Anda di halaman 1dari 61

SAMPAH MIKROPLASTIK PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN

KERAPU GENUS Epinephelus di PULAU PRAMUKA KEPULAUAN


SERIBU

ARIEF BUDI UTOMO

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
SAMPAH MIKROPLASTIK PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN
KERAPU GENUS Epinephelus di PULAU PRAMUKA KEPULAUAN
SERIBU

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Arief Budi Utomo


11140950000015

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H
SAMPAH MIKROPLASTIK PADA SALURAN PENCERNAAN IKAN
KERAPU GENUS Epinephelus di PULAU PRAMUKA KEPULAUAN
SERIBU

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ARIEF BUDI UTOMO


11140950000015

Menyetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Lily Surayya E.P, M. Env. Stud Mardiansyah, M.Si

NIP. 196904042005012005 NUP. 9920112737

Mengetahui,
Ketua Program Studi Biologi
Fakultas Sains dan teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si


NIP. 197505262000122001
KATA PENGANTAR

‫بِس ِْم هللاِ ال َّر م ِن ال َّر ِحيْم‬

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
kelimpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan
dalam menyusun hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana sains pada Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian berjudul
“Sampah Mikroplastik Pada Saluran Pencernaan Ikan Kerapu Genus
Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu”.
Penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada semua pihak atas segala
bimbingan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama menyusun
hasil penelitian ini. Ucapan terimakasih terutama ditujukan kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan izin
pelaksanaan penelitian.
2. Dr. Priyanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu adiministrasi untuk penelitian
dan skripsi.
3. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud selaku pembimbing 1 yang
telah membimbing saya dalam menyusun skripsi.
4. Mardiansyah, M.Si selaku pembimbing 2 yang telah membimbing saya
dalam menyusun skripsi.
5. Orang tua penulis yang telah memberikan izin, dukungan materi dan moril,
serta mendoakan sampai saat ini.
6. Keluarga Besar MBC Nudibranch Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan penulis dalam penjurusan
bidang biologi kelautan khususnya dalam peminatan terhadap ikan karang
sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini.

vi
7. Teman-teman Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2014 yang telah memberikan banyak
dukungan moril kepada penulis.
8. Nindya Octora Saragih yang telah membantu dalam berjalannya penelitian
ini, dan memberikan dukungan moril terhadap penulis.
Demikian hasil penelitian ini disusun, semoga bermanfaat bagi para
pembaca dalam menambah ilmu dan pengetahuan.

Jakarta. April 2020

Penulis

vii
ABSTRAK

Arief Budi Utomo. Sampah Mikroplastik Pada Saluran Pencernaan Ikan


Kerapu Genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Skripsi.
Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Lily Surayya Eka
Putri dan Mardiansyah.

Mikroplastik telah mengkontaminasi biota laut salah satunya ikan kerapu,


sehingga diperlukan penelitian untuk menganalisa di saluran pencernaan ikan
kerapu genus Epinephelus. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa jumlah dan
jenis mikroplastik di saluran pencernaan, hubungan jumlah mikroplastik dengan
panjang tubuh, jumlah mikroplastik di sedimen, dan nilai Bioaccumulation Factor
(BAF) mikroplastik di pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus dari Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu. Metode penentuan titik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling dan observasi langsung. Ikan kerapu
didapatkan sebanyak 20 individu dan 4 spesies yaitu, E. areolatus, E. ongus, E.
sexfasciatus, dan E. fuscoguttatus. Jumlah mikroplastik yang ditemukan di saluran
pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus sebanyak 1648 partikel dan terdapat 3
jenis mikroplastik yaitu, fiber, fragmen, dan pellet. Jumlah mikroplastik pada
pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus tidak memiliki pengaruh terhadap
panjang tubuh individu keempat jenis ikan kerapu genus Epinephelus. Jumlah
mikroplastik tertinggi pada sedimen yaitu di Dermaga Pulau Pramuka dan
terendah di Gosong Pulau Pramuka. Nilai BAF menunjukkan hasil bahwa serapan
mikroplastik pada sedimen ke saluran pencernaan keempat jenis ikan kerapu
genus Epinephelus rendah karena kurang dari 1. Total semua sampel ikan kerapu
genus Epinephelus telah terkontaminasi mikroplastik.

Kata Kunci: Epinephelus, BAF, Mikroplastik

viii
ABSTRACT

Arief Budi Utomo. Microplastics Waste in Grouper Fish Genus Epinephelus


Digestive Tract at Pramuka Island, Seribu Islands. Undergraduate Thesis.
Department of Biology. Faculty of Sains and Technology. The State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Advised by Lily Surayya Eka
Putri and Mardiansyah

Microplastic has contaminated marine biota, one of which is grouper, so research


is needed to analyze in the digestive tract of grouper genus Epinephelus. This
study aims to analyze the number and types of microplastics in the digestive tract,
the relationship between the number of microplastics with body length, the
number of microplastics in sediments, and the value of microplastic
bioaccumulation factor (BAF) in the digestion of grouper Epinephelus genus at
Pramuka Island, Seribu Islands. The method of determining the sampling point
using purposive sampling and direct observation. Groupers were found as many as
20 individuals and 4 species namely, E. areolatus, E. ongus, E. sexfasciatus, and
E. fuscoguttatus. The number of microplastics found in the digestive tract of the
Epinephelus grouper is 1648 particles and there are 3 types of microplastics
namely, fiber, fragments, and pellets. The amount of microplastic in the digestion
of the Epinephelus grouper does not effect on the body length of the four
individual species of the Epinephelus grouper. The highest amount of
microplastics in sediments is in Pramuka Island Pier and the lowest in Gosong
Pramuka Island. The BAF value indicates the result that microplastic uptake in
sediments to the digestive tract of the four species of Epinephelus grouper is low
because it is less than 1. All samples of the Epinephelus grouper were microplastic
contaminated.

Keywords: Epinephelus, BAF, microplastics

ix
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................3
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................4
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................................4
1.5. Kerangka Berfikir ....................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Plastik ......................................................................................................6
2.2. Sampah Lautan (Marine Debris) .............................................................7
2.3. Sampah Plastik.........................................................................................8
2.4. Mikroplastik.............................................................................................9
2.5. Ikan Kerapu ...........................................................................................12
2.6. Sedimen .................................................................................................13
2.7. Bioaccumulation Factor ........................................................................14

BAB III METODOLOGI


3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................15
3.2. Alat dan Bahan ......................................................................................15
3.3. Prosedur Kerja .......................................................................................16
3.3.1. Pengambilan Sampel ...................................................................16
3.3.1.1. Ikan Kerapu .....................................................................16
3.3.1.2. Sedimen ...........................................................................16
3.3.2. Preparasi Sampel .........................................................................17
3.3.2.1. Ikan Kerapu .....................................................................17
3.3.2.2. Sedimen ...........................................................................17
3.4. Analisis Data ..........................................................................................18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Mikroplastik pada Saluran Pencernaan Ikan Kerapu.............................20
4.2. Jenis Mikroplastik pada Saluran Pencernaan Ikan Kerapu....................24
4.3. Pengaruh Jumlah Mikroplastik denga Panjang Tubuh Ikan Kerapu
Genus Epinephelus ................................................................................28
4.4. Mikroplastik Sedimen............................................................................29

x
4.5. Bioaccumulation Factor (BAF) Mikroplastik .......................................30

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan ............................................................................................33
5.2. Saran ......................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................34

LAMPIRAN-LAMPIRAN.....................................................................................41

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian .................................................................5
Gambar 2. Susunan polimer plastik ........................................................................7
Gambar 3. Marine Debris .......................................................................................8
Gambar 4. Contoh jenis ikan kerapu genus Epinephelus ......................................13
Gambar 5. Peta lokasi penelitian ...........................................................................15
Gambar 6. Grafik jumlah tiap jenis mikroplastik pada saluran pencernaan empat
jenis ikan kerapu genus Epinephelus ..................................................23
Gambar 7. Diagram persentase jumlah tiap jenis mikroplastik pada saluran
pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus ........................................24
Gambar 8. Mikroplastik yang ditemukan di saluran pencernaan ikan kerapu genus
Epinephelus .........................................................................................25
Gambar 9. Regresi liner antara jumlah mikroplastik dengan panjang total ikan
kerapu genus Epinephelus ...................................................................27
Gambar 10. Grafik Jumlah Rata-Rata Mikroplastik pada Sedimen di 3 lokasi .....29
Gambar 11. Grafik nilai BAF pada masing-masing individu ikan kerapu genus
Epinephelus .........................................................................................30
Gambar 12. Grafik rata-rata nilai BAF pada masing-masing jenis ikan kerapu
genus Epinephelus ...............................................................................32

xii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Jumlah mikroplastik pada pencernaan ikan kerapu .................................20

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Dokumentasi kegiatan penelitian.......................................................41
Lampiran 2. Data individu ikan kerapu..................................................................42
Lampiran 3. Hasil regresi linier antara ukuran tubuh dengan jumlah mikroplastik
ikan kerapu genus Epinephelus.........................................................44
Lampiran 4. Data mikroplastik sedimen ................................................................46
Lampiran 5. Hasil One Sample T-test jumlah rata-rata mikroplastik di sedimen ..46
Lampiran 6. Perhitungan nilai BAF .......................................................................47

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Plastik merupakan komponen beragam dari polimer sintetis yang muncul
pada akhir abad 19 dan menjadi populer pemakaiannya hingga saat ini. Plastik
memiliki kepadatan yang rendah, daya tahan tinggi, bahan yang baik sebagai
pelindung, dan memiliki biaya yang rendah membuat plastik ideal untuk berbagai
aplikasi manufaktur ataupun pengemasan (Andrady, 2003). Keserbagunaan dari
plastik membuat angka produksi semakin meningkat tiap tahun, dilaporkan
sebanyak 288 juta ton produksi plastik pada tahun 2012 dan terus bertambah 4%
tiap tahunnya (PlasticsEurope, 2013). Plastik memiliki daya tahan hingga
bertahun-tahun di lingkungan, dengan kepadatan yang rendah dan mudah tersebar
oleh angin ataupun air, plastik dapat ditemukan hingga ribuan kilometer dari
sumbernya. Sebagai hasilnya, limbah plastik merupakan limbah yang dapat
ditemukan dimana-mana dan tersebar di seluruh penjuru dunia (Thompson et al.,
2009).
Sampah plastik merupakan salah satu ancaman polusi lautan yang begitu
serius hingga jangka waktu yang lama (Goldberg, 1995). Berlimpahnya sampah
plastik yang masuk ke wilayah laut menyebabkan kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir dan laut. Sampah plastik yang masuk ke wilayah laut Indonesia
sebesar 0,48-1,29 juta metrik ton per tahun. Sampah plastik yang melimpah tiap
tahun menyebabkan Indonesia menjadi negara nomor dua setelah Cina dalam
menyumbang sampah plastik ke lautan (Jambeck et al., 2015). Sampah plastik
perlu diperhatikan karena sifatnya yang bertahan lama dan adanya senyawa toksik
yang dapat melekat pada susunan polimer plastik (Browne et al., 2008).
Sampah plastik yang terdegradasi di lingkungan akan menjadi bagian-
bagian kecil berupa mikroplastik. Mikroplastik merupakan partikel plastik
berukuran <5 mm hingga berukuran 1 nm Mikroplastik memiliki bentuk yang
heterogen dengan diameter ukuran yang beragam dari ukuran milimeter hingga

1
2

mikrometer dan memiliki bentuk partikel membulat, membentuk serat, dan


memanjang (GESAMP, 2015). Mikroplastik masuk ke perairan laut berasal dari
industri kosmetik berupa microbeads, produk kosmetik, dan berbagai macam
sampah plastik yang telah melalui proses di lingkungan oleh cuaca seperti paparan
sinar UV, biodegradasi, dan proses fisika (Pettipas et al., 2016; Andrady, 2011).
Mikroplastik dapat berdampak buruk bagi biota-biota laut yang terpapar.
Mikroplastik dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan dan kelenjar endokrin
(Carbery et al., 2018). Menurut Wright et al. (2013) mikroplastik dapat
menyebabkan kerusakan pada fungsi organ seperti saluran pencernaan,
mengurangi tingkat pertumbuhan, menurunkan kadar hormon steroid, dan
gangguan pada sistem reproduksi, serta paparan plastik aditif menimbulkan sifat
toksik.
Ikan kerapu merupakan salah satu ikan target yang dikonsumsi dan digemari
banyak orang. Ikan kerapu merupakan karnivora, dan menghabiskan hidupnya
didasar perairan untuk menunggu mangsa yang berupa ikan kecil dan benthic
inverterbrates (Allen et al., 2003; Tim Perikanan WWF-Indonesia, 2015). Benthic
inverterbrates merupakan mangsa bagi ikan predator seperti ikan kerapu yang
terdampak langsung oleh kontaminasi mikroplastik pada dasar perairan, sehingga
dapat memungkinkan ikan kerapu terkontainasi oleh mikroplastik. Habitat ikan
kerapu sebagian besar berada di terumbu karang, beberapa jenis ikan kerapu
berada di wilayah estuari dan perairan dangkal dengan dasar berupa batu ataupun
pasir dan lumpur. Salah satu tempat yang memiliki habitat beberapa jenis ikan
kerapu di perairan laut Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau yang berada pada gugusan
Kepulauan Seribu. Pulau ini merupakan pusat administrasi dan pemerintahan
Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu. Pulau Pramuka termasuk ke dalam
Kelurahan Pulau Panggang. Sebagai tempat wisata dan juga pengaruh yang besar
dari Teluk Jakarta, Pulau Pramuka tak luput dari sampah laut termasuk dengan
mikroplastik. Wilayah perairan Pulau Pramuka terdapat keanekaragaman ikan
termasuk ikan kerapu yang menjadi ikan target yang ditangkap untuk dikonsumsi
ataupun dijual kembali oleh nelayan ataupun masyarakat sekitar.
3

Perpindahan mikroplastik kedalam suatu biota perairan dapat terjadi baik


dari lingkungan langsung ataupun mangsanya (Lusher et al., 2017). Perpindahan
mikroplastik dari lingkungan atau makanan dapat meningkatkan konsentrasi
mikroplastik di dalam tubuh biota, sehingga dapat menimbulkan bioakumulasi
(Carbery et al., 2018). Bioakumulasi merupakan peningkatan konsentrasi suatu
zat kimia yang berbahaya ke dalam suatu tubuh organisme, baik melalui
lingkungan seperti air, sedimen, ataupun udara, dan melalui makanan atau mangsa
yang dikonsumsi (Arnot & Gobas, 2006). Bioakumulasi mikroplastik pada biota
laut termasuk ikan kerapu dapat terjadi, sehingga perpindahan mikroplastik juga
terjadi ke biota laut lain yang memangsa ikan kerapu, ataupun berpindah ke
masusia.
Perpindahan mikroplastik dari individu ke individu dapat terjadi, dan secara
langsung mikroplastik berpindah kepada manusia dengan mengkonsumsi ikan
(Hantoro et al., 2019). Konsumsi ikan di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya,
pada tahun 2014 sebesar 38,14 kg/kapita/tahun, dan naik pada tahun 2017 hingga
46,49 kg/kapita/tahun termasuk konsumsi ikan kerapu (KKP, 2018). Tingkat
konsumsi yang tinggi dapat sebanding dengan paparan mikroplastik terhadap
manusia. Penelitian sebelumnya tentang mikroplastik pada saluran pencernaan
ikan kerapu jenis E. areolatus di Pantai Ancol, Pelabuhan Ratu, dan Labuan
ditemukan jumlah mikroplastik dengan rata-rata 8 partikel/individu (Hapitasari,
2016). Penelitian lain pada ikan kerapu jenis E. coioides di Seri Kembangan,
Malaysia, ditemukan mikroplastik dengan rata-rata 4 partikel/individu (Karbalaei
et al., 2019). Penelitian ini diperlukan untuk mengetahui kandungan mikroplastik
yang terdapat pada saluran pencernaan ikan kerapu, proses transfer dari
lingkungan perairan, dan menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut tentang
mikroplastik Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
1.2. Rumusan masalah
Rumusan Masalah penelitian ini:
1) Bagaimana gambaran umum sampah mikroplastik yang ada pada
pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu?
4

2) Bagaimana pengaruh jumlah mikroplastik dengan panjang tubuh ikan


kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu?
3) Bagaimana gambaran umum mikroplastik pada sedimen di lokasi
penangkapan ikan kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu?
4) Begaimana serapan mikroplastik pada ikan kerapu genus Epinephelus dari
sedimen di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini:
1) Menganalisis jumlah dan jenis sampah mikroplastik yang ada di pencernaan
ikan kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
2) Menganalis hubungan jumlah mikroplastik dengan panjang tubuh ikan
kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
3) Menganalisis jumlah mikroplastik pada sedimen di lokasi penangkapan ikan
kerapu genus Epinephelus di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
4) Menghitung estimasi serapan mikroplastik pada ikan kerapu genus
Epinephelus dari sedimen menggunakan Bioaccumulation factor di Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang jenis
sampah mikroplastik yang ditemukan di pencernaan ikan kerapu genus
Epinephelus Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Penelitian ini dapat menjadi
informasi mengenai dampak pencemaran lingkungan dan pertimbangan terhadap
pemilihan bahan konsumsi khususnya seafood oleh masyarakat.
5

1.5. Kerangka Berfikir


Alur kerangka berpikir penelitian ditunjukkan pada gambar 1.

Laut Habitat

Kontaminasi Pulau Pramuka,


Kepulauan Seribu

Sampah
Plastik Sedimen

Makroplastik Bioakumulasi

Mikroplastik Ikan Kerapu


Genus Produk Pangan
Epinephelus (Seafood)
Nanoplastik

Predator
Sampah Mikroplastik pada
Saluran Pencernaan Ikan
Kerapu Genus Epinephelus di Biomagnifikasi
Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu
Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian. (--- : batasan penelitian)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Plastik
Plastik secara sederhana didefinisikan sebagai material polimer yang dapat
dicetak atau dietruksi menjadi bentuk yang diinginkan dan yang mengeras setelah
didinginkan atau pelarutnya diuapkan (Oxtoby et al., 2003). Plastik yang umum
digunakan saat ini merupakan polimer sintetik dari bahan baku minyak yang
terbatas jumlahnya dan tidak dapat diperbaharui (Gambar 2). Syarief et al., (1989)
membagi plastik menjadi dua berdasarkan sifat-sifatnya terhadap perubahan suhu,
yaitu:
1. Termoplastik: merupakan jenis plastik yang dapat meleleh pada suhu tertentu,
melekat mengikuti perubahan suhu dan mempunyai sifat dapat balik
(reversibel) kepada sifat aslinya. Proses pemanasan akan membuat plastik ini
kembali mengeras bila didinginkan. Jenis plastik thermoplast antara lain: PE,
PP, PS, ABS, SAN, nylon, PET, BPT, Polyacetal (POM), PC dan lain-lain.
2. Termoset: tidak dapat mengikuti perubahan suhu (irreversibel). Plastik
thermoset adalah plastik yang apabila telah mengalami kondisi tertentu tidak
dapat dicetak kembali karena bangun polimernya berbentuk jaringan tiga
dimensi. Jenis plastik ini tidak dapat dilunakkan kembali, setelah proses
pengerasan. Proses pemanasan yang tinggi akan membentuk arang dan terurai
pada jenis plastik ini. Jenis-jenis plastik termoset antara lain: PU (Poly
Urethene), UF (Urea Formaldehyde), MF (Melamine Formaldehyde),
polyester, epoksi dan lain-lain.
Ada berbagai macam jenis platik. Plastik yang digunakan untuk membuat
botol air mineral tentu berbeda dengan plastik untuk membuat mangkuk, sedotan,
kursi, dan pipa. Untuk mengetahui jenis plastik yang digunakan sebagai material
dasar sebuah produk kita bisa melihat pada symbol yang dicetak pada plastik.
Simbol ini berupa sebuah angka (dari 1-7) dalam rangkaian tanda panah yang
membentuk segitiga, biasanya dicetak dibagian bawah benda plastik. Setiap

6
7

simbol mewakili jenis plastik yang berbeda dan membentuk pengelompokkan


dalam melakukan proses daur ulang.

Gambar 2. Susunan polimer plastik (Sumber: www.nde-ed.org)


2.2. Sampah Lautan (Marine Debris)
Sampah laut (marine debris; Gambar 3) sebagai bahan padat persisten yang
dibuat atau diproses dan secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak
sengaja, dibuang atau dibuang ke lingkungan laut (NOAA, 2016). Marine debris
termasuk produk-produk buatan manusia yang terdiri dari bahan-bahan seperti
plastik, gelas, logam, atau karet, serta alat tangkap yang terlantar dan kapal-kapal
terlantar, dan dapat bervariasi ukurannya dari mikrometer (pelet plastik) hingga
meter (bangkai kapal) (Bergmann et al., 2015; UNEP, 2009.; Lippiatt et al.,
2013). Marine debris dengan cepat mencapai pengakuan universal sebagai
ancaman antropogenik kunci bagi ekosistem kelautan global dan menghasilkan
beragam dampak negatif terhadap lingkungan, ekonomi, keselamatan, kesehatan,
dan budaya (UNEP, 2009).
Marine debris telah diidentifikasi sebagai masalah global bersama dengan
masalah lingkungan utama lainnya, seperti perubahan iklim, pengasaman laut dan
hilangnya keanekaragaman hayati (Sutherland et al., 2010). Ini dianggap sebagai
salah satu masalah paling signifikan bagi lingkungan laut dan ancaman utama bagi
8

keanekaragaman hayati (Gall & Thompson, 2015). Marine debris secara estetika
merugikan, bahaya bagi pelayaran komersial dan kapal penangkap ikan, dapat
memfasilitasi transportasi kontaminan organik dan anorganik dan berbahaya bagi
organisme laut dan berpotensi juga manusia (GESAMP, 2015). Tiga perempat
dari Marine debris adalah plastik, yang mencemari habitat dari kutub ke ekuator
dan dari garis pantai ke laut dalam (Lippiat, et al., 2013). Marine debris merusak
ekonomi, satwa liar, dan lingkungan sehingga dibutuhkan kesepakatan universal
untuk mengatasinya (NOAA, 2016).

A B

Gambar 3. Marine Debris. A. Marine debris yang menumpuk di permukaan laut;


B. Marine debris bekas jaring ikan yang tersangkut pada tubuh penyu.
(Sumber: https://marinedebris.noaa.gov/discover-issue)
2.3. Sampah Plastik
Sampah plastik yang berada dalam tanah yang tidak dapat diuraikan oleh
mikroorganisme menyebabkan mineral-mineral dalam tanah baik organik maupun
anorganik semakin berkurang. Hal ini berdampak langsung pada tumbuhan yang
hidup pada area tersebut, karena tumbuhan membutuhkan mikroorganisme tanah
sebagai perantara dalam kelangsungan hidupnya (Ahmann & Dorgan, 2007). Data
statistik persampahan domestik Indonesia menyebutkan jenis sampah plastik
menduduki peringkat kedua sebesar 5,4 juta ton per tahun atau 14 persen dari total
produksi sampah. Dengan demikian, plastik telah mampu menggeser sampah jenis
kertas yang tadinya di peringkat kedua menjadi peringkat ketiga dengan jumlah
3.6 juta ton per tahun atau 9 persen dari jumlah total produksi sampah (InSWA,
2013).
Sampah plastik berbahaya bagi lingkungan, karena mempunyai sifat toksik
pada beberapa jenis dan memiliki daya tahan yang tinggi di lingkungan terutama
9

di wilayah perairan. Plastik yang dibuang mendegradasi dan memecah menjadi


jutaan keping mikroplastik, memungkinkannya untuk dikonsumsi oleh berbagai
biota laut, dari produsen primer hingga organisme tingkat trofik yang lebih tinggi,
dan lebih mungkin menyusup ke jaring makanan (Browne et al., 2008). Produksi
plastik tahunan telah meningkat tajam selama 60 tahun terakhir, dari 1,5 juta ton
pada 1950-an menjadi 288 juta ton pada 2012, dengan sekitar dua pertiga produksi
terjadi di Asia Timur, Eropa, dan Amerika Utara (PlasticEurope, 2013). Sepertiga
dari produksi global adalah kemasan sekali pakai yang dibuang dalam setahun
(Koelmans et al., 2014).
Daur ulang plastik akhir masa pakai, adalah mungkin untuk mengurangi
akumulasi puing-puing laut tetapi juga mengurangi permintaan kita akan bahan
bakar fosil (Thompson et al., 2009). Lebih lanjut, sekitar 8% produksi minyak
global digunakan untuk membuat barang-barang plastik, dengan gas alam juga
berkontribusi pada produksi plastik. Permintaan akan plastik terus bertambah,
diperkirakan produksi plastik akan mencapai 33 miliar ton pada tahun 2050,
berdasarkan tren konsumsi saat ini (Rochman et al., 2013). Perkiraan global saat
ini untuk limbah plastik menunjukkan bahwa 192 negara pesisir menghasilkan
275 juta ton limbah pada 2010, di mana antara 4,8 dan 12,7 juta ton (1,8 - 4,6
persen) memasuki lingkungan laut (Jambeck et al., 2015).
2.4. Mikroplastik
Potongan-potongan kecil plastik mengambang di permukaan laut pertama
kali dilaporkan dalam literatur ilmiah pada awal tahun 1970 (Carpenter & Smith,
1972; Carpenter et al, 1972), dan kembali publikasi menggambarkan penelitian
yang mengidentifikasikan fragmen plastik pada burung di tahun 1960 (Harper &
Fowler, 1987). Istilah mikroplastik tidak diketahui kapan digunakan sehubungan
dengan Marine debris. Ryan & Moloney (1990) menggambarkan hasil survei
pantai Afrika Selatan, dan dalam laporan pelayaran Asosiasi Pendidikan Laut
pada tahun 1990 oleh Thompson et al. (2004) menggambarkan distribusi fragmen
plastik dalam air laut. Tidak ada definisi ukuran formal yang diusulkan saat itu
tetapi umumnya istilah materi mikroplastik hanya bisa diidentifikasikan melalui
mikroskop. Menggambarkan potongan-potongan kecil plastik banyak digunakan
10

dalam ukuran milimeter hingga mikrometer, meskipun belum diakui secara


forrmal (GESAMP, 2015).
Definisi ukuran mikroplastik dibahas pada workshop penelitian
internasional tentang kejadian, efek dan nasib marine debris mikroplastik pada
tahun 2008 oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
(Arthur et al., 2009). Peserta workshop mengadopsi definisi pragmatis,
menyarankan batas ukuran atas pada mikroplastik yaitu 5 mm, berdasarkan
partikel-partikel kecil yang dapat dicerna oleh biota. Banyak penelitian
menggunakan definisi ukuran mikroplastik pada rentang 1 nm hingga 5 mm
(GESAMP, 2015).
Mikroplastik terdapat beberapa jenis berdasarkan bentuk dan ukurannya.
Mikroplastik terdapat 6 jenis bentuk yaitu, frgamen, fiber, beads, foam, film, dan
pellet. Fragmen memiliki bentuk yang tidak teratur, seperti membentuk kristal,
memiliki permukaan halus dan kasar, ataupun berbentuk granul. Fiber memiliki
bentuk filamen atau memanjang, seperti bentuk helaian atau seperti bentuk
benang. Beads memiliki bentuk seperti biji-bijian, ataupun bentuk bulatan
sempurna yang berukuran mikro. Foam memiliki bentuk seperti buih atau
gelembung yang berasal dari bahan polystyrene, contohnya styrofoam. Film
memiliki bentuk lapisan tipis yang melebar dan membentuk lembaran-lembaran
plastik yang kecil. Pellet merupakan mikroplastik yang berasal dari resin, bijih
plastik mentah yang siap produksi, ataupun membentuk seperji biji dari degradasi
plastik yang keras (GESAMP, 2015; Lusher et al, 2016).
Mikroplastik telah tersebar luas dan ditemukan dimana-mana akan tetapi
informasi mengenai dampak biologis dari polusi mikroplastik pada organisme laut
masih terbatas (Barnes et al., 2009; Ryan et al., 2009). Menelan mikroplastik
menyebabkan efek samping yang potensial ataupun efek toksik yang dihasilkan
dari kontaminan yang melekat pada mikroplastik ataupun polutan asing yang
berasosiasi dengan mikroplastik (Cole et al,. 2011). Mikroplastik yang tertelan
dapat menimbulkan bahaya mekanis bagi saluran pencernaan biota kecil
(Tourinho et al., 2009). Fragmen mikroplastik akan menyumbat saluran
pencernaan, dimana makanan akan terhambat masuk ataupun keluar dari saluran
11

pencernaan, sehingga menyebabkan berkurangnya asupan makanan yang


diperoleh oleh biota kecil tersebut (Derraik, 2002).
Selain efek yang mempengaruhi fisik pada pencernaan biota, plastik
memiliki bahan kimia yang ditambahkan dalam proses tertentu, sehingga
memberikan sifat tertentu pada plastik (Deraik, 2002; Rochman et al., 2013). Zat
aditif pada plastik dapat ditransfer ke jaringan hewan yang telah mengkonsumsi
plastik menimbulkan efek potensial pada fisiologis dan kesehatan biota (Browne,
et al., 2007). Contoh pada Lugworm yang dipaparkan mikroplastik
polychlorinated biphenyls (PCB) selama 28 hari, menyebabkan berat dari
Lugworm turun, namun tidak diketahui apakah efek adanya mikroplastik ataupun
efek toksik dari PCB yang menyebabkan efek tersebut (Besseling et al., 2017).
PCB dapat mempengaruhi regulasi pada beberapa hormon penting, seperti
esterogen, testosteron, dan tiroksin (Goncharov et al., 2009).
Perubahan dari konsentrerasi hormon dapat memiliki efek yang kompleks
pada perilaku hewan (Critchell & Hoogenboom, 2018). Selain efek toksikologis,
pengaruh konsumsi dari mikroplastik mempengaruhi tingkat kelaparan dari biota.
Konsumsi mikroplastik percobaan pada ikan gobi Pomatoschitus microps
mempengaruhi perilaku tingkat predasi, akan tetapi mekanisme yang
mempengaruhi perubahan perilaku ini masih belum diketahui (de Sá et al., 2015).
Peran perilaku hewan penting dalam menentukan kinerja di lingkungan alami,
efek konsumsi atau paparan mikroplastik sebagian besar belum diketahui
(Critchell & Hoogenboom, 2018). Cemaran mikroplastik di biota dan lingkungan
menunjukkan bahwa alam, terutama lautan, telah mengalami kerusakan.
Rusaknya lingkungan akibat mikroplastik dijelaskan didalam Al-Qur’an
pada surat Ar-Rum ayat 41:

َ ْ‫ت أ َ ي ْ دِ ي ال ن َّ ا س ِ ل ِ ي ُ ذِ ي ق َ ه ُ ْم ب َ ع‬
َ ‫ض ا ل َّ ذِ ي‬
‫ع ِم ل ُ وا‬ ْ َ ‫ظ َ ه َ َر ا ل ْ ف َ سَ ا دُ ف ِ ي ا ل ْ ب َ ِّر َو ا ل ْ ب َ ْح ر ِ ب ِ َم ا كَ سَ ب‬
) 14 ( ‫ل َ ع َ ل َّ ه ُ ْم ي َ ْر ِج ع ُ و َن‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
12

Rusaknya lingkungan akibat mikroplastik yang terjadi oleh ulah manusia telah
tersurat pada ayat diatas. Pencemaran mikroplastik di lingkungan bertentangan
dengan ajaran islam yang mengajarkan untuk selalu menjaga lingkungan, karena
lingkungan merupakan penunjang kehidupan semua makhluk hidup. Dalam Al-
Qur’an dijelaskan bagaimana manusia harus menjaga lingkungan pada surat Al-
A’raf ayat 56:

ٌ ‫َّللا ِ ق َ ر ِ ي‬
‫ب ِم َن‬ َّ ‫ت‬ ْ ِ ‫اْل َ ْر ض ِ ب َ ع ْ دَ إ‬
َ ‫ص ََل ِح ه َ ا َو ا دْ عُ و ه ُ َخ ْو ف ً ا َو ط َ َم ع ً ا ۚ إ ِ َّن َر ْح َم‬ ْ ‫س دُوا ف ِ ي‬ِ ْ ‫َو ََل ت ُ ف‬
ِ ‫ا ل ْ ُم ْح‬
‫س ن ِ ي َن‬
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT menegaskan kepada umat manusia
agar tidak membuat kerusakan di muka bumi salah satunya dengan menjaga
lingkungan. Segala hal yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi harus
dipergunakan dengan sebagaimana mestinya dan penuh tanggung jawab.
2.5. Ikan Kerapu
Kerapu atau Grouper adalah ikan dari famili Serranidae dengan subfamili
Epinephelinae (Tabel 2). Ikan kerapu terdapat 159 spesies di dunia, 49 spesies di
Asia Tenggara dan terdapat 39 spesies di Indonesia. Ikan kerapu tersebar di
wilayah perairan laut tropis dan subtropis dunia (Allen et al., 2003). Sebagian
besar ikan kerapu hidup berasosiasi dengan terumbu karang di daerah dangkal,
dan beberapa tinggal di kawasan estuaria dan berbatu, berpasir dan berlumpur.
Juvenile ikan kerapu banyak ditemukan diwilayah padang lamun dan perairan laut
dangkal dekat dengan tumbuhan mangrove sebagai tempat perlindungan
(FishBase, 2019). Klasifikasi ikan kerapu yaitu, Kingdom : Animalia; Filum :
Chordata; Kelas : Actinopterygii; Ordo : Perciformes; Famili : Serranidae;
Subfamili : Epinephelinae; Genus : Epinephelus.
13

A B

Gambar 4. Contoh jenis ikan kerapu genus Epinephelus. A. Epinephelus coioides;


B. Epinephelus areolatus. (Sumber: Allen et al., 2003)
Ikan kerapu dapat ditemukan hingga pada kedalaman 100-200 meter, namun
umumnya ditemukan pada kedalaman 100 m. Ikan kerapu merupakan predator,
mangsanya berupa ikan ataupun krustase, cumi-cumi, dan sotong. Ikan kerapu
lebih banyak menghabiskan hidupnya diam di dekat dasar perairan untuk
menunggu mangsanya. Ikan kerapu termasuk kedalam hermaprodit protogini atau
perubahan kelamin dari betina ke jantan (Tim Perikanan WWF-Indonesia, 2015).
Berikut beberapa contoh jenis ikan kerapu genus Epinephelus yang berada di
perairan Indonesia.
2.6. Sedimen
Sedimen merupakan partikel batuan, mineral, atau bahan organik yang
terbentuk akibat proses pengendapan melalui perantara angin, air atau es (Gray &
Elliot, 2009). Terdapat 5-10 miliar ton partikel bahan organik tenggelam dalam
laut dunia dan terakumulasi sebagai sedimen (Jørgensen, 1983). Sedimen di laut
menutupi 70% permukaan bumi dan berperan penting dalam siklus karbon dan
nutrien bagi makhluk hidup yang ada di dunia ini (Rochelle et al., 1994).
Sedimentasi adalah peristiwa pengendapan batuan yang telah diangkut oleh tenaga
air atau angin. Pada saat pengikisan terjadi, air membawa batuan mengalir ke
sungai, danau, dan akhirnya sampai ke laut. Pada saat kekuatan pengangkutannya
berkurang atau habis, batuan diendapkan di daerah aliran air, karena itu
pengendapan ini bisa terjadi di sungai, danau dan laut. Batuan hasil pelapukan
secara berangsur diangkut ke tempat lain oleh tenaga air, angin, dan gletser (es
yang mengalir secara lambat) (Jørgensen, 1983).
Proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan),
pengendapan (deposition) dan pemadatan (compaction) dari sedimentasi itu
14

sendiri. Proses tersebut berjalan sangat kompleks, dimulai dari jatuhnya hujan
yang menghasilkan energi kinetik yang merupakan permulaan dari proses erosi.
Begitu tanah menjadi partikel halus, lalu menggelinding bersama aliran, sebagian
akan tertinggal di atas tanah sedangkan bagian lainnya masuk ke sungai terbawa
aliran menjadi angkutan sedimen (Soewarno, 1991). Kecepatan sedimentasi
dipengaruhi oleh kandungan bahan organik itu sendiri, dan kandungan mineral
yang tinggi dapat mempercepat proses sedimentasi (Emerson & Hedges, 2008).
2.7. Bioaccumulation Factor
Bioaccumulation merupakan proses dimana kandungan bahan kimia diserap
oleh organisme dari lingkungan sekitar seperti melalui sistem pernafasan dan
permukaan kulit, serta termasuk makanan. Bioaccumulation merupakan hasil
bersih dari tingkat penyerapan bahan kimia kedalam organisme seperti, bahan
kimia di permukaan organ pernapasan (misalkan insang pada ikan), eliminasi
bahan kimia termasuk pertukaran gas di pernapasan, pembuangan sisa
pencernaan, biotransforasi metabolik senyawa induk, dan sistem pertumbuhan.
Tingkat Bioaccumulation dinyatakan dalam Bioaccumulation Factor (BAF)
(Arnot & Gobas, 2006).
Proses serapan dan eliminasi bahan kimia yang bersaingan akan
menghasilkan bioakumulasi yang direpresentasikan secara matematis dengan
model dua kompartemen, dimana organisme sebagai kompartemen tunggal
dimana bahan kimia sebagai campuran homogenitas. BAF dapat dihitung sebagai
rasio dari konsentrasi bahan kimia di organisme dan bahan kimia di lingkungan
sekitar ataupun makanan, dengan persamaan rumus:

CB merupakan konsentrasi bahan kimia pada organisme, dan CWD merupakan


konsentrasi bahan kimia yang berada di lingkungan sekitar seperti air ataupun
sedimen (Arnot & Gobas, 2006).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2019-Februari 2020. Penelitian
ini dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta dan di Pusat
Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilakukan di 3 titik lokasi yang ditentukan untuk pengambilan
sampel ikan kerapu genus Epinephelus dan sedimen, yaitu di Timur Pulau
Pramuka, Dermaga Pulau Pramuka, dan Gosong Pulau Pramuka (Gambar 4).

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian


3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah alat tulis, alat pancing, alat
SCUBA (Self Contains Underwater Breathing Apparatus) diving, masker, snorkle,
fin, speargun, sekop, plastik sampel, cooling box, alat bedah, saringan ukuran 5
mm, gelas beaker, hotplate, batang pengaduk, cawan petri, kaca objek, cover

15
16

glass, pipet tetes, cawan petri, oven, kamera, dan mikroskop cahaya. Bahan yang
digunakan untuk penelitian ini adalah Aquadest, HNO3 68%, H2O2 6-10 %,
larutan garam jenuh, alkohol 96%, sedimen, dan ikan kerapu yang didapatkan.
3.3. Prosedur Penelitian
Prosedur kerja dilakukan dengan 3 tahapan pada masing-masing sampel
yaitu, (1) Pengambilan sampel ikan kerapu genus Epinephelus dan sedimen; (2)
Preparasi dan isolasi sampel mikroplastik pada isi saluran pencernaan ikan kerapu
genus Epinephelus dan sedimen; (3) Pengamatan sampel mikroplastik hasil
preparasi dan isolasi dari sampel isi salauran pencernaan ikan kerapu genus
Epinephelus dan sedimen.
3.3.1. Pengambilan Sampel
3.3.1.1.Ikan Kerapu
Tahap pertama pengambilan sampel ikan kerapu perlu dilakukan survey
lokasi untuk mengetahui dimana sampel ikan kerapu didapatkan. Penentuan titik
lokasi pengambilan sampel ikan kerapu di ambil dengan metode purposive
sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tujuan penelitian
dan keberadaan sampel. Lokasi penangkapan ikan ikerapu diperoleh dari
informasi yang diberikan masyarakat melalui wawancara. Sampel ikan kerapu
genus Epinephelus berasal hasil tangkapan nelayan ataupun warga sekitar Pulau
Pramuka. Selain itu, sampel diperoleh dengan menangkap di 3 titik yaitu di
Dermaga Pulau Pramuka, Gosong Pulau Pramuka, dan Wilayah Timur Pulau
Pramuka menggunakan SCUBA diving dan speargun di kedalaman 5-20 m.
Sampel ikan diambil dalam kurun waktu 4 bulan yaitu, bulan Oktober 2019-
Januari 2020. Sampel ikan kerapu yang didapatkan diidentifikasi berdasarkan
Allen et al. (2003) dan website FishBase. Identifikasi ikan berdasarkan bentuk
tubuh, warna dasar tubuh, ciri-ciri tanda spesifik seperti garis dan spot, serta
anatomi ikan. Panjang total (TL) ikan kerapu kemudian diukur dengan
menggunakan penggaris dari mulai moncong ikan sampai ujung ekor, untuk
dianalisis menggunakan regresi linier dengan jumlah mikroplastik pada saluran
pencernaan. Sampel ikan kerapu disimpan didalam cooling box yang sudah berisi
es dengan kisaran suhu 10-20 °C agar sampel tetap segar untuk proses preparasi.
17

3.3.1.2.Sedimen
Titik sedimen diambil berada di dasar perairan sampel ikan kerapu di
dapatkan yaitu di Dermaga Pulau Pramuka, Gosong Pulau Pramuka, dan Wilayah
Timur Pulau Pramuka. Sampel diambil pada 2 kedalaman yaitu 5 dan 10 m, dan
dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali pada masing-masing wilayah yang sudah
ditentukan. Sedimen diambil secara SCUBA Diving dan snorkeling dengan sekop
kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel. Sampel sedimen diambil sebanyak
1 kg pada tiap titik ikan kerapu didapatkan dan dimasukkan ke dalam plastik
sampel (Hildago-Ruz et al., 2012). Sampel sedimen yang telah diambil kemudian
disimpan untuk proses preparasi dan pengamatan di laboratorium.
3.3.2. Preparasi Sampel
3.3.2.1.Ikan Kerapu
Sampel ikan kerapu yang diperoleh dari lokasi penelitian dibedah untuk
diambil organ pencernaan dengan menggunakan alat bedah. Pembedahan dimulai
dengan menggunting dari anus hingga ke bagian anterior sampai pada bukaan
insang. Organ pencernaan ikan diambil dari bagian lambung hingga usus dan
dipisahkan dari bagian lain yang tidak diperlukan. Organ pencernaan ikan kerapu
yang telah diambil kemudian dipisahkan isinya dan kemudian ditimbang dengan
timbangan digital.
Preparasi sampel berdasarkan Lusher et al., (2016) menggunakan larutan
HNO3 untuk menghancurkan bahan organik yang terkandung pada sampel.
Preparasi sampel dibagi menjadi 3 tahap yaitu: (a) peleburan bahan organik; (b)
isolasi mikroplastik; (c) pengamatan visual mikroplastik. Peleburan bahan organik
menggunakan larutan HNO3 dengan konsentrasi 68%, dan kemudian dimasukkan
ke dalam gelas beaker bersama dengan isi pencernaan ikan kerapu dengan
perbandingan 1 gram sampel dengan 5 ml larutan HNO3. Campuran larutan HNO3
dengan isi pencernaan ikan kerapu dipanaskan pada suhu 60 °C dengan hotplate
di dalam lemari asam selama 10 menit. Isolasi mikroplastik dilakukan dengan
penambahan larutan garam jenuh dengan perbandingan 1:1 dengan larutan HNO3.
Campuran dipanaskan kembali selama 10 menit dengan suhu 60 °C. Campuran di
diamkan selama 24 jam dan kemudian dipisahkan bagian permukaannya untuk
18

diamati dibawah mikroskop. Sampel mikroplastik dihitung jumlah dan


diidentifikasi jenisnya berdasarkan bentuk mikroplastik.
3.3.2.2.Sedimen
Preparasi pemisahan sedimen yang telah didapatkan berdasarka Hildago-
Ruz et al. (2012) melalui tahapan: (a) pengeringan, (b) pengurangan volume, (c)
pemisahan densitas, (d) penyaringan, dan (e) pemilahan secara visual. Sebelum
dikeringkan sedimen diberikan larutan H2O2 dengan konsenterasi 6-10% sebanyak
100 ml, kemudian diaduk selama 2 menit untuk menghilangkan kandungan bahan
organik pada sedimen. Sedimen didiamkan sampai reaksi selesai dengan tanda
hilangnya gelembung pada sedimen (Frias et al., 2018). Sedimen di keringkan di
oven dengan suhu 70°C selama 72 jam. Sedimen dipisahkan dengan saringan
ukuran 5 mm, sehingga sedimen diatas 5 mm tertahan. Sedimen ukuran <5 mm
sebanyak 100 g ditambahkan larutan garam jenuh dengan perbandingan 3 liter
larutan garam jenuh dengan 1 kg sedimen, kemudian diaduk selama 2 menit.
Sampel didiamkan selama 24 jam agar mikroplastik terangkat ke atas permukaan.
Sampel larutan bagian permukaan diambil dan dipisahkan untuk diamati.
Pengamatan mikroplastik menggunakan mikroskop cahaya, kemudian dihitung
jumlah dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan bentuk.
3.4. Analisis Data
Jumlah dan jenis mikroplastik yang telah teridentifikasi dianalisis
menggunakan analisis statistik deskriptif dengan program aplikasi MS. Excel.
Data yang teranalisis statistik deskriptif menggambarkan secara umum
mikroplastik pada ikan kerapu genus Epinephelus dan sedimen dalam bentuk tabel
dan grafik. Ukuran tubuh ikan kerapu genus Epinephelus dan jumlah masing-
masing mikroplastik di analisis menggunakan uji regresi linier, untuk melihat
pengaruh antara jumlah mikroplastik terhadap ukuran tubuh ikan kerapu. Uji
regresi linier dilakukan dengan menggunakan program aplikasi Minitab 19. Uji
one sample T-test dilakukan pada mikroplastik di sedimen menggunakan aplikasi
MS. Excel untuk mengetahui perbedaan nyata jumlah mikroplastik di sedimen
pada zona wilayah yang berbeda.
19

Data mikroplastik pada saluran pencernaan ikan kerapu dan pada sedimen
dianalisis menggunakan Bioaccumulation Factor (BAF) (Arnot & Gobas, 2006).
Analisis BAF digunakan untuk mengestimasi serapan mikroplastik pada sedimen
ke saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus. Berikut rumus perhitungan
BAF:

CB merupakan jumlah mikroplastik pada saluran pencernaan ikan kerapu genus


Epinephelus. CWD merupakan jumlah mikroplastik pada sedimen di tiap lokasi
penangkapan ikan kerapu genus Epinephelus. Nilai BAF apabila lebih dari 1 maka
menunjukkan adanya proses bioakumulasi mikroplastik yang tinggi (Rashed,
2001; Yehia & Sebaee., 2012).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Mikroplastik di Saluran Pencernaan Ikan Kerapu


Hasil penelitian didapatkan 20 ekor dan 4 jenis ikan kerapu dari genus
Epinephelus yaitu, E. sexfasciatus, E. ongus, E. areolatus, dan E. Fuscoguttatus.
Ikan kerapu didapatkan di perairan dengan rentang kedalaman 5-20 m dibawah
permukaan laut. Ikan kerapu ditangkap di 3 wilayah perairan Pulau Pramuka
yaitu, bagian Barat Pulau Pramuka atau wilayah dermaga, Barat laut atau gosong
Pulau Pramuka, dan Timur Pulau Pramuka. Mikroplastik dalam satuan partikel
didapatkan di dalam saluran pencernaan ikan kerapu pada masing-masing jenis
yang didapatkan. Mikroplastik ditemukan di seluruh saluran pencernaan sampel
ikan kerapu genus Epinephelus yang didapatkan dari lokasi penelitian. Total
jumlah partikel mikroplastik yang ditemukan di saluran pencernaan ikan kerapu
genus Epinephelus pada penelitian ini sebanyak 1648 partikel. Jumlah
mikroplastik yang didapatkan pada kelima jenis ikan kerapu secara lengkap
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah rata-rata mikroplastik pada saluran pencernaan ikan kerapu genus
epinephelus.
Rata-Rata Panjang Rata-Rata Jumlah
Jenis Ikan Kerapu
Tubuh (cm) Mikroplastik (Partikel)
Epinephelus sexfasciatus 23,84 94
Epinephelus ongus 26,34 60
Epinephelus areolatus 26,68 109,8
Epinephelus fuscoguttatus 35,26 65,8

Jumlah mikroplastik terbanyak ditemukan pada ikan kerapu jenis E.


areolatus dengan rata-rata mikroplastik yang ditemukan sebanyak 109,8 partikel.
Jenis ikan kerapu E. ongus memiliki jumlah rata-rata mikroplastik terendah
sebanyak 60 partikel. Jumlah partikel mikroplastik terbanyak ditemukan pada
individu 1 pada jenis E. areolatus sebanyak 139 partikel. Jumlah partikel

20
21

mikroplastik terendah ditemukan pada individu 1 dari jenis E. fuscoguttatus


sebanyak 49 partikel. Jumlah mikroplastik pada ikan kerapu jenis E. areolatus dan
E. sexfasciatus tidak jauh berbeda, dan juga pada ikan kerapu jenis E. ongus dan
E. fuscoguttatus juga tidak jauh berbeda.
Jenis ikan kerapu E. areolatus biasanya ditemukan di padang lamun ataupun
dasar perairan yang memiliki sedimen dekat dengan terumbu karang, karang mati,
dan karang lunak (FAO species catalogue, 1993). Jumlah mikroplastik pada
saluran pencernaan pada jenis E. areolatus paling tinggi dibandingkan dengan
ketiga spesies lain pada penelitian ini diduga disebabkan mobilitas ikan yang
cukup tinggi. Ikan kerapu jenis E. areolatus dapat ditemukan pada rentang
kedalaman 2 hingga 100 m dibawah permukaan laut. Ikan kerapu jenis E.
areolatus memangsa berbagai macam jenis invertebrata benthic seperti udang dan
kepiting, dan berbagai macam ikan yang lebih kecil dari bukaan mulut ikan
kerapu E. areolatus (FAO species catalogue, 1993).
Jenis ikan Kerapu E. sexfasciatus ditemukan pada habitat yang memiliki
sedimen berupa pasir berlumpur ataupun sedimen lumpur. Ikan kerapu jenis E,
sexfasciatus ditemukan pada rentang kedalaman 10-80 meter dibawah permukaan
laut (FAO species catalogue, 1993). Berbeda dengan E. areolatus, jenis E.
sexfasciatus lebih memilih tempat dengan dasar perairan yang lembut dan rentang
kedalaman yang lebih pendek. Ikan kerapu jenis E. sexfasciatus memiliki jenis
makanan yang sama dengan ikan kerapu jenis E. areolatus, oleh karena itu jumlah
mikroplastik tidak jauh berbeda pada kedua jenis ikan kerapu ini.
Jenis ikan kerapu E. ongus dan E. fuscoguttatus merupakan jenis ikan
kerapu yang memiliki teritorial dan cenderung menetap pada suatu wilayah
terumbu karang. Jenis ikan keraapu E. ongus dan E. fuscoguttatus dapat
ditemukan pada rentang kedalaman 5-60 meter dibawah permukaan laut pada
wilayah terumbu karang dengan substrat berbatu. Berbeda dengan ikan kerapu
jenis E. areolatus dan E. sexfasciatus yang memiliki mobilitas yang cukup tinggi
dan area jelajah yang luas, ikan kerapu E. ongus dan E. fuscoguttatus lebih
cenderung menetap dan bersifat teritorial pada habitatnya (FAO species catalogue,
1993). Oleh sebab itu, jumlah mikroplastik disaluran pencernaan pada E. ongus
22

dan E. fuscoguttatus memiliki jumlah mikroplastik yang tidak jauh berbeda yaitu
sejumlah masing-masing dengan rata-rata 67 dan 70 partikel per individu.
Perbedaan jumlah mikroplastik diduga oleh perbedaan tipe habitat
ditemukannya keempat jenis ikan kerapu genus Epinephelus pada penelitian ini.
Jenis ikan kerapu E. areolatus dan E. sexfasciatus dapat ditemukan rentang
kedalaman yang lebih luas dibandingkan dengan E. ongus dan E. fuscoguttatus
yang lebih sempit dan hanya pada wilayah terumbu karang. Ikan predator seperti
ikan kerapu mudah terkontaminasi oleh mikroplastik terutama dari prilaku
memangsanya. Mangsa dari ikan kerapu di habitatnya kebanyakan adalah benthic
invertebrates, memungkinkan kontaminasi mikroplastik dari sedimen yang secara
langsung tertelan bersamaan dengan mangsanya (Lusher et al, 2017).
Kondisi habitat pada lokasi penelitian mengindikasikan terdapat banyak
mikroplastik, karena ditemukan banyaknya sampah plastik di dasar perairan
terutama di wilayah Dermaga Pulau Pramuka. Lokasi Timur Pulau Pramuka juga
demikian, dan ditambah dengan adanya pembangunan Dermaga baru yang akan
membuat mikroplastik dengan mudah ditemukan akibat proses pembangunan.
Kondisi habitat ikan kerapu di Gosong Pulau Pramuka lebih terjaga dengan baik
dibandingkan dengan kedua lokasi lain karena lokasi yang berjauhan dengan
pemukiman penduduk. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Assuyuti et
al., (2018), Sampah di Pulau Pramuka didominasi oleh sampah plastik pada
kedalaman 3 dan 10 m. Korelasi antara kelimpahan mikroplastik dengan
kepadatan populasi yang memiliki aktivitas manusia menunjukkan hasil positif
dan sudah dilakukan di berbagai lokasi (Browne et al., 2011).
Benthic inverterbrates merupakan mangsa bagi ikan predator seperti ikan
kerapu yang terdampak langsung oleh kontaminasi mikroplastik pada dasar
perairan. Alat-alat pancing seperti jaring dasar, pukat, serta berbagai macam tali
dasar merupakan potensi yang besar sebagai sumber dari mikroplastik. Berbagai
macam alat pancing yang sebagian besar berasal dari bahan polyamide,
polyethylene, dan polyprophylene akan terdegradasi menjadi mikroplastik dan
sebagian besar mengendap pada dasar lautan (Lusher et al, 2017). Benthic
inverterbrates seperti mollusca dan crustaceae akan mudah terkontaminasi
23

langsung oleh mikroplastik, baik organisme filter feeder yaitu kerang ataupun
tiram (Sussarellu, et al, 2016; Avio et al, 2015), dan deposit feeder yaitu kepiting
(Watts et al, 2014), udang, lobster, dan teripang (Graham & Thompson, 2009).
1.2. Jenis Mikroplastik di Saluran Pencernaan Ikan Kerapu
Jenis mikroplastik yang temukan pada penelitian ini yaitu mikroplastik jenis
fiber, pellet, dan fragmen. Jenis mikroplastik seperti filamen dan film dimasukkan
kedalam kategori jenis mikroplastik fiber. Total jumlah mikroplastik yang
ditemukan pada penelitian ini sebanyak 1648 partikel, dengan jumlah partikel
mikroplastik jenis sebanyak fiber 990, partikel jenis pellet sebanyak 88, dan
partikel jenis fragmen sebanyak 570. Jumlah jenis mikroplastik di saluran
pencernaan pada keempat jenis ikan kerapu genus Epinephelus ditampilkan dalam
bentuk grafik pada Gambar 6.

Jumlah Tiap Jenis Mikroplastik (partikel)


90
80
70
60
50
40 Fragmen
30
Pellet
20
Fiber
10
0
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
E. sexfasciatus E. ongus E. areolatus E. fuscoguttatus
Spesies dan Individu

Gambar 6. Jumlah tiap jenis mikroplastik pada saluran pencernaan empat jenis
ikan kerapu genus Epinephelus.
Mikroplastik jenis fiber mendominasi disetiap individu ikan kerapu genus
Epinephelus keempat spesies yang didapatkan pada penelitian ini. Individu nomor
1 pada jenis E. areolatus memiliki jumlah mikroplastik jenis fiber terbanyak yaitu
77 partikel, sedangkan yang terendah yaitu pada jenis E. ongus inividu nomor 1
sebanyak 32 partikel. Mikroplastik jenis pellet paling sedikit ditemukan
dibandingkan dengan mikroplastik jenis fiber dan fragmen. Mikroplastik jenis
24

pellet ini tidak ditemukan pada beberapa individu ikan yaitu pada individu nomor
1, 2, dan 3 pada jenis E. ongus dan individu nomor 1, 2, dan 4 pada jenis E.
fuscoguttatus. Mikroplastik jenis fragmen mengkontaminasi setiap individu ikan
kerapu genus Epinephelus yang ditemukan, namun jumlahnya tidak mendominasi
seperti mikroplastik jenis fiber. persentase jumlah jenis mikroplastik di saluran
pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus di tampilkan dalam diagram pada
Gambar 7.

35% Fragmen
60%
Pellet

5% Fiber

Gambar 7. Persentase jumlah tiap jenis mikroplastik pada saluran pencernaan ikan
kerapu genus Epinephelus.
Jenis mikroplastik dengan persentase jumlah total paling banyak ditemukan
pada saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus dari 4 jenis yang
didapatkan, didominasi oleh mikroplastik jenis fiber sebanyak 60%. Mikroplastik
jenis fragmen menempati posisi kedua terbanyak dengan 35%, dan mikroplastik
jenis pellet menempati posisi terakhir terbanyak yaitu sebanyak 5%. Jenis-jenis
mikroplastik ini ditemukan berada pada rentang ukuran 20-1000 μm (Gambar 8).
Mikroplastik jenis fiber paling panyak ditemukan pada tiap individu ikan
kerapu yang didapatkan. Hal ini diduga disebabkan oleh perilaku ikan yang
sebagian besar hidupnya dihabiskan di dasar suatu perairan laut. Keempat jenis
ikan kerapu yang yang didapatkan pada penelitian ini memiliki habitat yang
berbeda tergantung pada jenis sedimen yang disukai oleh masing-masing jenis
ikan (FAO species catalogue, 1993). Berdasarkan penelitian sebelumnya, jenis
mikroplastik fiber mendominasi pada ikan kerapu (Epinephelus sp.) di
25

Pangandaran, Jawa Barat (Ismail et al., 2019). Penelitian sebelumnya tentang


jumlah mikroplastik pada ikan komersial di Pantai Indah Kapuk Jakarta, jenis
mikroplastik fiber mendominasi pada beberapa ikan predator dengan jumlah rata-
rata 15,29 partikel per individu (Hastuti et al, 2019).

Gambar 8. Mikroplastik yang ditemukan di saluran pencernaan ikan kerapu genus


Epinephelus. A. Fragmen (400 ×); B1. Fiber (400 ×); B2. Fiber (400
×); C. Pellet (400 ×).
Mikroplastik jenis fiber banyak berasal dari bahan polyamide, dan
polyethylene, yang berasal dari kegiatan perikanan berupa alat-alat pancing baik
dari tali pancing, jaring, dan pukat (Lusher et al, 2017). Mikroplastik jenis fiber
juga banyak berasal dari bahan polyester dan nilon, bahan ini berasal dari industri
pakaian berupa sisa-sisa benang, dan dari limbah rumah tangga bekas mencuci
pakaian yang masih mengandung beberapa benang pakaian yang terputus (Al-
Lihaibi et al, 2019). Mikroplastik jenis fiber memiliki densitas yang yang cukup
tinggi sehingga dapat berada didasar suatu perairan, sehingga dapat
mengkontaminasi biota seperti ikan kerapu genus Epinephelus secara langsung
ataupun tidak langsung melalui makanannya (Galloway et al, 2017). Oleh karena
26

itu, mikroplastik jenis fiber mendominasi didalam saluran pencernaan ikan kerapu
genus Epinephelus pada penelitian ini.
Mikroplastik jenis fragmen banyak berasal dari bahan polyprophylene, dan
polyethylene seperti botol plastik, pembungkus makanan, dan berbagai peralatan
yang terbuat dari plastik. Mikroplastik jenis fragmen merupakan hasil degradasi
plastik yang berukuran besar dan memiliki berbagai macam bentuk seperti bentuk
yang tajam meruncing, membulat dengan permukaan yang lembut, ataupun
dengan permukaan yang kasar (GESAMP, 2015). Mikroplastik jenis fragmen ini
memiliki berbagai macam densitas yang membuatnya mengapung di perairan
ataupun tenggelam di dasar perairan, sehingga mikroplastik ini dapat
mengkontaminasi berbagai macam biota baik yang bergerak bebas ataupun yang
berada di dasar perairan. Mikroplastik jenis fragmen dapat dengan mudah
mengkontaminasi ikan planktivorous yang menganggap mikroplastik jenis
fragmen adalah makanannya (Critchell & Hoogenboom, 2018). Mikroplastik jenis
fragmen ini diduga mengkontaminasi ikan kerapu genus Epinephelus melalui
mangsanya yang bersifat planktivorous.
Mikroplastik jenis pellet sebanyak 5% ditemukan pada saluran pencernaan
keempat jenis ikan kerapu genus Epinephelus pada penelitian ini. Mikroplastik
jenis pellet berasal dari material mentah industri plastik yang akan diolah melalui
proses percetakan material (Mugilarasan et al, 2015). Selain itu, mikroplastik jenis
pellet berasal dari degradasi plastik dengan sifat yang keras seperti
polyprophylene (GESAMP, 2015). Mikroplastik jenis pellet memiliki densitas
yang tinggi sehingga tenggelam menyatu dengan sedimen. Mikroplastik jenis
pellet ditemukan didalam saluran pencernaan ikan kerapu dapat disebabkan
tertelan secara langsung saat memangsa ataupun secara tidak langsung melalui
makanannya yang terkontaminasi mikroplastik jenis pellet. Mikroplastik jenis
pellet tidak banyak ditemukan pada saluran pencernaan ikan kerapu keempat jenis
yang didapatkan. Hal ini disebabkan banyaknya mikroplastik jenis pellet tersapu
kearah pantai, dilaporkan bahwa mikroplastik jenis pellet ini dapat ditemukan
diseluruh pantai di dunia (Holmes et al, 2012; Zhang et al, 2015).
27

1.3. Pengaruh Jumlah Mikroplastik dengan Panjang Tubuh Ikan Kerapu


Genus Epinephelus
Uji hubungan antara jumlah mikroplastik masing-masing individu dengan
panjang tubuh masing-masing individu spesies ikan kerapu genus Epinephelus
menggunakan regresi linier. Hasil regresi linier disajikan lengkap pada Gambar 9.
Hasil regresi linier menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara panjang tubuh
ikan kerapu genus Epinephelus dengan total jumlah mikroplastik yang ditemukan
pada saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus yang ditandai dengan
nilai P sebesar 0,776 lebih besar dari nilai ɑ sebesar 0,05. Persamaan regresi linier
yang didapatkan yaitu , dengan x yaitu ukuran tubuh tiap
individu ikan kerapu genus Epinephelus dan y adalah jumlah total mikroplatik per
individu ikan kerapu genus Epinephelus yang didapatkan pada penelitian ini.

Gambar 9. Regresi liner antara jumlah mikroplastik pada saluran pencernaan


dengan panjang total ikan kerapu genus Epinephelus.
28

Hasil regresi linier ini menunjukan bahwa panjang tubuh ikan tidak
berpengaruh terhadap jumlah mikroplastik yang ditemukan pada tiap individu.
Hasil ini sama seperti penelitian sebelumnya oleh Bessa et al (2018), dimana tidak
ada pengaruh antara jumlah mikroplastik dengan panjang ataupun berat ikan
komersial di estuari sungai Mondego, Portugal. Hal ini masih tidak dapat
dipastikan kenapa tidak ada hubungan antara ukuran tubuh ikan dengan jumlah
mikroplastik yang ditemukan. Ikan kerapu pada penelitian ini tidak didapatkan
berdasarkan ukuran, melainkan didapatkan secara acak karena sulit untuk mencari
yang ukuran yang sama di lokasi penelitian. Oleh karena itu, jumlah mikroplastik
di saluran pencernaan ikan kerapu didapatkan jumlah yang acak pada tiap individu
yang ukurannya berbeda.
Habitat dan perilaku ikan yang berbeda tiap jenisnya diduga menjadi salah
satu faktor banyaknya mikroplastik didalam tubuh ikan kerapu genus Epinephelus
pada penelitian ini. Serapan mikroplastik pada ikan terjadi akibat perilaku makan
yang normal, serta sifat cemaran sampah plastik yang menyebar membuat
mikroplastik dapat ditemukan pada lingkungan dan pencernaan ikan. Mikroplastik
yang memiliki ukuran <1 mm dapat dengan mudah masuk ke pencernaan ikan,
karena ikan kerapu sendiri memiliki bukaan mulut yang lebar (Possatto et al.,
2011). Oleh karena itu, jumlah mikroplastik tidak dapat dipengaruhi oleh ukuran
melainkan habitat dan juga perilaku pada masing-masing individu ikan kerapu.
1.4. Mikroplastik Sedimen
Hasil pengamatan jumlah mikroplastik pada sedimen di ketiga lokasi
penelitian disajikan dengan grafik pada Gambar 10. Jumlah mikroplastik rata-rata
terbanyak ditemukan pada lokasi penelitian Dermaga Pulau Pramuka sebanyak 43
partikel/g dan paling sedikit pada lokasi penelitian Gosong Pulau Pramuka
sebanyak 28,5 partikel/g. Hasil perhitungan dengan analisis menggunakan One
Sample T-test jumlah rata-rata mikroplastik pada lokasi yang berbeda dengan nilai
kepercayaan 95% (0,05), didapatkan hasil nilai signifikasi 0,57 (alpha>0,05).
Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan jumlah mikroplastik
pada sedimen di ketiga lokasi penelitian yaitu Gosong Pulau Pramuka, Dermaga
Pulau Pramuka, dan Timur Pulau Pramuka.
29

50

Jumlah Rata-Rata Mikroplastik


45
40
35
(partikel/gram)

30
25
20
15
10
5
28,5 43 35
0
Gosong Dermaga Timur
Pulau
Pramuka

Gambar 10. Jumlah Rata-Rata Mikroplastik pada Sedimen di 3 lokasi


Jumlah mikroplastik yang lebih tinggi di wilayah Dermaga Pulau Pramuka
diduga berasal dari banyaknya sampah yang ditemukan didasar perairan dan
aktivitas manusia yang tinggi. Sampah yang ditemukan didasar perairan kemudian
terus-menerus terdegradasi oleh proses fisika ataupun biologi sehingga
menyebabkan banyak mikroplastik tertumpuk di sedimen (Manalu et al., 2017).
Wilayah Gosong Pulau Pramuka memiliki jumlah mikroplastik yang relatif kecil
yaitu sebesar 28,5 partikel/gram, dikarenakan wilayah ini hanya digunakan untuk
spot wisata berupa diving ataupun snorkeling, dan cukup jauh dari wilayah
penduduk yang memiliki tingkat aktivitas manusia yang tinggi. Korelasi antara
kelimpahan mikroplastik dengan kepadatan populasi yang memiliki aktivitas
manusia menunjukkan hasil positif dan sudah dilakukan di berbagai lokasi
(Browne et al., 2011). Selain itu, proses interaksi antara bahan organik dan
mikroorganisme mungkin dapat mengubah sifat-sifat partikel plastik, yang akan
mengarah pada peningkatan kepadatan dan mengendap di sedimen (Galloway et
al., 2017).
1.5. Bioaccumulation Factor Mikroplastik
Bioaccumulation Factor (BAF) merupakan perthitungan yang berdasarkan
proses penyerapan suatu bahan kimia oleh suatu organisme yang berasal dari
lingkungan sekitar, seperti air, sedimen, serta dari makanan. Nilai BAF diperoleh
30

berdasarkan komponen lingkungan dan komponen yang berasal dari makanan


dihitung. Nilai BAF diperoleh berdasarkan perbandingan suatu organisme
menyerap suatu zat kimia yang ada di lingkungan dan makanannya (Arnot &
Gobas, 2006). Penelitian ini memperoleh nilai BAF dari hasil membandingkan
jumlah partikel mikroplastik yang masuk kedalam saluran pencernaan ikan
dengan jumlah mikroplastik pada sedimen yang diperoleh dari lokasi penelitian.
Satuan mikroplastik pada ikan kerapu genus Epinephelus diubah menjadi
partikel/g dengan membagi jumlah mikroplastik di saluran pencernaan ikan
kerapu pada masing-masing individu dengan berat isi pencernaan ikan kerapu
masing-masing individu.
Hasil perhitungan nilai BAF mikroplastik pada saluran pencernaan ikan
kerapu genus Epinephelus dengan jumlah mikroplastik di sedimen menghasilkan
nilai bervariatif. Nilai BAF tertinggi yaitu pada individu nomor 2 jenis E.
fuscoguttatus sebesar 1,07, sedangakan nilai BAF yang terendah terdapat pada
individu nomor 4 jenis E. ongus sebesar 0,29. Nilai rata-rata BAF antara
mikroplastik di saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus dengan
sedimen yang sesuai dengan ditemukannya ikan pada penelitian ini sebesar 0,54
(Gambar 11).
1,20

1,00
Bioaccumulation Factor

1,07
0,95 0,93
0,80 0,88

0,60
0,60 0,57 BAF
0,40 0,54
0,49 0,51
0,45 0,46 0,47
0,43 0,42
0,39 0,37 0,40 0,38
0,20 0,32 0,29 Rata-
Rata
0,00
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
E. sexfasciatus E. ongus E. areolatus E. fuscoguttatus
Spesies dan Individu

Gambar 11. Nilai BCF pada masing-masing individu ikan kerapu genus
Epinephelus
31

Nilai BAF apabila lebih dari 1 maka menunjukkan adanya proses


bioakumulasi yang tinggi (Rashed, 2001; Yehia & Sebaee, 2012). Nilai BAF pada
ikan kerapu genus Epinephelus jenis E. fuscoguttatus individu 2 menunjukkan
nilai 1,07 yang menandakan bahwa terjadi bioakumulasi mikroplastik dari
sedimen ke saluran pencernan ikan tinggi. Hal ini dikarenakan jumlah
mikroplastik didalam saluran pencernaan ikan kerapu jenis E. fuscoguttatus lebih
tinggi dibandingkan dengan jumlah mikroplastik pada sedimen di lokasi
penangkapan ikan tersebut. Ikan kerapu jenis E. fuscoguttatus individu 2
ditangkap di wilayah Gosong Pulau Pramuka yang memiliki jumlah rata-rata
mikroplastik yang paling rendah dari ketiga lokasi (Gambar 10), namun jumlah
mikroplastik di saluran pencernaan lebih tinggi menyebabkan nilai BAF yang
tinggi dibandingkan dengan ikan lain pada penelitian ini.
Hasil nilai BAF antara jumlah mikroplastik di saluran pencernaan ikan
kerapu genus Epinephelus dengan sedimen hampir semua berada dibawah angka
1, yang menunjukkan bahwa serapan mikroplastik kedalam saluran pencernaan
ikan kerapu genus Epinephelus rendah. Nilai BAF yang rendah diduga disebabkan
jumlah mikroplastik pada saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus
lebih rendah dibandingkan dengan mikroplastik yang ada di sedimen. Pengaruh
dari perilaku dan habitat ikan dapat berpengaruh pada jumlah mikroplastik,
sehingga diduga dapat mempengaruhi nilai serapan mikroplastik dari sedimen ke
ikan kerapu. Ikan ini memakan biota benthic yang berada di sedimen, sehingga
mikroplastik di sedimen juga dapat ikut termakan bersamaan. Proses masuknya
mikroplastik sebagian besar berasal dari aktifitas makan ikan, dan
mengindikasikan bahwa sedimen sebagai pemicu yang kuat atas serapan
mikroplastik ke biota (Possatto, et al., 2011).
Rata-rata nilai BAF mikroplastik jenis ikan kerapu genus Epinephelus
dengan sedimen menunjukan hasil tertinggi pada jenis E. fuscoguttatus dengan
rata-rata sebesar 0,68, sedangkan yang terendah pada ikan kerapu jenis E. ongus
sebesar 0,45 (Gambar 12). Hasil nilai BAF yang lebih tinggi pada E. fuscoguttatus
dipengaruhi oleh jumlah mikroplastik pada saluran pencernaan ikan dengan
jumlah mikroplastik di sedimen tidak jauh berbeda. Ikan kerapu jenis E.
32

fuscoguttatus didapatkan di Gosong Pulau Pramuka dan Timur Pulau Pramuka


(Gambar 10) yang memiliki jumlah rata-rata mikroplastik yang lebih rendah.

0,8
Rata-Rata Nilai BAF pada Masing-

0,7
Masing Jenis Ikan Kerapu

0,6
0,68
0,5
0,55
0,4 0,51
0,45
0,3

0,2

0,1

0
E. sexfasciatus E. ongus E. areolatus E. fuscoguttatus
Spesies Ikan

Gambar 12. Grafik rata-rata nilai BAF pada masing-masing jenis ikan kerapu
genus Epinephelus
Ikan kerapu jenis E. areolatus memiliki jumlah rata-rata nilai BAF yang
rendah dibanding dengan jenis yang lain yaitu sebesar 0,45, padahal jumlah
mikroplastik di saluran pencernaan ikan jenis ini lebih banyak dibanding ikan
kerapu yang didapatkan pada penelitian ini. Nilai rata-rata BAF yang rendah
disebabkan oleh jumlah mikroplastik pada sedimen di lokasi didapatkannya ikan
ini lebih besar dibandingkan dengan jumlah mikroplastik pada saluran pencernaan
ikan. E. areolatus ditemukan di Dermaga Pulau Pramuka dan di Timur Pulau
Pramuka yang memiliki jumlah rata-rata mikroplastik yang tinggi sebesar masing-
masing 43 partikel/g dan 35 partikel/g (Gambar 10). Nilai rata-rata BAF yang
rendah dari keempat spesies ikan kerapu genus Epinephelus yang ditemukan
menandakan belum adanya biokonsentrasi yang tinggi di lokasi penelitian, yaitu
di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Jumlah rata-rata mikroplastik yang ditemukan di saluran pencernaan ikan
kerapu genus Epinephelus tertinggi pada jenis E. areolatus sebanyak 109,8
partikel/individu, dan terendah pada jenis E. ongus 60 partikel/individu. Jenis
mikroplastik di saluran pencernaan ikan kerapu genus Epinephelus yang
ditemukan sebanyak 3 jenis yaitu, fiber, fragmen, dan pellet. Panjang tubuh ikan
kerapu genus Epinephelus tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah mikroplastik
pada saluran pencernaan. Jumlah rata-rata mikropastik di sedimen tertinggi pada
lokasi Dermaga Pulau Pramuka, dan terendah di Gosong Pulau Pramuka. Nilai
rata-rata BAF keseluruhan sebesar 0,54 menunjukkan bahwa serapan mikroplastik
rendah, dikarenakan nilai tersebut dibawah 1.
5.2. Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap mikroplastik pada beberapa
ikan lain, sehingga dapat mengetahui jenis ikan konsumsi lain yang
terkontaminasi mikroplastik. Perlu adanya analisa mikroplastik pada organ selain
saluran pencernaan ikan untuk mengetahui seberapa jauh mikroplastik
mengkontaminasi suatu organisme.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ahmann, D., & Dorgan, J. R. (2007). Bioengineering for pollution prevention


through development of biobased energy and materials state of the science
report. Industrial Biotechnology, 3(3), 218–259.

Allen, G., Steene, R., Humann, P., & Deloach, N. (2003). Reef fish identification
Tropical Pacific. Florida: New World Publications, Inc.

Al-Lihaibi, S., Al-Mehmadi, A., Alarif, W. M., Bawakid, N. O., Kallenborn, R.,
& Ali, A. M. (2019). Microplastics in sediments and fish from the Red Sea
coast at Jeddah (Saudi Arabia). Environmental Chemistry, 16, 641-650.

Andrady, A. L. (2003). Plastic and the environment. Hoboken, New Jersey: John
Wiley & Sons, Inc.

Andrady, A. L. (2011). Microplastics in the marine environment. Marine


Pollution Bulletin. 62, 1596-1605.

Arnot, J. A., & Gobaz, F. (2006). A review of bioconcentration factor (BCF) and
bioaccumulation factor (BAF) assessments for organic chemical in aquatic
organisms. Environmental Reviews. 14, 257-297.

Arthur, C., Baker, J., & Bamford, H., (eds). (2009). Proceedings of the
international reseach workshop on the occurrence, effects, and fate of
microplastic marine debris. National Oceanic and Atmospheric
Administration Technical Memorandum.NOS-OR&R-30.

Assuyuti, Y. M., Zikrillah, R. Z., Tanzil, M. A., Banata, A., & Utami, P. (2018).
Distribusi dan jenis sampah laut serta hubungannya terhadap ekosistem
terumbu karang Pulau Pramuka, Panggang, dan Kotok Besar di Kepulauan
Seribu Jakarta. Majalah ilmiah biologi biosfera: A scientific journal, 35(2),
91-102.

Avio, C. G.,Gorbi, S., Milan, M., Benedetti, M., Fattorini, D., d'Errico, G.,
Pauletto, M., Bargelloni, L., & Regoli, F. (2015). Pollutants bioavailability
and toxycological risk from microplastics to marine mussels. Environmental
Pollutions, 198, 211-222.

Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia. (2019). Bogor: Peta Rupabumi


Digital Indonesia. Diakses dari http.://tanahair.indonesia.go.id/portal-web.
(Diakses pada 20 April 2020 pukul 20.00 WIB).

Barnes, D. K. A., Galgani, F., & Thompson, R. C. (2009). Accumulation and


fragmentation of plastic debris in global environment. Philosophical
Transaction of The Royal Society Biological Science B, 00, 1-14.

34
35

Bergmann, M., Gutow, L. and, & Klages, M. (2015). Marine anthropogenic litter.
Germany: SpringerOpen.

Bessa, F., Barria, P., Neto, J. M., Frias, J., Otero, V., Sobral, P., & Marques, J. C.
(2018). Occurrence of miroplastics in commercial fish from a natural
estuarine environment. Marine Pollution Bulletin, 128, 575-584.

Besseling, E., Foekema, E. M., van den Heuvel-Greve, M. J., & Koelmans, A. A.
(2017). The effects of microplastic on the uptake of chemicals by the
lugworm Arenicola marina (L.) under environmentally relevant exposure
conditions. Environmental Science Technology, 51, 8795-8804.

Browne, M. A., Galloway, T., & Thompson, R. C. (2007). Microplastic-an


emerging contaminant of potential concern?. Integrated Environmental
Assessment and Managemen,t 3, 559-566.

Browne, M. A., Dissanayake, A., Galloway, T. S., Lowe, D. M., & Thompson R.
C. (2008). Ingested microscopic plastic translocates to the circulatory
system of the mussel, Mytilus edulis (L.). Environment Science Technology,
42, 5026-5031.

Browne, M. A., Crump, P., Niven, S. J., Teuten, E., Tonkin, A., Galloway, T. S.,
& Thompson, R, C. (2011). Accumulation of microplastic on shrolines
worldwide: sources and sinks. Environmental Science Technology, 45(21),
9175-9179.

Carbery, M., O'Connor, W., & Thavamani, P. (2018). Trophic trensfer of


microplastics and mixed contaminants in the marine food web and
implications for human health. Environmental International, 115, 400-409.

Carpenter, E. J., Anderson, S. J., Harvey, R. G., Miklas, H. P., & Peck, B. B.
(1972). Polyestyrene spherules in coastal waters. Science 178, 749-750.

Carpenter, E. J., & Smith K. L. (1972). Plastic on the sargasso surface. Science
175, 1240-1241.

Cole, M., Lindeque, P., Halsband, C., & Galloway, T. S. (2011). Microplastics as
contaminants in the marine environment: a review. Marine Pollution
Bulletin, 62, 2588-2597.

Critchell, K., & Hoogenboom, M. O. (2018). Effects of microplastic exposure on


the body condition and behaviour of planktonivorous reef fish
(Acanthochromis polyacanthus). PLoS ONE, 13(3):e0193308.

de Sá, L. C., Oliveira, M., Ribeiro, F., Rocha, T. L., & Futter, M. N. (2015).
Studies of the effects of microplastics on aquatik organisms: what do we
know and where should we focus our efforts in the future?. Science of the
Total Environment, 645, 1029-1039.
36

Derraik, J. G. B. (2002). The pollution of the marine environment by plastic


debris: a review. Marine Pollution Bulletin, 44, 842-852.

Emerson, S., & Hedges J. (2008). Chemical oceanography ang the marine
carbon cycle. Cambridge: Cambridge University Press.

FAO Species Catalogue. (1993). Vol. 16. Groupers of the world (Family
Serranidae, Subfamily Epinephelinae). An annotated and illustrated
catalogue of the grouper, rockcod, hind, coral grouper, and lyretail species
known to date. Rome: Food and Agriculture Organization.

Fishbase. (2019). https://www.fishbase/summer/Epinephelus-sexfasciatus.html.


(diakses pada 16 Desember 2019 pukul 16.30).

Frias, J., Nash, R., Pagter, E., & O'Connor, I. (2018). Standardised protocol for
monitoring microplastics in sediments. JPI Oceans BASEMAN Project.

Gall, S. C., & Thompson, R. C. (2015). The impact of debris on marine life.
Marine Pollution Bulletin, 92, 170-179.

Galloway, T. S., Cole, M., & Lewis, C. (2017). Interactions of microplastic debris
throughout the marine ecosystem. Nature Ecology & Evolution, 1(5),0116.

GESAMP. (2015). Sources, fate and effects of microplastics in the marine


environment: a global assessment. (Kershaw, P. J., ed.).
(IMO/FAO/UNESCO-IOC/UNIDO/WMO/IAEA/UN/UNEP/UNDP Joint
Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental
Protection). Rep. Stud. GESAMP No. 90, 96 p.

Goldberg, E. D. (1995). The health of the ocean-a 1994 update. Chemical


Ecology, 10, 3-8.

Goncharov, A., Rej., R., Negoita, S., Schymura, M., Santiago-Rivera, A., Morse,
G., the Akwesasne Task Force on the Environment, Carpenter, D. O.
(2009). Lower serum testosterone associated with elevated Polychlorinated
Biphenyl concentrations in native American men. Environmental Health
Perspectives, 117, 9.

Graham, E. R., & Thompson, J. T. (2009). Deposit and suspension-feeding sea


cucumbers (Echinodermata) ingest plastic fragments. Journal of
Experimental Marine Biology, 368(1), 22-29.

Gray, J. S., & Elliot, M. (2009). Ecology of marine sediments: from science to
management. New York: Oxford University Press.

Hantoro, I., Löhr, A., Van Belleghem, F. G. A. J., Widianarko, B., Ragas, Ad. M.
J. (2019). Microplastics in coastal areas and seafood: implications for food
safety. Food Additives & Contaminants: Part A, 36, 674-711.
37

Hapitasari, D. N. (2016). Analisis kandungan mikroplastik pada pasir dan ikan


demersal: kakap (Lutjanus sp.) dan kerapu (Epinephelus sp.) di pantai
Ancol, Pelabuhan Ratu, dan Labuan. (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian
Bogor.

Harper, P. C., & Fowler, J. A. (1987). Plastic pellets in New Zealand storm-killed
prions (Pachyptila spp.) 1958-1977. Nortonis, 34, 65-70.

Hastuti, A. R., Lumbanbatu, D. T. F., & Wardiatno, Y. (2019). The presence of


microplastics in the digestive tract of commercial fishes off Pantai Indah
Kapuk coast, Jakarta, Indonesia. Biodiversitas, 20, 1233-1242.

Hildago-Ruz, V., Gutow, L., Thompson, R. C., & Thiel, M. (2012). Microplastics
in the marine environment: a review of the methods used for identification
and quantification. Environmental Science & Technology, 46, 3060-3075.

Holmes, L. A., Turner, A., & Thompson, R. C. (2012). Adsorption of metal trace
to plastic resin pellets in the marine environment. Environmental Pollution,
160, 42-48.

Ismail, M. R., Lewaru, M. W., & Prihadi, D. J. (2019). Microplastics ingestion by


fish in the Pangandaran bay, Indonesia. World News of Natural Sciences,
23, 173-181.

InSWA (Indonesia Solid Waste Association). (2013). Indonesia solid waste


newsletter: untuk Indonesia lebih bersih edisi 2.

Jambeck, J. R., Geyer, R., Wilcox, C., Siegler, T. R., Perryman, M., Andrady, A.,
& Law, K. L. (2015). Plastic waste inputs fron land into the ocean.
Sciencemag. 347(6223).

Jørgensen, B. B. (1983). Processes at the sediment-water interface. In: the major


biogeochemical cycles and their interactions (eds. B. Bolin and R. B. Cook).
SCOPE 21,477-509.

Karbalaei, S., Golieskardi, A., Hazilawati, Abdulwahid, S., Hanachi, P., Walker,
T. R., & Karami, A. (2019). Abudance and characteristics of microplastics
in commercial marine fish from Malaysia. Marine Pollution Bulletin, 148,
5-15.

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2018). Produktivitas perikanan


Indonesia. Forum Merdeka Barat 9 Kementrian Komunikasi dan
Informatika.

Koelmans, A., Gouin, T., Thompson, R. C., & Arthur C. (2014). Plastics in the
marine environment: ET&C perspectives. Environmental Toxycology and
Chemistry, 33(1): 5-10.
38

Lippiatt, S., Opfer, S., & Arthur, C. (2013). Marine debris monitoring and
assessment. NOAA Technical Memorandum, (NOS-OR&R-46), 88.

Lusher, A. L., Welden, N. A., Sobral, P., & Cole, M. (2016). Sampling, isolating
and identifying microplastics ingested by fish and invertebrates. Analitycal
Methods, 9, 1346-1360.

Lusher, A. L., Hollman, P. C. H., & Mendoza-Hill, J. J. (2017). Microplastics in


fisheries and aquaculture: status of knowledge on their occurrence and
implications for aquatic organisms and food safety. Rome, Italy: FAO
Fisheries and Aquaculture Technical Paper, 615.

Manalu, A. A., Hariyadi, S., & Wardiatno, Y. (2017). Microplastics abundance in


coastal sedimets of Jakarta Bay, Indonesia. AACL Bioflux, 10(5), 1164-
1173.

Mugilarasan, M., Venkatachalapathy, R., & Sharmila, N. (2015). Occurrence of


microplastic resin pellets in sediments around Agatti island, India.
International Journal of Recent Scientific Research, 6, 7198-7201.

National Oceanic and Atmospheric Administration Marine Debris Program


(NOAA). (2016). Report on marine debris impacts on coastal and benthic
habitats. Silver Spring, MD: National Oceanic and Atmospheric
Administration Marine Debris Program.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). https://


marinedebris.noaa.gov/discover-issue diunduh pada 22 April 2019.

Oxtoby, D.W., Gillis, H. P., & Nachtrieb, N. H. (2003). Prinsip-prinsip kimia


modern edisi keempat jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Pettipas, S., Bernier, M., & Walker, T. R. (2016). A Canadian policy framework
to mitigate plastic marine pollution. Marine Policy, 68, 117-122.

PlasticsEurope. (2013). An analysis of European latest plastics production,


demand, and waste data. Plastic-The Facts.

Possatto, F. E., Barletta, M., Costa, M.F., Ivar do Sul, J. A., & Dantas, D. V.
(2011). Plastic debris ingestion by marine catfish: An unexpected fisheries
impact. Marine Pollution Bulletin, 62,1098-1102.

Rashed, M. N. (2001). Monitoring of environmental heavy metals in fish from


Nasser Lake. Environment International, 27, 27-33.

Rochelle, P. A., Cragg, B. A., Fry, J. C., Parkes, R. J., & Weightman, A. J. (1994).
Effect of sample handling on estimation of bacterial diversity in marine
sediments by 16S rRNA gene sequence analysis. FEMS Microbiol Ecol, 15,
215-226.
39

Rochman, C. M., Hoh, E., Kurobe, T., & Teh, S. J. (2013). Ingested plastic
transfers hazardous chemicals to fish and induces hepatic stress. Scientific
reports, 3:3263.

Ryan, P. G., & Moloney, C. J. (1990). Plastic and other artifacts on South African
beaches: temporal trends in abundance and composition. South African
Journal of Science, 86, 450-452.

Ryan, P. G., Moore, C. J., van Franeker, J. A., & Moloney, C. L. (2009).
Monitoring the abundance of plastic debris in the environment.
Philosophical Transaction of The Royal Society Biological Science B, 364,
1999-2012.

Secretariat of the Convention on Biological Diversity. (2016). Marine


debris:understanding, preventing, and mitigating the significant adverse
impacts on marine and coastalbiodiversity. Montreal: CBD Technical Series
No. 83.

Smith, S. D. A., & Markic, A. (2013). Estimates of marine debris accumulation on


beaches are strongly affected by the temporal scale of sampling. PLoS ONE,
8(12): e83694.

Soewarno. (1991). Hidrologi: pengukuran dan pengolahan data aliran sungai


(hidrometri). Bandung: Nova.

Sussarellu, R., Suquet, M., Thomas, Y., Lambert, C., Fabioux, C., Pernt, M. E. J.,
Le Göic, N., Quillien, V., Mingant, C., Epelboin, Y., & Corporeau, C.
(2016). Oyster reproduction is affected by exposure to polystyrene
microplastics. PNAS, 113(9), 2430-2435.

Sutherland, K. R., Madin, L. P., & Stocker, R. (2010). Filtration of submicrometer


particles by pelagic tunicates. PNAS, 107(34), 15129-15134.

Syarief. R., Santausa, S., & Isyana. (1989). Teknologi pengemasan pangan.
Bogor: PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Thompson, R. C., Moore, C. J., vom Saal, F., & Swan, S. H. (2009). Review
plastics, the environment and human health: Current consensus and future
trends. Philosophical Transaction of The Royal Society Biological Science
B, 364, 2153-2166.

Thompson, R. C., Swan, S. H., Moore, C. J., & vom Saal, F. (2009). Our plastic
age. Philosophical Transaction of The Royal Society Biological Science B,
364, 1973-1976.

Tim Perikanan WWF-Indonesia. (2015). Better management practice seri


panduan perikanan skala kecil perikanan kerapu dan kakap panduan
penangkapan dan penanganan. Jakarta: WWF-Indonesia.
40

Tourinho, P. S., Ivar do Sul, J. A., & Fillman, G. (2009). Is marine debris
ingestion still a problem for the coastal marine biota of southern Brazil?.
Marine Pollution Bulletin, 60, 396-401.

United Nations Environment Proramme (UNEP). (2009). Marine litter : a global


challenge. Nairobi: UNEP. 232 pp.

Watts, A. J., Lewis, C., Goodhead, R. M., Beckett, S. J., Moger, J., Tyler, C. R., &
Galloway, T. S. (2014). Uptake and retention of microplastics by the shore
crabs Carcinus maenas. Environmental Science Technology, 49(24), 14597-
14604.

Wright, S. L., Thompson, R. C., & Galloway, T. S. (2013). The physical impacts
of microplastic on marine organisms: a review. Environmental Pollution,
178, 483-492.

Yehia, H. M., & Sebaee, E. S. (2012). Bioaccumulation of heavy metals in water,


sediment, and fish (Oreochromis nilocitus and Clarias anguillaris), in
Rosetta branch of the River Nile, Egypt. African Journal of Biotechnology,
11(77), 14204-14216.

Zhang, K., Gong, W., Lv, J., Xiong, X., & Wu, C. (2015). Accumulation of
floating microplastics behind the Three Gorges Dam. Environmental
Pollution, 204, 117-123
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi kegiatan penelitian

(A) (B)

(C) (D)

(E) (F)

(G) (H)
Keterangan:
(A) Saluran pencernaan ikan kerapu
(B) Memancing ikan kerapu dengan teknik speargun
(C) Pengambilan sedimen di lokasi penelitian
(D) E. ongus
(E) E. areolatus
(F) E. fuscoguttatus
(G) E. sexfasciatus
(H) Mikroplastik jenis fragmen berbentuk silindris yang ditemukan (400×)

41
42

Lampiran 2. Data individu ikan kerapu

Berat Isi
Indi Kedala Ukura
Jenis Lokasi Waktu Pencernaan
vidu man (m) n (cm)
(g)
22-
1 Dermaga 15 Okt- 21,5 5,2
20
22-
2 Dermaga 20 Okt- 23,5 6,6
20
22-
Epinephelus
3 Dermaga 20 Okt- 23,2 2,4
sexfasciatus
20
22-
4 Timur 15 Okt- 25,7 5,5
20
22-
5 Timur 15 Okt- 25,3 4,6
20
Gosong
06-
1 Pulau 15 18,8 3,1
Jan-20
Pramuka
Gosong
06-
2 Pulau 10 31,2 2,2
Jan-20
Pramuka
Epinephelus 06-
3 Dermaga 10 23,6 4,3
ongus Jan-20
19-
4 Dermaga 15 Agust- 32,4 5,0
20
19-
5 Dermaga 10 Agust- 25,7 3,7
20
24-
1 Dermaga 2 Okt- 28,9 7,6
20
24-
2 Dermaga 4 Okt- 28,5 6,3
Epinephelus 20
areolatus 24-
3 Dermaga 5 Okt- 25,3 5,6
20
24-
4 Dermaga 5 Okt- 26,9 4,8
20
43

24-
5 Timur 10 Okt- 23,8 5,5
20
Gosong
06-
1 Pulau 8 28,7 3,4
Jan-20
Pramuka
Gosong
06-
2 Pulau 12 32,6 2,5
Jan-20
Pramuka
Epinephelus 06-
3 Timur 10 51,8 5,1
fuscoguttatus Jan-20
Gosong 19-
4 Pulau 10 Agust- 30,5 2,4
Pramuka 20
20-
5 Timur 10 Agust- 32,7 3,7
20
44

Lampiran 3. Hasil Regresi Linier antara ukuran tubuh dengan jumlah mikroplastik
ikan kerapu genus Epinephelus
The regression equation is
Jumlah mikroplastik = 89,12 - 0,2399 Ukuran
Model Summary
S R-sq R-sq(adj)
24,5969 0,46% 0,00%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 50,7 50,671 0,08 0,776
Error 18 10890,1 605,007
Total 19 10940,8
45
46

Lampiran 4. Data mikroplastik sedimen

Total
Rata-Rata Standar
Lokasi Kedalaman Mikroplastik
(partikel/g) Deviasi
(partikel/g)
Gosong Pulau 5 27
28,5 2,12
Pramuka 10 30
5 45
Dermaga 43 2,83
10 41
5 31
Timur 35 5,66
10 39

Lampiran 5. Hasil one sample T-test jumlah rata-rata mikroplastik di sedimen

Variable 1
Mean 34,33333333
Variance 89,33333333
Observations 3
Pearson Correlation 0,788470204
Hypothesized Mean
Difference 0
df 2
t Stat -0,6704784
P(T<=t) one-tail 0,285803479
t Critical one-tail 2,91998558
47

Lampiran 6. Perhitungan nilai BCF

Rumus perhitungan nilai BCF:

Jumlah Jumlah Jumlah


Berat Isi
Mikroplastik Mikroplastik Mikroplastik
Jenis Individu Pencernaan BCF
Ikan kerapu Ikan Kerapu Sedimen
(g)
(partikel) (partikel/g) (partikel/g)
1 88 5,2 16,92 43 0,39
2 92 6,6 13,94 43 0,32
Epinephelus
3 98 2,4 40,83 43 0,95
sexfasciatus
4 95 5,5 17,27 35 0,49
5 97 4,6 21,09 35 0,60
1 48 3,1 15,48 28,5 0,54
2 58 2,2 26,36 28,5 0,93
Epinephelus
3 69 4,3 16,05 43 0,37
ongus
4 62 5,0 12,40 43 0,29
5 63 3,7 17,03 43 0,40
1 139 7,6 18,29 43 0,43
2 104 6,3 16,51 43 0,38
Epinephelus
3 102 5,6 18,21 43 0,42
areolatus
4 118 4,8 24,58 43 0,57
5 86 5,5 15,64 35 0,45
1 49 3,4 14,41 28,5 0,51
2 76 2,5 30,40 28,5 1,07
epinephelus
3 83 5,1 16,27 35 0,46
fuscoguttatus
4 60 2,4 25,00 28,5 0,88
5 61 3,7 16,49 35 0,47

Anda mungkin juga menyukai