ASAHAN PORSEA
SKRIPSI
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
MEDAN
2009
Misran Hasundungan Siregar : Studi Keanekaragaman Plankton Di Hulu Sungai Asahan Porsea, 2010.
STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI HULU SUNGAI
ASAHAN PORSEA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar sarjana sains
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMETERA UTARA
MEDAN
2009
PERSETUJUAN
Kategori : SKRIPSI
NIM : 050805002
Diluluskan di Medan,
Juli, 2009
Komisi Pembimbing
Pembimbing 2 Pembimbing 1
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena kasih dan
anugerah-Nya penulis dapat menyelesikan penelitian yang berjudul Studi
Keanekaragaman Plankton Di Hulu Sungai Asahan Porsea.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: Ibu
Mayang Sari Yeanny, S. Si, M. Si sebagai dosen pembimbing I dan juga Bapak Prof.
Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan dorongan, bimbingan, waktu dan perhatian yang besar selama proses
penulisan dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu
Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M. S selaku dosen penguji I dan Bapak Drs. Nursal,
M. Si selaku dosen penguji II yang telah memberikan banyak saran dan arahan demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Dra. Elimasni, M. Si selaku dosen penasehat akademik, juga kepada Bapak Prof. Dr.
Dwi Suryanto, M. Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USUdan Ibu Nunuk
Priyani, M. Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU dan juga kepada
Dekan dan para dosen Pembantu Dekan FMIPA USU serta seluruh staff pengajar dan
pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukirmanto dan Ibu
Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium Biologi FMIPA USU dan
kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Erwin selaku Pegawai Administrasi
Departemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.
ABSTRAK
Have been done research with the title of Study of Plankton Diversity in the Upper
Course of Asahan River Porsea. This Research is done with the method of Purpossive
Random Sampling that is determine 5 research station of pursuant to difference of
society activity that goes on at the drainage basin. Intake Sampel by 3 restating times
rill each research station. This research target is to see the diversity of plankton and
the correlation between chemical physical factor with the plankton diversity.
Halaman
Penghargaan iii
Abstrak v
Abstrac vi
Daftar Tabel ix
Daftar Lampiran x
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Hipotesis 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
Daftar Pustaka 46
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.2 Nilai Kelimpahan (ind/L), Kelimpahan relatif (%), dan Frekuensi
Kehadiran (%) Plankton pada Masing-Masing Stasiun Penelitian 24
Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman pada
Masing-Masing Stasiun Penelitian 31
Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun
Penelitian 33
Tabel 4.6 Nilai Korelasi yang Diperoleh Antara Parameter Fisik Kimia Perairan
dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh dari Setiap Stasiun
Penelitian 41
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
PENDAHULUA
Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dibagi atas dua
yaitu perairan lentik yang disebut juga perairan tenang (misalnya danau, waduk, rawa,
dan telaga) dan perairan lotik yang disebut juga perairan berarus deras (misalnya
sungai, kanal, dan parit). Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah
dalam kecepatan arus. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta
terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik
umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air
yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004, hlm: 21).
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
1.5 Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Habitat air tawar menempati daerah yang relatif lebih kecil pada permukaan bumi
dibandingkan habitat air laut, tetapi bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti
dibandingkan dengan luas daerahnya. Hal ini disebabkan karena: 1) habitat air tawar
merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik
maupun industri. 2) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang
memadai dan paling murah (Odum, 1994, hlm: 368).
Ekosistem lotik/ sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona
krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi
rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-
tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang
selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang
membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk
aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief
sungai yang terjal. Zona rithral dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian
yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari zona rithral), dan hyporithral
(bagian paling akhir dari zona rithral). Setelah melewati zona hyporithral, aliran
sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah daerah yang
relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal juga dibagi
menjadi 3 bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona potamal), metapotamal
(bagian tengah) dan hypopotamal (akhir dari zona potamal) (Barus, 2004, hlm: 82).
2.2 Plankton
Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air yang
pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002, hlm: 118). Kemampuan berenang organisme-
organisme planktonik demikian lemah sehingga pergerakannya sangat dipengaruhi
oleh gerakan-gerakan air (Nybakken, 1992, hlm: 36). Plankton merupakan organisme
perairan pada tingkat trofik pertama yang berfungsi sebagai penyedia energi. Plankton
dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisme plankton yang bersifat tumbuhan dan
zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan (Barus, 2004, hlm: 25).
Menurut Nybakken (1992, hlm: 84), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam
ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti
plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik-kimia)
perairan, karena antara faktor abiotik dengan biotik saling berinteraksi. Dengan
mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor
abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas perairan (Barus, 2004, hlm: 45).
a. Temperatur
Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan
karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-
fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut
0
hukum Vant Hoffs kenaikan temperatur 10 C (hanya pada kisaran temperatur yang
masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari
organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan
udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi
perairan (Brehm et al, 1990 dalam Barus, 2004, hlm: 45).
b. Kecepatan Arus
Arus mempunyai peranan yang sangat penting terutama pada perairan mengalir
(lotik). Hal ini berhubungan dengan penyebaran organisme air, gas-gas terlarut dan
mineral yang terdapat di dalam air. Kecepatan aliran air yang mengalir akan bervariasi
secara vertikal. Arus air akan semakin lambat bila semakin dekat ke bagian dasar
sungai (Barus, 2004, hlm: 40).
Michael (1984, hlm: 143), kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari
permukaan dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa
rintangan apapun. Perubahan air seperti itu tercermin dalam modifikasi yang
diperlihatkan oleh organisme yang hidup di dalam air yang mengalir, yang
kedalamannya berbeda.
c. DO (Disolved Oxygen)
Menurut Michael (1984, hlm: 168), oksigen hilang dari air secara alami oleh
adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah
yang miskin oksigen dan kenaikan suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air
0
terdapat pada suhu 0 C, yaitu sebesar 14,16 mg oksigen/liter air. Sedangkan nilai
oksigen terlarut di perairan sebaliknya tidak lebih kecil dari 8 mg oksigen/liter air.
BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh
organisme dalam lingkungan air. Proses penguraian bahan buangan organik melalui
proses oksidasi oleh mikroorganisme memerlukan waktu yang cukup lama, lebih
kurang 5 hari. Dalam waktu dua hari, kemungkinan reaksi telah mencapai 50% dan
dalam waktu 5 hari reaksi telah mencapai sedikitnya 75%, hal ini sangat tergantung
pada kerja bakteri yang menguraikannya (Wardhana, 1995, hlm: 90).
Nilai COD menyatakan jumlah oksigen total yang dibutuhkan dalam proses
oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/L. Dengan mengukur nilai COD maka
akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis
maupun terhadap yang sukar diuraikan secara biologis (Barus, 2004, hlm: 67).
f. pH (Derajat Keasaman)
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. Nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme aquatik termasuk plankton pada umumnya berkisar
antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa
akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah
akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik
semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme
akuatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium
dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas normal akan
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme
(Barus, 2004, hlm: 62).
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis
dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan
dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air
intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat
mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat
berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi
hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air
sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004, hlm: 43).
Menurut Juwana & Romimohtarto (2001, hlm: 54), banyaknya cahaya yang
menembus permukaan air laut dan menerangi lapisan permukaan air laut memegang
peranan penting dalam menentukan pertumbuhan fitoplankton. Bagi hewan laut,
cahaya mempunyai pengaruh terbesar yaitu sebagai sumber energi untuk proses
fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanannya.
h. Penetrasi Cahaya
Menurut Koesbiono (1979, hlm: 24) pengaruh utama dari kekeruhan adalah
penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktivitas
fotosintesis fitoplankton dan alga, akibatnya akan menurunkan produktivitas perairan.
Komponen nitrit (NO2) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena
langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO3). Di wilayah perairan neritik yang relatif
dekat dengan buangan industri umumnya nitrit bisa dijumpai, mengingat nitrit sering
digunakan sebagai inhibitor terhadap korosi pada air proses dan pada sistem pendingin
mesin. Bila kadar nitrit dan fospat terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan
bersangkutan mengalami keadaan eutrof sehingga terjadi blooming dari salah satu
jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin. Kondisi seperti itu bisa merugikan hasil
kegiatan perikanan pada daerah perairan tersebut (Wibisono, 2005, hlm: 66).
BAB 3
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2009 di Hulu Sungai Asahan
Porsea. Sungai ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai aktivitas
antara lain: sumber air air untuk kegitatan mandi, cuci, kakus (MCK), tempat
penangkaran ikan dalam keramba, sumber air untuk pertanian, bendungan air untuk
keperluan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan sebagai tempat pembuangan
limbah cair oleh PT. Toba Pulp Lestari.
a. Stasiun 1
Stasiun ini terletak di Desa Parparean, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2607,5 LU & 099 0858,6 BT.
Daerah ini merupakan daerah tanpa aktivitas (kontrol). Substrat pada stasiun ini
berupa lumpur berpasir dan dijumpai vegetasi berupa Bambusa sp, Sida rombifolia ,
dan Eichornia crassipe.
b. Stasiun 2
c. Stasiun 3
Stasiun ini terletak di Desa Dolok Nauli, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
0 0
Samosir, yang secara geografis terletak pada 02 2625,5 LU & 99 11137 BT.
Disebelah kiri dan kanan sepanjang aliran sungai pada stasiun ini terdapat kegiatan
pertanian seperti ladang tanaman holtikultura (Capsicum sp, Zea mays, Brassica sp,
dan Arachis hypogea) dan persawahan. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur
berpasir.
d. Stasiun 4
Sampel air dari permukaan diambil dengan menggunakan ember kapasitas 5 liter
sebanyak 25 liter , kemudian dituang kedalam plankton net (jaring plankton). Sampel
plankton yang terjaring akan terkumpul dalam bucket yang selanjutnya dituang
kedalam botol film dan diawetkan dengan menggunakan lugol sebanyak 3 tetes dan
diberi label.
a. Temperatur
Temperatur air diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang
dimasukkan kedalam sampel air selama lebih kurang 10 menit. Kemudian dibaca
skala pada termometer tersebut.
b. Penetrasi Cahaya
d. pH (Derajat Keasaman)
e. DO (Disolved Oxygen)
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat
yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik
Kimia Perairan
Parameter Tempat
No. Satuan Alat
Fisik Kimia Pengukuran
1 Tempratur air 0
C Termometer Air Raksa In-situ
2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ
3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ
4 pH air - pH air In-situ
5 DO Mg/l Metoda Winkler In-situ
6 Kejenuhan Oksigen % - In-situ
7 BOD5 Mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium
8 COD Mg/l Metoda Refluks Laboratorium
9 Kandungan nitrit dan fospat Mg/l Spektrofotometri Laboratorium
10 Kecepatan arus m/s Flow meter In-situ
Jumlah plankton yang ditemukan dihitung jumlah individu per liter dengan
menggunakan alat Haemocytometer dan menggunakan rumus modifikasi menurut
Isnansetyo & Kurniastuty (1995), yaitu
T P V 1
K x x x
L p v W
Keterangan:
K = Kelimpahan plankton per liter
2
T = luas penampang permukaan Haemocytometer (mm )
2
L = luas satu lapang pandang (mm )
P = jumlah plankter yang dicacah
p = jumlah lapang yang diamati
V = volume konsentrasi plankton pada bucket (ml)
v = volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml)
W = volume air media yang disaring dengan plankton net (ml)
Karena sebagian besar dari unsur-unsur rumus ini telah diketahui pada
3
haemocytometer, yaitu v = 0.0196 ml (19.6 mm ) dan luas penampang pada
Haemocytometer (T) sama dengan hasil kali antara luas satu lapang pandang (l)
dengan jumlah lapang yang diamati atau T = L x p
Sehingga rumusnya menjadi :
PV
K= ind.
0.0196 W l
H= - pi ln pi
i1
g. Kejenuhan Oksigen
x 100%
DOu
Kejenuhan = DO
t
g. Analisis Korelasi
Dari hasil identifikasi terhadap plankton pada setiap stasiun penelitian maka diperoleh
klasifikasi plankton seperti pada Tabel 4.1
Dari table 4.1 diketahui bahwa pada seluruh stasiun penelitian ditemukan 5
kelas Fitoplankton yang tergolong dalam 20 famili dan 35 genus serta 7 kelas
Zooplankton yang tergolong dalam 11 famili dan 15 genus. Barus (2004, hlm: 30),
kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik (mengalir) jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan fitoplankton. Pengaruh kecepatan arus terhadap zooplankton
jauh lebih kuat dibandingkan pada fitoplankton. Oleh karena itu umumnya
zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai kecepatan arus yang
rendah serta kekeruhan air yang sedikit.
Genus Cymbella dan Microspora hanya terdapat pada stasiun 1, 3, dan 4. Hal
ini disebabkan kondisi lingkungan pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan kedua
0
genus tersebut seperti temperatur 24- 25 C, penetrasi cahaya 1,4-2,4 meter, intensitas
cahaya yang cukup tinggi dan nilai BOD5 yang cukup rendah (Tabel 4.5). Kedua
genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 2 dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia
perairan pada stasiun tersebut tidak mendukung kehidupan kedua genus tersebut
0
seperti temperatur yang terlalu tinggi pada stasin 2 sebesar 26 C dan terlalu rendah
0
pada stasiun 5 sebesar 23,5 C (Tabel 4.5).
Genus Asterionella hanya terdapat pada stasiun 1 dan 5. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan pada stasiun tersebut cocok untuk pertumbuhan Asterionella
0
seperti temperatur 23,5-24 C, nilai BOD5 sebesar 0,7 mg/L (Tabel 4.5). Asterionella
tidak terdapat pada stasiun 2, 3, dan 4 karena pada stasiun tersebut terdapat aktivitas
masyarakat yang menghasilkan limbah ke badan perairan. Limbah tersebut
mengakibatkan kondisi lingkungan tidak sesuai bagi pertumbuhan Asterionella seperti
kandungan COD dan BOD5 yang cukup tinggi (Tabel 4.5) mengakibatkan defisit
oksigen dalam perairan.
Genus Fragilaria dan Rizoclonium hanya terdapat pada stasiun 2, 3, dan 4. Hal
ini karena genus-genus tersebut lebih menyukai perairan yang disekitarnya terdapat
aktivitas manusia karena aktivitas tersebut menghasilkan limbah berupa senyawa
karbohidrat, lemak dan protein namun kadarnya harus dalam batas toleransi tertentu.
Genus-genus tersebut tidak terdapat pada stasiun 1 dan 5 karena kondisi perairan pada
stasiun tersebut masih tergolong bersih (Tabel 4.5) karena tidak terdapat aktivitas
yang menghasilkan limbah.
Genus Synedra, Navicula, dan Spyrogira hanya terdapat pada stasiun 1 dan 2.
Hal ini karena kondisi lingkungan pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan genus-
genus tersebut seperti kandungan oksigen dan nitrat yang cukup tinggi serta
kandungan posfat yang cukup rendah (Tabel 4.5). Genus-genus tersebut tidak terdapat
pada stasiun 3, 4, dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia perairan pada stasiun
tersebut tidak sesuai bagi pertumbuhan genus Synedra, Navicula, dan Spyrogira
seperti kandungan COD dan posfat dan yang cukup tinggi (Tabel 4.5).
Genus Gyrosigma hanya terdapat pada stasiun 1dan 4. Hal ini disebabkan
kadar nitart yang tinggi pada kedua stasiun (Tabel 4.5). Gyrosigma tidak mampu
hidup pada stasiun 2, 3, dan 5 karena stasiun tersebut memiliki kadar nitrat yang
cukup rendah dan kandungan COD yang cukup tinggi (Tabel 4.5).
Genus Pinnularia dan Spathiodides hanya terdapat pada stasiun 1 dan 3. Hal
ini karena kondisi faktor fisik kimia pada stasiun ini cocok untuk pertumbuhan genus-
genus tersebut seperti kelarutan oksigen dan kadar nitrat yang cukup tinggi serta
kadar posfat yang cukup rendah (Tabel 4.5). Genus-genus tersebut tidak terdapat pada
stasiun 2, 4, dan 5 karena beberapa faktor fisik kimia pada stasiun tersebut kurang
sesuai bagi pertumbuhan Pinnularia dan Sphatiodides. Faktor fisik kimia tersebut
adalah kelarutan oksigen yang cukup rendah serta nilai COD yang cukup tinggi (Tabel
4.5).
Genus Stauroneis hanya terdapat pada stasiun 3 dan 4. Hal ini karena kondisi
0
lingkungan seperti temperatur 25 C yang sesuai untuk pertumbuhan genus tersebut.
Stauroneis tidak terdapat pada stasiun 1, 2, dan 5 karena kondisi lingkungan seperti
intensitas cahaya dan kadar nitrat yang cukup tinggi serta kadar posfat yang cukup
rendah (Tabel 4.5) pada stasiun ini tidak cocok untuk pertumbuhan genus tersebut.
Genus Brachionus dan Hydroptyla hanya terdapat pada stasiun 3 dan 5. hal ini
karena kondisi lingkungan seperti intensitas cahaya 710-756 Candela, kadar nitrat
0,4322-0,5000 mg/L dan kadar posfat 0,4322-0,5270 mg/L (Tabel 4.5) sangat
mendukung bagi pertumbuhan genus-genus tersebut. Kedua genus ini tidak terdapat 1,
2, dan 4 karena nilai COD yang cukup tinggi (Tabel 4.5) tidak mendukung kehidupan
genus-genus tersebut.
4.3 Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E) Masing Masing
Stasiun Penelitian
Indeks keanekaragaman (H) dan nilai indeks keseragaman (E) yang diperoleh pada
masing-masing stasiun seperti pada Tabel 4.3
Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H) dan Indeks Keseragaman (E) pada
Masing-Masing Stasiun Penelitian
STASIUN
1 2 3 4 5
H 3.2015 2.719 2.742 2.570 2.799
E 0.9714 0.8795 0.8627 0.9269 0.9344
Dari tabel 4.3 diketahui bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1
sebesar 3.2015. Tingginya keanekaragaman pada stasiun ini disebabkan oleh kondisi
faktor fisik kimia air yang mendukung bagi pertumbuhan plankton seperti kelarutan
oksigen sebesar 7.2 dan kadar nitrat yang cukup tinggi sebesar 0.7222 mg/L serta
faktor fisik kimia lain yang mendukung kelangsungan hidup plankton (Tabel 4.5).
Keanekaragaman terendah pada stasiun 4 sebesar 2.570. Hal ini disebabkan pada
stasiun ini merupakan pembuangan limbah cair PT. Toba Pulp Lestari yang
mengakibatkan kondisi faktor fisik kimia perairan menjadi kurang sesuai bagi
pertumbuhan plankton seperti kelarutan oksigen yang paling rendah yaitu sebesar 5.2
mg/L, nilai COD yang tinggi yaitu sebesar 8.6240 mg/L dan nilai BOD yang cukup
rendah yaitu sebesar 0.8 mg/L yang menandakan bahwa perairan pada stasiun ini
banyak mengandung senyawa anorganik yang membutuhkan jumlah oksigen yang
banyak dalam proses penguraiannya sehingga dapat mengakibatkan defisit oksigen
pada perairan stasiun 4.
Menurut Krebs ( 1985, hlm: 523), keanekaragaman rendah bila 0 < H < 2,30,
keanekaragaman sedang bila 2,302 < H < 6,907 keanekaragaman tinggi bila H >
6,907. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa Daerah Hulu Sungai
Asahan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Barus (2004, hlm:
121), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi
apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang
relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari
sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut
mempunyai keanekaragaman yang rendah. Menurut Begon et al (1986), nilai
diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat
pencemaran yaitu apabila H<1 tercemar berat, apabila nilai 1<H<3 tercemar sedang
dan apabila nilai H>3 tidak tercemar/bersih. Dari kategori diatas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa seluruh stasiun penelitian termasuk mengalami pencemaran pada
tingkat tercemar sedang.
Nilai indeks similaritas antar stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Stasiun 1 53.061 % 43.137% 51.162% 55.319%
Stasiun 2 30.434 % 57.894% 42.857%
Stasiun 3 45 % 45.455%
Stasiun 4 44.444%
Stasiun 5
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa indeks similaritas yang diperoleh pada stasiun
1dan 2, stasiun 1 dan 4, stasiun 1 dan 5, stasiun 2 dan 4 tergolong pada stasiun yang
mirip. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor fisik kimia perairan antara stasiun-
stasiun tersebut cukup mirip dan memiliki jumlah dan jenis yang tidak jauh berbeda.
Indeks similaritas pada stasiun 1 dan 3, stasiun 2 dan 3, stasiun 2 dan 5, stasiun 3 dan
4, stasiun 3 dan 5, stasiun 4 dan 5 dapat digolongkan pada stasiun yang tidak mirip.
Hal ini disebabkan karena perbedaan jenis limbah yang masuk ke badan perairan
sehingga mengakibatkan kondisi faktor fisik kimia yang berbeda-beda pada masing-
masing stasiun. Perbedaan kondisi faktor fisik kimia tersebut mengakibatkan
perbedaan jumlah dan jenis plankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun
tersebut.
Tabel 4.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun
Penelitian
Parameter Stasiun
No. Satuan
Fisik Kimia 1 2 3 4 5
1 Temperatur Air 0
C 24 26 25 25 23,5
2 Penetrasi Cahaya m 2,4 2,5 2,0 1,4 2,5
3 Intensitas Cahaya Candela 448 974 710 832 756
4 pH Air - 7,8 7,5 7,7 7,6 7,5
5 DO Mg/L 7,2 6,5 6,2 5,2 5,5
6 Kejenuhan Oksigen % 87,27 81,35 76,44 64,40 66,66
7 BOD5 Mg/L 0,7 1,5 1,0 0,8 0,7
8 COD Mg/L 5,4880 7,0506 7,2125 8,6240 7,8400
9 Kadar Nitrat Mg/L 0.7222 0.3800 0.4322 0.6296 0.5000
10 Kadar Posfat Mg/L 0.3083 0.3566 0.4413 0.6866 0.5270
11 Arus Permukaan Air m/s 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3
Keterangan:
a. Stasiun 1 : Kontrol
b. Stasiun 2 : Pemukiman dan Pertambakan Ikan
c. Stasiun 3 : Pertanian
d. Stasiun 4 : Pembuangan Limbah Pabrik TPL
e. Stasiun 5 : Bendungan PLTA PT. INALUM
4.5.1 Temperatur
0
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa temperatur air berkisar antara 23,5-26 C,
dengan temperatur yang tertinggi pada stasiun 2 (lokasi pertambakan ikan dan
0
pemukiman penduduk) dan terendah pada stasiun 5 yaitu 23,5 C (daerah bendungan
Siruar). Tingginya suhu pada stasiun 2 disebabkan oleh banyaknya aktivitas
masyarakat dan tidak adanya naungan vegetasi (kanopi) di sekitar daerah aliran sungai
yang menyebabkan badan air terkena cahaya matahari secara langsung dan pada
stasiun 5 temperaturnya rendah karena aktivitas di daerah tersebut sedikit, banyaknya
vegetasi yang terdapat di sekitar daerah aliran sungai dan bertambahnya volume air
karena dibendung.
Menurut Barus (2004, hlm: 45), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi
(penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola
temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang
diakibatkan oleh manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik,
penggundulan Daerah Aliran Sungai yang menyebabkan hilangnya perlindungan
sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.
Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas
cahaya yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (daerah pemukiman dan pertambakan ikan)
yaitu 974 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi disekitar daerah
aliran sungai dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat
dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh awan. Terendah
di stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 448 Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini
karena adanya vegetasi di sekitar daerah aliran sungai dan juga pengukuran dilakukan
pada sore hari yang mendung pada daerah ini.
Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin
maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi
yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari
permukaan air laut, letak geografis dan musiman (Tarumingkeng, 2001).
Penetrasi cahaya terendah dari hasil penelitian yang dilakukan terdapat pada stasiun 4
(tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 1,4 meter
sedangkan pada stasiun lain terdapat antara 2,4-2,5 meter. Hal ini disebabkan oleh
limbah cair yang berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari berwarna kecoklatan yang
mengandung banyak bahan yang tersuspensi maupun terlarut yang pada akhirnya
akan menghalangi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan.
Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 99), padatan terlarut dalam air umumnya
terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan
hewan, dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya
yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan.
Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat
transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar (2007, hlm: 16),
padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga
mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.
Arus air pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai tertinggi pada stasiun 1, 2, 3 dan
4 yaitu dengan kecepatan 0,4 m/s dan terendah pada stasiun 5 dengan kecepatan
0,3m/s. Tingginya arus pada stasiun 1, 2, 3 dan 4 ini disebabkan oleh aliran sungai
yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Rendahnya arus pada
stasiun 5 diakibatkan oleh air sungai yang dibendung. Jenis substrat akan
mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak
dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.
Menurut Barus (2004, hlm: 41), sangat sulit untuk membuat suatu batasan
mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu
ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada.
Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus
mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan
menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat
berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai
gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan
mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok (meander)
kecepatan arus paling tinggi pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika
tentang putaran massa sentrifugal. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu
kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-
batuan di dasar perairan.
Pada stasiun 1 diperoleh nilai pH (Derajat Keasaman) yang tertinggi sekitar 7,8 dari
seluruh stasiun penelitian dan terendah pada stasiun 2 sekitar 7,5. Tingginya pH pada
daerah ini disebabkan oleh belum adanya aktifitas atau belum terjadi penguraian yang
menghasilkan CO2 sedangkan rendahnya pH pada stasiun 2 karena adanya berbagai
macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang
selanjutnya akan mengalami penguraian yang menurunkan pH daerah ini. Namun
secara keseluruhan pH pada seluruh stasiun penelitian masih tergolong normal yang
berkisar antara 7,5-7,8.
Menurut Kristanto (2002, hlm: 73-74), nilai pH air yang normal adalah sekitar
netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah (buangan),
berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan
biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun
menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik
yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian.
Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut berkisar antara
5,2-7,2 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada
stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 7,2 mg/l. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu
yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk
penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen terlarut yang terendah terdapat
pada stasiun 4 (tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 5,2
mg/l. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan anorganik dalam limbah
cair tersebut yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan
tingginya suhu serta rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.
Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 (daerah
kontrol) yaitu 87,27% dan terendah pada stasiun 4 (tempat pembuangan limbah cair
pabrik Toba Pulp Lestari) yaitu 64,4%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1
memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat
memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih
rendah dibandingkan dengan stasiun 4 yang mengandung senyawa organik dan
anorganik dari limbah cair TPL.
BOD (Biological Oxygen Demand) yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui
bahwa BOD (Biological Oxygen Demand) yang tertinggi terdapat di stasiun 2 (daerah
pemukiman dan pertambakan ikan) yaitu 1,5 mg/l. Hal ini disebabkan karena
banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang
membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. Terendah di stasiun 1 (daerah kontrol)
dan stasiun 5 (daerah bendungan Siruar) yaitu 0,7 mg/l. Rendahnya BOD pada daerah
ini karena banyaknya tumbuhan air seperti Eichornia crassipes, dan Ipomea aquatica
yang mampu menyerap langsung senyawa organik seperti nitrat dan posfat sehingga
tidak perlu diuraikan oleh mikroorganisme pengurai.
Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD (Chemical Oxygen
Demand) tertinggi pada stasiun 4(tempat pembuangan limbah cair pabrik Toba Pulp
Lestari) yaitu 8,6240 mg/l dan terendah pada stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 5,4880
mg/l. Tingginya nilai COD pada stasiun 4 menunjukkan bahwa limbah cair yang
berasal dari pabrik Toba Pulp Lestari mengandung banyak senyawa organik dan
anorganik yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya
secara biologis saja.
Menurut Kristanto (2002, hlm: 88), untuk mengetahui jumlah bahan organik di
dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan,
misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat
dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis
secara cepat berdasarkan pengujian BOD5, tetapi senyawa organik tersebut juga
menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan
mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.
Dari data pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa hasil pengukuran nitrat berkisar antara
0.3800 mg/l 0.7222 mg/l. Nilai kandungan nitrat tertinggi didapatkan pada stasiun 1
sebesar 0.7222 mg/l. Kandungan nitrat yang tinggi pada stasiun ini berasal dari Danau
Toba dan hasil pembusukan vegetasi yang terdapat pada stasiun ini. Sedangkan
kandungan nitrat terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0.3800 mg/l. Hal ini
disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk ke sungai lebih
banyak mengandung senyawa anorganik dibanding senyawa organik. Banyaknya
senyawa anorganik dapat dilihat dari nilai COD yang tinggi sedangkan Nilai BOD
cukup rendah.
Menurut Barus (2004, hlm: 69), nitrat merupakan produk akhir dari proses
penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh
tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang,
sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.
-
Dari Tabel 4.5 diperoleh hasil pengukuran posfat berkisar antara 0.3083 mg/l
0.6866 mg/l. Dari data tersebut diperoleh nilai fosfat tertinggi pada stasiun 4 sebesar
0.6866 mg/l. Hal ini karena pada stasiun ini merupakan lokasi pembuangan limbah
cair PT. Toba Pulp Lestari yang banyak senyawa organik dan senyawa anorganik.
Kandungan posfat terendah didapatkan pada pada stasiun 1 yaitu sebesar 0.3083 mg/l.
Hal ini karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol (tanpa aktivitas) yang
berhubungan langsung dengan Danau Toba sehingga tidak ada masukan nutrisi dari
luar yang dapat mempengaruhi kandungan posfat pada stasiun ini.
Nilai korelasi yang diperoleh antara parameter fisik kimia perairan dengan
keanekaragaman plankton dengan metode komputerisasi SPSS ver. 13.00 dapat dilihat
pada tabel 4.6 berikut :
Tabel 4.6 Nilai Korelasi Yang Diperoleh Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan
Dengan Keanekaragaman Plankton Yang Diperoleh Dari Setiap
Stasiun Penelitian
Intensitas Penetrasi Kejenuhan Kand. Kand. Kec.
Suhu DO COD BOD5 pH
Cahaya Cahaya Oksigen Posfat Nitrat Arus
-0,511 +0,851 +0,565 +0,808 -0,916 0,355 +0,739 -0,732 +0,539 +0,665 +0,17
Keterangan: - = korelasi negatif (berlawanan)
+= korelasi positif (searah)
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara
beberapa faktor fisik kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya
dengan indeks diversitas (H). Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara
nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks diversitas (H), artinya semakin
besar nilai faktor fisik kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar
pula, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai
faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H), artinya semakin
besar nilai faktor fisik kimia maka nilai H akan semakin kecil, begitu juga
sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H akan semakin
besar.
Dari hasil analisis korelasi pada tabel di atas menunjukkan bahwa suhu, COD,
BOD5 dan kandungan posfat berkolerasi negatif (berlawanan) terhadap
keanekaragaman plankton. Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh diketahui suhu
dan kandungan posfat memiliki korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman
plankton. COD berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman plankton, dan BOD5
berkorelasi sangat lemah terhadap keanekaragaman plankton. Nilai COD menyatakan
jumlah oksigen total yang dibutuhkan dalam proses oksidasi untuk menguraikan
senyawa organik maupun senyawa anorganik baik secara kimia maupun secara
biologis. Semakin tinggi nilai COD akan mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat
disamping itu proses pembentukan oksigen dari hasil fotosintesis relatif tetap. Hal ini
akan mengakibatkan kondisi perairan menjadi defisit oksigen sehingga seluruh
organisme mengalami gangguan proses respirasi. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan kematian bagi orgnisme tertentu yang mempunyai kisaran toleransi
yang sempit terhadap kebutuhan oksigen.
Menurut Wardhana (1995, hlm: 90), kehidupan mikroorganisme dan hewan air
lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang
tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan bagi kehidupan
mikroorganisme dan hewan air lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang
tercemar kandungan oksigennya rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut dalam
air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan
organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap (ditandai dengan bau
busuk). Makin banyak bahan buangan organik dalam air, makin sedikit sisa
kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya.
5.1 Kesimpulan
Alaerts, G. & Sri, S. 1984. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.
Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. Medan: USU Press.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Medan: USU Press.
Basmi, S. 1995. Ekologi PlanktonI. Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Begon, M. John, L, H. & Colin, R, T. 1986. Ecology. London: Blackwall Scientific
Publication
Bold, H. C. & M. J. Wyne.1985. Introduction to the Algae. Second Edition New
Jersey 07632, USA: Inc. Englewood Clitts.
Brower, J. E., Jerrold, H. Z., & Car, I. N. V. E., 1990. Field an Laboratoy Methods
For General Ecology. Third Edition. USA New York: Wm. C. Brown
Publisher.
Edmondson, W. T. 1963. Fresh Water Biology. Second Edition. New York: Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Ewusie, J. Y. 1990. Ekologi Tropika. Penerjemah: Usman Tanuwidjaja.
Bandung: Penerbit ITB.
http; //id.wikipedia.org/wiki/sungaiAsahan/jurnal pdf. Diakses tanggal 1 Februari 2009.
Isnansetyo, A & Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Yogyakarta: Kanisius
Juwana, S & Romimohtarto, K. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan
Koesbiono. 1979. Dasar Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan).
Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB.
Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abundance. Third
Edition. New York: Haper & Row Publisher.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Loebis, J, Soewarno & Suprihadi. 1993. Hidrologi Sungai. Jakarta: Yayasan
Badan Penerbit Pekerjaan Umum.
Michael, P . 1984. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PTGramedia.
Odum, E. P. 1994. Dasar- Dasar Ekologi. Edisi ke-3. Penerjemah: Tjahjono, S.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pennak, A. T. 1989. The Ecology of Tropical Lakes and Rivers. New York.
Prabandani, D., Setiani, B. M.,& Sabar, A. 2007. Komposisi Plankton di Perairan
Waduk Saguling Jawa Barat. Lingkungan Tropis (Edisi Khusus). Bandung:
ikatan AhliTehnik Penyehatandan Lingkungan Indonesia.
Sarwono. 2006. Diakses 09 Mei 2009. Teori Analisis Korelasi Mengenal Analisis
Korelasi. www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm - 94k -.
Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Padang: Universitas Andalas.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tarumingkeng, R. C. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peredupan Intensitas
Cahaya Matahari pada Kolom Air di Daerah Pasir Kole, Waduk IR. H.
Juanda Purwakarta, Jawa Barat. Makalah Palsafah Sains (PPs 702). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Wardhana, W.A.1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)
Sampel Air
1 ml MnSO4
1 ml KOH KI
dikocok didiamkan
1 ml H2SO4
dikocok
didiamkan
Sampel Berwarna
Sampel Berwarna Biru
Kuning Pucat
Sampel Bening
DO Akhir DO Awal
Keterangan :
Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama
dengan penghitungan Nilai DO
Nilai BOD = Nilai DO awal Nilai DO akhir
10 ml sampel air
(Suin, 2002)
Lampiran D. Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO3)
5 ml sampel air
Larutan
Larutan
Didin
Diukuginkan
r dengan spektrofotometer pada = 410nm
Hasil
5 ml sampel air
1 ml Amstrong Reagen
1 ml Ascorbic Acid
Larutan
Hasil
(Barus, 2004)
Lampiran G. Data Mentah Plankton
Stasiun 4 Stasiun 5
No Taksa
U1 U2 U3 U1 U2 U3
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Chaetoceraceae
1. Rhizosolenia 4 1
B Cymbellaceae
2. Cymbella 1
C Fragilariaceae
3. Asterionella 1 1
4. Fragilaria 4 2
5. Synedra
D Naviculaceae
6. Anomoeoeis
7. Frustulia 2 1
8. Gyrosigma 3
9. Navicula
10. Neidium
11. Pinnularia
12. Stauroneis 2
E Nitzschiaceae
13. Nitzschia
14. Rhopalodia 1
F Surirellaceae
15. Surirella 2 5
II Chorophyceae
G Cladophoraceae
16. Rizoclonium 2
H Coelastraceae
17. Coelastrum 5 3 6
I Desmidiaceae
18. Closterium
19. Staurastrum
J Hydrodictyaceae
20. Pediastrum 3 9 2
K Mesotaeniaceae
21. Corurella 3
L Microsporaceae
22. Microspora 1
M Oocystaceae
23. Closteriopsis
24. Pacyclodon
N Schizogoniaceae
25. Schizogonium
O Ulothrichascaceae
26. Geminella
27. Ulothrix 3 1 6 9
P Volvocaceae
28. Volvox 4
Q Zygnemataceae
29. Sirogonium 13 1
30. Spyrogira
31. Zygnemopsis
III Chrysophyceae
R Chrysocapsaceae
32. Chlorhormidium
33. Phaeoplaca 3 5 1
IV Myxophyceae
S Oscilatoriaceae
34. Oscilatoria
35. Pleurococcus
V Xantophyceae
T Tribonemataceae
36. Tribonema 5
ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
U Spathiidae
37. Spathiodides
V Oxytrichidae
38. Kerona
39. Urostyla
VII Cladocera
W Daphnidae
40. Daphnia 2 2 5 5 2
X Bosminidae
41. Bosmina 1 2 1 2 2 3
Y Macrotrichidae
42. Acroperus
43. Eurycercus
VII Copepoda
Z Calanoida
44. Nauplius 3 2 2
VIII Crustaceae
A Cyclopidae
45. Diacyclops 2 10 1
46. Megacyclops 7 2 7 2
B Diaptomidae
47. Diaptomus 1 1 1 4 2 2
IX Gastrotricha
C Dichaeturidae
48. Chaetonotus
X Monogononta
D Brachionidae
49. Brachionus 5
50. Keratella 3
XI Tricoptera
E Hydroptilidae
51. Hydroptila 2
Lampiran H. Foto-Foto Lokasi Penelitian
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun 5
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Kontrol (Tanpa
Aktivitas
Stasiun 2: Daerah Pemukiman dan
Pertambakan
Stasiun 3: Daerah Pertanian
Stasiun 4: Daerah Pembuangan Limbah
PT. Toba Pulp Lestari
Stasiun 5: Daerah Bendungan Siruar
Lampiran I. Peta Lokasi Penelitian
Keterangan:
Cymbella sp Pinnularia sp
Surirella sp Fragilaria sp
Neidium sp
II. Beberapa Jenis Fitoplankton dari Kelas Chlorophyceae
Pediastrum sp Staurastrum sp
Volvox sp Spirogyra sp
Ulotrix sp
III. Beberapa Jenis Zooplankton
Keratella sp Diaptomus sp
Diacyclops sp.
Lampiran K. Contoh Perhitungan
PV ind.
K= 0.0196 l
W
2 x 60 ind.
= 0.0196 x 25 l
= 244,898 ind/l
Catatan: Nilai P = 2 diperoleh dari jumlah individu (6) dibagi dengan banyakanya
ulangan (3).
KR= 244.898 %
9306.1224
= 2.632 %
2
FK= x100%
3
= 66.66 %
H = - pi ln pi
i1
=- 228
ln 228 228 ln 228 ....dst
6 6 3 3
i
= 3.2015
H'
E = H max
3.2015
= ln 27
= 0.9714