Anda di halaman 1dari 79

EKOLOGI BURUNG JULANG EMAS (Rhyticeros undulatus

Shaw, 1881) DI HUTAN SOKOKEMBANG PEKALONGAN


JAWA TENGAH

SKRIPSI

EKA APRILIYANI

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1439 H
EKOLOGI BURUNG JULANG EMAS (Rhyticeros undulatus
Shaw, 1881) DI HUTAN SOKOKEMBANG PEKALONGAN
JAWA TENGAH

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

EKA APRILIYANI
1113095000020

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1439 H

i
EKOLOGI BURUNG JULANG EMAS {Rhyticeros undulatus
Shaw, 1881) DI HUTAN SOKOKEMBANG PEKALONGAN
JAWA TENGAI-I

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Cielar Sarjana Sains
Pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

EKA APRILIYANI
1113095000020

Menyetujui,

Pembimbing
I Pembimbing II

Dr anti. M.Si Narti i nana. M.Si


NI . 19690317 200312 2 001 NIDN. 0331107403

Nengetahui,
Ketua Jurusan Biolop•i
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

. Dasumiati. M.Si
NIP. 19730923 199903 2
002
PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Ekologi Burung Julang Emas {Rhyticeros undulatus Shaw,


1881) di Hutan Sokokembang Pekalongan Jawa Tengah” yang ditulis oleh Eka
Apriliyani, NIM 1113095000020 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam
Sidang Skripsi/Munaqasyah Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 3 Oktober
2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Haryana Strata Satu (S1) Jurusan Biologi.

Menyetujui,

Penguji I Penguji II

Dr. Mege«atnasari Pikoli


asurriiati M.Si
NIP. 19730923 199903 2 NIP. 19720322 200212 2 002
002
Pembimbing II
Pembimbing I

anti. M.Si
NIP. 9690317 200312 2 001
Narti ”na M.Si
NN. 0331107403

Mengetahui,

Dekan Ketua Jurusan Biologi


Sains dan Teknologi Fakultas Sains dan Teknologi
atullah Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

iimiati. M.Si
7208t6 i99903 1 003 NIP. 19730923 199903 2
002
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN SKR1PS1 INI MERUPAKAN HASIL
KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPS1
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN,

1113095000020

iv
ABSTRAK

EKA APRILIYANI. Ekologi Burung Julang Emas (Rhyticeros undulatus


Shaw, 1881) di Hutan Sokokembang Pekalongan, Jawa Tengah. Jurusan
Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dibimbing oleh Dr. Fahma Wijayanti dan Narti
Fitriana, M.Si. 2017.
Julang emas merupakan burung yang dapat menjadi bioindikator dan mempunyai
peran dalam proses regenerasi hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kepadatan populasi dan karakteristik habitat julang emas di Hutan Sokokembang
Pekalongan Jawa Tengah. Pengambilan data julang emas menggunakan metode
Variable Circular Plot (VCP), data karakteristik habitat diperoleh dengan
pengukuran faktor lingkungan meliputi suhu, kelembapan udara, intensitas
cahaya, dan kecepatan angin, serta analisis vegetasi dengan kuadran 20 m x 20 m
pada habitat pencarian pakan (foraging site), habitat bertengger (roosting site),
dan habitat bersarang (nesting site). Analisis data meliputi kepadatan individu,
pola persebaran, analisis vegetasi, dan Principal Component Analysis (PCA).
Julang emas yang dijumpai di empat stasiun pengamatan di Hutan Sokokembang
adalah 20 ± 1,2 individu. Kepadatan populasi julang emas di Hutan Sokokembang
adalah 3 individu/km2 dan memiliki pola persebaran mengelompok (Indeks
Persebaran > 0). Estimasi jumlah individu julang emas di Hutan Sokokembang
adalah ±150 individu. Karakteristik habitat julang emas di Hutan Sokokembang
terdiri atas komposisi vegetasi 14 jenis pohon dari 8 famili. Jenis pohon dengan
INP tertinggi adalah fikus mbulu (Ficus annulata) dengan Indeks Nilai Penting
(INP) sebesar 54%, kemudian fikus krandan (Ficus sp1.) dengan nilai INP 46%,
dan fikus bulu so (Ficus globosa) dengan nilai INP 32%. Terdapat 9 jenis pohon
pakan, 10 jenis pohon bertengger, dan 1 jenis pohon bersarang yang dimanfaatkan
julang emas di Hutan Sokokembang. Berdasarkan hasil Principal Component
Analysis (PCA), kecepatan angin dan intensitas cahaya merupakan faktor
flingkungan yang memiliki korelasi dengan kepadatan julang emas di Hutan
Sokokembang.
Kata Kunci : Burung, Habitat, Julang emas, Kepadatan populasi, Sokokembang

v
ABSTRACT

EKA APRILIYANI. The Ecology of Wreathed Hornbill (Rhyticeros


undulatus Shaw, 1881) in Sokokembang Forest Pekalongan Central Java.
Undergraduate Thesis. Departement of Biology, Faculty of Science and
Technology, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Advised
by Dr. Fahma Wijayanti, M.Si and Narti Fitriana, M.Si. 2017.
Wreated hornbill are birds species which can be bioindicator and have a role in
forest regeneration. This study aimed to estimate population density of wreated
hornbill and to identified habitat characteristics of wreated hornbill in
Sokokembang Forest Pekalongan, Central Java. This research used Variable
Circular Plot (VCP) method, habitat characteristics data obtained by measure the
environmental factors such as temperature, humidity, light intensity, wind speed,
and vegetation analysis with 20 m x 20 m plot at foraging site, roosting site, and
nesting site. Data analysis includes individual density, distribution pattern,
vegetation analysis, and Principal Component Analysis (PCA). Wreated hornbill
that was found at four observation stations in Sokokembang Forest are 20 ± 1,2
individuals. The population density of wreated hornbill in the Sokokembang
Forest is 3 individuals / km2 and has a clustered distribution pattern (Distribution
Index > 0). It is estimated that wreated hornbill in Sokokembang Forest are ± 150
individuals. Characteristic of wreated hornbill habitat in Sokokembang Forest
consists of vegetation composition of 14 species from 8 families. Types of trees
with the highest INP were ficus mbulu (Ficus annulata) (INP 54%), ficus krandan
(Ficus sp1.) (INP 46%), and ficus bulu so (Ficus globosa) (INP 32%). There are 9
types of foragging trees, 10 species of roasting trees, and 1 nesting tree species
used by wreated hornbill in Sokokembang Forest. Based on PCA, wind speed and
light intensity are environmental factors that have a correlation with population
density of wreated hornbill in Sokokembang Forest.
Key words : Bird, Habitat, Population density, Sokokembang, Wreathed
hornbill

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT sang Maha Pemberi Rahmat yang

senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia kepada semua makhluk-Nya tanpa

terkecuali, serta memberikan penulis kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

beserta keluarga dan sahabatnya. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka

memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) pada Jurusan

Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan judul “Ekologi Burung Julang Emas (Rhyticeros undulatus Shaw,

1881) di Hutan Sokokembang Pekalongan Jawa Tengah”. Penulis menyadari

masih banyak kekurangan dalam proses penulisan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini

didukung oleh berbagai pihak, oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada:

1. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun

materil dan keluarga besar yang telah memberikan semangat dan dukungan

selama proses penyelesaian skripsi ini.

2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Dr. Dasumiati, M.Si dan Etyn Yunita, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris

Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

v
4. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan, ilmu, masukan, dukungan, serta banyak waktu untuk membantu

penulis selama penelitian hingga penulisan skripsi.

5. Narti Fitriana, M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu

untuk memberi masukan, ilmu, bimbingan, serta dukungan selama penelitian

hingga penulisan tugas akhir penelitian.

6. Dr. Dasumiati, M.Si dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si selaku dosen

penguji sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran dalam

penulisan skripsi ini.

7. Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si dan Walid Rumblat, M.Si selaku dosen penguji

yang telah memberikan banyak masukan dan saran dalam seminar proposal

dan seminar hasil.

8. Segenap dosen pengajar Jurusan Biologi yang telah mendidik penulis selama

menuntut ilmu di Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan seluruh civitas akademik Fakultas Sains dan

Teknologi yang banyak membantu selama proses perkuliahan.

9. BIDIKMISI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan dana

pendidikan kepada penulis selama perkuliahan.

10. Mas Arif Setiawan dan tim Swara Owa yang telah memberikan banyak

bantuan selama penelitian.

11. Bapak Tasuri beserta keluarga yang telah menjadi pemandu penulis selama

pengambilan data di Hutan Sokokembang serta memberikan banyak ilmu.

vi
12. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten

Pekalongan, Perum Perhutani Jawa Tengah dan KPH Pekalongan Timur yang

telah memberikan izin melakukan penelitan di Hutan Sokokembang.

13. Keluarga besar Kelompok Pengamat Burung (KPB) Nectarinia yang telah

memberikan banyak ilmu dan pengamalan kepada penulis sehingga dapat

melakukan penelitian terkait julang emas.

14. Sarah Nuraini, Andika, Endah H. Utari, M Azzam, dan M Ilham, teman

seperjuangan penelitian di hutan Sokokembang yang telah membantu penulis

selama proses survei, penelitian, sampai proses penulisan.

15. Teman-teman Biologist angkatan 2013 yang selalu menjadi teman belajar dan

berjuang selama perkuliahan. Jeanne Isbeany, Nurfauziah, Roscha Amelia,

Eka Syafiqa, Qurrota A’yuni yang senantiasa memberikan dukungan terbaik

selama penelitian hingga proses penulisan skripsi ini.

16. Arga Tyo Prayudha S.T, dan Ahmad Zahiyan yang membantu penulis dalam

visualisasi data penelitian.

Kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik yang disebutkan maupun

yang tidak disebutkan, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Allah Swt.

membalas segala bantuan semua pihak dengan banyak kebaikan.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................................ii
PENGESAHAN UJIAN.......................................................................................iii
PERNYATAAN....................................................................................................iv
ABSTRAK..............................................................................................................v
ABSTRACT............................................................................................................vi
KATA PENGANTAR..........................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Julang Emas (Rhyticeros undulatus Shaw, 1881).............................5
2.2 Ekologi Julang Emas......................................................................................6
2.2.1 Perilaku Pencarian Pakan.........................................................................6
2.2.2 Perilaku Bertengger.................................................................................8
2.2.3 Perilaku Bersarang...................................................................................9
2.3 Populasi Julang Emas.....................................................................................9
2.4 Pola Persebaran............................................................................................11
2.5 Habitat..........................................................................................................12
2.5.1 Habitat Pencarian Pakan Julang Emas...................................................13
2.5.2 Habitat Bertengger Julang Emas............................................................14
2.5.1 Habitat Bersarang Julang Emas.............................................................14
2.6 Profil Vegetasi..............................................................................................16
2.5 Hutan Sokokembang....................................................................................17
2.4 Keistimewaan Burung dan Ekosistemnya dalam Al-Qur’an.......................18
x
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................................21
3.2 Alat dan Bahan.............................................................................................21
3.3 Cara Kerja.....................................................................................................22
3.3.1 Studi Pendahuluan.................................................................................22
3.3.2. Pengambilan Data Populasi Julang Emas.............................................22
3.3.3 Survei Habitat dan Pembuatan Profil Vegetasi......................................23
3.4 Analisis Data................................................................................................24
3.4.1 Kepadatan Populasi Julang Emas..........................................................24
3.4.2 Pola Persebaran......................................................................................25
3.4.3 Indeks Nilai Penting...............................................................................26
3.4.4. Hubungan antara Kepadatan Julang Emas dengan Parameter Habitat
dan Parameter Fisik Lingkungan...........................................................27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Populasi Julang Emas...................................................................................28
4.2 Pola Persebaran Julang Emas.......................................................................31
4.3 Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang..............................................33
4.3.1 Karakteristik Habitat Pencarian Pakan..................................................36
4.3.2 Karakteristik Habitat Bertengger...........................................................38
4.3.3 Karakteristik Habitat Bersarang.............................................................39
4.4 Parameter Fisik Lingkungan........................................................................41
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...................................................................................................44
5.2 Saran.............................................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................47
LAMPIRAN..........................................................................................................52

xi
DAFTAR
Halam
Tabel 1. Populasi Julang Emas di Hutan Sokokembang.....................................28
Tabel 2. Indeks Nilai Penting (INP) Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang34
Tabel 3. Pemanfaatan Pohon dan Fenologi dalam Tahap Perkembangan Buah pada Habitat Julang Emas d

Tabel 4. Hasil Pengukuran Parameter Fisik Lingkungan di Hutan


Sokokembang42
Tabel 5. Hasil Nilai Total Eigenvalue dan Komulatif Keragaman PCA42
Tabel 6. Nilai Eigenvalue Variabel terhadap Komponen Utama43

xii
DAFTAR
Halam
Gambar 1. Dimorfisme Burung Julang Emas.......................................................6
Gambar 2. Peta Citra GIS Hutan Sokokembang Kecamatan Petungkriyono Pekalongan, Jawa Tengah.21
Gambar 3. Profil Habitat Pohon Pakan Julang Emas37
Gambar 4. Profil Habitat Pohon Bertengger Julang Emas39
Gambar 5. Profil Habitat Pohon Bersarang Julang Emas40

xiii
DAFTAR
Halam
Lampiran 1. Data Pengamatan Julang Emas di Hutan Sokokembang................52
Lampiran 2. Data Analisis Vegetasi dan Perhitungan INP Pohon di Habitat Julang Emas di Hutan Sokoke
Lampiran 3. Data Pengukuran Diagram Profil Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang54
Lampiran 4. Hasil Analisis PCA dengan SPSS Ver.2155
Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian di Hutan Sokokembang56

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Julang Emas (Rhyticeros undulatus Shaw, 1881) merupakan burung dari

Famili Bucerotidae yang persebaran di Indonesia meliputi Pulau Sumatra,

Kalimantan, dan Jawa (MacKinnon et al., 2010). Di Indonesia terdapat 13 jenis

burung Famili Bucerotidae dari 62 jenis yang ditemukan di dunia yang dikenal

dengan beberapa nama lokal, yaitu; rangkong, julang, enggang, dan kangkareng

(Sukmantoro et al., 2007). Menurut International Union for Conservation of

Nature (IUCN) tahun 2012 julang emas termasuk dalam kategori Least Concern

(LC), yaitu jenis yang sudah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori

manapun. Convention on International Trade of Endangered Species of Wild

Fauna and Flora (CITES) menyatakan julang emas termasuk dalam kategori

Apendiks II, artinya memiliki resiko kepunahan jika dieksploitasi berlebih.

Seluruh jenis Famili Bucerotidae merupakan satwa yang dilindungi Undang-

Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

Di Pulau Jawa, julang emas teramati di beberapa kawasan konservasi,

diantaranya Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN Baluran, dan TN Meru

Betiri. Julang emas juga teramati di wilayah Gunung Ungaran Jawa Tengah

berdasarkan hasil penelitian Rachmawati (2013) dengan populasi 15 ekor/km 2.

Kondisi habitat julang emas dipengaruhi oleh ketersediaan pohon pakan dan

pohon sarang dengan karakterristik tertentu. Julang emas di Gunung Ungaran

teramati menggunakan jenis pohon Litsea sp. sebagai pohon sarang dan pohon

1
2

dari famili Lauraceae dan Moraceae (Ficus) sebagai sumber pakan

(Rahayuningsih, 2013; Dahlan, 2015). Parameter yang mempengaruhi pemilihan

pohon bersarang julang emas adalah tinggi pohon sarang, diameter pohon, tinggi

bebas cabang pohon, jarak pohon sarang dengan pohon lain dan pohon buah atau

sumber pakan, luas tajuk pohon sarang, luas lubang dan kedalaman sarang, serta

letak sarang dari permukaan tanah (Utoyo, 2017).

Julang emas juga merupakan burung frugiforus yang mempunyai fungsi

ekologis sebagai penyebar biji di hutan. Oleh karena itu, keberadaan julang emas

dapat menjadi bioindikator keadaan hutan yang masih baik yaitu masih

tersedianya pohon berdiameter besar yang berpotensi menyimpan karbon dan

menyediakan sumber daya untuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Bibby et

al., (2000) menyatakan bahwa burung dapat menjadi indikator yang baik bagi

keanekaragaman hayati dan perubahan. Burung sebagai pembawa pertanda

tertentu telah lama diketahui melalui cerita Nabi Sulaiman As. dan burung Hud-

hud, cerita tersebut terdapat dalam al-Qur’an Surat an-Naml ayat 22 yang artinya:

“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah

mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya”.

Berdasarkan hasil dokumentasi Luwak Project pada tahun 2016, julang

emas teramati di Hutan Sokokembang yang terletak di Dusun Sokokembang,

Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa

Tengah. Hutan Sokokembang termasuk dalam tipe hutan sekunder campuran yang

memiliki potensi habitat seluas 65,69 km2 (Setiawan, et al., 2012). Hutan ini

adalah salah satu hutan hujan tropis perbukitan yang masih tersisa di Pulau Jawa.

Habitat julang emas di Hutan Sokokembang didukung dengan potensi


3

ketersediaan pohon pakan dan pohon sarang dengan diameter pohon lebih dari 40

cm dan tinggi lebih dari 15 meter. Beberapa jenis pohon dominan yang berpotensi

dimanfaatkan sebagai habitat julang emas di Hutan Sokokembang adalah

bawangan (Dysoxylum blumei), pohon bendo (Autocarpus elastica), pohon bulu

so (Ficus globosa), pohon cangkok (Messua ferrea), pohon gondang (Ficus

variagata), pohon rau (Dracntomelon rao), dan pohon sentul (Sandoricum

nervosum) (Matalabiogama, 2009; Aryanti, 2014).

Status Hutan Sokokembang adalah hutan lindung terbatas yang dikelola

Perum Perhutani Jawa Tengah dan KPH Pekalongan Timur. Alikodra (2012)

menyatakan kawasan lindung mempunyai peranan penting dalam konservasi

tanah, air, mempertahankan keanekaragaman satwa, tumbuhan, tipe ekosistem,

dan keunikan alam untuk meningkatkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat

sekitarnya. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan al-Hima, yaitu sebuah area

yang berfungsi untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan berbasis pada

komunitas (Mangunjaya & Abbas, 2009). Perlindungan keanekaragaman hayati

perlu dilakukan oleh manusia, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat

Huud ayat 61 yang artinya :

“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai
kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan Selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya
karena itu mohonlah ampunnan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do’a
hamba-Nya)”.”

Populasi julang emas di Hutan Sokokembang memiliki peranan penting bagi

keanekaragaman genetik, pertukaran genetik, penyebaran, dan kelangsungan

hidup jenis ini. Menurut Birdlife International (2006), populasi julang emas

diduga mengalami penurunan karena kerusakan habitat berkelanjutan dan


4

fragmentasi. Ancaman habitat julang emas yang terdapat di kawasan Hutan

Sokokembang menurut Setiawan et al., (2012) diantaranya ekspansi pertanian dan

kegiatan ekstraksi non kayu. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya

tumbuhan yang menjadi sumber pakan, pohon bersarang, serta hilangnya habitat

alami julang emas. Penelitian ekologi julang emas di Hutan Sokokembang dapat

menjadi informasi awal tentang populasi dan karakter habitat julang emas di

Hutan Sokokembang, sehingga dapat mendukung upaya pelestarian habitat dan

strategi konservasi yang dilakukan di Hutan Sokokembang, Pekalongan, Jawa

Tengah.

1.2. Rumusan Masalah

1) Bagaimana kepadatan populasi julang emas di Hutan Sokokembang?

2) Bagaimana karakteristik habitat julang emas di Hutan Sokokembang?

1.3. Tujuan Penelitian

1) Mengetahui kepadatan populasi julang emas di Hutan Sokokembang.

2) Mengetahui karakteristik habitat julang emas di Hutan Sokokembang.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi awal mengenai

keberadaan julang emas, populasi, serta karakter habitatnya di Hutan

Sokokembang. Masyarakat sekitar Hutan Sokokembang dan pengelola Hutan

Sokokembang dapat menjadikan data penelitian ini sebagai referensi untuk

pelestarian julang emas dan habitatnya serta sebagai upaya konservasi Hutan

Sokokembang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Julang Emas (Rhyticeros undulatus Shaw, 1881)

Kelompok burung Famili Bucerotidae mudah dikenali dari ciri khas

berupa paruh besar, melengkung, dan mempunyai struktur tambahan di bagian

atas paruh yang disebut balung (Casque) yang berfungsi sebagai ruang resonansi

suara. Umumnya semua jenis Bucerotidae mempunyai paruh panjang dan ringan

yang bekerja seperti penjepit untuk menangkap atau mengambil makanan.

Bucerotidae tergolong burung berukuran tubuh besar dengan panjang total badan

antara 65-170 cm dengan berat tubuh 290-4200 gram (Kemp, 1995).

Secara umum ciri yang dimiliki julang emas adalah memiliki ukuran besar

(100 cm), punggung, sayap, perut berwarna hitam, dan berekor putih. Menurut

Poonswad (1993), warna dasar pada bulu Bucerotidae adalah hitam, putih atau

abu-abu. Iris mata julang emas berwarna merah, paruh berwarna kuning dengan

tanduk kecil kerenyut, dan kaki berwarna hitam (MacKinnon et al., 2010). Julang

emas mengeluarkan suara “ku-guk” diulang-ulang, pendek, dan parau

(MacKinnon et al., 2010). Julang emas jantan dan betina memiliki perbedaan

morfologi (dimorfisme), jantan memiliki kepala berwarna krem, bulu halus

kemerahan bergantung dari tengkuk, kantung leher kuning tidak berbulu dengan

strip berwarna hitam khas, sedangkan betina memiliki kepala dan leher hitam, dan

kantung leher berwarna biru (MacKinnon et al., 2010).

Julang emas termasuk dalam Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub-

Filum Vertebrata, Klas Aves, Ordo Coraciiformes, Famili Bucerotidae, Genus

5
6

Rhyticeros, dan jenis Rhyticeros undulatus Shaw, 1881 (Sukmantoro et al., 2007).

Famili Bucerotidae mempunyai ciri paruh panjang melengkung ke bawah,

bersuara nyaring, dan kepalanya di topang oleh otot leher yang kokoh (Forshaw, 1998). Famili Buce
Sukmantoro et al., 2007).

(a)

(b)

Gambar 1. Dimorfisme Burung Julang Emas (a) Jantan (b) Betina (Mackinnon et al., 2010)

2.2. Ekologi Julang Emas

2.2.1. Perilaku Pencarian Pakan

Umumnya Bucerotidae melakukan perilaku bersuara (calling), mencari

makan, berjemur, bermain, dan bertengger (Suryadi, 1994; Madrim, 1999).

Perilaku makan adalah aktivitas mulai dari mematuk pakan sampai menelan

pakan. Aktivitas memakan diselingi dengan kegiatan menggosok-gosok paruhnya


7

ke cabang pohon yang dihinggapi dan bergeser ke bagian pohon lain untuk

melanjutkan makan (Madrim, 1999). Burung umumnya aktif mencari makan pada

pagi hari dan sore hari, sementara siang hari mengurangi aktivitas dengan

berteduh dan beristirahat pada pohon sarang atau pohon tempat beristirahat.

Menurut Suryadi (1994), aktivitas makan julang emas berbeda pada pagi,

siang, dan sore hari karena adanya kompetisi dengan frugifora lainya. Pada

umumnya strategi mencari makan julang emas bersifat bimodial yaitu

memulainya pada pagi hari lalu menurun pada siang hari dan meningkat kembali

pada sore hari (Dahlan, 2015). Wilayah jelajah julang emas untuk terbang dan

mencari sumber makanan dapat mencapai 173 km2 menurut penelitian

Keartumsom (2009) di Taman Nasional Khao Yao.

Aktivitas pencarian pakan (foraging) yang dilakukan julang emas pada

tempat tersedianya sumber pakan, khususunya pada pohon pakan yang sedang

berbuah dapat mempengaruhi pola distribusinya menjadi mengelompok. Ada dua

hal yang perlu diperhatikan di dalam foraging yaitu jumlah pakan yang

didapatkan pada masing-masing tempat (benefit) dan waktu yang diperlukan

dalam mendapatkan pakan serta kemungkinan terjadinya predasi (Krebs, 1972).

Krebs (1972) juga menyatakan jika pada suatu habitat pohon pakan yang sedang

berbuah lebih banyak maka organisme yang ada akan tinggal lebih lama dan

mengkonsumsi makanan lebih banyak.

Tumbuhan dari Famili Lauraceae dan Famili Moraceae adalah yang

paling banyak dikonsumsi julang emas (Dahlan, 2015). Julang emas seperti famili

Bucerotidae pada umumnya merupakan jenis burung pemakan buah khususnya


8

buah Ficus (Kinnaird, 1997). Menurut Margawati (1982) burung ini termasuk

frugifora yang memiliki sistem pencernaan tidak merusak biji. Biji-biji akan

keluar bersama kotoran lalu tersebar melalui kotoranya sehingga berperan dalam

membantu penyebaran biji di hutan dan membantu regenerasi hutan secara alami.

Julang emas dapat dikenali dari suara kepakan sayap pada saat terbang.

Setiap jenis Bucerotidae memiliki suara yang mudah dikenali dan berbeda yang

ditimbulkan dari kepakan sayap langsung (Kinnaird & O’Brein, 2007).

Bucerotidae juga melakukan aktifitas calling yang dilakukan oleh setiap

kelompok untuk menandakan keberadaan individu atau kelompok pada suatu

lokasi, aktivitas ini dilakukan pada pagi hari dan sore hari (Noerfahmy, 2008).

Pada saat bersarang, aktivitas calling akan berkurang dan jantan tidak akan

bersuara jika telah mendekati sarang (Klop, 1998).

2.2.2. Perilaku Bertengger

Perilaku bertengger julang emas dipengaruhi oleh kecepatan angin.

Menurut Kinnaird (1997), kecepatan angin berperan ketika julang emas terbang

dengan memanfaatkan aliran udara pada sayapnya yang tidak tertutup oleh bulu

halus. Ketika kecepatan angin cenderung kencang, julang emas akan memilih

bertengger dan terbang kembali ketika kecepatan angin normal. Kebanyakan

famili Bucerotidae akan kembali ke tempat bertengger yang sama atau memiliki

tempat pilihan tetap di dalam wilayah teritorialnya, kedua tempat itu dikunjugi

berselang-seling sepanjang tahun (Kemp, 1995). Perilaku bertengger julang emas

dipengaruhi oleh aktivitas bimodialnya yaitu memulai aktivitas terbang dan

mencari makan pada pagi hari lalu menurun pada siang hari, pada waktu ini julang
9

emas dapat ditemukan bertengger sebelum aktivitasnya meningkat kembali pada

sore hari (Dahlan, 2015).

2.2.3. Perilaku Bersarang

Saat bersarang, Famili Bucerotidae betina berada di dalam lubang sarang

kemudian bersama jantan menutup seluruh lubang dengan lumpur, dan membuat

celah kecil untuk dapat memasukkan pakan yang dibawa oleh jantan di

kerongkonganya kemudian memuntahkannya kepada betina dan anakanya.

Sebelum memberikan makanan kepada betina, jantan akan melakukan pengintaian

di sekitar pohon sarang untuk pengamanan (Kinnaird & O’Brien, 2007).

Bucerotidae dapat menutupi lubang sarangnya dengan menggunakan material

lumpur, kayu yang sudah lapuk, dan kotoranya (Klop, 1998). Fungsi dari

menutupi sarang yaitu untuk melindungi betina dan telur dari predator dan

gangguan dari jenis Bucerotidae lain (Kinnaird & O’Brien, 2007).

Musim bersarang Bucerotidae akan berbeda pada setiap lokasi, beberapa

Bucerotidae bersarang atau berbiak pada bulan Januari dan bulan Mei. Menurut

Kumara (2006), musim hujan merupakan suatu pendorong untuk terjadinya

perkembangbiakan pada Bucerotidae karena terdapat tanah basah yang berfungsi

untuk membangun dinding pada saat bersarang dan sumber makanan melimpah.

Musim kawin Bucerotidae bervariasi pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun.

2.3. Populasi Julang Emas

Populasi adalah sekelompok makhluk hidup dari jenis yang sama (atau

kelompok dari individu yang dapat saling bertukar informasi genetik) dan

mendiami suatu ruang dalam waktu tertentu serta berfungsi sebagai bagian dari
1

komunitas biotik (Krebs, 1999; Odum, 1993). Populasi mempunyai karakteristik

dasar yaitu karakteristik biologi yang merupakan ciri yang dimiliki oleh individu

pembangun populasi dan karakteristik statistik yang merupakan ciri unik sebagai

himpunan individu. Karakteristik populasi yang khas untuk kelompok yang tidak

dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya adalah kepadatan, natalitas (laju

kelahiran), mortalitas (laju kematian), laju kenaikan populasi, umur dan sex ratio

(penyebaran umur), potensi biotik, agregasi, dan bentuk pertumbuhan (Indriyanto,

2012).

Kepadatan populasi adalah besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang

pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam setiap unit luas atau

volume. Kepadatan populasi bervariasi menurut waktu dan tempat. Kepadatan

populasi dapat menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau

ekosistem. Pengaruh suatu populasi terhadap komunitas atau ekosistem sangat

bergantung pada jenis organisme dan jumlah atau kepadatan populasinya

(Indriyanto, 2012).

Jumlah populasi pada ekosistem yang memiliki keanekaragaman tinggi

cenderung dikendalikan secara biologi melalui seleksi alam. Faktor yang

membatasi ataupun yang menguntungkan bagi populasi adalah tidak tergantung

dengan kepadatan populasi suatu jenis maupun kepadatan populasi semua jenis

atau ketergantungan pada kepadatan populasi apabila pengaruhnya pada populasi

merupakan fungsi dari kepadatan. Faktor-faktor iklim sering kali bertindak dalam

faktor yang tidak menentukan kepadatan. Faktor biotik seperti persaingan, parasit,

patogen, predasi seringkali bertindak dalam cara ketergantungan pada kepadatan

(Odum, 1993).
1

Berdasarkan data Birdlife International (2016) ukuran populasi julang

emas secara global belum dihitung, tetapi jenis ini dilaporkan secara lokal umum

di beberapa daerah. Kepadatan populasi julang emas di Gunung Ungaran adalah

15 ekor/km². Hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Nusakambangan

menunjukkan bahwa kepadatan populasi julang emas adalah 2 ekor/km²

(Nugroho 2000), dibandingkan dengan populasi di Pulau Nusakambangan,

kepadatan populasi julang emas di Gunung Ungaran lebih tinggi. Berdasarkan

data Birdlife International (2016), kurang dari 10.000 individu dewasa julang

emas mengalami penurunan dengan perkiraan penurunan individu lebih dari 10%

individu dalam sepuluh tahun atau tiga generasi.

2.4. Pola Persebaran

Penyebaran populasi adalah gerakan individu ke dalam atau ke luar

populasi atau daerah populasi. Julang emas (Rhyticeros undulatus) merupakan

salah satu jenis Bucerotidae di Indonesia yang persebaranya meliputi Pulau

Sumatra, Kalimantan, dan Jawa (Sukmantoro et al., 2007). Setiap individu yang

ada di dalam populasi mengalami penyebaran di dalam habitatnya mengikuti salah

satu diantara tiga pola penyebaran yang disebut pola distribusi intern. Menurut

Odum (1993), tiga pola distribusi interen yang dimaksudkan antara lain distribusi

acak (random), distribusi seragam (uniform), dan distribusi bergerombol

(Clumped). Berikut pengertianya menurut Indriyanto (2012) :

1) Distribusi Acak: Distribusi acak terjadi apabila kondisi lingkungan seragam,

tidak ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi, dan masing-

masing individu tidak memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri.


1

2) Distribusi Seragam: Distribusi seragam terjadi apabila kondisi lingkungan

cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu

anggota populasi. Kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi akan

mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama (Odum, 1993).

3) Distribusi Berkelompok: Distribusi berkelompok merupakan distribusi yang

umum terjadi di alam, baik bagi tumbuhan maupun hewan. Menurut Odum

(1993), faktor terjadinya distribusi bergerombol antara lain: a) Kondisi

Lingkungan jarang yang seragam, meskipun pada area yang sempit.

Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu area akan menghasilkan

perbedaan dalam habitat yang penting bagi setiap organisme yang ada di

dalamnya, karena suatu organisme akan ada pada area yang faktor

ekologinya tersedia dan sesuai bagi kehidupanya. b) Pola reproduksi dari

suatu individu anggota populasi. Bagi hewan yang masih muda harus

menetap dengan induknya merupakan suatu kekuatan yang mendorong

terjadinya distribusi berkelompok. c) Perilaku hewan yang cenderung

membentuk kesatuan atau membentuk koloni serta daya tarik seksual hewan

merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya distribusi berkelompok.

2.5. Habitat

Habitat merupakan suatu serangkaian komunitas-komunitas biotik yang

ditempati oleh populasi kehidupan. Setiap makhluk hidup mempunyai habitat

yang sesuai dengan kebutuhannya. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis

makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh jenis untuk

bertahan hidup dan bereproduksi secara berhasil. Habitat mempunyai fungsi

dalam penyediaan makanan, air, dan perlindungan (Yudhistira, 2002). Menurut


1

Alikodra (2002) tempat hidup satwa liar yang membentuk suatu kesatuan, dapat

dipergunakan untuk mencari makan, berlindung, bermain, dan tempat untuk

berkembang biak.

Burung adalah satwa yang kegiatanya sebagian besar bergerak (terbang)

dan mempunyai area jelajah yang luas pada habitatnya, tetapi mempunyai area

spesifik (tertentu) untuk bersarang, mencari makan, dan istirahat (Poonswad,

1993). Bucerotidae di Asia hanya menempati hutan hujan tropis sebagai

habitatnya, karena hutan hujan tropis menyediakan berbagai macam sumber daya

pohon pakan dan tempat bersarang (Poonswad, 1993). Menurut hasil penelitian

Noor (1998) habitat kelompok burung Bucerotidae adalah hutan alam primer atau

hutan hujan dataran rendah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon penghasil pakan

bagi Bucerotidae yaitu Famili Moraceae (Ficus).

Menurut Indriyanto (2012), habitat suatu organisme pada umumnya

mengandung faktor ekologi yang sesuai dengan persyaratan hidup organisme

yang menghuninya. Oleh karena itu, setiap organisme mempunyai habitat yang

sesuai dengan kebutuhanya. Apabila kondisi habitat berubah hingga di luar

kisaran-kisaran faktor ekologi yang dibutuhkan, maka suatu organisme dapat mati

atau berpindah (migrasi) ke tempat lain. Di dalam suatu habitat, setiap organisme

mempunyai cara tetentu untuk hidup atau disebut relung (niche) dan menunjukkan

peranan fungsional serta posisi suatu organisme dalam ekosistem.

2.5.1. Habitat Pencarian Pakan Julang Emas

Keberadaan dan aktivitas julang emas sangat dipengaruhi oleh keberadaan

vegetasi terutama pohon yang terdapat dalam suatu wilayah hutan. Pohon
1

merupakan vegetasi yang paling banyak digunakan julang emas dalam berbagai

aktivitas seperti mencari makan, bersarang, tidur, istirahat maupun bermain.

Julang emas bersarang dengan cara melubangi batang pohon yang besar dan

memanfaatkan buah Ficus sebagai makanan utamanya (Margawati, 1982). Jenis-

jenis Ficus atau buah ara memegang banyak peran penting bagi banyak jenis

pemakan buah. Suryadi (1994) melaporkan bahwa kepadatan Julang Sulawesi

(Aceros cassidix) dipengaruhi oleh banyaknya Ficus yang berbuah. Di Taman

Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat dilaporkan bahwa buah Ficus

mengundang berbagai hewan pemakan buah seperti Bucerotidae, takur, punai,

kutilang adalah diantara jenis-jenis burung yang mengkonsumsi buah Ficus.

2.5.2. Habitat Bertengger Julang Emas

Vegetasi pohon yang berfungsi sebagai tempat bertengger atau berjemur

(roosting tree) adalah berupa pohon-pohon besar dan mempunyai percabangan

batang yang kuat dan banyak (Adisaputra, 2005). Penelitian Rachmawati (2013)

menunjukkan julang emas yang dijumpai di Gunung Ungaran pada saat

pengamatan menunjukkan aktifitas bertengger di pohon Ficus, Litsea (Wuru).

Beberapa penelitian menunjukkan kelompok rangkong di Asia pada umumnya

teramati di pohon pada ketinggian lebih dari 15 m dengan diameter pohon lebih

dari 40 cm (Mudappa & Kannan, 1997). Menurut Nugroho (2000), julang emas

selalu beraktivitas pada pohon strata 1 dan 2 dengan ketinggian lebih dari 30 m.

2.5.3. Habitat Bersarang Julang Emas

Semua Bucerotidae merupakan burung yang bersarang di dalam lubang

pohon atau di celah permukaan tebing yang berlubang dengan merubah sedikit

(atau bahkan tidak) pada bagian dalamnya, seperti yang dilakukan kerabat
1

dekatnya yaitu Ordo Upupiformes dan Ordo Trogoniformes (Kemp 1995; Klop

1998). Bucerotidae tidak membuat lubang pada pohon, mereka menempati lubang

yang sudah ada, sarang yang dipakai oleh Bucerotidae untuk bersarang adalah

lubang hasil buatan burung pelatuk atau jenis burung lainnya (Poonswad, 1993).

Berdasarkan hasil penelitian dari 69 lubang sarang di Khao Yai National

Park, Thailand, pohon yang paling banyak dipakai Bucerotidae untuk bersarang

yaitu Dipterocarpus dan Eugenia. Bentuk dan ukuran masuk pada sarang sangat

penting, beberapa Bucerotidae menggunakan lubang yang berbentuk oval, bulat

atau memanjang seperti pada pangkong papan (Buceros bicornis) memilih lubang

yang bentuknya memanjang, sedangkan pada julang emas (Rhyticeros undulatus)

ukuran lubang masuknya lebih kecil (Poonswad, 1993). Julang emas di Gunung

Gentong, Jawa Tengah mempunyai karakteristik tinggi pohon, tinggi sarang, dan

DBH pohon yang lebih kecil dibandingkan dengan sarang julang emas di TN

Bukit Barisan, Sumatra Utara. Serta, lebar dan panjang, dan kedalaman sarang

julang emas lebih besar dibandingkan dengan sarang rangkong badak (Utoyo,

2017).

Berdasarkan hasil penelitian Puryanto (1996), karakteristik tempat

bersarang, jumlah, dan penyebaran sarang julang emas (Rhyticeros undulatus) di

Resort KSDA Glenmore, Tumpang Pitu, dan Sukamade, Banyuwangi, Jawa

Timur dipengaruhi oleh keadaan sekitar pohon sarang. Beberapa parameter yang

mempengaruhi pemilihan tempat bersarang Bucerotidae adalah keadaan sekitar

pohon sarang, diameter pohon, tinggi bebas cabang pohon, kelerengan tapak

pohon, jarak pohon sarang dengan pohon lain dan pohon buah, luas tajuk pohon

sarang, dan letak sarang dari permukaan tanah. Parameter yang kurang
1

mempengaruhi pemilihan tempat bersarang burung julang adalah arah lubang

sarang, tinggi total pohon sarang, letak sarang pada salah satu bagian pohon, dan

tinggi tapak pohon dari permukaan laut. Karakteristik tempat bersarang burung

julang dicirikan oleh pohon berdiameter besar (lebih dari 60 cm), tinggi (lebih

dari 20 m), bertajuk sempit, terletak pada tapak yang curam. Sarang terletak lebih

dari 3,9 m dari permukaan tanah.

2.6. Profil Vegetasi

Analisis vegetasi merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui

komposisi dan struktur komunitas tumbuhan pada suatu ekosistem (Southwood &

Henderson, 2000). Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi

jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Struktur

vegetasi diantaranya adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan

tajuk. Analisis vegetasi dapat digunakan untuk mempelajari tegakan hutan, yaitu

pohon dan tumbuhan perintis, serta mempelajari tegakan tumbuhan bawah yaitu

suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan hutan kecuali

permudaan pohon hutan, padang rumput atau alang-alang, dan vegetasi semak

belukar (Odum, 1993).

Teknik pengambilan data tumbuhan dengan metode analisis vegetasi di

antaranya metode kuadrat, kuadran, dan garis sentuh. Metode kuadrat merupakan

teknik survei vegetasi yang paling umum dilakukan untuk semua tipe komunitas

tumbuhan. Petak atau plot yang dibuat dalam teknik sampling ini biasanya berupa

petak tunggal atau beberapa petak. Pembuatan plot atau kuadrat secara umum

digunakan untuk mengetahui komposisi vegetasi dari stratifikasi tertentu


1

tumbuhan dari tingkat semai dan tumbuhan bawah, pancang, tiang, dan pohon

dewasa tergantung pada luas kuadrat yang digunakan (Fachrul, 2007).

2.7. Hutan Sokokembang

Hutan Sokokembang merupakan hutan lindung terbatas yang ditetapkan

berdasarkan SK Menhut Nomor:359/Menhut.II/2004 pada tanggal 1 Oktober 2004

(Pemkab Pekalongan, 2010). Hutan Sokokembang merupakan tipe hutan sekunder

campuran yang memiliki potensial habitat seluas 65,69 km2 (Setiawan et al.,

2012). Hutan ini berstatus sebagai hutan lindung milik Perhutani, wilayah kerja

BKPH Doro, KPH Pekalongan Timur. Hutan ini diduga memiliki karakter hutan

hujan tropis yang tersisa di Pulau Jawa dengan tipe hutan sekunder campuran

dengan ketinggian 250-950 mdpl. (Pemkab Pekalongan, 2010; Setiawan et al.,

2012).

Hutan Sokokembang merupakan hutan yang dikelola oleh KPH

Pekalongan Timur. Memiliki luas 5189,507 ha, terdiri dari kawasan hutan

produksi terbatas dengan tanaman pokok pinus (Pinus mercusii) dan hutan alam

kayu lain atau hutan alam yang berfungsi sebagai hutan lindung terbatas

(Widhiono, 2009). Hutan Sokokembang memiliki variasi kemiringan lahan dari

yang datar, landai, agak curam sampai sangat curam (Maya, 2013). Hutan

tersebut menjadi habitat beberapa jenis primata yaitu owa jawa (H. moloch),

surili (Presbytis comata), lutung (Trachypithecus auratus) dan monyet ekor

panjang (Macaca fasicularis) (Nijman & Setiawan, 2000).

Hutan Sokokembang didiami 51 individu owa jawa yang terbagi menjadi

20 kelompok dengan kepadatan populasi 7,57 ind/km dan belum terhabituasi


1

(Setiawan et al., 2012). Kawasan hutan tersebut didominasi oleh Famili

Moraceae dan Myrtaceae, diantaranya jenis pohon yang dapat ditemukan yaitu

Artocarpus sp., Eugenia sp., Ficus sp., Myristica spp., dan Syzygium sp.

(Matalabiogama 2009; Aryanti, 2014). Hutan Sokokembang merupakan habitat

bagi burung pemangsa diantaranya yaitu elang ular bido (Spilronis cheela), elang

hitam (Ictinaetus malayensis), elang perut karat (Hieraeetus kieneri), elang

brontok (Nisaetus cirrhatus), elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan sikep madu

(Pernis ptilorhynchus) (Nijman & Setiawan, 2000). Ancaman terhadap kawasan

tersebut adalah adanya kegitaan pencarian kayu bakar, ekspansi pertanian, dan

kegiatan ekstraksi non-kayu (Setiawan et al., 2012).

2.8. Keistimewaan Burung dan Ekosistemnya dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa manusia dapat mengambil pelajaran

dari binatang. Sejarah manusia sejak peradaban Nabi Adam AS. telah

menceritakan kemampuan burung menjadi sumber pelajaran bagi manusia. Ketika

anak Nabi Adam, yakni Qobil membunuh saudaranya Habil, Allah SWT

mengutus burung gagak untuk mengajarkanya mengubur mayat saudaranya. Ayat

tersebut mempunyai pesan untuk belajar dari perilaku burung yang sebelumnya

belum pernah dilakukan oleh manusia. Cerita ini dituangkan dalam Surat Al

Maidah (5) ayat 31:

“Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk


diperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana ia seharusnya menguburkan mayat
saudaranya. Qabil Berkata,”Oh, Celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, seingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?”
Maka Jadilah ia termasuk orang yang menyesal.[QS. Al Maidah ayat 31]
Burung menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah terkait penciptaan

sayap pada burung, yang dapat mengembang dan mengatup. Burung adalah jenis
1

binatang yang dapat terbang. Kemampuan burung untuk terbang dengan sayapnya

juga diterangkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 79. Manusia dapat

menggerakkan lengannya ke atas dan ke bawah seperti gerakan burung ketika

terbang tak lebih dari sekali setiap detik. Berikut arti dari Surat An-Nahl ayat 79:

“Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di


angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah.
sesungguhnya pada yang demikian itu benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.”[QS. An Nahl : 79]
Beberapa jenis burung memiliki perilaku terbang dengan bermigrasi secara

terorganisir. Proses migrasi ini merupakan perjalanan panjang yang dilakukan

oleh jenis burung-burung muda. Burung julang emas juga melakukan migrasi

untuk mencari sumber pakan dengan kemampuan terbangnya sampai radius 13

km. Cerita tentang kemampuan burung untuk melakukan migrasi terdapat dalam

Al-Quran dalam kisah Nabi Sulaiman dan burung Hud-hud:

“Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: “Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu
dari negeri Sabasuatu berita penting yang diyakini.[QS. An-Naml ayat 22]
Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sudah diajarkan

oleh Nabi Muhammad SAW dengan mencontohkan adanya dua tanah haram “al-

haromain” yaitu Makkah dan Madinah yang disebut dengan istilah Hima artinya

kawasan yang dilindungi. Hima merupakan kawasan lindung yang dibuat oleh

Nabi Muhammad SAW dan diakui oleh FAO sebagai contoh pengelolaan

kawasan lindung paling tua di dunia (Mangunjaya, 2009). Menurut kaidah fuqoha

Hima dapat diartikan sebagai kawasan konservasi: taman nasional, suaka alam,

hutan lindung, dan suaka margasatwa.


2

Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan untuk melindungi burung

walaupun sekecil burung pipit yang tertuang dalam hadist yang diriwayatkan oleh

Imam Ahmad, adapun redaksi hadits tersebut adalah:

“Setiap orang yang membunuh burung pipit atau binatang yang lebih besar dari
burung pipit tanpa ada kepentingan yang jelas, dia akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah.” Ditanyakan kepada Nabi: “Wahai
Rasulullah, apa kepentingan itu ?” Rasulullah menjawab: “Apabila burung itu
disembelih untuk dimakan, dan tidak memotong kepalanya kemudian dilempar
begitu saja.” [HR. Ahmad]
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Hutan Sokokembang tepatnya di Dusun Sokokembang,DesaKayupuring,K


Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian berlangsung pada bulan Februari-Mei 2017.

Gambar 2. Peta Citra GIS (Global Information System) HutanSokokembang Kecamatan Petungk

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain binokuler, kamera

Cannon Powershoot, termometer, higrometer, anemometer, lux meter, kompas,

Global Positioning System (GPS), stopwatch, roll meter 50 m, klinometer,

gunting, lembar pengamatan, buku catatan, alat tulis, buku panduan lapangan

burung-burung di Sumatra, Jawa, dan Bali.

21
2

3.3. Cara Kerja

Penelitian menggunakan metode survei dengan pemilihan stasiun

pengamatan yang dilakukan secara terpilih (purposive sampling) yaitu pada area

yang memiliki jarak pandang luas dan berdasarkan informasi perjumpaan julang

emas yang didapatkan dari warga, pengelola Hutan Sokokembang, referensi, serta

observasi lapangan secara langsung. Pengambilan data julang emas dilakukan

dengan metode Variable Circular Plot (VCP). Pada lokasi perjumpaan julang

emas dicatat titik koordinat menggunakan GPS kemudian dilakukan analisis

vegetasi dan pembuatan profil habitat. Selanjutnya dilakukan analisis data

populasi julang emas, pola sebaran, analisis vegetasi habitat julang emas, dan

analisis hubungan antara faktor fisik lingkungan dengan kepadatan populasi

julang emas.

3.3.1. Studi Pendahuluan

Penentuan lokasi pengambilan data dilakukan dengan melakukan studi

pendahuluan di beberapa lokasi pengamatan. Stasiun pengambilan data ditentukan

berdasarkan lokasi perjumpaan julang emas yang didapatkan dari informasi warga

sekitar Hutan Sokokembang, pengelola hutan, sumber referensi, dan ditambah

dengan observasi atau pengamatan langsung di Hutan Sokokembang.

3.3.2. Pengambilan Data Populasi Julang Emas

Data yang diambil adalah individu julang emas yang teramati selama

waktu penelitian di stasiun yang telah ditentukan. Pengamatan dilakukan pada

pukul 06.00-11.00 WIB pada pagi hari dan sore hari pukul 15.00-18.00 WIB

(Bibby et al., 2000). Pada umumnya strategi mencari makan julang emas bersifat
2

bimodial yaitu memulainya pada pagi hari lalu menurun pada siang hari dan

meningkat kembali pada sore hari.

Data populasi diperoleh menggunakan metode Variable Circular Plot

(VCP). Metode VCP merupakan metode pengambilan sampel jarak dengan

metode titik hitung yang melibatkan perkiraan jarak aktual ke setiap titik kontak

dengan masing-masing burung (Bibby et al., 2000). Titik hitung merupakan lokasi

pada stasiun pengamatan di beberapa lokasi di dalam transek, panjang transek

dibuat sesuai dengan radius jarak pandang dalam pengamatan untuk

mempermudah dalam pengambilan data. Metode VCP dilakukan dengan cara

berdiri tegak di setiap titik dalam transek dengan radius pengamatan 300 m untuk

titik pengamatan pada area hutan berkanopi dan radius pengamatan 500 m untuk

titik pengamatan pada area terbuka (Bibby et al., 2000). Pengamatan dilakukan

pada pukul 06.00-11.00 WIB pada pagi hari dan sore hari pukul 15.00-18.00

WIB, data yang diambil di antaranya jumlah individu julang emas, jenis kelamin,

aktivitas yang teramati, cara deteksi (lihat/dengar), keterangan habitat, titik

koordinat, dan jarak burung ke pusat titik. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali

pengulangan pada setiap titik penamatan. Selain itu juga dilakukan pengukuran

beberapa data faktor lingkungan meliputi kondisi cuaca, ketinggian, suhu,

kelembaban, intensitas cahaya, dan kecepatan angin.

3.3.3. Survei Habitat dan Pembuatan Profil Vegetasi

Pengambilan data habitat dilakukan menggunakan metode analisis

vegetasi petak tunggal (Fachrul, 2007) pada lokasi habitat mencari makan

(foraging site), habitat bertengger (roosting site), dan habitat bersarang (nesting
2

site) julang emas yang dijumpai selama pengamatan. Pada petak tunggal

dilakukan pengambilan data vegetasi pohon dengan kuadran berukuran 20 x 20 m.

Data yang dicatat dari analisis vegetasi meliputi nama jenis, jumlah individu

setiap jenis, diameter batang setinggi dada (±130 cm di atas permukaan tanah),

lebar dan panjang tajuk, posisi x dan y tegakan pada petak contoh, tinggi bebas

cabang, tinggi total, tinggi posisi bertengger atau makan atau lubang sarang, serta

strata tinggi pohon, tiang dan posisi burung saat bertengger atau makan (Fachrul,

2007). Selanjutnya di setiap lokasi habitat mencari makan, habitat bertengger,

dan habitat sarang julang emas yang ditemukan dibuat profil vegetasi vertikal.

Grafik profil vegetasi dibuat pada Software Adobe Illustrator. Hasil pengukuran

tegakan diproyeksikan untuk tinggi pohon dan arsitektur pohon

secara vertikal.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Kepadatan Populasi Julang Emas

Analisis data kepadatan populasi julang emas dilakukan dengan

menghitung kepadatan populasi di seluruh stasiun pengamatan dan kepedatan

populasi secara keseluruhan. Analisis data yang digunakan untuk menentukan

kepadatan populasi adalah (Buckland et al., 1993 dalam Bibby et al., 2000):

D=

Keterangan :
D = Kepadatan populasi (ekor/km² )
W = Lebar jalur (km)
n = Jumlah individu (ekor)
L = Panjang jalur (km)
2

3.4.2. Pola Persebaran Julang Emas

Menurut Odum (1993), individu yang berada dalam suatu populasi

memiliki pola persebaran yaitu pola sebaran acak (random), pola sebaran seragam

(uniform), dan pola sebaran berkelompok (clumped). Pendugaan pola sebaran

dilakukan dengan pendekatan indeks persebaran sebagai berikut (Ludwig &

Reynolds (1988):

Keterangan:
ID = Indeks persebaran
= Keragaman
= Rata-rata

Kemudian dilakukan uji Chi-Square menggunakan persamaan :

Mu = .
()

Derajat Pengelompokan

− +
=
( )−1

Keterangan :
x2 0,975 =Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang
kepercayaan 97,5%
X2 0,025 =Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan
97,5%
Σxi = Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke –i
n = Jumlah Petak ukur

Standar indeks persebaran (Ip) dihitung menggunakan empat persamaan pada

salah satu kondisi sebagai berikut :

a. Apabila Id ≥ Mc > 1.0 maka dihitung : Ip = 0,5 + 0,5 ( )


2

b. Apabila Id > Mc ≥ 1.0 maka dihitung : Ip = 0,5 ( )


c. Apabila 1,0 > Id > Mu maka dihitung : Ip = - 0,5 ( )
d. Apabila 1,0 > Mu > Id maka dihitung : Ip = - 0,5 + 0,5 ( )

Standar indeks persebaran (Ip) mempunyai interval -1,0 – 1,0 dengan taraf

kepercayaan 95% pada batas 0,5 dan -0,5. Nilai Ip digunakan untuk menunjukkan

kecenderungan pola penyebaran julang emas di Hutan Sokokembang dengan

nilai:

a. Ip = 0, menunjukkan pola sebaran acak (rundom)


b. Ip > 0, menunjukkan pola sebaran mengelompok (clumped)
c. Ip < 0, menunjukkan pola sebaran merata (uniform)

3.4.3. Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting (INP) pohon pada habitat julang emas diperoleh

menggunakan besaran-besaran sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan, 2008):

Kerapatan (ind/ha) =

Kerapatan relatif/KR (%) = 100%

Frekuensi =

Frekuensi Relatif/FR (%) = 100%

Dominansi (m2/ha) =

Dominansi Relatif/DR (%) = 100%

Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR


2

3.4.4. Hubungan antara Kepadatan Julang Emas dengan Parameter Habitat


dan Parameter Fisik Lingkungan
Analisis hubungan antara kepadatan julang emas dengan parameter

lingkungan menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA). Analisis

komponen utama atau PCA merupakan suatu teknik analisis statistik untuk

mentransformasi peubah-peubah asli yang masih saling berkorelasi satu dengan

yang lain menjadi satu set peubah baru yang berkorelasi lagi yang disebut sebagai

komponen utama (Principal Component) (Johnson & Wichern, 1982). Parameter

fisik lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, kelembapan udara relatif,

intensitas cahaya, kecepatan angin, dan ketinggian terbang julang emas.

Analisis PCA dilakukan dengan bantuan software atau perangkat lunak

SPSS (Statistical Product and Service Solution) 21.0. Jumlah komponen utama

yang digunakan sudah memadai jika total keragaman yang dapat diterangkan

berkisar antara 70-80%. Kemudian dilihat nilai eigenvalue tiap variabel terhadap

komponen utama. Apabila nilai korelasi semakin mendekati 1 maka korelasi

semakin kuat. Jika mendekati 0 (nol) maka korelasi antara dua variabel semakin

rendah.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Populasi Julang Emas

Berdasarkan hasil penelitian, dari empat stasiun pengamatan di Hutan

Sokokembang teramati 20 ± 1,2 individu julang emas. Setiap stasiun pengamatan

menunjukkan hasil yang berbeda, di stasiun I teramati 9 ± 1,3 individu, stasiun II

teramati 4 ± 0,5 individu, stasiun III teramati 2 ± 1,7 individu, dan di stasiun IV

teramati 5 ± 1,5 individu. Jumlah individu julang emas paling banyak teramati di

stasiun I, sedangkan julang emas paling sedikit teramati di stasiun III (Tabel 1):

(Lampiran 1).

Tabel 1. Populasi julang emas di Hutan Sokokembang


Rata-Rata
Kepadatan Populasi
Lokasi Pengamatan Jumlah Individu
(Ind/km2)
Teramati
Stasiun I 9 ± 1,3 6
Stasiun II 4 ± 0,5 3
Stasiun III 2 ± 1,7 2
Stasiun IV 5 ± 1,5 3
Keseluruhan 20 ± 1,2 3

Kepadatan individu julang emas berbeda pada masing-masing stasiun.

Kepadatan julang emas tertinggi terdapat di stasiun I dengan jumlah 6

individu/km2. Kepadatan populasi terendah terdapat di stasiun III dengan jumlah 2

individu/km2. Kepadatan populasi di stasiun II dan IV sama yaitu 3 individu/km 2

(Tabel 1). Lokasi pengamatan pada stasiun I dekat dengan hutan primer dan area

berbukit. Berdasarkan penelitian Rahayuningsih dan Nugroho (2013), kepadatan

julang emas diperoleh lebih besar pada titik pengamatan yang dikelilingi areal

yang terbuka dan berbukit. Kondisi habitat yang demikian mendukung julang

28
2

emas untuk melakukan pergerakan dan mencari sumber pakan. Julang emas yang

memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga membutuhkan ruang yang luas untuk

menunjang aktivitasnya.

Sementara itu, lokasi pengamatan stasiun III dekat dengan area

pemukiman warga Desa Sokokembang. Lokasi pengamatan stasiun II dan IV

dekat dengan jalan raya Petungkriyono. Hadiprakarsa dan Winarni (2007)

menerangkan bahwa Bucerotidae berukuran besar seperti rangkong badak,

rangkong papan, rangkong gading, julang dompet, dan julang emas merupakan

jenis Bucerotidae yang mudah beradaptasi dengan perubahan kondisi habitat

seperti kawasan hutan dalam bentuk agroforesty yaitu suatu sistem pengelolaan

hutan terpadu dengan mengombinasikan tumbuhan berkayu dengan tanaman

pertanian. Kemampuan adaptasi julang emas membuat jenis ini teramati terbang

di area habitat fragmentasi berupa area pemukiman warga dan sekitar jalan raya di

Hutan Sokokembang. Ketersediaan sumber pakan di dekat stasiun II dan stasiun

IV juga dapat mempengaruhi keberadaan julang emas di area tersebut. Luas

keseluruhan Hutan Sokokembang adalah sekitar 5000 hektar, dengan kepadatan 3

individu/km2 maka estimasi jumlah individu julang emas di Hutan Sokokembang

adalah ±150 individu.

Kepadatan populasi dapat menentukan pengaruh suatu populasi terhadap

komunitas atau ekosistem (Indriyanto, 2012). Kepadatan populasi julang emas di

Hutan Sokokembang adalah 3 individu/km2. Kepadatan populasi julang emas di

Hutan Sokokembang lebih kecil dibandingkan dengan populasi yang tercatat di

Gunung Ungaran berdasarkan hasil penelitian Rachmawati (2013) yaitu 15

individu/km2. Namun, hasil penelitian kepadatan populasi julang emas di Pulau


3

Nusakambangan oleh Nugroho (2000) yaitu 2 individu/km 2 menunjukkan

kepadatan populasi julang emas di Hutan Sokokembang lebih besar.

Perbedaan nilai kepadatan individu dapat disebabkan oleh beberapa faktor.

Antara lain karena adanya perbedaan struktur dan komposisi vegetasi,

karakteristik setiap kelompok populasi, dan karakteristik habitat. Populasi yang

sehat di alam tergantung juga pada ketersediaan pohon-pohon besar sebagai

tempat bersarang (Utoyo et al., 2017). Menurut Indriyanto (2012), faktor lain

yang berpengaruh terhadap populasi di antaranya ruang dan tersedianya bahan-

bahan yang diperlukan suatu jenis untuk hidupnya, faktor yang sering menonjol

adalah perilaku hewan yang tidak toleran terhadap interaksi interspesifik dan

intrapesifik dalam suatu ekosistem.

Interaksi yang terjadi dalam suatu populasi dapat berupa persaingan

apabila antar organisme baik dari jenis yang sama maupun dari jenis yang berbeda

menggunakan sumber daya alam yang sama. Ketika menggunakan sumber daya

alam, tiap organisme yang bersaing akan memperebutkan sesuatu yang diperlukan

untuk hidup dan pertumbuhanya. Persaingan dapat terjadi di antara individu dari

jenis yang sama atau disebut persaingan intraspesifik. Persaingan juga dapat

terjadi di antara individu dari jenis yang berbeda atau disebut persaingan

interspesifik (Indriyanto, 2012). Di Hutan Sokokembang, julang emas memiliki

interaksi intraspesifik berupa kompetisi dalam memanfaatkan sumber pakan

dengan owa jawa (Hylobates moloch) dan binturong (Arctistic binturong) (Maya,

2013).
3

Selain hubungan kompetisi, julang emas di Hutan Sokokembang juga

mempunyai asosiasi dengan burung elang dalam pemanfaatan strata pohon yaitu

pada strata atas. Barbour et al., (1987) menyatakan asosiasi adalah tipe komunitas

utama yang berkali-kali terdapat pada beberapa lokasi. Banyak spesies

mempunyai kisaran toleransi yang lebar sehingga dapat ditemukan di beberapa

habitat. Berdasarkan penelitian Nijman dan Setiawan (2000), Hutan

Sokokembang merupakan habitat bagi burung pemangsa diantaranya yaitu

Spilronis cheela, Ictinaetus malayensis, Hieraeetus kieneri, Nisaetus cirrhatus,

Nisaetus bartelsi dan Pernis ptilorhynchus. Julang emas juga berasosiasi dengan

beberapa primata lain dalam penggunaan vegetasi pohon diantaranya dengan

lutung (Trachypithecus auratus) dan rekrekan atau surili (Presbytis fredericae)

(Maya, 2013). Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) menyatakan bahwa

asosiasi terdapat pada kondisi habitat yang seragam yang menunjukkan

terdapatnya gambaran mengenai kesamaan kondisi lingkungan secara umum.

4.2. Pola Persebaran Julang Emas di Hutan Sokokembang

Julang emas di Hutan Sokokembang teramati terbang berkelompok antara

2 sampai 5 individu (Lampiran 5). Pola Persebaran julang emas di Hutan

Sokokembang adalah mengelompok dengan Indeks Pengelompokan lebih dari

enol (IP > 0). Indriyanto (2012) menyatakan dalam pola distribusi berkelompok

terdapat kemungkinan individu tersebar secara acak, seragam, ataupun secara

berkumpul. Odum (1993) mengemukakan bahwa agregasi atau pengelompokan

individu atau organisme anggota populasi terjadi karena beberapa hal di

antaranya, menanggapi adanya perubahan cuaca, perbedaan kondisi habitat, akibat

proses reproduksi, dan akibat daya tarik sosial. Apabila individu dari suatu
3

populasi cenderung untuk membuat kelompok dari ukuran tertentu misalnya,

pasangan dalam binatang, dan komunitas vegetatif dalam tumbuhan dapat

menyebabkan penyebaran suatu kelompok dapat mendekati persebaran acak.

Pola persebaran mengelompok julang emas di Hutan Sokokembang

menujukkan kondisi lingkungan yang tidak seragam. Artinya, sumber daya habitat

yang dapat digunakan oleh julang emas hanya terdapat di wilayah tertentu di

Hutan Sokokembang. Hal ini dapat disebabkan karena adanya karakteristik habitat

tertentu yang dapat digunakan oleh julang emas seperti lokasi sarang, jensi pohon

pakan dan pohon sarang, serta perilaku. Julang emas memiliki kebiasaan terbang

berpasangan atau dalam kelompok kecil di atas hutan sambil mengeluarkan suara

dari kepakan sayap yang besar (MacKinnon et al., 2010). Menurut Gill (2007),

dengan berkelompok secara tidak langsung kepekaan individu terhadap dirinya

ataupun kelompok akan meningkat sehingga hal tersebut berguna pada kerjasama

pencarian pakan dan mengurangi resiko predasi.

Menurut penelitian Rahmah et al., (2013), di antara jenis Bucerotidae

yang ditemukan di kawasan PT Kencana Sawit Indonesia Sumatra Barat,

Bucerotidae yang memiliki pola distribusi mengelompok adalah Buceros

rhinoceros, Rhyticeros undulatus dan Rhinoplax vigil, ditribusi acak ditemukan

pada Aceros comatus dan Anthracoceros albirostris kemudian pola distribusi

seragam ditemukan pada Anthracoeros malayanus. Menurut MacKinnon et al.,

(2010), julang emas terbang mencari pohon buah-buahan dan sering berbaur

dengan jenis Bucerotidae lain di pohon yang berbuah. Masa berbuah yang tidak

sama dan persebaran sumber pakan menyebabkan burung famili Bucerotidae

berkumpul bersama dalam suatu kelompok untuk mencari pohon-pohon yang


3

berbuah (Nugroho, 2000). Kinnaird et al., (1998) menyatakan bahwa kelompok-

kelompok julang emas akan berpindah ketika masa buah berakhir ke daerah yang

mempunyai pohon pakan yang sedang mengalami masa puncak berbuah.

4.3. Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang

Komposisi vegetasi pohon di Hutan Sokokembang terdiri dari 8 famili

dengan 14 jenis pohon yang terdapat pada habitat julang emas. Famili Moraceae

adalah yang paling banyak dijumpai. Jenis pohon dengan jumlah terbanyak adalah

pohon Turpinia Spaerocarpa dengan jumlah 3 individu serta pohon Artocarpus

elasticus, Ficus sp1., dan Ficus annulata. sebanyak 2 individu. Jenis pohon lain

yang ditemukan di antaranya F. globosa, F. variegata, Sandoricum koedjape,

Nauclea optusa, Ficus sp2., N. lanceolata, Baringtonia racemosa., Litsea sp., dan

Acer niveum. Berikut nilai Indeks Nilai Penting (INP) dari masing-masing jenis

pohon (Tabel 2): (Lampiran 2).

Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi pada

tingkat pohon (Tabel 2), INP tertinggi dimiliki oleh jenis Ficus. F. annulata.

merupakan jenis yang mendominasi dengan INP sebesar 54%, kemudian Ficus

sp1. dengan nilai INP 46%, dan F. globosa BI. dengan nilai INP 32%. Jenis

lainnya memiliki INP lebih rendah di habitat julang emas dengan nilai INP 12%-

25%. Hal ini sesuai dengan penelitian Matalabiogama (2009), bahwa jenis Ficus

merupakan salah satu jenis pohon yang mendominasi di Hutan Sokokembang.

Dominansi jenis pohon berhubungan sebagai sumber pakan, tempat bertengger,

dan sarang julang emas di Hutan Sokokembang. Rahayuningsih dan Kartijono

(2012) menyatakan bahwa habitat julang emas di Gunung Ungaran mempunyai

vegetasi pohon dengan diameter lebih dari 40 cm dan ketinggian 10-25 m.


3

Menurut Mudappa dan Kannan (1997), kelompok Bucerotidae di Asia umumnya

berada di pohon dengan ketinggian lebih dari 15 m dan diameter lebih dari 40 cm.

Hal tersebut dipengaruhi oleh morfologi Bucerotidae yang berukuran besar

dengan panjang total badan antara 65-170 cm dan berat tubuh antara 290-4200

gram (Kemp, 1995).

Tabel 2. Indeks Nilai Penting (INP) habitat julang emas di Hutan Sokokembang
Jumlah INP
No. Famili Nama Latin Nama Lokal
Individu (%)
1 Calophyllaceae Mesua ferrea L. Cangkok 1 12
2 Lauraceae Litsea sp. Wuru Jamur 1 12
3 Lecythidaceae Baringtonia Putat 18
racemosa L. 1
4 Moraceae Artocarpus
elasticus Blume Bendo 25
2
5 Moraceae Ficus globosa BI. Fikus Bulu so
1 32

6 Moraceae Ficus annulata BI. Fikus Mbulu 54


2
7 Moraceae Ficus sp1. Fikus Krandan 46
2
8 Moraceae Ficus variegata BI. Gondang 12
1
9 Moraceae Ficus sp2. Lembayungan 13
1
10 Meliaceae Sandoricum
koedjape Merr. Kecapi 15
1
11 Rubiaceae Nauclea optusa
Blume Klepu 12
1
12 Rubiaceae Nauclea lanceolata
Blume Picis 12
1
13 Sapindaceae Acer niveum Blume Kembang
Wuru 16
1
14 Staphyleaceae Turpinia
Spaerocarpa Hast Ki Bancet 23
3
Total 19 300

Genus Ficus merupakan jenis yang hidup pada tempat dengan sinar

matahari yang cukup sehingga jarang dapat tumbuh pada hutan yang rapat.

Pemanfaatan Ficus pada umumnya adalah sebagai tanaman pelindung karena


3

mempunyai tajuk yang besar yang dapat menjadi sumber air (Astika, 2003).

Setiap jenis Ficus memiliki jenis kumbang sendiri untuk penyerbukanya dimana

siklus hidup kumbang terdapat pada buah Ficus termasuk perkawinanya, betina

yang dibuahi akan membuat lubang keluar dari buah dan menuju Ficus lain untuk

meletakkan telurnya sehingga membantu penyerbukan (Suwarno, 2006). Pohon

dengan karakteristik seperti Ficus dapat menjadi habitat bagi jenis-jenis burung

lainya. Menurut Sukandar (2015), tajuk yang lebar dan rapat serta daun yang

besar dapat dimanfaatkan burung untuk beristirahat dan menghindari pemangsa,

serta adanya buah dan serangga dapat menjadi sumber pakan bagi burung.

Tabel 3. Pemanfaatan pohon dan keadaan pohon dalam tahap perkembangan


buah pada habitat julang emas di Hutan Sokokembang
Pemanfaatan
No. Nama Latin Nama Lokal Keadaan
Habitat Pohon
1 Artocarpus elasticus Blume Bendo N, F, R TB, BM
2 Mesua ferrea L. Cangkok F, R B
3 Ficus globosa BI. Fikus Bulu so F, R TB
4 Ficus sp1. Fikus F, R B
Krandan
5 Ficus annulata BI. Fikus Mbulu F, R B, Bng
6 Ficus variegata BI. Gondang F, R B
7 Sandoricum koedjape Merr. Kecapi - TB
8 Turpinia Spaerocarpa Hast Ki Bancet R BPB
9 Nauclea optusa Blume Klepu F, R B
10 Ficus sp2. Lembayungan - BPB
11 Nauclea lanceolata Blume Picis - BPB
12 Baringtonia racemosa L. Putat - Bng
13 Litsea sp. Wuru Jamur F, R Bng
Wuru
14 Acer niveum Blume Kembang F, R Bng
Keterangan : F = Foragging site, R = Roasting site, N = Nesting site, TB = Tidak
Berbuah, BM = Berbuah Muda, B = Berbuah, Bng = Berbunga, BPB = Bukan
Pohon Buah

Julang emas di Hutan Sokokembang memanfaatkan 10 jenis pohon

sebagai pohon pakan, tempat bertengger, dan pohon sarang. Jenis pohon yang
3

dimanfaatkan julang emas di antaranya jenis pohon A. elasticus, M. ferrea, F.

globosa, Ficus sp1., F. annulata, F. variegata, T. spaerocarpa, N. optusa, Litsea

sp., dan A. niveum (Tabel 3).

Tumbuhan yang terdapat di habitat julang emas di Hutan Sokokembang

memiliki tahap perkembangan buah yang berbeda yang berbeda (Tabel 3). Dari 14

jenis pohon yang dijumpai pada plot terdapat enam jenis pohon yang sedang

berbuah yaitu, pohon M. ferrea, Ficus sp1., F. variegata, N. optusa, F. annulata,

dan A. elasticus sedang berbuah muda. Pohon yang sedang berbunga terdapat

empat jenis di antaranya F. annulata, B. racemosa, Litsea sp, dan A. niveum.

Terdapat juga tiga jenis pohon yang tidak berbuah yaitu A. elasticus, F. globosa,

dan S. koedjape. Ditemukan juga tiga jenis bukan pohon buah yang terdapat di

habitat julang emas yaitu pohon T. Spaerocarpa, Ficus sp2., dan N. lanceolata.

4.3.1 Karakteristik Habitat Pencarian Pakan

Jenis pohon yang menjadi sumber pakan julang emas di Hutan

Sokokembang di antaranya pohon A. elasticus, M. ferrea, F. globosa, Ficus sp1.,

F. annulata, F. variegata, N. optusa, Litsea sp., dan A. niveum (Lampiran 3).

Pohon jenis Ficus merupakan sumber pakan utama bagi julang emas (Dahlan,

2015). Ketersediaan beberapa jenis pohon Ficus di Hutan Sokokembang dapat

memenuhi kebutuhan pakan julang emas. Nugroho (2000) menyatakan bahwa

semua jenis Bucerotidae menunjukkan tingkat kesukaan yang tinggi pada buah

Ficus. Aktivitas julang emas yang dijumpai di empat stasiun Gunung Ungaran

pada saat pengamatan menunjukkan aktivitas makan di pohon jenis Ficus.


3

Berdasarkan profil vegetasi pohon pada Gambar 2, habitat pohon pakan

julang emas mempunyai ketinggian antara 23 m sampai 27 m. Aktivitas makan

julang emas teramati pada strata 1 dan 2 dengan ketinggian di atas 15 meter. Hal ini berkaitan dengan
kompetisi dengan jenis frugiforus lainnya (Mardiastuti et al., 2001).

(a) (b) (c)

Gambar 3. Profil Habitat Pohon Pakan Julang Emas (a) F.melinocarpa (b) A. elasticus (c) F. annulata

Menurut Affandi dan Winarni (2007), buah dari jenis Ficus merupakan

sumber pakan yang potensial sebagai pakan bagi Bucerotidae. Pemilihan buah

dari jenis Ficus sebagai pakan Bucerotidae disebabkan oleh tingginya kandungan

gula dan kalsium (Wee et al., 2008). Namun, julang emas tidak menjadikan jenis

buah Ficus sebagai pakan utama sebagai strategi pembagian pakan untuk
3

menurunkan tingkat persaingan. Julang emas di Hutan Sokokembang juga

memanfaatkan jenis pohon lain sebagai sumber pakan di antaranya pohon A.

elasticus, M. ferea, N. optusa, Litsea sp., dan A. niveum. Hadiprakarsa (2004)

melaporkan bahwa Bucerotidae jenis julang emas memiliki komposisi pakan yang

lebih beragam baik dari buah yang berasal dari selain pohon Ficus (Famili

Lauraceae, Burseraceae, Clusciaceae, Myristicaceae, Rubiaceae, dan

Anonaceae).

4.3.2. Karakteristik Habitat Bertengger

Jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai tempat bertengger bagi julang

emas adalah A. elasticus, M. ferrea, F. globosa, Ficus sp1., F. annulata., F.

variegata, T. spaerocarpa, N. optusa, Litsea sp., dan A. niveum (Lampiran 3).

Julang emas di Hutan Sokokembang juga teramati bertengger di pohon rau

(Dracntomelon rao) (Lampiran 5).

Berdasarkan profil vegetasi habitat bertengger pada Gambar 3, julang

emas memanfaatkan pohon dengan ketinggian antara 15 meter sampai 27 meter.

Menurut Nugroho (2000), julang emas selalu beraktivitas pada pohon strata 1 dan

2 dengan ketinggian lebih dari 30 m. Profil habitat burung Julang Emas di

Gunung Ungaran adalah didominasi oleh pohon yang memiliki tinggi mencapai

10 meter ke atas sampai 25 meter. Area yang digunakan untuk bertengger yaitu

biasanya mempunyai ketinggian di atas 15 meter (Rahayuningsih, 2013).

Kebanyakan Bucerotidae setiap malam kembali ke tempat bertengger yang sama

atau memiliki tempat pilihan tetap di dalam wilayah teritorialnya yang di antara

kedua tempat itu setiap individu berpindah secara berselang-seling pada interval

tertentu (sesuai musim berbiak) sepanjang tahun (Kemp, 1995).


3

(d)

(b)
(c)

(a) (e)

Gambar 4. Profil Habitat Pohon Bertengger Julang Emas (a) N. optusa (b) Ficus
sp1. (c) B. racemosa (d) A. niveum (e) Litsea Sp.

4.3.3. Karakteristik Habitat Bersarang

Julang emas di Hutan Sokokembang teramati bersarang pada lubang alami

pada batang pohon Artocarpus elasticus Blume (Lampiran 3). Selain pohon

Bendo, jenis pohon wuru kembang (Litsea sp.) juga berpotensi sebagai pohon

sarang (Rachmawati, 2013). Pohon Bendo yang dimanfaatkan sebagai sarang oleh

julang emas di Hutan Sokokembang terletak di Bukit Sepacet pada ketinggian

lebih dari 900 m dpl. Tinggi pohon sarang adalah 35 meter dengan diameter

setinggi dada (DBH) 80 cm (Lampiran 5). Menurut Himmah et al., (2010), salah

satu syarat pohon yang dijadikan sarang julang emas adalah ukuran diameter yang

sesuai ukuran tubuh julang emas yaitu lebih dari 60 cm.

Penelitian Utoyo et al., (2017) menunjukkan julang emas di Taman

Nasional Bukit Barisan teramati bersarang di pohon Terminalia bellirica dan

pohon Hertitera javanica. Sarang julang emas di pohon T. bellirica terletak di


4

percabangan pertama dengan karakteristik DBH pohon 96 cm, tinggi pohon

adalah 40,3 m, tinggi sarang 28,5 m, dan besar lubang sarang 20 x 10 cm. Di

Pohon H. javanica sarang julang emas terletak di percabangan kedua dengan karakteristik DBH poho
tinggi pohon 25,2 m, dan tinggi sarang 14,6 m.

(c)

(d)
(b)

(a)

Gambar 5. Profil Habitat Pohon Bersarang Julang Emas (a) N. lanceolata (b) S. koedjape (c) A. elact

Ketersediaan pohon sarang merupakan salah satu hal penting untuk

mempertahankan eksistensi julang emas di Hutan Sokokembang. Sarang

dibutuhkan julang emas selama masa berbiak untuk bertelur, mengerami, dan

mengasuh julang emas muda (MacKinnon et al., 2010). Lubang sarang di pohon

bendo yang dimanfaatkan julang emas merupakan lubang alami pohon dengan
4

ketinggian 20 m menghadap ke arah timur laut. Di sekitar habitat bersarang

teramati 2 individu julang emas jantan dan betina yang sedang bertengger.

4.4. Parameter Fisik Lingkungan

Pengukuran faktor fisik lingkungan dilakukan di masing-masing stasiun

pengamatan setiap kali perjumpaan dengan julang emas selama waktu

pengamatan. Parameter fisik lingkungan yang diukur di antaranya suhu udara,

kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas cahaya, dan ketinggian stasiun

pengamatan. Data hasil pengukuran faktor fisik lingkungan dapat dilihat pada

Tabel 4: (Lampiran 1).

Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisik lingkungan, Hutan

Sokokembang memiliki suhu udara rata-rata 25,30 ̊C dan kelembapan udara rata-

rata 85,45 %. Selain itu, Hutan Sokokembang memiliki rata-rata kecepatan angin

0,56 m/s dan rata-rata intensitas cahaya 13,46 Klx. Berdasarkan data Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2017, curah hujan di

Kabupaten Pekalongan pada bulan Maret 2017 termasuk kategori normal dengan

curah hujan berkisar antara 100-400 mm.

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisik lingkungan di Hutan Sokokembang

Lokasi Faktor Abiotik (Satuan)


(Stasiun) Suhu Udara Kelembapan Kecepatan Intensitas Ketinggian
(̊C) Udara (%) Angin (m/s) Cahaya (Klx) (m dpl)
1 25,52 ± 1,30 85,64 ± 3,28 0,15 ± 0,53 16,82 ± 5,09 789
2 27,34 ± 5,20 78,77 ± 15,17 0,61 ± 1,33 12,72 ± 5,99 752
3 24,23 ± 0,25 91,67 ± 4,73 1,20 ± 2,08 13,88 ± 4,73 667
4 24,10 ± 0,72 85,73 ± 5,86 0,28 ± 0,49 10,41 ± 6,84 671
Rata-
Rata 85,45 0,56 13,46 719,75
25,30
4

Berdasarkan hasil PCA didapatkan 5 komponen utama (Tabel 5 ). Masing-

masing komponen memiliki nilai keragaman dan nilai total eigenvalue yang

berbeda. Dari kelima komponen hanya 2 memiliki nilai keragaman komulatif

mencapai 72,54 %. Proporsi keragaman yang dianggap cukup mewakili total

keragaman data jika keragaman komulatif mencapai 70%-80% (Wuensch, 2005).

Nilai total eigenvalue dan nilai keragaman komulatif eigenvalue dapat dilihat pada

Tabel 5: (Lampiran 4).

Tabel 5. Hasil nilai total eigenvalue dan komulatif keragaman PCA

Initial Eigenvalue
Komponen Utama % Komulatif
Total % Keragaman
Keragaman
1 2,364 47,274 47,274
2 1,263 25,266 72,540
3 0,747 14,936 87,477
4 0,502 10,049 97,526
5 0,124 2,474 100,000

Variabel parameter lingkungan kecepatan angin dan intensitas cahaya

menujukkan hubungan dengan nilai eigenvalue yang lebih besar (> 0,5)

dibandingkan dengan suhu, kelembapan, dan ketinggian (Tabel 6): (Lampiran 4).

Kecepatan Angin memiliki nilai eigenvalue mencapai 0,834, sedangkan

ketinggian memiliki nilai eigenvalue yaitu -0,712.

Tabel 6. Nilai eigenvalue variabel terhadap komponen utama

Variabel Komponen Utama ke – 2


Suhu -0,293
Kelembapan 0,159
Kecepatan Angin 0,834
Intensitas Cahaya -0,712
Ketinggian 0,351
4

Parameter lingkungan mempengaruhi kehadiran jenis satwa di suatu

kawasan. Berdasarkan hasil PCA, kecepatan angin merupakan salah satu faktor

lingkungan yang memiliki pengaruh terhadap kepadatan individu julang emas di

Hutan Sokokembang (Tabel 6). Kecepatan angin dapat mempengaruhi aktivitas

terbang julang emas. Menurut Kinnaird et al., (1998), suara kepakan sayap julang

emas terjadi akibat adanya aliran udara pada bagian sayapnya yang tidak tertutup

bulu halus seperti burung lainnya. Ketika kecepatan angin cenderung kencang,

julang emas akan memilih untuk bertengger sehingga kecepatan angin yang sesuai

dapat mempengaruhi keberadaan julang emas di Hutan Sokokembang.

Intensitas cahaya juga merupakan faktor lingkungan yang mempunyai

pengaruh terhadap kepadatan individu julang emas di Hutan Sokokembang.

Cahaya matahari juga dapat mempengaruhi aktivitas terbang julang emas.

Menurut Rachmawati (2013), julang emas juga memerlukan sinar matahari untuk

terbang dengan memanfaatkan pergerakan udara ke atas. Intensitas cahaya

mempengaruhi waktu julang emas untuk beraktivitas dilihat dari waktu pagi,

siang, dan sore hari. Pada umumnya aktivitas julang emas bersifat bimodial yaitu

memulainya pada pagi hari lalu menurun pada siang hari dan meningkat kembali

pada sore hari (Dahlan, 2015). Aktivitas terbang dibutuhkan oleh julang emas

untuk bergerak menuju sumber daya pakan dan lokasi bersarang, sehingga

kesesuaian faktor lingkungan berupa kecepatan angin dan intensitas cahaya yang

sesuai dapat menunjang eksistensi julang emas di Hutan Sokokembang.


BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

1) Kepadatan populasi julang emas di Hutan Sokokembang adalah 3

individu/km2.

2) Karakteristik habitat julang emas di Hutan Sokokembang terdiri atas

komposisi vegetasi 14 jenis pohon dari 8 famili. Jenis pohon dengan

Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi adalah fikus mbulu (Ficus annulata

BI.) dengan INP sebesar 54%, kemudian fikus krandan (Ficus sp.) dengan

nilai INP 46%, dan fikus bulu so (Ficus globosa BI.) dengan nilai INP

32%. Terdapat 9 jenis pohon pakan (foraging site), 10 jenis pohon

bertengger (roasting site), dan 1 jenis pohon bersarang (nesting site) yang

dimanfaatkan julang emas di Hutan Sokokembang. Berdasarkan hasil

Principal Component Analysis (PCA), kecepatan angin dan intensitas

cahaya merupakan faktor lingkungan yang memiliki pengaruh terhadap

kepadatan julang emas di Hutan Sokokembang.

5.2. Saran

1) Masyarakat di sekitar Hutan Sokokembang: Menjaga habitat julang emas

di Hutan Sokokembang dengan mencegah adanya perburuan julang emas

dan menebang pohon yang berpotensi menjadi habitat julang emas di

Hutan Sokokembang.

2) Pengelola Hutan Sokokembang (Perum Perhutani KPH Pekalongan Timur

dan BAPPEDA Kabupaten Pekalongan): Melakukan penanaman pohon

yang berpotrensi sebagai habitat julang emas di Hutan Sokokembang serta

44
45

tidak melakukan penebangan pohon pada habitat pencarian pakan dan

habitat bersarang julang emas.

3) Kalangan peneliti: Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang julang emas

dan ekologinya di Hutan Sokokembang.


DAFTAR PUSTAKA

Adisaputra D.P. 2005. Prevalensi dan Perilaku Rangkong di Gunung Ungaran


Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Skripsi: Jurusan Biologi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Affandi, F.R., dan Winarni, N.L. 2007. Preferensi dan Interaksi Burung Rangkong
Terhadap Ketersediaan Buah Ara (Ficus spp) di Way Canguk, Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Jurnal Indonesian
Ornithologists’ Union (IdOU). 5(1): 85-92p.
Alikodra, H.S. 2002. Pengelolaan satwa liar. Jilid 1. Depdikbud. Dirjen
Pendidikan Tinggi. PAU-IPB. Bogor.
Alikodra, H.S. 2012. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan:
Pendekatan Echosophy bagi Penyelamatan Bumi.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Anggraini, K., M. Kinnaird, dan T. O’Brien, 2000. The effects of fruit availability
and habitat disturbance on an assemblage of Sumatran hornbills. Bird
Conservation International, 10: 189–202.
Aryanti, N. A. 2014. Perilaku Owa Jawa (Hylobates moloch) dalam Menggunakan
Daerah Jelajah di Hutan Sokokembang, Pekalongan. Tesis: Program Studi
Ilmu Kehutanan. Pascasarjana Fakultas Kehutanan.Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Astika, G. 2003. Pengaruh Media Arang Sekam terhadap Pertumbuhan Semai
Ficus callosa Willd. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Pekalongan www.data.bmkg.go.id
(Diakses pada tanggal 20 Mei 2017 pukul 20.30 WIB.).
Barbour, M.G., J.H. Burk, dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial plant ecology. Second
Edition. The Banjamin/ Cummings Publishing Co, Inc. California.
Bibby C., Jones M. dan Marsden S. 2000. Teknik-teknik akspedisi lapangan
Survei Burung. SMKG Mardi Yuana Bogor. Bogor.
BirdLife International. 2016. Rhyticeros undulatus. The IUCN Red List of
Threatened Species 2016: http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2016-
3.RLTS.T22682528A92951232.en. (Diakses pada tanggal 11 Januari 2017,
pukul 20.45 WIB)
CITES [Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora]. 2013. Appendices I, II and III. http://www.cites.org. (Diakses
pada tanggal 11 Januari 2017, pukul 20.15 WIB).

46
4

Dahlan, Jamalludin. 2015. Perilaku Julang Emas (Rhyticeros undulatus) Pada Saat
Bersarang. Skripsi: Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Darmawan, M.P. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung pada Beberapa Tipe
Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut Kalimantan Timur. Skripsi.
Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan. IPB. Bogor.
Fachrul, M.F. 2007. Metode sampling bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Forshaw, Joseph, ed. 1998. Encyclopedia of birds, 2nd ed. CA: Academic Press.
San Diego.
Gill, F.B. 2007. Ornithology. Third Edition. W. H. Freeman and Company. New
York.
Hadiprakarsa, Y., dan Winarni, N. L.. 2007. Fragmentasi Hutan di Lampung,
Sumatra vs Burung Rangkong: Mampukah Burung Rangkong Bertahan
Hidup?. Jurnal Indonesian Ornithologists’ Union (IdOU). 5(1): 94-102 p.
Hadiprakarsa, Y., Margaret F. Kinnaird. 2004. Foraging Characteristicts of an
Assemblage of Four Sumatran Hornbill Speciess. Bird Concervation
International 14:S53-S62. United Kingdom.
Himmah, I., S. Utami. dan Karyadi B. 2010. Struktur dan Komposisi Vegetasi
Habitat Julang Emas (Rhyticeros undulatus) di Gunung Ungaran Jawa
Tengah. Jurnal Sains dan Matematika (JSM). 18 (3): 104-110 p.
Indriyanto. 2012. Ekologi hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Johnson, R.A. dan Wichern, D.W. 1982. Applied Multivariate Statistical Analysis.
London : Griffin.
Keartumsom, Y., V. Chimchome, P. Poonswad, A. Pattanavibool, and Natachai P.
2009. Home Range of Great Hornbill (Buceros bicornis L.) and Wreathed
Hornbill (Rhyticeros undulatus, Shaw) in Non-Breeding Season at Khao Yai
National Park, nakhon Ratchasima Province. Journal of Wildlife in
Thailand Vol.18 No1 2011.
Kemp, A.C. 1995. The hornbill. Oxford University Press. New York.
Kinnaird, M.F. 1997. Evidence for effective seed dispersal by the Sulawesi
redknobbed hornbill, Aceros cassidix. Biotropica 30:50–55.
Kinnaird, M.F., & O’Brien. T. G. 2007. The ecology and conservation of Asian
hornbill : farmers of the forest. University of Chicago Press. 315 hlm.
Chicago.
Klop, E. 1998. Research and conservation of the visayan tarictic hornbill
(penelopides panini panini) on panay, the Philippines. Frankfurt Zoological
Society. Philippines.
4

Koneri, R., D.D, Solihin., D, Buchori dan R, Tarumingkeng. 2010.


Keanekaragaman Kumbang Lucanid (Coleoptera: Lucanidae) pada berbagai
Ketinggian Tempat di Hutan Konservasi Uncal Gunung Salak, Jawa Barat.
Jurnal Matematika dan Sains.15(2): 77-84.
Krebs, C.J. 1972. Ecology: The experimental analysis of distribution and
abundance. Harper & Row Piblishing. New York.
Kumara, I. 2006. Karakteristik Spasial Habitat Beberapa Jenis Burung Rangkong
di Taman Nasional Danau Sentarum. Tesis: Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Leps, J. dan P. Smilauer. 2013. Multivaraite analysis of ecological data using
CANOCO. Cambridge University Press. New York.
Ludwig, J.A dan J.F, Reynolds. 1988. Statistical ecology. A primer on methods an
computing. John Wiley and Sons, Inc. Kanada.
MacKinnon, J., K Philips & B Van Balen. 2010. Burung-burung di Sumatera,
Jawa, Bali (Termasuk Sabah, Sarawak, dan Brunei Darussalam).
Puslitbang-Biologi. Jakarta.
Madrim, D. 1999. Studi Habitat Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros
coronatus covexus Temminck 1832) di Taman Wisata dan Cagar Alam
Pananjung Pangandaran Ciamis Jawa Barat. Skripsi: Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mangunjaya, F.M. dan Ahmad Sudirman Abbas. 2009. Khazanah Alam:
Menggali Tradisi Islam untuk Konservasi.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mardiastuti, A., Salim L.O.R, dan Mulyani Y.A. 2001. Perilaku Makan Rangkong
Sulawesi pada Dua Jenis Ficus di Suaka Margasatwa Lambusango, Buton.
Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Margawati. 1982. Mengenal burung engggang. Museum Zoologi Bogor. Bogor.
Matalabiogama. 2009. Seminar Regional Potensi, Ancaman, dan Pengelolaan
Dataran Tinggi Dieng. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Tidak
Dipublikasikan.
Maya, R.I. 2013. Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Bukit
Sirondo, Hutan Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah.
Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mudappa, D.C. dan R. Kannan. 1997. Nest Characteristics and Nesting Success of
the Malabar Gray Hornbill in the Shouthern Ghats, India. Wilson bull. 109
(1) 102-111 p.
Nijman, V. dan I. Setiawan. 2000. Penilaian Sepintas Keragaman Fauna di
Pegunungan Dieng. Laporan Akhir. YPAI/Mitra Dieng/Gibbon Foundation.
Bandung.
4

Noerfahmy, S. 2008. Hubungan Ukuran Kelompok dan Sebaran Pohon Makanan


dengan Luas Daerah Jelajah Pada Enggang Klihingan (Annorhinus galeritus
Reichenbach, 1849) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung.
Skripsi: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Negeri Jakarta. Jakarta.
Noor, A.B. 1998. Studi Beberapa Aspek Ekologi Kelompok Burung Rangkong
(Bucerotidae) Pada Musim Tidak Berbiak di Resort Rowobendo Taman
Nasional Alas Purwo Banyuwangi-Jawa Timur. Skripsi: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugroho, H. 2000. Ekologi Julang Emas (Rhyticeros undulatus, Shaw1811) pada
Musim Tidak Berbiak di Nusakambangan, Jawa Tengah. Bidang Zoologi,
Puslit Biologi-LIPI. Bogor.
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Edisi ketiga. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Pemkab pekalongan [Pemerintah Kababupaten Pekalongan]. 2016. Objek Wisata.
http://pekalongankab.go.id/pariwisata/tujuan-wisata/1417-wisata.html.
(Diakses pada tanggal 11 Januari 2017 pukul 23.14 WIB.).
Poonswad, P. 1993. Aspects of The Biology and Ecology of Some Asian Hornbill.
Didalam: Kemp AC dan Poonswad P. Manual to the Conservation of Asian
Hornbills. Thailand: Faculty of Science. Mahidol University. Bangkok.
Puryanto. 1996. Karakteristik Tempat Bersarang Burung Julang (Rhyticeros
undulatus) di Resort KSDA Glenmore Tumpang Pitu dan Sukamade
Banyuwangi JawaTimur. Skripsi: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rachmawati, Yuliana. 2013. Populasi Julang Emas (Aceros undulatus) di Gunung
Ungaran Jawa Tengah. Skripsi: Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Rahayuningsih, M, dan Nugroho Edi K. 2012. Studi Ekologi dan Profil Habitat
Burung Julang Emas (Aceros Undulatus) sebagai upaya strategi konservasi
di Gunung Ungaran Jawa Tengah. Indonesian Journal of Conservation Vol 2
No.1 ISSN: 2252-9195 Hlm. 14-22.
Rahayuningsih, M, N.E. Kartijomo, A. Retnaningsih, M. Munir & J. Dahlan.
2017. Nest records of Wreathed Hornbill Rhyticeros undulatus in Gunung
Gentong Station, Mount Ungaran Central Java. Journal of Physics:
Conference Series 824: 012061.
Rahma, F.N., Wilson Novarino, dan Jabang Nurdin. 2013. Kelimpahan dan
Distribusi Burung Rangkong (Famili Bucerotidae) di Kawasan PT. Kencana
Sawit Indonesia (KSI), Solok Selatan, Sumatra Barat. Jurnal Biologi
Universitas Andalas. 2 (1) 27-33 p.
5

Maya, R. I. 2013. Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert, 1798) di Bukit
Sirondo, Hutan Sokokembang, Petungkriyono, Pekalongan, Jawa
Tengah.Skripsi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and methods of vegetation
ecology. John Wiley & Son, New York.
Rifai, Mien. A. 2004. Kamus biologi. Balai Pustaka. Jakarta.
Rososoedarmo, S., K. Kartawinata, dan A. Soegiarto. 1986. Pengatar Ekologi.
Bandung: Remadja Rosda Karya.
Setiawan, A., T. S. Nugroho, Y. Wibisono, V. Ikawati, dan J. Sugardjito. 2012.
Population Density and Distribution of Javan Gibbon (Hylobates moloch) in
Central Java, Indonesia. Biodiversitas 13 (1): 23-27.
Soerianegara, I. dan A. Indrawan. 2008. Ekologi hutan Indonesia. Laboratorium
Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Southwood, T.R.E., Henderson P.A. 2000. Ecological methods. 3rd ed. 575p. UK:
Blackwell Science.
Sukandar, Paskal. 2015. Komunitas Burung di Pulau Tidung Kecil Kepulauan
Seribu. Al-Kauniyah Jurnal Biologi 8 (2):66-76
Sukmantoro, W., M Irham, W Novarino, F Hasudungan, N Kemp & M Muchtar.
2007. Daftar burung Indonesia no.2. Bogor: Indonesian Ornithologists’
Union.
Suryadi, 1994. Tingkah Laku Makan Rangkong Sulawesi (Rhyticeros cassidix)
pada Masa Tidak Berbiak di Cagar Alam Tangkono Batuangus Sulawesi.
Skripsi: S1. Biologi FMIPA UI. Jakarta.
Suwarno, Eko. 2006. Studi Keanekaragaman Jenis Beringin (Ficus spp.) di Cagar
Alam Telaga warna, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Fakultas
Kehutanan Institut pertanian Bogor.
Utoyo, L., William Marthy, Richard A. Noske, dan Fahrudin Surahmat. 2017.
Nesting cycle and nest tree characteristics of the Helmeted Hornbill
Rhinoplax vigil, compared to the Wreathed Hornbill Rhyticeros undulatus,
in Sumatran lowland rainforest. Kukila 20 : 12-22.
Wee, Y.C., Tsang KC, Chan YM, Angie NG. Oriental pied hornbill: two recent
failed attemps on mainland Singapore. BirdingASIA.9 (2008): 22-27.
Wuensch, Karl L. 2005. An Introduction to Structural Equation
Modelling.Greenville NC: East Carolina University.
Yudhistira. 2002. Studi populasi dan habitat kehicap Flores di Flores Barat,
Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Skripsi: Jurusan Konservasi
Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
5

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pengamatan Julang Emas di Hutan Sokokembang


No. Stasiun Pengulangan Koordinat Waktu perjumpaan Suhu (̊C) Kelembapan (%) Kec. Angin (mph) Intensitas Cahaya (Lux) Jumlah Ketinggian (m) Aktivitas
1 7:30 22,9 92,5 0,0 7430 2 619 Terbang
2 9:03 24,5 87,4 0,0 8440 2 832 Terbang
3 9:05 24,5 87,4 0,0 19840 5 820 Makan
4 9:06 26,1 85,3 0,0 19840 1 832 Terbang
5 9:07 26,1 85,3 0,0 19840 2 832 Terbang
6 9:12 26,5 82,8 0,0 19840 2 619 Terbang
1
7 9:13 26,5 82,8 0,0 19840 4 832 Terbang
1 S 07̊ 05' 47.2"
8 E 109̊ 43' 27.8" 9:13 26,5 82,8 0,0 19840 1 832 Terbang
9 9:14 26,5 82,8 0,0 19840 1 832 Terbang
10 9:15 26,5 82,8 0,0 19840 1 619 Bertengger
11 9:18 26,5 82,8 0,0 19840 1 832 Terbang
12 2 9:30 23,3 88,9 1,9 8520 1 823 Terbang
13 3 8:45 25,4 89,7 0,0 15740 2 927 Terbang
14 6:50 22,3 91,5 0,0 10640 1 821 Bertengger
15 7:26 27,2 86,7 0,0 14010 2 783 Bertengger
16 1 8:10 35,8 53,9 0,0 17610 1 900 Terbang
17 2 8:54 27,3 67,4 0,3 17640 2 900 Terbang
S 07̊ 06' 28.6"
18 E 109̊ 43' 44.9" 8:45 24 86,2 3,6 8840 2 900 Terbang
19 2 9:30 32,6 70,2 0,4 18288 2 950 Terbang
20 3 7:30 22,2 95,5 0,0 1990 1 713 Bertengger
21 1 S 07̊ 05' 47.2" 9:20 24 86,2 3,6 8840 1 700 Bertengger
22 3 2 E 109̊ 43' 27.7" 6:30 24,2 94,4 0,0 18230 1 700 Terbang
23 3 14:00 24,5 94,4 0,0 14580 4 600 Terbang
24 7:50 23 91,8 0,0 2510 1 850 Terbang
25 8:30 24,5 91,2 0,0 8430 5 900 Terbang
26 1 9:05 24,5 87,4 0,0 19840 2 550 Bertengger
26 4 S 07̊ 04' 10.5" 9:30 23,5 78,4 0,0 19840 1 500 Terbang
27 2 E 109̊ 43' 03.6" 7:45 24,4 76,9 1,3 5910 1 700 Terbang
28 9:25 23,7 87,8 0,3 6380 2 600 Terbang
29 3 8:28 25,1 86,6 0,0 9960 1 600 Terbang
5

Lampiran 2. Data Analisis Vegetasi dan Perhitungan INP Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang

No. Famili Nama Lokal Nama Latin Jumlah Pemanfaatan Habitat Fenologi D DR K KR F FR INP
1 Calophyllaceae Cangkok Mesua ferrea L. 1 F, R B 0,1587 0% 0,0005 6% 0,2 6% 12%
2 Lauraceae Wuru Jamur Litsea sp. 1 F, R Bng 0,1682 0% 0,0005 6% 0,2 6% 12%
3 Lecythidaceae Putat Baringtonia racemosa L. 1 Bng 2,4881 7% 0,0005 6% 0,2 6% 18%
4 Bendo Artocarpus elasticus Blume 2 N, F, R TB, BM 0,9757 3% 0,0010 11% 0,4 11% 25%
5 Ficus Bulu soFicus globosa BI. 1 F, R TB 7,8125 21% 0,0005 6% 0,2 6% 32%
6 Moraceae Ficus KrandanFicus sp. 2 F, R B 8,9819 24% 0,0010 11% 0,4 11% 46%
7 Ficus Mbulu Ficus annulata BI. 2 F, R B, Bng 12,0422 32% 0,0010 11% 0,4 11% 54%
8 Gondang Ficus variegata BI. 1 F, R B 0,1587 0% 0,0005 6% 0,2 6% 12%
9 Meliaceae Kecapi Sandoricum koedjape 1 TB 1,5924 4% 0,0005 6% 0,2 6% 15%
Merr.
10 Klepu Nauclea optusa Blume 1 F, R B 0,1841 0% 0,0005 6% 0,2 6% 12%
Rubiaceae
11 Picis Nauclea lanceolata Blume 1 BPB 0,3225 1% 0,0005 6% 0,2 6% 12%
12 Sapindaceae Wuru Kembang Acer niveum Blume 1 F, R Bng 1,7556 5% 0,0005 6% 0,2 6% 16%
13 Staphyleaceae Ki Bancet Turpinia Spaerocarpa Hast 3 R BPB 0,2112 1% 0,0010 11% 0,4 11% 23%
14 - Lembayungan - 1 BPB 0,5732 2% 0,0005 6% 0,2 6% 13%
5

Lampiran 3. Data Pengukuran Diagram Profil Habitat Julang Emas di Hutan Sokokembang

Panjang Tajuk
Plot No Nama Latin Nama Lokal DBH HABITUS Dxi Dyi H Tebal Tajuk TBBC
B T U S
1 Ficus melinocarpa Bawangan 13,38 Tiang 0 0 22 7 15 2 3 5 2
2 Ficus annulata BI. Ficus Mbulu 254,78 Pohon 13 3 24 14 10 10 8 10 15
3 Artocarpus elasticus Blume Bendo 20,1 Pohon 18 0 24 9 15 2 2 0,5 4
Foraging 4 Antab 6,37 Pancang 13 10 7 1 6 0 0 0 2
5 Turpinia spaerocarpa Hast. Ki Bancet 25,48 Pohon 10 14 13 8 5 2 3 2 3
6 Turpinia spaerocarpa Hast. Ki Bancet 20,92 Pohon 12 14 16 10 6 4 3 5 2
7 Ficus sp. Ficus Krandan 152,87 Pohon 16 20 25 21 4 6 9 10 10
1 Ficus sp. Ficus Krandan 149,68 Pohon 12 1 27 17 10 7 7 5 7
2 Acer niveum Blume Wuru Kembang 66,88 Pohon 13,5 1,2 27 21 6 6 4 5 3
Roasting 3 Baringtonia racemosa L Putat 79,62 Pohon 16 7 25 10 15 5 3 5 4
4 Litsea sp. Wuru Jamur 20,7 Pohon 25 17 15 8 7 3 2 4 4
5 Nauclea optusa Blume Ktepu 21,66 Pohon 1 3 15,5 5,5 10 4 3 3 2
1 Nauclea lanceolata Blume Picisan 28,66 Pohon 3 0 20 12 8 2 6 5 3
2 Sandoricum koedjape Merr. Kecapi 63,69 Pohon 8 7 30 15 15 3 10 6 6
Nesting 3 Artocarpus elasticus Blume Bendo 79,62 Pohon 20 7 35 0 35 0 0 0 0
4 Ficus annulata BI. Ficus Mbulu 95,54 Pohon 24 5 31 15 16 6 12 6 10
5

Lampiran 4. Hasil Analisis PCA dengan SPSS Ver.21.


5

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian di Hutan Sokokembang

Individu Julang Emas Jantan dan Betina Terbang

Individu Julang Emas Jantan bertengger di Pohon Rau


5

Pohon Sarang Julang Emas di Bukit Srimpet

Hutan Sokokembang Nampak dari Bukit Rambut


5

Anda mungkin juga menyukai