Anda di halaman 1dari 15

PERSEBARAN SPASIAL IKAN DI SUNGAI

SUSANTI MARIA YOSEFA SALU


C251160111
Pengelolaan Sumber Daya Perairan
Santisalu380@gmail.com

Abstrak

Sungai merupakan perairan umum yang mengalir dari hulu ke hilir dan dihuni oleh berbagai
macam jenis ikan yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Makalah ini bertujuan untuk
mendeskripsikan keragaman kumpulan ikan secara spasial serta melihat faktor lingkungan
utama yang mempengaruhi distribusi ikan, keragaman dan struktur kumpulan ikan dan untuk
mengetahui jenis-jenis ikan dari hulu sampai ke hilir, bentos dan plankton di daerah sungai.
Jenis ikan yang sering di jumpai di sungai bagian hulu adalah kelompok hewan shredders,
seperti Scathophagidae dan Tipulidae, bagian tengah sungai seperti kelompok grazers dan
melimpahnya kelompok hewan collectors berada pada sungai bagian hilir. Keanekaragaman
spesies ikan dalam ekosistem sungai dapat dijadikan sebagai indikator kualitas perairan sungai.
Keanekaragaman jenis yang tinggi mengindikasikan keadaan sungai belum tercemar dan
sebaliknya, jika keanekaragaman jenis dalam ekosistem sungai rendah mengindikasikan bahwa
sungai telah tercemar. Faktor lingkungan perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan di
sungai adalah temperatur, intensitas cahaya, derajat keasaman (pH), kadar oksigen terlarut,
kedalaman, BOD, COD. Plankton dan Bentos merupakan organisme perairan yang
keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan sungai dari hulu
sampai ke hilir.

Kata kunci : Sungai, ikan, faktor lingkungan, plankton, bentos

BAB I PENDAHULUAN
Sungai merupakan suatu bentuk ekositem akuatik yang mempunyai peran penting
dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi
daerah disekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, sungai mempunyai berbagai komponen
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang
saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama
lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem
tersebut (Suwondo dkk.2004:15).
Beberapa biota akuatik yang dapat dijadikan sebagai indikator perairan adalah
plankton, makrozoobentos, dan ikan. Makrozoobentos merupakan salah satu biota
akutik yang memiliki peranan sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan dan
juga merupakan suatu penghubung mata rantai aliran energi dari alga planktonik sampai
konsumen tingkat tinggi (Goldman & Horne 1983: 186 & 243; Suartini dkk. 2006: 41).
Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan
penyaluran alamiah aliran air dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian
hilir suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke
laut. Sungai juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri,
sumber mineral, dan pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola
dengan baik akan berdampak negatif terhadap sumberdaya air, diantaranya adalah
menurunnya kualitas air (Soewarno 1991: 20).

Sungai merupakan system yang dinamis dengan segala aktivitas yang


berlangsung antara komponen komponen lingkungan yang ada didalamnya. Adanya
dinamika tersebut akan mengakibatkan suatu sungai berada dalam suatu keseimbangan
ekologis sejauh sungai tersebut tidak menerima bahan asing dari luar sungai. Pada batas
kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi
keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan.
Konsep ekosistem yang diterapkan pada sungai merujuk pada ekosistem air
mengalir. Energi yang mengalir di dalam sungai terutama diperoleh dari daratan di
sekitar sungai dibandingkan dari dalam sungai sendiri. Energi yang diperoleh ekosistem
sungai merupakan materi organik allochtonous ke dalam air dari daratan yang
digunakan oleh organisme akuatik. Terdapat permasalahan terhadap siklus materi yang
terjadi di ekosistem sungai. Substansi yang dihasilkan dari proses dekomposisi tidak
tersedia untuk organisme produsen, karena substansi tersebut terbawa ke dasar perairan
akibat dari arus yang mengalir. Namun, substansi tersebut dapat digunakan oleh
organisme bentik yang hidup di dasar perairan (Lampert & Sommer 2007: 247).

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Persebaran ikan di sungai
Bagian hulu sungai (upstream) merupakan daerah mata air dari aliran sungai itu
sendiri. Hulu sungai biasanya merupakan daerah dataran tinggi yang rawan akan erosi,
substrat bagian hulu berupa pasir bebatuan dan kelompok hewan yang sering ditemui
adalah hewan pemakan materi organik kasar Coarse Particulate Organic Matter
(CPOM) seperti melimpahnya kelompok hewan shredders. Sungai bagian hulu umunya
sering dikelilingi oleh vegetasi. Hal tersebut mengurangi penetrasi cahaya matahari
yang langsung mengenai badan sungai. Namun demikian, terdapat masukan materi
organik allochtonous dalam jumlah besar berupa CPOM. Kelompok biota akuatik
shredder seperti Scathophagidae dan Tipulidae menghuni bagian hulu sungai dan
memanfaatkan materi organik tersebut. Selama ukuran sungai semakin besar, dampak
langsung dari materi organik allochtonous yang masuk berkurang dan materi organik
autochtonous serta yang terbawa dari bagian hulu semakin penting. Vegetasi di
sepanjang sungai menjadi kurang berperan pada sungai ordo tinggi. Hal tersebut
dikarenakan sisa materi CPOM terurai menjadi Fine Particulate Organic Matter (FPOM)
yang terbawa oleh arus dari bagian hulu yang sebelumnya telah digunakan (Lorenz
2003: 130--132).
Sungai bagian tengah (middle stream) merupakan daerah peralihan antara hulu
dan hilir sungai. Sudut kemiringan yang dibentuk di daerah tengah cenderung lebih
kecil sehingga kecepatan aliran sungai bila dibandingkan dengan bagian hulu relatif
lebih lambat (Louhi et.al. 2010: 1315). Jenis makanan yang dibawa dari bagian hulu
menjadi lebih halus Fine Particulate Organic Matter (FPOM) di gunakan kelompok
hewan grazers pada bagian tengah sungai untuk mengkonsumsinya. Sungai bagian
tengah mempunyai morfologi sungai yang lebih lebar dibandingkan dengan sungai
bagian hulu. Kedalaman air pada bagian tersebut relatif dalam dan turbiditas rendah
sehingga materi organik yang dihasilkan dari perairan (autochthonous) mendominasi.
Materi organik kasar yang sebelumnya dimanfaatkan oleh kelompok hewan shredders
berubah menjadi materi organik halus (FPOM). Perubahan tersebut terjadi karena
materi organik kasar mengalami penguraian oleh organisme shredders mejadi materi
organik halus yang seterusnya akan dimanfaatkan oleh kelompok hewan grazers atau
scraper. Menurunnya kelompok shredders di sungai bagian tengah terjadi karena
menurunya materi organik kasar yang biasa dimanfaatkan (Roth 2009: 45). River
Continuum Concept (RCC) memperkirakan pada sungai bagian tengah terjadi
peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang akan meningkatkan proporsi dari
kelompok grazers, sedangkan kelompok shredder pada saat yang sama akan mengalami
penurunan.
Bagian hilir sungai (downstream) merupakan aliran terakhir dari aliran sungai
menuju muara hingga laut. Ciri -- ciri dari bagian hilir adalah substratnya yang
berlumpur serta kedalaman sungainya yang bervariasi dan membentuk alur -- alur
sungai yang bervariasi (Soewarno 1991: 28). Makanan yang dibawa dari bagian tengah
ke bagian hilir masih berupa CPOM. Hewan dengan sifat pengumpul (collector) sangat
melimpah di daerah hilir seperti Bivalvia yang mempunyai peran sebagai filter feeders
(Odum 1993: 373). Pada sungai bagian hilir, materi organik yang dihasilkan oleh
perifiton dan fitoplankton telah mengalami penurunan karena peningkatan kekeruhan
yang menghambat penetrasi cahaya dan meningkatnya kedalaman. Sungai bergantung
kembali pada materi organik yang terbawa oleh arus dari hulu sungai, yang mayoritas
dalam bentuk FPOM. Kelompok hewan shredders dan grazers pun menghilang pada
sungai bagian hilir. Melimpahnya kelompok hewan collectors berada pada sungai
bagian hilir (Roth 2009: 45).

2.1 Keanekaragaman Spesies Ikan di Sungai


Keanekaragaman spesies suatu area dipengaruhi oleh faktor substrat yang
tercemar, kelimpahan sumber makanan, kompetisi antarspesies, gangguan dan kondisi
lingkungan sekitarnya sehingga spesies yang mempunyai daya toleransi tinggi akan
bertambah dan sebaliknya spesies yang memiliki daya toleransi rendah jumlahnya akan
semakin menurun.
Keanekaragaman spesies ikan dalam ekosistem sungai dapat dijadikan sebagai
indikator kualitas perairan sungai. Keanekaragaman jenis yang tinggi mengindikasikan
keadaan sungai belum tercemar dan sebaliknya, jika keanekaragaman jenis dalam
ekosistem sungai rendah mengindikasikan bahwa sungai telah tercemar. Satu
lingkungan dapat dikatakan stabil apabila kondisinya seimbang dan mengandung
kehidupan yang beranekaragam tanpa ada suatu spesies yang dominan (Odum 1996).
Ross (1997) dalam Yustina (2001) menyatakan keanekaragaman jenis ikan dapat
ditentukan oleh karakteristik habitat perairan. Karakteristik ini sangat dipengaruhi oleh
kecepatan aliran sungai karena adanya perbedaan kemiringan sungai, ada tidaknya
hutan atau tumbuhan di sekitar area aliran sungai yang berasosiasi dengan keberadaan
hewan-hewan penghuninya.
Berikut beberapa contoh ikan yang mendiami sungai secara umum:

Gambar 2. Jenis-jenis Ikan

Keterangan: (a) ikan sepat (Trichogaster sp), (b) ikan nila (Oreochromis niloticus) , (c)
ikan wader ( Rasbora argyrotaenia), (d) udang (Macrobachium pilimanus), (e) mujair
(Oreochromis mosssambicus), (f) kutuk (Channa sriata).

Setiap organisme yang hidup dalam suatu perairan tergantung terhadap semua
yang terjadi pada faktor abiotik. Adanya hubungan saling ketergantungan antara
organisme-organisme dengan faktor abiotik dapat digunakan dengan mengetahui kulitas
suatu perairan (Barus 1996).

2.2 Struktur Sungai


Gambar 1. Bentuk Morfologi Sungai (dimodifikasi)

Keterangan :
A = Bantaran sungai. B = tebing/jering sungai. C = badan sungai. D = batas tinggi air
semu. E = dasar sungai. F = vegetasi riparian

2.3 Faktor lingkungan perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan di sungai


1) Temperatur (Suhu)
Temperatur merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena
merupakan fator pembatas terhadap pertumbuhan dan penyembaran hewan. Secara
umum kenaikan temperatur perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas fisiologi.
Kenaikan suhu sebesar 100C akan meningkatkan aktivitas fisiologi organisme sebesar
2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya laju respirasi akan menyebabkan konsentrasi
oksigen meningkat dengan naiknya suhu akan menyebabkan kelarutan oksigen menjadi
berkurang. Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk
melakukan respirasi. Kenaikan suhu yang relatif tinggi ditandai dengan munculnya ikan
dan hewan lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen. Suhu air yang cocok untuk
pertumbuhan ikan antara siang dan malam kurang dari 50C. Suhu air yang tidak cocok
dengan ikan dapat mengakibatkan ikan sulit untuk berkembang (Cahyono 2000).

2) Intensitas cahaya
Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran dari ikan pada
perairan sungai dan danau. Jika intensitas cahaya rendah maka penglihatan ikan akan
berkurang, menurut Cahyono (2000) air yang terlalu keruh membuat ikan mengalami
gangguan pernapasan. Ini terjadi karena ada partikel yang masuk ke dalam insang ikan
serta air yang keruh dapat mengganggu nafsu makan ikan dimana ikan akan pasif dalam
mencari makanannya.

3) Derajat keasaman (pH)


pH air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan
melihat tingkat keasaman dan kebasaan (Asdak 1995). Nilai pH yang ideal bagi
kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan
yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan. Menurut
Wibisono (2005) kemampuan air untuk mengikat dan melepaskan sejumlah ion
hidrogen akan menunjukkan apakah larutan bersifat asam atau basa.

4) Kadar oksigen terlarut


Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam ekosistem
akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme (Suin 2002 dalam Herlina 2008). Sumber oksigen terlarut berasal dari
atmosfer dan fotosintesis tumbuhan hijau. Oksigen dari udara diserap dengan difusi
langsung di permukaan air oleh angin dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam
air tergantung pada daerah permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam
(Michael, 1984 dalam Herlina 2008). Menurut Effendi (2003) keadaan perairan dengan
kadar oksigen yang rendah berbahaya bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar
oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitas (daya racun) tembaga, timbal, sianida,
idrogen sulfida, dan amonia. Perairan yang baik untuk organisme akuatik sebaiknya
memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5mg/liter. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4
mg/liter dapat menyebabkan efek kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme
akuatik, sedangkan kadar oksigen kurang dari 2 mg/liter menyebabkan kematian bagi
ikan.

5) Kedalaman
Kedalaman air akan membatasi masuknya cahaya ke dalam suatu perairan secara
tidak langsung dan mempengaruhi jumlah serta jenis biota perairan (Odum 1993).
Setiap kedalaman memiliki jenis ikan yang berbeda-beda dan memiliki komunitas yang
berbeda pula.

6) Biochemical Oxigen Demand


Biochemical Oxigen Demand (BOD) merupakan kebutuhan oksigen biologis untuk
memecah bahan buangan di dalam air oleh mikrooganisme yang ada didalam perairan
tersebut, atau BOD dapat diartikan sebagai oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan-bahan organik menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O) oleh
mikroba aerob. Semakin tinggi kadar BOD dalam suatu perairan makan kadar oksigen
terlarut dalam air semakin sedikit (Salim 2005).
7) Chemycal Oxygen Demand
Chemycal Oxygen Demand (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam
proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan demikian jumlah
oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi terhadap total senyawa baik yang
mudah terurai maupun yang sulit terurai secara biologis dapat diukur dengan mengukur
kadar CODnya (Salim 2005). Semakin tinggi kadar COD akan menyebabkan turunnya
kadar oksigen terlarut (DO) (Effendi 2003).

2.4 Makrozoobentos

Berdasarkan batasan batasan, bentos dapat dijadikan bioindikator pencemaran


suatu badan sungai dari hulu sampai hilir (Suartini dkk. 2006: 42). Hal tersebut terjadi
karena bentos memiliki sifat menetap dan pergerakannya relatif lambat di dasar
perairan. Makrozoobentos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan faktor
fisik, kimia, dan biologi perairan. Perairan yang tercemar secara langsung akan
mempengaruhi kehidupan makrozoobentos (Odum 1993: 373).
Beberapa syarat biota akuatik yang dapat digunakan sebagi tolak ukur untuk
menilai suatu kesehatan sungai memiliki ciri -- ciri sebagai berikut:
Harus memiliki kepekaan terhadap perubahan lingkungan perairan dan responnya
cepat (Wardhana 2006: 3).
Tersebar luas dan melimpah tidak hanya di habitatnya saja tetapi di kondisi
lingkungan yang sudah tercemar (Frnzel 2004: 53).
Hidup sesil (bentik) (Wardhana 2006: 3).
Mudah disampling dengan peralatan lapangan yang sederhana (Muralidharan dkk.
2010: 24).
Makrozoobentos harus memiliki siklus hidup yang panjang berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa tahun, agar memberikan indikasi kesehatan sungai dalam
suatu periode waktu tertentu (Muralidharan dkk. 2010: 24).

Pada tahun 1979, Lind (lihat Fachrul 2007: 101) menyatakan bahwa bentos
adalah seluruh organisme yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil, maupun sampah
organik baik di dasar perairan laut, danau, kolam, ataupun sungai, merupakan hewan
melata, menetap, melekat, memendam, dan meliang di dasar perairan tersebut.
Berdasarkan produktivitasnya, bentos terbagi atas dua, yaitu: fitobentos dan zoobentos.
Fitobentos terdiri atas macrophyte dan alga, sedangkan zoobentos terdiri atas hewan-
hewan bentos (Cole 1994: 69 & 71)
Berdasarkan ukuran yang dimiliki bentos mempunyai berbagai macam ukuran
berdasarkan pengelompokan, antara lain adalah mikrobentos, meiobentos, dan
makrobentos. Mikrobentos adalah bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (<0,1
mm). Meiobentos adalah bentos yang berukuran antara 0,1 mm sampai 1 mm (0,1 mm
-- 1 mm). Makrobentos adalah bentos yang berukuran lebih besar dari 1 mm ( > 1mm)
(Nybakken 1992:168).

Habitat bentos dikelompokan menjadi bentos infauna dan bentos epifauna.


Infauna adalah makrozoobentos yang hidupnya terpendam di dalam substrat dengan
cara menggali lubang. Epifauna adalah makrozoobentos yang hidup di dasar perairan
yang bergerak lambat di permukaan substrat. Kelompok infauna sering mendominasi
daerah subtidal, sedangkan kelompok epifauna sering mendominasi di daerah intertidal
(Nybakken 1992: 45).

Makrozoobentos di dalam rantai makanan berperan sebagai detritivore dan


berperan penting dalam mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan
bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit
akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan
menjadi potongan-potongan yang lebih kecil sehingga mempermudah mikroba untuk
menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan (Goldman & Horne 1983:
243).

2.5 Plankton

Plankton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam air


yang pergerakannya relatif pasif (Suin, 2002, hlm: 118). Kemampuan berenang
organisme- organisme planktonik demikian lemah sehingga pergerakannya sangat
dipengaruhi oleh gerakan-gerakan air (Nybakken, 1992, hlm: 36). Plankton merupakan
organisme perairan pada tingkat trofik pertama yang berfungsi sebagai penyedia energi.
Plankton dibagi menjadi fitoplankton, yaitu organisme plankton yang bersifat tumbuhan
dan zooplankton, yaitu plankton yang bersifat hewan (Barus, 2004, hlm: 25).

Berdasarkan siklus hidupnya plankton dapat dikenal sebagai holoplankton yaitu


plankton yang seluruh siklus hidupnya bersifat planktonik dan meroplankton yaitu
plankton yang hanya sebagian siklus hidupnya bersifat planktonik. Sebenarnya plankton
mempunyai alat gerak (misalnya Flagelata dan Ciliata) sehingga secara terbatas
plankton akan melakukan gerakan-gerakan, tetapi gerakan tersebut tidak cukup
mengimbangi gerakan air sekelilingnya, sehingga dikatakan bahwa gerakan plankton
sangat dipengaruhi oleh gerakan air (Barus, 2004, hlm: 25).

Organisme pada tingkat pertama berfungsi sebagai produsen/penyedia energi


yang disebut sebagai plankton. Defenisi umum menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan plankton adalah suatu golongan jasad hidup aquatik berukuran mikroskopis,
biasanya berenang atau tersuspensi dalam air. Plankton dibedakan menjadi dua
golongan yaitu fitoplankton dan zooplankton (Wibisono, 2005, hlm: 155).

Fitoplankton adalah organisme mikroskopik yang hidup melayang, mengapung


dalam air serta memiliki kemampuan gerak yang terbatas. Fitoplankton berperan
sebagai salah satu bioindikator yang mampu menggambarkan kondisi suatu perairan,
kosmopolit dan perkembangannya bersifat dinamis karena dominansi satu spesies dapat
diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan dengan kualitas perairan yang
tertentu juga. Perubahan kondisi lingkungan perairan akan menyebabkan perubahan
pula pada struktur komunitas komponen biologi, khususnya fitoplankton (Prabandani et
al, 2007, hlm:51).

Fitoplankton memegang peranan yang sangat penting dalam ekosistem air,


karena kelompok ini dengan adanya kandungan klorofil mampu melakukan
fotosintesis. Proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton merupakan sumber
nutrisi utama bagi kelompok organisme air lainnya yang membentuk rantai makanan.
Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar pada umumnya terdiri dari
diatom dan ganggang hijau serta dari kelompok ganggang biru (Barus, 2004, hlm: 26).

Zooplankton merupakan plankton yang bersifat hewani sangat beraneka ragam


dan terdiri dari berbagai macam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir
seluruh filum hewan. Namun dari sudut ekologi, hanya satu golongan
zooplankton yang sangat penting artinya, yaitu subkelas kopepoda. Kopepoda adalah
Crustaceae holoplanktonik berukuran kecil yang mendominasi zooplankton, merupakan
herbivora primer (Nybakken, 1992, hlm: 41). Sebagian besar zooplankton
menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik berupa fitoplankton
maupun detritus. Kepadatan zooplankton di suatu perairan jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan fitoplankton. Umumnya zooplankton banyak ditemukan pada
perairan yang mempunyai kecepatan arus rendah serta kekeruhan air yang sedikit
(Barus, 2004, hlm: 45).

2.6 Kualitas Air Sungai


Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi dan kualitas perairan antara lain:
1. Faktor abiotik sungai
a. Tingkat kekeruhan atau turbiditas
Kekeruhan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan derajat
kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan. Turbiditas air
disebabkan oleh suspensi bahan organik dan anorganik, contohnya lumpur.
Bahan bahan tersebut menentukan kekeruhan air karena membatasi transmisi
cahaya di dalamnya (Sumawidjaja, 1973: 37). Meningkatnya tingkat turbiditas
dapat mempengaruhi besarnya tingkat pencemaran di suatu perairan. Daerah
yang sedang mengalami pencemaran, sehingga banyak bahan yang terlarut dalam
air akan menghalangi sinar matahari yang masuk, sehingga mengakibatkan
naiknya alkalinitas karena tingginya konsentrasi basa yang terkandung di
dalamnya serta tingginya CO2 bebas. Keadaan ini akan menghambat
pertumbuhan organisme seperti ikan.
b. Suhu
Suhu merupakan faktor penentu atau pengendali hidup hewan dan tumbuhan air.
Jenis jumlah dan keberadaan tumbuhan dan hewan air sering kali berubah dengan
adanya perubahan suhu air. Kenaikan suhu air akan meningkatkan aktifitas
biologi dan akan memerlukan oksigen yang lebih banyak dalam perairan tersebut.
Kenaikan suhu di perairan umumnya disebabkan oleh aktivitas penebangan
vegetasi di sepanjang tepi aliran air (Chay, 1974: 535). Suhu air berkaitan erat
dengan lama penyinaran matahari sehingga faktor tersebut sangat mempengaruhi
prosesproses biologi ikan seperti pematangan gonad, pemijahan, penetasan telur,
dan kehidupan ikan. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di Indonesia sekitar
300-350 C.
c. Derajat keasaman
Menurut Barus (Agustiawan, 2011: 13) derajat keasaman (pH) adalah nilai
konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan atau jika dinyatakan secara
matematis didefinisikan sebagai logaritma resiprokal ion hydrogen (pH : log
1/H). Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion H akan
menunjukkan apakah bersifat asam atau basa. Aspek yang diukur adalah
kemampuan suatu larutan dalam memberikan ion hydrogen. Nilai pH yang lebih
rendah menunjukan keasaman yang lebih tinggi. Apabila angka pH kurang dari 7
menunjukkan air bersuasana asam, sedangkan jika lebih dari itu menunjukkan air
dalam suasana basa.
d. Salinitas
Salinitas merupakan konsentrasi dari total ion yang terdapat di dalam perairan.
Pengertian salinitas air yang sangat mudah dipahami adalah jumlah kadar garam
yang terdapat pada suatu perairan. Hal ini dikarenakan salinitas air ini merupakan
gambaran tentang padatan total didalam air setelah semua karbonat dikonversi
menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh khlorida dan semua
bahan organik telah dioksidasi. Satuan untuk pengukuran salinitas air adalah
satuan gram per kilogram (ppt) atau permil (). Nilai salinitas air untuk perairan
tawar biasanya berkisar antara 00,5 ppt, perairan payau biasanya berkisar antara
0,530 ppt (Salinitas air payau) dan salinitas perairan laut lebih dari 30 ppt
(Johnson, 2005: 16-17).
2. Faktor biotik sungai
Menurut Rifai, dkk (1983: 43) faktor biotik sungai merupakan faktor atau unsur alam
yang hidup atau jasad hidup baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Komponen
biotik perairan terdiri atas hewan dan tumbuhan. Produsen paling penting dalam
perairan sungai adalah alga dan spermatophyta. Hewan yang hidup di air meliputi:
Molusca, Serangga aquatik, Crustacea, dan ikan. Dekomposer yang ada di perairan
adalah bakteri dan jamur.

BAB III Penutup

Kesimpulan

Beberapa biota akuatik yang dapat dijadikan sebagai indikator perairan adalah
plankton, makrozoobentos, dan ikan. Persebaran ikan di sungai terdiri dari 3 yaitu bagian
hulu sungai (upstream) merupakan daerah mata air dari aliran sungai itu sendiri, sungai
bagian tengah (middle stream) merupakan daerah peralihan antara hulu dan hilir sungai
dan bagian hilir sungai (downstream) merupakan aliran terakhir dari aliran sungai
menuju muara hingga laut.
Faktor lingkungan perairan yang mempengaruhi kehidupan ikan di sungai
adalah temperatur, intensitas cahaya, derajat keasaman (pH), kadar oksigen terlarut,
kedalaman, BOD, COD. Bentos dapat dijadikan bioindikator pencemaran suatu badan
sungai dari hulu sampai hilir. Hal tersebut terjadi karena bentos memiliki sifat menetap
dan pergerakannya relatif lambat di dasar perairan. Makrozoobentos sering digunakan
untuk menduga ketidakseimbangan faktor fisik, kimia, dan biologi perairan.
Fitoplankton berperan sebagai salah satu bioindikator yang mampu menggambarkan
kondisi suatu perairan, kosmopolit dan perkembangannya bersifat dinamis karena
dominansi satu spesies dapat diganti dengan lainnya dalam interval waktu tertentu dan
dengan kualitas perairan yang tertentu juga.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2004. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta: xiv + 614 hlm

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.


USU Press. Medan
Cahyono, B. 2000. Budidaya Ikan Air Tawar (Gurame, Nila, Mas). Kanisius.
Yogyakarta

Cole, G. A. 1994. Textbookoflimnology. 4th ed. Waveland Press, Inc., I11inois: xii + 412
hlm.

Efendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta

Fachrul, M.F. 2007. Metode sampling bioekologi. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta: viii
+198 hlm.
Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Lymnology. McGraw- Hills, Inc., Tokyo: Xvi +
464 hlm.

nd
Lampert, W. & U. Sommer. 2007. Lymnoecology. 2 ed. Oxford University
Press,Oxford: ix + 324 hlm.

Louhi, P., A. Maki-Petays, J. Erkinaro, A. Paasivaara & T. Muotka. 2010. Impacts of


forest drainage improvement on stream biota: A multisite BACI- experiment.
Forest Ecology and Management 256 : 1315--1323.

Lorenz, C. M. 2003. Bioindicators for ecosystem management, with special reference to


freshwater system. Dalam: Markert, B. A., Breure A.M & H.G. Zechmeister.
2003. Bioindikator and Biomonitor. Elsevier Science Ltd, USA: iii + 997 hlm.

Muralidhalan, M., C. Selvakumar, S. Sundar & M. Raja. 2010. Macroinvertebrata as


potential indicator of enviromental quality. IJBT. 1: 23 --28.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi laut : suatu pendekatan ekologi. Terj. Dari Marine
biology: An ecological approac, oleh Eidman, M. Koesbiono, P.G. Bengen, M.
Hutomo, & S. Sukardjo. P.T. Gramedia, Jakarta: xv + 459 hlm.

Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Ed. Ke- 3. Terj. dari Fundamentals of ecology
oleh T. Samingan & B. Srigandono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta:
697 hlm.

Odum E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Thahmosamingan.


Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Rachmawaty. 2011. Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator


Tingkat Pencemaran Di Muara Sungai Jeneberang. Jurnal Bionature. Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar. Vol. 12 (2): 103-109.

st
Roth, R.A. 2009. Freshwater aquatic biomes. 1 ed. Greenwood Press., London: xii +
237 hlm.
Setiawan, D. 2009. Studi komunitas makrozoobenthos di perairan hilir sungai lematang
sekitar daerah pasar bawah kabupaten lahat. Jurnal penelitian sains, 9 : 12 -- 14.

Soewarno. 1991. Hidrologi: pengukuran dan pengolahan data aliran sungai. Penerbit
NOVA, Bandung: xx + 824 hlm.

Suartini N.I., S. Ni Wayan, P. Made & R. Dalem. 2006. Identifikasi makrozoobentos di


tukad bausan, desa pererenan, kabupaten badung, bali. Ecotrophic 5 (1): 41 44
hlm

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas. Padang

Suwondo, E. Febrita, Dessy & M. Alpusari. 2004. Kualitas biologi perairan sungai
senapelan, sago dan sail di kota pekanbaru berdasarkan bioindikator plankton
dan bentos. Jurnal biogenesis, 1 (1): 15 -- 20 hlm.

Yustina. 2001. Keanekargamanan Jenis Ikan di Sepajang Perairan Sungai Raung Riau
Sumatra. Jurnal Natur Indonesia 1 :1-14

Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.


Jakarta

Anda mungkin juga menyukai