on planting media with a mixture of endophytic fungi. Molecular identification
was conducted on potential endophytic fungi. A completely randomized design
was used with 3 replicates and 3 controls. A total of 34 endophytic fungi were
obtained from soil orchid plants. The results of in vitro and in vivo tests obtained 3
isolates that effectively promote plant growth (indicated by higher dry weight of
chinese cabbage and red chili than the control) and inhibit P. capsici, namely
Colletotrichum arxii SIG 10.2, Colletotrichum gigasporum GG 5.2 and
Chaetomium globosum GG 14.2. The most effective inhibition was shown by
plants inoculated with Colletotrichum arxii SIG 10.2 showing a lower percentage
of disease incidence and severity than the control and other isolates.

Keywords: Endophytic fungi; Growth promoter; Pathogen inhibitors;


Phytophthora capsici; Soil orchid

viii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. atas
seluruh rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal
skripsi berjudul “Kapang Endofit Akar Tanaman Anggrek Tanah di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sebagai Pemacu Tumbuh dan
Penghambat Phytophthora capsici”. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains di Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sholawat dan salam senantiasa tercurah ke baginda Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan membimbing sehingga
penulisan proposal skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, di antaranya
kepada:
1. Husni Teja Sukmana, S.T., M. Sc, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Agus Salim, S.Ag., M.Si dan Etyn Yunita, M.Si. selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi.
3. Dr. Nani Radiastuti, M.Si. dan Dr. Dwi Ningsih Susilawati, S.TP, M.Si
selaku Pembimbing I dan II yang telah memberikan waktu dan arahan yang
membangun kepada penulis.
4. Dr. Priyanti, M.Si dan Arina Findo Sari, M.Si selaku Penguji I dan II pada
seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan arahan dan
kritik yang membangun kepada penulis.
5. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi yang
telah memberikan ilmu dan waktunya kepada penulis selama masa studi.
6. Laboratorium Indonesian Culture Collection (InaCC) dan Laboratorium
Genomik di Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno BRIN Cibinong yang

ix
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian dan menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.
7. Jajang Kosasih, Siti Aminah, dan Titi Tentrem selaku staf teknisi litkayasa
yang telah membantu pelaksanaan kegiatan penelitian penulis.
8. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan doa dan dukungan moril
maupun materil kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan
skripsi.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan yang tidak
dapat disebutkan satu persatu
Demikian penyusunan skripsi ini. Penulis terbuka atas kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dan berharap semoga skripsi ini dapat menjadi
sumber wawasan baru bagi para pembaca.

Jakarta, Februari 2024

Penulis

x
DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1


1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................3
1.3. Hipotesis Penelitian .................................................................................3
1.4. Tujuan Penelitian .....................................................................................3
1.5. Manfaat Penelitian ...................................................................................4
1.6. Kerangka Berpikir ...................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................5


2.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango .............................................5
2.2. Anggrek Tanah ........................................................................................5
2.2.1. Syarat Tumbuh Anggrek Tanah .....................................................7
2.2.2. Morfologi Anggrek ........................................................................7
2.2.3. Jenis Anggrek Tanah (Terestrial) ...................................................8
2.3. Kapang Endofit ......................................................................................10
2.3.1. Kapang Endofit dari Tanaman Anggrek .......................................11
2.4.Sawi Putih (Brassica pekinensis) ...........................................................12
2.4.1. Syarat Pertumbuhan......................................................................12
2.5. Cabai merah (Capsicum annuum) .........................................................13
2.6. Penyakit Busuk Tanaman Cabai akibat Phytophthora capsici..............15
2.6.1. Gejala Infeksi................................................................................16
2.6.2. Penyebaran Patogen......................................................................18
2.7. Pengendalian Phytophthora capsici dengan Kapang Endofit ...............18

BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................20


3.1. Waktu dan Tempat.................................................................................20
3.2. Alat dan Bahan ......................................................................................20
3.3. Rancangan Penelitian ............................................................................21
3.4. Cara Kerja ..............................................................................................21
3.4.1. Pengambilan Sampel ...................................................................21
3.4.2. Pembuatan Media ........................................................................22
3.4.3. Isolasi dan Pemurnian Kapang Endofit .......................................24
3.4.4. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen
secara In Vitro ............................................................................25
3.4.5. Skrining Kapang Endofit Penghambat Phytophthora capsici pada

xi
Cabai Merah secara In Vivo ........................................................27
3.4.6. Identifikasi Molekuler Kapang Endofit Pemacu Tumbuh ...........29
3.4.7. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Kapang Endofit .....32
3.5. Analisis Data .........................................................................................32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................33


4.1. Isolasi Kapang Endofit dari Akar Anggrek Tanah ...............................33
4.2. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen
secara In Vitro .......................................................................................34
4.3. Skrining Kapang Endofit Penghambat Phytophthora capsici pada Cabai
Merah secara In Vivo ............................................................................36
4.3.1. Keparahan Penyakit Tanaman Cabai Pasca Perlakuan Kapang
Endofit Potensial .........................................................................39
4.4. Identifikasi Molekuler ...........................................................................42
4.4.1 Analisis BLAST di NCBI ............................................................42
4.5. Karakter Makroskopis dan Mikroskopis Kapang Endofit Potensial ....44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................50
5.1. Kesimpulan ...........................................................................................50
5.2. Saran .....................................................................................................50

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................51


LAMPIRAN ...........................................................................................................64

xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kapang endofit akar anggrek
tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman dan penghambat Phytophthora capsici ............4
Gambar 2. Anggrek tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) ................................................................................................6
Gambar 3. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis cabai merah....................15
Gambar 4. Skema isolasi kapang endofit pada media CMA .................................24
Gambar 5. Skema inokulasi kapang endofit untuk pengujian in vitro ...................25
Gambar 6. Skema inokulasi bibit sawi ke media berisi kapang endofit ................26
Gambar 7. Hasil uji in vitro kapang endofit anggrek tanah ...................................34
Gambar 8. Rataan berat kering sawi hasil skrining kapang endofit anggrek tanah
secara in vitro pada 14 hari pengamatan .............................................35
Gambar 9. Rataan berat kering akar cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan ......................37
Gambar 10. Rataan berat kering batang cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan .....................38
Gambar 11. Persentase insidensi penyakit Phytophthora capsici pada cabai merah
selama 11 hari pengamatan ...............................................................40
Gambar 12. Persentase keparahan penyakit Phytophthora capsici pada cabai
merah selama 11 hari pengamatan .....................................................41
Gambar 13. Karakter makroskopis dan mikroskopis Chaetomium globosum .......44
Gambar 14. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum
gigasporum.........................................................................................46
Gambar 15. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum arxii ...........48

xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lokasi pengambilan sampel anggrek tanah .......................................66
Lampiran 2. Dokumentasi eksplorasi anggrek tanah di TNGGP ..........................66
Lampiran 3. Kapang endofit hasil isolasi dari akar anggrek tanah .......................67
Lampiran 4. Data berat kering sawi hasil skrining in vitro ...................................69
Lampiran 5. Dokumentasi skrining in vitro ...........................................................70
Lampiran 6. Data tinggi dan berat kering hasil skrining in vivo ............................72
Lampiran 7. Dokumentasi skrining in vivo ............................................................73
Lampiran 8. Hasil skoring penyakit in vivo ...........................................................73
Lampiran 9. Hasil Pengujian Compare Means dengan metode One-Way Anova
pada software SPSS...........................................................................75
Lampiran 10. Hasil BLAST isolat Kapang Endofit pada website NCBI ...............77

xiv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cabai merah (Capsicum annuum) merupakan komoditas pertanian yang
memiliki nilai ekonomi tinggi di Indonesia. Produksi cabai merah meningkat
setiap tahunnya, namun produksi seringkali berfluktuasi karena bersifat musiman.
Penurunan dan peningkatan produksi cabai merah dipengaruhi oleh ketahanan
tanaman terhadap serangan hama dan penyakit (Adhiana, 2021). Penyakit yang
umum menyerang cabai merah adalah Phytophthora capsici yang menyebabkan
penurunan produksi dan gagal panen (Dewi et al., 2017; Hidayah et al., 2023).
Phytophthora capsici adalah kapang patogen penyebab busuk phytophthora
(Phytophthora blight) yang menyerang berbagai fase pertumbuhan cabai pada
bagian akar, batang dan buah (Hartono, 2020; Ramdan, 2014; Wan & Liew,
2020). Patogen ini sulit dikendalikan karena cepat berkembang dan sulit dideteksi
di awal perkembangannya dan dilaporkan menyebabkan kerugian panen dengan
persentase lebih dari 40% (Dewi et al., 2016; Ramdan, 2014). Patogen ini
menyebar melalui air, tanah, dan residu tanaman dan media terinfeksi.
Pengendalian patogen ini dapat dilakukan dengan bantuan agen hayati seperti
kapang endofit (Ramdan et al., 2017).
Kapang endofit bersimbiosis dengan jaringan tanaman dan menghasilkan
metabolit sekunder identik dengan tanaman inang (Murdiyah, 2017; Yulianti,
2012). Kapang endofit dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman,
meningkatkan toleransi terhadap cekaman abiotik dan biotik, perolehan nutrisi
serta biokontrol terhadap patogen (Chitnis et al., 2020). Kapang endofit sebagai
biokontrol contohnya spesies Chaetomium globosum mampu menghambat
Phytophthora infectans dengan penurunan keparahan penyakit sebesar 72%
dibandingkan kontrol sebesar 100% (Madbouly & Tamim, 2020). Kapang
Colletotrichum acutatum asal Capsicum annuum juga menunjukkan
penghambatan terhadap patogen Phytophthora sp. dengan pembentukan zona
bening pada koloni Phytophthora sp. pada lingkungan in vitro (Paul et al., 2012).
2

Kapang endofit dengan kemampuan pemacu tumbuh banyak ditemukan


berasosiasi dengan organ akar dan biasanya berupa kapang Dark Septate
Endophyte (DSE) atau kapang bersepta gelap (Hou & Guo, 2009).
Leptodontidium sp. dari akar Dendrobium nobile mampu meningkatkan
pertumbuhan tinggi, diameter batang, jumlah akar dan biomassa tanaman anggrek.
Kapang endofit Rhizoctonia sp. dari akar anggrek tanah (Spathoglottis plicata)
juga meningkatkan pertumbuhan biomassa anggrek macan (Ningsih &
Ambardini, 2018).
Anggrek merupakan flora unik dengan variasi bentuk dan warna yang
menarik perhatian banyak orang (Yani et al., 2022). Anggrek diketahui memiliki
senyawa metabolit yang bermanfaat seperti alkaloid, flavonoid, tannin, dan fenol
yang berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan juga pertahanan
tanaman (Krisnawan et al., 2020). Seluruh spesies anggrek saat ini terdaftar dalam
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) dan International Union for Conservation of Nature's Redlist
(IUCN Redlist) sebagai spesies yang terancam punah dan rentan. nutfah (CITES,
2021). Hal ini mendorong pentingnya dilakukan eksplorasi potensi anggrek
sebagai kekayaan plasma nutfah.
Interaksi antara kapang-anggrek umumnya ditemukan pada jenis anggrek
terrestrial atau dikenal sebagai anggrek tanah, baik berupa mikoriza atau endofit
maupun kapang fakultatif DSE (Bayman & Otero, 2006). Anggrek tanah
umumnya ditemukan di hutan hujan tropis seperti di Jawa Barat yaitu di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang dimanfaatkan sebagai hutan
konservasi (Yani et al., 2022). Jumlah anggrek di TNGGP diketahui sekitar 200
spesies (Harris, 1996). Namun, pada 2020 jumlahnya menjadi kurang dari 150
spesies yang didominasi oleh Liparis sp. dan Cryptostylis sp. (Prapitasari et al.,
2020). Penurunan disebabkan faktor alih fungsi habitat asli anggrek menjadi lahan
pertanian atau perkebunan dan perubahan kondisi lingkungan (Handini et al.,
2021; Suwadji et al., 2022).
Terbatasnya informasi mengenai potensi kapang endofit anggrek tanah
sebagai pemacu pertumbuhan dan biokontrol mendorong dilakukan penelitian ini.
3

Isolasi kapang endofit dilakukan dari akar beberapa anggrek tanah dengan
pengambilan kurang dari 20% populasi di Resor Cibodas dan Resor Situ Gunung
di Kawasan TNGGP. Potensi pemacu tumbuh diuji menggunakan bibit sawi putih
(Brassica pekinensis) yang bersifat sensitif sebagai indikator, kemudian diuji lebih
lanjut untuk mengevaluasi potensi penghambatannya terhadap P. capsici.
Anggrek akan dikonservasi kembali secara ek situ di Kebun Raya Bogor.
Informasi mengenai kapang endofit anggrek tanah sebagai pemacu tumbuh dan
penghambat patogen P. capsici diharapkan dapat menjadi informasi dan data
ilmiah awal untuk penelitian dan pengembangan lanjutan untuk pembuatan
biofertilizer dan biokontrol.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah kapang endofit dari akar anggrek tanah di TNGGP mampu memacu
pertumbuhan tanaman dan menghambat patogen P. capsici pada cabai
merah (C. annuum)?
2. Spesies kapang endofit apa dari akar anggrek tanah di TNGGP yang mampu
memacu pertumbuhan tanaman dan penghambat patogen P. capsici pada
cabai merah (C. annuum)?

1.3. Hipotesis Penelitian


1. Kapang endofit asal akar anggrek tanah di TNGGP mampu memacu
pertumbuhan tanaman dan menghambat patogen P. capsici pada cabai
merah (C. annuum).
2. Kapang endofit yang mampu memacu pertumbuhan dan menghambat
patogen P. capsici pada cabai merah berasal dari genus Colletotrichum sp.,
Penicilium sp., dan Trichoderma sp. (Bellini et al., 2020; Paul et al., 2012).

1.4. Tujuan Penelitian


1. Memperoleh isolat kapang endofit dari akar anggrek tanah di TNGGP yang
mampu memacu pertumbuhan tanaman dan menghambat patogen P. capsici
pada cabai merah (C. annuum).
4

2. Mengidentifikasi spesies kapang endofit dari akar anggrek tanah di TNGGP


yang mampu memacu pertumbuhan tanaman dan menghambat patogen P.
capsici pada cabai merah (C. annuum).

1.5. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan data mengenai
spesies kapang endofit dari akar anggrek tanah di TNGGP yang mampu memacu
pertumbuhan tanaman dan menghambat infeksi P. capsici sehingga dapat
digunakan sebagai acuan dan informasi awal untuk dikembangkan menjadi
biokontrol dan biofertilizer kemudian diaplikasikan di lapangan pada tanaman
yang terserang patogen.

1.6. Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir yang melandasi penelitian ini (Gambar 1):
Cabai merah merupakan komoditas pertanian dengan nilai ekonomi tinggi di
Indonesia dengan produksi yang berfluktuasi

Serangan hama dan penyakit seperti Phytophthora capsici menjadi hambatan


utama dalam produksi dan seringkali menyebabkan gagal panen

Dilakukan pengendalian patogen dengan bantuan agen hayati seperti kapang


endofit

Kapang endofit menghasilkan senyawa metabolit identik dengan inang karena


bersimbiosis dengan jaringan intraseluler tanaman

Anggrek tanah memiliki senyawa metabolit bermanfaat yang berperan dalam


meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman

Populasi anggrek tanah yang menurun menjadi faktor pendukung pentingnya


eksplorasi potensi anggrek tanah sebagai plasma nutfah

Isolasi kapang endofit dari anggrek tanah di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango

Kapang endofit potensial dengan kemampuan pemacu pertumbuhan dan


penghambat patogen Phytophthora capsici
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian kapang endofit akar tanaman anggrek
tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebagai pemacu
pertumbuhan tanaman dan penghambat Phytophthora capsici.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango


TNGGP merupakan rangkaian gunung berapi yang terdiri atas Gunung
Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Taman nasional ini
merupakan cagar biosfer yang dilindungi untuk kepentingan pendidikan dan
penelitian yang ditetapkan pada tahun 1977 oleh UNESCO (Yani et al., 2022).
Secara administratif, TNGGP termasuk dalam 3 wilayah yaitu Kabupaten Bogor,
Cianjur, dan Sukabumi (Alandana et al., 2015).
Akses menuju kawasan TNGGP (Taman Nasional gunung Gede Pangrango)
dibagi menjadi 6 kawasan yaitu Cibodas, Gunung Putri, Bodogol, Cisarua,
Selabintana dan Situ Gunung. Akses utama yang sering digunakan biasanya
adalah Cibodas, Selabintana dan Gunung Putri. Taman Nasional ini merupakan
perwakilan hujan hutan tropis di Jawa yang relatif masih utuh. Berdasarkan
ketinggiannya dapat dibedakan menjadi tiga tipe ekosistem, yaitu hutan
pegunungan bawah (sub montana), hutan pegunungan atas (montana) dan sub
alpin. Selain ketiga tipe ekosistem utama tersebut, ditemukan beberapa ekosistem
khas lainnya yang tidak dipengaruhi ketinggian tempat, yaitu rawa, kawah, alun-
alun, danau dan hutan tanaman (BBTNGGP, 2018).

2.2. Anggrek Tanah


Keberadaan dari anggrek telah tertuang dalam surah Ar-Rahman ayat 10-12
yang berbunyi:

Artinya: “Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya, di


dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang,
dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.” (Q.S. Ar-
Rahman [55]: 10-12).
6

Indonesia adalah negara dengan hutan tropis yang memiliki


keanekaragaman hayati yang tinggi baik flora maupun faunanya. Salah satu flora
dengan keanekaragaman yang tinggi adalah tanaman anggrek (Mardiyana et al.,
2019). Tanaman yang tergabung dalam suku Orchidaceae memiliki karakteristik
unik yang membuatnya memiliki stabilitas nilai ekonomis yang relatif tinggi
dibandingkan dengan kelompok tumbuhan lainnya. Keunikan tersebut mencakup
beragamnya bentuk bunga, warna bunga yang mencolok, dan durasi mekarnya
yang relatif lama (Putra et al., 2016).

Anggrek sebagai salah satu spesies tanaman hias telah menjadi sorotan bagi
pecinta tanaman hias, baik dari dalam maupun luar negeri (Jalur et al., 2015;
Shidiqy et al., 2018). Umumnya anggrek ditemukan di hutan hujan tropis seperti
salah satunya di TNGGP yang berada di Jawa Barat (Gambar 2). Resor Cibodas
dan Situ Gunung merupakan dua diantara 15 resor di TNGGP yang menjadi
tempat tumbuhnya beberapa populasi anggrek tanah. Resor Cibodas dan Situ
Gunung merupakan daerah dataran tinggi dengan ketinggian di atas 900 mdpl
(Hidayat et al., 2012). Kedua resor tersebut menjadi tempat tumbuhnya
keanekaragaman ekosistem hutan sehingga menjadikannya salah satu wilayah
konservasi flora (Mimin et al., 2020).

A B C

D E F

Gambar 2. Anggrek tanah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango


(TNGGP); (A) Corymborkis sp.; (B) Godyera sp.; (C) Liparis sp.; (D)
Godyera sp.; (E) Chrysoglossum ornatum; (F) Macodes petola
7

2.2.1. Syarat Tumbuh Anggrek Tanah


Anggrek tanah mampu beradaptasi dengan baik apabila suhu di lingkungan
stabil dan memadai. Anggrek tanah dapat ditemukan mulai dari dataran rendah
hingga dataran tinggi dengan suhu 5-10℃. Berbeda dengan anggrek budidaya
yang membutuhkan suhu 15-28℃. Anggrek tanah cenderung tahan terhadap suhu
panas dibandingkan dengan anggrek dalam pot. Namun, suhu yang terlalu tinggi
juga bepotensi mengakibatkan terjadinya kekurangan air (dehidrasi) hingga
pertumbuhan anggrek tidak dapat berjalan optimal (Widiastoety, 2014).

Walaupun Anggrek tanah lebih tahan panas dibandingkan anggrek epifit.


Namun bukan berarti semua jenis anggrek tanah toleran terhadap suhu tinggi
(Abakatiri, 2016). Anggrek epifit umumnya membutuhkan intensitas cahaya
matahari yang cukup rendah sekitar 25-50%. Sedangkan anggrek terestrial
membutuhkan intensitas cahaya dalam jumlah yang tinggi sekitar 60-75%.
Perbedaan kebutuhan antara anggrek terestrial dan anggrek epifit pada dasarnya
terletak di preferensi cahaya (Baiduri & Fitriani, 2019).

2.2.2. Morfologi Anggrek


Akar
Akar anggrek memiliki bentuk silindris, lunak, dapat patah dengan mudah,
dan berdaging. Ujung dari akar anggrek runcing dan licin. Warna akar anggrek
bergantung pada kondisinya. Pada kondisi basah, warnanya putih keperak-perakan
dan berwarna hijau keunguan pada ujungnya. Akar anggrek berfilamen yang
fungsinya adalah sebagai lapisan pelindung sistem saluran akar (Parnata, 2005;
Pratidina & Nengsih, 2018). Anggrek memiliki akar lekat (akar substrat) dan akar
udara. Akar lekat memiliki fungsi sebagai penahan tanaman. Akar lekat dapat
menjalar ke seluruh substrat tempatnya menempel, sehingga memperkuat
kedudukan tanaman. Akar udara memiliki fungsi untuk kelangsungan hidup
tanaman yaitu dengan menyerap air atau unsur hara (Andriyani, 2017).
Daun
Bentuk daun anggrek terdiri dari bermacam bentuk seperti agak bulat,
lonjong sampai lanset. Tebal daun beragam, dari tipis sampai berdaging dan kaku
8

dengan permukaan yang rata. Daun tidak bertangkai, sepenuhnya duduk pada
batang. Bagian tepi tidak bergerigi (rata) dengan ujung daun terbelah. Tulang
daun sejajar dengan tepi daun dan berakhir di ujung daun. Susunan daun
berselang-seling atau berhadapan (Parnata, 2005; Pratidina & Nengsih, 2018).

Batang
Batang anggrek memiliki bentuk yang beragam, mulai dari yang ramping
hingga gemuk. Batang anggrek dibedakan menurut pertumbuhannya menjadi dua
tipe, yaitu tipe monopodial dan tipe simpodial. Anggrek tipe monopodial memiliki
batang utama dengan pertumbuhan lurus ke atas pada satu batang tak terbatas,
bentuknya ramping dan tidak memiliki rhizoma maupun umbi semu. Anggrek
dengan batang bertipe simpodial seperti pada genus Dendrobium, Oncidium, dan
Caattleya pada genus Vanda, Aranthera dan Phalaenopsis. Anggrek tipe
simpodial adalah anggrek yang tidak memiliki batang utama, bunga keluar dari
ujung batang dan akan berbunga kembali pada pertumbuhan anakan atau tunas
baru (Parnata, 2005; Pratidina & Nengsih, 2018; Tjitrosoepomo, 2013).

Bunga
Bagian yang terpenting dari anggrek adalah karakter morfologi pada
bunganya. Bunga anggrek memiliki kelopak bunga yang khas yang terdiri dari
petal, sepal, sepal dorsal dan labelum. Untuk memperoleh jenis atau varietas baru
anggrek, dilakukan persilangan untuk memperoleh jenis anggrek yang baru
(Pangestu et al., 2014; Rahmadani & Purwantoro, 2020).

2.2.3. Jenis Anggrek Tanah (Terestrial)


Anggrek tanah merupakan anggrek yang tumbuh dipermukaan tanah.
Anggrek berdaun kecil membutuhkan cahaya matahari langsung atau penuh,
misalnya Arachnis sp. dan Vanda sp. Adapun anggrek yang berdaun lebar
menyukai sedikit naungan dengan cahaya matahari kurang lebih 70% (Pratidina &
Nengsih, 2018). Sekitar 25% dari semua spesies anggrek di Indonesia adalah
anggrek tanah (terestrial) yang tumbuh di hutan, padang rumput dan rawa-rawa.
Anggrek tanah hidup dengan posisi akar yang terbenam di dalam tanah seperti
halnya tumbuhan lain yang bukan anggrek. Akar anggrek tanah berbentuk rambut-
9

rambut akar yang panjang dan padat sehingga memungkinkan tanaman


mengambil air dan zat organik lainnya dari dalam tanah. Pertumbuhan anggrek
tanah dipengaruhi oleh kondisi tanah yang meliputi aerasi, pH, mineral dan air,
tekstur serta struktur tanah (Pratidina & Nengsih, 2018).
Beberapa genus anggrek yang merupakan anggrek tanah adalah (Sadili &
Siti, 2017) :
a. Spathoglottis sp.
Genus Spathoglottis berasal dari kata Yunani yaitu “spathe” yang berarti
“sendok atau spatula” seperti sendok untuk mengaduk dan mencampur atau
seperti batang daun palem yang merujuk pada “bentuk batang dan helaian” dari
daun genus ini. glottis yang berarti “lidah” yang mengacu pada lobus tengah yang
luas dari labellum (Teoh, 2016).
Karakteristik dari Spathoglottis ini adalah tidak memiliki daun pelindung
dan pada bagian tengah bibir bunga berbentuk (spathulate) sudip (Sulistiarini &
Djarwaningsih, 2016). Anggrek ini dikenal dengan sebutan anggrek yang rajin
berbunga, dan bunga muncul dari samping dan bermekar secara tidak bersamaan,
dalam satu tangkai terdapat 6-10 kuntum bunga. Genus ini juga tidak memiliki
umbi dalam tanah (Rahmawati et al., 2020). Anggrek ini biasanya ditemukan di
habitat yang cukup lembab, terutama di sekitar tepi sungai di mana kondisi
cahayanya tidak terlalu terang. Struktur tanaman ini memiliki batang semu
berbentuk bulat telur dengan pertumbuhan monopodial. Ukuran daun dapat
bervariasi, biasanya lebih besar jika tumbuh di daerah yang subur, dan lebih kecil
di lingkungan yang kurang subur (Broto & Pratama, 2015).

b. Arundina sp.
Arundina diambil dari kata “Arundo” yang berarti pembuluh atau seperti
bamboo. Karakteristik dari genus arundina adalah bentuk daunnya yang
menyerupai rumput dan batangnya menyerupai bambu. Karakteristik yang
membedakan Arundina sp. dengan rerumputan adalah batangnya, batang rumput
memiliki rongga sedangkan batang Arundina sp. cenderung solid (Lestari et al.,
2019).
10

c. Arachnis sp.
Genus Arachnis merupakan jenis anggrek yang Sifat hidupnya setengah
epifit dan mudah ditanam sebagai anggrek tanah. Batangnya tegak, keras, dan
memanjang. Ciri khas lainnya adalah banyak memiliki akar udara yang memanjat.
Anggrek jenis ini banyak dikenal dengan sebutan anggrek laba-laba atau
kalajengking karena bunga jenis anggrek ini memiliki bentuk seperti laba-laba
atau kalajengking (Rahmawati et al., 2020).

d. Macodes sp.
Karakteristik dari genus macodes ini adalah akarnya tebal berdaging dan
tumbuh dari rhizome. Daunnya bulat dan bagian uncungnya meruncing, pangkal
daun bulat dan permukaannya mengkilap. Memiliki batang semu majemuk
dengan pertumbuhan ujung batangnya yang terbatas. Batangnya bertumpu pada
rhizome kemudian dari rhizome akan tumbuh tunas anakan dan akar. Bunga
biasanya muncul dari pucuk batang (Novia, 2017).

2.3. Kapang Endofit


Definisi terbaru yang disampaikan oleh (Le Cocq et al., 2017) menyatakan
bahwa endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan internal tanaman
selama setidaknya sebagian dari siklus hidupnya dan tidak menyebabkan
kerusakan pada tanaman inang dalam kondisi apa pun. Mikroba yang saat ini
dianggap sebagai endofit tetapi dapat memiliki efek merugikan pada tanaman
inang kapan saja harus diubah peruntukannya.
Mikroba endofit sangat sinergis dengan inangnya dan mampu menghasilkan
senyawa-senyawa khusus, seperti metabolit sekunder. Kapang endofit dapat
menghasilkan senyawa aktif yang mirip dan mempunyai aktivitas biologi yang
sama dengan tanaman inangnya serta berfungsi melindungi inangnya dari
serangan hama dan penyakit. Salah satu jenis mikroba endofit yang banyak
dimanfaatkan adalah kapang endofit. Beberapa manfaat kapang endofit antara lain
sebagai antibiotik, antivirus, antikanker, antioksidan, antidiabetes, imunosupresan,
dan insektisida (Strobel & Daisy, 2003; Wahyono & Widyati, 2010).
11

Kemampuan kapang endofit dalam memproduksi senyawa kimia yang


bermanfaat bagi tanaman inangnya tidak lepas dari peranan mikroba lain yang
hidup di dalamnya. Mikroba tersebut merupakan bakteri yang hidup di dalam hifa
kapang endofit yang sifatnya tidak merugikan kapang endofit, dikenal dengan
sebutan bakteri endohifa (Vannini et al., 2016). Kapang endofit dapat
memproduksi mikotoksin serta metabolit lainnya yang mengakibatkan terjadinya
perubahan fisiologis dan biokimiawi terhadap sel tanaman inang yang berdampak
langsung terhadap terhambatnya perkembangan patogen tanaman. Tanaman yang
besimbiosis dengan kapang endofit mempunyai kemampuan ketahanan yang lebih
tinggi dibanding tanaman yang tidak bersimbiosis. Tanaman inang dapat resisten
terhadap patogen tanaman karena kapang endofit yang dapat menstimulasi respon
metabolik inang (Akamalasari et al., 2013; Sari, 2020).
Dalam penelitian Bamisile et al. (2018), dikatakan bahwa manfaat langsung
dari adanya interaksi antara kapang endofit dengan tanaman inang adalah
meningkatnya asupan nutrisi dan jumlah fitohormon pada tanaman, sehingga
secara langsung berkaitan dengan meningkatnya produksi biomassa,
berkembangnya sistem perakaran, tinggi tanaman, berat tanaman, dan hasil panen.
Berdasarkan manfaat tersebut, kapang endofit dapat disebut sebagai pupuk hayati.
Kapang endofit yang dapat memacu pertumbuhan biasanya berupa Dark Septate
Endophyte (DSE) atau kapang bersepta gelap. DSE mampu memacu pertumbuhan
tanaman karena mampu mendegradasi substrat organik kompleks di dalam tanah
(Deng et al., 2020). DSE yang mengkolonisasi tanaman membantu penyerapan
nutrisi seperti nitrogen, fosfor, kalium, besi, nikel, dan magnesium (Vergara et al.,
2017, 2018). DSE toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan baik tercemar
logam berat, kekeringan, dan salinitas tinggi (Gaber et al., 2020; Gehring et al.,
2020; Zhang et al., 2008).
2.3.1. Kapang Endofit dari Tanaman Anggrek
Leake, (1994) menyatakan bahwa lebih dari 100 spesies anggrek bergantung
pada kapang endofit sepanjang hidup mereka. Rhizoctonia zeae yang diisolasi dari
Vanda coerulea terbukti memainkan peran penting dalam meningkatkan
perkecambahan biji dan pertumbuhan bibit secara in vitro, serta meningkatkan
12

tingkat kelangsungan hidup selama aklimatisasi (Aggarwal et al., 2012).


Perkecambahan biji anggrek dan perkembangan protokorm juga tergantung pada
efek P. indica (Varma et al., 2013). Hal ini menunjukkan bahwa endofit sangat
penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dan penelitian lebih
lanjut tentang peran endofit dan koevolusinya (Rasmussen & Rasmussen, 2009).
Penelitian lainnya yang mengeksplorasi peran kapang endofit dari tanaman
anggrek dilakukan oleh Khaterine & Sri Kasiamdari, (2016) yang melakukan
isolasi kapang endofit dari akar anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis L.) dengan
kemampuan penghambatan terhadap patogen penyebab busuk pada tanaman
anggrek, diantaranya adalah Moniliopsis sp., Ceratorhiza sp. dan Sistotrema sp.
yang memiliki persentase penghambatan terhadap Fusarium oxysporum masing-
masing sebesar (71,80%), (67,70%), dan (54,87%).

2.4. Sawi Putih (Brassica pekinensis)


Sawi putih (B. pekinensis) atau yang dikenal sebagai kubis china,
merupakan sayuran hasil silangan yang termasuk dalam genus Brassica, yang
mencakup sayuran terkenal lainnya seperti brokoli, kembang kol, dan kangkung.
Sawi putih adalah sayuran serbaguna dan bergizi yang populer dalam masakan
Asia dan telah populer di belahan dunia lain (Eniko & Silviu, 2011). Sawi putih
termasuk dalam golongan sayuran yang pertumbuhannya paling cepat dari semua
sayuran berdaun, dalam kondisi yang baik. Bibit memiliki pertumbuhan yang
cepat sekitar empat hingga lima minggu setelah disemai, bagian pucuknya dapat
dipotong 10 minggu setelah disemai sedangkan tipe bonggol biasanya memiliki
waktu panen lebih cepat yaitu dua sampai tiga minggu (Eniko & Silviu, 2011).
2.4.1. Syarat Pertumbuhan
Sawi putih (B. pekinensis) adalah salah satu tanaman sayur yang sensitif
terhadap kondisi lingkungannya. Sawi dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan
yang sejuk dengan suhu sedang hingga dingin, dengan kisaran suhu optimum 15-
16°C. Sawi juga memebutuhkan kondisi tanah dengan suhu tertentu supaya dapat
tumbuh optimal. Tipe tanah yang paling baik untuk sawi putih adalah tanah yang
subur, liat hingga lempung berpasir, dan mengandung bahan organik. Jenis tanah
yang paling cocok untuk menanam sawi putih adalah andosol dan regosol
13

(Rukmana, 2007). Tanaman ini dapat tumbuh di bawah sinar matahari penuh
hingga teduh. Namun, suhu di atas 24℃ dapat menyebabkan tepi daun terbakar
sedangkan suhu dibawah 13℃ membuat sawi memasuki fase reproduktif terlalu
cepat. Sawi lebih menyukai tanah yang lembab namun tidak sampai tergenang air.
Sawi mampu mempertahankan kelembapan, dengan kisaran pH 6 hingga 7.
Penanaman di musim hujan perlu dibarengi dengan sistem drainase yang baik
untuk menghindari serangan hama. (Haryanto et al., 2007; Himawarni & Nuraini,
2022).

2.5. Cabai Merah (Capsicum annuum)


Keberadaan dari cabai merah sebagai tanaman berbiji dan kelompok
sayuran tercantum dalam surat Abasa (24-32) yang berbunyi:

Artinya: “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya,


Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit), kemudian Kami
belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu di sana Kami tumbuhkan biji-bijian, dan
anggur dan sayur-sayuran, dan zaitun dan pohon kurma, dan kebun-kebun (yang)
rindang, dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua itu) untuk kesenanganmu
dan untuk hewan-hewan ternakmu.” (Q.S. Abasa [80]: 24-32).

Cabai merah adalah salah satu tanaman rempah-rempah dan sayuran penting
yang dibudidayakan di seluruh dunia. Cabai adalah tanaman yang berasal dari
Amerika Selatan dan telah menyebar ke seluruh dunia sebagai tanaman budidaya
dan bahan pangan. Cabai memiliki tempat yang unik dalam menu makanan dunia
dalam bentuk kering yang sudah matang (sebagai bumbu) dan juga buah-buahan
hijau (sebagai sayuran). Tanaman cabai memiliki beragam jenis pertumbuhan
serta bentuk buah sehingga diperkirakan terdapat 20 spesies yang hidup di Negara
asalnya namun masyarakat umumnya mengenal beberapa jenis saja yang sering
14

ditemui dalam kehidupan sehari hari misalnya seperti cabai rawit, paprika, cabai
keriting dan cabai besar (Swastika et al., 2017).
Cabai merah (C. annuum) memiliki akar, batang, dan daun yang khas. Akar
cabai merah berbentuk serabut dan tumbuh ke dalam tanah untuk menyerap air
dan nutrisi. Batang cabai merah tegak dan bercabang-cabang, berbentuk silinder
dan dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 60-90 cm. Daun cabai
merah berbentuk oval dan memiliki ujung runcing. Daun ini tumbuh bergantian
pada batang dan memiliki panjang sekitar 5-15 cm. Bunga cabai berbentuk corong
dan tersusun dalam kelompok di ketiak daun (Aziziy et al., 2020; Sunarningtyas
& Sudiarso, 2022).
Umumnya tanaman cabai melalui dua fase selama pertumbuhan dan
perkembangannya, yaitu fase vegetatif dan fase generatif. Masa vegetatif berkisar
antara 0-40 hari setelah tanam (HST). Setelah tanam (HST), masa vegetatif
berkisar antara 0-40 hari setelah tanam (HST). Pada masa vegetatif, pertumbuhan
cenderung mengarah pada perkembangan batang dan akar, sedangkan fase
generatif berlangsung antara umur 40-50 hari setelah tanam sampai tanaman cabai
berhenti berbuah. Pada fase generatif cenderung digunakan untuk pembungaan,
perkembangan buah, dan pematangan buah (Wahyudi & Topan, 2011a).
Tanaman cabai merah dapat tumbuh dengan baik dengan kondisi tanah yang
memiliki drainase yang baik serta memiliki kisaran pH pada rentang 6,0 dan 7,0.
Cabai mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah seperti regosol (mampu menahan
air dengan baik), vertisol (mengembang dan menyusut karena perubahan
kelembapan) dan latosol (tanah dari batuan vulkanik yang mengalami pelapukan).
Cabai adalah salah satu tanaman yang memiliki daya adaptasi luas, sehingga dapat
ditanam pada beragam lahan seperti sawah, tegalan, dataran rendah, maupun
dataran tinggi (hingga ketinggian 1.300 mdpl). Namun cabai merah biasanya
tumbuh optimum di dataran rendah dengan ketinggian 800 mdpl dengan suhu
berkisar 20-25℃. Cabai merah dapat tumbuh pada ketinggian 1.300 mdpl namun
pertumbuhan kurang optimum karena produktivitasnya yang rendah (Paiman et
al., 2022; Widiyono & Hidayati, 2005).
15

Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman yang dengan mudah dapat
terpengaruh oleh cekaman biotik dan abiotik. Cekaman biotik mengacu pada
organisme hidup yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, seperti hama
dan penyakit yang disebabkan oleh kapang, bakteri, virus, nematoda, sedangkan
cekaman abiotik mengacu pada faktor tak hidup, seperti suhu ekstrem,
kekeringan, dan salinitas. Tanaman ini dapat dipengaruhi oleh berbagai stres
abiotik, termasuk stres panas, stres dingin, kerusakan akibat garam, kekeringan,
dan cekaman karbohidrat (Pang et al., 2023; Zhai et al., 2016).
Ketika kondisi lahan sedang kering selama penanaman, sangat dianjurkan
untuk melakukan penyiraman secara rutin misalnya dua kali dalam sehari selama
musim kemarau untuk menghindari kekeringan. Jika musim hujan datang,
intensitas penyiraman dapat dikurangi menjadi sehari sekali (Wahyudi & Topan,
2011b).

2.6. Penyakit Busuk Tanaman Cabai akibat Phytophthora capsici


P. capsici merupakan kapang patogen yang mampu menimbulkan kerusakan
parah pada hampir semua bagian tanaman cabai sehingga sering disebut sebagai
plant destroyer of capsicums (perusak cabai-cabaian) (Gambar 3). Kapang
patogen ini disebut juga sebagai penyebab dari penyakit busuk pangkal batang.
Penyakit busuk pangkal batang pertama kali dilaporkan terjadi di Sekampung
(Kampong Pempen), Lampung tahun 1885, dikenal dengan sebutan “Voetrot”
(Manohara et al., 2005).

A B CC

Gambar 3. Karakteristik makroskopis dan mikroskopis cabai merah; (A) terinfeksi


phytophthora capsici; (B) makroskopis koloni Phytophthora capsici;
(C) mikroskopis koloni P. capsici pada perbesaran 1000x (sumber
Dokumen Pribadi, 2023).
16

Penyakit BPB menimbulkan kerugian besar karena akibat yang


ditimbulkannya yaitu merusak tanaman mulai dari masa pembibitan, tanaman
muda sampai tanaman yang telah berbuah (Ginting & Maryono, 2012). P. capsici
tidak hanya menyerang tanaman cabai namun juga tanaman lain dari keluarga
Solaneceae seperti terong dan tomat dan dari keluarga Curcubitaceae seperti
melon, mentimun dan semangka. P. capsici bersifat patogenik terhadap 25
genotipe cabai, lima genotipe dengan intensitas penyakit tertinggi diantaranya
adalah Taro F1, Hot Pepper Tornado, F1 Hybrid Chilli, Bintoro, dan Marconi hot
dengan persentase serangan 70−92 % (Syamsudin, 2010).
Infeksi yang ditimbulkan oleh P. capsici ini masih sulit untuk dikendalikan
karena perkembangannya yang sangat cepat dari awal tanaman terinfeksi jarang
terdeteksi sehingga dalam waktu singkat tanaman dapat layu dan mati (Syahnen et
al., 2011). Faktor lain yang menyebabkan sulitnya pengendalian adalah belum
tersedianya varietas yang resisten, metode pengendalian masih terbatas, dan
patogen bersifat terbawa benih dan tular tanah (Ibrahim et al., 2014).
Beberapa cara pengendalian telah dilakukan dengan cara kimiawi dan
pengendalian hayati. Namun, untuk menekan efek samping dari penggunaan
bahan bahan kimia, maka dilakukan pengendalian hayati dengan memanfaatkan
kapang endofit. Kapang memiliki sifat antagonistik dan mampu meningkatkan
resistensi tanaman terhadap penyakit dengan menghasilkan alkaloid dan
mikotoksin (Sudantha & Abadi, 2007). Patogen P. capsici ini menimbulkan
kerugian yang besar karena penyakit ini dapat merusak tanaman mulai dari masa
pembibitan, tanaman muda sampai tanaman yang telah berbuah (Ginting &
Maryono, 2012).

2.6.1. Gejala Infeksi


P. capsici menyerang seluruh bagian tubuh tumbuhan yaitu akar, batang dan
daun. Gejala infeksi yang ditunjukkan pada daun yang terkena patogen ini adalah
munculnya bercak daun di bagian tengah, atau tepi daun. Bercak berwarna hitam
dengan tepi bergerigi seperti rendah yang akan nampak jelas apabila daun
diarahkan ke cahaya. Gejala khas tersebut hanya nampak pada bercak yang belum
lanjut dan terjadi pada keadaan lembab (Manohara et al., 2005). Walaupun daun-
17

daun tetap berwarna hijau, tanaman terserang menjadi layu dan mati. Daun-daun
yang layu tetap tergantung sampai menjadi kering, kemudian gugur. Pangkal
batang yang terserang berwarna hitam, pada keadaan lembab akan mengeluarkan
lendir berwarna biru muda. Serangan infeksi pada akar akibat P. capsici
mengakibatkan tanaman layu perlahan-lahan, selanjutnya warna daun akan
berubah menjadi kuning dan gugur secara bertahap (Wibawanti & Setyaningsih,
2019).
Infeksi P. capsici pada akar dan batang menyebabkan tanaman layu yang
diikuti kematian secara cepat dengan intensitas serangan berkisar 55,56%-61,20%
(Asniah & T, 2012). Tanaman yang mudah terinfeksi penyakit busuk pangkal
batang menyebabkan matinya tanaman pada hari kesepuluh setelah inokulasi,
sedangkan pada tanaman yang tahan menyebabkan rusaknya akar dengan adanya
luka berwarna kecokelatana dibagian akar sekunder pada waktu yang sama.
Menurut (Hausbeck et al., 2014) infeksi kapang P. capsici pada tanaman cabai
dapat terjadi sebelum gejala penyakit pada tanaman muncul. Patogen tersebut
dapat meyerang akar maupun tajuk tanaman dengan gejala seperti luka busuk
menyebabkan batang menunjukkan bercak membentuk korset, selanjutnya
tanaman layu dan mati (Manohara et al., 1990).
Menurut (Manohara & M, 1986), infeksi pada daun terjadi 4 - 6 jam setelah
diinokulasi dengan zoospora dan menimbulkan gejala berupa titik hitam setelah
18 – 20 jam diinokulasi. Kebun lada yang disiang bersih akan mengalami
kerusakan lebih parah (50 – 80% diserang BPB) dibandingkan kebun yang disiang
terbatas. Penyakit ini dapat menyerang tanaman dari pembibitan sampai tanaman
tua. Pada tanaman rentan, P. capsici menyebabkan kematian pada hari kesepuluh
setelah inokulasi, sedangkan pada tanaman tahan menyebabkan timbulnya luka
kecokelatan di bagian akar sekunder pada waktu yang sama (Dunn & Smart,
2011). Infeksi P. capsici sulit dikendalikan, karena perkembangan awal dari
penyakit ini sulit dideteksi dan penyakit cepat menyebar saat kondisi lingkungan
mendukung (Ramdan et al., 2018).
18

2.6.2. Penyebaran Patogen


Penyebaran patogen P. capsici melibatkan beberapa mekanisme yang
berdampak signifikan pada penularannya di lingkungan pertanian. Salah satu jalur
penyebaran utama terjadi melalui air, yang dapat terjadi baik melalui aliran air
seperti pada sistem irigasi maupun permukaan tanah. Melalui percikan air,
penyebaran disebabkan oleh hujan atau penyemprotan. Keberadaan air menjadi
medium yang mendukung pergerakan spora dan inokulum patogen ke area
tanaman inang (Ramdan et al., 2017).
Sumber inokulum juga dapat berasal dari tanah dan sisa tanaman yang
terinfeksi. Patogen P. capsici memiliki kemampuan untuk bertahan dalam tanah
tanpa tanaman inang selama periode yang cukup lama, dan sisa-sisa tanaman sakit
yang mengandung miselia juga dapat menjadi sumber inokulum yang signifikan.
Kehadiran inokulum ini dapat menjadi ancaman yang berkelanjutan untuk
pertanaman di musim-musim berikutnya (Santos et al., 2023).
Kondisi cuaca juga memainkan peran penting dalam penyebaran P. capsici.
Patogen ini cenderung tumbuh optimal pada kondisi cuaca lembap dan hangat.
Faktor ini mendukung produksi spora yang melimpah, yang pada gilirannya
memfasilitasi penyebaran cepat di sekitar lahan tanaman inang. Kelembapan yang
tinggi memungkinkan spora untuk berkembang biak dan menyebar dengan
efisien. Fluktuasi intensitas penyakit P. capsici berkaitan erat dengan fluktuasi
intensitas hujan. Faktor ini memengaruhi sejauh mana spora dapat menyebar dan,
akhirnya, memengaruhi tingkat keparahan penyakit pada tanaman inang (Ramdan
et al., 2017). Praktik pertanian yang tidak tepat, seperti penanaman tanaman inang
secara terus menerus, juga dapat memberikan kontribusi terhadap penyebaran dan
ketahanan patogen ini. Ketidakberagaman tanaman dapat menciptakan lingkungan
yang lebih stabil bagi P. capsici untuk bertahan dan berkembang (Wahyuno,
2009).
2.7. Pengendalian Phytophthora capsici dengan Kapang Endofit
Penelitian yang dilakukan oleh Ramdan et al. (2017) telah mengevaluasi
efektivitas agen hayati berupa kapang dalam mengendalikan patogen tanaman P.
capsici dalam lingkungan in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
19

Penicillium sp. mampu menghambat pertumbuhan P. capsici melalui mekanisme


antibiosis, yang terbukti dengan adanya zona hambat sebesar 4.5–4.8 mm.
Namun, efikasi kapang endofit dalam menekan penyakit busuk pangkal batang
masih tergolong rendah, dengan kisaran 13.7–35.5%.
Muliani et al. (2019) juga menemukan bahwa perlakuan dengan kombinasi
kapang endofit dan Trichoderma spp. menunjukkan penghambatan paling efektif
terhadap Phytophthora sp. yang menyerang tanaman lada. Persentase tanaman
yang mati pada perlakuan kombinasi lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil
tersebut mengindikasikan bahwa aplikasi kombinasi kapang endofit dan
Trichoderma spp. memiliki efek positif dalam meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap serangan patogen Phytophthora sp. Mekanisme pertahanan yang
melibatkan sifat antagonistik dan produksi senyawa bioaktif oleh kedua agens
hayati ini berpeluang besar dapat secara efektif menghambat perkembangan
patogen (Muliani et al., 2019).
20

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga November 2023 di
Laboratorium Indonesian Culture Collection (InaCC), Genomik Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN) Cibinong dan Rumah Kaca Cikeumuh Bogor, Jawa
Barat.

3.2. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah botol selai, cawan petri,
tabung ulir, gelas ukur, scalpel, microwave, magnetic stirrer, hotplate, vortex,
centrifuge, spin down, oven, kulkas, labu erlenmeyer, gelas beaker, mikroskop
cahaya olympus CX 22, computer, timbangan analitik, autoklaf (Hirayama HVE-
50), ESCO SVE Vertical Laminar Air Flow (LAFC), spektrofotometer nanodrop,
Thermalcycler, orbital shaker, Gel doc, pinset, spatula, syringe, object glass dan
cover glass, mortar dan pestle,pot, tray semai, pisau, kamera ponsel, buku serta
alat tulis.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel akar dari anggrek
tanah yang diambil dari Resor Cibodas (GG) dan Resor Situ Gunung (SIG) di
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), benih sawi putih
F1 Hibrida Siola merek benih pertiwi, benih cabai merah varitas tanjung 2 merek
kereta kencana dari UPBS Balitsa, spirtus, kapas sumbat, sedotan plastik steril,
tusuk gigi, tusuk sate, filter paper, aluminium foil, karet, akuades, mikropipet,
microtube 0,2 mL. alkohol 70%, etanol 80%, NaOCl 1%, tween20 0,005%,
chloramphenicol, buffer TE, buffer TAE, Plant Genomic DNA Mini Kit Geneaid
(GP1 buffer, GPX1 Buffer, GP2 Buffer, GP3 Buffer, W1 Buffer, Wash Buffer,
Elution Buffer, RNAse, filter Column, GD Column, 2 mL Collection tube),
nuclease free water, go tag green master mix, loading dye, gel agarose kentang,
agar powder, media Oat Meal Agar (OMA), media Corn Meal Agar (CMA),
NaNO3, MgSO4.7H2O, KH2PO4, d-glucose, dedak, arang sekam, tanah.
21

3.3. Rancangan Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksplorasi
kapang endofit dari akar tanaman anggrek tanah dan metode eksperimental
pengujian kapang endofit dengan potensi pemacu tumbuh serta penghambat
pertumbuhan P. capsici pada cabai merah. Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan membandingkan
perlakuan kontrol dengan perlakuan jenis kapang endofit sebanyak 3 kali
pengulangan.
Tahapan dalam penelitian ini adalah isolasi kapang endofit dari akar
anggrek tanah asal Resor Situ Gunung dan Resor Cibodas. Kapang endofit hasil
isolasi di uji secara in vitro dan in vivo untuk melihat potensinya dalam memacu
pertumbuhan tanaman dan penghambatannya terhadap patogen P. capsici pada
tanaman cabai merah (C. annuum). Pengujian dilakukan dengan 3 kali
pengulangan. Setiap pengulangan dilengkapi dengan 1 kontrol. Identifikasi
dilakukan setelah didapatkan isolat kapang endofit dengan kemampuan pemacu
tumbuh dan penghambat P. capsici. Identifikasi molekuler meliputi tahapan
isolasi dan ekstraksi DNA, amplifikasi DNA dengan PCR, elektroforesis DNA
dan sekuensing. Identifikasi makroskopis dan mikroskopis dilakukan dengan
mengamati karakteristik morfologi meliputi warna permukaan dan dasar, tekstur,
tepi dan bentuk koloni.

3.4. Cara Kerja


3.4.1. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel tanaman anggrek tanah yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan oleh Tim Penelitian Eksplorasi dan Ekspedisi BRIN 2022
bersama staff resor dari TNGGP dan tenaga harian pendamping yang bertugas di
lokasi ekspedisi (Lampiran 2). Sampel diambil dari dua resor yaitu Resor Cibodas
dan Resor Situ Gunung, keduanya berlokasi di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP) Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Koleksi anggrek tanah dilakukan dengan memperhatikan jumlah populasi di
alam, anggrek dengan populasi cukup banyak dapat diambil lebih dari satu sampel
22

per populasi, sementara anggrek dengan populasi terbatas diambil tidak lebih dari
20% populasi. Identifikasi spesies anggrek yang ditemukan mengacu pada
publikasi (Sadili & Mahyar, 2003). Spesies yang tidak ditemukan pada publikasi
tersebut, diidentifikasi menggunakan acuan dari (Comber, 1990, 2001; O’Byrne,
2001, 2011; Seidenfaden & Wood, 1992). Akar yang dikoleksi dimasukkan
kedalam plastik kemudian diberi label. Tanaman yang telah diidentifikasi diberi
label dan didokumentasi. Lokasi sampel diidentifikasi dengan GPS dan pita
penanda (Lampiran 1). Hasil koleksi kemudian dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan isolasi terhadap kapang endofitnya (Tabel 1). Anggrek yang dikoleksi
kemudian akan diserahkan kembali ke Kebun Raya untuk dikonservasi kembali
secara ek situ.

Tabel 1. Spesies anggrek tanah dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP)
Resor
No. Cibodas No. Situ Gunung
1 Corymborkis sp. 1. Taenia sp.
2 Godyera 1 sp. 2. Chrysoglossum sp.
3 Diglyphosa sp. 3. Phaius sp.
4 Macodes petola 4. Appendicula sp.
5 Malaxis sp. 5. Appendicula sp.
6 Liparis sp. 6. Godyera sp.
7 Godyera 2 sp. 7. Godyera sp.
8 Godyera 3 sp. 8. Godyera sp.
9 Godyera reticulata 9. Phaius calosus
Chrysoglossum
10
ornatum
11 Stereosandra sp.
12 Spiranthes sp.
13 Cymbidium ensifolium

3.4.2. Pembuatan Media


Pembuatan Media Corn Meal Agar
Media corn meal agar (CMA) dibuat dengan melarutkan 8,5 g bubuk corn
meal agar dan 0,5 g chloramphenicol dalam 1000 mL akuades menggunakan
erlenmeyer berukuran 1000 mL. Campuran dihomogenkan magnetic stirrer
hingga tercampur merata kemudian ditambahkan 25 g agar. Selanjutnya mulut
erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kapas sumbat dan aluminium foil
23

kemudian disterilisasi dalam autoklaf dengan suhu 121℃ selama 15 menit dengan
tekanan 1 atm. Media CMA steril kemudian di tuang ke dalam cawan petri untuk
keperluan inkubasi dan pemurnian kapang endofit. Tujuan penggunaan CMA
adalah media ini memungkinkan pertumbuhan kapang yang lebih lambat daripada
PDA. Hal ini penting karena beberapa kapang endofit cenderung tumbuh lebih
lambat daripada kapang umum yang biasa diisolasi. CMA memberikan
keuntungan bagi kapang endofit untuk tumbuh dan berkembang tanpa bersaing
secara agresif dengan kapang lain yang mungkin hadir. CMA dapat lebih baik
meniru lingkungan inang kapang endofit sehingga pertumbuhan lebih optimal
(Buatong, 2010).

Pembuatan Media Oat Meal Agar


Media oat meal agar dibuat dengan melarutkan 72,5 g bubuk oat meal agar,
1 g MgSO4, 1,5 g KH2PO4, 1 g NaNO3 dan 5 g agar dalam 1000 mL akuades.
Media dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer diatas hotplate
untuk memudahkan bahan tercampur dengan merata. Media yang telah homogen
dimasukkan ke dalam botol selai, masing-masing 40 mL dengan bantuan syringe
kemudian ditutup dengan tutup botol dan disterilisasi menggunakan autoklaf
dengan suhu 121℃ selama 15 menit pada tekanan 1 atm. Media oat meal agar ini
digunakan untuk inkubasi kapang endofit pada pengujian in vivo.

Pembuatan Media Water Agar


Media water agar dibuat dengan melarutkan 7,5 g agar powder dalam 500
mL akuades di erlenmeyer berukuran 1000 mL. Kemudian erlenmeyer ditutup
menggunakan kapas sumbat dan aluminium foil dan diikat dengan karet lalu
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 selama 15 menit dengan tekanan 1
atm. Water agar steril dituang ke cawan petri steril untuk perkecambahan sawi.

Pembuatan Media Potato Dextrose Broth (PDB)


Media PDB dibuat dengan menggunakan ekstrak kentang, akuades, glukosa
dan chloramphenicol. Ekstrak kentang dibuat dengan memotong 200 g kentang
yang sudah dicuci bersih dan dikupas menjadi potongan tipis lalu direbus selama
10 menit dalam 400 mL air menggunakan microwave. Ekstrak kentang disaring
24

lalu ditambahkan dengan 2,5 g chloramphenicol, 20 g glukosa dan ditambahkan


akuades dengan volume akhir sebanyak 1000 mL. Media dihomogenkan dengan
bantuan magnetic stirrer kemudian dimasukkan ke dalam tabung ulir
menggunakan syringe masing-masing 10 mL. Media disterilisasi dengan
menggunakan autoklaf dalam suhu 121℃ selama 15 menit pada tekanan 1 atm.

3.4.3. Isolasi dan Pemurnian Kapang Endofit


Sterilisasi sampel akar dilakukan sebelum isolasi kapang endofit mengikuti
prosedur Narisawa et al. (2002). Akar anggrek tanah dicuci bersih dibawah air
mengalir, selanjutnya dicuci 3 kali dengan tween20 0,005% selama 3 menit, akar
dibilas 1 kali dengan NaOCl 1% selama 3 menit, dan terakhir dibilas 3 kali
dengan akuades steril. Sampel akar kemudian dikeringkan anginkan di cawan
petri yang dilapisi filter paper steril kemudian dipotong menjadi potongan kecil
seukuran 1 – 2 cm menggunakan scalpel steril.
Isolasi kapang endofit dilakukan dengan meletakkan potongan akar yang
sudah steril dalam cawan petri berisi media CMA yang sudah terbagi menjadi 4
segmen. Setiap segmen diisi dengan dua potongan akar sehingga dalam 1 cawan
terdapat 8 potongan akar. Pengulangan dibuat sebanyak 3 kali terhadap setiap
kode. Cawan petri berisi sampel akar kemudian ditutup rapat dan diinkubasi
selama ± 7 hari dalam suhu ruang (Gambar 4).

A B

Gambar 4. Skema isolasi kapang endofit pada media CMA; (A) 4 segmen cawan
petri berisi masing masing 2 potong akar steril; (B) koloni kapang
endofit setelah inkubasi ±7 hari; (C) pemurnian kapang endofit.
25

Kapang endofit yang telah tumbuh kemudian dimurnikan untuk


memisahkan koloni endofit dengan morfologi berbeda (Jamilatun & Shufiyani,
2019). Pemurnian kapang endofit dilakukan dengan metode Hypal tips. Kapang
yang tumbuh ditepi akar, diambil dengan menggunakan tusuk gigi steril kemudian
dipindahkan ke cawan berisi media CMA baru untuk memperoleh isolat murni.
Cawan ditutup dengan rapat dan diinkubasi selama ± 7 hari dalam suhu ruang.
Pengamatan dilakukan kembali setelah masa inkubasi dan apabila masih
ditemukan koloni berbeda secara makroskopik maka dapat dipisahkan kembali
hingga diperoleh koloni murni (Jamilatun & Shufiyani, 2019). Kapang endofit
yang telah murni selanjutnya di kelompokkan berdasarakan karakter
makroskopisnya meliputi warna koloni bagian atas, bawah, tekstur dan tepi koloni
kemudian diambil 1 koloni sebagai perwakilan (Devi et al., 2021).

3.4.4. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen secara In
Vitro
Skrining kapang endofit dilakukan untuk menyeleksi kapang endofit dengan
potensi pemacu tumbuh terhadap tanaman indikator yaitu sawi putih (B.
pekinensis). Kapang endofit murni yang akan diuji dan diinokulasikan ke media
OMA dalam botol kaca. Setiap kode kapang dibuat 3 kali pengulangan (triplo)
dan diinkubasi selama ± 5 hari (Gambar 5).

B C
A

Gambar 5. Skema inokulasi kapang endofit untuk pengujian in vitro; (A) koloni
murni kapang endofit; (B) inokulasi kapang endofit murni pada media
OMA; (C) koloni kapang endofit pada inkubasi 5 hari.
26

Perkecambahan Benih Sawi pada Media Water Agar


Perkecambahan benih sawi dilakukan pada hari ke 2 inkubasi kapang
endofit. Benih sawi yang akan dikecambahkan, disterilisasi dengan merendam
benih dalam etanol 70% selama 1 menit sebanyak 1 kali, NaOCl 1% selama 5
menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Benih diletakkan di filter
paper steril untuk dikeringkan kemudian ditanam di water agar sebanyak ± 20
benih pada setiap cawan. Benih diinkubasi selama 3 hari atau hingga terlihat akar
dan daunnya tumbuh.

Inokulasi Bibit Sawi ke koloni Kapang Endofit


Proses inokulasi bibit sawi pada isolat kapang endofit dilakukan pada hari
ke-5 inkubasi. Bibit sawi berumur 3 hari dipindahkan ke dalam botol selai,
masing-masing berisi kapang endofit dengan 3 bibit. Pengulangan dilakukan
sebanyak 3 kali untuk setiap jenis kode kapang endofit. Kontrol dibuat dari bibit
sawi yang diinokulasikan dalam botol berisi media OMA tanpa kapang endofit.
Setiap pengulangan dilengkapi dengan 1 kontrol sehingga total terdapat 3 kontrol
(Gambar 6). Botol ditutup dan ditempatkan di rak kultur dengan suhu ruangan
berkisar antara 16 - 18℃. Penerangan rak kultur diatur selama 18 jam gelap dan 6
jam terang. Proses ini berlangsung selama 14 hari, selama periode ini
pertumbuhan sawi diamati untuk menentukan apakah kapang endofit mampu
memacu pertumbuhan sawi atau justru menghambat dan membuatnya mati.

Gambar 6. Skema inokulasi bibit sawi ke media berisi kapang endofit; (A) bibit
sawi berumur 3 hari; (B) dilihat pengaruh kapang endofit terhadap
sawi; (C) perlakuan kontrol yang digunakan sebagai pembanding.
27

Penimbangan Berat Sawi


Setelah pengamatan selesai, dilakukan penimbangan berat. Sawi
dikeluarkan dari botol kemudian dibersihkan sisa-sisa kapang dan media yang
menempel pada tanaman kemudian ditimbang berat basah nya dengan timbangan
analitik untuk mengetahui berat basahnya. Sawi dimasukkan kedalam amplop
kertas dan dipanaskan dalam oven selama 3 hari pada suhu 60℃ untuk
mengetahui berat keringnya. Data dicatat pada lembar pengamatan dengan
mencatat kode isolat dan berat basah serta berat keringnya. Berat tanaman sawi
yang diinokulasikan ke kapang endofit dibandingkan dengan sawi kontrol. Jika
berat kering sawi dengan perlakuan kapang endofit lebih berat dibandingkan
kontrol dan tidak ada tanda tumbuhnya patogen pada sawi, maka kapang endofit
tersebut diindikasikan memiliki kemampuan pemacu tumbuh.

3.4.5. Skrining Kapang Endofit Penghambat Phytophthora capsici pada


Cabai Merah secara In Vivo
Kapang endofit potensial dari hasil seleksi pemacu tumbuh selanjutnya di
evaluasi lebih lanjut terhadap kemampuannya dalam menghambat patogen P.
capsici pada tanaman cabai merah secara in vivo. Tanaman yang telah
diaplikasikan kapang endofit akan dibandingkan dengan tanaman kontrol yang
tidak menerima perlakuan kapang. Melalui tahap ini, dapat diketahui apakah
kapang endofit mampu memberikan perlindungan terhadap serangan patogen pada
tanaman cabai merah dengan mengevaluasi perbedaan nyata antara tanaman yang
mendapat perlakuan dan tanaman kontrol melalui pengamatan parameter berat,
skoring insidensi dan keparahan penyakit.

Penyemaian Benih Cabai


Benih disemai dalam tray semai 50 lubang dalam media arang sekam yang
diberi pupuk nutrisi AB Mix selama 21 hari. Penyemaian dilakukan dengan
melubangi media tanam dalam tray. Setiap lubang diisi dengan 2 benih lalu di
tutup kembali dan dilakukan penyiraman rutin selama masa semai.
28

Preparasi Media Tanam dan Inokulasi Kapang Endofit


Media tanam cabai merah (Capsicum annuum) yang akan digunakan untuk
skrining merupakan campuran dari sekam bakar, dedak, dan kompos dengan
perbandingan 1:2:7 yang dicampurkan dalam satu wadah besar kemudian di
timbang sebanyak 500 g dan dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Media
tanam di sterilisasi sebanyak 2 kali secara bertahap pada hari yang berbeda (1
kali/hari) dengan suhu 121℃ dengan tekanan 1 atm. Isolat kapang endofit
potensial dicampurkan dengan 6 mL akuades dan diambil dengan bantuan tusuk
sate steril. Permukaan cawan berisi kapang dikorek hingga bersih dan digerus
dengan penambahan 44 mL akuades hingga halus dengan volume akhir 60 mL.
Hasil gerusan dicampurkan dalam media tanam yang sebelumnya sudah disteril
dan diinkubasi selama 1 hari untuk menunggu tumbuhnya kapang dalam media
tanam.
Media pertumbuhan cabai ditimbang dalam pot berukuran 8 cm x 7 cm x
5,5 cm berisi media arang sekam dan tanah dengan perbandingan 1:1 sebanyak
100 g/pot. Media berisi inokulan ditambahkan pada media pertumbuhan sebanyak
10 g pada masing-masing pot dengan berat akhir 110 g, terdapat 3 pengulangan
masing-masing terdiri dari 4 pot. Bibit cabai merah kemudian dipindahkan ke
media tanam dalam pot, setiap pot berisi 2 bibit.

Inokulasi Patogen Phytophthora capsici


Inokulasi patogen P. capsici ke tanaman cabai merah dilakukan setelah
cabai merah berumur 33 HST. Suspensi patogen P. capsici ditumbukan dalam
media CMA dan dilarutkan dengan akuades 2 mL setiap cawan. Suspensi diambil
sebanyak 5 mL untuk menginjeksi permukaan media tanam dengan zoospora
patogen P. capsici menggunakan macropipette. Pengamatan perkembangan
penyakit terhadap tanaman dilakukan setiap 3 hari dan dilanjutkan hingga lebih
dari 80% tanaman kontrol mati.
Parameter yang diamati adalah insidensi penyakit dan keparahan penyakit
berdasarkan skoring, tinggi tanaman, panjang akar, berat basah, dan berat kering
tajuk serta akar bibit tanaman cabai merah dengan menimbang atau mengukur
masing-masing parameter. Klasifikasi skor penyakit meliputi 0 = sehat; 1 = daun
29

mulai menguning; 2 = sedikit nekrosis; 3 = nekrosis sedang di batang dan


tanaman terlihat layu; 4 = nekrosis berat dan tanaman terlihat jelas layu; 5 =
tanaman mati. Kemampuan kapang endofit untuk memproteksi tanaman dari
patogen diketahui dengan menguji tanaman yang diinokulasi dengan patogen
target (Sapak, 2006; Tumangger et al., 2018).

Insidensi Penyakit (IP) ditentukan berdasarkan perhitungan:


𝑎
IP = 𝑏 x 100%

IP = Insidensi penyakit
a = tanaman yang terserang (jumlah)
b = tanaman yang diamati (jumlah)

Tingkat keparahan penyakit (KP) ditentukan berdasarkan perhitungan:


𝑛𝑖.𝑣𝑖
KP = ∑ x 100%
𝑁.𝑉

KP = Keparahan penyakit
ni = tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi = nilai skor ke-i
N = jumlah tanaman diamati
V = nilai skor tertinggi

3.4.6. Identifikasi Molekuler Kapang Endofit Pemacu Tumbuh


Proses identifikasi molekuler kapang endofit dilakukan dengan beberapa
tahapan, diantaranya:
Isolasi dan Ekstraksi DNA
Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan DNA Kit Plant Genomic DNA
Mini Kit Geneaid menyesuaikan dengan instruksi yang ada pada kit. Isolat kapang
endofit potensial ditumbuhkan dalam media PDB kemudian dilakukan
pengocokan menggunakan orbital shaker selama 7 hari di suhu ruang pada 100
rpm. Miselia yang bebas pada media dimasukkan ke plastik steril kemudian di
gerus hingga halus menggunakan pestle. Miselia dipindahkan ke microtube
ukuran 1,5 mL kemudian ditambahkan dengan 400 µL GP1 Buffer dan 5 µL
RNAse kemudian homogenkan menggunakan vortex. Elution Buffer di inkubasi
pada suhu 60 selama 10 menit pada tahapan ini dan tube dibalik setiap 5 menit
selama pemanasan. 100 µL Buffer GP2 ditambahkan kedalam tube lalu
30

dihomogenkan dan diinkubasi dalam es selama 3 menit. Filter kolom diletakkan


dalam collection tube berukuran 2 mL kemudian larutan hasil pencampuran
dipindahkan kedalam filter kolom, sentrifugasi selama 1 menit pada 1000 x g dan
supernatant dipindahkan ke tube berukuran 1,5 mL.
GP3 Buffer ditambahkan sebanyak 700 µL dan langsung diaduk dengan
menggunakan vortex selama 5 detik, jika muncul endapan, dipecahkan sebanyak
mungkin dengan pipet. Campuran 700 µL dipindahkan ke GD Column yang sudah
dipasangkan pada 2 mL collection tube dan sentrifugasi pada 15.000 x g selama 2
menit. Buang supernatant dan pindahkan GD column ke 2 mL collection tube lain
kemudian sentrifugsi lagi pada 15.000 x g selama 2 menit. Buang kembali
supernatant dan pasangkan GD column pada collection tube baru berukuran 2 mL.
W1 Buffer sebanyak 400 µL ditambahkan ke GD column, tip diposisikan
tegak lurus dengan column dan dipastikan mengenai campuran dan sentrifugasi
pada 15.000 x g selama 30 detik. Supernatan dibuang dan pasangka GD column
pada collection tube baru dan ditambahkan 600 µL wash buffer, sentrifugasi pada
15.000 x g selama 30 detik. Buang supernatant dan letakkan kembali GD column
pada collection tube, sentrifugasi kembali pada 15.000 x g selama 3 menit hingga
kering.
Campuran yang telah kering dipindahkan dari GD column ke 1,5 mL
microcentrifuge tube dan tambahkan 100 µL elution buffer yang sudah di
panaskan ke tengah column matrix. Tube dibiarkan tegak selama 3-5 menit untuk
memastikan elution buffer diserap dengan baik. Larutan disentrifugasi pada
15.000 x g selama 30 detik untuk mengelusi DNA yang sudah di murnikan,
apabila hasil DNA sedikit, dapat diulangi tahap penambahan elution buffer
maksimal sampai 200 µL volume akhir. Uji kemurnian DNA dilakukan dengan
spektrofotometer nanodrop dengan bantuan software komputer Nanodrop 2000.
Sebanyak 1 µL Buffer TE dimasukkan ke alat sebagai blanko dan klik ‘blank’
pada computer. Alat dibersihkan perlahan dengan tissue kemudian dimasukkan 1
µL sampel DNA dan klik ‘measure’ pada computer lalu diberi nama sampel pada
kolom.
31

Amplifikasi DNA menggunakan metode PCR


Amplifikasi DNA dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR) menggunakan alat Thermalcycler dengan primer ITS 1 Forward (5’-TCC
GTA GGT GAA CCT GCG G3’) dan ITS 4 reverse (5’-TCC TCC GCT TAT
TGA TAT GC-3’) (White et al., 1990). Sebanyak 25 µL reaksi PCR untuk tahap
awal amplifikasi DNA dibuat dengan campuran 8,5 µL nuclease free water, 12,5
µL go tag green master mix, 1 µL primer ITS 1 dan ITS 4 masing-masing, 2 µL
DNA template kemudian di amplifikasi dengan PCR. PCR ditetapkan dengan
kondisi 5 menit denaturasi awal pada suhu 94℃, 35 siklus meliputi 30 detik
denaturasi pada suhu 94℃, 30 detik annealing pada suhu 52℃, 30 detik extension
pada suhu 72℃ dan 7 menit extension akhir dengan suhu 72℃ kemudian hasil
PCR disimpan pada suhu 4℃.

Elektroforesis DNA
Tahapan selanjutnya yaitu Elektroforesis DNA. Hasil dari amplifikasi di
imigrasi dengan elektroforesis gel agarose. DNA amplifikasi sebanyak 1 µL
ditambahkan dengan 1 µL loading dye dan dihomogenkan. Hasil amplifikasi di
masukkan ke sumur elektroforesis dengan komposisi 1% gel agarose yang
ditambahkan 1% gel red, kemudian ditambahkan TAE 1x hingga gel agarose
terendam. Gel agarose dengan konsentrasi 1% dipanaskan hingga larut kemudian
ditambahkan dengan gel red, kemudian tuang gel dalam cetakan dan sisir
diletakkan dalam satu ujung cetakan untuk membentuk sumuran pada gel. Gel
agarose yang sudah mengeras dicabut sisirannya dan diletakkan dalam chamber
untuk direndam dalam TAE 1x (Yarza et al., 2021). DNA Ladder 1 kb yang
ditambahkan 1 µL loading dye kemudian dihomogenkan dan dimasukkan ke
sumuran. Elektroforesis dilakukan selama 10 menit dengan tegangan 100 Volt,
DNA ditampilkan dengan menggunakan bantuan sinar UV di gel doc (Susilowati
et al., 2020).

Sekuensing DNA dan Analisis


Sekuensing DNA kapang endofit potensial dilakukan dengan mengirimkan
sampel ke PT. Genetika Science Indonesia. Data sekuensing di analisis
32

menggunakan metode Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) secara


online. Sekuens DNA dilihat kecocokannya dengan DNA kapang yang ada di
database Nukleotida National Center for Biotechnology Information (NCBI)
untuk melihat similaritas sekuens (query sequence) denan sekuens database
(subject sequence) (Susilowati et al., 2020).

3.4.7. Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis Kapang Endofit


Pengamatan Makroskopis
Karakterisasi kapang endofit potensial dilakukan dengan mengamati
parameter meliputi warna koloni, warna permukaan dan bagian bawah koloni,
tekstur permukaan, bentuk koloni, dan tepi koloni (Kumala & Pratiwi, 2014).

Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan mengacu pada metode
(Sulistiyono & Mahyuni, 2019) dengan sedikit modifikasi pada saat pengambilan
miselium kapang. Miselium kapang diambil menggunakan tusuk gigi steril
kemudian dimasukkan kedalam microtube berukuran 0,2 mL berisi akuades,
diaduk perlahan supaya isolat tidak menggumpal kemudian teteskan di atas object
glass sebanyak 2 tetes dan ditutup dengan cover glass selanjutnya diamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000x. Hifa, konidia dan spora diamati
bentuk serta tipe nya kemudian tangkapan layar disimpan sebagai data
pengamatan untuk proses identifikasi.

3.5. Analisis Data


Data pengamatan disajikan dan dianalisis dengan metode deskriptif
kemudian disajikan dalam format tabel dan gambar. Persentase pemacu tumbuh
dan penghambat P. capsici kapang dianalisis dengan One Way Analysis of
Variance (ANOVA) menggunakan software SPSS dengan taraf kepercayaan 95%.
Jika didapatkan hasil pengaruh nyata maka dilakukan pengujian lanjut dengan
menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf kepercayaan
5% (α=0,05).
33

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi Kapang Endofit dari Akar Anggrek Tanah


Kapang endofit yang diisolasi dari akar anggrek tanah hasil eksplorasi
dikelompokkan berdasarkan karakter makroskopisnya (morfotipe) yaitu warna
permukaan dan bawah, bentuk, tekstur, dan tepi koloni. Kapang dengan morfologi
serupa diambil masing-masing satu koloni sebagai perwakilan sehingga morfotipe
menghasilkan total 34 isolat kapang endofit (Lampiran 3) yaitu 18 asal Cibodas
dan 16 asal Situ Gunung dengan kode isolat berikut (Tabel 2).

Tabel 2. Kode isolat kapang endofit yang diperoleh dari Resor Cibodas dan Situ
Gunung TNGGP
Resor Cibodas Resor Situ Gunung
No No
Kode Isolat Spesies Anggrek Kode Isolat Spesies Anggrek
1. GG 2.3 Corymborkis sp. 1. SIG 2.1
Taenia sp.
2. GG 3.3 Godyera sp. 2. SIG 2.3
3. GG 4.3 Diglyphosa sp. 3. SIG 6.1
Chrysoglossum sp.
4. GG 5.2 4. SIG 6.2
Macodes petola
5. GG 5.3 5. SIG 7.2
Phaius sp.
6. GG 8.3 Malaxis sp. 6. SIG 7.3
7. GG 9.1 Liparis sp. 7. SIG 9.2 Appendicula sp.
8. GG 11.3 (T) 8. SIG 10.1
Godyera sp. Appendicula sp.
9. GG 11.3 (G) 9. SIG 10.2
10. GG 12.2 10. SIG 11.3 Godyera sp.
Godyera sp.
11. GG 12.3 11. SIG 12.1
Godyera sp.
12. GG 14.1 12. SIG 12.1 (G)
Godyera reticulata
13. GG 14.2 13. SIG 14.1
GG 15.1 Chrysoglossum SIG 14.3 Godyera sp.
14. 14.
ornatum
15. GG 17.2 Stereosandra sp. 15. SIG 15.2
Phaius calosus
16. GG 18.3 Spiranthes sp. 16. SIG 15.3
17. GG 19.2
Cymbidium ensifolium
18. GG 19.3

Dari kedua resor didapatkan beberapa tanaman dengan genus yang sama
pada titik pengambilan yang berbeda, seperti Godyera sp., Appendicula sp., dan
Chrysoglossum sp., namun kapang endofit yang diisolasi dari spesies tersebut
menghasilkan jenis koloni dengan karakter makroskopis berbeda-beda. Sebanyak
15% dari koloni kapang endofit yang diperoleh merupakan jenis DSE atau kapang
34

dengan septa gelap, 85% lainnya merupakan kapang dengan septa cerah atau
terang. Perbedaan jumlah dan jenis kolonisasi kapang endofit disebabkan oleh
adalah jenis dan genotipe tanaman inang, lokasi, bagian tanaman yang dikoleksi,
dan jenis mikroorganisme yang diisolasi (Murphy et al., 2013; Suganda et al.,
2007).

4.2. Skrining Kapang Endofit Pemacu Tumbuh dan Non Patogen secara In
Vitro
Skrining in vitro untuk mencari kapang endofit dengan kemampuan pemacu
tumbuh dengan sifat non patogen menghasilkan isolat kapang endofit potensial
dengan kode GG 5.2, GG 14.2, dan SIG 10.2. Hal ini diindikasikan dengan
pertumbuhan bibit sawi yang diberi aplikasi 3 kapang endofit tersebut memiliki
berat kering lebih tinggi dari perlakuan 31 kapang endofit lainnya dan kontrol
(Gambar 7). Pada pengamatan selama 14 hari, sawi dengan aplikasi 3 kapang
endofit potensial memiliki pertumbuhan yang baik diindikasikan tanaman yang
tampak segar dengan warna daun hijau dan batang berisi. Pertumbuhan sawi yang
baik mengindikasikan kapang endofit tidak bersifat patogen terhadap tanaman,
sebaliknya yaitu justru memacu pertumbuhan sawi.

A B C D

Gambar 7. Hasil uji in vitro kapang endofit anggrek tanah; (A) kontrol
(Tanpa aplikasi kapang endofit); (B) isolat GG 5.2; (C) isolat GG
14.2; (D) isolat SIG 10.2.

Sementara itu, kapang endofit yang diindikasikan sebagai patogen


menyebabkan tanaman layu dan warna daunnya menguning, kering dan lama
kelamaan mati, sebagian besar organ tanaman ditumbuhi oleh miselium kapang
dan hanya tersisa bagian permukaan daun (Lampiran 5). Menurut Semangun,
(2000), penumpukan miselium dalam rongga pembuluh tanaman dapat
menyebabkan penyumbatan. Sekresi gumpalan dan mengempisnya sel-sel
35

pembuluh juga menghambat aliran zat cair, menyebabkan tanaman tampak layu.
Proses ini berlanjut, menyebabkan patogen menyebar dan merusak pembuluh
tanaman. Infeksi kapang dapat terjadi melalui berbagai jenis luka, termasuk luka
akibat pemindahan bibit, pembumbunan, bahkan pada akar tanaman yang tidak
memiliki luka.

Rataan Berat Kering Sawi


0.0300

0.0250

0.0200
Berat (g)

0.0150

0.0100

0.0050
0,016 0,018 0,020 0,023
0.0000
Kontrol SIG 10.2 GG 14.2 GG 5.2
Perlakuan

Gambar 8. Rataan berat kering sawi hasil skrining kapang endofit anggrek tanah
secara in vitro pada 14 hari pengamatan

Respon pertumbuhan tanaman mencakup parameter seperti tinggi dan


berat tanaman (Lampiran 4) (Duaja et al., 2012; Setiawan & Rahardjo, 2016).
Berdasarkan rataan berat kering (Gambar 8), aplikasi kapang GG 5.2 memberikan
efek pemacu tumbuh paling efektif dibandingkan dengan aplikasi kapang GG 14.2
dan SIG 10.2 sebesar 15% dan 28%, sedangkan jika dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki rataan berat kering yang paling rendah menghasilkan persen
peningkatan sebesar 43%. Berat kering sawi dengan aplikasi kapang endofit pada
semua kode memiliki berat yang lebih tinggi daripada kontrol. Peningkatan rata-
rata berat kering pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa aplikasi kapang
endofit dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sawi secara signifikan.
Syamsia et al. (2021) dalam penelitiannya menyatakan aplikasi Plant
Growth-Promoting Fungi (PGPF) atau kapang pemacu pertumbuhan pada
tanaman dapat membuat tanaman tumbuh lebih baik. Saat isolat diaplikasikan
36

secara endofitik pada tanaman, tanaman tersebut menunjukkan peningkatan dalam


berat dan pertumbuhannya. Supriyanto et al. (2009) menyatakan bahwa kapang
yang dikategorikan sebagai PGPF yaiu apabila menyebabkan satu atau lebih
parameter pertumbuhan yang dievaluasi menunjukkan perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan kontrol. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian yang
menunjukkan potensi ketiga isolat kapang endofit, terutama GG 5.2 dalam
memacu pertumbuhan tanaman sawi dalam lingkungan in vitro.
Peningkataan pertumbuhan setelah aplikasi kapang endofit terhadap
pertumbuhan sawi dapat disebabkan oleh hubungan simbiosis antara kapang
dengan tanaman inangnya. Keuntungan nyata dari simbiosis endofit dengan inang
adalah meningkatkan aksesibilitas nutrisi dan pembentukan fitohormon yang
memberikan efek langsung terhadap pembentukan biomassa, peningkatan struktur
akar, peningkatan masa generasi tanaman dan produksi. Selain itu, endofit juga
menghasilkan metabolit yang beragam dan berbeda-beda seperti sitokinin,
giberelin dan auksin (Khan et al., 2012). Auksin bermanfaat pada pertumbuhan
pucuk tanaman dan akar, pembelahan sel serta pemanjangan sel. Sedangkan
Giberelin berperan penting dalam reaksi tanaman seperti pemanjangan batang,
ekspresi seksual, perkecambahan biji, pembentukan buah dan pembungaan
(Jaroszuk-Ściseł et al., 2014).

4.3. Skrining Kapang Endofit Penghambat Phytophthora capsici pada Cabai


Merah secara In Vivo
Skrining in vivo selama 11 hari pengamatan diperoleh hasil menunjukkan
perbedaan nilai rata-rata berat kering pada akar dan batang tanaman cabai merah
antar perlakuan. Rataan berat kering tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan kapang
kode SIG 10.2 yaitu sebesar 0,049, sementara kontrol memiliki rataan berat
terendah yaitu 0,017. Dua perlakuan dengan aplikasi kapang endofit lain yaitu GG
14.2 dan GG 5.2 memiliki perbedaan yang tidak siginifikan dengan kontrol,
namun rataan berat keringnya masih lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 9
dan 10).
Analisis statistik dengan uji One Way Anova pada signifikansi 0,05 terhadap
berat kering tanaman menunjukkan nilai signifikansi masing-masing sebesar
37

0,014 dan 0,019 (Lampiran 9). Rendahnya nilai P-value mengindikasikan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok berat akar, batang dan
kontrol. Jika nilai p-value lebih kecil dari nilai signifikansi 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh signifikan antara variabel independen dan
variabel dependen yang dalam hal ini adalah kapang endofit dan berat kering
cabai Sukara et al. (2023).
Efektivitas aplikasi kapang endofit terhadap berat kering GG 14.2 dan GG
5.2 pada tanaman terinfeksi patogen adalah 20% dan 25%, persentase tersebut
sangat rendah dibandingkan perlakuan aplikasi kapang SIG 10.2 dengan
persentase 100%. Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa kemampuan
tanaman inang dalam menoleransi cekaman lingkungan dan serangan penyakit
disebabkan oleh senyawa metabolit yang dihasilkan kapang endofit sehingg
memiliki kemampuan meningkatkan pertahanan tanaman inangnya (Hiruma et al.,
2016; Lubna et al., 2018; Nurzannah et al., 2014).

Rataan Berat Kering Akar


0.025 b
0.020
Berat (g)

0.015

a a
0.010 a

0.005
0,007 0,008 0,009 0,023
0.000
Kontrol GG 5.2 GG 14.2 SIG 10.2
Perlakuan

Gambar 9. Rataan berat kering akar cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan
38

Rataan Berat Kering Batang

0.080
b
0.070
0.060
0.050
Berat (g)

a
0.040 a
a
0.030
0.020
0.010
0,028 0,033 0,038 0.075
0.000
Kontrol GG 14.2 GG 5.2 SIG 10.2
Perlakuan

Gambar 10. Rataan berat kering batang cabai merah hasil skrining kapang endofit
anggrek tanah secara in vivo pada 11 hari pengamatan
Produksi metabolit diantaranya seperti IAA, sitokinin dan giberelin, atau
secara spesifik auksin mendorong diferensiasi dan pemanjangan sel pada jaringan
tanaman inang dan kemudian meningkatkan jumlah akar lateral dan panjang
tunas. Hormon ini mendukung pertumbuhan kapang endofit dalam menunjang
pertumbuhan, perkecambahan dan reproduksi serta melindungi tanaman dari
stress biotik dan abiotik (Egamberdieva et al., 2017). IAA adalah salah satu
senyawa metabolit yang paling banyak diteliti dan ditemukan pada kapang endofit
menunjukkan bahwa IAA memainkan peran penting dalam pertumbuhan tanaman
sebagai bagian dari sistem pertahanannya (Herrera-Parra et al., 2017; Imaningsih
et al., 2021).
Uji DMRT dilanjutkan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan (Karanat
et al., 2021), hasil uji (Lampiran 9) menunjukan bahwa kode SIG 10.2 memiliki
perbedaan paling signifikan dengan perlakuan aplikasi kapang endofit lainnya dan
juga kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa SIG 10.2 merupakan kapang endofit
dengan tingkat pemacu pertumbuhan tanaman dan penghambatan tertinggi
terhadap P. capsici pada cabai merah.
Beberapa kapang endofit seperti Colletotrichum sp. terbukti efektif melawan
patogen P. capsici (Li et al., 2000; Lu et al., 2000). Dalam penelitian lain dengan
uji coba in vivo, pengaplikasian kapang endofit terbukti mampu mengurangi
39

kejadian penyakit busuk pangkal batang pada cabai, dengan tingkat penekanan
penyakit mencapai 13,7-27,5% (Ramdan, 2014).
Sifat penghambatan ini diduga muncul karena adanya persaingan antara dua
jenis kapang yang tumbuh berdampingan. Persaingan ini terjadi karena keduanya
memiliki kebutuhan yang sama terhadap tempat tumbuh dan nutrisi dari media
pertumbuhannya. Dengan kata lain, karena keterbatasan sumber daya yang
tersedia, kedua kapang bersaing untuk mendapatkan ruang dan nutrisi yang
diperlukan. Persaingan ini memicu respons antagonis di mana satu jenis kapang
dapat menghambat pertumbuhan kapang lain melalui pelepasan senyawa-senyawa
yang bersifat menghambat atau membunuh (Melysa et al., 2013). Senyawa ini
dapat berupa antibiotik atau metabolit sekunder termasuk alkaloid, kuinol, steroid,
flavonoid, terpenoid, peptida, poliketon, fenol, senyawa terklorinasi, dan senyawa
organik volatil (VOC) yang dapat membentuk aktivitas antivirus, antibakteri,
antijamur (Latz et al., 2018).

4.3.1. Keparahan Penyakit pada Cabai Merah dengan Perlakuan Kapang


Endofit Potensial
Skoring penyakit pada bibit C. annuum terhadap patogen P. capsici
merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk memantau dan mengevaluasi
kesehatan tanaman (Lampiran 8). Dalam tahap ini, terdapat dua aspek utama yang
dinilai, yaitu insidensi (kejadian) dan tingkat keparahan penyakit. Pengamatan
insidensi dan keparahan penyakit pada cabai merah meliputi berapa banyak
tanaman cabai merah yang terserang penyakit dan seberapa parah infeksi yang
ditimbulkan dengan melakukan pengelompokkan dengan skor 1 hingga 5. Faktor
yang dapat memengaruhi insidensi dan keparahan penyakit pada cabai antara lain
jenis penyakit, dan faktor genetik tanaman (Nurul et al., 2018).
40

Insidensi Penyakit
350.0
Insidensi Penyakit (%) 300.0 95,8 95,8
250.0
85
200.0 87,5 87,5

150.0
66,7
70,8 75 75
100.0
0,0 37,5
50.0 12,5 42,9 42,9
33,3
16,7
0.0
Hari ke -3 Hari ke-5 Hari ke-8 Hari ke-11
SIG 10.2 GG 5.2 GG 14.2 Kontrol

Gambar 11. Persentase insidensi penyakit Phytophthora capsici pada cabai merah
selama 11 hari pengamatan

Hasil pengamatan insidensi penyakit (Gambar 11) berdasarkan skoring


penyakit pada uji in vivo dengan dan tanpa aplikasi kapang endofit pada cabai
merah (C. annuum) menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Insidensi penyakit tertinggi ditunjukkan oleh kelompok
kontrol. Persentase insidensi pada hari ketiga pengamatan menunjukkan nilai yang
cukup tinggi yaitu 70,8% dan nilai menjadi yang tertinggi dibandingkan ketiga
kode lainnya yang berada dibawah 20%.
Persentase insidensi terus meningkat hingga hari terakhir pengamatan.
Perkembangan insidensi penyakit menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kejadian penyakit dari awal sampai dengan akhir pengamatan (Masnilah et al.,
2020). Kelompok kontrol memiliki persentase tertinggi pada hari terakhir dengan
nilai 95,8% yang artinya sebagian besar tanaman sudah terserang patogen.
Tanaman yang terserang penyakit busuk biasanya batangnya mengering dan
akhirnya mati. Pada tanaman yang lebih tua gejala busuk akan merambat ke
tangkai dan buah yang menyebabkan buah banyak yang tidak bisa dipanen
(Wartono, 2021).
41

Keparahan Penyakit
250.0

90,0 90,0
Keparahan Penyakit (%) 200.0

150.0 68,3
54,2 54,2
100.0
39,2
33,3 43,3 43,3
50.0 0,0
22,5
5,0 21,7 30,0 30,0
0.0 8,3
Hari ke-3 Hari ke-5 Hari ke-8 Hari ke-11

Kontrol GG 14.2 GG 5.2 SIG 10.2

Gambar 12. Persentase keparahan penyakit Phytophthora capsici pada cabai


merah selama 11 hari pengamatan

Hasil pengamatan keparahan penyakit atau intensitas penyakit pada tanaman


cabai menunjukkan perbedaan signifikan antara perlakuan kapang endofit dan
perlakuan kontrol (tanpa kapang endofit) (Gambar 12). Persentase keparahan
penyakit tertinggi serupa dengan hasil pengamatan insidensi penyakit yaitu
ditunjukkan oleh kelompok kontrol dengan persentasi hari ke 3 sebesar 39% dan
pada hari terakhir sebesar 90%. Kelompok kontrol memiliki persentase hampir
dua kali lipat dibandingkan dengan ketiga tanaman cabai lain dengan aplikasi
kapang endofit dari awal pengamatan hingga selesai. Hal ini menunjukan bahwa
tanaman cabai kontrol (tanpa aplikasi kapang endofit) tidak mampu berkembang
setelah terinfeksi patogen P. capsici hingga mengakibatkan kematian terhadap
hampir keseluruhan pot kontrol.
Persentase terendah dari keparahan penyakit ditunjukkan oleh tanaman
cabai dengan pengaplikasian kapang kode SIG 10.2, pada hari ke-3 pengamatan
persentasenya sebesar 8,3%, hari ke-5 sebesar 21,7% dan 30% pada hari terakhir
pengamatan. Pada kelompok dengan kode kapang GG 14.2, terlihat bahwa
keparahan penyakit pada hari ke-8 dan 11 mencapai 54,2%, yang merupakan
peningkatan yang signifikan dari 33,3% pada hari ke-5. Meskipun pada hari ke-3
persentase keparahan penyakit adalah 0%, terlihat peningkatan yang cukup tajam
pada fase perkembangan selanjutnya.
42

Marianah, (2020) menyatakan keparahan penyakit dipengaruhi oleh faktor


lainnya seperti usia tanaman. Tanaman cabai yang sudah tua cenderung memiliki
pertahanan yang lebih baik dibandingkan tanaman muda karena memiliki system
perakaran yang kuat dan produksi metabolit sekunder yang meningkat seiring
bertambahnya usia cabai. Namun jika mengacu pada kontrol, aplikasi kapang
endofit memberikan pengaruh yang cukup signifikan dilihat dari hasil aplikasi
kapang kode SIG 10.2, GG 14.2 dan GG 5.2 yang mampu menekan infeksi
patogen P. capsici.
Hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Cheplick, (2017) yaitu kapang
endofit mampu menghambat pertumbuhan patogen, mengurangi keparahan
penyakit, memacu pertumbuhan tanaman dan meningkatkan nutrisi tanaman
karena sifatnya yang bersimbiosis dengan tanaman inang. Senyawa metabolit
yang dihasilkan melalui simbiosis mutualisme kapang dengan inang membuat
kapang memiliki potensi tersebut. Kapang endofit juga memiliki kelebihan
lainnya yaitu dapat terhindar dari cekaman biotik karena berada dan hidup di
dalam tanaman, dapat mengkolonisasi jaringan tanaman dan proses translokasi
senyawa metabolit ke tanaman lebih baik (Harman, 2011).

4.4. Identifikasi Molekuler


4.4.1. Analisis BLAST di NCBI
Kapang endofit potensial dengan kemampuan pemacu tumbuh dan
penghambat patogen P. capsici diidentifikasi secara molekuler dengan
menggunakan analisis BLAST (Lampiran 10). Analisis homologi nukleotida
dapat dilakukan untuk menentukan kemiripan sekuen DNA dengan kapang
endofit potensial. BLAST memungkinkan penelitian lebih lanjut terkait hubungan
genetik dan kesamaan fungsional dengan organisme lain dalam basis data
(Pearson, 2013). Sebanyak 3 kapang endofit potensial melalui uji in vitro dan in
vivo diidentifikasi dan dilihat kemiripan sekuensnya dengan data di NCBI.
43

Tabel 3. Hasil identifikasi isolat kapang endofit berdasarkan daerah ITS rDNA
Hasil Analisis BLAST
Kode The Closest
Query E-
Isolat BLAST Strain Accesion Similarity
Cover Value
Chaetomium
GG 14.2 100% 0.0 KM822861.1 100%
globosum
Colletotrichum
GG 5.2 99% 0.0 OR734596.1 99.06%
gigasporum
Colletotrichum
SIG 10.2 99% 0.0 MZ595778.1 98.33%
arxii

Hasil analisis BLAST NCBI berdasarkan daerah ITS rDNA (Tabel 3) pada
isolat GG 14.2 mengungkapkan kemiripan genetik yang sangat tinggi dengan
spesies Chaetomium globosum, diikuti dengan persentase similarity sebesar 100%
dengan nilai yang sama yaitu 100% pada query cover-nya sebesar. Tingginya
persentase similarity mencerminkan kemiripan yang substansial antara query
cover dan urutan basis data, sementara persentase query cover yang tinggi
menunjukkan sebagian besar urutan query sejajar dengan urutan basis data.
Namun, ketika kedua nilai ini berada di bawah 95%, hal ini dapat mengisyaratkan
bahwa kesesuaian tersebut tidak memiliki relevansi signifikan secara biologis
(Anderson & Brass, 1998; Hussain et al., 2023).
Hasil analisis BLAST NCBI berdasarkan daerah ITS rDNA isolat GG 5.2
menunjukkan kemiripan genetik yang tinggi dengan spesies C. gigasporum.
Persentase query cover sebesar 99% menunjukkan bahwa sebagian besar sekuens
isolat GG 5.2 sesuai dengan spesies C. gigasporum pada data di NCBI. Hasil
analisis BLAST NCBI pada isolat SIG 10.2 mengungkapkan kemiripan genetik
yang sangat tinggi dengan spesies Colletotrichum arxii. Tingginya similarity
sebesar 98,33% menunjukkan tingkat kesamaan yang kuat antara isolat SIG 10.2
dan C. arxii. Hasil 99% cover menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi antara
sampel dengan sekuen yang ada di basis data. Hal ini mengindikasikan bahwa
sampel kapang endofit tersebut memiliki kemiripan yang sangat tinggi dengan
sekuen yang ada di NCBI berdasarkan analisis ITS rDNA BLAST (López-
Martínez et al., 2019).
44

4.5. Karakter Makroskopis dan Mikroskopis Kapang Endofit Potensial


Kapang endofit potensial teridentifikasi sebagai Chaetomium globosum,
Colletotricum gigasporum dan Colletotrichum arxii. Ketiganya memiliki karakter
makroskopis dan mikroskopis yang berbeda beda, khususnya antara Chaetomium
sp. dan Colletotrichum sp. karena adanya perbedaan genus.
Chaetomium globosum adalah kapang berupa benang-benang, umumnya
ditemukan di tanah, udara, sisa tanaman, kotoran hewan, dan jerami. C. globosum
merupakan salah satu spesies yang paling sering ditemukan, kapang ini tumbuh
baik pada suhu antara 25℃ dan 35℃. Kebanyakan spesies ini menyebabkan
kerusakan pada bahan yang mengandung banyak selulosa seperti di beberapa
unsur tanah dan kayu sisa (Suada, 2017). C. globosum, sebagai agen pengendalian
biologis, membuktikan efektivitasnya dalam mengatasi patogen Phytophthora sp.
salah satunya P. capsici melalui berbagai mekanisme penghambatan.
Antagonisme C. globosum terhadap patogen melibatkan tiga mekanisme utama:
kompetisi, mikroparasitisme, dan antibiosis (Suada, 2017).

A B

1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚

C D

(109) 9.9 µm
(110) 15.0 µm

20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 13. Karakter makroskopis dan mikroskopis Chaetomium globosum
pada inkubasi selama 7 hari; (A) koloni makroskopis bagian atas; (B)
koloni makroskopis bagian bawah; dengan (C) konidia berbentuk
oval; (D) hifa bersekat.
45

Kapang Chaetomium globosum menunjukkan karakteristik makroskopis dan


mikroskopis yang dapat dilihat pada (Gambar 13). Pengamatan makroskopis
menunjukkan struktur awal kapang berwarna putih yang kemudian berkembang
menjadi abu kehijauan pada bagian atas dan bawah seiring waktu (Gambar 13A
dan B). Selama pertumbuhannya di media pertumbuhan, kapang ini membentuk
permukaan dan tepi koloni yang tidak merata (lobate), menyerupai serabut tipis
seperti kapas. Terdapat bulir-bulir air yang terletak tepat diatas struktur berupa
kapas, ketika dilihat sekilas memberikan efek seperti kristal yang memantulkan
cahaya.
Karakter mikroskopis menunjukkan bahwa menghasilkan konidia berbentuk
oval dengan ukuran sekitar 15.0 µm x 9.9 µm (Gambar 13C). Selain itu, hifa
kapang ini memiliki bentuk menyerupai benang bersekat (septat). Namun tidak
ditemukan adanya konidia utuh karena konidia sudah dalam kondisi terlepas dan
bergerak bebas diluar. Konidia memiliki bentuk bulat cenderung oval dengan
warna hijau kecoklatan dengan ukuran 15.0 µm x 9.9 µm.
Hasil uji keparahan penyakit cabai merah terinfeksi P. capsici dengan
inokulasi C. globosum berhasil menurunkan persen keparahan penyakit sebesar
54% dibandingkan kontrol sebesar 90%, hasil ini sesuai dengan penelitian
Madbouly & Tamim, (2020) yang menyatakan bahwa C. globosum mampu
menurunkan persentase busuk daun sebesar 72% dibanding kontrol sebesar 100%.
C. globosum mampu menghambat patogen melalui mekanisme antibiosis dengan
memproduksi senyawa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan
miselium patogen (Linkies et al., 2021). Senyawa metabolit yang dihasilkan yaitu
Chaetomin dan Chaetoviridins serta aktivitas glukanolotik sehingga menunjukkan
aktivitas penghambatan terhadap P. capsici. Produksi senyawa metabolit antifungi
tidak hanya memengaruhi patogen Phytophthora sp. tetapi juga mengaktifkan
enzim patogen seperti glucosinolatase (Kumar et al., 2020; Madbouly & Tamim,
2020).
C. globosum dan metabolitnya dikenal meningkatkan pertumbuhan
tanaman, terutama terlihat dalam penelitian pada tanaman citrus. Kemampuan C.
globosum dalam memacu pertumbuhan tanaman sesuai dengan penyataan bahwa
46

senyawa fitohormon seperti IAA dan giberelin yang dihasilkan oleh C. globosum
mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman inang Capsicum annuum melalui
peningkatan pertumbuhan tunas, biomassa tunas serta luas daun yang lebih tinggi
daripada tanaman kontrol. Senyawa inilah yang menjadikan kapang C. globosum
mampu memacu pertumbuhan tanaman dan termasuk dalam Plant Growth
Promotion Fungi (PGPF) (Latif Khan et al., 2012).
A B

1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚

C D

20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 14. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum
20 µ𝑚
gigasporum pada inkubasi selama 7 hari; (A) makroskopis koloni
bagian atas; (B) makroskopis koloni bagian Bawah; (C) konidia; (D)
hifa bersekat.

Kapang Colletotrichum gigasporum menampilkan karakter makroskopis


dan mikroskopis pada usia 7 hari (Gambar 14). Pengamatan makroskopis
menunjukkan koloni berbentuk circular. Permukaan kapang berwarna putih
keabuan yang kemudian bertransisi menjadi abu gelap pada bagian tengahnya
pada hari ke-6 dan seterusnya. Bagian bawah kapang menunjukkan warna lebih
pekat cenderung hitam, sementara tekstur kapang menyerupai gumpalan kapas
(Hunupolagama et al., 2015). Bagian tepi entire dengan warna lebih cerah
dibandingkan dengan bagian tengahnya (Anggraeini et al., 2019). Pertumbuhan
kapang ini tergolong cepat, mencapai ketebalan sekitar 0.2 cm pada hari ke-7. Ciri
47

yang ditunjukkan sesuai dengan penelitian oleh Sari & Kasiamdari, (2021), C.
gigasporum memiliki ciri-ciri makroskopis yang dapat dikenali, yaitu koloni
berwarna putih. permukaan yang bertekstur seperti kapas, dan pinggiran yang
tidak merata.
Secara mikroskopis, terdapat lapisan yang menyelubungi konidia dan hifa
berasal dari miselium yang tidak menyebar secara merata di bawah kaca preparat,
menyebabkan penumpukan dan kesulitan dalam melihat karakter mikroskopis
dengan jelas. Konidia dari C. gigasporum berdinding halus, berbentuk silinder
dengan ujung yang membulat dan sedikit menyempit ke arah pangkal dengan
ukuran sekitar 15-20 µm dan yang lebih kecil biasanya berbentuk silindris
(AVRDC, 2010; Hunupolagama et al., 2015). C. gigasporum mempunyai
kecepatan tumbuh 12,5 mm per hari. Hifa menunjukkan sifat tebal dan bersekat
dengan warna keabuan yang khas (AVRDC, 2010).
Hasil penelitian potensi C. gigasporum dalam menghambat P. capsici sesuai
dengan literatur oleh Paul et al. (2012) yang menyatakan bawa genus
Colletotrichum sp. terbukti mampu menghambat pertumbuhan miselium kapang
P. capsici ditunjukkan oleh pembentukan zona bening terhadap koloni P. capsici.
C. gigasporum juga telah membuktikan kemampuannya dalam memacu
pertumbuhan kacang panjang dengan panjang akar dan batang lebih tinggi
daripada kontrol dengan berat berturut-turut 17,5 cm dan 16,5 cm untuk akar,
sedangkan 17,8 cm dan 15,3 cm untuk batang (Dos Santos Oliveira et al., 2021).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian in vivo terhadap parameter tinggi akar dan
batang (Lampiran 6). Peningkatan pertumbuhan pada akar dan batang
menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan
pertumbuhan bagian tanaman lainnya, sehingga parameter tinggi ini berkorelasi
dengan berat tanaman (Gardner & Franklin, 1991).
Hidayah & Fikroh, (2021) pada penelitiannya menemukan bahwa kapang C.
gigasporum menghasilkan senyawa metabolit antipatogen yaitu siderofor dan
glukanase. Kandungan siderofor ditandai dengan dideteksinya zona oranye akibat
bereaksi dengan besi (Fe3+) dan mengikatnya menjadi ikatan besi-siderofor.
Elemen ini penting bagi tanaman karena merupakan elemen penting dalam
48

perkembangan infeksi, dengan adanya siderofor tanaman inang akan diuntungkan


karena mampu menghambat pertumbuhan patogen dengan mekanisme Fe3+ yang
diikat oleh siderofor sehingga terjadi kekurangan Fe3+ yang membuat patogen
kekurangan daya hambatnya terhadap tanaman akibat kurangnya jumlah Fe3+
pada lingkungannya. Kemampuan penghambatan C. gigasporum juga disebabkan
oleh dihasilkannya enzim glukanase yaitu enzim pelisis yang berperan dalam
pertahanan tanaman dari serangan patogen dengan melarutkan dinding sel patogen
dan membantu dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan menguraikan
unsur hara yang ada di dalam tanah (Qisthi et al., 2021).
Informasi mengenai kemampuan C. gigasporum dalam menghambat
Phytophthora sp. cukup jarang ditemukan Meskipun demikian, telah diketahui
bahwa metabolit sekunder yang terdapat dalam C. gigasporum berperan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terutama dalam pengembangan
perakaran dan daun. Melalui perannya, metabolit ini dapat memberikan dampak
tidak langsung dalam memacu pertumbuhan.

A B

1 𝑐𝑚 1 𝑐𝑚

C D

20 µ𝑚 20 µ𝑚
Gambar 15. Karakter makroskopis dan mikroskopis Colletotrichum arxii pada
inkubasi selama 7 hari; (A) koloni makroskopis bagian atas; (B)
koloni makroskopis bagian bawah; (C) hifa bersekat; (D) konidia.
49

Pada pengamatan makroskopis (Gambar 15), Colletotrichum arxii memiliki


permukaan berwarna keabuan dengan tekstur seperti serat yang tipis dan merata
(smooth) di bagian atasnya. Bagian tepi koloni entire. Bagian bawah kapang
memiliki warna abu yang serupa dengan permukaan atasnya. Pertumbuhan isolat
C. arxii cukup lambat dibandingkan dengan C. gigasporum dan C. globosum yang
terlihat dari miselium kapang yang belum memenuhi seluruh permukaan media
tumbuh. Pengamatan mikroskopis menunjukkan konidia dari C. arxii memiliki
bentuk bulat dengan ukuran relatif kecil, berkisar antara 3-10 µm. Hifa kapang ini
menunjukkan bentuk yang serupa dengan isolat C. gigasporum dan bersekat
(Armand et al., 2023).
Studi terkait C. arxii dan senyawa metabolit yang dihasilkan belum
ditemukan secara spesifik. Namun, hasil penelitian mengungkapkan bahwa C.
arxii memiliki kemampuan unik dalam memacu pertumbuhan tanaman sekaligus
mengendalikan patogen, terutama terlihat pada tanaman cabai yang diserang oleh
P. capsici. Meskipun identifikasi senyawa metabolit spesifik yang mendukung
aktivitas tersebut belum tersedia, temuan ini memberikan landasan yang penting
untuk mendorong penelitian lebih lanjut. Diperlukan eksplorasi lebih lanjut terkait
senyawa metabolit yang dihasilkan oleh C. arxii untuk memahami lebih dalam
dasar kemampuannya dalam memacu pertumbuhan tanaman dan mengendalikan
patogen tanaman.
50

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian diperoleh 34 isolat kapang endofit hasil isolasi dari
akar tanaman anggrek tanah. Sejumlah kapang dengan kode SIG 10.2, GG
5.2, dan GG 14.2 efektif memacu pertumbuhan tanaman yang diindikasikan
berat kering sawi dan cabai merah lebih tinggi daripada kontrol, dan
menghambat P. capsici. Penghambatan paling efektif ditunjukkan tanaman
diinokulasi SIG 10.2 dengan persentase insidensi dan keparahan penyakit
lebih rendah daripada kontrol.
2. Ketiga isolat diidentifikasi sebagai Colletotrichum arxii SIG 10.2,
Chaetomium globosum GG 14.2 dan Colletotrichum gigasporum GG 5.2.

5.2. Saran
Kemampuan pemacu pertumbuhan dan pengendalian patogen pada ketiga
isolat belum diuji secara langsung penyebabnya, termasuk kandungan senyawa
metabolit dan mekanisme aktivitas biologinya yang mendasarinya. Oleh karena
itu, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
senyawa metabolit pada setiap isolat dan memahami mekanisme aktivitas
biologinya. Informasi yang diperoleh dari penelitian tersebut dapat memberikan
informasi yang lebih detail.
51

DAFTAR PUSTAKA
Abakatiri, K. (2016). Kondisi Populasi Dan Pola Penyebaran Anggrek Eria Spp.
di Resort Balik Bukit Taman Nasional Bukit Barisan. Universitas Lampung.
Adhiana. (2021). Analisis Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Produksi Cabai
Merah di Kabupaten Pidie Jaya. Jurnal Agrica Ekstensia, 15(1).
Aggarwal, S., Nirmala, C., Beri, S., Rastogi, S., & Adholeya, A. (2012). In Vitro
Symbiotic Seed Germination and Molecular Characterization of Associated
Endophytic Fungi in a Commercially Important and Endangered Indian
Orchid Vanda coerulea griff. ex lindl. European Journal of Environmental
Science, 2(1), 33–42.
Akamalasari, I., Purwati, E. S., & Dewi, R. S. (2013). Isolasi dan Identifikasi
Jamur Endofit Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.). Iosfera, 30(2),
82–89. https://doi.org/10.20884/1.mib.2013.30.2.131
Alandana, I. M., Rustiami, H., & Widodo, P. (2015). Inventarisasi Palem di Hutan
Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Buletin Kebun Raya,
18(2), 81–98.
Anderson, I., & Brass, A. (1998). Searching DNA Databases for Similarities to
DNA Sequences: When is a Match Significant? Bioinformatics, 14(4), 349–
356. https://doi.org/10.1093/bioinformatics/14.4.349
Andriyani, A. (2017). Membuat Tanaman Anggrek Rajin Berbunga. PT
Agromedia Pustaka.
Anggraeini, W., Rusmiyanto, E., Wardoyo, & Rahmawati. (2019). Isolasi dan
Identifikasi Jamur Pada Buah Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.).
Protobiont, 8(2), 94–100.
Armand, A., Hyde, K. D., Huanraluek, N., Wang, Y., & Jayawardena, R. S.
(2023). Identification and Characterization of Colletotrichum Species
Associated with Durian Fruit in Northern Thailand. Mycosphere, 14(2), 107–
129. https://doi.org/10.5943/mycosphere/14/si2/2
Asniah, S., & T, W. A. S. (2012). Survei Kejadian Penyakit Busuk Pangkal
Batang (Phytophthora capsici) Tanaman Lada (Piper nigrum. L) di
Kabupaten Konawe Selatan. Journal Agroteknos, 2(3), 151–157.
AVRDC. (2010). Characterization of Colletotrichum spp. Causing Pepper
Anthracnose and Development of Resistant Pepper Lines. Asian Seed
Congress.
Aziziy, M. H., Tobing, O. L., & Mulyaningsih, Y. (2020). Studi Serangan
Antraknosa pada Pertumbuhan Cabai Merah (Capsicum annuum L.) setelah
52

Aplikasi Larutan Daun Mimba dan Mol Bonggol Pisang. Jurnal Agronida,
6(1), 24. https://doi.org/10.30997/jag.v6i1.2668
Baiduri, N., & Fitriani. (2019). Keanekaragaman Jenis dan Habitat Anggrek
(Orchidaceae) di Bukit Lawang. Jurnal Biologica Samudra, 1(2), 22–27.
www.theplantlist.com
Bamisile, B. S., Dash, C. K., Akutse, K. S., Keppanan, R., & Wang, L. (2018).
Fungal Endophytes: Beyond Herbivore Management. Frontiers in
Microbiology, 9, 544. https://doi.org/10.3389/fmicb.2018.00544
Bayman, P., & Otero, J. T. (2006). Microbial Endophytes of Orchid Roots. In
Barbara J. E, B. Schulz, C. Boyle, & T. Sieber (Eds.), Microbial root
endophytes (pp. 153–177). Springer.
BBTNGGP. (2018). Ayo ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Balai
Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Bellini, A., Ferrocino, I., Cucu, M. A., Pugliese, M., Garibaldi, A., & Gullino, M.
L. (2020). A Compost Treatment Acts as a Suppressive Agent in
Phytophthora capsici – Cucurbita pepo Pathosystem by Modifying the
Rhizosphere Microbiota. Frontiers in Plant Science, 11(6).
https://doi.org/10.3389/fpls.2020.00885
Broto, B. W., & Pratama, A. A. (2015). Keragaman Jenis dan Sebaran Anggrek
Alam di Taman Wisata Alam Cani Sirenreng, Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan. PROS SEMINAR NASIONAL NAS MASY BIODIV INDON, 449–
454. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m010312
Buatong, J. (2010). Endophytic Fungi Producing Antimicrobial Substances from
Mangrove Plants in the South of Thailand. Prince of Songkla University.
Cheplick, G. P. (2017). Persistence of Endophytic Fungi in Cultivars of Iolium
perenne Grown from Seeds Stored for 22 Years. American Journal of
Botany, 104(4), 627–631. https://doi.org/10.3732/ajb.1700030
Chitnis, V. R., Suryanarayanan, T. S., Nataraja, K. N., Prasad, S. R., Oelmüller,
R., & Shaanker, R. U. (2020). Fungal Endophyte-Mediated Crop
Improvement: The Way Ahead. Frontiers in Plant Science, 11.
https://doi.org/10.3389/fpls.2020.561007
CITES. (2021). Appendices I, II & III.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19547689%0Ahttp://www.pubmedcen
tral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC2699076
Comber, J. B. (1990). Orchids of Java (First Edit). Bentham Moxon Trust.
Comber, J. B. (2001). Orchid of Sumatra. Royal Botanic Gardens.
53

Deng, X., Song, X., Halifu, S., Yu, W., & Song, R. (2020). Effects of Dark
Septate Endophytes Strain A024 on Damping-off Biocontrol, Plant Growth
and the Rhizosphere Soil Enviroment of Pinus sylvestris var. mongolica
Annual Seedlings. Plants (Basel), 9(7), 913.
https://doi.org/10.3390/plants9070913.
Devi, D., Anggraeni, A., & Wahyuni, T. (2021). Isolasi Kapang Endofit Pelawan
(Tristaniopsis merguensis Griff.) yang Berpotensi sebagai Antibakteri
terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Al-Kauniyah: Jurnal
Biologi, 14(2), 195–206. https://doi.org/10.15408/kauniyah.v14i2.14051
Dewi, A. A., Ainurrasjid, & Saptadi, D. (2016). Identifikasi Ketahanan Tujuh
Genotip Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) terhadap Phytophthora
capsici (Penyebab Penyakit Busuk Batang). Jurnal Produksi Tanaman, 4(3),
174–179.
Dewi, I. G. S. U., Mahardika, I. G., & Antara, M. (2017). Residu Pestisida
Golongan Organofosfat Komoditas Buah Cabai Merah (Capsicum annuum
L.) pada Berbagai Lama Penyimpanan. Jurnal Ilmu Lingkungan, 11(1).
Dos Santos Oliveira, J. A., Ferreira, A. P., Polli, A. D., da Silva, A. A., Ribeiro,
A. da S., Azevedo, J. L., & Pamphile, J. A. (2021). Plant Growth-Promoting
Activity of Wild-Type and Bromate-Resistant Mutant of the Endophytic
Fungus Colletotrichum karstii. Acta Scientiarum, 43.
https://doi.org/10.4025/ACTASCITECHNOL.V43I1.55457
Duaja, M. D., Arzita, & Redo, Y. (2012). Analisis Tumbuh Selada (Lactuca sativa
.L) pada Perbedaan Jenis Pupuk Organik Cair. Jurnal Universitas Jambi,
1(1), 33–41.
Dunn, A. R., & Smart, C. D. (2011). Interactions of Phytophthora capsici with
Resistant and Susceptible Pepper Roots and Stems. Mycology, 105(10),
:1355–1361. https://doi.org/https://doi.org/10.1094/PHYTO-02-15- 0045-R.
Egamberdieva, D., Wirth, S. J., Alqarawi, A. A., Abd-Allah, E. F., & Hashem, A.
(2017). Phytohormones and Beneficial Microbes: Essential Components for
Plants to Balance Stress and Fitness. In Frontiers in Microbiology (Vol. 8,
Issue 10). Frontiers Media S.A. https://doi.org/10.3389/fmicb.2017.02104
Eniko, L., & Silviu, A. A. (2011). Research Regarding the Introduction of a Least
Known Vegetable Species in Culture, in Transylvanian Tableland Area; the
Possibility of Cultivating Chinese Cabbage in Early Spring in Open Field.
18, 33–40.
Gaber, D. A., Berthelot, C., Chamehl, I., Kovacs, Gabor. M., Blaudez, D., &
Franken, P. (2020). Salt Stress Tolerance of Dark Septate Endophytes is
54

Independent of Melanin Accumulation. Front Microbiol, 11(December), 1–


14. https://doi.org/10.3389/fmicb.2020.562931
Gardner, & Franklin, P. (1991). Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia Press.
Gehring, C., Patterson, A., Ulrich, D. E. M., & Kuske, C. R. (2020).
Ectomycorrhizal and Dark Septate Fungal Associations of Pinyon Pine Are
Differentially Affected by Experimental Drought and Warming. Frontiers in
Plant Science, 11(October). https://doi.org/10.3389/fpls.2020.582574
Ginting, C., & Maryono, T. (2012). Penurunan Kepaarahan Penyakit Busuk
Pangkal Batang pada Lada Akibat Aplikasi Bahan Organik Dan Trichoderma
harzianum. J. HPT Tropika, 12(2), 162–168.
Handini, E., Aprilianti, P., Handayani, I., & Yuniar. (2021). Inventarisasi Jenis-
Jenis Anggrek Berpotensi Obat Koleksi Kebun Raya Bogor dan Upaya
Konservasi In Vitro. Warta Kebun Raya, 19(1), 1–16.
Harman, G. E. (2011). Multifunctional Fungal Plant Symbionts: New Tools to
Enhance Plant Growth and Productivity. New Phytologist, 189(3), 647–649.
www.newphytologist.com
Harris, K. M. (1996). Mt. Gede Pangrango National Park Information Book
Series (2nd ed.). Gede Pangrango National Park.
Hartono, R. (2020). Residu Pestisida Organophospate dan Carbamates pada Cabai
Rawit Merah (Capsicum frutescens L.) di Bogor. Jurnal Agrivet, 8(1).
Haryanto, E., Suhartini, T., & Estu. (2007). Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.
Hausbeck, M. K., Foster, J. M., & Linderman. (2014). Managing Phytophthora on
Pepper. USDA NIFA Special Research Grant. Michigan State University
Extension.
Herrera-Parra, E., Cristóbal-Alejo, J., & Ramos-Zapata, J. A. (2017).
Trichoderma Strains as Growth Promoters in Capsicum annuum and as
Biocontrol Agents in Meloidogyne incognita. Chilean Journal of
Agricultural Research, 77(4), 318–324. https://doi.org/10.4067/S0718-
58392017000400318
Hidayah, A., Fauriah, R., Apriyani, S., Putri, E. R., & Yusuf, W. A. (2023). Status
Mutu Keamanan Pangan Komoditas Cabai Merah (Capsicum annuum L.) di
Kab. Pati dan Kab. Magelang Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Residu
Pestisida Profenofos. Akselerasi Hasil Penelitian Dan Optimalisasi Tata
Ruang Agraria Untuk Mewujudkan Pertanian Berkelanjutan, 7(1).
55

Hidayah, M. A., & Fikroh, R. I. (2021). Screening and Morphological


Observations of Endophytic Mold Origin of Pennywort (Centella asiatica
(L.) Urban) as Extracellular Enzyme Producer. Jurnal Sains Natural, 11(2),
56–68.
Hidayat, S., Rahayu, S., & Ningtyas, K. (2012). Analisa Vegetasi Tempat
Tumbuh Hoya purpureofusca Hook.f. di Resort Selabintana Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. Berita Biologi, 11(1).
Himawarni, M., & Nuraini, Y. (2022). Uji Efektivitas Kompos Kotoran Sapi dan
Sekam Padi Menggunakan Mikroorganisme Lokal Batang Pisang Terhadap
Populasi Bakteri Pelarut Fosfat dan Produksi Pakcoy (Brassica rapa var.
chinensis L.). Jurnal Tanah Dan Sumberdaya Lahan, 9(2), 231–242.
https://doi.org/10.21776/ub.jtsl.2022.009.2.4
Hiruma, K., Gerlach, N., Sacristán, S., Nakano, R. T., Hacquard, S., Kracher, B.,
Neumann, U., Ramírez, D., Bucher, M., O’Connell, R. J., & Schulze-Lefert,
P. (2016). Root Endophyte Colletotrichum tofieldiae Confers Plant Fitness
Benefits that Are Phosphate Status Dependent. Cell, 165(2), 464–474.
https://doi.org/10.1016/j.cell.2016.02.028
Hou, X. Q., & Guo, S. X. (2009). Interaction Between a Dark Septate Endophytic
Isolate from Dendrobium sp. and roots of Dendrobium nobile Seedlings.
Journal of Integrative Plant Biology, 51(4), 374–381.
https://doi.org/10.1111/j.1744-7909.2008.00777.x
Hunupolagama, Wijesundera, R., Chandrasekharan, Wijesundera, W.,
Kathriarachchi, H., & Fernando, T. (2015). Characterization of
Colletotrichum isolates causing avocado anthracnose and first report of C.
gigasporum infecting avocado in Sri Lanka. Plant Pathology & Quarantine,
5(2), 132–143. https://doi.org/10.5943/ppq/5/2/10
Hussain, S., Asghar, R., Ajaib, M., Ali, I., Siddiqui, M. F., Ain, S., & Sufian, M.
(2023). DNA Barcode for Phylogenetic Analysis of Genus Morus Species
From Azad Jammu and Kashmir. Pakistan Journal of Botany, 55(6), 2211–
2220. https://doi.org/10.30848/PJB2023-6(18)
Ibrahim, A., Ilyas, S., & Manohara, D. (2014). Perlakuan Benih Cabai (Capsicum
annuum L.) dengan Rizobakteri untuk Mengendalikan Phytophthora capsici,
Meningkatkan Vigor Benih dan Pertumbuhan Tanaman. Buletin Agrohorti,
2(1), 22. https://doi.org/10.29244/agrob.2.1.22-30
Imaningsih, W., Rahayu, N. D., & Hakim, S. S. (2021). Endophytes and
Rhizosphere Fungi from Galam (Melaleuca cajuputi Powell.) which has the
Potential to Produce Indole Acetic Acid (IAA). Journal of Tropical
Biodiversity and Biotechnology, 6(2). https://doi.org/10.22146/JTBB.61594
56

Jalur, D. I., Taman, W. L. C., & Halimun-salak, G. (2015). Potensi dan


Pengembangan Jenis-Jenis Tanaman Anggrek dan Obat-obatan di Jalur
Wisata Loop-Trail Cikaniki-Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun-
Salak. Jurnal Ilmu Kehutanan, 8(1), 42–49. https://doi.org/10.22146/jik.8574
Jamilatun, M., & Shufiyani. (2019). Isolasi dan Identifikasi Kapang Endofit dari
Tanaman Alang-Alang (Imperataa cylindrica (L.) BEAUV.). Medikes
(Media Informasi Kesehatan), 6(1).
Jaroszuk-Ściseł, J., Kurek, E., & Trytek, M. (2014). Efficiency of Indoleacetic
Acid, Gibberellic Acid and Ethylene Synthesized In Vitro by Fusarium
culmorum Strains with Different Effects on Cereal Growth. Biologia
(Poland), 69(3), 281–292. https://doi.org/10.2478/s11756-013-0328-6
Karanat, A. F., Sarabiti, Ernawati, & Asmiati. (2021). Uji Aktivitas Jamur Endofit
Daun Afrika (Vernonia amygdallina Del) terhadap Bakteri Escherichia coli.
Jurnal Biosains Dan Edukasi, 3(2), 1–6.
Khan, A., Hamayun, M., Kang, S. M., Kim, Y. H., Jung, H. Y., Lee, J. H., & Lee,
I. J. (2012). Endophytic Fungal Association via Gibberellins and Indole
Acetic Acid can Improve Plant Growth Under Abiotic Stress: An Example of
Paecilomyces formosus LHL10. BMC Microbiology, 12(3).
https://doi.org/10.1186/1471-2180-12-3
Khaterine, & Sri Kasiamdari, R. (2016). Uji Antagonisme Tiga Isolat Fungi
Endofit Anggrek Bulan Terhadap F. oxysporum Secara In Vitro. Biogenesis:
Jurnal Ilmiah Biologi, 4(1), 47–52. https://doi.org/10.24252/bio.v4i1.1120
Krisnawan, A. H., Palupi, S., Wandhini, N. M. S., Suhartina, S., Saputri, A. . E.
Y., Ari Putri, I. G. A. M. S., & Yunita, O. (2020). Karakterisasi Senyawa
Metabolit pada Kultur Anggrek Dendrobium Anosmum gigantea. Media
Pharmaceutica Indonesiana, 3(1), 10–18.
https://doi.org/10.24123/mpi.v3i1.2417
Kumar, R., Kundu, A., Dutta, A., Saha, S., & Das, A. (2020). Profiling of Volatile
Secondary Metabolites of Chaetomium globosum for Potential Antifungal
Activity Against Soil Borne Fungi. Journal of Pharmacognosy and
Phytochemistry, 9(1), 922–927.
Latif Khan, A., Khan Shinwari, Z., Waqas, M., Hamayun, M., Kamran, M., & In
Jung, L. (2012). Role of Endophyte Chaetomium globosum LK4 in Growth
of Capsicum annuum by Production of Gibberellins and Indole Acetic Acid.
Pakistan Journal of Botany, 44(5), 1601–1607.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST
Latz, M. A. C., Jensen, B., Collinge, D. B., & Jørgensen, H. J. L. (2018).
Endophytic Fungi as Biocontrol Agents Elucidating Mechanisms in Disease
57

Suppression. In Plant Ecology and Diversity (Vol. 11, pp. 555–567). Taylor
and Francis Ltd. https://doi.org/10.1080/17550874.2018.1534146
Le Cocq, K., Gurr, S. J., Hirsch, P. R., & Mauchline, T. H. (2017). Exploitation of
Endophytes for Sustainable Agricultural Intensification. Molecular Plant
Pathology, 18(3), 469–473. https://doi.org/10.1111/mpp.12483
Leake, J. R. (1994). The biology of Myco-heterotrophic (saprophytic) plants. New
Phytol, 127, 171–216.
Lestari, L. D., Rafdinal, R., & Mukarlina, M. (2019). Inventarisasi Jenis Anggrek
(Orchidaceae) Terestrial di Taman Wisata Alam Bukit Kelam Kabupaten
Sintang. Jurnal Protobiont, 8(3), 46–52.
https://doi.org/10.26418/protobiont.v8i3.36834
Li, J. Y., Strobel, G., Harper, J., Lobkovsky, E., & Clardy, J. (2000). Cryptocin, a
Potent Tetramic Acid Antimycotic from the Endophytic Fungus
Cryptosporiopsis cf. quercina. Organic Letters, 2(6), 767–770.
https://doi.org/10.1021/ol000008d
Linkies, A., Jacob, S., Zink, P., Maschemer, M., Maier, W., & Koch, E. (2021).
Characterization of cultural traits and fungicidal activity of strains belonging
to the fungal genus Chaetomium. Journal of Applied Microbiology, 131(1),
375–391. https://doi.org/10.1111/jam.14946
López-Martínez, A., Valera-Martínez, D. L., Molina-Aiz, F. D., Moreno-Teruel,
M. de los Á., Peña-Fernández, A., & Espinoza-Ramos, K. E. (2019).
Analysis of the Effect of Concentrations of Four whitening Products in
Cover Transmissivity of Mediterranean Greenhouses. International Journal
of Environmental Research and Public Health, 16(6).
https://doi.org/10.3390/ijerph16060958
Lu, H., Zou, W. X., Meng, J. C., Hu, J., & Xiang Tan, R. (2000). New Bioactive
Metabolites Produced by Colletotrichum sp., an Endophytic Fungus in
Artemisi annua. Plant Science, 151, 67–73.
www.elsevier.com/locate/plantsci
Lubna, Asaf, S., Hamayun, M., Gul, H., Lee, I. J., & Hussain, A. (2018).
Aspergillus Niger CSR3 Regulates Plant Endogenous Hormones and
Secondary Metabolites by Producing Gibberellins and Indoleacetic Acid.
Journal of Plant Interactions, 13(1), 100–111.
https://doi.org/10.1080/17429145.2018.1436199
Madbouly, A. K., & Tamim, M. (2020). The Use of Chaetomium Taxa as
Biocontrol Agents. In A. M. Abdel-Azeem (Ed.), Recent Developments on
Genus Chaetomium (Issue January, pp. 251–266). Fungal Biology.
https://doi.org/doi.org/10.1007/978-3-030-31612-9_10
58

Manohara, D., & M, M. (1986). Proses infeksi Phytophthora palmivora (Butl.)


pada Daun Lada (Piper nigrum L.). 11, 60–66.
Manohara, D., Wahyuno, D., & Noveriza, R. (1990). Lada Dan Strategi
Pengendaliannya. January, 41–51.
Manohara, D., Wahyuno, D., & Noveriza, R. (2005). Penyakit Busuk Pangkal
Batang Tanaman Lada dan Strategi Pengendaliannya. Balai Penelitian
Tanaman Rempah Dan Obat, 41–51.
Mardiyana, M., Murningsih, & Utami, S. (2019). Inventarisasi Anggrek
(Orchidaceae) Epifit di Kawasan Hutan Petungkriyono Pekalongan Jawa
Tengah. Jurnal Akademika Biologi, 8(2), 1–7.
Marianah, L. (2020). Serangga Vektor dan Intensitas Penyakit Virus pada
Tanaman Cabai Merah. AgriHumanis: Journal of Agriculture and Human
Resource Development Studies, 1(2), 127–134.
https://doi.org/10.46575/agrihumanis.v1i2.70
Masnilah, R., Wahyuni, W. S., Dwi N, S., Majid, A., Addy, H. S., & Wafa, A.
(2020). Insidensi dan Keparahan Penyakit Penting Tanaman Padi di
Kabupaten Jember. Jurnal Agritrop, 18(1).
Melysa, Fajrin, N., Suharjono, & Dwiastuti, M. E. (2013). Potensi Trichoderma
sp. sebagai Agen Pengendali Fusarium sp. Patogen Tanaman Strawberry
(Fragaria sp.). Jurnal Biotropika, 1(4).
Mimin, Endewip, L. N., & Hutabarat, P. W. K. (2020). Catatan Waktu Berbuah
beberapa Tumbuhan di Resort Situ Gunung Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Warta Kebun Raya, 18(2).
https://publikasikr.lipi.go.id/index.php/warta
Muliani, S., Sukmawi, & Nildayanti. (2019). Efektifikas Cendawan Endofit dan
Trichoderma spp. terhadap Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada
(Phytophthora capsici) di Pembibitan. J. Agroplantae, 8(12), 27–31.
http://www.agroplantaeonline.com
Murdiyah, S. (2017). Fungi Endofit pada Berbagai Tanaman Berkhasiat Obat di
Kawasan Hutan Evergreen Taman Nasional Baluran dan Potensi
Pengembangan sebagai Petunjuk Praktikum Mata Kuliah Mikologi. Jurnal
Pendidikan Biologi Indonesia, 3(1), 64–71.
https://doi.org/10.22219/jpbi.v3i1.3977
Murphy, B. R., Doohan, F. M., & Hodkinson, T. R. (2013). Fungal Endophytes of
Barley Roots. Journal of Agricultural Science, 152(4), 602–615.
https://doi.org/10.1017/S0021859613000348
59

Narisawa, K., Kawamata, H., Currah, R. S., & Hashiba, T. (2002). Surpression of
Verticillium Wilt in Eggplant by Some Fungal Root Endophytes. European
Journal of Plant Pathology, 108, 103–109.
Ningsih, R., & Ambardini, S. (2018). Aklimatisasi dan Laju Pertumbuhan Planlet
Anggrek Macan (Grammatophyllum scriptum BL.). Jurnal Biologi, 7(2), 58–
68.
Novia, M. R. (2017). Keanekaragaman dan Kelimpahan Anggrek di Pusat
Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat [UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta]. https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/28645/
Nurul, Aidawati, N., & Liestiany, E. (2018). Pengaruh Pemberian Pseudomonas
Kelompok Fluorescens SKM 2 dan Variasi Waktu Inokulasi Virus Terhadap
Keparahan Penyakit Mosaik (Tobacco Mosaic Virus) pada Tanaman Cabai
Besar (Capsicum annum L.). Jurnal Proteksi Tanaman Tropika, 1(3), 50–57.
http://jtam.ulm.ac.id/index.php/jpt/article/view/41
Nurzannah, S. E., Lisnawita, & Bakti, D. (2014). Potensi Jamur Endofit Asal
Cabai sebagai Agens Hayati untuk Mengendalikan Layu Fusarium
(Fusarium oxysporum) pada Cabai dan Interaksinya. Jurnal Online
Agroekoteknologi, 2(3), 1230–1238. https://doi.org/10.32734/jaet.v2i3.7543
O’Byrne. (2001). A to Z of Southeast Asian Orchid Species (1st ed). Orchids
Society of South East Asia.
O’Byrne. (2011). A to Z of South East Asian Orchid Species Vol. 2. Orchid
Society of South East Asia.
Paiman, Ardiyanta, Kusumastuti, C. T., Pamungkas, P. B., & Ansar, M. (2022).
Identifikasi Propagul Gulma pada Berbagai Jenis Tanah Sawah. Vegetalika,
11(4), 315–328. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/veg.73437
Pang, X., Chen, J., Xu, Y., Liu, J., Zhong, Y., Wang, L., Zheng, J., & Wan, H.
(2023). Genome-Wide Characterization of Ascorbate Peroxidase Gene
Family in Pepper (Capsicum annuum L.) in Response to Multiple Abiotic
Stresses. Frontiers in Plant Sci, May, 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpls.2023.1189020
Pangestu, F., Aziz, S. A., & Sukma, D. (2014). Karakterisasi Morfologi Anggrek
Phalaenopsis Hibrida. Jurnal Hortikultura Indonesia, 5(1), 29–35.
Parnata, A. (2005). Pupuk Organik Cair. PT Agromedia Pustaka.
Paul, N. C., Deng, J. X., Sang, H. K., Choi, Y. P., & Yu, S. H. (2012).
Distribution and Antifungal Activity of Endophytic Fungi in Different
Growth Stages of Chili Pepper (Capsicum annuum L.) in Korea. Plant
60

Pathology Journal, 28(1), 10–19.


https://doi.org/10.5423/PPJ.OA.07.2011.0126
Pearson, W. R. (2013). An Introduction to Sequence Similarity (homology)
Searching. Current Protocols in Bioinformatics, 42(3).
https://doi.org/10.1002/0471250953.bi0301s42
Prapitasari, B., Kurniawan, A. P., & Muharam, D. H. (2020). Keanekaragaman
dan Kemelimpahan Jenis Anggrek (Orchidaceae) di Resort Selabintana
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat. Biosfer,
5(1), 24–30. https://doi.org/10.23969/biosfer.v5i1.2569
Pratidina, H., & Nengsih, Neli. Y. (2018). Mengenal Anggrek Taman Wisata
Bukit Kaba (1st ed., p. 53). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Putra, R. R., Mercuriani, I. S., & Semiarti, E. (2016). Pengaruh Cahaya dan
Temperatur terhadap Pertumbuhan Tunas dan Profil Protein Tanaman
Anggrek Phalaenopsis amabilis Transgenik Pembawa Gen Ubipro::PaFT.
Bioeksperimen: Jurnal Penelitian Biologi, 2(2), 76.
https://doi.org/10.23917/bioeksperimen.v2i2.2483
Qisthi, Ri. T., Novita, Khatima, H., Chamila, A., Hikmah, N., Sambopailin, S.,
Aksah, I., Paramita, L., & Setiawan, P. (2021). Buku Pengendalian Hama
dan Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura (O. Jumaidi, Dr. Ir. M.
Junda, Sirajuddin, & Arfandi, Eds.; 1st ed., Vol. 1). Biologi FMIPA
Universitas Negeri Makassar.
Rahmadani, L., & Purwantoro, A. (2020). Keragaman Morfologi dan Analisis
Kekerabatan Anggrek Phaleonopsis Spesies dan Hybrid. Vegetalika, 9(4),
535. https://doi.org/10.22146/veg.44997
Rahmawati, R., Riastuty, R. D., & Krisnawati, Y. (2020). Inventaris Jenis
Anggrek di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Biosfer, J. Bio
Dan Pend. Bio, 5(1), 14–19.
Ramdan, E. P. (2014). Eksplorasi Cendawan Endofit sebagai Agens Pengendali
Hayati Phytophthora capsici Leonian pada Cabai. Institut Pertanian Bogor.
Ramdan, E. P., Tondok, E. T., & Wiyono, S. (2017). Potensi Cendawan Endofit
sebagai Pengendali Hayati Penyakit Busuk Pangkal Batang (Phytophthora
capsici) pada Bibit Cabai. 13(September), 161–167.
https://doi.org/10.14692/jfi.13.5.161
Ramdan, E. P., Tondok, E. T., Wiyono, S., Hidayat, S. H., & Widodo, W. (2018).
Potensi Cendawan Endofit sebagai Pengendali Hayati Penyakit Busuk
Pangkal Batang (Phytophthora capsici) pada Bibit Cabai. Jurnal
Fitopatologi Indonesia, 13(5), 161. https://doi.org/10.14692/jfi.13.5.161
61

Rasmussen, H. N., & Rasmussen, F. N. (2009). Orchid mycorrhiza: Implications


of a Mycophagous Life Style. Oikos, 118(3), 334–345.
https://doi.org/10.1111/j.1600-0706.2008.17116.x
Rukmana. (2007). Bertanam Petsai dan Pakcoy. Kanisius.
Sadili, A., & Mahyar, U. W. (2003). Jenis-jenis Anggrek Taman Nasional Gunung
Halimun. Bogor: Bioveristy Coxervation Project LIPI-JICA PHKA.
Sadili, A., & Siti, S. (2017). Keanekaragaman, sebaran, dan pemanfaatan Jenis-
Jenis Anggrek (Orchidaceae) di Hutan Bodogol, Taman Nasional Gede
Pangrango, Jawa Barat. Jurnal Widyariset, 3(2), 95–106.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14203/widyariset.3.2.2017.95-106
Santos, M., Di, F., Brenda, S., Huertas, V., Moreno-gavira, A., Garrido-c, A., &
Gea, F. J. (2023). Biocontrol of Diseases Caused by Phytophthora capsici
and P. parasitica in Pepper Plants. Fungi (Basel).
https://doi.org/10.3390/jof9030360
Sapak, Z. (2006). Bacterial Endophytes From Oil Palm (Elaeis Guneensis) and
their Antagonistic Activity Against Ganoderma boninense. In School of
Graduate Studies Universiti Putra Malaysia.
Sari, N. (2020). Review of Endophytic Fungi as Biocontrol Agents Against Plant
Pathogen. Gontor Agrotech Sci, 6.
https://doi.org/https://doi.org/10.21111/agrotech.v6i1.3734
Sari, N., & Kasiamdari, R. S. (2021). Identifikasi dan Uji Patogenisitas
Colletotrichum spp. dari Cabai Merah (Capsicum annuum): Kasus di
Kricaan, Magelang, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 26(2),
243–250. https://doi.org/10.18343/jipi.26.2.243
Seidenfaden, G., & Wood, J. J. (1992). The Orchids of Peninsular Malaysia and
Singapore. Olsen & Olsen.
Semangun, H. (2000). Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
UGM Press.
Setiawan, & Rahardjo, M. (2016). Respon Pemupukan terhadap Pertumbuhan,
produksi dan mutu Herba Meniran (Phyllantus niruri). Bulletin Penelitian
Tanaman Rempah Dan Obat, 26(1), 25.
Shidiqy, H. A., Wahidah, B. F., & Hayati, N. (2018). Karakterisasi Morfologi
Anggrek (Orchidaceae) di Hutan Kecamatan Ngaliyan Semarang. Al-Hayat:
Journal of Biology and Applied Biology, 1, 94–98.
62

Strobel, G., & Daisy, B. (2003). Bioprospecting for Microbial Endophytes and
Their Natural Products. Microbiol Mol Biol Rev, 67(4), 491–502.
https://doi.org/10.1128/MMBR.67.4.491-502.2003.
Suada, I. K. (2017). Mikroba Potensial dalam Pengendalian Biologi Patogen
Tumbuhan (Mengenal Mikroba Sahabat Petani). In I. K. Suada (Ed.),
Mengenal Mikroba Sahabat Petani (1st ed.). Pelawa Sari.
Sudantha, I. M., & Abadi, A. L. (2007). Identifikasi Jamur Endofit dan
Mekanisme Antagonismenya terhadap Jamur Fusarium oxysporum f. sp.
vanillae pada Tanaman Vanili. Agroteksos, 17(1), 23–38.
Suganda, Tarkus, N. Istifadah, & Hersanti. (2007). Jamur Endofit:
Keanekaragaman, Kolonisasi dan Pernanannya terhadap Berbagai
Tanaman Sayuran dan Pangan.
Sukara, M. A., Farid, N., Yusuf, M., & Yustikawati. (2023). Efektivitas Infusa
Kulit Batang Kayu Jawa (Lannea coromandelica) terhadap Penurunan Kadar
Glukosa Darah. Jurnal Promotif Preventif, 6(1), 145–157.
http://journal.unpacti.ac.id/index.php/JPP
Sulistiarini, D., & Djarwaningsih, T. (2016). Keanekaragaman Jenis-Jenis
Anggrek Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Teknologi Lingkungan, 10(2),
167. https://doi.org/10.29122/jtl.v10i2.1489
Sunarningtyas, S., & Sudiarso. (2022). Pengaruh Pemberian Dosis Pupuk
Kandang Ayam dan Pupuk Anorganik NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Jurnal Produksi Tanaman,
10(11), 646–652.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21776/ub.protan.2022.010.11.07
Supriyanto, Priyatmojo, A., & Arwiyanto, T. (2009). Penapisan PGPF untuk
Pegendalian Penyakit Busuk Lunak Lidah Buaya (Aloe vera) di Tanah
Gambut. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 15(2), 71–82.
Susilowati, D. N., Sofiana, I., Atmini, K. D., & Yuniarti, E. (2020). Penapisan
Kapang Asal Lahan Sulfat Masam Kalimantan Selatan sebagai Penghasil
Enzim Ekstraseluler. Jurnal Ilmu Pertanian, 32(Juli), 65–82.
Suwadji, S., Nugraha, N. S., & Dapala, O. (2022). Strategi Pelestraian Anggrek
Alam di Ruang Terbuka Hijau Wonosobo. Prosiding Seminar Nasional
Instiper, 1(1), 140–149. https://doi.org/10.55180/pro.v1i1.250
Swastika, S., Pratama, D., Hidayat, T., & Andri, K. B. (2017). Buku Petunjuk
Teknis Teknologi Budidaya Cabai Merah. Badan Penerbit Universitas Riau
UR PRESS, Riau.
63

Syahnen, Roma, I., & Siahaan, T. U. (2011). Pemetaan Lokasi Penanaman Lada
dan Serangan Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) di Propinsi Lampung
dan Propinsi Bangka Belitung. In BBP2TP (Laboratorium Lapangan Balai
Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan) (pp. 1–11).
http://ditjenbun.deptan.go.id/bb2tpmed/
Syamsia, S., Idhan, A., Firmansyah, A. P., Noerfitryani, N., Rahim, I., Kesaulya,
H., & Armus, R. (2021). Combination on Endophytic Fungal as the Plant
Growth-Promoting Fungi (PGPF) on Cucumber (Cucumis sativus).
Biodiversitas, 22(3), 1194–1202. https://doi.org/10.13057/biodiv/d220315
Syamsudin. (2010). Perlakuan Benih untuk Pengendalian Penyakit Busuk
Phytophthora, Peningkatan Hasil dan Mutu Benih Cabai Merah (Capsicum
annuum L). Institut Pertanian Bogor.
Teoh, E. S. (2016). Medicinal Orchids of Asia. Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-24274-3
Tjitrosoepomo, G. (2013). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Universitas
Gajah Mada.
Tumangger, B. S., Nadilla, F., Baiduri, N., Fitriani, & Mardina, V. (2018). In vitro
Screening of Endophytic Fungi Associated with Mangrove as Biofertilizer on
the Growth of Black Rice (Oryza sativa L.) Cempo Ireng. IOP Conference
Series: Materials Science and Engineering, 420(1).
https://doi.org/10.1088/1757-899X/420/1/012080
Vannini, C., Carpentieri, A., Salvioli, A., Novero, M., Marsoni, M., Testa, L., de
Pinto, M. C., Amoresano, A., Ortolani, F., Bracale, M., & Bonfante, P.
(2016). An Interdomain Network: The Endobacterium of A Mycorrhizal
Fungus Promotes Antioxidative Responses in Both Fungal and Plant Hosts.
New Phytologist, 211(1), 265–275. https://doi.org/10.1111/nph.13895
Varma, A., Fekete, A., Srivastava, A., Saxena, A. K., Frommberger, M., Li, D.,
Gschwendter, S., Sherameti, I., Oelmueller, R., Schmitt-Kopplin, P.,
Tripathi, S., & Hartmann, A. (2013). Inhibitory Interactions of Rhizobacteria
with the Symbiotic Fungus Piriformospora indica. In Piriformospora indica
(pp. 201–219). https://doi.org/10.1007/978-3-642-33802-1_12
Vergara, C., Araujo, K. E. C., Urquiaga, S., & Santa-catarina, C. (2018). Dark
Septate Endophytic Fungi Increase Green Manure-15 N Recovery Efficiency,
N Contents, and Micronutrients in Rice Grains. Brazil Journal Microbiology,
50(1), 825–838. https://doi.org/10.3389/fpls.2018.00613
Vergara, C., Araujo, K. E. C., Urquiaga, S., & Schultz, N. (2017). Dark Septate
Endophytic Fungi Help Tomato to Acquire Nutrients from Ground Plant
64

Material. Frontiers in Microbiology, 8(December).


https://doi.org/10.3389/fmicb.2017.02437
Wahyono, P., & Widyati, P. (2010). Uji Aktivitas Senyawa Antiplasmodium dari
Fungi Endofit Tanaman Artemisia annua L. Majalah Farmasi Indonesia,
21(4), 230–235.
Wahyudi, & Topan, M. (2011a). Panen Cabai di Pekarangan Rumah (1st ed.).
Jakarta AgroMedia Pustaka.
Wahyudi, & Topan, M. (2011b). Panen Cabai di Pekarangan RUmah (T. Yulia,
Ed.; 1st ed.). Jakarta AgroMedia Pustaka.
Wahyuno, D. (2009). Pengendalian Terpadu Busuk Pangkal Batang Lada.
Perspektif, 8(1), 17–29.
Wan, J. S. H., & Liew, E. C. Y. (2020). Efficacy of Chemical and Biological
Agents Against Pepper Blight (Phytophthora capsici Leonion) in East Asia :
A Meta-Analysis of Laboratory and Field Trial Data. Journal of Plant
Pathology, 102(3). https://doi.org/10.1007/s42161-020-00519-0
Wartono. (2021). Insidensi dan Keparahan Penyakit Busuk pada Tanaman Cabai :
Studi Kasus di Lahan Petani Desa Ciampea Udik, Ciampea, Bogor. Seminar
Nasional Universitas Sebelas Maret, 5(1).
White, T. J., Bruns, T. D., Lee, S. B., & Taylor, J. W. (1990). Amplification and
Direct Sequencing of Fungal Ribosomal RNA Genes for Phylogenetics (Issue
May 2014). Academic Press.
Wibawanti, R., & Setyaningsih, Retno. B. (2019). Pengelolaan OPT Utama
Tanaman Lada dengan Sistem PHT (Wiratno & K. A. Sukanadi, Eds.; 1st
ed.). Direktorat Perlindungan Perkebunan.
Widiastoety, D. (2014). Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan
Planlet Anggrek Mokara (Effect of Auxin and Cytokinin on the Growth of
Mokara Orchid Plantlents). Jurnal Hortikultura, 24(3), 230–238.
Widiyono, W., & Hidayati, N. (2005). Periode Kritis Tanaman Cabai Merah Besar
(Capsicum annuum L. var. long chilli) pada Perlakuan Cekaman Air. In
Jurnal Biologi Indonesia (Vol. 3, Issue 9, pp. 389–396). http://e-
journal.biologi.lipi.go.id/index.php/jurnal_biologi_indonesia/article/view/32
82
Yani, I., Susanto, L. H., Kamila, H. A., Maulidina, W., Destyara, V., & Jasmine,
D. N. (2022). Analisis Keanekaragaman Jenis Anggrek (Orchidaceae) di
Resort PTN Wilayah II Selabintana Sukabumi Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP) Jawa Barat. Jurnal Green Growth Dan
Manajemen Lingkungan, 11(1). https://doi.org/10.21009/jgg.111.05
65

Yarza, H. N., Ahda, Y., & Fifendi, M. (2021). Isolasi dan Karakterisasi Bakteri
Termofilik Penghasil Inulinase dari Sumber Air Panas. Journal Bio-Site,
6(1), 01–09. https://doi.org/10.22437/bs.v4i2.5658
Yulianti, T. (2012). Menggali Potensi Endofit untuk Meningkatkan Kesehatan
Tanaman Tebu Mendukung Peningkatan Produksi Gula. Perspektif, 11(2),
11–122.
Zhai, Y., Guo, M., Wang, H., Lu, J., Liu, J., Zhang, C., Zhenhui, G., & Lu, M.
(2016). Autophagy, a Conserved Mechanism for Protein Degradation,
Responds to Heatss, and Other Abiotic Stresses in. Frontiers in Plant Sci,
7(February), 1–13. https://doi.org/10.3389/fpls.2016.00131
Zhang, Y., Zhang, Y., Liu, M., Shi, X., & Zhao, Z. (2008). Dark septate
endophyte (DSE) Fungi Isolated from Metal Polluted Soils: Their
Taxonomic Position, Tolerance, and Accumulation of Heavy Metals In Vitro.
The Journal of Microbiology, 46, 624–634.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/s12275-008-0163-6
66

LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi pengambilan sampel anggrek tanah
Kode
Spesies Anggrek Lattitude Longitude Northing Easting Elevation
Isolat
Corymborkis sp. GG 2.3 -6.235155106 116.1371613 -6.235155106 116.1371613 1435
Godyera 1 sp. GG 3.3 -4.646748451 113.4379283 -4.646748451 113.4379283 1457
Diglyphosa sp. GG 4.3 -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1437
GG 5.2
Macodes petola -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1438
GG 5.3
Malaxis sp. GG 8.3 -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1483
Liparis sp. GG 9.1 -6.742779732 107.0009842 -6.742779732 107.0009842 1490
GG 11.3
(T)
Godyera 2 sp. -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1558
GG
11.3(G)
GG 12.2
Godyera 3 sp. GG 12.2 -0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1587
GG 12.3
Godyera GG 14.1
-0.282095907 112.1247881 -0.282095907 112.1247881 1584
reticulata GG 14.2
Chrysoglossum
GG 15.1 -0.282095909 112.1247864 -0.282095909 112.1247864 1590
ornatum
Stereosandra sp. GG 17.2 -0.865894857 110.7886978 -0.865894857 110.7886978 1588

Lampiran 2. Dokumentasi eksplorasi anggrek tanah di TNGGP


67

Tanaman Anggrek hasil eksplorasi

Lampiran 3. Kapang endofit hasil isolasi dari akar anggrek tanah

GG 2.3 GG 3.3 GG 4.3 GG 5.2

GG 9.1 GG 11.3 (T) GG 11.3 (G) GG 12.2


68

GG 12.3 GG 14.1 GG 14.2 GG 15.1

GG 17.2 GG 18.3 GG 19.2 GG 19.3

SIG 2.1 SIG 2.3 SIG 6.1 SIG 6.2

SIG 7.2 SIG 7.3 SIG 9.2 SIG 10.1

SIG 10.2 SIG 11.3 SIG 12.1 SIG 12.1 (G)


69

SIG 14.1 SIG 14.3 SIG 15.2 SIG 15.3

Lampiran 4. Data berat kering sawi hasil skrining in vitro


Kode Berat Kering Standar
Asal No. Rataan
Isolat U1 U2 U3 Deviasi
1. GG 2.3 0.0098 0.0040 0.0067 0.0068 0.0029
2. GG 3.3 0.0104 0.0040 0.0038 0.0061 0.0038
3. GG 4.3 0.0115 0.0066 0.0103 0.0095 0.0026
4. GG 5.2 0.0250 0.0213 0.0218 0.0227 0.0020
5. GG 5.3 0.0076 0.0164 0.0090 0.0110 0.0047
6. GG 8.3 - - - - -
7. GG 9.1 0.0065 0.0103 0.0054 0.0074 0.0026
CIBODAS

8. GG 11.3 T 0.0100 0.0126 0.0080 0.0102 0.0023


9. GG 11.3 G 0.0018 0.0015 0.0028 0.0020 0.0007
10. GG 12.2 0.006 0.0113 0.0087 0.0087 0.0027
11. GG 12.3 - - - - -
12. GG 14.1 - - - - -
13. GG 14.2 0.0200 0.0220 0.0194 0.0205 0.0014
14. GG 15.1 - 0.0084 0.0139 0.0112 0.0039
15. GG 17.2 - - 0.0083 0.0083 -
16. GG 18.3 0.0033 0.0095 0.0027 0.0052 0.0038
17. GG 19.2 - - - - -
18. GG 19.3 - - - - -
19. SIG 2.1 0.0106 0.0112 0.0071 0.0096 0.0022
20. SIG 2.3 - - - - -
21. SIG 6.1 0.0083 0.0064 0.0088 0.0078 0.0013
22. SIG 6.2 0.0115 0.0113 0.0112 0.0113 0.0002
23. SIG 7.2 - - - - -
24. SIG 7.3 0.0036 - 0.0088 0.0062 0.0037
SITU GUNUNG

25. SIG 9.2 0.0044 0.0055 0.0085 0.0061 0.0021


26. SIG 10.1 0.0030 0.0047 0.0040 0.0039 0.0009
27. SIG 10.2 0.0166 0.0170 0.0194 0.0177 0.0015
28. SIG 11.3 - - - - -
29. SIG 12.1 0.0125 0.0052 0.0057 0.0078 0.0041
30. SIG 12.1 (G) 0.0126 0.0125 0.0129 0.0127 0.0002
31. SIG 14.1 0.0003 0.0018 0.0055 0.0025 0.0027
32. SIG 14.3 0.0114 0.0116 0.0186 0.0139 0.0041
33. SIG 15.2 0.0074 0.0041 0.0088 0.0068 0.0024
34. SIG 15.3 0.0118 0.0101 0.0097 0.0105 0.0011
35. Kontrol 0.0153 0.0162 0.0171 0.0162 0.0009
70

Lampiran 5. Dokumentasi skrining in vitro

GG 2.3 GG 3.3 GG 4.3

GG 5.2 GG 5.3 GG 8.3

GG 9.1 GG 11.3 (T) GG 11.3 (G)

GG 12.2 GG 14.1 GG 14.2


71

GG 15.1 GG 17.2 GG 18.3

GG 19.3 SIG 2.1 SIG 2.3

SIG 6.1 SIG 6.2 SIG 7.2

SIG 7.3 SIG 9.2 SIG 10.1

SIG 10.2 SIG 12.1 SIG 12.1(G)


72

SIG 14.1 SIG 14.3 SIG 15.2

SIG 15.3

Lampiran 6. Data tinggi dan berat kering hasil skrining in vivo


Rataan berat kering Standar Deviasi
Tinggi Berat Kering Rataan tinggi
Kode BK
Akar Batang Akar Batang Akar Batang Akar Batang Akar Batang
4.5 5.5 0.0030 0.0023
4.0 4.5 0.0018 0.0027
7.4 20.8 0.0263 0.1588
1.5 5.0 0.0019 0.0044
6.8 14.5 0.0166 0.0512
Kontrol

20.5 16.8 0.0164 0.0425


7.1 7.9 0.0074 0.0276 0.0082 0.0464
4.5 4.0 0.0027 0.0039
10.0 7.0 0.0085 0.0560
- 6.5 - 0.0037
3.5 6.3 0.0019 0.0016
3.0 4.0 0.0021 0.0027
2.5 3.0 0.0044 0.0022
3.4 5.3 0.0074 0.0278
(Colletotrichum gigasporum)

3.5 9.8 0.0019 0.0101


2.9 11.8 0.0154 0.0192
2.5 7.5 0.0036 0.0110
10.9 17.8 0.0034 0.0620
GG 5.2

3.3 15.0 0.0110 0.0370


5 13 0.0081 0.0385 0.0058 0.0371
11.0 22.0 0.0195 0.1444
4.0 13.8 0.0111 0.0459
5.0 17.4 0.0046 0.0288
3.0 8.0 0.0000 0.0052
5.0 13.8 0.0100 0.0385
5.5 14.3 0.0094 0.0322
5.5 19.0 0.0060 0.0577
(Chaetomium

2.3 15.8 0.0599 0.0415


globosum)
GG 14.2

2.0 12.5 0.0012 0.0240


3.5 13.7 0.0092 0.0332 0.0164 0.1645
4.3 14.8 0.0082 0.0570
3.3 16.4 0.0026 0.0183
1.8 8.5 0.0015 0.0082
73

2.5 9.9 0.0039 0.0246


2.0 12.0 0.0061 0.0262
6.0 8.8 0.0061 0.0178
5.3 16.4 0.0130 0.0475
4.0 16.0 0.0015 0.0480
14.8 0.0000 0.0282
10.8 18.5 0.0387 0.0943
10.0 18.9 0.0281 0.0924
10.0 19.0 0.0172 0.0802
(Colletotrichum arxii)

4.3 6.9 0.0067 0.0095


2.0 9.8 0.0049 0.0144
SIG 10.2

8.5 17.5 0.0201 0.0754


7.8 16.2 0.0227 0.0754 0.0167 0.0385
6.8 15.0 0.0131 0.0623
5.0 15.5 0.0143 0.0370
12.5 16.7 0.0469 0.1309
5.5 16.3 0.0082 0.0566
8.3 24.5 0.0572 0.1822
9.7 15.5 0.0178 0.0696

Lampiran 7. Dokumentasi skrining in vivo Cabai merah.

GG 5.2 GG 14.2 SIG 10.2


(Colletotrichum (Chaetomium (Colletotrichum
gigasporum) globosum) arxii)

Lampiran 8. Hasil skoring penyakit in vivo Cabai merah


ULANGAN

ULANGAN

3 HST 5 HST
KODE

KODE

Score penyakit pada tanaman ke- Score penyakit pada tanaman ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
1 4 3 0 0 3 0 3 3 1 5 5 3 3 5 0 5 4
KONTROL

KONTROL

2 4 3 3 0 3 3 2 1 2 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 2 2 2 3 0 0 0 3 4 3 4 3 4 3 0 0
1 0 0 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0 0 3 0 0 0
GG 5.2

GG 5.2

2 0 0 0 0 2 0 0 0 2 3 0 0 0 3 3 0 0
3 0 0 0 0 2 0 0 0 3 3 0 0 3 3 3 3 0
1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2 2 0 3 0 3 3
GG 14.2

GG 14.2

2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 3 0 0 0 2 0 3 3
3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 0 2 3 2 2 2 0
1 0 0 3 3 0 0 0 2 1 3 0 4 4 0 0 4 0
SIG 10.2

SIG 10.2

2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 3 0
3 0 0 0 2 0 0 0 0 3 0 0 3 3 2 0 0 0
74

ULANGAN

ULANGAN
8 HST 11 HST
KODE

KODE
Score penyakit pada tanaman ke- Score penyakit pada tanaman ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
1 5 5 5 5 5 0 5 5 1 5 5 5 5 5 0 5 5
KONTROL

KONTROL
2 5 5 5 5 5 5 4 5 2 5 5 5 5 5 5 4 5
3 5 5 5 5 4 5 3 2 3 5 5 5 5 4 5 3 2
1 3 3 0 3 2 0 2 2 1 3 3 0 3 2 0 2 2
GG 5.2

GG 5.2
2 3 0 0 3 3 3 2 3 2 3 0 0 3 3 3 2 3
3 4 0 4 0 3 3 3 3 3 4 0 4 0 3 3 3 3
1 3 3 3 0 3 0 3 3 1 3 3 3 0 3 0 3 3
GG 14.2

GG 14.2
2 4 3 3 0 2 3 4 4 2 4 3 3 0 2 3 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 3 0 5 5 0 0 3 5 1 3 0 5 5 0 0 3 5
SIG 10.2

SIG 10.2
2 0 0 2 2 2 0 3 0 2 0 0 2 2 2 0 3 0
3 0 0 2 1 3 0 0 0 3 0 0 2 1 3 0 0 0

Klasifikasi skor penyakit meliputi :


0 = sehat
1 = daun mulai menguning
2 = sedikit nekrosis
3 = nekrosis sedang di batang dan tanaman terlihat layu
4 = nekrosis berat dan tanaman terlihat jelas layu
5 = tanaman mati.
75

Lampiran 9. Hasil Pengujian Compare Means dengan metode One-Way Anova


pada software SPSS
A. Output Akar
Descriptives
Berat Kering Akar
95% Confidence Interval
for Mean Between-
Lower Upper Component
N Mean Std. Deviation Std. Error Bound Bound Minimum Maximum Variance
Kontrol 12 .007383 .0081163 .0023430 .002226 .012540 .0000 .0263
GG 14.2 12 .009167 .0163880 .0047308 -.001246 .019579 .0000 .0599
SIG 10.2 12 .022767 .0167001 .0048209 .012156 .033377 .0049 .0572
GG 5.2 12 .008108 .0057611 .0016631 .004448 .011769 .0000 .0195
Total 48 .011856 .0138654 .0020013 .007830 .015882 .0000 .0599
Model Fixed .0127134 .0018350 .008158 .015555
Effects
Random .0036552 .008158 .023489 .0000400
Effects

ANOVA

Berat Kering Akar


Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .002 3 .001 3.968 .014
Within Groups .007 44 .000
Total .009 47

Akar
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N a b
Kontrol 12 .007383
GG 5.2 12 .008108
GG 14.2 12 .009167
SIG 10.2 12 .022767
Sig. .749 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
76

B. Output Batang
Descriptives
B.Batang
Between-
95% Confidence Component
Interval for Mean Minimum Maximum Variance
Lower Upper
N Mean Std. Deviation Std. Error Bound Bound
Kontrol 12 .027667 .0463890 .0133913 -.001807 .057141 .0016 .1588
GG 14.2 12 .033250 .0164479 .0047481 .022800 .043700 .0082 .0577
SIG 10.2 12 .075400 .0479136 .0138315 .044957 .105843 .0095 .1822
GG 5.2 12 .038508 .0370706 .0107014 .014955 .062062 .0052 .1444
Total 48 .043706 .0422238 .0060945 .031446 .055967 .0016 .1822
Model Fixed Effects .0390269 .0056331 .032354 .055059
Random Effects .0107940 .009355 .078057 .0003391

ANOVA
B.Batang
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .017 3 .006 3.672 .019
Within Groups .067 44 .002
Total .084 47

Batang
Duncana
Subset for alpha = 0.05
Perlakuan N a b
Kontrol 12 .027667
GG 14.2 12 .033250
GG 5.2 12 .038508
SIG 10.2 12 .075400
Sig. .527 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12.000.
77

Lampiran 10. Hasil BLAST isolat Kapang Endofit pada website NCBI
https://blast.ncbi.nlm.nih.gov/
A. Hasil 10 teratas BLAST isolat SIG 10.2

B. Hasil 10 teratas BLAST isolat GG 5.2

C. Hasil 10 teratas BLAST isolat GG 14.2

Anda mungkin juga menyukai