Anda di halaman 1dari 82

KEPADATAN Acanthaster planci L.

DAN HUBUNGANNYA DENGAN


PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR
(DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)

SKRIPSI

AZKIYA BANATA
1111095000006

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR
(DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

AZKIYA BANATA
1111095000006

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M / 1436 H
KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN
PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR
(DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

AZKIYA BANATA
1111095000006

Menyetujui,

Mengetahui,

i
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kepadatan Acanthaster planci L. dan Hubungannya
dengan Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Air (Daerah Penyangga
Taman Nasional Kepulauan Seribu)” yang ditulis oleh Azkiya Banata, NIM
1111095000006 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Juli
2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana strata satu (S1) Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii
PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR-

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Juni 2015

Azkiya Banata
1111095000006

iii
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“KEPADATAN Acanthaster planci L. DAN HUBUNGANNYA DENGAN

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU AIR (DAERAH

PENYANGGA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU)”. Skripsi ini

disusun dalam rangka menyempurnakan syarat gelar sarjana strata satu (S1) sains

program studi biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya keridhoan dari Allah SWT

yang disampaikan melalui bantuan dari pihak-pihak yang memberikan bimbingan

dan dukungannya kepada penulis. Segala dukungan dalam bentuk apapun, baik

yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung, sangat berarti dalam

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima

kasih kepada:

1. Dr. Agus Salim, M.Si selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Dasumiati, M.Si selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Etyn Yunita, M.Si selaku sekretaris Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud dan Narti Fitriana, M.Si selaku

pembimbing I dan II yang telah memberikan ilmu, bimbingan, arahan dan

semangat yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis selama

penyusunan skripsi ini.

iv
v

5. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si, Drs. Paskal Sukandar, M.Si dan Mardiansyah,

M.Si selaku penguji seminar yang telah memberikan kritik dan saran yang

sangat berguna bagi penyusunan skripsi ini.

6. Dr. Megga Ratnasari Pikoli dan Priyanti, M.Si, selaku penguji sidang

Munaqasyah yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berguna

bagi penyusunan skripsi ini.

7. Rakhmat Abu Bakar dan Suheni, S.Ag, orang tua terbaik di dunia yang selalu

mendoakan tanpa henti dan memberikan dukungan berupa moral dan moril

kepada penulis. Muhammad Adam Albana, Rifda Rahma Fatimah Azzahra

dan Muhammad Rasyaddaud, tim di balik layar keberhasilanku.

8. Taman Nasional Kepulauan Seribu, khususnya Seksi Wilayah III, atas izin dan

kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. Abah Sairan dan Bapak Firdiansyah selaku staf Taman Nasional Kepulauan

Seribu, atas bantuan dan curahan ilmu yang tidak henti-hentinya diberikan

kepada penulis dalam mengumpulkan data lapangan.

10. Muhammad Arif Tanzil, Ismail Syakurrachman Alaydrus dan Reza Bayu

Zikrillah, atas bantuan dan pengorbanan waktu serta tenaga untuk membantu

penulis dalam mengumpulkan dan mengolah data.

11. Bapak Yohannes, Bapak Agus, Bapak Suwarna dan staf-staf Taman Nasional

Kepulauan Seribu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak

mengurangi rasa terima kasih atas bantuan dan saran-sarannya yang

membangun dan menambah pengetahuan penulis.

12. Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Puji

Astuti, S.Si dan Nur Amaliah Solihat, S.Si selaku laboran Biologi yang telah
vi

membantu penulis dalam menyediakan alat dan bahan yang diperlukan selama

penelitian berlangsung.

13. Civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama perkuliahan.

14. Yasmin Nafisah dan Hatoli yang selalu memberikan doa dan semangat kepada

penulis, serta selalu mengingatkan untuk selalu dekat dengan-NYA.

15. Teman-teman Biologi 2011 (Wardi Eagles) sebagai sesama pejuang yang telah

bersama-sama mengarungi medan perang selama 4 tahun ini.

16. Keluarga HIMBIO Oryza sativa, SEMA FST, KPU UIN Jakarta 2014, KPPS

FST 2014, DSCo 2011 DEMA FST dan Dapur Seni sebagai wadah

pengembangan diri yang telah memberikan banyak pengalaman kepada

penulis sebagai bekal menghadapi masyarakat yang sesungguhnya.

17. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Demikianlah skripsi ini disusun, penulis menyadari dalam penyusunan

skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat diterima sehingga

dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian lainnya yang akan dilakukan.

Aamiin.

Jakarta, Juni 2015

Penulis
ABSTRAK

AZKIYA BANATA. Kepadatan Acanthaster planci L. dan Hubungannya dengan


Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau Air (Daerah Penyangga Taman
Nasional Kepulauan Seribu). Skripsi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Lily Surayya
Eka Putri, M.Env.Stud dan Narti Fitriana, M.Si. Program Studi Biologi. Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Acanthaster planci (Bintang Laut Mahkota Duri) merupakan predator karang yang
berpotensi merusak ekosistem terumbu karang apabila kepadatannya lebih dari
0,014 individu/m2. Pulau Air merupakan daerah penyangga kawasan Taman
Nasional Kepulauan Seribu yang perlu dijaga, khususnya ekosistem terumbu
karangnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan A. planci,
persentase tutupan karang dan hubungan antara kepadatan A. planci dan
persentase tutupan karang di Pulau Air, Kepulauan Seribu. Penelitian ini
menggunakan metode survei dengan teknik sampling line intercept transect dan
belt transect. Pengamatan dilakukan berdasarkan arah mata angin (barat, selatan,
timur dan utara) pada kedalaman 3-5 m dan 10-13 m. Hasil penelitian
menunjukkan kepadatan A. planci di Pulau Air sebesar 0,002 individu/m2 yang
tergolong kategori alami. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air adalah
44,21 % yang tergolong kategori sedang. Berdasarkan analisis statistika
menggunakan Principal Component Analysis (PCA), kepadatan A. planci
memiliki hubungan yang bersifat negatif terhadap persentase tutupan karang
hidup di Pulau Air.

Kata kunci: Acanthaster planci, kepadatan, persentase tutupan karang, Pulau Air

vii
ABSTRACT

AZKIYA BANATA. Density of Acanthaster planci L. and It’s Relation to Coral


Reefs in Air Island (National Park of Seribu Islands Buffer Zone). Undergraduate
Thesis. Under-guidance of Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud and
Narti Fitriana, M.Si. Department of Biology. Science and Technology Faculty.
Islamic State University Jakarta.

Acanthaster planci (Crown-of-Thorns Starfish) is a coral predator that has


potential to damage the coral reefs ecosystem if the densities level reach more
than 0.014 individual/m2. Air Island is National Park of Seribu Islands buffer zone
that needs to be maintained especially on it’s coral reefs ecosystem. The study
aimed to find the density of A. planci, coral cover presentation, and their relation.
This study used survey method with line intercept transect and belt transect
technique. Observation were made based on the direction of the wind (west, south,
east, and north) on the depth of 3 to 5 m and 10 to 13 m. Observation showed the
density of A. planci on Air Island was 0.002 individual/m2 which can be
categorized as natural condition. The cover presentation of living corals on Air
Island was 44.21 % which can be categorized as moderate condition. Based on
statistical analysis using Principal Component Analysis (PCA), there was
negatively correlated between A. planci and living corals presentation on Air
Island.

Keywords: Acanthaster planci, density, coral cover presentation, Air Island.

viii
DAFTAR ISI

hlm.
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i
PERNYATAAN ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Batasan Masalah......................................................................... 3
1.3. Rumusan Masalah ...................................................................... 4
1.4. Hipotesis..................................................................................... 4
1.5. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
1.6. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Gambaran Umum Wilayah ........................................................ 6
2.2. Biologi Acanthaster planci ........................................................ 7
2.2.1. Taksonomi dan Morfologi ............................................... 7
2.2.2. Reproduksi dan Siklusi Hidup ......................................... 9
2.2.3. Habitat dan Perilaku ........................................................ 12
2.2.4. Predator Acanthaster planci ............................................ 14
2.3. Biologi Terumbu Karang ........................................................... 14
2.3.1. Morfologi ......................................................................... 14
2.3.2. Faktor Pembatas .............................................................. 16
2.3.3. Bentuk Pertumbuhan Karang........................................... 19
2.4. Dampak Pemangsaan Acanthaster planci .................................. 21
2.5. Solusi Ledakan Acanthaster planci............................................ 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................... 26
3.2. Alat dan Bahan ........................................................................... 26
3.3. Prosedur Penelitian..................................................................... 27
3.3.1. Tahap Persiapan ............................................................... 27
3.3.2. Pengukuran Parameter Lingkungan................................. 27

ix
x

3.3.3. Pengambilan Data Tutupan Karang Hidup dan


Acanthaster planci .......................................................... 27
3.4. Analisis Data .............................................................................. 28
3.4.1. Penilaian Tutupan Karang Hidup .................................... 28
3.4.2. Kepadatan Acanthaster planci ......................................... 29
3.4.3. Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci
dengan Persentase Tutupan Karang Hidup ..................... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Kondisi Umum Wilayah ............................................................ 31
4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Air ............................... 32
4.3. Tutupan Karang Hidup di Pulau Air .......................................... 36
4.4. Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci, parameter
lingkungan dan Persentase Tutupan Karang Hidup di Pulau
Air .............................................................................................. 41

BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 47
5.2. Saran .......................................................................................... 47

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

hlm.
Gambar 1. Morfologi A. planci ........................................................................ 8
Gambar 2. A. planci saat mengeluarkan gonad (Hoey, 2004) ......................... 10
Gambar 3. Siklus hidup A. planci (Birkeland dan Lucas, 1990) ..................... 11
Gambar 4. A. planci di atas karang dengan bentuk pertumbuhan tabular
(Hoey, 2004) .................................................................................. 13
Gambar 5. Salah satu predator A. planci yaitu Charonia tritonis (Hoey,
2004) .............................................................................................. 14
Gambar 6. Morfologi terumbu karang (Castro dan Hubber, 2003) ................. 15
Gambar 7. Ledakan populasi A. planci pada terumbu karang (Hoey, 2004) ... 22
Gambar 8. Morfologi karang yang telah dimangsa oleh A. planci (Kayal et
al., 2012) ........................................................................................ 23
Gambar 9. Gambaran lokasi pengambilan data ............................................... 26
Gambar 10. Petak pengambilan sampel terumbu karang dan A. planci ............ 28
Gambar 11. Keberadaan A. planci di Pulau Air (Dok. Pribadi, 2015)............... 34
Gambar 12. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air ............................... 36
Gambar 13. Patahan karang (rubble) (Dok. Pribadi, 2015) ............................... 37
Gambar 14. Persentase tutupan karang keras di Pulau Air ................................ 39
Gambar 15. Persentase tutupan substrat dasar di Pulau Air .............................. 40
Gambar 16. Grafik PCA keterkaitan A. planci dan parameter fisika-kimia
perairan dengan persentase tutupan karang hidup ......................... 43
Gambar 19. Karang keras yang diduga telah dimangsa oleh A. planci di Pulau
Air (Dok. Pribadi, 2015) ................................................................ 46

xi
DAFTAR TABEL

hlm.
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup (Gomes dan Yap,
1988 dalam Fachrul, 2008) .................................................................. 29
Tabel 2. Jumlah Acanthaster planci yang Ditemukan di Pulau Air ................... 32
Tabel 3. Acanthaster planci yang Ditemukan di Pulau Air ............................... 33

xii
DAFTAR LAMPIRAN

hlm.
Lampiran 1. Kerangka Berpikir ....................................................................... 52
Lampiran 2. Panduan Pengamatan Persentase Tutupan Karang Hidup
(UNEP, 1993).............................................................................. 53
Lampiran 3. Parameter Fisika Kimia Perairan Pulau Air ................................ 56
Lampiran 4. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Barat) Pulau Air di
Kedalaman 3-5 m ........................................................................ 57
Lampiran 5. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Barat) Pulau Air di
Kedalaman 10-13 m .................................................................... 58
Lampiran 6. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun II (Selatan) Pulau
Air di Kedalaman 3-5 m .............................................................. 59
Lampiran 7. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun II (Selatan) Pulau
Air di Kedalaman 10-13 m.......................................................... 60
Lampiran 8. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun III (Timur) Pulau Air
di Kedalaman 3-5 m .................................................................... 61
Lampiran 9. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun III (Timur) Pulau Air
di Kedalaman 10-13 m ................................................................ 62
Lampiran 10. Persentase Substrat pada Stasiun IV (Utara) Pulau Air di
Kedalaman 3-5 m ........................................................................ 63
Lampiran 11. Persentase Tutupan Substrat pada Stasiun I (Utara) Pulau Air
di Kedalaman 10-13 m ................................................................ 64
Lampiran 12. Analisis Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci dan
Persentase Tutupan Karang serta Parameter Fisik
Menggunakan PCA SPSS Ver. 20 .............................................. 65
Lampiran 13. Line Intercept Transect (LIT) pada Lokasi Pengamatan (Dok.
Pribadi, 2015) .............................................................................. 66
Lampiran 14. Pengambilan Data Lifeform Karang (Dok. Pribadi, 2015) .......... 66
Lampiran 15. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan (Dok. Pribadi,
2015) ........................................................................................... 67

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kepulauan Seribu merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang

terletak di perairan Teluk Jakarta, yang membentang dari selatan (yang

lokasinya dekat dengan daratan Pulau Jawa) hingga ke utara (yang lokasinya

jauh dari daratan Pulau Jawa). Kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu

pertama kali diteliti oleh Umbgrove pada tahun 1928, yang menjumpai

kondisi karang di Kepulauan Seribu umumnya dalam kondisi baik (Suharsono

et al., 2010).

Salah satu peranan terumbu karang yaitu sebagai tempat tinggal

berbagai jenis mahluk hidup laut. Terumbu karang menyediakan makanan,

tempat memijah dan merawat juvenile, serta perlindungan bagi biota-biota lain

(Guntur, 2011). Salah satu biota yang menghuni terumbu karang adalah

Acanthaster planci (Bintang Laut Mahkota Duri). A. planci berperan untuk

menyeimbangkan populasi karang yang memiliki kemampuan tumbuh cepat

(karang bercabang), sehingga dapat memberi ruang bagi koloni karang yang

memiliki kemampuan tumbuh lambat (karang masif) (Fraser et al., 2003).

A. planci merupakan biota yang umum ditemukan dalam ekosistem

terumbu karang. Ancaman yang akan muncul adalah apabila populasi A.

planci dalam ekosistem terumbu karang tidak terkontrol sehingga justru

menimbulkan dampak yang negatif. Menurut Endean dan Stablum (1975)

dalam Reitchelt et al. (1990), jika populasinya lebih dari 14 individu per 1000

m2 maka keberadaannya sudah mengancam terumbu karang.

1
2

Kehadiran A. planci di Indonesia khususnya di Kepulauan Seribu telah

beberapa kali dilaporkan, antara lain di Pulau Lancang, Pulau Tikus, Pulau

Pari, Pulau Genteng dan Pulau Kelapa. Sebanyak 5-7 individu per 2000 m2

ditemukan di Pulau Lancang pada tahun 1969 dan 4-23 individu per 4000 m2

ditemukan di Pulau Pari pada tahun 1975-1977. Kondisi lainnya dilaporkan

oleh Darsono pada tahun 1981 yang menyatakan bahwa terdapat 44 individu

per 400 m2 di Pulau Genteng dan 52 individu per 400 m2 di Pulau Kelapa

(Aziz, 1995). Puslitbang Oseanologi-LIPI bekerja sama dengan Australia

menyatakan hasil pengamatan sementara menunjukkan bahwa populasi A.

planci di Kepulauan Seribu masih dalam kondisi yang normal atau belum

dalam tingkat yang membahayakan (Suharsono, 1991).

Pulau Air merupakan salah satu pulau yang menyusun gugusan

Kepulauan Seribu dan berperan sebagai daerah penyangga Taman Nasional

Kepulauan Seribu. Pulau Air adalah pulau yang tidak berpenghuni dan

merupakan salah satu pulau yang dimanfaatkan sebagai lokasi wisata dengan

aktifitas manusia yang sering dilakukan adalah snorkeling dan diving. Kondisi

tutupan karang hidup di Pulau Air berkisar antara 27,18-37,88 % yang berarti

berada dalam kategori sedang (Subhan et al., 2008).

Aktifitas manusia dan meledaknya populasi A. planci merupakan dua

hal yang dapat menjadi ancaman kelangsungan hidup terumbu karang di Pulau

Air. Salah satu ancaman yang akan ditimbulkan oleh ledakan A. planci pada

ekosistem terumbu karang adalah laju predasi yang tidak terkendali sehingga

akan menekan nilai tutupan karang hidup di wilayah tersebut.


3

Telah banyak dilakukan penelitian mengenai ekosistem terumbu

karang di pulau-pulau penyusun gugusan Kepulauan Seribu, khususnya di

dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Salah satunya adalah

penelitian Efrinawati (2012) tentang kondisi terumbu karang di Pulau

Pramuka. Selain itu terdapat pula penelitian mengenai biota penghuni

ekosistem terumbu karang, yaitu bulu babi, yang dilakukan oleh Antarnusa

(2014) di Pulau Pramuka. Penelitian mengenai Asteroidea juga pernah

dilakukan oleh Mardiansyah (2008) di Pulau Kelapa. Namun masih sedikit

penelitian di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu,

khususnya mengenai predasi A. planci terhadap terumbu karang.

Berdasarkan peranan Pulau Air sebagai daerah penyangga, maka dari

itu perlu dilakukan penelitian mengenai kepadatan A. planci di Pulau Air.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya pemantauan dalam pengambilan

tindakan pengelolaan di kemudian hari, khususnya pada ekosistem terumbu

karang di daerah penyangga kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

Penelitian ini bermaksud agar daerah penyangga tetap terjaga sehingga dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengganggu kestabilan ekosistem di

kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

1.2. Batasan Masalah

Penelitian ini mencakup beberapa batasan aspek yakni:

a. Kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu.

b. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.

c. Hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase tutupan

karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.


4

1.3. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan

Seribu?

b. Bagaimanakah persentase tutupan karang hidup di Pulau Air,

Kepulauan Seribu?

c. Bagaimanakah hubungan antara kepadatan A. planci dengan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu?

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu berada dalam

kategori mengancam.

b. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu

termasuk dalam kategori sedang.

c. Terdapat hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase

tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Menganalisis kepadatan A. planci di Pulau Air, Kepulauan Seribu.

b. Menganalisis persentase tutupan karang hidup di Pulau Air,

Kepulauan Seribu.

c. Menganalisis hubungan antara kepadatan A. planci dengan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air, Kepulauan Seribu.


5

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki beberapa manfaat antara lain:

a. Sebagai informasi dasar bagi pemerintah dan lembaga terkait

mengenai langkah pengelolaan ekosistem terumbu karang di daerah

penyangga Taman Nasional Kepulauan Seribu.

b. Sebagai pustaka mengenai seberapa besar ancaman yang disebabkan

oleh keberadaan A. planci terhadap ekosistem terumbu karang di

Kepulauan Seribu.

c. Sebagai pustaka mengenai peran A. planci sebagai bioindikator

kerusakan lingkungan maritim.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Wilayah

Kepulauan Seribu berada di posisi geografis antara 106o 20' 00" BT

hingga 106o 57' 00" BT dan 5o 10' 00" LS hingga 5o 57' 00" LS, terdiri dari

105 gugus pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara

yang berujung di Pulau Sebira yang berjarak kurang lebih 150 km dari pantai

Jakarta Utara. Secara administratif Kepulauan Seribu berada dalam wilayah

Propinsi DKI Jakarta. Wilayah adminstrasi Kabupaten Administratif

Kepulauan Seribu memiliki luas daratan mencapai 897,71 ha dan luas perairan

mencapai 6.997,50 km2 (Suharsono et al., 2010).

Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu dibagi menjadi dua

kecamatan, yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan

Kepulauan Seribu Selatan. Selain itu Kepulauan seribu dibagi menjadi 6

kelurahan, yakni: Kelurahan Kelapa, Kelurahan Harapan, Kelurahan Untung

Jawa, Kelurahan Tidung, Kelurahan Pari, Kelurahan Panggang. Pulau Air

merupakan salah satu gugusan pulau yang terletak di Kecamatan Kepulauan

Seribu Utara, Kelurahan Panggang (Iqbal, 2013).

Kontur di Pulau Air memiliki kedalaman dari 0-25 m. Berdasarkan

kontur batimetri di wilayah perairan Pulau Air sesuai untuk kegiatan wisata

snorkeling dan diving baik untuk pemula maupun berpengalaman, karena

kondisi kedalaman dan tubir yang landai. Wilayah perairan dangkal ke tubir

cukup jauh dan tipe pertumbuhan karangnya adalah karang tepi atau fringing

reef sehingga memungkinkan Pulau Air cukup terlindung (Iqbal, 2013).

6
7

2.2. Biologi Acanthaster planci

2.2.1. Taksonomi dan Morfologi

Acanthaster planci pertama kali diperkenalkan oleh Rumphius pada

tahun 1705 yang menyebutkan terdapat bintang laut yang termasuk dalam

genus Acanthaster. Nama binomial diberikan oleh Linneaus diberikan pada

tahun 1758. A. planci tersebar luas di kawasan Indo Pasifik Barat, mulai dari

pantai timur Benua Afrika sampai ke Hawaii sebelah barat dan mulai dari

Okinawa di Jepang selatan sampai ke perairan sebelah utara Selandia Baru

(Aziz, 1995). Klasifikasi dari A. planci menurut Birkeland dan Lucas (1990)

adalah sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Phylum: Echinodermata, Class:

Asteroidea, Ordo: Spinolisida, Family: Acanthasteridae, Genus: Acanthaster

dan Species: A. planci.

A. planci berukuran relatif besar, diameternya mencapai 60-70 cm,

memiliki perut yang lebih besar dibandingkan bintang laut pada umumnya,

dan memiliki banyak duri tajam pada permukaan tubuhnya dengan panjang

mencapai 5-6 cm yang dilengkapi oleh jaringan yang mengandung seyawa

beracun (Reichelt et al., 1990). A. planci mempunyai sejumlah lengan,

biasanya sekitar 15-23 buah. Berbagai organ tubuh, alat pencernaan, gonad

(kantung benih), susunan saraf, dan lainnya terdapat pada setiap lengan

(Fraser et al., 2003).

Permukaan tubuh bagian bawah A. planci, terdapat sebuah mulut

yang besar dan sederetan kaki tabung yang tersusun sebagai suatu alur pada

masing-masing lengan. Permukaan tubuh bagian atas A. planci terdapat

sejumlah susunan atau struktur yang hanya bisa terlihat dengan pengamatan
8

yang seksama, seperti sebuah anus, yang terletak dekat dengan tubuh bagian

tengah (disk), sejumlah tonjolan kecil keras yang terletak di sekitar tubuh

bagian luar (madreporites) dan sejumlah pasangan duri tubuh berbentuk

seperti jepitan kecil yang digunakan untuk membersihkan permukaan tubuh

bagian atas (pedicellaria) (Fraser et al., 2003). Morfologi A. planci tersaji

pada Gambar 1.

Lengan Mulut

Duri

Anus Kaki
Tabung
A B

C D

Gambar 1. Morfologi A. planci: Bagian aboral dan oral (A dan B) (Fraser et


al., 2003); A. planci di Sulawesi Tenggara (C) (Syahnilawati et
al., 2013); dan A. planci di Wakatobi (D) (Rani et al., 2011)

Bagian ujung lengan-lengan terdapat struktur-struktur yang sangat

sensitif berwarna merah muda cerah. Ini adalah sensor yang selalu bergerak

untuk mendeteksi adanya sinyal-sinyal kimiawi di air. Warna tubuh A.

planci bervariasi mulai dari kelabu hingga biru, ungu, dan merah.

Kemampuan regenerasi A. planci terbatas. Individu-individu yang rusak


9

akan beregenerasi dan tubuh yang terbelah dua tepat di bagian tengah akan

bisa bertahan hidup (Fraser et al., 2003).

A. planci memiliki warna yang bermacam-macam tergantung pada

lokasi mereka berada. A. planci ditemukan di Thailand memiliki warna

merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan di Great

Barrier Reef (Australia). A. planci berwarna hijau dan merah di Hawaii.

Warna tubuh A. planci di Indonesia umumnya abu-abu, ungu, hijau, dan biru

(Suharsono, 1991).

2.2.2. Reproduksi dan Siklus Hidup

A. planci dibedakan menjadi hewan jantan dan betina. Fertilisasi

dilakukan secara eksternal dengan rasio 1:1 untuk gamet jantan dan gamet

betina. A planci dewasa dengan ukuran 0,5-4 kg dapat menghasilkan telur

sebanyak 4-65 juta (Suharsono, 1991). A. planci memulai pemijahannya

dengan merangkak sampai di bagian puncak karang, seperti bagian atas

karang bercabang, kemudian dari sana telur dan sperma akan dilepaskan ke

dalam air melalui lubang-lubang (pores) pada permukaan bagian atas

lengan-lengan mereka (Gambar 2) (Fraser et al., 2003).

Ada sekitar 10 juta telur-telur yang kecil (diameter 1,2 mm) yang bisa

dilepaskan oleh seekor induk betina besar ke dalam kolom air. Adapun

sperma yang dilepaskan oleh jantan akan berenang menuju telur-telur

tersebut (Fraser et al., 2003). Lamanya pelepasan telur dan sperma adalah 30

menit dengan ukuran telur rata-rata 0,2 mm dan sperma 0,5 mm. Penelitian

menyebutkan bahwa pada saat A. planci melakukan pemijahan, mereka


10

melepaskan sejenis hormon yang disebut feromon. Hormon ini merangsang

A. planci yang berdekatan untuk melepaskan gonadnya (Suharsono, 1991).

Gambar 2. A. planci saat mengeluarkan gonad (Hoey, 2004)

Setiap telur yang telah dimasuki oleh sebuah sperma, maka membran

telur akan membesar menjauhi yolk (kuning telur) untuk mencegah

masuknya sperma yang lain. Telur-telur yang telah dibuahi akan menjadi

larva planktonik sehingga akan terbawa oleh arus jauh dari tempatnya

dipijah, atau seringkali sampai pada permukaan terumbu karang, atau justru

terbawa ke laut terbuka menjauhi terumbu karang (Fraser et al., 2003). Fase

planktonik dibedakan menjadi fase perubahan gamet menjadi blastula,

gastrula, selanjutnya yaitu bipinaria yang biasanya berumur 4-5 hari

sedangkan pada umur 6-12 hari bipinaria berubah menjadi brachiolaria yang

akan mulai melekat pada suatu substrat dan mengalami metamorfosa

menjadi A. planci muda (Suharsono, 1991).


11

Periode planktonis dari A. planci berlangsung sekitar dua minggu.

Periode planktonis larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima

lengan melalui metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis

tersebut terjadi setelah hari ke -12 (Olson, 1985). Setelah tujuh bulan, A.

planci akan membesar sampai sekitar berdiameter 10 mm dan mulai

menambahkan lengan sampai organisme ini mencapai ukuran dewasa

(Fraser et al., 2003). Bintang laut ini akan menjadi individu dewasa setelah

mencapai diameter tubuh sekitar 200 mm dengan jumlah lengan sekitar 17

buah (Lucas, 1987). Pertumbuhan A. planci sangat cepat karena dapat

mencapai sekitar 5 cm pada tahun pertama, 20 cm pada tahun kedua, dan 30

cm setelah kira-kira mencapai umur dua tahun (Fraser et al., 2003).

Gambar 3. Siklus hidup A. planci (Birkeland dan Lucas, 1990)

Waktu pemijahan bintang laut ini tergantung pada letak geografis di

mana organisme ini tinggal. Misalnya di belahan bumi utara, musim


12

memijah terjadi pada bulan Mei-Juli, sedangkan di belahan bumi selatan,

pemijahan terjadi antara bulan November-Januari. Belum diketahui secara

pasti periode memijah pada daerah khatulistiwa khususnya Indonesia

(Suharsono, 1991).

2.2.3. Habitat dan Perilaku

A. planci cenderung untuk hidup pada habitat yang cukup terlindung,

yaitu daerah yang bintang laut ini tidak dapat dengan mudah terhempaskan

atau terlempar keluar dari karang termpatnya menempel akibat gelombang

yang kuat. Alasan inilah yang menyebabkan bintang laut ini cenderung

untuk menghindari daerah perairan terbuka atau perairan yang dangkal,

sehingga terumbu karang pada daerah tersebut seringkali luput dari

pemangsaannya (Moran, 1986).

Bintang laut dewasa aktif mencari makan pada siang dan malam hari,

sedangkan anakan bintang laut ini hanya makan pada waktu malam hari

untuk menghindari predator. Cara makan bintang laut ini cukup unik, yaitu

dengan mengeluarkan isi perutnya melalui mulut dan kemudian akan

menutupi permukaan koloni karang sehingga pencernaan terjadi di luar

tubuh. Pada proses pencernaan makanan, bintang laut ini mengeluarkan

suatu enzim dari pyloric caeca yang berfungsi sebagai pemecah lemak.

Proses ini membutuhkan waktu antara 4–6 jam (Suharsono, 1991). Akibat

proses tersebut memakan waktu yang cukup lama, maka A. planci umumnya

makan hanya satu atau dua kali dalam sehari (Frasser et al., 2003)

Makanan utama bintang laut ini adalah karang keras namun A.planci

juga dapat memangsa beberapa jenis organisme bentik lainnya, tergantung


13

dari faktor ketersediaan makanan (Moran, 1986). Makanan bintang laut ini

berbeda-beda, tergantung tingkat kedewasaan dan ukuran tubuh dari biota

tersebut. Pada fase larva makanan bintang laut ini adalah fitoplankton

(diatom dan dinoflagellata) (Suharsono, 1991) sedangkan pada fase dewasa

makanan utamanya adalah karang keras (Moran, 1990).

Gambar 4. A. planci di atas karang dengan bentuk pertumbuhan tabular


(Hoey, 2004)

Bentuk pertumbuhan karang juga turut mempengaruhi preferensi

makanan dari bintang laut ini, bentuk pertumbuhan yang paling disukai pada

semua genera karang adalah tabular (Gambar 4) dan yang kurang disukai

adalah bentuk pertumbuhan masif. Hasil penelitian yang dilakukan di Great

Barrier Reef, Australia, genera karang keras yang paling disukai untuk

dimangsa oleh A. planci adalah dari genera Acropora dan yang paling tidak

disukai adalah genera Porites (De’ath dan Moran, 1998).


14

2.2.4. Predator Acanthaster planci

Seluruh permukaan tubuh bintang laut ini dilindungi duri-duri beracun

yang jika diamati sepintas tidak mungkin ada yang memangsanya. Namun,

sejak berbentuk telur hingga dewasa A. planci tidak pernah luput dari

incaran predator (Suharsono, 1991). Kepiting karang dan beberapa jenis ikan

diketahui memangsa A. planci juvenil. Ada beberapa jenis ikan seperti ikan

kerapu, ikan trigger dan ikan napoleon yang pernah diamati memakan A.

planci dewasa. Ikan-ikan ini menghindari duri tubuh yang beracun dengan

cara membalikan A.planci sehingga bagian bawah menghadap atas dan

mudah dimangsa. Triton raksasa (Charonia tritonis) (Gambar 5) dan udang

warna (Hymeno cerapicta) juga merupakan predator A. planci (Fraser et al.,

2003).

Gambar 5. Salah satu predator A. planci yaitu Charonia tritonis (Hoey, 2004)

2.3. Biologi Terumbu Karang

2.3.1. Morfologi

Karang adalah hewan yang termasuk dalam filum Cnidaria atau

Coelenterata. Tidak seperti hewan Cnidaria lainnya, karang mengalami fase

medusa yang sangat singkat dan hidup sebagai polip. Polip-polip tersebut
15

membentuk rangka kalsium karbonat sehingga membentuk suatu kesatuan

yang disebut terumbu karang. Terumbu karang tersusun atas kalsium

karbonat (CaCO3) dalam jumlah yang sangat banyak. Terumbu karang

adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat di laut yang

dihasilkan terutama oleh hewan karang (Castro dan Huber, 2007).

Satu individu karang atau disebut polip karang memiliki ukuran yang

bervariasi mulai dari yang sangat kecil 1 mm hingga yang sangat besar yaitu

lebih dari 50 cm. Umumnya polip karang berukuran kecil, ukuran besar

dijumpai pada karang yang soliter. Karang mendapatkan makanan untuk

dirinya memilki cara yang unik, karang juga menangkap zooplankton

dengan tentakel dan mengantarkannya ke mulut karang dan mencerna materi

organik luar dengan filamen messenterial tubuhnya (Castro dan Huber,

2007).

Gambar 6. Morfologi terumbu karang (Castro dan Huber, 2003)


16

Zooxanthellae merupakan istilah umum yang dipakai untuk

menggambarkan mikroalga yang hidup bersimbiosis dengan hewan di dalam

polip karang. Zooxanthellae termasuk dalam kelas Dinoflagellata dengan

nama genus Symbiodinium dan yang bersimbiosis dengan karang adalah

Symbiondium midroadriaticum. Selain memiliki klorofil (clade) a, b dan c,

zooxanthellae juga memiliki pigmen (diadinoxanthine dan piridin) yang

berguna dalam fotosintesis. Mereka umumnya berwarna cokelat atau merah

kecokelatan sehingga umumnya karang terlihat berwarna cokelat, ini sangat

tergantung pada variasi intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam

kolom air (Lewis dan Cffroth, 2004).

Simbiosis yang terjadi antara karang dengan zooxanthellae adalah

simbiosis mutualisme. Polip karang juga mensuplai zooxanthellae dengan CO2

sebagai hasil dari produk respirasi, yang berguna bagi zooxanthellae dalam

proses fotosintesis (Tomascik et al., 1997). Keuntungan paling penting dari

simbiosis antara karang dan zooxanthellae bagi karang adalah dalam proses

klasifikasi, sebagai proses perkembangan struktur skeleton karang (Pearse dan

Muscatine, 1971 dan Muscatine et al., 1972 dalam Tomascik et al., 1997).

2.3.2. Faktor Pembatas

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang melibatkan

faktor-faktor abiotik di dalamnya. Faktor lingkungan merupakan faktor

pembatas bagi pertumbuhan karang. Faktor-faktor pembatas bagi kehidupan,

distribusi, dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah cahaya matahari,

suhu perairan, salinitas, kecerahan atau kejernihan air, keadaan arus, dan

endapan (Nybakken dan Mark, 2005).


17

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan memiliki perannya

masing-masing terhadap terumbu karang maupun biota lain yang menghuni

ekosistem terumbu karang. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Cahaya

Karang sangat memerlukan penetrasi cahaya dikarenakan alga

simbionnya, yaitu zooxanthellae sangat bergantung pada cahaya matahari

untuk melakukan fotosintesis (Castro dan Huber, 2003). Cahaya berkaitan

erat dengan kedalaman yang menentukan kecerahan suatu perairan.

Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang kedalamannya

lebih dari 50-70 m dan kebanyakan terumbu karang tumbuh di perairan

yang kedalamannya kurang dari 25 m. Tanpa penetrasi cahaya yang

cukup, fotosintesis zooxanthellae akan berkurang bersamaan dengan

berkurangnya kemampuan karang dalam mensekresikan CaCO3

(Nybakken dan Mark, 2005).

b. Suhu

Terumbu karang terdapat khususnya pada laut bersuhu hangat,

tidak terdapat di perairan di mana musim dingin jauh di baawah 20 oC

(Romimohtarto dan Sri, 2007). Fauna karang memerlukan suhu di atas

18 oC. Terumbu karang umumnya dapat menyebar dalam kondisi

perairan dengan suhu relatif rata-rata 23-25 oC untuk kondisi yang

optimal, meskipun masih dapat berkembang pada suhu yang dapat

ditolelir kira-kira 36-40 oC (Nybakken dan Mark, 2005).


18

Perbedaan proses dalam laut menyebabkan terjadinya perbedaan

penyebaran, pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang dalam

skala dunia. Wilayah Indo-Pasifik dan lautan India lebih berkembang

dibandingkan dengan wilayah Pasifik dan penyebaran suhu perairan

dangkal di Indonesia umumnya berkisar antara 27-29 oC (Guntur, 2011).

c. Salinitas

Salinitas berpengaruh terhadap kemampuan osmoregulasi suatu

organisme. Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan

sebagian besar spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang

lebih tinggi atau lebih rendah. Terumbu karang dapat bertahan hidup

pada salinitas laut normal, yaitu 32-35 ‰ namun ada beberapa jenis

yang mampu hidup di perairan yang salinitasnya mencapai 42 ‰

(Nybakken dan Mark, 2005).

d. Kecerahan

Kecerahan air merupakan bagian dari faktor penting bagi

pertumbuhan karang. Untuk hidup dan berkembang, terumbu karang

memerlukan air yang bersih dan jernih (Guntur, 2011). Sedimen dalam

air (turbiditas) juga mengurangi penetrasi cahaya untuk fotosintesis

zooxanthellae. Sebagai hasilnya, perkembangan terumbu karang

terganggu pada wilayah yang turbiditasnya tinggi (Nybakken dan Mark,

2005). Selain itu apabila air laut keruh mengandung banyak lumpur atau

pasir, fauna karang hidup akan mengalami kesulitan membersihkan diri

(Guntur, 2011).
19

e. Arus

Pergerakan arus air laut berperan dalam pertumbuhan terumbu

karang. Koloni karang dengan struktur kerangka-kerangka yang masif

dan padat tidak akan rusak oleh arus, tetapi justru dengan adanya arus

yang memberikan sumber air segar yang mengandung oksigen dan dapat

menghilangkan endapan-endapan yang menutupi permukaan koloni

karang. Selain itu arus akan mensuplai bahan makanan seperti plankton

dan unsur hara bagi kehidupan terumbu karang (Nybakken dan Mark,

2005).

2.3.3. Bentuk Pertumbuhan Karang

Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang

Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora

terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut

axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki

radial koralit (English et al., 1994).

1. Non-Acropora

a. Bentuk Bercabang (Coral Branching), memiliki cabang lebih

panjang daripada diameter yang dimiliki. Banyak terdapat di sepanjang

tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau

setengah terbuka. Banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan

dan invertebrata tertentu.

b. Bentuk Padat (Coral Massive), dengan ukuran bervariasi serta

beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus


20

dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan

bagian atas lereng terumbu.

c. Bentuk Kerak (Coral Encrusting), tumbuh menyerupai dasar

terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-

lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-

batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu.

Memberikan tempat berlindung untuk hewan-hewan kecil yang

sebagian tubuhnya tertutup cangkang.

d. Bentuk lembaran (Coral Foliose), merupakan lembaran-lembaran

yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk

lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-

daerah yang terlindung. Memberikan perlindungan bagi ikan dan

hewan lain.

e. Bentuk Jamur (Coral Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti

jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari

tepi hingga pusat mulut.

f. Bentuk submasif (Coral Submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-

tonjolan atau kolom-kolom kecil.

g. Karang api (Millepora), semua jenis karang api dapat dikenali dengan

adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar

bila disentuh.

h. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru

pada rangkanya.
21

2. Acropora

a. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang

seperti ranting pohon.

b. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah

mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang

yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau

datar.

c. Acropora merayap (Acropora Encrusting), bentuk merayap, biasanya

terjadi pada Acropora yang belum sempurna.

d. Acropora submasif (Acropora Submassive), percabangan bentuk

gada/lempeng dan kokoh.

e. Acropora berjari (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat

dengan cabang seperti jari-jari tangan.

2.4. Dampak Pemangsaan Acanthaster planci

Dampak dari peledakan populasi A. planci terhadap pemangsaan

komunitas karang sangat besar. Mortalitas karang akibat A. planci sekitar 55

%, 70 %, dan 90 % di Rib, John Brewer dan Loadstone Reefs, GBR

(Williams, 1986). Selanjutnya di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, lebih

dari 80 % karang hidup pada satu kawasan terumbu karang telah dirusak oleh

A. planci yang kelimpahannya tinggi hanya dalam beberapa bulan saja

(Newman, 1998). Selama waktu kelimpahan yang relatif sama, di Guam A.

planci telah memangsa lebih dari 90 % terumbu karang pada laju

pemanfaatan satu kilometer terumbu tepi per bulan (Chesher, 1969).


22

Terumbu yang sama dapat mendapat serangan A. planci secara

berulang, dengan jeda waktu sekitar 15 tahun. Terumbu karang di Green

Island telah mengalami serangan A. planci yang serius pada tahun 1962, 1979

dan 1999/2000 (CRC, 2003). Pemangsaan karang oleh A. planci di Lizzard

Island, GBR yang terjadi pada tahun 1982 berulang kembali pada tahun 1996

(Wakeford et al., 2008). Terumbu karang di Pulau Menjangan, Bali,

mengalami serangan A. planci pada tahun 1996 dan mengalami serangan lagi

pada tahun 2008 (Alustco, 2009). Umumnya terumbu karang sudah pulih

kembali persen tutupannya dalam waktu 10-15 tahun, atau lebih (CRC, 2003).

Gambar 7. Ledakan populasi A. planci pada terumbu karang (Hoey, 2004)

Salah satu ciri suatu koloni karang telah dimangsa oleh A. planci yaitu

kerangka karang berwarna putih dan membentuk suatu luasan tertentu (Frasser

et al., 2003). Kayal et al. (2012) menambahkan, luasan kerangka karang yang

berwarna putih menunjukkan bahwa koloni karang tersebut baru saja

dimangsa oleh A. planci. Kerangka karang yang telah ditumbuhi oleh alga
23

menunjukkan bahwa koloni karang telah dimangsa oleh A. planci selama ±3

minggu (Gambar 8).

C A

B
A

Gambar 8. Morfologi karang yang telah dimangsa oleh A. planci (Kayal et


al., 2012): karang yang sehat (A); karang yang baru saja
dimangsa (B); dan karang mati yang sudah ditumbuhi alga (C)

2.5. Solusi Ledakan A. planci

Terdapat beberapa pilihan yang direkomendasikan untuk berbagai

upaya pembersihan skala kecil yang berbasis masyarakat, (setidaknya 5000 A.

planci di kawasan tersebut yang akan dibersihkan), baik dapat diterapkan di

Indonesia maupun negara lain, yaitu (Frasser et al., 2003):

a. Mengeluarkan dan Membakar di Pantai

Perenang dan penyelam ditugaskan pada kawasan tertentu untuk

mengangkat dan mengumpulkan sebanyak mungkin A. planci menggunakan

panah dan penjepit. Pada beberapa tempat tertentu bisa menggunakan alat

penangkap ikan seperti senapan jubi, mata panah (panah dari senapan jubi),

atau ganculi (alat pengait yang dipakai untuk teripang laut) yang cukup baik

untukmendapatkan A. planci dari celah-celah batu karang. Panjang alat yang

baik adalah kurang dari satu meter.

Beberapa keranjang yang sering digunakan untuk mengangkut ikan,

seperti jamala atau jarring ikan, juga bisa digunakan untuk mengangkut A.
24

planci dalam air, baik untuk diangkut ke perahu atau diangkut ke pantai.

Setelah semua A. planci hasil pembersihan telah dikumpulkan, maka semua

partisipan kembali ke pantai. Adapun cara memusnahkan A. planci yang

terkumpul biasanya dilakukan dengan membakar mereka di darat ataupun di

pantai.

b. Penyuntikan dengan Racun

Sekarang ini direkomendasikan menggunakan sodium bisulfat (asam

kering), Na(SO4)2, karena dipandang efektif, relatif murah, mudah

didapatkan di mana-mana dan menyebabkan kerusakan yang sedikit di

lingkungan bila ditangani secara benar (Lassig, 1995). Racun tersebut

disuntikkan dengan menggunakan penyuntik plastik.

Adapun campurannya adalah setiap liter air laut dicampur dengan

bubuk sodiumbisulfat sebanyak 140 gram. Karena racun tersebut tidak

berwarna maka bisa ditambahkan dengan pewarna makanan untuk

menegaskan lagi bahwa penyuntikan bekerja dengan baik. Racun lainnya

yang sering digunakan adalah tembaga sulfat (CuSO), formalin, larutan

konsentrat aqua ammonia, dan asam hidroklorik.

c. Pagar Bawah Air

Pembangunan pagar bawah air dilakukan untuk menjaga agar individu

dewasa tidak bermigrasi ke lokasi yang baru saja dibersihkan, dan juga

untuk mengurangi perlunya pengambilan secara berulang-ulang. Pagar-

pagar ini digunakan hanya untuk menjaga agar individu dewasa tidak keluar
25

kemana-mana; akan tetapi pagar tidak bisa menghentikan pergerakan bibit

muda (larva) A. planci.

d. Pemotongan

A. planci dipotong menjadi empat bagian atau sebagian besar bagian

tengah tubuhnya dikeluarkan. Cara tersebut dilakukan agar A. planci tidak

dapat melakukan regenerasi. Metode ini cukup memakan waktu,

mengharuskan partisipan penyelam SCUBA, dan berpeluang besar

mengalami luka karena duri-duri.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juni 2015. Lokasi

pengambilan data adalah Pulau Air, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Data

keseluruhan dari luas Pulau Air diwakili oleh 4 stasiun pengamatan

berdasarkan arah mata angin yaitu utara, barat, selatan dan timur (Gambar 9).

(m)

P. JAWA

Gambar 9. Gambaran lokasi pengambilan data (Sumber: Iqbal, 2013)

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: roll meter 100 m,

turbidity meter, DO meter, pengukur arus, kamera digital, GPS, SCUBA set,

Secchi disk, alat tulis, pita meter, termometer raksa, kertas indikator pH, dan

buku pedoman terumbu karang. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah terumbu karang dan A. planci sebagai objek pengamatan.

26
27

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Tahap Persiapan

Persiapan dilakukan dengan mengobservasi titik yang mewakili pada

masing-masing stasiun (utara, barat, selatan, dan timur) menggunakan teknik

time swimming (snorkeling). Teknik yang dilakukan adalah seorang

pengamat melakukan penyelaman singkat di atas permukaan air sejajar garis

pantai untuk melihat kondisi terumbu karang dan keberadaan A. planci

(Ikhsan, et al., 2013).

3.3.2. Pengukuran Parameter Lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dilakukan pada setiap transek

pengamatan meliputi suhu air, DO, salinitas, kekeruhan, kecerahan, pH,

kecepatan arus dan kedalaman (Lampiran 15). Pengukuran tersebut

dilakukan bersamaan dengan pengambilan data terumbu karang dan A.

planci.

3.3.3. Pengambilan Data Tutupan Karang Hidup dan A. planci

Penelitian ini menggunakan metode survei dalam 24 titik sampling

yang tersebar di Pulau Air. Titik sampling ditentukan berdasarkan arah mata

angin (utara, timur, selatan, dan barat) dan kedalaman air (3-5 dan 10-13 m)

(Rani et al., 2011). Pengambilan data terumbu karang dan A. planci

menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) (Lampiran 13) (English

et al., 1994 dalam Fachrul 2008). Teknik ini dilakukan dengan memasang

transek sejajar dengan garis pantai sepanjang 20 m sebanyak tiga kali

pengulangan pada masing-masing titik sampling (Gambar 10).


28

Pengambilan data terumbu karang dibatasi pada bentuk pertumbuhan

(life form) (Syahnilawati et al., 2013) dengan panduan UNEP (1993)

(Lampiran 2). Pengambilan data A. planci dilakukan pada titik pengamatan

LIT dengan melakukan pemantauan secara langsung di sepanjang garis

transek dengan areal pemantauan 2,5 m di sisi kiri dan kanan transek garis

(Gambar 10) (Rani et al., 2013). Pengambilan data dilakukan pada pukul

09.00-16.00 WIB, karena menurut Ikhsan et al. (2013), salah satu waktu

makan A. planci adalah pada siang hari, maka dari itu diambil kurun waktu

tersebut dengan dugaan adanya kemunculan A. planci (Lampiran 14).

Pengambilan data dilakukan secara spasial dalam kurun waktu 1-2 hari.

3-5 dan
10-13 m
2,5 m

2,5 m 5m 5m
20 m 20 m 20 m

70 m

Gambar 10. Petak pengambilan sampel terumbu karang dan A. planci

3.4. Analisis Data

3.4.1. Penilaian Tutupan Karang Hidup

Persentase tutupan karang dihitung menggunakan rumus berikut ini

(English et al., 1994 dalam Fachrul, 2008):

Keterangan:
Li= Persentase tutupan karang (%)
ni= Panjang tutupan lifeform ke –i pada transek (cm)
L= Panjang transek (m)
29

Penilaian terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang hidup

didasari oleh kriteria yang tertera pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup (Gomes dan Yap,
1988 dalam Fachrul, 2008)
Kategori Tutupan karang hidup (%)
Buruk 0-24,9
Sedang 25-49,9
Baik 50-74,9
Sangat Baik 75-100

3.4.2. Kepadatan A. planci

Kepadatan A. planci dihitung menggunakan rumus berikut ini (Krebs,

1989):

D = n/A

Keterangan:
D= Kepadatan spesies (individu/m2)
n= Jumlah total individu (individu)
A= Luas total transek (m2)

Kepadatan A. planci ditentukan berdasarkan kategori Endean dan

Stablum (1975) dalam Reichelt et al. (1990) yaitu dikategorikan alami jika

kepadatannya kurang dari 14 individu/1000m2 (0,014 individu/m2) dan

ancaman jika kepadatannya lebih dari 14 individu/1000m2. Kepadatan A.

planci dikelompokkan menurut stasiun pengulangan dan disajikan dalam

bentuk tabel.

3.4.3. Hubungan Antara Kepadatan A. planci dengan Persentase Tutupan


Karang Hidup

Hubungan antara kepadatan A. planci dan parameter lingkungan

dengan persentase tutupan karang hidup dianalisis menggunakan Principal


30

Component Analysis (PCA) dengan bantuan perangkat lunak SPSS Ver. 20.

Kriteria penilaian menggunakan nilai eigenvalue apabila bernilai lebih dari 1

maka terdapat hubungan. Selain itu juga dilakukan analisis secara deskriptif

dengan mengelompokkan status kepadatan A. planci (alami dan ancaman)

dan dilakukan perhitungan rata-rata persentase penutupan karang hidup.

Adapun hasilnya disajikan dalam bentuk grafik.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Wilayah

Kepulauan Seribu merupakan gugusan kepulauan yang terletak di

sebelah utara Jakarta, tepat berhadapan dengan Teluk Jakarta. Pulau Air

adalah salah satu pulau penyusun gugusan Kepulauan Seribu. Pulau ini

merupakan pulau tidak berpenghuni yang berada di luar kawasan Taman

Nasional Kepulauan Seribu dan menjadi salah satu destinasi untuk keperluan

wisata karena memiliki daya tarik pada ekosistem terumbu karang. Daya tarik

lainnya adalah terdapat semacam kanal yang membelah Pulau Air menjadi dua

bagian.

Pulau Air dapat diakses melalui pintu masuk dari arah selatan dan

utara. Bagian luar Pulau Air dikelilingi ‘pagar’ yang menahan gelombang agar

tetap tenang. Pagar tersebut ditancapkan ke dalam air sehingga bersifat

permanen. Berdasarkan kontur kedalaman dan tubirnya yang landai, wilayah

perairan Pulau Air sesuai untuk kegiatan wisata snorkeling dan SCUBA

diving.

Pulau Air merupakan daerah penyangga yang dekat dengan P.

Pramuka sebagai pulau yang berada di selatan Taman Nasional Kepulauan

Seribu. Menurut Soemarwoto (1985), daerah penyangga merupakan daerah

yang mengelilingi kawasan lindung yang berfungsi membatasi aktifitas

manusia di dalam kawasan lindung agar tidak merusak ekosistem di dalam

kawasan lindung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990

31
32

Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

menyatakan bahwa wilayah yang berbatasan dengan kawasan suaka alam

ditetapkan sebagai daerah penyangga.

4.2. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Air

Acanthaster planci atau Crown Of Thorns-starfish (COTs) memiliki

sebutan lokal yaitu bintang laut mahkota duri. Namun masyarakat sekitar

Pulau Air biasa menyebutnya dengan bulu seribu. Organisme ini dikenal

sebagai predator hewan karang. Penelitian ini menemukan keberadaan A.

planci di Pulau Air bagian utara sebanyak 4 individu (Tabel 2). Karakteristik

morfologi A. planci yang ditemukan antara lain: memiliki lengan sebanyak 15

buah, tubuh bagian dorsal ditutupi oleh banyak duri, memiliki madreporit pada

bagian dorsal, dan berwarna kemerahan dan kelabu (Gambar 11).

Tabel 2. Jumlah A. planci yang Ditemukan di Pulau Air


No. Stasiun Jumlah
1. Barat 0
2. Selatan 0
3. Timur 0
4. Utara 4

Kepadatan A. planci di Pulau Air adalah sebesar 0,002 individu/m2,

sehingga dapat dikategorikan dalam kondisi alami atau bukan ancaman

menurut kategori Endean dan Stablum (1975) dalam Reichelt et al. (1990).

Kelimpahan yang tergolong alami ini justru berguna bagi ekosistem terumbu

karang di Pulau Air, yaitu memberi kesempatan bagi karang yang

pertumbuhannya lambat, seperti karang masif, untuk hidup dan berkembang.

Manfaat lainnya menurut Ikhsan et al. (2013) adalah, kerangka karang yang
33

mati akibat pemangsaan A. planci dapat menjadi tempat bagi larva dan spora

penghuni ekosistem terumbu karang lainnya.

A. planci yang ditemukan memiliki jumlah lengan sebanyak 15 buah

dan diameter yang berkisar antara 21-26 cm (Tabel 3). Jumlah lengan

memiliki hubungan dengan diameter A. planci. Menurut Napitupulu et al.

(2013), jumlah lengan memiliki pengaruh sebesar 7-10% terhadap diameter.

Penambahan satu buah lengan dapat menambah diameter sebesar 0,5-0,746

cm. Nilai diameter dapat digunakan sebagai perkiraan dalam menentukan usia

dari A. planci. Menurut Suharsono (1991), apabila diameter A. planci

mencapai 27 cm maka dapat diperkirakan usianya telah mencapai 48 bulan.

Maka dari itu dapat diperkirakan pula usia A. planci di Pulau Air adalah ± 48

bulan.

Tabel 3. A. planci yang ditemukan di Pulau Air


Jarak pada Jarak dari Jumlah Diameter Karang
No. Lokasi
LIT (m) LIT (m) Lengan (cm) Asosiasi
Utara (3- Coral
4. 3,76 0,28 15 23
5 m) Foliose
Utara (3- Coral
5. 64 0,28 15 21
5 m) Encrusting
Utara (3- Coral
6. 68,7 2,20 15 25
5 m) Submassive
Utara (3- Coral
7. 70 1,27 15 26
5 m) Submassive
Keterangan: LIT: Line Intercept Transect

Eutrofikasi merupakan salah satu hal yang menyebabkan meledaknya

populasi A. planci karena menyediakan nutrisi yang melimpah bagi larva-larva

A. planci (Fraser et al., 2003). Dengan kata lain kepadatan A. planci dalam

kategori alami di perairan Pulau Air juga mengindikasikan perairan tersebut

masih dalam kondisi yang cukup baik. Dugaan tersebut diperkuat oleh
34

penelitian Suharsono et al. pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa Pulau

Air masih belum terpengaruh sedimen dan material organik dari Teluk Jakarta,

dibuktikan dengan kecerahan perairannya yang masih di atas 10 m, serta tidak

adanya pemukiman juga turut menjaga kualitas perairan pulau ini.

A B

C D

Gambar 11. Keberadaan A. planci di Pulau Air pada karang Coral Encrusting
(A); Coral Submassive (B); Coral Foliose (C); dan Coral
Submassive (D) (Dok. Pribadi, 2015)

A. planci tidak ditemukan di stasiun barat dan timur diduga karena

kedua stasiun ini dilanda terpaan angin dan gelombang musiman setiap

tahunnya. Menurut Putrajaya (2010), kecepatan angin pada musim barat

mencapai 20 knot dan pada musim timur mencapai 15 knot. Terpaan angin

dan gelombang dapat mempengaruhi kecepatan arus pada kedua stasiun

tersebut. Arus yang cukup besar dapat membuat persebaran larva A. planci

menjadi lebih jauh sehingga mempengaruhi kepadatannya pada suatu


35

wilayah. Adapun tidak ditemukannya A. planci di stasiun selatan diduga

karena adanya rendahnya persentase tutupan karang hidup di lokasi tersebut,

sehingga tidak menyediakan naungan yang cukup bagi A. planci juvenil

maupun dewasa.

Dugaan lainnya mengenai keberadaan A. planci di Pulau Air pada

stasiun utara adalah adanya limpasan bahan organik dari P. Panggang dan P.

Pramuka. Kedua pulau tersebut berada di sebelah timur laut Pulau Air dan

terdapat pemukiman di dalamnya. Bahan organik dari kedua pulau tersebut

berasal dari kegiatan rumah tangga dan keramba jaring apung.

Penelitian Asmara pada Desember 2004 menyatakan bahwa

kandungan NO2-N di P. Pramuka berkisar antara 0,556-1,113 mg/l dan di P.

Panggang berkisar antara 0,563-0,903 mg/l. Kandungan NH3-N di P.

pramuka berkisar antara 0,018-0,024 mg/l dan di P. Panggang berkisar

antara 0,022-0,067 mg/l. Kandungan ortofosfat di P. Pramuka berkisar

antara 0,003-0,031 mg/l dan di P. Panggang berkisar antara 0,086-0,124

mg/l. Kandungan NO2-N dan ortofosfat di kedua pulau tersebut melebihi

baku mutu yang ditetapkan oleh KEPMEN LH No. 51 tahun 2004.

Adanya kandungan bahan organik dalam perairan dapat menjadi

sumber nutrisi bagi alga dan plankton yang merupakan pakan bagi larva A.

planci. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kepadatan A.

planci di Pulau Air yang masih tergolong dalam kategori alami ini

menunjukkan bahwa limpasan yang masuk ke perairan Pulau Air masih

dalam kisaran normal.


36

4.3. Tutupan Karang Hidup di Pulau Air

Penelitian kali ini dilakukan dengan tujuan antara lain mengetahui

kondisi terumbu karang di Pulau Air berdasarkan persentase tutupan karang

hidupnya. Pengambilan sampel dilakukan di kedalaman 3-5 m dan 10-13 m

pada setiap arah mata angin. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,

didapatkan hasil bahwa rata-rata persentase tutupan karang hidup di Pulau Air

adalah 44,21 % yang tergolong dalam kondisi sedang menurut kategori

Gomes dan Yap (1988) dalam Fachrul (2008).

Gambar 12. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air

Hasil penelitian senada pernah dinyatakan oleh Suharsono et al. tahun

2010, yaitu persentase tutupan karang hidup di Pulau Air sebesar 43,16 %

yang tergolong dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil yang tertera pada

Gambar 12, persentase tutupan karang hidup yang paling tinggi terdapat pada

stasiun barat yaitu sebesar 65,03% yang tergolong dalam kategori baik.
37

Adapun persentase tutupan karang hidup yang paling rendah terdapat pada

stasiun selatan yaitu sebesar 30,76 % yang tergolong dalam kategori sedang.

Persentase tutupan karang hidup pada stasiun selatan lebih rendah

dibandingkan stasiun lainnya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kegiatan

transportasi kapal yang menggunakan jangkar, baik yang digunakan untuk

perikanan, pariwisata, dan lain sebagainya. Selain itu, pada stasiun selatan

ditemukan banyak patahan karang (Gambar 13) yang semakin memperkuat

dugaan adanya kerusakan pada tutupan karang hidup di lokasi tersebut.

Pulau Air merupakan pulau yang berada di luar kawasan Taman

Nasional Kepulauan Seribu. Belum adanya pengelolaan secara langsung di

pulau tersebut merupakan kendala dalam hal pengawasan kegiatan-kegiatan

yang berpotensi megancam kelangsungan hidup terumbu karang. Dugaan

lainnya berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk di sekitar Pulau Air,

pada tahun 1980 –an terjadi eksploitasi karang dan pasir dengan tujuan

sebagai bahan baku pembangunan rumah.

Gambar 13. Patahan karang (rubble) (Dok. Pribadi, 2015)


38

Persentase tutupan karang hidup bernilai lebih tinggi pada kedalaman

3-5 m hampir di seluruh stasiun penelitian (Gambar 12). Hal tersebut

dikarenakan terumbu karang memerlukan perairan yang intensitas cahayanya

tinggi. Menurut Castro dan Huber (2003), cahaya sangat dibutuhkan dalam

proses fotosintesis zooxanthellae yang berperan dalam pertumbuhan dan

proses pembentukan kerangka kapur karang.

Terdapat perbedaan pada stasiun barat yaitu persentase tutupan karang

hidup di lokasi tersebut justru lebih rendah pada kedalaman 3-5 m.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai Taman Nasional kepulauan

Seribu, bagian barat Pulau Air merupakan lokasi yang banyak dikunjungi

wisatawan untuk melakukan snorkeling. Adanya aktivitas wisata snorkeling

diperkirakan dapat mengancam kehidupan terumbu karang, seperti kegiatan

memegang, menginjak, dan mematahkan karang oleh para wisatawan.

Karang keras dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok bentuk

pertumbuhan (life form) Acropora dan Non-Acropora (UNEP, 1993). Life

form karang keras yang ditemukan di Pulau Air saat pengamatan antara lain

Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive

(ACS), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Encrusting

(CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Mushroom (CMR), dan

Coral Submassive (CS) (Gambar 14).

Persentase tutupan karang hidup dengan bentuk pertumbuhan masif

terlihat mendominasi pada stasiun barat dan timur. Adapun persentase tutupan

karang hidup dengan bentuk pertumbuhan bercabang terlihat banyak

ditemukan pada stasiun selatan dan utara. Hal tersebut berkaitan dengan
39

kecepatan arus pada masing-masing stasiun. Stasiun barat dan timur memiliki

kecepatan arus yang lebih tinggi dari stasiun utara dan selatan (Lampiran 3).

Gambar 14. Persentase tutupan karang keras di Pulau Air

Selain itu, stasiun barat dan timur setiap tahunnya mengalami tekanan

berupa hempasan angin musiman dengan kecepatan angin mencapai 20 dan 15

knot (Putrajaya, 2010). Umumnya karang dengan bentuk pertumbuhan masif

lebih kebal terhadap tekanan dari arus yang cukup besar. Johan (2003)

menyatakan bahwa karang dengan bentuk pertumbuhan masif lebih banyak

tumbuh di daerah berarus.

Ekosistem terumbu karang tidak hanya dihuni oleh karang keras dan

karang lunak. Terdapat komponen lain yang menyusun ekosistem terumbu

karang antara lain abiotik dan biotik. Komponen abiotik terdiri atas pasir,

batu, karang mati dan patahan karang. Komponen biotik terdiri atas karang

hidup dan biota lain seperti alga, Echinodermata, Porifera, Zoanthid dan
40

Ascidian. Berdasarkan Gambar 15, dapat diketahui perbedaan persentase

tutupan substrat dasar di Pulau Air.

Substrat dasar tertutupi oleh komponen biotik seperti alga, antara lain

Padina sp., Sargassum sp. dan Halimeda sp. yang berkisar antara 0,72-22,92

%, dan biota lain yang berkisar antara 0,28-9,77 %. Komponen abiotik yang

menutupi substrat dasar meliputi karang mati, yang berkisar antara 6,37-52,93

%, dan abiotik lain seperti batu, pasir, dan patahan karang, yang berkisar

antara 1,52-33,75 %. Persentase tutupan karang mati didominasi oleh dead

coral with algae (karang mati dengan alga) yang menimbulkan dugaan bahwa

tekanan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dan perubahan lingkungan

sudah berlangsung cukup lama.

Gambar 15. Persentase tutupan substrat dasar di Pulau Air


41

4.4. Hubungan Antara A. planci, Parameter Lingkungan dan Persentase


Tutupan Karang Hidup

Acanthaster planci merupakan salah satu biota penghuni ekosistem

terumbu karang yang kehadirannya tentu memiliki pengaruh terhadap terumbu

karang itu sendiri. Hubungan antara kepadatan A. planci dan persentase

tutupan karang hidup di Pulau Air yang didukung oleh parameter lingkungan

perairan diperoleh berdasarkan analisis statistika yaitu Principal Component

Analysis (PCA) menggunakan perangkat lunak SPSS Ver. 20. Hasil analisis

disajikan dalam bentuk grafik dan tabel yang tertera pada Gambar 16 dan

Lampiran 12. Berdasarkan analisis hubungan tersebut, terlihat bahwa

komponen 1 terdiri atas variabel karang hidup, karang mati, kecepatan arus,

kecerahan, DO dan salinitas. Komponen 2 terdiri atas kepadatan A. planci, pH

dan suhu.

Kecepatan arus memiliki hubungan yang bersifat positif dengan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air. Kecepatan arus di Pulau Air

berkisar antara 0,11-0,31 m/s. Menurut Nybakken dan Mark (2005), arus

memberikan sumber air segar yang mengandung oksigen dan dapat

menghilangkan endapan-endapan yang menutupi permukaan koloni karang.

Selain itu arus akan mensuplai bahan makanan seperti plankton dan unsur hara

bagi kehidupan terumbu karang. Persentase tutupan karang hidup sangat

berkaitan erat dengan arus yang berperan dalam persebaran larva planula

hewan karang.

Kecerahan memiliki hubungan yang bersifat positif dengan persentase

tutupan karang hidup di Pulau Air. Kecerahan di Pulau Air terbilang tinggi

karena berkisar antara 14,48-15,47 m. Hal tersebut didukung dengan data


42

kekeruhan pada lokasi penelitian yang bernilai 0,00 FTU. Kecerahan yang

tinggi sangat dibutuhkan dalam kelangsungan hidup terumbu karang karena

cahaya dapat menembus sehingga menyediakan intensitas cahaya yang dapat

digunakan untuk proses fotosintesis pada zooxanthellae (Castro dan Huber,

2003).

Kadar oksigen terlarut memiliki hubungan yang bersifat positif dengan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air. DO diperlukan dalam

menunjang metabolisme biota laut khususnya terumbu karang. Kadar DO di

perairan Pulau Air berkisar antara 7,73-7,83 mg/l yang masih dalam kondisi

normal berdasarkan KEPMEN LH No. 51 tahun 2004 yang menyatakan

bahwa kadar DO yang baik bagi kelangsungan hidup biota laut adalah lebih

dari 5 mg/l.

Salinitas juga merupakan salah satu parameter yang mencirikan

persentase tutupan karang hidup di Pulau Air namun bersifat negatif

berdasarkan analisis PCA. Salinitas perairan Pulau Air berkisar antara 30,20-

30,95 ‰. Menurut Romimohtarto dan Sri (2007), salinitas perairan yang

mendukung kehidupan terumbu karang adalah sebesar 30-35 ‰. Hubungan

yang bersifat negatif tersebut diduga karena salinitas Pulau Air yang cukup

rendah untuk pertumbuhan terumbu karang, dikarenakan adanya limpasan air

tawar dari daratan.

Parameter pH dan suhu perairan juga merupakan faktor pembatas dari

persentase tutupan karang hidup. pH perairan Pulau Air berkisar antara 7,00-

8,70 yang masih tergolong normal menurut KEPMEN LH No. 51 tahun 2004.

Suhu perairan Pulau Air berdasarkan hasil penelitian berkisar antara 28,3-29,7
43

o
C. Menurut Guntur (2011), berdasarkan wilayah geografisnya, suhu yang

cocok bagi pertumbuhan karang di Indonesia berkisar antara 27-29 oC. Suhu

perairan di Pulau Air tersebut juga masih sesuai dengan standar baku mutu

perairan laut berdasarkan KEPMEN LH No. 51 tahun 2004 yaitu 28-30 oC

untuk terumbu karang.

Gambar 16. Grafik PCA hubungan kepadatan A. planci, parameter


lingkungan perairan dan persentase tutupan karang hidup

Hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase tutupan

karang hidup di Pulau Air bersifat negatif berdasarkan analisis statistik PCA.

Dengan kata lain, hubungan antara kepadatan A. planci dengan persentase

tutupan karang mati berkorelasi positif. Hal tersebut diduga bahwa semakin
44

tinggi kepadatan A. planci maka semakin rendah persentase tutupan karang

hidupnya, begitu pula sebaliknya.

Dugaan mengenai adanya predasi A. planci terhadap karang hidup

diperkuat dengan penelitian Rani et al. (2007) yang melakukan penelitian

mengenai predasi A. planci di Pulau Barranglompo, Makassar. Penelitian

tersebut mengkondisikan individu-individu A. planci dalam suatu kurungan

2x2 m2 sehingga dapat diketahui preferensi dan laju predasinya. Hasilnya

adalah A. planci memangsa karang keras dengan bentuk pertumbuhan tabular.

Laju predasi yang diamati sebesar 134,5-249,5 cm/hari/individu.

Parameter lingkungan perairan yang telah diukur juga merupakan

faktor pembatas keberadaan A. planci di Pulau Air. Berdasarkan analisis PCA,

suhu dan pH perairan Pulau Air memiliki hubungan yang negatif terhadap

kepadatan A. planci. Suhu perairan Pulau Air berdasarkan hasil penelitian

berkisar antara 28,3-29,7 oC. Menurut Suharsono (1991) suhu yang optimal
o
bagi perkembangan A. planci adalah 26-28 C. Suhu pada stasiun

ditemukannya A. planci di Pulau Air adalah sebesar 28,3 oC, yang merupakan

suhu terendah di antara stasiun lainnya. pH di Pulau Air berkisar antara 7,00-

8,70 sedangkan pH pada lokasi ditemukannya A. planci adalah sebesar 7,00

yang juga merupakan pH terendah di antara stasiun lainnya.

Kadar DO di perairan Pulau Air berkisar antara 7,73-7,83 mg/l yang

masih dalam kondisi baik berdasarkan Kepmen LH No 51 tahun 2004 yang

menyatakan bahwa kadar DO yang baik bagi kelangsungan hidup biota laut

adalah lebih dari 5 mg/l. Kadar DO pada stasiun ditemukannya A. planci


45

sebesar 7,83 mg/l yang merupakan kadar paling tinggi di antara stasiun

lainnya.

Kecepatan arus dan salinitas juga merupakan faktor pembatas A.

planci. Kecepatan arus pada lokasi ditemukannya A. planci di Pulau Air

adalah 0,20 m/s pada kedalaman 3-5 m. Hal tersebut didukung oleh

pernyataan Suharsono (1991) bahwa A. planci juga tidak terlalu menyukai

daerah yang dipengaruhi oleh arus yang tinggi. A. planci di Kepulauan Seribu

biasanya ditemukan pada kedalaman 3-5 m.

Salinitas pada lokasi ditemukannya A. planci di Pulau Air tidak

termasuk dalam kisaran yang mendukung pertumbuhannya. Birkeland dan

Lucas (1990) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang optimal bagi A. planci

adalah 19-25 ‰ sedangkan salinitas yang ditemukan sebesar 30,60 ‰. Hal

tersebut menuai dugaan bahwa A. planci dapat beradaptasi menyesuaikan

kondisi lingkungan di sekitarnya.

Pada lokasi ditemukannya A. planci di Pulau Air, terdapat kerangka

karang yang diduga telah menjadi mangsa dari A. planci yang ditandai dengan

ciri yang hampir mirip (Gambar 17). Namun dugaan ini masih bersifat

sementara, dikarenakan perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk

menentukan suatu koloni karang yang mati akibat A. planci atau penyakit lain

seperti coral bleaching (pemutihan karang) yang diakibatkan oleh perubahan

suhu yang ekstrim.

Berdasarkan analisis yang telah dijabarkan di atas, keberadaan A.

planci di Pulau Air dapat berpotensi sebagai ancaman terhadap ekosistem

terumbu karang apabila kepadatannya melebihi 0,014 individu/m2. Maka dari


46

itu, perlu dilakukan pengelolaan secara langsung untuk menjaga ekosistem

terumbu karang di Pulau Air agar tidak bertambah kerusakannya baik yang

disebabkan oleh faktor alami maupun aktifitas manusia.

A B

Gambar 17. Karang keras yang diduga telah dimangsa oleh A. planci di Pulau
Air: karang keras bercabang (A); dan karang keras tabular (B)
(Dok. Pribadi, 2015)

Pulau Air merupakan daerah penyangga yang patut dijaga

keseimbangannya terutama pada ekosistem terumbu karangnya. Penelitian ini

menggambarkan kondisi perairan Pulau Air masih sesuai dengan baku mutu

yang ditetapkan oleh KEPMEN LH No. 51 tahun 2004 untuk kehidupan

terumbu karang. Kepadatan A. planci yang masih dalam kategori alami juga

mengindikasikan tidak tercemarnya perairan Pulau Air dengan limbah dari

Teluk Jakarta maupun pulau-pulau pemukiman di sekitarnya.

Hal yang patut diberikan perhatian adalah pengelolaan secara langsung

sehingga dapat dilakukan pengawasan lebih lanjut dan intens dalam kegiatan

pariwisata yang berpotensi merusak ekosistem terumbu karang. Dengan

mengadakan kegiatan transplantasi karang di Pulau Air juga merupakan hal

yang turut membantu menjaga ekosistem terumbu karang di Pulau Air.


BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. Kepadatan Acanthaster planci di Pulau Air sebesar 0,002 ind/m2 yang

tergolong dalam kategori alami.

b. Persentase tutupan karang hidup di Pulau Air sebesar 44,21 % yang

tergolong kategori sedang.

c. Acanthaster planci memiliki hubungan yang negatif terhadap persentase

tutupan karang hidup di Pulau Air.

5.2. Saran

Penulis menyarankan sekiranya perlu dilakukan penelitian mengenai

dampak kegiatan pariwisata di Pulau Air secara berkelanjutan. Penelitian

mengenai A. planci juga perlu dilakukan monitoring secara berkala demi

menjaga kestabilan ekosistem terumbu karang di Pulau Air. Selain itu perlu

dilakukan penelitian mengenai perilaku dan analisis predasi A. planci

khususnya di Pulau Air.

47
DAFTAR PUSTAKA

Alustco, S. 2009. Kajian Kualitas Tutupan Karang Hidup dan Kaitannya dengan
Acanthaster planci di Kabupaten Bintan. Tesis Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Antarnusa, G. H. 2014. Kelimpahan dan Pola Pengelompokan Bulu Babi di Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta. Skripsi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Asmara, A. 2005. Hubungan Struktur Komunitas Plankton dengan Kondisi Fisika-
Kimia Perairan Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Instutut Pertanian Bogor.
Bogor.
Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan Tentang Kehadiran Bintang Laut Jenis
Acanthaster planci di Perairan Indonesia. Oseana. 20:23-31.
Birkeland, C., dan Lucas, J. S. 1990. Acanthaster planci: Major Management
Problem of Coral Reef . CRC press: Boston.
Castro, R. dan Huber, M. E. 2003. Marine Biology. Fourth Edition. McGraw-Hill,
A Business Unit of the McGraw-Hill Companies,Inc 1221: New York, NY
10020.
Castro, R dan Huber, M. E. 2007. Marine Biology. Sixth Edition. McGraw-Hill, A
Business Unit of the McGraw-Hill Companies,Inc 1221: New York, NY
10020.
Cheser, R. H. 1969. Destruction of Pacific Corals by the Seastar Acanthaster
planci. Science. 165:280.
CRC. 2003. Crown-of-Thorns Starfish in the Great Barrier Reefs: Current State of
Knowledge. Cooperative Research Centers (CRC) Reef Research Center.
Townsville: Australia. 8:1-2.
Darsono, P. 1988. Pengamatan Terhadap Kehadiran Bintang Laut Pemangsa
Karang, Acanthaster planci (L.), di Pulau Seribu. P30-LIPI, Jakarta.
De’ath, G., dan Moran, P. J. 1998. Factors Affecting the Behafior of Crown-of-
Thorns Starfish (Acanthaster planci) on the Great Barrier Reef. Feeding
Preferences. Exp. Mar. Biol. Ecol. 220: 107-126.
Efrinawati. 2012. Kondisi Terumbu Karang di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau
Panggang, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Skripsi Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
English, S, Wilkenson, C., dan Baker, V. 1994. Survey Manual for Tropical
Marine Resources. ASEAN Australia Living Coastal Resources Project.
Australian Institute of Marine Science.

48
49

Fachrul, M. F. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.


Fraser, N., Crawford B. R., dan Kusen, J. 2003. Panduan Pembersihan Bintang
Laut Berduri, Koleksi Dokumen Pesisir. USAID-ICRMP. Jakarta.
Guntur. 2011. Ekologi Karang pada terumbu Buatan. Ghalia Indonesia. Bogor
Hoey, J. 2004. Crown-of-Thorns Starfish. The State of the Great Barrier Reef
Online. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville.
Ikhsan, N., Sadarun, B., dan Ketjulan, R. 2013. Kelimpahan Acanthaster planci
pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Bero, Selat Tiworo, Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia. 2:59-68.
Iqbal, M. 2013. Aplikasi SIG Untuk Kesesuaian Wilayah Wisata Snorkeling dan
Scuba Diving di Pulau Air dan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu.
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Johan, O. 2003. Beberapa Genus Karang Yang Umum Dijumpai di Indonesia.
Training Course. PSK-UI dan Yayasan TERANGI, serta didukung oleh
IOI-Indonesia. Jakarta.
Kayal, M., Vercelloni, J., Lison de Loma, T., Bosserelle, P., dan Chancerelle, Y.
2012 Predator Crown-of Thorns Starfish (Acanthaster planci) Outbreak,
Mass of Mortality of Corals, and Cascading Effects on Reef Fish and
Benthic Communities. PLoS ONE 7:10.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004 Tentang
Baku Mutu Air Laut.
Krebs, T. 1989. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Harper and Row: New York.
Lassig, B. 1995. Controlling Crown-of-Thorns Starfish. Great Barrier Reef
Marine Park Authority. Townsville, Queensland,Australia.
Lucas, J. S. 1987. Life History: The Crown of Thorns Starfish. Australian Science
Magazine. Issue 3. GBRMPA, Queensland.
Lewis, C. L. dan Cffroth, M. A. 2004. The Acquisition of Exogenous Algal
Symbionts by An Octocoral After Bleaching. Science 304: 1490-1492.
Mardiansyah. 2008. Keanekaragaman, Populasi dan Distribusi Asteroidea di Pulau
Kelapa Kepulauan Seribu. Skripsi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Moran, P. J. 1986. The Acanthaster planci Phenomenon. Oceanography and
Marine Biologi Annual Review 24: 379-480.
Moran, P. J. 1990. The Acanthaster planci (L.); Biographical Data. Coral Reefs
9:95-96.
50

Napitupulu, P., Tioho, H., dan Windarto, A. 2013. Struktur Populasi Acanthaster
planci di Rataan Terumbu Bagian Selatan Pulau Bunaken. Jurnal Pesisir
dan Laut Tropis. 1:1-8.
Newman, H. 1998. A Thorny Issue: Crown-of-Thorns Controversy. Asian Diver.
6:34-38.
Nybakken, J. W. dan Mark, D. B. 2005. Marine Biologi: An Ecological Approach
Sixth Edition. Pearson Education. San Fransisco
Olson, R. R. 1985. In Situ Culturing of Larvae of the Crown-of-Thorns Starfish
(Acanthaster planci). Mar. Ecol. Prog. Ser. 25:207-210.
Putrajaya, G. 2010. Peran Positif Modal Sosial Nyambang Sebagai Alat Untuk
Mengatasi Peningkatan Kemiskinan Masyarakat Nelayan Pulau Lancang
Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Provinsi DKI
Jakarta. Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok.
Rani, C., Yusuf, S., dan Benedikta, F. D. S. 2007. Preferensi dan Daya Predasi
Acanthaster planci Terhadap Karang Keras. Jurnal Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar. Makassar.
Rani, C., Dahlan, A., dan Asmara, A.. 2011. Status Ekologi Kepadatan Predator
Karang Acanthaster planci LINN: Kaitannya Dengan Kondisi Terumbu
Karang di Perairan Tomia, Taman Nasional Wakatobi. Jurnal Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
Makassar.
Reichelt, R. E., Bradbury, R. H., dan Moran, P. J. 1990. The Crown-Of-Thorns
Starfish, Acanthaster planci, On The Great Barrier Reef. Mathl Comput.
Modelling. 13:45-60.
Romimohtarto, K. dan Sri, J. 2007. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Djambatan. Jakarta
Soemarwoto, O. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.
Djambatan. Jakarta
Sorokin, Y. I. 1995. Coral reef Ecology. Springer-Verlag: Berlin
Subhan, B., Arafat, D., Andono, G., Mursalin, dan Madduppa, H. 2008. Kajian
Tutupan Substrat Dasar di Daerah Terumbu Karang di Pulau Karang
Beras, Pulau Air, Pulau Panggang, dan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Prosiding Seminar dan Konferensi
Nasional 2008 Bidang Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya: Malang.
Suharsono. 1991. Bulu Seribu (Acanthaster planci). Oseana. 16:1-7
51

Suharsono, Tuti, M. I. Y., Giyanto, dan Manogar, R. 2010. Pengaruh Kekeruhan


Terhadap Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Laporan
Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.
Syahnilawati, Sadarun, B., dan Ketjulan, R. 2013 Kelimpahan Acanthaster planci
pada Perairan Terumbu Karang di Pulau Santigi Selat Tiworo Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia. 3:1-12.
Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A., dan Moosa, M. K. 1977. The Ecology of the
Indonesia Seas. Part Two. Periplus Edison: Singapore.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 Tentang Knservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
UNEP. 1993. Monitoring Coral Reefsfor Global Change. Reference Method for
Marine Pollution Studies No 61.
Wakeford, M., Done, T. J., dan Johnson, C. R. 2008. Decadal Trends in A Coral
Community and Evidence of Changed Disturbance Regime. Coral Reefs
27:1–13.
Williams, D. M. 1986. Temporal Variation in the Structure of Reef Slope Fish
Communities (Central Great Barrier Reef): Short-Term Effects of A.
planci Infestation. Mar. Ecol. Prog. Ser. 28:157-164.
52

Lampiran 1. Kerangka Berpikir

Pulau Air sebagai daerah penyangga


Taman Nasional Kepulauan Seribu

Ekosistem terumbu karang


yang harus dijaga

Acanthaster planci adalah salah satu biota


penghuni ekosistem terumbu karang yang
berpotensi mengancam

Kepadatan A. planci dan hubungannya dengan


persentase tutupan karang di Pulau Air

Gambaran kondisi ekosistem


terumbu karang di Pulau Air
53

Lampiran 2. Panduan Pengamatan Persentase Tutupan Karang Hidup (UNEP,


1993)

Kategori Kode Ilustrasi


Hard Coral:
Dead Coral DC
Dead Coral with Algae DCA
Acropora Branching ACB

Encrusting ACE

Submassive ACS

Digitate ACD

Tabulate ACT

Non- Branching CB
Acropora

Encrusting CE
54

Foliose CF

Massive CM

Submassive CS

Mushroom CMR

Millepora CME

Heliopora CHL

Other Fauna:
Soft Coral SC

Sponges SP
55

Zoanthids ZO

Others OT

Algae:
Algal Assemblage AA
Coralline Algae CA
Halimeda HA

Macroalgae MA
Turf Algae TA

Abiotic:
Sand S
Rubble R
Silt SI
Water WA
Rock RCK
Lampiran 3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Pulau Air

Kedalaman Suhu Kecerahan Salinitas DO Kecepatan Kekeruhan


No. Waktu Stasiun Koordinat pH
(m) (oC) (m) (‰) (mg/l) Arus (m/det) (FTU)
17/03/2015 S 05o45’39.9” 3-5 29,7 30,63 7,73 8,67 0.00
1. Barat 15,36 0,31
10:05 WIB E 106o36’06.2” 10-13 29,5 30,20 7,83 8,33 0.00
17/03/2015 S 05o45’59.5” 3-5 29,1 30,77 7,80 8,70 0.00
2. Selatan 14,48 0,11
13:05 WIB E 106o35’43.6” 10-13 28,5 30,77 7,73 8,33 0.00
17/03/2015 S 05o45’49.4” 3-5 28,6 30,93 7,80 7,33 0.00
3. Timur 14,86 0,27
15:10 WIB E 106o36’09.6” 10-13 28,4 30,95 7,77 7,33 0.00
18/03/2015 S 05o45’34.3” 3-5 28,3 30,60 7,73 7,00 0.00
4. Utara 15,47 0,20
09:20 WIB E 106o34’44.0” 10-13 28,3 30,63 7,83 7,33 0.00

56
57

Lampiran 4. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun I (Barat) Pulau Air di Kedalaman 3-5 m
Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan
Lokasi : Pulau Air (Barat)
No. Transek : 1 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’39.9”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o36’06.2”
Kedalaman : 3-5 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 10.05 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 0,00 0,00 4,00 1,33
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 9,20 2,40 2,00 4,53
Submassive ACS 0,00 0,00 9,00 3,00
Tabulate ACT 0,00 2,25 0,00 0,75
Non-Acropora Branching CB 0,65 9,85 19,90 10,13
Encrusting CE 0,00 0,00 0,00 0,00
Foliose CF 0,00 13,00 23,10 12,03
Massive CM 12,50 28.80 10,00 17,10
Submassive CS 0,00 0,00 0,00 0,00
Mushroom CMR 0,00 0,00 0,00 0,00
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 22,35 56,30 68,00 48,88
Dead Coral
Dead Coral DC 15,10 12,70 11,00 12,93
Dead Coral with Algae DCA 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Dead Coral 15,10 12,70 11,00 12,93
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 0,00 0,00
Sponges SP 0,00 0,00 0,00 0,00
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 1,85 0,50 0,00 0,78
Total Other Fauna 1,85 0,50 0,00 0,78
Algae
Assemblage AA 26,00 11,50 0,00 12,50
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 10,75 9,50 11,00 10,42
Total Algae 36,75 21,00 11,00 22,92
Abiotic
Sand S 5,00 1,50 0,00 2,17
Rubble R 18,95 8,00 10,00 12,32
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Abiotic 23,95 9,50 10,00 14,48
58

Lampiran 5. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun I (Barat) Pulau Air di Kedalaman 10-13 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Barat)
No. Transek : 2 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’39.9”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o36’06.2”
Kedalaman : 10-13 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 10.05 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 0,00 0,00 0,00 0,00
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00
Non-Acropora Branching CB 1,75 0,00 0,00 0,58
Encrusting CE 33,40 25,00 30,20 29.53
Foliose CF 15,90 14,70 22,40 17,67
Massive CM 16,20 1,65 1,80 6,55
Submassive CS 7,05 27,85 17,85 17,58
Mushroom CMR 2,00 0,00 2,65 1,55
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 76,30 69,20 74,90 73,47
Dead Coral
Dead Coral DC 0,00 0,00 0,00 00,00
Dead Coral with Algae DCA 10,15 0,00 10,05 6,73
Total Dead Coral 10,15 10,15 10,05 6,73
Other Fauna
Soft Coral SC 4,25 16,50 2,35 7,70
Sponges SP 1,15 7,15 5,90 4,73
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 5, 00 2,60 3,55 3,72
Total Other Fauna 10,40 26,25 11,80 16,15
Algae
Assemblage AA 0,00 0,00 0,00 0,00
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 3,15 0,00 3,25 2,13
Total Algae 3,15 0,00 3,25 2,13
Abiotic
Sand S 0,00 4,55 0,00 1,52
Rubble R 0,00 0,00 0,00 0,00
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Abiotic 0,00 4,55 0,00 1,52
59

Lampiran 6. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun II (Selatan) Pulau Air di Kedalaman 3-5 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Selatan)
No. Transek : 3 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’59.5”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o35’43.6”
Kedalaman : 3-5 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 13.05 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 1,25 0,00 0,00 0,42
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 3,00 0,00 1,00
Submassive ACS 0,00 1,50 0,00 0,50
Tabulate ACT 0,25 1,00 0,00 0,42
Non-Acropora Branching CB 3,70 6,00 0,00 3,23
Encrusting CE 3,00 0,00 3,75 2,25
Foliose CF 3,50 4,25 0,00 2,58
Massive CM 42,35 24,95 5,45 24,25
Submassive CS 0,00 0,00 0,00 0,00
Mushroom CMR 0,00 0,00 1,45 0,48
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 54,05 40,70 10,65 35,13
Dead Coral
Dead Coral DC 5,00 13,15 0,00 6,05
Dead Coral with Algae DCA 2,00 31,10 69,30 33,80
Total Dead Coral 7,00 43,25 69,30 39,85
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 2,00 0,67
Sponges SP 0,00 0,00 1,05 0,35
Zoanthids ZO 4,50 0,00 0,00 1,50
Others OT 0,00 0,00 0,60 0,20
Total Other Fauna 4,50 0,00 3,65 2,72
Algae
Assemblage AA 0,00 0,00 16,40 5,47
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 0,00 3,50 0,00 1,17
Total Algae 0,00 3,50 16,40 6,63
Abiotic
Sand S 1,00 0,00 0,00 0,33
Rubble R 33,45 12,30 0,00 15,25
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,25 0,00 0,00
Total Abiotic 34,45 12,55 0,00 15,67
60

Lampiran 7. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun II (Selatan) Pulau Air di Kedalaman 10-13 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Selatan)
No. Transek : 4 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’59.5”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o35’43.6”
Kedalaman : 10-13 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 13.05 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 0,00 0,00 0,00 0,00
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00
Non-Acropora Branching CB 0,00 0,60 5,00 1,87
Encrusting CE 7,35 5,55 21,80 11,57
Foliose CF 0,00 0,00 0,00 0,00
Massive CM 10,00 11,40 2,60 8,00
Submassive CS 0,00 5,45 2,30 2,58
Mushroom CMR 0,00 0,00 1,15 0,38
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 17,35 23,00 32,85 24,40
Dead Coral
Dead Coral DC 0,00 0,00 0,00 0,00
Dead Coral with Algae DCA 75,90 30,10 41,00 49,00
Total Dead Coral 75,90 30,10 41,00 49,00
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 3,95 1,32
Sponges SP 6,75 1,65 2,30 3,57
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 0,00 0,65 2,25 0,97
Total Other Fauna 6,75 2,30 8,50 5,85
Algae
Assemblage AA 0,00 0,00 0,00 0,00
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 0,00 5,00 1,85 2,28
Total Algae 0,00 5,00 1,85 2,28
Abiotic
Sand S 0,00 39,60 15,80 18,47
Rubble R 0,00 0,00 0,00 0,00
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,25 0,00 0,00
Total Abiotic 0,00 39,60 15,80 18,47
61

Lampiran 8. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun III (Timur) Pulau Air di Kedalaman 3-5 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Timur)
No. Transek : 5 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’49.4”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o36’09.6”
Kedalaman : 3-5 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 15.10 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 7,00 4,95 4,85 5,60
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00
Non-Acropora Branching CB 2,05 0,00 1,00 1,02
Encrusting CE 0,00 4,75 4,05 2,93
Foliose CF 11,25 27,40 34,70 24,45
Massive CM 17,45 11,65 11,65 13,58
Submassive CS 0,00 0,00 2,55 0,85
Mushroom CMR 0,00 0,00 0,55 0,18
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 37,75 48,75 59,35 48,62
Dead Coral
Dead Coral DC 5,70 18,25 4,90 9,62
Dead Coral with Algae DCA 9,65 3,20 27,45 13,43
Total Dead Coral 15,35 21,45 32,35 23,05
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 0,00 0,00
Sponges SP 0,00 0,00 0,85 0,28
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Other Fauna 0,00 0,00 0,85 0,28
Algae
Assemblage AA 0,00 0,00 0,00 0,00
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 0,00 2,15 0,00 0,72
Total Algae 0,00 2,15 0,00 0,72
Abiotic
Sand S 0,00 0,00 3,95 1,32
Rubble R 15,00 13,50 0,00 9,50
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 31,90 14,15 3,50 16,52
Total Abiotic 46,90 27,65 7,45 27,33
62

Lampiran 9. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada


Stasiun III (Timur) Pulau Air di Kedalaman 10-13 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Timur)
No. Transek : 6 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’49.4”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o36’09.6”
Kedalaman : 10-13 m Tanggal Sampling : 17 Mar 2015 Pukul : 15.10 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 0,00 35,35 0,00 11,78
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 0,00 0,00 0,00
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00
Non-Acropora Branching CB 1,25 1,40 0,00 0,88
Encrusting CE 9,15 4,70 0,00 4,62
Foliose CF 6,00 6,80 9,65 7,48
Massive CM 7,90 0,00 0,00 2,63
Submassive CS 11,10 9,50 12,75 11,12
Mushroom CMR 1,70 2,55 0,00 1,42
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 37,10 60,30 22,40 39,93
Dead Coral
Dead Coral DC 0,00 0,00 0,00 0,00
Dead Coral with Algae DCA 38,95 17,45 77,60 44,67
Total Dead Coral 38,95 17,45 77,60 44,67
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 0,00 0,00
Sponges SP 3,90 0,00 0,00 1,30
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 0,65 0,00 0,00 0,22
Total Other Fauna 4,55 0,00 0,00 1,52
Algae
Assemblage AA 11,00 22,25 0,00 11,08
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 8,40 0,00 0,00 2,80
Total Algae 19,40 22,25 0,00 13,88
Abiotic
Sand S 0,00 0,00 0,00 0,00
Rubble R 0,00 0,00 0,00 0,00
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Abiotic 0,00 0,00 0,00 0,00
63

Lampiran 10. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada
Stasiun IV (Utara) Pulau Air di Kedalaman 3-5 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Utara)
No. Transek : 7 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’34.3”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o34’44.0”
Kedalaman : 3-5 m Tanggal Sampling : 18 Mar 2015 Pukul : 09.20 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 17,85 0,00 0,00 5,95
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 0,00 3,00 3,00 1,67
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 12,50 4,17
Non-Acropora Branching CB 1,00 25,70 25,50 17,40
Encrusting CE 0,00 0,00 0,00 0,00
Foliose CF 27,00 0,00 0,00 9,00
Massive CM 0,00 0,00 18,50 6,17
Submassive CS 0,00 0,00 0,00 0,00
Mushroom CMR 0,00 0,00 0,00 0,00
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 45,85 28,70 58,50 44,35
Dead Coral
Dead Coral DC 22,30 21,00 29,00 24,10
Dead Coral with Algae DCA 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Dead Coral 22,30 21,00 29,00 24,10
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 0,00 0,00
Sponges SP 0,00 0,00 0,00 0,00
Zoanthids ZO 0,00 0,00 0,00 0,00
Others OT 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Other Fauna 0,00 0,00 0,00 0,00
Algae
Assemblage AA 0,00 11,00 0,00 3,67
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 18,60 9,80 0,00 9,47
Total Algae 18,60 20,80 0,00 13,13
Abiotic
Sand S 1,00 14,50 12,50 9,33
Rubble R 12,25 15,00 0,00 9,08
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Abiotic 13,25 29,50 12,50 18,42
64

Lampiran 11. Persentase Tutupan Komponen Penyusun Habitat Terumbu Karang pada
Stasiun IV (Utara) Pulau Air di Kedalaman 10-13 m

Line Intercept Transect (LIT) Lembar Pengamatan


Lokasi : Pulau Air (Utara)
No. Transek : 8 Panjang Transek : 70 m Latitude : 05o45’34.3”
Ulangan ke- : 1, 2, dan 3 Panjang Ulangan : 20 m Longitude : 106o34’44.0”
Kedalaman : 10-13 m Tanggal Sampling : 18 Mar 2015 Pukul : 09.20 WIB
Persentase Tutupan (%) Rata-rata
Kategori Kode
Plot 1 Plot 2 Plot 3 (%)
Life Coral
Acropora Branching ACB 14,00 2,00 3,70 6,57
Encrusting ACE 0,00 0,00 0,00 0,00
Digitate ACD 2,30 0,00 0,00 0,77
Submassive ACS 0,00 0,00 0,00 0,00
Tabulate ACT 0,00 0,00 0,00 0,00
Non-Acropora Branching CB 3,65 2,95 0,00 2,20
Encrusting CE 8,50 0,00 0,00 2,83
Foliose CF 8,05 5,55 0,00 4,53
Massive CM 3,50 12,15 6,65 7,43
Submassive CS 2,75 0,60 4,80 2,72
Mushroom CMR 0,00 0,00 0,65 0,22
Millepora CME 0,00 0,00 0,00 0,00
Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Life Coral 42,75 23,25 15,80 27,27
Dead Coral
Dead Coral DC 3,50 0,00 0,00 1,17
Dead Coral with Algae DCA 38,20 61,20 55,90 51,77
Total Dead Coral 41,70 61,20 55,90 52,93
Other Fauna
Soft Coral SC 0,00 0,00 5,80 1,93
Sponges SP 0,00 11,05 2,40 4,48
Zoanthids ZO 7,85 0,00 8,00 5,28
Others OT 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Other Fauna 7,85 11,05 16,20 11,70
Algae
Assemblage AA 0,00 0,00 0,00 0,00
Coralline CA 0,00 0,00 0,00 0,00
Turf Algae TA 0,00 0,00 0,00 0,00
Macroalgae MA 2,35 0,00 0,00 0,78
Total Algae 2,35 0,00 0,00 0,78
Abiotic
Sand S 5,35 4,50 12,10 7,32
Rubble R 0,00 0,00 0,00 0,00
Silt SI 0,00 0,00 0,00 0,00
Water WA 0,00 0,00 0,00 0,00
Rock RCK 0,00 0,00 0,00 0,00
Total Abiotic 5,35 4,50 12,10 7,32
65

Lampiran 12. Analisis Hubungan Antara Kepadatan Acanthaster planci dan Persentase
Tutupan Karang serta Parameter Fisik Menggunakan PCA SPSS Ver. 20
66

Lampiran 13. Line Intercept Transect (LIT) pada Lokasi Pengamatan (Dok. Pribadi,
2015)

Lampiran 14. Pengambilan Data Lifeform Karang (Dok. Pribadi, 2015)


67

Lampiran 15. Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan (Dok. Pribadi, 2015)

Anda mungkin juga menyukai