Anda di halaman 1dari 91

STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI HULU SUNGAI

ASAHAN PORSEA

SKRIPSI

MISRAN HASUDUNGAN SIREGAR


050805002

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
MEDAN
2009

Misran Hasundungan Siregar : Studi Keanekaragaman Plankton Di Hulu Sungai Asahan Porsea, 2010.
STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI HULU SUNGAI
ASAHAN PORSEA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains

MISRAN HASUDUNGAN SIREGAR


050805002

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
MEDAN
2009
PERSETUJUAN

Judul : STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI HULU


SUNGAI ASAHAN PORSEA

Kategori : SKRIPSI

Nama : MISRAN HASUDUNGAN SIREGAR

NIM : 050805002

Program Studi : SARJANA (S1)

BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


(FMIPA) SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan,
Juli, 2009

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Ing Ternala A. Barus, M. Sc Mayang Sari Yeanny S.Si, M. Si


NIP 131 695 907 NIP 132 206 571

Diketahui/ Disetujui oleh


Departemen Biologi FMIPA USU
Ketua,
Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc
NIP 132 089 421
PERNYATAAN

STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI HULU SUNGAI ASAHAN


PORSEA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2009

MISRAN HASUDUNGAN SIREGAR


050805002
PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena kasih dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesikan penelitian yang berjudul Studi
Keanekaragaman Plankton Di Hulu Sungai Asahan Porsea.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: Ibu
Mayang Sari Yeanny, S. Si, M. Si sebagai dosen pembimbing I dan juga Bapak Prof.
Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses
penulisan dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M. S selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. Nursal,
M. Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan banyak saran dan arahan demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Dra. Elimasni, M. Si selaku dosen penasehat akademik, juga kepada Bapak Prof. Dr.
Dwi Suryanto, M. Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USUdan Ibu Nunuk
Priyani, M. Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan juga kepada
Dekan dan para dosen Pembantu Dekan FMIPA USU serta seluruh staff pengajar dan
pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukirmanto dan Ibu
Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium Biologi FMIPA USU dan
kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi
Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibunda Tercinta: S br Simbolon


yang dengan sabar mendukung pendidikan saya, memberikan doa dan kasih sayang
yang luar biasa sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga
buat Kakakku tersayang Lasriana Sigiro serta adik-adikku: Maston Siregar, Marian
Siregar dan Merlin Siregar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga
besar Siregar dan keluarga besar Simbolon yang telah memberikan motivasi dan
dukungan kepada penulis.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman


seperjuangan: Ocid, Toberni, Sarah, Taripar, Fitria, Erni, Valen, Erna, Bekka, yang
manjadi tim sukses dan semua mahasiswa Biologi USU bidang perairan yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan
kepada tim lapangan: Hariadi Sirait (Bio06), Abangda David Candra Hutauruk, S. Si,
Rosida dan Toberni. Terima kasih juga kepada rekan-rekan stambuk 2005 yang tidak
dapat disebutkan namanya satu persatu, adik-adik Biologi USU stambuk 2006,
stambuk 2007, dan stambuk 2008, abang-abang mahasiswa Biologi USU stambuk
2004 dan stambuk 2003 dan seluruh anggota PKBKB yang telah memberikan
dukungan dan motivasi selama penyusunan skripsi ini. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu kos Jl. Djamin Ginting No. 749 f
Padang Bulan yang telah memberikan dukungan selama penyusunan skripsi ini.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada kakak asuhku Rini
Julia Simarmata, S. Si, sahabat baikku Elfrida Sinaga dan adik asuhku Hotda Agnes
Damanik dan Margaret yang telah banyak membantu dalam segala hal, juga kepada
sahabat hatiku Valentyna Pardede yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan
dan motivasi kepada penulis. Semoga Kasih Allah Bapa Beserta Kita, Amin.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.


Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan yang membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pembaca. Sekian dan terima kasih.
ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian dengan judul Studi Keanekaragaman Plankton di Hulu


Sungai Asahan Porsea. Penelitian ini dilakukan dengan metode Purpossive Random
Sampling yaitu menentukan 5 stasiun penelitian berdasarkan perbedaan aktivitas
masyarakat yang berlangsung di daerah aliran sungai tersebut. Pengambilan sampel
dengan 3 kali ulangan pada masing-masing stasiun penelitian. Tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat keanekaragaman plankton dan hubungan antara faktor fisik
kimia dengan keanekaragaman plankton.

Dari hasil identifikasi diperoleh 5 kelas fitoplankton yang tergolong dalam 20


famili dan 36 genus serta 7 kelas zooplankton yang tergolong dalam 11 famili dan 15
genus. Total kelimpahan tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 9551.020 ind/L
sedangkan total kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 2448.980 ind/L.
Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 3.2015 sedangkan
terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 2.570. Indeks keseragaman tertinggi terdapat
pada stasiun 1 yaitu 0.9714 sedangkan terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu 0.8627.
Dari hasil analisis korelasi diketahui bahwa hubungan antara indeks keanekaragaman
dengan nlai faktor fisik kimia berkisar antara sangat kuat (berkorelasi nyata), kuat dan
sangat rendah.

Kata Kunci : Plankton, Sungai Asahan


STUDY OF DIVERSITY PLANKTON IN THE UPPER COURSE OF
ASAHAN RIVER PORSEA

ABSTRAK

Have been done research with the title of Study of Plankton Diversity in the Upper
Course of Asahan River Porsea. This Research is done with the method of Purpossive
Random Sampling that is determine 5 research station of pursuant to difference of
society activity that goes on at the drainage basin. Intake Sampel by 3 restating times
rill each research station. This research target is to see the diversity of plankton and
the correlation between chemical physical factor with the plankton diversity.

From result identify obtained 5 class fitoplankton which pertained in 20 set of


family and 36 genus and also 7 class zooplankton which included in 11 set of family
and 15 genus. Total highest abundance is obtained at station 2 that is 9551.020 ind / L
while the lowest total abundance at station 4 that is 2448.980 ind / L. The highest
diversity index are at station 1 that is 3.2015 while the lowest are at station 4 that is
2.570. Highest similarity index there are at station 1 that is 0.9714 while the lowest of
similarity index there are at station 3 that is 0.8627. From result of correlation analysis
known that the relation between variety index and chemical physical factor value
range from very strong ( real correlation ), strong and very low.

Keywords: Plankton, Asahan River


DAFTAR ISI

Halaman

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstrac vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Lampiran x

Bab 1. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Hipotesis 3
1.5 Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4


2.1 Ekosistem Sungai 4
2.2 Plankton 5
2.2.1 Defenisi dan Pembagian Plankton 5
2.2.2 Ekologi Plankton 7
2.3 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan 8

Bab 3. Bahan dan Metoda 14


3.1 Waktu dan Tempat 14
3.2 Metode Penelitian 14
3.3 Deskripsi Area 14
3.4 Pengambilan Sampel Plankton 16
3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 16
3.6 Analisa Data 18

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 22


4.1 Hasil Idendtifikasi Plankton 22
4.2 Kelimpahan Plankton 23
4.3 Indeks Keanekaragaman (H) dan indeks keseragaman (E) pada
masing-masing stasiun penelitian 31
4.4 Indeks Similaritas 32
4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan 33
4.6 Analisis Korelasi 41
Bab 5. Kesimpulan dan Saran 44
5.1 Kesimpulan 44
5.2 Saran 45

Daftar Pustaka 46
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 18


Faktor Fisik Kimia Perairan

Tabel 4.1 Plankton yang Ditemukan Pada Setiap Stasiun Penelitian 22

Tabel 4.2 Nilai Kelimpahan (ind/L), Kelimpahan relatif (%), dan Frekuensi
Kehadiran (%) Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian 24

Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman pada
Masing-Masing Stasiun Penelitian 31

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Pengamatan 32

Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun
Penelitian 33

Tabel 4.6 Nilai Korelasi yang Diperoleh Antara Parameter Fisik Kimia Perairan
dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh dari Setiap Stasiun
Penelitian 41
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 48


Lampiran B: Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD5 49
Lampiran C: Bagan Kerja Untuk Mengukur COD 50
Lampiran D: Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO2- 3) 51
Lampiran E: Bagan kerja analisis fospat (PO4 ) 52
Lampiran F: Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran
Temperatur Air 53
Lampiran G: Data Mentah Plankton 54
Lampiran H: Foto-Foto Lokasi Penelitian 58
Lampiran I: Peta Lokasi Penelitian 59
Lampiran J: Foto Beberapa Plankton yang Diperoleh pada Stasiun Penelitian 60
Lampiran K: Contoh Perhitungan 63
Lampiran L: Data Hasil Korelasi Sistem komputerisasi SPSS Ver. 13. 00 64
Lampiran Hasil Analisia Posfat, Nitrat dan COD dari Pusat Penelitian USU
BAB 1

PENDAHULUA

1.1 Latar Belakang

Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dibagi atas dua
yaitu perairan lentik yang disebut juga perairan tenang (misalnya danau, waduk, rawa,
dan telaga) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya
sungai, kanal, dan parit). Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah
dalam kecepatan arus. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta
terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik
umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air
yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004, hlm: 21).

Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara, Indonesia.


Sungai ini mengalir dari mulut Danau Toba, melintasi kota Tanjung Balai dan
berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka (http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Asahan).
Sungai Asahan yang melintasi Desa Porsea memiliki panjang 150 km mengalirkan air
keluar dari Danau Toba sampai ke Selat Malaka. Daerah aliran air keluar dari Danau
Toba selanjutnya akan disebut sebagai daerah aliran hulu Sungai Asahan. Daerah
aliran Sungai Asahan ini adalah suatu daerah yang dibatasi secara topografi dimana
semua air yang berasal dari curah hujan akan mengalir ke Sungai Asahan.
Sebagaimana halnya dengan Danau Toba, di daerah aliran Sungai Asahan juga telah
dipasang beberapa alat ukur cuaca antara lain alat ukur penakar curah hujan dan alat
ukur pencatat tinggi permukaan air sungai (Loebis, et al, 1993, hlm: 9).
Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air
yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002, hlm: 118). Faktor fisik-kimia
lingkungan terutama unsur hara nitrat dan fospat sangat berpengaruh pada
pertumbuhan plankton. Jika terjadi pencemaran oleh kedua unsur tersebut dapat
mengakibatkan peledakan jumlah populasi plankton tertentu yang bisa mengeluarkan
zat toksin kedalam perairan. Hal tersebut sangat merugikan bagi organisme yang ada
disekitarnya (Wibisono, 2005, hlm: 66).

Berbagai aktivitas manusia yang berlangsung di sekitar hulu Sungai Asahan


antara lain: kegiatan domestik, pertambakan ikan, pembuangan limbah industri,
pertanian, dan bendungan aliran sungai dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan
secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan
mempengaruhi keberadaan plankton di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya
juga akan mempengaruhi biota air lainnya. Namun sejauh ini belum diketahui
keanekaragaman plankton di Daerah Hulu Sungai Asahan dan bagaimana hubungan
keanekaragaman tersebut dengan nilai faktor fisik- kimia di Hulu Sungai Asahan.

1.2 Permasalahan

Berbagai aktivitas yang berlangsung di sepanjang Hulu Sungai Asahan


mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang berdampak pada
keanekaragaman plankton. Sejauh ini belum diketahui keanekaragaman plankton di
Hulu Sungai Asahan dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik-kimia
perairan.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:


a. Untuk mengetahui keanekaragaman plankton di Daerah Hulu Sungai Asahan
Porsea.
b. Untuk mengetahui hubungan keanekaragaman plankton dengan faktor fisik-kimia
perairan di Daerah Hulu Sungai Asahan Porsea.
1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman plankton pada setiap stasiun pengamatan.


b. Terdapat hubungan faktor fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman plankton
di Hulu Sungai Asahan Porsea.

1.5 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian adalah:


a. Memberikan informasi tentang keanekaragaman plankton di Hulu Sungai Asahan
Porsea.
b. Memberikan informasi yang berguna bagi instansi terkait tentang kondisi perairan
di Hulu Sungai Asahan Porsea.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi
dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti
dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air tawar
merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik
maupun industri. 2) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang
memadai dan paling murah (Odum, 1994, hlm: 368).

Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas


membedakannya dari air tergenang walaupun keduanya merupakan habitat air. Satu
perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau terbentuk karena
cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu, tetapi danau itu setiap saat
dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering. Sebaliknya sungai terjadi
karena airnya sudah ada, sehingga air itulah yang membentuk dan menyebabkan tetap
adanya saluran selama masih terdapat air yang mengisinya (Ewusie, 1990, hlm: 186).

Ekosistem lotik/ sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona
krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-
tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang
selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang
membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk
aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
sungai yang terjal. Zona rithral dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian
yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari zona rithral), dan hyporithral
(bagian paling akhir dari zona rithral). Setelah melewati zona hyporithral, aliran
sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah daerah yang
relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal juga dibagi
menjadi 3 bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona potamal), metapotamal
(bagian tengah) dan hypopotamal (akhir dari zona potamal) (Barus, 2004, hlm: 82).

2.2 Plankton

2.2.1 Defenisi dan Pembagian Plankton

Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang
pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002, hlm: 118). Kemampuan berenang organisme-
organisme planktonik demikian lemah sehingga pergerakannya sangat dipengaruhi
oleh gerakan-gerakan air (Nybakken, 1992, hlm: 36). Plankton merupakan organisme
perairan pada tingkat trofik pertama yang berfungsi sebagai penyedia energi. Plankton
dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan
zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan (Barus, 2004, hlm: 25).

Menurut Nybakken (1992, hlm: 36) bahwa plankton dapat digolongkan


berdasarkan ukuran, penggolongan ini tidak membedakan antara fitoplankton dan
zooplankton. Golongan plankton ini terdiri atas :
a. Megaplankton yaitu plankton yang berukuran 2.0 mm.
b. Makroplankton yaitu plankton yang berukuran 0.2-2.0 mm.
c. Mikroplankton yaitu plankton yang berukuran 20 m 0.2 mm.
d. Nanoplankton yaitu plankton yang berukuran 2 m- 20m.
e. Ultraplankton yaitu plankton yang berukuran kurang dari 2 m.

Berdasarkan siklus hidupnya plankton dapat dikenal sebagai holoplankton


yaitu plankton yang seluruh siklus hidupnya bersifat planktonik dan meroplankton
yaitu plankton yang hanya sebagian siklus hidupnya bersifat planktonik. Sebenarnya
plankton mempunyai alat gerak (misalnya Flagelata dan Ciliata) sehingga secara
terbatas plankton akan melakukan gerakan-gerakan, tetapi gerakan tersebut tidak
cukup mengimbangi gerakan air sekelilingnya, sehingga dikatakan bahwa gerakan
plankton sangat dipengaruhi oleh gerakan air (Barus, 2004, hlm: 25).

Menurut Basmi (1995, hlm: 23-25) bahwa plankton dapat dikelompokkan


berdasarkan beberapa hal, yakni:
1. Nutrien pokok yang dibutuhkan, terdiri atas:
a. Fitoplankton, yakni plankton nabati (> 90% terdiri dari algae) yang
mengandung klorofil yang mampu mensintesa nutrien anorganik menjadi zat
organik melalui proses fotosintesis dengan energi yang berasal dari sinar
surya.
b. Saproplankton, yakni kelompok tumbuhan (bakteri dan jamur) yang tidak
mempunyai pigmen fotosintesis, dan memperoleh nutrisi dan energi dari sisa
organisme lain yang telah mati.
c. Zooplankton, yakni plankton hewani yang makanannya sepenuhnya tergantung
pada organisme-organisme lain yang masih hidup maupun pertikel-partikel
sisa organisme, seperti detritus dan debris. Disamping itu plankton ini juga
mengkonsumsi fitoplankton.

2 Berdasarkan lingkungan hidupnya terdiri atas:


a. Limnoplankton, yakni plankton yang hidup di air tawar,
b. Haliplankton, yakni plankton yang hidup di laut.
c. Hipalmyroplankton, yakni plankton yang hidup di air payau.
d. Heleoplankton, yakni plankton yang hidupnya di kolam.

3. Berdasarkan ada tidaknya sinar di tempat mereka hidup, terdiri atas:


a. Hipoplankton, yakni plankton yang hidupnya di zona afotik.
b. Epiplankton, yakni plankton yang hidupnya di zona eufotik.
c. Bathiplankton, yakni plankton yang hidupnya dekat dasar perairan yang juga
umumnya tanpa sinar. Baik hipoplankton maupun batiplankton terdiri dari
zooplankton seperti Mysid dari jenis Crustaceae dan hewan-hewan planktonis
yang tidak membutuhkan sinar.
4. Berdasarkan asal usul plankton, dimana ada plankton yang hidup dan berkembang
dari perairan itu sendiri dan ada yang berasal dari luar, terdiri atas:
a. Autogenik plankton, yakni plankton yang berasal dari perairan itu sendiri.
b. Allogenik plankton, merupakan plankton yang datang dari perairan lain.

2.2.2 Ekologi Plankton

Organisme pada tingkat pertama berfungsi sebagai produsen/penyedia energi yang


disebut sebagai plankton. Defenisi umum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
plankton adalah suatu golongan jasad hidup aquatik berukuran mikroskopis, biasanya
berenang atau tersuspensi dalam air. Plankton dibedakan menjadi dua golongan yaitu
fitoplankton dan zooplankton (Wibisono, 2005, hlm: 155).

Fitoplankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang,


mengapung dalam air serta memiliki kemampuan gerak yang terbatas. Fitoplankton
berperan sebagai salah satu bioindikator yang mampu menggambarkan kondisi suatu
perairan, kosmopolit dan perkembangannya bersifat dinamis karena dominansi satu
spesies dapat diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan
kualitas perairan yang tertentu juga. Perubahan kondisi lingkungan perairan akan
menyebabkan perubahan pula pada struktur komunitas komponen biologi, khususnya
fitoplankton (Prabandani et al, 2007, hlm:51).

Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam ekosistem air,


karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan
fotosintesis. Proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton merupakan sumber
nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang membentuk rantai makanan.
Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar pada umumnya terdiri dari
diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru (Barus, 2004, hlm: 26).
Zooplankton merupakan plankton yang bersifat hewani sangat beraneka
ragam dan terdiri dari berbagai macam larva dan bentuk dewasa yang mewakili
hampir seluruh filum hewan. Namun dari sudut ekologi, hanya satu golongan
zooplankton yang sangat penting artinya, yaitu subkelas kopepoda. Kopepoda adalah
Crustaceae holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton,
merupakan herbivora primer (Nybakken, 1992, hlm: 41).

Sebagian besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi


organik, baik berupa fitoplankton maupun detritus. Kepadatan zooplankton di suatu
perairan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Umumnya zooplankton
banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus rendah serta
kekeruhan air yang sedikit (Barus, 2004, hlm: 45).

2.3 Faktor-Faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan

Menurut Nybakken (1992, hlm: 84), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam
ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti
plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik-kimia)
perairan, karena antara faktor abiotik dengan biotik saling berinteraksi. Dengan
mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor
abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas perairan (Barus, 2004, hlm: 45).

Faktor abiotik (fisik kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan plankton


antara lain:

a. Temperatur

Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan
karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-
fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut
0
hukum Vant Hoffs kenaikan temperatur 10 C (hanya pada kisaran temperatur yang
masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari
organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan
udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi
perairan (Brehm et al, 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 45).

Menurut Kinne (1960) dalam Supriharyono (2000, hlm: 22) menyatakan


bahwa kenaikan temperatur diatas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan
laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan aktivitas organisme. Kenaikan
laju metabolisme dan aktivitas ini berbeda untuk setiap spesies, proses, dan level atau
kisaran temperatur.

b. Kecepatan Arus

Arus mempunyai peranan yang sangat penting terutama pada perairan mengalir
(lotik). Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme air, gas-gas terlarut dan
mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air yang mengalir akan bervariasi
secara vertikal. Arus air akan semakin lambat bila semakin dekat ke bagian dasar
sungai (Barus, 2004, hlm: 40).

Michael (1984, hlm: 143), kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari
permukaan dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa
rintangan apapun. Perubahan air seperti itu tercermin dalam modifikasi yang
diperlihatkan oleh organisme yang hidup di dalam air yang mengalir, yang
kedalamannya berbeda.

c. DO (Disolved Oxygen)

DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan.


Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem
perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor
0
suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 0 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l
O2. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun
dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen
terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara
permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen
melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari
organisme aquatik. Kisaran toleransi plankton terhadap oksigen terlarut berbeda-beda
(Barus, 2004, hlm: 57).

Menurut Michael (1984, hlm: 168), oksigen hilang dari air secara alami oleh
adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah
yang miskin oksigen dan kenaikan suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air
0
terdapat pada suhu 0 C, yaitu sebesar 14,16 mg oksigen/liter air. Sedangkan nilai
oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air.

d. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh
organisme dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan organik melalui
proses oksidasi oleh mikroorganisme memerlukan waktu yang cukup lama, lebih
kurang 5 hari. Dalam waktu dua hari, kemungkinan reaksi telah mencapai 50% dan
dalam waktu 5 hari reaksi telah mencapai sedikitnya 75%, hal ini sangat tergantung
pada kerja bakteri yang menguraikannya (Wardhana, 1995, hlm: 90).

Konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong


baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar 5 mg/l O 2 maka
perairan tersebut tergolong baik apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l 20
mg/l O2 menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan untuk
air limbah nilai BOD umumnya lebih dari 100 mg/l (Brower et al, 1990, hlm: 52).
e. COD (Chemycal Oxygen Demand )

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen total yang dibutuhkan dalam proses
oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/L. Dengan mengukur nilai COD maka
akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis
maupun terhadap yang sukar diuraikan secara biologis (Barus, 2004, hlm: 67).

f. pH (Derajat Keasaman)

Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. Nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme aquatik termasuk plankton pada umumnya berkisar
antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa
akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah
akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik
semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme
akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium
dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas normal akan
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme
(Barus, 2004, hlm: 62).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas


pH, dan dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran
pH tanah. Yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan sampelnya yang benar
sehingga nilai pH yang diperoleh benar (Suin, 2002, hlm: 54). Nilai pH air yang
normal adalah netral, yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar,
misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan
pengolahannya sebelum dibuang (Kristanto, 2002, hlm: 73).
g. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis
dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan
dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air
intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat
mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat
berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi
hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air
sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004, hlm: 43).

Menurut Juwana & Romimohtarto (2001, hlm: 54), banyaknya cahaya yang
menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang
peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut,
cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses
fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.

h. Penetrasi Cahaya

Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan


mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air di badan perairan
(Brower et al., 1990, hlm: 62).

Menurut Koesbiono (1979, hlm: 24) pengaruh utama dari kekeruhan adalah
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas
fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 56) menyatakan bahwa, cahaya matahari


tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat
terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya faktor
antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat maupun
mikroorganisma air yang mengakibatkan air menjadi keruh dan susah ditembus oleh
cahaya.

i. Kandungan Nitrit Dan Fospat

Banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama


makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul
yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit
dan fospat (Nybakken, 1992, hlm: 41). Fospat merupakan unsur penting dalam air.
Fospat terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah
dan akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka. Selain itu juga dapat berasal
dari atmosfer bersama air hujan masuk ke sistem perairan ( Barus, 2004, hlm: 70).

Komponen nitrit (NO2) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena
langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO3). Di wilayah perairan neritik yang relatif
dekat dengan buangan industri umumnya nitrit bisa dijumpai, mengingat nitrit sering
digunakan sebagai inhibitor terhadap korosi pada air proses dan pada sistem pendingin
mesin. Bila kadar nitrit dan fospat terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan
bersangkutan mengalami keadaan eutrof sehingga terjadi blooming dari salah satu
jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin. Kondisi seperti itu bisa merugikan hasil
kegiatan perikanan pada daerah perairan tersebut (Wibisono, 2005, hlm: 66).
BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 di Hulu Sungai Asahan
Porsea. Sungai ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas
antara lain: sumber air air untuk kegitatan mandi, cuci, kakus (MCK), tempat
penangkaran ikan dalam keramba, sumber air untuk pertanian, bendungan air untuk
keperluan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan sebagai tempat pembuangan
limbah cair oleh PT. Toba Pulp Lestari.

3.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan


sampel plankton adalah Purposive Random Sampling pada 5 (lima) stasiun
pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 3 (tiga) kali ulangan
pengambilan sampel.

3.3 Deskripsi Area

a. Stasiun 1
Stasiun ini terletak di Desa Parparean, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2607,5 LU & 099 0858,6 BT.
Daerah ini merupakan daerah tanpa aktivitas (kontrol). Substrat pada stasiun ini
berupa lumpur berpasir dan dijumpai vegetasi berupa Bambusa sp, Sida rombifolia ,
dan Eichornia crassipe.

b. Stasiun 2

Stasiun ini terletak di Desa Porsea, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba


0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2636,4 LU & 099 0928,5 BT,
daerah ini dijumpai aktivitas domestik dan pertambakan ikan masyarakat. Substrat
pada stasiun ini berupa lumpur berpasir.

c. Stasiun 3

Stasiun ini terletak di Desa Dolok Nauli, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2625,5 LU & 99 11137 BT.
Disebelah kiri dan kanan sepanjang aliran sungai pada stasiun ini terdapat kegiatan
pertanian seperti ladang tanaman holtikultura (Capsicum sp, Zea mays, Brassica sp,
dan Arachis hypogea) dan persawahan. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur
berpasir.

d. Stasiun 4

Stasiun ini terletak di Desa Siruar, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba


0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 282,1 LU & 99 1215,3 BT.
Daerah ini terdapat pipa pembuangan limbah cair Toba Pulp Lestari (TPL). Substrat
pada stasiun ini berupa lumpur berpasir.
e. Stasiun 5

Stasiun ini terletak di Desa Siruar, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba


0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2829,8 LU & 099 1214,5 BT.
Daerah ini terletak di bendungan Siruar yang dimanfaatkan oleh PT Inalum sebagai
pembagkit listrik tenaga air (PLTA). Substrat pada stasiun ini berupa lumpur berpasir
dan dijumpai vegetasi aquatik seperti Eichornia crassipe dan Ipomea aquatica.

3.4 Pengambilan Sampel Plankton

Sampel air dari permukaan diambil dengan menggunakan ember kapasitas 5 liter
sebanyak 25 liter , kemudian dituang kedalam plankton net (jaring plankton). Sampel
plankton yang terjaring akan terkumpul dalam bucket yang selanjutnya dituang
kedalam botol film dan diawetkan dengan menggunakan lugol sebanyak 3 tetes dan
diberi label.

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya


Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU. Sampel diamati dengan
menggunakan Haemocytometer dan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan
buku identifikasi Edmondson (1963), Bold & Wyne (1985), dan Pennak (1989).

3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Temperatur
Temperatur air diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang
dimasukkan kedalam sampel air selama lebih kurang 10 menit. Kemudian dibaca
skala pada termometer tersebut.
b. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan


air sampai keping seechi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke
dalam air.
c. Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya


cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.

d. pH (Derajat Keasaman)

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH


meter ke dalam sampel air yang diambil dari perairan sampai pembacaan pada alat
konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

e. DO (Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel


air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian
dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).
BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel


air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja
terlampir (Lampiran B).

f. COD (Chemycal Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia


Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja
terlampir (Lampiran C).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat
yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik
Kimia Perairan
Parameter Tempat
No. Satuan Alat
Fisik Kimia Pengukuran
1 Tempratur air 0
C Termometer Air Raksa In-situ
2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ
3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ
4 pH air - pH air In-situ
5 DO Mg/l Metoda Winkler In-situ
6 Kejenuhan Oksigen % - In-situ
7 BOD5 Mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium
8 COD Mg/l Metoda Refluks Laboratorium
9 Kandungan nitrit dan fospat Mg/l Spektrofotometri Laboratorium
10 Kecepatan arus m/s Flow meter In-situ

3.6 Analisis Data

Data yang diperoleh dihitung nilai kelimpahan plankton (kelimpahan


populasi), kelimpahan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-
Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, dan analisis korelasi dengan
persamaan menurut Michael (1984) dan Krebs (1985) sebagai berikut:
a. Kelimpahan Plankton (K)

Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan
menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut
Isnansetyo & Kurniastuty (1995), yaitu
T P V 1
K x x x
L p v W
Keterangan:
K = Kelimpahan plankton per liter
2
T = luas penampang permukaan Haemocytometer (mm )
2
L = luas satu lapang pandang (mm )
P = jumlah plankter yang dicacah
p = jumlah lapang yang diamati
V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml)
v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml)
W = volume air media yang disaring dengan plankton net (ml)

Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada
3
haemocytometer, yaitu v = 0.0196 ml (19.6 mm ) dan luas penampang pada
Haemocytometer (T) sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (l)
dengan jumlah lapang yang diamati atau T = L x p
Sehingga rumusnya menjadi :
PV
K= ind.
0.0196 W l

Untuk menghitung nilai kelimpahan relatif (KR), frekuensi kehadiran (FK),


indeks diversitas Shannon-Wiener (H), indeks equitabilitas (E), indeks similaritas
(IS), kejenuhan oksigen dan analisa korelasi digunakan rumus seperti berikut:

b. Kelimpahan Relatif (KR)

KR = K suatu jenis x 100%


K total
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
Jumlah plot yang ditempati suatu jenis
Jumlah total plot x 100%
FK =

dimana nilai FK : 0 25% = sangat jarang


25 50% = jarang
50 75% = sering
> 75% = sangat sering

d. Indeks Diversitas Shannon Wienner (H)


s

H= - pi ln pi
i1

dimana :H = indeks diversitas Shannon-Wienner


pi = proporsi spesies ke-i
In = logaritma nature
pi = ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan
jenis)

dengan nilai H: 0<H<2,302 = keanekaragaman rendah


2,302<H<6,907 = keanekaragaman
sedang H>6,907 = keanekaragaman tinggi

Nilai indeks diversitas (H)dihubungkan dengan tingkat pencemaran:


>2.0 = tidak tercemar
1.6<H<2.0 = tercemar ringan
1.0<H<1.6 = tercemar sedang
<1.0 = tercemar berat

e. Indeks Equitabilitas (E)


H'
Indeks equitabilitas (E) = H max

dimana :H = indeks diversitas Shannon-Wienner


H maks = keanekaragaman spesies
maksimum
= In S (dimana S banyaknya spesies)
dengan nilai E berkisar antara 0-1
f. Indeks Similaritas (IS)
x 100%
2c
IS =
a
b

dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a


b = jumlah spesies pada lokasi b
c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

Bila: IS = 75 100% : sangat mirip


IS = 50 75% : mirip
IS = 25 50% : tidak mirip
IS = 25% : sangat tidak mirip

g. Kejenuhan Oksigen

x 100%
DOu
Kejenuhan = DO
t

Dimana: DOu = Nilai oksigen terlarut hasil pengukuran


DOt = Nilai oksigen maksimum yang disesuaikan dengan suhu

g. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang


berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman plankton. Analisis korelasi dihitung
menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS
Ver.13.00.
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Plankton

Dari hasil identifikasi terhadap plankton pada setiap stasiun penelitian maka diperoleh
klasifikasi plankton seperti pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Plankton yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian


Kelas No Famili No Genus
Fitoplankton 1. Chaetoceraceae 1. Rhizosolenia
2. Cymbellaceae 2. Cymbella
3. Asterionella
3. Fragilariaceae 4. Fragilaria
5. Synedra
6. Anomoeoneis
7. Frustulia
Bacillariophyceae
8. Gyrosigma
4. Naviculaceae
9. Navicula
10. Pinnularia
11. Stauroneis
12. Nitzschia
5. Nitzschiaceae
13. Rhopalodia
6. Surirellaceae 14. Surirella
7. Cladophoraceae 15. Rizoclonium
8. Coelastraceae 16. Coelastrum
17. Closterium
9. Desmidiaceae
18. Staurastrum
10. Hydrodictyaceae 19. Pediastrum
11. Mesotaeniaceae 20. Corurella
12. Microsporaceae 21. Microspora
22. Closteriopsis
Chorophyceae 13. Oocystaceae
23. Pacyclodon
14. Schizogoniaceae 24. Schizogonium
25. Geminella
15. Ulothrichascaceae
26. Ulothrix
16. Volvocaceae 27. Volvox
28. Sirogonium
17. Zygnemataceae 29. Spyrogira
30. Zygnemopsis
Chrysophyceae 18. Chrysocapsaceae 31. Chlorhormidium
32. Phaeoplaca
33. Oscilatoria
Myxophyceae 19. Oscilatoriaceae
34. Pleurococcus
Xantophyceae 20. Tribonemataceae 35. Tribonema
21. Spathiidae 36. Spathiodides
Ciliophora 37. Kerona
22. Oxytrichidae
38. Urostyla
23. Daphnidae 39. Daphnia
24. Bosminidae 40. Bosmina
Cladocera
41. Acroperus
25. Macrotrichidae
42. Eurycercus
Zooplankton Copepoda 26. Calanoida 43. Nauplius
44. Diacyclops
27. Cyclopidae
Crustaceae 45. Megacyclops
28. Diaptomidae 46. Diaptomus
Gastrotricha 29. Dichaeturidae 47. Chaetonotus
48. Brachionus
Monogononta 30. Brachionidae
49. Keratella
Tricoptera 31. Hydroptilidae 50. Hydroptila

Dari table 4.1 diketahui bahwa pada seluruh stasiun penelitian ditemukan 5
kelas Fitoplankton yang tergolong dalam 20 famili dan 35 genus serta 7 kelas
Zooplankton yang tergolong dalam 11 famili dan 15 genus. Barus (2004, hlm: 30),
kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik (mengalir) jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan fitoplankton. Pengaruh kecepatan arus terhadap zooplankton
jauh lebih kuat dibandingkan pada fitoplankton. Oleh karena itu umumnya
zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang
rendah serta kekeruhan air yang sedikit.

4.2 Kelimpahan Plankton

Dari hasil perhitungan terhadap kelimpahan plankton maka diperoleh nilai


kelimpahan plankton masing-masing spesies setiap stasiun penelitian pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Nilai Kelimpahan (ind/L), Kelimpahan Relatif (%), dan Frekuensi
Kehadiran (%) Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
No Taksa
K KR FK K KR K KR K KR K KR FK K KR FK
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Chaetoceraceae
1. Rhizosolenia 244.898 2.632 66.66 448.980 4.701 100 204.082 3.546 66.66
B Cymbellaceae
2. Cymbella 122.449 1.316 33.33 448.980 8.088 66.66 40.816 1.667 33.33
C Fragilariaceae
3. Asterionella 122.449 1.316 33.33 81.633 1.418 66.66
4. Fragilaria 530.612 5.556 66.66 81.633 1.471 33.33 244.898 10.000 66.66
5. Synedra 122.449 1.316 33.33 163.265 1.709 66.66
D Naviculaceae
6. Anomoeoneis 448.980 4.825 33.33
7. Frustulia 244.898 2.632 33.33 40.816 0.735 33.33 122.449 2.128 66.66
8. Gyrosigma 81.633 0.877 3333 122.449 5.000 33.33
9. Navicula 1061.22 11.404 100 1387.755 14.530 100
10. Pinnularia 693.878 7.456 66.66 938.776 16.912 100
11. Stauroneis 204.082 3.676 100 81.633 3.333 33.33
E Nitzschiaceae
12. Nitzschia 204.082 2.137 33.33
13. Rhopalodia 367.347 3.846 66.66 40.816 1.667 33.33
F Surirellaceae
14. Surirella 285.714 3.070 33.33 816.327 8.547 100 285.714 11.667 66.66
II Chorophyceae
G Cladophoraceae
15. Rizoclonium 285.714 2.991 33.33 775.510 13.971 100 81.633 3.333 33.33
H Coelastraceae
16. Coelastrum 571.429 9.929 100
I Desmidiaceae
17. Closterium 408.163 4.386 33.33
18. Staurastrum 40.816 0.427 33.33
J Hydrodictyaceae
19. Pediastrum 612.245 6.579 66.66 1142.857 11.966 100 122.449 5.000 33.33 448.980 7.801 66.66
K Mesotaeniaceae
20. Corurella 122.449 2.128 33.33
L Microsporaceae
21. Microspora 163.265 1.754 33.33 122.449 2.206 66.66 40.816 1.667 33.33
M Oocystaceae
22. Closteriopsis 489.796 8.824 66.66
23. Pacyclodon 122.449 2.206 33.33
N Schizogoniaceae
24. Schizogonium 326.531 3.509 33.33
O Ulothrichascaceae
25. Geminella 163.265 1.754 33.33
26. Ulothrix 1346.939 14.474 100 775.510 8.120 66.66 163.265 6.667 66.66 612.245 10.63 66.66
P Volvocaceae
27. Volvox 653.061 7.018 100 81.633 0.855 33.33 612.245 11.029 100 163.265 2.837 33.33
Q Zygnemataceae
28. Sirogonium 571.429 9.929 66.66
29. Spyrogira 204.082 2.193 66.66 1306.122 13.675 100
30. Zygnemopsis 163.265 2.941 33.33
III Chrysophyceae
R Chrysocapsaceae
31. Chlorhormidium 81.633 0.855 33.33
32. Phaeoplaca 285.714 3.070 66.66 367.347 3.846 100 326.531 13.333 66.66 40.816 0.709 33.33
IV Myxophyceae
S Oscilatoriaceae
33. Oscilatoria 204.082 3.676 33.33
34. Pleurococcus 81.633 0.855 33.33 40.816 0.735 33.33
V Xantophyceae
T Tribonemataceae
35. Tribonema 693.878 7.456 33.33 81.633 1.471 33.33 204.082 3.546 33.33
ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
U Spathiidae
36. Spathiodides 40.816 0.439 33.33 81.633 1.471 33.33
V Oxytrichidae
37. Kerona 285.714 5.147 100
38. Urostyla 40.816 0.427 33.33
VII Cladocera
W Daphnidae
39. Daphnia 244.898 2.632 66.66 163.265 1.709 33.33 122.449 2.206 33.33 163.265 6.667 66.66 489.796 8.511 100
X Bosminidae
40. Bosmina 163.265 1.754 33.33 367.347 3.846 33.33 163.265 6.667 100 285.714 4.965 100
Y Macrotrichidae
41. Acroperus 81.633 0.877 66.66
42. Eurycercus 81.633 1.471 33.33
VIII Copepoda
Z Calanoida
43. Nauplius 81.633 0.877 33.33 40.816 0.735 33.33 285.714 4.965 100
IX Crustaceae
A Cyclopidae
44. Diacyclops 122.449 1.316 66.66 367.347 3.846 66.66 285.714 5.147 66.66 81.633 3.333 33.33 448.980 7.801 66.66
45. Megacyclops 285.714 3.070 100 326.531 3.419 100 81.633 1.471 33.33 367.347 15.000 66.66 367.347 6.383 66.66
B Diaptomidae
46. Diaptomus 122.449 2.206 33.33 122.449 5.000 100 326.531 5.674 100
X Gastrotricha
C Dichaeturidae
47. Chaetonotus 204.082 2.137 66.66
XI Monogononta
D Brachionidae
48. Brachionus 81.633 1.471 66.66 204.082 3.546 33.33
49. Keratella 122.449 2.128 33.33
XI Tricoptera
E Hydroptilidae
50. Hydroptila 40.816 0.735 33.33 81.633 1.418 33.33
TOTAL 9306.122 100 9551.020 100 5551.020 2448.98 100 5755.102 100
Dari Tabel 4.2 diketahui genus Rhizosolenia hanya terdapat pada stasiun 1, 2, dan 5.
Hal disebabkan karena faktor fisik kimia perairan pada stasiun tersebut cocok untuk
pertumbuhannya seperti intensitas cahaya, kelarutan oksigen, dan kandungan nitrat
yang cukup tinggi (Tabel 4.5). Rhizosolenia tidak terdapat pada stasiun 3 dan 4 karena
beberapa faktor fisik kimia perairan pada stasiun tersebut tidak mendukung
petumbuhan Rhizosolenia seperti kadar COD dan kandungan posfat yang cukup tinggi
serta nilai penetrasi cahaya yang rendah (Tabel 4.5)

Genus Cymbella dan Microspora hanya terdapat pada stasiun 1, 3, dan 4. Hal
ini disebabkan kondisi lingkungan pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan kedua
0
genus tersebut seperti temperatur 24- 25 C, penetrasi cahaya 1,4-2,4 meter, intensitas
cahaya yang cukup tinggi dan nilai BOD5 yang cukup rendah (Tabel 4.5). Kedua
genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 2 dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia
perairan pada stasiun tersebut tidak mendukung kehidupan kedua genus tersebut
0
seperti temperatur yang terlalu tinggi pada stasin 2 sebesar 26 C dan terlalu rendah
0
pada stasiun 5 sebesar 23,5 C (Tabel 4.5).

Genus Asterionella hanya terdapat pada stasiun 1 dan 5. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan pada stasiun tersebut cocok untuk pertumbuhan Asterionella
0
seperti temperatur 23,5-24 C, nilai BOD5 sebesar 0,7 mg/L (Tabel 4.5). Asterionella
tidak terdapat pada stasiun 2, 3, dan 4 karena pada stasiun tersebut terdapat aktivitas
masyarakat yang menghasilkan limbah ke badan perairan. Limbah tersebut
mengakibatkan kondisi lingkungan tidak sesuai bagi pertumbuhan Asterionella seperti
kandungan COD dan BOD5 yang cukup tinggi (Tabel 4.5) mengakibatkan defisit
oksigen dalam perairan.

Genus Fragilaria dan Rizoclonium hanya terdapat pada stasiun 2, 3, dan 4. Hal
ini karena genus-genus tersebut lebih menyukai perairan yang disekitarnya terdapat
aktivitas manusia karena aktivitas tersebut menghasilkan limbah berupa senyawa
karbohidrat, lemak dan protein namun kadarnya harus dalam batas toleransi tertentu.
Genus-genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 1 dan 5 karena kondisi perairan pada
stasiun tersebut masih tergolong bersih (Tabel 4.5) karena tidak terdapat aktivitas
yang menghasilkan limbah.
Genus Synedra, Navicula, dan Spyrogira hanya terdapat pada stasiun 1 dan 2.
Hal ini karena kondisi lingkungan pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan genus-
genus tersebut seperti kandungan oksigen dan nitrat yang cukup tinggi serta
kandungan posfat yang cukup rendah (Tabel 4.5). Genus-genus tersebut tidak terdapat
pada stasiun 3, 4, dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia perairan pada stasiun
tersebut tidak sesuai bagi pertumbuhan genus Synedra, Navicula, dan Spyrogira
seperti kandungan COD dan posfat dan yang cukup tinggi (Tabel 4.5).

Genus Anomoeonsis, Closterium, Schizogonium, Geminella, dan Acriperus


hanya terdapat pada stasiun 1. Hal ini karena faktor fisik kimia perairan pada stasiun 1
merupakan habitat yang cocok bagi genus-genus tersebut. Faktor fisik kimia tersebut
0
adalah tempertaur air sebesar 24 C, kandungan oksigen dan kandungan nitrat yang
cukup tinggi serta nilai COD dan BOD5 yang cukup rendah (Tabel 4.5). Genus-genus
tersebut tidak terdapat pada stasiun 2, 3, 4, dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia
seperti kelarutan oksigen dan kadar nitrat yang cukup rendah serta nilai COD dan
BOD5 yang cukup tinggi.

Genus Frustulia, Tribonema, dan Nauplius hanya terdapat pada stasiun 1, 3,


dan 5. Hal ini karena kondisi lingkungan seperti pH yang normal, kelarutan oksigen
dan kadar nitrat yang cukup tinggi serta nilai BOD 5 yang cukup rendah (Tabel 4.5)
sesuai bagi pertumbuhan genus-genus tersebut. Genus Frustulia, Tribonema, dan
Nauplius tidak terdapat pada stasiun 2 dan 4 karena nilai COD, BOD 5, dan kadar
posfat yang cukup tinggi (Tabel 4.5).

Genus Gyrosigma hanya terdapat pada stasiun 1dan 4. Hal ini disebabkan
kadar nitart yang tinggi pada kedua stasiun (Tabel 4.5). Gyrosigma tidak mampu
hidup pada stasiun 2, 3, dan 5 karena stasiun tersebut memiliki kadar nitrat yang
cukup rendah dan kandungan COD yang cukup tinggi (Tabel 4.5).

Genus Pinnularia dan Spathiodides hanya terdapat pada stasiun 1 dan 3. Hal
ini karena kondisi faktor fisik kimia pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan genus-
genus tersebut seperti kelarutan oksigen dan kadar nitrat yang cukup tinggi serta
kadar posfat yang cukup rendah (Tabel 4.5). Genus-genus tersebut tidak terdapat pada
stasiun 2, 4, dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia pada stasiun tersebut kurang
sesuai bagi pertumbuhan Pinnularia dan Sphatiodides. Faktor fisik kimia tersebut
adalah kelarutan oksigen yang cukup rendah serta nilai COD yang cukup tinggi (Tabel
4.5).

Genus Stauroneis hanya terdapat pada stasiun 3 dan 4. Hal ini karena kondisi
0
lingkungan seperti temperatur 25 C yang sesuai untuk pertumbuhan genus tersebut.
Stauroneis tidak terdapat pada stasiun 1, 2, dan 5 karena kondisi lingkungan seperti
intensitas cahaya dan kadar nitrat yang cukup tinggi serta kadar posfat yang cukup
rendah (Tabel 4.5) pada stasiun ini tidak cocok untuk pertumbuhan genus tersebut.

Genus Nitzschia, Staurastrum, Urostyla, dan Chaetonotus hanya terdapat pada


0
stasiun 2. Hal ini karena kondisi lingkungan seperti temperatur 26 C, intensitas cahaya
yang cukup tinggi, kadar nitrat 0, 3800 mg/L, kadar posfat 0,3566 mg/L (Tabel 4.5)
sesuai untuk pertumbuhan genus-genus tersebut. Keempat genus ini tidak terdapat
pada stasiun 1, 2, 4, dan 5 karena faktor fisik kimia sepeti nilai COD dan kadar nitrat
yang cukup tinggi (Tabel 4.5) yang tidak sesuai bagi kehidupan genus-genus tersebut.

Genus Closteriopsis, Pacyclodon, Zygnemopsis, Chorhormidium, Oscilatoria,


Kerona, dan Eurycercus hanya terdapat pada stasiun 3. Hal ini karena kondisi
lingkungan seperti intensitas cahaya 710 Candela, kadar nitrat 0, 4322 mg/L dan kadar
posfat 0, 4413mg/L (Tabel 4.5) sesuai bagi kehidupan genus-genus tersebut. Ketujuh
genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 1, 2, 4, dan 5 karena nilai COD yang cukup
tinggi (Tabel 4.5) mengakibatkan defisit oksigen pada perairan sehingga genus-genus
tidak mampu bertahan hidup..

Genus Coelastrum, Corurella, Sirogonium, dan Keratella hanya terdapat pada


0
stasiun 5. Hal ini karena faktor fisik kimia seperti temperatur 23,5 C, kadar nitrat
0,5000 mg/L, dan kadar posfat 0,5270 mg/L (Tabel 4.5) mendukung bagi kehidupan
genus-genus tersebut. Keempat genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 1, 2, 3, dan
4 karena faktor fisik kimia seperti COD dan BOD5 yang cukup tinggi (Tabel 4.5) tidak
mendukung bagi kehidupan genus-genus tersebut.
Genus Pediastrum, Ulothtrix, Phaeoplaca, dan Bosmina hanya terdapat pada
1, 2, 4, dan 5. Hal ini karena kondisi lingkungan seperti kandungan nitrat dan posfat
yang cukup tinggi (Tabel 4.5) pada stasiun ini mendukung bagi kehidupan genus
tersebut. Keempat genus ini tidak terdapat pada stasiun 3 karena intensitas cahaya 710
Candela dan nilai posfat 0,4413 mg/L (Tabel 4.5) tidak mendukung kehidupan genus-
genus tersebut

Genus Brachionus dan Hydroptyla hanya terdapat pada stasiun 3 dan 5. hal ini
karena kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya 710-756 Candela, kadar nitrat
0,4322-0,5000 mg/L dan kadar posfat 0,4322-0,5270 mg/L (Tabel 4.5) sangat
mendukung bagi pertumbuhan genus-genus tersebut. Kedua genus ini tidak terdapat 1,
2, dan 4 karena nilai COD yang cukup tinggi (Tabel 4.5) tidak mendukung kehidupan
genus-genus tersebut.

Genus Daphnia, Diacyclops, dan Megacyclops mampu hidup dengan baik


pada kelima stasiun. Hal ini disebabkan karena kisaran toleransi terhadap kondisi
faktor fisik kimia seperti kelarutan oksigen dan nilai COD dari ketiga genus ini lebih
luas dari genus-genus lainnya. Isnansetyo & Kurniastuty (1995, hlm: 55) menyatakan
kelompok zooplankton dari kelas Crustaceae memiliki kisaran toleransi yang luas
terhadap kelarutan oksigen. Pada kandungan oksigen 1 mg/L kelompok hewan ini
masih dapat bertahan, namun kandungan oksigen yang baik bagi pertumbuhan kelas
Crustaceae ini adalah lebih besar dari 3 mg/L.

Total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 9551.020


ind/L. Hal ini disebabkan kondisi faktor fisik kimia perairan pada stasiun ini
merupakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan plankton seperti intensitas cahaya
0
sebesar 974 candela, temperatur air sebesar 26 C, kadar nitrat sebesar 0,3800 mg/L,
kadar posfat sebesar 0,3566 mg/L. Total kelimpahan plankton terendah terdapat pada
stasiun 4 sebesar 2448.980 ind/L. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini
merupakan lokasi pembuangan limbah cair PT. Toba Pulp Lestari. Limbah tersebut
sudah melalui proses pengolahan namun masih mengandung senyawa organik
maupun anorganik yang tinggi. Senyawa-senyawa tersebut membutuhkan jumlah
oksigen yang banyak dalam proses penguraiannya sehingga mengakibatkan defisit
oksigen pada perairan yang selanjutnya mempengarhi keanekaragaman organisme
yang terdapat di dalamnya.

4.3 Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E) Masing Masing
Stasiun Penelitian

Indeks keanekaragaman (H) dan nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh pada
masing-masing stasiun seperti pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E) pada
Masing-Masing Stasiun Penelitian
STASIUN

1 2 3 4 5
H 3.2015 2.719 2.742 2.570 2.799
E 0.9714 0.8795 0.8627 0.9269 0.9344

Dari tabel 4.3 diketahui bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1
sebesar 3.2015. Tingginya keanekaragaman pada stasiun ini disebabkan oleh kondisi
faktor fisik kimia air yang mendukung bagi pertumbuhan plankton seperti kelarutan
oksigen sebesar 7.2 dan kadar nitrat yang cukup tinggi sebesar 0.7222 mg/L serta
faktor fisik kimia lain yang mendukung kelangsungan hidup plankton (Tabel 4.5).
Keanekaragaman terendah pada stasiun 4 sebesar 2.570. Hal ini disebabkan pada
stasiun ini merupakan pembuangan limbah cair PT. Toba Pulp Lestari yang
mengakibatkan kondisi faktor fisik kimia perairan menjadi kurang sesuai bagi
pertumbuhan plankton seperti kelarutan oksigen yang paling rendah yaitu sebesar 5.2
mg/L, nilai COD yang tinggi yaitu sebesar 8.6240 mg/L dan nilai BOD yang cukup
rendah yaitu sebesar 0.8 mg/L yang menandakan bahwa perairan pada stasiun ini
banyak mengandung senyawa anorganik yang membutuhkan jumlah oksigen yang
banyak dalam proses penguraiannya sehingga dapat mengakibatkan defisit oksigen
pada perairan stasiun 4.
Menurut Krebs ( 1985, hlm: 523), keanekaragaman rendah bila 0 < H < 2,30,
keanekaragaman sedang bila 2,302 < H < 6,907 keanekaragaman tinggi bila H >
6,907. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa Daerah Hulu Sungai
Asahan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Barus (2004, hlm:
121), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi
apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang
relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari
sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut
mempunyai keanekaragaman yang rendah. Menurut Begon et al (1986), nilai
diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat
pencemaran yaitu apabila H<1 tercemar berat, apabila nilai 1<H<3 tercemar sedang
dan apabila nilai H>3 tidak tercemar/bersih. Dari kategori diatas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa seluruh stasiun penelitian termasuk mengalami pencemaran pada
tingkat tercemar sedang.

Indeks keseragaman pada masing-masing stasiun penelitian berkisar antara


0.8627 hingga 0.9714 sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masing-masing stasiun
penyebaran individu cukup merata. Menurut Krebs ( 1985, hlm: 523) apabila indeks
keseragaman mendekati 0 maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan
penyebaran individu setiap genus tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus
mendominasi pada populasi tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka
populasi plankton menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata.

4.4 Indeks Similaritas

Nilai indeks similaritas antar stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Stasiun 1 53.061 % 43.137% 51.162% 55.319%
Stasiun 2 30.434 % 57.894% 42.857%
Stasiun 3 45 % 45.455%
Stasiun 4 44.444%
Stasiun 5
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa indeks similaritas yang diperoleh pada stasiun
1dan 2, stasiun 1 dan 4, stasiun 1 dan 5, stasiun 2 dan 4 tergolong pada stasiun yang
mirip. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor fisik kimia perairan antara stasiun-
stasiun tersebut cukup mirip dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda.
Indeks similaritas pada stasiun 1 dan 3, stasiun 2 dan 3, stasiun 2 dan 5, stasiun 3 dan
4, stasiun 3 dan 5, stasiun 4 dan 5 dapat digolongkan pada stasiun yang tidak mirip.
Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis limbah yang masuk ke badan perairan
sehingga mengakibatkan kondisi faktor fisik kimia yang berbeda-beda pada masing-
masing stasiun. Perbedaan kondisi faktor fisik kimia tersebut mengakibatkan
perbedaan jumlah dan jenis plankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun
tersebut.

4.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik kimia perairan yang diperoleh pada masing-masing stasiun


penelitian seperti pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun
Penelitian
Parameter Stasiun
No. Satuan
Fisik Kimia 1 2 3 4 5
1 Temperatur Air 0
C 24 26 25 25 23,5
2 Penetrasi Cahaya m 2,4 2,5 2,0 1,4 2,5
3 Intensitas Cahaya Candela 448 974 710 832 756
4 pH Air - 7,8 7,5 7,7 7,6 7,5
5 DO Mg/L 7,2 6,5 6,2 5,2 5,5
6 Kejenuhan Oksigen % 87,27 81,35 76,44 64,40 66,66
7 BOD5 Mg/L 0,7 1,5 1,0 0,8 0,7
8 COD Mg/L 5,4880 7,0506 7,2125 8,6240 7,8400
9 Kadar Nitrat Mg/L 0.7222 0.3800 0.4322 0.6296 0.5000
10 Kadar Posfat Mg/L 0.3083 0.3566 0.4413 0.6866 0.5270
11 Arus Permukaan Air m/s 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3
Keterangan:
a. Stasiun 1 : Kontrol
b. Stasiun 2 : Pemukiman dan Pertambakan Ikan
c. Stasiun 3 : Pertanian
d. Stasiun 4 : Pembuangan Limbah Pabrik TPL
e. Stasiun 5 : Bendungan PLTA PT. INALUM
4.5.1 Temperatur

0
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa temperatur air berkisar antara 23,5-26 C,
dengan temperatur yang tertinggi pada stasiun 2 (lokasi pertambakan ikan dan
0
pemukiman penduduk) dan terendah pada stasiun 5 yaitu 23,5 C (daerah bendungan
Siruar). Tingginya suhu pada stasiun 2 disebabkan oleh banyaknya aktivitas
masyarakat dan tidak adanya naungan vegetasi (kanopi) di sekitar daerah aliran sungai
yang menyebabkan badan air terkena cahaya matahari secara langsung dan pada
stasiun 5 temperaturnya rendah karena aktivitas di daerah tersebut sedikit, banyaknya
vegetasi yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dan bertambahnya volume air
karena dibendung.

Menurut Barus (2004, hlm: 45), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi
(penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola
temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang
diakibatkan oleh manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik,
penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan
sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

4.5.2 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas
cahaya yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (daerah pemukiman dan pertambakan ikan)
yaitu 974 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi disekitar daerah
aliran sungai dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat
dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Terendah
di stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 448 Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini
karena adanya vegetasi di sekitar daerah aliran sungai dan juga pengukuran dilakukan
pada sore hari yang mendung pada daerah ini.
Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin
maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi
yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari
permukaan air laut, letak geografis dan musiman (Tarumingkeng, 2001).

4.5.3 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya terendah dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat pada stasiun 4
(tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 1,4 meter
sedangkan pada stasiun lain terdapat antara 2,4-2,5 meter. Hal ini disebabkan oleh
limbah cair yang berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari berwarna kecoklatan yang
mengandung banyak bahan yang tersuspensi maupun terlarut yang pada akhirnya
akan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 99), padatan terlarut dalam air umumnya
terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan
hewan, dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya
yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan.
Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat
transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar (2007, hlm: 16),
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

4.5.4 Arus Air

Arus air pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai tertinggi pada stasiun 1, 2, 3 dan
4 yaitu dengan kecepatan 0,4 m/s dan terendah pada stasiun 5 dengan kecepatan
0,3m/s. Tingginya arus pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 ini disebabkan oleh aliran sungai
yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Rendahnya arus pada
stasiun 5 diakibatkan oleh air sungai yang dibendung. Jenis substrat akan
mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak
dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.

Menurut Barus (2004, hlm: 41), sangat sulit untuk membuat suatu batasan
mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu
ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada.
Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus
mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan
menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat
berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai
gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan
mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok (meander)
kecepatan arus paling tinggi pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika
tentang putaran massa sentrifugal. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu
kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-
batuan di dasar perairan.

4.5.5 pH (Derajat Keasaman)

Pada stasiun 1 diperoleh nilai pH (Derajat Keasaman) yang tertinggi sekitar 7,8 dari
seluruh stasiun penelitian dan terendah pada stasiun 2 sekitar 7,5. Tingginya pH pada
daerah ini disebabkan oleh belum adanya aktifitas atau belum terjadi penguraian yang
menghasilkan CO2 sedangkan rendahnya pH pada stasiun 2 karena adanya berbagai
macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang
selanjutnya akan mengalami penguraian yang menurunkan pH daerah ini. Namun
secara keseluruhan pH pada seluruh stasiun penelitian masih tergolong normal yang
berkisar antara 7,5-7,8.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 73-74), nilai pH air yang normal adalah sekitar
netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah (buangan),
berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan
biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun
menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik
yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian.

4.5.6 DO (Disolved Oxygen)

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut berkisar antara
5,2-7,2 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada
stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 7,2 mg/l. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu
yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk
penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen terlarut yang terendah terdapat
pada stasiun 4 (tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 5,2
mg/l. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan anorganik dalam limbah
cair tersebut yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan
tingginya suhu serta rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 85), oksigen terlarut bergantung kepada:


suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung
kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan
organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri.
Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan mati dan organisme
anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan
hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.

4.5.7 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 (daerah
kontrol) yaitu 87,27% dan terendah pada stasiun 4 (tempat pembuangan limbah cair
pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 64,4%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1
memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat
memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan stasiun 4 yang mengandung senyawa organik dan
anorganik dari limbah cair TPL.

Menurut Barus (2004, hlm: 60), kehadiran senyawa organik akan


menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan
berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Seandainya pada
o
pengukuran temperatur 13,9 C diperoleh kadar oksigen terlarut 8 mg/l, maka sesuai
dengan tabel pada lampiran E seharusnya kelarutan oksigen maksimum akan
mencapai 10 mg/l. Disini terlihat ada selisih nilai oksigen terlarut antara yang diukur
(8 mg/l) dengan yang seharusnya dapat larut (10 mg/l) yaitu sebanyak 2 mg/l dengan
nilai kejenuhan sebesar 80%. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa pada lokasi
tersebut telah terdapat senyawa organik (pencemar) yang dapat diketahui dari defisit
oksigen sebesar 2 mg/l. Oksigen tersebut digunakan dalam proses penguraian senyawa
organik oleh mikroorganisme yang berlangsung secara aerobik.

4.5.8 BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD (Biological Oxygen Demand) yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui
bahwa BOD (Biological Oxygen Demand) yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (daerah
pemukiman dan pertambakan ikan) yaitu 1,5 mg/l. Hal ini disebabkan karena
banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang
membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. Terendah di stasiun 1 (daerah kontrol)
dan stasiun 5 (daerah bendungan Siruar) yaitu 0,7 mg/l. Rendahnya BOD pada daerah
ini karena banyaknya tumbuhan air seperti Eichornia crassipes, dan Ipomea aquatica
yang mampu menyerap langsung senyawa organik seperti nitrat dan posfat sehingga
tidak perlu diuraikan oleh mikroorganisme pengurai.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 87), BOD menunjukkan jumlah oksigen


terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi
bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan
dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka berarti kandungan
bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar (2007,
hlm: 22), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-
bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal
dari berbagai sumber seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman yang
mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan sebagainya.

4.5.9 COD (Chemical Oxygen Demand)

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD (Chemical Oxygen
Demand) tertinggi pada stasiun 4(tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp
Lestari) yaitu 8,6240 mg/l dan terendah pada stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 5,4880
mg/l. Tingginya nilai COD pada stasiun 4 menunjukkan bahwa limbah cair yang
berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari mengandung banyak senyawa organik dan
anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya
secara biologis saja.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 88), untuk mengetahui jumlah bahan organik di
dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan,
misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat
dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis
secara cepat berdasarkan pengujian BOD5, tetapi senyawa organik tersebut juga
menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.

4.5.10 Kadar Nitrat

Dari data pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa hasil pengukuran nitrat berkisar antara
0.3800 mg/l 0.7222 mg/l. Nilai kandungan nitrat tertinggi didapatkan pada stasiun 1
sebesar 0.7222 mg/l. Kandungan nitrat yang tinggi pada stasiun ini berasal dari Danau
Toba dan hasil pembusukan vegetasi yang terdapat pada stasiun ini. Sedangkan
kandungan nitrat terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0.3800 mg/l. Hal ini
disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk ke sungai lebih
banyak mengandung senyawa anorganik dibanding senyawa organik. Banyaknya
senyawa anorganik dapat dilihat dari nilai COD yang tinggi sedangkan Nilai BOD
cukup rendah.

Menurut Barus (2004, hlm: 69), nitrat merupakan produk akhir dari proses
penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh
tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang,
sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

4.5.11 Kadar Posfat

-
Dari Tabel 4.5 diperoleh hasil pengukuran posfat berkisar antara 0.3083 mg/l
0.6866 mg/l. Dari data tersebut diperoleh nilai fosfat tertinggi pada stasiun 4 sebesar
0.6866 mg/l. Hal ini karena pada stasiun ini merupakan lokasi pembuangan limbah
cair PT. Toba Pulp Lestari yang banyak senyawa organik dan senyawa anorganik.
Kandungan posfat terendah didapatkan pada pada stasiun 1 yaitu sebesar 0.3083 mg/l.
Hal ini karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol (tanpa aktivitas) yang
berhubungan langsung dengan Danau Toba sehingga tidak ada masukan nutrisi dari
luar yang dapat mempengaruhi kandungan posfat pada stasiun ini.

Untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal, diperlukan konsentrasi


posfat pada kisaran 0,27 mg/l - 5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila
kurang dari 0,02 mg/l. Bila kadar posfat pada air alam sangat rendah (< 0,01 mg ),
maka pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang, keadaan inilah yang
dinamakan oligotrop. Sedangkan bila kadar posfat dan nutrien lainnya tinggi, maka
pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang
dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen
dalam sungai atau kolam pada malam hari (Alaert & Sri , 1984, hlm: 231).
4.6 Analisis Korelasi

Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan
keanekaragaman plankton dengan metode komputerisasi SPSS ver. 13.00 dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6 Nilai Korelasi Yang Diperoleh Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan
Dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh Dari Setiap
Stasiun Penelitian
Intensitas Penetrasi Kejenuhan Kand. Kand. Kec.
Suhu DO COD BOD5 pH
Cahaya Cahaya Oksigen Posfat Nitrat Arus
-0,511 +0,851 +0,565 +0,808 -0,916 0,355 +0,739 -0,732 +0,539 +0,665 +0,17
Keterangan: - = korelasi negatif (berlawanan)
+= korelasi positif (searah)

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara
beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya
dengan indeks diversitas (H). Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara
nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks diversitas (H), artinya semakin
besar nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar
pula, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai
faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H), artinya semakin
besar nilai faktor fisik kimia maka nilai H akan semakin kecil, begitu juga
sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H akan semakin
besar.

Dari hasil analisis korelasi pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu, COD,
BOD5 dan kandungan posfat berkolerasi negatif (berlawanan) terhadap
keanekaragaman plankton. Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh diketahui suhu
dan kandungan posfat memiliki korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman
plankton. COD berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman plankton, dan BOD5
berkorelasi sangat lemah terhadap keanekaragaman plankton. Nilai COD menyatakan
jumlah oksigen total yang dibutuhkan dalam proses oksidasi untuk menguraikan
senyawa organik maupun senyawa anorganik baik secara kimia maupun secara
biologis. Semakin tinggi nilai COD akan mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat
disamping itu proses pembentukan oksigen dari hasil fotosintesis relatif tetap. Hal ini
akan mengakibatkan kondisi perairan menjadi defisit oksigen sehingga seluruh
organisme mengalami gangguan proses respirasi. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan kematian bagi orgnisme tertentu yang mempunyai kisaran toleransi
yang sempit terhadap kebutuhan oksigen.

Menurut Barus (2004, hlm:45), kenaikan temperatur (hanya pada kisaran


temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme sebesar 2-3 kali
lipat. Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen
meningkat, sementara dilain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan
kelarutan oksigen dalam air berkurang. Hal ini dapat menyebabkan organisme air
kesulitan untuk melakukan respirasi yang selanjutnya akan mempengaruhi
keanekaragaman organisme.

Faktor fisik kimia yang berkorelasi searah dengan keanekaragaman plankton


adalah intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kelarutan oksigen, kejenuhan oksigen,
kandungan nitrat, pH dan kecepatan arus. Berdasarkan nilai koefisien korelasi yang
diperoleh diketahui intensitas cahaya dan kelarutan oksigen berkorelasi sangat kuat
terhadap keanekaragaman plankton. Penetrasi cahaya, kejenuhan oksigen, kandungan
nitrat dan pH berkorelasi kuat terhadap keanekaragaman plankton. Sedangkan
kecepatan arus berkorelasi sangat lemah terhadap keanekaragaman plankton.

Menurut Wardhana (1995, hlm: 90), kehidupan mikroorganisme dan hewan air
lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang
tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan bagi kehidupan
mikroorganisme dan hewan air lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang
tercemar kandungan oksigennya rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut dalam
air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan
organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap (ditandai dengan bau
busuk). Makin banyak bahan buangan organik dalam air, makin sedikit sisa
kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya.

Menurut Sarwono (2006), koefisien korelasi ialah pengukuran statistik


kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara
+1 s/d -1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan
arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel
mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel
Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefisien korelasi negatif, maka kedua variabel
mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai
variabel Y akan menjadi rendah dan sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan
interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria sebagai
berikut:
a. Jika 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel
b. Jika >0 0,25 : Korelasi sangat lemah
c. Jika >0,25 0,5 : Korelasi cukup
d. Jika >0,5 0,75 : Korelasi kuat
e. Jika >0,75 0,99 : Korelasi sangat kuat
f. Jika 1 : Korelasi sempurna
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian terhadap keanekaragaman plankton yang telah dilakukan


maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Plankton yang ditemukan pada seluruh stasiun penelitian adalah 5 kelas
fitoplankton yang terdiri dari 20 famili dan 35 genus serta 7 kelas zooplankton
yang terdiri dari 11 famili dan 15 genus.
2. Nilai total kelimpahan plankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 955.020
ind dan nilai total kelimpahan plankton terendah terdapat pada stasiun 4 sebesar
2448.980 ind.
3. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 3.2015 dan
terendah pada stasiun 4 sebesar 2.570. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat
pada stasiun 1 sebesar 0.9714 dan nilai indeks keseragaman terendah terdapat pada
stasiun 3 sebesar 0.8627.
4. Berdasarkan nilai indeks similaritas yang diperoleh diketahui stasiun 1 dan 2,
stasiun 1 dan 4, stasiun 1 dan 5, stasiun 2 dan 4 tergolong pada stasiun yang mirip
sedangkan stasiun 1 dan 3, stasiun 2 dan 3, stasiun 2 dan 5, stasiun 3 dan 4, stasiun
3 dan 5, stasiun 4 dan 5 tergolong pada stasiun yang tidak mirip.
5. Hasil korelasi antara indeks keanekaragaman dengan faktor fisik kimia perairan
menunjukkan bahwa suhu, BOD5, COD dan kandungan posfat berkolerasi negatif
(berlawanan arah). Intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kelarutan oksigen,
kejenuhan oksigen, kandungan nitrat, pH dan kecepatan arus menunjukkan
korelasi positif (searah). Berdasarkan koefisien korelasi hubungan antara faktor
fisik kimia dengan indeks keanekaragaman berkisar antara berhubungan sangat
rendah, berhubungan kuat dan berhubungan sangat sangat kuat.
5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan terhadap keanekaragaman


plankton berdasarkan perbedaan musim antara musim hujan dan musim kemarau
untuk melihat bagaimana persebaran kelimpahan plankton berdasarkan musim.
DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. & Sri, S. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. Medan: USU Press.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Medan: USU Press.
Basmi, S. 1995. Ekologi PlanktonI. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Begon, M. John, L, H. & Colin, R, T. 1986. Ecology. London: Blackwall Scientific
Publication
Bold, H. C. & M. J. Wyne.1985. Introduction to the Algae. Second Edition New
Jersey 07632, USA: Inc. Englewood Clitts.
Brower, J. E., Jerrold, H. Z., & Car, I. N. V. E., 1990. Field an Laboratoy Methods
For General Ecology. Third Edition. USA New York: Wm. C. Brown
Publisher.
Edmondson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. New York: Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Penerjemah: Usman Tanuwidjaja.
Bandung: Penerbit ITB.
http; //id.wikipedia.org/wiki/sungaiAsahan/jurnal pdf. Diakses tanggal 1 Februari 2009.
Isnansetyo, A & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Yogyakarta: Kanisius
Juwana, S & Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan
Koesbiono. 1979. Dasar Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan).
Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB.
Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abundance. Third
Edition. New York: Haper & Row Publisher.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Loebis, J, Soewarno & Suprihadi. 1993. Hidrologi Sungai. Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Michael, P . 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PTGramedia.
Odum, E. P. 1994. Dasar- Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Penerjemah: Tjahjono, S.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pennak, A. T. 1989. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. New York.
Prabandani, D., Setiani, B. M.,& Sabar, A. 2007. Komposisi Plankton di Perairan
Waduk Saguling Jawa Barat. Lingkungan Tropis (Edisi Khusus). Bandung:
ikatan AhliTehnik Penyehatandan Lingkungan Indonesia.
Sarwono. 2006. Diakses 09 Mei 2009. Teori Analisis Korelasi Mengenal Analisis
Korelasi. www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm - 94k -.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Padang: Universitas Andalas.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tarumingkeng, R. C. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peredupan Intensitas
Cahaya Matahari pada Kolom Air di Daerah Pasir Kole, Waduk IR. H.
Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Makalah Palsafah Sains (PPs 702). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wardhana, W.A.1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

Sampel Air

1 ml MnSO4
1 ml KOH KI
dikocok didiamkan

Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat

1 ml H2SO4
dikocok
didiamkan

Larutan Sampel Berwarna Coklat

diambil sebanyak 100 ml


ditetesi Na2S2O3 0,0125 N

mbahkan 5 tetes amilum

Sampel Berwarna
Sampel Berwarna Biru
Kuning Pucat

dita dengan Na2S2O3 0,0125 N


dititrasi

Sampel Bening

itung volume Na2S2O3 yang terpakai


Dih ilai DO akhir)
Hasil
(Michael, 1984; Suin, 2002)
5
Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD
Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

diinkubasi selama 5 hari


pada temperatur 20C dihitung nilai DO awal
dihitung nilai DO akhir

DO Akhir DO Awal

Keterangan :
Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama
dengan penghitungan Nilai DO
Nilai BOD = Nilai DO awal Nilai DO akhir

(Michael, 1984; Suin, 2002)


Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Refluks

10 ml sampel air

dimasukkan ke dalam erlenmeyer


ditambah 5 ml K2Cr2O7 dan 0,2 gr dimasukkan 2 batu didih ditambah 5 ml H2SO4 (p) direfluks selam
dibiarkan sampai dingin dan dilepas
dari rangkaian
ditambah 30 ml akuades diteteskan indikator feroin dititrasi dengan Ferro Amonium
Sulfat 0,025 N
dicatat volume peniternya

Hasil Merah Kecoklatan

(Suin, 2002)
Lampiran D. Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)

5 ml sampel air

1 ml NaCl (dengan pipet volum) 5 ml H2SO4 75%


4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Larutan

Dipan askan selama 25 menit

Larutan

Didin
Diukuginkan
r dengan spektrofotometer pada = 410nm

Hasil

(Michael, 1984 ; Suin, 2002)


2-
Lampian E. Bagan Kerja Analisis Fospat (PO4 )

5 ml sampel air

1 ml Amstrong Reagen
1 ml Ascorbic Acid

Larutan

Dibiarkan selama 20 menit


Diukur dengan spektrofotometer pada = 880nm

Hasil

(Michael, 1984 ; Suin, 2002)


Lampiran F. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran
Temperatur Air
o
TC 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
0 14, 16 14, 12 14, 08 14, 04 14, 00 13, 97 13, 93 13, 89 13,85 13,81
1 13, 77 13, 74 13, 70 13, 66 13, 63 13, 59 13, 55 13, 51 13, 48 13, 44
2 13, 40 13, 37 13, 33 13, 30 13, 26 13, 22 13, 19 13, 15 13, 12 13, 08
3 13, 05 13, 01 12, 98 12, 94 12, 91 12, 87 12, 84 12, 81 12, 77 12, 74
4 12,70 12, 67 12, 64 12, 60 12, 57 12, 54 12, 51 12, 47 12, 44 12, 09
5 12, 37 12, 34 12, 31 12, 28 12, 25 12, 22 12, 18 12, 15 12, 12 12, 09
6 12, 06 12, 03 12, 00 11, 97 11, 94 11, 91 11, 88 11, 85 11, 82 11, 79
7 11,76 11, 73 11, 70 11, 67 11, 64 11, 61 11, 58 11, 55 11, 52 11, 50
8 11, 47 11, 44 11, 41 11, 38 11, 36 11, 33 11, 30 11, 27 11, 25 11, 22
9 11, 19 11, 16 11, 14 11, 11 11, 08 11, 06 11, 03 11, 00 10, 98 10,95
10 10, 92 10, 90 10, 87 10, 85 10, 82 10, 80 10, 77 10, 75 10, 72 10, 70
11 10, 67 10, 65 10, 62 10, 60 10, 57 10, 55 10, 53 10, 50 18, 48 10, 45
12 10, 43 10, 40 10, 38 10, 36 10, 34 10, 31 10, 29 10, 27 10, 24 10, 21
13 10, 20 10, 17 10, 15 10, 13 10, 11 10, 09 10, 06 10, 04 10, 02 10, 00
14 9, 98 9, 95 9, 93 9, 91 9, 89 9, 87 9, 85 9, 83 9, 81 9, 78
15 9, 76 9, 74 9, 72 9, 70 9, 68 9, 66 9, 64 9, 62 9, 60 9, 58
16 9, 56 9, 54 9, 52 9, 50 9, 48 9, 46 9, 45 9, 43 9, 41 9, 39
17 9, 37 9, 35 9, 33 9, 31 9, 30 9, 28 9, 26 9, 24 9, 22 9, 20
18 9, 18 9, 17 9, 15 9, 13 9, 12 9, 10 9, 08 9, 06 9, 04 9, 03
19 9, 01 8, 99 8, 98 8, 96 8, 94 8, 93 8, 91 8, 89 8, 88 8, 86
20 8, 84 8, 83 8, 81 8, 79 8, 78 8, 76 8, 75 8, 73 8, 71 8, 70
21 8, 68 8, 67 8, 65 8, 64 8, 62 8, 61 8, 59 8, 58 8, 56 8, 55
22 8, 53 8, 52 8, 50 8, 49 8, 47 8, 46 8, 44 8, 43 8, 41 8, 40
23 8, 38 8, 37 8, 36 8, 34 8, 33 8, 32 8, 30 8, 29 8, 27 8, 26
24 8, 25 8, 23 8, 22 8, 21 8, 19 8, 18 8, 17 8, 15 8, 14 8, 13
25 8, 11 8, 10 8, 09 8, 07 8, 06 8, 05 8, 04 8, 02 8, 01 8, 00
26 7, 99 7, 97 7, 96 7, 95 7, 94 7, 92 7, 91 7, 90 7, 89 7, 88
27 7, 86 7, 85 7, 84 7, 83 7, 82 7, 81 7, 79 7, 78 7,77 7, 76
28 7, 75 7, 74 7,72 7, 71 7, 70 7, 69 7, 68 7, 67 7, 66 7, 65
29 7, 64 7, 62 7, 61 7, 60 7, 59 7, 58 7, 57 7, 56 7, 55 7, 54
30 7, 53 7, 52 7, 51 7, 50 7, 48 7, 47 7, 46 7, 45 7, 44 7, 43

(Barus, 2004)
Lampiran G. Data Mentah Plankton

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3


No Taksa
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Chaetoceraceae
1. Rhizosolenia 5 1 4 6 1
B Cymbellaceae
2. Cymbella 3 3 8
C Fragilariaceae
3. Asterionella 3
4. Fragilaria 8 5 2
5. Synedra 3 2 2
D Naviculaceae
6. Anomoeoneis 11
7. Frustulia 6 1
8. Gyrosigma 2
9. Navicula 9 12 5 11 2 21
10. Neidium
11. Pinnularia 5 12 2 20 1
12. Stauroneis 2 1 2
E Nitzschiaceae
13. Nitzschia 5
14. Rhopalodia 7 2
F Surirellaceae
15. Surirella 7 4 15 1
II Chorophyceae
G Cladophoraceae
16. Rizoclonium 7 9 5 5
H Coelastraceae
17. Coelastrum
I Desmidiaceae
18. Closterium 10
19. Staurastrum 1
J Hydrodictyaceae
20. Pediastrum 13 2 5 16 7
K Mesotaeniaceae
21. Corurella
L Microsporaceae
22. Microspora 4 2 1
M Oocystaceae
23. Closteriopsis 10 2
24. Pacyclodon 3
N Schizogoniaceae
25. Schizogonium 8
O Ulothrichascaceae
26. Geminella 4
27. Ulothrix 14 10 9 8 11
P Volvocaceae
28. Volvox 3 6 7 2 7 7 1
Q Zygnemataceae
29. Sirogonium
30. Spyrogira 1 4 2 25 5
31. Zygnemopsis 4
III Chrysophyceae
R Chrysocapsaceae
32. Chlorhormidium 2
33. Phaeoplaca 5 2 4 2 3
IV Myxophyceae
S Oscilatoriaceae
34. Oscilatoria 5
35. Pleurococcus 2 1
V Xantophyceae
T Tribonemataceae
36. Tribonema 17 2
ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
U Spathiidae
37. Spathiodides 1 2
V Oxytrichidae
38. Kerona 2 2 3
39. Urostyla 1
VII Cladocera
W Daphnidae
40. Daphnia 3 3 4 3
X Bosminidae
41. Bosmina 4 9
Y Macrotrichidae
42. Acroperus 1 1
43. Eurycercus 2
VIII Copepoda
Z Calanoida
44. Nauplius 2 1
IX Crustaceae
A Cyclopidae
45. Diacyclops 1 2 2 7 2 5
46. Megacyclops 4 1 2 1 1 6 2
B Diaptomidae
47. Diaptomus 3
X Gastrotricha
C Dichaeturidae
48. Chaetonotus 3 2
XI Monogononta
D Brachionidae
49. Brachionus 1 1
50. Keratella
XII Tricoptera
E Hydroptilidae
51. Hydroptila 1

Stasiun 4 Stasiun 5
No Taksa
U1 U2 U3 U1 U2 U3
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Chaetoceraceae
1. Rhizosolenia 4 1
B Cymbellaceae
2. Cymbella 1
C Fragilariaceae
3. Asterionella 1 1
4. Fragilaria 4 2
5. Synedra
D Naviculaceae
6. Anomoeoeis
7. Frustulia 2 1
8. Gyrosigma 3
9. Navicula
10. Neidium
11. Pinnularia
12. Stauroneis 2
E Nitzschiaceae
13. Nitzschia
14. Rhopalodia 1
F Surirellaceae
15. Surirella 2 5
II Chorophyceae
G Cladophoraceae
16. Rizoclonium 2
H Coelastraceae
17. Coelastrum 5 3 6
I Desmidiaceae
18. Closterium
19. Staurastrum
J Hydrodictyaceae
20. Pediastrum 3 9 2
K Mesotaeniaceae
21. Corurella 3
L Microsporaceae
22. Microspora 1
M Oocystaceae
23. Closteriopsis
24. Pacyclodon
N Schizogoniaceae
25. Schizogonium
O Ulothrichascaceae
26. Geminella
27. Ulothrix 3 1 6 9
P Volvocaceae
28. Volvox 4
Q Zygnemataceae
29. Sirogonium 13 1
30. Spyrogira
31. Zygnemopsis
III Chrysophyceae
R Chrysocapsaceae
32. Chlorhormidium
33. Phaeoplaca 3 5 1
IV Myxophyceae
S Oscilatoriaceae
34. Oscilatoria
35. Pleurococcus
V Xantophyceae
T Tribonemataceae
36. Tribonema 5
ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
U Spathiidae
37. Spathiodides
V Oxytrichidae
38. Kerona
39. Urostyla
VII Cladocera
W Daphnidae
40. Daphnia 2 2 5 5 2
X Bosminidae
41. Bosmina 1 2 1 2 2 3
Y Macrotrichidae
42. Acroperus
43. Eurycercus
VII Copepoda
Z Calanoida
44. Nauplius 3 2 2
VIII Crustaceae
A Cyclopidae
45. Diacyclops 2 10 1
46. Megacyclops 7 2 7 2
B Diaptomidae
47. Diaptomus 1 1 1 4 2 2
IX Gastrotricha
C Dichaeturidae
48. Chaetonotus
X Monogononta
D Brachionidae
49. Brachionus 5
50. Keratella 3
XI Tricoptera
E Hydroptilidae
51. Hydroptila 2
Lampiran H. Foto-Foto Lokasi Penelitian

Stasiun 1 Stasiun 2

Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun 5
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Kontrol (Tanpa
Aktivitas
Stasiun 2: Daerah Pemukiman dan
Pertambakan
Stasiun 3: Daerah Pertanian
Stasiun 4: Daerah Pembuangan Limbah
PT. Toba Pulp Lestari
Stasiun 5: Daerah Bendungan Siruar
Lampiran I. Peta Lokasi Penelitian

Keterangan:

a. Stasiun 1 : Kontrol (Tanpa aktivitas)


b. Stasiun 2 : Pemukiman dan Pertambakan Ikan
c. Stasiun 3 : Pertanian
c. Stasiun 4 : Pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari
d. Stasiun 5 : Bendungan PLTA PT. INALUM
Lampiran J. Foto Beberapa Plankton yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian

I. Beberapa Jenis Fitoplankton dari Kelas Bacillariophyceae

Cymbella sp Pinnularia sp

Surirella sp Fragilaria sp

Neidium sp
II. Beberapa Jenis Fitoplankton dari Kelas Chlorophyceae

Pediastrum sp Staurastrum sp

Volvox sp Spirogyra sp

Ulotrix sp
III. Beberapa Jenis Zooplankton

Keratella sp Diaptomus sp

Diacyclops sp.
Lampiran K. Contoh Perhitungan

a. Kelimpahan Plankton Rhizosolenia sp pada Stasiun 1

PV ind.
K= 0.0196 l
W

2 x 60 ind.
= 0.0196 x 25 l

= 244,898 ind/l
Catatan: Nilai P = 2 diperoleh dari jumlah individu (6) dibagi dengan banyakanya
ulangan (3).

b. Kelimpahan Relatif Rhizosolenia sp pada Stasiun 1

KR= 244.898 %
9306.1224

= 2.632 %

c. Frekuensi Kehadiran Rhizosolenia sp pada Stasiun 1

2
FK= x100%
3

= 66.66 %

d. Indeks Diversitas Shahhon-Wiener (H) Plankton pada Stasiun 1

H = - pi ln pi
i1

=- 228
ln 228 228 ln 228 ....dst
6 6 3 3

i
= 3.2015

e. Indeks Equitabilitas / Keseragaman (E) Plankton pada Stasiun 1

H'
E = H max

3.2015
= ln 27

= 0.9714

Anda mungkin juga menyukai