YUNITA RAMILI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Morfologis dan
Perkembangan Gonad Spons Aaptos aaptos (Schmidt 1864) (Kelas
Demospongiae) Di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta adalah
karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks clan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Yunita Ramili
NRP C651040051
ABSTRAK
YUNITA RAMILI. Struktur Morfologis Dan Perkembangan Gonad Spons
Aaptos aaptos (Schmidt 1864) (Kelas Demospongiae) di Perairan Pulau Par<
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Dedi
Soedharrna, DEA; Dr. Ir. Ridwan Mandi, DEA dan drh. Adi Wmarto, PhD
Spons laut Aaptos aaptos merupakan salah satu jenis spons yang memiliki
nilai ekonomis karena mengandung senyawa khusus aaptarnine yang dapat
digunakan dalam bidang farmasi. Pengambilan spons secara langsung di alam
untuk keperluan dimaksud dapat mengakibatkan degradasi baik pada habitat alami
spons yaitu terumbu karang maupun pada populasi spons itu sendiri di alam.
Untuk itu diperlukan adanya pengetahuan mengenai aspek reproduksi spons untuk
upaya budidaya spons. Selain itu penelitian mengenai aspek reproduksi spons di
daerah tropis khususnya Indonesia masih kurang intensif diiakukan. Penelitian ini
bertujuan untuk : (1) mengkaji s t d t u r morfologis dan anatomis spons Aaptos
aaptos, (2) mengkaji perkembangan gonad spons Aaptos aaptos, clan (3) mengkaji
pengaruh fase bulan terhadap perkembangan gonad spons Aaptos aaptos.
Pengambilan sampel spons Aaptos aaptos di perairan pulau Pari
dilakukan menurut f$se bulan selarna dua siklus bulan. Pengamatan terhadap
perkembangan gonad dilakukan dengan membuat preparat histologis dan diwarnai
dengan Hematoksilin-Eosin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara mikromorfologis terdapat
saluran ostia, serat spongin dan spikula pada jaringan tubuh spons yang diamati.
Spikula yang ditemukan mempunyai tipe strongyloxeas yang merupakan ciri dari
spons Aaptos aaptos. Seksualitas spons ini mempunyai tipe gonokhorik. Oosit
ditemukan berada dalam suatu kantong pembesaran gamet yang merupakan
mekanisme adaptasi dari spons ini untuk melindungi oositnya dari predasi,
turbulensi dan dehidrasi. Ditemukan adanya empat tabpan perkembangan gonad
spons Aaptos aaptos dengan ciri dan karakteristik yang berbeda antara satu tahap
dengan tahap lainnya Tahapan perkembangan gonad terjadi menurut h e bulan
d h permulaan oogenesis terjadi pada h e bulan baru dan pada fase bulan
purnama oosit telah rnatang dan siap untuk dikeluarkan.
Kata kunci : Aaptos aaptos, histologis, kantong pembesaran garnet, f$se bulan,
oosit, Pulau Pari
ABSTRACT
YUNITA RAMILI. The Morphological Structure and Gonad Development of
Sponge Aaptos aaptos (Schmidt 1864) (Demospongiae) in Pari Island, Seribu
Island, DKI Jakarta. Under the direction of DEDI SOEDHARMA, RTDWAN
AFFANDI and AD1 WINARTO
Marine sponge Aaptos aaptos is one of the marine resource which has an
economic value because the sponge fiom this genus produces the special
compound, this is aaptamine which can be used in pharmaceutical interest.
Collection of sponge directly in their habitat for commercial production of their
secondary metabolites may have and adverse impact on the environment, coral
reef, or sponge population itself. Thus, we need some information of sponge
reproduction which can be use in sponge culture. On the other hand the lack
information on sexual reproduction of sponges in the tropical area, especially in
Indonesia has not been intensively investigated. The aims of the research are :
(1) to study on the morphological and anatomical structure of sponge Aaptos
aaptos, (2) to study on the one of the sexual reproduction aspect of sponge Aaptos
aaptos that is its gonad development and, (3) to study on the influence of lunar
phase on the gonad development of sponge Aaptos aaptos.
The sampling was done at Pari Island according to moon's phase during
two months. The gonad development observation was done by doing the
histological preparation and stained with Haernatowlin-Eosin.
The result of the research shows that ostia, sponge fiber and spicule are
found within the sponge tissues. The type of spicule is strongyloxeas that is the
characteristics of sponge Aaptos aaptos. The sexuality of the sponge is
gonochoric. The development of the oocyte occurs in the gamete cyst which is the
mechanism of the sponge adaptation to protect the oocyte fiom the predator,
turbulence and dehydration. Histological observation showed that there were four
stages of gonads development of sponge Aaptos aaptos by the different
characteristics among the stages. Those are occur according to the lunar phase
which the initially of the oogenesis occurs in the new moon while the maturity of
the oocyte occurs in the full moon and had been ready to be spawned.
YUNITA RAMILI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Struktur Morfologis dan Perkembangan Gonad Spons
Aaptos aaptos (Schmidt 1 864) (Kelas Demospongiae)
di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Nama : Yunita Ramili
NRP :C65 104005 1
Komisi Pembimbing
P
Prof. ~r.;. Dedi Soedharrna. DEA
" . -!
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, kekuatan
dan semangat sehingga tugas akhb guna meraih gelar Magister Sains di bidang
Biologi Laut ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul "Struktur Morfologis
Dan Perkembangan Gonad Spons Aaptos aaptos (Schmidt 1864)
(Kelas Dernospongiae) di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI
Jakartan adalah bagian dari studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu
Kelautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA selaku ketua komisi
pernbimbing, Bapak Dr. Ir. Ridwan Aff+mdi, DEA dan Bapak drh. Adi
Winarto, Ph-D sebagai anggota komisi pembimbiig yang telah
meluangkan waktu serta dengan penuh kesabaran telah membimbing dan
mengarahkan penulis dalarn penyelesaian penulisan tesis.
2. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc yang telah bersedia menjadi
penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA, selaku Ketua Tim Hibah Pasca
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi bagian
dalam tim tersebut untuk melakukan kegiatan penelitian ini.
4. Pimpinan beserta seluruh staf dan teknisi Laboratorium Histologi
Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran
Hewan - Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan ijin dan
kesempatan kepada penulis untuk penggunaan laboratorium dalam
penelitian ini.
5. Seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi Perikanan Hatta-Sjahrir Banda
Naira yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan telah banyak membantu penulis
baik dalam ha1 moril maupun materiil.
6. Rekan - rekan selama studi pada Program Studi Ilrnu Kelautan Angkatan
2004 : Hanifah Mutia, Iwan Setiabudi, Ristiana Eryati, Hawis Maddupa,
Riris Aryawati, Meutia Samira Ismet, Nurul Fitriya, Heron Surbaktii
La Ode Nurrnan M a y , Beginner Subhan, Roni Fitrianto, dan Adriani
Sunuddin yang telah banyak membantu penulis selama menjalani studi.
7. KeIuarga tercinta Mama, Papa dan kedua Kakak-ku yang senantiasa
memberikan doa dan restu serta bantuan baik moril maupun materiil
selama penulis menempuh pendidikan.
8. Kepada semua pihak yang telah membantu &lam pelaksanaan penelitian
dau penulisan tesis yang tidak &pat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari dengan sesungguhnya bahwa tesis ini masih jauh dari
kesempumaan Oleh karena itu penulis mengharsy>kan adanya saran atau kritik
dari semua pihak yang dapat digunakan untuk melengkapi tesis ini. Sernoga
penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan pengetahuan
kita dalam bidang biolugi laut, khususnya mengenai spons laut.
Yunita Rarnili
RIWAYAT HIDUP
4 (a) Struktur sel spons (Barnes 1987); (b) Choanosit (Harris, 1990)...... 12
5 Spikula silika yang terdapat pada kelas Demospongiae; (A) Tipe-
tipe megasklera; (B) Tipe-tipe rnikrosklera (Kozlof, 1990) ................. 14
6 Tipe-tipe saluran air pada spons, yaitu asconoid, syconoid dan
leuconoid (Karlenskit, 1998)................................................ 15
7 Proses fertilisasi pada spons Grantia. (a) Sperma ditangkap oleh
choanocyte; (b) Pemindahan sperma oleh transfer choanocyte ke
oosit (Brusca dan Brusca, 1990)......................................................... 27
8 Proses fertilisasi pada spons................................................................ 28
9 Bentuk larva parenchymella pada spons (Brusca dan Brusca, 1990) 30
10 Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel spons laut
Aaptos aaptos di Pulau Pari, Kepulauan Seribu................................... 36
11 Contoh bagian tubuh spons Aaptos aaptos yang diambil untuk
pengamatan perkembangan gonad.. .................................................. 38
12 Skema struktur morfologis clan anatomis spons Aaptos aaptos
(a) Morfologi tubuh; (b) Penampang melintang tubuh spons clan
bagian-bagian yang dikenali............................................................... 42
13 Saluran ostia spons laut Aaptos aaptos (perwarnaan Hematoksilin-
Eosin) ................................................................................................. 43
14 Serat spongin penyusun kerangka spons laut Aaptos aaptos
(pewarnaan Hematoksilin-Eosin) ....................................................... 43
15 Jalur-jalur spikula spons Aaptos aaptos (pewarnaan Hematoksilin-
Eosin) ................................................................................................... 43
16 Beberapa bentuk spikula yang terdapat pada jaringan tubuh
spons Aaptos aaptos (pewarnaan Hematoksilin-Eosin)........................ 44
17 Irisan melintang tubuh spons, hari kedua fase bulan pumama (1 2 Juni
2006); (A) lapisan pinacoderm, (B) saluran ostia, (C) kantong garnet
(D) telur, (E) mesohyl, (F) saluran air (pewarnaan Hematoksilin-
Eosin) ........................................................................... 47
18 Bentuk spermatic cyst spons dengan spermatosit didalamnya
(ienis spons belum diietahui); (A) Spermatic cyst, (B) Spermatosit
(pewarnaan Hematoksilin-Eosin) ............................... .
................... 48
19 Irisan melintang kantong tempat pembesaran gamet spons Aaptos
aaptos dengan telur didalamnya, hari kedua fase bulan purnama,
12 Juni 2006; (A) Telur (pewarman Hematoksilin-Eosin) ................... 50
20 Oosit tahap Ispons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan baru,
28 Juni 2006; (A) Oosit I (pewarnaan Hematoksilin-Eosin) ................ 52
21 Oosit tahap 11spons Aaptos aaptos, yang terlihat dalam kantong
pembesaran gamet, hari keenam fase bulan baru, 2 Juli 2006;
(A) Oosit 11, (B) Dinding oosit, (C) Inti (pewanman Hematoksilin-
Eosin)..................................................................................................... 52
22 Oosit tahap 111spons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan purnarna,
12 Juni 2006; (A) Oosit 111, (B) Butiran lemak, (C) Inti (pewamam
..
Hematoksilin-Eosin)........................................................................... 53
23 Oosit tahap IV spons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan purnama,
12 Juni 2006; (A) Oosit IV, (B) Butiran lemak, (C) Inti (pewarnaan
..
Hematoksilm-Eosin).............................................................................. 53
24 Tingkat kematangan gonad betina spons Aaptos aaptos berdasarkan
fase bulan (BB = bulan baru; BP = bulan purnama).............................. 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Spons termasuk filum Porifera, me~pilkanhewan multiseluler dengan
hngsi jaringan dan organ yang masih sangat sederhana. Hewan ini mempunyai
banyak pori-pori dan saluran-saluran pada seluruh bagian tubuhnya. Untuk
memperoleh makanan, hewan ini &if mengisap dan menyaring air melalui
seluruh permukaan tubuhnya. Hewan ini hidup menetap pada suatu habitat pasir,
batu-batuan atau pada karang di dalam laut (Amir dan Budiyanto, 1996 ;
Romimohtarto & Juwana, 1999).
Spons seringkali merupakan komponen penting dari hewan bentik yang
hidup pada komunitas terumbu karang, terutarna dalam peran ekologi dan
biomassanya (Wilkinson, 1987 d a I m Ilan dan Loya, 1988). Komposisi dari
hewan bentik dipengaruhi oleh dua factor utama yaitu reproduksi dan
penempelan. Pengetahuan mengenai aspek reproduksi seksual spons dapat
memberikan kontribusi untuk menjetaskan proses ekoIogi seperti distribusi, aliran
genetic dan dinamika populasi spons (Mariani ef al. 2000). Meskipun demikian,
dalam penelitian meigenai spons kedua ha1 tersebut masih kurang diketahui.
Selain itu, pengetahuan mengenai sejarah hidup dan siklus reproduksi dari spons
sangat penting dalam memahami evolusi dan peranannya dalam ekosistem laut
(Ereskovskii, 2000).
Spons mempunyai kemampuan untuk melakukan reproduksi secara
seksual tetapi keterangan mengenai proses ini masih sedikit diketahui karena
keberadaan gonad, gamet dan embrio yang berada dalam mesohyl belum
teridentifikasi dengan jelas (Brusca dan Brusca, 1990). Walaupun beberapa
informasi mengenai reproduksi seksual spons (Demospongiae) telah tersedia,
tetapi masih banyak spesies spons yang belum terdeskripsikan reproduksinya. Hal
ini disebabkan oleh sulitnya menemukan individu yang sedang bereproduksi dan
'dalam waktu dan tempat yang tepat' (Sidri et a]. 2005). Dibandingkan dengan
daerah temperate, penelitian dan informasi mengenai aspek reproduksi spons di
daerah tropis masih kurang intensif dilakukan (Ilan dan Loya, 1988), khususnya di
Indonesia.
Spons Aaptos aaptos mempunyai nilai ekonomis karena spons dari genus
ini menghasilkan senyawa khusus yaitu aaptamine (Soest dan Braekrnan, 1999)
yang dapat digunakan dalam bidang firmasi. Pengambilan spons yang
mengandung senyawa bioaktif untuk p e d a a t a n dalam bidang farmasi maupun
komersial lainnya dapat mengakibatkan kerugian dalam lingkungan khususnya
tenunbu karang (de Caralt, Agell dan Uriz, 2003). Hal ini disebabkan karena
pengambilan dilakukan secara langsung di dam dan belum ada yang berasal dari
hasil budidaya. Cara seperti ini, jika dilakukan terus menerus diperkirakan dapat
mengakibatkan p e n m a n populasi spons secara signifikan. Alternative budidaya
yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan upaya transplantasi spons clan
pembenihan spons, sehingga dapat mengurangi tekanan pada ekosistem terumbu
karang dan mencegah terjadinya p e n m a n populasi spons itu sendiri di dam.
Untuk itu penelitian mengenai aspek reproduksi spons jenis Aaptos aaptos yang
menyangkut perkembangan gonad pada habitat alaminya perlu dilakukan sebagai
informasi dasar bila hendak melakukan upaya transplantasi spons ataupun dalam
upaya pernbenihan spons.
Perurnusan Masalah
Spons merupakan hewan laut yang diketahui memiliki potensi bioaktif
yang banyak dimanfaatkan dalam bidang f m a s i . Dengan demikian spons banyak
dicari dan diambil orang untuk tujuan penelitian, terutama untuk diekstraksi,
dfiaksinasi dan diisolasi senyawa bahan dam yang dikandungnya. Pengambilan
spons untuk keperluan dimaksud dikhawatirkan dapat mengakibatkan penurunan
populasi secara signif*, karena ketersediaan populasi spons itu sendiri di dam
terbatas, terutama pada jenis-jenis spons yang senyawa bioaktihya sudah
diietahui aktivitas farmakologinya dan sulit dibuat sintesanya. Ancaman lainnya
adalah semakin terdegradasinya habitat utama spons, yaitu tenunbu karang.
Dengan demikian bila kita mengharapkan populasi spons di dam tetap
tersedia maka adanya perbaikan habitat dami spons yaitu terumbu karang perlu
diupayakan dan juga perlu adanya suatu upaya restocking benih spons dan
budidaya spons itu sendiri. Hal ini &pat dilakukan melalui upaya
pengembangbiakan atau perbanyakan spons baik secara aseksual melalui
transplantasi spons maupun secara seksual. Untuk itu perlu adanya suatu kajian
mengenai aspek biologi reproduksi spons pada habitat alarninya dalam
mendukung upaya pengelolaan dan pembenihan spons. Seperti pada karang dan
hewan avertebrata laut laimya, s p a secara keseluruhan juga tidak merniliki ciri
seksual sekunder yang dapat digunakan untuk menentukan jenis seksualitasnya.
Oleh karena itu, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk pengamatan
tersebut adalah pengamatan histologis pada jaringannya. Histologis sel gonad
merupakan cara pengamatan terhadap gonad secara mikrokopis dan diharapkan
akan dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai perkembangan yang terjadi
di dalam gonad dimaksud.
T~NJAUANPUSTAKA
Gambm 4 (a) Struktur sel spons (Barnes, 1987); (b) Choanocytes (Harris, 1990)
Sistem Kerangka
Sistem kerangka terdiii dari kapur karbonat atau silikon dalam bentuk
spikula atau dari spongin dalam bentuk serat. Spikula tertimbun &lam sel-sel
yang disebut scleroblast, yakni sel spons tempat berkembangnya spikula, dan
lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula.
Rangkanya relatif kompleks dan menyediakan kerangka penunjang untuk sel-sel
dari hewan tersebut. Rangka biasanya terdapat pada mesohyl, tetapi spikula
seringkali terdapat pada pinacoderm (Barnes, 1987).
Spikula adalah garnbaran karakteristik dari spons. Ukuran, bentuk dan
susunan dari masing-masing spikula yang dikandung hewan spons sangat berguna
untuk menentukan klasifkasinya. Spikuh dapat berbentuk kalkareus, silikon atau
bahan organik, dan merupakan suatu komposisi kimia yang dipakai sebagai clasar
untuk mengklasifikasi spons. Fungsi utamanya adalah membentuk rangka
pendukung yang rnencegah rubuhnya jutaan rongga berflagella lembut clan saluran
air dalam spons. Pada Demospongia, spikula silikon selalu menempel atau
tertanam pada spongin, membuatnya lebii kaku, dan pada beberapa jenis butiran
pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau spongin memungkinkan secara relatif
perubahan cepat arsitektur pada sistem saluran air untuk merespon perubahan
tekanan dan aliran air (Harris, 1990). Pada umumnya setiap individu spons
memiliii lebih dari satu macam bentuk spikula. Menurut Bergquist (1978) bentuk
spikula menurut fbngsinya dibagi atas dua kategori, yaitu megasklera dan
mikrosklera. Megasklera adalah komponen dari kerangka primer yang berperan
untuk membentuk spons dan perkembangan struktur internal. Mikrosklera tidak
berfbngsi seperti peranan megasklera, tetapi membentuk kelornpok antara
kumpulan megasklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal.
Beberapa tipe spikula yang terdapat pada kelas Demospongia dapat dilihat pada
Gmbar (5).
Sistem Saiuran
Tubuh spons dipenuhi oleh lubang kecil atau pori-pori yang disebut ostia
yang dilalui oleh sejumlah besar air. Air masuk ke tubuh spons melalui ostia
mengalir masuk ke dalam rongga yang luas yang disebut spongocoel. Air
kemudian keluar dari spongocoel melalui lubang yang besar yang disebut oskulum
(Karlenskit, 1998).
Ada tiga macam tipe saluran pada spons, yaitu asconoid, syconoid dan
leuconoid (Kozloff, 1990; Brusca dan Brusca, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991;
Romimohtarto dan Juwana, 1999). Sistem saluran ini bertindak seperti halnya
sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas
untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan
ke luar tubuh. Pada spons t i p asconoid terdapat dinding tipis menutupi rongga
tengah yang disebut atrium atau spongocoel, yang terbuka ke arah luar melalui
oskulum tunggal. Bukaan bagian luar pada saluran porocytes disebut ostium
(ostia) atau lubang pemasukan (incurrent pore). Pergerakan air yang melalui
spons tipe asconoid, stnrkhunya sebagai berikut: ostium - spongocoel (di atas
choanoderm) - oskulum. Pada spons t i p syconoid, choanocytes dibatasi oleh
ruang spesifik atau diverticula atrium yang disebut ruang berflagella (flagellated
chambers). Setiap ruang choanocytes (choanocytes chamber) terbuka ke arah
spongocoel oleh lubang luas yang disebut apopyle. Spons tipe syconoid dengan
kulit yang tebal memiliki sistem saluran atau incurrent canals yang berasal dari
lubang kulit melalui mesohyl ke ruang choanocytes (choanocytes chamber).
Bukaan dari saluran ini yang menuju ke ruang choanocytes (choanocytes
chamber) disebut prosophyles. Pada spons tipe syconoid, air bergerak dari
permukaan spons ke dalam aliran tubuh melalui struktur sebagai berikut :
incurrent pore - incurrent canals -prosopyle - ruang choanocytes (choanocytes
chamber) - apopyle - spongocoel - oskulum. Pada spons tipe leuconoid
ditemukan suatu peningkatan jumlah dan penurunan ukuran ruang choanocytes
(choanocytes chamber), yang secara khusus mengelompok pada mesohyl yang
tebal. Spongocoel berubah ke excurrent canals yang membawa air dari ruang
choanocytes (choanocytes chamber) ke oskula Aliran air yang melalui spons
leuconoid adalah sebagai berilcut : dermal pore - incurrent canals - prosopyle -
ruang choanocytes (choanoqtes chamber) - apopyle - excurrent canals -
oskulum. Tipe leuconoid &ah ciri khas kebanyakan spons kelas Calcarea dan
semua anggota kelas Demospongiaea (Brusca dan Brusca, 1990).
Gambar 6 Tipe-tipe saluran air pada spons, yaitu asconoid, syconoid dan
leuconoid (Karlenskit, 1998)
Reproduksi
Seksualitas Spans
Secara garis besar seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua
tipe, yaitu : (1) Hermaprodite, yaitu jenis spons yang menghasilkan baik gamet
jantan atau garnet betina selama hidupnya, tetapi menghasilkan gamet jantan dan
gamet betina dalam waktu yang berbeda; (2) Gonokhorik, yaitu jenis spons yang
memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya (Reseck,
1988; Kozloff, 1990; Rupert dar1 Barnes, 1991). Tipe hermapodrit ditemukan pada
ordo Poecilosclerida, ordo Homosclerophorida dari famili Plakinidae dan
Oscarellidae, ordo Hadromerida dari famili Clionidae, ordo Dendroceratida dari
famili Halisarcidae, sedangkan tipe gonokhorik ditemukan pada ordo Astmporida
dari fmili Geodidae dan Stellentidae, ordo Sphirophorida dari famili Tetillidae,
ordo Hadrornerida dari famili Tethydae, Chondrosiidae, Polyrnastiidae, ordo
Axinellida dari famili Axinellidae dan Agelasidae (Sara, 1992).
Tipe hermaprodite pada spons terbagi atas: (1) hermaprodie bersamaan
(contemporaneous hermaproditism), yaitu apabila spons menghasilkan gamet
jantan dan gamet betina d a l m waktu yang bersarnaan dalam satu individu; (2)
hermapordite bergantian (successive hermaproditism), yaitu apabila spons
menghasilkan gamet jantan dan gamet betina secara bergantian. Hermaprodite
bersarnaan (contemporaneous hermaproditism) ditemukan pada spons jenis
Neojibularia nolitangere, sedangkan hermaprodit bergantian (successive
hermaproditism) ditemukan pada spons jenis Polymastia mammilaris clan
Suberitas massa (Hadromerida), Hymeniacidon carincula dan Hymeniacidon
heliophila (Halichondrida) (Sara, 1992).
Seksualitas bertipe gonokhorik, khususnya dari ordo Hadromerida
didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae);
Chondrosia renformis, Chondrilla mucula (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta,
Aaptos aaptos (Polymastiidae) (Sara, 1992), Xestospongia berquistia dan
Xestospongia testudinaria (Fromont dan Berquist, 1994). Selain itu didapatkan
juga seksualitas bertipe gonokhorik labil (labile gonochorism). Seksualitas bertipe
seperti ini ditemukan pada spons jenis Suberitas carnous (Hadromerida) dan
Raspailia topsenti (Axinellida) (Sara, 1992).
Reproduksi Aseksual
Spons mempunyai strategi yang beragam untuk reproduksi dan
penyebaran. Reproduksi spons dapat terjadi secara aseksual dan seksual. Sejumlah
proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang dasarnyz potensi
perkembangan archaeocytes. Proses ini terrnasuk pembentukan pucuk (bud
formation), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic
growth), pembentukan gemmule (gemmule formation) dan bgmentasi (Harrison
dan De Vos, 1991; Karlenskit, 1998 dan de Voogd, 2005). Dalarn budding,
kelompok sel berkembang pada bagian luar dari permukaan spons. Setelah
mencapai ukuran tertentu, bud ini akan jatuh dan membentuk spons barn dekat
induknya tau rnengapung mengikuti arus air dan kemudian akan menempatkan
diri dan menjadi dewasa pada substrat tertentu di suatu tempat. Fragmentasi
meliputi produksi spons baru lewat bagian yang patah dari tubuh spons. Selain itu
spons memperlihatkan kekuatan yang sangat hebat dalam regenerasi, d i i saat
bagian tubuhnya patah atau dimakan, spons dapat mengganti bagian yang hilang
tersebut (Karlenskit, 1998).
Kebanyakan spons, baik yang hidup di laut maupun yang hidup di air
tawar, mempunyai cara reproduksi aseksual, yaitu pembentukan gemmule. Spons
laut yang telah diketahui mengalami pembentukan gemmule adalah jenis
Suberitas domuncula dan HalicIona loosanoffi. Proses perkembangan gernrnule
pada spons ini berbeda dengan spons air tawar. Thesocytes diperoleh dari
choanocytes yang mengalami perubahan ke dalarn bentuk archaeocytes peralihan,
dan bentuk vitellogenesis jelas kelihatan Pada penambahan aktifitas sintesis
archaeocytes, cadangan senyawa diasimilasi melalui phagocytosis, pinocytosis
dan terdapat pseudopodia berperekat atau batang sitoplasmik antara thesocytes
bagian depan nurse cells (Harrison dan De Vos, 1991). Gemmule mengandung
kapsul spongin, spikula, dan terdapat archaeocytes yang mengandung cadangan
makanan seperti glycogen. Potongan-potongan spons yang patah dapat hidup
dengan cadangan makanan yang ada di tubuhnya, kemudian beregenerasi
membentuk tunas baru atau kompleks gemmule untuk menjadi spons dewasa
(Bergquist, 1978).
Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual mencakup pembentukan sperma dan telur. Sperma
nampaknya berkembang terutama dari choanocyte; telur berkembang dari
chonaocytes atau archaeocytes. Spermatogenesis biasanya terjadi dalam spermatic
cyst (kantong sperma), yang merupakan bentuk ketika semua sel dari m g
choanocyte diubah menjadi spermatogonia atau saat perubahan choanocytes
berpindah ke mesohyl dan mengelompok di situ. Dalam proses oogenesis, oosit
yang tersendiri (soliter) berkembang &lam 'cysts' dikelilingi oleh lapisan folikel
sel dan nurse sel (tropocytes). Permulaan meiosis setelah oogonium
mengakumulasi sejumlah cadangan makanan yang cukup, kemungkiian disuplai
lewat pemakanan tropocytes (Brusca dan Brusca, 1990).
Oogenesis
Oogonia pada s p n s berasal dari archzeocytes atau choanocytes (Rupert
dan Barnes, 1991; Harrison dan De Vos, 1991). Oogonia yang asal mulanya dari
choanocytes, seperti pada Suberitas massa, Oscarella lobularis, Sycon ciliatum,
Clahtrina clathtrus dan Clathrina cerebrum, choanocytes mernanjang, dan
nukleus berkembang dengan nukleolus yang memonjol. Sitoplasma berisi
peningkatan jumlah mitokondria, dan menjadi melebar. Badan golgi makin lama
makin berkembang. Choanocytes hilang sel-sel leher (collars) dan flagellanya
sebelum bermigrasi ke dalam mesohyl dan mengakumulasi phagosome (Harison
dan De Vos, 1991).
Surnber gamet betina antara lain berasal dari nucleolate amebocytes
dengan sitoplasma basophilic (archaeocytes) atau choanocytes. Oogonia atau oosit
awal melalui tingkat amoeboid. Pemunculan dari nurse cell yang khusus seperti
pada periode awal oogenesis merupakan ciri khas dari Haplosclerida. Beberapa
mesohyl nucleolate amebocytes secara signifikan meningkat dalam ukuran dan
phagosome yang besar, sejumlah besar granula, termasuk lernak, dan ribosom
bebas dalam sitoplasma, retikulum endoplasma kasar tidak ada. Sel-sel ini
meningkat dalam jurnlah dan konsentrasi disekitar oosit yang berkembang, sering
disebut nurse cell atau trophocytes. Oocytes dan tropocytes biasanya tidak
berhubungan lewat jembatan sitoplasma dan dikelilingi oleh epitel folikular, yang
belum pernah disebutkan untuk spons. Selanjutnya dikatakan bahwa nurse cell
merupakan s o m tik sel yang menyediakan sumber dari kuning telur selarna
oogenesis dan gemmulogenesis. Oosit previtellogenic menunjukkan pergerakan
amoeboid, secara &if bergerak dalam mesohyl memfagositosis nurse cell atau
%men mereka lewat lobopodia dan meningkat secara cepat dalam ukuran
(Ereskovkii,1999).
Sebelum memulai vitellogenesis, oosit berhenti menutup ke excurrent
canal dari sistem irigasi, dalam bagian tengah atau basal dari choanosome. Di situ,
dikelilingi oleh lapisan mendatar dari pinacocyte atau collencyte, dan disebut
kapsul embrional. Proses ini telah digambarkan pada beberapa farnili rnisalnya
Spongillidae (S. Lacustris, E. Fluviatilis, E. Muelleri, Eunapius fragilis, dan
Radiospongilla cereballata), Potamolepidae (P. Stendelli dan Malawispongia
ecbasis, H Loosanofl, H Permolis, H
echinata), Hdiclonidae (HrlIicIo~~
Aqueductus) dan Lubomirskiidae (L.baiklensis, B. Bacillifera dan S. Papyracea
(Ereskovskii, 1999).
Pada beberapa Haplosclerida, nurse cell yang memasuki sitoplasma dari
oosit hampir tidak mengalami cytolisis. Misahya, pada H ecbasis dan H
loosanofi, hanya nuklei dari nurse cell yang ditelan (ingested) oleh oosit:
sitoplasmanya menunjukkan hampir tidak ada perubahan. Pada G. angulatus,
membran plasma dari sel yang diingesti d i i c u r k a n dan sitoplasmanya menjadi
granula besar (bisa mencapai 62 pm diameternya), dimana nuklei dari sel-sel ini,
dengan nucleoli didalamnya, menyisakan hampir tidak berubahnya granula untuk
waktu yang lama (Ereskovskii, 1999).
Akhir dari vitellogenesis, telur dipenuhi dengan sebagian oleh nurse cell
yang dicerna atau kuning telur (yolk-type inclusions) yang berbeda dalam ukuran
dan komposisi. Yang terakhir terbagi menjadi granular yang menutupi pusat ruang
sekitar nukleus clan besar, terrnasuk bentuk seperti bola yang berlokasi
disekeliling telur. Melalui periode perkembangan hi, hanya kapsul embrional
yang tersisa sekitar telur (Ereskovskii, 1999).
Spons jenis Suberitas massa mempunyai oogonia berdiameter 7 - 8 pm,
hanya dua kali ukuran choanocytes. Oosit muda mengakumulasi glikogen dan
vitelline dan pseudopodia lembut memanjang m a s k ke dalam mesohyl.
Mitokondria ukuran dan jumlahnya meningkat dan cenderung mengumpul
bersama, sementara badan golgi jumlahnya meningkat dengan cepat. Materil
nukleus padat sering memanjang melalui lubang nukleus dan masuk ke dalam
sitoplasma. Oosit matang cepat besar, ukuran diameternya 77 pm dengan ukuran
diameter nukleusnya 17 pm yang berisi sebuah nukleolus tunggal berdiameter 5
pm. Sitoplasma dibagi ke dalam dua zona yang dipisahkan oleh sejumlah
kelompok rnitkondria. Pada bagian tengah, keIihatan zona yang berisi beberapa
vitelline tetapi memperlihatkan sejurnlah badan golgi perinukleus. Pada zona
bagian luar secara struktural berisi sejurnlah vitelline heterogen yang berdiameter
0.5 - 2.0 pm, ribosom dan glikogen melimpah. Mitokondria ditemukan pada batas
bagian dalam zona bagian tepi, yang sering hilang membrannya dan
mengeluarkan materil berupa butiran-butiran halus ke dalam sitoplasma.
Archaeocytes mengelilingi oosit matang dengan sebuah folikel epitel yang
berbentuk datar (Harrison dan De Vos, 1991).
Pada Xestospongia bergquistia, perkembangan telurnya membutuhkan
waktu paling sedikit 178 hari sedangkan Xestospongia testudinaria 155 hari.
Perkembangan awal oosit jenis ini sama dan telur matang kedua jenis ini
mempunyai kuning telur yang berbeda, nukleolus kelihatan di dalam nukleus, dan
beberapa telur mernpunyai pinggiran yang seperti kerang, sementara yang lainnya
terhenti pertumbuhannya. Karakteristik telur matang ini terjadi pada Xestospongia
bergquistia tetapi tidak pada Xestospongia testudinaria (Fromont, 1988), tetapi
penelitian lain pada jenis yang sama, perkembangan telur sangat cepat, dan
sempurna kira-kira 58 hari (Fromont clan Bergquist, 1994).
Materil nutrisi oosit pada sebagian spons diabsorbsi melalui pinositosis,
fagositosis dan oleh pseudopodia yang bersentuhan dengan bermacam-macam tipe
sel, tetapi pada umumnya diabsorbsi dengan pinositosis. Oosit umurnnya
mengakumulasi cadangan nutrisinya melalui penelanan sel-sel perawat (nurse
cells) yang berada didekatnya dan biasanya terdapat di dalam suatu kelompok sel-
sel yang mengelilinginya (Rupert dan Barnes, 1991). Pada tahap awal
pertumbuhan oosit meliputi asimilasi nutrien, kemungkinan dengan pinositosis
yang berasal dari mesohyl yang bermigrasi melalui sarung sel-sel folikel yang
mengelilinginya dan mensintesa vitelline (Harrison dan De Vos, 1991).
Tahap perkembangan oosit spons jenis Aaptos aaptos yang berasal dari
alam dan hasil transplantasi di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan,
berdasarkan studi histologis dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin
dikelompokkan oleh Harris (2005) ke dalam empat kategori ,yaitu :
1. Pada tahap oosit I, oosit ukurannya rnasih sangat kecil, inti sel belum
narnpak jelas begitu pula anak inti. Ukuran oosit sarnpel dari alam berkisar
20 - 45 pm, sedangkan yang dari transplantasi berkisar 13 - 45 p m Pada
tahap ini oosit menyebar dalam kelompok-kelompok kecil pada lapisan
mesohyl.
2. Pada tahap oosit 11, oosit semakin besar dan ukurannya lebih besar
daripada oosit I. Ukuran oosit sampel dari alam berkisar 48 - 66 pin,
sedangkan yang dari transplantasi berkisar 48 - 66 p m Pada tahap ini inti
sudah agak kelihtan, butiran-butiran lemak pada sitoplasma sudah mulai
kelihatan.
3. Pada t d a p oosit 111, oosit sudah sernakin besar dan ukurannya lebih besar
daripada oosit 11. Ukuran oosit sampel dari alarn berkiw 67 - 83 pm
sedangkan yang dari transplantasi berkisar 66 - 83 p m Pada tahap ini
but&-butiran lernak sudah semakin memadat.
4. Pada tahap oosit IV (matang), oosit sudah semakin besar dan mencapai
ukuran maksimum. Pada tahap ini oosit sudah berubah menjadi ootid atau
telur yang siap dipijahkan. Ukurannya pada tahap ini lebih besar daripada
oosit 111. Ukuran ootid atau telur sampel dari alam pada tahap ini berkisar
84 - 134 pm sedangkan yang dari transplantasi berkisar 86 - 117 pm).
Pada tahap ini butiran-butiran lemak sudah semakii mernadat, oosit
membentuk kelompok dalam sebuah untaian yang dilekatkan antara satu
oosit dengan oosit lainnya oleh semacam lendir.
Fertilisasi
Sperrna meninggalkan spons lewat oskulurn dan dengan bantuan arus air
masuk ke spons lainnya dengan cara yang sama. Spons tertentu di daerah tropis
yang telah diamati melepaskan sperma mereka secara tiba-tiba dalam bentuk awan
susu yang besar. Awan sperma dapat mencapai dua sampai tiga meter dari dasar
dan menginduksi spons lainnya untuk mengeluarkan sperma mereka (Barnes,
1987). Pengeluaran sperma secara tiba-tiba mungkin merupakan ciri dari
kebanyakan spons (Barnes, 1987). Setelah di dalam air, sperma masuk ke dalam
sistem aquiferous dari individu lain yang mengandung oosit dan melintasi
perbatasan seluler dari choanoderm, masuk ke mesohyl, lokasi dari oosit,
menembus batas folikel, dan akhirnya membuahi telur (Brusca dan Brusca, 1990).
Menurut Florkin dan Scheer (1968), sperma masuk ke incurrent canal kemudian
ditangkap oleh choanosit yang mana akan menjadi sel pembawa yang membawa
spermatozoa menuju oosit.
Fertilisasi terjadi s e m in situ, yakni setelah sperma mencapai ruang
berflagella, sperma akan ditelan oleh choanocyte, yang akan mernindahkan
sperrna menuju ke telur. Kedua sel kehilangan flagella mereka. Setelah sel
pembawa sperma mencapai telur (yang mana akan tertutup dalam sekeliling
mesohyl), salah satu sel pembawa mentransfer nukleus sperrna atau sel pembawa
dan nukleus sperma ditelan oleh telw (Rupert dan Barnes, 1991).
Mekanisrne lain terjadinya fertilisasi pada spons adalah bahwa fertilisasi
menjadi sempurna dengan ban- choanocyte, yang menangkap sperma yang
masuk ke sistem saluran. Choanocytes yang menangkap sperma menjadi
amoeboid dan membawa sperma ke oosit yang mau menerima, atau memberikan
sperma ke amoebocyte yang bertindak sebagai sel pembawa. Kedua pola transfer
sperma mungkin terjadi dalam spesies yang berbeda dari genus yang sama
(Kozloff, 1990). Proses fertiliwi pada spons dapat dilihat pada Gambar (7 dan 8).
Gambar 7 Proses fertilisasi pada spons Grantia. (a) Sperma ditangkap oleh
choanocyte; (b) P e r n i n e sperma oleh transfer choanocyte ke oosit
(Brusca dan Brusca, 1990)
Individu betina
ampang rnembujur tub& spons
Gambar 9 Bentuk larva parenchymella pada spons ( Brusca dan Brusca, 1990)
Gambar 10 Lokasi penelitian dan stasiun pengambilan sampel spons laut Aaptos
aaptos di Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Tabel 1 Posisi geografis stasiun pengambilan sampel
Posisi geografis
Stasiun
Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS)
Stasiun pengambilan sampel pada dua lokasi h i berada pada daerah yang
terlindungi oleh pulau (leeward) sehingga tidak terlalu mendapatkan pengaruh
gelombang yang besar.
5. PH pH meter
6. Nitrat (mg/l) Spektrofotometer
7. Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometer
8. Silikat (mg/l) Spektrofotometer
9. Oksigen Terlarut (DO) (mg/l) Titrasi
Pengukuran parameter lingkungan perairan yang meliputi pasang surut,
suhu, arus, salinitas dan pH dilakukan secara in situ sedangkan analisis kekeruhan,
nitrat, ortofosfat, silikat diiakukan dengan membawa sampel air ke Laboratorium
L i o l o g i , Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas
Perilcanan dan Ilmu Kelautan, IPB Bogor.
Bahan dan alat yang digunakan pada pengambilan sampel spons Aaptos
aaptos di habitat alaminya adalah peralatan selam SCUBA dan pisau.
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel spons untuk pengamatan tingkat perkembangan
gonadnya dilakukan berdasarkan siklus bulan selama dua bulan pengamatan
menurut penanggalm bulan Qomariah. Siklus bulan dibagi dalam empat fase
bulan, yaitu :
a Fase bulan baru sampai bulan '/4 pertama (hari 1-7)
b. Fase bulan '/4 pertama sampai bulan purnama (hari 8-14)
c. Fase bulan purnama sampai bulan % ketiga (hari 15-21)
d. Fase bulan 54 ketiga sampai bulan gelap (hari 22-28)
Jumlah sampel spons yang diambii untuk pengamatan tiap fase bulan adalah
sebanyak tiga individu dengan ukuran sampel 2 ~ 2 x 2cm. Bagian tubuh spons
yang diambil untuk pengamatan perkembangan gonadnya dapat dilihat pada
Gambar (1 I).
Oskulum
Potongan tubuh
spons yang diambil
Gambar 11 Contoh bagian tubuh spons Aaptos aaptos yang diambil untuk
pengamatan perkembangan gonad
Perkembangan Gonad
Sampel spons dimasukkan ke dalarn larutan fiksatif, yaitu paraformaldehid
4% atau formalin 4%, kemudian di desiliczfzed menggunakan larutan HF
(hydrofluoric acid) (Ilan dan Loya, 1988) dalam carnpuran larutan
paraforrnaldehid, asarn asetat dan aquades selama 5 24 jam, dan selanjutnya
disimpan dalam alkohol 70% untuk sementara waktu sebelum dilakukan
pembuatan preparat histologik.
Pembuatan preparat histologik dilakukan dengan metode p a d m menurut
Gunarso (1989) dan Kiernan (1990). Tahapan metode tersebut adalah mencakup :
(1) Pengambilan tisu (disection) menggwmkan silet; (2) Fiksasi Cfiation); (3)
Dehidrasi (dehydration) menggunakan alkohol bertingkat (70 - 100% ); (4)
Penjernihan (clearing) menggunakan xylol; (5) Infiltrasi (infiltration)
menggunakan parafin cair pada inkubator bersuhu 65OC; (6) Penanaman
(embedding) menggunakan parafin cair; (7) Penyayatan (section) menggunakan
mikrotom (Spm); (8) Afiksing (afrxing); (9) Deparafinasi (deparafln~tion)
menggunakan xylol; (10) Pewarnaan (staining) menggunakan pewarnaan
Hematoxylin-Eosin (HE), tahap akhir dari pewarnaan adalah mounting dengan
menggunakan entelan
Setelah proses tersebut di atas, selanjutnya dilakukan pengamatan struktur
histologis terhadap kehadiran dan perkembangan gonad (telur dan sperma),
kemudian setelah itu dilakukan mikrofotografi menggunakan mikroskop yang
dilengkapi kamera dengan pembesaran 40x , 1 0 0 ~, 2 0 0 ~
clan 400x.
Analisis Data
Tingkat perkembangan gonad didasarkan pada keberadaan dan
perkembangan gonad (oosit dan sperrnatosit atau kantong sperma) pada sarnpel
histologik pada setiap fase bulan Qomariah, yaitu pada fase bulan mati, bulan
sperempat, bulan purnama dan bulan tigaperempat. Perkembangan gonad spons
Aaptos aaptos (kelas Demospongiae) dianalisis secara desktriptif dengan cara
mengamati karakter jaringan gamet secara histologik pada preparat dan gambar
hasil fotomikrografi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ostia
(b)
Gambar 12 Skema struktur morfologis dan anatomis spons Aaptos
aaptos; (a) Morfologi tub&, (b) Penampang melintang
tubuh spons dan bagian-bagian yang dikenali
sering tersusun oleh pertemuan unit-unit yang berbentuk bulat atau bola
Mempunyai permukaan yang halus clan biasanya terasa kasar bila diraba karena
adanya tonjolan spikula pada lapisan permukaan luarnya. Dalam beberapa grup
spons, lapisan permukaan didukung oleh suatu jaringan spikula atau serat-serat.
Dalam beberapa hal, tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan selalu didukung oleh
serat-serat kolagen dan materi-materi lendir yang cenderung dikeluarkan melalui
tempat-tempat pertemuan antara serat-serat 'spongin' clan jalur-jalur spikula
(Amir dan Budiyanto, 1996) (Gambar 14 dan 15). Irisan melintang jaringan spons
juga menunjukkan adanya spikula (Gambar 16), rangka keras menyebar dalam
bidang dan spikula tunggal terdapat pada bagian tengah. Pada bagian pemukaan
bidangnya menyebar dan membentuk jaringan pagar yang padat tersusun dari
spikula kecil yang bercampur dengan antara bagian akhir dari spikula yang besar.
Spikula besar bertipe strongyloxeas; spikula berukuran sedang dan kecil biasanya
mempunyai tipe oxeas, styles atau tylostyles. Spons tidak akan berdiri tegak jika
tidak ditunjang oleh spikula atau spongin yang membentuk kerangka, yang
dibuahi dikeluarkan dari tubuh spons kemudian menetas, sedangkan pada jenis
spons yang vivipar, larva spons dikeluarkan dari tubuh spons clan berenang
dengan bulu getarnya selarna selang waktu tertentu sampai mendapat tempat
menempel yang tepat (Bergquist, 1978).
Jurnlah individu spons yang teridentifhi sebagai individu betina
sebanyak tiga individu dari sekitar 36 individu yang diambil dari perairan Pulau
Pari, Kepulauan Seribu, menunjukkan sedikitnya individu betina yaw sedang
bereproduksi dalam populasinya. Sedikitnya jumlah individu betina yang
reproduktif diduga bahwa oogenesis ditunjang hanya oleh beberapa individu
dalam populasi (Sidri et al. 2005). Suatu populasi umumnya ditandai dengan
asinkroni diantara individu dala~naktivitas reproduksi. Hal ini memberikan
kemungkinan aktivitas reproduksi terjadi hanya pada sebagian kecil individu
dahm suatu area (Brusca dan Brusca, 1990). Tidak adanya individu jantan yang
mengandung spermatosit dalam sampel kemungkinan disebabkan oleh terjadinnya
proses spermatogenesis sebelum oogenesis. Dalam ha1 ini, beberapa specimen
yang diambil yang tidak reproduktif mungkin saja individu jantan. Selain itu
sulitnya menemukan individu yang sedang bereproduksi dan 'dalam waktu dan
tempat yang tepat' merupakan kendala tersendiri dalam mempelajari biologi
reproduksi spons (Sidri et al. 2005). Sulitnya mendapatkan individu spons yang
sedang bereproduksi juga dialarni oleh peneliti lainnya seperti Corriero et al.
(1998) yang meneliti mengenai strategi reproduksi Mycalecontarenii (Porifera:
Demospongiae) yang dilakukan selama lebih dari dua tahun. Dalam penelitian ini
tidak ditemukan individu jantan yang kemungkinan disebabkan oleh pendeknya
siklus spermatogenesis. Sidri et al. (2005) menemukan lirna individu betina dari
18 individu spons jenis Chondrilla nucula yang ditelitinya, sedangkan Hoppe
(1988) hanya menemukan oosit muda pada satu individu dari sepuluh individu
spons jenis Ircinia strobilina yang diamatinya, bahkan pada spons jenis Agelas
clathrodes (N = 195) sarna sekali tidak ditemukan adanya aktivitas reproduksi
selama dua tahun pengarnatan secara histologis. Penelitian lainnya yang dilakukan
oleh Usher et al. (2004) mengenai reproduksi seksual Chondrilla australiensis
menunjukkan bahwa proses perkembangan telur membutuhkan waktu sekitar
empat rninggu sedangkan sperma sekitar dua minggu. Menurut Haris (2005)
siklus spermatogenesis spons Aaptos aaptos di Pulau Barrang Lompo relatif
pendek, yaitu sekitar dua kali selama empat bulan.
Gambar 17 Irisan melintang tubuh spons, hari kedua fase bulan pumama (12
Juni 2006); (A) lapisan pinacoderm, (B) saluran oskulum, (C)
kantong garnet, @) telur, (E) mesohyl, (F) saluran air (pewarnaan
Hematoksilin-Eosin)
Gonad Jantan
Pada penelitian ini gonad jantan belum dapat teridentifbsi dengan jelas
karena tidak ditemukan spermatosit didalam jaringan histologis yang diamati,
sehingga pembahasan lebih diarahkan pada perkembangan gonad betina.
Kesulitan dalam mengidentifikasi spermatosit atau spermatozoa spons disebabkan
antara lain oleh ukmamya yang sangat h i 1 dan keberadaannya hanya terlihat
pada saat akan memijah dan minimnya literatur mengenai bentuk morfologis
spermatosit atau spermatozoa spons. Pengamatan pada jenis spons yang lain
menunjukkan bahwa spenna juga terletak di &lam spermatic cyst (Gambar 18).
Gambar 20 Oosit tahap I spons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan baru,
28 Juni 2006 ;(A) Oosit I (PewarnaanHemaktosilin-kin)
Gambar 21 Oosit tahap I1 spons Aaptos aaptos, yang terlihat dalm kantong
pembesaran garnet, hati keenam fase bulan baru, 2 Juli 2006;
(A) Oosit 11, (B) Dinding oosit, (C) Inti (pewarnaan
Hematoksilin-Eosin)
Gambar 22 Oosit tahap 111 spons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan
purnama, 12 Juni 2006; (A) h i t 111, (B) Butiran l& (C) Inti
(pewarman Hematoksilin-Eosin).
Gambar 23 Oosit tahap IV spons Aaptos aaptos, hari kedua fase bulan purnama,
12 Juni 2006; (A) Oosit IV, (B) Butiran lemak, (C) Inti (pewarman
Hemaktosilin-Eosin).
Pada tahap oosit 11 (Gambar 21), oosit tampak semakin besar dan
dcumnnya lebih besar dari oosit tahap I. Ukuran oosit &tar 25 pm, dengan inti
yang sudah kelihatan dernikian juga dengan butiran-butiran lemak dan ksrbohidrat
yang berada disekelilingnya. 'hrlihat bahwa proses perkembangan telur terjadi
&lam suatu kantong pembeswDl garnet yang tidak disebutkan pada jenis spons
yang sama di Puhu Barrang Lompo, Suiawesi Selatan (Haris, 2005). Jadi terdapat
kemungkian bahwa oosit yang belurn matang yang diamati menyebar luas dalam
mesohyl sebelum terlihat dalam kantong pembesaran melakukan migrasi ke dalam
kantong tersebut. Kantong pembesaran gamet pada tahap ini mempunyai ukuran
sekitar 150 pm dan sudah mempunyai batas luar yang jelas yang dapat
membedakannya dari bagian lainnya dalam lapisan mesohyl. Bagian dalam
kantong pembesaran pada tahap ini belum menunjukkan perkembangan yang
berarti tetapi terlihat adanya interaksi antara oosit dengan bagian dalam tersebut
yang kemungkinan merupakan surnber nutritif bagi perkembangan oosit
didalamnya, walaupun fimgsi dari bagian dalam ini belum diketahui dengan jelas.
Tahap awal pertumbuhan oosit meliputi asimilasi nutrien, kemungkinan dengan
pinositosis yang berasal dari mesohyl yang bennigrasi melalui sarung sel-sel
folikel yang mengelilinginya dan mensintesa vitelline (Harrrison dan de Vos,
1991). Menurut Fromont (1994), oosit yang belurn matang pada spons jenis
Haliclona amboinensis dan Niphates nitida diamati menyebar luas dalam mesohyl
sebelum terlihat dalam brood chamber. Sebagaimana perkembangan reproduktif
selanjutnya, oosit yang diamati dalam brood chamber dengan produk-produk
dewasanya, diperkirakan melakukan migrasi ke dalarn brood chamber. Ukuran
oosit pada tahap I1 yang diidentifikasi oleh Haris (2005) berkisar 48 - 66 pm
dengan inti yang sudah agak kelihatan, demikian juga dengan butiran-butiran
lemak pada sitoplasma.
Pada tahap oosit I11 (Gambar 22), oosit sudah semakin besar dan
ukurannya lebih besar daripada oosit 11, ukuran oosit sekitar 50 pm. Pada tahap ini
butiran-butiran lemak dan karbohidrat yang mulai memadat dan intinya semakin
besara dan berwarna agak gelap. Ukuran oosit pada tahap I11 yang diidentifikasi
oleh Haris (2005) berkisar 67 - 83 pm dengan butiran-butiran lemak yang semakin
memadat.
Pada tahap oosit IV (matang) (Gambar 23), oosit sudah mencapai ukuran
maksimumnya dan oosit berubah menjadi ootid atau telur yang siap dipijahkan.
Ukuran ootid pada tahap ini sekitar 65 pm, dengan butiran-butiran lemak yang
sudah semakin memadat dan inti yang bergeser ke pinggir. Butiran-butiran lemak
ini merupakan salah satu bahan yang mengisi kuning telur (yolk). Kuning telur
(yolk) biasanya terdiri dari tiga jenis bahan pokok yaitu; yolk vesicle (gelembung
kuning telur) yang mengandung glikoprotein, yolk globules yang mengandung
lipoprotein dengan beberapa karbohidrat dan oil droplets yang mengandung
gliserid dan kolesterol (Hibiya, 1982). Ukuran kantong pembesaran pun
mengalami perkembangan yang berarti yakni sekitar 450 - 550 pm dengan
struktur bagian dalam yang telah berkembang menjadi suatu saluran yang
berlekuk-lekuk. Umurnnya akhir dari vitellogenesis, telur dipenuhi dengan
sebagian nurce sell yang dicerna atau kuning telur yang berbeda dalam ukuran dan
komposisi. Yang terakhir terbagi menjadi granular yang menutupi pusat ruang
sekitar nukelus clan besar, terrnasuk bentuk seperti bola yang berlokasi
disekeliling telur (Ereskovskii, 1999). Menurut Hope (1987), pada spons jenis
Ircina strobilina perkembangan selanjutnya dari oosit matang dikelilingi oleh tiga
sel folikel epitelium yarlg tebal. Sitoplasma oosit memperlihatkan buti. granular
kasar, kemungkiian disebabkan oleh penelanan dari keseluruhan sel folikuler.
Selama pematangan oosit, tropocytes dan sel-sel folikel membentuk suatu
pembungkus folikuller. Ketebalan dan banyaknya pelapisan dimulai pada
pembungkus follikular, lapisan ini tumbuh leb& tebal secara progress,
mengelilingi oosit. Sitoplasma oosit secara bertahap dipenuhi dengan partikel-
partikel kuning telur. Pada akhir pembentukan oosit sitoplasma menyempurnakan
pengambilan cadangan kuning telurnya (Harrison dan De Vos, 1991 ).
Penelitian ini sedikit banyak juga memberikan perhatian khusus pada
bagian dari jaringan induknya (maternal tissue) dalam tingkat perkembangan
reproduksi seksual yang berbeda. Terlihat pada tahap perkembangan oosit awal
(Gambar 20), jaringan induk dalam ha1 ini lapisan mesohyl dipadati oleh
kurnpulan sel-sel yang mengelornpok yang nantinya &an berkembang menjadi sel
telur atau sperma. Kumpulan sel-sel ini kemudian akan berrnigrasi ke dalam
kantong pembesaran gamet yang terlihat jelas pada jaringan induk (rnesohyl) yang
juga mengalami perkembangan. Kantong pembesaran gamet ini mempunyai batas
luar yang jelas sehingga dapat dibedakan dengan jaringan induknya dan pada awal
perkembangannya mempunyai struktur dalarn yang belum terlalu jelas (Gambar
21). Seiring dengan perkembangan oosit (oosit 11, I11 dan IV) yang berada dalam
kantong gamet struktur bagian dalarnnya juga mengalami perkembangan terlihat
dari adanya saluran yang berlekuk-lekuk kemungkinan merupakan saluran nutritif
bagi perkembangan oosit di dalarnnya, walaupun belurn ada keterangan yang jelas
mengenai k s i dari saluran ini (Gambar 19). Pada jaringan induknya kumpulan
sel-sel yang akan berkembang menjadi oosit atau sperma sudah tidak keliiatan
lagi dan kantong garnet ini berada dekat dengan saluran pengeluaran (oskulum)
(Gambar 17). Menurut Sidri et al. (2005) pada spons jenis Chondrilla nucula
memperlihatkan perbedaan yang cukup jelas dalam lapisan mesohy 1 selama
periode reproduksi, pada saat oosit ada maka choanosit chamber tidak berada
dalam keadaan normal di dalam choanosom tetapi hanya beberapa saluran keluar
yang secara keseluruhan dikelilingi oleh telur. Lapisan mesohylnya juga
menunjukkan tipikal struktur saluran sistem air (aquiferous system) dengan
sejurnlah besar saluran keluar ada. Menurut Ereskovsky (2000) dalam
menganalisis mengenai reproduksi spons penting juga untuk mempertimbangkan
bagian dari jaringan induk (maternal tissue) dan upaya reproduktif dari spesimen
selama periode reproduksi Ereskovsky (2000) menyatakan bahwa morfogenesis
seksual dan somatik mempunyai hubungan yang erat dalam spons ontogenesis.
Jadi, jaringan somatik penting juga dalam pencapaian perkembangan reproduksi
seksual dalam t ingkatan yang berbeda.
Karakter clan tahap perkembangan gamet betina spons Aaptos aaptos yang
diambil dari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu sedikit berbeda dengan yang
diteliti oleh Haris (2005) di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Karakter
dan tahap perkembangan gonad betina spons Aaptos aaptos berdasarkan hasil
penelitian Harris (2005) dapat disarikan pada tabel 5.
Perbedaan yang paling jelas terlihat dari adanya kantong pembesaran
gamet betina yang ditemukan pada lapisan mesohyl spons Aaptos aaptos dalam
penelitian ini. Kantong pembesaran gamet betina ini tidak disebutkan dalam hasil
penelitian Haris (2005). Selain itu ukuran oosit untuk setiap tahapan
perkembangan gamet betina juga agak berbeda untuk kedua lokasi diatas, yakni
ukuran oosit spons yang diambil di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu lebih
kecil dibanding di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh perbedaan habitat pengambilan sampel.
Tabel 5 Karakter dsi
setiap tahapan perkembangan gonad betina spons Aaptos
aaptos menurut Hark (2005).
0-1 Ukuran oosit rnasih sangat kecil berkisar antara 20 - 40 pm, inti
sel belum nampak jelas, begitu pula anak inti.
0-n Oosit sernakin besar dan ukurannya lebih dari oosit I, berkisar
antara 48 - 66 p m Pada tahap ini inti sudah agak kelihatan,
dernikian juga butiran-butiran lemak pada sitoplasma.
0 - 111 Oosit semakin besar dan ukurannya lebih besar dari oosit I1
berkisar antara 67 - 83 p m Pada tahap ini butiran-butiran lemak
sudah semakin mernadat.
0-IV Oosit sudah semakin besar dan mempunyai ukuran maksirnum
Pada tahap ini oosit sudah berubah menjadi ootid atau telur yang
siap dipijahkan Ukurannya berkisar antara 84 - 134 pm. Pada
tahap ini butiran-butiran lemak sudah semakii memadat, oosit
membentuk kelompok dalam sebuah untaian yang dilekatkan
antara satu oosit dengan oosit lainnya oleh sernacam lendir.
14
12
10
3
Z
4
0
BPMm B3HM.r BBJm B114Juni B P M B314JuV BBJuH BlMJuli WJMi
Fase Bulrn
Perubahan terjadi bukan hanya pada ukuran oosit yang meningkat pada
setiap tahapan perkembangan oosit tetapi juga pada jaringan induknya (mesohyl)
seperti yang telah dijelaskan sebelurnnya. Sedikitnya oosit yang teramati dalam
penelitian ini menyebabkan kesulitan tersendiri dalam menentukan peningkatan
ukuran oosit rata-rata untuk setiap bulannya. Demikian juga dalam menentukan
kapan tepatnya permulaan oogenesis tersebut. Pengamatan kehadiran oosit awal
terjadi pada fhse bulan baru yakni pada akhir Juni dan awal Juli 2006, sehingga
ada dugaan sementara bahwa awal oogenesis terjadi pada fase bulan ini. Tetapi
tentunya perlu pengkajian lebii jauh mengenai ha1 ini karena mungkii saja ada
faktor-faktor endogenous yang memicu perkembangan gamet spons. Hasil
pengamatan juga menunjukkan bahwa pada sampel yang diarnati pada periode
bulan purnama medio Mei 2006 tidak terlihat adanya oosit sedangkan pada
periode bulan purnama medio Juni 2006 menunjukkan adanya kehadiran dari
oosit di dalam jaringan tubuh spons Aaptos aaptos yang diamati. Pendugaan atas
fenornena ini mungkin saja bahwa pada periode Mei 2006 telur telah dikeluarkan
sedangkan pada medio Juni telur sedang dalarn proses perkembangan dan mau
dikeluarkan. Pendugaan lainnya kemungkinan proses perkembangan telur spons
jenis ini membutuhkan waktu yang cukup lama Menurut Haris (2005),
berdasarkan penyebaran diameter oosit pada setiap fase bulan menunjukkan
bahwa spons jenis Aaptos aaptos mengelmkan atau menghasilkan telurnya
beberapa kali dalam setahun. Spons yang bersifat oviparous seperti Axinella
dbmicornis, A. verrucosa (Fromont dan Bergquist, 1994) clan Suberitas massa
(Fromont dan Bergquist, 1994) perkembangan oositnya membutuhkan waktu
sekitar dua bulan atau lebih. Menurut Fromont (1988) untuk spons jenis
Xestospongia testudinaria b a n oositnya meningkat seiriig dengan
pertambahan umur bulan yakni ukuran diameter oosit mengalami peningkatan
rata-rata 6 - 14 pm setiap bulannya. Penentuan awal oogenesis spons ini belum
dapat ditentukan dengan pasti. Perkembangan telur pada spons jenis ini memiliki
periode yang panjang sekitar 5 - 6 bulan sedan- pada Petrosia Jiciformis
perkembangan telurnya sekitar 8 bulan. Menurut Usher et al. (2004) untuk spons
jenis Chondrilla australiensis perkembangan telurnya membutuhkan waktu
sekitar 4 minggu dan sperma sekitar 2 minggu. Untuk spons jenis Aaptos aaptos
sendiri baii yang diarnati di Pulau Barrang Lompo, Sulawesi Selatan (Harris,
2005) maupun yang dari Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, belum
mendapatkan lama waktu yang pasti untuk perkembangan telurnya, sehingga
perlu dilakukan penelitian yang Iebih intensif lagi untuk mengetahui lama waktu
yang diperlukan dalam perkembangan telurnya.
Tehx-telur yang telah matang ini tentunya membutuhkan waktu yang tepat
untuk dikeluarkan dari dalam tubuhnya, salah satu isyarat yang digunakan adalah
siklus bulan, selain faktor lainnya seperti suhu dan irarna pasang surut. Walaupun
penelitian ini tidak melihat sampai pada pengeluaran telur tetapi dari hasil
pengamatan Iapangan menunjukkan bahwa pernijahan spons Aaptos aaptos di
perairan Pulau Pari terjadi pada bulan purnama dan pengeluaran telur atau spenna
diamati mulai dari jam 4 sore sarnpai 8 malam, suhu rata-rata perairan 30°C.
Menurut Haris (2005) pengeluaran telur spons jenis Aaptos aaptos, baik yang
ditransplantasi maupun yang diambil dari alam terjadi beberapa hari setelah bulan
purnama pada periode Juli-Agustus 2003 dan bulan bulan seperempat pada
periode September-Oktober 2003, pada saat itu suhu rata-rata perairan 28.5 OC.
Menurut Fromont (1988) spons jenis Xestospongia testudinaria yang berbentuk
lunak (softform) memijah sehari setelah bulan baru (new moon) pada saat puncak
pasang surut (peak tidal range) dan suhu rata-rata harian air laut sekitar 27.4OC
pada tahun 1986. Pada tahun 1987, spons dengan bentuk lunak dari jenis ini,
termasuk yang diamati pada tahun 1986, memijah 6-7 hari setelah bulan penuh
(full moon) pada saat amplitudo minimum pasang surut (minimum tidal
amplitudo) dan suhu rata-rata air laut sekitar 2S°C. Pada bentuk yang keras (hard
form) dari spons jenis Xestospongia testudinaria menunjukkan adanya hubungan
antara pernijahan dan siklus bulan. Pada tahun 1986, bentuk keras dari spons jenis
ini memijah sehari setelah bulan penuh VuZZ moon) dm hanya setelah amplitudo
maksirnum pasang-surut (maximum tidal amplitudo). Menurut Hoppe (1987)
spons jenis Agelas clathrodes memijah secara sinkronis selama pertengahan Juli
pada sore hari pada periode fase bulan antara bulan tigaperempat dan bulan baru.
Untuk spons jenis Chondrilla australiensis pernijahan terjadi pada 4-5 hari setelah
akhir m u s h panas dan musim gugur, pada saat pasang tinggi (Usher, et al. 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Secara mikromrfologis jaringan tubuh spons Aaptos aaptos
memperlihatkan adanya lubang-lubang ostia, lapisan pinacoderm, serat spongin,
spikula, lapisan mesohyl, dan saluran oskulum. Bagian-bagian ini merupakan
struktur urnum yang terdapat pada spons, Spikula yang ditemukan bertipe
strongyloxeas yang merupakan ciri dari spons Aaptos aaptos.
Seksualitas spons Aaptos aaptos di perairan pulau Pari, kepulauan Seribu
mempunyai tipe gonokhorik clan cara reproduksinya adalah ovipar. Oosit berada
dalam suatu kantong yang merupakan kantong pembesaran gamet. Ukuran
kantong pembesaran gamet meningkat seiring dengan perkembangan oosit
didalamnya. Perkembangan gonad betina terbagi atas empat tahap yaitu tahap
oosit I, oosit 11, oosit 111 dan oosit IV. Setiap tahap perkembangan mempunyai
karakter dm ciri yang berbeda antara satu dengan lainnya
Oosit memperlihatkan perkembangan yang berbeda pada setiap fase
bulan. Permulaan oogenesis terjadi pada fase bulan batu dirnana pada fase ini
ditemukan oosit I dan I1 dan pada fase bulan purnama ditemukan oosit tahap 111
dan IV dimana telur siap untuk dipijahkan dan pemijahan berlangsung pada fase
bulan purnama.
Saran
Penelitian lanjutan tentang reproduksi spons Aaptos aaptos sangat
diperlukan untuk mengetahui siklus gametogenesis dan puncak reproduksinya.
Selain itu perlu adanya pendekatan histokimia pada sel-sel spons yang diamati
sehinggajelas perbedaan antara sel gonadik dan somatiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Bergquist PR, 1968. The Marine Fauna of New Zealand: Porifera, Demospongiae
Part I (Tetractinopmorpha and Lithisticla). New Zealand Department of
Scientifis and Industrial Research. New Zealand Oceanographic Institute
Memoirs No. 37.
Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Sinauer Associates, Inc. Publishers.
Sunderland, Massachusetts.
Caralt S de, Age11 G, Uriz MJ. 2003. Long-term Culture of Sponge Explant:
Condition Enhancing Survival and Growth, and Assessment of Bioactivity.
Biomoleculer Engineering 20 (2003). 339-347,
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Harris VA. 1990. Sessile Animals of the Sea Shore. Chapman and Hall. London,
New York, Tokyo, Melbourne, Madras.
Hoppe WF. 1988. Reproductive patterns in three species of large coral reef
sponges. Coral reefs (1 988) 7:45-50.
Hoppe WF, Reichert MJM. 1987. Predictable Annual Mass Release of Gametes
by the Coral Reef Sponge NeoJibularia nolitangere
(Porifera:Demospongiae). Marine Biology 94:277-285.
Ilan M, Loya Y. 1988. Reproduction and Settlement of the Coral Reef Sponge
Niphoes sp (Red Sea). Proceedings of the 6& International Coral Reef
Symposium, Australia, 1988. Vol. 2.
Ilan M, Loya Y. 1990. Sexual Reproduction and Settlement of The Coral Reef
Sponge Chalinula sp fiom The Red Sea. Mar Biol105:25-3 1.
Kiernan, JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. Theory and Practice.
2"d Edition. Pergamon Press.
Mariani S, Uriz MJ, Turon X. 2000. Larval Bloom of The Oviparous Sponge
Cliona viridis: Coupling of Larval Abundance and Adult Distribution
Marine Biology (2000) 137: 783 - 790.
Pechenik JA. 1991. Biology of the Invertebrates. Second Edition. Wrn C. Brown
Publisher.
Reseck J. Jr. 1988. Marine Biology. Second Edition. Englewood Cliff, N.J.
07632: A Reston Book Prentice Hall.
Ruppert EE, Barnes RD. 199 1. Invertebrates Zoology. Sixth Edition. Saunders
College Publishing. Philadelphia, New York, Chicago, San Fransisco,
Montreal, Toronto, London, Sidney, Tokyo.
Storer TI, Stebbins RC, Usinger RL, Nybakken JW. General Zoology. Sixth
Edition. McGraw-Hill Book Company.
Vilke CA, Walker WF. Jr, Barnes RD. 1988. Zoologi Umum. Edisi ke-enarn. Jilid
1. Alih Bahasa oleh Prof. Dr. Nawangsari Sugiri. Penerbit Erlangga.