Anda di halaman 1dari 16

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN DI SEGARA ANAKAN

KABUPATEN CILACAP, JAWA TENGAH

Julia Syahriani Hasibuan1, Sulistiono2, Charles P.H. Simanjuntak3


1
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana, IPB
2
Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
3
Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB

ABSTRAK
Laguna Segara Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai
selatan Jawa Tengah, terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Ikan Bungo (Glossogobius aureus) adalah salah satu ikan domestik yang
masih jarang di kenal masyarakat luas, ikan yang memiliki potensi sebagai salah satu komuditas
penangkapan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek biologi meliputi nisbah
kelamin, indeks kematangan gonad, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan diameter telur.
Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Apri 2017. Metode yang digunakan yaitu
metode simple random sampling. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada ikan yang
ditemukan sebanyak 252 ekor. Ikan yang mendominasi selama penelitian adalah Ambasis nalua,
Johnius sp., Glossogobius sp. Mystus gulio, dan Moolgarda sp. Fekunditas ikan Moolgarda sp.
selama penelitian ini berkisar 7356 25588 butir. Ambasis nalua selama penelitian ini berkisar
8714 22111 butir, Glossogobius sp. selama penelitian ini berkisar 36205 - 127962 butir,
Johnius sp. selama penelitian ini berkisar 9073 - 49809 butir dan Mystus gulio selama penelitian
ini sebesar 5922 butir. yang memiliki indeks kematangan gonad dan fekunditas yang
mendominasi serta pola pemijahan yang terdiri dari total spawner dan partial spawner.

Kata Kunci : Diameter telur, Fekunditas, Gonad, Segara Anakan, Reproduksi

PENDAHULUAN

Total luas wilayah laut Indonesia seluas 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan
teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (Lasabuda 2013). Indonesia kaya potensi
sumber daya perairan, baik itu laut, muara, sungai dan perairan umum. Kottelat et al (1993)
menjelaskan berdasarkan habitat hidup ikan terdapat 41% ikan dijumpai ada perairan tawar, 58%
ikan hidup di lingkungan air laut dan 1% hidup di air payau.
Kawasan Segara Anakan terletak di antara 735 - 746 S dan 10845 - 10901 E, di
perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan provinsi Jawa Tengah sebelah selatan Pulau Jawa.
Luas keseluruhan kawasan Segara Anakan adalah sekitar 24.000 hektar, meliputi perairan, hutan
mangrove, dan daratan-daratan lumpur yang terbentuk karena sedimentasi. Laguna Segara
Anakan merupakan perairan yang berlokasi di daerah muara di pantai selatan Jawa Tengah,
terletak di perbatasan antara kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan kabupaten Cilacap, Jawa Tengah
(Legono et al, 2007).
Ekosistem mangrove di kawasan Segara Anakan merupakan tempat pemijahan, mencari
makan, dan tempat pembesaran bagi ikan. Ikan yang ditemukan di kawasan Segara Anakan ada
21 genus dengan 24 spesies yaitu Moolgarda sp., Mystus gulio, Glossogobius sp., Scatophagus
argus, Leiognatus equluus, Ambassis nalua, Johnius sp., Oreochromus niloticus, Carangoides
ferdau, Pomaidasys kaakan, Lutjanus argentimaculatus, Dichotomyctere nigroviridis,
Platycephalus sp., Eleutheronema tetradactylum, Pseudapcryptes elongatus, Zenarchopterus,
Acantophagrus latus, Oxyurichtys tentacularis, Tylosurus crocodilus, Apogon hyalosoma, dan
Gerress abbreviatus. Setelah mereka dewasa, biota laut tersebut kemudian keluar melalui muara
laguna ke laut lepas, untuk selanjutnya ada yang ditangkap para nelayan dan sebagian merupakan
mata rantai pangan bagi berbagai jenis ikan besar di Samudra Hindia (Bappenas, 2010).
Beberapa jenis ikan ini akan mengalami penurunan apabila penangkapan terus menerus
dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai aspek reproduksi ikan yang hidup di
Segara Anakan baik ikan yang menetap maupun ikan yang beruaya di kawasan ini. Hal ini perlu
dilakukan agar pemerintah setempat dapat menyusun suatu kebijakan sebagai bentuk
pengawasan dan pengelolaan terhadap potensi sumberdaya perikanan di Segara Anakan agar
tetap lestari dan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat setempat. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek biologi reproduksi ikan di perairan Segara
Anakan. Aspek biologi reproduksi yang kaji meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad
(TKG), indeks kematangan gonad (IKG), fekunditas, dan diameter telur.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret hingga April 2017 di Segara Anakan, kabupaten
Cilacap, Jawa Tengah. Pengambilan contoh dilakukan satu bulan sekali di perairan Segara
Anakan berdasarkan daerah penangkapan ikan yang umum dilakukan oleh nelayan. Pengambilan
ikan contoh dilakukan dengan alat tangkap jaring insang ukuran 1 inch dengan metode simple
random sampling. Sampel ikan diawetkan dengan larutan formalin 10% Analisis laboratorium
dilakukan di Laboratorium Biologi Makro I, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan, dan Ilmu Kelautan Institut Peratanian Bogor, Bogor.

Metode Pengamatan

Sebanyak 252 ekor contoh ikan diambil secara acak dari hasil tangkapan jaring insang
experimental gillnet) dengan ukuran mata jaring 1 inch. Ikan contoh diukur panjang total (TL)
(ketelitian 0,1 cm) dan bobotnya (ketelitian 0,1 gram). Kemudian ikan dibedah dimulai dari
bagian anus menuju bagian dorsal di bawah linea lateralis sampai ke belakang operculum,
kemudian ke arah ventral hingga ke dasar perut dengan menggunakan gunting bedah untuk
diamati gonadnya guna penentuan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Kemudian
gonad ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.0001 gram dan diawetkan
dengan menggunakan larutan formalin 4%. Penentuan fekunditas dilakukan melalui pengamatan
dan penghitungan jumlah butir telur yang terdapat pada gonad ikan betina TKG III dan TKG IV.
Diameter telur ditentukan dari ikan betina yang memiliki TKG III dan IV, yaitu dengan
mengamati diameter dari telur yang diamati fekunditasnya. Diameter telur diukur sebanyak 200
butir menggunakan mikroskop yang telah dilengkapi dengan mikrometer. Penentuan TKG
dilakukan secara morfologi berdasarkan metode Cassie (1956) in Effendie (2002) yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Penentuan TKG dilakukan secara morfologi berdasarkan metode Cassie
(1956) in Effendie (2002)
TKG Betina Jantan
Ovari seperti benang, panjangnya
Testis seperti benang,warna jernih, dan
I sampai ke depan rongga tubuh, serta
ujungnya terlihat di rongga tubuh
permukaannya licin
Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari
Ukuran testis lebih besar pewarnaan
II kekuning-kuningan, dan telur belum
seperti susu
terlihat jelas
Ovari berwarna kuning dan secara Permukaan testis tampak bergerigi, warna
III
morfologi telur mulai terlihat makin putih dan ukuran makin besar
Ovari makin besar, telur berwarna
kuning, mudah dipisahkan. Butir Dalam keadaan diawet mudah putus, testis
IV
minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 semakin pejal
rongga perut
Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur Testis bagian belakang kempis dan
V
sisa terdapat didekat pelepasan dibagian dekat pelepasan masih berisi

Analisis Data

Nisbah kelamin
Nisbah kelamin dapat dihitung dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dan ikan
betina. Secara matematis nisbah kelamin dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
NK =
Keterangan :
Nk : Nisbah kelamin
M : Jumlah total ikan jantan (ekor)
F : Jumlah total ikan betina (ekor)

Indeks kematangan gonad


Indeks Kematangan Gonad adalah perbandingan antara bobot gonad terhadap tubuh ikan.
Peningkatan IKG akan seiring dengan peningkatan tingkat kematangan gonad ikan tersebut
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1979):
IKG x 100%
Keterangan :
IKG : Indeks kematangan gonad
Bg : Berat gonad (gram)
Bt : Berat tubuh (gram)

Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan memijah.
Tujuannya untuk mengetahui banyaknya butir telur yang terdapat pada gonad ikan yang berada
dalam keadaan matang gonad. Fekunditas dihitung pada kondisi tingkat kematangan gonad III
dan IV dengan menggunakan metode gabungan sebagai berikut (Effendie 2002):
Keterangan :
F : Fekunditas (butir)
G : Berat gonad total (gram)
X : Jumlah telur contoh
g : Berat gonad contoh (gram)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Jenis Ikan


Ikan yang ditemukan di kawasan Segara Anakan selama penelitian ada 21 genus dengan
24 spesies yaitu Moolgarda sp., Mystus gulio, Glossogobius sp., Scatophagus argus, Leiognatus
equluus, Ambassis nalua, Johnius sp., Oreochromus niloticus, Carangoides ferdau, Pomaidasys
kaakan, Lutjanus argentimaculatus, Dichotomyctere nigroviridis, Platycephalus sp.,
Eleutheronema tetradactylum, Pseudapcryptes elongatus, Zenarchopterus, Acantophagrus latus,
Oxyurichtys tentacularis, Tylosurus crocodilus, Apogon hyalosoma, dan Gerress abbreviatus.
Ikan yang dominan tertangkap pada bulan Maret dan April yaitu Moolgarda sp., Mystus gulio,
Glossogobius sp., Scatophagus argus, dan Ambassis nalua yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Jenis Ikan yang tertangkap di Segara Anakan
Maret April
No Ikan
Betina Jantan Betina Jantan
1 Moolgarda sp. 18 39 10 16
2 Mystus gulio 2 3 22 20
3 Glossogobius sp. 0 1 4 21
4 Scatophagus argus 4 13 0 4
5 Leignatus equluus 0 0 2 10
6 Ambassis nalua 3 4 9 3
7 Johnius sp. 0 0 12 4
8 Oreochromus niloticus 0 0 0 4
9 Carangoides ferdau 0 2 1 1
10 Pomaidasys kaakan 0 2 0 1
11 Lutjanus argentimaculatus 0 1 0 1
12 Dichotomyctere nigroviridis 0 0 0 2
13 Eleutheronema tetradactylum 0 1 0 0
14 Platycephalus sp. 0 0 1 1
15 Pseudapcryptes elongatus 0 0 0 1
16 Zenarchopterus 0 0 0 1
17 Acantophagrus latus 1 0 0 0
18 Oxyurichtys tentacularis 0 0 1 0
19 Tylosurus crocodilus 0 0 2 0
20 Apogon hyalosoma 0 0 1 0
21 Gerress abbreviatus 0 0 1 0
Nisbah Kelamin
90
80
70
Nisbah Kelamin 60
50
40
30 Jantan
20
Betina
10
0

Jenis Kelamin
Gambar 1. Nisbah Kelamin ikan yang dominan tertangkap selama penelitian
Ikan Ambassis nalua yang diperoleh selama penelitian sebanyak 19 ekor yang terdiri dari 7
ekor jantan (36,84%) dan 12 ekor betina (63,15%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan
Ambassis nalua jantan dan betina di Segara Anakan adalah 1:1,7. Nisbah kelamin pada ikan
seriding (TKG IV) tidak mengikuti pola 1:1. Ikan betina lebih dominan dibanding ikan jantan.
Kondisi yang sama juga ditemukan pada beberapa ikan pesisir seperti ikan Micropogonias
furnieri di Teluk Sepetiba, Rio de Jeneiro (Vicentini and Araujo 2003), Parambassis ranga
di perairan Haebaru, Okinawa (Ishikawa and Tachihara 2012), akan tetapi berbeda
dengan Ambassis nigripinnis yang memiliki nisbah kelamin dengan pola 1 : 1 sepanjang tahun
(Milton and Arthington 1985).
Ikan Glossogobius sp. yang diperoleh selama penelitian sebanyak 26 ekor yang terdiri
dari 22 ekor jantan (84,61%) dan 4 ekor betina (15,39%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan
Glossogobius sp. jantan dan betina di Segara Anakan adalah 5,49:1. Terdapat berbedaan
terhadap ikan bungo yang di teliti di perairan Ujung pangkah, geresik, jawa timur. Nilai nisbah
kelamin secara keseluruhan pada pengamatan di ujung pangkah antara ikan jantan dan ikan
betina 1:1.6 atau 38% ikan jantan dan 62% ikan betina dan secara keseluruhan tidak seimbang,
diduga karena ikan betina kurang aktif dalam air dibandingkan dengan ikan jantan pada
kematangan gonad yang sama, sehingga ikan betina lebih banyak tertangkap dibandingkan ikan
jantan (febriani, 2003). Sedangkan G. matanensis di danau matano memiliki kisaran nisbah
kelamin sekitar 0.2 1.3 (Hutabarat, 2003). Halfawy (2007) menyatakan bahwa
ketidakseimbangan rasio kelamin jantan dan betina berhubungan dengan strategi pertumbuhan
untuk kesuksesan reproduksi. Ikan jantan umumnya lebih cepat matang gonad karena ukurannya
relatif panjang dibandingkan dengan ikan betina. Ini juga ada hubungannya dengan musim
pemijahan dan faktor lingkungan. Founda et al., (2005) pada Silhouetta aegyptia dan
Pomatoschistus marmoratus di Danau Timzah, Terusan Suez memiliki nisbah kelamin jantan
dan betina masing-masing 1:1.7 dan 1:2.7.
Ikan Johnius sp. yang diperoleh selama penelitian sebanyak 16 ekor yang terdiri dari 4
ekor jantan (25%) dan 12 ekor betina (75%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan Johnius sp.
jantan dan betina di Segara Anakan adalah 1:4. Nisbah kelamin ikan penting diketahui untuk
menduga keseimbangan ikan jantan dan betina, rekruitmen, dan keberhasilan pemijahan (Saputra
et al. 2012). Nisbah kelamin ikan totot (jantan:betina) TKG IV adalah 1:4,13. Hasil uji-t
menunjukkan perbandingan nisbah kelamin tersebut tidak seimbang. Hal serupa juga terdapat
pada ikan totot di Pantai Mayangan (Rahardjo dan Simanjuntak 2007) dan di Maan Archipelago
(Kai et al. 2012). Nikolsky (1963) menyatakan, jika ketersediaan makanan berlimpah, maka ikan
betina akan lebih dominan dari ikan jantan. Ketersediaan makanan di perairan delta Cimanuk
diduga masih berlimpah. Nisbah kelamin tidak seimbang juga dapat disebabkan oleh faktor
penangkapan, perbedaan distribusi antara ikan totot betina dan jantan, serta pola tingkah laku
ikan. Pergerakan ikan jantan diduga lebih gesit dari pada ikan betina, sehingga ikan betina
memiliki peluang yang lebih besar untuk tertangkap. Nisbah kelamin (jantan:betina) ikan totot di
delta Cimanuk ditemukan seimbang pada 1:1,8, yaitu satu ekor ikan jantan dapat membuahi dua
ekor ikan betina.
Ikan Moolgarda sp. yang diperoleh selama penelitian sebanyak 83 ekor yang terdiri dari
55 ekor jantan (66,26%) dan 28 ekor betina (33,73%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan
Moolgarda sp. jantan dan betina di Segara Anakan adalah 2:1. Hal ini menjelaskan bahwa
komposisi ikan jantan tidak seimbang dengan ikan betina karena ikan jantan lebih banyak
tertangkap dibandingkan dengan ikan betina.Hal ini sesuai dengan literatur Sulistiono et al.
(2001) yang menyatakan bahwa jumlah ikan belanak yang tertangkap di Pantai Mayangan
bervariasi setiap bulannya dengan jantan yang tertangkap lebih besar daripada betina. Jumlah
tangkapan ikan jantan tertinggi pada September (77%; 33 ekor) dan betina tertinggi pada
Agustus (45%; 26 ekor). Nisbah kelamin ikan belanak tidak seimbang dan lebih didominasi oleh
ikan jantan. Hal ini disebabkan adanya pola tingkah laku yang berbeda yakni, ikan betina lebih
banyak berada di daerah mangrove sehingga peluang tertangkapnya ikan jantan dengan jaring
belanak lebih besar dibandingkan ikan betina. Nisbah kelamin ikan Valamugil seheli jantan lebih
besar daripada ikan betina ditemukan di perairan Mangalore-India yaitu 2,09:1 (Gowda &
Shanbogue 1988). Fakta ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti,
Sulistiono et al. (2001) mengatakan bahwa M. dussumieri di Ujung Pangkah memiliki nisbah
kelamin 1:1,6 atau 39% jantan dan 61% betina; nisbah kelamin M. liza jantan dan betina di Teluk
Tropis Brazil sebesar 1:1,73 (Albieri & Araujo 2010). Rahardjo (2006) menyatakan bahwa
nisbah kelamin di daerah tropis seperti Indonesia bersifat variatif dan menyimpang dari 1:1.
Ikan Mystus gulio yang diperoleh selama penelitian sebanyak 47 ekor yang terdiri dari 23
ekor jantan (51,07%) dan 24 ekor betina (48,93%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan
Mystus gulio jantan dan betina di Segara Anakan adalah 5,49:1. Sementara Ikan Scatophagus
argus yang diperoleh selama penelitian sebanyak 21 ekor yang terdiri dari 17 ekor jantan
(80,95%) dan 4 ekor betina (19,05%). Dengan demikian nisbah kelamin ikan Scatophagus argus
jantan dan betina di Segara Anakan adalah 4,25:1.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Dari hasil pengamatan secara morfologi pada gonad ikan betina pada tingkat kematangan
gonad (TKG) 1 dan 2 belum tampak terlihat kuning telurnya, sedangkan pada TKG 3 dan 4
secara morvologi sudah terlihat ovary yang telah berwarna kuning dan telah di temukan kuning
telur. Distribusi Tingkat Kematangan Gonad ikan jantan dan betina selama penelitian dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Tingkat Kematangan Gonad ikan jantan dan betina selama penelitian.
Maret April
No Nama TKG
Jantan Betina Jantan Betina
1 Moolgarda sp. I 34 13 12 8
II 4 3 4 1
III 1 0 0 1
IV 0 2 0 0
2 Scatophagus argus I 13 4 3 0
II 0 0 1 0
3 Ambassis nalua I 3 0 1 1
II 1 2 2 1
III 0 1 0 5
IV 0 0 0 2
4 Mystus gulio I 3 0 18 5
II 0 2 0 16
III 0 0 2 1
IV 0 0 0 0
5 Glossogobius sp. I 2 0 7 0
II 0 0 12 0
III 0 0 2 3
IV 0 0 1 1
6 Johnius sp. I 0 0 2 0
II 0 0 1 1
III 0 0 1 5
IV 0 0 0 5
7 Leiognatus equluus I 0 0 10 0
II 0 0 0 2
8 Lutjanus argentimaculatus I 1 0 1 0
II 0 0 1 0
9 Tylosurus crocodilus III 0 0 0 1
IV 0 0 0 1
10 Eleutheronema tetradactylum I 1 0 0 0
11 Carangoides ferdau I 2 0 1 0
12 Oreochromus niloticus I 0 0 4 0
13 Platycephalus sp. I 0 0 1 0
IV 0 0 0 1
14 Pomaidasys kaakan I 0 0 1 0
15 Pseudapcryptes elongatus I 0 0 1 0
16 Zenarchopterus III 0 0 3 0
17 Oxyurichtys tentacularis IV 0 0 0 1
18 Acantophagrus latus V 0 1 0 0
Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa gonad yang belum matang didominasi oleh ikan
Moolgarda sp. sebanyak 46 ikan jantan dan 21 ikan betina pada TKG I dan TKG II sebanyak 8
ikan jantan dan 4 ikan betina sementara gonad yang matang (TKG III dan IV) didominasi oleh
ikan Ambasis nalua betina sebanyak 6 ekor pada TKG III dan sebanyak 2 ekor pada TKG IV.
Perkembangan gonad ikan betina lebih banyak diperhatikan daripada ikan jantan, karena
perkembangan diameter telur yang terdapat dalam gonad lebih mudah dilihat daripada sperma
didalam testis (Effendie, 2002). Bavelander dan Ramaley (1998) menyatakan bahwa
perkembangan gonad dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Salah satu contoh faktor
dalam yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah hormon, sementara faktor luarnya
adalah suhu.
Dilihat secara morfologis pada ikan betina TKG I, gonad masih berbentuk sepasang
benang kasar yang terletak di bagian rongga perut, berwarna jernih dan permukaan yang licin
dan telur belum dapat terlihat. Secara histologis didominasi oleh oosit dengan inti sel yang lebih
besar. Pada TKG II secara morfologis, gonad betina berukuran lebih besar daripada TKG I,
berwarna mulai kekuningan dan butiran telur belum terlihat secara kasat mata. Pada fase ini
belum tedapat granula kuning telur, sehingga dinamakan fase istirahat (Fujaya, 2002). Secara
morfologis pada TKG III, gonad ikan betina berwarna kuning kemerahan dengan butirbutir
telur mulai terlihat. Pada TKG IV secara morfologis terlihat ovari bertambah besar ukurannya
dan berwarna kuning. Butir telur terlihat jelas karena selaput gonad transparan.

Indeks Kematangan Gonad (IKG)

Berdasarkan waktu penelitian, nilai ratarata IKG ikan yang dominan tertangkap yaitu
Moolgarda sp., Mystus gulio, Glossogobius sp., Scatophagus argus, Leiognatus equluus,
Ambassis nalua, Johnius sp. Nilai Indeks Kematangan Gonad bervariasi pada setiap stasiun
tetapi nilai IKG semakin meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad.
Nilai IKG pada ikan Moolgarda sp. tertinggi pada stasiun 2 sebesar 0,493 dan terendah
pada stasiun 6 sebesar 0,1672. Nilai IKG pada ikan Moolgarda sp. berdasarkan TKG terendah
TKG I sebesar 0,2794 dan tertinggi TKG IV sebesar 3,0259 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Indeks Kematangan Gonad ikan Moolgarda sp. berdasarkan stasiun dan Tingkat
Kematangan Gonad selama waktu penelitian
Nilai indeks kematangan gonad ikan belanak (M. engeli) di perairan Mayangan mengalami
fluktuasi. Pada ikan jantan nilai rata-rata IKG berkisar antara 0,2-0,6; sedangkan pada ikan
betina berkisar antara 1,6-5,6. Hal ini diduga karena pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada
pertumbuhan gonad, akibatnya bobot gonad betina lebih besar dibandingkan bobot gonad jantan.
Nilai indeks kematangan gonad ikan belanak terbesar ditemukan pada Agustus dan September.
Berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG), rata-rata IKG ikan jantan dan betina mengalami
peningkatan seiring dengan peningkatan TKG. Nilai IKG ikan tersebut bervariasi tergantung dari
nilai kematangan gonadnya.
Nilai IKG pada ikan Glossogobius sp. tertinggi pada stasiun 1 sebesar 1,7773 dan
terendah pada stasiun 4 sebesar 0,2394. Nilai IKG pada ikan Glossogobius sp. berdasarkan TKG
terendah TKG I sebesar 0,2772 dan tertinggi TKG IV sebesar 5,1937 dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Indeks Kematangan Gonad ikan Glossogobius sp. berdasarkan stasiun dan Tingkat
Kematangan Gonad selama waktu penelitian
Dilihat dari tingkat kematangan gonad, nilai IKG ikan bungo jantan dan betina meningkat
seiring dengan meningkatnya TKG. Peningkatan berat gonad berbanding lurus dengan
perkembangan gonad sehingga semakin berkembang gonad diikuti oleh peningkatan berat tubuh.
Dengan demikian, IKG akan semakin besar pada TKG IV dan mencapai maksimum sesaat
sebelum pemijahan terjadi. Effendie (2002) mengemukakan bahwa indeks kematangan gonad
(IKG) akan semakin meningkat nilainya dan mencapai batas maksimum pada saat menjelang
terjadinya pemijahan (Effendie, 2002). Berdasarkan penelitian Sulistiono et al (2002). Puncak
pemijahan Ikan butini yang ada di Danau Tuwoti, Sulawesi Selatan berdasarkan nilai IKG terjadi
pada bulan Mei dan November. Dengan rata-rata antara 0.149% - 0.554% pada ikan jantan.
Sedangkan pada ikan betina bekisar 0.068% 1.342% . Menurut Chairunnisa (2009)
berdasarkan hasil penelitian pada ikan manggabai (Glossogobius giuris) di Danau Limboto,
Kabupaten Gorontalo, diperoleh bahwa nilai IKG ikan manggabai jantan umumnya lebih kecil
daripada ikan betina pada tiap kematangan gonad. Pada ikan jantan berkisar antara 0.963%
2.511% dan pada ikan betina berkisar dari 0.688%3.660%. Pada ikan Gobius vittatus yang
hidup di Adriatic Sea Barcelona, diperoleh nilai IKG pada ikan jantan cukup bervariasi antara
0.03% dan 1.67% dengan rata-rata sebesar 0.390.02%. Pada ikan betina, nilai IKG berkisar
antara 1.340.01% dengan nilai berkisar antara 0.12% dan 4.06%. Nilai IKG terbesar untuk ikan
jantan dan betina terjadi pada TKG IV (Kovacic, 2007).
Dilihat dari tingkat kematangan gonad, nilai IKG ikan bungo jantan dan betina meningkat
seiring dengan meningkatnya TKG. Peningkatan berat gonad berbanding lurus dengan
perkembangan gonad sehingga semakin berkembang gonad diikuti oleh peningkatan berat tubuh.
Dengan demikian, IKG akan semakin besar pada TKG IV dan mencapai maksimum sesaat
sebelum pemijahan terjadi. Effendie (2002) mengemukakan bahwa indeks kematangan gonad
(IKG) akan semakin meningkat nilainya dan mencapai batas maksimum pada saat menjelang
terjadinya pemijahan (Effendie, 2002).
Nilai IKG pada ikan Ambasis nalua tertinggi pada stasiun 4 sebesar 3,5244 dan terendah
pada stasiun 3 sebesar 1,1813. Nilai IKG pada ikan Ambasis nalua berdasarkan TKG terendah
TKG I sebesar 0,3023 dan tertinggi TKG IV sebesar 6,3191 yang dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Indeks Kematangan Gonad ikan Ambasis nalua berdasarkan stasiun dan Tingkat
Kematangan Gonad selama waktu penelitian
Peningkatan nilai IKG pada ikan betina serupa juga ditemukan pada ikan Liza aurata di
Yunani (Hotos et al. 2000) dan Eugerres mexicanus di Mexico (Zenil et al. 2014). Berdasarkan
proporsi TKG dan IKG yang tertinggi terjadi pada bulan September, maka bulan tersebut dapat
dianggap sebagai puncak pemijahan. Musim pemijahan ikan seriding berbeda dengan jenis
Ambassidae lainnya, seperti Ambassis agassizii yang memijah pada bulan Oktober dan
November di Australia (Milton & Arthington 1985).
Nilai IKG pada ikan Mystus gulio tertinggi pada stasiun 3 sebesar 1,4230 dan terendah
pada stasiun 6 sebesar 0,2796. Nilai IKG pada ikan Mystus gulio berdasarkan TKG terendah
TKG I sebesar 0,2798 dan tertinggi TKG III sebesar 2,1368 yang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Indeks Kematangan Gonad ikan Mystus gulio berdasarkan stasiun dan Tingkat
Kematangan Gonad selama waktu penelitian
Nilai IKG pada ikan Johnius sp. tertinggi pada stasiun 4 sebesar 3,5094 dan terendah pada
stasiun 6 sebesar 0,8000. Nilai IKG pada ikan Johnius sp. berdasarkan TKG terendah TKG I
sebesar 0,4839 dan tertinggi TKG IV sebesar 4,0431 yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Indeks Kematangan Gonad ikan Johnius sp. berdasarkan stasiun dan Tingkat
Kematangan Gonad selama waktu penelitian
Nilai IKG ini sangat berkaitan dangan faktor kondisi dan TKG. Nilai IKG semakin
meningkat dan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan (TKG IV), setelah
itu menurun secara cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai (Effendie
1997). Nilai IKG ikan totot betina lebih besar dari ikan jantan karena bobot ovarium betina lebih
besar dibanding testis jantan. Hal ini disebabkan oleh adanya butir-butir telur yang mangalami
perkembangan dalam ovari, sehingga semakin besar diameter maka IKG semakin meningkat
(Yustina dan Arnentis 2002). Bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Bobot gonad
ikan betina berkisar antara 10-25% dari bobot tubuh ikan, sedangkan ikan jantan berkisar antara
5-10% dari bobot tubuh ikan (Effendie 1979).

Fekunditas

Fekunditas ikan di Segara Anakan terdiri dari 15 ekor TKG III dan 16 ekor TKG IV yaitu
Moolgarda sp., Ambasis nalua, Glossogobius sp., Johnius sp., Oxyurichtys tentacularis, dan
Mystus gulio yang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Fekunditas ikan di Segara Anakan berdasarkan TKG III dan TKG IV
Bobot Bobot Jumlah
Trip Stasiun Nama TKG Bobot Fekunditas
gonad contoh contoh
1 ST I Moolgarda engeli IV 30 1,1690 0,2219 2287 12048
Moolgarda perusi IV 23 0,4957 0,1275 1892 7356
ST IV Ambasis nalua III 4 0,0936 0,0168 1564 8714
2 ST I Moolgarda engeli III 212 1,0235 0,0512 1280 25588
Glossogobius aureus IV 28 1,7965 0,0898 1925 38511
Glossogobius aureus IV 29 1,3782 0,0689 1810 36205
Oxyurichtys tentacularis IV 15 0,7339 0,2465 2851 8488
Ambassis nalua III 6 0,1315 0,0066 963 19187
Ambassis nalua IV 1 0,0283 0,0014 1072 21670
Tylosurus crocodilus III 73 0,6815 0,0341 2052 41010
Bobot Bobot Jumlah
Trip Stasiun Nama TKG Fekunditas
gonad contoh contoh
2 ST II Ambasis nalua III 0,4235 0,0212 904 18059
Ambasis nalua III 0,2876 0,0144 1021 20392
Glossogobius aureus IV 2,7418 0,082 3827 127962
Glossogobius aureus III 0,3637 0,0182 2830 56553
Apogon hyalosoma IV 1,1052 0,0553 520 10392
ST III Ambasis nalua III 0,0571 0,0029 1123 22111
Ambasis nalua III 0,0422 0,0021 1076 21622
Gerress abbreviatus III 0,1451 0,0073 1930 38362
ST IV Johnius ambycephalus III 0,4246 0,0212 453 9073
Johnius ambycephalus III 1,3266 0,0663 570 11405
Johnius belangeri IV 0,9572 0,0479 589 11770
Ambasis nalua IV 0,4238 0,0212 318 6357
Mystus gulio III 0,9624 0,0481 296 5922
ST V Johnius ambycephalus IV 1,7143 0,0857 2490 49809
Johnius belangeri IV 1,7306 0,0865 932 18646
Johnius belangeri III 0,4506 0,0225 1982 39693
Johnius belangeri IV 0,6746 0,1097 2090 12852
Johnius belangeri IV 0,7070 0,0354 1082 21609
Johnius belangeri III 0,2939 0,0147 1529 30570
Johnius belangeri III 0,7669 0,0182 684 28822
ST VI Tylosurus crocodilus IV 14,6283 1,2782 1273 14569
Platycephalus sp. IV 0,9785 0,0489 1068 21371

Fekunditas ikan Moolgarda sp. selama penelitian ini berkisar 7356 25588 butir.
Fekunditas belanak terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan ikan bilis di Pantai Mayangan
yang memiliki jumlah telur antara 1.222-29.011 butir (Putri 2012) dan belanak di Suez-Mesir
(jumlah telur antara 42.312-95.419 butir) (Halfawy 2004). Jika dibandingkan dengan belanak di
Ujung Pangkah, Indramayu, dan Mangalore India dengan jumlah telur masing antara 27.117-
323.200 butir (Sulistiono et al. 2001); 9.691-173.335 butir (Ratnaningsih 2013); dan 208.482-
1.278.138 butir (Gowda & Shanbogue 1988), fekunditas belanak di Mayangan terlihat lebih
kecil. Hal ini diduga sebagai daya adaptasi belanak untuk mempertahankan populasinya di alam.
Fekunditas ikan Ambasis nalua selama penelitian ini berkisar 8714 22111 butir. Nilai
fekunditas total ikan seriding yang diperoleh dari April hingga Oktober berkisar antara 3.451-
32.465 butir dengan rata-rata yaitu 12.618 (6156) butir. Nilai fekunditas ikan seriding ini masih
sedikit jika dibandingkan dengan fekunditas ikan Gerres kapas dan ikan Cynoglossus bilineatus
di perairan pantai Mayangan, secara berurutan berkisar antara 1.158-219.372 butir (Sjafei &
Syahputra 2009) dan 2.323-225.557 butir (Zahid & Simanjuntak 2009), dikarenakan perbedaan
ukuran tubuh masing-masing spesies.
Fekunditas ikan Glossogobius sp. selama penelitian ini berkisar 36205- 127962 butir.
Novanistati (2001) melaporkan Glossogobius giuris yang hidup di sekitar hutan lindung Angke
Kapuk, Jakarta Utara mempunyai nilai fekunditas sebesar 20400 butir dari satu ekor ikan dengan
panjang total 100 mm dan berat 10.83 g. Sementara ikan Gobius vittatus di Adriatic Sea, Spain
memiliki fekunditas dengan kisaran 5603045 butir telur (Kovacic, 2007). Berdasarkan nilai
tarsebut, dapat dikatakan bahwa fekunditas G.giuris di D. Tempe relatif tidak berbeda dan
memiliki potensi reproduksi tinggi dibandingkan dengan fekunditas Genus Glossogobius yang
hidup di berbagai daerah lain. Nilai fekunditas yang berbeda diantara spesies ikan mencerminkan
strategi reproduksinya dan sebagai hasil dari adaptasi terhadap lingkungannya. Fekunditas ikan
yang baru pertama kali memijah cenderung mempunyai kualitas dan kuantitas telur yang masih
rendah dibandingkan degan ikan yang telah berkali kali memijah (Froese dan Luna, 2004).
Fekunditas ikan Johnius sp. selama penelitian ini berkisar 9073 - 49809 butir. Ikan totot
betina TKG IV di delta Cimanuk selama pengambilan contoh memiliki fekunditas berkisar
antara 11.554-87.855 butir dengan rata rata 38.990 butir sekali memijah. Fekunditas ikan totot di
Pantai Mayangan berkisar antara 11.492-270.050 butir (Rahardjo dan Simanjuntak 2007).
Variasi fekunditas dapat disebabkan oleh adanya ikan yang baru pertama memijah dan sudah
pernah memijah, serta adanya variasi ukuran dari ikan contoh. Ikan yang telah beberapa kali
memijah memiliki fekunditas lebih besar dari ikan yang baru pertama kali memijah. Nikolsky
(1963) menyatakan bahwa fekunditas dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan predator. Ikan
yang hidup pada perairan yang kurang subur memiliki produksi telur yang rendah, sedangkan
ikan yang hidup dengan kondisi predator dalam jumlah banyak memiliki fekunditas yang besar.
Fekunditas ikan Mystus gulio selama penelitian ini sebesar 5922 butir. Hal ini sesuai
dengan literatur Heltonika (2009) di Jawa Tengah bahwa fekunditas berkisar 3025 50018 butir.
Sementara Rukayah et al. (2003), melaporkan bahwa strategi reproduktif ikan senggaringan
ditinjau dari fekunditas mutlak berkisar antara 10005 39621,61 butir.
Unus (2009) menambahkan bahwa besar kecilnya fekunditas dipengaruhi oleh makanan,
ukuran ikan dan kondisi lingkungan, serta dapat juga dipengaruhi oleh diameter telur. Ikan tropis
yang memijah pada musim penghujan memberi keuntungan bagi anakanak ikan untuk
mendapatkan makanan dan terlindungi dari predator. Adaptasi pemijahan tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti ketersediaan makanan, perubahan pada level dan kualitas air, dan
ketersediaan tempat memijah (Pacheco dan Da-Silva, 2009). Selain itu, kondisi lingkungan yang
banjir akan mempengaruhi kontrol endokrin untuk mengahasilkan hormonhormon yang
mendukung proses perkembangan gonad dan pemijahan (Siby, 2009).

Diameter Telur

Diameter telur ikan yang dominan di Segara Anakan selama penelitian yaitu Ambasis
nalua, Johnius sp., Glossogobius sp., Mystus gulio, dan Moolgarda sp. Diameter telur ikan
Ambasis nalua berkisar antara 0,05-0,52 mm selama penelitian. Sebaran diameter telur ikan
seriding dari 31 ikan betina yang telah matang gonad (TKG IV) bervariasi, dibagi ke dalam 14
kelompok ukuran yaitu antara 0,1-1,06 mm (Gambar 4.6). Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa
sebaran diameter telur ikan seriding memiliki tiga buah modus. Modus pertama terdapat pada
selang kelas 0,23-0,29 mm; modus kedua terdapat pada selang kelas 0,44-0,50 mm; dan modus
ketiga terdapat pada selang kelas 0,79-0,85 mm. Ketiga modus yang muncul menunjukkan
bahwa ikan seriding (A. nalua) memiliki tipe pemijahan bertahap, yang artinya ikan akan
mengeluarkan telurnya sebagian demi sebagian.
Diameter telur ikan Johnius sp. berkisar antara 0,04-0,5 mm selama penelitian. Frekuensi
pemijahan dapat diduga dengan melihat modus penyabaran ukuran diameter telur yang telah
matang gonad (TKG IV). Telur ikan yang diamati memiliki diameter berkisar dari 0,015-0,048.
Hasil menunjukkan bahwa terdapat satu modus sebaran diameter telur pada ikan totot TKG IV.
Puncak modus diameter telur TKG IV berada pada kisaran selang kelas 0,030-0,035 mm. Ikan
totot di delta Cimanuk memiliki tipe pemijahan total (total spawning). Ikan dengan tipe
pemijahan total (total spawning) memiliki waktu pemijahan yang singkat (Effendie 1997) karena
ikan mengeluarkan seluruh telur yang ada pada saat memijah. Ikan yang tergolong total
spawning pada umumnya memiliki ukuran diameter telur kecil, fekunditas besar, dan musim
pemijahan yang cenderung tetap (Connell 1987 in Pellokila 2009). Ikan totot termasuk ikan
iteroparous, yaitu ikan yang dapat melakukan pemijahan beberapa kali selama ikan itu hidup
(Rahardjo dan Simanjutak 2007).
Diameter telur ikan Glossogobius sp. berkisar antara 0,11-0,425 mm selama penelitian.
Sebaran diameter telur yang diperoleh berkisar antara 49372m. Sulsitiono (2012) melaporkan
ikan beloso di Perairan Ujung Pangkah memiliki kisaran diameter telur 36272 m. Koutrakis
dan Tsikliras (2009) menemukan marble goby, Pomatoschistus marmoratus memiliki kisaran
diameter telur 0.1980.816 mm. Sitepu (2011) juga melaporkan diameter telur ikan manggabai
(G. giuris) di Danau Limboto berkisar antara 0.793.04 mm. Unus (2009) mengemukakan bahwa
semakin besar ukuran diameter telur akan semakin baik, karena dalam telur tersebut tersedia
cadangan makanan sehingga larva ikan akan bertahan lebih lama. Larva yang berasal dari telur
yang besar memiliki keuntungan karena memiliki cadangan kuning telur yang lebih banyak
sebagai sumber energi sebelum memperoleh makanan dari luar. Ukuran diameter telur dapat
menentukan kualitas yang berhubungan dengan kandungan kuning telur dimana telur yang
berukuran besar juga dapat menghasilkan larva yang berukuran besar. Dari sebaran diameter
telur diperoleh dua puncak modus penyebaran. Hal ini menunjukkan bahwa kematangan gonad
ikan ini terjadi tidak serentak atau memijah secara bertahap (partial spawner). Hal ini juga
didukung oleh hasil histologis gonad ikan betina pada TKG IV terdapat diameter telur dan
tingkat kematangan telur yang berbedabeda.
Diameter telur ikan Mystus gulio berkisar antara 0,07-0,43 mm selama penelitian. Rukayah
et al. (2003), melaporkan bahwa proporsi ukuran diameter telur pada musim kemarau masih
didominasi oleh ukuran 50-100 m, dan ikan senggaringan termasuk ikan yang total spawning
pada saat pemijahannya. Diameter telur ikan Moolgarda sp. berkisar antara 0,1-0,45 mm selama
penelitian. Berdasarkan sebaran diameter telur, ikan belanak pada penelitian ini dikategorikan
sebagai pemijah serempak, yaitu ikan belanak melakukan pemijahan dengan mengeluarkan telur
yang masak sekaligus dalam satu waktu. Hal ini terlihat dari sebaran diameter telur TKG IV
yang membentuk satu puncak.

DAFTAR PUSTAKA
Albieri RJ, Arajo FG, Uehara W. 2010. Differences in reproductive strategies between two co-
occurring Mullets Mugil curema Valenciennes 1836 and Mugil Chelon Valenciennes 1836
(Mugilidae) in A Tropical Bay (23): 51-62.
Bappenas. 2010. Perencanaan Pembangunan Kawasan Segara Anakan. Direktorat Kelautan dan
Perikanan, Bappenas.
Bavelander G, Ramaley J. 1998. Dasar Dasar Histologi. Edisi kedelapan. Erlangga.Jakarta.
Chairunnisa. 2009. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Manggabai (Glossogobius giuris, Hamilton
1822) di Danau Limboto, Kabupaten Gorontalo. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar. 88 hal.
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri Bogor. Bogor. 112 hal.
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Febriani F. 2003. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Beloso (Glossogobius giuris) di perairan
Ujung Pangkah. Jawa Timur [Skripsi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Froese R, Luna S. 2004. No relationship between fecundity and annual reproductive rate in bony
fish. Acta Ichthyologica et Piscatoria 34 (1) : 11 2.
Fouda MM, Hanna MY, Fouda FM. 2005. Reproductive biology of a Red Sea goby, Silhouetta
aegyptia and a Mediterranean goby, Pomatoschistus marmoratus, in Lake Timsah, Suez
cannal. Journal of fish biology 43 (1) : 139 151.
Gowda G & Shanbhogue S L. 1988. On the reproductive biology of grey mullet Valamugil seheli
(Forskal) from Mangalore Waters. Mahasagar. 21(2): 105-112.
Halfawy MME. 2007. Reproductive biology and histological studies of the grey mullet, Liza
Ramada (Risso, 1826) in Lake Timsah, Suez Canal. Egyption Journal Of Aquatic
Research. 33: 434 454.
Hutabarat, L, C. 2003. Aspek biologi reproduksi ikan butini (Glossogobius matanensis weber,
1913) di danau matano, sulawesi selatan. Program studi manajemen sumberdaya perairan.
Fakultas perikanan dan ilmu kelautan. Institut pertanian bogor.
Ishikawa T & Tachihara K. 2012. Reproductive biology, growth, and age composition of non-
native Indian glassy fish Parambassis ranga (Hamilton, 1822) in Haebaru Reservoir,
Okinawa-jima Island, southern Japan. Journal of Applied Ichthyology. 28(2):231-237.
Kai W, Shou-yu Z, Zheng-hua W, Jing Z, Min X. 2012. A premilinary study on fishery biologi
of Johnius belangerii off Maan Archipelago. JFC.
Kottelat et al. 1993. Freshwater Fishes Of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition,
Hongkong
Kovacic M. 2007. Reproductive biology of the striped goby, Gobius vittatus (Gobiidae) in the
northern Adriatic sea, Barcelona, Spain. Scientia marina 71 (1) : 145 151.
Lasabuda R. 2013. Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif negara kepulauan
Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax 1-2: 92 101.
Legono D, Tjut SD, dan Gutomo P. 2007. Model Sosio-Eko-Hidraulik Pengelolaan Laguna
Segara Anakan secara Berkelanjutan. Semiloka: Pengelolaan Segara Anakan Berkelanjutan
Berbasis Partisipasi Masyarakat. Semarang.
Milton DA & Arthington AH. 1985. Reproductive strategy and growth of the Australian smelt,
Retropinna semoni (Weber) (Pisces : Retropinnidae), and the olive perchlet, Ambassis
nigripinnis (De Vis) (Pisces : Ambassidae), in Brisban, Seouth-eastern Queensland.
Marine and Freshwater Research. 36(3):329-341.
Nikolsky GV. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press, London. 352 p
Pacheco EB, Da-Silva CJ. 2009. Fish associated with aquatic macrophytes in the Chacorore-
Sinha Mariana Lakes system and Mutum River, Pantanal of Mato Grosso Brazil. Braz J.
Biol.69 (1):101-108
Rahardjo M. 2004. Aspek Pemijahan Ikan Petek Leiognathus equulus Forsskal, 1775 (Fam.
Leiognathidae) di Pesisir Mayangan Sumbang, Jawa Barat. IPB Bogor.
Rahardjo MF, Simanjuntak CPH. 2007. Aspek reproduksi ikan tetet, Johnius belangerii Cuvier
(Pisces: Sciaenidae) di Perairan Pantai Mayangan, Jawa barat. Jurnal Perikanan. 9(2): 200-
207.
Rukayah S, Setijanto, Sulistyo I. 2005. Kajian strategis reproduksi ikan senggaringan (Mystus
nigriceps) di Sungan upaya menuju diversifikasi budidaya perairan. J Saintek Perikanan 1
(1) : 25-35.
Saputra SW, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi reproduksi ikan
kuningan (Upeneus spp) di perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5(1): 1-6.
Siby LS. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus Weber, 1907) di
Danau Sentani. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak CPH.
2007. Reproduksi ikan selais (Ompok hypophthalmus Bleeker).
Sjafei DS & Syaputra D. 2009. Aspek reproduksi ikan kapasan (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam.
Gerreidae) di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1):75-
84.
Sulistiono. 2012. Reproduksi ikan beloso (Glossogobius giuris) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa
Timur. Jurnal Akuakultur Indonesia 11(1), 64-75.
Sulistiono, Jannah MR, Ernawati Y. 2001. Reproduksi ikan belanak (Mugil dussumeri) di
perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. 1(2): 31-37.
Sulistiono. Firmansyah A. Sofiah S. Brojo M. Affandi R. Mamangke J. 2002. Aspek Biologi
Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Tuwoti, Sulawesi Selatan.
Unus F. 2009. Kajian Biologi Reproduksi Ikan Malalugis Biru (Decagterusi macarellus Cutier
1833) Di Perairan Kabupaten Banggai Kepulauan. Disertasi. Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin. Makassar.105 hal.
Yustina, Arnentis. 2002. Aspek reproduksi ikan kapiek (Puntius schwanefeldi Bleeker) di Sungai
Rangau, Riau, Sumatera. JMS. 7(1): 5-14.

Anda mungkin juga menyukai